Anda di halaman 1dari 72

MODUL

PENGANTAR ILMU SEJARAH

TIM PENGAJAR
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

DIPAKAI DALAM LINGKUNGAN FAKULTAS


ILMU SOSIAL DAN HUKUM

2021
TIM PENGAJAR PENGANTAR ILMU SEJARAH

Drs.NAJAMUDDIN., M.Hum
Dr. MUH. RASYID RIDHA., M.Hum
Prof. Dr. JUMADI, S.Pd., M.Si
Dr. BAHRI., S.Pd., M.Pd
AMIRULLAH., S.Pd., M.Pd
BUSTAN., S.Pd., M.Pd
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...............................................................…………….ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. xi

BAB I SEJARAH DAN MAKNANYA ........................................................ 1


A. Pengertian Sejarah .......................................................................... 1
B. Fakta, Konsep dan Unsur-Unsur Sejarah ........................................ 4
C. Kegunaan Sejarah ........................................................................... 8

BAB II SEJARAH SEBAGAI PERISTIWA, KISAH, ILMU DAN SENI .... 14


A. Sejarah sebagai Peristiwa.............................................................. 14
B. Sejarah sebagai Kisah ................................................................... 15
C. Sejarah sebagai Ilmu ..................................................................... 15
D. Sejarah sebagai Seni .................................................................... 17

BAB III SUMBER SEJARAH ................................................................. 18


A. Sumber Tertulis.............................................................................. 19
B. Sumber Lisan ................................................................................. 21
C. Sumber Benda .............................................................................. 22
D. Sumber Rekaman ......................................................................... 22

BAB IV METODE PENELITIAN SEJARAH………………………..………23


A. Metode Sejarah .............................................................................. 23
B. Generalisasi Sejarah ...................................................................... 27

BAB V SEJARAH DAN ILMU-ILMU SOSIAL ......................................... 31


A. Hubungan Sejarah dengan Ilmu Sosial ....................................... 31
B. Sejarah dan Ilmu Politik ............................................................... 34
C. Sejarah dan Antropologi .............................................................. 34
D. Sejarah dan Sosiologi .................................................................. 35
E. Sejarah dan Ekonomi ................................................................... 35
F. Sejarah dan Psikologi .................................................................. 36

BAB VI BABAKAN WAKTU SEJARAH ................................................. 38


A. Arti Babakan Waktu ...................................................................... 38
B. Tujuan Babakan Waktu ................................................................. 39
C. Kriteria Babakan Waktu .............................................................. 40
D. Babakan Waktu Sejarah Indonesia ............................................. 43
E. Contoh Babakan Waktu Sejarah Indonesia ................................. 44

BAB VII PERKEMBANGAN ILMU SEJARAH ........................................ 48


A. Lahirnya Sejarah dan Perkembangannya .................................... 48
B. Langkah-Langkah Perkembangan Ilmu Sejarah .......................... 54

BAB VIII GERAK SEJARAH................................................................... 59


A. Siapa yang Menentukan Gerak Sejarah ....................................... 59
B. Gerak Sejarah Menurut Hukum Fatum ......................................... 61
C. Paham Santo Agustinus tentang sejarah ..................................... 63
D. Paham Ibnu Khaldum tentang Sejarah ......................................... 64
E. Tafsiran Sejarah Oswald Spengler ............................................... 65
F. Tafsiran Sejarah Arnold J. Toynbee .............................................. 66
G. Teori Pitirim Sorokin ...................................................................... 68
H. Sifat Gerak Sejarah ....................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 72
BAB I

SEJARAH DAN MAKNANYA

A. Pengertian Sejarah
Ketika mendengar kata sejarah, maka sebagian orang akan beranggapan bahwa itu
adalah masa lalu yang tinggal kenangan dan terkadang ada yang ingin melupakannya,
meskipun tanpa disadari bahwa mereka tidak bisa lepas dari sejarah, minimal sejarah asal-
usulnya dari mana dan bagaimana pemaknaannya. Memang benar adanya, bahwa sejarah
selalu diidentikkan dengan masa lalu, peristiwa dan kejadian masa lalu itulah sejarah (Hamid,
2008:1). Dilihat dari asal katanya istilah sejarah berasal dari bahasa Arab; Syajaratun yang
artinya pohon, keturunan, asal-usul, atau silsilah. Riwayat/hikayat: cerita yang diambil dari
kehidupan. Kisah: cerita tentang kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Tarikh
(Turki): menunjukkan tradisi dalam sejarah Islam.
Dalam bahasa Yunani historia yang artinya pengetahuan yang diperoleh melalui
penyelidikan (= ilmu) / inkuir. Perkataan sejarah mempunyai arti yang sama dengan kata-kata
“history (Inggris), Geschichte “(Jerman) dan “Geschiedenis” (Belanda) semuanya mengandung
arti yang sama, ialah cerita tentang peristiwa dan kejadian pada masa lampau. Peristiwa dan
kejadian itu benar-benar terjadi pada masa lamp au (Hugiono dkk,1992:1). Di dalam kamus
Umum Bahasa Indonesia Oleh W.J.S Poerwadarminta, (2003: 646) disebutkan bahwa sejarah
mengandung tiga pengertian:
1. Kesusastraan lama: Silsilah, asal usul
2. Kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau.
3. Ilmu, pengetahuan, cerita pelajaran tentang kejadian dan peristiwa yang benar-benar
terjadi pada masa lampau serta riwayat.
Selanjutnya Moh. Ali dalam “Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia (2005) mempertegas
pengertian itu menjadi:
1. Jumlah perubahan-perubahan, kejadian dan peristiwa dalam kenyataan sekitar kita.
2. Cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian dan peristiwa dalam kenyataan di sekita
kita.
3. Ilmu yang bertugas menyelediki perubahan-perubahan, kejadian dan peristiwa dalam
kenyataan sekitar kita.

1
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka kita akan mendapatkan peristiwa masa
lampau dan ceritanya, sedangkan ilmu bertugas untuk menyelidiki kebenaran terhadap suatu
peristiwa masa lampau dan cara menyusun cerita sehingga membentuk suatu pengertian yang
lengkap. Seiring dengan perkembangan sejarah, telah memunculkan berbagai pendapat tentang
arti sejarah seperti di bawah ini:
H. Mohammad Hatta dalam pengantar ke jalan Ilmu dan Pengetahuan 1960 (54-57-68).
Sejarah wujudnya memberi pengertian masa lalu yang menggambarkan tentang tipe ideal,
bentuk rupa dari masa lalu. Bukan gambarnya yang sebenar-benarnya, tetapi gambaran yang
dimudahkan, supaya kita mengenal rupanya. Ia bukan melahirkan cerita daripada kejadian yang
lalu, tetapi memberi pengertian tentang satu kejadian atau masa itu sebagai masalah. Ia
mengupas masalahnya dalam keadaannya yang heterogen, dalam keadaan hidupnya yang
banyak cabangnya.
H. Roeslan Abdulgani dalam Sosialisme Indonesia. (Cet ke V 1963: 174), mengatakan
bahwa sejarah adalah satu bidang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis
keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan dimasa lampau, beserta segala
kejadian-kejadiannya dengan maksud untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil
penelitian dan penyelidikan tersebut, untuk akhirnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi
penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah program masa depan. Ilmu sejarah ibarat
penglihatan tiga dimensi; pertama penglihatan ke masa silam, kemudian ke masa sekarang dan
akhirnya ke masa depan. Atau dengan kata lain, dalam menyelidiki masa silam itu kita tidak
dapat melepaskan diri dari kenyataan-kenyataan masa sekarang yang sedang kita alami
bersama, dan sedikit banyak juga tidak dapat kita melepaskan dari persfektif masa depat.
Karena itu sejarah masa lampau harus kita pelajari dengan berpijak pada kenyataan-
kenyataan perkembangan situasi sekarang dengan menancapkan perkiraan-perkiraan serta
harapan-harapan yang berperspektif dari masa yang akan datang. Tanpa tancapan kepada
perspektif masa depan maka sejarah seakan-akan bukan merupakan suatu proses yang terus
berjalan, melainkan suatu keadaan yang membeku, terpencil dari keadaan sekarang dan dari
masa depan.
H. Moh. Yamin, dalam Tatanegara Majapahit Parwa I (hal 89). Sejarah Indonesia
menurut paham ilmiah ialah suatu ilmu pengetahuan yang disusun atas hasil penyelidikan
beberapa peristiwa yang dapat dibuktikan dengan bahan kenyataan (sumber sejarah – sandaran
sejarah).

2
Wilhelm Buer, dalam Einfuhrung in das Studium der Geschichte, cetakan II (1928: 17).
Sejarah ialah ilmu yang meneliti gambaran dengan penglihatan yang singkat untuk merumuskan
fenomena kehidupan, yang berhubungan dengan perubahan-perubahan yang terjadi karena
hubungan manusia dengan masyarakat, memilih fenomena tersebut dengan memperhatikan
akibat-akibat pada zamannya serta bentuk kualitasnya dan memusatkan perubahan-perubahan
itu sesuai dengan waktunya serta tidak akan terulang lagi (irreproducible)
E. Bernheim dalam Lehrbuch der Historischen Methode under Geschictsphilosopihie,
(cet. ke VI hal 9) Ilmu sejarah adalah ilmu yang menyelidiki dan menceritakan peristiwa-peristiwa
dalam waktu dan ruang yang dihubungkan dengan perkembangan aktivitas manusia (baik yang
bersifat individu maupun kelompok) sebagai kehidupan masyarakat dalam hubungan timbal balik
antara rohaniah dan jasmaniah.
Beneditto Crose dalam bukunya tentang “Teori dan Sejarah dari Ilmu penulisan Sejarah
(Historiografi)” membedakan pengertian sejarah dan kronik. Sejarah ialah cerita yang
menggambarkan suatu pikiran yang hidup tentang masa lampau sedangkan kronik merupakan
catatan tentang masa lampau, menurut kedudukannya, mati dan tak dapat dimengerti. Yang
terakhir ini disebut pseudo historis atau sejarah semu.
R.G. Collingwood, bukunya yang berjudul “The Idea of History” ia seorang idealis dan
batasannya mengenai sejarah merupakan kelanjutan pendapat B. Crose. Teorinya tentang
sejarah terdiri dari dua dalil. Pertama: bahwa sejarah mempunyai arti yang sangat cocok untuk
mempelajari alam pikiran dan pengalaman-pengalaman manusia. Kedua: sehubungan dengan
yang pertama, sejarah adalah bersifat unik dan langsung atau dekat. Pengertian sejarah dapat
merasuk ke dalam hakikat yang mendalam dari kejadian yang sedang dipelajari serta dapat
menghayati peristiwa-peristiwa yang sebenarnya dari dalam. Mengerti sejarah berarti menyelami
untuk melihat dengan jelas pikiran yang ada di dalamnya.
Pengikut aliran idealis lainnya ialah Wilhelm Dilthey (1833-1911) seorang filsuf Jerman
yang mengatakan bahwa sejarah termasuk kelompok ilmu pengetahuan tentang pikiran
(Geisteswissenchaften). Pengalaman-pengalaman manusia yang meliputi perasaan, emosi dan
sensasi manusia, termasuk pikiran dan akal budinya dapat dimengerti dengan cara
menghayatinya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka defenisi sejarah dapat dirumuskan
sebagai berikut: “Sejarah adalah gambaran tentang peristiwa-peristiwa masa lampau yang
dialami oleh manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu, diberi tafsiran dan analisa
kritis, sehingga mudah dimengerti dan dipahami” Hugiono dan Poerwantana (1992:9).

3
B. Fakta, Konsep dan Unsur-Unsur Sejarah

1. Fakta Sejarah
Dalam artikel yang ditulis oleh Carl L. Bucker yang berjudul ”What historical facts?”
memberikan penegasan sejarah pada umumnya ditulis berdasarkan pemikiran dan tindakan
manusia di masa lampau. Oleh karena itu sejarawan harus berusaha mengadakan penyelidikan
untuk mengetahui segala yang diperbuat dan dipikirkan oleh manusia pada masa lampau.
Dalam proses penyelidikan itu pula sejarawan harus bekerja untuk memperoleh fakta-fakta
sejarah dan dapat memaparkannya.
Fakta adalah suatu statement tentang suatu kejadian/peristiwa. Peristiwa sejarah dalam
arti obyektif tidak mungkin lagi diulang atau dialami kembali akan tetapi bekas-bekasnya sebagai
memori dapat diungkapakan atau diaktualisasikan. Bentuk pengungkapan kembali ialah
pernyataan (statement) tentang suatu kejadian. Dengan demikian, jelaslah bahwa fakta
sebenarnya telah merupakan produk dari proses mental (sejarawan) atau memaorisasi. Pada
hakekatnya fakta bersifat subjektif, memuat unsur dari subjek. Jadi, fakta sejarah adalah suatu
statement tentang suatu kejadian atau peristiwa sejarah.
Fakta sejarah juga dapat didifiniskan sebagai suatu unsur yang dijabarkan secara
langsung atau tidak langsung dari dokumen. Dokumen sejarah dan dianggap kredibel setelah
pengujian yang seksama sesuai dengan hukum-hukum metode sejarah. Yang dimaksut kredibel
disini adalah bukanlah apa yang sesungguh-sungguhnya terjadi, melainkan bahwa unsur itu
paling dekat dengan apa yang sesungguh-sungguhnya terjadi, sejauh dapat kita ketahui
berdasarkan suatu penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber terbaik yang ada (Louis
Gootshalk, 1986: 95-96). Menurut Bacher fakta-fakta sejarah dapat dibedakan menjadi:
a) Fakta keras (hard facts) yaitu fakta-fakta yang telah teruji kebenarannya. Sebagai
contoh Proklamsi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam depot
arsip tersimpan banyak dokumen yang mendukung atau menjelaskan peristiwa
tersebut. Di dalam dokumen itu terdapat banyak data.
b) Fakta lunak (cold facts) yaitu fakta-fakta yang belum dikenal dan masih perlu
diselidiki kebenarannya. Untuk menguji kebenaran fakta-fakta itu, sejarawan harus
mendapatkan bukti-bukti yang kuat. Selanjutnya sejarawan juga harus pandai
mengelola dan menyusun fakta-fakta agar dapat membuhakan rekontruksi dalam
bentuk kisah. Sebagai contoh fakta tentang pembuhuhan J.P. Kennedy yang masih

4
kontroversial siapa pembunuhnya. Dan banyak teori berbeda-beda mengenai
peristiwa itu.
Selain itu juga dikenal jenis fakta lain sebagai berikut:
a) Fakta Mental merupakan fakta yang diperoleh berhubungan dengan masalah batin,
rohani, dan watak manusia sehingga dapat menentukan baik buruknya perjalanan
kehidupan manusia, masyarakat atau bangsa. Fakta mental merupakan penjelasan
tentang pemikiran, pandangan, perasaan, sikap tokoh sejarah mengenai suatu
peristiwa. Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau dapat
mempengaruhi mental kehidupan masyarakat baik di masa kini maupun di masa
depan.
Contoh:
Terjadinya peperangan, memberikan fakta mental mengenai akibat perang yang
menyisakan kehidupan yang sangat memprihatinkan. Orang akan ada yang merasa
kemana-mana tidak aman.
b). Fakta Sosial merupakan sebuah hasil dari penafsiran data yang menunjukkan
aktivitas hubungan antarmanusia dalam kehidupan bermasyarakat. Fakta sosial
merupakan suatu bukti yang menunjukkan keadaan sosial tokoh sejarah baik itu
pelaku ataupun saksi itu berada, seperti suasana zaman, lingkungan, dan
masyarakatnya. Suatu peristiwa sejarah yang dipengaruhi oleh masalah-masalah
sosial yang terjadi dalam lingkungan kehidupan masyarakat. Masalah sosial yang
muncul dan berkembang di masyarakat kerap kali menimbulkan suatu peristiwa.
Contoh:
Peperangan yang terjadi dapat menghancurkan tatanan sosial dalam kehidupan
suatu bangsa. Sebelum terjadi perang, kehidupan sosial masyarakat terjalin dengan
baik, tetapi setelah peperangan semuanya hancur. Dan hubungan sosial yang
pernah hancur akibat perang tersebut mulai dibenahi sehingga dapat memunculkan
jalinan hubungan sosial yang lebih erat dari masa sebelumnya.

5
2. Konsep Sejarah
Konsep adalah suatu wujud dari kemampuan akal dalam membentuk gambaran baru
yang bersifat abstrak berdasarkan atas data atau fakta-fakta konkret sehingga manusia dapat
merekonstruksi atau membuat suatu gambaran atau mempersiapkannya. Di dalam kajian
sejarah ada tiga konsep yang utama. Pertama, perubahan yaitu ketidaksamaan dari suatu
keadaan yang satu dengan keadaan yang lain, dari waktu yang satu ke waktu yang lain.
Misalnya perubahan dari masa demokrasi terpimpin ke demokrasi pancasila, dari masa orde
baru ke orde reformasi. Kedua, konsep tentang waktu, maksudnya bahwa setiap peristiwa
sejarah itu tidak mungkin sebagai sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, tetapi akan senantiasa
dalam suatu bingkai waktu. Aspek waktu akan sangat terasa kalau kita mencermati sebuah
proses perubahan atau proses pembuatan sesuatu. Ketiga, konsep kontinuitas dan
diskontinuitas.
Konsep tersebut di atas merupakan konsep yang penting dalam sejarah. Konsep ini
terkait erat dengan konsep perubahan dan perkembangan. Kontinuitas adalah manifestasi dari
suatu proses perkembangan dari aspek kehidupan masyarakat yang terus berlanjut, sekalipun
situasi itu berubah. Diskontinuitas adalah proses perubahan atau perkembangan aspek
kehidupan masyarakat yang tidak berlanjut atau tidak merupakan kelanjutan dari masa
sebelumnya.

3. Unsur-unsur sejarah
Sejarah adalah suatu peristiwa yang sudah terjadi. Sebagai suatu peristiwa, ibarat
sebuah lakon, maka ada bagian-bagian atau unsur-unsur yang mendukung peristiwa atau lakon
tersebut. Didalam sejarah ada tiga unsur penting yakni:
Ruang, Tempat terjadinya peristiwa, jadi terkait dengan aspek geografis. Unsur ruang ini
akan menjadikan pemahaman kita tentang peristiwa sejarah menjadi riil. Waktu, Unsur yang
sangat penting dari konsep sejarah. Sejarah adalah studi tentang aktivitas manusia dilihat dari
kurun waktunya. Karena itu waktu menjadi unsur dan konsep dalam sejarah. Dari unsur waktu
inilah, maka di dalam sejarah, sifat kronologis menjadi sangat penting. Dari unsur waktu dan sifat
kronologis, di dalam kajian sejarah dikenal adanya konsep periodisasi. Manusia, di dalam
peristiwa sejarah menjadi sentral, ibarat drama sebagai pemegang peran. Karena itu manusia
sangat menentukan di dalam suatu peristiwa. Sejarah adalah sejarahnya manusia, bukan alam
atau binatang. Peristiwa yang dikaji pun adalah peristiwa yang terkait dengan manusia. Peristiwa

6
itu bisa cepat atau bisa berlangsung lama, bisa kompleks, tetapi bisa sederhana, tergantung akal
manusia dengan lingkungan yang ada.

