Anda di halaman 1dari 20

MUNCULNYA TAKLID DAN BERMAZHAB

SEJARAH DAN PENGANTAR HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu : Heri Irawan,S.H.,M.H

Disusun Oleh:

Kelompok 8 (F)

1. Diva Octania Surya Pratiwi (2121030183)


2. Annisa Febiyona (2121030178)
3. Muhammad Aldi (2121030222)

FAKULTAS SYARIAH

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN PELAJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Pertama tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Swt
yang telah melimpahkan rahmat sertahidayah Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Munculnya Taklid dan
bermazhab“.Makalah ini disusun bertujuan untuk membahas salah satu materi
pelajaran “Sejarah dan Pengantar Hukum Islam“.

Kami mengucapkan terimakasih banyak kepada Bapak


HeriIrawanS.H.,M.H. selaku dosen pengampu matakuliah Sejarah dan Pengantar
Hukum Islam. Makalah ini dapat diselesaikan atas izin Allah serta bantuan dan
dukungan dosen serta teman-teman yang memberikan semangat dan motivasi
kepada kelompok kami.

Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari sempurna


kerena keterbatasan kemampuan dan pemahaman yang kami miliki, maka dari itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi kami pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Bandar Lampung, 7 Desember 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii


DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................... 2
BAB II................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3
2.1 Munculnya taqlid menjelang runtuhnya Baghdad ................................................ 3
2.2 Kondisi taqlid sesudah runtuhnya Abbasiyah ....................................................... 5
2.3 Pengertian taqlid dan ittiba’ .................................................................................. 6
2.4 Sebab-sebab berhentinya ijtihad ........................................................................... 7
2.5 Tingkatan Fuqoha periode taqlid dan aktivitas ulama pada saat masa Taqlid ...... 9
BAB III ............................................................................................................................. 16
PENUTUP ........................................................................................................................ 16
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 16
3.2 Saran ................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Periode taqlid adalah periode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama
sudah pudar dan berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok
tasyri’, dalam rangka menggali hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan
semangat mengistimbatkan hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum
ada ketetapan hukumnya dari nash dengan menggunakan dalil-dalil syara’, sudah
pudar dan berhenti. Mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan
oleh imam-imam mujtahid terdahulu.

Periode taqlid mulai sekitar pertengahan abad IV H/X M. Pada masa ini
pula terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kebangkitan umat Islam dan
menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-
undangan hingga terjadinya kemandekan. Semangat kebebasan dan kemerdekaan
berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan al-Quran dan
Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas
dengan berpegang kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni Abu
Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan rekan-rekannya. Mereka
mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk memahami kata-kata dan
ungkapan-unkapan para imam mujtahid mereka. Dan mereka tidak berusaha
mencurahkan segenap kemampuannya untuk memahami nash-nash syariat dan
prinsip-prinsipnya yang umum.

1.2 Rumusan Masalah


Setelah menyusun latar belakang makalah, kami memiliki beberapa rumusan
masalah yang relevan untuk dibahas dalam makalah ini, yaitu

1. Bagaimana munculnya taklid menjelang runtuhnya Baghdad?


2. Bagaimana kondisi taklid sesudah runtuhnya Abbasiyyah?
3. Apa pengertian taklid dan ittiba?
4. Apa sebab-sebab terhentinya ijtihad?
5. Apa saja tingkatan fuqaha periode taklid, dan aktivitas ulama pada masa
taklid?

1
1.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, kami memiliki beberapa tujuan yang kami muat yaitu:

1. Mengetahui munculnya taklid menjelang runtuhnya Baghdad


2. Mengetahui kondisi taklid sesudah runtuhnya Abbasiyyah
3. Mengetahui pengertian taklid dan ittiba
4. Mengetahui sebab-sebab terhentinya ijtihad
5. Mengetahui tingkatan fuqaha periode taklid, dan aktivitas ulama pada
masa taklid

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Munculnya taqlid menjelang runtuhnya Baghdad

Perdebatan seputar taqlid tidak hanya ada pada diskursus ilmu fiqih,
namun juga terdapat dalam ilmu ushuluddin. Bahkan, mengenai boleh tidaknya
taqlid sejatinya sudah dibahas oleh ulama’ mulai abad kedua Hijrah. Perdebatan
tersebut semakin santer terdengar ketika Baghdad jatuh.

