Anda di halaman 1dari 158

ANALISIS

KUALITAS LINGKUNGAN FISIK


(bagian 1)

Utami Dwipayanti
30 September 2010
PENCEMARAN LINGKUNGAN FISIK
• Lingkungan: Fisik, Biologi dan
Sosial
• Sumber Pencemaran
– Aktivitas Manusia
– Natural Process
• Lokasi Pencemaran
– Air, Tanah, Udara
• Jenis Pencemaran
– Fisik, Biologi, Kimia
ANALISIS KUALITAS AIR
• Badan Air / Sumber Air
– Air Permukaan (Surface Water)
– Air Tanah (Ground Water)
• Peraturan Pemerintah No 82 tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air
– Definisi
– Penggolongan air
– Kriteria mutu air berdasarkan Kelas
DEFINISI
– Baku mutu air adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi atau komponen lain yang ada atau harus ada dan
atau unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam air
pada sumber air tertentu sesuai dengan peruntukannya

– Baku mutu limbah cair adalah batas kadar dan jumlah


unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam limbah cair
untuk dibuang dari satu jenis kegiatan tertentu
DEFINISI
– Beban pencemaran adalah jumlah suatu parameter
pencemaran yang terkandung dalam sejumlah air atau
limbah. Beban pencemaran dinyatakan dalam dalam satuan
jumlah parameter pencemaran, biasanya sebagai satuan
berat, atau untuk aliran air atau limbah dinyatakan dalam
satuan jumlah parameter pencemaran per satuan waktu

– Daya tampung beban pencemaran (carrying capacity)


adalah kemampuan air pada sumber air menerima beban
pencemaran limbah tanpa mengakibatkan turunnya kualitas
air sehingga melewati baku mutu air yang ditetapkan sesuai
dengan peruntukkannya.
PENGGOLONGAN AIR
Menurut Peruntukkannya
– Golongan A: Air yang dapat digunakan sebagai air minum
segara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu
– Golongan B: Air yang dapat digunakan sebagai air baku air
minum
– Golongan C: Air yang dapat digunakan untuk keperluan
perikanan dan peternakan
– Golongan D: Air yang dapat digunakan untuk keperluan
pertanian dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan,
industri, pembangkit listrik tenaga air
QUIZ
• Apa perbedaan beban pencemaran dan
kadar maksimum (baku mutu)?
PARAMETER FISIKA
• Suhu (Temperature)
– Temperatur air dijaga pada kondisi normal yaitu dibawah
suhu udara luar.
– Toleransi makhluk hidup terhadap perubahan suhu
• Kekeruhan (Turbidity)
– Mengganggu lewatnya cahaya melalui air
– Disebabkan oleh suspended material mulai dari yang
berukuran koloidal sampai butiran kasar
– Significance: estetika, filtrasi, desinfeksi
– Satuan standar : Nephelometric Turbidity Units (NTU)
PARAMETER FISIKA
• Warna dan Rasa (Color and Taste)
– Natural color (true color): disebabkan oleh ekstrak
tanaman: tannins, humic acid, humates dr dekomposisi
lignin, dapat disisihkan dengan proses koagulasi
– Apparent color: disebabkan oleh bahan tersuspensi (besi)
– Air permukaan juga mendapatkan warna dari polusi: e.g.
limbah industri dg proses pewarnaan
– Pertimbangan estetika  tidak melebihi 15 unit
– Air minum  tidak berasa
SOLIDS
• Zat Padat Tersuspensi (Suspended Solid)
– Merupakan zat padat tak terlarut baik itu bahan inorganik
atau organik; e.g. lumpur
– Bersumber dari proses erosi dan limbah
– Tertahan dari proses penyaringan
– Bahan padat mengendap (settle-able solids)
SOLIDS
• Zat Padat Terlarut (Dissolved Solid)
– Dalam potable water: terdiri dari garam inorganik, sedikit
bahan organic, gas terlarut  20-1000 mg/lt
– Lewat dari proses penyaringan
• Volatile and Fixed Solids
– Volatile solids: bahan padat organik yang dapat diubah
menjadi gas CO2 dan air pada suhu tertentu
– Fixed solids: bahan padat inorganik yang tertinggal dari
proses pemanasan diatas
Jar Test
• A laboratory procedure that simulates coagulation/flocculation with
differing chemical doses.
• The purpose of the procedure is to estimate the minimum coagulant
dose required to achieve certain water quality goals.
• Samples of water to be treated are placed in six jars. Various amounts
of chemicals are added to each jar, stirred, and the settling of solids is
observed.
• The lowest dose of chemicals that provides satisfactory settling is the
dose used to treat the water.
Results of the jar-test experiment
PARAMETER KIMIA
• Solids
• Biodegradables and Organic Matter
• Nutrients
• PH, Acidity and Alkalinity
• Heavy Metals & Radio nuclides
• Synthetic Organic Chemicals
• Macro pollutants, Litter & Garbage
BIODEGRADABLES AND ORGANIC MATTER
• DO (Dissolved Oxygen)
– Pengukuran oksigen sebagai oksigen terlarut
– Dalam keadaan jenuh dan suhu normal DO air sekitar
9 mg/lt
– Berasal dari kesetimbangan oksigen diudara dan di dalam
air, juga dari proses photosynthesis
– Dasar pengukuran BOD
BIODEGRADABLES AND ORGANIC MATTER
• BOD (Biochemical Oxygen Demand)
– Jumlah oksigen yan diperlukan oleh mikroorganisme untuk
mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerob.
– Sebagai indikasi tingkat pencemaran domestik dan industri
dimana dilihat kemampuan purifikasi dari badan air yang
bersangkutan.
– Diperlukan bibit mikroorganisme dan kandungan oksigen
jenuh, inkubasi 5 hari (70-80% BOD)
BIODEGRADABLES AND ORGANIC MATTER
• COD (Chemical Oxygen Demand)
– Oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi semua
bahan organic baik yang biodegradable maupun yang
biologically resistant.
– Contoh : glucose dan lignin  limbah industri kertas.
– Secara kimia, perlu waktu singkat (3 jam)
– Nilainya lebih besar dari nilai BOD
BOD COD
(65%)
NUTRIENTS
• Nitrogen
– Bentuk dalam air: Organik N, Ammonia (NH4+), Nitrat
(NO3-), Nitrit (NO2-)
– Sebagai indikator kualitas sanitasi air, menyedot
kebutuhan oksigen, control proses pengolahan air limbah
secara biologi
– Nitrat dapat mengakibatkan methemoglobinemia pada
bayi (blue baby) dibatasi < 10mg/lt
NUTRIENTS
• Phosphor
– Organik dan inorganik (phosphates
dan Polyphosphates)
– Critical level untuk public water
supply  0,005 mg/lt atau 5 μg/lt
– Air limbah domestik biasanya 2-3
mg/lt (inorganik) dan 0,5 – 1 mg/lt
(organik) bersumber dari detergen.
pH, ACIDITY AND ALKALINITY
• pH
– menggambarkan intensitas kondisi asam atau basa dalam
air  konsentrasi ion hydrogen
– dipertimbangkan dalam penentuan koagulasi kimia,
desinfeksi, penurunan kesadahan air, kontrol korosi
– Tetapi pH tidak mengukur total acidity maupun alkalinitas
– pH rata-rata badan air yang merupakan kondisi baik untuk
populasi ikan adalah 6,7 – 8,6
– Masuknya kandungan Amonia (NH3) dari landfill dan
peternakan dapat menaikkan pH sampai 8
– Aerasi, boiler water, alga blooms  menaikkan pH
pH, ACIDITY AND ALKALINITY
• Acidity
– Kesetimbangan gas CO2  Henry’s Law
– pH mulai dari sedikit diatas 8 sampai sedikit dibawah 4
adalah asiditas karena CO2
H2O + CO2  H+ + HCO3-  2H+ + CO32-
– pH dibawah 4 umumnya karena mineral acidity (sulfuric acid,
garam dari trivalent metal ions)
2S + 3O2 + 2H2O  4H+ + 2SO42-
FeCl3 + 3H2O  Fe(OH)3 + 3H+ + 3Cl-
– bersifat korosif, menurunkan pH sehingga mengganggu
aktivitas biologis dalam air, meningkatkan kelarutan logam
dalam air.
pH, ACIDITY AND ALKALINITY
• Alkalinity
– Adalah kapasitas air untuk menetralkan tambahan asam
tanpa penurunan nilai pH larutan (acid neutralization
capacity = ANC)
– Diperlukan dalam proses pengolahan air
– Unsur utama pembentuk alkalinitas air = Bikarbonates 
karbonat (CO32-), bikarbonat (HCO3-), hidroksida (OH-), borat
(BO33-), fosfat (PO43-), silikat (SiO44-)
– dinyatakan dalam mg CaCO3/lt
– alkalinitas tinggi  air menjadi agresif
– alkalinitas rendah  pembentukan kerak bersama ion Ca2+
dan Mg2+
pH, ACIDITY AND ALKALINITY
• Kesadahan
– Kesadahan = Hardness  kontak air dengan tanah
– Disebabkan oleh ion Ca2+, Mg2+, Mn2+, Fe2+, Sr2+ dan HCO3-,
SO42-, Cl-, NO3-, SiO32-
– 150 – 300 tergolong air keras
– Kesadahan Kalsium dan Magnesium, Kesadahan Karbonat =
kesadahan sementara, Keadahan Non-karbonat = Kesadahan
Tetap, Kesadahan Palsu.
– kebutuhan bahan pelunak: umumnya diperlukan data
konsentrasi CO2, HCO3- dan Ca2+
– Konsumsi sabun tinggi (fungsi membersihkan tidak memuaskan),
membentuk kerak pada dinding pipa, menyulitkan pemanasan
air pada ketel
HEAVY METALS & RADIO NUCLIDES
– Heavy metals: Mercury (Hg), Copper (Cu), Cobalt (Co),
Cadmium (Cd)
– Dari proses alam  pengikisan mineral dan batuan alam
oleh cuaca
– Berbahaya bila melebihi ambang batas
– Contoh: Parkinson disease (Aluminium), Minamata disease
(Mercury)
– Bahan radioaktif: berasal dari aktivitas manusia  dapat
mengakibatkan kanker dan kelainan pada janin
– Beberapa jenis logam berat terbukti bersifat bioakumulatif
SYNTHETIC ORGANIC CHEMICALS
– Bahan kimia organic yang merupakan hasil rekayasa
manusia.
– Contoh: Polychlorinated Biphenyls ( PCBs),
Trihalomethanes (THMs), Organochlorinated (e.g. DDD,
DDE, DDT), Organophosphate pesticide (e.g. malathion,
parathion), Herbicides (e.g. 2,4-D), Sabun, Detergen dan
Minyak
– Umumnya berasal dari pembuangan container bekas
disekitar atau tepat di badan air
– Bersifat bioakumulatif dalam tubuh makhluk hidup
MACROPOLLUTANTS, LITTER & GARBAGE
– Dapat menaikkan BOD
– Mengganggu dari segi
estetika
– Mengubah komunitas
makhluk hidup
– Menganggu aliran
– Meningkatkan
pertumbuhan vektor
penyebar penyakit
– Menjebak binatang air
DAFTAR PUSTAKA
– Alaerts G. & Santika S.S. (1984) Metode Penelitian Air, Usaha
Nasional, Surabaya.
– Reeve R. (2002) Introduction to Environmental Analysis, John
Wiley & Sons Ltd., West Sussex, England.
– Sawyer et al (1994) Chemistry for Environmental Engineering, 4th
edition, McGraw-Hill Inc., New York
– Soedjono et al (1990) Pedoman Bidang Studi Pengawasan
Pencemaran Lingkungan Fisik pada Institusi Pendidikan Tenaga
Kesehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
– Thornton et al (1999) Assessment and Control of Non-point Source
Pollution of Aquatic Ecosystem: a practical approach, Man & the
Biosphere, vol. 23, The Parthenon Publishing Group, Inc., New
York.
To be continued…..
PARAMETER KUALITAS UDARA
BY: MADE AYU HITAPRETIWI SURYADHI
POLUSI UDARA
Definisi:
Senyawa-senyawa yang
terdapat di udara dengan
sejumlah konsentrasi tertentu
yang dapat menyebabkan efek
yang tidak diinginkan.
KOMPOSISI
NORMAL UDARA
(“NORMAL DRY
TROPOSPHERIC
AIR”)
DEFINISI…

• Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan


troposfir yang berada di dalam wilayah yuridiksi Republik Indonesia yang
dibutuhkan dan berpengaruh terhadap kesehatan manusia, mahluk hidup, dan
unsur lingkungan hidup lainnya.
• Baku Mutu Udara Ambien adalah nilai Pencemar Udara yang ditenggang
keberadaanya dalam Udara Ambien.
JENIS POLUTAN DI UDARA:

1. Sulfur dioksida (Pembakaran arang, kayu, proses industry (pemurnian petroleum,


peleburan baja), letusan gunung berapi, sumber geothermal)
2. Oksida dari nitrogen (NO dan NO2) (transportasi, industry, pembakaran, dll)
3. Karbon monoksida (kendaraan bermotor)
4. Hidrokarbon (Kendaraan, petrokimia, produksi cat, dry cleaning)
5. Ozon dan oksidan fotokimia lainnya (komponen buangan kendaraan)
6. Karbon dioksida (pembakaran bahan bakar fosil)
LANJUTAN..

7. Klorofluorokarbon (refrigerant, propelan (dalam aplikasi aerosol) dan


pelarut)
8. Particulate matter (emisi kendaraan, partikel asap, partikel debu, dan abu
hasil kegiatan industry)
PARAMETER YANG DITETAPKAN DALAM BAKU
MUTU UDARA AMBIEN PP NO 22 THN 2021
• Sulfur dioksida
• Karbon monoksida
• Nitrogen dioksida
• Oksidan fotokimia sebagai Ozon
• Hidrokarbon Non Metana
• Partikulat debu
• Timbal
POLUTAN DI UDARA YANG “HAZARDOUS”

1. Asbestos (konstruksi, demolisi, perpipaan, pertambangan asbestos, erosi


tanah)
2. Merkuri (produksi klor-alkali dan baterai, incinerasi solid-waste)
3. Hidrogen sulfida (produksi kertas, pemurnian minyak)
4. Benzene (produksi petrokimia)
5. Arsenik (peleburan tembaga dan produksi gelas)
6. Fluorides (produksi aluminium dan produksi pupuk fosfat)
DAMPAKNYA
TERHADAP
KESEHATAN
DAMPAKNYA TERHADAP KESEHATAN

1. Karbon monoksida: pusing, kelelahan, koma, kematian.


2. Partikulat matter: lung cancer, COPD, emphysema.
3. Sulfur dioksida, oksida dari nitrogen, dan ozon: pulmonary edema, pusing,
disorientasi.
4. Arsenik: mesothelioma.
5. Merkuri: ulserasi membrane mukosa.
6. Asbestos: asbestosis dan tumor malignant.
DAMPAKNYA TERHADAP KESEHATAN

7. Benzene: karsinogen.
8. Senyawa fluoride: fluorosis.
•SGD dan Presentasi
Teknik pemantauan
kualitas udara
UTAMI DWIPAYANTI
Tujuan pemantauan kualitas udara
Highest concentration affecting people or vegetation
High-density population exposure
Background concentration
Source impact: relative impact
Standards (Baku mutu)
Sumber emsisi tak bergerak
Baku mutu udara ambien
PP 41 tahun 1999
 PP 41 tahun 1999
 Kep Men LH Nomor 13/1995
 Baku mutu Emisi untuk jenis
kegiatan lain
INSPEKSI
Data
◦ Nama dan jenis sumber pencemar
◦ Bahan baku, bahan tambahan, proses dan kapasitas produksi
◦ Kandungan emisi
◦ Denah lokasi sumber pencemaran dan sekitarnya
◦ Jenis pengendalian yang telah dilakukan

Observasi
◦ Keluhan:Bau, pengotoran, iritasi mata dan saluran pernafasan, gangguan pandangan
◦ Adanya sumber emisi
INSPEKSI
Evaluasi dan analisis:
◦ Evaluasi program pengendalian pencemaran
◦ Menghubungkan efek dan penyebab
◦ Memprediksi dan mengevaluasi bahaya terhadap kesehatan (mempertimbangkan
kelompok komunitas yang terpapar, fluktuasi pencemaran, kombinasi paparan dari
berbagai zat pencemar)
◦ Memprediksi tingkat pencemaran di masa mendatang
PELACAKAN
◦ Mengetahui jauhnya penyebaran pemcemaran serta besarnya dampak thd
lingkungan dan kesehatan
◦ Dasar pertimbangan: hasil pemantauan yang menunjukkan bahwa kualitas
udara/emisi diatas ambang batas, adanya bahan toksik, dan lain-lain, adanya
keluhan masyarakat, adanya laporan dari unit lain
◦ Pelaksanaan: memastikan reliabilitas keluhan dan informasi, data penyakit dari
puskesmas, pengukuran kulias udara, analisis data
◦ Tindak lanjut: penyuluhan dan perbaikan system pengendalian, pengkajian lebih
jauh secara epidemiologis dan lingkungan di masyarakat lain di wilayah penyebaran
pencemaran.
SAMPLING
Pengukuran
◦ Pengukuran parameter iklim dan cuaca: Suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angina
◦ Pengukuran parameter kimia dan fisik
◦ Pengukuran konsentrasi emisi dan ambien

Tergantung jenis sumber


◦ Sumber tak bergerak / bergerak
◦ Emisi (pada sumber pencemaran) atau ambien (pada media penerima polutan)
Mekanisme umum sampling
◦ Pengukuran konsentrasi gas
◦ Pengukuran konsentrasi partikulat
SAMPLING
Komponen sampling
◦ Inlet manifold (non reactive material)  probe
◦ Air mover (pompa vakum)
◦ Collection medium
◦ Flow measurement device
Lokasi sampling
Pertimbangan
◦ Meteorologi
◦ Topografi
◦ Tata guna lahan (diantara bangunan rendah dan berjauhan)
◦ Hindari lokasi yang dapat mempengaruhi hasil
Istilah
◦ Stasiun: titik pemantauan secara otomatis dan menerus
◦ Lokasi sampling: daerah atau area yang dipilih
◦ Tititk sampling: tempat peralatan sampling diletakkan
Partikulat
Tujuan:
◦ Analisis konsentrasi massa
◦ Analisis komposisi kimia
Kondisi sampling
◦ Kondisi inilet: isokinetic condition (aliran udara sampling searah aliran udara luar
(arah angin)
◦ Sampling probe sependek mungkin dan tidak ada belokan (menghindari tabrakan
dengan partikel)
◦ Pengaruh kelembaban
◦ Kecapatan aliran mencegah gravitational settling
Metode pengumpulan partikel:
◦ Filtrasi (direct interception, inertia impactin, diffusion) (>>%)
◦ Impaksi (benturan) (size klasifikasi)
High volume sampler
Cascade Impactor
Gas
Collection medium: liquid atau padat (solid sorbents)
Ekstraktif sampling: bubbler system (kontrol flow dan volume
sampel udara agar efisiensi penyerapan baik)
In situ sampling and analysis: kontinyu
Senyawa gas bereaksi dengan air dan pereaksi membentuk ion.
Analisis dilakukan terhadap konsentrasi ion tersebut.
Pemeriksaan emisi cerobong
Pada ketinggian 8 kali diameter bawah atau 2 kali diameter atas
Bebas dari ganguan aliran (bengkokan, ekspansi atuapenyusutan aliran)
Exhaust gas stack sampling probe
Pengukuran Kebisingan dan Pencahayaan
Sound level meter Light meter
Kelembaban udara
Hygrometer
Psycrometer
◦ % Kelembaban relative = Suhu bola kering –
Suhu bola basah

 dilihat pada tabel Relative Humidity (RH)


ANALISIS KUALITAS LINGKUNGAN
Laporan Praktikum Uji Partikel Tersuspensi Menggunakan
HVAS dengan Metode Gravimetri

