Makalah Shi Kelompok 8
Makalah Shi Kelompok 8
Disusun Oleh:
Kelompok 8 (F)
FAKULTAS SYARIAH
Pertama tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Swt
yang telah melimpahkan rahmat sertahidayah Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Munculnya Taklid dan
bermazhab“.Makalah ini disusun bertujuan untuk membahas salah satu materi
pelajaran “Sejarah dan Pengantar Hukum Islam“.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Periode taqlid adalah periode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama
sudah pudar dan berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok
tasyri’, dalam rangka menggali hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan
semangat mengistimbatkan hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum
ada ketetapan hukumnya dari nash dengan menggunakan dalil-dalil syara’, sudah
pudar dan berhenti. Mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan
oleh imam-imam mujtahid terdahulu.
Periode taqlid mulai sekitar pertengahan abad IV H/X M. Pada masa ini
pula terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kebangkitan umat Islam dan
menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-
undangan hingga terjadinya kemandekan. Semangat kebebasan dan kemerdekaan
berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan al-Quran dan
Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas
dengan berpegang kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni Abu
Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan rekan-rekannya. Mereka
mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk memahami kata-kata dan
ungkapan-unkapan para imam mujtahid mereka. Dan mereka tidak berusaha
mencurahkan segenap kemampuannya untuk memahami nash-nash syariat dan
prinsip-prinsipnya yang umum.
1
1.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, kami memiliki beberapa tujuan yang kami muat yaitu:
2
BAB II
PEMBAHASAN
Perdebatan seputar taqlid tidak hanya ada pada diskursus ilmu fiqih,
namun juga terdapat dalam ilmu ushuluddin. Bahkan, mengenai boleh tidaknya
taqlid sejatinya sudah dibahas oleh ulama’ mulai abad kedua Hijrah. Perdebatan
tersebut semakin santer terdengar ketika Baghdad jatuh.
1
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, hlm 162
3
Tetapi pada akhir pemerintahan Khilafah Abbasiyyah ijtihad mulai
memudar, kemudian muncul taqlid yang secara berangsur-angsur menyerap atau
diterima umat islam.2 Maksudnya bahwa memudarnya ijtihad ini menjadi awal
mula munculnya taqlid, adanya kemunduran ini dilatar belakangi oleh lemahnya
ulama dalam berijtihad. Terdapat 4 faktor penting yang menyebabkan terhentinya
kegiatan ijtihad, dan menetapi bertaqlid kepada para ulama terdahulu3,
diantaranya yaitu :
2
Abdul Majid Khon, ikhtisar tarikh tasyri’, hlm 143
3
Abdul Wahhab Khallaf, Khulashah Tarikh Tasyri Al-Islami, (Solo:Ramadhani, 1974), hlm 96-99
4
dengan adanya sifat ini mereka beranggapan bahwa potensi atau
kemampuan kawan-kawannya direndahkan. Sifat seperti ini yang
ada dikalangan ulama menyebabkan kemampuan dan kecerdasan
ulama menurun. Sehingga, mereka hanya bertaqlid pendpat dari
ulama terdahulu.
4
Abdul Majid Khon, ikhtisar tarikh tasyri’, hlm 144
5
http://www.mail-archive.com/media-dakwah@yahoogroups.com/msg06148.html
6
Ibid, hlm 145
5
Masyarakat mulanya memberikan kepercayaan kepada hakim. Akan
tetapi, setelah ada sebagian hakim tidak mengemban kepercayaan,
orang-orang ingin para hakim terikat dengan hukum tertentu.
Taqlid artinya mengikut tanpa alasan atau meniru dan menurut tanpa dalil.
Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memegang
suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-
alasannya.
7
Muhammad Al-Khudari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, (Semarang: Darul Ihya Indonesia,1980),
hlm 365-366
6
Taqlid ialah suatu ungkapan yang mencerminkan sikap seseorang yang
mengikuti orang lain baik itu pendapat dan perbuatannya. Atau sikap seseorang yg
mengikuti pendapat orang lain belum tentu tahu dalil-dalilnya. Misalnya seperti
kita mengikuti madzhab imam Safi'i.