Sebagian beranggapan bahwa runtuhnya Baghdad disebabkan maraknya


taqlid di kalangan umat Islam. Dari situlah, beberapa buku ditulis oleh ulama’
untuk mendorong umat Islam berijtihad agar semangat menuntut ilmu kembali
tumbuh. Sebagiannya lagi menulis tentang alasan-alasan ditolaknya taqlid baik
berdasar al-Qur’an, hadist maupun logika. Artikel ini mencoba memaparkan
pandangan beberapa ulama’ dan fuqahā’ mengenai taqlīd baik taqlīd dalam
‘aqīdah maupun syarī‘ah.

Sebelum membahas mengenai taqlid maka perlu mengetahui terlebih


dahulu tentang ijtihad karena taqlid tidak akan ada jika tidak ada ijtihad dan
segala persoalan mengenai taqlid akan lebih mudah dipahami apabila telah
memahami persoalan ijtihad.

Ijtihad adalah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menentukan


hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil Syara’.1 Ini menjelaskan bahwa
ijtihad merupakan pemikiran untuk melakukan sesuatu sesuai dengan Alquran dan
sunah Rasulullah.

1
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, hlm 162

3
Tetapi pada akhir pemerintahan Khilafah Abbasiyyah ijtihad mulai
memudar, kemudian muncul taqlid yang secara berangsur-angsur menyerap atau
diterima umat islam.2 Maksudnya bahwa memudarnya ijtihad ini menjadi awal
mula munculnya taqlid, adanya kemunduran ini dilatar belakangi oleh lemahnya
ulama dalam berijtihad. Terdapat 4 faktor penting yang menyebabkan terhentinya
kegiatan ijtihad, dan menetapi bertaqlid kepada para ulama terdahulu3,
diantaranya yaitu :

1) Terbaginya daulah Islamiah ke dalam kerajaan-kerajaan yang


saling bermusuhan.
Adanya permusuhan ini menimbulkan adanya peperangan dan
perebutan kekuasaan dan kemenangan sehingga perpecahan atau
permusuhan ini dapat menjadikan pudarnya kegiatan ijtihad saat
itu.
2) Terpecahnya para imam mujtahid menjadi beberapa golongan.
Disini maksudnya bahwa setiap golongan memiliki atau
membentuk aliran hukum lalu setiap aliran hukum ini terdapat
kader atau pemimpin yang mana kader tersebut membela mazhab
nya masing-masing. Dengan adanya perbedaan argumen inilah
yang dapat membuat para ulama menimbulkan pemikiran yang
menyimpang dari acuan Al-Qur’an dan Sunnah.
3) Umat islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan.
Dalam perumusan perundang-undangn perlunya seseorang yang
ahli di bidangnya tetapi disini terjadi krisis yang mana hukum
dibuat oleh seseorang yang bukan ahlinya.
4) Ulama dilanda penyakit iri, egois dan sombong sehingga mereka
tidak dapat sampai pada tingkat mujtahid.
Para ulama terjadi saling menghasut satu sama lain dan
mementingkan diri sendiri yang mana dari mereka selalu
menganggap bahwa mereka benar dan membanggakan ijtihadnya

2
Abdul Majid Khon, ikhtisar tarikh tasyri’, hlm 143
3
Abdul Wahhab Khallaf, Khulashah Tarikh Tasyri Al-Islami, (Solo:Ramadhani, 1974), hlm 96-99

4
dengan adanya sifat ini mereka beranggapan bahwa potensi atau
kemampuan kawan-kawannya direndahkan. Sifat seperti ini yang
ada dikalangan ulama menyebabkan kemampuan dan kecerdasan
ulama menurun. Sehingga, mereka hanya bertaqlid pendpat dari
ulama terdahulu.