KELOMPOK 05

1. Devana Prayitno Putri 1902561005

2. I Gede Suka Merta 1902561017

3. Ni Putu Suartiningsih 1902561019

4. I Gusti Ayu Adinda Dewi Prativi 1902561041

5. Luh Putu Nike Wahyuntika 1902561057

6. I Putu Ryanatista Anggareksa 1902561093

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
Udara merupakan campuran gas yang berada di lingkungan
sekitar dengan komposisi yang tidak konsisten. Udara memiliki sifat
sebagai benda gas. Benda gas memiliki volume, massa, berat, massa
jenis, dan tekanan. Secara fisika, udara akan memuai jika
dipanaskan dan menyusut jika didinginkan. Udara selalu menempati
ruang, namun keberadaannya tidak dapat dilihat. Udara berhembus
dari tempat bertekanan tinggi ke tempat bertekanan lebih rendah.
Hembusan udara inilah yang dapat dirasakan (Prabowo dan Muslim,
2018).
Udara membentuk atmosfer yang memiliki komponen gas
beragam dan membentang ratusan kilometer di atas permukaan
bumi. Komponen udara yang selalu mengalami perubahan adalah
uap air (H2O) dan karbon dioksida (CO2). Udara yang menyelimuti
bumi dan membentuk lapisan-lapisan pelindung bumi disebut
sebagai atmosfer. Komponen udara yang menyusun atmosfer dalam
keadaan bersih dan kering didominasi oleh nitrogen (N2) sebanyak
78,08%, disusul oleh oksigen (O2) sebanyak 20,95%, dan karbon
dioksida (CO2) sebanyak 0,0314% (Prabowo dan Muslim, 2018).
Salah satu metode untuk mengambil sampel udara yang akan
diperiksa kualitasnya adalah High Volume Air Sampling (HVAS).
Metode HVAS merupakan metode sampling udara ambien untuk
memeriksa Total Suspended Particulate Matter (TSP) dengan
ukuran diameter partikulat ≤100 μm. Prinsip metode ini adalah udara
di sekitar alat dihisap dengan flowrate 30-60 cuft. Partikulat yang
tersuspensi dalam udara juga terhisap dan tertahan pada permukaan
filter mikrofiber. Partikulat yang tertahan ditimbang secara
gravimetrik dan volume udara dihitung berdasarkan waktu
pengambilan sampel dan flowrate udara (Arief, 2017).
Metode HVAS bertujuan untuk mengetahui partikulat yang
berada di udara. Adapun senyawa yang dapat diperiksa adalah
senyawa organik, nitrat, sulfat, logam berat, ion amonium, dan ion
fluorida. Berdasarkan standar pengukuran oleh Badan Standarisasi
Nasional, satuan hasil pengukuran HVAS adalah μg/Nm3
(mikrogram per normal meter kubik). Notasi N menunjukkan satuan
volume hisap udara kering pada suhu 25⁰C dan 760 mmHg (BSN,
2005).
Pengambilan sampel HVAS dilakukan selama 24 jam
dengan flowrate 1,70 m3/menit (60 cuft/menit). Hal ini bertujuan
partikulat dengan konsentrasi rendah sekalipun dapat diukur. Hasil
pengukuran HVAS dari udara ambien sebesar 12 μg/Nm3 akan
memberikan standar deviasi 9% (10 μg/Nm3), sedangkan pada hasil
39 μg/Nm3 akan memberikan standar deviasi 15% (6 μg/Nm3). Hasil
pengukuran juga dipengaruhi oleh aliran udara terhisap akibat
gangguan partikulat yang menyumbat filter. Untuk mengatasi hal ini
diperlukan alat pengukur aliran udara untuk menjaga aliran tetap
konstan (BSN, 2005).
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Metode dan Prinsip
Filter fiberglass akan menghisap udara dengan kecepatan aliran
udara sekitar 1.13-1.70 m3/mnt atau 30-60 cuft. Partikel tersuspensi yang
memiliki diameter <100 mikron (diameter aerodinamik) akan terhisap dan
tertahan di permukaan filter. Selanjutnya, dilakukan penimbangan berat
partikulat yang tertahan di permukaan filter dan perhitungan volume udara
yang terhisap. Partikulat yang tertahan ditimbang secara gravimetri yang
merupakan metode analisa kimia kuantitatif untuk penentuan jumlah zat
berdasarkan pada penimbangan dan volume udara dihitung berdasarkan
waktu pengambilan sampel dan flowrate udara (Arief, 2017). Hasil
pengukuran tersebut dalam metode ini akan digunakan untuk mengukur
konsentrasi partikel tersuspensi di udara ambient dengan satuan µg/m3.
Untuk memastikan laju aliran udara dapat berjalan secara konstan, metode
ini mungkin dilengkapi dengan pengatur kecepatan aliran udara. Sampel
yang terkumpul nantinya dapat digunakan untuk melakukan analisis
kualitatif maupun kuantitatif terhadap senyawa-senyawa yang berada dalam
bentuk partikel. Senyawa yang dapat dianalisis meliputi: senyawa organik,
nitrat, sulfat, (PAN), logam-logam berat, ion fluorida, dan ion ammonium.
B. Alat dan Bahan
Alat :
1. Shelter yang terdiri dari Filter Adaptor, Flow Recorder, Sampler
Motor, Flow Meter, Face Plate, dan gasket.
2. Hi-Vol Sampler
3. Unit Kalibrasi
4. Neraca Analitik
5. Designator
Bahan :
1. Filter Fiberglass
C. Prosedur
1. Pastikan filter fiberglass tidak kotor dan berlubang.
2. Filter ditimbang dengan neraca analitik dan disimpan di dalam kantong
plastik dengan keadaan tidak digulung/dilipat.
3. Pasang filter pada face plate dan gasket.
4. Pastikan sampler dalam kondisi tidak menyala.
5. Angkat atap HVAS dengan melonggarkan 4 sekrup di sisi pojok atap.
6. Pastikan tangan petugas bersih.
7. Pasang filter fiberglass pada filter adaptor diantara face plate dan
gasket.
8. Tutup Kembali atap HVAS dengan memasang dan mengencangkan 4
sekrup di sisi pojok atap.
9. Hidupkan sampler dan catat kecepatan aliran udara setelah 5 menit.
10. Biarkan sampling berlangsung selama 6, 8, atau 24 jam.
11. Catat kembali sebelum sampling berakhir.
12. Ambil filter fiberglass yang berada dalam HVAS, kemudian lipat filter
fiberglass supaya partikel tersuspensi saling berhadapan.
13. Kondisikan filter fiberglass didalam designator selama 24 jam sebelum
ditimbang.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Hasil dan Data
Pemeriksaan kualitas udara ambien pada praktikum ini menggunakan
sampel udara di pinggir Jalan Sudirman pada Rabu, 2 Desember 2021 pukul
10.00 WITA dan dengan suhu 29⁰C. Data yang diperoleh dari pengukuran
kualitas udara dengan metode High Volume Air Sampling tersebut, antara
lain:
No Variabel Pengukuran Nilai
1 Waktu sampling (T) 24 jam atau 1.440 menit
2 Kecepatan aliran udara awal (Q1) 1,7 m3/menit
3 Kecepatan aliran udara akhir (Q2) 1,65 m3/menit
Berat filter fiberglass sebelum
4 1.567 gram
sampling (W1)
Berat filter fiberglass setelah
5 1.878 gram
sampling (W2)
Metode High Volume Air Sampling digunakan untuk mengukur
konsentrasi partikel tersuspensi di udara ambient dengan satuan µg/m3,
melalui penghitungan volume udara yang terhisap dan mengukur berat
partikel yang tertahan di permukaan filter fiberglass.
Hasil perhitungan volume udara sampel yang terhisap disajikan melalui
pehitungan berikut:
1
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟ℎ𝑖𝑠𝑎𝑝 = 2 × [(𝑄1 + 𝑄2 ) × 𝑇]
1
= × [(1, 7 + 1, 65) × 1.440]
2
= 2.412 𝑚3
Volume udara yang terhisap adalah volume udara total yang dihisap
oleh High Volume Air Sampler (HVAS) yang sejak awal berfungsi hingga
alat selesai digunakan. Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa
besar volume udara yang terhisap yaitu 2.412 m3 .
Setelah mengetahui besar volume udara terhisap dan data pengukuran
berat filter fiberglass sebelum dan sesudah sampling seperti pada tabel di
atas, maka selanjutnya dapat dihitung besar konsentrasi partikel tersuspensi
di udara ambient dengan rumus perhitungan sebagai berikut:
(𝑊2 − 𝑊1 ) × 106
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑎𝑟𝑡𝑖𝑘𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑢𝑠𝑝𝑒𝑛𝑠𝑖 =
𝑉
(1.878 − 1.567) × 106
=
2.412
= 12,89 × 104 µ𝑔/𝑚3
Dari perhitungan di atas diketahui bahwa besar konsentrasi partikel yang
tersuspensi pada sampel udara dalam praktikum ini dengan waktu 24 jam
ialah 12,89 x 104 μg/m3 atau 128.900 μg/m3 dan melebihi nilai baku mutu
udara ambien yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No 41
Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Dimana, baku mutu
udara ambien dengan parameter konsentrasi TSP (Total Suspended
Particulate) atau debu adalah sebesar 230 μg/Nm3 (untuk waktu
pengukuran 24 jam) dan 90 μg/Nm3 (untuk waktu pengukuran 1 tahun).
B. Pembahasan
1. Pembahasan mengapa prinsip atau metode tersebut yang digunakan
dalam pengukuran parameter tersebut.
High Volume Air Sampling (HVAS) merupakan metode yang
digunakan untuk menilai kualitas sampel udara melalui pemeriksaan
Total Suspended Particulate Matter (TSP) dengan ukuran diameter
partikulat ≤100 μm, seperti senyawa organik, sulfat, nitrat, ion, logam
berat, amonium, dan ion fluorida. Prinsip yang digunakan pada
metode ini adalah udara di sekitar alat dihisap dengan flowrate 30-60
cuft. Permukaan mikrofiber berfungsi untuk menghisap dan menahan
partikulat yang tersuspensi dalam udara. Selanjutnya, partikulat ini
ditimbang secara gravimetri serta volume udara dihitung
berdasarkan flowrate udara dan waktu pengambilan sampel (Arief,
2017). Filter fiberglass akan menghisap udara dengan kecepatan
aliran udara sekitar 1.13-1.70 m3/mnt atau 30-60 cuft. Hasil
pengukuran berperan penting mengukur konsentrasi partikel
tersuspensi di udara ambient. Aliran yang terhambat sebagai akibat
dari sumbatan partikulat pada filter dapat mempengaruhi hasil
pengukuran. Oleh karena itu, metode ini harus dilengkapi dengan alat
pengukur aliran udara untuk menjaga aliran tetap konstan (BSN,
2005). Sampel yang terkumpul dapat digunakan untuk menganalisis
senyawa-senyawa dalam partikel, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif.
2. Pembahasan mengenai kesesuaian prinsip pengukuran dengan
pengerjaan praktikum.
Pada praktikum High Volume Air Sampling (HVAS), pengukuran
tidak dilakukan secara langsung karena alat-alat di laboratorium
mengalami kerusakan. Prinsip yang digunakan dalam praktikum
hanya disampaikan secara teoritis saja.
3. Pembahasan mengenai setiap langkah dalam pengukuran dan
alasan/tujuan dilakukannya langkah tersebut.
Praktikum pengukuran High Volume Air Sampling (HVAS)
dilakukan dengan menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan. Alat-
alat yang digunakan pada pengukuran HVAS diantaranya (1) Shelter
(Filter Adaptor, Flow Recorder, Sampler Motor, Flow Meter, Face
Plate, dan Gasket); (2) Hi-Vol Sampler; (3) Unit Kalibrasi; (4) Neraca
Analitik; dan (5) Designator. Sedangkan, bahan yang diperlukan
yaitu filter fiberglass. Setelah menyiapkan alat dan bahan, langkah
selanjutnya adalah memeriksa dan memastikan filter fiberglass tidak
kotor dan berlubang. Hal ini bertujuan untuk mencegah kebocoran
partikel dan mendapatkan hasil dengan akurasi yang tinggi. Filter
selanjutnya ditimbang dengan neraca analitik dan disimpan di dalam
kantong plastik dengan keadaan tidak digulung/dilipat. Setelah itu,
filter dipasang pada face plate dan gasket, serta pastikan sampler
tidak menyala sebelum proses pemeriksaan dilakukan. Longgarkan 4
sekrup di sisi pojok atap agar atap HVAS mudah diangkat. Sebelum
memasang filter fiberglass pada filter adaptor diantara face plate dan
gasket, pastikan tangan petugas/pemeriksa dalam kondisi bersih agar
tidak ada partikel-partikel lain yang menempel filter fiberglass. Atap
HVAS ditutup kembali dengan cara mengencangkan 4 sekrup di sisi
pojok atap. Atap HVAS berfungsi untuk menjaga filter dari air hujan
dan mencegah masuknya partikel-partikel dengan ukuran yang terlalu
besar. Setelah siap, sampler dihidupkan serta catat kecepatan aliran
udara setelah 5 menit. Selanjutnya, proses sampling dilakukan selama
6, 8, atau 24 jam dan catat kembali sebelum sampling berakhir.
Setelah sampling selesai, filter fiberglass dapat diambil kembali
dengan membuka atap HVAS menggunakan cara seperti sebelumnya.
Namun sebelum diangkat, filter fiberglass yang telah berisi partikel
dilipat terlebih dahulu agar partikel tersuspensi saling berhadapan.
Langkah terakhir, filter fiberglass dimasukkan ke dalam designator
selama 24 jam sebelum ditimbang.
4. Pembahasan hasil pengukuran.
Pada praktikum analisis kualitas udara menggunakan metode high
volume sampling, partikulat yang diukur berupa Total Suspended
Particulate (TSP). TSP adalah partikulat berupa padatan atau cairan
yang berada di udara dalam wujud aerosol, kabut, asap, debu, mist,
fume, plume, haze, dan smog. Jenis-jenis partikulat tersebut biasanya
berukuran > 10 µm. Terdapat dua ukuran yang dijadikan standar yaitu
partikulat ukuran ≤10 µm (PM10) dan partikulat ukuran ≤ 2,5 µm
(PM2,5). PM10 dapat menyebabkan iritasi saluran napas atas bila
terhirup, sementara PM2,5 yang berukuran lebih kecil dapat
menyebabkan iritasi saluran napas bawah dan memungkinkan untuk
mengendap di bagian alveolus (Sodikin, 2020).
Pada praktikum ini diperoleh konsentrasi TSP pada sampel udara
dengan waktu 24 jam yaitu sebesar 12,89 x 104 μg/m3 atau 128.900
μg/m3. Sedangkan, nilai baku mutu yang ditetapkan berdasarkan
Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara ialah TSP debu sebesar 230 μg/Nm3 (untuk waktu
pengukuran 24 jam) dan 90 μg/Nm3 (untuk waktu pengukuran 1
tahun). Dapat diartikan bahwa konsentrasi sampel udara yang
digunakan melebihi baku mutu nasional dan menandakan bahwa
udara tersebut sudah sangat tercemar serta dapat membahayakan
kesehatan, utamanya pada sistem pernapasan.
5. Ulasan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran sehingga
diperoleh akurasi pengukuran yang baik.
Metode pengukuran dengan menggunakan High Volume Air
Sampling melibatkan penggunaan suatu alat, sehingga terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil
pengukuran yang baik. Pertama, sebaiknya hindari partikulat-
partikulat berminyak seperti photochemical smog atau asap
pembakaran kayu dan senyawa higroskopis atau partikel dengan
kelembaban tinggi. Partikel-partikel tersebut dapat menurunkan
aliran udara. Jika pada sampel dirasa mengandung partikel-partikel
tersebut, hendaknya dilakukan pengukuran berulang sehingga
partikel-partikel tersebut dapat tereliminasi dan melancarkan aliran
udara pada pengukuran selanjutnya. Selain itu, ukuran partikel yang
terkumpul sangat dipengaruhi oleh arah angin di sekitar lokasi
pengambilan sampel. Untuk mengantisipasi partikel-partikel di atas,
dapat memanfaatkan filter yang memiliki ukuran tertentu sehingga
dapat menyaring partikel yang tidak dibutuhkan. Akurasi juga
dipengaruhi oleh perubahan kecepatan aliran udara selama proses
sampling berlangsung, sehingga dibutuhkan alat pengukur aliran
udara untuk mendeteksi kecepatan aliran.
Sebelum menggunakan alat Hi-Vol Sampler, sebaiknya alat harus
dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan metode rotameter dan Draft
Gauge atau kalibrasi Orifice. Kalibrasi bertujuan untuk mengetahui
deviasi atau penyimpangan dari alat tersebut, mengetahui tingkat
akurasi, memastikan alat masih dalam keadaan baik, mengetahui
karakteristiknya, dan sebagai persyaratan sistem mutu.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Udara merupakan campuran gas yang berada di lingkungan sekitar
dengan komposisi yang tidak konsisten yang membentuk atmosfer dengan
komponen gas beragam dan membentang ratusan kilometer di atas
permukaan bumi. Salah satu metode untuk mengambil sampel udara yang
akan diperiksa kualitasnya adalah High Volume Air Sampling (HVAS).
Metode HVAS merupakan metode sampling udara ambien untuk
memeriksa Total Suspended Particulate Matter (TSP) dengan ukuran
diameter partikulat ≤100 μm dan memiliki tujuan untuk mengetahui
partikulat yang berada di udara. Metode HVAS diterapkan dalam
pemeriksaan kualitas udara ambien pada praktikum ini menggunakan
sampel udara di pinggir Jalan Sudirman pada Rabu, 2 Desember 2021 pukul
10.00 WITA dan dengan suhu 29⁰C. Dengan waktu sampling selama 24 jam,
didapatkan hasil perhitungan volume total udara yang terhisap oleh High
Volume Air Sampler (HVAS) sejak awal berfungsi hingga alat selesai
digunakan yaitu sebesar 2.412 m3. Sehingga dari nilai volume total udara
tersebut dapat dihitung besar konsentrasi partikel yang tersuspensi pada
sampel udara yaitu senilai 12,89 x 104 μg/m3 atau 128.900 μg/m3. Nilai
konsentrasi ini lebih tinggi dari nilai baku mutu udara ambien pada
Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara yang telah ditetapkan sebesar 230 μg/Nm3 (untuk waktu pengukuran
24 jam). Hal ini menunjukkan bahwa sampel udara yang digunakan pada
praktikum ini memiliki tingkat cemaran yang cukup tinggi dan dapat
memberikan risiko berbahaya bagi kesehatan manusia dan makhluk hidup
lainnya akibat cemaran TSP ataupun debu yang tinggi tersebut.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan pada pemeriksaan High Volume Air
Sampling (HVAS) pada sampel udara adalah mempersiapkan dan
menyediakan alat-alat yang memadai. Proses praktikum tidak dilakukan
secara langsung karena banyak alat yang rusak, sehingga pemahaman yang
didapatkan dari praktikum HVAS hanya sebatas teori. Maka dari itu,
pengadaan alat-alat yang dibutuhkan untuk melakukan praktikum penting
untuk dilakukan oleh pihak program studi Kesehatan Masyarakat,
Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA

Arief, L. M. 2017. Metode Sampling. Jakarta: Universitas Esa Unggul.


BSN. 2005. Udara Ambien-Bagian 3 : Pengambilan Sampel Partikel Debu atau
Total Suspended Particulate (TSP) Dalam Udara Ambien Menggunakan
High Volume Air Sampler (HVAS), Badan Standardisasi Nasional.
LAURITA ANGELA, H. (2018) ‘EVALUASI KEBISINGAN PADA
LINGKUNGAN SEKOLAH DASAR NEGERI SOROGENEN 1’. UAJY.
Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Sekretaris
Kabinet Republik Indonesia. Jakarta.
Prabowo, K., dan Muslim, B. 2018. Penyehatan Udara. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Sodikin, D. (2020). Kualitas Udara Ambien di Kawasan PUSPIPTEK Serpong.
Skripsi. Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
UNNES, Tanpa Tahun. Prosedur Penggunaan Sound Level Meter. Available at:
http://silabkemas.ikm.unnes.ac.id/storage/files/PROSEDUR%20PENGGU
NAAN%20SOUND%20LEVEL%20METER.pdf
ANALISIS KUALITAS LINGKUNGAN
LAPORAN PRAKTIKUM PEMERIKSAAN PARAMETER
KIMIA AIR (AMMONIUM DAN NITRIT)

KELOMPOK 05
1. Devana Prayitno Putri 1902561005
2. I Gede Suka Merta 1902561017
3. Ni Putu Suartiningsih 1902561019
4. I Gusti Ayu Adinda Dewi Prativi 1902561041
5. Luh Putu Nike Wahyuntika 1902561057
6. I Putu Ryanatista Anggareksa 1902561093