C. Kegunaan Sejarah
Berbicara tentang penting atau tidaknya sejarah tentunya akan lebih jelas jika melihat
kegunaan sejarah itu sendiri. orang tidak akan belajar sejarah jika tidak ada gunanya. Kenyataan
bahwa sejarah terus ditulis orang, semua peradaban dan sepanjang waktu, sebenarnya cukup
menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu Kuntowijoyo (2005:20). Akan tetapi bagi mereka yang
meragukan hasil peradaban ini, baiklah di sini akan dipaparkan guna sejarah. Kegunaan sejarah
ternyata berguna baik intrinsik maupun ektrinsiknya. Berguna bagi sejarah itu sendiri sebagai
pengetahuan dan berguna bagi pengembangan keilmuan yang lain yaitu untuk bidang lain di luar
sejarah.

1. Guna Intrinsik
Setidaknya ada empat guna intrinsik sejarah, yaitu (1) Sejarah sebagai ilmu, (2) Sejarah
sebagai cara mengetahui masa lampau, (3) Sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan (4)
Sejarah sebagai profesi.
Sejarah sebagai ilmu ditunjukkan dengan perkembangan ilmu sejarah berdasarkan
kebutuhan masyarakat akan informasi. Sejarah adalah bidang ilmu terbuka, maksudnya terbuka
bagi siapa saja yang ingin menulis sejarah entah itu wartawan, guru, politisi, sastrawan, dan
pendeta boleh saja menulis sejarah. Keterbukaan itu membua siapa pun dapat mengaku
sebagai sejarawan secara sah, asal hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagai ilmu. Salah
satu bentuk karakteristik sebuah ilmu adalah selalu mengalami perkembangan dari satu zaman
ke zaman. Sejarah telah membuktikan ia merupakan bagian dari itu. Hal ini dapat dilihat dari
perkembangan filsafat sejarah abad pertengahan didominasi oleh filsafat sejarah Kristen, maka
penulisan yang menonjolkan peran orang-orang suci juga tampak dalam perkembangan teori
sejarah dari beralihanya penulisan sejarah Neerlando-centrisme ke penulisan sejarah
Indonesia–centrisme sejak Indonesia merdeka 1945. Sehingga perlunya nasionalisme dalam
penulisan sejarah nasional dikedepankan bukan lagi peran Belanda yang mendominasi. Dalam
soal metode, Sejarah mempunyai metode (Heuristik, Kritik, Interpretasi dan Historiografi) dan itu
adalah salah satu syarat sebuah ilmu.
Sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau. Bangsa yang belum mengenal tulisan
mengandalkan mitos untuk mengetahui masa lampaunya, sedangkan bangsa yang sudah

7
mengenal tulisan tentunya mengandalkan sejarah untuk mengetahui masa lampaunya. Jika
sejarah tidak mengkajinya, masyarakat Sulawesi Selatan tentunya tidak akan pernah tahu jika
mereka punya seorang srikandi wanita cerdas (Colliq Pujie Arung Pancana) yang diakui oleh
Dunia berkat usahanya menerjemahkan sastra I Lagaligo (Karya sastra terpanjang di dunia).
Berkat sejarahlah masyarakat Sulawesi Selatan (khususnya masyarakat Bugis Makassar)
mengenal masa lalunya yang penuh dengan pesan-pesan yang sarat akan makna.
Sejarah sebagai pernyataan pendapat. Beberapa penulis sejarah terkadang menulis
sejarah untuk mencurahkan pendapatnya seperti apa yang dilakukan oleh Moh. Yamin dengan
tulisannya tentang Majapahit yang dianggapnya negara Nasional. Moh. Yamin tentunya punya
pandangan tersendiri terhadap Majapahit. Majapahit digunakan sebagai alat untuk
membangkitkan nasionalisme Indonesia yang pada saat itu sangat dibutuhkan mengingat gejala-
gejala disintegrasi sangat marak pada awal tahun 1950-an hingga 1960-an.
Sejarah sebagai profesi. Sejarah dijadikan sebuah profesi oleh sejarawan untuk
merekonstruksi masa lampau. Profesi kesejarahan ini sangat menjanjikan, selain karena
keuntungan finansial yang diperoleh juga keuntungan prestisius dikenal oleh orang banyak.
Terlebih jika sejarawan tersebut telah berada di level nasional, tentunya akan semakin
menjanjikan.

2. Guna Ekstrinsik
Guna ekstrinsik sejarah dapat dipilah menjadi berguna untuk pendidikan, ilmu bantu,
latar belakang, rujukan dan bukti. Pendidikan. Untuk guna sejarah bagi dunia pendidikan sendiri
dapat dibagi menjadi sejarah sebagai pendidikan moral, sejarah sebagai pendidikan penalaran,
sejarah sebagai pendidikan politik, sejarah sebagai pendidikan kebijakan. Sejarah berguna
memberikan pelajaran sejarah bagi generasi. Pergerakan Nasional banyak memberi contoh
tentang benar dan salah, baik dan buruk, cinta dan benci, berhak dan tidak, serta merdeka dan
terjajah. Semua itu memberikan pendidikan mental seperti berani dan takut yang dimana terkait
dengan pendidikan moral. Dengan belajar sejarah pandangan seseorang paling tidak bisa lebih
terbuka, tidak memandang hanya dari satu sisi saja, nalar akan sangat berguna disini. Jadi
dengan nalar sejarah, peristiwa tidak dilihat dari satu dimensi saja tetapi dapat dilihat dari
berbagai dimensi.

8
Dalam bidang politik ternyata sejarah sangat berguna. Kita bisa mengamati kekurangan
dan kelebihan pemerintahan Soekarno dan pemerintahan Soeharto untuk menata pemerintahan
dan kehidupan perpolitikan Indonesia dimasa akan datang. Sekarang Cina mulai tampil sebagai
salah satu kekuatan ekonomi yang disegani oleh Eropa dan Amerika. sebelum Cina ada Jepang
yang dikenal sebagai bangsa sangat tangguh dan ulet serta disiplin sehingga bisa menjadi
negara maju hingga sekarang. Sejak Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh tentara Sekutu pada
perang Dunia II (1939-1945), Jepang mengalami kehancuran, akan tetapi dengan
ketangguhannya mereka mampu bangkit bahkan menempatkan negaranya menjadi sebuah
negara yang sangat maju khususnya dalam bidang tekhnologi. Dua negara di atas paling tidak
bisa menjadi contoh bagi bangsa Indonesia untuk membangun negerinya.
Sejarah sebagai Ilmu Bantu. Dengan the ultimate interdicipliner yaitu ilmu saling
memasuki telah memantapkan sejarah sebagai ilmu pendukung ilmu-ilmu lain. Sosiologi tentu
tidak bisa lepas dari ilmu sejarah, begitupun antropologi, dan ilmu-ilmu lain. Mereka yang belajar
tentang perubahan sosial yang terjadi di Makassar tentunya harus mengetahu sejarah makassar
terlebih dahulu agar penelitian tentang perubahan sosial di Makassar dapat secara utuh.
Penelitian Antropologi tentang komunitas asing To Balo di Barru tidaklah utuh jika tidak
mengetahui latar belakang sejarah tentang komunitas tersebut. Ilmu ekonomi, ilmu kesehatan
bahkan ilmu eksakta membutuhkan sejarah sebagai ilmu bantu sehingga interdisipliner Ilmu
tidak terelakkan karena masing-masing ilmu saling membutuhkan satu sama lain, tidaklah berdiri
sendiri.
Sejarah sebagai latar belakang. Tokoh, peristiwa, dan suasana sejarah dapat menjadi
latar belakang kesenian. Film “The Last Samurai”tidak mungkin bisa sukses jika sutradaranya
tidak membaca sejarah Jepang pada abad ke 16, 17, dan 18. Di Indonesia, Abdul Muis tidak
mungkin menulis novel tentang Robert, Anak Surapati, tanpa mengetahui sejarah Untung
Surapati. Y.B. Mangunwijaya tidak akan menulis tentang Roro Mendut dan Lusi Lindri tanpa
membaca sejarah Mataram. Bahkan Arifin C. Noer tidak mungkin membuat film Gerakan 30
September 1965 jika tidak membaca sejarah Pemberontakan G-30-S tersebut.
Sejarah sebagai rujukan. Terkadang seseorang, komunitas atau suatu bangsa seringkali
menjadikan sejarah sebagai rujukan. Sejarah kemudian dijadikan sebagai referensi oleh mereka
untuk mendukung segala tindakannya. Seperti apa yang dilakukan oleh Sultan
Hamengkubowono IX selalu menyebut nama Sultan Agung dan Pangeran Diponegoro sebagai
pemberi semangat. Politik adu domba Van Mook dengan mendirikan negara-negera federal,

9
seperti negara pasundan, negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur tidak lepas dari
referensi sejarah yang ia baca tentang cara menaklukkan raja-raja di Nusantara dulu. Itu juga ia
ingin lakukan untuk mengembalikan Indonesia ke tangan pemerintah Belanda.
Sejarah sebagai bukti. Sejarah adalah bukti bahwa kita merupakan bagian dari masa
lalu. Tetapi terkadang bukti menjadikan dua kelompok berselisih dan berbeda pendapat. Jadi
sejarah adalah dialog yang tidak berkesudahan antara sejarawan dengan masa lalunya. Hal ini
wajar karena sejarah sebagai bukti/ sumber sejarah itu bisa ditafsirkan berbeda. Sebagai contoh
sejarah tentang pendudukan Jepang. Jepang berpendapat bahwa pendudukan itu baik,
sebaliknya Cina berpendapat bahwa pendudukan itu buruk. Celakanya, kedua-duanya memakai
sejarah sebagai bukti. Yang tidak banyak menimbulkan perbedaan antara Jepang dengan bekas
jajahannya ialah penggunaan wanita penghibur oleh para serdadu Jepang pada PD II
(Kuntowijoyo, 2005:37).
Berkaitan dengan guna ekstrinsik tersebut, Nugroho Notosusanto menjelaskan ada 4
(empat) fungsi atau guna sejarah yakni: fungsi rekreatif, inspiratif, instruktif dan edukatif. Fungsi
rekreatif, tidak jauh berbeda dengan guna ekstrinsik, sejarah sebagai pendidikan keindahan,
sebagai pesona perlawatan. Hanya pada fungsi rekreatif ini Nugroho Notosusanto menekankan
pada upaya untuk menambahkan rasa senang untuk belajar dan menulis sejarah. Kalau yang
dipelajari terkait dengan sejarah naratif dan isi kisahnya mengandung hal-hal yang terkait
dengan keindahan,dengan romantisme, maka akan melahirkan kesenangan estetis tanpa
beranjak dari tempat duduk seseorang yang mempelajari sejarah dapat menikmati bagaimana
kondisi pada saat itu. Jadi seolah-olah seseorang tadi sedang berekreasi ke sussana masa lalu.
Fungsi inspiratif, David C. Gordon, seperti dikutip oleh Nugroho Notosusanto
menerangkan bahwa fungsi inspiratif ini terkait dengan suatu proses untuk memperkuat identitas
dan mempertinggi dedikasi sebagai suatu bangsa. Dengan menghayati berbagai peristiwa dan
kisah-kisah kepahlawanan memperhatikan karya-karya besar dari para tokoh, akan memberikan
kebanggaan dan makna yang begitu dalam bagi generasi muda. Oleh karena itu, dengan
mempelajari sejarah akan dapat mengembangkan inspirasi, imajinasi dan kreativitas generasi
yang hidup sekarang dalam rangka hidup berbangsa dan bernegara. Fungsi inspirasi juga dapat
dikaitkan dengan sejarah sebagai pendidikan moral. Sebab setelah belajar sejarah, seseorang
dapat mengembangkan inspirasi dan berdasarkan keyakinannya dapat menerima atau menolak
pelajaran yang terkandung dalam peristiwa sejarah yang dimaksud. Kaitannya dengan fungsi

10
inspiratif, C.P Hiil juga menambahkan bahwa belajar sejarah dapat menumbuhkan rasa ingin
tahu terhadap perjuangan dan pemikiran serta karya-karya tokoh pendahulu.
Fungsi Instruktif, maksud dan fungsi instruktif ini adalah sejarah sebagai alat bantu
dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini sejarah dapat berperan dalam upaya penyampaian
pengetahuan dan keterampilan kepada subjek belajar. Fungsi tersebut sebenarnya banyak
didapatkan, tetapi nampaknya kurang dirasakan atau kurang disadari karena umumnya
terintegrasi dalam bahan pelajaran teknis yang bersangkutan. Misalnya pembelajaran tentang
navigasi, teknologi senjata, taktik militer, jurnalistik, PMP, kewarganegaraan dan lain-lain. Bicara
soal navigasi zaman dahulu sudah ada kegiatan pelayaran dan perdagangan. Sebagai ilustrasi,
seandainya akan membahas soal navigasi, maka kita dapat diperjelas dan ditambah
wawasannya dengan mempelajari sejarah penjelajahan samudera, dibicarakan pelayaran orang-
orang Barat yang akhirnya menemukan Kepulauan Indonesia.
Fungsi Edukatif, kaitannya dengan fungsi ini Sir Charles Firth bahwa belajar sejarah
sebenarnya dapat dijadikan pelajaran dalam kehidupan keseharian bagi setiap manusia. Sejarah
juga mengajarkan tentang contoh yang sudah terjadi agar seseorang menjadi arif, sebagai
petunjuk dalam berprilaku. Hisrtoies make men wise (sejarah membuat manusia bijaksana).
Sejarah kita tidak berulang, dalam pendangan Sartono Kartodirjo sekalipun sejarh itu tidak
berulang, tetapi ada pola-pola atau kecenderungan yang dapat diperhatikan dan di dijadikan
pelajaran. Ibnu Khaldum menjelaskan bahwa kejadian-kejadian yang lewat akan mirip dengan
kejadian-kejadian dimasa sekarang atau yang akan datang. Jadi sejarah memang tidak
berulang, tetapi mungkin pola dan model atau persolan pokoknya bisa muncul kembali minimal
ada kemiripan atau pola-polanya sama.

11
Soal Latihan

1. a. Kemukakan secara terperinci mengenai asal usul istilah sejarah?


b. Kemukakan minimal 3 pengertian sejarah menurut para ahli?
2. a. Jelaskan pentingnya kedudukan dalam menulis suatu peristiwa sejarah?
b. Dalam sejarah di kenal fakta keras dan fakta lunak. Jelaskan!
3. Jelaskan unsur-unsur penting yang terdapat dalam sejarah?
4. Jelaskan kegunaan mempelajari sejarah dan mengapa sejarah itu dianggap penting?
5. Jelaskan fungsi sejarah menurut Nugroho Notosusanto?

12
BAB II

SEJARAH SEBAGAI PERISTIWA, KISAH, ILMU DAN SENI

A. Sejarah sebagai Peristiwa


Sejarah dapat dipahami dari 2 (dua) aspek, yaitu: (1) Sejarah sebagai suatu peristiwa
atau realitas (I’histoir realite) karena peristiwa sejarah atau kejadian sejarah itu benar-benar ada
dan terjadi pada masa lampau. (2) Sejarah sebagai kisah sejarah (L’histoir recite). Dalam
pengertian ini sejarah dipandang sebagai kisah dari peristiwa-peristiwa masa lampau. Sartono
Kartodirdjo, membagi sejarah menjadi dua, yaitu: (1) Sejarah dalam arti objektif merupakan
kejadian atau peristiwa sejarah yang tidak dapat terulang lagi. (2) Sejarah dalam arti subjektif
adalah suatu kontruksi (bangunan) yang disusun oleh penulis sebagai suatu uraian cerita
(kisah). Kisah tersebut merupakan suatu kesatuan rangkaian dari fakta-fakta yang saling
berkaitan.
Tidak semua peristiwa yang terjadi pada masa lampau digolongkan sebagai suatu
peristiwa sejarah. Peristiwa yang dapat digolongkan sebagai suatu peristiwa sejarah memiliki
ciri-ciri yakni: (1) Peristiwa tersebut Unik, Peristiwa sejarah merupakan suatu peristiwa yang
unik, sebab hanya sekali terjadi atau dalam bahasa Jerman disebut dengan einmaligh. (2)
Peristiwa Tersebut Besar Pengaruhnya, Peristiwa atau kejadian pada masa lampau mempunyai
pengaruh yang besar pada masanya atau pada masa-masa selanjutnya. Contoh, peristiwa
pembacaan proklamasi kemerdekaan, sumpah pemuda.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau tentunya ada yang penting untuk
dibahas, ada pula yang tidak. Sebuah peristiwa disebut penting bila kemudian peristiwa itu
cukup berpengaruh terhadap masa selanjutnya. Bisa saja peristiwa penting tersebut pada waktu
kejadiannya tidaklah begitu penting, namun setelah peristiwa tersebut berlalu barulah dirasakan
pengaruhnya terhadap kehidupan dimasa berikutnya. Berkenaan dengan konsep sejarah
sebagai peristiwa maka kita akan membicarakan tentang kejadian, kenyataan, aktualitas yang
telah terjadi atau berlangsung pada masa yang lampau.

B. Sejarah sebagai Kisah


Membicarakan sejarah sebagai kisah berarti berbicara sejarah sebagai sebuah cerita
dalam berbagai bentuk, baik narasi maupun tafsiran dari suatu peristiwa sejarah. Kisah itupun
dapat berupa tulisan atau lisan. Secara tulisan, kisah sejarah ini dapat dilihat dalam bentuk

13
tertulis seperti pada buku, majalah atau surat kabar. Secara lisan, kisah dapat diambil dari
ceramah, percakapan atau pelajaran di sekolah. Sejarah merupakan suatu kisah yang
diceritakan dalam berbagai bentuk, baik narasi maupun tafsiran dari suatu kejadian. Oleh karena
sejarah di sini bersifat kisah atau cerita, maka isi kisahnya pun berbeda bergantung kepada
siapa yang menyampaikannya, kepentingan, serta latar belakang si penyampai kisah yang
bersangkutan. Kisah yang dituturkan berbeda karena setiap orang akan memberikan tafsiran
yang berbeda tentang peristiwa yang dilihatnya. Dengan demikian, akan cukup bijaksana apabila
sejarah dikisahkan itu disertai pula oleh uraian mengenai sifat-sifat orang yang menyampaikan
sejarah.
Contoh sejarah sebagai kisah adalah kisah mengenai Sultan Iskandar Muda dalam
Hikayat Aceh. Dalam hikayat ini diceritakan cukup detail mengenai masa kecil Iskandar Muda
hingga ia memerintah Kerajaan Aceh dengan cukup bijaksana. Di sini kita melihat sosok positif
dari sultan tersebut karena yang menulis hikayat pun adalah orang dalam Aceh. Dengan
demikian sejarah sebagai kisah subjektif sifatnya. Contoh lain adalah kitab-kitab yang ditulis oleh
para pujangga istana di Jawa seperti Negarakretagama, Pararaton, Kidung Sundayana, Carita
Parahyangan, dan lain-lain.