2.2 Kondisi taqlid sesudah runtuhnya Abbasiyah

Tidak semua para ulama meninggalkan ijtihad tetapi memudarnya ijtihad


dengan cara berangsur-angsur dan pada abad 7 Hijriah ketika runtuhnya
Abbasiyyah di Baghdad. Lemahnya Abbasiyyah diawali putusnya ikatan politik,
masing-masing kelompok penguasa memusuhi kelompok lain4. Di masa itulah
para ulama menumbuhkan jiwa taqlid. Sudah dijelaskan bahawa taqlid merupakan
pendapat yang berdasar dari pendapat orang lain yang mana pendapat tersebut
dilakukan tanpa berdasarkan dalil. Orang yang taklid kepada pendapat seseorang
disebut muqallid. Dengan demikian jika kita mengikuti pendapat seseorang,
padahal pendapatnya itu tidak berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah sesuai
pemahaman generasi sahabat, maka kita adalah muqallidnya.5

Sebab tumbuhnya taqlid6, yaitu :


1.Murid-murid yang berkedudukan
Masing-masing murid itu harus mengedepankan paham yang
dikeluarkan para guru. Kemudian sesudah paham-paham itu
mendapat kedudukan istimewa dalam jiwa rakyet, maka akan sulit
bagi seorang mudjaddid mendirikan mazhab di tengah-tengah
masyarakat umum sehingga berkurangnya ijtihad pada masa itu

2. Pengadilan yang berpedoman pada buku mazhab

4
Abdul Majid Khon, ikhtisar tarikh tasyri’, hlm 144
5
http://www.mail-archive.com/media-dakwah@yahoogroups.com/msg06148.html
6
Ibid, hlm 145

5
Masyarakat mulanya memberikan kepercayaan kepada hakim. Akan
tetapi, setelah ada sebagian hakim tidak mengemban kepercayaan,
orang-orang ingin para hakim terikat dengan hukum tertentu.

3. Pembukuan kitab-kitab mazhab


Ditulisnya fiqh islam serta dijadikan rujukan dalam menjawab semua
persoalan yang dihadapi masyarakat sehingga sangat mudah
diketahui dengan cepat. Kemudian hal tersebut membuat para ulama
pada periode ini tidak mempunyai keinginan untuk berijtihad lagi.

4. Pembelaan pengikut mazhab


Para ulama pada masa ini sibuk dengan menyebarkan ajaran mazhab
dan mengajak orang lain untuk berfanatik kepada pendapat fuqaha
tertentu.

Kondisi taqlid sesudah runtuhnya kerajaan Abbasiyyah, pada masa ini,


ijtihad mulai memudar dan tidak ada keistimewaan. Beberapa orang
menggabungkan diri kepada imam tertentu dan disebut mujtahid muntasib dan
dari abad 10 sampai sekarang tidak boleh seorang faqih memilih dan menarjih
cukup kitab-kitab yang ada.7

Dijelaskan bahwa fuqaha memiliki pembahasan tetapi terkadang mereka


menyalahi pendapat-pendapat imam.

2.3 Pengertian taqlid dan ittiba’

Taqlid artinya mengikut tanpa alasan atau meniru dan menurut tanpa dalil.
Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memegang
suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-
alasannya.

7
Muhammad Al-Khudari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, (Semarang: Darul Ihya Indonesia,1980),
hlm 365-366

6
Taqlid ialah suatu ungkapan yang mencerminkan sikap seseorang yang
mengikuti orang lain baik itu pendapat dan perbuatannya. Atau sikap seseorang yg
mengikuti pendapat orang lain belum tentu tahu dalil-dalilnya. Misalnya seperti
kita mengikuti madzhab imam Safi'i.

Secara bahasa, ittiba artinya mengikuti. Sedangkan secara istilah, ittiba


adalah sikap mengikuti pendapat seseorang ulama, fuqaha', dan sejenisnya dengan
mengetahui dan memahami dalil atau hujah suatu perkara yang digunakan oleh
mereka.

Ittiba juga diartikan sebagai upaya mengikuti semua yang diperintahkan


dan dibenarkan Rasulullah SAW serta menjauhi segala yang dilarang Allah dan
Rasul-Nya. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan tentang ittiba dalam
Islam lengkap dengan kedudukan dan tahapan mencapainya.