7
ditemukan bahwa Nabi sendiri dalam menghadapi suatu masalah
seringmenggunakan daya nalarnya sebagainaman yang lazim dilakukan seorang
mujtahid dalam menghadapi masalah hukum. Oleh karena itu keberadaan ijtihad
pada masa Nabi masih menjadi perbincangan di kalangan ulama. Ada 4 faktor
penting yang menyebabkan terhentinya gerakan ijtihad dan suburnya kebiasaan
bertaqlid kepada para imam terdahulu, yaitu:
8
2.5 Tingkatan Fuqoha periode taqlid dan aktivitas ulama pada saat masa
Taqlid
وإن العلماء ورثة األنبياء وإن األنبياء لم يورثوا دينارا وال درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذه
أخذ بحظ وافر
“Dan sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para
nabi tidak mewarisi dinar atau pun dirham namun mereka mewarisi ilmu, maka
barangsiapa yang mengambilnya, ia telah mengambil dengan kadar yang banyak.”
(HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hiban dan Al Baihaqi dari
Abu Ad Darda’).
9
Shalah dalam kitabnya Adab Al Mufti wa Al Mustafti banyak diikuti oleh ulama
lainnya.
Berikut 5 tingkatan fuqaha menurut imam Ibnu Ash Shalah (Adab Al Mufti wa Al
Mustafti 87):
1) Tingkatan Pertama:
Tingkatan fuqaha yang mustaqil (tidak terikat) dalam menyimpulkan
hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci tanpa bersandar
atau taqlid kepada siapapun dalam masalah-masalah ushul ataupun furu’.
Fuqaha dalam tingkatan inilah yang menetapkan dasar-dasar dan kaedah-
kaedah mazhab, apakah dengan cara langsung (nash) atau disimpulkan
oleh pengikut-pengikutnya dari masalah-masalah furu’ yang mereka
sampaikan.
Untuk tingkatan ini, ulama menisbatkan beberapa nama bagi mereka
seperti; ‘Al Mujtahid AlMuthlaq’, ‘Al Mujtahid fi Asy Syar’i’, ‘Al
Mujtahid Al Mustaqil’,‘ Al Mufti Al Muthlaq’, dan ‘Al Mufti Al
Mustaqil’.
Sedangkan ulama-ulama yang menempati tingkatan ini di antaranya;
Fuqaha dari kalangan Shahabat (exp: Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu
Mas’ud dll ridhwanullahu’alaihim) dan Tabi’in (exp: ‘Atha’ bin Abi
Rabbah, Ibrahim An Nakha’i, Said bin Musayyib dll), 4 imam mazhab
(Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris
Asy Syafi’i, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal), dan imam-imam
lainnya yang semasa dengan mereka atau yang datang setelah mereka
(exp: Al Awza’i, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu Jarir Ath
Thabari, dll). Rahimahumullah lil jami’.
2) Tingkatan Kedua
Para fuqaha yang menyimpulkan hukum-hukum syariat dari dalil-
dalilnya yang terperinci. Namun secara umum mereka secara konsisten
masih berpegang pada dasar-dasar mazhab salah satu imam dari imam-
10
imam mujtahid (mutlaq). Meskipun dalam beberapa masalah furu’ atau
rincian dalil kadangkala mereka berbeda dengan imam mujtahidnya.
Para ulama menyebut para fuqaha pada tingkatan ini dengan sebutan ‘Al
Mujtahid Al Muntasib’, ‘Al Mufti Al Muntasib’, ‘Al Mujtahid fi Al
Mazhab’, 'Mujtahid Al Mazhab’, dan ‘Al Mujtahid Al Muqayyad’
Para ulama yang berada pada tingkatan ini seperti; Abu Yusuf,
Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, dan Zufar bin Al Huzail dari
kalangan Al Hanafiyyah. Ibnu Al Qasim, Ibnu Abd Al Hakam, Ibnu
Wahb dan Asyhab dari kalangan Al Malikiyyah. Az Za’farani, Al
Muzani, Ibnu Al Mundzir, Ibnu Juraiz, Muhammad bin Nashr Al
Marwazi dan Ibnu Khuzaimah dari kalangan Asy Syafi’iyyah. Shalih bin
Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar Al Khallal, Ibnu Taimiyyah, Ibnu
Qayyim, Al Qadhi Abu Ya’la, Ibnu Hamid, dan Al Qadhi Abu Ali bin
Abi Musa dari kalangan Al Hanabilah. Rahimahumullah lil jami’.