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
Kualitas air yang baik pada dasarnya akan mengandung cukup
oksigen. Namun, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
keseimbangan kandungan oksigen dalam air salah satunya adalah adanya
unsur nitrogen dalam air. Siklus nitrogen yang terjadi di dalam badan air
terkadang mengkonsumsi paling banyak oksigen terlarut dibandingkan
dengan reaksi biokimia lain yang terjadi dalam air. Siklus ini dapat
menyebabkan beberapa permasalahan salah satunya adalah terjadinya
pencemaran dalam air. Berdasarkan hal tersebut maka parameter nitrogen
dijadikan indikator untuk menentukan adanya pencemaran terhadap air
yang akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan (Aswadi, 2006).
Senyawa ammonium dan nitrit merupakan bentuk lain dari
nitrogen anorganik. Kedua senyawa ini menjadi bagian penting dari siklus
nitrogen di alam (Hastuti, 2011). Berikut merupakan penjabaran dari
kedua senyawa tersebut.
1. Ammonium
Ammonium (NH4+) merupakan bentuk senyawa amoniak (NH3)
yang berada di dalam air pada kondisi pH yang rendah. Ammonium
adalah agen yang dapat menyebabkan terjadinya keadaan beracun bagi
kehidupan di lingkungan perairan (Ngibad, 2019). Senyawa ammonium
pada umumnya berasal dari proses penguraian protein oleh bakteri,
seperti thiobacilus denitrifricans yang menguraikan protein menjadi
nitrat kemudian diubah menjadi NH4+ (Matahelumual, 2010).
Ammonium pada lingkungan perairan merupakan hasil penyaluran dari
tinja dan air kencing (Ngibad, 2019). Selain itu, ammonium juga
berasal dari aktivitas pertanian seperti pemberian pupuk, domestik,
aktivitas peternakan; limbah rumah tangga; dan air limbah industri
seperti industri pupuk, karet, tekstil, serta tahu (Pratiwi, Shinta dan
Denny, 2019).
Tingginya konsentrasi NH4+ dapat mengindikasikan bahwa air
tersebut tercemar polutan, bakteri, atau mikroorganisme yang dapat
menimbulkan bau yang sangat tajam dan menusuk hidung
(Matahelumual, 2010). Kadar ammonium dapat ditentukan oleh
beberapa hal, seperti: sumber asal ammonium itu sendiri, suhu pada
perairan, ada tidaknya tumbuhan air yang berperan sebagai absorben
ammonium, dan kadar O2. Konsentrasi ammonium yang mengalami
peningkatan pada lingkungan perairan disebabkan oleh karena semakin
tingginya tingkat keasaman dan suhu pada lingkungan tersebut (Ngibad,
2019).
Adapun nilai rata-rata kandungan ammonium di perairan sungai
adalah sebesar 0,424 mg/l (Azizah, 2017). Sedangkan, baku mutu
konsentrasi ammonium sesuai Permenkes No 492/2010 tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum adalah sebesar 1,5 mg/l dan untuk air
limbah industri sesuai PermenLH Nomor 5/2014 tentang Baku Mutu
Air Limbah berada pada rentang 0,25-25 mg/l (Pratiwi, Shinta dan
Denny, 2019). Apabila kadar ammonium mencapai 1 mg/L dalam
lingkungan perairan maka dapat menyebabkan kematian pada
organisme air sebagai akibat berkurangnya jumlah O2 dalam kehidupan
perairan (Ngibad, 2019).
Untuk mengetahui dan menentukan konsentrasi ammonium
dalam sampel perairan dapat dilakukan dengan menggunakan metode
spektrofotometri. Spektrofotometri merupakan metode yang memiliki
presisi yang tinggi, tingkat akurasi, dan batas deteksi yang rendah
(Ngibad, 2019). Analisis kadar ammonium secara spektrofotometri
dilakukan dengan menggunakan reaksi Nessler. Dalam reaksinya,
NH4+ berada pada suasana basa dengan pereaksi Nessler membentuk
senyawa komplek yang berwarna kuning hingga coklat. Intensitas
warna yang terjadi kemudian diukur absorbannya pada panjang
gelombang 420 nm (Abditya, 2010).
2. Nitrit
Nitrit merupakan bentuk nitrogen yang hanya sebagian
teroksidasi. Nitrit tidak dapat bertahan lama dan hanya merupakan
keadaan sementara dari proses oksidasi antara amoniak dan nitrat. Nitrit
dapat ditemukan di dalam limbah yang sudah lama atau basi dan
biasanya bersumber dari bahan-bahan yang bersifat korosif dan banyak
digunakan oleh pabrik-pabrik (Emilia, 2019). Selain itu, nitrit juga
dapat bersumber dari aktivitas manusia seperti limbah organik yang
dihasilkan oleh manusia (Lestari, Fandhi dan Ana, 2020). Konsentrasi
nitrit yang berlebih dalam air akan sangat berbahaya, terutama bagi ibu
hamil dan bayi. Tingginya konsentrasi nitrit dalam darah dapat
menyebabkan nitrit bereaksi dengan hemoglobin dan membentuk
methemoglobin. Pembentukan ini dilakukan dengan cara mengoksidasi
Fe(II) pada hemoglobin menjadi Fe(III). Kondisi ini disebut dengan
methemoglobinemia. Methemoglobin diketahui tidak memiliki
kemampuan untuk mengangkut oksigen. Hal ini akan berdampak pada
terjadinya defisiensi oksigen yang dapat menyebabkan kulit bayi
menjadi biru. Kondisi methemoglobinemia pada bayi ini sering disebut
dengan sindrom blue-baby (Habibah et al., 2018).
Kandungan nitrit di perairan laut diperkirakan sebesar
0,054mg/l. Sedangkan, kandungan nitrit (NO2) di laut yang tidak
tercemar berkisar antara 0,0001-0,0050 ppm. Keberadaan nitrit di
perairan dapat menggambarkan telah terjadinya proses biologi yaitu
perombakan bahan organik dengan kandungan oksigen terlarut yang
sangat rendah (Azizah, 2017). Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No.20/1990 dan Permenkes No.416/l990 tentang Pengendalian Air
disebutkan bahwa kadar maksimum yang diperkenankan ada dalam air
minum untuk nitrit adalah 1 mg/L sedangkan pada Peraturan
Pemerintah No 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
menyebutkan syarat maksimal untuk beban nitrit pada air adalah 0, 06
mg/L (Emilia, 2019).
Untuk dapat menentukan kadar nitrit dalam air diperlukan suatu
metode. Metode spektrofotometri merupakan metode yang paling
banyak digunakan untuk menentukan kadar nitrit suatu sampel.
Kelebihan metode ini adalah memiliki akurasi, sederhana, presisi, dan
limit deteksi yang sangat baik (Habibah et al., 2018). Analisis kadar
nitrit secara spektrofotometri dilakukan dengan menggunakan reaksi
Diazotasi. Dalam reaksinya, nitrit dengan asam sulfanilat dan N-(1-
naphthyl) ethylene diamine dihydrochloride dalam suasana asam akan
membentuk senyawa komplek yang berwarna ungu (Abditya, 2010).
BAB II
METODE PENELITIAN
1. Pemeriksaan Ammonium
A. Metode dan Prinsip
Metode Nessler terdiri dari suatu analisa kimiawi dengan
menggunakan alat spektrofotometer. Reagen Nessler K2HgI4 bereaksi
dengan NH3 dalam larutan yang bersifat basa. Reaksi menghasilkan
larutan berwarna kuning-coklat yang mengikuti hukum Lambert-Beer.
Intensitas warna yang terjadi berbanding lurus dengan konsentrasi NH3
yang ada dalam sampel, yang kemudian ditentukan secara
spektrofotometris. Penambahkan larutan basa dan ZnSO4 pada analisa
Nessler berfungsi untuk mencegah gangguan ion Ca, Mg, Fe dan Sn yang
dapat menimbulkan kekeruhan (Irmanto and Suyata, 2009).
B. Alat dan Bahan
Alat:
1. 1 buah Gelas ukur
2. 1 buah Labu Erlenmeyer
3. 1 buah Mikropipet
4. 1 buah Stopwatch
5. Spektrofotometer
Bahan:
1. 25 ml sampel air
2. 1-2 tetes pereaksi garam signette
3. 0,5 ml pereaksi Nessler
C. Prosedur
1. Masukkan 25 ml sampel air sungai yang jernih (apabila keruh maka
harus disaring) pada labu erlenmeyer dengan menggunakan gelas
ukur.
2. Tambahkan 1-2 tetes pereaksi garam seignette dan 0, 5 ml pereaksi
Nessler pada labu erlenmeyer dengan menggunakan mikropipet.
3. Larutan campuran dikocok dan didiamkan selama 10 menit
(menggunakan Stopwatch) hingga larutan berubah warna menjadi
warna kuning.
4. Intensitas warna kuning yang terjadi diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 420 nm untuk melihat besar absorbansi dari
larutan campuran sampel air sungai
5. Nilai absorbansi yang didapatkan pada hasil pengukuran
spektrofotometer digunakan untuk menghitung besar konsentrasi
ammonium dari larutan sampel air sungai dengan rumus perhitungan
sebagai berikut
Konsentrasi NH4+ = A x S = ..................ppm
A: absorban sampel
S: kemiringan kurva kalibrasi (ppm NH4+/unit absorban)
6. Nilai kemiringan kurva kalibrasi (ppm NH4+/unit absorban) diperoleh
dari data konsentrasi NH4+ 0,0; 1,0; 2,0; 3,0; 4,0 dan 5,0 ppm dengan
pengenceran larutan standar ammonium 100 ppm beserta masing-
masing nilai absorbansinya yang telah disediakan di awal dan
dianalisis dengan metode regresi linier untuk menghasilkan nilai
kemiringan (slope) pada kurva kalibrasi absorbansi dan konsentrasi
larutan standar tersebut.
2. Pemeriksaan Nitrit
A. Metode dan Prinsip
Reaksi diazotasi adalah reaksi antara nitrit dengan senyawa yang
memiliki amin aromatik primer dalam suasana asam akan membentuk
garam diazonium. Garam diazonium dapat bereaksi dengan senyawa lain
yang memiliki gugus fenil terbuka, disebut sebagai senyawa pengkupling,
akan menghasilkan senyawa azo. Kombinasi garam diazonium dengan
senyawa pengkupling yang berbeda-beda menghasilkan senyawa azo
dengan karakteristik yang berbeda-beda, misalnya, senyawa pengkupling
N-(1-naphthyl) ethylene diamine dihydrochloride dengan sumber garam
diazonium asam sulfanilat akan membentuk senyawa azo berwarna merah
keunguan pada pH 2.0 sampai 2.5 (Fessenden, 1991 disitasi dalam Diarti,
Danuyanti and Sumantri, 2018).
B. Alat dan Bahan
Alat:
1. 1 buah Gelas ukur
2. 1 buah Labu Erlenmeyer
3. 1 buah Mikropipet
4. 1 buah Stopwatch
5. Spektrofotometer
Bahan:
1. 25 ml sampel air
2. 1 ml asam sulfanilat
3. 1 ml larutan N-(1-naphthyl) ethylene diamine dihydrochloride
C. Prosedur
1. Masukkan 25 ml sampel air sungai yang jernih (apabila keruh maka
harus disaring) pada labu erlenmeyer.
2. Tambahkan 1 ml asam sulfanilat dan 1 ml larutan N-(1-naphthyl)
ethylene diamine dihydrochloride pada labu erlenmeyer dengan
menggunakan mikropipet.
3. Larutan campuran dikocok dan didiamkan selama 15 menit
(menggunakan Stopwatch) hingga larutan berubah warna menjadi
warna ungu.
4. Intensitas warna ungu yang terjadi diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 520 nm untuk melihat besar absorbansi dari
larutan campuran sampel air sungai.
5. Nilai absorbansi yang didapatkan pada hasil pengukuran
spektrofotometer digunakan untuk menghitung besar konsentrasi
ammonium dari larutan sampel air sungai dengan rumus perhitungan
sebagai berikut.
Konsentrasi nitrit = A x S = ..................ppm NO2
A: absorban sampel
S: kemiringan kurva kalibrasi (ppm Nitrit/unit absorban)
6. Nilai kemiringan kurva kalibrasi (ppm Nitrit/unit absorban) diperoleh
dari data konsentrasi nitrit 0,0; 1,0; 2,0; 3,0; 5,0; 7,0 dan 10,0 ppm
dengan pengenceran larutan standar nitrit 100 ppm beserta nilai
absorbansinya yang telah disediakan di awal dan dianalisis dengan
metode regresi linier untuk mendapatkan nilai kemiringan (slope)
pada kurva kalibrasi absorbansi dan konsentrasi larutan standar
tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Pemeriksaan Ammonium
A. Hasil, Data, dan Pembahasan
Pemeriksaan ammonium sampel air sungai menggunakan metode
Nessler-Spektrofotometri. Sampel air sungai yang diperiksa sejumlah 25
ml. Adapun jenis pereaksi yang digunakan adalah 1-2 tetes pereaksi garam
seignette dan 0,5 ml pereaksi nessler. Hasil reaksi merubah warna sampel
air sungai menjadi kuning dan diperiksa dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 420 nm. Hasil absorbansi spektrofotometer adalah
0,233. Hasil ini selanjutnya digunakan dalam perhitungan konsentrasi
ammonium.
Kemiringan kurva kalibrasi (ppm per unit absorban) diperoleh dari
pengenceran larutan standar ammonium 100 ppm. Adapun hasil
absorbansi dan konsentrasi (ppm) larutan standar ammonium 100 ppm,
sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil absorbansi dan konsentrasi larutan standar ammonium
Absorbansi Konsentrasi (ppm)
0,0873 0,5
0,16245 1
0,31275 2
0,61335 4
0,91395 6
Hasil absorbansi dan konsentrasi larutan standar ammonium dianalisis
menggunakan metode regresi linier. Adapun hasil regresi linier
menghasilkan kurva kalibrasi, sebagai berikut :
Gambar 1. Kurva kalibrasi absorbansi dan konsentrasi (ppm) larutan
standard ammonium

Analisis regresi linier dari absorbansi dan konsentrasi (ppm) larutan


standar ammonium memperoleh persamaan y = 6,5276x. Adapun nilai
kemiringan (slope) adalah 6,5276. Nilai ini bermakna, apabila terjadi
kenaikan satu unit absorbansi, maka terjadi penambahan konsentrasi
ammnonium sebanyak 6,5276 ppm dalam sampel air.
Hasil perhitungan konsentrasi ammonium sampel air sungai dengan
absorbansi 0,233 disajikan dalam perhitungan berikut :
Konsentrasi NH4+ = Absorban sampel x Slope = 0,233 x 6,5276 = 1,5209
ppm
Berdasarkan hasil perhitungan, dalam sampel air sungai dengan
absorbansi spektrofotometri 0,233 terdapat ammonium dengan konsentrasi
1,5209 ppm. Jadi, konsentrasi ammonium pada sampel air sungai yang
diperiksa adalah 1,5209 ppm.
2. Pemeriksaan Nitrit
A. Hasil, Data, dan Pembahasan
Pemeriksaan nitrit sampel air sungai menggunakan metode Reaksi
Diazotasi-Spektrofotometri. Sampel air sungai yang diperiksa sejumlah 25
ml. Adapun jenis pereaksi yang digunakan adalah 1 ml asam sulfanilat dan
1 ml larutan N-(1-naphthyl) ethylene diamine dihydrochloride, yang
dikemudian dikocok dan dibiarkan selama 15 menit. Hasil reaksi merubah
warna sampel air sungai menjadi ungu dan diperiksa dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Hasil absorbansi
spektrofotometer adalah 0,994. Hasil ini selanjutnya digunakan dalam
perhitungan konsentrasi nitrit.
Kemiringan kurva kalibrasi (ppm per unit absorban) diperoleh dari
pengenceran larutan standar nitrit 100 ppm. Adapun hasil absorbansi dan
konsentrasi (ppm) larutan standar nitrit 100 ppm, sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil absorbansi dan konsentrasi larutan standar nitrit
Absorbansi Konsentrasi (ppm)
0,1142 0,005
0,2411 0,01
0,4949 0,02
0,7487 0,03
1,0025 0,04
1,5102 0,06
2,5254 0,1
Hasil absorbansi dan konsentrasi larutan standar nitrit dianalisis
menggunakan metode regresi linier. Adapun hasil regresi linier
menghasilkan kurva kalibrasi, sebagai berikut :
Gambar 2. Kurva kalibrasi absorbansi dan konsentrasi (ppm) larutan
standar nitrit