2.4 Sebab-sebab berhentinya ijtihad

Persoalan utama dalam membahas perkembangan ijtihad adalah semenjak


kapan ijtihad itu mulai ada (berlaku), apakah pada masa kini ini masih berlaku dan
bagaimana kemungkinan kemungkinan berlakunya berlakunya untuk masa
mendatang. masa mendatang. Kalau membicarakan awal berlakunya ijtihad
tentunya kita akan menoleh ke masa paling dini dari keberadaan hukum islam,
yaitu semenjak masa hidupnya Nabi. Para ulama berbeda -berbeda pendapat
pendapat mengenai mengenai apakah ijtihad apakah ijtihad telah berlaku berlaku
pada masa Nabi. Hal ini karena secara umum diketahui bahwa ijtihad itu
diperlukan pada waktu tidak menemukan petunjuk Allah petunjuk Allah secara
jelas te jelas tentang suatu ntang suatu masalah dan masalah dan tidak ditemukan
tidak ditemukan pula petunjuk pula petunjuk dari Nabi, sedangkan sedangkan
selama Nabi masih hidup tidak mungkin mungkin petunjuk petunjuk secara nash
sudah tidak ada lagi, karena ayat Al-Quran masih turun dan Nabi masih dapat
menyampaikan petunjuknya. Tetapi disisi lain, dalam banyak kasus banyak

7
ditemukan bahwa Nabi sendiri dalam menghadapi suatu masalah
seringmenggunakan daya nalarnya sebagainaman yang lazim dilakukan seorang
mujtahid dalam menghadapi masalah hukum. Oleh karena itu keberadaan ijtihad
pada masa Nabi masih menjadi perbincangan di kalangan ulama. Ada 4 faktor
penting yang menyebabkan terhentinya gerakan ijtihad dan suburnya kebiasaan
bertaqlid kepada para imam terdahulu, yaitu:

1. Terpecah-pecahnya Daulah Islamiyah ke dalam beberapa kerajaan yang


antara satu
dengan yang lainnya saling bermusuhan, saling memfitnah, memasang
berbagai perangkap, tipu daya dan pem perangkap, tipu daya dan
pemaksaan dalam rangka meraih kemenangan dan kekuasaan raih
kemenangan dan kekuasaan.
2. Pada pariode ketiga para imam Mujtahid terpolarisasi dalam beberapa
golongan. Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum
tersendiri dan mempunyai khittah tersendiri pula. Misalnya ada kalanya
dalam rangka membela dan memperkuat mazhabnya masing-masing
dengan cara mengemukakan argumentasi yang melegitimasi kebenaran
mazhabnya masing-masing mengedepankan kekeliruan mazhab lain yang
dinilai mazhab lain yang dinilai bertentangan dengan mazhab bertentangan
dengan mazhabnya.
3. Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan,
sementara di sisi lain mereka juga tidak juga tidak mampu merumu
mampu merumuskan peraturan yang skan peraturan yang bisa menjamin
agar bisa menjamin agar seseoran seseorang tidak ikut berijtihad kecuali
tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli dibi yang memang ahli
dibidangnya.
4. Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka sehingga tidak
bisa sampai pada level orang-orang orang-orang yang melakukan
melakukan ijtihad. ijtihad. Di kalangan kalangan mereka terjadi terjadi
saling menghasut dan egois mementingkan diri sendiri.

8
2.5 Tingkatan Fuqoha periode taqlid dan aktivitas ulama pada saat masa
Taqlid

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW telah mengisyaratkan bahwa ilmu


yang diwariskan oleh para nabi kepada para pengikutnya akan diambil oleh
mereka dengan kadar yang berbeda-beda. Maka nabi pun memerintahkan untuk
mengambil sebanyak-banyaknya dan jangan merasa cukup dengan yang telah
dimiliki.

Rasulullah SAW bersabda:

‫وإن العلماء ورثة األنبياء وإن األنبياء لم يورثوا دينارا وال درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذه‬
‫أخذ بحظ وافر‬

“Dan sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para

nabi tidak mewarisi dinar atau pun dirham namun mereka mewarisi ilmu, maka
barangsiapa yang mengambilnya, ia telah mengambil dengan kadar yang banyak.”
(HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hiban dan Al Baihaqi dari
Abu Ad Darda’).

Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri dalam kitab syarh Sunan


Tirmizinya, Tufah Al Ahwazi bi Syarhi Sunan At Tirmizi berkata, “Boleh saja
maksud dari 'mengambil' dalam hadit ini adalah perintah yakni maka berangsiapa
yang ingin mengambilnya (ilmu) maka ambillah dengan kadar yang banyak dan
jangan merasa cukup dengan yang sedikit. (Tufah Al Ahwazi bi Syarhi Sunan At
Tirmizi7/377).

Ulama menyimpulkan bahwa terdapat tingkatan-tingkatan keilmuan di


antara fuqaha. Di antara ulama yang telah menyimpulkan tingkatan tersebut
adalah Ibnu Ash Shalah. Bahkan tingkatan fuqaha yang diurai oleh Ibnu Ash

9
Shalah dalam kitabnya Adab Al Mufti wa Al Mustafti banyak diikuti oleh ulama
lainnya.

Berikut 5 tingkatan fuqaha menurut imam Ibnu Ash Shalah (Adab Al Mufti wa Al
Mustafti 87):

1) Tingkatan Pertama:
Tingkatan fuqaha yang mustaqil (tidak terikat) dalam menyimpulkan
hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci tanpa bersandar
atau taqlid kepada siapapun dalam masalah-masalah ushul ataupun furu’.
Fuqaha dalam tingkatan inilah yang menetapkan dasar-dasar dan kaedah-
kaedah mazhab, apakah dengan cara langsung (nash) atau disimpulkan
oleh pengikut-pengikutnya dari masalah-masalah furu’ yang mereka
sampaikan.
Untuk tingkatan ini, ulama menisbatkan beberapa nama bagi mereka
seperti; ‘Al Mujtahid AlMuthlaq’, ‘Al Mujtahid fi Asy Syar’i’, ‘Al
Mujtahid Al Mustaqil’,‘ Al Mufti Al Muthlaq’, dan ‘Al Mufti Al
Mustaqil’.
Sedangkan ulama-ulama yang menempati tingkatan ini di antaranya;
Fuqaha dari kalangan Shahabat (exp: Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu
Mas’ud dll ridhwanullahu’alaihim) dan Tabi’in (exp: ‘Atha’ bin Abi
Rabbah, Ibrahim An Nakha’i, Said bin Musayyib dll), 4 imam mazhab
(Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris
Asy Syafi’i, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal), dan imam-imam
lainnya yang semasa dengan mereka atau yang datang setelah mereka
(exp: Al Awza’i, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu Jarir Ath
Thabari, dll). Rahimahumullah lil jami’.
2) Tingkatan Kedua
Para fuqaha yang menyimpulkan hukum-hukum syariat dari dalil-
dalilnya yang terperinci. Namun secara umum mereka secara konsisten
masih berpegang pada dasar-dasar mazhab salah satu imam dari imam-

10
imam mujtahid (mutlaq). Meskipun dalam beberapa masalah furu’ atau
rincian dalil kadangkala mereka berbeda dengan imam mujtahidnya.
Para ulama menyebut para fuqaha pada tingkatan ini dengan sebutan ‘Al
Mujtahid Al Muntasib’, ‘Al Mufti Al Muntasib’, ‘Al Mujtahid fi Al
Mazhab’, 'Mujtahid Al Mazhab’, dan ‘Al Mujtahid Al Muqayyad’
Para ulama yang berada pada tingkatan ini seperti; Abu Yusuf,
Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, dan Zufar bin Al Huzail dari
kalangan Al Hanafiyyah. Ibnu Al Qasim, Ibnu Abd Al Hakam, Ibnu
Wahb dan Asyhab dari kalangan Al Malikiyyah. Az Za’farani, Al
Muzani, Ibnu Al Mundzir, Ibnu Juraiz, Muhammad bin Nashr Al
Marwazi dan Ibnu Khuzaimah dari kalangan Asy Syafi’iyyah. Shalih bin
Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar Al Khallal, Ibnu Taimiyyah, Ibnu
Qayyim, Al Qadhi Abu Ya’la, Ibnu Hamid, dan Al Qadhi Abu Ali bin
Abi Musa dari kalangan Al Hanabilah. Rahimahumullah lil jami’.
3) Tingkatan Ketiga
Para fuqaha yang menyimpulkan hukum-hukum syariat yang bersifat
amali dari dalil-dalilnya yang terperinci namun tidak ditemukan secara
nash dari imam-imam mujtahid sembari secara konsisten tetap
mendasarkan kesimpulan hukumnya kepada dasar-dasar yang telah
ditetapkan imam-imam mazhab.
Selain itu merekapun melakukan ilhaq (menetapkan hukum sesuai
dengan hukum yang telah ada nashnya) atas sebuah masalah yang belum
ada nashnya kepada masalah yang telah ada nashnya dari imam-imam
mujtahid. Para ulama menyebut aktifitas ini dengan sebutan ‘At Takhrij
‘Ala Nash Al Imam’, atau ‘Takhrij Al Furu’ ‘Ala Al Furu’’.
Para ulama menyebut para fuqaha pada tingkatan ini dengan sebutan ‘Al
Mukharrijun’ atau ‘Mukharrij Al Mazhab’.
Sedangkan kesamaan antara fuqaha tingkatan ini dengan fuqaha
tingkatan sebelumnya hanya dari sisi pengambilan dasar-dasar (ushul)
mazhab imam mujtahid.

