Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH KESEHATAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP ANAK

“ANALISIS KESEHATAN DAN TUMBUH KEMBANG ANAK DENGAN


KEBUTUHAN KHUSUS”

KELOMPOK 2
Fikri Razak 1805015001

Ganesa Deltasari 1805015065

Dosen Pengampu :
Hj. Nur Asiah, S.K.M, M.Kes

KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak yang paling mendasar yang dimiliki oleh setiap individu.
Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28H ayat 1 yang
berbunyi “Hak tersebut diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam
kandungan. Hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) sehingga sejak
dalam kandungan, setiap anak berhak hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan
taraf kehidupannya”. Hak dasar anak meliputi hak untuk hidup, hak tumbuh dan
berkembang secara optimal, hak berpartisipasi sesuai dengan minat dan potensi yang
dimiliknya, dan hak terlindungi dari segala tindak kekerasan, diskriminasi, penelantaran
dan perlakuan salah.
Kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan
berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia
Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.
Kesehatan adalah modal yang sangat penting untuk membentuk generasi manusia yang
mampu menatap masa depan dengan penuh antusiasme, energi dan spirit yang mengarah
kepada kemajuan dan kesuksesan. Kehidupan pada masa anak-anak adalah cermin dari
kehidupan masa depannya. Peningkatan dan perbaikan upaya kelangsungan,
perkembangan dan peningkatan kualitas hidup anak merupakan upaya penting untuk
masa depan Indonesia yang lebih baik. Upaya kelangsungan hidup, perkembangan dan
peningkatan kualitas anak berperan penting sejak masa dini kehidupan yaitu masa dalam
kandungan, bayi dan anak balita.
Anak yang sehat, cerdas dan berahlak mulia merupakan dambaan setiap orangtua.
Agar dapat mencapai hal tersebut terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas
seorang anak salah satunya dapat dinilai dari proses tumbuh kembang. Proses tumbuh
kembang merupakan hasil interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik
atau keturunan adalah faktor yang berhubungan dengan gen yang berasal dari ayah dan
ibu, sedangkan faktor lingkungan meliputi lingkungan biologis, fisik, psikologs dan
sosial.
Pertumbuhan dan perkembangan mengalami peningkatan yang pesat pada usia dini,
yaitu dari nol sampai lima tahun. Masa ini sering disebut sebagai fase “Golden Age”.
Fase ini merupakan masa yang sangat penting untuk memperhatikan tumbuh kembang
anak secara cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila ada kelainan. Selain itu,
penanganan kelainan yang sesuai pada fase ini dapat meminimalkan kelainan
pertumbuhan dan perkembangan anak yang bersifat permanen. Sebagian orang tua pasti
pernah menemukan beberapa gejala dan gangguan yang dialami buah hatinya. Gangguan
pada anak bermula sejak umur enam bulan lebih dan sering terjadi pada usia balita.
Gangguan-gangguan tersebut bisa berupa gangguan konsentrasi, gangguan belajar,
gangguan bahasa, gangguan disleksia, gangguan berhitung, gangguan menulis, gangguan
emosi, gangguan kecemasan, gangguan bipolar, gangguan depresi, gangguan makan dan
gangguan tidur. Seringkali hal yang ringan tersebut dianggap remeh, lumrah dan diyakini
akan membaik sendiri. Padahal, jika faktor penyebabnya diketahui kita bisa melakukan
intervensi untuk mencegahnya menjadi lebih parah.
Setiap anak terlahir dengan keistimewaannya masing-masing. Keistimewaan anak
tentu dapat dilihat dan dirasakan, bahkan ketika anak memiliki kelainan atau gangguan
sekalipun. Di Indonesia istilah kelainan tumbuh kembang ini dikenal dengan anak
berkebutuhan khusus atau lebih populer dengan istilah “anak luar biasa”. Anak
berkebutuhan khusus (ABK) atau disabilitas adalah mereka yang memerlukan