3) Tingkatan Ketiga
Para fuqaha yang menyimpulkan hukum-hukum syariat yang bersifat
amali dari dalil-dalilnya yang terperinci namun tidak ditemukan secara
nash dari imam-imam mujtahid sembari secara konsisten tetap
mendasarkan kesimpulan hukumnya kepada dasar-dasar yang telah
ditetapkan imam-imam mazhab.
Selain itu merekapun melakukan ilhaq (menetapkan hukum sesuai
dengan hukum yang telah ada nashnya) atas sebuah masalah yang belum
ada nashnya kepada masalah yang telah ada nashnya dari imam-imam
mujtahid. Para ulama menyebut aktifitas ini dengan sebutan ‘At Takhrij
‘Ala Nash Al Imam’, atau ‘Takhrij Al Furu’ ‘Ala Al Furu’’.
Para ulama menyebut para fuqaha pada tingkatan ini dengan sebutan ‘Al
Mukharrijun’ atau ‘Mukharrij Al Mazhab’.
Sedangkan kesamaan antara fuqaha tingkatan ini dengan fuqaha
tingkatan sebelumnya hanya dari sisi pengambilan dasar-dasar (ushul)
mazhab imam mujtahid.
11
Dan keduanya berbeda dari sisi hasil ijtihad imam sebelumnya. Di mana
ulama dari kalangan mujtahid muntasib berijtihad dalam masalah-
masalah yang diperbincangkan imam mujtahid mutlaq bahkan dalam
beberapa masalah, kesimpulan hukum yang mereka ambil dapat berbeda
dengan imam mujtahid mutlak demikian pula dari sisi pengambilan dalil.
Sedangkan fuqaha tingkatan ketiga berijtihad atas permasalahan yang
belum terdapat pendapat imam mujtahid di dalamnya. Sedangkan dalam
permasalahan yang telah ada pendapatnya dari imam mujtahid maka
mereka mencukupkan diri atas pendapat imam.
Para ulama yang berada pada tingkatan ini seperti; Ahmad bin ‘Amr Al
Khassaf, Abu Ja’far At Thahawy, Abu Al Hasan Al Karkhy, Syams Al
A’immah Al Hulwani, As Sarkhasi, Fakhr Al Islam Al Bazdawi,
Fakruddin Qadhi Khan, dan Al Hasan bin Ziyad dari kalangan Al
Hanafiyyah. Muhammad bin Abdillah Al Abhari, Ibnu Abi Zaid, dan
Ibnu Abi Zamanain Muhammad bin Abdullah, dari kalangan Al
Malikiyyah. Al Marwazi, Abu Hamid Al Isfirayaini, dan Abu Ishak Asy
Syairazi dari kalangan Asy Syafi’iyyah, Ibnu Al Qadhi Abu Ya’la Asy
Syahid Abu Al Hasan, dan Abu Ya’la Ash Shaghir dari kalangan Al
Hanabilah. Rahimahumullah lil jami’.
4) Tingkatan Keempat
Para fuqaha yang melakukan usaha tarjih (menguatkan pendapat)
imammazhab atas pendapat lain. Atau mentarjih salah satu pendapat dari
beragampendapat, riwayat, dan takhrij dalam satu mazhab. Berdasarkan
dasar-dasar yangtelah ditentukan oleh imam mujtahid. Namun mereka
tidak melakukan usahaistinbat hukum (furu’) yang tidak terdapat nashnya
secara langsung dari imammujtahid.
Para ulama menyebut para fuqaha pada tingkatan ini dengan sebutan
‘MujtahidAt Tarjih’, ‘Mujtahid Al Futya’ atau ‘Mujtahid At Tanqih’.
Adapun para ulama yang berada pada tingkatan ini antara lain; Ahmad
binMuhammad Abu Al Husain Al Qaduri, Al Kasani, dan Al Marghinani
dari kalangan AlHanafiyyah. Muhammad bin Ali Al Marizi, Ibnu Rusyd,
12
Al Lakhmi, Ibnu Al ‘Araby,Al Qarafi, dan Asy Syatibi dari kalangan Al
Malikiyyah. Abu Hamid Al Ghazali,dan An Nawawy dari kalangan Asy
Syafi’iyyah. Ibnu Qudamah dari kalangan AlHanabilah.