C. Sejarah sebagai Ilmu


Sejarah sebagai ilmu baru lahir pada awal abad XX. Pada waktu itu tengah terjadi
perdebatan ilmiah di antara ilmuwan tentang sejarah. Perdebatan ini terjadi di Jerman pertama
kali, melibatkan para ahli filsafat dan sejarawan. Masalah yang diperdebatkan adalah apakah
sejarah dapat digolongkan sebagai cabang ilmu pengetahuan atau merupakan sebuah seni. Ilmu
sejarah sendiri sudah mulai berkembang pada abad ke-19, seiring dengan perkembangan ilmu
dan sains yang lainnya. Pengetahuan sejarah ini mencakup kondisi atau situasi manusia pada
suatu masa yang hidup dalam jenjang sosial tertentu. Ilmu sejarah berusaha mencari hukum-
hukum yang mengendalikan manusia dan kehidupannya dan juga mencari penyebab timbulnya
perubahan-perubahan dalam kehidupan manusia.
Sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan hendaknya dibahas dan dibuktikan secara
keilmuan (ilmiah). Untuk membuktikan keilmiahannya, dalam menganalisis sejarah seyogyanya
digunakan berbagai standar dan metode-metode ilmiah. Dengan demikian, kesahihan penelitian
sejarah dapat dipertanggung-jawabkan secara moral dan keilmuwan. Oleh karena itu, ketika

14
akan mempelajari sebuah objek sejarah maka harus dibuat metode ilmiah secara sistematis
dengan tujuan memperoleh kebenaran sejarah.
Sejarah sebagai ilmu adalah suatu susunan pengetahuan (abody of Knowledge) tentang
peristiwa dan cerita yang terjadi di masyarakat manusia pada masa lampau yang disusun secara
sistematis dan metodis berdasarkan asas-asas, prosedur dan metode serta teknik ilmiah yang
diakui oleh para pakar sejarah. Sejarah sebagai ilmu mempelajari sejarah sebagai aktualitas dan
mengadakan penelitian serta pengkajian tentang peristiwa dan cerita sejarah. Sejarah sebagai
ilmu juga menjelaskan pengetahuan tentang masa lalu yang berusaha menentukan dan
mewariskan pengetahuan mengenai masa lalu suatu masyarakat tertentu. Ada beberapa ciri
ketika sejarah dikategorikan sebagai ilmu:
(a) Empiris
Sejarah sangat berkaitan dengan pengalaman manusia. Pengalaman tersebut direkam
dalam dokumen dari peninggalan-peninggalan sejarah lainnya. Sumber-sumber tersebut
kemudian diteliti oleh para sejarawan untuk bisa dijadikan fakta. Fakta-fakta itulah yang
kemudian diinterpretasikan dan dilakukan penulisan sejarah.
(b) Memiliki Objek
Setiap ilmu pengetahuan tentunya harus memiliki tujuan dan objek materi atau sasaran
yang jelas dan memiliki perbedaan dengan dengan ilmu yang lain. Sebagai mana
umumnya ilmu-ilmu lain, yang menjadi objek dalam kajian sejarah adalah manusia dan
masyarakat pada kurun waktu tertentu.
(c) Memiliki Teori
Ilmu pengetahuan sosial pada umumnya memiliki teori-teori tertentu. Sejarah
mempunyai teori yang berisi yang berisi kaidah-kaidah pokok suatu ilmu. Seperti
misalnya teori yang dikemukakan oleh Arnold Toynbee mengenai teori Challenge and
Response.
(d) Memiliki Metode
Dalam rangka penelitian, sejarah mempunyai metode tersendiri dengan melakukan
pengamatan yang sistematis. Ini untuk menghindari suatu pernyataan tidak didukung
oleh bukti-bukti yang kuat maka pernyataan tersebut itu bisa ditolak. Dengan
menggunanan metode sejarah yang tepat seorang sejarawan bisa meminimalisir
kesalahan dan dapat membuat kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan.

15
D. Sejarah sebagai Seni
Sejarah sebagai seni, memerlukan: (1) Instuisi, Sejarawan memerlukan instuisi atau
ilham, yaitu pemahaman langsung dan insting selama masa penelitian berlangsung. Dalam hal
ini cara kerja sejarawan sama dengan seniman. (2) Imajinasi, dalam melakukan pekerjaannya
seorang sejarawan harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sedang
terjadi, dan apa yang terjadi seudah itu. Contohnya, Sejarah Makassar, harus membayangkan
keadaan geografis Kota Makassar. (3) Emosi, dalam penulisan sejarah harus ada keterlibatan
emosi, dalam hal ini penulis sejarah harus mempunyai empati yang tinggi (empatheia=perasaan)
untuk menyatukan perasaan dengan objeknya, seolah-olah mengalami sendiri. (4) Gaya
Bahasa, dalam penulisan sejarah gaya bahasa yang digunakan harus lugas atau tidak berbelit-
belit, sehingga kisah sejarah akan mudah dipahami oleh pembaca.

16
Soal Latihan

1. Tidak semua peristiwa yang terjadi pada masa lampau di katakan sebagai peristiwa
sejarah. Jelaskan mengapa demikian?
2. Jelaskan sejarah sebagai peristiwa, kisah, ilmu dan seni?
3. Berikan contoh sejarah sebagai peristiwa, kisah, ilmu dan seni!
4. Sebutkan ciri-ciri ketika sejarah di kategorikan sebagai ilmu?
5. Apa yang di maksud sejarah objektif dan sejarah subjektif !

17
BAB III
SUMBER SEJARAH

Sejarah dimulai dari cerita-cerita rakyat atau legenda yang mampu mengungkapkan
peristiwa pada masa lampau, walaupun penuh dengan berbagai mitos yang harus diteliti lebih
lanjut agar dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Masyarakat dahulu memang memberikan
informasi sejarah secara turun temurun dan mereka menganggap benar apa yang telah mereka
terima dari nenek moyangnya yang terpancar dari peninggalan-peninggalan di sekitar tempat
tinggalnya. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan kembali tidak mungkin dilakukan tanpa
sumber yang memadai, artinya sumber yang mendukung sehingga mampu mendekati
kebenaran suatu peristiwa sejarah.
Sumber sejarah adalah sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung
menyampaikan kepada kita tentang sesuatu kenyataan pada masa lalu. Suatu sumber sejarah
mungkin merupakan suatu hasil aktivitas manusia yang memberikan informasi tentang
kehidupan manusia. Menurut Moh. Ali, yang dimaksud sumber sejarah adalah segala sesuatu
yang berwujud dan tidak berwujud serta berguna bagi penelitian sejarah sejak zaman purba
sampai sekarang. Sementara Muh. Yamin mengatakan bahwa sumber sejarah adalah kumpulan
benda kebudayaan untuk membuktikan sejarah.
Bagi sejarawan, sumber sejarah ini merupakan alat, bukan tujuan akhir. Adanya sumber
sejarah merupakan bukti dan fakta adanya kenyataan sejarah. Dengan sumber sejarah inilah,
sejarawan dapat mengetahui kenyataan sejarah. Tanpa adanya sumber, sejarawan tidak akan
bisa berbicara apa-apa tentang masa lalu; begitu pula tanpa sentuhan sejarawan, sumber
sejarah pun belum bisa banyak bicara apa-apa. Sumber sejarah sendiri bukanlah sejarah.
Sejarah itu ada karena konstruksi dari sejarawan terhadap sumber sejarah.
Dilihat dari sifatnya, sumber sejarah dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk yaitu
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dapat berupa orang yang langsung
menyaksikan kejadian suatu peristiwa atau catatan yang dibuat pada zamannya dengan bentuk
tulisan, isi, dan bahan yang sezaman. Tetapi apabila orang yang tidak langsung menyaksikan
suatu peristiwa tetapi ia mengetahuinya, maka termasuk sumber sekunder. Sumber sekunder
dalam bentuk tertulis dapat berupa catatan tertulis yang bentuk tulisan dan bahannya tidak
sezaman. Apabila dilihat dari bentuknya, maka terdapat sumber tertulis, sumber lisan, dan
sumber dalam wujud benda fisik atau artefak.

18
1. Sumber tertulis
Sumber tertulis adalah sumber sejarah yang diperoleh melalui peninggalan-peninggalan
tertulis, catatan peristiwa yang terjadi di masa lampau, misalnya prasasti, dokumen, naskah,
piagam, babad, surat kabar, tambo (catatan tahunan dari Cina), dan rekaman. Sumber tertulis
dibedakan menjadi dua, yaitu sumber primer (dokumen) dan sumber sekunder (buku
perpustakaan).Biasanya sumber tertulis dapat memberikan informasi aspek-aspek yang akan
kita teliti, misalnya aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain. Dilihat dari segi
bentuknya, sumber tertulis dapat berbentuk tulisan yang tercetak dan tulisan yang masih ditulis
tangan atau manuskrip. Ada beberapa contoh sumber tertulis yang dapat dijadikan sumber
penelitian sejarah, yaitu sebagai berikut:

a. Laporan-laporan
Laporan-laporan dapat berupa laporan yang dibuat oleh lembaga pemerintah atau
lembaga non pemerintah. Pembuatan laporan biasanya dilakukan per tahun. Jadi, kita bisa
menggunakan laporan tahunan. Pada lembaga-lembaga pemerintah, biasanya suka dibuat
laporan tahunan. Sedangkan laporan non pemerintah misalnya laporan perusahaan. Dengan
adanya laporan tahunan perusahaan kita akan mengetahui bagaimana perkembangan
perusahaan dalam periode tertentu.

b. Notulen rapat
Notulen rapat adalah catatan-catatan yang berisi tentang hal-hal yang menjadi materi
penting dalam pembicaraan rapat. Catatan dibuat biasanya oleh salah seorang yang ditunjuk
atau ditugaskan untuk menjadi pencatat atau sekretaris. Notulen rapat memberikan informasi
yang berharga dalam penelitian sejarah, apalagi bila notulen rapat yang kita temukan itu masih
dalam bentuk tulisan tangan si petugas penulis. Apabila kita menemukan bentuk notulen rapat
yang demikian, maka itu termasuk sumber primer. Dalam notulen rapat, biasanya terdapat
materi penting yang menjadi bahasan rapat.

c. Surat-surat
Surat-surat dapat menjadi sumber sejarah baik surat-surat pribadi maupun surat-surat
resmi yang dibuat oleh pemerintah. Dalam surat kita bisa melihat tanggal, ditujukan kepada
siapa, dari siapa (pembuat), dan isi dari surat itu. Isi surat ini akan memberikan suatu informasi
penting apa yang terjadi pada saat itu. Surat biasanya dapat berupa tulisan yang singkat, dapat

19
pula surat yang panjang dan ada lampirannya. Baik surat yang pendek maupun surat yang
panjang merupakan sesuatu yang berharga dalam penelitian sejarah. Apabila kita menemukan
surat yang ada lampirannya, maka kita kemungkinan akan menemukan banyak data atau
informasi yang kita butuhkan dalam penelitian.

d. Surat kabar
Dalam surat kabar biasanya banyak berita yang memuat tentang hal- hal yang terjadi di
masyarakat. Berita-berita tersebut merupakan sumber yang berharga bagi peneliti sejarah.
Peneliti sejarah dapat menyeleksi bagian mana dari berita itu yang dapat dijadikan sumber bagi
penelitiannya. Sumber tertulis ini yang banyak merekam atau mencatat kejadian- kejadian
sehari-hari yang terjadi di masyarakat. Berita yang dimuat dalam surat kabar sangat beragam,
ada berita ekonomi, politik, sosial dan budaya. Bagi peneliti sejarah, berita-berita tersebut dapat
dijadikan sebagai sumber bahan penelitianya. Sumber yang digunakan tergantung pada tema
penelitian yang ditelitinya. Berita dari yang disajikan oleh surat kabar yang satu dengan yang
lainnya, kemungkinan akan menunjukkan suatu analisis yang beragam. Perbedaan ini
disebabkan oleh kepentingan dari masing-masing penerbit surat kabar. Setiap surat kabar
memiliki kepentingan atau misi untuk membentuk opini atau pendapat masyarakat. Surat kabar
yang diterbitkan oleh pemerintah dan nonpemerintah tentu akan memiliki perbedaan dalam
menilai suatu peristiwa.

e. Catatan pribadi
Catatan pribadi adalah catatan yang dibuat oleh seorang individu yang menceritakan
pengalamannya yang ia pandang penting untuk dicatat. Biasanya ada orang-orang tertentu yang
memiliki kebiasaan untuk menulis pengalamannya. Bahkan yang ia catat bukan sekedar apa
yang terjadi pada dirinya, tetapi mungkin mencatat pengalaman orang lain yang ia lihat. Catatan
pribadi ini dapat memberikan informasi yang mungkin saja tidak terdapat pada laporan-laporan
resmi, misalnya laporan resmi pemerintah. Ada pula dari catatan-catatan pribadi ini yang
kemudian disusun oleh si pemilik catatan tersebut menjadi sebuah autobiografi atau memoar.

2. Sumber Lisan
Sumber lisan merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara metode
sejarah lisan. Sejarah lisan adalah satu dari sumber sejarah yang ada pada ingatan pelaku dan
atau penyaksi suatu peristiwa sejarah, yang terjadi pada zamannya, kemudian diungkapkan

20
secara lisan oleh pelaku dan penyaksi sejarah itu sendiri. Si Pelisan atau sumber lisan
bertanggung jawab atas kebenaran kejadian yang dikisahkannya, sehingga informasi lisannya
itu dapat dipergunakan sebagai sumber dalam penulisan sejarah.
Sumber lisan berfungsi sebagai pelengkap sumber tertulis belum memadai. Sumber
lisan memiliki keterbatasan-keterbatasan dibandingkan dengan sumber tertulis. Keterbatasan
sumber lisan disebabkan oleh faktor manusia sebagai sumber. Kemungkinan kita kehilangan
sumber lisan apabila orang yang kita cari telah meninggal. Dengan demikian, kita akan memburu
dengan faktor umur yang dimiliki oleh orang yang akan kita wawancarai. Daya ingat yang
dimiliki, oleh manusia sangat terbatas. Hal ini dapat menjadi keterbatasan dalam sumber lisan.
Semakin jauh jarak antara peristiwa yang dialami oleh seorang tokoh yang kita wawancarai
kemungkinan besar orang tersebut semakin lupa. Keterbatasan memori yang dimiliki oleh tokoh
yang kita wawancarai akan membuat sumber inforamsi yang kita butuhkan menjadi kurang
akurat. Cara yang dilakukan untuk memperoleh sumber lisan, yaitu dengan melakukan
wawancara. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu kita harus memiliki persiapan yang
matang.

3. Sumber benda
Sumber benda adalah sumber sejarah yang diperoleh dari peninggalan benda- benda
kebudayaan. Sumber benda disebut juga sebagai sumber korporal, yaitu benda-benda
peninggalan masa lampau, misalnya, alat-alat atau benda budaya, seperti kapak, gerabah,
perhiasan, manik-manik, candi, dan patung.

4. Sumber Rekaman
Sumber rekaman dapat berupa rekaman kaset audio dan rekaman kaset video. Banyak
peristiwa sejarah yang dapat terekam, misalnya Masa Pendudukan Jepang, Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Perang Kemerdekaan dan sebagainya. Sumber-sumber sejarah
tersebut belum tentu seluruhnya dapat menginformasikan kebenaran secara pasti. Oleh karena
itu,sumber sejarah tersebut perlu diteliti, dikaji, dianalisis, dan ditafsirkan dengan cermat oleh
para ahli.
Untuk mengungkap sumber-sumber sejarah di atas diperlukan berbagai ilmu bantu,
seperti: (1) epigrafi, yaitu ilmu yang mempelajari tulisan kuno/ prasasti; (2) arkeologi, yaitu ilmu
yang mempelajari benda/peninggalan kuno; (3) ikonografi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang
patung; (4) numismatik, yaitu ilmu yang mempelajari tentang mata uang; (5) ceramologi, yaitu

21
ilmu yang mempelajari tentang keramik; (6) geologi, yaitu ilmu yang mempelajari bumi; (7)
antropologi, yaitu ilmu yang mempelajari asal-usul kejadian serta perkembangan makhluk
manusia dan kebudayaannya; (8) paleontologi, yaitu ilmu yang mempelajari sisa makhluk hidup
yang sudah membatu; (9) paleoantropologi, yaitu ilmu yang mempelajari bentuk manusia yang
paling sederhana hingga sekarang; (10) sosiologi, yaitu ilmu yang mempelajari sifat keadaan
dan pertumbuhan masyarakat; (11) filologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang bahasa,
kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat di bahan-bahan tertulis.

22
Soal Latihan

1. Jelaskan apa yang di maksud sumber sejarah!


2. Sebutkan 2 sumber sejarah menurut sifatnya!
3. Jelaskan apa yang di maksud sumber lisan dan sumber tertulis, dan berikan contohnya!
4. Sebutkan dan jelaskan 4 sumber sejarah di lihat dari bentuknya!
5. Sebutkan 4 dari 11 ilmu bantu sejarah dan kemukakan maksud dan tujuannya!

23
BAB IV

METODE PENELITIAN SEJARAH DAN GENERALISASI SEJARAH

A. Metode Sejarah

Metode sejarah dapat diartikan sebagai cara atau prosedur yang sistematis dalam
merekonstruksi masa lampau. Istilah metode dalam arti metode sejarah hendaknya diartikan
yang lebih luas, tidak hanya pelajaran mengenai analisa kritis saja, melainkan juga meliputi
usaha sintesa daripada data yang ada sehingga menjadi penyajian dan kisah sejarah yang
dapat dipercaya. Metode sejarah bertujuan memastikan dan mengatakan kembali fakta masa
lampau. Gejala-gejala sosial dan kebudayaan merupakan lapangan kerja dari metode itu.
Terdapat empat langkah metode sejarah yang wajib hukumnya dilaksanakan oleh sejarawan
dalam menulis karya sejarah. Empat langkah tersebut ialah:

1. Heuristik
Heuristik artinya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang terkait
dengan topik penelitian. Dapat juga di artikan sebagai kegiatan berupa penghimpunan jejak-jejak
masa lampau, yakni peninggalan sejarah atau sumber apa saja yang dapat dijadikan informasi
dalam pengertian studi sejarah. Langkah- langkah dalam menghimpun data sejarah:
a. Memilih subjek penulisan yang berdasarkan prinsip (dimana, siapa, bilamana, dan apa).
Pertanyaan tersebut berkenaan dengan aspek geografis, biografis, kronologis, fungsional
atau okupasional. Selanjutnya pertanyaan itu berfungsi untuk menentukan penting atau
tidaknya suatu peristiwa diteliti. Juga sebagai alat untuk menentukan hal-hal mana yang bisa
dijadikan “fakta sejarah”
b. Mencari informasi subjek berdasarkan macam sumber-sumber yang ada sumber tersebut
dapat di peroleh dari:
1. Rekaman sezaman yang terdiri dari instruksi atau perintah, rekaman stenografis dan
fonografis, surat niaga dan hukum, serta buku catatan pribadi.
2. Laporan konfidensial yang terdiri berita resmi militer dan diplomatik, jurnal atau buku
harian, dan surat-surat pribadi

24
3. Laporan-laporan umum yang terdiri dari laporan dan berita surat kabar, memoar
otobiografi, sejarah “resmi” suatu instansi, perusahaan dan sejenisnya.
4. Quesionaris tertulis;
5. Dokumen pemerintah dan kompilasi, terdiri dari risalah instansi pemerintah, undang-
undang dan peraturan;
6. Pernyataan opini, terdiri tajuk rencana, esei, pidato, brosur.
7. Fiksi, nyanyian, dan puisi;
8. Folklore, nama tempat, dan pepatah.
Delapan sumber informasi tersebut bukanlah sumber sejarah dalam arti sebenarnya.
Artinya ia hanya sebagai sarana untuk mencari keterangan tentang subjek. Sedangkan sumber
sejarah itu sendiri adalah hasil yang diperoleh dari pencarian informasi tersebut yang nantinya
digunakan dalam penulisan sejarah setelah melalui tahapan pengujian. Nugroho Notosusanto
telah mengklasifikasikannya ke dalam tiga bentuk yang sederhana yakni:
1. Sumber benda; menyangkut benda-benda arkeologis, efigrafi, numistik, dan benda
sejenis lainnya;
2. Sumber tertulis, terdiri dari buku-buku dan dokumen;
3. Sumber lisan, terdiri dari hasil wawancara dan tradisi lisan (oral tradition).
Ada beberapa teknik pengumpulan data yang dapat dipergunakan dalam metode se-
jarah, seperti: studi kepustakaan, pengamatan lapangan, wawancara (interview). Dapat pula
digunakan teknik lain seperti questionnaires, pendekatan tematis (topical approach) beserta
berbagai perangkat ilmu bantu lainnya, terutama digunakan terhadap topik yang mengarah ke-
pada studi kasus (case study).