Analisis regresi linier dari absorbansi dan konsentrasi (ppm) larutan


standar nitrit memperoleh persamaan y = 0,0397x. Adapun nilai
kemiringan (slope) adalah 0,0397. Nilai ini bermakna, apabila terjadi
kenaikan satu unit absorbansi, maka terjadi penambahan konsentrasi nitrit
sebanyak 0,0397 ppm dalam sampel air.
Hasil perhitungan konsentrasi nitrit sampel air sungai dengan
absorbansi 0,994 disajikan dalam perhitungan berikut :
Konsentrasi Nitrit (NH2-) = Absorban sampel x Slope
= 0,994 x 0,0397
= 0,0394 ppm N02
Berdasarkan hasil perhitungan, dalam sampel air sungai dengan
absorbansi spektrofotometri 0,994 terdapat nitrit dengan konsentrasi
0,0394 ppm NO2. Jadi, konsentrasi nitrit pada sampel air sungai yang
diperiksa adalah 0,0394 ppm NO2.
3. Pembahasan
1. Pembahasan mengapa prinsip atau metode tersebut yang digunakan dalam
pengukuran parameter tersebut.
a. Metode Nessler-Spektrofotometri
Prinsip metode Nessler yaitu menambahkan pereaksi Nessler
dengan amonia sehingga mengubahnya menjadi berwarna kuning
kecoklatan. Pereaksi Nessler digunakan karena amonia dapat dengan
cepat bereaksi membentuk senyawa kompleks yang berwarna kuning
kecoklatan. Berubahnya warna larutan berfungsi untuk menyerap
warna senada. Dalam hal ini, digunakan spektrofotometri yang dapat
mentransmisikan panjang gelombang dengan warna kuning dengan
panjang gelombang 420 nm. Dengan mentransmisikan warna yang
senada, dapat diketahui berapa jumlah atau absorbansi dari larutan,
sehingga dapat dihitung konsentrasi amonia pada sampel air
(Fransiska, 2019).
b. Reaksi Diazotasi-Spektrofotometri
Reaksi diazotasi adalah reaksi antara nitrit dengan senyawa
yang memiliki amina aromatik primer. Pada praktikum, digunakan
senyawa N-(1-naphthyl) ethylene diamine dihydrochloride sebagai
senyawa amina aromatik primernya. Metode reaksi diazotasi
digunakan karena berdasarkan ketetapan Badan Standardisasi
Nasional, penetapan kadar nitrit dalam air menggunakan sulfanilamide
sebagai sumber garam diazonium dan N-(1-naphthyl) ethylene
diamine dihydrochloride sebagai senyawa pengkupling (Diarti, 2015).
2. Pembahasan mengenai kesesuaian prinsip pengukuran dengan pengerjaan
praktikum.
Pengerjaan praktikum dilakukan berdasarkan prosedur-prosedur
yang telah ditetapkan. Prosedur-prosedur tersebut sudah sesuai dengan
prinsip pengukuran konsentrasi amonium dan nitrit. Pada metode Nessler
untuk pengukuran konsentrasi amonium, bahan yang digunakan adalah
garam seignette dan larutan Nessler. Setelah mencampurkan kedua bahan
tersebut dengan sampel air sungai, benar terbentuk endapan dan endapan
yang dihasilkan berwarna kekuningan. Pada praktikum diperoleh endapan
berwarna kuning pudar yang mengindikasikan konsentrasi amonium tidak
terlalu besar atau rendah. Kemudian, diperoleh juga hasil absorbansi dan
konsentrasi larutan amonium standar, sehingga bila digunakan bersama
hasil absorbansi spektrofotometer, dapat diketahui konsentrasi dari
amonium.
Begitu pula pada metode diazotasi dalam pengukuran konsentrasi
nitrit. Sampel air sungai dibuat dalam keadaan asam dengan
menambahkan asam sulfanilat dan kemudian ditambahkan dengan N-(1-
naphthyl) ethylene diamine dihydrochloride untuk mereaksikannya dan
membentuk endapan. Endapan terbentuk dan berwarna keunguan. Warna
ungu yang diperoleh juga tidak terlalu pekat yang mengindikasikan bahwa
konsentrasi nitrit tidak terlalu pekat. Setelah itu, diperoleh pula hasil
absorbansi dan konsentrasi nitrit standar, sehingga bila digunakan bersama
hasil absorbansi spektrofotometer, dapat diketahui konsentrasi amonium.
3. Pembahasan mengenai setiap langkah dalam pengukuran dan alasan/tujuan
dilakukannya langkah tersebut.
a. Metode Nessler-Spektrofotometri
Prosedur pertama dari metode Nessler adalah menambahkan
garam seignette dan larutan Nessler pada sampel air sungai. Hal ini
bertujuan untuk mereaksikan antara amonium dalam sampel dan
larutan nessler agar membentuk garam. Reaksi tersebut menyebabkan
terbentuknya endapan dan proses tersebut membutuhkan waktu 10
menit, maka perlu ditunggu selama itu. Endapan yang dihasilkan
berwarna kuning, dimana bila larutan berwarna kuning pekat, maka
konsentrasi amonium dalam air sungai tinggi, sebaliknya bila endapan
berwarna kuning pudar maka konsentrasi amonium rendah.
Penggunaan spektrofotometri bertujuan untuk mengetahui seberapa
besar nilai absorbansi dari endapan tersebut. Warna yang digunakan
adalah warna kuning agar senada dengan larutan sampel sehingga
warna dapat diserap dan diketahui nilai absorbansinya berdasarkan
panjang gelombang yang terserap. Nilai absorbansi berbanding lurus
konsentrasi amonium. Semakin tinggi nilai absorbansi maka
konsentrasi amonium juga semakin tinggi.
b. Reaksi Diazotasi-Spektrofotometri
Langkah pertama dari reaksi diazotasi adalah menambahkan
asam sulfanilat dan N-(1-naphthyl) ethylene diamine dihydrochloride
pada sampel air sungai. Hal ini bertujuan untuk mereaksikan nitrit
dengan N-(1-naphthyl) ethylene diamine dihydrochloride agar
membentuk garam. Namun, sebelum itu larutan perlu dibuat dalam
keadaan asam agar dapat bereaksi, maka ditambahkan juga asam
sulfanilat. Proses terbentuknya endapan membutuhkan waktu yang
lebih lama dibandingkan metode nessler, maka perlu menunggu 15
menit. Endapan yang terbentuk akan berwarna ungu. Sama seperti
metode nessler, bila endapan berwarna ungu pekat maka konsentrasi
nitrit dalam air sungai tinggi, dan bila endapan berwarna ungu pudar
maka konsentrasi nitrit rendah. Kemudian, ditembakkan warna yang
senada (ungu) pada spektrofotometri karena lebih mudah terserap bila
warnanya senada, sehingga dapat diketahui nilai absorbansinya
berdasarkan panjang gelombang yang terserap. Nilai absorbansi
berbanding lurus dengan konsentrasi nitrit. Semakin tinggi nilai
absorbansi, maka semakin tinggi pula konsentrasi nitrit dalam air
sungai.
4. Pembahasan hasil pengukuran.
Pada saat praktikum, hasil absorbansi spektrofotometer pada
amonium yang diperoleh sebesar 0,233. Kemudian, dilanjutkan dengan
analisis regresi linier yang menghasilkan kurva kalibrasi antara absorbansi
dengan konsentrasi larutan standar amonium. Sehingga diperoleh hasil
bahwa dalam sampel air sungai dengan absorbansi spektrofotometri 0,233,
terdapat amonium dengan konsentrasi 1,5209 ppm.
Berdasarkan Permenkes no 492/2010 tentang Persyaratan Kualitas
Air Minum, baku mutu konsentrasi amonium sebesar 1,5 mg/l atau setara
dengan 1,5 ppm. Dibandingkan dengan perolehan hasil praktikum yaitu
1,5209 ppm, berarti sampel air sungai yang digunakan dalam praktikum
ini tidak memenuhi standar baku mutu air minum, sehingga tidak layak
dikonsumsi. Berdasarkan yang dijelaskan oleh Ngibad (2019), apabila
kadar amonium mencapai 1 mg/l dalam perairan, maka air sudah bersifat
toksik dan dapat menyebabkan kematian pada organisme air karena
jumlah O2 dalam air menjadi berkurang.
Pada pengukuran konsentrasi nitrit, setelah ditembakkan dengan
sinar ungu dengan panjang gelombang 520 nm menggunakan
spektrofotometer, diketahui hasil absorbansi pada endapan nitrit sebesar
0,994. Selanjutnya, dilakukan analisis regresi linier dengan menggunakan
larutan standar nitrit, sehingga diperoleh kurva kalibrasi seperti yang
disebutkan di atas. Hasil perhitungan konsentrasi nitrit berdasarkan nilai
absorbansi dan slope regresi linier yaitu 0,0394 ppm NO2.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air, syarat untuk beban nitrit dalam air maksimal
0,06 mg/l (Emilia, 2019). Sementara, kandungan nitrit di air yang tidak
tercemar berkisar antara 0,0001-0,0050 ppm. Dibandingkan dengan hasil
perhitungan konsentrasi NO2 di atas, menandakan bahwa air sungai
tersebut sudah tercemar namun tidak melewati batas maksimal beban nitrit
dalam air.
Pada praktikum ini, diketahui bahwa konsentrasi amonium yaitu
sebesar 1,5209 lebih besar dibandingkan dengan nitrit yaitu sebesar
0,0394. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pencemarannya baru terjadi.
5. Ulasan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran sehingga
diperoleh akurasi pengukuran yang baik.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran konsentrasi
amonia dan nitrit yaitu sampel air yang akan diperiksa golongan
nitrogennya, sebaiknya dapat dianalisis dengan segera. Bila tidak segera
dianalisis, akan terjadi proses penguraian biologis, seperti proses nitrifikasi
dan denitrifikasi yang dapat mengurangi kadar amonia dalam air, sehingga
kemungkinan akurasi nilai konsentrasi amonia menjadi tidak tepat. Jika
sampel air tidak dapat dianalisis dengan segera, sampel dapat diawetkan
dengan penambahan H2SO4 hingga suasananya menjadi asam dengan
pH<2. Waktu maksimal pengawetan hanya 28 hari.
6. Dibahas pula kesalahan-kesalahan pengukuran yang terjadi selama
praktikum.
Sebagai catatan, sewaktu pemeriksaan menggunakan
spektrofotometer, sebaiknya kalibrasi absorbansi dipertahankan tetap 0
setiap dilakukan pemeriksaan dan pemeriksaan aquades dapat dilakukan
setiap sebelum memeriksa sampel air sungai. Namun terdapat kesalahan
pada saat proses tersebut, yaitu kalibrasi hanya dilakukan pada awal
pengukuran dan aquades justru dibuang.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemeriksaan besar konsentrasi ammonium pada sampel air sungai pada
praktikum ini menggunakan metode Nessler - spektrofotometri dan
pemeriksaan besar konsentrasi nitrit menggunakan metode Reaksi Diazotasi -
spektrofotometri. Setelah larutan sampel air berubah warna dan kemudian
diukur intensitasnya menggunakan alat spektrofotometer, diperoleh nilai
absorbansi spektrofotometer ammonium sebesar 0,233 dan absorbansi
spektrofotometer nitrit sebesar 0,994. Pada analisis regresi linier absorbansi
dan konsentrasi (ppm) larutan standar ammonium dan nitrit dengan
pengenceran 100 ppm, diperoleh kurva kalibrasi absorbansi dan konsentrasi
(ppm) larutan standar ammonium dengan persamaan y = 6,5276x dan
kemiringan (slope) sebesar 6,5276 (kenaikan satu unit absorbansi akan
meningkatkan konsentrasi ammonium sebanyak 6,5276 ppm dalam sampel
air) serta kurva kalibrasi absorbansi dan konsentrasi (ppm) larutan standar
nitrit dengan persamaan y = 0,0397x dan kemiringan (slope) sebesar 0,0397
(kenaikan satu unit absorbansi akan meningkatkan konsentrasi nitrit sebanyak
0,0397 ppm dalam sampel air). Oleh karena itu, dengan rumus perhitungan
absorban sampel (A) dikalikan dengan kemiringan kurva kalibrasi (S)
didapatkan hasil bahwa konsentrasi ammonium pada sampel air sungai yang
diperiksa tersebut sebesar 1,5209 ppm dan konsentrasi nitrit pada sampel air
sungai yang diperiksa sebesar 0,0394 ppm NO2. Dari hasil tersebut, dapat
disimpulkan bahwa nilai konsentrasi ammonium lebih tinggi daripada
konsentrasi nitrit pada sampel air sungai yang diperiksa, yang
mengindikasikan bahwa pencemaran pada air sungai baru dan belum lama
terjadi atau bisa dikatakan jangka waktu antara proses pencemaran dan
pengambilan serta pemeriksaan sampel air sungai tidak lama terjadi.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan pada pemeriksaan konsentrasi ammonium
dan nitrit pada sampel air sungai di atas adalah pastikan setiap langkah
pemeriksaan telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, pertahankan
akurasi dari penambahan tiap bahan ke dalam air sampel karena akan
memengaruhi hasil pengukuran. dan pada saat melakukan pemeriksaan
menggunakan spektrofotometer, sebaiknya kalibrasi absorbansi
dipertahankan tetap 0 pada tiap pemeriksaan dan pemeriksaan aquades dapat
dilakukan setiap sebelum memeriksa sampel air sungai. Pastikan kuvet bersih
dari kontaminasi zat atau cairan lain diluar sampel yang akan diukur dengan
cara menuangkan sampel pada kuvet lalu dibuang dan baru ditambahkan lagi
dengan sampel yang sama sehingga bisa dipastikan pada kuvet hanya terisi
sampel yang akan diukur. Sebaiknya kalibrasi tidak hanya dilakukan pada
awal pengukuran dan aquades jangan dibuang.
DAFTAR PUSTAKA
Abditya, H. (2010) ‘Analisis biaya uji kualitas air sumur’, Jurnal Ilmiah
universitas sebealas maret, pp. 6–62.
Aswadi, M. (2006) ‘PEMODELAN FLUKTUASI NITROGEN (Nitrit) PADA
ALIRAN SUNGAI PALU’, Jurnal SMARTek, 4(2), pp. 112–125.
Azizah, D. (2017) ‘Kajian Kualitas Lingkungan Perairan Teluk Tanjungpinang
Provinsi Kepulauan Riau’, Dinamika Maritim, 6(1), pp. 40–46.
Diarti, M. W., Danuyanti, I. G. A. N. and Sumantri, I. G. B. (2015) ‘SENYAWA
PENGKUPLING α-NAFTHILAMIN UNTUK VALIDASI METODE
SPEKTROFOTOMETRI PENENTUAN NITRIT (NO2-) DI DALAM
AIR’, Jurnal Kesehatan Prima, 9(1), pp. 1457–1469.
Emilia, I. (2019) ‘ANALISA KANDUNGAN NITRAT DAN NITRIT DALAM
AIR MINUM ISI ULANG MENGGUNAKAN METODE
SPEKTROFOTOMETRI UV-Vis’, Jurnal Indobiosains, 1(1), pp. 38–44.
Fransiska, E. (2019). Pemeriksaan Senyawa Amonia Air Limbah Dengan Pereaksi
Nessler Menggunakan Alat Spektrofotometer Ultraviolet - Visibel
Habibah, N. et al. (2018) ‘Analisis Kuantitatif Kadar Nitrit dalam Produk Daging
Olahan di Wilayah Denpasar Dengan Metode Griess Secara
Spektrofotometri’, International Journal of Natural Sciences and
Engineering, 2(1), pp. 1–9.
Hastuti, Y. P. (2011) ‘Nitrifikasi dan denitrifikasi di tambak’, Jurnal Akuakultur
Indonesia, 10(1), pp. 89–98.
Irmanto, I. and Suyata, S. (2009) ‘Penurunan kadar amonia, nitrit, dan nitrat
limbah cair industri tahu menggunakan arang aktif dari ampas kopi’,
Molekul, 4(2), pp. 105–114.
Lestari, T., Fandhi, A. W. dan Ana, H. M. (2020) ‘PENGARUH PASANG DAN
SURUT AIR LAUT TERHADAP KADAR NITRIT PADA AIR SUMUR
DI KELURAHAN TANJUNG MAS SEMARANG’, Jurnal Labora Medika,
4, pp. 1–5.
Matahelumual, B. C. (2010) ‘Potensi terjadinya hujan asam di Kota Bandung’,
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, 1(2), pp. 59–70.
Ngibad, K. (2019) ‘Penentuan Konsentrasi Ammonium dalam Air Sungai
Pelayaran Ngelom’, Journal of Medical Laboratory Science Technology,
2(1), pp. 37–42. doi: 10.21070/medicra.v2i1.2071.
Pratiwi, N. I., Shinta, I. dan Denny, H. (2019) ‘Agen Desorpsi Terbaik Pada
Regenerasi Batu Apung Sungai Pasak Untuk Penyisihan Amonium (NH4+)
Dalam Air’, in ARTIKEL PEMAKALAH PARALEL, pp. 174–181.
ANALISIS KUALITAS LINGKUNGAN
LAPORAN PRAKTIKUM PEMERIKSAAN PARAMETER
KIMIA AIR

KELOMPOK 05
1. Devana Prayitno Putri 1902561005
2. I Gede Suka Merta 1902561017
3. Ni Putu Suartiningsih 1902561019
4. I Gusti Ayu Adinda Dewi Prativi 1902561041
5. Luh Putu Nike Wahyuntika 1902561057
6. I Putu Ryanatista Anggareksa 1902561093

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
Air terdiri dari beberapa unsur kimia yang umumnya berasal dari udara,
tanah, atau metabolisme jasad air. Unsur-unsur kimia tersebut meliputi gas, unsur
organik, dan anorganik. Perpaduan ketiga unsur tersebut lah yang membentuk sifat-
sifat kimia dalam air. Parameter kimia yang digunakan dalam menilai kualitas air
terdiri dari derajat keasaman (pH), oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO),
karbon dioksida bebas, biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxygen
demand (COD), total organic matter (TOM), kesadahan, alkalinitas, dan senyawa-
senyawa kimia lainnya (Kemdikbud RI, 2013). Pada praktikum ini, dilakukan
pengujian menggunakan parameter DO dan BOD.
1. Dissolved Oxygen (DO)
DO atau oksigen terlarut adalah parameter kimia kualitas air yang bisa
menunjukkan kadar oksigen (O2) dalam air. DO dapat bersumber langsung dari
udara, maupun dari hasil fotosintesis tanaman berklorofil. Selain itu, masuknya
oksigen ke dalam air juga berasal dari jatuhnya hujan serta dari proses teraduk-
aduknya air. Semakin besar nilai DO, maka kadar oksigen dalam air juga besar dan
memiliki kualitas yang bagus. Penurunan oksigen dalam air bisa disebabkan oleh
proses pernapasan hewan atau tanaman, penguraian bahan organik, penguapan atau
evaporasi, peresapan air ke dalam tanah, dan tingkat kejenuhan gas dalam air.
Konsentrasi DO mengalami fluktuasi dalam 24 jam dan konsentrasi terendahnya
terjadi pada waktu dini hari (Kemdikbud RI, 2013).
Pengukuran DO bertujuan untuk melihat kemampuan air dalam menampung
biota air dan menguraikan bahan organik tercemar dalam air. Semakin banyak
bahan organik atau pencemar di dalam air, maka reaksi penguraian akan terus
terjadi dan kadar oksigen juga terus berkurang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air, jumlah DO minimal yang baik untuk air >2 mg O 2/liter. Kadar
DO ≥ 1,7 mg/liter selama 8 jam dan tingkat kejenuhan sebesar 70% (Hutagalung,
1985).
Metode pengukuran yang digunakan dalam praktikum ini adalah titrasi
Winkler. Metode ini diperkenalkan oleh Winkler tahun 1888 dan mengalami
beberapa modifikasi. Prinsip kerja dari metode Winkler adalah menggunakan basa
kuat (MnSO4) dan bereakasi dengan pelarut basa (OH-) sehingga membentuk
endapan (Mn(OH)2). Berikut adalah penggambaran reaksinya (Hutagalung, 1985):
MnSO4 + 2OH- → Mn(OH)2 + SO4 ……………(1)
2Mn(OH)2 + ½ O2 + H2O → 2Mn(OH)3 ………(2)
Setelah proses pengendapan, larutan tersebut diasamkan dengan H 2SO4
sehingga melarutkan endapan dan melepas ion Mn2+. Ion tersebut bersifat oksidator
kuat dan nantinya akan mengikat iodide (I2).
2Mn(OH)3 + 2I- + 6H+→ 2 Mn2+ + I2 + 6H2O…….(3)
I2 + I+ ↔ I3-………………………………………....(4)
Kemudian, dilakukan oksidasi tiosulfat menjadi tetrationat dan I 2 direduksi
menjadi I-. Selanjutnya, digunakan indikator kanji dan dilihat titik akhir titrasi.
Larutan akan membentuk senyawa kompleks berwarna biru. Ikatan I 2 dengan kanji
tidak stabil sehingga mudah terlepas dan bereakasi dengan tiosulfat. Titrasi
dihentikan jika warna larutan berubah menjadi bening kembali. Rumus yang
digunakan untuk menghitung DO dapat dituliskan sebagai berikut (Hutagalung,
1985):
DO = 𝑉 𝑡ℎ𝑖𝑜 . 𝑁𝑡ℎ𝑖𝑜 . 8000 , (2 adalah faktor koreksi penambahan 1 ml MnSO4
𝑉𝑏𝑜𝑡𝑜𝑙−2
dan 1 ml asam)

2. Biochemical Oxygen Demand (BOD)


BOD adalah parameter kimia yang dapat menunjukkan jumlah oksigen (O 2)
terlarut yang dibutuhkan mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik
dalam kondisi aerobik. Dapat dikatakan bahwa BOD adalah ukuran jumlah oksigen
akibat reaksi dari mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik dalam air.
BOD terjadi atas dasar reaksi oksidasi bahan organic dengan oksigen dalam air dan
proses tersebut berlangsung karena adanya mikroorganisme. Prinsip kerjanya yaitu
menghitung DO dimana kira-kira tercapai 50% reaksi pada hari ke-2, 75% reaksi
pada hari ke-5, dan 100% reaksi pada hari ke-20 (Warsa dan Astuti, 2020).
Pengukuran BOD dilakukan berdasarkan hasil dari DO. Pada awalnya,
dilakukan uji DO dengan metode titrasi winkler untuk mengetahui DO hari ke-0.
Selanjutnya, botol yang sudah berisi larutan, ditutup rapat dan dimasukkan ke
dalam ember yang berisi air agar tidak terjadi pertukaran oksigen ke lingkungan
luar. Kemudian, pada pemeriksaan hari ke-5 dilakukan titrasi kembali untuk
menghitung DO. Selain itu, dilakukan juga proses yang sama sebagai contoh yang
dapat dibandingkan. Hal ini berfungsi saat penghitungan BOD ultimate dan laju
degradasi bahan organik (Warsa dan Astuti, 2020).

3. Chemical Oxygen Demand (COD)


COD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai materi organik
dalam air, baik secara aerobik atau anaerobik. Pada reaksi dengan menggunakan
COD, zat-zat yang diuraikan mencapai 85% dan lebih banyak dibandingkan dengan
BOD (Kemdikbud, 2013). Metode pemeriksaan yang digunakan dalam praktikum
ini adalah uji COD. Konsep uji COD yaitu dengan menggunakan bahan kimia
oksidator kuat dalam media asam. Sampel air akan dioksidasi dengan larutan
Kr4Cr2O7, larutan yang berwarna keruh kemudian akan menjadi hijau, dapat
dituliskan sebagai berikut:
CaHbOc + Cr2O72- + H+ → CO2 + H2O + Cr3+ ……….(5)
Reaksi tersebut kemudian dihomogenkan menggunakan HgSO4. Kemudian
reaksi dipanaskan dalam inkubator dan dititrasi sehingga menimbulkan warna
merah bata. Hasil titrasi tersebut kemudian dihitung untuk mendapatkan hasil
jumlah oksigen (Praja, 2017).
BAB II
METODE PENELITIAN

1. Pemeriksaan DO
A. Metode dan Prinsip
Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut adalah parameter mutu air
yang penting untuk menunjukkan tingkat pencemaran pada air limbah. Selain
itu, DO juga dapat menentukan kesesuaian jenis air sebagai sumber kehidupan
bagi flora dan fauna di daerah tertentu (Sunu, 2001 disitasi dalam Rinaldo,
2016). Distribusi DO air sungai dapat dikatakan lebih merata jika dibandingkan
perairan tergenang. Pergerakan kontinyu pada air menjadi faktor penyebabnya,
sehingga memungkinkan oksigen dari udara ke air terlarut (Nugroho, 2006
disitasi dalam Rinaldo, 2016). Penurunan kadar oksigen terlarut dalam air dapat
menjadi indikator pencemaran karena oksigen berperan penting dalam proses
penguraian bahan organik serta mempertahankan hidup bagi makhluk hidup di
air seperti hewan dan tumbuhan (Sunu, 2001 disitasi dalam Rinaldo, 2016).
Dalam pemeriksaan DO, metode yang digunakan adalah titrasi Winkler. Prinsip
yang digunakan pada metode ini yaitu oksigen akan mengoksidasi Mn2+ dalam
suasana basa dan membentuk endapan MnO2. Alkali iodide yang ditambahkan
dalam suasana asam akan membebaskan iodium. Kemudian, iodium tersebut
dianalisa menggunakan metode titrasi iodometris dengan larutan standar
Thiosulfat dan indikator larutan kanji.

B. Alat dan Bahan


Alat:
1. Botol winkler : 1 buah
2. Tabung erlenmeyer : 2 buah
3. Pipet tetes : 2 buah
4. Pipet ukur dan pump : 4 buah
5. Buret : 1 buah (50 ml)
6. Statif : 1 buah
7. Stopwatch : 1 buah
8. Baskom : 1 buah
Bahan:
1. Sampel air : 800 ml
2. Larutan MnSO4 : 1 ml
3. Larutan Iodida : 1 ml
4. Larutan H2SO4 pekat : 1 ml
5. Larutan kanji : 2 ml
6. Larutan tiosulfat : 50 ml

C. Prosedur
1. Standarisasi larutan Thiosulfat Na2S2O3
1) Sebanyak 20 ml larutan KH(IO3)2 dan 10 ml asam sulfat dimasukkan ke
dalam labu erlenmeyer dan encerkan dengan aquades sampai
volumenya menjadi 200 ml.
2) Titrasi dengan larutan thiosulfat, bila titik akhir titrasi hampir tercapai
(warna larutan kuning muda) tambahkan larutan kanji dan teruskan
titrasi sampai tepat warna biru yang baru muncul hilang kembali.
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐼𝑂3 × 𝑁 𝐼𝑂3
𝑁𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑁𝑎2 𝑆2 𝑂3 =
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑁𝑎2 𝑆2 𝑂3
2. Pemeriksaan oksigen terlarut
1) Isi botol BOD dengan contoh air, usahakan jangan sampai ada
gelembung udara, lalu tutup. Masukan 1 ml MnSO4 dan 1 ml larutan
alkali iodide (pereaksi oksigen). Memasukkan reagen menggunakan
pipet 1 ml yang ujungnya mencapai dasar botol. Tutup kembali,
kemudian aduk dengan cara membolak-balikkan botol sampai larutan
homogen.
2) Diamkan 10 menit sampai terlihat endapan coklat pada dasar botol (jika
endapan putih berarti tidak ada O2).
3) Tuangkan sebagian isi botol ke dalam labu erlenmeyer, tambahkan 1 ml
asam sulfat pekat. Aduk dan titrasi secepatnya dengan larutan Thiosulfat
1/80 N, tambahkan larutan kanji dan titrasi kembali sampai warna biru
hilang. Catat volume titran.
4) Tambahkan 1 ml asam sulfat pekat ke dalam larutan yang tersisa di dalam
botol BOD. Tutup dan aduk sampai endapan larut kembali. Larutan akan
berwarna kuning coklat. Titrasi dengan larutan Thiosulfat 1/80 N, dengan
menggunakan indicator amilum seperti diatas.
Perhitungan DO
𝑉𝑇ℎ𝑖𝑜 × 𝑁𝑇ℎ𝑖𝑜 × 1000 × 8
𝐷𝑂 (𝑚𝑔/𝑙𝑡) =
𝑉𝑏𝑜𝑡𝑜𝑙 − 2
Catatan:
Selain dengan metode Winkler, oksigen terlarut dapat dianalisis dengan
metode membran elektroda (DO meter) atau dengan metode titrasi lainnya.
Pengukuran oksigen terlarut harus dianalisis secepat mungkin, karena
kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan
udara. Senyawa reduktor atau oksidator (nitrit) dalam air dapat mengganggu
pengukuran oksigen terlarut dengan metode Winkler. Untuk mencegah
gangguan tersebut ditambahkan senyawa Natrium Azide (NaN 3) ke dalam
pereaksi oksigen.