11
Dan keduanya berbeda dari sisi hasil ijtihad imam sebelumnya. Di mana
ulama dari kalangan mujtahid muntasib berijtihad dalam masalah-
masalah yang diperbincangkan imam mujtahid mutlaq bahkan dalam
beberapa masalah, kesimpulan hukum yang mereka ambil dapat berbeda
dengan imam mujtahid mutlak demikian pula dari sisi pengambilan dalil.
Sedangkan fuqaha tingkatan ketiga berijtihad atas permasalahan yang
belum terdapat pendapat imam mujtahid di dalamnya. Sedangkan dalam
permasalahan yang telah ada pendapatnya dari imam mujtahid maka
mereka mencukupkan diri atas pendapat imam.
Para ulama yang berada pada tingkatan ini seperti; Ahmad bin ‘Amr Al
Khassaf, Abu Ja’far At Thahawy, Abu Al Hasan Al Karkhy, Syams Al
A’immah Al Hulwani, As Sarkhasi, Fakhr Al Islam Al Bazdawi,
Fakruddin Qadhi Khan, dan Al Hasan bin Ziyad dari kalangan Al
Hanafiyyah. Muhammad bin Abdillah Al Abhari, Ibnu Abi Zaid, dan
Ibnu Abi Zamanain Muhammad bin Abdullah, dari kalangan Al
Malikiyyah. Al Marwazi, Abu Hamid Al Isfirayaini, dan Abu Ishak Asy
Syairazi dari kalangan Asy Syafi’iyyah, Ibnu Al Qadhi Abu Ya’la Asy
Syahid Abu Al Hasan, dan Abu Ya’la Ash Shaghir dari kalangan Al
Hanabilah. Rahimahumullah lil jami’.
4) Tingkatan Keempat
Para fuqaha yang melakukan usaha tarjih (menguatkan pendapat)
imammazhab atas pendapat lain. Atau mentarjih salah satu pendapat dari
beragampendapat, riwayat, dan takhrij dalam satu mazhab. Berdasarkan
dasar-dasar yangtelah ditentukan oleh imam mujtahid. Namun mereka
tidak melakukan usahaistinbat hukum (furu’) yang tidak terdapat nashnya
secara langsung dari imammujtahid.
Para ulama menyebut para fuqaha pada tingkatan ini dengan sebutan
‘MujtahidAt Tarjih’, ‘Mujtahid Al Futya’ atau ‘Mujtahid At Tanqih’.
Adapun para ulama yang berada pada tingkatan ini antara lain; Ahmad
binMuhammad Abu Al Husain Al Qaduri, Al Kasani, dan Al Marghinani
dari kalangan AlHanafiyyah. Muhammad bin Ali Al Marizi, Ibnu Rusyd,

12
Al Lakhmi, Ibnu Al ‘Araby,Al Qarafi, dan Asy Syatibi dari kalangan Al
Malikiyyah. Abu Hamid Al Ghazali,dan An Nawawy dari kalangan Asy
Syafi’iyyah. Ibnu Qudamah dari kalangan AlHanabilah.
Rahimahumullah lil jami’.