2. Kritik
Hasil pengerjaan studi sejarah yang akademis atau kritis memerlukan fakta-fakta yang
telah teruji. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh melalui tahapan heuristik terlebih dahulu
harus dikritik atau disaring sehingga diperoleh fakta-fakta yang seobjektif mungkin. Kritik
tersebut berupa kritik tentang otentitasnya (kritik ekstern) maupun kredibilitas isinya (kritik
intern), dilakukan ketika dan sesudah pengumpulan data berlangsung. Sumber sejarah yang
telah dikritik menjadi data sejarah.
Kritik ekstern terhadap sumber lisan kalau memang menggunakan teknik wawancara
dilakukan terhadap para informan yang akan diwawancarai. Informan harus memiliki

25
kemampuan untuk memberikan keterangan yang sebenarnya. Hal itu dapat dilihat dari
keterlibatannya atas suatu peristiwa, serta tingkat keintelektualannya. Caranya antara lain
dengan jalan meminta keterangan kepada para informan tentang keterlibatan informan lainnya
atas peristiwa tersebut.
Kritik ekstern terhadap sumber tertulis perlu dilakukan agar tidak terperangkap kepada
dokumen palsu. Oleh karena itu perlu dipertanyakan tentang otentik atau tidak sejatinya suatu
sumber. Juga perlu diketahui tentang asli dan utuhnya sumber-sumber. Kalau sebuah dokumen
tidak lagi utuh atau cacat, seorang sejarawan harus mengadakan restorasi teks agar dokumen
tersebut kembali utuh dalam arti isi yang terkandung dapat diterima secara ilmiah. Untuk itu
diperlukan berbagai ilmu bantu sejarah yang dapat memberikan penjelasan yang logis atas
dokumen tersebut, seperti arkeologi, filologi, dan sebagainya.
Kritik intern terhadap sumber tertulis terutama dilakukan dengan jalan melihat
kompetensi, atau kehadiran pengarang terhadap waktu atau peristiwa. Kepentingan pengarang,
sikap berat sebelah serta motif pengarang, juga sangat perlu untuk diketahui guna menentukan
kredibilitas isi tulisan. Sedangkan terhadap sumber tertulis berupa dokumen, dilakukan dengan
melihat segi semantik, hermeneutik, dan pemahaman terhadap historical mindedness.
Data sejarah belum bisa dikatakan fakta sejarah. untuk menjadi fakta sejarah maka data
sejarah harus dikoroborasikan atau didukung oleh data sejarah lainnya. Dukungan tersebut akan
menghasilkan fakta sejarah yang mendekati kepastian atau hanya dugaan. Bisa saja satu data
sejarah menjadi fakta sejarah, selama tidak ada pertentangan di dalamnya, ini dinamakan
prinsip argumentum ex silentio.

3. Interpretasi
Interpretasi adalah proses pemaknaan fakta sejarah. Dalam interpretasi, terdapat dua
poin penting, yaitu sintesis (menyatukan) dan analisis (menguraikan). Fakta-fakta sejarah dapat
diuraikan dan disatukan sehingga mempunyai makna yang berkaitan satu dengan lainnya.
Fakta-fakta sejarah harus diinterpretasikan atau ditafsirkan agar sesuatu peristiwa dapat
direkonstruksikan dengan baik, yakni dengan jalan menyeleksi, menyusun, mengurangi tekanan,
dan menempatkan fakta dalam urutan kausal. Dengan demikian, tidak hanya pertanyaan
dimana, siapa, bilamana, dan apa yang perlu dijawab, tetapi juga yang berkenaan dengan kata
mengapa dan apa jadinya.

26
Perlu pula dikemukakan di sini, bahwa dalam tahapan interpretasi inilah subjektifitas
sejarawan bermula dan turut mewarnai tulisannya dan hal itu tak dapat dihindarkan. Walau
demikian, seorang sejarawan harus berusaha sedapat mungkin menekan subjektifitasnya dan
tahu posisi dirinya sehingga nantinya tidak membias ke dalam isi tulisannya.

4. Historiografi
Tahap kelima ini adalah tahap terakhir metode sejarah. Setelah sumber dikumpulkan
kemudian dikritik (seleksi) menjadi data dan kemudian dimaknai menjadi fakta, langkah terakhir
adalah menyusun semuanya menjadi satu tulisan utuh berbentuk narasi kronologis. Imajinasi
sejarawan bermain disini, tetapi tetap terbatas pada fakta-fakta sejarah yang ada. Semuanya
ditulis berdasarkan urut-urutan waktu.
Dalam historiografi modern (sejarah kritis), seorang sejarawan yang piawai tidak lagi
terpaku kepada bentuk penulisan yang naratif atau deskriptif, tetapi dengan multidimensionalnya
lebih mengarah kepada bentuk yang analitis karena dirasakan lebih scientific dan mempunyai
kemampuan memberi keterangan yang lebih unggul dibandingkan dengan apa yang ditampilkan
oleh sejarawan konvensional dengan sejarah naratifnya.

B. Generalisasi Sejarah
Generalisasi (bahasa latin generalis berarti umum) adalah pekerjaan penyimpulan dari
yang khusus kepada yang umum. Generalisasi yang tersedia dapat menjadi dasar penelitian bila
sifatnya sederhana, sudah dibuktikan oleh peneliti sebelumnya, dan merupakan accepted
history. Generalisasi itu dapat dipakai sebagai hipotesis diskriptif, yaitu sebagai dugaan
sementara. Biasanya itu hanya berupa generalisasi konseptual. Pemakaian generalisasi yang
bagaimanapun sederhananya harus dibatasi supaya sejarah tetap empiris. Generalisasi sejarah
yang sebenarnya adalah hasil penelitian. Akan tetapai sejarah adalah ilmu yang menekankan
keunikan, jadi semua penelitian tidak boleh hanya didasarkan pada asumsi umum. Generalisasi
atau simpulan memang sangat perlu dalam sejarah, sebab sejarah adalah ilmu. Generalisasi
bertujuan dua hal yakni:
1. Saintifikasi
Semua ilmu menarik kesimpulan umum. Dalam sejarah generalisasi sama dengan teori
bagi ilmu lain. Dalam antropologi kita kenal teori ebolusi. Dalam sejarah kita mengenal
generalisasi tentang perkembangan sebuah masyarakat. Kalau orang menggunakan istilah teori
untuk sejarah, maka yang dimaksud adalah generalisasi.

27
Generalisasi sejarah sering dipakai untuk mengecek teori yanglebih luas. Teori ditingkat
makro sering kali berbeda dengan generalisasi sejarah di tingkat mikro.
2. Simplifikasi
Simplifikasi diperlukan supaya sejarawan dapat melakukan analisis. Demikianlah, Madura
dapat disederhanakan sebagai daerah dengan ekologi tegal yang selalu mengalami kelangkaan
sumber. Penyederhanaan yang ditentukan lewat pembacaan itu akan menuntun sejarawan
dalam mencari data, melakukan kritik sumber, interpretasi dan penulisan.
Ada memang metode penelitian sosial yang menganjurkan supaya orang datang ke
lapangan dengan kepala kosong. Anjuran itu paling tepat bagi sejarwan. Akan tetapi, cepat atau
lambat, orang harus melakukan penyederhanaan supaya ia dapat menuliskan sesuatu.

Jenis Generalisasi dalam Sejarah Antara Lain:


1. Generalisasi Konseptual
Disebut dengan generalisasi konseptual karena berupa kosep yang menggambarkan fakta.
Konsep itu tidak harus diambil dari ilmu lain, sejarah juga punya hak untuk membuat konsep.
Konsep renaisans misalnya adalah konsep yang dibuat oleh sejarah untuk memberi simbol
kepada zaman kebangkitan kembali nilai-nilai kemanusiaan. Sejarawan dapat memberi nama
suatu bentuk negara dengan monarki absolute, monarki konstitusional, dan sebagainya.
Demikian juga pejuang atau pemberontak sejarwan Indonesia akan menyebut sebagai agresi
Belanda dan Belanda aksi polisionil untuk mengatakan peristiwa yang sama.
2. Generalisasi Personal
Dalam logika ada cara berpikir yang menyamakan bagian dengan keseluruhan apatu pars
prototo. Generalis asi personal juga berpikir seperti itu. Misalnya, kita berpikir seolah-olah
kemerdekaan Indonesia dengan Soekarno Hatta, dan Orde Baru dengan presiden Soeharto.
Tentu saja itu tidak telalu salah, hanya saja itu berarti kita meniadakan peran orang-orang lain.
3. Generalisasai Tematik
Biasanya judul buku sama dengan topic buku. Buku yang telah ditulis orang mengenai
Presiden Soeharto, O.G. Roeder, Anak Desa, yang melukiskan bahwa pada hakikatnya presiden
itu ialah anak desa. Biografi itu ternyata tidak jauh dari kenyataan, kalau kita lihat betapa akrab
presiden dengan orang kecil. Seolah-olah judul biografi itu membuaat kesimpulan umum tentang
psikologi Soeharto.

28
4. Generalisasi Spasial
Kita sering membuat generalisasi tentang tempat. Pikiran sehari-hari membuktikan hal itu.
Orang luar kota selalu membayangkan bahwa setiap hari orang Yogyakarta makan “kolak
kedelai” nama yang diberikan untuk tempe bacem. Demikianlah untuk Korea, Jepang, dan Cina
kita menyebutnya dengan Timur jauh atau Asia Timur, untuk sebagian besar Negara Arab, Turki,
dan Iran kita menyebutnya Asia Barat, Asia Selatan untuk India, Pakistan, dan Bangaladesh,
dan Asia Tenggara unguk Negara-negara ASEAN dan Filipina.
5. Generalisasi Periodik
Apabila membuat periodisasi, kita pasti membuat kesimpulan umum mengenai sebuah
periode. Penyebutan sebuah periode tentu saja tergantung jenis sejarah yang ditulis. Periodisasi
orang-orang Liberal lain dengan orang-orang Marxis. Demikian juga periodisasi sejarahpolitik
depat berbeda dengan periodisasi sejarah sosial.
6. Generalisasi Sosial
Bila kita melukiskan suatu kelompok sosial dalam pikiran kita sudah timbul generalisasi.
Sejarah adalah ilmu yang sekaligus melakukan generalisasi dan spesifikasi. Diharapkan tulisan
sejarawan akan berimbang.
7. Generalisasi Kausal
Bila kita membuat generalisasi tentang sebab musabab kesinambungan, perkembangan,
pengulangan, dan perubahan sejarah, langkah itu disebut generalisasi kausal. Tidak lepas dari
gneralisasi kausal adalah keuarga, desa, satuan diatas desa, Negara, masyarakat, budaya dan
sejarah.
Bila orang memastikan hanya satu saja yang menyebabkan, itu disebut determinisme.
Determinisme yang selalu bersifat filosofis itu ada dua yaitu idealism dan materialism. Pada
idealism yang menggerakkan sejarah ialah ide, sedangkan materialism menganggap bahwa
materilah yang menggerakkan sejarah.
Yang terakhir itu sering disebut dengan materialisme historis atau Deteminisme ekonomis.
Determinisme itu belaku secara apriori, sebelum mengetahui. Persoalan bagi segala macam
determinisme ialah apakah gerakan-gerakan dalam sejarah itu mekanistis, jadi bergerak dengan
sendirinya seperti mesin, ataukah ada campur tangan manusia. Generalisasi sejarah selalu
bersifat aposteriori, sesuatu sesudah pengamatan.

29
8. Generalisasi Kultural
Para pelaku sejarah sendiri kadang-kadang melakukan generalisasi kultural. Apa yang
dikerjakan ulama dari Pekalongan, Kiai Rifai yang dibuang ke Ambon pada tahun 1859 ialah
generalisasi cultural. Ia menyusun kitab-kitabnya dengan syair bahasa pesisir. Kita dapat
menduga itu dikerjakannya juga sebagai simbol perlawanan terhadap patrimonialisme dan
kolonialisme. Perlawanan terhadap patrimonialisme karena di Kejawan ajaran Islam selalu ditulis
dalam tembang dan perlawanan terhadap rupa penolakan terhadap penghulu yang diangkat
oleh pemerintah.
Kita dapat melakukan penelitian sejarah berdasar atas generalisasi cultural daerah hukum
adat yang dibuat oleh Van Vollenhoven dan Ter Haar. Daerah hukum adat yang mirip dengan
konsep cultural area dapat kita jadikan wilayah natural untuk sejarah agrarian atau sejarah politik
di tingkat local.
9. Generalisasi Sestemik
Kita sering membuat kesimpulan umum tentang adanya suatu system dalam sejarah.
Dalam sejarah ekonomi, hubungan antara Afrika, Amerika, dan Eropa sebelum peranga Saudara
dapat digambarkan sebagai sebuah system. Afrika mengirim tenaga ke Amerika, Amerika
mengirim bahan mentah ke Eropa, dan Eropa (Inggris) mengirim barang jadi tekstil ke Afrika.
Kita juga meligat jalan sutra dari Tiongkok ke Eropa pada zaman kuno, satu melalui darat lewat
Asia Tengah dan yang lain lewat laut Indonesia. Orang jawa juga mengekspor beras ke
Indonesia Timur . kita juga tahu perdagangan lada dari Indonesia sampai Eropa.
10. Generalisasi Struktural
Kita sering heran, mengapa orang asing lebih peka daripada kita sendiri, mengenai orang
Indonesia. Ternyata orang asing itu telah mempelajari susunan kita, mereka telah membuat
generalisasi structural tentang orang Indonesia.

30
Soal Latihan

1. Kemukakan apa yang di maksud dengan metode sejarah !


2. Sebutkan dan jelaskan 4 langkah metode sejarah yang wajib di laksanakan oleh
sejarawan dalam menulis karya sejarah !
3. Jelaskan langkah-langkah dalam menghimpun data sejarah !
4. Sebutkan 3 bentuk teknik pengumpulan data dalam metode sejarah!
5. Jelaskan secara singkat Generalisasi dalam sejarah !

31
BAB V

SEJARAH DAN ILMU-ILMU SOSIAL

A. Hubungan sejarah dengan Ilmu Sosial


Sejarah sering dikatakan sebagai pengetahuan tentang kejadian yang dirangkai secara
kronologis, kualitas, dan imajinatif. Pada umumnya, peristiwa yang dikonstruksi bersifat
patriotism (kepahlawanan). Isi kisahnya lebih difokuskan pada tokoh-tokoh besar. Sementara
dimensi yang dominan dikaji ialah aspek politik dari suatu peristiwa. Oleh karena itu, hasil
konstruksinya hanyalah sebuah kronik panjang yang bertumpu pada rentetan peristiwa besar
dan peran tokoh besar terutama yang berkaitan dengan politik kekuasaan dan pemerintahan.
Konstruksi seperti itu tidak memberikan ruang bagi pengungkapan dimensi lain, selain
politik, dari kehidupan umat manusia (yang tidak hanya diperankan oleh seorang tokoh besar
(raja, kaisar, sultan, dan sebagainya) seutuhnya. Perkembangan sosial, ekonomi, budaya, dan
mentalitas tidak tercakup dalam konstruksi masa lalu. Bila mengacu pada konsep sejarah
sebagai segala sesuatu yang telah terjadi dan berkaitan dengan perkembangan masyarakat
manusia, maka orientasi rekonstruksi sejarah, yang sangat bernuansa politik sudah, juga
diperluas pada dimensi-dimensi lain dari sejarah kehidupan manusia.
Dalam kaitan itulah, penggunaan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial penting dalam studi
sejarah. Orientasi pengkajian sejarah seperti ini didukung oleh para sejarawan dan para filsuf
sejarah. Sebut saja D. Landes dan Ch. Tilly mengatakan bahwa banyak masalah sejarah baru
dapat dipecahkan dengan bantuan sosiologi dan demografi. Menurutnya, cara kerja tradisional
seorang peneliti sejarah sudah tidak memadai. Oleh karena itu, peneliti sejarah harus meminta
bantuan dari tori-teori ilmu sosial yang membuka jalan untuk menerangkan dan melukiskan
masa silam dengan cara yang lebih teliti. Selain itu sejarawan dapat menyediakan bahan guna
memperbaiki dan merinci teori-teori tersebut.
Sejarawan harus bertindak lebih sistematis. Kuantifikasi harus menggantikan intuisi
yang samar-samar. Tidak cukuplah mengatakan bahwa pada 1930 kondisi perkonomian
Indonesia mengalami kehancuran akibat depresi ekonomi dunia pada saat itu. Dengan tepat
harus ditetapkan berapa jumlah produksi komoditi yang tidak bisa memasuki pasaran dunia, dan
persentase yang tetap eksis dalam jaringan niaga. Singkatnya, pengkajian sejarah yang lunak
hendaknya diganti dengan angka-angka yang jelas (kuantifikasi). Pada 1972, sejarawan
amerika, L. Benson mengungkapkan harapannya dimasa mendatang semua sejarawan menjadi

