ii
ISBN: 978-602-14729-2-7
Isnaini Nurwahyuni
Isnaini Nurwahyuni
TEKNIK KULTUR JARINGAN TANAMAN DAN APLIKASI UNTUK
PERBANYAKAN TANAMAN KERAS – Cetakan I, Medan: Penerbit
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan 2015.
ISBN: 978-602-14729-2-7
Bibliografi: hal 192
Isnaini Nurwahyuni
___________________________________________________________
Diterbitkan Oleh:
Penerbit Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan, Jln. Willem Iskandar,
Psr V Medan 20222;
Telp (061) 6636757; Fax. (061) 6613319-6614002
Cetakan I: 2015
iv
KATA PENGANTAR
Penulis senantiasa memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
atas segala rahmatNya sehingga penulisan Buku Teknik Kultur Jaringan Tanaman dan
Aplikasi Untuk Perbanyakan Tanaman Keras ini dapat selesai. Buku ini merupakan
Buku Referensi yang diperlukan bagi mahasiswa yang sedang mengikuti kuliah Kultur
Jaringan Tanaman. Ada tujuh pokok bahasan seperti: (1) Teknik Aseptik Untuk Kultur
Jaringan Tanaman, (2) Komponen Media Kultur Jaringan Tanaman, (3) Iniasiasi Dan
Pertumbuhan Kalus di Dalam Media Kultur, (4) Produksi Tanaman Bebas Virus, (5)
Penyimpanan Plasma Nutfah, (6) Morfogenesis Pembentukan Organ Tanaman, dan (7)
Kultur Protoplas Dalam Teknik In Vitro merupakan petunjuk praktis yang perlu
diketahui oleh mahasiswa dalam melaksanakan percobaan kultur jaringan tanaman di
laboratorium, masing-masing telah dijelaskan secara singkat sebagai pedoman
pelaksanaan teknik in vitro. Sebagai aplikasi teknik kultur jaringan tanaman untuk
tanaman keras (berkayu) di dalam buku ini ada sebanyak lima judul contoh perbanyakan
tanaman melalui kultur jaringan tanaman, yaitu merupakan intisari dari beberapa hasil
penelitian telah dilakukan dengan judul: (1) Perbaikan Kualitas Jeruk Manis Brastagi
(Citrus nobilis Brastepu) Melalui Kultur Jaringan Tanaman Untuk Menghasilkan Bibit
Unggul, (2) Optimalisasi Teknik In Vitro Untuk Perbanyakan Jeruk Berkualitas Baik
Sebagai Strategi Biokonservasi Jeruk Lokal Sumatera Utara, (3) Perbanyakan Tanaman
Kemenyan Sumatrana (Styrax Benzoin Dryander) Melalui Kultur Pucuk, (4)
Perbanyakan Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) Melalui Teknik
Subkultur, dan (5) Perbanyakan Tanaman Kopi Arabika (Coffea arabica L) Secara
Kultur Jaringan. Diharapkan Mahasiswa dapat menggunakan contoh-contoh yang ada di
dalam buku ini untuk bahan dalam penyusunan tugas akhir penulisan proposal dan
skripsi mahasiswa, atau dapat dilakukan dan diulang untuk propagasi secara in vitro
dalam kegiatan praktikum. Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam
teknik bidang kultur jaringan tanaman, diharapkan pembaca dapat menggunakan
referensi yang relevan yang telah dirujuk dalam kegiatan penelitian yang ada di dalam
buku ini.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Universitas Sumatera Utara dan
Ditlitabmas Dikti, Kementerian Ristekdikti yang sudah memberikan dana penelitian
melalui Penelitian Fundamental Tahun Anggaran 2014-2015 sehingga penulisan Buku
Referensi ini dapat diselesaikan. Sangat disadari bahwa isi buku ini masih jauh dari
sempurna, mudah-mudahan pada edisi berikutnya dapat menjadi lebih baik dengan
dilengkapi contoh-contoh praktis teknik kultur jaringan tanaman dengan berbagai jenis
tanaman. Untuk itu penulis mengharapkan masukan dari para pembaca untuk perbaikan
dan penyempurnaan buku ini. Kiranya buku referensi ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perbanyakan tanaman melalui teknik
kultur jaringan tanaman.
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Gambar viii
Daftar Tabel xii
Bab VIII Perbaikan Kualitas Jeruk Manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu)
Melalui Kultur Jaringan Tanaman Untuk Menghasilkan Bibit
Unggul 61
8.1. Latar Belakang Masalah 61
8.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian 63
8.2. Tujuan Penelitian 63
8.3. Manfaat Penelitian 64
8.4. Kultur Jaringan Tanaman Jeruk 64
8.4.1. Teknik Kultur Jaringan Tanaman 66
8.4.2. Kultur Jaringan Tanaman Jeruk 67
8.4.3. Jeruk Manis Brastagi Varietas Brastepu 68
8.5. Rancangan Penelitian 69
8.6. Prosedur Penelitian Tahun Pertama 70
8.6.1. Persiapan Bahan Tanaman 70
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1. Skematik autoklaf untuk sterilisasi. 7
Gambar 3.1. Kurva pertumbuhan pada tipikal kultur kalus. Subkultur
sebaiknya dilakukan pada peralihan antara pertumbuhan linier
dan fase stationer. 23
Gambar 3.2. Prosedur isolasi eksplan umbi wortel dan penanamannya dalam
suatu media. (a) Umbi Wortel, (b) potongan melintang umbi
wortel, (c) sterilisasi potoingan umbi, (d) potongan umbi steril,
(e) eksplan siap ditanam, (f) eksplan dikultur di dalam media,
(g) kultur yang sudah tumbuh. 24
Gambar 4.1. Tahapan pembuatan tanaman bebas virus. 35
Gambar 4.2. Kultur meristem, pertumbuhan dan perkembangan planlet
sampai planlet ditanam di dalam pot. 37
Gambar 5.1. Perubahan fisiko kimia selama pembekuan yang menyebabkan
kelukaan beku. 43
Gambar 8.1. (a) Pohon jeruk manis Citrus nobilis Brastepu yang tumbuh di
perkebunan rakyat Berastagi, Kabupaten Karo, (b) Biji jeruk
manis Citrus nobilis Brastepu dari buah yang dijadikan sebagai
sumber eksplan dalam kultur jaringan tanaman. 70
Gambar 8.2. Daun jeruk manis Citrus nobilis Brastepu yang diserang fungi
penyebab nekrosis pada jeruk manis Citrus nobilis Brastepu. 73
Gambar 8.3. Hasil isolat biakan murni fungi penyebab nekrosis pada jeruk
manis Citrus nobilis Brastepu: (a) Jamur hasil isolasi di dalam
petridish, dan (b) Miselium jamur dengan perbesaran 1000 kali
(spesies belum diketahui). 73
Gambar 8.4. Bentuk kalus non embriogenik pada kultur biji jeruk manis
Citrus nobilis Brastepu pada minggu ke empat. 75
Gambar 8.5. (a) Bentuk kalus embriogenik jeruk manis Citrus nobilis
Brastepu yang tumbuh dari biji menjadi kalus dan beregenerasi
menjadi plantlet tanaman jeruk, (b) terbentuk dari sel-sel dari
permukaan biji jeruk manis Citrus nobilis Brastepu langsung
beregenerasi menjadi planlet. Pengamatan di lakukan pada
minggu ke empat. 76
Gambar 8.6. Pertumbuhan dan perkembangan kalus menjadi planlet yang
tumbuh di media kultur jeruk manis Citrus nobilis Brastepu. 79
Gambar 8.7. Pertumbuhan kultur jaringan tanaman jeruk manis Citrus nobilis
Brastepu di dalam media MS yang diperkaya dengan zat
pengatur tumbuh (perlakuan Z3). Pengamatan dilakukan setelah
inkubasi 6 minggu. 81
Gambar 8.8. Planlet jeruk manis Citrus nobilis Brastepu yang sudah berhasil
diaklimatisasi berumur 4 minggu setelah pemindahan dari botol
kultur ke dalam pot. 82
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Pembuatan larutan stok dan komposisi media MS untuk kultur
kalus tembakau. 16
Tabel 2.2. Komposisi beberapa media kultur jaringan tumbuhan ( mg/L). 17
Tabel 8.1. Rancangan percobaan Acak Lengkap (RAL) Non faktorial kultur
jeruk manis Citrus nobilis Brasitepu. 71
Tabel 8.2. Pertumbuhan kalus pada variasi perlakuan kultur kalus jeruk manis
Citrus nobilis Brastepu. 75
Tabel 8.3. Pertumbuhan kalus jeruk manis Citrus nobilis Brasitepu pada
media MS yang diperkaya dengan berbagai jenis zat pengatur
tumbuh. 76
Tabel 8.4. Analisis sidik ragam pertumbuhan kalus kultur jeruk manis Citrus
nobilis Brastepu pada media MS yang diperkaya dengan berbagai
jenis zat pengatur tumbuh (Data pada Tabel 8.3). 77
Tabel 8.4. Pertumbuhan planlet jeruk manis Citrus nobilis Brastepu di dalam
kultur media kultur yang diperkaya dengan berbagai variasi zat
pengatur tumbuh. 78
Tabel 8.5. Analisis sidik ragam pertumbuhan tunas jeruk manis Citrus nobilis
Brastepu pada media MS yang diperkaya dengan berbagai jenis zat
pengatur tumbuh (Data hasil pada Tabel 8.4). 79
Tabel 8.6. Tinggi tanaman jeruk manis Citrus nobilis Brastepu di dalam
media kultur yang diperkaya dengan berbagai variasi zat pengatur
tumbuh. 80
Tabel 8.7. Analisis sidik ragam pertumbuhan tunas jeruk manis Citrus nobilis
Brastepu pada media MS yang diperkaya dengan berbagai jenis zat
pengatur tumbuh (Data hasil pada Tabel 8.6). 81
Tabel 9.1. Disain penelitian rancangan acak lengap dengan kombinasi antara
(A) Varietas jeruk, (B) Variasi sumber eksplan, (C) Variasi jenis
zat pengatur tumbuh auksin, (D) Variasi sitokinin, dan pada
masing-masing perlakuan ditambah suplemen. 102
Tabel 9.2. Disain penelitian rancangan acak lengap media kultur untuk inisiasi
kalus terdiri atas media MS yang diperkaya dengan zpt dengan
kombinasi antara (C) variasi konsentrasi zat pengatur tumbuh
auksin, (D) variasi konentrasi sitokinin. 103
xvi
Tabel 9.3. Pertumbuhan tunas tanaman pada teknik okulasi untuk berbagai
jenis variasi jeruk lokal Sumatera Utara (Varietas Boci, varietas
Brastepu, dan varietas Rimokeling) dengan lama penyimpanan
bahan tanaman sebelum ditempelkan ke dalam tanaman induk.
Tanaman induk adalah jeruk lemon. 117
Tabel 9.4. Rataan berat kultur pada masing-masing perlakuan oleh pengaruh
pemberian zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis jeruk langka
di Sumatera Utara. 121
Tabel 9.5. Rataan jumlah embriosomatik pada masing-masing perlakuan oleh
pengaruh pemberian zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis
jeruk langka di Sumatera Utara. 123
Tabel 9.6. Rataan jumlah planlet pada masing-masing perlakuan oleh
pengaruh pemberian zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis
jeruk langka di Sumatera Utara. 124
Tabel 9.7. Rataan jumlah daun pada masing-masing perlakuan oleh pengaruh
pemberian zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis jeruk langka
di Sumatera Utara. 125
Tabel 9.8. Rataan tinggi tunas pada masing-masing perlakuan oleh pengaruh
pemberian zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis jeruk langka
di Sumatera Utara. 126
Tabel 9.9. Rataan berat tunas pada masing-masing perlakuan oleh pengaruh
pemberian zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis jeruk langka
di Sumatera Utara. 127
Tabel 9.10. Rataan berat akar pada masing-masing perlakuan oleh pengaruh
pemberian zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis jeruk langka
di Sumatera Utara. 128
Tabel 9.11. Rataan rasio tunas dan akar pada masing-masing perlakuan oleh
pengaruh pemberian zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis
jeruk langka di Sumatera Utara 129
Tabel 10.1. Rancangan percobaan mikropropagasi kemenyan Sumatrana
(Styrax benzoin Dryander). 145
Tabel 10.2. Rataan berat basah kalus (mg) kultur Kemenyan Sumatrana (Styrax
benzoin Dryander) di dalam media kultur dengan variasi perlakuan. 147
Tabel 10.1. Persentase kultur Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander)
yang hidup di dalam media kultur dengan variasi perlakuan. 146
Tabel 10.3. Tipe pertumbuhan regenerasi eksplan kultur daun pucuk Kemenyan
Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) oleh pengaruh pemberian
zpt. 150
xvii
Tabel 11.1. Pertumbuhan kalus kultur, tunas dan akar kemenyan sumatrana
(Styrax benzoin Dryander) pada media MS yang diperkaya
berbagai kombinasi 2,4-D dan BAP melalui teknik subkultur.
Tanda dalam kurung adalah superskrip yang berbeda pada kolom
yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf signifikansi
0,01. 163
Tabel 11.2. Multifikasi tunas dan planlet kemenyan sumatrana pada media
MS0 (M1) dan WPM (M2) pada variasi umur kultur 1-3 bulan
yang dipindahkan dihitung berdasarkan jumlah tunas dan tinggi
planlet. Masing-masing umur kultur adalah 1,0 bulan (T1); 1,5
bulan (T2); 2,0 bulan (T3); 2,5 bulan (T4); dan 3,0 bulan (T5). 165
Tabel 12.1. Rancangan penelitian dengan kombinsi variasi konsentrasi zat
pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. 175
Tabel 12.2. Pertumbuhan kalus oleh pengaruh pemberian variasi konsentrasi
zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh
ditambahkan ke dalam medium MS. Pengamatan dilakukan setelah
waktu inkubasi kultur jaringan selama 26 hari. 178
Tabel 12.3. Pengaruh pemberian variasi konsentrasi zat pengatur tumbuh
auksin dan sitokinin terhadap berat bersih kalus (mg). Zat pengatur
tumbuh ditambahkan ke dalam medium MS. Pengamatan dilakukan
setelah inkubasi kultur jaringan selama 42 hari. Data adalah berat
rata-rata dari 5 ulangan. 181
Tabel 12.4. Pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan
embriosomatik setelah masa inkubasi 86 hari. Zat pengatur tumbuh
ditambahkan ke dalam medium 0.5-MS. 185
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 1
Bab I
TEKNIK ASEPTIK UNTUK KULTUR JARINGAN TANAMAN
1.1. Pendahuluan
Laboratorium kultur jaringan tanaman harus dijaga agar selalu bebas dari
kontaminasi sehingga perlu dilakukan usaha menjadikannya selalu steril. Ada beberapa
contoh penggunaan ruangan steril seperti ruang operasi di rumah sakit. Lingkungan
aseptik dapat tercipta apabila aliran udara masuk dan keluar ruangan dapat dikontrol,
karena pada umumnya di udara bebas terdapat banyak kontaminan seperti spora
mikroba. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman terdiri atas ruangan semi steril dan
ruang steril. Ruang semi steril yaitu ruangan yang diupayakan harus steril tetapi tidak
mutlak. Ruangan ini dapat digunakan untuk menyimpan zat kimia, preparasi larutan,
dan preparasi sampel seperti pencucian. Sedangkan ruang steril harus benar-benar
dijaga bebas dari kontaminasi, ruangan ini digunakan untuk penanaman dan inkubasi
kultur.
Beberapa kondisi yang dapat menjadikan ruangan tidak steril adalah akibat
adanya mobilasi manusia antara masuk dan keluar ruangan, sehingga kemungkinan
masuknya udara dari luar dapat mengakibatkan ruangan menjadi tidak steril. Karena
kultur jaringan tanaman sangat rentan terhadap kontaminasi, maka ruangan harus dijaga
sesteril mungkin, terutama pada saat melakukan penanaman dan inkubasi. Untuk
menciptakan ruangan aseptik dapat dilakukan dengan cara menyediakan peralatan kotak
pindah atau laminar air flow cabinet atau ent kas. Peralatan ini dilengkapi dengan
lampu germisidal yang memancarkan sinar ultra violet (UV) dan berguna untuk
menghilangkan kontaminasi yang berasal dari atmosfer dan untuk sterilisasi permukaan
bagian dalam kotak pindah.
Laminar Air flow berfungsi sebagai sumber udara bersih karena penyaringan telah
terjadi di dalam peralatan tersebut, sehingga udara yang masuk ke dalam ruangan telah
terhindar dari kontaminasi mikroorganisme dan sporanya. Untuk menyakinkan bahwa
sterilisasi telah tercapai, sebaiknya lampu UV sudah dihidupkan selama satu malam (12
jam) dan lampu UV sudah harus dimatikan paling sedikit satu jam sebelum dilakukan
penanaman. Bagian dalam Laminar Air flow harus selalu dibersihkan dengan
menggunakan tissu yang sudah dibasahi dengan etanol 70%.
1.2. Cara Sterilisasi
Peralatatan laboratorium untuk Kultur Jaringan Tanaman harus dijaga dalam
keadaan steril. Teknik sterilisasi untuk peralatan gelas, alat diseksi, media, cairan, dan
bahan tanaman dapat dilakukan dengan beberapa cara sterilisasi, seperti panas kering,
panas basah, ultra filtrasi, dan bahan kimia.
1.2.1. Teknik Panas Kering
Teknik panas kering digunakan untuk sterilisasi alat gelas, alat logam dan bahan
lain yang tidak rusak dalam suasana temperatur tinggi. Bahan-bahan yang mengandung
kapas, plastik tidak dapat disterilkan dengan teknik ini. Demikian juga pisau bedah dan
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 2
skalpel tidak dapat disterilisasi dengan teknik ini karena dapat menyebabkan peralatan
menjadi tumpul. Peralatan yang dapat digunakan untuk sterilisasi panas kering misalnya
oven pengering atau oven pembakar. Temperatur sedang yang dipergunakn untuk
sterilisasi secara Teknik panas Kering adalah sekitar 160 oC atau 320 oF selama 4 jam.
Peralatan yang akan disterilkan dengan menggunakan teknik panas kering terlebih
dahulu dibungkus dengan aluminium foil atau bahan tahan panas lainnya sebelum
dimasukkan ke dalam oven. Jenis aluminium foil yang tipis tidak cocok digunakan
karena mudah koyak, sedangkan yang sangat tebal juga tidak sesuai karena terlalu kaku.
Untuk itu perlu pengetahuan tersendiri dalam memilih aluminium foil yang sesuai.
Sesudah sterilisasi, bahan tersebut harus segera dimasukkan ke dalam ruang penanaman.
1.2.2. Teknik Panas basah
Sterilisasi dengan menggunakan teknik panas basah dapat dilakukan dengan
menggunakan autoklaf. Prinsip sterilisasi secara teknik panas basah menggunakan
autoklaf adalah dengan menggunakan uap air panas pada tekanan tinggi. Apabila
peralatan autoklaf tidak tersedia, sterilisasi secara teknik panas basah dapat juga
dilakukan dengan menggunakan panci bertekanan tinggi seperti presto. Sterilisasi teknik
panas basah untuk ukuran 1 liter digunakan tekanan sebanyak 103 kpaskal, yaitu
sebanyak 15 psi, temperatur diatur pada 121 oC atau 250 oF selama 20 menit.
Penghitungan lamanya sterilisasi dilakukan dimulai sejak tercapainya temperatur yang
dibutuhkan dan seluruh udara yang terdapat di dalam autoklaf sudah harus digantikan
oleh uap air. Jika sterilisasi secara teknik panas dilakukan dengan menggunakan panci
presto, maka katup pengeluaran udara jangan ditutup sampai aliran uap air sudah stabil
di dalam wadah. Setelah sterilisasi dilakukan selama 20 menit, tekanan harus terlebih
dahulu dibiarkan sama dengan tekanan udara luar, lalu tutup autoklaf dibuka. Perlu
dilakukan kehati-hatian harus dilakukan dalam membuka autoklaf karena tekanan
tinggi, yang dapat menyebabkan uap air masuk ke dalam alat gelas dan gelembung
udara dapat masuk ke dalam media.
Perlu diingat bahwa sterilisasi dalam jangka waktu yang sangat lama tidak
diperbolehkan karena dapat mengubah komposisi media kultur. Setelah peralatan gelas
dan alat diseksi disterilisasi dengan teknik sterilisasi secara teknik panas basah maka
harus dimasukkan ke dalam oven untuk menghilangkan uap air. Peralatan steril yang
dibiarkan tetap lembab dapat mengundang mikroba kontaminan. Selama proses autoklaf
uap air panas harus dapat masuk ke dalam bahan yang disterilkan karena suhu 121 oC
saja tidak cukup untuk mensterilkan bahan. Kecuali alat gelas, peralatan yang diautoklaf
biasanya tidak dibungkus dengan kertas berlapis lilin atau aluminium foil karena
keduanya tidak permeabel terhadap uap air panas. Menurut Meynell & Meynell (1970),
lama sterilisasi tergantung pada volume bahan. Misalnya bahan dengan volume 100 mL,
dibutuhkan waktu autoklaf selama 10 menit, sedangkan untuk volume 1-2 liter
membutuhkan waktu 20 menit.
1.2.3. Ultrafiltrasi
Beberapa komponmen media bersifat termolabil sehingga harus disterilkan
dengan ultrafilter pada suhu kamar. Larutan termolabil dimasukkan ke dalam media
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 3
(padat atau cair) setelah terlebih dahulu larutan tersebut disterilkan dengan ultrafiltrasi.
Penambahan dilakukan sesuai dengan volume yang diperlukan, langsung ke dalam
media steril dengan menggunakan pipet steril dan dikerjakan dalam suasana aseptik.
Bila media agar (media padat) yang digunakan, maka media tersebut harus terlebih
dahulu dipanaskan dalam autoklaf atau kompor atau hot plate sampai mencair dan
setelah suhu telah mencapai sekitar 40 oC lalu larutan yang sudah steril termolabil
tersebut dimasukkan ke dalam kemedia yang sudah mencair. Beberepa jenis ultrafilter
yang dapat digunakan seperti penyaring sintergelas, nukleopore, dan membran.
Beberapa jenis filter ini mempunyai kelebihan dan kelemahan. Misalnya filter
sintergelas sangat baik dan tahan terhadap suhu, dan dapat dipergunakan berulang-
ulang, akan tetapi harganya mahal dan agak sulit dibersihkan (membutuhkan zat kimia
pembersih). Filter nukleopore terbuat dari polyetilen dengan berbagai ukuran pori, akan
tetapi tidak dapat digunakan berulang-ulang. Filter membran terbuat dari serat selulosa,
harganya relatif murah dibanding dengan membran yang lain, akan tetapi mudah
robek/koyak dan hanya dipakai untuk satu kali sterilisasi saja.
Efektivitas filter yang digunakan dalam penyaringan sangat tergantung pada
ukuran pori dan jenis kontaminan yang akan disaring. Untuk kontaminan dalam ukuran
besar dapat disaring dengan menggunakan pori ukuran besar, akan tetapi bila ukuran
kontaminan sangat kecil maka harus digunakan ukuran pori filter yang sangat kecil, dan
penyaringan harus dilakukan secara vakum. Ukuran filter yang sering digunakan dalam
sterilisasi sebaiknya digunakan ukuran filter 0,22 m, dapat juga digunakan filter
dengan pori ukuran 0,45 m agar aliran bahan yang akan disaring lebih cepat. Namun
perlu dipertimbangkan untuk selalu menggunakan ukuran pori filter yang lebih kecil
untuk meyakinkan bahwa bakteri tertahan di dalam filter. Bila filter belum steril harus
terlebih dahulu di autoklaf dengan cara membungkusnya dengan kertas. Bila media
yang akan disaring jumlahnya besar, maka gunakan pompa penghisap atau tekanan
kecil, akan tetapi bila jumlah sampel (media) ukurannya kecil, gunakan filter ukuran
kecil dengan bantuan pompa pengisap kecil (sejenis alat suntik).
1.2.4. Sterilisasi Kimia
Tempat kerja atau ruangan steril harus selalu disterilisasi dengan zat kimia dengan
cara menyemprot ruangan dengan etanol 70% atau melap permukaan dengan
isopropanol 70%. Disinfektan dapat digunakan alkohol yang diasamkan, dan jenis
alkohol asam 70%, pH 2,0 ini sangat efektif untuk sterilisasi, akan tetapi tidak baik
untuk peralatan yang terbuat dari logam karena dapat terkorosi. Konsentrasi etanol
tinggi (80%) juga sangat baik untuk sterilisasi, akan tetapi sangat mudah terbakar,
sehingga tidak cocok untuk sterilisasi ruangan, dan sangat baik untuk sterilisasi diseksi.
Peralatan diseksi dicelupkan ke dalam alkohol, kemudian dibakar dengan menggunakan
lampu spiritus. Untuk menghindari penguapan pada suhu lebih besar, maka sebaiknya
etanol segera ditutup ketat karena akan terjadi tekanan yang tinggi pada saat suhu naik.
Sterilisasi permukaan bahan tanaman biasanya dilakukan menggunakan larutan
natrium hipoklorit (NaOCl) atau kalsium hipoklorit Ca(OCl)2. Sebagian besar
laboratorium menggunakan larutan pemutih, yaitu yang mengandung klor, misalnya
merek dagang kloroks, pureks, byclin, sunclin dsb. Produk ini mengandung bahan aktif
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 4
5,25% NaOCl. Bila klorok dilarutkan dengan air dengan perbandingan (1:9) maka
konsentrasi NaOCl dalam larutan menjadi lebih kecil (0,525%). Jaringan gabus atau
umbi akan steril bila direndam di dalam larutan NaOCl tersebut selama 10 menit.
Setelah perlakuan dengan hipoklorit maka bahan tanaman harus dicuci beberapa kali
dengan akuades steril sampai sisa-sisa disinfektan tersebut tidak ada lagi. Jaringan umbi
yang cukup besar dapat dibilas paling sedikit 3 kali, dan setiap kali pembilasan
digunakan aquades dalam jumlah banyak (250 mL). Larutan hipoklorit bersifat korosif
terhadap peralatan logam sehingga harus segera dibuang bila tidak dipergunakan lagi.
Beberapa bahan sterilan telah diuji aktivitasnya untuk dekontaminasi permukaan
pada biji, ternyata diketahui bahwa kalsium hipoklorit merupakan bahan yang sangat
baik karena sangat sedikit melukai permukaan biji. Hal ini disebabkan karena natrium
yang berasal dari natrium hipoklorit dapat merangsang perkembangan abnormal pada
kecampah, sedangkan kalsium tidak memberikan pengaruh terhadap perkecambahan.
Pekerjaan sterilisasi sekaligus menciptakan keadaan lingkungan yang sesuai terhadap
perkebangan perkecambahan adalah dengan penambahan buffer fosfat pada larutan
kalsium hipoklorit, sehingga pH dapat diatur menjadi pH 6.0 dan ditambahkan Tween-
20 beberapa tetes. Biji direndam selama 20 menit dan dibilas 2 kali dengan aquades
steril.
Beberapa peneliti memilih dua atau lebih cara sterilisasi permukaan, walaupun
cara ini sebenarnya tidak banyak menguntungkan. Biji misalnya dapat terlebih dahulu
dicelup di dalam etanol 70% dan digoyang selama 1-2 menit, kemudian dipindahkan ke
dalam botol lain yang mengandung hipoklorit dan direndam selama 5-10 menit.
Sterilisasi pada permukaan bahan tanaman yang mengandung pektin, suberin, trikoma,
dsb, perlu penambahan beberapa milliliter Tween-20 pada larutan hipoklorit.
Kontaminan internal sering dijumpai pada bahan tumbuhan, sehingga sterilisasi
permukaan saja tidak efektif. Sterilan sistemik harus digunakan untuk menghilangkan
mikroorganisme yang terdapat di dalam jaringan sampel. Bila dari bahan tanaman
terdapat bagian yang berubah warna baik sebelum dan sesudah sterilisasi, maka bagian
tersebut harus segera dihilangkan. Tujuan dari sterilisasi permukaan ini adalah untuk
menghilangkan semua mikroorganisme dengan meminimalisasi kerusakan pada
tanaman yang dikultur.
1.3. Antibiotik
Kadangkala antibiotik dimasukkan ke dalam media untuk mencegah kontaminasi
mikroba selama proses pengkulturan, namun bahan kimia ini, kalau memungkinkan,
sebaiknya dihindarkan karena akan dapat mempengaruhi perkembangan jaringan yang
akan dikultur. Jenis antibiotik yang efektif untuk memberantas kontaminan di dalam
kultur jaringan sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Akan tetapi yang jelas
diketahui adalah bahwa antibiotik dan hasil degredasinya dapat dimetabolismekan oleh
jaringan tumbuhan dengan hasil yang tidak dapat ditentukan. Bukti penghambatan
pertumbuhan pada kultur jaringan misalnya xilogenesis pada eksplan silinder pusat pada
selada, dan umbi Artichoke sangat dihambat oleh ketersediaan gentamisin sulfat pada
media., dan pengaruh ini didapatkan pada konsentrasi 50-100 g/mL, yang semestinya
masih sesuai dengan konsentarsi yang dianjurkan oleh pabrik pembuatnya.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 5
steril dengan tangan kotor, dan selalu membersihkan ruang tanam dari alat-alat gelas,
alat diseksi, sisa-sisa kertas aluminium bekas pakai dan bahan-bahan lain yang sudah
dipakai. Sebaiknya kultur yang kontaminasi diautoklaf untuk membunuh sel-sel
vegetatif maupun spora dari mikroba kontaminan pada suhu dan tekanan tertentu pada
jangka waktu yang diperlukan. Setelah percobaan dilakukan maka peralatan segera
dicuci untuk membiasakan peralatan dalam kondisi siap untuk dipergunakan pada
percobaan berikutnya, dan sekaligus untuk mengurangi potensi kontaminasi. Pencucian
dapat dilakukan dengan sabun berdisenfektan untuk mencegah berkembangbiaknya
mikroba.
1.6. Prosedur Sterilisasi Dengan Autoklaf.
Autoclaf sangat baik digunakan untuk sterilisasi media dan sterilisasi lain untuk
membebaskan mikroorganisme karena pemanasan dapat diatur pada tekanan tertentu
sehingga mikroorganisme pengkontaminasi diyakini sudah terbebas. Di laboratorum
autoklaf untuk sterilisasi tersedia dalam berbagai ukuran volume, tergantung pada
keperluan. Skematik dari autoklaf yang dipergunakan untuk sterilisasi diperlihatkan
pada Gambar 1.1.
6. Biarkan uap keluar sampai minimum 5 menit untuk mengeluarkan udara yang
terperangkap dalam autoklaf.
7. Tutuplah katub pengeluaran udara.
8. Amati kenaikan suhu dan tekanan.
9. Setelah tekanan mencapai 15-17,5 Psi dan suhu 121 oC, api kompor dikecilkan.
10. Jaga tekanan sesuai dengan keperluan dengan mengatur besar-kecilnya api kompor
secara manual PERHATIAN jangan membiarkan jarum pengatur suhu dan tekanan
melewati skala maksimum karena dapat merusak alat.
11. Setelah waktu sterilisasi tercapai, matikan kompor. Waktu sterilisasi untuk botol,
alat gelas, aquades, dan alat diseksi selama 1 jam sedangkan untuk media
tergantung pada volumenya:1 liter media disterilkan selama 20 menit, 2 liter
membutuhkan waktu 30 menit, dan seterusnya. Waktu sterilisasi dihitung setelah
tercapainya suhu dan tekanan yang diinginkan.
12. Keluarkan uap sedikit demi sedikit dengan mengatur katub pengeluaran uap. Buka
katub sedikit demi sedikit dengan mengembalikannya pada posisi tegak. JANGAN
sekali-sekali membuka katub dan mengeluarkan uap sekaligus karena dapat
menimbulkan suara yang keras bahkan ledakan merusak media atau menyebabkan
banyaknya gelembung udara pada media (air bubble).
13. Setelah tekanan kembali ke posisi 0,buka klep pengetat (pengunci) pada tutup
autoklaf dan keluarkan panci dalam yang berisi bahan yang telah disterilkan.
1. Cara-cara sterilisasi apasajakah yang kiranya belum dibicarakan pada bagian ini?.
Sebutkan dan jelaskan kegunaannya.
4. Sebutkan komponen media yang mudah rusak bila disterilkan dengan autoklaf, dan
bagaimana cara mensterilkan bahan-bahan tersebut.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 9
Bab II
KOMPONEN MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN
2.1. Pendahuluan
Komponen media yang diperlukan di dlaam kultur jaringan tanaman perlu
mendapat perhatian, terutama dalam upaya pertumbuhan dan perkembangan tanaman di
dalam media kultur. Nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan jaringan dan organ
pada kultur jaringan dan pada tanaman utuh berbeda antara satu tanaman dengan
tanaman yang lain, sehingga dalam pekerjaan kultur jaringan tanaman selalu dilakukan
optimasi nutrisi untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan jaringan dan
pembentukan tanaman baru. Misalnya tanaman tomat yang tumbuh di ladang
membutuhkan unsur hara yang tersedia di lingkungannya supaya dapat menyelesaikan
satu siklus hidupnya. Akan tetapi, sepotong akar tomat yang dikulturkan tidak dapat
tumbuh dan berkembang secara normal apabila hanya diberikan unsur-unsur hara
tersebut. Kultur akar selain memerlukan unsur hara juga memerlukan senyawa-senyawa
organik karena akar pada tanaman utuh memperoleh bahan tersebut dari bagian-bagian
lain yang dapat mensintesisnya seperti daun dan batang, dimana bahan tersebut
ditranspor ke akar melalui berkas pengangkut, sedangkan akar yang dikultur sudah
dipisahkan dari bagian tanaman yang lain tersebut. White, (1934) menyatakan bahwa
sepotong ujung akar tomat dapat tumbuh tidak terbatas jika diberikan media cair yang
terdiri dari campuran garam-garam anorganik, sukrosa, tiamin, piridoksin, asam
nikotinat dan glisin. Hanya kadang-kadang terjadi perubahan metabolisma pada kultur
karena adanya perubahan keperluan dan suplai nutrisinya. Kebutuhan media akan
senyawa organik tertentu disebabkan karena ketidak-mampuan dari jaringan atau organ
yang diisolasi untuk menghasilkan senyawa-senyawa tersebut. Kebutuhan senyawa-
senyawa untuk pembuatan media kultur jaringan meliputi garam-garam anorganik, zat
pengatur tumbuh (ZPT), vitamin, asam amino, bahan organik kompleks, karbohidrat,
dan bahan pemadat.
2.2. Garam-garam Anorganik
Kultur jaringan tumbuhan memerlukan sumber bahan kimia anorganik yang terus-
menerus tersedia. Unsur karbon, hidrogen dan oksigen diperlukan dalam jumlah besar
sehingga disebut unsur makro (makronutrien). Nitrogen juga diperlukan dalam jumlah
banyak dan dapat diberikan dalam bentuk anion nitrat, kation amonium atau kombinasi
keduanya. Nitrogen organik (asam-asam amino) sering juga ditambahkan ke dalam
media. Magnesium sulfat (MgSO4.7H2O) memenuhi kebutuhan jaringan akan
magnesium dan belerang. Fosfor dapat dipenuhi dengan pemberian NaH2PO4.H2O atau
KH2PO4. Kalium adalah kation yang paling banyak dibutuhkan oleh jaringan yang
dikultur, unsur ini diberikan dalam bentuk senyawa KCl, KNO3, atau KH2PO4.
Sedangkan kebutuhan akan kalsium dipenuhi dengan pemberian garam-garam
CaCl2.2H2O dan Ca (NO3)2.4H2O atau bentuk anhidrous dari garam-garam tersebut.
Klorida diperoleh dari KCl atau CaCl2. Jaringan tumbuhan tinggi yang dikultur biasanya
tidak membutuhkan unsur natrium, tetapi unsur ini sangat dibutuhkan pada kultur
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 10
jaringan tumbuhan yang tergolong tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada kadar
garam tinggi), tanaman C4 dan CAM.
Selain itu kultur jaringan juga memerlukan mikronutrien. Unsur-unsur dari
kelompok ini diperlukan dalam jumlah sangat sedikit sehingga sebaiknya disediakan
dalam bentuk larutan stok. Penyediaan komponen media dalam bentuk larutan stok
paling tidak mempunyai 2 keuntungan yaitu: (1) Menghemat waktu, artinya tidak setiap
kali pembuatan media harus menimbang bahan dan, (2) Pekerjaan menjadi lebih mudah
dan akurat. Mikronutrien tersebut terdiri dari tembaga (Cu), seng (Zn), Mangan (Mn),
besi (Fe), Boron (B), dan Molibdenum (Mo). Stok besi dibuat secara terpisah karena
garam-garam yang digunakan sukar larut. Stok besi biasanya disediakan dalam bentuk
besi yang dikelat, yaitu Ferri sodium ethylenediamine tetra acetate (NaFeEDTA). Selain
itu media juga memerlukan Cobalt (Co) dan Iodine (I). Esensialitas dari nikel (Ni),
berilium (Be) dan aluminium (Al) yang secara tidak sengaja masuk ke dalam media
masih dipertanyakan. Ketiga unsur tersebut sering menjadi kontaminan pada beberapa
komponen media.