5) Tingkatan kelima
Para fuqaha yang hanya melakukan usaha hifz al mazhab/menghafal
pendapat mazhab, menyampaikan, dan memberikan penjelasan pendapat
mazhab tersebut dalam kitab-kitab ‘al wadhihat’ dan ‘al musykilat’.
Sedangkan pada diri mereka terdapat ketidak mampuan dalam
menetapkan dalil atau melakukan qiyas (analogi) atas dalil tersebut.
Sebagaimana mereka tidak mampu melakukan tarjih di antara beragam
pendapat dan riwayat dalam sebuah mazhab atau antar mazhab.
Para ulama menyebut para fuqaha pada tingkatan ini dengan sebutan ‘Al
Muqallidun’.

Walaupun sebetulnya banyak faktor yang membuat para ulama berhenti


melakukan ijtihad mutlak dan mengembangkan hukum-hukum syari’at dari
sumber-sumbernya yang pertama, namun tidaklah berarti bahwa mereka juga
mandek dan berhenti kesungguhannya dalam upaya pembentukan hukum
dilingkungan daerah mereka yang terbatas. Oleh karena itu, para ulama pada tiap-
tiap mazhab bisa dibagi menjadi beberapa level atau tingkatan, yaitu:

A. Level pertama: ahli ijtihad dan mazhab.

Mereka ini tidak berijtihad dalam hukum syari’at secara ijtihad mutlak,
mereka hanya berijtihad mengenai berbagai kasus yang terjadi dengan dasar-dasar
ijtihad yang telah dirumuskan oleh para imam mazhab mereka. Diantara mereka
ialah: al-Hasan bin Ziyad(204 H/820 M) dari mazhab Hanafi, Ibnu al-Qasim (191
H/) dan Asyhab (204 H/820 M) dari mazhab Maliki, dan al-Buwaithiy (231 H)

13
dan al-Muzanny(264 H) dari mazhab Syafi’i. Dasar-dasar para imam merekalah
yang digunakan sebagai dasar-dasar dalam pengembangan hukum-hukum.

B. Level kedua: Ahli ijtihad mengenai beberapa masalah yang tidak ada
riwayat dari imam mazhabnya.

Mereka ini tidak menyalahi para imam mereka dalam berbagai hukum
cabang dan juga tidak menyalahi dasar-dasar ijtihad yang mereka gunakan.
Mereka hanya mengistinbatkan hukum-hukum mengenai berbagai masalah yang
tidak ada riwayatnya sesuai dasar-dasar yang digunakan para imam mereka dan
dengan meng-qiyaskan kepada cabang-cabang hukum mereka. Mereka yang
termasuk dalam level kedua ini adalah al-Khashshaf (261 H), al-Thahawiy(lahir
230 H), dan al-Karkhiy(340 H) dari penganut mazhab Hanafi. Al-Lakhamiy(498
H), Ibnu al-Arabiy(542 H) dan Ibnu Rusyd (1198 M) dari penganut mazhab
Maliki. Abu Hamid al-Ghazaliy(505 H/1111 M) dan Abu Ishaq al-Isfirayiniy (418
H) dari penganut mazhab Syafi’i.

C. Level ketiga: Ahli Takhrij.

Mereka ini tidak berijtihad dalam mengistinbatkan hukum mengenai


berbagai masalah. Akan tetapi, karena keterikatan mereka kepada dasar-dasar dan
rujukan mazhab yang dianutnya, maka mereka tidak berusaha mengeluarkan illat-
illat hukum dan prinsipnya. Dengan dasar inilah mereka membatasi diri hanya
pada memberi interpretasi terhadap pendapat-pendapat imamnya yang masih
bersifat global atau menentukan arah tertentu bagi suatu hukum yang mengandung
kemungkinan dua arah. Yang termasuk dalam level ketiga ini ialah seperti Al
Jahshash(370 H) dan rekan-rekannya dari mazhab Hanafi.

D. Level keempat: Ahli Tarjih

Mereka ini mampu membandingkan diantara beberapa riwayat yang


bermacam-macam yang bersumber dari para imam mazhab mereka dan sekaligus
mampu mentarjih, menetapkan mana yang kuat antara satu riwayat dengan
riwayat lainnya. Mereka yang termasuk dalam level ini adalah al Qadury(428 H)

14
dan pengarang kitab al Hidayah, serta rekan-rekannya sesama penganut mazhab
Hanafi.