32
yakin jika masa silam hanya dapat diteliti dengan penuh arti bila diminta bantuan dari ilmu-ilmu
sosial. Perkembangan ilmu sejarah Perang Dunia II (1939-1945) menunjukkan kecenderungan
kuat untuk mempergunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam kajian sejarah. Dasar
pemikirannya adalah bahwa:
Pertama, sejarah deskriptif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan
berbagai masalah atau gejala yang serba kompleks dalam peristiwa sejarah. Kedua, pendekatan
multidimensional yang bertumpu pada penggunaan konsep dan teori ilmu sosial paling tepat
untuk memahami gejala atau masalah yang kompleks. Ketiga, dengan bantuan teori-teori ilmu
sosial, yang menunjukkan hubungan antara berbagai faktor (inflasi, pendapatan nasional,
pengangguran dan sebagainya), maka pernyataan-pernyataan mengenai masalah silam dapat
dirinci, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Keempat, teori-teori dalam ilmu sosial biasanya berkaitan dengan struktur umum dalam
kenyataan sosio-historis. Oleh karena itu, teori-teori tersebut dapat digunakan untuk
menganalisis perubahan-perubahan yang mempunyai jangkauan luas. Bila teori-teori sosial itu
dapat diandalkan dan dipercaya, maka dengan menggunakan teori-teori itu pengkajian sejarah
juga dapat diandalkan seperti halnya ilmu-ilmu sosial yang terbukti kesahihan studinya. Dengan
cara ini, pengkajian sejarah yang dihasilkan tidak lagi dominan dengan subjektifivitas, yang
sering dialamatkan kepadanya.
Kelima, studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal informative tentang “apa”
,”siapa”,”kapan”,”di mana”,dan “bagaimana”, tetapi juga ingin melacak berbagai struktur
masyarakat (sosiologi,), pola kelakukan (antropologi), dan sebagainya. Studi yang menggunakan
pendekatan ini akan melahirkan karya sejarah yang semakin antopologis (anthropological
history) dan sejarah yang sosiologis (sosiologycal history).
Meskipun penggunaan ilmu-ilmu sosial sangat penting dalam penulisan sejarah, namun
terdapat pula kalangan yang justru sebaliknya atau kontra dengan cara berpikir semacam itu.
Pandangan mereka didasarkan pada beberapa pemikiran. Pertama, bahan sumbar sejarah
sering tidak lengkap, sehingga kurang memberi pegangan untuk menerapkan teori-teori dan
ilmu-ilmu sosial. Kedua, sering pendekatan sosio-historis dipersalahkan memotong kekayaan
historis, karena ia hanya menaruh minat pada segi-segi tertentu pada masa silam yang dapat
dikaji dengan bantuan ilmu-ilmu sosial. Alhasil, masa silam tidak dapat dipaparkan seutuhnya.
Ketiga, pengkajian tradisional lebih mampu menampilkan suatu pemandangan
mengenai masa silam dari pada suatu pendekatan sosio-ekonomis yang hanya membeberkan

33
angka-angka statistik. Dalam konteks ini maka pendekatan hermeneutika memang lebih berhasil
mengikiskan wajah masa lalu. Keempat, pendekatan terhadap masa silam yang menggunakan
teori-teori ilmu sosial hanya dapat digunakan sejauh dapat diandalkan. Kesahihan teori-teori
sosial sering disaksikan, sebab ia sering berpangkal pada pandangan-pandangan hidup,
ideologi-ideologi politik atau modern yang sedang berlaku.
Terlepas dari konteks pro dan kontra pengkajian sejarah menggunakan teori-teori ilmu
sosial, namun patut direnungkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini hampir
sudah sulit dibedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya. pendekatan inter-
disipliner kini sangat dominan mewarnai wacana perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah
sebagai salah satu bidang ilmu tidak seharusnya menarik diri dari fenomena tersebut, melainkan
harus mampu bermain ditengahnya, sehingga tidak dianggap himpunan pengetahuan tentang
masa lalu semata, tanpa bisa memberikan konstribusi bagi pembangunan kehidupan manusia,
sebagaimana visi sebuah ilmu pengetahuan. Mengacu pada pemikiran tersebut, selanjutnya di
kemukakan beberapa ilmu sosial dalam persinggungannya dengan sejarah. Kelima, displin yang
dijelaskan yaitu: ilmu politik, antropologi, sosiologi, ekonomi, dan psikologi.

B. Sejarah dan ilmu politik


Kajian sejarah ilmiah pada abad IXX yang dipelopori oleh Leopold van Ranke banyak
didominsi oleh aspek politik. Peristiwa heroik dan peran orang-orang besar, pergantian
kekuasaan, dan sebagainya dominan mewaranai kisah sejarah yang dihasilkan. Terlepas dari
sudut pandang yang berkembang saat itu, yang terpenting ialah bagaimana aspek politik
digunakan dalam merekonstruksi masa lalu.
Dominasi aspek politik dalam sejarah berkaitan dengan penggunaan sumber sejarah.
Bila sumber itu dikeluarkan atau berasal dari pemerintah, maka umumnya berupa laporan
kegiatan politik dan pemerintah. Catatan harian seorang raja, umumnya berkaitan dengan
kebijakan politik yang diambilnya dan masalah penguasaan wilayah juga dominan pada laporan
resmi kerajaan. Dengan kata lain, sumber sejarah yang demikian banyak member ruang dan
informasi yang berkaitan dengan perilaku politik orang-orang besar. Penggunaan sumber dan
konsep ilmu politik dapat menghasilkan karya sejarah politik dan sejarah pemikiran politik.

C. Sejarah dan Antropologi


Salah satu fokus kajian Antropologi ialah tentang kebudayaan. Dengan demikain, kajian
antropologi lazimnya mencakup berbagai dimensi kehidupan, sehingga antropologi itu sendiri

34
dapat diklasifikasikan berdasarkan cabang-cabang antropologi sosial, antropologi politik, dan
antropologi budya.
Titik temu antara antropologi Budaya dan Sejarah sangatlah jelas. Keduanya
mempelajari tentang manusia. Bila sejarah menggambarkan kehidupan menusia dan masyrakat
pada masa lampau, maka gambaran itu juga mencakup unsur-unsur kebudayaannya. Unsur-
unsur itu antara lain, kepercayaan, mata pencaharian, dan teknologi. Sejarawan dapat
merekonstruksinya dalam ruang dan waktu yang jelas unsur-unsur itu untuk mengetahui
perkembangan umat manusia. Unsur itu dapat dikonstruksi secara terpisah dan juga secara
keseluruhan. Hasil rekonstruksi yang memadu antara sejarah dan antropologi menghasilkan
karya sejarah kebudayaan.

D. Sejarah dan Sosiologi


Rekonstruksi peristiwa yang menggunakan pendekatan sosiologi didalamnya akan
terungkap segi-segi sosial dari peristiwa itu. Hasil konstruksinya dapat dikategorikan sebagai
sejarah sosial sebab, pembahasannya mencakup golongan sosial yang berperan, jenis
hubungan sosial, konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan dan status sosial,
dan sebagainya.
Penggunaan sosiologi dalam merekonstruksi sejarah bertujuan untuk memahami arti
subjektif dari perilaku sosial bukan semata-mata menyelidiki arti objektifnya. Dengan demikian,
pengkajian sejarah lebih mengarah pada pencarian arti dari tindakan individual berkenan dengan
peristiwa-peristiwa kolektif. Oleh Karena itu, dalam karya-karya historiografi sejarah sosial dapat
diidentikkan dengan sejarah gerakan sosial. Misalnya, gerakan petani, gerakan protes, gerakan
keagamaan, gerakan kebangsaan, dan gerakan aliran ideologi atau politik.

E. Sejarah dan Ekonomi


Fokus studi ekonomi adalah untung dan rugi dari aktifitas atau kontak dagang yang
dilakukan oleh manusia. Bila dikaitkan dengan sejarah, maka uraiannya mengacu pada konteks
perubahan naik dan trunnya harga dalam ruang dan wajtu tertentu. Banyak kebijakan
pemerintah kolonial di masa lalu yang dilandasi oleh kepentingan ekonomi. Misalnya, untuk
memahami sejarah perdagangan rempah-rempah di nusantara pada abad XVI hingga abad
XVIII, maka tidak dapat dipisahkan dari peran kongsi dagang Hindia Belanda Timur yakni
Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Dalam memperoleh rempah-rempah, VOC tampil
secara dominator yang mengeliminasi kelompok usaha lain pada masanya.

35
Dominasi maskapai pelayanan belanda Koninkjlijke Pakervaart Maatchappij (KPM)
dalam pelayaran Nusantara dimotivasi oleh semangat menghimpun keuntungan sebanyak
mungkin dari kegiatan pelayaran. Pemberian hak-hak istimewa terhadap KPM oleh pemerintah
belanda, seperti hak muat pertama disetiap pelabuhan di Nusantara secara langsung
mempersempit ruang gerak pelayaran lainnya, termasuk pelayaran pribumi dalam memperoleh
muatan.
Mobilisasi penduduk dimasa depan (1942-1945) bertujuan untuk menyediakan tenaga
kerja (romusha) dalam rangka pengadaan sejumlah kebutuhan pokok (terutama beras)
pemerintah militer jepang dalam menghadapi perang asia timur raya. Nasionalisasi perusahaan
milik asing (belanda) pada 1950-an bertujuan untuk mengambil alih aset belanda yang ada di
Indonesia.
Kebijakan-kebijakan tersebut di atas merupakan rangkaian tindakan yang berakar pada
kepentingan ekonomi. Karena itu, dalam memahami sejarah Indonesia aspek ekonomi akan
selalu tanpak dalam uraiannya.dengan kata lain, kajian sejarah ekonomi sangat penting bagi
studi sejarah Indonesia. Kajian sejarah yang bertumpuh pada aspek ekonomi dari kehidupan
manusia melahirkan pendekatan baru dalam sejarah, yang disebut kliometri. Penggunaan
angka-angka statistik merupakan ciri dari sejarah ekonomi ini. Tingkatan keuntungan ataupun
kerugian secara ekonomis hanya bisa diketahui dan dinyatakan dengan mengunakan angka-
angka.

F. Sejarah dan Psikologi


Objek kajian psikologi berkaitan dengan mental atau kejiwaan manusia. Manusia yang
menjadi objek kajian sejarah tidak hanya sekedar dijelaskan mengenai tindakan yang dilakukan
dan apa yang timbulkan dari tindakan itu. Mengapa seseorang melakukan tindakan?.
Pertanyaan tersebut berkaitan dengan kondisi kejiwaan yang bersangkutan. Kondisi itu dapat
disebabkan oleh ransangan dari luar atau lingkungannya, dapat pula dari dalam dirinya sendiri.
Penggunaan psikologi dalam sejarah, melahirkan fokus kajian sejarah mentalitas.
Pemberontakan Abdul Qahhar Mudzakkar di Sulawesi Selatan dan Tenggara
merupakan satu contoh penggunaan psikologi dalam kajian sejarah yang dilakukan Anhar
Gonggong. Bagaimana Qahhar mengalami perubahan yang mendasar dan cepat dalam sikap
dan perbuatannya. Jika sebelumnya ia diasingkan dari tanah kelahirannya karena “dibuang” dari
Kedaulatan Luwu, kemudian kembali karena panggilan tugas dan semagat kebersamaan

36
(solidaritas) sesama gerilyawan lainnya di Sulawesi Selatan. Bila petualangannya di Jawa telah
menghantarkan tokoh ini menjadi seorang “patriot” pemberani, namun kemudian menjadi
seorang “pemberontak” ketika berpetualang di negeri kelahirannya.
Dengan latar pendekatan sosial budaya, studi menghasilkan suatu simpulan penting
terkait dengan perubahan mental. Harga diri bagi manusia Bugis yakni siri yang telah memaksa
Qahhar meninggalkan kampung halamannya. Oleh karena itu juga ia kembali ke kampung
halamannya dalam rangka reorganisasi dan rasionalisasi ketentaraan pada 1949-1950.
Semangat kebersamaan antara sesama gerilyawan yang gigih mempertahankan kemerdekaan
telah mengantarkan pada posisi pemimpin pada 1953-1965 dibawah panji gerakan Darul Islam.

37
Soal Latihan

1. Jelaskan hubungan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial di bawah ini:


a. Ilmu politik
b. Antropologi
c. Ekonomi
d. Sosial
2. Jelaskan mengapa studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal imformatif (apa, siapa,
kapan, dimana, dan bagaimana), tetapi juga melacak pada struktur masyarakat?
3. Jelaskan apa tujuan penggunaan sosiologi dalam merekonstruksi sejarah!
4. Mengapa konsep dan teori ilmu-ilmu sosial sangat penting dalam studi sejarah!
5. Apakah sejarah dan psikologi mempunyai hubungan? jelaskan !

38
BAB VI

BABAKAN WAKTU SEJARAH

A. Arti Babakan Waktu


Ruang lingkup sejarah sangat luas, seluas jumlah manusia yang ada. Jangka waktu
sangat lama, selama sejarah umat manusia sendiri. Bidang dan aspeknya juga sangat banyak,
sebanyak seperti alam cita-cita, peradaban, kebudayaan, kepercayaan, dan agama yang
dianutnya. Untuk mengerti gambaran alam manusia yang sangat luas ini, para ahli mencoba
mengurai, membagi dan menggolong-golongkannya.
Dari deretan peristiwa masa lampau yang sedemikian banyaknya itu dibagi-bagi dan
dikelompokkan sifat ataupun bentuknya, sehingga membentuk satu kesatuan isi, bentuk maupun
waktu yang tertentu. Sejarawan memusatkan diri pada masalah-masalah yang kekal dan
lembaga-lembaga atau gagasan-gagasan yang menentukan di dalam sejarah datanya yang
paling awal sampai kepada masa kini.
Tindakan memberikan suatu nama deskriptif kepada suatu periode sejarah merupakan
cara sejarawan untuk memberikan priode itu suatu referensi yang dapat dipergunakan untuk
mengerti nilai-nilainya. Tetapi tidak ada satupun zaman atau periode yang dapat disebutkan
dengan cepat dengan memberikan satu sifat tunggal yang pasti. Hal ini berhubungan erat
dengan agama filsafat, kepercayaan, keyakinan dan pandangan para sejarawan itu sendiri.
Memang di dalam penafsiran ataupun ulasan sejarah yang berbeda-beda itu dapat dibenarkan
dalam ilmu sejarah.
Pembagian waktu merupakan pokok cerita sejarah. Pembabakan atau pembagian atas
dasar pengelompokan ini, babakan dan waktu tertentu di dalam cerita sejarah disebut: babakan
waktu atau pembagian waktu (waktu sejarah dibagi-bagi, dihimpun dan disusun dalam beberapa
babak), penzamanan, (membagi-bagi dalam beberapa zaman), serialisasi (dari bahasa Inggris
serialization, serial = babak), atau periodisasi (dari bahasa Belanda; periode = babak).

B. Tujuan Babakan Waktu


1. Memudahkan pengertian
Gambaran peristiwa-peristiwa masa lampau yang sedemikian banyaknya itu
dikelompokkan, disederhanakan dan diikhtisarkan menjadi suatu tatanan (orde), sehingga
memudahkan pengertian.

39
2. Melakukan penyederhanaan.
Gerak fikiran dalam usaha untuk mengerti ialah melakukan penyerdehanaan. Begitu
banyaknya peristiwa-peristiwa sejarah yang beraneka ragam dan bersimpangsiur itu sukar
disusunnya menjadi sederhana, sehingga pikiran mendapatkan ikhtisar yang mudah
diartikannya.
3. Memenuhi persyaratan sistematika ilmu pengetahuan.
Semua peristiwa-peristiwa masa lampau itu telah dikelompokkan kemudian hubungan
antara motivasi dan pengaruh-pengaruh itu dikaitkan (interelasi) lalu disusun secara sistematis.
4. Klasifikasi dalam ilmu sejarah.
Klasifikasi dalam ilmu alam meletakkan dasar pembagian jenis, golongan, suku, bangsa
dan seterusnya. Klasifikasi dalam ilmu sejarah meletakkan dasar babakan waktu. Masa lalu
yang tidak terbatas peristiwa dan waktunya, dipastikan isi bentuk dan waktunya menjadi bagian-
bagian babakan waktu. Klasikasi atas dasar keseragaman peristiwa, misalnya keseragaman
kebudayaan, ekonomi, politik, pandangan hidup Agama dan lainnya, akan memberikan
gambaran sejarah yang mudah diartikannya.
Babakan waktu merupakan cermin pandangan hidup penyusun. Kepribadian penyusun
tampak didalamnya. Dangkal, dalam,. Luas, sempit pengetahuan penyusun tampak dari
babakan waktu yang dibuatnya. Dengan tujuan pembabakan waktu ini, maka akan jelaslah
kerangka ceritanya dan kerangka cerita ini merupakan penjelmaan pandangan hidup, dasar
filsafat serta tafsiran sejarawan. Sebab tanpa penjelasan dari tafsiran, fakta-fakta masa lalu akan
menjadi kronik, amal tau catatan detik-detik peristiwa.

C. Kriteria Babakan Waktu


Babakan waktu memberi bentuk dan corak cerita sejarah. Dalam babakan waktu itu
harus mempunyai Kriteria atau dasar motif-motif atau pengaruh-pengaruh tertentu. Beberapa
faktor yang dijadikan dasar kriteria antara lain sebagai berikut:
a. Faktor geografis, menunjukkan lokasinya.
Mungkin babakan waktu itu berbentuk sebagai berikut:
Bab l Kerajaan Kutai-Tarumanegara (abad 4-6).
Bab II Kerajaan Sriwijaya-Majapahit (abad 7-15)
Bab III Kerajaan Demak-Mataram (lama)-(abad 15-18)
Bab IV Kerajaan diluar Jawa. Aceh, Palembang, Banjarmasin dan sebagainya.

40
b. Faktor kronologis, menunjukkan waktu.
Bab I Zaman Kuno.
Bab ll Zaman Pertengahan.
Bab lll Zaman Baru.
Bab lV Zaman Modern.
Babakan waktu seperti ini sukar dipertahankan, mengingat bahwa waktu itu berjalan
terus. Suatu ketika zaman modern sudah tidak modern lagi. Sehingga timbul zaman termodern,
sesudah zaman termodern sukar untuk melanjutkan lagi.
c. Babakan waktu atas dasar Dinasti, keluarga Raja atau wamca.
Misalnya pada sejarah Cina.
1. Dinasti Chang 1450 – 1050 Sebelum Masehi.
2. Dinasti Chou 1050 – 247.
3. Dinasti Chin 256 – 207.
4. Dinasti Han 206 Sebelum Masehi – 220 Masehi.
5. Dinasti Sui 580 – 618 dan seterusnya.
Contoh lain:
1. Sanjaya – Wangsa.
2. Syailendra – Wangsa.
3. Isyana – Wangsa.
4. Rajasa – Wangsa
5. Dan sebagainya.
d. Pembagian atas dasar Agama:
Misalnya:
1. Zaman sebelum Masehi.
2. Zaman sesudah Masehi.
3. Zaman Dinamisme
4. Zaman Animisme
5. Zaman Hindu
6. Zaman Islam.
e. Babakan waktu yang melukiskan perjuangan manusia.
Misalnya:
1. Pra – sejarah.

41
2. Kebudayaan kuno (India, Tiongkok, dan sebagainya)
3. Bangsa-bangsa Steppe (nomade).
4. Eropa kuno (mengenai bahasa-bahasa).
5. Zaman Romawi Kuno.
6. Ruangan hidup agama Budha.
7. Zaman Almasih.
8. Agama Nasrani di Timur Tengah.
9. Agama Islam.
10. Kerajaan Allah ( = Midle Ages ).
11. Kerajaan manusia ( 1400 – 1800 A.D),pertumbuhan dan perkembangan Negara-negara
nasional.
12. Zaman Mesir berkuasa (abad ke-19)
13. Zaman masa berkuasa (abad ke-20); Zaman demokrasi agitasi, gerakan massa, fasis,
komunis dan sebagainya.
f. Babakan waktu atas dasar ekonomi: melukiskan kehidupan manusia sebagai homo
ekonomikus. Pembagian menurut Karl Bucher.
1. Zaman ekonomi keluarga.
2. Zaman ekonomi kota.
3. Zaman ekonomi Negara dan seterusnya.
Ada juga melukiskan pembagian kerja dan perkembangannya.
1. Zaman berburu dan menangkap ikan.
2. Zaman peternakan.
3. Zaman pertanian.
4. Zaman industri dan seterusnya.
g. Pembabakan waktu atas dasar evolusionisme.
Melukiskan gerak maju manusia menuju kesempurnaan hidup. Di bawah ini pembagian
Auguste Comte (1789 – 1857) seorang ahli sejarah dan ilmu sosial serta penganut aliran
positivism.
1. a military–theological stage. Tingkat manusia menggantungkan nasih kepala militer
(ksatria) dan pada keagamaan. Mengemukakan pembabakan sebagai berikut:
2. a critical–metaphysical stage. Tingkat manusia berpikir secara kritis, tetapi tidak
mementingkan kenyataan sekitarnya.