Rahimahumullah lil jami’.
5) Tingkatan kelima
Para fuqaha yang hanya melakukan usaha hifz al mazhab/menghafal
pendapat mazhab, menyampaikan, dan memberikan penjelasan pendapat
mazhab tersebut dalam kitab-kitab ‘al wadhihat’ dan ‘al musykilat’.
Sedangkan pada diri mereka terdapat ketidak mampuan dalam
menetapkan dalil atau melakukan qiyas (analogi) atas dalil tersebut.
Sebagaimana mereka tidak mampu melakukan tarjih di antara beragam
pendapat dan riwayat dalam sebuah mazhab atau antar mazhab.
Para ulama menyebut para fuqaha pada tingkatan ini dengan sebutan ‘Al
Muqallidun’.
Mereka ini tidak berijtihad dalam hukum syari’at secara ijtihad mutlak,
mereka hanya berijtihad mengenai berbagai kasus yang terjadi dengan dasar-dasar
ijtihad yang telah dirumuskan oleh para imam mazhab mereka. Diantara mereka
ialah: al-Hasan bin Ziyad(204 H/820 M) dari mazhab Hanafi, Ibnu al-Qasim (191
H/) dan Asyhab (204 H/820 M) dari mazhab Maliki, dan al-Buwaithiy (231 H)
13
dan al-Muzanny(264 H) dari mazhab Syafi’i. Dasar-dasar para imam merekalah
yang digunakan sebagai dasar-dasar dalam pengembangan hukum-hukum.
B. Level kedua: Ahli ijtihad mengenai beberapa masalah yang tidak ada
riwayat dari imam mazhabnya.
Mereka ini tidak menyalahi para imam mereka dalam berbagai hukum
cabang dan juga tidak menyalahi dasar-dasar ijtihad yang mereka gunakan.
Mereka hanya mengistinbatkan hukum-hukum mengenai berbagai masalah yang
tidak ada riwayatnya sesuai dasar-dasar yang digunakan para imam mereka dan
dengan meng-qiyaskan kepada cabang-cabang hukum mereka. Mereka yang
termasuk dalam level kedua ini adalah al-Khashshaf (261 H), al-Thahawiy(lahir
230 H), dan al-Karkhiy(340 H) dari penganut mazhab Hanafi. Al-Lakhamiy(498
H), Ibnu al-Arabiy(542 H) dan Ibnu Rusyd (1198 M) dari penganut mazhab
Maliki. Abu Hamid al-Ghazaliy(505 H/1111 M) dan Abu Ishaq al-Isfirayiniy (418
H) dari penganut mazhab Syafi’i.
14
dan pengarang kitab al Hidayah, serta rekan-rekannya sesama penganut mazhab
Hanafi.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Taqlid merupakan pendapat yang berdasar dari pendapat orang lain yang
mana pendapat tersebut dilakukan tanpa berdasarkan dalil. Orang yang taklid
kepada pendapat seseorang disebut muqallid. Taqlid muncul ketika kekuasaan
Islam sudah pudar, yaitu pada masa kemunduran. Kemunduran ini dipengaruhi
oleh beberapa hal salah satunya tertutupnya ijtihad.
3.2 Saran
Demikian yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi
bahasan dalam makalahini,tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan
karena terbatas nya pengetahuan dan juga referensi yang kami peroleh
hubungannya dengan makalah ini. Kami berharap kepada para pembaca
memberikan kritikdan saran yang membangun kepada kami demi
sempurnanyamakalah ini.Semoga makalahi ni dapat bermanfaat bagi kami pada
khususnya dan pembaca pada umumnya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Yandi, Debu. 2012. “Tumbuhnya jiwa tadlid, timbulnya mazhab dan kegiatan
fuqaha dalam periode taqlid”,
https://www.bloggerkalteng.id/2012/05/tumbuhnya-jiwa-taqlid-timbulnya-
mazhab.html?m=1, diakses pada 5 Desember 2021 pukul 21.29.
17