2. Pemeriksaan BOD
A. Metode dan Prinsip
Biological Oxygen Demand (BOD) adalah banyaknya oksigen yang
dibutuhkan oleh bakteri selama penguraian senyawa organik pada kondisi
aerobik. Senyawa organik yang dimaksudkan adalah makanan bagi bakteri.
BOD merupakan jumlah oksigen yang diperlukan mikroorganisme dalam air
untuk memecah, mendegradasi atau mengoksidasi limbah organik yang terdapat
di air (Sunu, 2001 disitasi dalam Rinaldo, 2016). BOD dijadikan sebagai
parameter untuk menentukan tingkat pencemar senyawa organik yang dapat
diuraikan oleh bakteri serta termasuk uji hayati (bioassay). Pengukuran BOD
dilakukan dengan mengencerkan sampel, kemudian menginkubasi selama 5
hari pada suhu 20 C serta mengukur oksigen terlarut sebelum dan sesudah
inkubasi. BOD yang menurun selama inkubasi menunjukkan banyaknya
oksigen yang dibutuhkan oleh sampel air yang selanjutnya dianalisa
menggunakan metode titrasi Winkler.
B. Alat dan Bahan
Alat:
1. Botol winkler : 3 buah
2. Pipet tetes : 2 buah
3. Pipet ukur dan pump : 4 buah
4. Buret : 1 buah (50 ml)
5. Statif : 1 buah
6. Baskom : 1 buah
Bahan:
1. Sampel air : 600 ml
2. Larutan buffer fosfat : 1000 ml
3. Larutan MgSO4 : 1000 ml
4. Larutan CaCl2 : 1000 ml
5. Larutan FeCl3 : 1000 ml

C. Prosedur
1. Membuat larutan pengencer yang jenuh oksigen.
2. Menentukan angka pengenceran sampel, sebagai berikut:
a. 8,0 – 9,0 mg O2/lt diencerkan 1x
b. 6,0 – 8,0 mg O2/lt diencerkan 2x – 5x
c. 5,0 – 6,0 mg O2/lt diencerkan 2x – 10x
d. 3,0 – 5,0 mg O2/lt diencerkan 10x – 15x
e. 1,0 – 3,0 mg O2/lt diencerkan 15x – 20x
f. 0,1 – 1,0 mg O2/lt diencerkan 20x – 25x
g. 0,0 – 0,1 mg O2/lt diencerkan 25x – 100x
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝐷𝑒𝑟𝑎𝑗𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑒𝑟𝑎𝑛 (𝑃) =
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
3. Melakukan pengenceran
1) Setelah diketahui angka pengenceran dari sampel air tersebut maka
dilakukan pengenceran contoh air tersebut dengan air pengencer yang
telah disediakan. Banyak air pengencer yang ditambahkan tergantung
pada angka pengenceran tersebut (lihat contoh perhitungan di atas).
2) Setelah diencerkan, masukkan ke dalam dua buah botol BOD yang telah
dikalibrasi volumenya. Salah satu botol BOD tersebut disimpan dalam
inkubator 20⁰ C selama 5 hari, sedangkan botol BOD yang lainnya
diperiksa kandungan oksigen terlarutnya dengan metode titrasi Winkler.
3) Untuk percobaan blanko disiapkan 6 botol BOD. Masing-masing botol
diisi dengan air pengencer. Tiga botol pertama diinkubasi selama 5 hari
pada tempertur 20⁰ C. Sedangkan tiga botol lainnya dintentukan
kandungan oksigennya (DO).
4. Pemeriksaan oksigen terlarut
Pemeriksaan oksigen terlarut lihat metode titrasi Winkler.
Perhitungan BOD

((𝐷0 − 𝐷5 ) − ((𝐵0 − 𝐵5 ) × 𝑓 ))
𝐵𝑂𝐷5ℎ𝑎𝑟𝑖200 𝐶 (𝑚𝑔/𝑙𝑡) =
𝑃
Keterangan:
B0 = DO 0 hari blanko (mg/lt)
B5 = DO 5 hari blanko (mg/lt)
D0 = DO 0 hari sample (mg/lt)
D5 = DO 5 hari sample (mg/lt)
P = derajat pengenceran
f = koreksi untuk seeding
𝑓 = 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑒𝑒𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 ∶ 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑒𝑒𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘 = 1 − 𝑃
Catatan:
1. Karena pemeriksaan BOD merupakan uji hayati (bioassay), keberhasilan
percobaan BOD sangat dipengaruhi oleh kehidupan mikroorganisme. Oleh seba
itu, semua zat yang bersifat toksik terhadap mikroorganisme harus dihilangkan
terlebih dahulu. Contoh: senyawa pestisida, klor, dan sebagainya.
2. Zat asam glutamate-glukosa digunakan sebagai standar pengontrol ketelitian
kerja dalm pemeriksaan BOD. Untuk larutan campuran 150 mg asam glutamate
dan 150 mg glukosa dalam 1 liter air akan menunjukkan BOD sekitar 231 mg/lt.
Secara teoritis BODnya dapat dihitung.
3. Dalam pemeriksaan BOD, tidak hanya terjadi penguraian senyawa karbon,
tetapi juga terjadi proses nitrifikasi, sehingga hasil BODnya lebih besar dari
yang sebenarya. Untuk itu perlu dicegah proses nitrifikasi dengan penambahan
3 mg 2-chloro-6-(trichloro methyl) pyridine (TCMP) unutk setiap 300 ml botol
BOD.
4. Validitas data hasil pengukuran BOD biasanya ditentukan berdasarkan:
a. DO 5 hari harus lebih besar dari 0,5 mg/lt
b. Penurunan DOnya 30% - 79%
5. Pengawetan sampel dilakukan dengan pendinginan. Waktu peyimpanan
maksimum adalah 48 jam (2 hari).

3. Pemeriksaan COD
A. Metode dan Prinsip
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah banyaknya oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimia (Rinaldo, 2016).
Menurut Effendi (2003), penguraian bahan organik menyebabkan
berkurangnya kelarutan oksigen. Bahan organik hasil oksidasi COD yang
berkurang dapat mengindikasikan jumlah bahan organik yang terkandung
dalam perairan. Selain itu, uji COD dapat digunakan untuk mengetahui
kandungan oksigen terlarut dan menentukan tingkat pencemaran di suatu
perairan (Pertiwi, 2018). Metode penentuan COD menggunakan oksidator kuat
diantaranya kalium bikarbonat dan asam sulfat pekat. Sedangkan prinsip yang
digunakan pada COD yaitu dengan menambahkan kalium bikarbonat
(Kr2Cr2O7) sebagai oksidator pada sampel yang telah ditambahkan asam sulfat
pekat (H2SO4). Kemudian akan dipanaskan dalam waktu tertentu dan dilakukan
titrasi menggunakan indicator ferroin.

B. Alat dan Bahan


Alat:
1. Tabung reaksi COD : 2 buah
2. Buret : 1 buah (50 ml)
3. Statif : 1 buah
4. Labu erlenmeyer : 2 buah
5. Pipet ukur dan pump : 4 buah
6. Rak tabung : 2 buah
7. COD reaktor suhu : 1 buah
8. Sendok kecil : 1 buah
9. Kertas label : 1 buah
10. Jerigen 5 liter : 1 buah
11. Tabung reaksi : 1 buah
Bahan:
1. Sampel air lindi : 2 ml
2. Kristal HgSO4 : 50 gr
3. Larutan Kr4Cr2O7 : 1 ml
4. Larutan H2SO4 : 3 ml
5. Larutan FAS 0,25 N : 50 ml
6. Indikator feroin : 5 ml

C. Prosedur
1. Menyiapkan alat dan bahan.
2. Memipet sampel air lindi sebanyak 2 ml kemudian memasukkan ke
dalam tabung reaksi COD1 dan 2 ml aquades dalam tabung reaksi COD2.
3. Menambahkan 1 ml larutan kalium bikarbonat (Kr 2Cr2O7) ke dalam
masing-masing tabung.
4. Menambahkan 1 ujung sendok kecil HgSO4 kristal ke dalam masing-
masing tabung reaksi COD dan menghomogenkan selama ±1 menit.
5. Menambahkan reagen asam sulfat COD (H2SO4 COD) sebanyak 3 ml
pada masing-masing tabung reaksi COD (terjadi reaksi panas),
kemudian menghomogenkan selama ±1 menit.
6. Memasukkan masing-masing tabung reaksi COD ke dalam COD
reactor dan mengatur suhu 150°C diamkan selama 2 jam.
7. Setelah 2 jam, mengeluarkan tabung dari COD reactor, kemudian
mendinginkan.
8. Memindahkan ke labu erlenmeyer.
9. Menambahkan aquades sebanyak 6 ml dan menambahkan 3-4 tetes
indikator ferroin
10. Menitrasi dengan larutan FAS sampai terjadi perubahan warna menjadi
merah bata.
11. Menghitung COD dengan rumus, sebagai berikut:
100 (𝑚𝑙 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 − 𝑚𝑙 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 )𝑥 𝑁 𝐹𝐴𝑆 𝑥 𝐵𝐸 𝑂
𝐶𝑂𝐷 =
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
BAB III
PEMBAHASAN
1. Pemeriksaan DO
A. Hasil dan Data
Pada praktikum, percobaan yang dilakukan yaitu mengukur banyaknya
oksigen yang terdapat dalam sampel air dari Sungai di Jalan Kecubung, Denpasar
Timur. Sampel air yang akan digunakan terlebih dahulu diencerkan dengan larutan
pengencer sebanyak 10 kali karena kondisi sampel air yang cukup keruh. Sampel
air yang telah diencerkan kemudian dimasukkan ke dalam botol BOD yang telah
disediakan di laboratorium, kemudian ditutup. Hal ini bertujuan agar tidak ada
udara dari luar yang masuk ke dalam botol BOD, sehingga mempengaruhi kondisi
dari sampel air yang akan dianalisis.

Gambar 1. Sampel Air Sungai dan Pengenceran Sampel Air


Selanjutnya, air sampel yang telah dimasukkan ke dalam botol BOD hari ke-
0 akan dianalsis sesuai prosedur pemeriksaan DO dan BOD, sedangkan botol BOD
hari ke-5 akan diinkubasi pada suhu 20 C.
Gambar 2. Botol BOD Hari Ke-5 dan Proses Inkubasi
Sampel air pada botol BOD hari ke-0 kemudian diberikan 1 ml MnSO4 dan
1 ml larutan alkali iodide sebagai pereaksi oksigen, saat meneteskan pereaksi
dilakukan di dasar botol BOD dan teteskan perlahan-lahan dengan cara menaikkan
pipet, kemudian tutup kembali botol BOD dengan rapat. Selanjutnya, botol BOD
yang telah diberikan pereaksi dibolak-balik hingga larutan tercampur (homogen).

Gambar 3. Proses Memasukkan Larutan MnSO4 dan Larutan Alkali Iodide


serta Membolak-Balik Sampel agar Tercampur dengan Larutan Pereaksi
Lalu, diamkan selama 10 menit dan perlahan akan terbentuk endapan. Pada
sampel air di botol BOD yang belum inkubasi akan terbentuk endapan berwarna
coklat, sedangkan pada botol BOD yang sudah diinkubasi selama 5 x 24 jam akan
terbentuk endapan berwarna putih. Hal ini menunjukan bahwa terdapat oksigen
terlarut pada sampel air di botol BOD yang belum diinkubasi, sehingga endapan
yang terbentuk berwarna coklat. Sedangkan setelah diinkubasi selama 5 hari kadar
oksigen terlarut pada sampel di botol BOD hari ke-5 telah berkurang bahkan habis,
sehingga warna endapan yang dihasilkan berwarna putih.

Gambar 4. Endapan Sampel Air pada Botol BOD Hari ke-0 dan Hari ke-5
Setelah mengamati endapan yang dihasilkan oleh sampel, langkah
selanjutnya yaitu menuangkan sampel air yang tidak berisi endapan pada botol
BOD hari ke-0 sebagian ke dalam labu Erlenmeyer yang sudah disiapkan.
Kemudian, tambahkan 1 ml asam sulfat pekat hingga larutan berubah warna
menjadi kekuningan dan titrasi menggunakan larutan Thiosulfat 1/80 N. Setelah
dititrasi, teteskan cairan larutan amilum (kanji) hingga larutan berubah warna
menjadi biru dan titrasi kembali menggunakan larutan Thiosulfat 1/80 N hingga
menjadi jernih. Selama melakukan proses titrasi, perhatikan volume titrasinya.
Lakukan proses yang sama pada sampel air pada botol BOD yang telah diinkubasi
selama 5 x 24 jam.
Gambar 5. Sampel Air Dicampur Larutan Asam Sulfat Pekat, Larutan
Amilum (Kanji), dan Larutan Thiosulfat
Perhitungan DO (dissolved oxygen)
Rumus: DO mg⁄ = Vthiosulfat x Nthiosulfat x 1000 x 8
L volume botol−2 mL
Keterangan:
VThio = Volume Thiosulfat
NThio = Normalitas Thiosulfat
Vbotol = Volume Botol
1. Sampel Air Sungai
1) Hari ke-0
Diketahui:
Volume Botol : 350 ml
Volume Thiosulfat : 19,1 ml
Normalitas Thiosulfat : 0,025 N
Hasil:
19,1 𝑥 0,025 𝑥 1000 𝑥 8
𝐷𝑂𝑚𝑔/𝑙𝑡 =
350 − 2
3820
=
348
= 11 𝑚𝑔/𝑙𝑡
Dari hasil perhitungan didapatkan jumlah total DO sampel pada hari ke-0
sebesar 11 mg/lt.
2) Hari ke-5
Diketahui:
Volume Botol : 350 ml
Volume Thiosulfat : 3,4 ml
Normalitas Thiosulfat : 0,025 N
Hasil:
3,4 𝑥 0,025 𝑥 1000 𝑥 8
𝐷𝑂𝑚𝑔/𝑙𝑡 =
350 − 2
680
=
348
= 2 𝑚𝑔/𝑙𝑡
Dari hasil perhitungan didapatkan jumlah total DO sampel pada hari ke-5
sebesar 2 mg/lt.
2. Blanko
1) Hari ke-0
Diketahui:
Volume Botol : 350 ml
Volume Thiosulfat : 15 ml
Normalitas Thiosulfat : 0,025 N
Hasil:
15 𝑥 0,025 𝑥 1000 𝑥 8
𝐷𝑂𝑚𝑔/𝑙𝑡 =
350 − 2
3000
=
348
= 8,6 𝑚𝑔/𝑙𝑡
Dari hasil perhitungan didapatkan jumlah total DO blanko pada hari ke-0
sebesar 8,6 mg/lt.
2) Hari ke-5
Dari hasil praktikum di laboratorium diketahui bahwa jumlah total DO
blanko pada hari ke-5 sebesar 5,8 mg/lt.
Kadar Oksigen terlarut (DO) dalam sampel air sungai pada hari ke-0 serta
blanko pada hari ke-0 dan hari ke-5 sudah memenuhi nilai standar minimum
oksigen terlarut untuk kehidupan ikan dan biota perairan lainnya yaitu 5 mg/L dan
juga tidak memenuhi persyaratan kualitas air minum yaitu minimal 4 mg/L, namun
Kadar Oksigen terlarut (DO) dalam sampel air sungai pada hari ke-5 tidak
memenuhi nilai standar minimum oksigen terlarut untuk kehidupan ikan dan biota
perairan lainnya dan juga tidak memenuhi persyaratan kualitas air minum.

B. Pembahasan
1. Pembahasan mengapa prinsip atau metode tersebut yang digunakan
dalam pengukuran parameter tersebut
Dissolved Oxygen (DO) merupakan salah satu parameter yang dapat
digunakan dalam menganalisis kualitas air. Jumlah oksigen yang tersedia dalam
suatu badan air akan ditunjukkan dari hasil pengukuran nilai DO dalam bentuk
konsentrasi. Nilai DO pada air yang semakin besar akan mengindikasikan air
tersebut memiliki kualitas yang baik. Adapun tujuan dari pemeriksaan DO adalah
untuk melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan
mikroorganisme. Banyaknya oksigen dalam air akan menentukan kemampuan air
untuk melakukan pembersihan terhadap pencemaran. Apabila suatu reaksi pengurai
komponen kimia dalam air terus terjadi, maka kadar oksigen pun akan menurun dan
pada akhirnya oksigen yang tersedia akan tidak mencukupi untuk menguraikan
komponen kimia tersebut (Aruan dan Maniur, 2017).
Berkaitan dengan hal tersebut maka dilakukan pemeriksaan DO dengan
menggunakan metode Titrasi Winkler. Metode ini digunakan dalam mengukur
parameter kimia air dengan tujuan untuk menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsip
metode Titrasi Winkler adalah oksigen akan mengoksidasi Mn²+ dalam keadaan
basa yang kemudian akan membentuk endapan MnO2. Dengan dilakukannya
penambahan alkali iodide dalam suasana asam maka iodium akan terbebaskan.
Banyaknya iodium yang dibebaskan akan dianalisa kembali dengan menggunakan
metode titrasi iodometris dengan larutan standar berupa Thiosulfat dan indikator
larutan kanji. Adapun kelebihan dari penggunaan metode Titrasi Winkler dalam
menganalisis oksigen terlarut (DO) adalah pemeriksaan yang dihasilkan lebih teliti,
akurat, dan lebih mudah karena hanya dilakukan dengan cara men-titrasi jika
dibandingkan dengan cara alat DO meter (Septiawan, Sri dan Fransiska, 2014).

2. Pembahasan mengenai kesesuaian prinsip pengukuran dengan pengerjaan


praktikum
1) Pemeriksaan DO hari ke-0
a. Pemeriksaan oksigen terlarut
Dilakukan pembuatan blanko dan botol BOD dengan memasukkan sampel
air sebanyak 350 ml ke dalam blanko dan botol BOD, kemudian pada sampel air
tersebut dimasukkan 1 ml larutan MnSO4 dan alkali iodide dengan
menggunakan pipet yang ujungnya mencapai dasar botol. Selanjutnya botol
ditutup dengan rapat dan kemudian diaduk dengan cara melakukan gerakan
membolak-balik dengan tujuan agar larutan yang dimasukkan homogen dengan
sampel air. Botol tersebut lalu didiamkan selama 10 menit hingga terlihat
endapan, serta terbagi menjadi dua lapisan yaitu bagian yang warna bening dan
coklat. Lapisan air sampel yang bening kemudian dibagi dan di masukan ke
dalam 2 labu Erlenmeyer dengan volume masing-masing sebanyak 75 ml
sehingga sisa larutan dalam botol blanko dan BOD adalah sebesar 200 ml.
Pembuatan blanko dan BOD dilakukan dengan langkah-langkah yang sama akan
tetapi yang membedakannya adalah air yang dipakai dan pengenceran yang
dilakukan. Pada blanko dimasukkan larutan pelarut (jenuh oksigen) tanpa
dilakukan pengenceran sebelumnya sedangkan pada botol BOD dimasukkan
sampel air yang telah dilakukan pengenceran dan larutan pelarut (jenuh
oksigen). Selain itu, dilakukan pula beberapa penambahan yaitu:
1. Botol Blanko
Dilakukan penambahan H2SO4 (asam sulfat pekat) sebanyak 3 ml,
thiosulfat, dan kanji/amilum 3 tetes. Pada labu Erlenmeyer blanko 1 dan 2,
dilakukan penambahan H2SO4 sebanyak 1,5 ml, thiosulfat, dan kanji 3 tetes.
2. Botol BOD
Tersisa sampel air sebanyak 200 ml yang telah diendapkan kemudian
dimasukkan 3 ml asam sulfat pekat oleh karena sampel air keruh dan banyak
endapan. Selanjutnya dilakukan penambahan larutan thiosulfat dan
kanji/amilum. Pada labu erlenmeyer botol BOD 1 dan 2, dilakukan
penambahan 1 ml asam sulfat pekat, thiosulfat, dan larutan kanji 1 tetes.
2) Pemeriksaan DO hari ke-5
Praktikum dilakukan dengan memasukkan MnSO4 sebanyak 1 ml dan alkali
iodide sebanyak 10 ml ke dalam botol BOD, kemudian dibiarkan selama 10 menit
hingga terbentuk endapan. Kemudian setelah 10 menit, sampel air tersebut berubah
menjadi bening/endapan putih. Untuk memudahkan dalam proses berikutnya
(pengocokan) sampel air berwarna bening tersebut dipindahkan ke dalam 2 labu
Erlenmeyer. Selanjutnya pada kedua labu Erlenmeyer dimasukkan larutan H 2SO4,
kanji, dan titrasi menggunakan thiosulfat.