2.3. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh yang diperlukan pada kultur kalus adalah auksin dan
sitokinin. Auksin merupakan senyawa yang merangsang pemanjangan sel-sel tunas,
sedangkan sitokinin terutama berperan dalam pembelahan sel terutama pada kultur
jaringan. Kinetin (6 furfuril amino) purin dapat mengatur pertumbuhan dan
perkembangan jaringan. Sitokinin dengan substitusi N6-amino purin kemungkinan
mempunyai fungsi yang lain. Auksin yang sering digunakan dalam media kultur adalah
IAA, NAA dan 2,4-D. Tetapi pada kultur jaringan serealia telah berhasil tumbuh dengan
penambahan senyawa kelompok auksin yang lain yaitu 2,4,5-T. Auksin IAA merupakan
senyawa auksin alami yang besar kemungkinan dapat disuplai dari ekstrak tumbuh-
tumbuhan, tetapi IAA ini sangat mudah terdegradasi oleh adanya cahaya dan bantuan
enzim IAA oksidase. Dengan demikian IAA yang diberikan pada media tumbuh
sebaiknya pada konsentrasi tinggi yaitu 1-30 mg/L karena di dalam jaringan yang
dikultur banyak mengandung enzim IAA oksidase. Auksin -NAA yang merupakan
auksin sintetik ternyata tidak dapat didegradasi oleh enzim oksidase seperti halnya pada
IAA.sehingga ZPT ini diberikan ke dalam media dengan jumlah yang lebih rendah yaitu
berkisar 0,1 sampai 2,0 mg/L. Beberapa contoh auksin dan sitokinin dan struktur
kimianya dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Herbisida 2,4-D lebih potensial digunakan dalam kultur jaringan dibandingkan
dengan IAA atau NAA karena selain harganya murah, 2,4-D sangat efektif dan efisien
digunakan dalam kultur jaringan. Kadang untuk inisiasi kalus memerlukan 2,4–D pada
konsentrasi yang cukup rendah yaitu kurang dari 0.1 mg/L, walaupun beberapa spesies
tanaman memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menstimulasi pembelahan
selnya. Karakteristik 2,4-D sering kali tidak menentu yaitu disatu sisi dapat berfungsi
seperti auksin dan dilain sisi sebagai sitokinin. Kultur yang memerlukan auksin dan
sitokinin eksogen untuk pertumbuhannya dapat menunjukkan pertumbuhan yang sama
jika ditumbuhkan pada media yang ditambahkan dengan 2,4-D saja. Namun demikian
pengaruh 2,4-D yang mirip dengan sitokinin ini belum diketahui mekanisme kerjanya.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 11
Tidak semua kultur jaringan memerlukan auksin dan sitokinin. Beberapa kultur
jaringan tidak membutuhkan auksin pada medianya karena kebanyakkan eksplan sudah
mengandung hormon endogen dalam jumlah besar. Eksplan tersebut juga dapat
mensintesa auksin di dalam kultur. Istilah habituasi atau anergi dapat terjadi pada
eksplan dalam kultur. Berapa kultur yang lain tidak membutuhkan sitokinin tetapi hanya
memerlukan auksin. Kultur akar wortel varietas Japenese misalnya dapat mensintesis
zeatin kompleks dalam lingkungan kultur yang diberi penyinaran. Fenomena ini juga
dijumpai pada kultur jaringan lain yang menghasilkan adanya sitodiferensiasi trakheid
pada lingkungan terang dan media diperkaya dengan auksin saja. Pada umumnya
diferensiasi trakeid pada kultur jaringan memerlukan auksin dan sitokinin yang
diberikan bersama-sama dalam media.
Sitokinin yang banyak digunakan dalam media kultur jaringan tumbuhan adalah
kinetin, benzyladenin dan zeatin. Zeatin dan benzyladenin merupakan sitokinin sintetik
sedangkan zeatin merupakan hormon alami. Walaupun zeatin sangat efektif digunakan
dalam kultur jaringan akan tetapi harganya sangat mahal sehingga untuk tujuan yang
sama sering digunakan sitokinin sejenis misalnya sitokinin alami yang lain: 6 (,,-
dimethylallyl-amino) purin atau N6 (2 (isopentyl) adenin. Diphenylurea adalah salah
satu zat tumbuh yang terdapat di dalam air kelapa dapat menunjukkan respon seperti
pada pemberian sitokinin. Kinetin biasanya diberikan dalam konsentrasi 0,1 mg/L saja
sudah cukup untuk menginduksi kalus. Air kelapa dapat ditambahkan ke dalam media
sebanyak 10-15% sebagai sumber sitokinin.
2.4. Vitamin
Vitamin mempunyai fungsi katalitik dalam sistem enzim, dan dibutuhkan dalam
konsentrasi sangat kecil. Thiamin (Vitamin B1), merupakan satu-satunya vitamin
esensial dalam kebanyakan kultur jaringan tanaman. Vitamin lain seperti asam nikotinat
dan piridoksin (vitamin B6) dikenal sebagai vitamin yang dapat menstimulasi
pertumbuhan jaringan. Thiamin diberikan dalam bentuk thiamin-HCl dan jumlahnya
bervariasi antara 0,1 – 30 mg per liter. Penambahan thiamin di dalam media juga sangat
perlu apabila kandungan sitokinin di dalam media rendah (< 0,1 mg per liter). Apabila
jumlah sitokinin di dalam media cukup tinggi (0,1 – 10 mg per liter), misalnya yang
dilakukan pada kultur jaringan tembakau, maka penambahan thiamin eksogen tidak
diperlukan dalam pertumbuhan jaringan tanaman. Kelihatannya pada kondisi dimana
media mengandung banyak sitokinin, kultur jaringan tembakau mampu mensintesis
thiamin. Asam nikotinat dan pyridoksin diperlukan dalam kultur Haplopappus gracilis
beberapa jenis vitamin bersifat termolabil sehingga sterilisasi harus dilakukan
menggunakan filter dan ditambahkan ke dalam media steril pada keadaan hangat (suam
kuku 40 oC).
2.5. Asam Amino dan Suplemen Organik Kompleks
Asam amino, kecuali glisin (asam amino acetat), biasanya tidak perlu
ditambahkan ke dalam media kultur. Apabila ke dalam media inin ditambahkan
senyawa nitrogan organik, maka sebagai senyawa sumber yang dipergunakan adalah
senyawa kasein hidrolisa atau asam cas amino. Sumber asam amino lain dapat juga
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 12
diperoleh dengan cara penambahan susu karena protein kasein susu dapat berfungsi
sebagai sumber asam amino melalui proses hidrolisa sehingga dapat dihasilkan
sebanyak 18 atau lebih jenis asam amino yang berbeda. Asam amino tertentu sangat
diperlukan untuk menginduksi respon fisiologis tertentu. Misalnya, penambahan L-
methionin diperlukan untuk mempercepat biosintesis etilen, dimana etilen sangat
diperlukan untuk menstimulasi xilogenesis. Senyawa-senyawa nitrogen organik yang
sudah pernah dan berhasil digunakan adalah arginin, urea, glutamin, asparagin dan
amonia.
Kultur jaringan cenderung menggunakan media dengan komposisi media yang
jelas, dan menghindari penggunaan senyawa yang berupa ekstrak senyawa yang
kompleks. Pada saat ini bahan-bahan seperti pepton, ekstrak ragi, ekstrak malt, sudah
sangat jarang digunakan, karena dapat memberikan hasil yang tidak sesuai dengan yang
diinginkan, hal ini disebabkan karena komposisi senyawa di dalam ekstrak tersebut
sangat kompleks. Jus buah-buahan dan jus taoge juga dianggap sebagai sumber senyawa
organik kompleks. Einset (1978) telah berhasil mengkulturkan beberapa eksplan jeruk
(Citrus sp) yang diperkaya dengan media jus jeruk.
2.6. Karbohidrat
Semua media memerlukan ketersediaan gula sebagai sumber karbon (C) dan
tenaga (energi). Sukrosa biasanya diberikan dalam konsentrasi 20-45% (20.000 –
45.000 mg/L). Hampir semua kultur menunjukkan pertumbuhan optimal dengan
ketersediaan disakharida sukrosa sebagai salah satu komponen media. Biasanya sukrosa
di autoklaf bersamaan dengan media lainnya. Sukrosa ini bersifat agak termolabil,
sehingga media yang sudah diautoklaf mengandung kombinasi sukrosa, D-glukosa dan
D-fruktosa. Ball (1953) mendapatkan hasil yang sangat berbeda pada kultur dengan
media yang mengandung gula yang diautoklaf dibanding dengan gula yang disterilkan
menggunakan filter. Beberapa karbohidrat lain, misalnya glukosa atau maltosa sudah
berhasil dilakukan dalam kultur jaringan tanaman. Siklitol, misalnya mio-inositol
ditambahkan ke dalam media kultur sebagai zat tumbuh sebanyak 100 mg/L. Pemilihan
jenis dan konsentrasi gula sangat tergantung pada jenis eksplan yang akan dikultur dan
tujuan dari pengkulturan. Sebagai contoh, untuk induksi sitodiferensiasi unsur trakeid
sangat dipengaruhi oleh konsentrasi dan tipe karbohidrat di dalam media. Sering sekali
gula yang dipergunakan dalam kultur telah terkontaminasi dengan bahan organik
lainnya seperti asam amino. Pencampuran dapat terjadi pada saat kristalisasi.
2.7. Air
Air yang dipergunakan untuk media kultur jaringan adalah air didestilasi dua kali
(double destilled water, DDW) dan air yang bebas ion (deionised water, DW).
Sebaiknya tempat penyimpanan air tidak terbuat dari polietilen karena dapat
mengeluarkan senyawa toksik bagi kultur. Penyimpanan DDW di dalam botol pyrex
juga tidak disarankan karena dapat mengakibatkan akumulasi bakteri bila kondisinya
tidak dalam keadaan steril. Perlu perhatian agar jangan menggunakan air destilasi saja
dan air yang tidak bebas ion karena berhubungan dengan sterilisasi dan juga ion tertentu
dapat berpengaruh terhadap pertumubuhan dan perkembangan kultur.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 13
1. Isilah gelas beker volume 1 liter dengan aquades sebanyak 400 mL.
2. Timbang dan larutkan garam-garam yang mengandung unsur mikro (Tabel 2.1).
3. Pindahkan larutan ke dalam labu ukur (1 liter) dan tambahkan aquades sampai
mencapai batas volume, lalu larutan disimpan di dalam lemari es (suhu 4 oC).
4. Pipet larutan stok mikronutrien sebanyak 10 mL untuk menyediakan media MS 1
liter.
2.11.2. Larutan Stok Besi (200 X)
Untuk membuat larutan stok besi (200 x) maka harus mengikuti komposisi seperti
terdapat pada Tabel 2.1. Cara untuk membuat stok dilakukan sebagai berikut:
1. Sediakan 2 buah gelas beaker ukuran 100 mL, masing-masing diisi dengan akuades
panas sebanyak 40 mL.
2. Timbang masing-masing garam yang diperlukan seperti pada Tabel 2.2 dan
pindahkan ke dalam beaker yang berbeda, dan larutkan masing-masing garam di
dalam akuades panas.
3. Dalam keadaan hangat, campurkan kedua larutan tersebut, aduk sampai larutan
berwarna coklat bening dan homogen.
4. Tuangkan larutan ke dalam labu ukur 200 mL, kemudian tambahkan akuades sampai
batas volume.
5. Simpan larutan pada suhu kamar. Dapat juga di simpan di dalam lemari es.
6. Pipet larutan stok sebanyak 1 mL untuk pembuatan media MS 1 liter.
2.11.3. Larutan Stok Vitamin (100 X)
Untuk membuat larutan stok vitamin (100 X) maka harus diikuti komposisi yang
sudah dibuat di dalam Tabel 2.2. Cara untuk membuat stok dilakukan sebagai berikut:
1. Masukkan akuades sebanyak 50 mL ke dalam gelas beaker volume 100 mL.
2. Timbang dan larutkan vitamin yang diperlukan sesuai dengan komposisi.
3. Tuangkan larutan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian tambahkan akuades sampai
batas volume.
4. Simpan larutan di dalam lemari es.
5. Pipet larutan stok sebanyak 1 mL untuk pembuatan media MS 1 liter.
2.11.4. Larutan Stok Sitokinin (100 X)
Komposisi lihat tabel 1D. Cara untuk membuat stok dilakukan sebagai berikut:
1. Timbang senyawa kinetin sebanyak 10 mg.
2. Larutkan serbuk kinetin dengan cara memberikan beberapa tetes larutan HCl 1N
sampai seluruhnya melarut sempurna.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 16
Tabel 2.1. Pembuatan larutan stok dan komposisi media MS untuk kultur kalus
tembakau
(NH4)2SO4 134
(NH4)NO3 1.650
NaNO3 600
KNO3 1.900 2.500 80
Ca (NO3)2 300
CaCl2.2H2O 440 150 75
MgSO4.7H2O 370 250 720 250
Na2SO4 200
KH2PO4 125
NaH2PO4.H2O 150 16,5
KCl 6,5 750
FeSO4.7H2O 27,8 27,8
Na2EDTA 37,3 37,3
FeCl3.6H2O 1,0
Fe2(SO4)3 2,5
MnSO4.4H2O 22,3 7,0 0,01
MnSO4.H2O 10
ZnSO4.7H2O 8,6 2,0 3,0 1,0
H3BO3 6,2 3,0 1.5 1,0
KI 0,83 0,75 0,75 0,01
Na2MoO4.2H2O 0,25 0,25
CuSO4.5H2O 0,025 0,025 0,03
CoCl2.6H2O 0,025 0,025
NiCl2.6H2O 0,03
AlCl2.6H2O 0,03
Mio-inositol 100 100
Asam nikotinat 0,5 1,0 0,5
Piridoksin-HCl 0,5 1,0 0,1
Tiamin-HCl 0,1 10 0,1
glisin 2,0 3,0
Ca D pantotenat 1,0
Sukrosa 30.000 20.000 20.000 20.000
Kinetin 0,.04-10 0,1
2,4-D 0,1-1,0
IAA 1,0-30,0
pH 5,7-5,8 5,5 5,5
garam-garam anorganik relatif stabil dalam bentuk larutan, akan tetapi vitamin
sebaiknya tidak dapat digunakan lagi bila sudah disimpan selama 30 hari. Tidak
diperkenankan memipet larutan langsung dari botol stok. Cara yang digunakan adalah
menuangkan larutan secukupnya ke dalam gelas beaker, kemudian mempipet dari dalam
beaker. Jangan sekali-kali mengembalikan larutan yang sudah dituangkan ke dalam
larutan stok karena akan dapat menjadikan kontaminasi larutan stok. Ada kemungkinan
terjadi kontaminasi di dalam lemari es, oleh karena itu pembuatan larutan stok harus
bersih dengan menggunakan botol steril, akuades steril, dan perlengkapan lain yang
steril.
Hara makro dapat dibuat dalam bentuk larutan stok bila larutan akan digunakan
terus-menerus dalam jangka waktu yang lama. Namun sebaiknya, setiap senyawa
makronutrien dibuat dalam satu botol larutan stok, maksudnya setiap senyawa harus
dilarutkan secara terpisah dalam botol yang berbeda. Larutan stok ini biasanya
konsentrasinya dibuat antara 10-20 kali dari konsentrasi yang diperlukan untuk
pembuatan 1 liter media MS. Sterilitas dari larutan stok makro harus dijaga dengan baik
karena makronutrien sangat disenangi oleh mikroba walaupun sudah disimpan di dalam
lemari es.
2.13. Prosedur Pembuatan Media MS Volume Satu liter
Apabila larutan stok makronutrien sudah tersedia, maka pipet larutan sesuai
dengan keperluan. Akan tetapi bila larutan stok tidak tersedia, maka dapat dilakukan
pembuatan larutan sebagai berikut:
1. Timbang senyawa makro nutrien sesuai dengan komposisi berdasarkan volume
larutan yang akan disediakan (dalam hal ini dibuat media 1 liter).
2. Tuangkan 400 mL akuades steril ke dalam gelas beaker volume 1 liter.
3. Tambahkan ke dalam gelas beaker stok besi 1 mL, mikronutrien 10 mL, dan
vitamin 1 mL.
4. Timbang sebanyak 100 mg mio-inositol dan larutkan ke dalam media, tambahkan
juga sukrosa 3%.
5. Buat larutan menjadi volume 700 mL dengan cara menambahkan akuades,
kemudian aduk sampai homogen.
6. Tambahkan zat pengatur tumbuh yang diperlukan, misalnya media kalus dari
eksplan batang tembakau diperlukan sitokinin-kinetin sebanyak 0,1 mg/L (1 mL
dari larutan stok), auksin, IAA 10 mg/L (terlebih dahulu ditimbang dan dilarutkan
dengan cara menambahkan beberapa tetes NaOH 1 N sampai larut) kemudian
dicampurkan ke dalam larutan yang berisi komponen di atas.
7. Tambahkan akuades ke dalam labu ukur sampai batas volume.
8. Ukur pH larutan media (sekitar pH 5,7 – 5,8). Pengaturan pH dilakukan dengan
cara penambahan NaOH 1 N bila pH lebih rendah dari pH yang diinginkan, atau
menambahkan beberapa tetes HCL 1 N bila pH larutan lebih besar dari pH yang
diinginkan.
9. Tambahkan agar sebanyak 0,8%
10. Panaskan media dengan kompor atau hotplate sambil diaduk dengan pengaduk
magnet sampai larutan mendidih, homogen dan terlihat larutan menjadi bening.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 19
11. Tuangkan media ke dalam botol-botol kultur yang steril sebanyak 1/5 atau ¼
volume botol. Sebagai ilustrasi, bila botol yang digunakan adalah berukuran sebesar
botol balsem maka media yang dituangkan sebanyak 15 mL, botol selai (jem) 30
mL.
12. Tutup rapat botol yang diisi media dengan aluminium foil (heavy duty), dan beri
label pada botol dengan menggunakan pensil.
13. Susun botol-botol berisi media di dalam panci autoklaf, dan jangan lupa memeriksa
banyaknya akuades yang terdapat dibagian panci luar autoklaf agar mencukupi
untuk proses autoklaf.
14. Prosedur sterilisasi dilakukan sama seperti prosedur teknik aseptik.
15. Keluarkan botol-botol berisi media setelah skala tekanan dan suhu menunjukkan
angka 0, simpan media di ruang tanam.Inkubasi di ruang tersebut minimal 2-3 hari
untuk memastikan bahwa sterilisasi berjalan dengan baik dan tidak ada kontaminan
pada setiap media. Selanjutnya pengkulturan dapat dilaksanakan.
Bila media sebanyak 1 liter akan digunakan untuk membuat beberapa perlakuan
zat pengatur tumbuh (ZPT) maka dapat dilakukan cara sebagai berikut:
1. Campur akuades, makronutrien, mikronutrien, mio-inositol, besi, vitamin dan
sukrosa dan atur volumenya sampai mencapai volume 800 mL.
2. Bagi 800 mL larutan tersebut menjadi 4 bagian (@200 mL) atau 5 bagian (@160
mL).
3. Tambahkan ZPT sesuai dengan perlakuan dan jangan lupa memberi label pada setiap
perlakuan.
Contoh: label kode 4 perlakuan X0, X1, X2 dan X3, atau kode 5 perlakuan X0, X1, X2, X3
dan X4
a. Untuk yang dibagi menjadi 4 perlakuan, tuangkan setiap perlakuan pada labu ukur
yang terpisah dan tepatkan volume larutan media menjadi 250 mL dengan
menambahkan akuades.
b. Untuk yang dibagi menjadi 5 perlakuan,tuangkan setiap perlakuan pada labu ukur
terpisah dan atur volumenya menjadi 200 mL dengan penambahan akuades.
c. Ukur pH masing-masing perlakuan sekitar 5,7.
d. Tambahkan agar sebanyak 2,0 gram/250 mL media atau 1.6 gram/200 mL media.
e. Lakukan prosedur selanjutnya seperti dijelaskan pada pembuatan media MS langkah
6 s/d 15.
2.14. Pertanyaan-pertanyaan
1. Apakah ada masalah yang dihadapi pada pembuatan media. Dan bagaimana cara
mengatasi masalah tersebut?
2. Komponen media apa yang perlu dibuat larutan stok? Mengapa demikian, jelaskan.
3. Senyawa apa saja yang dapat dijadikan sebagai pemadat media?
4. Apa kelebihan dan kekurangan menggunakan media padat dan cair dalam kultur
jaringan.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 20
Bab III
INIASIASI DAN PERTUMBUHAN KALUS DI DALAM MEDIA KULTUR
3.1. Pendahuluan
Kalus merupakan sel-sel parenkim yang tersusun longgar dan berupa massa
amorf. Sel-sel ini adalah hasil proliferasi dari jaringan induknya (eksplan). Pada
umumnya kalus terbentuk dari hasil pelukaan atau pemotongan pada eksplan yang dapat
berasal dari batang daun, akar dan sebagainya. Istilah kalus kadang-kadang rancu
dengan istilah botani kalose. Kalose merupakan polisakarida yang terbentuk seiring
dengan adanya pelukaan dan pemulihan (penyembuhan) terhadap sel-sel yang luka.
Kalose ini sering terdapat pada jaringan floem berupa cairan yang dikeluarkan di
permukaan bila terjadi pelukaan. Kalus pada awal perkembangan kultur jaringan
diketahui mayoritas terjadi pada jaringan tumbuhan golongan angiospermae. Tetapi
akhirnya didapatkan juga pada kelompok tumbuhan lainnya yaitu pada gymnospermae,
paku, lumut dan sebagainya. Kalus tidak mempunyai pola organisasi atau belum
berdiferensiasi, tetapi biasanya mempunyai pusat aktivitas meristematik dan kambium
serta berkas pengangkut yang rudimenter. Sinnot (1960) adalah orang pertama yang
mengamati pembentukan kalus pada jaringan yang luka. Stimuli yang menyebabkan
terbentuknya kalus ini berasal dari hormon endogen auksin dan sitokinin. Selain akibat
pelukaan, kalus kapat dibentuk oleh adanya infeksi mikroorganisma tertentu atau
insekta. Dengan kultur jaringan pembentukan kalus dapat diinduksi dari potongan
sejumlah organ atau jaringan sebagai respon dari pelukaan dan manipulasi media
tumbuh. Bahan tumbuhan yang umumnya dijadikan eksplan kultur jaringan adalah
kambium berkas pengangkut, parenkim cadangan makanan, perisikel akar, kotiledon,
mesofil daun dan jaringan provaskuler.
3.2. Teknik Kultur Jaringan
Keberhasilan kultur jaringan dimulai tahun 1936 yang secara hampir bersamaan
terjadi di tiga pusat penelitian yaitu Pusat Penelitian di Laboratorium Gautheret-Paris,
Nobecourt-Grenoble dan White-Princeton. Pada umumnya eksplan yang digunakan
adalah jaringan kambium dari akar wortel dan silinnder pusat batang tembakau. Kalus
dapat berkembang menjadi tunas, akar dan atau embrioid yang akan tumbuh menjadi
planlet. Karakteristik pertumbuhan kalus sangat dipengaruhi oleh bahan tanaman asal
(eksplan). Komposisi media, dan kondisi lingkungan selama inkubasi. Kalus dapat
tumbuh dengan dinding sel berlignin, keras tetapi ada juga yang berupa fragmen-
fragmen kecil. Kalus yang sel-selnya fragil disebut kalus friable. Kenampakan warna
kalus juga bermacam-macam yaitu kekuningan, putih, hijau, ungu, pink dan sebagainya.
Pigmentasi ini dapat seragam pada seluruh bagian kalus dan dapat pula tidak seragam,
bahkan banyak juga kalus yang tidak berpigmen. Sel-sel yang mampu mensintesa
antosianin dan yang tidak sudah dapat diisolasi dari kultur kalus wortel.
Anatomi kalus menunjukkan variasi dalam diferensiasi sel. Kalus yang homogen
kebanyakan tersusun oleh sel-sel parenkim kecuali yang pernah didapatkan pada kultur
Agave dan Rosa. Usaha untuk menghasilkan penyusun kalus yang homogen dapat
dilakukan dengan menggunakan eksplan jaringan yang homogen pula sebagai
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 21
inokulum. Sitodiferensiasi terjadi bila dari inokulum yang homogen kemudian tumbuh
sel-sel lain yang bukan berupa sel-sel parenkimatis lagi misalnya adanya unsur trakeid,
buluh tapis, sel-sel berlapis suberin, sel sekretoris dan trikomata. Kambium dan
parenkim adalah dua contoh jaringan yang dapat mengalami histogenesis di dalam
kultur kalus. Sekelompok sel meristemoid atau nodul berkas pengangkut dapat
dijadikan indikasi sebagai pusat pembentukan tunas apikal, primordia akar atau embrio.
Pada pembuatan kultur kalus, diperkirakan organ berklorofil akan mampu
memenuhi kebutuhan nutrisinya sendiri. Namun belakangan diketahui ternyata kalus
berklorofil tetap tergantung pada ketersediaan gula eksogen untuk melanjutkan
pertumbuhannya dalam media kultur, walaupun kondisi lingkungan terang (berlampu).
Eksplan hijau dapat tumbuh menjadi kalus tanpa warna terlebih dahulu dalam kultur
kalus, kemudian kloroplas dapat berkembang selama periode inkubasi. Pembentukan
kloroplas sangat dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya. Oleh karena itu kultur yang
diinkubasi di ruang gelap menunjukkan warna yang lebih pucat jika dibandingkan
dengan kultur yang diberi cahaya. Keberadaan kloroplas, faktor kimia dan faktor fisik
ternyata sangat membatasi kemampuan fotosintesa sel-sel yang dikultur. Tim peneliti
Bergmann (1967) dan Edelman dan Hanson (1971) telah membuktikan adanya aktivitas
fotosintesa pada jaringan yang dikultur hanya mungkin tidak seefektif seperti pada
tanaman utuh.
Masalah yang sering timbul dan sangat serius untuk diperhatikan dalam kultur
kalus ini adalah adanya instabilitas kromosom di dalam inti sel. Sehingga bila
digunakan dengan tujuan mikropropagasi (perbanyakan tanaman) yaitu untuk
mendapatkan tanaman yang sifat genetiknya sama dengan sifat genetik induknya (klon)
atau tujuan untuk mendapatkan variasi genetik dapat saja dilakukan tentunya
memerlukan pengamatan sitologi supaya dapat diseleksi sesuai dengan tujuan penelitian
atau keinginan peneliti. Pada kalus yang pertumbuhannya sangat cepat karena induksi
zat pengatur tumbuh eksogen dapat menyebabkan penyimpangan kromosom, mutasi
gen atau endoreduplikasi yang menghasilkan tanaman poliploid. Namun keadaan ini
juga masih harus ditunjang dengan jenis jaringan /eksplan dan spesies dari tumbuhan
yang dikultur.
Frekuensi sel-sel abnormal biasanya meningkat sebanding dengan makin lamanya
waktu inkubasi. Laju perubahannya sangat tergantung pada komposisi media, umur
kultur dan juga spesies yang digunakan. Kultur kalus wortel dan tembakau
menunjukkan tingkat poliploidi yang cukup signifikan setelah beberapa bulan
pengkulturan. Perubahan ploidi ini dapat terjadi saat inisiasi kalus pada eksplan primer
atau setelah di subkultur. Butcher dan Ingram (1976) mendapatkan ploidi yang cukup
stabil pada kalus Crepis capillaris dan Helianthus annus yang telah disubkultur berkali-
kali dalam jangka waktu 2 tahun. Ketidakstabilan kromosom dari kultur kalus sampai
saat ini masih merupakan kendala untuk diaplikasikan dalam bidang genetik dan
pemuliaan tanaman.
Kalus yang disebabkan oleh induksi mikroorganisma, cacing atau insekta disebut
tomor. Tumor dibagi menjadi 3 macam yaitu:
1. Crown gall tumor yang diinduksi oleh Agrobacterium tumefaciens.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 22
dengan hasil yang telah didapat oleh Gautheret (1959), yang menurutnya terdapat
karakteristik kalus yang terbentuk dari jaringan umbi wortel yaitu kebanyakan berasal
dari proliferasi sel-sel di lapisan parenkim dan sedikit berasal dari sel-sel floem.
Pertumbuhan eksplan yang mengandung xilem menunjukkan 2 respon tergantung pada
tempat pengambilan xilem tersebut. Jika eksplan diambil bersama dengan kambium
berkas pengangkut maka pembelahan selnya terjadi dengan sangat cepat sehingga kalus
yang terbentuk banyak. Jaringan dari bagian tengah umbi akan menghasilkan kalus di
bagian tertentu saja terutama dibagian floem. Eksplan floem yang berdekatan dengan
kambium berkas pengangkut dapat menghasilkan pertumbuhan kalus yang sangat cepat
juga. Sebelum melakukan percobaan ini sebaiknya mahasiswa mengetahui betul
anatomi umbi akar wortel supaya memahami betul bagian-bagian yang mempunyai sel
aktif berproliferasi.
Stasioner
Fase perlambatan
Jumlah sel
Linier
Fase
Percepatan Eksponensial
Waktu
Gambar 3.1. Kurva pertumbuhan pada tipikal kultur kalus. Subkultur sebaiknya
dilakukan pada peralihan antara pertumbuhan linier dan fase stationer.
Bila percobaan ini akan digunakan sebagai proyek kecil bagi mahasiswa maka
dapat ditentukan perlakuan pada saat praktikum. Prosedur isolasi eksplan umbi wortel
dan penanamannya dalam suatu media diperlihatkan pada Gambar 3.2.
(c )
(a ) (b )
0 ,5 c m
( f) (e ) (d )
0 ,5 c m
(g )
Gambar 3.2. Prosedur isolasi eksplan umbi wortel dan penanamannya dalam suatu
media. (a) Umbi Wortel, (b) potongan melintang umbi wortel, (c)
sterilisasi potoingan umbi, (d) potongan umbi steril, (e) eksplan siap
ditanam, (f) eksplan dikultur di dalam media, (g) kultur yang sudah
tumbuh.
3.3. Pertanyaan-pertanyaan
1. Mengapa eksplan yang mengandung sel-sel kambium sangat baik digunakan untuk
inisiasi kalus?
2. Kalus dalam kultur lama-kelamaan akan berkurang kebutuhannya terhadap auksin
dan sitokinin eksogen untuk pertumbuhannya. Istilah apa yang digunakan untuk
menyebut fenomena ini, dan mengapa hal ini dapat terjadi? Apa yang harus
dilakukan agar pertumbuhan kalus dapat berlanjut. Jelaskan.
3. Dari kurva pertumbuhan sigmoid pada kultur kalus, pada fase mana sebaiknya
subkultur dilakukan? Mengapa demikian?
4. Mengapa kalus yang dibiarkan dalam suatu media dalam jangka waktu lama akan
berubah warnanya menjadi coklat atau nekrosis?
5. Adakah kemungkinan terjadinya perubahan genetik dari sel-sel kalus wortel ini pada
tahap pertama pengkulturan, dan bagaimana keadaanya setelah subkultur I, II dan
seterusnya?
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 27
Bab IV
PRODUKSI TANAMAN BEBAS VIRUS
4.1. Pendahuluan
Sel-sel di setiap bagian tanaman mempunyai kandungan virus yang bervariasi
banyaknya pada tanaman utuh. Bagian pucuk dan meristem mempunyai sel-sel yang
paling sedikit mengandung virus atau bahkan bebas virus. Namun tidak semua virus
seperti pada kasus ini. Peneliti White (1934) menemukan virus mosaik Aucoba dan
virus mosaik pada tembakau dapat diinfeksikan pada ujung akar yang dikulturkan
bahkan infeksi tetap terjadi pada kultur yang sudah “established”. Keadaan ini
menunjukkan bahwa perbanyakan dan mempertahankan kompleks kultur jaringan
tanaman-virus adalah memungkinkan dalam uji coba di laboratorium. Di sisi lain saat
pemotongan meristem apikal tidak semua sel dalam eksplan tersebut bebas virus namun
infeksi tidak terjadi atau hilang selama pengkulturan. Hal ini belum diketahui sebabnya
sampai sekarang. Namun beberapa kemungkinan dapat digunakan untuk menerangkan
keadaan ini yaitu:
1. Semakin kecil eksplan awal, makin besar perubahan metabolisme berbanding
dengan volume sel. Hal ini mungkin dapat untuk menerangkan mengapa kultur
bebas virus dapat dihasilkan dengan persentase tinggi sebagai hasil penggunaan
ujung meristem ukuran kecil.
2. Komponen media kultur dapat menghambat replikasi virus, misalnya asam amino
tertentu, auksin dan sitokinin.
Bukti terbaru menunjukkan protein PR 1a dan PR 1b terdapat pada sel tanaman
yang secara alami resisten terhadap virus. Protein tersebut banyak dijumpai di kultur
jaringan tanaman dalam jumlah banyak walaupun tanpa keberadaan virus di dalamnya.
Produksi dari ke dua faktor resisten tersebut ada kaitannya dengan adanya auksin dan
sitokinin dalam media tumbuh khususnya jenis 2,4-D, IAA untuk auksin dan BAP
untuk sitokinin. Zat Pengatur Tumbuh tersebut memacu pembentukkan PR 1a lebih
banyak dan sedikit PR 2b. Apapun alasannya, pemberantasan virus melalui kultur in
vitro dapat terjadi lebih cepat. Meristem carnation yang tampaknya membawa CMV
(carnation mottle virus) dapat hilang infeksinya setelah 30 hari dalam kultur.
Jaringan kalus yang terbentuk dari eksplan yang terinfeksi virus dapat juga
terinfeksi. Dengan cara yang sama, kultur kalus yang sehat dapat langsung terinfeksi
virus jika terjadi aberasi saat inokulasi. Replikasi yang terus menerus dari virus mosaik
tembakau ditemukan pada kultur kalus yang sama selama periode 10 tahun. Walaupun
keadaan ini tidak umum terjadi, karena lebih sering terjadi bahwa tingkat infeksi virus
berkurang sangat pesat seiring laju pembelaan atau perbanyakan sel-sel yang dikultur.
Infeksi virus sering hilang dengan cepat dalam kultur, atau pada kalus terdapat jaringan
mosaik yang sehat dan ada sel-sel yang bervirus dan sel-sel yang sehat kemungkinan
peka terhadap infeksi. Bagaimana keadaan yang ada pada kultur menjadi tidak pasti,
kamungkinannya adalah:
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 28
1. Pertumbuhan sel lebih cepat di dalam kultur dibandingkan dengan replikasi virus.
Hal ini disebabkan sel yang dikultur mempunyai laju biosintesis asam amino dan
protein yang sangat rendah sehingga pembentukan partikel virus juga lambat.
2. Replikasi virus dihambat oleh sifat meristematik dari jaringan kalus. Virus sangat
sering tidak ada di meristem dan jaringan muda yang aktif tumbuh sehingga kultur
jaringan yang aktif tumbuh lebih resisten terhadap infeksi virus dan multiplikasinya
ari pada sel-sel kultur yang sudah lama. Biosintesis protein dan asam nukleat yang
dibutuhkan untuk pembelahan sel sangat kompetitif dan diperlukan juga untuk
pembentukan virus.
3. Hubungan sitoplasma antar sel (plasmodesmata) tidak selamanya ada dalam sel-sel
kalus., walaupun keberadaannya sering terjadi. Pada kasus transfer virus melalui
plasmodesmata, sel yang tidak ada hubungan plasmodesmata dapat terlindungi dari
serangan virus.
4. Sintesis faktor resisten pada beberapa sel di atas tingkat rata-rata, hal ini tergantung
pada stadium diferensiasi sitoplasmanya.
4.2. Inisiasi Tunas Adventif Langsung dan Tidak Langsung
Hasil kultur kalus mudah kehilangan infeksi virus atau menjadi tersusun dari sel-
sel yang sehat tetapi terdapat juga sel-sel terinfeksi. Namun tanaman bebas virus sudah
banyak dihasilkan demikian juga tanaman hasil kultur yang secara genetik berbeda
dengan tanaman induknya. Hal ini mitigated berlawanan dengan kultur kalus untuk
tujuan eradikasi virus. Virus biasanya tidak ada di jaringan nuselus dan jaringan
didekatnya karena tidak dihubungkan oleh berkas pengangkut sehingga virus tidak
ditularkan lewat biji. Tampaknya cukup tinggi kemungkinannya regenerasi planlet
berasal dari kalus nuselus melalui tunas adventif atau embriosomatik. Bibit jeruk dan
mangga yang dihasilkan tanpa pembuahan (apomiksis) dari nuselus secara in vivo
kebanyakan tidak terinfeksi virus. Demikian juga Esan (1973) mendapatkan bibit jeruk
tanpa infeksi virus dan bibit dari embriosomatik bebas virus dari hasil regenerasi
langsung jaringan nuselus secara in vitro. Pada jeruk, embriogenesis somatik tidak
dipraktekkan untuk menghasilkan tanaman klonal bebas virus, karena tanaman bertahan
tetap juvenil dan dalam keadaan tidak berbuah beberapa tahun. Tujuan serupa juga
dilakukan pada tanaman anggur.
4.3. Meristem Ujung Atau Sambung Ujung Tunas
Penelitian yang dilakukan Holmes (1955) mendapatkan tanaman bebas virus pada
tanaman dahlia dengan stek akar ujung akar di media tanah. Kultur ujung tunas yang
menghasilkan tunas bebas virus telah banyak dilaporkan oleh peneliti kultur jaringan,
namun yang disesalkan mereka tidak mampu mengakarkan tunas tersebut untuk
mendapatkan tanaman utuh atau planlet. Dengan begitu usaha untuk menyambung tunas
dengan bibit bebas virus. Sambung kultur ujung meristem banyak tidak berhasil
dilakukan. Biji bebas virus dikecambahkan secara steril, dan bibit yang tumbuh
dipelihara in vitro dan kemudian dijadikan sumber akar untuk sambung. Scion (mata
tunas sambung) dapat berupa ujung meristem yang dipotong secara aseptik langsung
dari tanaman induk yang terinfeksi virus atau dari sepotong kecil tunas yang dihasilkan
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 29
dari kultur in vitro meristem ujung. Cara yang terakhir tidak banyak digunakan sekarang
ini karena tunas harus diinduksi untuk membentuk akar yang keberhasilannya sangat
kecil.
Sambung mikro banyak diaplikasikan akhir-akhir ini dimana kultur meristem
belum memungkinkan untuk dilakukan. Misalnya pada tanaman berkayu. Namun
demikian transfer langsung ujung tunas sangat sulit dilakukan. Kemungkinan tumbuh
dan kultur bertahan umumnya antara 5 sampai 40%. Keadaan ini dapat ditingkatkan
dengan menggunakan potongan tunas yang lebih besar akan tetapi kemungkinan
mendapatkan tanaman bebas virus menjadi lebih kecil. Sambung meristem ujung sudah
berhasil dilakukan oleh Murashige sejak 1972 dengan bahan tanaman jeruk untuk
menghasilkan tanaman bebas virus. Tanaman bebas infeksi mikoplasma dihasilkan lebih
dari 50% tanaman hasil regenerasi dan juga bebas dari viroid exocortis. Novarro
berhasil mengembangkan beberapa metode untuk menyisipkan ujung tunas dan
menggunakan Poncirus trifoliata bibit sebagai sumber akar. Hal ini memungkinkan
untuk mendeteksi terbentuknya tunas-tunas adventif yang tidak berasal dari scion. Klon
bebas virus yang terdapat pada tanaman jeruk manis, mandarin dan lemon sudah
dihasilkan dengan menggunakan teknik ini oleh Nevarro dan Juarez pada tahun 1972.