E. Level Kelima: Ahli Taqlid

Mereka ini mampu membeda-bedakan antara riwayat-riwayat yang jarang


dikenal dan riwayat yang sudah terkenal dan jelas, dan mampu membada-bedakan
antara dalil-dalil yang kuat dan yang lemah. Mereka yang termasuk dalam level
kelima ini adalah pengarang kitab matan-matan yang terkenal dan mu’tabar
dikalangan mazhab Hanafi, seperti pengarang kitab al Kanz dan al Wiqoyah.

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa kesungguhan aktivitas


para ulama dalam pembentukan hukum pada periode ini adalah mencurahkan
perhatiannya kepada pendapat-pendapat dan hukum-hukum yang sudah dibentuk
dan ditetapkan oleh para imam mazhab mereka. Mereka membatasi diri mereka
hanya pada pembahasan mengenai pendapat-pendapat imam mazhab mereka dan
illat-illat yang mereka jadikan dasar pertimbangan, serta mereka mentarjih,
menetapkan mana pendapat yang lebih kuat diantara pendapat imam mazhab
mereka yang kelihatan kontradiksi antara satu dengan yang lainnya.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Taqlid merupakan pendapat yang berdasar dari pendapat orang lain yang
mana pendapat tersebut dilakukan tanpa berdasarkan dalil. Orang yang taklid
kepada pendapat seseorang disebut muqallid. Taqlid muncul ketika kekuasaan
Islam sudah pudar, yaitu pada masa kemunduran. Kemunduran ini dipengaruhi
oleh beberapa hal salah satunya tertutupnya ijtihad.

Sesungguhnya ulama sangat tidak setuju dengan taqlid karena taqlid


menyebabkan tidak mau berfikir. Sehingga umat Islam hanya mencukupkan
tentang perkara agamanya itu dengan kitab-kitab karangan para imam ijtihad. Tapi
dalam kalangam umat Islam sendiri tidak ada keharmonisan, hal ini disebabkan
karena masing-masing pengikut mahzab mengklaim bahwa mahzabnya yang
paling benar. Orang yang berpendidikan tinggi dan dianggap mampu untuk
berijtihad sendiri dilarang untuk bertaqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang
awam tapi dengan syarat bahwa ia harus selalu berusaha mencari dasar-dasar
dalilnya. Dan jika ia telah menemukan dasarnya ia harus kembali pada dalil
tersebut, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

3.2 Saran
Demikian yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi
bahasan dalam makalahini,tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan
karena terbatas nya pengetahuan dan juga referensi yang kami peroleh
hubungannya dengan makalah ini. Kami berharap kepada para pembaca
memberikan kritikdan saran yang membangun kepada kami demi
sempurnanyamakalah ini.Semoga makalahi ni dapat bermanfaat bagi kami pada
khususnya dan pembaca pada umumnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Dawud, Mochammad. 2012. “Runtuhnya Baghdad dan implikasi terhadap


persebaran islam di Asia”,
https://www.scribd.com/doc/77330038/DAWUD-Makalah-Sej-Peradaban-
Islam-Runtuhnya-Baghdad-Dan-Implikasinya-Thd-Persebaran-Islam-Di-
Asia, diakses pada 5 Desember 2021 pukul 19.21.

Harahap, Tiaminah. 2021. “Makalah tarekh tasyri”,


https://www.scribd.com/document/531359747/makalah-tarekh-tasyri,
diakses pada 5 Desember 2021 pukul 20.11.

Rohman, Fathur. 201 . “Kontribusi para fuqaha periode taqlid”,


https://ejournal.unisnu.ac.id/JSHI/article/view/700, diakses pada 5
Desember 2021 pukul 20.49.

Yandi, Debu. 2012. “Tumbuhnya jiwa tadlid, timbulnya mazhab dan kegiatan
fuqaha dalam periode taqlid”,
https://www.bloggerkalteng.id/2012/05/tumbuhnya-jiwa-taqlid-timbulnya-
mazhab.html?m=1, diakses pada 5 Desember 2021 pukul 21.29.

17

Anda mungkin juga menyukai