3. Pembahasan mengenai setiap langkah dalam pengukuran dan


alasan/tujuan dilakukannya langkah tersebut
1) Pemeriksaan oksigen terlarut
1. Pada langkah ini dimasukkan 1 ml MnSO4 dan 1 ml larutan alkali iodide
(pereaksi oksigen). Hal ini bertujuan agar sampel air yang berada dalam
botol BOD membentuk suatu endapan. Dimana setelah dimasukkan larutan
tersebut warna air secara perlahan membentuk endapan berwarna coklat.
2. Setelah dilakukan pemindahan sebagian sampel air dari botol BOD ke
dalam labu Erlenmeyer, dilakukan penambahan 1 ml asam sulfat pekat. Hal
ini bertujuan untuk mengubah warna sampel air menjadi kuning.
3. Selain itu, pada larutan yang tersisa dalam botol BOD dilakukan pula
penambahan 1 ml asam sulfat pekat. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan
endapan yang timbul pada botol BOD yang kemudian pada sampel air akan
berubah warna menjadi warna kuning.
4. Proses titrasi juga dilakukan pada botol BOD, labu Erlenmeyer 1 dan 2.
Langkah tersebut dilakukan untuk melihat perubahan warna yang terjadi
pada sampel air dengan tujuan akhir warna yang diperoleh adalah bening
untuk memastikan keberadaan jumlah oksigen terlarut. Berikut penjabaran
setiap langkah dalam pengukuran.
a. Botol BOD
Larutan thiosulfat pada buret diisi hingga penuh yaitu sebanyak 50 ml.
Kemudian larutan tersebut dimasukkan ke dalam botol BOD yang telah
diberikan larutan H2SO4 sebanyak 8 ml. Lalu dilakukan kembali
penambahan larutan thiosulfate sebanyak 8,3 ml setelah sampel air yang
berada dalam botol BOD diberikan larutan kanji. Dimana didapatkan hasil
terjadi perubahan warna secara berturut-turut yaitu: kuning muda, biru, dan
bening.
b. Labu Erlenmeyer (1)
Larutan asam sulfat pekat ditambahkan sebanyak 1 ml. Kemudian
dilakukan titrasi dengan menambahkan larutan thiosulfate sebanyak 1 ml,
penambahan kanji sebanyak 1 tetes, dan penambahan kembali larutan
thiosulfat sebanyak 0,9 ml. Dari langkah tersebut diperoleh hasil, terjadi
perubahan warna secara berturut-turut: kuning muda, biru, dan bening.
c. Labu Erlenmeyer (2)
Larutan asam sulfat pekat ditambahkan sebanyak 1 ml. Lalu dilakukan
titrasi dengan menambahkan larutan thiosulfate sebanyak 0,9 ml, kemudian
dilanjutkan dengan menambahkan larutan kanji sebanyak 1 tetes. Dari
langkah-langkah tersebut diperoleh hasil terjadi perubahan warna secara
berturut-turut: kuning muda dan bening. Pada langkah/proses ini dapat
dikatakan telah terjadi titrasi sempurna sehingga tidak dilakukan kembali
penambahan larutan thiosulfate.

4. Pembahasan hasil pengukuran


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan
Kesehatan Air Untuk Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua,
dan Pemandian Umum, jumlah minimal DO air adalah 4 mg/lt (Kemenkes RI,
2017). Hasil pemeriksaan Dissolved Oxygen (DO) sampel air sungai pada hari ke-
0 adalah lebih besar daripada standar baku mutu tersebut, yakni sebesar 11 mg/lt.
Setelah hari ke-5, hasil pemeriksaan DO menurun menjadi 2 mg/lt. Pada
pemeriksaan DO blanko, hari ke-0 diperoleh hasil 8,6 mg/lt. Pada hari ke-5, DO
blanko juga mengalami penurunan menjadi 5,8 mg/lt. Kedua hasil ini menunjukkan
mikroorganisme menguraikan bahan organik dalam air secara aerobik, sehingga
terjadi penurunan DO pada sampel air sungai dan blanko. Kadar DO pada sampel
air sungai hari ke-0, blanko hari ke-0, dan blanko hari ke-5 sudah memenuhi standar
minimal 4 mg/lt untuk biota perairan hidup. Berbeda dengan kadar DO sampel air
sungai hari ke-5, nilainya tidak memenuhi standar minimal 4 mg/lt, sehingga biota
perairan tidak dapat hidup disana.

5. Ulasan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran sehingga


diperoleh akurasi pengukuran yang baik
Berdasarkan prosedur kerja praktikum Dissolved Oxygen (DO), hal yang
perlu diperhatikan supaya hasil pengukuran memiliki akurasi yang baik adalah pada
tahap titrasi larutan Thiosulfat Na2S2O3 dan tahap pemeriksaan oksigen terlarut.
1) Pada tahap titrasi larutan Thiosulfat Na2S2O3, terjadi perubahan warna pada saat
titik akhir titrasi hampir tercapai menjadi larutan kuning muda. Perubahan
warna ini menjadi tanda untuk segera menambahkan larutan kanji agar titrasi
dapat dilanjutkan sampai warna biru larutan yang muncul hilang.
2) Pada tahap pemeriksaan oksigen, pengisian botol BOD dengan air tanpa adanya
gelembung udara dalam botol agar akurasi pengukuran terjaga baik.
Pengukuran oksigen terlarut dapat dilakukan sesegera mungkin untuk
meminimalisir pengaruh suhu dan tekanan udara terhadap kelarutan oksigen
dalam air.
3) Keberadaan senyawa seperti nitrit dalam air dapat mengganggu pengukuran DO
pada metode Winkler, sehingga dapat dilakukan penambahan senyawa Natrium
Azide (NaN3) ke dalam pereaksi oksigen.

6. Dibahas pula kesalahan-kesalahan pengukuran yang terjadi selama


praktikum
Selama pemeriksaan Dissolved Oxygen (DO) dan Biological Oxygen Demand
(BOD) dalam praktikum, terdapat kesalahan yang dilakukan yang disebabkan
faktor human error dan keterbatasan alat. Pada pemeriksaan DO hari ke-0,
pemeriksa tidak membuat blanko yang akan diperiksa pada hari ke-5 karena faktor
eror pemeriksa. Pada tahap titrasi DO hari ke-5, larutan titran yang keluar relatif
terlalu cepat, sehingga hasil pengukuran volume titran menjadi kurang tepat.

7. Hal-hal lain yang anda rasa perlu


1) Memperhatikan saat membuka keran buret agar titran tidak mengalir terlalu
deras, sehingga volume larutan titran dapat diamati dengan tepat.
2) Memasukkan larutan ke dalam botol dengan pipet yang masuk ke dalam larutan
agar tercampur sempurna.
3) Meminimalisir human error, seperti menyiapkan blanko agar pemeriksaan
dapat dilakukan sesuai prosedur yang diberikan.

2. Pemeriksaan BOD
A. Hasil dan Data
Sebelum praktikum dilakukan, sampel air terlebih dahulu diencerkan
sebanyak 10 kali karena sampel air cukup keruh. Sampel air yang digunakan
sebanyak 800 ml. Dikarenakan pengenceran dilakukan sebanyak 10 kali, maka
jumlah sampel air yang digunakan adalah 80 ml, sedangkan larutan pengencernya
sebanyak 720 ml. Setelah dilakukan pengenceran, langkah selanjutnya yang
dilakukan adalah memasukkan sampel air tersebut ke dalam dua botol BOD yang
masing-masing memiliki volume 350 ml. Kemudian, masing-masing botol akan
diberikan label BOD0 dan BOD5. Botol BOD0 akan diperiksa pada saat itu tanpa
harus diinkubasi terlebih dahulu, sedangkan botol BOD5 akan diperiksa pada hari
kelima setelah diinkubasi dengan suhu 20 C. Selain itu, pada saat praktikum juga
dibuat blanko yang digunakan sebagai pembanding. Air yang digunakan pada
blanko adalah larutan pengencer yang digunakan sebagai campuran pengenceran
sampel air sungai.
Gambar 6. Proses Pengenceran dan Pembuatan Blanko

Perhitungan BOD (Biological Oxygen Demand)


Rumus: ((𝐷0−𝐷5)−((𝐵0−𝐵5)𝑥 𝑓))
𝐵𝑂𝐷5 ℎ𝑎𝑟𝑖 20°𝐶 (𝑚𝑔/𝑙𝑡) =
P
Keterangan:
B0 = DO 0 hari blanko (mg/lt)
B5 = DO 5 hari blanko (mg/lt)
D0 = DO 0 hari sample (mg/lt)
D5 = DO 5 hari sample (mg/lt)
P = derajat pengenceran
f = koreksi untuk seeding (vol seeding dalam sample : vol seeding dalam blanko
= 1-P)
Diketahui:
B0 : 8,6 mg/lt
B5 : 5,8 mg/lt
D0 : 11 mg/lt
D5 : 2 mg/lt
P : 0,1
f : 0,9
Hasil:
((11 − 2) − ((8,6 − 5,8)𝑥 0,9))
𝐵𝑂𝐷5 ℎ𝑎𝑟𝑖 20°𝐶 (𝑚𝑔/𝑙𝑡) =
0,1
6,48
= 0, 1

= 64,8 𝑚𝑔/𝑙𝑡
Dari hasil perhitungan didapatkan BOD pada hari ke-5 sebesar 64,8 mg/lt.
Data hasil pengukuran BOD di atas telah memenuhi indikator validitas yaitu
DO 5 hari lebih besar dari 0,5 mg/lt namun tidak memenuhi indikator penurunan
DOnya 30% - 79% (penurunan DO pada sampel air sungai sebesar 81,8%.
Berdasarkan standar baku mutu yang dikeluarkan oleh Puslitbang Pengairan,
Kualitas Lingkungan di Indonesia yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat
pencemaran air, maka konsentrasi BOD < 1 mg/lt termasuk pencemaran sangat
ringan, BOD 1-3 mg/lt termasuk pencemaran ringan, BOD 3-6 mg/lt termasuk
pencemaran sedang dan BOD >6 mg/lt termasuk pencemaran berat. Hasil
pengukuran pada sampel air sungai pada praktikum ini menunjukkan nilai BOD
sampel sebesar 64,8 mg/lt, sehingga air sungai dapat dikategorikan mengalami
pencemaran berat atau diperlukan banyak oksigen terlarut oleh mikroorganisme
untuk menguraikan atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik
pada air sungai ini.

B. Pembahasan
1. Pembahasan mengapa prinsip atau metode tersebut yang digunakan
dalam pengukuran parameter tersebut
BOD adalah banyaknya jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri selama
proses penguraian senyawa organik pada kondisi yang aerobik. Pada pengukuran
BOD, prinsip yang digunakan adalah dengan melakukan pengenceran sampel,
inkubasi selama 5 hari pada suhu 20°C, dan dilakukan pula pengukuran oksigen
terlarut sebelum dan sesudah dilakukannya proses inkubasi. Adapun penjabaran
dari digunakannya prinsip tersebut dalam mengukur BOD adalah sebagai berikut.
1) Pengenceran sampel
Jumlah pengenceran sampel ditentukan oleh kualitas sampel yang
digunakan sehingga dipilih angka pengenceran sampel air yang diperkirakan
dapat menghasilkan penurunan oksigen terlarut minimal 2,0 mg/L dan sisa
oksigen terlarut minimal 1,0 mg/L setelah dilakukan inkubasi selama 5 hari
(Andika, Puji dan Rahmatul, 2020).
2) Inkubasi dilakukan selama 5 hari
Inkubasi dilakukan hingga hari ke-5 oleh karena dalam waktu lima hari
diduga proses penguraian senyawa organik telah terurai sebesar 70-80%,
sehingga dianggap cukup untuk memberikan gambaran terhadap nilai
BOD/penggunaan oksigen.
3) Pengukuran oksigen terlarut sebelum dan sesudah proses inkubasi
Pengukuran ini bertujuan untuk melihat besaran kecenderungan
perubahan jumlah oksigen awal hingga akhir yang digunakan oleh bakteri
dalam mengurai senyawa organik. Hasil pengukuran inilah yang akan
digunakan untuk menghitung BOD.

2. Pembahasan mengenai kesesuaian prinsip pengukuran dengan pengerjaan


praktikum
1) Pemeriksaan BOD hari ke-0
1. Membuat larutan pengencer yang jenuh oksigen
Larutan pengencer yang jenuh oksigen saat praktikum dibuat
selama 10-15 menit.
2. Menentukan angka pengenceran sampel
Pada saat praktikum, angka pengenceran sampel yang digunakan
adalah pengenceran 10 kali. Hal ini oleh karena sampel air sungai yang
digunakan sangat keruh. Selain itu, dilakukan pula pengukuran atau
perhitungan untuk menentukan derajat pengenceran. Perhitungan tersebut
dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Volume sampel air total (air sungai) = 600 ml
b. Volume sampel air yang diencerkan = 60 ml
c. Volume larutan pengencer = 600-60 = 540 ml
Agar sampel air total menjadi 800 ml setelah pengenceran kemudian
sampel tersebut ditambahkan kembali air sungai dengan penjabaran
sebagai berikut.
a. Volume sampel air total (air sungai) = 200 ml
b. Volume sampel air yang diencerkan = 20 ml
c. Volume larutan pengencer = 200-20 = 180 ml
Sehingga, berdasarkan dua perhitungan di atas maka dapat
disimpulkan derajat pengenceran (P) adalah
Diketahui:
Volume sampel air total = 800 ml
Volume sampel air yang diencerkan = 80 ml
Volume larutan pengencer = 800-80= 720 ml
P = 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
= 80
800
= 0,1
Kesimpulan: derajat pengenceran sampel sebesar 0,1
3. Melakukan pengenceran
Dilakukan pengenceran pada sampel air, kemudian dimasukan ke
dalam 2 botol BOD, 1 botol untuk hari ke-0 dan 1 botol untuk hari ke-5.
Masing-masing botol BOD dimasukkan sampel air yang telah diencerkan
sebanyak 350 ml, sehingga total volume sampel untuk kedua botol adalah
sebesar 700 ml. Botol BOD untuk hari ke-5 kemudian akan dimasukkan
ke dalam inkubator dengan suhu 20°C (pada praktikum, botol tersebut
direndam dalam ember pada suhu ruangan selama 5 hari). Sedangkan 1
botol lainnya dilakukan pemeriksaan kandungan oksigen (DO).
4. Pemeriksaan oksigen terlarut
Pemeriksaan oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan
metode Titrasi Winkler.
2) Pemeriksaan BOD hari ke-5
Pemeriksaan BOD hari ke-5 tidak dilakukan pada praktikum oleh
karena, pemeriksaan DO hari ke-5 diperoleh hasil tidak terdapat oksigen
sehingga tidak bisa dilakukan pengukuran jumlah oksigen yang diperlukan
untuk mengurai bahan organik pada sampel air yang digunakan. Berdasarkan
pelaksanaan praktikum yang telah dilakukan selama 2 hari dapat dinyatakan
bahwa prinsip pengukuran dengan pengerjaan praktikum telah sesuai.
3. Pembahasan mengenai setiap langkah dalam pengukuran dan
alasan/tujuan dilakukannya langkah tersebut
1) Pengenceran
Pada praktikum dilakukan pengenceran sebanyak 10 kali, hal ini dilakukan
dengan alasan oleh karena sampel air yang digunakan sangat keruh sehingga
dilakukan pengenceran dengan larutan pengencer.

4. Pembahasan hasil pengukuran


Hasil pengukuran Biological Oxygen Demand (BOD) pada sampel air sungai
adalah 64,8 mg/lt. Hasil ini sudah bersifat valid terhadap indikator validitas pertama
yakni DO hari ke-5 lebih besar daripada 0,5 mg/lt, tetapi tidak valid terhadap
indikator validitas kedua karena penurunan DO sebesar 81,8%. Sampel air sungai
menunjukkan sungai termasuk dalam kategori pencemaran berat karena BOD yang
dimiliki lebih besar daripada 6 mg/lt. Kondisi ini menyebabkan mikroorganisme
membutuhkan banyak oksigen untuk menguraikan cemaran bahan organik pada air
sungai.

5. Ulasan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran sehingga


diperoleh akurasi pengukuran yang baik
Berdasarkan prosedur kerja praktikum Biological Oxygen Demand (BOD),
hal yang perlu diperhatikan supaya hasil pengukuran berakurasi baik adalah tahap
pengenceran sampel air, inkubasi sampel air, dan pengukuran oksigen.
1) Pengenceran sampel air dapat memperhatikan berapa kali pengenceran,
sehingga diketahui perkiraan oksigen terlarut di dalamnya.
2) Inkubasi sampel air dilakukan selama lima hari pada suhu 20⁰ C. Suhu yang
ideal tersebut bertujuan menjaga bakteri tetap hidup dan waktu yang tepat dapat
menunjukkan hasil pengukuran BOD yang tepat.
3) Tahap pengukuran oksigen dilakukan sebelum dan setelah inkubasi untuk
mengetahui penurunan oksigen yang telah digunakan bakteri untuk
menguraikan senyawa organik.
4) Selama pemeriksaan, keberadaan mikroorganisme dapat dipengaruhi oleh zat
toksik, sehingga zat ini harus dipastikan tidak ada dalam sampel air.
5) Penambahan zat asam glutamate-glukosa dapat menjadi kontrol ketelitian kerja
dalam pemeriksaan BOD.
6) Selain penguraian senyawa karbon, dalam sampel air juga berlangsung proses
nitrifikasi yang dapat membiaskan hasil pengukuran menjadi lebih besar.
Pencegahan nitrifikasi dilakukan dengan penambahan 3 mg 2-chloro-6-
(trichloro methyl) pyridine (TCMP) untuk setiap 300 ml botol BOD.
7) Hasil akhir yang baik memiliki validitas yang dapat dilihat dari DO setelah
inkubasi 5 hari lebih besar daripada 0,5 mg/lt dan penurunan DO sebanyak 30%
- 79%.

6. Dibahas pula kesalahan-kesalahan pengukuran yang terjadi selama


praktikum
Selama pemeriksaan Dissolved Oxygen (DO) dan Biological Oxygen Demand
(BOD) dalam praktikum, terdapat kesalahan yang dilakukan yang disebabkan
faktor human error dan keterbatasan alat. Pada pemeriksaan DO hari ke-0,
pemeriksa tidak membuat blanko yang akan diperiksa pada hari ke-5 karena faktor
eror pemeriksa. Pada tahap titrasi DO hari ke-5, larutan titran yang keluar relatif
terlalu cepat, sehingga hasil pengukuran volume titran menjadi kurang tepat.

7. Hal-hal lain yang anda rasa perlu


1) Memperhatikan saat membuka keran buret agar titran tidak mengalir terlalu
deras, sehingga volume larutan titran dapat diamati dengan tepat.
2) Memasukkan larutan ke dalam botol dengan pipet yang masuk ke dalam larutan
agar tercampur sempurna.
3) Meminimalisir human error, seperti menyiapkan blanko agar pemeriksaan
dapat dilakukan sesuai prosedur yang diberikan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemeriksaan Dissolved Oxygen (DO) dalam praktikum menggunakan metode
titrasi Winkler yang bertujuan mengetahui oksigen terlarut dalam air. Pemeriksaan
DO pada sampel air sungai menunjukkan hasil yang telah memenuhi standar
minimum untuk air pemandian umum. Hasil pemeriksaan Dissolved Oxygen (DO)
sampel air sungai pada hari ke-0 sebesar 11 mg/lt dan hari ke-5 menurun menjadi 2
mg/lt. Pada pemeriksaan DO blanko, hari ke-0 diperoleh hasil 8,6 mg/lt dan hari
ke-5 juga mengalami penurunan menjadi 5,8 mg/lt. Ini menunjukkan terjadi
penggunaan oksigen oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik
dalam air dari kedua sampel air.
Pemeriksaan Biological Oxygen Demand (BOD) bertujuan untuk mengetahui
jumlah oksigen yang diperlukan mikroorganisme untuk menguraikan bahan
organik dalam air. Sampel air sungai diencerkan sebanyak 10 kali sebelum
pemeriksaan BOD hari ke-0. Pemeriksaan BOD pada sampel air sungai
menunjukkan hasil sebesar 64,8 mg/lt. Hasil ini menunjukkan sampel air sungai
mengalami pencemaran berat bahan organik. Kondisi ini menyebabkan
mikroorganisme membutuhkan banyak oksigen untuk menguraikan bahan organik
tersebut.