Tidak seperti pada jeruk, tanaman hasil dari embriosomatik yang berasal dari sambung
ujung tunas tidak mempunyai kemampuan muda kembali. Metode sambung ujung tunas
juga digunakan dalam mendapatkan tanaman bebas virus pada apel.
4.4. Kultur Meristem Ujung
Para peneliti sudah berhasil membuat tanaman bebas virus pada dahlia dengan
kultur tunas apikal dilanjutkan dengan sambung mikro. Morel dan Martin (1955)
melakukan percobaan dengan 6 varietas kentang sampai dihasilkan tunas berakar yang
langsung dapat ditumbuhkan pada tanaman induk dimana virus berasal. Dengan
menggunakan ukuran ujung meristem yang kecil makin besar kemungkinan
mendapatkan tanaman bebas virus. Untuk mendapatkan tanaman yang diharapkan
makin meningkat seiring dengan perbaikan metode kultur jaringan dan media yang
dapat digunakan. Kultur dengan ujung tunas sangat kecil sekarang ini metode yang
banyak dipakai untuk memperoleh bahan tanaman bebas virus.
Titik tumbuh pada tunas berupa kubah yang terdiri dari sel-sel yang mampu dan
aktif membelah disebut meristem apikal. Di bawah meristem terdapat jaringan yang
dengan cepat bertambah besar yang selanjutnya berkembang menjadi inisial daun.
Banyak orang telah berhasil mengisolasi daerah kubah tetapi cara ini sangatlah sulit dan
keberhasilannya sangatlah kecil. Pertumbuhanan awal meristem biasanya sangat lambat
dan hanya sebagian kecil eksplan yang akan menjadi tanaman. Pada prakteknya
sepotong kecil ujung tunas atau tunas lateral digunakan sebagai eksplan karena
mengandung kubah meristem tunas apikal plus satu, dua atau tiga calon daun yang
rudimenter. Eksplan sebesar ini biasanya mati setelah dikulturkan, tetapi bila kultur
berhasil maka pertumbuhannya sangat lambat. Tingkat keberhasilan hidup kultur
bertambah besar bila eksplan diambil dari titik tumbuh tanaman dari pada yang diambil
dari tunas lateral. Hal ini disebabkan karena meristem apikal secara alami terdiri dari
sel-sel yang aktif tumbuh sedangkan meristem tunas lateral umumnya dalam keadaan
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 30
dorman. Ukuran eksplan yang umum digunakan dalam kultur meristem adalah 0,2
sampai 1,0 mm dan besar ukuran ini sangat tergantung pada spesies tanaman dan
kemampuan orang yang mengerjakan kultur ini. Kesulitan yang dulu sering terjadi
dalam mengiduksi perakaran tunas sekarang sudah dapat di atas dengan zat pengatur
tumbuh.
Kultur awal dengan ujung tunas kecil sebagai bahan tanaman didalamnya yang
ditumbuhkan menjadi tanaman bebas virus disebut dengan kultur meristem, literatur
lain menyebut dengan berbagai istilah misalnya kultur meristem ujung. Istilah terakhir
ini dikemukakan oleh Hollings (1965) untuk membedakan antara kultur kubah meristem
dengan kultur ujung tunas yang diambil dari tanaman yang telah diperlakukan dengan
panas. Di samping itu ada kultur ujung tunas, yang menggunakan eksplan yang lebih
besar berupa tunas apikal. Pada kultur mikropropagasi anggrek, istilah meristemming
atau merikloning sangat umum digunakan. Hal yang membingungkan sering terjadi
pada perbanyakan dengan kultur jaringan secara komersial terutama dari bahan yang
dikultur apakah dimulai dengan menggunakan eksplan bahan tanaman segar atau dari
ujung tunas untuk bahan awal pembuatan kultur bebas virus. Tunas yang dihasilkan
kemudian dites dengan virus indeksing dan tanamannya dijadikan bahan untuk
perbanyakan dengan kultur ujung tunas yang diinduksi membentuk tunas-tunas adventif
baru. Sekali sudah terbentuk kultur bebas virus, siklus baru untuk perbanyakan terbaik
dimulai dengan sepotong tunas besar karena adaptasi dan pertumbuhan yang lebih cepat
dalam kultur dari pada eksplan meristem yang kecil. Dengan alasan yang sama bila
tidak terlalu mengharapkan tanaman bebas virus terbentuk maka kultur untuk
perbanyakan mikro disarankan menggunakan eksplan ujung tunas.
Keberadaan virus pada tanaman yang hidup bebas pada ujung tunas akan
berkurang pada musim panas. Hal ini disebabkan karena temperatur yang tinggi tidak
cocok untuk replikasi virus sehingga ujung tunas yang aktif tumbuh tersebut lebih bebas
dari virus dari pada tunas dorman.
4.5. Potongan Ujung Tunas
Jika ujung tunas panjangnya kurang lebih 1 mm pada anggur dipotong-potong dan
dikulturkan maka tunas adventif terbentuk dari potongan primordia daun dan tidak dari
kubah meristem. Variasi yang menarik ini digunakan untuk mengggantikan kultur
meristem sebagar kontrol terhadap virus. Tanaman yang beregenerasi dari tunas
adventif dari jaringan ujung tunas diketahui bebas dari infeksi virus.
4.6. Eksplan Bebas Virus
Daun dari tanaman yang terifeksi virus sering terdapat bagian berwarna hijau
gelap yang tidak dipenetrasi oleh virus. Beberapa peneliti menggunakan bagian ini
untuk dikulturkan dan yang pernah dicobakan adalah dari tanaman genotip Brassica,
Petunia dan tembakau yang awalnya infeksi masing-masing dengan virus Turnip
Yellow Mosaic Virus (TYMV), TMV dan Tobacco Etch Virus. Separo dari tembakau,
16% dari petunia dan 20% dari Brassica hasil regenerasi adalah bebas virus. Mori, dkk
mendapatkan koloni kalus bebas virus dari protoplas yang diisolasi dari bagian sangat
hijau daun tembakau yang diinfeksi virus TMV. Sebagian besar protoplas yang diambil
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 31
dari bagian kuning daun mengandung virus dan beberapa regeneran abnormal dan tidak
membentuk kalus. Hanya tanaman bebas virus yang dihasilkan dari kalus tidak
terinfeksi yang berasal dari bagian daun berwarna hijau gelap.
4.7. Terapi Panas
Virus sistemik dapat di non aktifkan dan pada temperatur yang tidak
menyebabkan letal pada tanaman tetapi tetap di atas temperatur optimal untuk
pertumbuhan, Bagian tumbuhan seperti potongan batang pada tebu, umbi lapis atau pun
umbi batang kentang contohnya sering kali diperlakukan dengan air panas atau udara
panas pada temperatur 50-52 oC selama 10-30 menit. Kekurangannya teknik ini tidak
dapat menghilangkan virus dari biji dorman tetapi lebih efektif diterapkan pada jaringan
yang aktif tumbuh.. Jika tanaman utuh diperlakukan dengan panas sebaiknya
menggunakan temperatur yang lebih rendah yaitu 32 oC sampai 40 oC pada interval
waktu 4-30 minggu.tergantung pada spesiesnya. Atau perlakuan harian yang
menggunakan temperatur 36 oC siang hari dan 33 oC malam hari. Pada spesies yang
tidak tahan terhadap panas misalnya hydrangeas penggunaan temperatur normal
diterapkan untuk mengurangi kerusakan misal dengan perlakuan 4 jam pada 40 oC dan
20 jam pada 16-20 oC selama 6 minggu. Perlakuan lain dengan 40 oC dan 22 oC masing-
masing siang hari 8 jam dan 22 oC malam hari selama 8 jam. Untuk aplikasi terhadap
temperatur tinggi sebaiknya digunakan bahan tanaman yang mempunyai cadangan
karbohidrat cukup. Perlakuan temperatur tinggi hanya efektif menghilangkan 50% virus
yang menginfeksi bagian vegetatif tanaman, sedangkan virus bentuk batang dan benang
cenderung resisten terhadap panas. Dalam prakteknya, lebih banyak potongan batang
atau scion bebas virus yang diberi perlakuan panas dari pada tanaman utuh untuk
dibebaskan dari infeksi virus.
Perlakuan panas menghambat replikasi virus dan secara bersamaan menyebabkan
degradasi virus walaupun proses dan mekanismenya belum diketahui dengan jelas.
Perlakuan panas hiharapkan menjadi alternatif untuk menginaktivasi virus dan cara ini
sering dikombinasikan dengan kultur meristem ujung untuk mendapatkan tanaman
bebas virus. Cara yang aman adalah dengan menumbuhkan tanaman yang akan dikultur
pada temperatur makin meningkat sebelum diambil tunas apikalnya sebagai sumber
eksplan meristem. Eksplan kecil dari tanaman yang diperlakukan dengan panas
kemungkinan tidak tumbuh baik dalam kultur, tetapi virus akan sangat berkurang
jumlahnya di bagian apeks. Kombinasi antara tanaman yang diperlakukan panas dan
kultur meristem adalah sangat efektif untuk menghilangkan virus dari masing-masing
perlakuan, cara ini sudah dibuktikan pada kultur kentang terhadap virus Y.
Pada alternatif lain digunakan potongan meristem yang ditumbuhkan pada
temperatur hangat sebagai pengganti perlakuan panas pada tanaman induk. Cara ini
dapat mengurangi eksplan yang hidup,sehingga tidak umum digunakan. Misalnya
tembakau bebas virus mosaik ketimun dan virus mosaik alfalfa dengan mengkultur 45
hari pada temperatur 32 oC bukan 22 oC (dimana infeksi tidak hilang), dan 9 hari pada
temperatur 40 oC. Akan tetapi infeksi virus kembali terjadi kalau jaringan dikembalikan
ke temperatur normal, bahkan semakin parah. Replikasi partikel virus yang cepat, yang
mungkin disebabkan virus yang kehilangan faktor resistensi dari sel tanaman selama
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 32
perlakuan temperatur tinggi. Pada strawberi, kultur meristem apikal pada 25-28 oC
dilanjutkan pada temperatur 38 oC selama 15 hari untuk mendapatkan tanaman bebas
virus.
4.8. Penggunakan Senyawa Anti Virus
Eradikasi virus akan sangat berharga bila replikasi virus sangat cepat dan
penyebarannya luas. Senyawa anti virus yang dapat diterapkan adalah 2-thiourasil yang
dapat mencegah infeksi virus pada tanaman utuh dan menghambat menyebarannya.
Senyawa ini dapat menghambat sintesis RNA virus atau senyawa tersebut bergabung
dengan RNA virus yang menyebabkan RNA non aktif. Bila 2-thiourasil ditambahkan ke
dalam media daptat menghilangkan virus Y kentang pada kultur tembakau. Senyawa
lain yang dapat digunakan adalah Malachite hijau (diaminotrifenilmetan) konsentrasi
rendah, ribavirin (virasol) dan (1 β-D ribofuranosil-1,2,4-triazol-3 karboksamid) yang
rata-rata dapat menghambat replikasi virus. Contoh penggunaan Ribavirin 100 mg/L
dalam media regenerasi dan Vidarabin sebanyak 1 mg/L karena vidarabin ini
mempunyai struktur dan aktivitas seperti sitokinin.
4.9. Mengindeks Virus Dalam Kultur In Vitro
Tanaman hasil kultur meristem apikal dapat dikatakan bebas virus bila sudah
menunjukkan hasil negatif terhadap uji bebas virus. Beberapa teknik yang dapat
digunakan untuk menguji keberadaan virud di dalam kultur in vitro diantaranya adalah:
(1) uji dengan tanaman indikator, (2) mengamati keberadaan virus dengan mikroskop
elektron, (3) uji serologi, dan (4) analisis asam nukleat.
4.9.1. Uji Dengan Tanaman Indikator
Pengujian dilakukan dengan cara menginokulasi tanaman hasil kultur dengan lesi
jaringan bervirus. Pengujian dapat dilakukan pada tanaman tembakau hasil kultur
meristem karena spesies ini bereaksi dengan penyakit virus pada kisaran yang luas
sehingga dapat menunjukkan sensitivitas maksimum bila diinokulasi, tanaman yang
diuji harus cepat ditumbuhkan. Tanaman dibiarkan di tempat gelap 12-24 jam. Inokulasi
dengan cara mengusap daun tanaman yang akan diuji dengan bubuk abrasif.
Keberadaan virus ditunjukkan dengan perkembangan lesi pada tanaman indikator dalam
waktu 4-7 hari tetapi waktunya bisa lebih lama bila kultur meristem belum
menghasilkan bebas virus. Tanaman indikator harus dapat dipertahankan dalam waktu
cukup lama. Sambil menunggu perkembangan virus, tanaman indikator harus
dipertahankan dalam keadaan terisolasi.sehingga tempat dan biaya harus
dipertimbangkan betul.
4.9.2. Mengamati Keberadaan Virus Dengan Mikroskop Elektron
Pengujian cairan bahan tanaman dengan mikroskop eletron, dapat dilakukan untuk
membuktikan adanya partikel virus di dalam tanaman. Virus berbentuk batang atau
benang lebih mudah dilihat dari pada virus yang berbentuk spiral. Pengamatan
keberadaan virus menggunakan mikroskop eletron akan lebih mudah jika konsentrasi
virus cukup tinggi. Pengujian infeksi virus ini akan lebih akurat jika pengamatan
mikroskop elektron dikombinasi dengan uji serologi.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 33
sedangkan dengan tanaman indikator perlu waktu 1-3 minggu.Cara sandwich ini sangat
spesifik pada strain virus terhadap antiserum yang diberikan. Mungkin strain yang
berbeda dari virus yang sama hanya terikat lemah. Keuntungan dari cara ini dapat
membedakan beberapa strain virus untuk tujuan penelitian dan spesifikasi yang tinggi
dapat menghindari adanya kesalahan identifikasi.
Elisa tidak langsung melalui tahapan berikut: (1) Piringan dilapisi dengan antibodi
virus spesifik dari hewan kambing. Tahap ini penting karena penyerapan langsung
partikel virus dalam piring mikrotiter dihambat oleh cairan tanaman. (2) Persiapan virus
(v) ditambahkan dan diimobilisasi dalam antibodi A. (3) Antibodi kelinci ditambahkan
ke dalam sumur dan menempel pada partikel virus. (4) Antiglobulin hewan A melawan
protein globulin hewan B yang disebut kambing anti kelinci yang dibuat dengan
menyuntikkan globulin kelinci ke kambing yang diikat enzim. Ketika ditambahkan ke
sumur bahan tersebut akan terikat dengan globulin antiviral kelinci dan dengan begitu
menandai keberadaan konjugat virus seperti ditunjukkan dalam reaksi enzimatik. Cara
ini sesensitif cara sandwich untuk mendeteksi virus bahkan akhir-akhir ini sudah dapat
digunakan untuk beberapa strain virus. Namun keuntungan dari keduanya adalah hanya
untuk 1 antiserum virus spesifik dan 1 individu konjugat virus-imunoglobulin enzim
yang biayanya murah untuk persiapan dan uji virus dan penyediaan antiserum.
Antibodi hewan dibuat untuk melawan protein asing. Namun antisera dapat
digunakan untuk melawan virus dalam uji serologi, tetapi tidak bereaksi dengan viroid
yang hanya mempunyai RNA tanpa protein. Keberadaan viroid dapat diuji dengan
mengekstrak asan nukleat daun dan dipisahkan secara elektroporesis dan pewarnaan
untuk menghasilkan pita-pita. Teknik yang lebih sensitif pernah digunakan untuk uji
viroid penyebab penyakit kerdil pada krisan dan viroid penyakit sunbloth pada apokat.
Dengan menggunakan label 32P pada DNA viroid dengan enzim transkripsi revertase,
32P c DNA dapar untuk mengukur konsentrasi.RNA viroid yang dimurnikan dari asam
nukleat dari ekstrak daun apokat.
4.10. Cara Kerja Kultur Meristem Mendapatkan Tanaman Bebas Virus
Berikut ini akan dijelaskan pembuatan kultur meristem dengan bahan tanaman
bibit hasil perkecambahan, anakan atau tunas aksiler pada tanaman yang diperbanyak
dengan vegetatif. Tahapan pembuatan tanaman bebas virus diperlihatkan pada Gambar
4.1.
1. Penyediaan bahan tanaman berupa biji anggrek, tomat, kopi, kedelai, bahan tanaman
yang.berasal dari biji tersebut harus dikecambahkan dahulu dengan steril dengan cara
berikut ini.
2. Biji disterilisasi permukaan untuk peniadakan cendawan dan bakteri. Biji dicuci dan
direndam air dingin beberapa menit untuk membedakan yang bernas dan tidak. Biji
yang mengapung dibuang. Biji kemudian direndam dalam 70% etanol selama 1
menit dan berturut-turut direndam dalam 1,2% Natrium hypochlorit, 20 menit dan
dicuci dengan akuades steril 3 kali untuk menghilangkan sisa klorin. Biji
dikecambahkan secara aseptik dalam botol berisi kapas basah steril yang sudah
dibuat sebelumnya. Kecambah ditunggu sampai 5 hari dan meristem diisolasi
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 35
dibawah mikroskop binokular atau stereo dengan ukuran eksplan 0,3-0,5 mm secara
aseptik.
3. Isolasi meristem dilakukan dengan mikroskop dengan perbesaran 10 atau 20 kali di
dalam kotak laminar. Daun-daun yang menyelubungi kubah meristem satu per satu
diiris dan disingkirkan. Meristem berbentuk kubah diiris dengan pisau skalpel bentuk
V dari ujung ke pangkan berukuran 0,3-0,5 mm yang menyertakan bagian
prokambium. Eksplan diinokulasikan dalam media padat atau cair (dijembatan kertas
saring) dalam tabung reaksi (10 x 1,2 cm) dan ditutup untuk diinkubasikan dalam
temperatur dan fotoperiodisitas yang sudah baku.
Meristem pada berbagai jenis tanaman telah berhasil dikulturkan dalam media MS
dan B5. yang dipadatkan dengan agar 0,6-0,8%. Pembentukan kalus, tunas dan atau
akar tergantung pada interaksi nutrien, zat pengatur tumbuh dan faktor lingkungan yang
ada. Bahan tanaman yang diperbanyak dengan potongan batang (stek batang), terlebih
dahulu ditunaskan. Ujung tunas atau tunas aksial umur 5-7 hari dapat digunakan sebagai
sumber meristem. Ujung batang sepanjang 1-2 cm disterilkan dengan 70% etanol, 1
menit dan dilanjutkan dengan pembilasan 3 kali dengan akuades steril. Perendaman
dalam larutan pemutih tidak diperlukan kalau bahan tanaman ditumbuhkan ditempat
semi steril dan kubah meristem dilindungi daun-daun atau sisik-sisik. Cara penanaman
seperti A namaun media yang baik untuk bahan tanaman ubi kayu di dalam media perlu
ditambahkan zat tumbuh Benzyladenin (BA), Naphthaleneacetic Acid (NAA), dan
Gibberelic Acid (GA) dengan konsentrasi berturut-turut 0,5, 1,0 dan 0,1 µM. Kultur
diinkubasi dalam ruangan 26 oC, selama 16 jam penyinaran, dan intensitas 4000 lux,
serta kelembaban relatif 70%.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 36
6. Tipe wadah yang digunakan untuk mengkultur: wadah kecil dengan ukuran
10x1,2 cm paling cocok untuk kultur meristem ubi kayu dan gladiol dari pada di
wadah 120 mL dan isi 30 mL. Demikian juga dengan bahan pembuatannya tentunya
pyrex yang menjadi standar ukurannya. Bagan alir produksi tanaman bebas virus
diperlihatkan pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2. Kultur meristem, pertumbuhan dan perkembangan planlet sampai planlet
ditanam di dalam pot.
Bab V
PENYIMPANAN PLASMA NUTFAH
5.1. Pendahuluan
Pada kultur modern kemungkinan untuk mendapatkan bahan tanaman yang terus
menerus tersedia perlu difikirkan, hal tentunya berkaitan dengan cara penyimpanan
yang efektif dan efisien. Cara yang paling sering digunakan dan cukup akurat adalah
kriopreservasi. Pada temperature rendah reaksi biokimia sehingga tidak ada energi
untuk pergerakan molekul jadi pertumbuhan juga berhenti. Tanaman dapat diperlakukan
seperti ini tanpa kehilangan viabilitasnya. Secara praktis harus disediakan kondisi untuk
menghindari kerusakan jaringan. Pembekuan dan diikuti dengan pencairan kembali dari
sepotong bagian tanaman seperti agregat kalus ataunseluruh meristem tanaman.
Jaringan dengan sel-sel kecil, kaya sitoplasma dengan kandungan air rendah
seperti sel-sel meristem yang sedang aktif membelah, mempunyai kemampuan yang
lebih besar untuk hidup dibandingkan dengan sel-sel yang besar ukurannya, berdinding
tebal, dan banyak vakuola yang rentan terhadap kerusakan es. Cara ini sudah berhasil
dilakukan pada wortel, sycamore, karnasi dan kentang andean. Sel-sel yang kaya
sitoplasma banyak dijumpai pada kultur suspensi yang didapat di fase lag atau selama
periode pertumbuhan eksponensial. Sampel dari kedua fase ini umumnya menunjukkan
penyembuhan yang terbaik setelah disimpan dengan pembekuan. Penggunaan
kriopreservasi untuk penyimpanan plasma nutfah masih dalam tahapan penelitian.
Walaupun diketahui cara ini bukan merupakan cara penyimpanan utama yang cukup
terpercaya. Namun berbagai kemajuan dicapai pada penyimpanan bahan tanaman
komersial yang sangat penting untuk koleksi dunia.
5.2. Kultur Suspensi
Sel-sel tanaman yang aktif tumbuh dan membelah mempunyai daya hidup yang
besar dalam keadaan sangat dingin dari pada jaringan lain. Suspensi sel sel muda pada
fase pertumbuhan eksponensial dapat dijadikan bahan awal yang terbaik. Kerapatan
mencukupi, makin tinggi kerapatannya makin baik hasil penyimpanannya. Susahya,
regenerasi tanaman utuh dari kultur suspensi sel yang telah dibekukan masih sangat
terbatas pada beberapa spesies. Jadi tidak jelas penggunaannya jika sel yang dibekukan
tidak mampu untuk menghasilkan tanaman utuh yang merupakan galur murni (true to
type). Kesulitan regerasi mungkin disebabkan suspensi sel berada pada media dengan
tingkat konsentrasi yang tinggi pada saat dibekukan dalam penyimpanan. Maddox, dkk.,
(1983) mengembangkan cara sederhana dan dengan alat yang sederhana untuk
membekukan suspensi sel pada tembakau. Suspensi sel sebanyak 60% dapat
ditumbuhkan dalam media Coboche (1980) yaitu media yang dibuat untuk suspensi sel
kerapatan rendah dengan auksin konsentrasi rendah. Tembakau (Nicotiana
plumbaginifolia) kultur haploid berhasil disimpan dalam nitrogen cair dapat
ditumbuhkan kembali setelah 1 tahun penyimpanan dan ploidinya dapat dipertahankan.
Suspensi sel yang pertumbuhannya cepat dari tanaman kedelai, dan wortel
dipraperlakuankan dengan plasmolisis sebagian dengan 1 M sorbitol di media dan
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 39
diinduksi oleh akumulasi mutasi akibat ionisasi radiasi. Variabilitas ini terjadi kalau
penyimpanan mencapai puluhan tahun. Jika DMSO digunakan sebagai krioprotektan,
perubahan ini dapat dikurangi selama senyawa tersebut mempunyai sifat sebagai
radiprotektan. Penyimpanan sangat beku pada wadah gelas dapat mengurang jaringan
terhadap pemaparan pada radiasi pengion, tetapi tabung gelas mudah pecah dalam
proses pencairan karena adanya penetrasi nitrogen cair.
5.8. Cara Kerja Kriopreservasi
Kultur Meristem dengan langkah pelaksanaan sebagai berikut: (a) Meristem
diisolasi secara aseptik, (b) Meristem diberi perlakuan dingin dalam kultur in vitro bila
perlu, (c) Meristem diprakulturkan dalam media ditambah krioprotektan pada jangka
waktu tertentu, (d) Spesimen dimasukkan dalam krioprotektan sebelum dibekukan, (e)
Pendinginan dan pembekuan spesimen diatur, (f) Spesimen disimpan dalam nitrogen
cair, (g) Meristem beku harus dicairkan dengan cepat, (h) Krioprotektan dibuang, (i)
Meristem dikulturkan kembali dan diinduksi untuk mampu beregenerasi. Ada dua cara
pembekuan, baik dengan teknik pendinginan cepat maupun dengan teknik pembekuan
lambat yang pernah dilakukan di kultur meristem.
Teknik pembekuan dan pendinginan cepat dapat dilakukan dengan mengikuti
prosedur berikut ini:
1. Pembekuan dengan pendinginan cepat pada tunas apikal karnation (Dianthus
caryophyllus).
2. Tunas apikal diisolasi dan diinkubasi pada temperatur 26 oC, selama 4 hari di
tempat gelap. Media yang dipakai MS dengan ditambah 0,1 mg/L dan 0,5 mg/L
kinetin.
3. Masukkan tunas apikal ke dalam tabung 5 mL berisi 0,5 mL larutan pembekuan
yang mengandung 5% DMSO dalam media MS cair.
4. Masukkan nitrogen cair dan langsung masukkan tabung tersebut ke dalam wadah
berisi nitrogen cair.
5. Pencairan dilakukan dengan memasukkan tabung ke dalam penangas air
bertemperatur 37 oC.
6. Lakukan pengkulturan kembali dan pengamatan meliputi keberhasilan
pembentukan kalus, pertumbuhan dan pembentukan klorofil, dan regenerasi tunas.
Yang pernah dilakukan keberhasilan kultur berdasarkan 3 kriteria tersebut sebesar
33%.
Teknik pembekuan cepat juga sudah digunakan pada bagian apikal kentang dan
strawberi. Viabilitas sel-sel meristem dapat dipertahankan karena pembentukan kristal
es intraseluler dapat dicegah. Selama pendinginan cepat masa temperatur kritis dapat
dilewati. Perubahan fisikokimia selama pembekuan yang menyebabkan kelukaan beku
seperti diilustrasikan pada Gambar 5.1.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 43
Gambar 5.1. Perubahan fisiko kimia selama pembekuan yang menyebabkan kelukaan
beku.
5. Setelah 1 jam penyimpanan, 1 ampul dikeluarkan dari nitrogen cair, dan cairkan
cepat dalam waktu 90 detik dalam penangas air 37 oC tanpa penggoyangan. Yang
lainnya disimpan di penangas es dan 1 diuji viabilitasnya.
6. Pindahkan meristem bersama larutan pembekuan ke dalam dalam tabung 10 x 1,2
cm tabung sentifusi dan tambahkan 6 kali volume larutan media B5 ditambahkan
pelan-pelan selama 30 menit dengan pengoyangan secara periodik.
7. Kulturkan meristem dalam 2,5 mL media B5 padat dan diinkubasikan Prosedur
dilanjutkan untuk penyimpanan yang lebih lama.
Tingkat regenerasi kultur ini sudah dibuktikan 100%. Prakultur meristem dengan
menggunakan DMSO 5% dan pembekuan dengan laju penurunan temperatur 0,6 oC
menghasilkan tingkat hidup kultur 73% walaupun sudah dalam penyimpanan beku 26
hari atau lebih. Tingkat kematangan regeneran mencapai 60%. Laju pendinginan lebih
besar atau di bawah 0,6 oC menghasilkan menurunnya ketahanan meristem. Pembekuan
cepat menyebabkan letal pada meristem kapri, pada meristem kapri penggunaan
krioprotektan gliserol dan etilen glikol sangat tidak efektif.
5.10. Penyimpanan Kultur Suspensi
Kultur yang sudah diperoleh perlu untuk disimpan yang akan diperlukan pada
percobaan berikutnya, diantaranya adalah melalui cara penyimpanan kultur suspensi,
dan penyimpanan beku protoplas. Masing-masing cara penyimpanan ini dijelaskan pada
diskusi berikut ini.
5.10.1. Cara Kerja Untuk Penyimpanan Kultur Suspensi
Dalam hal menyimpan kultur maka berikut ini diberikan cara kerja untuk
penyimpanan kultur suspensi dengan cara:
1. Sediakan kutur susupensi sel yang sedang aktif membelah dan masukkan dalam es
supaya sel-selnya mengendap.
2. Tuangkan media kultur atau sentrifugasi 100 g selama 3 menit dan pipetkan buang
supernatan.
3. Ambil sebanyak 1 mL sampel dan masukkan dalam ampul kriogenik.
4. Tambahkan krioprotektan sebanyak 1 mL dan biarkan merata 30 menit.
5. Tutup ampul, dandinginkan dengan laju pendinginan 1-2 oC sampai -80 atau -100 oC
dan dilanjutkan simpan dalam nitrogen cair.
6. Cairkan dan lakukan pencucian seperti cara di atas.
7. Kultur sel dalam media yang sesuai dengan penggoyangan 120 rpm dan kepadatan
sel 105 sampai 106 sel/mL.
8. Lakukan uji viabilitas yang akan dijelaskan kemudian.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 45
tutuplah dengan gelas penutup diamkan 15-20 menit kemudian diamati dengan
mikroskop berlampu UV. Sel yang berpendar identik dengan sel yang hidup.
Persentase sel yang hidup dapat dihitung dengan rumus rataan jumlah sel berpendar
pebidang bidang pandang dibagi rataan jumlah total sel perbidang pandang.
2. Cara trifenil tetrazolium klorida (TTC). Dengan cara ini, sel hidup dapat mereduksi
TTC karena aktivitas mitokondrianya menjadi formazan senyawa merah yang tidak
larut dalam air. Besarnya reaksi reduksi dapat diukur secara kuantitatif dengan
melarukan formazan dengan alkohol etanol, dan supernatannya dikuantitatif dengan
spektrofotometer. Cara kerja selengkapnya dilakukan dalam 7 langkah, yaitu:
a. Siapkan 0,6% TTC dalam 0,5 M buffer fosfat (8,9 g/l Na2HPO4 dan 6,8 g/l
KH2PO4), (b) Inkubasi 100 mg sel dalam 3 mL larutan TTC 15 oC salama 15 jam.
b. Buang larutan TTC dengan pipet Pasteur dan cuci sel-sel dengan DDW.
c. Sentrifusi sel –sel dan ekstrak dengan 7 mL etanol 95 % dalam penangas air 80 oC
selama 5 menit.
d. Dinginkan dan tambahkan etanol 95% sampai volume 10 mL.
e. Catat nilai absorban larutan merah jambu dengan spektofotometer pada panjang
gelombang 530 nm.
f. Hitunglah viabilitas sel-sel yang diamati dengan membandingkan nilai
absorbannya dengan nilai absorban kontrol.
Beberapa indikator / parameter yang perlu diketahui yang lainnya: indeks mitosis,
jumlah sel, volume kultur sel, berat basah dan kering, plasmolisis dan deplasmolisis,
efisiensi pencawanan, kebocoran elektrolit dapat juga digunakan untuk membandingkan
dengan kontrol yang tidak dibekukan.
5.11.3. Protoplas
Pewarnaan fluoresin diasetat (FDA) dapat digunakan untuk menguji plasmolisis
dan deplasmolisis.Mazur dan Hartman menggunakan triptan pewarna biru untuk uji
viabilitas protoplas beku-cair Protoplas hidup tidak berwarna dan yang mati berwarna
biru.
5.12. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Viabilitas Sel Beku
Faktor-faktor yang menpengaruhi keberhasilan kriopreservasi meristem dan kultur
sel adalah: (1) Keadaan alami,tipe dan status fisiologis sel sebelum pembekuan, (2) Tipe
krioprotektan, (3) Laju pendinginan dan cara pembekuan, (4) Temperatur akhir
pembekuan sebelum penyimpanan dalam nitrogen cair (5) Temperatur penyimpanan,
dan (6) Temperatur pencairan. Tipe dan keadaan fisiologis sel sebelum pembekuan.
Meristem dan sel stadium eksponensial yang kaya sitoplasma dan yang aktif membelah
cocok untuk disimpanawetkan dengan kriopreservasi lebih baik hasilnya dari pada fase
lag akhir atau sel dengan fakuola besar. Meristem yang berasal dari tanaman toleran
terhadap dingin lebih berhasil disimpan beku dari pada meristem tanaman tropika.
Banyaknya air dalam sel berperan penting untuk keberhasilan kriopreservasi,sel yang
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 47
agak layu lebih baik dibanding sel sukulen dan sel turgor penuh. Pencegahan
terbentuknya es intraseluler adalah hal yang penting.
Prakultur meristem dalam media dengan DMSO 5%, selama 48 jam dilanjutkan
dengan pendinginan dengan laju kurang dari 1 oC/menit sampai -40 oC menghasilkan
kultur hidup optimum untuk kapri dan strawberi. Meski pembekuan cepat dengan
menambahkan nitrogen cair langsung berhasil juga pada karnation, apikal batang
menjalar strawberi dan tunas apikal kentang. Namun cara ini hanya memberikan
keberhasikan revival meristem pucuk strawberi sebesar 5-6%. Tipe krioprotektan yang
dapat dipilih adalah DMSO masuk ke dalam sel lebih cepat daripada gliserol
konsentrasinya 5-10% selama 30 menit. Kombinasi dari beberapa krioprotektan dapat
melindungi kultur sellebih efektif daripada satu krioprotektan. Temperatur akhir
pembekuan sebelum di simpan dalam nitrogen cairdapat mempengaruhi viabilitas.
Temperatur ini sangat bervariasi tergantung pada spesies biasanya -40 oC, -80 oC, -100
o
C dengan laju pendinginan 1-5 oC/menit
Temperatur penyimpanan sangat kritis untuk mempertahankan viabilitas plasma
nutfah yang disimpan pada temperatur nitrogen cair -196 oC. Hampir semua aktifitas
metabolisme sel berhenti pada suhu tersebut. Meristem tetap hidup pada penyimpanan
nitrogen cair selama periode waktu yang lama. Penyimpanan pada temperatur -86 oC
menghasilkan viabilitas yang makin menurun. Pencairan cepat dalam penangas air 37-
40 oC memberikan viabilitas sampel maksimum. Pendinginan lambat bermanfaat untuk
sel hewan.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 48
Bab VI
MORFOGENESIS TANAMAN
6.1. Pendahuluan
Organ-organ tanaman seperti akar, daun, bunga maupun batang yang dikulturkan
dapat dirangsang untuk ditumbuhkan menjadi tunas adventif. Pembentukan bagian
tanaman dan organisasinya yang semula tidak ada dinamakan morfogenesis atau
organogenesis. Proses pembentukan organ ini dinamai sesuai dengan organ yang
dibentuknya dan dikelompokkan sebagai berikut:
1. Proses pembentukan tunas disebut caulogenesis dan pembentukan akar disebut
risogenesis
2. Proses pembentukan embrio seperti halnya embrio dalam biji yang mempunyai tunas
dan kutub akar .disebut embriogenesis. Namun embrio biji berasal dari zigot
sehingga dinamakan embrio zigot sedangkan di dalam kultur jaringan embrio
berkembang dari sel somatik sehingga disebut embriosomatik dan proses
pembentukannya adalah embriogenesis somatik
3. Pembentukan bunga, calon bunga atau perhiasan bunga.
Dua yang disebut pertama sangat sesuai untuk tujuan mikropropagasi, namun
tingkat regenerasi menjadi tanaman baru cukup sulit dalam kultur jaringan. Regenerasi
tanaman baru umumnya dilakukan dalam 2 tahap yaitu pembentukan tunas adventif
terlebih dahulu baru tunas tersebut diakarkan. Atau jika kultur dapat ditumbuhkan
menjadi embriosomatik maka dapat dikecambahkan menjadi planlet embriosomatik
dapat terbentuk dari sel tunggal atau sekelompok sel yang dapat tumbuk menjadi pusat
pembelahan sel yang aktif dan berkembang menjadi organ. Morfogenesis meristem
secara teori dapat terjadi melalui 2 cara yaitu :
1. Dari sel terdiferensiasi tanpa pembekahan dari jaringan tidak berdiferensiasi dari
jaringan yang dikultur yang disebut dengan organogenesis langsung
2. Dari sel yang belum berdiferensiasi dan tidak terorganisasi pada jaringan kalus atau
kultur suspensi disebut dengan organogenesis tidak langsung.
Dalam prakteknya sulit untuk membedakan keduanya. Bila meristem tunas
terbentuk langsung dari eksplan, kemudian membentuk kalus atau meristem tersebut
kemudian berada dalam jaringan hasil pembelahan sel-selnya, maka sulit untuk mencari
asal dari kelompok sel tersebut. Kalus yang permukaannya dapat membentuk tunas
mudah dibuktikan dan dipisahkan dari kultur. Kemungkinan lain meristem tunas dapat
terbentuk di dalam kalus dan masih melekat di kalus, dari kalus kemudian memisahkan
diri, dari eksplan atau dapat dihasilkan bersamaan dalam kalus sekaligus permukaan
eksplannya.
6.2. Redeterminasi
Pada organogenesis langsung maupun tidak langsung, yang mana sel berkembang
menjadi meristem baru, menggunakan cara penurunan sifar yang berbeda sehingga
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 49
kemungkinan besar terjadi kimera. Studi pada kimera pada Saintpaulia, inisiasi
meristem tunas melibatkan juga jaringan di bawah epidermis. Perlu adanya pembuatan
preparat untuk memperjelas asal dari meristem tunas. Tunas yang terbentuk antara dua
lapis umbi bawabg bombay, terdiri dari beberapa lapis sub epidermis. Pada
Convolvulus, meristem tunas terbentuk dari 6-7 sel perisikel di dekat protoxilem akar.