42
3. a Scientific–industrial stage. Tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan industry.
Dalam babakan waktu ini tampak Comte memaksa kita semua berpikir secara kongkrit
dan di sini tampak jelas arah kemajuan umat manusia (evalusionisme) dari agama, filsafat
sampai kepada ilmu dan industry.
h. Faktor produksi sebagai dasar babakan waktu.
Karl Marx yang terkenal dengan historis materialismenya mengemukakan babakan
waktu atas dasar produksi, atau kebendaan (materi). Gerak sejarah didorong oleh faktor materi
yang menimbulkan pertentangan dua kelas. Dengan menerapkan teori dialegtika Hegel; these
dan antitheseakan menimbulkan sinthese, sinthese menjadi these antithese lagi, akan
menimbulkan sinthese lagi dan seharusnya sampai terjadilah apa yang dinamakan Marx,
masyarakat tanpa kelas.
Coba perhatikan pembagian Marx ini:
1. Masa perbudakan, yaitu masa pertentangan antara budak-budak dengan tuan-tuan.
2. Masa feodal, Masa pertentangan antara kaum bangsawan dan tuan-tuan (Landhord)
melawan kaum tani dan pedagang.
3. Masa borjuis modern atau masa kapitalisme modern, Masa pertentangan antara
golongan majikan melawan buruh (baik buruh pabrik atau petani kecil) atau
pertentangan antara golongan kapitalis melawan kaum proletar.
4. Masa masyarakat tanpa kelas, Masa pada waktu adannya keruntuhan kapitalisme,
pada saat itu golongan proletar dapat merebut kekuasaan dan semua kelas
dilengkapkan.
Baik pembagian Comte dan Marx menunjukkan pengaruh teori evolusionisme Darwin,
hanya saja Marx mengutarakan gerak sejarah yang lebih ekstrim. Golongan tertindas atau
golongan proletar dapat mampercepat adanya revolusi (perubahan cepat) untuk melenyapkan
golongan kapitalis sehingga terciptalah masyarakat tanpa kelas.

D. Babakan Waktu Sejarah Indonesia


Secara teoritis didalam tinjauan sejarah kita dapatkan adanya interpretasi yang
beraneka ragam. Namun demikian, jangan dilupakan suatu kenyataan, bahwa seorang
sejarawan hidup ditengah-tengah masyarakatnya, yang seharusnya ikut membina
perkembangan bangsanya sendiri. Dia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungannya, dia tidak
dapat mengingkari fungsinya sebagai warga negara. Masalah ini akan menimbulkan kesulitan

43
dalam penulisan sejarah sebagai ilmu yang dituntut persyaratan objektif, seperti yang dicita-
citakan oleh Leopold Van Ranke (1795-1856), bahwa penulisan sejarah itu harus sesuai dengan
kenyataan yang sebenarnya terjadi pada waktu itu (wie es egentlich gewesen). Untuk
membedakan kenyataan sejarah (historical opinion).
Antara realitas dan opini sejarah harus saling berhubungan dan diusahakan jangan
sampai terjadi jurang pemisah. Untuk mengatasi masalah ini sejarawan berusaha
mengumpulkan fakta sejarah sebanyak-banyaknya. Mereka telah dianggap berusaha mendekati
kebenaran obyektif, sebab makin banyak fakta-fakta itu dikumpulkan, makin kurang fantasi
memainkan peranan didalamnya.
Akan tetapi bagaimanapun juga cita-cita Ranke sukar untuk dilaksanakan, seperti apa
yang dikatakan Charles A. Beard, seorang sejarawan Amerika, hanyalah sebagai “a nable
dream”. Bagi masyarakat Indonesia beranggapan bahwa sejarah itu erat sekali hubungannya
dengan pendidikan dan karena itu diperlukan adanya suatu intepretasi yang tertentu.
Faktorfaktor selain pendidikan, politik Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia harus
mendapatkan perhatian yang wajar, di samping fakta-fakta sejarah yang dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya merupakn dasr yang hakiki.
Dengan sendirinya sejarah Indonesia menyangkut kehidupan bangsa Indonesia sebagai
keseluruhan dan kesatuan wilayah yang seutuhnya, maka awajar kalau sekiranya menetapkan
Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1944 sebagai dasar interpretasi sejarah
Indonesia. Dapatkah dibenarkan apabila filsafat Pancasila diakui sebagai dasar interpretasi
Indonesia?. Pertanyaan ini sering dikemukakan oleh sebagian sejarawan karena keragu-
raguannya sebagai akibat adanya pengaruh syauvinisme (Nasionalisme pisik) seperti yang
pernah dikembangkan oleh Nazi Jerman atau pengaruh-pengaruh rasionalisme dan
kebangsaan. Sebenarnya tidak ragukan lagi karena pancasila sebagai filsafat mempunyai nilai-
nilai universal seperti ke-Tuhanan yang maha esa dan kemanusian yang adil dan beradab.

E. Beberapa Contoh Babakan Waktu Sejarah Indonesia Dengan Interpretasi Yang


Beraneka Ragam
Babakan waktu menurut buku. “Geschiedenis van de Neiderlandsch Oost-Indische
bezettingen 1972”, karangan J – J. Meinninsma (terjemahan Moh. Ali).
a. Nederlandsch – Indie sebgai milik VOC
1. Penegakan pemerintah Belanda di Hindia Timur (1605-1757).

44
2. Perluasan kekuaasaan Nederland di Hindia Timur (1678-1757).
3. Keruntuhan kekuasaan Nederland di Hindia Timur (1757-1800).
b. Nederlandsch – Indie sebagai milik Negara Nederland.
1. Jatuhnya pemerintah Belanda dan masa peralihan (1800-186).
2. Penulisan pemerintahan Belanda (1816-1836)
3. Penulisan kekuasaan Nederland di kepulauan Hindia (1832-1872).
Isi buku ini menggambarkan peranan bangsa Indonesia hampir tidak disinggung sama
sekali. J.J Meinninsma adalah seorang Belanda menjiwai cara penyusunannya. “Geschiedenis
van Indonesia” Karangan H.J de Graaf 1949 (terjemahan).
I. Orang Indonesia dan Asia Tenggara (sampai 1650)
a. Zaman Hindu.
b. Zaman penyiaran Islam dan berdirinya kerajaan Islam.
II. Bangsa Barat di Indonesia (1511-1800) yaitu sejarah VOC.
III. VOC di luar Indonesia.
IV. Orang Indonesia dalam lingkungan Hindia Belanda (sesudah 1800) diakhiri dengan
pemerintah Ratu Wilhelmina.
Buku H.J de Graaf dikarang pada tahun 1949 sesudah Indonesia mencapai
kemerdekaannya. Di samping peranan bangsa Belanda, peranan bangsa Indonesia juga
ditampilkan, walaupun pengaruh Belanda masih ada. Ia adalah orang Belanda yang pertama
menyebut bangsa kita Indonesia. Tan malaka di dalam bukunya”massa Actie” 1926 cetakan ke II
tahun 1947. Babakan waktunya sebagai berikut:
1. Bangsa Indonesia asli, melahirkan diri dari Indo Cina ke Indonesia.
2. Zaman penjajahan raja-raja Hindu dan setengah Hindu.
3. Zaman penjajahan raja-raja Islam.
4. Zaman Belanda:
Imperialisme kuno.
Imperialisme modern.
5. Zaman perebutan kekuasaan antara kelas Jembel dengan kaum imperialisme.
Tan Malaka seorang komunis, sudah barang tentu ia sangat dipengaruhi teori Marx
tentang pertentangan kelas penguasa dan rakyat Jembel. Getaran Jiwa seorang revolusioner
terasa dalam khayalannya. Babakan waktu berdasarkan kebangsaan dikemukakan oleh

45
sejarawan nasional antara lain oleh Prof. Moh. Yamin, R. Moh. Ali dan lain-lain, terutama
sejarawan –sejarawan nasional sesudah proklamasi kemerdekaan (1945).
Sangat menarik sekali babakan waktu yang dikemukakan Prof. Moh. Yamin di dalam
buku “6000 Tahun Sang Merah Putih”, yang dikemukakan dalam kuliahnya di FKIP Bandung
(1957) dan buku “pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia” (1960). Dalam “6000
Tahun Sang Merah Putih” babakan waktu sejarah Indonesia mula-mula mendapat perwujudan
sebagai berikut:
1. Zaman pra-sejarah sampai permulaan Tarik Masehi.
2. Zaman proto historis atau Media-kala atau mula sejarah Indonesia, dari permulaan
Tarikh masehi sampai ke abad ke VII.
3. Zaman Sriwijaya – Syailendra dari abad ke VII sampai abad ke XII.
4. Zaman Singosari – Majapahit dari abad ke XIII sampai ke XVI.
5. Zaman penyusunan Kemerdekaan Indonesia sejak abad ke XVI sampai XIX.
6. Abad proklamasi Kemerdekaan sejak permulaan abad ke XX sampai ke pertengahan
abad itu.
Pembagian masa itu didasarkan atas pendapat. Adapun sejarah Indonesia itu melalui
beberapa zaman dibagi atas tiga babakan waktu. Pertama zaman pra-historia yang seperti
dikatakan di atas bermula sejak terbentuknya Nusa dan Tubuh Indonesia dan berakhir ketika
sejarah tentang bangsa Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan bahan-bahan tulisan, yaitu
pada permulaan tarikh Masehi. Babakan waktu yang kedua yaitu Proto-historia (Mula sejarah)
yang bermula pada permulaan abad VII. Semenjak itu bermulalah zaman historia sampai
kepada zaman sekarang. Ujung pangkal tarikh ketiga zaman tersebut diatas tidaklah sama
diseluruh dunia, karena berhubungan erat dengan pemakaian huruf atau aksara yang memang
tak sama pada berbagaidaerah peradaban sejagat.
Pada kuliah umum di FKIP Bandung babakan waktu dijadikan pokok pembicaraan,
tetapi isi dan bentuknya iberi corak baru, lebih disesuaikan dengan sifat-sifat kebangsaan.
Babakan wktu yang semula dari enam bagian mengalami perubahan perunusan sebagai
berikut:
1. Zaman pra-sejarah sampai tahun 0.
2. Zaman proto sejarah, tahun 0 sampai abad ke IV.
3. Zaman Nasional: abad ke lV sampai abad ke XVI.
4. Zaman Internasional: abad ke XVI - + 1900.

46
5. Abad Proklamasi mulai + 1900.
Babakan waktu ini disebut “Pancaparwa Sejarah Indonesia” Panca berarti lima dan
parwa artinya bagian. Ia memilih angka lima karena dianggap mengandung arti magis seperti
lima jari, rukun Islam, Pendawa lima dan Pancasila. Dalam perumusan itu nampak tidak ada
pengaruh Belanda. Sejarah Indonesia milik bangsa Indonesia. Jadi bangsa Indonesialah yang
berperan. Ia menyebutnya Nasional. Dan istilah Internasional menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia mulai memasuki masalah Internasional, dengan dimulainya penjajahan Belanda atas
Indonesia. Dalam buku “pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia” 1960
Prof.M.Yamin mangemukakan perumusan yang lebih tegas.

47
Soal Latihan

1. Apakah arti babakan waktu dalam sejarah?


2. Jelaskan dan kemukakan tujuan babakan waktu sejarah!
3. Jelaskan babakan waktu yang melukiskan perjuangan manusia!
4. Jelaskan secara singkat babakan waktu sejarah Indonesia dan berikan contohnya!
5. Jelaskan pembagian babakan waktu sejarah menurut Auguste Comte!

48
BAB VII

PERKEMBANGAN ILMU SEJARAH

A. Lahirnya Sejarah dan Perkembangannya


Awal zaman sejarah sesungguhnya bermula ketika adanya tulisan, karena dari tulisan
itu kisah masa lalu dapat diketahui. Tulisan menjadi hal utama bagi perkembangan ilmu sejarah.
Pada abad IXX, Sejarawan Jerman, Leopold von Ranke, dengan tegas memproklamirkan kaidah
sejarah kritis dalam untaian kalimat no document, no history (tidak ada dokumen, tidak ada
sejarah). Paradigma ini menjadi pedoman dan bahkan semacam ideologi yang mengakar kukuh
dikalangan sejarawan. Mereka menganggap bahwa apa yang dihasilkan tanpa menggunakan
sumber tertulis hanyalah inposible action serta tidak memiliki landasan metodologi yang kuat dan
dapat dipertanggungjawabkan. Bagi mereka, hanyalah konstruksi sejarah yang menggunakan
sumber tulisan dikatakan sejarah ilmiah yang kritis. Itulah sebabnya sehingga sejarah tentang
tidak dapat memperkuat argument bahwa Mesir adalah tempat awal lahirnya ilmu sejarah.
Pada abad XVII dan XVIII secara formal sejarah diajarkan pada universitas-universitas
Eropa, mulai dari Oxpord University hingga Gottigen. Namun perkembangannya tampak baru
terasa pada abad IXX, bersama dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial, terutama ketika Ranke
mengadakan revolusi paradigma dan memperkenalkan studi sejarah kritis yang berdasarkan
pada dokumen.
Pertama kali tulisan-tulisan sejarah di Eropa dalam bentuk puisi, seperti karya Homerus
Iliad dan Odyses. Karya pertama menceritakan perang antara Yunani dengan Troya (1200 SM).
Puisi kedua berisi petualangan Odysseaus pasca jatuhnya kota Troya. Sifat penuturan
sejarahnya lebih mengarah pada legenda dan mitos. Berbeda dengan karya tersebut, tulisan-
tulisan Herodotus (198 - 117 SM), Thucydides (456 – 396 SM), dan Polybius (198 – 117 SM)
tampak lebih ilmiah. Meskipun juga mengkisahkan tentang peperangan, namun penuturannya
empiris dan rasional alur cerita sejarahnya.
Dalam karyanya, Histiry of the Persian Wars (500 – 479 SM), Herodotus melihat bahwa
perang itu merupakan bantuan antara dua peradaban besar, yakni Yunani dan Persia.
Eksplansinya menunjukan tidak adanya campur tangan para dewa dalam gerak sejarah itu, tidak
seperti penulis sebelumnya, Homerus. Oleh karena itu, Herodotus lebih dikenal sebagai “bapak
sejarah”.

49
Thucydides menulis tentang the paloponnesian war (431 – 404 SM) menceritakan
perang saudara antara polis Athena dengan Sparta di yunani, yang dimenangkan oleh Athena.
Gaya penulisannya tidak terlepas dari keberadaan dirinya sebagai seorang jenderal dan politisi.
Ceritanya ibarat sebuah laporan perang oleh saksi mata. Fokusnya pada persoalan politik,
diplomasi, dan perang. Eksplansinya akurat dan terhindar dari hal-hal supranatural. Dialah orang
pertama yang menyadari bahwa sejarah bisa pragmatis. Karyanya menjadi standar dalam
penulisan sejarah lama. Cara berfikir itu juga sama dengan polibius yang menulis tentang
perpindahan kekuasaan dari Yunani kepada Romawi. Menurutnya, sejarah adalah filsafat yang
mengajar melalui contoh. Pragmatis merupakan hal yang paling penting dalam studi dejarah.
Penulisan secara Romawi awalnya masih menggunakan bahasa Yunani, dan kemudian
memakai bahasa Latin. Meskipun demikian, gaya penulisan bahasa Yunani tetap mewarnai
karya historiografi. Sebut saja Julius Caesar (100 – 44 SM) menulis commentaries on gallic war,
yang menceritakan tentang suku Gallia pada buku yang lain, Civil war, Caesar manulis
pembelaannya sebagai seorang jendral Romawi yang menaklukkan Gallia. Buku tersebut
menjadi sumber yang amat penting mengenai adat-istiadat bangsa Gallia.
Gaius Sallustinus Crispus (86 – 34 SM) menulis beberapa monografi dan biografi,
antara lain: History Of Rome, Conspiracy Of Catiline, dan Jugurhine War. Ia dikenal sebagai
narator yang sering mengorbankan kebenaran demi retorika. Penuh fantasi dalam karyanya.
Titus Livis (59 SM – 17 M) menulis sejarah romawi sebagai Negara dunia yang penuh dengan
semangat patriotisme. Kisah brdirinya kota Roma adalah perpaduan antara fantasi dan fakta.
Bila karyanya Polibus dominan dengan fakta, maka karya Livitus merupakan sebuah
rekonstruksi fantasi tentang masa lalu. Dalam pandangan Livitus, peristiwa-peristiwa sejarah
tidak boleh dijelaskan dengan bahasa politik dan digunakan untuk mendukung ideology. Lebih
lanjut ditegaskan bahwa sejarah memiliki tujuan moral. Pragmatisme ormatif itulah yang
mendasari karya-karya Livitus. Kemudian Publis Cornelis Tacitus juga menulis Annaals,
Histories, dan Germania. Eksplanasinya berada diantara Livitus yang cenderung pada retorika
dan polibus yang cenderung pada fakta. Dialah yang mengemukakan sebab moral keruntuhan
Romawi.
Pada zaman Kristen awal, penulisan sejarah tidak dapat dipisahkan dengan teologi.
Kebudayaan Yunani yang pragmatisme dan bertumpuk pada rasionalisme tidak diterima dan
digantikan dengan Kristiani yang sangat mengagungkan agama dan supranatural. Fokus
penjelasannya pada persoalan gereja dan agama. Pendeta dan raja adalah pelaku utamanya.