B. Saran
Pemeriksaan Dissolved Oxygen (DO) dan Biological Oxygen Demand (BOD)
memerlukan ketelitian dalam proses pelaksanaannya. Pemeriksaan DO pada tahap
titrasi sebaiknya mengeluarkan cairan titran dengan aliran yang pelan, sehingga
penghitungan volume cairan titran sedapat mungkin tepat. Selain itu, diperlukan
persiapan yang matang sebelum pelaksanaan praktikum terkait alat dan bahan
disertai pemahaman terhadap prosedur, sehingga human error dapat diminimalisir
terjadi ketika praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Andika, B., Puji, W. dan Rahmatul, F. (2020) ‘Penentuan Nilai BOD Dan COD
Sebagai Parameter Pencemaran Air Dan Baku Mutu Air Limbah Di Pusat
Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan’, Jurnal Kimia Sains dan Terapan,
2(1), pp. 14–22. Available at: https://ejurnalunsam.id/index.php/JQ.
Aruan, D. G. R. dan Maniur, A. S. (2017) ‘Penentuan Kadar Dissolved Oxygen
(DO) Pada Air Sungai Sidoras di Daerah Butar Kecamatan Pagaran
Kabupaten Tapanuli Utara’, Jurnal Analis Laboratorium Medik, 2(1), pp.
422–433. Available at: http://e-journal.sari-
mutiara.ac.id/index.php/Kesehatan_Masyarakat.
Hutagalung, H. P., Rozak, A., dan Lutan, I. (1985). Beberapa Catatan Tentang
Penentuan Kadar Oksigen dalam Air Laut Berdasarkan Metode Winkler.
Oseana. 10(4): pp. 138-149.
Kemdikbud RI. (2013). Buku Teks Bahan Ajar Siswa: Pengelolaan Kualitas Air.
Kemenkes RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan
Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam
Renang, Solus Per Aqua, dan Pemandian Umum
Pertiwi, W. 2018. Analisis COD (Chemical Oxygen Demand), Ammonia dan Nitrat
di Perairan Muara Sungai Bungin, Sumatera Selatan. Skripsi. Universitas
Sriwijaya.
Praja, Y. H. (2017). Analisa Kadar Chemical Oxygen Demand (COD) dan Total
Suspended Solid (TSS) pada Limbah Cair dan Air Laut dengan Menggunakan
Alat Spektrofotometri UV-Visible. Skripsi. Departemen Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
Rinaldo Berutu. 2016. Analisis Dissolved Oxygen (DO) dan Biological Oxygen
Demand (BOD) pada Air Limbah Industri Menggunakan Metode Winkler.
Tugas Akhir. Universitas Sumatera Utara.
Septiawan, M., Sri, M. R. S. dan Fransiska, W. M. (2014) ‘Penurunan Limbah Cair
Industri Tahu Menggunakan Tanaman Cattail Dengan Sistem Constructed
Wetland’, Indonesian Journal of Chemical Science, 3(1), pp. 22–27.
Warsa, A. dan Astuti, L. P. (2020). Estimasi Beban Cemar dan Laju Dekomposisi
Bahan Organik di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Jurnal Teknologi
Lingkungan. 21(1): pp. 86-94.
ANALISIS KUALITAS LINGKUNGAN
LAPORAN PRAKTIKUM PEMERIKSAAN PARAMETER
FISIKA AIR

KELOMPOK 05
1. Devana Prayitno Putri 1902561005
2. I Gede Suka Merta 1902561017
3. Ni Putu Suartiningsih 1902561019
4. I Gusti Ayu Adinda Dewi Prativi 1902561041
5. Luh Putu Nike Wahyuntika 1902561057
6. I Putu Ryanatista Anggareksa 1902561093

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
Air yang berkualitas baik adalah air yang tidak berbau, tidak berasa, tidak
berwarna dan tidak ada partikel di dalamnya. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan
kualitas air, air minum adalah air yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat
langsung diminum. Sementara, air bersih adalah air yang memenuhi syarat
kesehatan dan harus melewati proses pemasakan sebelum dikonsumsi
(Mukarromah, dkk., 2016). Salah satu syarat kesehatan tersebut adalah
berdasarkan parameter fisika. Parameter fisika adalah indikator-indikator
dalam menilai kualitas air berdasarkan sifat fisika air. Berikut adalah
beberapa indikator yang dijadikan parameter fisika kualitas air
1. Parameter pH
Derajat keasaman (pH) adalah parameter yang mengukur kepekatan ion
H+ dalam air. Semakin tinggi kadar H+, maka pH semakin asam. Hal ini bisa
menjadi toksik bagi biota air dan menjadi habitat yang mendukung
pertumbuhan alga yang menyerap oksigen pada air. Sebaliknya, apabila kadar
H+ menurun, maka air semakin basa yang menandakan banyak unsur kimia di
dalam air. Rentang kadar pH adalah dari 1-14. Berdasarkan PP nomor 82
Tahun 2007, derajat keasaman air berada pada pH 6-9 (Suryani, 2019). Pada
praktikum ini, pengukuran pH dilakukan dengan kertas lakmus dan metode
potensiometri elektroda. Kertas lakmus terdiri dari kertas lakmus merah dan
biru dan kertas pH meter yang telah terstandarkan warnanya di setiap angka
pH. Bila larutan dalam kondisi asam, maka kertas lakmus merah akan tetap
berwarna merah dan kertas lakmus biru akan berubah menjadi merah.
Sedangkan, bila larutan dalam keadaan basa, maka kertas merah akan
berubah menjadi biru dan kertas biru akan tetap biru. Bila ditulis dalam tabel,
maka akan terlihat seperti berikut:
Tabel 1. Tabel Pengukuran pH dengan kertas lakmus

Kondisi Lakmus Merah Lakmus Biru


Asam Merah Merah
Netral Merah Biru
Basa Biru Biru

Untuk kertas pH meter, biasanya terdiri dari 4 warna, dan keempat


warna tersebut akan berubah warna sesuai dengan kondisi larutan. Bedanya
dengan kertas lakmus merah biru, kertas pH meter bisa memberi informasi
lebih spesifik, dimana dapat diketahui bahwa larutan pH berada pada pH 1, 2,
3, atau seterusnya. Berikut adalah gambar kertas lakmus pH meter.

Gambar 1. Gambar kertas lakmus pH meter

Potensiometri adalah teknik pengukuran konsentrasi suatu ion


dengan memanfaatkan elektroda yang peka terhadap ion-ion yang akan
diukur. Langkah kerja elektroda potensiometri adalah mengukur secara
selektif terhadap ion-ion tertentu, dimana pada praktikum ini adalah H+ dan
OH-. Metode ini terdiri atas membran yang dimasukkan dalam larutan
dimana terdapat analat dengan aktivitas larutan, satu elektroda pembanding
luar yang langsung kontak dengan larutan dan membrane serta satu
elektroda pembanding dalam yang dimasukkan ke dalam larutan Sehingga
diperoleh perhitungan potensial larutan sebagai berikut (Laili, 2013):
Esel = Eref ext - Eref int + Ememb + E-Ij
Keterangan:
Esel : Potensial larutan
Eref ext : elektroda pembanding luar
Eref int : elektroda pembanding dalam
Ememb : potensial elektroda membran
EIj : potensial sambungan larutan
2. Kekeruhan
Kekeruhan (turbidity) adalah gambaran sifat optik air, dimana terdapat
partikel tersuspensi di dalam air sehingga mempengaruhi warna air. Tingkat
kekeruhan yang tinggi menyebabkan penetrasi matahari ke dalam air menjadi
terhalang dan mengganggu proses fotosintesis air. Tingkat kekeruhan
biasanya diukur menggunakan alat turbidimeter dengan hasilnya
menggunakan besaran Nepheleometer Turbidity Unit (NTU). Batas tingkat
kekeruhan air minum yang dianjurkan WHO adalah 5 NTU (Yunarti, 2007).
3. Warna
Air yang berkualitas baik pada umumnya tidak berwarna. Sehingga, bila
air berubah warna maka dapat dengan mudah diidentifikasi dengan mata atau
dengan Visual Comparison Method, dimana warna air dibandingkan dengan
warna larutan standar yang terbuat dari unsur platinum (Pt) dan kobalt (Co)
(Xian, et al., 2019). Perbedaan warna air bisa disebabkan oleh proses alami
biologis maupun non biologis dan aktivitas manusia seperti pembuangan
limbah. Berdasarkan zat penyebabnya, warna air dapat dibedakan menjadi
dua yang terdiri dari (Kemdikbud RI, 2013):
a. Warna sejati (true color): warna sejati adalah warna air yang disebabkan
oleh adanya zat organik yang bercampur membentuk koloid, yang bila
dilakukan penyaringan atau sentrifugasi warna air tersebut tidak berubah.
Contohnya adalah air teh, air buangan warna tekstil, plankton, dan akibat
tanaman air yang mati.
b. Warna semu (apparent color): warna semu adalah warna air karena
terdapat partikel yang tersuspensi. Partikel tersebut bisa dipisahkan
dengan penyaringan atau sentrifugasi. Contohnya adalah campuran air
dengan tanah dan kopi.
4. Suhu
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 51 tahun
2004, suhu air yang baik bagi biota laut adalah 28-32 oC (Ira, 2014).
Perubahan suhu air dapat disebabkan karena intensitas cahaya matahari dan
pertukaran panas antara air dan udara. Parameter suhu diukur menggunakan
termometer alkohol. Termometer alkohol adalah termometer yang
menggunakan etanol murni atau asetat isoamil sebagai media pengukur.
Termometer ini hanya mampu mengukur suhu sampai 78oC.
5. Koagulasi
Koagulasi adalah suatu proses pengubahan partikel terlarut dalam air
menjadi endapan atau flok, sehingga partikel terlarut yang tidak diinginkan
dapat terpisah dari air dan disaring. Proses koagulasi terdiri dari tiga langkah
inti, yaitu pembentukan flok, destabilisasi partikel, dan pembesaran ukuran
partikel. Pada praktikum ini, setelah proses koagulasi, proses selanjutnya
adalah menggunakan metode Jar Test menggunakan tawas. Jar test bertujuan
untuk menguji kemampuan koagulan dan menentukan dosis yang dibutuhkan
pada proses penjernihan air. Ukuran yang dibutuhkan pada tes ini adalah pH
air, TSS, kekeruhan, serta dosis penambahan koagulan. Proses yang
dilakukan pada metode ini mulai dari proses koagulasi, flokulasi, sampai
menjernihkan air, sehingga air tidak berbau, tidak berasa, dan tidak keruh
(Husaini, dkk., 2018).
6. Total Suspended Solid (TSS), dan Total Dissolved Solid (TDS)
a. Total Suspended Solid (TSS)
TSS adalah jumlah kandungan bahan tersuspensi yang bisa terlihat
dengan mata karena dapat menyebabkan kekeruhan. Bahan-bahan
tersuspensi terdiri dari lumpur, jasad renik, dan lainnya. Ukuran partikel
tersuspensi maksimal 2 µm. Tingkat TSS yang tinggi dapat mengganggu
penetrasi cahaya matahari ke air dan mengurangi kadar oksigen dalam air
(Kemdikbud RI, 2013).
b. Total Dissolved Solid (TDS)
TDS adalah jumlah kandungan zat terlarut pada suatu larutan baik
terdiri dari zat organik maupun anorganik dengan ukuran diameter kurang
dari 10-3 µm. Kandungan terlarut yang yang biasanya teridentifikasi adalah
kalsium, fosfat, nitrat, natrium, kalium, magnesium, bikarbonat, dan
klorida. Jumlah terlarut tersebut digambarkan dengan besaran part per
million (ppm) atau sama dengan mg/L. Sumber utama dari TDS berasal
dari pertanian, limbah rumah tangga, atau limbah industri. Batas ambang
TDS yang diizinkan pada air sungai adalah 1.000 mg/L (Rinowati, dkk.,
2016).
Prosedur pengukuran TSS dan TDS yaitu disaring menggunakan alat
penyaring yang telah dilengkapi dengan pompa pengisap dan kertas saring,
kemudian diuapkan dan didinginkan untuk mencapai berat tetap. Partikel
yang diukur pada TSS adalah partikel-partikel yang terhalang di kertas saring,
sementara partikel yang diukur untuk TDS adalah partikel yang melewati
kertas saring (Rinowati, dkk., 2016).
BAB II
METODE PENELITIAN

1. PH
A. Metode dan Prinsip
Power of Hydrogen (pH) merupakan parameter yang mengukur kepekatan
ion H+ dalam air. Konsentrasi H+ yang semakin tinggi menandakan sifat air
semakin asam. Dalam pemeriksaan pH, metode yang digunakan dapat berupa
elektroda-potensiometri dan penggunaan kertas lakmus. Metode elektroda-
potensiometri merupakan metode pengukuran konsentrasi suatu ion
menggunakan elektroda yang peka terhadap ion-ion yang akan diukur. Dalam
pemeriksaan pH, elektroda yang digunakan peka terhadap ion H+ untuk kondisi
asam dan OH- untuk kondisi basa. Alat yang digunakan adalah pH meter yang
dilengkapi dengan pembaca pH, pengatur suhu, pengatur kalibrasi, dan
elektroda. Penggunaan pH meter diawali dengan kalibrasi dengan larutan buffer
pH 4, 7, dan 9. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan pada sampel air yang ingin
diketahui pHnya (Suryani, 2019). Sedangkan, pada pemeriksaan pH
menggunakan kertas lakmus, penentuan kondisi asam air ditentukan dengan
perubahan warna kertas lakmus setelah dicelupkan ke dalam sampel air.
Perubahan warna akan menunjukkan pH sampel air, sehingga dapat ditentukan
air dalam kondisi asam atau basa. Kertas lakmus terdiri atas kertas lakmus merah
dan biru. Sampel air dalam keadaan asam akan menunjukkan perubahan warna
merah pada kedua kertas lakmus. Sampel air dalam keadaan basa akan
menunjukkan perubahan warna biru pada kedua kertas lakmus. Sedangkan
dalam keadaan netral tidak terjadi perubahan warna kertas lakmus. Selain itu,
terdapat kertas pH meter yang dapat memberikan informasi spesifik pH sampel
air berdasarkan perubahan warna yang terjadi yang dapat dicocokkan dengan
warna dan pH standar kertas pH meter.
B. Alat dan Bahan
- Satu set alat pH meter
- Kertas lakmus merah dan biru
- Kertas lakmus pH meter
- Larutan buffer dengan pH 4
- Larutan buffer dengan pH 6,85
- Larutan buffer dengan pH 9,18
C. Prosedur
1. Setiap pH meter yang akan digunakan untuk mengukur pH air harus
dikalibrasi terlebih dahulu dengan larutan buffer pH 4, 7 dan 9. Pada
alat pH meter umumnya dilengkapi dengan read out untuk pH,
pengatur suhu, pengatur kalibrasi dan elektroda.
2. Kalibrasi pH meter: cuci elektroda dengan aquades, dan keringkan
dengan kertas penghisap, kemudian celupkan ke dalam larutan buffer
pH 4. Nyalakan pH meter dana tur pengatur suhu sesuai dengan
larutan buffer. Putar pengatur pH sehingga pembacaan menunjukkan
nilai pH yang sesuai dengan pH larutan buffer. Lakukan hal yang
sama untuk larutan buffer pH 7 dan pH 9.
3. Pengukuran pH sampel air: kira kira 150 ml sampel dimasukkan ke
dalam gelas kimia 250 ml. Bilas elektroda pH meter dalam aquades
sebelum melakukan pengukuran. Atur suhu pH meter sesuai dengan
suhu sampel air (jika ada). Celupkan elektroda pada sampel air, baca
nilai pH yang ditunjukkan oleh jarum penunjuk. Selama pengukuran
sampel air dapat terus diaduk dengan magnetic stirer.
4. Pada pemeriksaan dengan kertas lakmus, masukkan sampel air pada
gelas kimia. Masukkan kertas lakmus ke dalam gelas. Amati
perubahan warna dan sesuaikan dengan pH pada warna tersebut
dalam standar warna kertas pH meter.
2. Kekeruhan
A. Metode dan Prinsip
Nephelometric merupakan metode pengukuran tingkat kekeruhan pada air.
Pada metode ini, sumber cahaya dilewatkan pada sampel dan intensitas cahaya
yang dipantulkan oleh bahan-bahan penyebab kekeruhan diukur dengan
menggunakan suspensi polimer formazin sebagai larutan standar. Satuan
kekeruhan yang diukur dengan metode Nephelometric adalah NTU
(Nephelometric Turbidity Unit) (Mooduto, M. S., 2016).
B. Alat dan Bahan
- 1 Portable Turbidity Meter
- 1 NTU Standards
- 5 Tabung Cell Sample 10 ml
C. Prosedur
1. Siapkan turbidity meter yang sudah dikalibrasi dan letakan pada permukaan
datar.
2. Sterilisasi tabung sampel yang akan diisi 5 sampel air yang sudah melewati
tahap percobaan koagulasi dengan tawas. Sterilisasi ini bertujuan supaya
tidak ada bercak/noda dari pemakai sebelumnya.
3. Masukan tabung cell sample secara bergantian dan atur supaya garis pada
tabung dengan tanda panah pada alat searah atau saling bertemu.
4. Untuk membaca hasilnya, tekan “Read” maka monitor akan menunjukan
angka turbiditas dalam NTU.
5. Catat hasil tersebut dan tentukan tingkat kekeruhan dengan NTU Standards
yang sudah ada.
6. Jika angka turbiditas lebih besar dari 40 NTU lakukan pengenceran kembali
sehingga kekeruhan berkisar antara 30-40 NTU.
3. Warna
A. Metode dan Prinsip
Dalam menentukan kualitas air, warna merupakan salah satu komponen yang
dapat dilihat untuk memastikan bahwa air tersebut berkualitas baik atau tidak.
Visual Comparison Method merupakan metode yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya perubahan warna pada air. Warna air akan diukur
dengan melakukan perbandingan kasat mata antara sampel dengan warna standar
yang dibuat dari unsur platinum (Pt) dan kobalt (Co) yaitu K2PtCl6 dan Kobalt
yang sudah diketahui konsentrasinya (Xian, et al., 2019). Perbandingan
dilakukan dengan cara air diposisikan dalam keadaan miring sekitar 30°, dalam
kondisi ini cahaya merupakan faktor utama untuk menentukan warna sampel
dengan standar warna (standar konsentrasi). Berdasarkan zat penyebabnya,
warna air dibedakan menjadi dua yaitu warna sejati dan warna semu.
B. Alat dan Bahan
- Larutan standar warna Pt-Co
- Tabung Nessler
C. Prosedur
Pengukuran Warna Sejati:
1. Ukur warna dengan menggunakan 50 ml sampel air yang telah
dipisahkan dari zat tersuspensi.
2. Bandingkan sampel air standar warna Pt-Co (Kalium heksakloro
Platina (IV) dengan Kobalt Klorida) = warna coklat kekuning-
kuningan.
Pengukuran warna semu:
1. Masukkan 50 ml sampel air yang sudah dikocok sempurna ke dalam
tabung Nessler.
2. Lakukan perbandingan sampel air dengan larutan standar warna.
4. Suhu
A. Metode dan Prinsip
Pada pemeriksaan kualitas air, suhu juga memiliki andil dalam
mempengaruhinya. Perubahan suhu air bisa diakibatkan oleh paparan cahaya
matahari yang cukup tinggi dan pertukaran panas dengan udara. Bila suhu air
tinggi, diperkirakan bahwa oksigen dalam air jadi berkurang, sehingga kualitas
air juga menurun. Maka berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
nomor 51 tahun 2004, suhu air yang baik bagi biota laut adalah 28-32 oC (Ira,
2014).
Alat yang digunakan untuk mengukur suhu adalah termometer. Termometer
terdiri dari termometer digital dan non-digital. Termometer non-digital terbagi
lagi menjadi dua yaitu termometer raksa dan termometer alkohol. Prinsip kerja
termometer non-digital ini yaitu menggunakan kemampuan pemuaian dari
medianya dan kemudian angka pemuaian tersebut yang akan diukur.
Keunggulan dari termometer alkohol yaitu mudah ditemukan, ramah lingkungan,
dan lebih murah dibandingkan termometer raksa. Selain itu, kemampuan
pemuaiannya juga lebih tinggi sehingga mudah pada saat pengukuran suhu.
Namun, termometer alkohol hanya bisa mengukur suhu tinggi maksimal sampai
78oC (Fadilah, 2020).
B. Alat dan Bahan
Alat
- Termometer alkohol: 1 buah
Bahan
- Sampel air : 6000 ml (10 x 600 ml)
C. Prosedur
1. Siapkan sampel air.
2. Celupkan ujung termometer de dalam sampel air.
3. Biarkan sampai alkohol memuai dan berhenti di titik tertentu.
4. Catat hasil pemuaian alkohol.
5. Percobaan Koagulasi
A. Metode dan Prinsip
Koagulasi merupakan suatu proses pencampuran bahan kimia yang disebut
koagulan atau bahan pengendap ke dalam air baku dengan kecepatan perputaran
yang tinggi dalam waktu singkat. Koagulan berfungsi untuk membantu proses
pengendapan partikel-partikel kecil dalam air yang tidak dapat mengendap
secara gravimetrik dan membentuk flok-flok yang dapat disaring (Susanto,
2008). Prinsip dari koagulasi yaitu partikel padatan yang ada di dalam air baku
sebagian besar bermuatan listrik negatif dan cenderung saling tolak-menolak
dengan satu sama lainnya sehingga tetap stabil dalam bentuk tersuspensi atau
koloid dalam air dan proses netralisasi muatan negatif partikel padatan tersebut
dilakukan dengan pembubuhan koagulan bermuatan positif ke dalam air lalu
dilakukan pengadukan secara cepat (Susanto, 2008). Seperti salah satu koagulan
yaitu tawas alumunium yang mampu menstabilisasi koloid sehingga koloid
mampu bergabung dengan satu sama lain membentuk flok berukuran lebih
besar.
Jar test adalah suatu metode pengujian suatu koagulan untuk mengetahui
kemampuan serta kondisi operasi (dosis) optimum yang dibutuhkan pada suatu
proses penjernihan air dan air limbah. Metode jar test menstimulasi proses
koagulasi dan flokulasi untuk menghilangkan partikel-partikel pemicu masalah
pada kualitas air seperti kekeruhan, rasa, dan bau yaitu partikel padatan
tersuspensi maupun zat-zat organik lainnya. Jar test mampu memberikan data
mengenai kondisi optimum untuk berbagai parameter-parameter proses seperti
dosis koagulan dan koagulan pembantu, pH, kecepatan aliran dari larutan kimia,
metode pembubuhan bahan kimia, lama waktu dan intensitas pengadukan cepat
(koagulasi) maupun pengadukan lambat (flokulasi) serta lama waktu
penjernihan(Husaini dkk, 2018).
B. Alat dan Bahan
Alat
- Tabung ukur : 1 buah
- Gelas beker : 5 buah
- Alas Kertas : 5 lembar
- Aluminium foil : 5 lembar
- Batang pengaduk : 5 buah
- Mortar dan pestle : 1 pasang
- Timbangan analitik : 1 buah
- Wadah baskom : 1 buah
Bahan
- Tawas : 7,5 gr
- Sampel air : 10 x 600 ml = 6000 ml