Akar lateral Vicia faba, rata-rata 24 sel menjadi pusat pembelahan yang menghasilkan
akar atau primordia tunas. Selama organogenesis langsung, tunas adventif tidak selalu
berasal dari sel-sel eksplan tetapi pernah dijumpai satu sel epidermis yang menghasilkan
pusat meristem dan dari situ dihasilkan 22 tunas yang identik.
6.5. Embriogenesis Langsung
Kejadian di alam menunjukkan bahwa embrio biji terjadi dari persatuan gamet
jantan dan sel telur atau zigot yang terdapat dalam jaringan nuselus. Beberapa tanaman
cenderung menghasilkan embrio secara aseksual. Dari jaringan dalam bakal biji tetapi
tanpa persatuan sel atau inti. Embriosomatik ini dapat menggantikan embrio zigotik atau
menambah jumlah embrio dalam biji. Keadaan ini disebut apomiksis yang terjadi karena
pembentukan embrio adventif. Prosesnya ada 2 cara yaitu: (1) Dari sel somatik tunggal
dalam kantong embrio (apospori), (2) Dari sel tunggal dari nuselus (embriogeni
nuselar).
Tanaman tertentu mempunyai embriosomatik satu, tapi pada jeruk ada beberapa
atau disebut poliembrioni, di dalam biji terdapat baik embrio seksual maupun aseksual.
Embrio adventif secara genetik sama dengan induknya, keadaan ini cocok untuk
perbanyakan kloning. Kerugiannya adalah menghasilkan varietas baru dari persilangan.
Tanaman hias seperti Asplenium, Cardamine, cocor bebek, dan Tolmiea secara alami
mempunyai embriosomatik di dalam daunnya. Bila bakal biji, embrio nuselar atau
jaringan nuselus yang diisolasi dari tanaman dapat berkembang secara embriogeni
nuselar dan dikulturkan in vitro, umumnya dapat dipacu juga untuk pembentukan
embrio adventif secara langsung. Pada jeruk, beberapa embrio dapat terbentuk dari sel-
sel di bagian mikrofil, yaitu dari jaringan nuselus, walaupun kantong embrio pada
kultivar jeruk tersebut secara normal hanya mempunyai satu embrio (monoembrionik).
Ada biji jeruk yang mengandung satu embrio yang berasal dari zigot walaupun bakal
biji sudah atau belum dibuahi.
6.6. Pradeterminasi
Menurut Sharp dkk., (1980) embriogenesis langsung dapat terjadi secara in vitro
bila sel-sel tersebut berada dalam keadaan predetermined atau predisposed menjadi
embrio sebelum sel tersebut dipindahkan ke dalam kultur. Nutrien dan kondisi
lingkungan yang diberikan hanya akan memacu prosesnya. Perbedaan kemampuan
embriogenesis eksplan sangat berhubungan dengan tingkat determinasi epigenetik dari
zat pengatur tumbuh alami dalam sel. Tampaknya konsentrasi auksin sangat kritis
pengaruhnya terhadap inisiasi embriosomatik. Jaringan tanaman secara keseluruhan
dapat mendukung proses embriogenesis langsung dalam kultur dan dapat membentuk
kalus yang mampu beregenerasi menjadi embrio. Jaringan kalus yang tumbuh dari
eksplan dapat berupa kalus embriogenik. Embriogenesis juga merupakan cara dalam
perkembangan sporofitik dari serbuk sari yang ditumbuhkan dalam kultur.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 51
6.6.5. Pseudobulbil
Kalus yang sangat embriogenik yang hampir seluruh begiannya massa embrio
globular dan ada menjadi tunas baru. Sekelompok meristem apikal membentuk nodul
bulat dipermukaan kalus atau agregat sel pada suspensi sel. Badan globular ini
membesar dan tidak mengikuti embriogenesis dan organ ini disebut pseudobulbil.
Pseudobulbil dapat terbentuk juga pada kalus embriogenik jeruk yaitu berasal dari
proembrio globular yang tidak mengalami polarisasi stadia 16-32 sel. Dalam jaringan
ini pseudobulbil dapat membesar sampai berdiameter 4 mm. Bulbil kecil dapat
berkembang menjadi bentuk hati, torpedo dan embrioid berkotiledon, tetapi hanya
berukuran sampai 2 mm dan tidak semuanya berakar walaupun proembrioid baru dapat
muncul dari sel di bagian superfisial.
6.6. Kejadian Embriogenesis
Embriosomatik dahulu jarang terjadi dalam kultur jaringan lebih sering terjadi
pembentukan akar dan tunas secara terpisah. Pembentukan embriosomatik dijumpai
relatif pada spesies tertentu saja. Makin lama banyak tanaman yang dapat menghasilkan
embriosomatik setelah faktor pengaturnya mulai diketahui. Pada beberapa spesies,
embriogenesis terjadi secara kebetulan saja namun hasilnya terus dapat diperbaiki
dengan memanipulasi media dan faktor lingkungan. Seperti organogenesis pada kultur
cengkeh, Phillips dan Collins (1980) hanya dapat merunut secara tidak langsung bahwa
embriosomatik terbentuk. Ini disebabkan daun pertama dan kedua dari tunas seperti
kotiledon dan unifoliat. Jika pembentukan tunas adventif terpisah diganti, semua daun
adalah trifoliat. Pada spesies lain perbedaan bentuk daun tidak terdeteksi.
6.7. Tanaman Haploid Dari Serbuk Sari Atau Kepala Sari
Kultur haploid dimulai oleh Tulecke, (1953) yang memproduksi secara aseptik
kultur serbuk sari pada Ginkgo. Jaringan haploid adalah jaringan yang terdiri dari sel-sel
yang mempunyai jumlah kromosom separo dari sel tubuh induknya. Guha dan
Maheshwari telah berhasil meregenerasikan tumbuhan haploid dari serbuk sari Datura
innoxia dari kultur kepala sari. Kultur haploid juga dapat diperoleh dari mengkultur
bakal buah dengan sel telur yang tidak dibuahi. Dasar prinsipil dari kultur serbuk sari
dan kepala sari dalam media yang sesuai adalah mikrospora serbuk sari pada beberapa
spesies tanaman dapat diinduksi menjadi sel-sel vegetatif pengganti butir serbuk sari.
Perubahan dari pola gametofitik seksual normal menjadi pola vegetatif (sporofitik)
harus diinisiasi sejak fase awal siklus sel ketika transkripsi gen yang berhubungan
dengan perkembangan gametofit diblok dan gen yang menyebabkan perkembangan
sporofit diaktivasi. Hasilnya adalah bukan serbuk sari yang dapat memproduksi gamet
dan buluh serbuk sari tetapi terorganisir menjadi proembrio atau embriosomatik yang
langsung dibentuk dari mikrospora. Namun kemungkinan dapat juga mikrospora
bertumbuh menjadi kalus yang dapat selanjutnya membentuk regeneran tanaman utuh
dengan cara embriogenesis tidak langsung dan sering bersifat haploid. Cara
pembentukan tanaman dari gamet jantan seperti ini disebut androgenesis.
Dengan berkembangnya pengetahuan mengenai kondisi kultur yang dibutuhkan,
pembentukan sporofit hanya dapat terjadi bila serbuk sari diisolasi dari sejumlah kecil
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 54
spesies tanaman. Keberhasilan yang lebih besar terjadi bila dilakukan kultur serbuk sari
pada kultur kepala sari. Keberadaan dinding kepala sari menstimulasi perkemangan
sporofit. Mekanisme stimulasi belum diketahui tetapi kemungkinan berkaitan dengan
penyediaan makanan dan atau hormon tumbuh. Sampai tahun 1975, hanya sedikit
tanaman haploid hasil kultur kepala sari didapatkan yaitu dari 70 spesies dari 29 genus,
dan sebanyak 121 spesies atau hibrid dari 20 familia sampai tahun 1982. Embriogenesis
stadia awal dan pembentukan kalus tanpa pembentukan tanaman sudah dijumpai pada
tanaman lain. Walaupun 58% dari embriogenesis atau regenerasi tanaman yang didata
oleh Maheshwari, (1982) termasuk dalam familia Solanaceae.Tanaman haploid yang
dapat dihasilkan dalam jumlah besar umumnya dari familia Solanaceae contoh
spesiesnya adalah Datura, Tembakau, Hyoscyamus, Solanum dan beberapa genus
Brassica. Sel haploid dan tanaman haploid yang dihasilkan dari androgenesis
mempunyai arti penting dalam pemuliaan tanaman dan genetika. Sebagian penelitian
kultur kepala sari masih ditujukan untuk meningkatkan efisiensi regenerasi planlet pada
tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Tanaman haploid dari serealia akan
sangat berharga dalam tugas pemuliaan tetapi pada gramineae frekuensi dan
keterpercayaan dari kultur kepala sari masih merupakan kegiatan yang insidental, tidak
merupakan pekerjaan rutin.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 55
BAB VII
KULTUR PROTOPLAS DALAM TEKNIK IN VITRO
7.1. Pendahuluan
Protoplas merupakan sel tanaman yang dihilangkan dinding selnya tetapi masih
mempunyai potensi untuk ditumbuhkan dalam media kultur. Protoplas dapat
dimanfaatkan dalam kebutuhan pemuliaan tanaman untuk mendapatkan hibrid yang
disebabkan oleh kendala ketidaksesuaian genetik dari perkawinan dua individu dengan
sifat kekerabatan jauh. Jika protoplas dari sel somatik kedua tanaman digabungkan
disebut fusi protoplas melalui cara hibridisasi somatik. Cara fusi ini dapat menghasilkan
hibrid yang kemungkinan tidak di dapatkan secara konvensional. Produksi hibrid baru
merupakan salah satu penerapan dan kegunaan dari isolasi protoplas. Dengan definisi
protoplas, berarti sel masih mempunyai membran sehingga dapat juga dimanfaatkan
untuk mempelajari fenomena transport dan pengambilan makromolekul melalui
membran sel tanaman. Di samping itu protoplas digunakan untuk mempelajari
masuknya virus ke dalam sel tanaman. Cara ini bermanfaat untuk mengetahui proses
infeksi virus dan replikasinya. Protoplas juga merupakan pilihan untuk mengetahui
spesifisitas dan cara kerja patogen tanaman yang berupa bakteri dan cendawan.
Senyawa toksik yang dihasilkan patogen tersebut dapat menyebabkan efek keracunan
terhadap protoplas tanaman peka (suseptible) tetapi pada protoplas tanaman resisten
tidak terpengaruh. Senyawa ini akhirnya dapat digunakan untuk skrening untuk tanaman
yang resisten terhadap patogen. Protoplas yang diisolasi dapat diambil organel-
organelnya seperti inti dan kloroplasnya. Protein, DNA, dan berbagai makromolekul
juga dilaporkan sudah dapat diambil melalui cara isolasi protoplas.
7.2. Isolasi Protoplas
Isolasi protoplas telah diketahui caranya sejak tahun 1960 dengan perlakuan
enzimatik dan dapat dihasilkan protoplas dalam jumlah banyak untuk keperluan
percobaan laboratorium ataupun penelitian. Sejak saat itu berbagai perbaikan cara untuk
isolasi protoplas terus dilakukan sehingga makin efisien dan efektif. Protoplas dapat
beregenerasi membentuk dinding sel dan melakukan pembelahan sel sampai dengan
membentuk planlet jika ditumbuhkan pada media dan lingkungan yang sesuai. Protoplas
umumnya diisolasi dengan menggunakan enzim peluruh dinding sel dalam larutan
osmotikum untuk mempertahankan bentuk dan struktur serta viabilitas protoplas.
Kemudahan untuk mengisolasi protoplas tergantung pada beberapa faktor. Faktor yang
sangat penting adalah tingkat fisiologis dari jaringan sumber protoplas, pemilihan enzim
dan komposisi kombinasi enzim yang tepat, konsentrasi enzim, dan komposisi, tipe
konsentrasi penstabil tekanan osmotik.
Protoplas sudah dapat diisolasi dari berbagai jenis tanaman (lihat Thorpe, 1981).
Biasanya organ yang paling mudah dan cocok untuk isolasi protoplas adalah daun
tertama di bagian mesofilnya. Hasil yang paling memuaskan diperoleh dari daun muda
yang sudah membuka penuh dan dari tunas muda. Hasil protoplas, viabilitas dan
jumlahnya sangat tergantung pada umur daun dan kondisi lingkungan seperti cahaya,
temperatur, kesuburan tanah dan kelembaban tempat tumbuh tanaman. Jika faktor fase
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 56
secara bersamaan. Protoplas yang diisolasi dari sel lili yang membelah meiosis berfusi
secara spontan setelah isolasi karena bersentuhan tanpa agen fusi. Permukaan membran
tampaknya memudahkan penempelan dan fusi yang dapat terjadi dalam 5 menit. Proses
meiosis berlangsung terus dan terjadi bersamaan dalam homokarion.
7.7. Fusi Diinduksi
Fusi protoplas dari berbagai sumber terjadi bila diinduksi. Protoplas harus
dilekatkan untuk mendapatkan permukaan yang luas untuk kontak. Peneliti Keller dan
Melchers memperkenalkan cara yang baik untuk mendapatkan keberhasilan yang tinggi
dalam fusi pada media inkubasi yang sangat basa, larutan dalam garam kalsium tinggi
pada temperatur 37 oC selama 30 menit. Cara yang baik lainnya dalam produksi fusi
protoplas adalah dengan menggunakan polietilen glikol (PEG). Polietilen glikol dengan
berat molekul tinggi dengan konsentrasi 28-30% yang ditambahkan dalam protoplas
meningkatkan perlekatan. Fusi dapat terjadi jika dilakukan pengeceran terhadap larutan
protoplas. Induksi fusi protoplas dengan PEG tidak spesies spesifik tetapi efektif juga
untuk fusi protoplas tanaman yang luas dan frekuensi fusi dapat mencapai 50%.
Protoplas dari dua spesies yang berbeda disiapkan terpisah., disentrifusi dan
digabungkan dengan perbandingan 1:1 atau 1:4 dalam larutan yang mengandung
osmoltikum dan garam kalsium. Protoplas dibuat dalam tetes-tetes dan ditumbuhkan
dalam cawan petri atau diteteskan di gelas penutup dan dimasukkan dalam cawan petri.
Kalau setetes larutan PEG (5 g PEG-1540 dalam10 mL larutan) ditambahkan, maka
protoplas membentuk badan perlekatan. Keadaan ini berlangsung 20-45 menit.
Pengenceran PEG diawali dengan penambahan beberapa tetes alkalin, larutam kalsium
tinggi dan dilanjutkan dengan pencucian menggunakan media kultur. Fusi terjadi saat
pengenceran dan protoplas menjadi berbentuk sperical. Protoplas dan hasil fusi melekat
di permukaan hal ini memudahkan pencucian. Setelah itu, campuran protoplas media
dibuat lapisan tipis dalam cawan petri dan diinkubasi seperti biasa.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 61
Bab VIII
PERBAIKAN KUALITAS JERUK MANIS BRASTAGI (Citrus nobilis Brastepu)
MELALUI KULTUR JARINGAN TANAMAN UNTUK MENGHASILKAN
BIBIT UNGGUL
8.1. Latar Belakang Masalah
Kebijakan pembangunan pada sektor pertanian yang berorientasi pada
peningkatan produk unggulan sangat perlu mendapat perhatian, mengingat mayoritas
penduduk Indonesia masih menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Perhatian
khusus harus dibuat terhadap potensi tanaman hortikultura penghasil buah, terutama
yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti jeruk manis. Jeruk manis dapat diproduksi
secara komersil sebagai salah satu sumber devisa. Jeruk manis bertumbuh, berkembang
dan berproduksi dengan baik di daerah tropik dan subtropik. Dengan demikian,
Indonesia sangat potensil sebagai penghasil jeruk manis.
Jeruk manis termasuk salah satu buah yang digemari masyarakat Indonesia,
sehingga kebutuhan akan jeruk manis diperkirakan setiap saat akan mengalami
peningkatan sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, baik untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi lokal maupun untuk keperluan ekspor. Kenyataan menunjukkan
bahwa di pasar tradisional dan nasional terlihat bahwa produksi jeruk lokal masih belum
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi jeruk di Indonesia, sehingga
kebanyakan pasar masih diisi oleh jeruk impor. Keadaan ini tentu sangat memalukan
bagi Indonesia karena kebutuhan akan produk pertanian seperti jeruk masih tergantung
dari produk impor. Hal ini perlu di atasi dengan pemenuhan produk lokal yang
berkualitas baik dan mampu bersaing dengan produk impor. Dengan demikian, jeruk
manis sebagai salah satu produk pertanian unggulan memiliki prospek baik untuk
dikembangkan, dan merupakan salah satu usaha untuk memberdayakan rakyat,
khususnya petani jeruk manis.
Pemuliaan tanaman jeruk manis di Indonesia pada umumnya dilakukan melalui
perbanyakan generatif dengan biji, dan sebagian kecil melalui stek dan okulasi. Metode
ini sudah lama dilakukan oleh petani tradisional secara turun temurun. Perbanyakan
generatif melalui biji sangat mudah dan sederhana, akan tetapi, waktu yang dibutuhkan
sejak penanaman sampai berproduksi sangat lama. Kualitas produksi jeruk dari
perbanyakan generatif bervariasi, baik dalam bentuk maupun cita rasa, sehingga untuk
tujuan komersil sangat tidak ekonomis karena kualitas produksi jeruk tidak akan
seragam, sementara itu biaya yang dikeluarkan di dalam penanaman jeruk sampai
berproduksi sangat besar. Akibatnya, petani tidak terangsang untuk membudidayakan
jeruk manis dalam jumlah besar.
Perbanyakan tanaman jeruk manis secara vegetatif melalui stek dan okulasi dapat
menghasilkan tanaman berkualitas yang sama dengan kualitas tanaman induknya. Akan
tetapi, dengan cara vegetatif ini akan sangat sulit mendapatkan benih yang seragam
dalam jumlah banyak, sehingga tidak memungkinkan untuk menanam jeruk dalam
jumlah banyak karena sulit mendapatkan bibit, misalnya pada areal luas untuk
kebutuhan bibit bagi petani jeruk manis, agroindustri dan perkebunan nasional.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 62
Propinsi Sumatera Utara termasuk salah satu daerah yang cukup baik untuk
ditanami jeruk manis. Salah satu produk jeruk manis yang berasal dari Sumatera Utara
adalah "Jeruk Brastagi", yaitu jeruk manis varietas Brasitepu (Citrus nobilis Brasitepu).
Di pasaran lokal, jeruk brastagi mempunyai harga jual tinggi dibandingkan terhadap
jenis jeruk manis lokal lainnya, hal ini disebabkan karena citarasa manis dan ditunjang
oleh bentuk dan warna buah yang menarik. Akan tetapi, jeruk manis varietas Brasitepu
ini sudah sangat langka, bahkan budi daya tanaman ini tidak banyak yang dilanjutkan
karena kesulitan dalam penyediaan bibit tanaman berkualitas dan unggul. Dengan
demikian pembudidayaan jeruk brastagi ini sangat mendesak dilakukan agar dapat
memenuhi kebutuhan jeruk berkualitas baik sekaligus menjaga agar varietas Brasitepu
tidak sempat punah. Untuk itu, upaya peningkatan kualitas dan kuantitas produksi
"Jeruk Brastagi" perlu dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan pasar nasional dan
bahkan diharapkan mampu bersaing dalam pangsa pasar internasional.
Pengembangbiakan jeruk manis lokal seperti Citrus nobilis Brasitepu juga merupakan
asset berharga dalam keanekaragaman hayati Indonesia, sehingga sangat perlu
mendapat perhatian yang khusus agar varietas ini dapat terjamin kelestariannya dari
kepunahan. Jeruk manis Brastagi dikenal sebagai jeruk yang memiliki citarasa manis
dengan bentuk buah yang menarik. Akan tetapi, budidaya jeruk manis Brastagi varietas
Citrus nobilis Brastepu cenderung ditinggalkan oleh petani dan perkebunan nasional
karena sulitnya mendapatkan bibit tanaman berkualitas. Rendahnya tingkat keunggulan
tanaman dalam hal daya tahanan terhadap hama penyakit, serta sulitnya menyediakan
bibit dalam jumlah besar dan seragam juga menambah permasalahan bagi petani
sehingga budidaya tanaman jeruk manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) tidak
berkembang. Bila tidak segera dilakukan budidaya, maka diperkirakan varietas jeruk
manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) ini akan punah dalam waktu beberapa tahun
lagi.
Untuk memenuhi kebutuhan jeruk manis di Sumatera Utara, usaha penanaman
jeruk Citrus nobilis Brastepu telah dilakukan oleh beberapa petani tradisional di
Kabupaten Karo dalam jumlah terbatas di lahan sempit. Permasalahan utama yang
dihadapi dalam pemuliaan tanaman jeruk manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu)
adalah sulitnya mendapatkan bibit unggul yang tersedia. Faktor biologis merupakan
salah satu penyebab sulitnya mendapatkan bibit jeruk berkualitas baik, yaitu sterilnya
serbuk sari (pollen) dan bakal biji (ovule), sulitnya persilangan, periode yang cukup
panjang untuk mendapatkan bunga, dan faktor genetik lainnya. Penyediaan bibit jeruk
manis di Sumatera Utara pada umumnya dilakukan melalui perbanyakan generatif
dengan biji, stek dan okulasi. Akan tetapi, bibit jeruk manis Brastagi (Citrus nobilis
Brastepu) yang diproduksi petani ini masih rentan terhadap hama penyakit. Untuk
meningkatkan produksi jeruk manis di Sumatera Utara, bibit jeruk manis Brastagi yang
disediakan secara tradisional sudah sangat perlu diganti dengan bibit unggul. Bibit jeruk
manis unggul tersebut harus mempunyai buah dengan kualitas dan citarasa yang manis,
tingkat produksi buah tinggi, tahan terhadap hama penyakit, dapat bertumbuh dan
berkembang pada berbagai kondisi tanah, curah hujan dan iklim di Indonesia. Bibit
tanaman jeruk yang memenuhi kriteria ini sangat sulit diperoleh melalui penyediaan
bibit secara konvensional.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 63
Salah satu alternatif yang paling baik dalam penyediaan bibit tanaman jeruk manis
unggul dalam jumlah banyak dan seragam adalah secara teknik in vitro melalui kultur
jaringan tanaman. Teknik regenerasi ini sekaligus dapat di lakukan untuk memperbaiki
kualitas jeruk manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) menuju produksi bibit unggul.
Hal ini mendorong peneliti mengadakan penelitian “Perbaikan Kualitas Jeruk Manis
Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) Secara Kultur Jaringan Tanaman Untuk
Menghasilkan Bibit Unggul”. Keluaran yang diharapkan adalah diperoleh bibit jeruk
manis Brastagi unggul dalam jumlah banyak dan seragam dalam waktu relatif singkat,
sehingga dapat memenuhi kebutuhan bibit bagi petani, agroindustri dan perkebunan
nasional.
Ruang lingkup penelitian adalah usaha perbaikan kualitas jeruk manis Brastagi
(Citrus nobilis Brastepu) melalui teknik kultur jaringan tanaman yang bertujuan untuk
menghasilkan bibit unggul. Usaha ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi dalam pemuliaan tanaman jeruk manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu)
karena sulitnya untuk mendapatkan bibit jeruk manis unggul. Pemuliaan tanaman jeruk
manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) yang biasanya dilakukan melalui perbanyakan
generatif dengan biji, stek dan okulasi oleh petani tradisional sejak lama secara turun
temurun akan diganti dengan penyediaan bibit unggul secara kultur jaringan tanaman.
Untuk mengatasi permasalahan dalam penyediaan bibit jeruk berkualitas dalam jumlah
banyak dalam waktu relatif singkat dapat dilakukan melalui perbanyakan secara In vitro
dengan kultur jaringan agar didapatkan bibit tanaman jeruk manis berkualitas baik.
Dengan demikian, ruang lingkup penelitian adalah usaha perbaikan kualitas jeruk manis
brastagi (Citrus nobilis Brastepu) secara kultur jaringan tanaman untuk menghasilkan
bibit unggul dengan jumlah bibit yang banyak dan seragam dalam waktu relatif singkat
untuk dapat memenuhi kebutuhan bibit bagi petani, agroindustri dan perkebunan
nasional.
8.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas jeruk manis
Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) melalui kultur jaringan tanaman untuk menghasilkan
bibit unggul. Perbaikan kualitas tanaman jeruk manis (Citrus nobilis Brastepu)
dilakukan melalui teknik in vitro untuk menghasilkan bibit jeruk manis unggul dalam
jumlah banyak dan seragam, sehingga dapat memenuhi kebutuhan bibit unggul bagi
petani di Sumatera Utara khususnya, agroindustri dan perkebunan nasional umumnya.
8.2. Tujuan Penelitian
Secara spesifik, tujuan khusus penelitian adalah untuk memperbaiki kualitas
tanaman jeruk manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) melalui kultur jaringan tanaman
untuk menghasilkan bibit unggul, yaitu jeruk manis Brastagi dengan tingkat produksi
buah tinggi, tahan terhadap berbagai hama penyakit, dan dapat beradaptasi dan
berkembang dengan baik pada berbagai iklim di Sumatera Utara dan di seluruh wilayah
Indonesia. Mendapatkan teknik regenerasi yang efektif untuk perbanyakan tanaman
jeruk manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) sebagai tahapan yang baik di dalam
usaha untuk menghasilkan bibit unggul. Mempelajari pengaruh pemberian zat tumbuh
terhadap pertumbuhan eksplan tanaman di dalam medium kultur jaringan tanaman agar
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 64
diperoleh kondisi optimum yang diperlukan dalam teknik perbanyakan tanaman jeruk
manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) dalam skala laboratorium, rumah kaca, dan
lapangan sehingga siap untuk diaplikasikan untuk memproduksi bibit jeruk manis secara
massal. Melakukan rekayasa secara teknik kultur jaringan tanaman untuk memperbaiki
kualitas tanaman jeruk manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) melalui uji resistensi
tanaman terhadap hama penyakit di tingkat kalus dan bibit, termasuk diantaranya uji
resistensi terhadap fungi, bakteri dan virus yang mengganggu akar, batang, dan daun
jeruk manis, sampai dihasilkan bibi jeruk manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu)
unggul. Mengidentifikasi faktor-faktor penentu dalam budidaya tanaman jeruk manis
Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) yang diperbanyak secara kultur jaringan di dalam
media kultur sampai terbentuk bibit unggul yang dapat bertumbuh, berkembang dan
menyesuaikan dengan berbagai iklim di Indonesia. Mempelajari kondisi optimum untuk
pertumbuhan dan perkembangan bibit jeruk manis Brastagi unggul yang diperbanyak
secara kultur jaringan tanaman sampai memenuhi kualitas bibit tanaman yang baik yang
layak untuk dipasarkan. Melakukan aklimatisasi sebagai tahapan di dalam memproduksi
bibit tanaman jeruk manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) berkualitas baik dalam
jumlah besar dan seragam melalui kultur jaringan tanaman untuk kebutuhan bibit pada
petani lahan rakyat di Sumatera Utara khususnya, dan juga untuk agroindustri dan
perkebunan nasional di Indonesia.
8.3. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan bibit
tanaman jeruk manis berkualitas baik dalam jumlah besar dan seragam melalui kultur
jaringan tanaman untuk kebutuhan bibit pada petani lahan rakyat di Sumatera Utara
khususnya, dan juga untuk agroindustri dan perkebunan nasional di Indonesia. Hasil
perbanyakan secara kultur jaringan dipergunakan sebagai usaha untuk memperbaiki
kualitas jeruk manis Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) melalui kultur jaringan tanaman
untuk menghasilkan bibit unggul yang tahan terhadap beberapa jenis penyakit. Sebagai
hasil penelitian adalah kontribusi ilmiah dalam teknik regenerasi yang efektif untuk
perbanyakan tanaman jeruk manis sebagai tahapan dalam memproduksi bibit jeruk
manis Brastagi unggul.
8.4. Kultur Jaringan Tanaman Jeruk
Jeruk manis merupakan salah satu tanaman produk pertanian yang penting dan
bernilai ekonomi tinggi. Jeruk manis telah dikenal luas dan telah di produksi secara
komersial hampir di seluruh dunia (FAO, 1993). Jeruk manis termasuk salah satu buah
yang digemari masyarakat Indonesia, sehingga kebutuhan akan jeruk manis
diperkirakan setiap saat akan mengalami peningkatan, baik untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi lokal maupun untuk keperluan ekspor. Kenyataan di Indonesia menunjukkan
bahwa produksi jeruk lokal masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi jeruk, sehingga kebutuhan jeruk di pasar taradisional dan pasar modern
terlihat masih banyak diisi oleh jeruk impor. Dengan demikian, menjadikan jeruk manis
sebagai salah satu produk pertanian unggulan sangat memiliki prospek yang baik.
Propinsi Sumatera Utara (Sumut) termasuk salah satu daerah yang cukup baik
untuk ditanami jeruk manis. Salah satu produk jeruk manis yang berasal dari Sumut
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 65
yang dikenal masyarakat secara luas adalah "Jeruk Brastagi". Jeruk Brastagi ini adalah
jeruk manis varitas Brastepu (Citrus nobilis Brastepu). Jeruk manis produksi Brastagi
mempunyai harga jual yang cukup tinggi di bandingkan dengan jenis jeruk lokal lainnya
karena citarasa manis dan ditunjang oleh bentuk buah yang menarik. Dengan demikian
sangatlah perlu dilakukan perhatian khusus dalam upaya peningkatan kualitas dan
kuantitas produksi "Jeruk Brastagi" agar dapat memenuhi kebutuhan pasar nasional dan
bahkan diharapkan mampu bersaing dalam pasar internasional. Usaha penanaman jeruk
manis telah dilakukan oleh petani tradisional, khususnya di kabupaten Karo, Provinsi
Sumatera Utara, tetapi masih dalam jumlah yang sangat terbatas.
Permasalahan yang dihadapi dalam pemuliaan tanaman jeruk manis di Provinsi
Sumatera Utara adalah sulitnya mendapatkan bibit jeruk berkualitas yang tersedia.
Faktor biologis merupakan salah satu penyebab sulitnya mendapatkan bibit jeruk
berkualitas baik, yaitu sterilnya serbuk sari (pollen) dan bakal biji (ovule), sulitnya
persilangan, periode yang cukup panjang untuk mendapatkan bunga, dan factor genetik
lainnya (Gmitter dkk., 1992). Penyediaan bibit jeruk manis di Provinsi Sumatera Utara
pada umumnya dilakukan secara konvensional, yaitu melalui perbanyakan generatif
dengan biji, stek dan okulasi. Harus diakui bahwa perbanyakan generatif melalui biji
sangat mudah dan sederhana yang dapat dilakukan oleh petani setiap saat. Akan tetapi,
waktu yang dibutuhkan sejak penanaman sampai berproduksi sangat lama, kualitas
produksi jeruk dari perbanyakan generatif sangat bervariasi dalam bentuk buah maupun
rasa, sehingga untuk tujuan komersil sangat tidak ekonomis karena kualitas produksi
yang dihasilkan tidak seragam, sementara biaya yang dikeluarkan di dalam penanaman
jeruk sampai berproduksi tidak kecil, akibatnya petani tidak terangsang untuk
membudidayaan jeruk dalam jumlah besar. Perbanyakan tanaman jeruk manis secara
vegetatif melalui stek dan okulasi dapat menghasilkan tanaman berkualitas sama dengan
tanaman induknya, akan tetapi, sangat sulit mendapatkan benih yang seragam dalam
jumlah banyak, sehingga tidak memungkinkan menanam jeruk dalam areal luas,
misalnya untuk kebutuhan kebun rakyat maupun perkebunan komersil. Di samping itu,
bibit tanaman jeruk yang diproduksi oleh masyarakat sangat rentan terhadap hama
penyakit sehingga sangat menghambat dalam upaya penanaman jeruk dalam jumlah
banyak. Sedangkan bibit jeruk yang disediakan secara tradisional sudah sangat perlu
diganti dengan produk unggul yang berkualitas sehingga dapat meningkatkan produksi
jeruk manis.
Untuk meningkatkan kualitas jeruk di Provinsi Sumatera Utara sangat perlu
dilakukan usaha pecarian bibit tanaman jeruk berkualitas baik, yaitu bibit tanaman jeruk
yang tahan terhadap hama penyakit, dapat menyesuaikan dengan kondisi tanah dan
iklim di Sumut, mempunyai kualitas dan citarasa yang baik, dan dengan kuantitas
produksi tinggi. Bibit tanaman jeruk yang memenuhi kriteria ini sangat sulit diperoleh
dengan penyediaan bibit secara konvensional. Salah satu alternatif yang paling baik
dalam penyediaan bibit tanaman jeruk manis varitas Brastepu (Citrus nobilis Brastepu)
berkualitas baik dan seragam dengan jumlah banyak adalah melalui teknik kultur
jaringan tanaman. Dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi hasil
pertanian penghasil buah, khususnya jeruk manis varietas lokal seperti Jeruk Brastagi
yang berasal dari Sumatera Utara maka penelitian perbaikan kualitas jeruk manis
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 66
Brastagi (Citrus nobilis Brastepu) secara kultur jaringan tanaman sangat perlu dilakukan
untuk menghasilkan bibit unggul, terutama bibit jeruk manis Brastagi dengan tingkat
produksi buah tinggi, tahan terhadap berbagai hama penyakit, dan dapat beradaptasi dan
berkembang dengan baik pada berbagai iklim di Sumatera Utara dan di seluruh wilayah
Indonesia.
8.4.1. Teknik Kultur Jaringan Tanaman
Teknik kultur jaringan tanaman merupakan cara yang sangat baik untuk
perbanyakan dan perbaikan kualitas tanaman. Kultur jaringan tanaman atau teknik
kultur in vitro kini sering digunakan untuk perbanyakan bibit tanaman dikotil dan sudah
lama dilakukan, terutama terhadap tanaman yang memiliki nilai ekonomi (Chaturvedi,
dkk 1982). Bahan tanaman (eksplan) yang umum digunakan adalah bagian biji, benih,
helai daun, tangkai daun, ruas batang, tunas aksilar, dan meristem apikal (Balch dan
Alejo, 1997; Ling dan Iwamasa, 1997). Eksplan untuk kultur jaringan harus diambil dari
bahan yang masih muda karena jaringan tersebut mengandung sel-sel yang aktif
membelah atau sel meristematik (Guiderdoni, 1988). Kultur jaringan tanaman dari buku
batang dapat menghasilkan tanaman dengan cepat dan dalam jumlah besar (Edriss dan
Burger, 1984). Pemilihan eksplan banyak ditentukan oleh tujuan penelitian dan terutama
tergantung pada ketersediaan bahan sepanjang waktu. Pada umumnya eksplan ditanam
pada media Murashige dan Skoog (MS). Media untuk kultur jaringan mengandung
garam-garam mineral, asam-asam amino, vitamin, sumber karbon dan energi (gula) dan
zat pengatur tumbuh, dengan komposisi tertentu (Murashige dan Skoog, 1962;
Murashige dan Tucker, 1969). Zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur
jaringan bermacam-macam antara lain auksin (NAA, 2,4-D, IBA, dll) dan sitokinin
(BA, kinetin, dan zeatin). Respon tumbuhan terhadap zat pengatur tumbuh yang
ditambahkan ke dalam media berbeda, tergantung pada jenis tanaman. Potongan tunas,
batang atau petiol berukuran besar (1-2 cm) biasanya membentuk tunas dan akar bila
ditumbuhkan pada media basal tanpa suplemen (Ammiranto, 1984). Namun ujung tunas
atau meristem apikal membutuhkan kombinasi auksin dan sitokinin untuk pertumbuhan.
Efisiensi dan efektifitas dari hormon tumbuhan auksin dan sitokinin dapat
berbeda. Kinetin sangat efektif untuk kultur buku batang, sedangkan BA sangat efektif
untuk kultur tunas apikal (Carimi dkk., 1995). Sitokinin konsentrasi rendah akan dapat
memacu perkembangan tunas sedangkan kehadiran sitokinin pada konsentrasi tinggi di
dalam media kultur akan dapat merangsang pembentukan penggandaan tunas.
Kehadiran auksin konsentrasi rendah di dalam medium akan dapat memacu
pertumbuhan akar dan kehadiran auksin di dalam media kultur pada konsentrasi tinggi
dapat merangsang pertumbuhan kalus (Goh dkk., 1995; Magoon dan Singh, 1995).
Dengan demikian, dalam usaha perbanyakan tanaman dibutuhkan pemilihan
perbandingan konsentrasi auksin, sitokinin dan suplemen yang tepat, karena hal ini akan
menentukan dalam derajat keberhasilan pembentukan tanaman baru seperti yang
dilakukan pada Dioscorea (Nurwahyuni dan Tjondronegoro, 1994), tanaman anggrek
(Nurwahyuni, dkk., 1996), tanaman kedelai (Ratnadewi, dkk., 1996), tanaman kopi
(Nurwahyuni, 1999; Nurwahyuni, 2001b), dan tanaman kemenyan (Nurwahyuni,
2002b).
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 67
adalah bagian vegetatif tanaman karena mudah diperoleh. Eksplan yang potensil untuk
regenerasi jeruk adalah tunas. Faktor lain yang juga tidak kalah penting adalah faktor
lingkungan seperti kelembaban, pH, suhu, dan cahaya (Goh, dkk., 1995; Hidaka, 1984;
Moreira-Dias, 2001; Piqueras, dkk., 1994). Faktor-faktor yang disebutkan di atas
seluruhnya akan menjadi perhatian dalam kultur jaringan tanaman untuk usaha
perbaikan kualitas bibit jeruk manis yang direncanakan dalam usulan penelitian.