50
Dalam tulisannya, The City of God, Augustine memandang bahwa dalam sejarah terdapat Tuhan
dan Setan. Setiap orang yang terlibat dalam sejarah suci yang akan dimenangkan oleh Tuhan.
Karya sejarah zaman ini, biasa disebut sejarah providensial.
Eusabius Pamphilus (260 – 340 M) menulis Chronicle dan church History. Ia membagi
kronologinya dalam dua bagian yaitu: (1) era sacred yaitu Yahudi dan Kristen dan (2) era
profane yaitu pagan atau kafir. Karya yang berorientasi pada dunia supranatural terdapat pada
tulisan Paulus Orasius (380 – 420 M), Seven Books Against the Pagans. Tulisan murid
Augustine ini merupakan pembelaan atas peradaban Kristen yang dituduh menyebabkan
runtuhnya Romawi Barat (abad V). Mennurutnya, keruntuhan Mesir, Yunani, dan Romawi (yang
pragmatisme) karena kehendak Tuhan. Manusia hanyalah aktor perantara yang mengantarkan
pada akhir sejarah, seperti runtuhnya pragmatisme. Demikian pula Gregory (538 – 594 M) dalam
History of the franks. Ia cenderung menghadirkan unsur-unsur keajaiban sebagai bentuk kuasa
Tuhan (agama) atas bangsa Frangka.
Karya Venerable Bede (672 – 735) sangat dominan dengan ihwal gaib. Karya
monomentalnya tentang terbentuknya kebudayaan Anglo-Saxon berjudul The Elessiastical
History of the English, terdiri atas 5 bagian. Dalam tulisan ini seorang bisa membaca tentang si
buta yang bisa melihat kembali, badai yang berakhir, dan kota-kota yang selamat dari
kehancuran lantaran rahmat Tuhan. Upayanya menulis sejarah terutama agar orang makin
percaya pada agama Kristen yang banyak mendatangkan kebahagiaan dan harapan hidup.
Jika sejarah merekam kebaikan orang baik, pendengar yang berfikir akan bergerak
untuk meniru apa yang baik atau jika ia merekam keburukan orang jahat, pendengar atau
pembaca yang taat dan beriman akan tergerak untuk menghindari segala hal yang bedosa dan
mati-matian mengikuti apa yang dia ketahui sebagai baik dan disenangi Tuhan.
Untuk memahami orientasi historiografi itu, tidak dapat dipisahkan dari perilaku
penulisnya yang selalu berkonsultasi dengan para gerejawan. Meskipun banyak menggunakan
sumber, tapi sangat hati-hati dalam menceritakan hal-hal supranatural, sehingga sejarahnya
terkesan objektif dan dirancang sistematis pada derajat tertentu penjelasan berisi kehidupan
para Santo dan fase-fase kerajaan Anglo-Saxon.
Bila rasionalisme terpasung oleh gereja pada abad pertengahan, maka pada masa
Renaissance jiwa kebudayaan Yunani-Romawi yang mengandalkan Rasio dominan dalam karya
sejarah. Fase sejarah ini kembali menghantar bangsa Eropa pada titik kemajuan ilmu
pengetahuan. Dalam konteks itu berbeda antara kebudayaan Renaissance dengan modern. Jika

51
kebudayaan pertama menengok ke belakang, maka kebudayaan yang terakhir menatap ke
depan.
Karya historiografi umumnya menggunakan bahasa Latin yang lahir dan berkembang di
kota-kota Italia. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan kebudayaannya. Sejarawan Italia,
Lorenzo Valla (1407 – 1457), menulis The History of Ferdinand I of Aragon secara kritis.
Meskipun sebagai sejarah resmi, namun karya ini sacara kritis menyajikan kepalsuan hadiah
Konstantinus yang memberikan hak politik kepada Paus.
Kontra terhadap cara berpikir abad pertengahan juga datang dari gerakan reformasi.
Matthias Vlacich IIIyricus (1520-1575) menulis Magdeburg Centuries. Karya ini sangat ambisius,
merupakan serangan pada institusi kepausan, dari perspektif hukum dan konstitusi. Oleh karena
itu, karyanya banyak mendapat kecaman dari gerakan kontra-reformasi. Pembelaan atas
tampilnya raja-raja protestan aliran Lutherisme kepanggung politik kekuasaan di Jerman Utara
merupakan fokus studi Jhon Sleidaus (1506-1556) yang berjudul Commentaries on Political and
Religious Conditions in the region of the Emperor Caries V, (1517-1555).
Protes dari kalangan kontra-reformasi di tunjukkan dalam karya sejarah. Sebut saja
Cardinal Caesar Baronius (1538-1607) menulis Ellesiitical Annaals untuk menjawab kritik
kelompok reformasi. Oleh karena sifatnya pembelaan, maka orientasi historiografinya, bersifat
apologistis dan memihak. Acapkali ia mengalihkan isu yang penting ke isu sekunder dan tidak
relevan. Meskipun cara pandang dan karya historiografi yang dihasilkan para ilmuwan
renaisance, reformasi dan kontra reformasi berbeda, namun pada dasarnya terdapat kesamaan
tema sentral bahasanya, yakni pada sejarah agama dan sejarah Politik.
Zaman penemuan daerah-daerah baru (abad XV, XVI, dan XVII) mempunyai pengaruh
penting dalam perkembangan historiografi Eropa. Tema utama penulisannya pada sejarah sosial
masyarakat daerah-daerah baru. Karya Marco Polo (1254-1324), Travels, telah
membangkitakan minat kearah itu. Cristopher Colombus (1466-1506) yang menmukan Amerika
pada 1492 banyak melaporkan temuan-temuannya. Demikian pula Hernando Cortes (1485-
1547) sebagi saksi mata penaklukkan Meksiko juga melaporkan tentang apa yang terjadi dan
ada disana. Karya ini lebih pada upaya pembelaan atas petualangannya.
Pada zaman Rasionalisme (abad XVII) dan pencerahan, Sejarawan Rene Descartes
(1596-1650) dari Prancis, Francis Bacon (1561-1626) dari Inggris, dan Baruch Spinoza (1632-
1677) dari Belanda, banyak mempengaruhi perkembangan historiografi di Eropa abad XVIII.
Topik utamanya ialah peradaban. Terdapat tiga aliran utama yang berkembang pada saat itu.

52
Pertama, aliran radikal yang diperoleh oleh Francois Arouet atau Voltaire (1697-1778), yang
melihat sejarah dan institusi sosial semata-mata dari sudut intelektual dan kaum borjuasi. Kedua,
aliran moderat dan koservatif yang dipelopori Baron de Montesquieu (1689-1755), selalu
menghubungkan sejarah dan institusi sosial dengan masyarakatnya. Ketiga, aliran sentimental
dipelopori oleh Jean Jacques Rosseau (1712-1778) yang emosional, idealistis, dan ingin
membebaskan masa dari despotisme (paham kewenang-wenangan).
Pada abad IXX, perkembangan ilmu sejarah ditandai dengan ciri-ciri: (1) penghargaan
kembali pada zaman pertengahan, (2) munculnya filsafat sejarah, (3) munculnya teori “orang
besar”, (4) timbulnya nasionalisme, dan (5) munculnya liberalisme. Dalam abad ini, terdapat
sebuah revolusi paradikmatik dalam sejarah yang dipelopori oleh Leopodvon Ranke (1795-1886)
dangan slogannya wie es eigentich gewesen (apa yang nyata-nyata terjadi). Menurutnya,
sejarah harus ditulis seperti apa yang terjadi dan karya sejarah itu selalu dipengaruhi oleh
semangat zamannya (zeitgeist). Pemikirannya itu di tuangkan dalam karyanya, A Critique of
Modern Historical Writes. Aliran sejarah kritis ini sesungguhnya di kembangkan sebelumnya,
antara lain oleh Jean Bodin (1530-1596) dalam Method for easly Understanding History dan
Berthorld Gerg Nibhr (1776-1831) yang menulis Roman History.
Meskipun pengaruh Ranke sangat kuat mendomonasi perkembangan ilmu sejarah.
Menurut Carl Becker (1873-1945), pemujaan terhadap fakta dan perbedaan antara hard fact
(fakta keras) dan soft fact (fakta lunak) hanyalah ilusi. Fakta sejarah bukanlah batu bata yang
begitu mudah dan tinggal di pasang. Menurutnya, fakta sejarah dipilih oleh sejarawan. Itulah
sebabnya karya sejarah akan selalu subjektifitas. James Harvey Robinson (1863-1936) dalam
karyanya, The New History, mangatakan bahwa sejarah kritis hanya dapat menangkap
permukaan, tetapi tidak di bawah realitas. Perilaku manusia yang sebenarnya tidak dipahami.
Dua sejarawan tersebut kemudian mempelopori New History di Amerika Serikat.
Perkembangan ilmu sejarah dalam kaitan itu tidak dapat dipastikan dari ilmu-ilmu sosial.
Pendekatan interdisipliner diterapkan dalam studi sejarah. Upaya saling mendekati
(rapproachment) digiatkan. Sejarah tidak lagi tabu atau membatasi dari pada penggunaan
konsep ilmu lain terutama ilmu sosial jika itu relavan, selama penggunaannya untuk kepentingan
analisis sehingga eksplanasi dan interpretasi sejarah kritis.
Kuantifiaksi memainkan peran penting dalam sejarah di Amerika Serikat, baik dalam
tulisan mengenai hasil-hasil pemilu, pola pemungutan suara dikongres, maupun usaha untuk
menghitung pemogokan serta bentuk-bentuk protes lainnnya. Metode yang sama juga

53
diterapkan pada sejarah Agama di Prancis, yang memakai statistik pengakuan dosa dan
frekuensi jamaat dalam setahun sebagai bahan analisis.
Ketika ide-ide Sigmund Freud mulai gandrung di Amerika Serikat, para ahli sejarah dan
psikoanalisis mulai mencoba menyimak motif dan dorongan personal para pemimpin agama
yang merangkap sebagai pemimpin politik, seperti Martin Luther, Woordrow Wilson, Vladimir
Lenin dan Mahatma Gandhi. Presiden asosiasi sejarawan Amerika, Leger, dalam tulisannya The
next Assigment yang dimuat pada American Historical review, menghimbau para koleganya
menyambut psiko-histori sebagai cabang baru ilmu sejarah. Namun ajakan itu tidak banyak
direspon oleh para sejarawan. Apa yang dilakukan oleh sebagian besar dari mereka pada 1970-
an, seperti rekan sejawatnya disiplin-disiplin lainnya, sampai pada titik tertentu justru merupakan
reaksi terhadap kecenderungan di atas yang terjadi pada tahun 1968. Mereka menolak
determinsme (baik ekonomi maupun geografis), sebagaimana mereka menolak metode-metode
kuantitatif dan klaim ilmiah dari ilmu sosial. Langkah-langkah perkembangan ilmu sejarah dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga) pandangan sejarah. Perbedaan itu ditandai dengan jawaban atas
pertanyaan: mengenai apa seorang historian bermaksud membentangkan sejarah itu, sebagai
berikut:
1. Sejarah selaku pelaporan
Pada langkah manusia menceritakan apa yang telah terjadi, supaya diketahui oleh
orang lain. Dapat pula di bagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu:
a. Kepentingan estetika; seperti ceritera yang indah-indah dan kehebatan pahlawan dalam
peperangan mengenai asal-usul suku, ceritera mengenai perburuan dan lain-lain.
Terdapat pula ceritera yang berhubungan dengan pikiran-pikiran religius tentang peranan
dewa-dewa. Epos Homerus pertanda dari tahapan perkembangan ini.
b. Merupakan ceritera tentang kemuliaan raja, seperti dalam inskripsi tulisan-tulisan guna
ingatan mengenai kehebatan raja dikala ia duduk dalam tahta pemerintahan atau
kekuasaan.
c. Bertujuan guna memberi peringatan kepada rakyat, misalnya silsilah raja-raja. Rakyat
perlu mengetahui silsilah raja-raja agar mereka lebih taat pada kewibawaan raja, dapat
mengetahui para kerabat raja, dan lain-lain.
Bentuk sejarah ini (selaku pelaporan) terutama berkembang di Gerika. Logograf adalah
pengumpul dongeng dan ceritera lisan dan menuliskannya seakan-akan sejarah dalam arti yang
benar. Tulisannya cukup dikagumi masa itu selaku sejarah dengan skema yang baik,

54
menampilkan generasi demi generasi mencantumkan para keluarga raja, dan lain-lain. Karya ini
dibacakan ketika terjadi sebuah pesta besar.
Herodotus yang diberi gelar bapak sejarah (484-425 B.C) menulis perang kemerdekaan
bangsa Yunani melawan Parsi. Walaupun Herodutus telah menulis kejadian perang yang
sesungguhnya, tetapi sebagai anak jamannya, ia memasukkan pula sedikit dongeng seperti
peranan dewa-dewa. Namun demikian tulisannya dapat dihargai selaku tulisan sejarah.
Sejarah karya Herodutus berisikan: pada bagian pendahuluan bukunya itu, ditulisnya
mengapa peperangan itu terjadi dan keadaan Yunani dan Parsi menjelang peperangan.
Kemudian diceritakannya bagaimana peranan dewa-dewa membantu orang Yunani melawan
bangsa Parsi yang terkenal kuat itu. Berbeda dari bangsa Yunani dibidang penulisan sejarah,
bangsa Romawi lebih menyenangi penulisan kronik. Peristiwa diberitakan satu persatu secara
sederhana. Di lapangan ini memang orang Rowami cukup ahli.
2. Sejarah pragmatis
Pada langkah sejarah pragmatis para sejarawan mempelajari dan menyelidiki bahan-
bahan sejarah untuk maksud tertentu. Bahan-bahan sejarah sendiri tidak diutamakan. Peristiwa
sejarah yang dipilihnya ditulis guna pelajaran dan dipandang dalam nilai praktis. Tokoh sejarah
jenis ini adalah Thucydides. Ia berusaha menampilkan peristiwa yang disenangi para
pembacanya dan menolak ceritera dongeng dan peran dewa-dewa. Ia merasa senang apabila
pembacanya memahami tulisan sejarahnya serta mampu membayangkan kejadian-kejadian di
dalamnya, kemudian pembaca dapat menarik kesimpulan terhadap peristiwa yang sama,
karena apa yang terjadi waktu lampau akan terjadi pula dimasa depan. Sejarah memberikan
pelajaran dan peringatan kepada pembacanya (kritik terhadap sejarah pragmatis).
Bentuk ini nampak berguna untuk dikembangkan, terutama pada negara-negara sedang
menuju ke perkembangan yang belum maju, guna sejarah menjadi sempit. Sejarah belum perlu
untuk dibahas seluruhnya, cukup dengan penampilan kejadian-kejadian yang bermanfaat saja
untuk diketahui. Sejarah selaku pemberitahuan kehebatan pemimpin agar disegani, untuk
pemberi semangat para pemuda, guna peringatan agar timbul kewaspadaan dan lain-lain. Tetapi
inilah bahaya yang cukup serius dalam penulisan sejarah. Kejadian yang penting saja yang
diterangkan sehingga timbul seleksi terhadap peristiwa mana yang berguna itulah yang ditulis.
Sejarah bahkan hendak dipotong-potong.

55
Apalagi kalau perasaan nasionalisme memainkan peranan yang penting, patriotisme
yang menyala-nyala setelah berakhirnya peperangan. Pada masa ini para sejarawan kadang-
kadang mendapat tekanan dari penguasa untuk menulis sejarah menurut seperlunya kalau perlu
dengan mengorbankan kebenaran (Louis Gottschalk, 1975:1). Beberapa tokoh sejarah bahkan
dipaksa untuk menghormati kewibawaan orang-orang besar, dan anjuran keras itu sering timbul
dari kalangan ilmuwan juga (Louis Gottschalk, 1975:1 dan H.M Jones, 1938: 585-192).
Bentuk sejarah tersebut bukan sekedar menjelaskan, melainkan cukup menampilkan
sebab-sebab dan alasan-alasan saja. Dengan itu sering terjadi ketidakadilan dalam penampilan
fakta. Bentuk ini pernah diperkenalkan di Roma pada awal kerajaan tersebut. Tokohnya ialah
Tacitus dan Livius.
3. Sejarah yang Bersifat Gemetis
Bentuk ini berusaha melihat segala bahan sejarah dalam keadaan dan dalam hubungan
dengan peristiwa yang lain, menampilkannya sebagaimana suatu peristiwa yang sudah terjadi.
Disinilah sejarah ditempatkan menjadi ilmu pengetahuan karena mencoba mendapat kebenaran
peristiwa. Fakta-fakta sejarah ditampilkan, diteliti validitasnya, kemudian disusun menjadi cerita
sejarah. Pemahaman sifat gemetis dari sejarah memerlukan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Manusia harus berpandangan bahwa umat manusia itu sendiri merupakan kesatuan.
Pada waktu kuno, pandangan kesatuan umat manusia disangkal kebenarannya.
Memang telah muncul pikiran demikian dikalangan mereka tetapi belum menjadi opini
umum. Sejarawan diwaktu lampau memandang bangsanya berbeda dan lain dari
bangsa Barbar. Pandangan universal Yunani terbatas pada dunia mereka sendiri.
Misalnya istilah “Imperium Universal” yang pernah didirikan oleh Hellenisme atau orang
Romawi, maksudnya hanya terbatas pada orang Yunani atau Roma saja, sedangkan
bangsa Barbar tidak dimasukkan. Kalau dalam penulisan sejarah ada juga ditulis bangsa
Barbar itupun karena perhubungannya dengan bangsa Yunani atau Romawi saja.
Tulisan khusus mengenai bangsa asing itu tidak pernah dibuat (Ulrici, Characteristic der
Antiken Historiographie). Agama Kristen memulai pandangan tentang kesatuan umat
manusia. Ketika agama itu disebarkan, pandangan kesatuan manusia menyebar pula,
dan pandangan demikian semakin meluas dengan munculnya Islam
b. Pandangan dan pikiran bahwa perbuatan manusia itu berhubungan satu dengan yang
lain. Perbuatan pada suatu tempat atau daerah mempengaruhi pula perbuatan manusia
ditempat lain. Harus juga diinsyafi bahwa lingkungan alam ada pula kaitannya dengan

56
perbuatan manusia. Orang Yunani sesungguhnya juga telah berpandangan demikian,
yakni perhubungan antara alam dan sejarah manusia, tetapi belum memasukkan
kesenian, agama, ilmu pengetahuan sebagai elemen-elemen sejarah. Mereka mampu
melihat apa yang diluar, belum mengerti intinya. Thucydides dari Yunani Kuno
menganggap bahwa bentuk negara dan perlengkapan undang-undang dasarnya adalah
sebab sejarah. Begitupula Polubios, berpendapat bahwa bentuk negara Roma itu yang
menciptakan Imperium Romanum bukan sebab lain, adalah sebab sejarah. Tacitus
memandang keburukan adat-istiadat dan kesusilaan sebab utama kemunduran
Imperium Romanum.
c. Pikiran dan keinsyafan bahwa keseluruhan keadaan manusia terdiri dalam suatu
perkembangan dan perubahan yang terus menerus. Orang yang hidup pada zaman
pertengahan percaya bahwa suatu kejadian merupakan ulangan saja. Lembaga hukum
yang ada sekarang adalah ulangan dari lembaga hukum pada masa lalu, ulangan dari
lembaga hukum yang telah diciptakan oleh Kaisar Karl yang Agung, juga Imperium
Jerman (Das Heilige Romische Reich Deutscher Nation) sebagai sambungan Imperium
Romanum itu. Padahal sesungguhnya terdapat perbedaan besar yang tidak dirasakan
oleh zaman pertengahan.
Pada zaman penemuan baru umat manusia mulai sadar bahwa manusia berkembang,
mengubahkan diri. Waktu itu pulalah merupakan awal perkembangan sejarah gemetis
sehingga bentuk sejarah mengalami perkembangan yang berarti. Seorang historian
sesungguhnya harus berpijak pada bentuk yang ketiga yakni sejarah gemetis.
Penolakan terhadap karya-karya generasi sebelumnya biasanya dibarengi dengan
pendekatan-pendekatan baru dalam studi sejarah. Menurut Peter Berke terdapat empat
pendekatan baru dalam ilmu dejarah, yaitu : history from below, micirostoria, Alltagsgeschichte,
dan history de l’immaginaire.

57
Soal Latihan

1. Jelaskan asal awal lahirnya sejarah dan perkembangannya !


2. Jelaskan langkah-langkah perkembangan ilmu sejarah !
3. Jelaskan dan sebutkan 4 pendekatan baru dalam ilmu sejarah menurut PETER BERKE !
4. Jelaskan ciri-ciri perkembangan ilmu sejarah pada abad IXX !
5. Heredotus adalah seorang bapak sejarah yang menuliskan karya-karya sejarah. Jelaskan isi
karya heredotus dalam perang kemerdekaan bangsa yunani melawan parsi !