penanganan khusus berkaitan dengan kondisinya yang sedikit berbeda dengan anak pada
umumnya.Anak-anak yang termasuk ke dalam kelompok berkebutuhan khusus, antara
lain: anak dengan cacat fisik (tunawicara, tunarungu, tunanetra dan tunagrahita), anak
dengan kekhususan psikis (gifted, hiperaktif dan autis) dan anak dengan kelemahan
mental (down syndrome dan kecerdasan di bawah rata-rata).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan
bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan bagian dari anak Indonesia yang perlu
mendapatkan perhatian dan perlindungan dari pemerintah, masyarakat dan keluarga. Hal
ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kebijakan Penanganan Anak
Berkebutuhan Khusus.
Setiap anak termasuk anak berkebutuhan khusus berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Jaminan hak yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus ini tercantum dalam Pasal
28B ayat (2) UUD 1945. Dalam Pasal 28H UUD 1945 memberikan jaminan terhadap
setiap orang untuk berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan. Perlakuan khusus ini juga dapat diberikan kepada anak berkebutuhan khusus.
Selain itu dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak (untuk selanjutnya disebut UUKA) menyebutkan bahwa anak cacat berhak
memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan
sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yang bersangkutan. Kenyataannya,
dalam kehidupan sehari-hari anak berkebutuhan khusus belum sepenuhnya mendapatkan
haknya untuk berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini
terutama terkait dengan masih adanya stigmatisasi, terbatasnya layanan pendidikan,
layanan kesehatan, akses pada sarana dan prasarana lingkungan, transportasi dan
kesempatan untuk bekerja. Walaupun sudah terdapat jaminan dari UUD 1945, UUPA,
UUKA, dan Undang-Undang Penyandang Cacat ternyata hak anak berkebutuhan khusus
belum sepenuhnya terpenuhi baik di lingkungan keluarga, di sekolah, dan masyarakat.
Hal ini disebabkan oleh karena pengaruh kondisi sosial dan keterbatasan kemampuan
keluarga. Di lingkungan keluarga hak anak berkebutuhan khusus untuk bermain,
mendapatkan pendidikan, aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya sebagian besar
masih diabaikan oleh anggota keluarga, bahkan masih ada yang disembunyikan, karena
dianggap aib bagi keluarga. Begitu juga aksesibilitasi di bidang pendidikan, kesehatan,
sosial dan tenaga kerja, penyelenggaraan pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus
belum optimal.
Anak berkebutuhan khusus (ABK) biasanya tampak semenjak lahir, sewaktu bayi
dan maksimal saat usia balita.12 Anak berkelainan/anak dengan kecacatan merupakan
anak yang paling rentan terhadap masalah kesehatan karena lebih berisiko mendapat
kekerasan dari orangtua/lingkungannya akibat dari kelainan/kecacatan tersebut,
mengalami hambatan dalam pemenuhan kebutuhan gizi, ketidakmampuan anak dalam
kebersihan perorangan (kebersihan mulut, kebersihan alat reproduksi, dll) dan cenderung
berperilaku beresiko. Penilaian pertumbuhan dan perkembangan dapat dilakukan sedini
mungkin sejak dilahirkan. Deteksi dini merupakan upaya penjaringan yang dilaksanakan
secara komprehensif untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang dan mengetahui
serta mengenal faktor resiko pada balita. Melalui deteksi dini dapat diketahui
penyimpangan tumbuh kembang anak secara dini, sehingga upaya pencegahan, stimulasi,
penyembuhan serta pemulihan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas pada proses
tumbuh-kembang. Upaya- upaya tersebut diberikan untuk mencapai kondisi tumbuh
kembang yang optimal.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana kelangsungan hidup dan perkembangan anak dengan kebutuhan
khusus.