Permasalahan yang sering dihadapi di dalam pemuliaan tanaman jeruk manis
adalah rentannya tanaman terhadap beberapa jenis penyakit. Beberapa penyakit tanaman
jeruk yang sering dialami petani yang teridentifikasi diantaranya adalah pentakit yang
disebabkan oleh jamur (Chand-Goyal, dkk., 1998), bakteri (Kozianowski, dkk., 1997;
Kingsley, dkk., 1993) dan virus (Albiach-Marti, dkk. 2000; Mawassi, dkk., 2000;
Satyanarayana, dkk., 2001). Dalam upaya penyediaan bibit tanaman yang unggul dalam
studi ini adalah usaha untuk menghasilkan bibit tanaman yang tahan terhadap hama
penyakit. Dalam penelitian ini akan diarahkan terhadap usaha mempelajari resistensi
tanaman jeruk manis terhadap fungi. Studi terhadap resistensi tanaman terhadap
penyakit akan dimulai dari tingkat kalus menuju tanaman unggul (Grosser dan
Chandler, 2000).
8.4.3. Jeruk Manis Brastagi Varietas Brastepu
Jeruk manis varietas Brastepu (Citrus nobilis Brastepu) dikenal masyarakat di
Sumatera Utara dengan nama “Jeruk Brastagi”. Jeruk Brastagi memiliki cita rasa yang
sangat manis di bandingkan dengan jenis jeruk manis lokal lainnya. Di samping itu,
bentuk dan warna kulitnya sangat menarik yang disebabkan oleh faktor genetik.
Berdasarkan hasil survey di lapangan, jeruk manis Citrus nobilis Brastepu sangat
terkenal di masyarakat karena berfungsi ganda, yaitu sebagai penghasil buah, dan kulit
buah dan daunnya juga digunakan masyarakat sebagai bahan baku obat tradisional
untuk berbagai jenis penyakit. Sampai pada saat ini, penyediaan bibit untuk pemuliaan
tanaman jeruk manis varitas Brastepu masih dilakukan secara stek untuk mendapatkan
bibit tanaman yang memiliki kualitas sama dengan induknya. Akan tetapi, penyediaan
bibit dengan cara stek sangat terbatas jumlahnya, sehingga pemuliaan tanaman Juruk
Brastagi mengalami kendala dan tidak memungkinkan untuk meningkatkan kuantitas
produksi. Bahkan diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi kelangkaan
produksi Jeruk Brastagi varietas Brastepu.
Untuk mengatasi kesulitan dalam penyediaan bibit jeruk manis varietas lokal
Citrus nobilis Brastepu ini dapat dilakukan secara in vitro, melalui kultur jaringan
tanaman. Teknik kultur jaringan tanaman yang direncanakan dalam penelitian ini juga
bertujuan untuk memperbaiki kualitas tanaman jeruk manis Citrus nobilis Brastepu
menjadi tanaman unggul, yaitu yaitu jeruk manis yang mempunyai buah dengan citarasa
manis dan enak, tingkat produksi buah tinggi, tahan terhadap hama penyakit, dapat
bertumbuh dan berkembang pada berbagai kondisi tanah, curah hujan dan iklim di
Indonesia. Bibit jeruk Brastepu yang dihasilkan berkualitas baik, seragam dan jumlah
banyak, sehingga dapat memenuhi kebutuhan bibit jeruk bagi petani, agroindustri dan
perkebunan nasional.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 69
dengan zpt. Optimasi percobaan meliputi inisiasi kalus, regenerasi, aklimatisasi akan
dilakukan dengan berbagai variasi perlakuan.
Studi resistensi tanaman jeruk manis varitas Brastepu (Citrus nobilis Brastepu)
terhadap beberapa penyakit pada tahap ini dilakukan dalam tingkat kalus dan bibit hasil
kultur dengan variasi konsentrasi ekstrak seperti fungi di dalam kalus yang berhasil
dikultur pada tahapan awal. Pada tahap berikutnya (tahun ke dua) akan dilakukan studi
adaptasi tanaman jeruk manis varitas Brasitepu terhadap iklim dan kadar air dilakukan
secara laboratorium di rumah kaca dengan perlakuan variasi tingkat kesuburan tanah
(pemupukan), suhu dan curah hujan. Studi terhadap adaptasi tanaman jeruk manis
varitas Brastepu terhadap iklim akan dilakukan terhadap tanaman pada saat aklimatisasi.
Percobaan di atas akan dilakukan menggunakan rancangan acak non faktorial (Zar,
1996).
8.6. Prosedur Penelitian Tahun Pertama
Prosedur penelitian tahun pertama terdiri atas persiapan bahan tanaman jeruk
manis varitas Brastepu, penyediaan media kultur, sterilisasi eksplan dan penanaman
eksplan, regenerasi, aklimatisasi tanaman, dan isolasi fungi dan uji ketahanan terhadap
fungi secara terperinci berturut-turut dijelaskan sebagai berikut:
8.6.1. Persiapan Bahan Tanaman
Tanaman induk yang akan digunakan sebagai sumber eksplan adalah jeruk
Brastepu yang terlah berhasil diidentifikasi dengan baik, yaitu tanaman yang sudah
diketahui tingkat kesehatannya dan kondisinya terhadap hama penyakit. Tanaman jeruk
manis Citrus nobilis Brastepu dipilih dari Desa Brastepu Kecamatan Simpang Empat
Berastagi, dan tanaman yang diambil dijadikan sebagai sumber eksplan dalam kultur
jaringan adalah bagian biji (Gambar 8.1).
(a) (b)
Gambar 8.1. (a) Pohon jeruk manis Citrus nobilis Brastepu yang tumbuh di perkebunan
rakyat Berastagi, Kabupaten Karo, (b) Biji jeruk manis Citrus nobilis
Brastepu dari buah yang dijadikan sebagai sumber eksplan dalam kultur
jaringan tanaman.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 71
dalam uji ketahanan fungi terhadap tanaman jeruk manis Citrus nobilis Brastepu dalam
tahap pertumbuhan kalus dan tahap aklimatisasi. Hasil isolat biakan murni fungi yang
berhasil diisolasi dari tanaman jeruk di dalam petri dan perbesaranya diperlihatkan pada
gambar 8.3.
Gambar 8.2. Daun jeruk manis Citrus nobilis Brastepu yang diserang fungi penyebab
nekrosis pada jeruk manis Citrus nobilis Brastepu.
(a) (b)
Gambar 8.3. Hasil isolat biakan murni fungi penyebab nekrosis pada jeruk manis Citrus
nobilis Brastepu: (a) Jamur hasil isolasi di dalam petridish, dan (b)
Miselium jamur dengan perbesaran 1000 kali (spesies belum diketahui).
ppm ekstak fungi), kemudian melihat kalus yang dapat bertumbuh dan dilakukan
tahapan pengkulturan lebih lanjut. Uji resistensi pada tanaman jeruk manis Citrus
nobilis Brastepu pada tahap aklimatiasi dilakukan dengan cara memindahkan tanaman
yang sudah berhasil diperbanyak secara kultur jaringan tanaman, kemudian ke dalam
tanaman divariasi ekstrak fungi 0, 50, 75 dan 100 ppm pada kondisi optimum percobaan
selama 1-2 bulan. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman jeruk Brastepu oleh
pengaruh pemberian ekstrak fungi diamati, pada tahap pertumbuhan kalus maupun dan
aklimatisasi.
Data penelitian ini adalah persentase kultur jeruk manis Citrus nobilis Brastepu
yang hidup, tipe pertumbuhan eksplan (pembentukan kalus atau pembesaran eksplan),
berat basah kalus, jumlah embriosomatik oleh pengaruh perlakuan, jumlah bibit
tanaman yang dihasilkan secara kultur yang dapat bertumbuh, berkembang, beradaptasi
dengan lingkungan, pertumbuhan dan perkembangan tanaman oleh pengaruh
pemupukan, dan jumlah tanaman yang mempunyai kemampuan resisten terhadap
penyakit tanaman. Data pengamatan perkembangan bibit oleh pengaruh pemupukan,
jenis hara dan kondisi fisik juga akan dikumpulkan. Data yang terkumpul akan
dianalisis secara statistik untuk penarikan keputusan sesuai dengan jenis perlakuan
percobaan (Zar, 1996).
8.7. Induksi Kalus Jeruk Manis Citrus nobilis Brastepu
Kemampuan jaringan tanaman untuk membentuk kalus sangat dipengaruhi oleh
komponen dan konsentrasi media, zat pengatur tumbuh dan intensitas cahaya
(Nurwahyuni, 1994). Dalam percobaan ini digunakan media MS untuk memudahkan di
dalam pengamatan terhadap pengaruh pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh
terhadap pertumbuhan kalus. Eksplan biji jeruk yang sudah disterilisasi disayat bagian
basalnya dan dimasukkan ke dalam botol kultur berisi media. Eksplan dibenamkan
secara tegak sampai satu bagian bersentuhan dengan media. Cara ini dilakukan karena
ternyata meletakkan biji pada posisi permukaan bawah atau permukaan atas biji yang
bersentuhan dengan media tidak selalu efektif dalam induksi kalus (Hendroyono dan
Wijayani,1994). Namun pada kultur jaringan dengan eksplan daun kopi telah terbukti
cara yang dilakukan seperti pada kultur jaringan jeruk manis ini lebih baik dalam
merangsang pembentukan kalus embriogenik. Kultur kemudian diinkubasi di dalam
ruang dengan pencahayaan konstan 1000 lux pada suhu 252 oC.
Pengamatan terhadap perkembangan kultur terlihat setelah masa inkubasi satu
minggu kalus mulai membesar untuk semua kelompok perlakuan kecuali pada kontrol.
Kalus terlihat mulai bertumbuh di dalam media kultur pada minggu pertama,kedua dan
seterusnya., Kalus harus disubkultur setelah 12 minggu karena media sudah menipis dan
retak-retak. Kalus bertumbuh mulai pada bagian eksplan bekas luka yang merupakan
pinggiran yang bersentuhan langsung dengan media, dan selanjutnya pertumbuhan
meluas keseluruh permukaan eksplan. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa semua
kelompok perlakuan mengalami pertumbuhan kalus, sebagian kalus mengalami
intensitas pertumbuhan sedang dan sebagian mengalami intensitas pertumbuhan besar
seperti di rangkum pada Tabel 8.2.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 75
Tabel 8.2. Pertumbuhan kalus pada variasi perlakuan kultur kalus jeruk manis Citrus
nobilis Brastepu.
Pertumbuhan Kalus Pada Minggu Ke
Perlakuan
1 2 3 4 5 6
Kontrol * * * * * *
Z1 * * + + + +
Z2 * * + + ++ ++
Z3 * * ++ ++ +++ +++
Z4 * * + + + +
Z5 * * + + ++ ++
Z6 * * ++ ++ +++ +++
Z7 * * + + + ++
Z8 * * * * + +
Z9 * * + + ++ ++
Keterangan: (*) eksplan membesar, (+) kalus bertumbuh, (++) intensitas pertumbuhan kalus sedang,
(+++) intensitas pertumbuhan kalus sangat besar
Kalus yang bertumbuh terlihat bervariasi, diantaranya (1) kalus berwarna coklat,
berair, dan tidak embriogenik, dan (2) kalus embriogenik yang berwarna hijau. Kalus
berkembang dan bertumbuh sehingga perbedaan perkembangan kaluas antara kalus non
embriogenik dan kalus embriogenik terlihat dengan jelas setelah waktu inkubasi selama
empat minggu. Bentuk kalus yang bertumbuh pada minggu ke empat diperlihatkan pada
Gambar 8.4. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa kalus berwarna coklat berair hanya
bertumbuh menjadi kalus dalam jumlah yang besar, tetapi tidak dapat menghasilkan
tanaman. Sedangkan kalus yang berwarna hijau merupakan kaluas embriogenik,
berkembang dengan baik. Kalus emriogenik ada dua jenis yaitu (1) kalus yang
berkembang dari biji menjadi kalus dan beregenerasi menjadi planlet tanaman jeruk,
dan (2) yang terbentuk dari sel-sel dari permukaan biji jeruk langsung beregenerasi
menjadi planlet. Bentuk kalus embriogenik ini diperlihatkan pada Gambar 8.5.
Gambar 8.4. Bentuk kalus non embriogenik pada kultur biji jeruk manis Citrus nobilis
Brastepu pada minggu ke empat.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 76
(a) (b)
Gambar 8.5. (a) Bentuk kalus embriogenik jeruk manis Citrus nobilis Brastepu yang
tumbuh dari biji menjadi kalus dan beregenerasi menjadi plantlet tanaman
jeruk, (b) terbentuk dari sel-sel dari permukaan biji jeruk manis Citrus
nobilis Brastepu langsung beregenerasi menjadi planlet. Pengamatan di
lakukan pada minggu ke empat.
Pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh sangat nyata terhadap induksi dan
kecepatan perkembangannya kalus tetapi tidak berpengaruh terhadap persentase kultur
membentuk kalus. Pada semua perlakuan 100% kultur berkalus. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa media dengan komposisi kombinasi zat pengatur tumbuh sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kalus jeruk Brasitepu. Berat
kalus tertinggi diperoleh pada perlakuan Z3 yaitu dengan menggunakan kombinasi zat
pengatur tumbuh 1 mg/L 2,4 D dan 1 mg/L BAP, dan Z6 yaitu dengan menggunakan
kombinasi IAA 3 mg/L dan 2 mg/L KI, sedangkan berat kalus terrendah diperoleh pada
perlakuan Z8 yaitu dengan menggunakan 5 mg/L KI. Hal ini berbeda dengan perlakuan
Z5 yaitu dengan menggunakan 2 mg/L KI, yaitu menghasilkan berat kalus yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan pemberian kinetin yang lebih banyak. Terlihat bahwa
pertumbuhan kalus intensitas tinggi pada kelompok Z3 dan Z6 disebabkan karena
kombinasiu zat pengatur tumbuh yang ditambahkan pada media sinergis di dalam
memacu pertumbuhan dan perkembangan kalus.
Terlihat bahwa media yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh kombinasi 1
mg/L 2,4 D dan 1 mg/L BAP, dan kombinasi IAA 3 mg/L dan 2 mg/L KI, dapat
memacu pertumbuhan kalus yang sangat banyak, sedangkan untuk kelompok perlakuan
lain (Z1, Z7 dan Z8), yaitu media yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh seperti 1
mg/L 2,4 D, atau 10 mg/L NAA atau 5 mg/L kinetin hanya mampu menumbuhkan
kalus akan tetapi kalus tidak berkembang. Dari berbagai kombinasi variasi media ini
terlihat bahwa media yang diperkaya dengan kombinasi zat pengatur tumbuh 1 mg/L
2,4 D dan 1 mg/L BAP, dan Z6 yaitu dengan menggunakan kombinasi IAA 3 mg/L dan
2 mg/L KI sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan kalus jeruk manis. Dari
hasil ini dapat dinyatakan bahwa komposisi zat pengatur tumbuh yang tepat di dalam
media kultur dapat meningkatkan intensitas pertumbuhan kalus. Analisis data dengan
menggunakan statistik analisis sidik ragam untuk pertumbuhan kalus jeruk manis Citrus
nobilis Brastepu dirangkum pada Tabel 8.4. Dari hasil ini disimpulkan bahwa zat
pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan kalus jeruk Brastepu (Fhitung 2.72 > Ftabel 2.12) pada taraf signifikansi 0,05.
Tabel 8.4. Analisis sidik ragam pertumbuhan kalus kultur jeruk manis Citrus nobilis
Brastepu pada media MS yang diperkaya dengan berbagai jenis zat pengatur
tumbuh (Data pada Tabel 8.3).
SK db JK KT Fhit F,05 F,01
Perlakuan 9 3,68 0,41 2,72 * 2,12 2,89
Galat 40 0,86 0,02
Total 49 4,55
Keterangan: KK(a) = 12,89%, ** = sangat nyata, * = nyata, dan tn = tidak nyata
Perkembangan kultur menjadi planlet pada jeruk manis Citrus nobilis Brastepu
terlihat pada perlakuan Z5 dengan menggunakan zat pengatur tumbuh 2 mg/L KI, yaitu
dapat memacu pertambahan kultur di dalam media. Kelompok perlakuan ini
menunjukkan pertambahan planlet yang paling besar, yaitu dengan rataan jumlah
planlet 4 buah. Kelompok perlakuan lain seperti Z3 dengan menggunakan kombinasi 1
mg/L 2,4 D dan 1 mg/L BAP, dan Z2 dengan menggunakan 1 mg/L BAP juga mampu
meningkatkan pertambahan planlet di dalam kultur, berturut-turut dengan rataan jumlah
planlet 3,4 buah dan 3,0 buah. Dapat dinyatakan bahwa dari seluruh perlakuan ini, yang
paling baik untuk menumbuhkan planlet adalah kelompok perlakuan Z5 dengan
menggunakan zat pengatur tumbuh 2 mg/L KI di dalam media MS. Pertumbuhan dan
perkembangan planlet di media kultur diperlihatkan pada Gambar 8.6.
Gambar 8.6. Pertumbuhan dan perkembangan kalus menjadi planlet yang tumbuh di
media kultur jeruk manis Citrus nobilis Brastepu.
Analisis data terhadap pertumbuhan planlet jeruk manis Citrus nobilis Brastepu
dengan menggunakan statistik analisis sidik ragam dirangkum pada Tabel 8.5. Dari
hasil ini disimpulkan bahwa zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media
tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan planlet jeruk Brastepu (Fhitung 0,35 >
Ftabel 2,12) pada taraf signifikansi 0,05.
Tabel 8.5. Analisis sidik ragam pertumbuhan tunas jeruk manis Citrus nobilis Brastepu
pada media MS yang diperkaya dengan berbagai jenis zat pengatur tumbuh
(Data hasil pada Tabel 8.4).
SK db JK KT Fhit F,05 F.01
Perlakuan 9 6,59 0,73 0,35 tn 2,12 2,89
Galat 40 9,20 0,23
Total 49 15,79
Keterangan: KK(a) = 34,76%, ** = sangat nyata, * = nyata, dan tn = tidak nyata
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 80
Pola pertambahan tinggi tanaman jeruk manis Citrus nobilis Brastepu yang rendah
didapatkan pada kebanyakan kelompok perlakuan, rataan terkecil diperoleh pada
kelompok perlakuan Z1 yaitu dengan pemberian 1 mg/L 2,4 D, yaitu hanya
menghasilkan tanaman pada rataan tinggi 0,4 cm, yaitu jauh lebih rendah dari tinggi
tanaman pada kelompok kontrol dengan rataan tinggi 0,52 cm. Pertumbuhan tinggi
tanaman yang rendah juga diperoleh pada kelompok perlakuan Z8 yaitu dengan
pemberian 5 mg/L kinetin dan kelompok Z9 dengan pemberian kombinasi 10 mg/L
NAA dan 5 mg/L kinetin, berturut-turut pada rataan tinggi 0,74 cm dan 0,82 cm. Dapat
disimpulkan bahwa kelompok tanaman dengan intensitas pertambahan tinggi tanaman
tertinggi diperoleh pada kelompok tanaman yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh
kombinasi 1 mg/L 2,4 D dan BAP. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok
perlakuan Z3 yang diperkaya kombinasi1 mg/L 2,4 D dan BAP meningkatkan
pertumbuhan kalus, jumlah planlet, dan intensitas pertambahan tinggi tanaman.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 81
Gambar 8.7. Pertumbuhan kultur jaringan tanaman jeruk manis Citrus nobilis Brastepu
di dalam media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh
(perlakuan Z3). Pengamatan dilakukan setelah inkubasi 6 minggu.
Analisis data terhadap pertumbuhan tunas jeruk manis Citrus nobilis Brastepu
dengan menggunakan statistik analisis sidik ragam dirangkum pada Tabel 8.7. Dari
hasil ini disimpulkan bahwa zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media
tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tunas jeruk Brastepu (Fhitung 0,40 > Ftabel
2,12) pada taraf signifikansi 0,05.
Tabel 8.7. Analisis sidik ragam pertumbuhan tunas jeruk manis Citrus nobilis Brastepu
pada media MS yang diperkaya dengan berbagai jenis zat pengatur tumbuh
(Data hasil pada Tabel 8.6).
SK db JK KT Fhit F,05 F,01
Perlakuan 9 2,44 0,27 0,40 tn 2,12 2,89
Galat 40 5,09 0,13
Total 49 7,53
Keterangan: KK(a) = 28,73%, ** = sangat nyata, * = nyata, dan tn = tidak nyata
pembentukan kalus dan harus terlebih dahulu dipindahkan ke media MS0. Kalus yang
beregenerasi pada media yaitu menunjukkan diferensiasi sel yang cukup baik, yaitu
untuk sangat jelas terlihat terbentuknya daun, batang dan akar.
8.11. Aklimatisasi Tanaman Jeruk Manis Citrus nobilis Brastepu
Setelah kultur jeruk manis Citrus nobilis Brastepu telah terlihat terbentuk planlet
muda yang berakar sepanjang 1,5 - 2 cm, tanaman ini dikeluarkan secara hati-hati dari
media agar untuk ditanam di dalam pot plastik yang berisi media yang sudah terlebih
dahulu disterilisasi. Bibit yang diamati sebanyak 30 tetapi dalam pertumbuhannya
tanaman mati dua tanaman. Keduapuluh delapan bibit diamati jumlah dan dan tingginya
dengan rataan jumlah daun awal 2,32 buah dan rataan tinggi 2,1 cm. Pemberian pupuk
dilakukan setelah waktu tiga minggu yang dicampurkan ke dalam tanah di dalam pot,
kemudian tanaman di dalam pot dipelihara dirumah kaca dengan penyiraman yang
teratur seperti diperlihatkan pada Gambar 8.8.
Gambar 8.8. Planlet jeruk manis Citrus nobilis Brastepu yang sudah berhasil
diaklimatisasi berumur 4 minggu setelah pemindahan dari botol kultur ke
dalam pot.
Dari gambar dapat dilihat bahwa tanaman jeruk hasil aklimatisasi dalam pot relatif
cepat pertumbuhannya. Selama 1-2 minggu sesudah tanaman dipindahkan dari botol ke
pot hampir semuanya terjadi perubahan baik pada parameter tinggi maupun jumlah
daunnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada waktu tersebut tanaman sedang
menyesuaikan diri pada media dan lingkungan yang berbeda. Adaptasi terjadi baik pada
bagian akar terhadap penyerapan nutrisi dari media yang berbeda maupun pada tunas
khususnya daun terhadap kemampuannya mengefektifkan kembali untuk berfotosintesis
dan bertranspirasi bila tanaman dihadapkan pada lingkungan terbuka seperti rumah kaca
atau lapang. Namun setelah itu terjadi penambahan tinggi batang 1.0 cm dan sudah
terbentuk daun majemuk yang berwarna hijau pada minggu ke empat aklimatisasi. Hal
ini menandakan bahwa tanaman dapat berhasil tumbuh cukup baik di pot, walaupun
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 83
Gambar 8.9. Aklimatisasi tanaman jeruk manis Citrus nobilis Brastepu setelah berumur
1 bulan setelah pemindahan dari botol kultur ke dalam pot.
Rataan jumlah daun dan tinggi tanaman bibit satu bulan masing-masing 4,79 buah
daun dan 3,46 cm. Bibit jeruk manis Citrus nobilis Brastepu hasil perbanyakan secara
kultur jaringan yang sudah dipindahkan ke dalam pot selanjutnya dilakukan pemupukan
untuk melihat perkembangan pertumbuhan bibit sebelum dipindahkan ke lapangan
terbuka. Perawatan dan pemeliharaan bibit tanaman dilakukan dengan penyiraman yang
reguler setiap hari. Pengamatan selalu dilakukan untuk melihat respon bibit terhadap
keadaan lingkungan tempat tanaman bertumbuh. Dari hasil pengamatan diketahui
bahwa bibit jeruk Brastepu dapat beradaptasi dengan baik di dalam tanah di rumah
kaca, hal ini terlihat dari adanya pertumbuhan dan perkembangan bibit jeruk yang
normal, yaitu adanya pertambahan daun dan pertambahan tinggi tanaman jeruk
Brastepu yang terlihat setelah waktu penanaman di dalam pot selama dua bulan seperti
diperlihatkan pada Gambar 8.10. Pertumbuhan dan perkembangan bibit jeruk jeruk
manis Citrus nobilis Brastepu masih tergolong cepat bila dibandingkan dengan
pertumbuhan dan perkembangan bibit yang ditumbuhkan langsung dari biji. Hal ini
mungkin disebabkan oleh perlunya waktu yang diperlukan oleh bibit jeruk Brastepu
untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan yang baru, terutama untuk perkembangan
akar, batang dan daun yang makin mantap. Rataan jumlah dain dan tinggi tanaman
umur dua bulan masing-masing adalah 5,61 daun dan 5,67 cm tingginya. Pengamatan
terhadap pertumbuhan bibit tanaman jeruk pada saat penulisan laporan ini masih
dilanjutkan dengan variasi percobaan yang lain sesuai dengan tujuan penelitian.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 84
Gambar 8.10. Aklimatisasi tanaman jeruk manis Citrus nobilis Brastepu setelah
berumur dua bulan setelah pemindahan dari botol kultur ke dalam pot.
(b (c)
(d)
(a)
. Gambar 8.11. Resistensi tanaman jeruk manis Citrus nobilis Brastepu terhadap fungi
pada saat aklimatisasi umur 1 bulan setelah penambahan ekstrak
miselium fungi pada (a) kontrol, (b) 25 ppm, (c) 50 ppm, dan (d) 75
ppm. Penambahan ekstrak dilakukan setelah diaklimatisasi 2 minggu
sejak dipindah dari botol kultur.
(c)
(b)
(a) (d)
Gambar 8.12. Resistensi tanaman jeruk manis Citrus nobilis Brastepu terhadap fungi
pada saat aklimatisasi umur 2 bulan setelah penambahan ekstrak
miselium fungi pada (a) kontrol, (b) 25 ppm, (c) 50 ppm, dan (d) 75 ppm.
Penambahan ekstrak dilakukan setelah diaklimatisasi 2 minggu sejak
dipindah dari botol kultur.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 86
4. Planlet dapat berkembang menjadi tanaman jeruk manis Citrus nobilis Brastepu di
dalam media kultur dengan tinggi tanaman bervariasi, yaitu tertinggi diperoleh pada
perlakuan Z3 pada perlakuan kombinasi 1 mg/L 2,4 D dan BAP dengan rataan tinggi
tanaman 2,30 cm. Analisis data terhadap pertumbuhan tunas disimpulkan bahwa zat
pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media tidak berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan tunas jeruk Brastepu (Fhitung 0,40 < Ftabel 2,12) pada taraf
signifikansi 0,05.
5. Regenerasi jeruk manis Citrus nobilis Brastepu berhasil dilakukan dengan
memindahkan kalus embriogenik dari media inisiasi ke media MS0 untuk
membentuk planlet. Diferensiasi sel pada kalus yang beregenerasi sangat jelas
terlihat terbentuknya daun, batang dan akar.
6. Aklimatisai jeruk manis Citrus nobilis Brastepu berhail dilakukan untuk ditanam di
dalam pot plastik yang berisi media yang disterilisasi. Aklimatisasi tanaman di dalam
pot pertumbuhannya lambat, bibit yang bertumbuh sudah siap untuk dipindah ke
dalam pot yang lebih besar setelah 6 minggu. Bibit jeruk beradaptasi dengan baik di
dalam tanah di rumah kaca, pertumbuhan dan perkembangan bibit normal, ada
pertambahan daun dan tinggi tanaman setelah di aklimatisasi selama 2 bulan.
7. Uji resistensi tanaman jeruk manis Citrus nobilis Brastepu terhadap fungi pada kultur
tingkat penumbuhan kalus telah dilakukan tetapi data tentang pengaruh isolat dalam
uji ketahanan terhadap fungi masih belum dapat disajikan. Pengaruh pemberian
ekstrak miselium fungi terhadap pertumbuhan tanaman jeruk Brastepu pada saat
diaklimatisasi diketahui bahwa tanaman yang diberi 25 ppm ekstrak miselium fungi
dapat bertumbuh dengan baik tanpa ada gejala penyakit daun, penambahan
konsentrasi fungi pada 50 ppm ekstrak miselium terlihat 50% tanaman mengalami
nekrosis dan yang lain dapat bertahan hidup, akan tetapi pada penambahan 75 ppm
ekstrak miselium fungi terlihat tanaman hampir semua mengalami nekrosis dan daun
menjadi mati.
Hasil penelitian ini telah menunjukkan kemajuan yang baik dalam usaha teknik in
vitro untuk perbanyakan tanaman jeruk manis Citrus nobilis Brastepu berkualitas baik
Penelitian lanjutan harus dilakukan pada tahun kedua untuk melanjutkan tahapan
penelitian dalam rangka mendapatkan tanaman yang unggul, yaitu jeruk manis Brastagi
dengan tingkat produksi buah tinggi, tahan terhadap berbagai hama penyakit, dan dapat
beradaptasi dan berkembang dengan baik pada berbagai iklim di Sumatera Utara dan di
seluruh Wilayah Indonesia.
8.13. Daftar Pustaka
Beloualy, N., (1991), Plant regeneration from callus culture of tree Citrus rootstocks,
Plant Cell and Organ Culture 24: 28-34.
Bhat, S.R., Citralekha, P., dan Chandel, K.P.S., (1992), Regeneration of plants from
long-term root culture of lime, Citrus aurantifolia (Chistm.) Swing., Plant Cell
and Organ Culture 29: 19-25.
Bove, J., dan Morel, G., (1957), La culture de tissus de citrus, Revue Gen. Bot. 64: 1-6
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 88
Carimi, F., Pasquale, F.D., dan Crescimanno, F.G., (1994), Somatic embryogenesis
from syles of lemon (Citrus limon), Plant Cell and Organ Culture 37: 209-211.
Carimi, F., Pasquale, F.D., dan Crescimanno, F.G., (1995), Somatic embryogenesis in
Citrus from styles culture, Plant Science 105: 81-86.
Chaturvedi, H.C., dan Mitra, G.C., (1974), Clonal propagation of citrus from somatic
callus culture, HortScience 9: 118-120.
Chaturvedi, H.C., Sharma, A.K., Sharma, M., dan Prasad, R.N., (1982), Morphogenesis,
micropropagation and germplasm preservation of some economic plants by tissue
cultures. In: Plant Tissue Culture, (A.Fugiwara, eds), Maruzen, Tokyo, P.687-
688.
Da-Gloria, F.J.M., Mourao, F.D.A. dan Mendes, B.M.J., (2000), Plant regeneration
from protoplast of Brazilian citrus cultivars, Pesquisa Agropecuaria Brasileira
35:727-732.
Das, A., Paul, A.K., dan Chaudhuri, S., (2000), Micropropagation of sweet orange,
Citrus sinensis Osbeck. for the development of nucellar seedlings, Indian Journal
of Experimental Biology 38: 269-272.
FAO (Food and Agriculture Organization) of the United nation, (2000), Citrus Fruit
Fresh and Process, Annual Statistics .
Germana, M.A., Wang, Y.Y., Barbagallo, M.G., Iannolino, G., dan Crescimanno, F.G.,
(1994), Recovery of haploid and diploid plantlets from anther culture of Citrus
clementina Hort. ex. Tan. and Citrus reticulata Blanko, J. Hortiultural Science
69: 473-480.
Ghorbel, R., Navarro, L., dan Duran-Villa, N., (1998), Morphogenesis and regeneration
of whole plants of grapefruit (Citrus paradisi), sour orange (C. aurantium) and
alamow (C. macrophylla), J. Hortiultural Science Biotechnology 73: 323-3270.
Goh, C.J., Sim, G.E., Morales, C.L., dan Loh, C.S., (1995), Plantlet regeneration
through different morphogenic pathways in pommelo tissue culture, Plant Cell
and Organ Culture 43: 301-303.
Grinblat, U., (1972), Differentiation of citrus stem in vitro, J. American Society
Horticurtural Science 97: 599-603.
Grosser, J.W., dan Chandler, J.L., (2000), Somatic hybridization of high yield, cold-
hardy and disease resistant parents for citrus rootstock improvement, Journal
Horticultural Science Biotechnology 75: 641-644.
Grosser, J.W., Gmitter, F.G., Tusa, N., Recupero, G.R., dan Cucinotta, P., (1996),
Further evidence of a cybridization requirement for plant regeneration from citrus
leaf protoplasts following somatic fusion, Plant Cell Reports 15: 672-676.
Guiderdoni, E., dan Demarly, Y., (1988), Hystology of somatic embriogenesis in
cultured leaf segments of sugar cane plantlets, Plant Cell. Tiss. Org. Cult. 14: 71-
88.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 89
Hu, J.T., dan Kong, K.L., (1987), The organogenesis of buds from entire lamina of
Citrus sinensis in tissue culture and their anatomical observation, J. Fruit Science
7: 81-84.
Moore, G.A., (1986), In vitro propagation of citrus root stock, HortiScience 21: 300-
301.
Moore, G.A., Jacono, C.C., Neidigh, J.L., Lawrence, S.D., dan Cline, K., (1992),
Agrobacterium-mediated transformation of citrus stem segments and regeneration
of transgenic plants, Plant Cell Reports 11: 238-242.
Murashige, T., dan Skoog, F., (1962), A revised media for rapid grouth and bioassay
with tobacco tissue culture, Physiol. Plant. 15: 473-496.
Murashige, T., dan Tucker, D.P.H., (1969), Grouth factor requirement of citrus tissue
culture, Proc. 1st. Citrus Symp. 3: 1155-1161.
Nurwahyuni, I., (1999), Perbanyakan tanaman kopi arabika (Coffea arabica L) secara
kultur jaringan, Komunikasi Penelitian 11(2): 88-102.
Nurwahyuni, I., (2000), Kultur kalus jeruk manis (Citrus sinensis Brasitepu), Laporan
Hasil Penelitian, USU Medan.
Nurwahyuni, I., (2001a), Perbanyakan Tanaman Jeruk Manis (Citrus sinensis Brasitepu)
Secara Kultur Jaringan, Laporan Hasil Penelitian, USU Medan.
Nurwahyuni, I., (2002a), Kultur jaringan daun jeruk manis (Citrus sinensis Brasitepu)
untuk mikropropagasi, Jurnal Sain Indonesia 24(1): 17-20.
Nurwahyuni, I., (2003b), Uji Ketahanan Kultur Jeruk Manis (Citrus sinensis Brasitepu)
Terhadap Salinitas Menuju Bibit Unggul, Laporan Penelitian,FMIPA USU
Medan
Raman, H., Gosal, S.S., dan Brar, D.S., (1992), Plant regeneration from callus cultures
of citrus lemon and jambhiri, Crop Improvement 19: 100-103.
Sauton, A., Mouras, A., dan Lutz, A., (1982), Plant regeneration from citrus root
meristems, J. Horticultural Science 57: 227-231.
Vu, J.C.V., Niedz, R.P., dan Yelenosky, G., (1995), Activities of sucrose metabolism
enzymes in glycerol grown suspension cultures of sweet orange (Citrus sinensis
L.Osbeck), Environmental Experimental Botany 35: 455-463.
Zar, J.H., (1996), Biostatistical Analysis, 3rd ed, Prentice hall International Inc., London
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 90
Bab IX
OPTIMALISASI TEKNIK IN VITRO UNTUK PERBANYAKAN JERUK
BERKUALITAS BAIK SEBAGAI STRATEGI BIOKONSERVASI JERUK
LOKAL SUMATERA UTARA
9.1. Latarbelakang Masalah
Penggunaan teknik kultur jaringan tanaman untuk perbanyakan bibit jeruk varietas
lokal Sumatera Utara sangat penting dilakukan sebagai strategi biokonservasi untuk
mengatasi kepunahan varietas jeruk Sumatera Utara yang menjadi kekayaan
plasmanuftah. Kenyataan menunjukkan bahwa berbagai jenis jeruk lokal Sumatera
Utara tidak dilestarikan lagi, dan hanya tumbuh secara kebetulan dan liar di lahan
pertanian karena jenis lokal yang dahulu menjadi andalan Sumatera Utara sudah
digantikan dengan jeruk impor yang secara ekonomi menguntungkan para petani.
Kebutuhan terhadap bibit jeruk unggul di Indonesia saat ini sangat mendesak, dalam
rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi hasil pertanian penghasil buah,
khususnya jeruk lokal seperti “Jeruk Brastagi” yang berasal dari Sumatera Utara.
Berbagai jeruk lokal yang dulu menjadi andalan Sumatera Utara mungkin saat ini sudah
tidak lagi beredar dipasaran, bahkan sudah ditinggalkan oleh petani karena beralih ke
jeruk impor. Keunggulan-keunggulan genetika yang dimiliki jeruk lokal Sumatera Utara
masih banyak yang belum dimanfaatkan untuk peningkatan produksi dan kualitas buah
jeruk, misalnya ditinjau dari daya tahan jeruk terhadap beberapa jenis penyakit,
kuantitas dan kualitas produksi, dan bahkan kandungan bioaktif dalam kulit buah dan
daun yang dapat dipergunakan sebagai bahan obat-obatan. Dengan demikian, sebelum
jeruk tersebut punah karena tidak dilestarikan maka perlu dilakukan biokonservasi.
Penelitian yang dilakukan dalam tahapan penelitian ini bertujuan untuk
mengoptimalkan teknik kultur jaringan tanaman untuk perbanyakan bibit jeruk lokal
Sumatera Utara sebagai salah satu upaya untuk perbanyakan bibit jeruk berkualitas
melalui kultur jaringan tanaman. Perbaikan kualitas tanaman jeruk manis lokal
dilakukan melalui teknik in vitro untuk menghasilkan bibit jeruk lokal dalam jumlah
banyak dan seragam, sehingga dapat memenuhi kebutuhan bibit bagi petani khususnya,
agroindustri dan perkebunan nasional umumnya, dan sekaligus sebagai strategi
biokonservasi jeruk lokal Sumatera Utara.
