Apa yang disebut dengan genre mengacu kepada jenis, tipe, atau kelompok dalam sastra
berdasarkan pada bentuk atau ragam sastra. Genre dapat juga dipahami sebagai suatu macam
atau tipe kesastraan yang memiliki seperangkat karakteristik umum (Lukens, 2003: 13). Mitchel
(2003: 5-6), mendefinisikan genre menunjuk pada pengertian tipe atau kategori pengelompokan
karya sastra yang biasanya berdasarkan pada gaya, bentuk, atau isi.
Lukens (2003: 14-17) secara garis besar mengelompokkan genre sastra anak menjadi
enam kelompok. Mulai dari realisme, fiksi formula, fantasi, sastra tradisional, dan puisi. Secara
garis besar Lukens mengelompokkan genre sastra anak ke dalam enam macam yang masing-
masing memunyai beberapa jenis lagi. Genre drama sengaja tidak dimasukkan dengan alasan
drama baru lengkap setelah dipertunjukkan dan ditonton, drama bukan semata-mata urusan
bahasa-sastra. Komik juga belum dianggap sebagai bagian dari genre sastra anak. Padahal
faktanya komik merupakan salah satu genre sastra anak yang banyak diminati anak. Lukens
tidak memasukkan drama dan komik sebagai bagian sastra anak. Padahal, Grenby (2008: 2)
mengatakan bahwa komik merupakan karya yang paling banyak dibaca oleh anak.
Lukens lebih menekankan pentingnya bacaan buku informasi (biografi dan bacaan
informasi) sebagai bacaan sastra walau isinya sesuatu yang nyata, faktual, nonfiksi. Karya ini
berisi fakta faktual, tetapi ditulis dengan stile sastra dan memang dimaksudkan sebagai bacaan
sastra. Pembagian genre sastra anak yang dikemukakan oleh Lukens memang sangat terperinci,
namun terjadi tumpang tindih. Pembagian genre menurut Lukens juga belum memasukkan
empat. Keempat kelompok tersebut dimulai dari fiksi, nonfiksi, puisi, sastra tradisional, dan
komik. Genre sastra anak yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro memasukkan drama dan komik.
Pembagian ini mencoba memasukkan fakta yang berkembang di sekolah dasar dan masyarakat
bahwa terdapat sekian macam genre yang kemudian diakui sebagai genre sastra anak.
Pengkategorian genre ada prinsipnya tidak bersifat baku dan kaku, sehingga memungkinkan
karakteristik suatu jenis terdapat pula pada jenis lain, bahkan bisa tumpang tindih. Pembagian ini
pula yang kemudian ditawarkan kepada guru untuk memilih genre sastra anak mana saja yang
sebaiknya dipilih sebagai bahan bacaan Gerakan Literasi Sastra Anak di SD.
Genre sastra anak yang digunakan dalam konteks penelitian implementasi GLSA di SD
menggabungkan dua pendapat dari Lukens dan Nurgiyantoro. Genre sastra anak tersebut
meliputi cerita pendek, novel, puisi, biografi, komik, dongeng, fabel, legenda, mitos, epos, dan
drama. Penggabungan dua genre sastra anak memberi keleluasaan bagi siswa dan guru untuk
memilih sumber bacaan sastra anak yang tersedia disekolah. Penggunaan genre sastra anak juga
lebih ditekankan pada bacaan buku-buku fiksi. Buku-buku fiksi yang didalamnya terdapat cerita
biasa digunakan oleh orang tua dan guru sebagai sarana mendidik dan membentuk kepribadian
anak. Dalam cerita, nilai-nilai luhur ditanamkan pada diri anak melalui penghayatan terhadap
cerita fiksi anak memperoleh kenikmatan kebutuhan batiniah. Katarsis dalam konteks cerita pada
hakikatnya juga mengandung ajaran moral. Dalam cerita anak hal tersebut bersifat krusial karena
anak sedang dalam taraf mencari jati diri. Contoh-contoh model kehidupan yang dialami tokoh
1995: 68). Bercerita merupakan suatu sarana yang efektif dalam rangka menanamkan nilai-nilai
disekolah. Cerita bukan saja sesuatu yang menyenangkan, tetapi juga mengadung suatu nilai. Di
samping enak dan menyenangkan untuk dibaca dan didengarkan, di dalam cerita sudah lazim
dipahami orang mengandung pesan atau ajaran (nilai) yang bermanfaat bagi pembaca/pendengar.
Lukens (2003: 9) mengartikan sastra sebagai sebuah kebenaran yang signifikan yang
diekspresikan ke dalam unsur-unsur yang layak dan dengan bahasa yang mengesankan. Sebagai
karya sastra cerita memang bukan suatu yang bebas nilai. Cerita banyak digunakan bagi sekolah