C. Tujuan
Mengetahui kelangsungan hidup dan perkembangan anak dengan kebutuhan
khusus.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kelangsungan Hidup dan Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus


a. Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup anak adalah salah satu area dari ilmu kesehatan masyarakat
yang direfleksikan dengan penurunan kematian anak. Intervensi kelangsungan hidup
anak didesain untuk menurunkan tingkat resiko penyebab kematian anak seperti
diare, malaria dan kondisi neonatal.
b. Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda
dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan
mental, emosi, atau fisik. Anak berkebutuhan khusus disebut juga dengan anak luar
biasa yang didefinisikan sebagai anak yang memerlukan bantuan layanan khusus dan
pendidikan untuk dapat mengembangkan potensi mereka secara sempurna. Anak
berkebutuhan khusus ini diartikan sebagai individu yang memiliki karakteristik fisik,
intelektual, maupun emosional, di atas atau di bawah rata-rata individu pada
umumnya.
Anak dengan karakteristik fisik, emosional maupun intelektual yang berbeda
dianggap sebagai anak “cacat” yang kemasukan roh jahat dan tidak sepantasnya
diperlakukan seperti manusia. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang kemudian
dikurung, diikat, bahkan dipasung.
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut anak berkebutuhan khusus,
antara lain anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang dan anak luar
biasa. Selain itu, WHO juga merumuskan beberapa istilah yang digunakan untuk
menyebut anak berkebutuhan khusus, yaitu :
1. Impairement : suatu keadaan atau kondisi dimana individu mengalami
kehilangan atau abnormalitas psikologis, fisiologi atau fungsi struktur anatomi
secara umum pada tingkat organ tubuh. Contoh seorang yang mengalami
amputasi satu kaki, maka ia mengalami kecacatan kaki.
2. Disability : suatu keadaan dimana individu menjadi “kurang mampu”
melakukan kegiatan sehari-hari karena adanya keadaan impairement, seperti
kecacatan pada organ tubuh. Contoh, pada anak dengan cacat kaki akan
merasakan berkurangnya fungsi kaki untuk berjalan.
3. Handicaped : suatu keadaan dimana individu mengalami ketidakmampuan
dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini
dimungkinkan karena adanya kelainan dan berkurangnya fungsi organ
individu. Contoh anak yang mengalami amputasi kaki akan mengalami
masalah mobilitas sehingga memerlukan kursi roda.
Anak berkebutuhan khusus berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Mereka
berproses dan tumbuh tidak dengan modal fisik yang wajar. Karenanya mereka
cenderung defensive (menghindar), rendah diri, atau mungkin agresif, serta memiliki
semangat belajar yang rendah.

Secara garis besar faktor penyebab anak berkebutuhan khusus jika dilihat dari
masa terjadinya dapat dikelompokkan dalam 3 macam, yaitu :

1. Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi pada pra kelahiran
(sebelum lahir), yaitu masa anak masih berada dalam kandungan telah
diketahui mengalami kelainan dan ketunaan. Kelainan yang terjadi pada
masa prenatal, berdasarkan periodisasinya dapat terjadi pada periode embrio,
periode janin muda, dan periode aktini (sebuah protein yang penting dalam
mempertahankan bentuk sel dan bertindak bersama-sama dengan mioin
untuk menghasilkan gerakan sel) (Arkandha, 2006). Antara lain: Gangguan
Genetika (Kelainan Kromosom, Transformasi); Infeksi Kehamilan; Usia Ibu
Hamil (high risk group); Keracunan Saat Hamil; Pengguguran; dan Lahir
Prematur.
2. Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi selama proses
kelahiran. Anak mengalami kelainan pada saat proses melahirkan. Ada
beberapa sebab kelainan saat anak dilahirkan, antara lain anak lahir sebelum
waktunya, lahir dengan bantuan alat, posisi bayi tidak normal, analgesik
(penghilang nyeri) dan anesthesia (keadaan narkosis), kelainan ganda atau
karena kesehatan bayi yang kurang baik. Proses kelahiran lama (Anoxia),
prematur, kekurangan oksigen; Kelahiran dengan alat bantu (Vacum);
Kehamilan terlalu lama: > 40 minggu.
3. Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi setelah proses
kelahiran yaitu masa dimana kelainan itu terjadi setelah bayi dilahirkan, atau
saat anak dalam masa perkembangan. Ada beberapa sebab kelainan setelah
anak dilahirkan antara lain infeksi bakteri (TBC/ virus); Kekurangan zat
makanan (gizi, nutrisi); kecelakaan; dan keracunan.
Berdasarkan faktor tersebut di atas, sebagian besar (70,21 persen) anak
berkebutuhan khusus disebabkan oleh bawaan lahir, kemudian karena penyakit
(15,70 persen) dan kecelakaan/bencana alam sebesar 10,88 persen. Pola yang sama
terjadi baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan.
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 157
Tahun 2014 Tentang Kurikulum Pendidikan Khusus Pasal 4 anak berkebutuhan
khusus dapat dikelompokkan menjadi:
1. Tunanetra
Dimata masyarakat umum, tunanetra atau yang lebih dikenal dengan buta
adalah seseorang yang tidak bisa melihat atau seseorang yang telah
kehilangan fungsi penglihatannya, padahal pengertian tunanetra tidak
sesempit itu, karena anak yang hanya mampu melihat dengan keterbatasan
(low vision) juga disebut tunanetra, Seperti yang didefinisikan oleh Somantri
(1996:54) anak tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan penglihatan,
baik sebagian atau menyeluruh yang menyebabkan proses penerimaan
informasi kurang optimal.
2. Tunarungu,
Istilah tunarungu berasal dari kata “tuna” dan “rungu”, tuna artinya rusak
atau cacat dan rungu artinya pendengaran, seseorang dapat dikatakan
tunarungu apabila ia memiliki kerusakan/kelainan pada organ
pendengarannya yang menyebabkan ia tidak dapat mendengar atau kurang
mampu mendengar suara yang seharusnya mampu didengar orang normal.
3. Tunagrahita
Sebagian besar masyarakat menganggap anak-anak tunagrahita adalah
anak yang bodoh, lemot, lelet, idiot dan lain sebagainya. Anggapan itu
membuat anak tunagrahita dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Anggapan itu juga membuat masyarakat menjauhi serta mengucilkan anak
tunagrahita. Padahal anggapan yang beredar luas dimasyarakat adalah
anggapan yang tidak tepat, dari sudut bahasa atau istilah tunagrahita berasal
dari kata “tuna” dan “grahita” tuna artinya rusak atau cacat dan grahita artinya
berfikir.
Definisi yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah
definisi yang dirumuskan oleh Grossman yang secara resmi digunakan
AAMD (American Association of Mental Deficiency) yaitu ketunagrahitaan
mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada
di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah
laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung pada masa perkembangan.
Tunagrahita adalah seseorang yang mengalami hambatan fungsi kecerdasan
intelektual dan adaptasi tingkah laku yang terjadi pada masa
perkembangannya dan juga menyebabkan kesulitan dalam tugas-tugas
akademik, komunikasi maupun sosial.
4. Tunadaksa
Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna” dan “daksa”, tuna yang berarti
rusak atau cacat dan “daksa” yang berarti tubuh. Menurut Sutjihati Somantri
tunadaksa adalah suatu keadaan yang terganggu atau rusak sebagai akibat dari
gangguan bentuk atau hambatan pada otot, sendi dan tulang dalam fungsinya
yang normal. Kondisi ini bisa disebabkan oleh kecelakaan, penyakit atau juga
bisa disebabkan karena pembawaan sejak lahir.
5. Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam
mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Tunalaras biasanya menunjukan
perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang
berlaku di sekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan
faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
6. Autis
Autis adalah gangguan perkembangan saraf yang kompleks yang
gejalanya sudah terlihat sebelum anak berusia tiga tahun. Seseorang yang
mengalami autisme memiliki gangguan dan masalah dalam berinteraksi
dengan orang lain, kadang anak autisme terlihat sangat linglung, terkucil,
terasing, tidak mau melakukan kontak mata dengan orang lain, tidak mau
bermain bersama teman-temannya, sering mengulang gerakan-gerakan secara