58
BAB VIII

KESADARAN, MAKNA DAN NILAI SEJARAH

A. Kesadaran Sejarah
Suatu bangsa sebagai kolektivitas seperti halnya individu memiliki kepribadian yang
terdiri atas serumpun ciri-ciri menjadi suatu watak. Kepribadian nasional lazimnya bersumber
pada pengalaman bersama bangsa itu atau sejarahnya. Identitas seseorang peribadi
dikembalikan kepada riwayatnya, maka identitas suatu bangsa berakar pada sejarah bangsa itu.
Dalam hal ini, sejarah nasional fungsinya sangat fundamental untuk menciptakan kesadaran
nasionalyang pada gilirannya memperkokoh solidaritas nasional. Sehubungan dengan itu
pelajaran sejarah nasional amat strategis fungsinya bagi pendidikan nasional. Sejarah
merupakan cerita tentang pengalaman kolektif suatu komunita satau nasion di masa lampau.
Pada pribadi pengalaman membentuk kepribadian seseorang dan sekaligus menentukan
identitasnya. Proses serupa terjadi pada kolektivitas, yakni pengalaman kolektifnya atau
sejarahnyalah yang membentuk kepribadian nasional dan sekaligus identitas nasionalnya.
Bangsa yang tidak mengenal sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu yang telah
kehilangan memorinya, ialah orang yang pikun atau sakit jiwa, maka dia kehilangan kepribadian
atau identitasnya.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil beberapa butir kesimpulan antara lain: 1)
untuk mengenal identitas bangsa diperlukan pengetahuan sejarah pada umumnya, dan sejarah
nasional khususnya. Sejarah nasional mencakup secara komprehensif segala aspek kehidupan
bangsa, yang terwujud sebagai tindakan, perilaku, prestasi hasil usaha atau kerjanya
mempertahankan kebebasan atau kedaulatannya, meningkatkan taraf hidupnya,
menyelenggarakan kegiatan ekonomi, sosial, politik, religius, lagi pula menghayati kebudayaan
politik beserta ideologi nasionalnya, kelangsungan masyarakat dan kulturnya; 2) sejarah
nasional mencakup segala lapisan sosial beserta bidang kepentingannya, subkulturnya. Sejarah
nasional mengungkapkan perkembangan multietnisnya, sistem hukum adatnya, bahasa, sistem
kekerabatan, kepercayaan, dan sebagainya.
Pelajaran sejarah bertujuan menciptakan wawasan historis atau perspektif sejarah.
Wawasan historis lebih menonjolkan kontinuitas segala sesuatu. Sementara itu yang bersifat
sosio-budaya di lingkungan kita adalah produk sejarah, antara lain wilayah RI, negara nasional,
kebudayaan nasional. Sejarah nasional multidimensional berfungsi antara lain: mencegah

59
timbulnya determinisme, memperluas cakrawala intelektual, mencegah terjadinya sinkronisme,
yang mengabaikan determinisme.
Di samping itu, pelajaran sejarah juga mempunyai fungsi sosio-kultural, membangkitkan
kesadaran historis. Berdasarkan kesadaran historis dibentuk kesadaran nasional. Hal ini
membangkitkan inspirasi dan aspirasi kepada generasimuda bagi pengabdian kepada negara
dengan penuh dedikasi dan kesediaan berkorban. Sejarah nasional perlu menimbulkan
kebanggaan nasional (national pride), harga diri, dan rasa swadaya. Dengan demikian sangat
jelas bahwapelajaran sejarah tidak semata-mata memberi pengetahuan, fakta, dan kronologi.
Dalam pelajaran sejarah perlu dimasukan biografi pahlawan mencakup soal kepribadian,
perwatakan semangat berkorban, perlu ditanam historical mindedness, perbedaan antara
sejarah dan mitos, legenda, dan novel historis.
Apabila suatu kepribadian turut membentuk identitas seorang individu atau suatu
komunitas, kiranya tidak sulit dipahami bahwa kepribadian berakar pada sejarah
pertumbuhannya. Di sini, kesadaran sejarah amat esensial bagi pembentukan kepribadian.
Analog dengan sosiogenesis individu, kepribadian bangsa juga secara inhern memuat
kesadaran sejarah itu. Implikasi hal tersebut di atas bagi national building ialah tak lain bahwa
sejarah dan pendidikan memiliki hubungan yang erat dalam proses pembentukan kesadaran
sejarah. Dalam rangka nation building pembentukan solidaritas, inspirasi dan aspirasi
mengambil peranan yang penting, di satu pihak untuk system-maintenance negara nasion, dan
dipihak lain memperkuat orientasi atau tujuan negara tersebut. Tanpa kesadaran sejarah, kedua
fungsi tersebut sulit kiranya untuk dipacu, dengan perkataan lain semangat nasionalisme tidak
dapat ditumbuhkan tanpa kesadaran sejarah (Kartodirdjo, 1993: 53).
Apabila sudah disadari hubungan erat antara sejarah dengan pendidikan, memang
belum ada jaminan bahwa makna dasar dari sejarah telah bias diwujudkan untuk menunjang
proses pendidikan itu. Masih diperlukan proses aktualisasi nilai-nilai sejarah dalam kehidupan
yang nyata. Dengan kata lain, sejarah tidak akan berfungsi bagi proses pendidikan yang
menjurus ke arah pertumbuhan dan pengembangan karakter bangsa apabila nilai-nilai sejarah
tersebut belum terwujud dalam pola-pola perilaku yang nyata. Untuk sampai pada taraf wujud
perilaku ini, perlu ditumbuhkan kesadaran sejarah sebagaimana dijelaskan oleh Soedjatmoko
(1984: 67), bahwa:
“…Suatu orientasi intelektual, suatu sikap jiwa yang perlu memahami secara tepat
faham kepribadian nasional. Kesadaran sejarah ini menuntun manusia pada pengertian
mengenal diri sendiri sebagai bangsa, kepada self understanding of nation, kepada

60
sangkan paran suatu bangsa, kepada persoalan what we are, what we are what we
are…”

Dengan demikian, kesadaran sejarah tidak lain daripada kondisi kejiwaan yang
menunjukkan tingkat penghayatan pada makna dan hakekat sejarah bagi masa kini dan bagi
masa yang akan datang, menyadari dasar pokok bagi berfungsinya makna sejarah dalam proses
pendidikan. Untuk mengembangkan manusia seperti itu, dengan sendirinya diperlukan motivasi
yang kuat sebagai factor penggerak dari dalam diri manusia sendiri. Ini tidak lain daripada nilai-
nilai, yang kalau dihubungkan dengan sejarah, merupakan nilai-nilai masa lampau yang telah
teruji oleh jaman. Di sinilah bertemu antara pendidikan dan sejarah. Sejarah dalam salah satu
fungsi utamanya adalah mengabdikan pengalaman-pengalaman masyarakat di waktu yang
lampau, yang sewaktu-waktu dapat menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat itu dalam
memecahkan problema-problema yang dihadapinya. Melalui sejarahlah nilai-nilai masa lampau
dapat dipetik dan digunakan untuk menghadapi masa kini.
Oleh karena itu, tanpa sejarah orang tidak akan mampu membangun ide-ide tentang
konsekuensi dari apa yang dia lakukan dalam realitas kehidupannya pada masa kini dan masa
yang akan dating, dalam sebuah kesadaran historis. Dalam kaitan ini, Collingwood (1973: 10)
sejarawan Inggris menyatakan sebagai berikut: mengenal diri sendiri itu berarti mengenal apa
yang dapat seseorang lakukan, dan karena tidak seorang pun mengetahui apa yang bisa dia
lakukan sampai dia mencobanya, maka satu-satunya kunci untuk mengetahui apa yang dia bisa
perbuat seseorang adalah apa yang telah diperbuat. Dengan demikian nilai dari sejarah adalah
bahwa sejarah telah mengjarkan tentang apa yang telah manusiakerjakan, dan selanjutnya apa
sebenarnya manusia itu.
Menurut Suyatno Kartodirdjo (1989: 1-7), kesadaran sejarah pada manusia sangat
penting artinya bagi pembinaan budaya bangsa. Kesadaran sejarah dalam konteks ini bukan
hanya sekedar memperluas pengatahuan, melainkan harus diarahkan pula kepada kesadaran
penghayatan nilai-nilai budaya yang relevan dengan usaha pengembangan kebudayaan itu
sendiri. Kesadaran sejarah dalam konteks pembinaan budaya bangsa dalam pembangkitan
kesadaran bahwa bangsa itu merupakan suatu kesatuan sosial yang terwujud melalui suatu
proses sejarah, yang akhirnya mempersatukan sejumlah nasion kecil dalam suatu nasion besar
yaitu bangsa. Dengan demikian indikator-indikator kesadaran sejarah tersebut dapat dirumuskan
mencakup: menghayati makna dan hakekat sejarah bagi masa kini dan masa yang akan dating;

61
mengenal diri sendiri dan bangsanya; membudayakan sejarah bagi pembinaan budaya bangsa;
dan menjaga peninggalan sejarah bangsa.

B. Makna Sejarah
Dalam pembelajaran sejarah, nasioanlisme merupakan tujuan pembelajaran yang
sangat penting dalam rangka membangun karakter bangsa.Dalam Permendiknas No 22 Tahun
2006, mata pelajaran sejarah telah diberikan pada tingkat pendidikan dasar sebagai bagian
integral dari mata pelajaran IPS, sedangkan pada tingkat pendidikan menengah diberikan
sebagai mata pelajarantersendiri. Mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam
pembentukanwatak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan
manusiaIndonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Materi sejarah
mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan
semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian
peserta didik; memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban
bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses
pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan; menanamkan
kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam
menghadapi ancaman disintegrasi bangsa; sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang
berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari; dan
berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara
keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
Pemahaman sejarah perlu dimiliki setiap orang sejak dini agar mengetahui dan
memahami makna dari peristiwa masa lampau sehingga dapat digunakan sebagai landasan
sikap dalam menghadapi kenyataan pada masa sekarang serta menentukan masa yang akan
datang. Artinya sejarah perlu dipelajari sejak dini oleh setiap individu baik secara formal maupun
nonformal, Keterkaitan individu dengan masyarakat atau bangsanya memerlukan terbentuknya
kesadaran pentingnya sejarah terhadap persoalan kehidupan bersama seperti: nasionalisme,
persatuan, solidaritas dan integritas nasional. Terwujudnya cita-cita suatu masyarakat atau
bangsa sangat ditentukan oleh generasi penerus yang mampu memahami sejarah masyarakat
atau bangsanya.

62
Sejarah adalah topik ilmu pengetahuan yang sangat menarik. Tak hanya itu, sejarah
juga mengajarkan hal-hal yang sangat penting, terutama mengenai: keberhasilan dan kegagalan
dari para pemimpin kita, sistem perekonomian yang pernah ada, bentuk-bentuk pemerintahan,
dan hal-hal penting lainnya dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah. Dari sejarah, kita
dapat mempelajari apa saja yang memengaruhi kemajuan dan kejatuhan sebuah negara atau
sebuah peradaban. Kita juga dapat mempelajari latar belakang alasan kegiatan politik, pengaruh
dari filsafat sosial, serta sudut pandang budaya dan teknologi yang bermacam-macam,
sepanjang zaman.
Oleh karena itu, pemahaman sejarah perlu dimiliki setiap orang sejak dini agar
mengetahui dan memahami makna dari peristiwa masa lampau sehingga dapat digunakan
sebagai landasan sikap dalam menghadapi kenyataan pada masa sekarang serta menentukan
masa yang akan datang. Artinya sejarah perlu dipelajari sejak dini oleh setiap individu baik
secara formal maupun nonformal, Keterkaitan individu dengan masyarakat atau bangsanya
memerlukan terbentuknya kesadaran pentingnya sejarah terhadap persoalan kehidupan
bersama seperti: nasionalisme, persatuan, solidaritas dan integritas nasional. Terwujudnya cita-
cita suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh generasi penerus yang mampu
memahami sejarah masyarakat atau bangsanya.

C. Nilai Strategis Pembelajaran Sejarah


Orang tidak akan belajar sejarah kalai tidak ada gunanya. Kenyataan bahwa sejarah
terus ditulis orang di semua peradaban dan sepanjang waktu, sebenarnya cukup menjadi bukti
bahwa sejarah itu perlu. Sekarang ini yang paling penting adalah bagaimana sejarah yang
diajarkan di sekolah bisa memiliki peran strategis di dalam menanamkan nilai-nilai di dalam diri
siswa sehingga memiliki kesadaran terhadap eksistensi bangsanya. Dalam pembangunan
bangsa pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk memberi pengetahuan sejarah
sebagai kumpulan informasi fakta sejarah, tetapi juga bertujuan menyadarkan anak didik atau
membangkitkan kesadaran sejarahnya.
Untuk mengemas pendidkan sejarah sehingga dapat menghasilkan internalisasi nilai
diperlukan adanya pengorganisasian bahan yang beraneka ragam serta metode sajian yang
bervariasi. Di samping itu gaya belajar subjek didik juga perlu mendapat perhatian, agar tidak
kehilangan bingkai moral dan afeksi dari seluruh tujuan pengajaran yang telah ada. Karena
tanpa bingkai moral, pengajaran sejarah yang terlalu mengedepankan aspek kognitif tidak akan

63
banyak pengaruhnya dalam rangka memantapkan apa yang sering disebut sebagai jati diri
kepribadian bangsa.
Mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang
memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Pembentukan kepribadian nasional beserta
identitas dan jati diri tidak akan terwujud tanpa adanya pengembangan kesadaran sejarah
sebagai sumber inspirasi dan aspirasi. Kepribadian nasional, identitas, dan jati diri berkembang
melalui pengalaman kolektif bangsa, yaitu proses sejarah. Materi sejarah, sesuai dengan
Permen Diknas No 22 tahun 2006:
(a) Mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme,
nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak
dan kepribadian peserta didik. (b) Memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa,
termasuk peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang
mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa
depan. (c) Menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi
perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa. (d) Sarat dengan ajaran moral
dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari. (e) Berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab
dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
Mempelajari sejarah bukan sekedar hapalan atau hanya sekedar cerita tentang suatu
peristiwa besar yang kemudian kita lupakan dan tanpa memperoleh pemahaman sedikitpun.
Peristiwa sejarah pasti mengandung nilai. Nilai pembelajaran sejarah apa yang kita peroleh
dapat kita pergunakan pendapat Kochhar : (1) Nilai Keilmuan, sejarah memberikan pelatihan
mental yang sangat bagus. (2) Nilai Informatif, sejarah merupakan pusat informasi yang lengkap
dan meyediakan panduan untuk menemukan jalan keluar dari semua masalah yanng dihadapi
manusia. (3) Nilai Pendidikan, salah satu alasan terbaik untuk mengajarkan sejarah kepada
anak-anak adalah nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. (4) Nilai Etika, sejarah
dianggap sebagai bagian yang sangat penting dalam kurikulum sekolah, terutama dalam hal
pembelajaran moralitas.
(5) Nilai Budaya, sejarah dapat menjadi instrumen yang sangat efektif untuk membuat
pikiran manusia lebih berbudaya. (6) Nilai Politik, sejarah juga membantu perpolitikan di negeri
kita. (7) Nilai Nasionalisme, sebagai instrumen penggugah rasa cinta tanah air dalam pikiran

64
anak-anak.(8) Nilai Internasional, sejarah sangat berharga bagi pengembangan akar
internasionalisme yang rasional. (9) Nilai Kerja, sejarah memiliki nilai kerja. Berbagai pekerjaan
terbuka bagi mereka yang menjadi sejarawan berkualitas. (10) Nilai Kependidikan, sejarah tidak
hanya membantu para siswa dari berbagai umur dan kemampuan untuk menemukan posisi
mereka di masa sekarang dengan cara menciptakan “hubungan yang menentramkan” dengan
masa lampau, tetapi juga secara tidak langsung mengandung filsafat tentang asal-usul yang
bermakna di masa lalu dan tujuan yang bermakna di masa depan, yang menjadi alasan bagi
kerja keras manusia di masa sekarang.

65
Soal Latihan

1. Jelaskan pentingnya kesadaran sejarah dalam menjaga nilai-niai kebudayaan suatu bangsa?
2. Pelajaran sejarah mempunyai fungsi sosio-kultural, membangkitkan kesadaran historis.
Jelaskan maksud tersebut!
3. Jelaskan makna yang dapat dipetik dalam mempelajari sejarah?
4. Kemukakan secara terperinci nilai sejarah yang terkandung dalam Permen Diknas No 22
tahun 2006?
5. Tulis dan jelaskan nilai pembelajaran sejarah yang dikemukakan oleh Kochhar?

66
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 2005. Sejarah Lokal Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Madha University
Press.

Abdullah, Taufik dan Abdurrachman Surjomiharjo. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah
dan Persfektif. Jakarta: Gramedia.

Abdulgani, Roeslan. 1963. Penggunaan Ilmu Sejarah. Djakarta:Prapanca

Abdurrahman, Dudung. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Yokyakarta: Ar-Ruzz Media.

Arif, Muhammad. 2011. Pengantar Kajian Sejarah. Bandung: Yrama Widya

Ali, R. Moh. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yokyakarta: LKIS

Burke, Peter. 1990. The French Historical Writing. Cambridge: Polity Press

Collingwood. 2004. Filsafat Sejarah: Investigasi Historis dan Arkeologis (Diterjemahkan oleh
Marselinus Kepata). Yokyakarta: Insight Reference.

Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah (Diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto). Jakarta:
UI Press

Gonggong, Anhar. 2004. Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot Hingga Pemberontak.
Yogyakarta: Ombak.

Haryono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya

Hamid, Rahman, dan Madjid. 2008. Pengantar Ilmu Sejarah. Makassar: Rayhan Intermedia.

Hugiono, dan Poerwantana. 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Rineka Cipta

Ibnu Khaldum. 1982. Muqaddimah Ibnu Khaldum: Suatu Pendahuluan. (Diterjemahkan oleh
Ismail Yakub). Jakarta: Faizan

Kartodirdjo. Sartono 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu


Alternatif. Jakarta : PT Gramedia.

Kartodirdjo, Sartono dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid V. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan

. 1982. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : PT


Gramedia.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yokyakarta: Tiara Wacana
. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yokyakarta: Bentang Pustaka

67
Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah. (a.b. Nugroho Notosusanto). Jakarta: UI Press. hlm
17

Poerwadarminta, W.J.S. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka-
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rahim, Rauf dkk. 1980. Sejarah Nasional Indonesia (Sejarah Indonesia Purba). Ujung pandang:
Himpunan PBS. Sejarah (IKAWARSA), Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Ujung Pandang

Renier. G.J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. (Diterjemahkan oleh Muin Umar). Jakarta:
Pustaka Pelajar

Soedjatmoko, dkk. 1995. Historiografi Indonesia (Sebuah Pengantar). Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama

Wertheim, W.F. 1959. Indonesian Societi in Transition: A studi of Social Change. Amsterdam: W.
Van Hoevel.

Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Historis: Memetakkan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu
(Diterjemahkan oleh Masri Maris). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

68

Anda mungkin juga menyukai