Kebijakan pembangunan pada sektor pertanian yang berorientasi pada
peningkatan produk unggulan sangat perlu mendapat perhatian, mengingat mayoritas
penduduk Indonesia masih menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Perhatian
khusus harus dilakukan terhadap potensi tanaman hortikultura penghasil buah, terutama
yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti jeruk. Jeruk bertumbuh, berkembang dan
berproduksi dengan baik di daerah tropik dan subtropik sehingga dapat diproduksi
secara komersil sebagai salah satu sumber devisa. Dengan demikian, Indonesia sangat
potensil sebagai penghasil jeruk. Berbagai jenis jeruk, seperti jeruk manis termasuk
salah satu buah yang digemari masyarakat Indonesia, sehingga kebutuhan terhadap
jeruk manis diperkirakan setiap saat akan mengalami peningkatan sejalan dengan
peningkatan jumlah penduduk, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal
maupun untuk keperluan ekspor. Kenyataan menunjukkan bahwa di pasar tradisional
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 91
dan nasional terlihat bahwa produksi jeruk lokal masih belum mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi jeruk di Indonesia, sehingga kebanyakan pasar masih
diisi oleh jeruk impor, dan ini menjadi masalah serius yang harus di atasi. Keadaan ini
tentu sangat memalukan bagi Indonesia karena kebutuhan terhadap produk pertanian
seperti jeruk masih tergantung dari produk impor. Permaalahan ini perlu di atasi dengan
pemenuhan produk lokal yang berkualitas baik dan mampu bersaing dengan produk
impor. Dengan demikian, jeruk manis sebagai salah satu produk pertanian unggulan
memiliki prospek baik untuk dikembangkan, dan merupakan salah satu usaha untuk
memberdayakan petani jeruk.
Pemuliaan tanaman jeruk lokal di Indonesia pada umumnya dilakukan melalui
perbanyakan generatif dengan biji, dan sebagian kecil melalui stek dan okulasi. Metode
ini sudah lama dilakukan oleh petani tradisional secara turun temurun. Perbanyakan
generatif melalui biji sangat mudah dan sederhana, akan tetapi, waktu yang dibutuhkan
sejak penanaman sampai berproduksi sangat lama. Kualitas produksi jeruk dari
perbanyakan generatif bervariasi, baik dalam bentuk maupun cita rasa, sehingga untuk
tujuan komersil sangat tidak ekonomis karena kualitas produksi tidak seragam,
sementara itu biaya yang dikeluarkan di dalam penanaman jeruk sampai tanaman ini
berproduksi sangat besar. Akibat ketidakpastian di dalam kualitas jeruk manis varietas
lokal ini maka petani menjadi kurang tertarik untuk melakukan investasi seperti
membudidayakan jeruk dalam jumlah besar. Perbanyakan tanaman jeruk secara
vegetatif melalui stek dan okulasi dapat menghasilkan tanaman berkualitas sama dengan
tanaman induknya. Akan tetapi, sangat sulit mendapatkan bibit yang seragam dalam
jumlah banyak, sehingga tidak memungkinkan untuk menanam jeruk jumlah banyak,
misalnya pada areal luas untuk kebutuhan bibit bagi petani jeruk manis, agroindustri
dan perkebunan nasional.
Propinsi Sumatera Utara termasuk salah satu daerah yang cukup baik untuk
ditanami jeruk. Jeruk manis madu (Citrus sinensis) sekarang dikenal sebagai “Jeruk
Brastagi”. Produk lokal yang khas dari daerah ini yang lain adalah jeruk keprok yaitu
dari varietas Brastepu (Citrus nobilis Var. Brasitepu), jerik manis Boci, jeruk manis
Rimokeling, dan varietas jeruk lainnya yang memiliki keunggulan secara genetika
dalam hal rasa, ketahanan terhadap berbagai jenis penyakit, adaptasi yang tinggi
terhadap iklim dan kondisi tanah, keunggulan dalam kualitas dan kuantitas produksi,
bentuk buah yang mendarik dengan ukuran besar, dan keunggulan lainnya yang tidak
dimiliki oleh jeruk impor. Di pasaran lokal, Jeruk Brastagi mempunyai harga jual tinggi
dibandingkan dengan jenis jeruk manis lokal lainnya, karena citarasanya manis segar
dan ditunjang oleh bentuk dan warna buah yang menarik. Akan tetapi, jeruk varietas
lokal ini sudah sangat langka, bahkan budidaya tanaman tidak banyak yang dilanjutkan
karena kesulitan dalam penyediaan bibit tanaman berkualitas dan unggul. Dengan
demikian, pembudidayaan “Jeruk Brastagi” ini sangat mendesak agar jenis jeruk ini
tidak sampai mengalami kepunahan. Untuk itu, perhatian khusus dalam upaya
peningkatan kualitas dan kuantitas produksi "Jeruk Brastagi" perlu dilakukan agar dapat
memenuhi kebutuhan pasar nasional dan bahkan mampu bersaing dalam pangsa pasar
internasional. Pengembangbiakan jeruk manis lokal seperti varietas Brasitepu, Boci, dan
Rimokeling juga merupakan asset berharga dalam keanekaragaman hayati Indonesia
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 92
sehingga perlu dikonservasi secara biologi (biokonservasi) agar varietas jeruk manis ini
tidak punah.
Budidaya jeruk lokal dari Brastagi, yaitu varietas Brasitepu, Boci, dan Rimokeling
cenderung ditinggalkan oleh petani dan perkebunan nasional karena sulitnya
mendapatkan bibit tanaman yang berkualitas. Rendahnya tingkat keunggulan tanaman
dalam hal daya tahanan terhadap hama penyakit, serta sulitnya menyediakan bibit dalam
jumlah besar dan seragam juga menambah permasalahan bagi petani sehingga budidaya
tanaman jeruk Brastagi varietas Brasitepu, Boci, dan Rimokeling tidak berkembang.
Bila tidak segera dilakukan budidaya tanaman, maka diperkirakan ketiga varietas jeruk
manis Brastagi tersebut akan punah dalam waktu beberapa tahun lagi.
Untuk memenuhi kebutuhan jeruk manis di Sumatera Utara, usaha penanaman
jeruk manis lokal varietas Brasitepu, Boci, dan Rimokeling telah dilakukan oleh petani
tradisional di Kabupaten Karo, akan tetapi masih dalam jumlah terbatas. Permasalahan
utama yang dihadapi dalam pemuliaan tanaman jeruk varietas lokal adalah sulitnya
mendapatkan bibit unggul yang tersedia. Faktor biologis merupakan salah satu
penyebab sulitnya mendapatkan bibit jeruk berkualitas baik, yaitu sterilnya serbuk sari
(pollen) dan bakal biji (ovule), sulitnya persilangan, periode yang cukup panjang untuk
mendapatkan bunga, dan faktor genetik lainnya. Penyediaan bibit jeruk manis di
Sumatera Utara pada umumnya dilakukan melalui perbanyakan generatif dengan biji,
stek dan okulasi. Bibit jeruk lokal yang diproduksi petani ini masih rentan terhadap
hama penyakit. Untuk dapat meningkatkan produksi jeruk manis di Sumatera Utara,
bibit jeruk lokal varietas Brastepu, Boci, dan Rimokeling yang disediakan secara
tradisional sudah sangat perlu diganti dengan bibit unggul. Bibit jeruk manis unggul
tersebut harus mempunyai buah dengan kualitas dan citarasa yang baik, tingkat produksi
buah tinggi, tahan terhadap hama penyakit, dapat bertumbuh dan berkembang pada
berbagai kondisi tanah, curah hujan dan iklim di Indonesia. Bibit jeruk yang memenuhi
kriteria ini sangat sulit diperoleh melalui penyediaan bibit secara konvensional.
Salah satu alternatif yang paling baik dalam penyediaan bibit tanaman jeruk lokal
Brastepu, Boci, dan Rimokeling dalam jumlah banyak dan seragam adalah secara teknik
in vitro melalui kultur jaringan tanaman. Teknik regenerasi ini sekaligus dapat di
lakukan untuk memperbaiki kualitas jeruk lokal Boci, Rimokeling, dan Brasitepu,
menuju bibit unggul. Hal ini mendorong peneliti mengadakan penelitian “Optimalisasi
Teknik In Vitro Untuk Perbanyakan Jeruk Berkualitas Baik Sebagai Strategi
Biokonservasi Jeruk Lokal Sumatera Utara”. Dari hasil penelitian dihasilkan teknik
kultur jaringan yang optimum untuk perbanyakan bibit tanaman jeruk manis lokal
dalam jumlah banyak, seragam, dan dalam waktu relatif singkat, sehingga dapat
memenuhi kebutuhan bibit bagi petani, agroindustri dan perkebunan nasional, sekaligus
sebagai upaya untuk biokonservasi tanaman jeruk manis lokal untuk varietas Boci,
Rimokeling, dan Brasitepu, sebagai keanekaragaman hayati Indonesia agar tidak punah.
Hasil penelitian dapat dipergunakan sebagai strategi mengatasi kepunahan varietas jeruk
lokal yang terdapat di Sumatera Utara, terutama jeruk manis yang pernah jaya
membawakan nama harum Sumatera Utara sebagai penghasil jeruk yang disebut dengan
“Jeruk Brastagi”.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 93
1982). Bahan tanaman (eksplan) yang umum digunakan adalah bagian biji, benih, helai
daun, tangkai daun, ruas batang, tunas aksilar, meristem apikal, dan kultur protoplast
(Balch dan Alejo, 1997; Davey, dkk., 2005; Ling dan Iwamasa, 1997; Santos, dkk.,
2005). Eksplan untuk kultur jaringan harus diambil dari bahan yang masih muda karena
jaringan tersebut mengandung sel-sel yang aktif membelah atau sel meristematik
(Guiderdoni, 1988). Kultur jaringan tanaman dari buku batang dapat menghasilkan
tanaman dengan cepat dan dalam jumlah besar (Edriss dan Burger, 1984). Pemilihan
eksplan banyak ditentukan oleh tujuan penelitian dan terutama tergantung pada
ketersediaan bahan sepanjang waktu. Pada umumnya eksplan ditanam pada media
Murashige dan Skoog (MS). Media untuk kultur jaringan mengandung garam-garam
mineral, asam-asam amino, vitamin, sumber karbon dan energi (gula) dan zat pengatur
tumbuh, dengan komposisi tertentu (Murashige dan Skoog, 1962; Murashige dan
Tucker, 1969). Zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur jaringan bermacam-
macam antara lain auksin (NAA, 2,4-D, IBA, dll) dan sitokinin (BA, kinetin, dan
zeatin). Respon tumbuhan terhadap zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam
media berbeda, tergantung pada jenis tanaman. Potongan tunas, batang atau petiol
berukuran besar (1-2 cm) biasanya membentuk tunas dan akar bila ditumbuhkan pada
media basal tanpa suplemen (Ammiranto, 1984). Namun ujung tunas atau meristem
apikal membutuhkan kombinasi auksin dan sitokinin untuk pertumbuhan.
Efisiensi dan efektifitas dari hormon tumbuhan auksin dan sitokinin dapat
berbeda. Kinetin sangat efektif untuk kultur buku batang, sedangkan BA efektif untuk
kultur tunas apikal (Carimi dkk., 1995). Sitokinin konsentrasi rendah dapat memacu
perkembangan tunas sedangkan pada konsentrasi tinggi dapat merangsang pembentukan
penggandaan tunas. Auksin konsentrasi rendah berfungsi memacu pertumbuhan akar
dan pada konsentrasi tinggi dapat merangsang pertumbuhan kalus (Magoon dan Singh,
1995; Goh dkk., 1995). Dengan demikian, dalam usaha perbanyakan tanaman
dibutuhkan pemilihan perbandingan konsentrasi auksin, sitokinin dan suplemen yang
tepat, karena hal ini sangat menentukan dalam derajat keberhasilan pembentukan
tanaman baru (Nurwahyuni dan Tjondronegoro, 1994).
9.3.1. Kultur Jaringan Tanaman Jeruk
Penggunaan metode in vitro untuk kultur jaringan tanaman jeruk telah dimulai
oleh Bove dan Morel (1957), dan sejak itu kultur jaringan tanaman jeruk banyak
mendapat perhatian. Beberapa penelitian dalam kultur jaringan tanaman untuk beberapa
jenis spesies jeruk telah dilaporkan dalam beberapa publikasi ilmiah (Niedz dan Evens,
2008). Regenerasi tanaman jeruk secara kultur jaringan telah dilakukan dari bagian akar
(Bhat, dkk., 1992; Grosser, 2000; Sauton, dkk., 1982), bagian daun (Hu dan Kong, 1987;
Grosser, dkk., 1996), dari bagian buku batang (Costa, dkk., 2004; Moore, dkk., 1986),
bakal buah (Carimi, dkk., 1998) dan protoplas (Da Gloria, 2000; Das, dkk., 2000).
Pembentukan eksplan untuk beberapa jenis spesies jeruk telah dilakukan, misalnya yang
berasal dari buku batang dan ruas epikotil (Edriss dan Burger, 1984; Grinblat, 1972).
Peneliti lain seperti Hunt, dkk., (2001); Moore, dkk., (1992); dan Pena, dkk., (1995),
telah berhasil membentuk tanaman jeruk transgenik dengan menggunakan mediasi
transfomasi menggunakan Agrobacterium (Casanova, dkk., 2005; Li, dkk., 2003;
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 95
Molinari, dkk., 2004; Pena, dkk., 2004). Usaha untuk mendapatkan tanaman jeruk manis
transgenik melalui perubahan genetis juga telah dilakukan oleh Shimada, dkk., (2004),
Hao, dkk., (2005), Guo dan Grosser, (2005), Miki, dkk., (2005), McHugh, dkk., (2005),
dan Li, dkk., 2007 dan diketahui bahwa faktor genetic penentu terhadap kualitas jeruk
(Terol, dkk., 2008).
Perbanyakan tanaman jeruk secara in vitro melalui kultur jaringan memiliki
beberapa keuntungan diantaranya adalah dapat menghasilkan bibit klonal secara massal
dalam waktu singkat, dapat meningkatkan kualitas tanaman karena menghasilkan
tanaman jeruk yang seragam dan tingkat kesehatan lebih baik (Terol, dkk., 2007;
Ghorbel, dkk., 1998; Wang, dkk., 2006). Perbanyakan in vitro untuk pembentukan
planlet kultur jaringan jeruk adalah melalui embriogenesis somatik, yaitu dapat
menghasilkan propagula dalam jumlah besar dalam waktu singkat. Proses
pembentukannya terjadi secara langsung atau tidak langsung melalui pembentukan
kalus (Germana, dkk., 1994; Raman, dkk., 1992; Beloualy, 1991; Chaturvedi dan Mitra,
1974). Keberhasilan perbanyakan tanaman secara embriogenesis sangat dipengaruhi
oleh zat pengatur tumbuh (zpt), sumber nitrogen, konsentrasi hara dalam media tumbuh,
jenis tanaman, eksplan dan lingkungan tumbuh, iklim (Almeida, dkk., 2008; dkk., 2005;
Carimi, dkk., 1994; Hidaka, 1984; Katz, dkk., 2005; Ling dan Iwamasa, 1997). Media
MS yang diperkaya kinetin sangat berpengaruh memacu pertumbuhan kalus
embriogenik tanaman jeruk (Carimi, dkk., 1995; Moder, dkk., 1999).
Perbanyakan tanaman jeruk manis varitas Citrus sinensis L. Osbeck telah dimulai
oleh Duran-Vila, dkk., (1989) untuk pembentukan kalus, dan studi terhadap pengaruh
pemberian zat pengatur tumbuh dalam kultur jaringan jeruk manis juga telah dilaporkan
oleh Magoon dan Singh, (1995) dan Hidaka dan Kajiura, (1988). Telah diketahui bahwa
faktor genetika varietas jeruk menyebabkan perbedaan dalam jalur metabolisme
pembentukan gula dapat mempengaruhi rasa manis jeruk, yaitu dipengaruhi oleh
aktifitas enzim dalam metabolisme pembentukan gula penentu rasa manis (Martinez-
Godoy, dkk., 2008; Terol, dkk., 2008; Talon dan Gmitter, 2008, Vu, dkk., 1995). Hal-hal
penting yang perlu diperhatikan dalam pemilihan eksplan diantaranya organ sumber
eksplan, umur organ, musim, ukuran eksplan, dan kualitas tanaman induk (Barlass dan
Skene, 1982). Untuk tanaman jeruk manis, sebagai sumber bahan eksplan adalah bagian
vegetatif tanaman karena mudah diperoleh. Eksplan yang potensil untuk regenerasi
jeruk adalah tunas. Faktor lain yang juga tidak kalah penting adalah faktor lingkungan
seperti kelembaban, pH, suhu, dan cahaya (Hidaka, 1984; Goh, dkk., 1995; Moreira-
Dias, 2001; Piqueras, dkk., 1994; Ríos, dkk., 2008; Wang, dkk., 2006). Faktor-faktor
yang disebutkan di atas seluruhnya menjadi perhatian dalam kultur jaringan tanaman
untuk usaha perbaikan kualitas bibit jeruk manis yang dilakukan dalam usulan
penelitian.
Penyakit tanaman yang sangat berbahaya terhadap jeruk manis telah dilaporkan di
Asia dan Afrika adalah huanglongbing (HLB), penyakit ini telah mewabah ampai ke
Araraquara daerah Sao Paulo State, Brazil yang disebabkan oleh bakteri Candidatus
Liberibacter africanus di Africa dan Candidatus Liberibacter asiaticus di Asia yang
merusak daun dan mengakibatkan kematian (Do Carmo, dkk., 2005; Terol, dkk., 2007).
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 96
Beberapa penyakit tanaman jeruk yang umum ditemukan adalah disebabkan oleh jamur
(Chand-Goyal, dkk., 1998), bakteri (Kingsley, dkk., 1993; Lacava, dkk., 2004;
Kozianowski, dkk., 1997), dan virus (Albiach-Marti, dkk., 2000; Marroquin, dkk., 2004;
Mawassi, dkk., 2000; Satyanarayana, dkk., 2001) menjadi perhatian dalam penelitian ini.
Studi terhadap resistensi tanaman terhadap penyakit dimulai dari tingkat kalus menuju
tanaman unggul (Grosser dan Chandler, 2000).
9.3.2. Jeruk Manis Varietas Lokal Sumatera Utara
Berbagai jenis jeruk manis khas Sumatera Utara yang banyak tumbuh di Brastagi
adalah varietas Brasitepu, varietas Boci, dan varietas Rimokeling. Masih banyak lagi
varietas jeruk manis lokal khas sumatera utara yang harus didata oleh peneliti melalui
identifikasi tanaman. Jeruk manis varietas Brasitepu (Citrus sinensis Brasitepu) dikenal
masyarakat di Sumatera Utara dengan nama “Jeruk Brastagi”. Jeruk Brastagi memiliki
cita rasa yang sangat manis di bandingkan dengan jenis jeruk manis lokal lainnya. Di
samping itu, bentuk dan warna kulitnya sangat menarik yang disebabkan oleh faktor
genetik. Berdasarkan hasil survey di lapangan, jeruk manis Citrus sinensis Brasitepu
sangat terkenal di masyarakat karena berfungsi ganda, yaitu sebagai penghasil buah, dan
kulit buah dan daunnya juga digunakan masyarakat sebagai bahan baku obat tradisional
untuk berbagai jenis penyakit. Sampai pada saat ini, penyediaan bibit untuk pemuliaan
tanaman jeruk manis Brasitepu masih dilakukan secara stek untuk mendapatkan bibit
tanaman yang memiliki kualitas sama dengan induknya. Akan tetapi, penyediaan bibit
dengan cara stek sangat terbatas jumlahnya, sehingga pemuliaan tanaman Juruk
Brastagi mengalami kendala dan tidak memungkinkan untuk meningkatkan kuantitas
produksi. Bahkan diperkirakan dalam beberapa tahun kedepan akan terjadi kelangkaan
produksi Jeruk Brastagi varietas Brasitepu. Untuk mengatasi kesulitan dalam
penyediaan bibit jeruk manis varietas lokal Citrus sinensis Brasitepu ini dapat dilakukan
secara in vitro, melalui kultur jaringan tanaman. Teknik kultur jaringan tanaman yang
dilakukan dalam penelitian ini juga bertujuan untuk memperbaiki kualitas tanaman
jeruk manis Citrus sinensis Brasitepu menjadi tanaman unggul, yaitu yaitu jeruk manis
yang mempunyai buah dengan citarasa manis dan enak, tingkat produksi buah tinggi,
tahan terhadap hama penyakit, dapat bertumbuh dan berkembang pada berbagai kondisi
tanah, curah hujan dan iklim di Indonesia. Bibit jeruk manis Citrus sinensis Brasitepu
yang dihasilkan berkualitas baik, seragam dan jumlah banyak, sehingga dapat
memenuhi kebutuhan bibit jeruk bagi petani, agroindustri dan perkebunan nasional.
9.3.3. Propagasi Jeruk Manis Varietas Lokal Sumatera Utara
Beberapa penelitian untuk propagasi jeruk manis varietas lokal sumatera utara
telah berhasil dilakukan oleh peneliti, yaitu perbanyakan jeruk manis Citrus nobilis
Brastepu. Penelitian terhadap varietas jeruk manis Brastepu meliputi pembentukan kalus
embriogenik dari eksplan pucuk (Nurwahyuni, 2000), perbanyakan tanaman jeruk
manis Brastepu secara kultur jaringan (Nurwahyuni, 2001), teknik kultur jaringan daun
jeruk manis Brastepu untuk mikropropagasi (Nurwahyuni, 2002), dan uji ketahanan
kultur jeruk manis Brastepu terhadap salinitas menuju bibit unggul (Nurwahyuni, 2003).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan zat pengatur tumbuh dalam
meregenerasi kalus mempengaruhi kualitas kalus (Nurwahyuni, 2000). Media yang
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 97
diperkaya dengan 2,4-D memacu pertumbuhan kalus, sedangkan yang diperkaya dengan
NAA, ZI dan KI atau kombinasi IAA, BA dan KI hanya mampu menumbuhkan kalus
akan tetapi kalus tidak dapat berkembang. Media yang diperkaya dengan 2,4-D dan KI
sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan kalus jeruk manis. Perkembangan
kultur untuk beberapa kondisi perlakuan menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik
(Nurwahyuni 2001a). Dua tipe pertumbuhan untuk eksplan, yaitu perbesaran eksplan,
yang disebabkan oleh peningkatan jumlah sel dan pembesaran sel yang menyebabkan
eksplan bertambah luas permukaannya. Pembentukan planlet terjadi melalui regenerasi
tidak langsung, yaitu melalui pembentukan kalus terlebih dahulu. Regenerasi menjadi
planlet dapat terjadi pada media tanpa harus terlebih dahulu dipindahkan ke media MS0.
Kalus yang beregenerasi menunjukkan diferensiasi sel cukup baik, yaitu sangat jelas
terlihat terbentuknya daun, batang dan akar (Nurwahyuni, 2002a).
Penelitian lanjutan berupa uji ketahanan kultur jeruk manis Brastepu terhadap
salinitas menuju bibit unggul juga telah dilakukan (Nurwahyuni, 2003a; Nurwahyuni,
2003b). Penelitian bertujuan untuk mempelajari tingkat toleransi terhadap kadar
salinitas tanah menuju bibit unggul. Jeruk manis yang diaklimatisasi dalam media tanah
menunjukkan hasil yang berbeda pada setiap perlakuan. Hasil uji salinitas terbaik adalah
pada perlakuan NaCl25 dengan jumlah daun (5,00), tinggi batang (4,70 cm) dan panjang
akar 3,90 cm. Dari beberapa hasil penelitian pendahuluan yang sudah berhasil dilakukan
sebagaimana diringkas di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik in vitro dapat digunakan
untuk perbanyakan tanaman jeruk manis Citrus sinensis Brastepu dan sekaligus untuk
memperbaiki kualitas tanaman menuju bibit unggul. Dalam pelaksanaan penelitian yang
diusulkan ini, beberapa penelitian lanjutan dilakukan untuk melengkapi hasil penelitian
pendahuluan sampai dihasilkan tanaman jeruk manis Brasitepu unggul dalam jumlah
besar dan seragam melalui kultur jaringan tanaman untuk memenuhi kebutuhan bibit
jeruk manis bagi petani, agroindustri dan perkebunan nasional.
Penelitian untuk propagasi jeruk manis varietas lokal sumatera utara telah berhasil
dilakukan tim peneliti adalah terdiri atas persiapan bahan tanaman, penyediaan media
kultur, sterilisasi eksplan dan penanaman eksplan, regenerasi, aklimatisasi tanaman,
isolasi fungi dan uji ketahanan tanaman terhadap fungi (Nurwahyuni, dkk., 2005 dan
Nurwahyuni, dkk., 2006). Dari hasil penelitian diperoleh semua kelompok perlakuan
mengalami pertumbuhan kalus dengan intensitas sedang dan tinggi. Kalus bertumbuh
bervariasi: (1) kalus berwarna coklat, berair, dan tidak embriogenik, dan (2) kalus
embriogenik yang berwarna hijau. Dua jenis kalus embriogenik yang dihasilkan, yaitu:
(1) berkembang dari biji menjadi kalus dan beregenerasi menjadi plantlet, dan (2)
terbentuk dari sel-sel dari permukaan biji jeruk langsung beregenerasi menjadi planlet.
Pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) di dalam media sangat nyata terhadap induksi
kalus tetapi tidak berpengaruh terhadap persentase kultur membentuk kalus. Berat kalus
tertinggi diperoleh pada perlakuan Z3 menggunakan kombinasi ZPT 1 mg/L 2,4 D dan
1 mg/L BAP. Persentase keberhasilan pertumbuhan eksplan untuk bertumbuh cukup
tinggi dan bervariasi. Perkembangan kultur menjadi planlet pada jeruk manis Citrus
nobilis Brastepu tertinggi menggunakan 2 mg/L KI, rataan jumlah planlet 4 buah. Zat
pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan tunas jeruk manis Brastepu. Regenerasi jeruk manis Brastepu berhasil
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 98
dilakukan dengan memindahkan kalus embriogenik dari media inisiasi ke media MS0
untuk membentuk planlet. Diferensiasi sel terjadi dengan pembentukan daun, batang
dan akar.
Beberapa penelitian pendahuluan telah berhasil dilakukan oleh peneliti, seperti
pembentukan kalus embriogenik dari eksplan pucuk (Nurwahyuni, 2000), perbanyakan
tanaman jeruk manis (Citrus sinensis Brasitepu) secara kultur jaringan (Nurwahyuni
2001a), teknik kultur jaringan daun jeruk manis (Citrus sinensis Brasitepu) untuk
mikropropagasi (Nurwahyuni, 2002a), dan uji ketahanan kultur jeruk manis (Citrus
sinensis Brasitepu) terhadap salinitas menuju bibit unggul (Nurwahyuni, 2003). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penambahan zat pengatur tumbuh dalam meregenerasi
kalus mempengaruhi kualitas kalus (Nurwahyuni, 2000). Media yang diperkaya dengan
2,4-D memacu pertumbuhan kalus, sedangkan yang diperkaya dengan NAA, ZI dan KI
atau kombinasi IAA, BA dan KI hanya mampu menumbuhkan kalus akan tetapi kalus
tidak dapat berkembang. Media yang diperkaya dengan 2,4-D dan KI sangat baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan kalus jeruk manis. Perkembangan kultur untuk
beberapa kondisi perlakuan menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik (Nurwahyuni
2001a). Dua tipe pertumbuhan untuk eksplan, yaitu perbesaran eksplan, yang
disebabkan oleh peningkatan jumlah sel dan pembesaran sel yang menyebabkan eksplan
bertambah luas permukaannya. Pembentukan planlet terjadi melalui regenerasi tidak
langsung, yaitu melalui pembentukan kalus terlebih dahulu. Regenerasi menjadi planlet
dapat terjadi pada media tanpa harus terlebih dahulu dipindahkan ke media MS0. Kalus
yang beregenerasi menunjukkan diferensiasi sel cukup baik, yaitu sangat jelas terlihat
terbentuknya daun, batang dan akar (Nurwahyuni, 2002a). Penelitian lanjutan berupa uji
ketahanan kultur jeruk manis (Citrus sinensis Brasitepu) terhadap salinitas menuju bibit
unggul juga telah dilakukan (Nurwahyuni, 2003). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
teknik regenerasi yang lebih baik dalam meningkatkan adaptasi tanaman terhadap
tingkat salinitas tanah.
Propagasi jeruk manis varietas lokal sumatera utara telah dilakukan tim peneliti
adalah terdiri atas persiapan bahan tanaman, penyediaan media kultur, sterilisasi eksplan
dan penanaman eksplan, regenerasi, aklimatisasi tanaman, isolasi fungi dan uji
ketahanan tanaman terhadap fungi (Nurwahyuni, dkk., 2005). Penelitian lanjutan
melanjutkan tahapan penelitian dalam rangka mendapatkan tanaman yang unggul, yaitu
jeruk manis Brastagi dengan tingkat produksi buah tinggi, tahan terhadap berbagai hama
penyakit, dan dapat beradaptasi dan berkembang dengan baik pada berbagai iklim di
Sumatera Utara dan di seluruh Wilayah Indonesia juga telah dilakukan (Nurwahyuni,
dkk. 2006). Dari beberapa hasil penelitian pendahuluan yang sudah berhasil dilakukan
sebagaimana diringkas di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik in vitro dapat digunakan
untuk perbanyakan tanaman jeruk manis lokal dan sekaligus untuk memperbaiki
kualitas tanaman menuju bibit unggul. Beberapa penelitian lanjutan dilakukan untuk
melengkapi hasil penelitian pendahuluan sampai dihasilkan tanaman jeruk manis
(Citrus sinensis Brasitepu) unggul dalam jumlah besar dan seragam melalui kultur
jaringan tanaman untuk memenuhi kebutuhan bibit jeruk manis bagi petani, agroindustri
dan perkebunan nasional.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 99
Utara dilihat dari taksonomi, dan deskripsi lain yang dapat diperoleh dari lapang
dipergunakan sebagai kekayaan hayati Indonesia.
9.4.2. Rancangan Penelitian
Penelitian bersifat eksperimental, dengan kombinasi perlakuan percobaan seperti
diperlihatkan pada Tabel 9.1. Variabel percobaan terdiri atas (A) variasi jeruk manis
khas Sumatera Utara terdiri atas (A-1) varietas Brasitepu, (A-2) varietas Boci, dan (A-3)
varietas Rimokeling, (B) Variasi sumber eksplan, terdiri atas (B-1) embrio, (B-2) pucuk,
(B-3) kotiledon, (C) variasi jenis zat pengatur tumbuh auksin (C-1) 2,4
dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), (C-2) Indole-3-acetic acid (IAA), (C-3) -
napthaleneacetic acid (NAA), (D) variasi sitokinin (D-1) Zeatin (ZI), (D-2) Kinetin
(KI), (D-3) benzyladenin (BA), dan (E) variasi suplemen terdiri atas (E-1) ekstrak malt,
(E-2) glutamin, dan (E-3) air kelapa. Semua kelompok perlakuan dilakukan dengan 10
ulangan. Kombinasi perlakuan diantaranya adalah media Murashige dan Skoog (MS),
dan diperkaya dengan zat pengatur tumbuh (zpt): -napthaleneacetic acid (NAA),
Zeatin (ZI), Kinetin (KI), benzyladenin (BA), Indole-3-acetic acid (IAA), dan 2,4
dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Media kultur untuk inisiasi kalus terdiri atas media
MS yang diperkaya dengan zpt. Optimasi percobaan meliputi inisiasi kalus, regenerasi,
aklimatisasi dilakukan dengan berbagai variasi perlakuan. Studi terhadap resistensi
kultur terhadap beberapa penyakit dilakukan dalam tingkat kalus dengan variasi
kosentrasi ekstrak inokulum seperti fungi dan bakteri di dalam kalus yang berhasil
dikultur pada tahapan awal. Adaptasi tanaman terhadap iklim dan kadar air dilakukan
secara laboratorium di rumah kaca dengan perlakuan variasi tingkat kesuburan tanah
(pemupukan). Percobaan dilakukan menggunakan rancangan acak kelompok (Zar,
1996).
9.4.3. Prosedur dan Tahapan Penelitian
Prosedur penelitian terdiri atas persiapan bahan tanaman, penyediaan media
kultur, sterilisasi eksplan dan penanaman eksplan, regenerasi dan aklimatisasi tanaman
jeruk manis varietas lokal sumatera utara meliputi varietas Brasitepu, varietas Boci,
varietas Rimokeling, dan varietas lokal lain yang mungkin pernah menjadi tanaman
unggulan di Sumatera Utara dan masih dapat ditemukan bertumbuh secara liar maupun
berupa tanaman budidaya. Masing-masing tahapan penelitian yang disebutkan di atas
dijelaskan secara singkat berikut ini
9.4.3.1. Persiapan Bahan Tanaman
Tanaman induk yang dipergunakan sebagai sumber eksplan adalah kultur jeruk
khas Sumatera Utara sp Brastepu, Boci, dan Rimokeling yang terlebih dahulu
dikarakteristisasi dan diidentifikasi, yaitu tanaman yang sudah diketahui kesehatannya
dan kondisinya terhadap hama penyakit melalui anatomi dan sejarah tanaman jeruk dari
para petani pemilik tanaman jeruk. Tanaman jeruk lokal Sumatera Utara sp Brasitepu,
varietas Boci, varietas Rimokeling, dan Varietas lokal lainnya yang diperoleh dari hasil
identifikasi dan kharakterisasi. Jeruk lokal Sumatera Utara yang sudah diketahui seperti
varietas Brasitepu, varietas Boci, dan varietas Rimokeling dipilih dari Desa Bukit,
Kecamatan Brastagi, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Bagian tanaman yang
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 101
diambil dijadikan sebagai sumber eksplan dalam kultur jaringan adalah embrio, pucuk
dan kotiledon, yang dipilih dari tanaman induk yang tergolong baik dan unggul
dibanding tanaman lain sejenis yang ada di lokasi tempat tumbuh.
9.4.3.2. Penyediaan Media Kultur
Media basal terdiri atas garam mineral esensial dan vitamin yang disebut sebagai
media MS (Murashige dan Skoog, 1962) yang di perkeras dengan 1% agar. Kondisi pH
media di atur pada pH 6, kemudian di sterilisasi di autoclaf pada 121 oC selama 20
menit. Media basal terdiri atas garam mineral esensial dan vitamin yang disebut sebagai
media MS (Murashige dan Skoog, 1962) yang di perkeras dengan 0,8% agar. Kondisi
pH media di atur pada pH 5,8, kemudian di sterilisasi di autoklaf pada 121 oC, 15 lb
selama 20 menit. Media basal yang digunakan di dalam penelitian di variasi
komposisinya, yaitu mengandung dan diperkaya dengan zat pengatur tumbuh (zpt): -
napthaleneacetic acid (NAA), Kinetin (KI), benzyl amino purin (BAP), indole-3-acetic
acid (IAA), dan 2,4 dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Media kultur untuk inisiasi
kalus terdiri atas media MS yang diperkaya dengan zpt.
Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan
seperti diperlihatkan dalam rancangan percobaan pada Tabel 9.2. Konsentrasi zat
pengatur tumbuh Kinetin divariasi terdiri atas: (C10) Media MS tanpa 2,4-D, (C11)
Media MS dengan 0,5 mg 2,4-D, (C12) Media MS dengan 1,0 mg 2,4-D, (C20) Media
MS tanpa IAA, (C11) Media MS dengan 0,5 mg IAA, (C12) Media MS dengan 1,0 mg
IAA, dan (C30) Media MS tanpa NAA, (C11) Media MS dengan 0,5 mg NAA, (C12)
Media MS dengan 1,0 mg NAA. Di samping itu konsentrasi zat pengatur tumbuh
Auksin divariasi terdiri atas: (D10) Media MS tanpa ZI, (D11) Media MS dengan 0,5
mg ZI, (D12) Media MS dengan 1,0 mg ZI, (D20) Media MS tanpa KI, (D21) Media
MS dengan 0,5 mg KI, (D22) Media MS dengan 1,0 mg KI, dan (D30) Media MS tanpa
BA, (D31) Media MS dengan 0,5 mg BA, (D32) Media MS dengan 1,0 mg BA. Variasi
perlakuan ini dilakukan untuk jeruk lokal (A-1) Brasitepu, (A-2) Boci, (A-3)
Rimokeling, dan varietas lokal lain dengan variasi sumber eksplan adalah (B-1) embrio,
(B-2) pucuk, (B-3) kotiledon.
9.4.3.3. Sterilisasi Eksplan dan Penanaman Eksplan
Tunas muda tanaman jeruk varietas Brasitepu, varietas Boci, varietas Rimokeling
dan varietas lokal lain, mulai dari meristem apikal diambil lalu dicuci dengan air sabun
dan dibilas dengan air kran. Tunas dipotong sepanjang 10 cm dari pangkal kemudian
disterilasi dalam kondisi aseptik dalam alkohol 70% selama 1 menit dan diikuti dengan
pemindahan kedalam larutan kloroks 10% dan 20% masing-masing selama 10 menit,
dan 0,1% HgCl2 selama 5 menit, kemudian dibilas dengan akuades steril sebanyak 5
kali. Meristem apikal dibuang dan daun dipotong, kemudian eksplan ditanam sepanjang
0.5 cm dalam media inisiasi. Sebagai media inisiasi kalus embriogenik dipergunakan
media MS padat yang ditambah dengan 2,4-D. Komposisi 2,4-D divariasi sebagai media
pemelihara embriogenik. Kultur diinkubasi dengan penyinaran 1000 lux selama 16
jam/hari, dengan suhu 252 oC. Kultur dipelihara selama 6 minggu sebelum dilakukan
perlakuan lanjutan, dan pengamatan dilakukan setiap 3 hari sekali.
Kultur Jaringan Tanaman dan Applikasi Perbanyakan Tanaman Keras (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 102
Tabel 9.1. Disain penelitian rancangan acak lengap dengan kombinasi antara (A) Varietas jeruk, (B) Variasi sumber eksplan, (C)
Variasi jenis zat pengatur tumbuh auksin, (D) Variasi sitokinin, dan pada masing-masing perlakuan ditambah suplemen.