C. Prosedur
1. Jar Test
Prosedur praktikum menggunakan metode Jar Test adalah suatu metode
pengujian untuk mengetahui kemampuan suatu koagulan dan menentukan
kondisi operasi (dosis) optimum pada proses penjernihan air dan air
limbah. Adapun prosedurnya, sebagai berikut:
1. Haluskan tawas yang masih berbentuk bongkahan menggunakan
Mortar and Pestle dan tawas ini berfungsi sebagai koagulan.
2. Siapkan 5 buah tempat tawas yang terbuat dari aluminium foil.
3. Masukan tawas yang sudah dihaluskan ke dalam tempatnya.
4. Timbang tawas dengan timbangan analitik untuk menimbang berat
masing-masing tawas yaitu 0, 5 gr, 1 gr, 1, 5 gr, 2 gr, dan 2, 5 gr.
5. Kumpulkan 10 sampel air yang dibawa dengan masing-masing
volume air sebesar 600 ml.
6. Masing-masing sampel diambil airnya sebanyak 250 ml yang
diukur dengan gelas ukur.
7. 250 ml air tersebut dikumpulkan ke dalam baskom, dengan total
akhir air 250 ml x 10 sampel = 2500 ml atau 2, 5 liter.
8. Siapkan 5 buah gelas beker yang beralaskan kertas dan 5 batang
pengaduk.
9. Air yang dikumpulkan di dalam baskom, dimasukan kedalam gelas
beker dengan masing-masing volumenya sebesar 400 ml dengan
melakukan pengukuran dengan ke dalam gelas ukur sebelum
dimasukan ke gelas beker.
10. Siapkan tawas dan susun penempatan tawas dari jumlah (gr) dari
kiri ke kanan (0, 5 gr, 1 gr, 1, 5 gr, 2 gr, dan 2, 5 gr) pada 5 gelas
beker.
11. Masukan tawas ke dalam gelas beker dan aduk secara bersamaan.
Pengadukan dilakukan sebanyak 2 tahap, yaitu :
A. 100 rpm selama 1 menit: pengadukan cepat bertujuan untuk
mendispersikan koagulan secara merata ke dalam air baku
untuk memacu pembentukan flok.
B. 60 rpm selama 10 menit: pengadukan lambat bertujuan
meningkatkan kesempatan dan jumlah tumbukan antar
partikel. Interaksi transport pada pengadukan lambat
(flokulasi) lebih berarti dibandingkan pada pengadukan
cepat.
12. Setelah melalui proses pencampuran dan pengadukan, diamkan
selama 15-20 menit untuk mengetahui apakah flok pada masing-
masing sampel bisa terbentuk dan mengendap atau tidak.
13. Amati air sampel pada 5 gelas beker untuk menentukan tingkat
kekeruhan.
6. TS, TSS, TDS
A. Metode dan Prinsip
Pengukuran zat padat tersuspensi di dalam air dilakukan dengan prinsip
gravimetric yang mana akan mengukur dan menganalisa Total Solid (TS),
Total Suspended Solid (TSS), dan Total Dissolved Solid (TDS). Penentuan
kadar padatan tersuspensi dilakukan dengan cara mengendapkan padatan
tersuspensi yang terkandung di dalam air sampel dan menyaringnya dengan
kertas saring sehingga keduanya terpisah. Padatan tersuspensi memiliki
ukuran molekul yang lebih besar dari padatan terlarut sehingga saat
dilakukan penyaringan padatan tersuspensi akan tertinggal pada kertas
saring. Dengan demikian, endapan yang tertinggal pada kertas saring disebut
TSS atau Total Suspended Solid, sedangkan padatan yang tidak ikut tersaring
disebut TDS atau Total Dissolved Solid (Ana, 2014).
B. Alat dan Bahan
Alat
- Cawan penguap 1
- Cawan penguap 2
- Cawan pijar
- Kertas saring
- Oven
- Water bath
- Desikator
Bahan
- Sampel air
C. Prosedur
Persiapan

kemudian dimasukkan dalam desikator lalu ditimbang sampai konstan.


Kertas saring bebas abu dibasahi dengan aquades kemudian dipanaskan
105⁰C selama 1 jam, kemudian dimasukkan dalam desikator dan
ditimbang.
1. Berat cawan penguap 1 : a gram
2. Berat cawan penguap 2 : b gram
3. Berat cawan pijar : c gram
4. Berat kertas saring : d gram
TS (Total Solid)
1. Masukkan 100 ml sample air ke dalam cawan penguap 1, dan uapkan di
atas water bath sampai kering.
2. Cawan berisi sample kmd dimasukkan ke dalam oven 105C selama 1
jam.
3. Dinginkan cawan tersebut dalam desikator kemudian timbang (e gram).
TSS (Total Suspended Solid)
1. Saring 100 ml contoh air dengan kertas saring bebas abu yang sudah
ditimbang.
2. Kertas saring yang berisi endapan dimasukkan ke dalam cawan pijar
dan dipanaskan dalam oven 105C selama 1 jam.
3. dinginkan dalam desikator, kemudian timbang (f gram).
TDS (Total Dissolved Solid)
1. Filtrat sampel air diuapkan pada cawan penguap 2 diatas water bath 
kering.
2. Cawan dimasukkan dalam oven 105C selama 1 jam.
3. Dinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (g gram).
Perhitungan
TS = 1000/100 x (e – a) x 1000 (mg/lt)
TSS = 1000/100 x (f – (c + d)) x 1000 (mg/lt)
TDS = 1000/100 x (g – b) x 1000 (mg/lt)
BAB III
PEMBAHASAN
1. Percobaan Koagulasi
A. Hasil dan Data
Percobaan koagulasi menggunakan metode jar test menggunakan tawas
sebagai bahan koagulan. Tawas yang digunakan terdiri atas lima tawas
dengan berat 0,5 gram (gelas beker 1), 1 gram (gelas beker 2), 1,5 gram
(gelas beker 3), 2 gram (gelas beker 4), dan 2,5 gram (gelas beker 5). Sampel
air yang digunakan terbagi atas lima gelas beker dengan volume masing-
masing adalah 400 ml. Setiap sampel air dalam gelas dimasukkan tawas dan
dilakukan pengadukan secara dua tahap. Tahap pertama mengaduk dengan
100 rpm selama 1 menit untuk mendispersikan koagulan secara merata ke
dalam air baku untuk memacu pembentukan flok. Tahap kedua mengaduk
dengan 60 rpm selama 10 menit untuk meningkatkan kesempatan dan jumlah
tumbukan antar partikel. Setelah didiamkan selama 15-20 menit, pengamatan
dilakukan terhadap pembentukan flok pada masing-masing gelas beker.

Gambar 1. Hasil koagulasi menggunakan tawas

Hasil yang diperoleh menunjukkan perbedaan flok yang terbentuk


berdasarkan berat tawas yang digunakan. Gelas 1 memiliki hasil pengamatan
air paling keruh. Flok yang terbentuk sedikit, sehingga partikel terlarut dalam
air masih banyak, sehingga air tetap keruh. Hal ini disebabkan oleh tawas
yang digunakan kurang untuk membantu pembentukan flok dari partikel
terlarut dalam air. Semakin besar ukuran tawas, flok yang terbentuk semakin
banyak dan kejernihan air meningkat. Gelas 2 membentuk flok yang lebih
banyak daripada gelas 1 dengan kondisi air masih keruh. Gelas 3 membentuk
flok yang dapat terlihat mengendap pada dasar gelas dan masih ada partikel
terlarut dalam air. Gelas 4 menunjukkan hampir seluruh partikel terlarut
membentuk flok dan mengendap pada dasar gelas. Gelas 5 menggunakan
tawas 2, 5 gram memiliki hasil pengamatan air paling jernih. Partikel terlarut
seluruhnya membentuk flok dan mengendap pada dasar gelas beker.

B. Pembahasan
1. Pembahasan mengapa prinsip atau metode tersebut yang digunakan dalam
pengukuran parameter tersebut
Pada percobaan koagulasi, prinsip atau metode yang digunakan adalah
jar test. Koagulasi adalah proses pencampuran koagulan (bahan pengendap)
ke dalam air baku dengan kecepatan perputaran yang tinggi dalam waktu
singkat. Pemberian koagulan pada air baku bertujuan untuk membantu
proses pengendapan partikel-partikel kecil dalam air yang tidak dapat
mengendap dan membentuk flok-flok yang dapat disaring (Susanto, 2008).
Koagulasi penting dilakukan untuk menghilangkan kotoran atau koloid serta
mengurangi kekeruhan pada air limbah. Kekeruhan pada air diindikasikan
mengandung komponen penyebab penyakit, maka dari itu kekeruhan pada
air limbah harus dikurangi hingga mencapai batas yang diizinkan
(Anggorowati, 2021). Salah satu jenis koagulan yang digunakan saat
praktikum adalah tawas yang mampu menstabilisasi koloid, sehingga koloid
dapat bergabung satu sama lain dan membentuk flok dengan ukuran lebih
besar. Metode jar test yang digunakan pada proses koagulasi bertujuan
untuk mengetahui kemampuan serta kondisi operasi atau dosis optimum
yang dibutuhkan pada suatu proses penjernihan air dan air limbah. Selain
itu, metode ini juga dapat menstimulasi proses koagulasi dan flokulasi untuk
menghilangkan partikel-partikel pemicu masalah pada kualitas air seperti
bau, rasa, dan kekeruhan. Jar test juga dapat memberikan gambaran kondisi
optimum untuk parameter-parameter proses seperti dosis koagulan, dosis
koagulan pembantu, kecepatan aliran larutan kimia, pH, metode
pembubuhan bahan kimia, waktu penjernihan, waktu dan intensitas
pengadukan cepat (koagulasi) dan pengadukan lambat (flokulasi) (Husaini
dkk, 2018).
2. Pembahasan mengenai kesesuaian prinsip pengukuran dengan pengerjaan
praktikum.
Praktikum dilakukan selama 1 hari menggunakan metode jar test dan
tawas sebagai bahan koagulan. Tawas yang digunakan terdiri dari lima
tawas dengan berat masing-masing yaitu 0,5 gram, 1 gram, 1,5 gram, 2
gram, dan 2,5 gram. Sedangkan, untuk sampel air yang digunakan terbagi
menjadi lima gelas beker dengan volume masing-masing 400 ml.
Kemudian, setiap sampel air dalam gelas beker akan diberikan tawas sesuai
berat masing-masing pada sampel air di gelas beker yang berbeda.
Selanjutnya, dilakukan pengadukan sebanyak dua tahap. Tahap pertama
mengaduk dengan 100 rpm selama 1 menit untuk mendispersikan koagulan
secara merata ke dalam air baku untuk memacu pembentukan flok. Tahap
kedua mengaduk dengan 60 rpm selama 10 menit untuk meningkatkan
kesempatan dan jumlah tumbukan antar partikel. Setelah itu, diamkan
selama 15-20 menit dan lakukan pengamatan terhadap pembentukan flok
pada masing-masing gelas beker untuk menentukan tingkat kekeruhan.
Berdasarkan pelaksanaan praktikum yang telah dilakukan, dapat dinyatakan
bahwa prinsip pengukuran dengan pengerjaan praktikum telah sesuai.
3. Pembahasan mengenai setiap langkah dalam pengukuran dan alasan/tujuan
dilakukannya langkah tersebut.
Percobaan koagulasi pada praktikum menggunakan metode jar test.
Kemudian, tawas yang akan digunakan sebagai koagulan ditimbang dan
dibagi menjadi lima dengan berat masing-masing yaitu 0,5 gram, 1 gram,
1,5 gram, 2 gram, dan 2,5 gram. Sedangkan untuk sampel air yang telah
dibawa sebesar 600 ml akan diambil sebanyak 250 ml, kemudian
dikumpulkan dalam baskom dengan total akhir air 250 ml x 10 sampel =
2500 ml atau 2,5 liter. Air yang dikumpulkan di dalam baskom, dimasukan
ke dalam gelas beker sesuai urutan dengan volume masing-masing sebesar
400 ml. Selanjutnya, masukkan tawas yang telah ditimbang tadi ke dalam
gelas beker dan aduk bersamaan dengan dua tahap. Tahap pertama
mengaduk dengan 100 rpm selama 1 menit untuk mendispersikan koagulan
secara merata ke dalam air baku untuk memacu pembentukan flok. Tahap
kedua mengaduk dengan 60 rpm selama 10 menit untuk meningkatkan
kesempatan dan jumlah tumbukan antar partikel. Kemudian, setelah melalui
proses pencampuran dan pengadukan, diamkan selama 15-20 menit untuk
mengetahui apakah flok pada masing-masing sampel bisa terbentuk dan
mengendap atau tidak. Langkah terakhir, lakukan pengamatan pada 5 gelas
beker tersebut untuk menentukan tingkat kekeruhan.
4. Pembahasan hasil pengukuran
Hasil pengukuran dari koagulasi diperoleh bahwa terdapat perbedaan
flok yang terbentuk dan perubahan tingkat kekeruhan air sampel. Hal ini
dipengaruhi oleh jumlah dan berat tawas yang dimasukkan ke dalam 5 gelas
beker yang masing-masing memiliki volume 400 ml. Berat masing-masing
tawas yang digunakan adalah sebesar 0,5 gram, 1 gram, 1,5 gram, 2 gram,
dan 2,5 gram. Tawas adalah kristal putih yang memiliki sifat dapat menarik
partikel-partikel lain. Sifat ini menyebabkan terjadinya perubahan berat,
ukuran, dan bentuk dari tawas seperti menjadi semakin besar dan mudah
mengendap. Tawas ini biasanya digunakan sebagai bahan penjernih air yang
dapat menggumpalkan padatan-padatan terlarut di dalam air (Ananda dan
Akhmad, 2016). Berdasarkan sifat dan kegunaannya maka besaran berat
tawas yang dimasukkan dalam air akan mempengaruhi terjadinya perubahan
pada kualitas air yang dihasilkan.
5. Ulasan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran sehingga
diperoleh akurasi pengukuran yang baik.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi akurasi pengukuran adalah
a. Proses pengadukan tahap pertama yang dilakukan secara cepat yaitu
dengan 100 rpm selama 1 menit dengan tujuan untuk mendispersikan
koagulan secara merata ke dalam air baku dan memacu pembentukan
flok.
b. Proses pengadukan tahap kedua yang dilakukan secara lambat yaitu
dengan 60 rpm selama 10 menit dengan tujuan untuk meningkatkan
kesempatan dan jumlah tumbukan antar partikel.
c. Sampel harus diaduk secara bersamaan mulai dari dilakukan
pengadukan hingga setelah pengadukan selesai dilakukan.
Apabila ketiga tahap atau proses pengadukan ini tidak dilakukan secara
tepat, seperti tidak memperhatikan frekuensi, kecepatan, dan waktu
pengadukan dari masing-masing tahapan maka akan mempengaruhi akurasi
pengukuran yang dihasilkan.
6. Dibahas pula kesalahan-kesalahan pengukuran yang terjadi selama
praktikum.
Kesalahan pengukuran yang terjadi selama praktikum adalah kurangnya
sampel air setelah dikumpulkan ke dalam baskom hal ini menyebabkan
dilakukannya pengukuran kembali untuk memastikan total akhir air yang
terkumpul sebesar 2500 ml atau 2,5 liter. Tujuan total air yang dikumpulkan
sejumlah 2,5 liter adalah untuk dapat dimasukkan ke dalam 5 gelas beker
dengan volume yang ditetapkan masing-masing 400 ml untuk dilakukan
proses koagulasi.
7. Hal-hal lain yang anda rasa perlu
- Pada saat dilakukan praktikum terdapat perbedaan metode yang
digunakan, hal ini oleh karena adanya keterbatasan pada alat yang tersedia
sehingga pengamatan hanya dilakukan dengan memanfaatkan indra
penglihatan secara langsung.
- Tidak adanya pedoman khusus atau paten terkait penetapan tingkat
kejernihan air yang dihasilkan pada saat proses koagulasi sehingga
penetapan warna air hanya didasarkan dengan pedoman yang ditetapkan
secara mandiri.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Percobaan Koagulasi dengan metode Jar Test merupakan suatu proses


pencampuran bahan kimia yang disebut koagulan atau bahan pengendap ke
dalam air baku dengan kecepatan perputaran yang tinggi dalam waktu singkat
yang pada praktikum ini, tawas sebagai koagulan. Koagulan berfungsi untuk
membantu proses pengendapan partikel-partikel kecil dalam air yang tidak
dapat mengendap dan membentuk flok-flok yang dapat disaring. Percobaan
koagulasi ini dilakukan dengan 5 ukuran tawas yang berbeda yaitu 0,5 gr, 1
gr, 1,5 gr, 2 gr, dan 2,5 gr dan didapatkan hasil Gelas dengan 0,5 gr tawas
memiliki hasil pengamatan air paling keruh. Gelas dengan 1 gr tawas
membentuk flok yang lebih banyak daripada gelas dengan 0, 5 tawas dengan
kondisi air masih keruh. Gelas dengan 1, 5 gr tawas membentuk flok yang
dapat terlihat mengendap pada dasar gelas dan masih ada partikel terlarut
dalam air. Gelas dengan 2 gr tawas menunjukkan hampir seluruh partikel
terlarut membentuk flok dan mengendap pada dasar gelas. Gelas dengan 2, 5
gr tawas memiliki hasil pengamatan air paling jernih. Partikel terlarut
seluruhnya membentuk flok dan mengendap pada dasar gelas beker.

B. Saran
Praktikum merupakan proses pengujian di laboratorium yang akan
mendapati hasil dari percobaan tersebut. sebelum melakukan praktikum
sebaiknya bacalah prosedur yang sudah dibuat dengan tujuan untuk
menghindari kesalahan dalam praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Ana Merliana, E. F. 2014. Analisis TSS (Total Suspended Solid) Dan TDS (Total
Disolved Solid). Semarang: Universitas Diponegoro.
Ananda, P. R. dan Akhmad, I. 2016. ‘Pengaruh Pemberian Tawas Dengan Dosis
Bertingkat Dalam Pakan Selama 30 Hari Terhadap Gambaran Histopatologi
Hepar Tikus Wistar’, Jurnal Kedokteran Diponegoro, 5(3), pp. 210–221.
Anggorowati, A.A. 2021. Serbuk Biji Buah Semangka dan Pepaya sebagai
Koagulan Alami dalam Penjernihan Air.
Fadilah, H., Helma. (2020). Penaksiran Suhu Ruangan Pada Termometer dengan
Menggunakan Inverse Regression. UNPjoMath. 3(1): pp. 29-32.
Husaini, Stefanus S. Cahyono, Suganal dan Kukuh N. Hidayat. 2018.
Perbandingan Koagulan Hasil Percobaan Dengan Koagulan Komersial
Menggunakan Metode Jar Test. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara.
Vol. 14(1), pp. 31-45.
Ira. 2014. Kajian Kualitas Perairan Berdasarkan Parameter Fisika dan Kimia di
Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari Sulawesi Tenggara. Aqua Sains:
Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan. pp. 119-124.
Kemdikbud RI. 2013. Buku Teks Bahan Ajar Siswa: Pengelolaan Kualitas Air.
Laili, C. A. 2013. Penggunaan Metode Potensiometri dan Spektrometri untuk
Pengukuran Kadar Logam Natrium dan Kalium dalam Tanah Pertanian
dengan Menggunakan Tiga Ekstraktan. Skripsi. Universitas Jember: Jurusan
Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Mooduto, M. S. 2016. Perkuatan Tower Pln Akibat Gerusan Air (Doctoral
dissertation, Politeknik Negeri Manado).
Mukarromah, R., Yulianti, I., Sunarno. (2016). Analisis Sifat Fisis Kualitas Air di
Mata Air Sumber Asem Dusun Kalijeruk, Desa Siwuran, Kecamatan
Garung, Kabupaten Wonosobo. Unnes Physics Journal. 5(1): pp. 40-45.
Rinawati, Hidayat, D., Suprianto, R., Dewi, P. S. (2016). Penentuan Kandungan
Zat Padat (Total Dissolve Solid dan Total Suspended Solid) di Perairan
Teluk Lampung. Analit: Analytical and Environmental Chemistry. 1(1): pp.
36-45.
Suryani. 2019. Kualitas Parameter Fisik dan Kimia Perairan Sungai Sago Kota
Pekanbaru Tahun 2016. Jurnal Katalisator. 4(1): pp. 32-41.
doi:10.22216/jk.v411.2834.
Susanto, Ricky. 2008. Optimasi Koagulasi-Flokulasi dan Analisis Kualitas Air
pada Industri Semen. Jakarta: Program Studi Kimia Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Xian, S., Chai, J., Yin, Y. (2019). A Visual Comparisan Method and Similarity
Measure for Probabilistic Linguistic Term Sets and Their Applications in
Multi-criteria Descision Making. International Journal of Fuzzy Systems.
Doi: 10.1007/s40815-019-00632-y.
Yuniarti, Bernadeta. 2007. Pengukuran Kekeruhan Air Menggunakan
Turbidimeter Berdasarkan Prinsip Hamburan Cahaya. Skripsi. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma. Program Studi Fisika Jurusan Fisika Fakultas
Matermatika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Anda mungkin juga menyukai