terus menerus dan berlebihan. Akibat gangguan ini seseorang yang mengidap
gangguan autis sulit unutk belajar berinteraksi dan berkomunikasi dengan
lingkungan sekitarnya dan menyebabkan seolah-olah ia hidup dalam
dunianya sendiri.
c. Peran Orangtua dan Orang Terdekat pada Anak Berkebutuhan Khusus
Bervariasinya tipe anak berkebutuhan khusus dan masing-masing jenis tersebut
mempunyai permasalahan yang berbeda maka dibutuhkan penanganan khusus baik
itu dari keluarga,lingkungan,sekolah maupun intervensi medis maupun rehabilitasi
medis, pendampingan psikologi anak bila diperlukan demi tercapainya pertumbuhan
dan perkembangan yang optimal. Hal yang dilakukan agar hak anak berkebutuhan
khusus dapat tercapai pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal terbagi
menjadi 2 antara lain :
1. Secara Umum :
● Bagi orang tua maupun keluarga bisa menerima dan ikhlas, bahwa setiap
anak adalah titipan dan amanah Tuhan YME. Sehingga orang tua tidak
kecewa maupun membanding-bandingkan dengan anak lainnya, tidak
menelantarkan hingga menyembunyikannya.
● Orang tua maupun keluarga harus memenuhi semua hak anak
berkebutuhan khusus yang sama dengan anak tanpa berkebutuhan
khusus. Hak anak adalah sama, mempunyai hak untuk mendapatkan
kasih sayang, cinta, perlindungan, nutrisi yang baik, sandang pangan dan
papan yang cukup, mendapatkan imunisasi dan pelayanan kesehatan, hak
untuk bersosialisasi dan membaur dengan masyarakat.
● Bagi masyarakat hendaknya secara dini mulai menghilangkan stigma
yang tidak baik tentang anak berkebutuhan khusus, memberikan
kesempatan anak berkebutuhan khusus agar bisa membaur dan
bersosialisasi, mendapatkan pendidikan yang sesuai
● Bagi pemerintah hendaknya pendataan anak berkebutuhan khusus
dilakukan secara nasional sehingga bantuan kepada keluarga baik itu
bantuan materi,alat bantu,maupun pendidikan dapat diperoleh secara
mudah dan merata oleh keluarga, sehingga keluarga merasa terbantu dan
semangat memberikan yang terbaik untuk anak mereka
2. Secara Khusus
● Orang tua harus rutin setidaknya berkonsultasi dengan tim tenaga medis
terdekat yang mempunyai kompetensi dalam menangani kasus anak
berkebutuhan khusus secara integrasi ( dokter spesialis anak atau dokter
sub spesialis tumbuh kembang/neurologi anak, dokter spesialis
rehabilitasi medis dan tim rehabilitasi medis (fisioterapi – terapi wicara –
terapi okupasi –prostetic/ortotik), psikologi, dan spesialis lainnya (mata,
THT, jiwa, bedah orthopedic, atau spesialis lain) sesuai jenisnya.
Konsultasi ini sebaiknya terjadwal dan dengan perencanaan yang baik
sehingga orang tua tidak mengalami kebingungan maupun kendala waktu
dan biaya dapat diatasi.
● Selalu menindaklanjuti saran dan petunjuk dari tim tenaga medis
● Melakukan stimulasi dan intervensi di rumah sesuai petunjuk dokter anak
dan timnya sesuai dengan jenis dan kebutuhan anak (setiap jenis anak
berkebutuhan khusus akan mempunyai jenis stimulasi dan intervensi
yang berbeda sesuai kebutuhannya)
● Memasukkan anak ke sekolah yang sesuai dan mengembangkan potensi
yang dimiliki oleh anak sehingga anak secara perlahan dapat hidup
mandiri dan mempunyai ketrampilan tertentu sesuai potensinya.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Masalah anak berkebutuhan khusus merupakan masalah yang cukup kompleks secara
kuantitas maupun kualitas. Mengingat berbagai jenis anak berkebutuhan khusus
mempunyai permasalahan yang berbeda-beda, maka dibutuhkan penanganan secara
khusus. Jika anak berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan yang tepat, khususnya
keterampilan hidup (life skill) sesuai minat dan potensinya, maka anak akan lebih
mandiri. Namun, jika tidak ditangani secara tepat, maka perkembangan kemampuan anak
mengalami hambatan dan menjadi beban orangtua, keluarga, masyarakat dan negara.
Orangtua atau keluarga sebagai pemberi layanan utama terhadap anak berkebutuhan
khusus, pada umumnya masih kurang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab untuk
memberikan persamaan hak dan kesempatan bagi anakanak tersebut. Hal ini dikarenakan
kurangnya pengetahuan orangtua atau keluarga tentang bagaimana merawat, mendidik,
mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-anak tersebut. Orangtua atau keluarga
merupakan faktor terpenting dalam memfasilitasi tumbuh kembang dan perlindungan
anak berkebutuhan khusus.
B. Saran
Untuk semua orang yang berdampingan dengan anak berkebutuhan khusus
hendaknya selalu memberikan semangat tanpa harus membanding-bandingkan atau
mengucilkan anak tersebut, karena akan mempengaruhi tumbuh kembang si anak
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Somantri, T. S. (1996). Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Somantri, Sutjihati. (2012). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika Aditama.
Salim (1984). Pendidikan Anak Tuna rungu. Bandung : Alfabeta.
Somad dan Hernawati (1997). Ortopedagogik anak tuna rungu. Jakarta : DEPDIKNAS
http://etheses.uin-malang.ac.id/5534/1/12140090.pdf
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/b3401-panduan-penanganan-abk-bagi-
pendamping-_orang-tua-keluarga-dan-masyarakat.pdf
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132309079/penelitian/ABK+TUK+TENDIK.pdf

Anda mungkin juga menyukai