ZPT 2,4-D (C1) ZPT IAA (C2) ZPT NAA (C3)
Varietas Eksplan
ZPT ZI ZPT KI ZPT BA ZPT ZI ZPT KI ZPT BA ZPT ZI ZPT KI ZPT BA
(A) (B)
(D1) (D2) (D3) (D1) (D2) (D3) (D1) (D2) (D3)
Embrio
A1B1C1D1 A1B1C1D2 A1B1C1D3 A1B1C2D1 A1B1C2D2 A1B1C2D3 A1B1C3D1 A1B1C3D2 A1B1C3D3
(B1)
Brasitepu Pucuk
A1B2C1D1 A1B2C1D2 A1B2C1D3 A1B2C2D1 A1B2C2D2 A1B2C2D3 A1B2C3D1 A1B2C3D2 A1B2C3D3
(A1) (B2)
Kotiledon
A1B3C1D1 A1B3C1D2 A1B3C1D3 A1B3C2D1 A1B3C2D2 A1B3C2D3 A1B3C3D1 A1B3C3D2 A1B3C3D3
(B3)
Embrio
A2B1C1D1 A2B1C1D2 A2B1C1D3 A2B1C2D1 A2B1C2D2 A2B1C2D3 A2B1C3D1 A2B1C3D2 A2B1C3D3
(B1)
Pucuk
Boci (A2) A2B2C1D1 A2B2C1D2 A2B2C1D3 A2B2C2D1 A2B2C2D2 A2B2C2D3 A2B2C3D1 A2B2C3D2 A2B2C3D3
(B2)
Kotiledon
A2B3C1D1 A2B3C1D2 A2B3C1D3 A2B3C2D1 A2B3C2D2 A2B3C2D3 A2B3C3D1 A2B3C3D2 A2B3C3D3
(B3)
Embrio
A3B1C1D1 A3B1C1D2 A3B1C1D3 A3B1C2D1 A3B1C2D2 A3B1C2D3 A3B1C3D1 A3B1C3D2 A3B1C3D3
(B1)
Rimokeling Pucuk
A3B2C1D1 A3B2C1D2 A3B2C1D3 A3B2C2D1 A3B2C2D2 A3B2C2D3 A3B2C3D1 A3B2C3D2 A3B2C3D3
(A3) (B2)
Kotiledon
A3B3C1D1 A3B3C1D2 A3B3C1D3 A3B3C2D1 A3B3C2D2 A3B3C2D3 A3B3C3D1 A3B3C3D2 A3B3C3D3
(B3)
Keterangan:
(A1) varietas Brasitepu, (A2) varietas Boci, (A3) varietas Rimokeling, dan (A4) varietas jeruk Sumatera Uatara yang lain
(B1) embrio, (B2) pucuk, (B3) kotiledon
(C1) 2,4 dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), (C2) Indole-3-acetic acid (IAA), (C3) -napthaleneacetic acid (NAA)
(D1) Zeatin (ZI), (D2) Kinetin (KI), (D3) benzyladenin (BA)
103
Tabel 9.2. Disain penelitian rancangan acak lengap media kultur untuk inisiasi kalus terdiri atas media MS yang diperkaya dengan zpt
dengan kombinasi antara (C) variasi konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin, (D) variasi konentrasi sitokinin.
Biji jeruk lokal varietas Brasitepu, varietas Boci, varietas Rimokeling, dan
varietas local lain yang teridentifikasi diambil dari tanaman induk jeruk varietas lokal
yang sehat dan masih produktif dikupas lalu dicuci dengan air sabun dan dibilas dengan
air kran. Biji jeruk disterilasi dalam kondisi aseptik dalam larutan benlate 2 gram per
liter, alkohol 70% selama 1 menit dan diikuti dengan pemindahan ke dalam larutan
pemutih (yang mengandung NaClO 5,25%) pada konsentrasi 10% dan 20% masing-
masing selama 10 menit, dan 0.1% HgCl2 selama 2 menit, setiap interval dibilas dengan
akuades steril sebanyak 3 kali. Biji jeruk lokal dipotong sedikit di bagian pangkal,
kemudian eksplan ditanam dalam media inisiasi. Sebagai media inisiasi kalus
embriogenik digunakan media MS padat yang ditambah dengan zat pengatur tumbuh.
Komposisi zat pengatur tumbuh divariasi sebagai media pemelihara kalus embriogenik.
Kultur jeruk diinkubasi dengan penyinaran 1000 lux selama 16 jam/hari, dengan suhu
252 oC. Kultur dipelihara selama 12 minggu sebelum dilakukan perlakuan lanjutan,
dan pengamatan dilakukan setiap 3 hari sekali.
9.4.3.4. Parameter Pengamatan
Parameter pengamatan pada masing-masing kultur yang ditumbuhkan di dalam
media kultur diperoleh data pengamatan berupa pertumbuhan dan perkembangan kalus
(berat basah kalus, perkembangan kalus), jumlah embrio somatik (bentuk embrio
somatik), dan volume akar. Masing-masing parameter ini dibuat dalam bentuk tabel dan
grafik. Pertumbuhan dan perkembangan kalus dan embrio somatik juga ditunjukkan
dalam bentuk foto dari masing-masing kelompok perlakuan, yaitu untuk varietas
Brasitepu, varietas Boci, dan varietas Rimokeling. Pengamatan untuk masing-masing
varietas dilakukan pada masing-masing sumber eksplan seperti embrio, pucuk, dan
kotiledon.
9.4.3.5. Regenerasi Tanaman
Terhadap kalus yang terbentuk pada kultur dilakukan regenerasi kalus menjadi
tanaman dengan cara memindahkan kalus ke dalam media regenerasi. Sebagai media
regenerasi digunakan media MS0 (media MS tanpa zat pengatur tumbuh) dan MS yang
diperkaya dengan zat pengatur tumbuh. Kondisi ruangan kultur dipelihara sama seperti
pada saat inisiasi. Pada fase ini dilakukan pengamatan kemampuan kultur morfogenik
beregenerasi menjadi tanaman, seperti jumlah tunas dan tunas berakar, jumlah tunas
per-eksplan, jumlah akar dan kecepatan pertumbuhan, hasil diferensiasi kalus setelah di
subkultur, respon tunas pada media perakaran, dan kecepatan pertumbuhan. Dalam
tahapan ini diuji juga resistensi tanaman (kalus yang bertumbuh) terhadap hama
penyakit, yaitu jenis jamur, bakteri dan virus dalam berbagai variasi perlakuan. Faktor-
fakator lain juga dioptimasi untuk mendapatkan kondisi optimum pertumbuhan dan
perkembangan kalus.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 105
jeruk varietas lokal maka hampir semua petani jeruk yang ada Kabupaten Karo sudah
dikunjungi oleh Tim peneliti dengan menyertakan seorang Petani asli dari Brastagi dan
Staf Dinas Pertanian yang ada di Brastagi, sehingga mereka menjadi informan tentang
keberadaan varietas jeruk lokal yang masih hidup dan berproduksi di kabupaten karo.
Dari hasil penelitian sampai pada tahap ini diketahui bahwa hanya tiga jenis jeruk manis
varietas lokal asal Brastagi yang masih tersisa dengan jumlah populasi yang sangat
terbatas yang sedang tumbuh di Kabupaten Karo. Pencarian jenis varietas lain masih
tetap dilakukan oleh tim peneliti dengan meminta informasi dari petani lainnya sehingga
dapat mengumpulkan seluruh varietas jeruk manis yang pernah menjadi kekayaan
plasmanuftah di Provinsi Sumatera Utara, khususnya petani jeruk di Brastagi Kabupaten
Karo. Pada setiap varietas jeruk manis lokal ini dilakukan penyelamatan tanaman
dengan cara sistem tempel untuk dapat dipergunakan sebagai sumber eksplan untuk
proses pengkulturan bagian-bagian jeruk tersebut (kotiledon, embrio dan pucuk)
sehingga didapatkan seumber eksplan yang mencukupi untuk berbagai jenis varietas
jeruk lokal. Sampai pada tahap laporan hasil penelitian tahap pertama ini dijelaskan
bahwa hasil yang sudah dicapai sampai saat ini adalah keberhasilan tim peneliti dalam
mengidentifikasi 3 jenis jeruk terutama karakteristik dari buah dan biji, seperti
dideskripsikan pada karakteristik masing-masing jeruk: (1) Jeruk varietas Boci, (2)
Jeruk varietas Brastepu, dan (3) Jeruk varietas Rimokeling. Pohon dan buah jeruk
berbagai jenis varietas lokal sumatera utara beserta okulasi ketiga jenis varietas ini
diperlihatkan pada Gambar 9.1.
Gambar 9.1. (a) Pohon dan buah jeruk varietas Boci (kiri, atas), (b) Pohon dan jeruk
Brastepu (kanan atas), (c) pohon dan buah varietas Rimokeling (kiri,
bawah), dan (d) Okulasi 3 jenis jeruk sebagai sumber pucuk
(kanan,bawah).
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 107
Gambar 9.2. (a) Pohon jeruk varietas Boci yang tumbuh di perkebunan rakyat
Berastagi, Kabupaten Karo, (b) Buah jeruk Boci sebelum matang dan yang
mendekati matang, (c) Buah jeruk dibelah menunjukkan warna juring
orange dan biji bulat, dan (d) Biji jeruk Boci, dan (e) daun jeruk Boci.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 108
Pada awalnya jeruk varietas Boci banyak ditanam petani dengan keunggulan
produksi tinggi 50 kg/pohon pada musim panen, bentuk buah yang menarik dengan
warna orange-merah, buah berasa sangat manis dengan kuantitas air buah yang banyak,
dan buah pada awalnya tidak berbiji, sehingga pembudidayaan yang dilakukan oleh
masyarakat pada saat itu adalah dengan cara mencangkok. Dengan ditemukannya teknik
tempel, maka pembudidayaan Jeruk varietas Boci dilakukan dalam jumlah terbatas
dengan cara menembel pada jeruk asam. Bentuk buah jeruk varietas Boci yang utuh
beserta buah jeruk varietas Boci yang sudah dibelah menunjukkan warna juring orange,
biji jeruk jeruk varietas boci, dan bentuk daun jeruk varietas boci diperlihatkan pada
Gambar 9.2. Perkembangannya pada saat ini diketahui terjadi perubahan dalam hal biji
buah, yaitu pada saat ini buah Jeruk varietas Boci sekarang sudah memilki biji
sebanyak ±2-4 per buah, dan bentuk biji besar, lebar, dan rata-rata 25% biji kosong.
Padas saat jeruk masih muda (belum matang) biji kelihatan berisi dan besar seolah-olah
seperti biji yang sempurna, akan tetapi bila jeruk dibiarkan matang (kulit buah merah),
25% biji tersebut kosong, dan 75% biji yang tidak kosong terlihat mengecil dan melisut
tetapi dapat bertumbuh bila disemaikan. Diduga, adanya biji dari jeruk varietas Boci
kemungkinan disebabkan oleh sudah terjadi persilangan antara jeruk tersebut dengan
jeruk manis (Jeruk Madu) yang akhir-akhir ini mendominasi lahan perkebunan jeruk di
Brastagi umumnya dan desa Bukit khususnya.
Dari hasil penelusuran oleh tim peneliti di kabupaten Karo, khususnya terhadap
petani jeruk yang sedang memiliki pohon jeruk secara komersil dan liar di areal
pertaniannya diketahui bahwa tanaman jeruk varietas boci yang tumbuh dan masih
produktif tinggal 3 pohon saja. Untuk menghindari kepunahan terhadap jenis tanaman
varietas Boci ini maka tim peneliti baru-baru ini sudah melakukan perbanyakan
tanaman secara cepat dengan cara okulasi dan cara generatif seperti diperlihatkan pada
Gambar 9.3. Regenerasi cara ini dilakukan untuk memenuhi devertifikasi jeruk dari
Brastagi agar mencukupi sebagai sumber eksplan dalam perlakuan pada penelitian
selanjutnya, yaitu perbanyakan secara invitro melalui teknik kultur jaringan tanaman.
Dari hasil perbanyakan secara okulasi diketahui bahwa tanaman jeruk varietas boci
bertumbuh dengan baik seperti diperlihatkan pada Gambar 9.3a. Terlihat bahwa bentuk
tanaman jeruk varietas Boci hasil okulasi yang ditempelkan pada tanaman jeruk asam
terlihat bahwa bentuk tanaman hampir sama dengan tanaman induknya. Tanaman jeruk
varietas boci hasil okulasi setelah tanaman bertumbuh selama 3 bulan diketahui bahwa
tanaman memiliki daun lebar, bertumbuh dengan baik seperti tanaman jeruk yang sudah
dewasa, dan tunas dan ranting tidak memilki duri sama seperti tanaman induknya.
Perbanyakan secara generatif terhadap jeruk varietas Boci juga dilakukan untuk melihat
apakah ada perbedaan dalam bentuk tanaman yang diperbanyak secara okulasi dengan
tanaman yang diperbanyak secara generatif. Dari hasil perbanyakan secara generatif
setelah tanaman bertumbuh selama 6 bulan diketahui bahwa perkembangan tanaman
sangat lambat, bentuk daun tanaman hampir sama dengan tanaman induknya, dan
batang tanaman, tunas dan ranting penuh dengan duri yang sangat tajam dan besar-
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 109
besar. Bentuk ini sangat jauh berbeda dengan bentuk tanaman hasil okulasi yang tidak
memiliki duri. Analisis terhadap genetik sedang dilakukan untuk memastikan perbedaan
kedua jenis bibit tanaman yang dihasilkan melalui teknik okulasi dan tenik generatif ini.
Gambar 9.3. Bentuk bibit tanaman jeruk varietas Boci yang diperbanyak dengan cara:
(a) Teknik perbanyakan secara okulasi dengan umur tanaman setelah
okulasi 3 bulan, (b) Teknik perbanyakan secara generatif dengan umur
tanaman setelah generatif 6 bulan.
Gambar 9.4. (a) Pohon jeruk manis Citrus sinensis Brasitepu yang tumbuh di
perkebunan rakyat Berastagi, Kabupaten Karo, (b) Buah jeruk Brasitepu,
(c) Buah jeruk dibelah menunjukkan warna juring orange dan biji bulat,
dan (d) daun dan bunga.
Sampai pada saat ini, penyediaan bibit untuk pemuliaan tanaman jeruk manis
varitas Brasitepu (Citrus sinensis Brasitepu) masih dilakukan secara stek untuk
mendapatkan bibit tanaman yang memiliki kualitas sama dengan induknya. Akan tetapi,
penyediaan bibit dengan cara stek sangat terbatas jumlahnya, sehingga pemuliaan
tanaman Juruk Brastagi mengalami kendala dan tidak memungkinkan untuk
meningkatkan kuantitas produksi. Bahkan diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan
akan terjadi kelangkaan produksi Jeruk Brastagi varietas Brasitepu. Berdasarkan hasil
penelusuran tim peneliti di kabupaten Karo diketahui bahwa tanaman jeruk varietas
Brasitepu yang tumbuh dan masih produktif tinggal 2 pohon saja yaitu yang ditanam
oleh satu keluarga. Keadaan pohon ini sangat memprihatinkan karena tidak lagi
produktif. Untuk menghindari kepunahan terhadap jenis tanaman varietas Brasitepu ini
maka tim peneliti sudah melakukan perbanyakan tanaman secara cepat dengan cara
okulasi dan cara generatif seperti diperlihatkan pada Gambar 9.5.
Regenerasi cara ini dilakukan untuk memenuhi devertifikasi jeruk dari Brastagi
agar mencukupi sebagai sumber eksplan dalam perlakuan pada penelitian selanjutnya,
yaitu perbanyakan secara invitro melalui teknik kultur jaringan tanaman. Dari hasil
perbanyakan secara okulasi diketahui bahwa tanaman jeruk varietas boci bertumbuh
dengan baik seperti diperlihatkan pada Gambar 9.5a. Terlihat bahwa bentuk tanaman
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 111
jeruk varietas Brasitepu hasil okulasi yang ditempelkan pada tanaman jeruk asam
terlihat bahwa bentuk tanaman hampir sama dengan tanaman induknya. Tanaman jeruk
varietas Brasitepu hasil okulasi setelah tanaman bertumbuh selama 3 bulan diketahui
bahwa tanaman memiliki daun lebar, bertumbuh dengan baik seperti tanaman jeruk
yang sudah dewasa, dan tunas dan ranting tidak memilki duri sama seperti tanaman
induknya. Perbanyakan secara generatif terhadap jeruk varietas Brasitepu juga
dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan dalam bentuk tanaman yang
diperbanyak secara okulasi dengan tanaman yang diperbanyak secara generatif. Dari
hasil perbanyakan secara generatif setelah tanaman bertumbuh selama 5 bulan diketahui
bahwa perkembangan tanaman sangat lambat, bentuk daun tanaman hampir sama
dengan tanaman induknya, dan batang tanaman, tunas dan ranting penuh dengan duri
yang sangat tajam dan besar-besar. Bentuk ini sangat jauh berbeda dengan bentuk
tanaman hasil okulasi yang tidak memiliki duri. Analisis terhadap genetik sedang
dilakukan (Hasil belum didapatkan) untuk memastikan perbedaan kedua jenis bibit
tanaman yang dihasilkan melalui teknik okulasi dan tenik generatif ini.
Gambar 9.5. Bentuk bibit tanaman jeruk varietas Brasitepu yang diperbanyak dengan
cara: (a) Teknik perbanyakan secara okulasi dengan umur tanaman setelah
okulasi 3 bulan, (b) Teknik perbanyakan secara generatif dengan umur
tanaman setelah generatif 5 bulan.
banyak dikembangkan oleh masyarakat karena berfungsi ganda sebagai penghasil buah
dan sebagai bahan obat-obatan. Berdasarkan informasi dari masyarakat petani jeruk di
Kabupaten Karo diketahui bahwa ada satu masa sekitar 10 tahun lalu di mana jeruk
varietas Rimokeling mengalami berbagai penyakit sehingga buah tidak memiliki air
buah (kering) dan juga pohon rentan terhadap penyakit mati batang, sehingga
masyarakat mentelantarkan tanaman ini dan bahkan menggantinya dengan jenis
tanaman jeruk yang lain. Sepanjang penelusuran tim peneliti di kabupaten Karo
diketahui bahwa jeruk varietas Rimokeling hanya ditumbuhkan beberapa pohon saja di
desa Bukit, Brastagi. Tanaman varietas Rimokeling ini mempunyai tinggi antara 7-8
meter dan berbuah jarang. Jeruk ini tidak dikomersialkan lagi karena keberadaannya
semakin langka seperti dua jenis jeruk lainnya. Pohon jeruk varietas Rimokeling yang
masih ada juga merupakan hasil okulasi dengan deskripsi pohon cukup tinggi dan
percabangan juga banyak, tetapi terlihat seperti meranggas seperti diperlihatkan pada
Gambar 9.6a.
Gambar 9.6. (a) Pohon jeruk varietas Rimokeling, (b) Buah jeruk Rimokeling, (c) Buah
jeruk Rimokeling dibelah menunjukkan warna juring orange bersama
bunga, daun dan biji, (d) biji jeruk Rimokeling, dan (e) daun jeruk
Rimokeling.
Ciri-ciri morfologi jeruk varietas Rimokeling adalah daun tunggal dengan rata-
rata panjang 14 cm dan lebar 5 cm , stipula yang terletak di bawah lembaran daun tidak
ada dapat dilihat pada gambar kanan bawah. Buah dengan kulit berwarna hijau (muda)
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 113
dan orange bila matang, ukuran diameter buah 6,8 - 8,5, ujung dan pangkal buah rata,
tebal kulit diperbatasan juring (BJ) 0,50 - 0,65 mm, tebal kulit di tengah juring 0,50 -
0,55 mm, buah agak sulit dikupas karena kulit menempel pada juring (flavedo). Buah
jeruk madu sangat jarang bijinya yaitu berkisar 3 - 5 buah biji perbuah segar. Hasil
penelusuran oleh tim peneliti di kabupaten Karo, khususnya terhadap petani jeruk yang
sedang memiliki pohon jeruk diketahui bahwa tanaman jeruk varietas Rimokeling yang
masih produktif tinggal 5 pohon saja. Untuk menghindari kepunahan terhadap jenis
tanaman varietas Rimokeling ini maka tim peneliti baru-baru ini sudah melakukan
perbanyakan tanaman secara cepat dengan cara okulasi dan cara generatif seperti
diperlihatkan pada Gambar 9.7.
Gambar 9.7. Bentuk bibit tanaman jeruk varietas Rimokeling yang diperbanyak dengan
cara: (a) Teknik perbanyakan secara okulasi dengan umur tanaman setelah
okulasi 3 bulan, (b) Teknik perbanyakan secara generatif dengan umur
tanaman setelah generatif 5 bulan.
apakah ada perbedaan dalam bentuk tanaman yang diperbanyak secara okulasi dengan
tanaman yang diperbanyak secara generatif. Dari hasil perbanyakan secara generatif
setelah tanaman bertumbuh selama 5 bulan diketahui bahwa perkembangan tanaman
sangat lambat, bentuk daun tanaman hampir sama dengan tanaman induknya, dan
batang tanaman, tunas dan ranting penuh dengan duri yang sangat tajam.
9.5.2. Teknik Okulasi Untuk Penyediaan Eksplan Jeruk
Melihat kenyataan bahwa beberapa varietas jeruk lokal yang ada di Brastagi
Kabupaten Karu sudah hampir punah maka bahan tanaman yang akan dijadikan sebagai
sumber eksplan pada teknik invitro yang dilakukukan pada penelitian lanjutan tidak
mencukupi. Di samping itu bagian tanaman yang akan dijadikan sebagai eksplan pada
teknik kultur jaringan juga tidak memadai sesuai dengan tujuan penelitian maka
dilakukan perbanyakan tanaman secara teknik okulasi melalui teknik tempel yang
ditempelkan ke pada batang tanaman jeruk lemon. Alasan pemilihan tanaman jeruk
lemon sebagai induk adalah berdasarkan pengalaman petani jeruk di Brastagi bahwa
tanaman jeruk lemon sangat tahan terhadap berbagai jenis penyakit jeruk, dan sangat
mudah menyesuaikan diri dengan kondisi tanah tempat jeruk bertumbuh.
Teknik okulasi untuk menempelkan berbagai jenis varietas jeruk lokal ke dalam
batang pohon jeruk lemon diperlihatkan pada Gambar 9.8. Strategi yang dilakukan
adalah menyediakan cabang tanaman varietas jeruk lokal yang diambil dari beberapa
tempat untuk ditempelkan ke dalam tanaman induk jeruk lemon. Bahan tanaman
varietas lokal yang sudah dipotong segera disimpan di dalam pelepah pisang untuk
menjaga batang tanaman terhindar dari kekeringan (adaptasi psikologis). Selanjutnya
bakal tunas tanaman varietas lokal dipotong dengan baik (sekali potong) menggunakan
pisau yang steril dan tajam dengan ukuran yang sama dengan kulit tanaman induk
tempat ditempelkan (Gambar 9.8b). tahapan berikutnya adalah pemotongan bagian kulit
tanaman induk yang sesuai dengan ukuran kulit bakal tunas yang akan ditempelkan, dan
segera ditempelkan. Pada saat menempelkan, harus dijaga agar debu tidak masuk ke
dalam bagian tanaman karena akan mempengaruhi penyambungan bakal tunas ke dalam
tanaman induk, dan bentuk tempat tempelan di dalam tanaman induk harus sebesar
bakal tunas yang ditempel sehingga tidak tersedia bagian kulit yang terluka yang tidak
tertutupi oleh bakal tunas yang ditempelkan. Teknik penempelan tunas ke dalam
tanaman induk dilakukan segera dan pada posisi kulit tanaman induk seperti menyisip
pada kulit bakal tunas yang ditempelkan, dan dilanjutkan dengan pengikatan agar proses
inkubasi penyambungan bakal tunas dari varietas lokal dapat tersambung dengan baik.
Proses inkubasi dan penyambungan ini dilakukan selama 2 minggu sebelum dilakukan
pembukaan ikatan. Pada saat pembukaan ikatan dilakukan, telah dapat dipastikan
apakah kulit bakal tunas yang ditempelkan telah tersambung dengan baik dengan cara
menggores bagian yang ditempelkan. Bila goresan menunjukkan warna hijau berarti
sudah tersambung dengan baik, dan bila goresan berwarna coklat berarti penyambungan
tidak berhasil, dan harus diulangi kembali.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 115
Gambar 9.8. Teknik okulasi untuk perbanyakan tanaman sebagai sumber eksplan: (a)
Pemotongan bagian tunas berbagai varietas jeruk, (b) menyesuaikan
ukuran tunas yang akan ditempelkan, (c) Pemotongan bagian kulit
tanaman induk tempat ditempel, (d) bentuk tempat tempelan di dalam
tanaman induk, (e) Proses penempelan tunas ke dalam tanaman induk, dan
(f) pengikatan untuk dilakukan inkubasi.
tunas di dalam batang jeruk induk. Dapat dinyatakan bahwa tunas yang bertumbuh
sangat sempurna, sama seperti tunas tanaman dewasa.
Gambar 9.9. Proses pertumbuhan tunas dalam teknik okulasi untuk perbanyakan
tanaman sebagai sumber eksplan: (a) Bagian tunas yang bertumbuh setelah
dibuka selama 1 minggu, (b) Bagian tunas yang bertumbuh setelah dibuka
selama 3 minggu.
Untuk mengetahui pengaruh penyimpanan bahan tanaman varietas lokal (di dalam
pelepah pisang) terhadap daya pertumbuhan tanaman telah dilakukan teknik okulasi
dengan lama penyimpanan 1-5 hari, dengan masing-masing disediakan masing-masing
20 bibit tanaman induk yang ditempelkan pada 3 varietas jeruk lokal. Hasil okulasi yang
bertumbuh diperlihatkan pada Tabel 9.3. Dari hasil okulasi yang dilakukan diketahui
bahwa bahan tanaman yang diambil dan langsung ditempelkan semuanya bertumbuh
dengan baik untuk semua jenis varietas lokal yaitu jeruk varietas Boci, varietas
Brastepu, dan varietas Rimokeling. Hal ini disebabkan karena faktor psikologi tanaman
yang tidak rusak jika disimpan di dalam pelepah pisang. Di samping itu, pengalaman
dalam teknik menempel juga sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan teknik
okulasi ini. Data menunjukkan bahwa jumlah tanaman yang mati (tidak bertumbuh)
dengan lamanya sumber tanaman disimpan meningkat sesuai dengan lama waktu
penyimpanan, menunjukkan bahwa bahan tanaman yang disimpan di dalam pelepah
pisang akan berkurang keadaan psiologinya dengan semakin lama disimpan sebelum
ditempelkan. Terlihat bahwa hampir pada semua varietas mengalami peningkatan
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 117
jumlah tanaman yang mati dengan semakin lama bahan tanaman disimpan sebelum
ditempelkan. Dengan demikian, apabila hendak melakukan teknik okulasi disarankan
agar bahan tanaman jangan disimpan lebih dari 3 hari, karena rentan terhadap
keberhasilan pertumbuhan tanaman.
Tabel 9.3. Pertumbuhan tunas tanaman pada teknik okulasi untuk berbagai jenis variasi
jeruk lokal Sumatera Utara (Varietas Boci, varietas Brastepu, dan varietas
Rimokeling) dengan lama penyimpanan bahan tanaman sebelum
ditempelkan ke dalam tanaman induk. Tanaman induk adalah jeruk lemon.
karakteristik bijinya digunakan sebagai sumber 2 eksplan yaitu kotiledon (E1) dan
embrio (E2), sedangkan pucuk (E3) diambil dari tanaman hasil okulasi seperti
diperlihatkan pada Gambar 4.10. Kultur kemudian diinkubasi di dalam ruang dengan
pencahayaan konstan 1000 lux pada suhu 252 oC.
Gambar 9.10. Berbagai jenis eksplan yang digunakan untuk kultur dalam teknik invitro
untuk perbanyakan tanaman jeruk varietas lokal sumatera utara, dari kiri
ke kanan berturut-turut adalah: (P)pucuk, (K) kotiledon, dan (E)embrio.
Eksplan dibenamkan secara tegak sampai satu bagian bersentuhan dengan media. Cara
ini dilakukan karena ternyata meletakkan biji pada posisi permukaan bawah atau
permukaan atas biji yang bersentuhan dengan media tidak selalu efektif dalam induksi
kalus (Hendroyono dan Wijayani, 1994).
Gambar 9.11. Bentuk dan tekstur kalus dari kultur kotiledon untuk berbagai jenis jeruk
lokal: jeruk varietas Rimokeling (RE1M1), jeruk varietas Boci (BE1M1),
dan jeruk varietas Brastepu (BrE1M1).
Gambar 9.12. Bentuk morfogenik dari kalus dari preparat awetan: (a) Anatomi kalus
dari kultur kotiledon jeruk Brastepu, (b) Kehadiran nodul dalam anatomi
kalus (ditunjukkan oleh tanda panah).
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 120
Selanjutnya kalus yang tumbuh dari berbagai jenis varietas jeruk lokal dibuat
preparat awetan untuk mengetahui tipe morfogenik dari kalus tersebut, dan anatomi
salah satu kalus dari kultur kotiledon jeruk (varietas Brastepu) diperlihatkan pada
Gambar 9.12, dan pada Nodul Gambar 9.12b terdapat tanda panah sebagai pertanda
adanya nodul (ditunjukkan oleh tanda panah). Kalus didominasi oleh sel-sel parenkim
yang aktif membelah. Pada permukaan gumpalan kalus terdapat tonjolan atau nodul
yang berpotensi untuk beregenerasi atau beroganogenesis.
Kultur yang menghasilkan planlet dan atau kalus dilakukan pengukuran 6 peubah
pengamatan dan dihitung rasio tunas dan akar sehingga jumlah peubah 7. Planlet yang
terbentuk pada kultur kotiledon jeruk varietas Boci yang dimasukkan di dalam media 3
atau M3 dapat dilihat pada Gambar 9.13, terlihat bahwa kultur bertumbuh dengan
baikmenghasilkan akar, batang dan daun. Dari perlakuan yang diamati pada kutur jeruk
varietas lokal yang dilakukan dalam studi ini terlihat bahwa hasil kultur jaringan sering
kali tidak konsisten, yaitu suatu eksplan yang ditumbuhkan pada beberapa media yang
sama sebagai ulangan seringkali menghasilkan pertumbuhan kultur ataupun tipe
regenerasi yang berbeda. Hasil ini mungkin disebabkan oleh belum optimumnya
pengkontrolan dari bahan ekplan kotiledon yang dimasukkan ke dalam media kultu
sehingga satu kultur dapat menghasilkan kalus embriogenik dan planlet seperti dapat
dilihat pada Gambar 9.13b. Bila di dalam kultur dihasilkan planlet yang banyak maka
ukurannya dapat bervariasi seperti yang dapat dilihat pada Gambar 9.13c. Planlet
dengan ukuran tinggi tunas sekitar 5 cm dan akar serta percabangan akar yang baik
dapat diaklimatisasi secara bertahap. Planlet yang masih kecil dengan akar yang tidak
proporsional perlu dibesarkan dengan disubkultur.
Gambar 9.13. Eksplan kotiledon yang menghasilkan kalus embriogenik dan planlet
pada pertumbuhan berbagai eksplan jeruk Boci (Citrus sinensis) di dalam
media Murashige dan Skoog diperkaya zat pengatur tumbuh kombinasi
2,4-D dan BAP masing-masing 1 g/L: (a), Kultur dikeluarkan dari botol
(b), dan planlet dengan variasi ukuran (c).
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 121
Tabel 9.5. Rataan jumlah embriosomatik pada masing-masing perlakuan oleh pengaruh
pemberian zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis jeruk langka di
Sumatera Utara
Jumlah Embriosomatik/Botol
Jeruk varietas Jeruk varietas
Perlakuan Jeruk varietas Boci Rimokeling Brastepu
E1M0 1,00 5,0 0,00b
E1M1 6,80 5,4 6,80ab
E1M2 27,20 12,6 7,20ab
E1M3 18,60 5,2 33,20a
E2M0 0,00 0,0 0,00b
E2M1 4,60 2,2 3,60b
E2M2 6,80 6,4 4,60b
E2M3 33,20 3,2 4,60b
E3M0 0,00 0,0 0,00b
E3M1 1,00 4,6 2,20b
E3M2 10,20 12,6 4,20b
E3M3 6,00 7,0 7,00ab
jeruk Boci mempunyai intensitas pertumbuhan daun yang tinggi pada perlakuan E1M2
dengan rataan jumlah daun 2,0 buah, sedangkan untuk kultur varietas Rimokeling
mempunyai intensitas pertumbuhan daun yang tinggi pada perlakuan E2M0 dengan
rataan jumlah daun sebanyak 2,4 buah, dan pada varietas Brasitepu mempunyai
intensitas pertumbuhan daun yang tinggi pada perlakuan E1M3 dengan rataan jumlah
daun sebanyak 3,0 buah.
Tabel 9.7. Rataan jumlah daun pada masing-masing perlakuan oleh pengaruh pemberian
zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis jeruk langka di Sumatera Utara
Jumlah Planlet/Botol
Jeruk varietas Jeruk varietas
Perlakuan Jeruk varietas Boci Rimokeling Brastepu
E1M0 1,40 1,80ab 1,00c
E1M1 1,80 1,80b 1,00c
E1M2 2,00 1,40bc 2,00b
E1M3 1,00 1,40bc 3,00ab
E2M0 0,00 2,40a 1,00c
E2M1 0,00 0,00d 1,00c
E2M2 0,40 0,40d 1,40b
E2M3 0,60 1,00bc 2,40b
E3M0 1,00 2,00ab 1,00c
E3M1 1,00 1,00bc 1,60c
E3M2 1,00 1,80b 2,20a
E3M3 1,00 1,80b 2,80a
9.5.4.5. Pertambahan Tunas dan Akar Jeruk Manis Lokal Sumatera Utara
Pertumbuhan dan perkembangan kultur jeruk manis lokal Sumatera Utara dapat
dilihat dari tunas dan akar tanaman di dalam kultur. Pertumbuhan dan perkembangan
tundas meliputi pertambahan tinggi dan berat tunas yang terbentuk di dalam kultur.
Hasil pertumbuhan tinggi tunas untuk beberapa kondisi perlakuan menunjukkan
pertumbuhan yang cukup baik dirangkum pada Tabel 9.5 dan pertambuhan berat tunas
dirangkum pada Tabel 9.8, sedangkan rataan berat tunas diperlihatkan pada Tabel 9.9.
Pola pertambahan tinggi tunas tanaman jeruk manis lokal Sumatera Utara di dalam
media kultur sangat dipengaruhi oleh pemberian zat pengatur tumbuh. Beberapa
kelompok perlakuan pada tanaman varietas Boci tidak memiliki tunas yaitu pada
perlakuan E2M0 dan E2M1. Intensitas pertambahan tinggi tunas yang tertinggi
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 126
diperoleh pada pada varietas jeruk Boci pada perlakuan E3M3 dengan rataan tinggi
tunas 4,3 cm, sedangkan untuk kultur varietas Rimokeling mempunyai intensitas
pertumbuhan tinggi tunas tertinggi pada perlakuan E2M0 dengan rataan tinggi tunas
3,38 cm, dan pada varietas Brasitepu mempunyai intensitas pertumbuhan tunas yang
tinggi pada perlakuan E1M3 dengan rataan tinggi tunas 3,36 cm. Dapat dinyatakan
bahwa intensitas pertambahan tinggi tunas sangat diperngaruhi jenis zat pengatur
tumbuh yang dberikan di dalam media kultur.
Tabel 9.8. Rataan tinggi tunas pada masing-masing perlakuan oleh pengaruh pemberian
zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis jeruk langka di Sumatera Utara
Tinggi Tunas
Jeruk varietas Jeruk varietas
Perlakuan Jeruk varietas Boci Rimokeling Brastepu
E1M0 2,80 2,37abc 2,44abcd
E1M1 3,60 2,94ab 2,24cd
E1M2 5,40 2,34abc 2,92abc
E1M3 2,00 1,68abcd 3,36a
E2M0 0,00 3,38a 0,9e
E2M1 0,00 0,00c 1,18de
E2M2 1,20 1,52bcd 1,68cd
E2M3 2,00 1,28cd 3,3ab
E3M0 2,00 3,02ac 0,61e
E3M1 2,00 2,46abc 0,65e
E3M2 3,80 2,20abcd 2,3bcd
E3M3 4,20 1,62bcd 2,31bcd
Lebih lanjut diukur pertubuhan tunas dari berat tunas yang diperoleh pada setiap
kultur oleh pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh di dalam media kultur. Ditemukan
pola pertambahan berat tunas dengan pertambahan tinggi tunas tanaman jeruk manis
lokal Sumatera Utara di dalam media kultur memiliki pola yang hampir sama, yaitu
sangat dipengaruhi oleh pemberian zat pengatur tumbuh, jenis dan konsentrasinya. Dari
hasil pengamatan terhadap pertambahan berat tunas diketahui bahwa beberapa
kelompok perlakuan pada tanaman varietas Boci tidak memiliki tunas yaitu pada
perlakuan E2M0 dan E2M1. Pada kelompok perlakuan yang lain ditemukan
pertambahan berat tunas yang sangat bervariasi. Intensitas pertambahan tinggi tunas
yang tertinggi diperoleh pada pada varietas jeruk Boci pada perlakuan E1M2 dengan
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 127
rataan berat tunas 0,162 g, sedangkan untuk kultur varietas Rimokeling mempunyai
intensitas pertambuhan berat tunas tertinggi pada perlakuan E3M1 dengan rataan tinggi
tunas 1,92 g, dan pada varietas Brasitepu mempunyai intensitas pertambuhan berat
tunas yang tinggi pada perlakuan E3M3 dengan rataan berat tunas 1,59 g.
Tabel 9.9. Rataan berat tunas pada masing-masing perlakuan oleh pengaruh pemberian
zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis jeruk langka di Sumatera Utara.
Berat Tunas
Jeruk varietas Jeruk varietas
Perlakuan Jeruk varietas Boci Rimokeling Brastepu
E1M0 0,030 1,34 1,34ab
E1M1 0,069 0,64 0,64ab
E1M2 0,162 0,83 0,83ab
E1M3 0,024 0,34 0,34bc
E2M0 0,000 0,30 0,30bc
E2M1 0,000 0,00 0,00b
E2M2 0,016 0,61 0,61abc
E2M3 0,031 1,59 1,59ab
E3M0 0,061 0,24 0,24bc
E3M1 0,063 1,92 1,92a
E3M2 0,050 1,38 1,38ab
E3M3 0,063 1,59 1,59ab
Lebih lanjut dilakukan pengamatan terhadap pertambahan berat akar jeruk manis
lokal Sumatera Utara oleh pengarun pemberian zat pengatur tumbuh ke dalam media
kultur seperti diperlihatkan di dalam Tabel 9.10. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
pertumbuhan akar pada tanaman jeruk lokal di dalam media kultur sangat lambat. Dari
hasil penelitian diketahui bahwa media dengan komposisi kombinasi zat pengatur
tumbuh sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman di
dalam media kultur pada ke tiga jenis jeruk lokal Sunatera Utara varietas Boci, varietas
Rimokeling, dan varietas Brasitepu. Berat akar tertinggi untuk Jeruk varietas Boci
diperoleh pada perlakuan E3M3 dengan berat akar 0,028 g, diikuti oleh kelompok
perlakuakn E1M2 dengan berat akar 0,026 g. Selanjutnya berat akar tertinggi untuk
jeruk varietas Rimokeling diperoleh pada perlakuan E1M1 dengan berat akar 0,02 g,
dan pada pada Jeruk varietas Brasitepu diperoleh berat akar yang hampir sama untuk
semua kelompok perlakuan yang bertumbuh, yaitu antara 0,01 - 0,02 g. Dalam hasil ini
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 128
terlihat rata-rata berat akar yang tinggi diperoleh pada kultur jeruk varietas Boci, dan
rata-rata berat kultur yang rendah diperoleh pada kultur jeruk varietas Rimokeling. Dari
hasil ini dapat dinyatakan bahwa komposisi zat pengatur tumbuh yang tepat di dalam
media kultur dapat meningkatkan intensitas pertumbuhan kalus.
Tabel 9.10. Rataan berat akar pada masing-masing perlakuan oleh pengaruh pemberian
zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis jeruk langka di Sumatera Utara.
Berat Akar
Perlakuan Jeruk varietas Jeruk varietas
Jeruk varietas Boci
Rimokeling Brastepu
E1M0 0,014 0,013 0,01
E1M1 0,041 0,020 0,01
E1M2 0,026 0,011 0,02
E1M3 0,017 0,010 0,01
E2M0 0,000 0,011 0,01
E2M1 0,000 0,000 0,02
E2M2 0,002 0,004 0,01
E2M3 0,009 0,004 0,01
E3M0 0,020 0,012 0,01
E3M1 0,024 0,011 0,02
E3M2 0,010 0,013 0,01
E3M3 0,028 0,015 0,01
lebih tinggi bila dibandingkan kelompok perlakuan varietas Brasitepu. Bahkan rasio
perbandingan antara tunas dengan akar untuk kelompok varietas Boci hampir semuanya
tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa varietas tanaman jeruk kelompok
perlakuan Boci memiliki pertumbuhan tunas dengan akar yang hampir seimbang
dibanding dengan kelompok perlakuan pada dua jenis varietas lainnya, Rimokeling dan
Brasitepu.
Tabel 9.11. Rataan rasio tunas dan akar pada masing-masing perlakuan oleh pengaruh
pemberian zat tumbuh ke dalam media pada tiga jenis jeruk langka di
Sumatera Utara.
Rasio Tunas/Akar
Perlakuan Jeruk Varietas Jeruk varietas
Jeruk varietas Boci
Rimokeling Brastepu
E1M0 0,429 103,08b 124,90a
E1M1 0,673 32,00c 35,97a
E1M2 4,692 75,45bc 39,97a
E1M3 1,840 34,00c 43,60a
E2M0 0,000 27,27c 45,80a
E2M1 0,000 0,00d 0,00b
E2M2 1,640 152,50b 61,00a
E2M3 1,647 397,5a 159,00a
E3M0 3,070 20,00cd 19,20a
E3M1 2,716 174,55b 127,92a
E3M2 4,960 106,15b 117,00a
E3M3 1,893 106,00b 158,93a
9.6. Kesimpulan
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa tahapan pertama penelitian optimalisasi
teknik in vitro untuk perbanyakan jeruk berkualitas baik sebagai strategi biokonservasi
jeruk lokal Sumatera Utara menunjukkan hasil yang menggembirakan, dan data yang
diperoleh telah memberikan hasil yang sangat baik sesuai dengan target poenelitian.
Dari tahapan penelitian ini disimpulkan bahwa:
1. Tanaman jeruk manis langka varietas lokal Sumatera Utara telah diidentifikasi dan
dikarakterisasi untuk melihat potensi keunggulan fenotif dan genetik berbagai
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 130
varietas jeruk lokal untuk memperoleh rincian keunggulan jeruk yang perlu
dilestarikan sebagai kekayaan plasmanuftah tanaman Indonesia.
2. Perbanyakan tanaman jeruk manis lokal Sumatera Utara varietas Boci, Rimokeling,
dan Brasitepu melalui teknik okulasi telah berhasil dilakukan untuk menghasilkan
bibit jeruk sebagai sumber ekksplan yang memadai. Teknik okulasi dilakukan
melalui penempelan berbagai jenis varietas jeruk lokal ke dalam batang pohon jeruk
lemon sebagai salah satu tanaman jeruk yang tahan terhadap penyakit.
3. Telah diperoleh teknik regenerasi yang efektif dan optimal untuk perbanyakan
tanaman jeruk lokal Sumatera Utara varietas Boci, Rimokeling, dan Brasitepu
sehingga dapat dipergunakan pada tahapan penelitian berikutnya untuk menghasilkan
bibit berkualitas baik yang sama dengan induknya sebagai usaha biokonservasi
tanaman jeruk lokal agar terhindar dari kepunahan.
4. Semua kelompok perlakuan pada tiga jenis jeruk lokal varietas Boci, Rimokeling,
dan Brasitepu mengalami pertumbuhan kalus, dengan intensitas pertumbuhan sedang
dan tinggi. Kalus jeruk yang bertumbuh terlihat bervariasi, diantaranya (1) kalus
berwarna coklat, berair, dan tidak embriogenik, dan (2) kalus embriogenik yang
berwarna hijau. Kalus emriogenik ada dua jenis yaitu (1) kalus yang berkembang
dari biji menjadi kalus dan beregenerasi menjadi plantlet tanaman jeruk, dan (2) yang
terbentuk dari sel-sel dari permukaan biji jeruk langsung beregenerasi menjadi
planlet.
5. Pemberian zat pengatur tumbuh di dalam media sangat nyata terhadap induksi dan
kecepatan perkembangannya kalus jeruk manis lokal varietas Boci, Rimokeling, dan
Brasitepu, yaitu mempengaruhi terhadap pertumbuhan kalus, pembentukan
embriosomatik, pembentukan planlet, pertambahan daun jeruk, pertambahan tunas
dan pertumbuhan akar jeruk dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang
bervariasi.
6. Planlet dapat berkembang menjadi tanaman jeruk manis manis lokal varietas Boci,
Rimokeling, dan Brasitepu di dalam media kultur dengan tinggi tanaman bervariasi
yang dapat dipergunakan sebagai bahan untuk regenerasi jeruk manis melalui
pemindahan kalus embriogenik dari media inisiasi ke media MS0 untuk membentuk
planlet. Diferensiasi sel pada kalus yang beregenerasi sangat jelas terlihat
terbentuknya daun, batang dan akar.
9.7. Saran
Hasil penelitian ini telah menunjukkan kemajuan yang baik dalam usaha
optimalisasi teknik in vitro untuk perbanyakan jeruk berkualitas baik sebagai strategi
biokonservasi jeruk lokal Sumatera Utara seperti varietas Boci, Rimokeling, dan
Brasitepu. Penelitian lanjutan harus dilakukan pada tahun kedua untuk melanjutkan
tahapan penelitian untuk analisis gentik, dan tahapan lanjutan yang sedang dilakukan,
terutama pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada tahap aklimatisasi di lapangan
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 131
dengan berbagai jenis variasi kondisi lapangan sampai didapatkan tanaman yang
unggul, yaitu jeruk manis Brastagi dengan tingkat produksi buah tinggi, tahan terhadap
berbagai hama penyakit, dan dapat beradaptasi dan berkembang dengan baik pada
berbagai iklim di Sumatera Utara dan di seluruh Wilayah Indonesia.
9.8. Daftar Pustaka
Albiach-Marti, M.R., Mawassi, M., Gowda, S., Satyanarayana, T., Hilf, M.E., Shanker,
S., Almira, E.C., Vives, M.C., Lopez, C., Guerri, J., Flores, R.;, Moreno, P.,
Garnsey, S.M., dan Dawson, W.O., (2000), Sequences of Citrus tristeza virus
separated in time and space are essentially identical, Journal of Virology 74:
6856-6865.
Almeida, R.P.P., Nascimento, F.E., Chau, J., Prado, S.S., Tsai, CW, Lopes, S.A, dan
Joao Lopes, R.S., (2008), Genetic Structure and Biology of Xylella fastidiosa
Strains Causing Disease in Citrus and Coffee in Brazil , Appl Environ Microbiol.
74(12): 3690-3701.
Ammirato, P.V., (1984), Yams. In: Hanbook of Plant Cell Culture, Vol 3 (P.V.
Ammirato, D.A. Evans, W.R. Sharp, dan Y.Yamada, eds), Macmillan, New York,
pp. 327-354.
Balch, E.P.M., dan Alejo, N.O., (1997), In vitro plant regeneration of Mexican lime and
Mandarin by direct organogenesis, HortScience 32: 931-934.
Barlass, M., dan Skene, K.G.M., (1982), In Vitro plantlet formation from Citrus species
and hybrids, Scientia Horticulturae 17: 333-341.
Beloualy, N., (1991), Plant regeneration from callus culture of tree Citrus rootstocks,
Plant Cell and Organ Culture 24: 28-34.
Bhat, S.R., Citralekha, P., dan Chandel, K.P.S., (1992), regeneration of plants from
long-term root culture of lime, Citrus aurantifolia (Chistm.) Swing., Plant Cell
and Organ Culture 29: 19-25.
Bove, J., dan Morel, G., (1957), La culture de tissus de citrus, Revue Gen. Bot. 64: 1-6
Carimi, F., Pasquale, F.D., dan Crescimanno, F.G., (1994), Somatic embryogenesis
from syles of lemon (Citrus limon), Plant Cell and Organ Culture 37: 209-211.
Carimi, F., Pasquale, F.D., dan Crescimanno, F.G., (1995), Somatic embryogenesis in
Citrus from styles culture, Plant Science 105: 81-86.
Casanova, E., Trillas, M.I., Moysset, M., dan Vainstein, A., (2005), Influence of rol
genes in floriculture, Biotechnology Advances 23(1): 3-39.
Cervera, M, Juarez J, Navarro, L, dan Pena, L., (2005), Genetic transformation of
mature citrus plants, Methods Mol Biol. 286: 177-188.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 132
Chand-Goyal, T., Eckert, J.W., Droby, S., dan Atkinson, K., (1998), A method for
studying the population dynamics of Candida oleophila on oranges in the grove,
using a selective isolation medium and PCR technique, Microbiological Research
153: 265-270.
Chaturvedi, H.C., dan Mitra, G.C., (1974), Clonal propagation of citrus from somatic
callus culture, HortScience 9: 118-120.
Chaturvedi, H.C., Sharma, A.K., Sharma, M., dan Prasad, R.N., (1982), Morphogenesis,
micropropagation and germplasm preservation of some economic plants by tissue
cultures. In: Plant Tissue Culture, (A.Fugiwara, eds), Maruzen, Tokyo, P.687-
688.
Costa, M.G.C., Alves, V.S.; Lani, E.R.G; Mosquim, P.R., Carvalho, C.R., dan. Otoni,
W. C., (2004), Morphogenic gradients of adventitious bud and shoot regeneration
in epicotyl explants of Citrus, Scientia Horticulturae 100(1-4): 63-74.
Da-Gloria, F.J.M., Mourao, F.D.A., dan Mendes, B.M.J., (2000), Plant regeneration
from protoplast of Brazilian citrus cultivars, Pesquisa Agropecuaria Brasileira
35:727-732.
Das, A., Paul, A.K., dan Chaudhuri, S., (2000), Micropropagation of sweet orange,
Citrus sinensis Osbeck. for the development of nucellar seedlings, Indian Journal
of Experimental Biology 38: 269-272.
Davey, M.R., Anthony, P, Power, J.B., dan Lowe, K.C., (2005), Plant protoplasts: status
and biotechnological perspectives, Biotechnology Advances 23(2): 131-171.
Do-Carmo, T.D., Luc, D.J., Eveillard, S., Cristina, M.E., de Jesus, J.WC., Takao, Y.P.,
Aparecido, L.S., Beozzo, B.R., Juliano, A.A., Saillard, C., dan Bove, JM., (2005),
Citrus huanglongbing in Sao Paulo State, Brazil: PCR detection of the
'Candidatus' Liberibacter species associated with the disease, Mol Cell Probes.
19(3): 173-179.
Duran-Vila, N., Ortega, V., dan Navarro, L., (1989), Morphogenesis and tissue cultures
of three citrus species, Plant Cell and Organ Culture 16: 123-133.
Edriss, M.H., dan Burger, D.W., (1984), In Vitro propagation of troyer citrange from
epicotyl segment, Scientia Horticulturae 23: 159-162.
Germana, M.A., Wang, Y.Y., Barbagallo, M.G., Iannolino, G., dan Crescimanno, F.G.,
(1994), Recovery of haploid and diploid plantlets from anther culture of Citrus
clementina Hort. ex. Tan. and Citrus reticulata Blanko, J. Hortiultural Science
69: 473-480.
Ghorbel, R., Navarro, L., dan Duran-Villa, N., (1998), Morphogenesis and regeneration
of whole plants of grapefruit (Citrus paradisi), sour orange (C. aurantium) and
alamow (C. macrophylla), J. Hortiultural Science Biotechnology 73: 323-3270.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 133
Goh, C.J., Sim, G.E., Morales, C.L., dan Loh, C.S., (1995), Plantlet regeneration
through different morphogenic pathways in pommelo tissue culture, Plant Cell
and Organ Culture 43: 301-303.
Grinblat, U., (1972), Differentiation of citrus stem in vitro, J. American Society
Horticurtural Science 97: 599-603.
Grosser, J.W., dan Chandler, J.L., (2000), Somatic hybridization of high yield, cold-
hardy and disease resistant parents for citrus rootstock improvement, Journal
Horticultural Science Biotechnology 75: 641-644.
Grosser, J.W., Gmitter, F.G., Tusa, N., Recupero, G.R., dan Cucinotta, P., (1996),
Further evidence of a cybridization requirement for plant regeneration from citrus
leaf protoplasts following somatic fusion, Plant Cell Reports 15: 672-676.
Guiderdoni, E., dan Demarly, Y., (1988), Hystology of somatic embriogenesis in
cultured leaf segments of sugar cane plantlets, Plant Cell. Tiss. Org. Cult. 14:
71-88.
Guo, W.W., dan Grosser, J.W., (2005), Somatic hybrid vigor in Citrus: Direct evidence
from protoplast fusion of an embryogenic callus line with a transgenic mesophyll
parent expressing the GFP gene, Plant Science 168(6): 1541-1545.
Hao, Y.J., Cheng, Y.J., dan Deng, X.X., (2005), Stable maintenance and expression of a
foreign gene in transgenic pear shoots retrieved from in vitro conservation,
Journal of Plant Physiology 162(2): 237-243.
Hidaka, T., (1984), Effects of sucrose concentration, pH of media and culture
temperature on anther culture of citrus, Japanese J. Breeding 34: 416-422.
Hidaka, T., dan Kajiura, I., (1988), Plantlet differentiation from callus protoplasts
induced from Citrus embryo, Scientia Horticulturae 34(1-2): 85-92.
Hu, J.T., dan Kong, K.L., (1987), The organogenesis of buds from entire lamina of
Citrus sinensis in tissue culture and their anatomical observation, J. Fruit Science
7: 81-84.
Hunt, P.W., Watts, R.A., Trevaskis, B., Llewelyn, D.J., Burnell, J., Dennis, E.S., dan
Peacock, W.J., (2001), Expression and evolution of functionally distinct
haemoglobin genes in plants, Plant Molecular Biology 47: 677-692.
Katz, E., Riov, J., Weiss, D., dan Goldschmidt, E.E., (2005), The climacteric-like
behaviour of young, mature and wounded citrus leaves, J. Exp. Bot. 56(415):
1359-1367.
Kingsley, M.T., Gabriel, D.W., Marlow, G.C., dan Roberts, P.D., (1993), The opsX
locus of Xanthomonas campestris affects host range and biosynthesis of
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 134
citrumelo (Citrus paradisi Macf. x Poncirus trifoliata L. Raf.) using thin epicotyl
sections. Scientia Horticulturae 99: 379-385.
Moore, G.A., (1986), In vitro propagation of citrus root stock, HortiScience 21: 300-
301.
Moore, G.A., Jacono, C.C., Neidigh, J.L., Lawrence, S.D., dan Cline, K., (1992),
Agrobacterium-mediated transformation of citrus stem segments and regeneration
of transgenic plants, Plant Cell Reports 11: 238-242.
Murashige, T., dan Skoog, F., (1962), A revised media for rapid grouth and bioassay
with tobacco tissue culture, Physiol. Plant. 15: 473-496.
Murashige, T., dan Tucker, D.P.H., (1969), Grouth factor requirement of citrus tissue
culture, Proc. 1st. Citrus Symp 3: 1155-1161.
Niedz, R.P., dan Evens, T.J. (2008), The effects of nitrogen and potassium nutrition on
the growth of nonembryogenic and embryogenic tissue of sweet orange (Citrus
sinensis (L.) Osbeck), BMC Plant Biol. 8: 126-131
Nurwahyuni, I., (1999), Perbanyakan tanaman kopi arabika (Coffea arabica L) secara
kultur jaringan, Komunikasi Penelitian 11(2): 88-102.
Nurwahyuni, I., (2000), Kultur kalus jeruk manis (Citrus sinensis Brasitepu), Laporan
Hasil Penelitian, FMIPA USU Medan.
Nurwahyuni, I., (2001b), Kultur jaringan daun kopi arabika (Coffea arabica L.) dalam
media MS diperkaya dengan kombinasi sitokinin dan auksin, Jurnal Pendidikan
Science 25(2A): 29-38.
Nurwahyuni, I., (2002a), Kultur jaringan daun jeruk manis (Citrus sinensis Brasitepu)
untuk mikropropagasi, Jurnal Sain Indonesia 24(1): 17-20.
Nurwahyuni, I., (2002b), Upaya perbanyakan tanaman kemenyan sumatrana (Styrax
Benzoin Dryander) melalui kultur pucuk, Laporan Hasil Penelitian, USU Medan.
Nurwahyuni, I., (2003a), Uji ketahanan kultur jeruk manis (Citrus sinensis Brasitepu)
terhadap salinitas menuju bibit unggul, Jurnal Scientia 3(2): 75-84
Nurwahyuni, I., (2003b), Uji Ketahanan Kultur Jeruk Manis (Citrus sinensis Brasitepu)
Terhadap Salinitas Menuju Bibit Unggul, Laporan Penelitian, FMIPA USU
Medan
Nurwahyuni, I., (2005), Usaha Perbanyakan Tanaman Kemenyan Sumatrana (Styrax
benzoin Dryander) Melalui Kultur Jaringan Daun Muda, Jurnal Sain Indonesia
29(3): 110-114
Nurwahyuni, I., dan Elimasni, (2005), Propagasi in vitro tanaman kemenyan sumatrana
(Styrax Benzoin Dryander) melalui kultur pucuk, Jurnal Sain Indonesia 29(2): 42-
46
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 136
Nurwahyuni, I., dan Elimasni, (2006), Pertumbuhan dan Perkembangan Kultur Jaringan
Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) Jurnal Biologi Sumatera 1(2):
12-18.
Nurwahyuni, I., dan Tjondronegoro, P., (1994), Induksi kalus dan regenerasi tanaman
Dioscorea composita Hemls, Hayati 1: 15-17.
Nurwahyuni, I., Elimasni, dan Situmorang, M., (2007), Sosialisasi Perbaikan Kualitas
Jeruk Manis Berasitepu (Citrus sinensis Berasitepu) Melalui Kultur Jaringan
Tanaman Untuk Menghasilkan Bibit Unggul, Laporan PKM Program Vucer,
FMIPA USU Medan.
Nurwahyuni, I.; Munir, E., dan Riyani, Y., (1996), Perbanyakan Tanaman Anggrek
Dendrobium sp. secara Kultur jaringan, Komunikasi Penelitian 8(4): 331-337.
Pena, L., Cervera, M., Juarez, J., Ortega, C., Pina, J.A., Duran-Vila, N., dan Navarro, L.,
(1995), High efficiency Agrobacterium-mediated transformation and regeneration
of citrus, Plant Science 104: 183-191.
Pena, L., Perez, R.M., Cervera, M., Juarez, J.A., dan Navarro, L., (2004). Early Events
in Agrobacterium-mediated Genetic Transformation of Citrus Explants, Annals of
Botany 94: 67-74.
Piqueras, A., Olmos, E., dan Hellin, E., (1994), Cytological changes related with salt
tolerance in embryogenic callus of Citrus limon, Plant Cell and Organ Culture
39: 113-18.
Raman, H.; Gosal, S.S., dan Brar, D.S., (1992), Plant regeneration from callus cultures
of citrus lemon and jambhiri, Crop Improvement 19: 100-103.
Ratnadewi, D., Andrini, W., dan Nurwahyuni, I., (1996), Studi embriogenesis pada
Glicine max dan G. tomentella, J. Il. Pert. Indon. 6(1): 22-26.
Ríos, G., Naranjo, M.A., Iglesias, D.J., Ruiz-Rivero, O., Geraud, M., Usach, A., dan
Talón, M., (2008), Characterization of hemizygous deletions in Citrus using
array-Comparative Genomic Hybridization and microsynteny comparisons with
the poplar genome, BMC Genomics. 9: 381-389.
Santos, M.O., Romano, E., Yotoko, K.S.C., Tinoco, M.L.P., Dias, B.B.A., dan Aragão,
F.J.L., (2005), Characterisation of the cacao somatic embryogenesis receptor-like
kinase (SERK) gene expressed during somatic embryogenesis, Plant Science
168(3): 723-729.
Satyanarayana, T., Bar-Joseph, M., Mawassi, M., Albiach-Marti, M.R., Ayllon, M.A.,
Gowda, S., Hilf, M.E., Moreno, P., Garnsey, S.M., dan Dawson, W.O., (2001),
Amplification of Citrus tristeza virus from a cDNA clone and infection of citrus
trees, Virology 280: 87-96.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 137
Sauton, A., Mouras, A., dan Lutz, A., (1982), Plant regeneration from citrus root
meristems, J. Horticultural Science 57: 227-231.
Shimada, T., Hirabayashi, T., Endo, T., Fujii, H., Kita, M., dan Omura, M., (2005),
Isolation and characterization of the somatic embryogenesis receptor-like kinase
gene homologue (CitSERK1) from Citrus unshiu Marc., Scientia Horticulturae
103(2): 233-238.
Talon, M., dan Gmitter Jr., F.G. (2008), Citrus Genomics, Int J Plant Genomics. 2008;
528361.
Terol, J., Conesa, A., Colmenero, J.M., Cercos, M., Tadeo, F., Agustí, J., Alós, E.,
Andres, F., Soler, G., Brumos, J., Iglesias, D.J., Götz, S., Legaz, F., Argout, X.,
Courtois, B., Ollitrault, P., Dossat, C., Wincker, P., Morillon, R., dan Talon, M.,
(2007), Analysis of 13000 unique Citrus clusters associated with fruit quality,
production and salinity tolerance, BMC Genomics 8: 31.
Terol, J., Naranjo, M.A., Ollitrault, P., dan Talon, M., (2008), Development of genomic
resources for Citrus clementina: Characterization of three deep-coverage BAC
libraries and analysis of 46,000 BAC end sequences, BMC Genomics. 9: 423-429.
Vu, J.C.V., Niedz, R.P., dan Yelenosky, G., (1995), Activities of sucrose metabolism
enzymes in glycerol grown suspension cultures of sweet orange (Citrus sinensis
L.Osbeck), Environmental Experimental Botany 35: 455-463.
Wang, R., Shi, X., Wei, Y., Yang, X., dan Uoti, J., (2006), Yield and quality responses
of citrus (Citrus reticulate) and tea (Podocarpus fleuryi Hickel.) to compound
fertilizers, J Zhejiang Univ Sci B. 7(9): 696-701.
Zar, J.H., (1996), Biostatistical Analysis, 3rd ed, Prentice hall International Inc., London.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 138
Bab X
PERBANYAKAN TANAMAN KEMENYAN SUMATRANA (Styrax Benzoin
Dryander) MELALUI KULTUR PUCUK
dilakukan untuk menumbuhkan bibit dari biji kemenyan tidak ada yang berhasil. Hasil
ini menguatkan pernyataan masyarakat setempat bahwa memperoleh bibit kemenyan
melalui biji (di luar yang tumbuh secara liar) sangat sulit untuk dilakukan. Kenyataan
ini semakin menambah tantangan yang mendorong peneliti untuk berusaha untuk
memperbanyak tanaman kemenyan melalui kultur jaringan tanaman.
Permasalahan besar yang dihadapi dalam pemuliaan tanaman kemenyan adalah
sulit mendapatkan bibit yang tersedia. Penyediaan bibit kemenyan pada umumnya
dilakukan secara konvensional melalui perbanyakan generatif dengan biji yang tumbuh
secara alami, sehingga penanaman kemenyan dalam jumlah besar di hutan tidak
memungkinkan untuk dilakukan karena kesulitan dalam penyediaan bibit. Dengan
demikian, penyediaan bibit untuk hutan rakyat dan hutan industri dalam areal luas
sangat tidak memungkinkan untuk dilakukan. Sebagai alternatif terbaik untuk
memenuhi penyediaan bibit kemenyan dalam jumlah besar harus dilakukan melalui
teknik in vitro, karena dapat memproduksi bibit dalam jumlah banyak dan seragam
dalam waktu relatif singkat. Hal ini yang mendorong peneliti melakukan penelitian
lanjutan berupa propagasi Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin dryander) melalui
kultur daun sebagai usaha penyediaan bibit kemenyan.
Penelitian awal dalam perbanyakan Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin
dryander) melalui kultur pucuk telah dilakukan oleh peneliti (Nurwahyuni, 2002). Hasil
penelitian menunjukkan tahapan yang menggembirakan. Beberapa hasil penelitian ini
yaitu diperoleh pengaruh pemberian zat tumbuh terhadap pertumbuhan eksplan kultur
daun pucuk di dalam medium kultur. Kemampuan jaringan tanaman untuk membentuk
kalus sangat dipengaruhi oleh konsentrasi zat pengatur tumbuh kinetin dan NAA. Dua
jenis tipe pertumbuhan kalus, yaitu membentuk kalus dan kalus berakar. Penamabahan
kinetin di dalam media basal MS sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan eksplan.
Semakin tinggi kadar kinetin di dalam media, kualitas eksplan semakin baik, yaitu
dihasilkan kalus bertekstur padat, berwarna hijau, dan sebagian kecil friable berwarna
putih. Akan tetapi, tahap ini masih perlu dilanjutkan untuk mencari media yang tepat
dalam menumbuhkan eksplan menjadi bibit tanaman kemenyan Sumatrana (Styrax
benzoin Dryander), yaitu melalui variasi zat pengatur tumbuh yang lain yang
direncanakan dalam penelitian lanjutan ini.
Penyediaan bibit Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin dryander) oleh petani di
sekitar hutan di Sumatera Utara umumnya dilakukan melalui perbanyakan generatif
melalui biji yang tumbuh secara alami. Teknik penyediaan bibit seperti ini sangat sulit
menyediakan benih yang seragam dalam jumlah banyak, sehingga tidak memungkinkan
menanam kemenyan pada areal luas di hutan lindung di Sumatera yang sangat luas.
Teknik kultur jaringan tanaman merupakan cara terbaik dalam mengatasi permasalahan
dalam penyediaan bibit kemenyan. Penelitian ini diarahkan pada perbanyakan tanaman
Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) melalui kultur pucuk. Penelitian ini
merupakan penelitian lanjutan terhadap penelitian awal yang sudah dikerjakan.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 140
yang digunakan adalah bagian biji, benih, helai daun, tangkai daun, ruas batang, tunas
aksilar, dan meristem apikal yang diambil dari bahan yang masih muda karena jaringan
tersebut mengandung sel-sel yang aktif membelah atau sel meristematik (Balch dan
Alejo, 1997; Ling dan Iwamasa, 1997). Eksplan ditanam pada medium Murashige dan
Skoog (MS) yang mengandung garam-garam mineral, asam-asam amino, vitamin,
sumber karbon dan energi (gula) dan zat pengatur tumbuh (ZPT) dengan komposisi
tertentu (Murashige dan Skoog, 1962; Murashige dan Tucker, 1969).
Ada beberapa jenis ZPT yang digunakan dalam kultur jaringan, seperti auksin
(NAA, 2,4-D, IBA, dll.) dan sitokinin (BA, kinetin, dan zeatin). Respon tumbuhan
terhadap ZPT yang ditambahkan ke dalam media berbeda, tergantung pada jenis
tanaman. Efisiensi dan efektifitas dari hormon pertumbuhan berbeda terhadap tanaman
yang berbeda. Kinetin sangat efektif untuk kultur buku batang (Carimi, dkk., 1995).
Sitokinin konsentrasi rendah dapat memacu perkembangan tunas sedangkan konsentrasi
tinggi merangsang penggandaan tunas. Auksin konsentrasi rendah memacu
pertumbuhan akar dan pada konsentrasi tinggi dapat merangsang pertumbuhan kalus
(Goh, dkk., 1995; Magoon dan Singh, 1995). Dalam perbanyakan tanaman dibutuhkan
pemilihan perbandingan konsentrasi auksin, sitokinin dan suplemen yang tepat, karena
hal ini akan menentukan dalam derajat keberhasilan pembentukan tanaman baru
(Nurwahyuni dan Tjondronegoro, 1994).
10.4. Perbanyakan Kemenyan Secara Kultur Jaringan Tanaman
Teknik kultur jaringan memiliki keuntungan karena dapat menghasilkan bibit
klonal secara massal dalam waktu yang singkat, dapat meningkatkan kualitas tanaman
karena menghasilkan tanaman seragam dan tingkat kesehatan yang lebih baik.
Sepanjang penelusuran pustaka yang sudah dilakukan oleh peneliti, belum ada usaha
yang dilakukan untuk perbanyakan tanaman Kemenyan Sumatrana secara kultur
jaringan tanaman. Bahkan hasil telusur pustaka lebih jauh telah dilakukan menunjukkan
belum pernah dilakukan usaha kultur jaringan tanaman terhadap tanaman golongan
Styrax. Hal ini mungkin disebabkan karena belum banyaknya penelitian yang telah
dilakukan terhadap potensi tanaman tingkat tinggi golongan Styrax.
Sebagai acuan perbanyakan Kemenyan Sumatrana yang direncanakan dalam
penelitian ini akan dilakukan melalui pendekatan teknik in vitro terhadap tanaman
tingkat tinggi seperti yang dilakukan pada tanaman jeruk manis (Grosser, dkk., 1996;
Nurwahyuni, 2003; Nurwahyuni, 2001a) dan tanaman kopi arabika (Nurwahyuni,
2001b, Nurwahyuni, 1999). Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan eksplan untuk kultur jaringan tanaman tingkat tinggi seperti diantaranya
organ sumber eksplan, umur organ, musim, ukuran eksplan, dan kualitas tanaman induk
(Barlass dan Skene, 1982; Hidaka, 1984; Moreira-Dias, dkk., 2000). Sumber eksplan
adalah bagian vegetatif tanaman karena mudah diperoleh. Faktor-faktor ini akan
menjadi perhatian dalam kultur jaringan tanaman kemenyan yang direncanakan dalam
usulan penelitian ini.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 142
bibit tanaman Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) melalui kultur jaringan
tanaman.
10.6. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah menggunakan teknik kultur jaringan tanaman
untuk perbanyakan Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander), sebagai lanjutan
penelitian awal yang sudah berhasil dilakukan. Tujuan khusus dari penelitian adalah:
1. Untuk mendapatkan teknik perbanyakan tanaman Kemenyan Sumatrana (Styrax
benzoin Dryander) yang baik agar dapat menghasilkan bibit.
2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian zat tumbuh Benzyl Amino Purin (BAP) dan
2,4 Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) terhadap pertumbuhan eksplan kultur pucuk
di dalam medium kultur.
3. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor penentu dalam perbanyakan tanaman
Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) melalui kultur jaringan tanaman.
10.7. Kontribusi Penelitian
Dari hasil penelitian ini akan diperoleh teknik kultur jaringan tanaman yang baik
untuk penyediaan bibit Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) dengan tingkat
adaptasi tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan. Diharapkan akan dihasilkan bibit
Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) dalam jumlah banyak dan seragam
yang dapat bertumbuh dan berkembang pada berbagai kondisi tanah, sehingga dapat
memenuhi kebutuhan bibit kemenyan yang diperlukan untuk hutan rakyat dan hutan
lindung. Keberhasilan penelitian ini akan dapat mendorong peningkatan produksi
kemenyan dan menjadi produk buah unggulan yang dapat memenuhi kebutuhan
kemenyan untuk konsumsi lokal dan menjadi komoditas ekspor.
10.8. Metode Penelitian
Metodologi penelitian untuk perbanyakan kemenyan terdiri atas zat dan bahan
kimia, peralatan, prosedur penelitian, dan organisasi dan analisis data. masing-masing
komponen dijelaskan berikut ini.
10.8.1. Zat dan Bahan Kimia
Bahan yang dipergunakan di dalam penelitian adalah eksplan daun muda/pucuk
yang di ambil dari tunas muda (bibit) tanaman Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin
Dryander) yang diambil dari perkecambahan biji disekitar tumbuhan induk kualitas baik
hasil seleksi dari hutan rakyat Huta Pongki, Desa Pohan Tonga, Kecamatan Siborong-
borong, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Tanaman Kemenyan
Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) berkualitas yang dimaksudkan adalah
berdasarkan informasi dari penduduk sekitar yang menggantungkan hidupnya dari hasil
hutan berupa kemenyan. Ukuran kualitas kemenyaan berdasarkan komposisi kimiawi
sepanjang penelusuran pustaka belum ada ketetapannya.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 144
d. Parameter pengamatan dan regenerasi kalus. Terhadap setiap kultur akan dilakukan
pengamatan yaitu persentase kultur terkontaminasi, pertumbuhan kultur: jumlah
tunas, tinggi tunas, pertambahan jumlah daun, jumlah akar, persentase kultur
mengkalus. Jika pada media perlakuan dihasilkan kalus embriogenik maka kalus
tersebut diregenerasi dalam media MSO (media MS tanpa zat pengatur tumbuh).
Kondisi ruangan kultur dipelihara sama seperti pada saat inisiasi. Pada fase ini
dilakukan pengamatan kemampuan kultur beregenerasi menjadi tanaman, seperti
jumlah planlet terbentuk.
10.8.4. Organisasi dan Analisis Data
Data penelitian ini akan dikumpulkan, ditabulasi dan dianalisis secara statistik
untuk penarikan kesimpulan (Zar, 1996). Data hasil penelitian akan disajikan dalam
bentuk persentase, tabel, grafik atau kurva sesuai dengan jenis data yang diperoleh
dalam percobaan. Hasil pemotretan (foto) dari pertumbuhan, perkembangan kalus dan
bibit tanaman juga akan disajikan sebagai hasil penelitian dan akan dijadikan sebagai
sumber data untuk keperluan interpretasi data hasil penelitian.
10.9. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil penelitian yang diperoleh untuk perbanyakan tanaman kemenyan sumatrana
(Styrax Benzoin Dryander) melalui kultur pucuk terdiri atas: induksi kalus, pengaruh
media kultur terhadap pertumbuhan dan perkembangan kalus kemenyan sumatrana,
secara terperinci dijelaskan dalam diskusi berikut ini.
10.9.1. Induksi Kalus Kemenyan Sumatrana
Pada teknik kultur jaringan tanaman, telah diketahui bahwa kemampuan jaringan
tanaman untuk membentuk kalus sangat dipengaruhi antara lain oleh komponen dan
konsentrasi media, jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh (zpt) dan intensitas
cahaya (Nurwahyuni, 1994), maka dalam percobaan ini digunakan media MS sehingga
pengaruh pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan kalus dapat
diamati. Eksplan tanaman kemenyan yang berasal dari daun pucuk yang sudah
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 146
Dari hasil kultur Kemenyan Sumatrana yang hidup di dalam media kultur dengan
variasi perlakuan (Tabel 10.1) terlihat bahwa hampir semua kelompok perlakuan
menunjukkan pertumbuhan dengan persentase sedang (66,67%), hanya dua kelompok
perlakuan, yaitu kelompk dengan perlakuan N1K0 dan kelompok dengan perlakuan
N2K1 yang mempunyai persentase pertumbuhan tinggi (83,33%) dan hanya kelompok
dengan kode N3K1 yang mempunyai persentase pertumbuhan rendah (50,00). Secara
umum, persentase pertumbuhan kalus adalah 66,67%. Pengamatan terhadap pengaruh
zpt -napthaleneacetic acid (NAA) yang ditambahkan ke dalam media basal MS
menunjukkan kultur yang hidup rata-rata sebanyak 67,71%, nilai yang sama juga juga
ditunjukkan pada pengaruh Kinetin (KIN)..
9.9.2. Pengaruh Media Kultur Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Kalus
Pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh ke dalam media kultur mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan kalus, yaitu diamati setelah pengkulturan selama satu
bulan. Pertumbuhan eksplan baru menunjukkan gejala tumbuh setelah satu bulan
pengkulturan, dan diikuti dengan perkembangan kalus. Perkembangan kalus di dalam
media kultur sangat lambat. Hasil pengamatan terhadap perkembangan kalus dilakukaan
setelah pengkulturan selama 3 bulan dirangkum pada Tabel 10.2.
Tabel 10.2. Rataan berat basah kalus (mg) kultur Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin
Dryander) di dalam media kultur dengan variasi perlakuan.
Perlakuan KIN (K) Rataan
NAA (N) K0 K1 K2 K3
N0 16,68 28,15 30,05 31,05 26,48
N1 39,70 41,68 49,83 52,83 46,01
N2 64,75 67,48 72,50 93,05 74,44
N3 146,25 160,93 189,78 476,13 243,27
Rataan 66,84 74,56 85,54 163,26 (N/K) 97,55
Keterangan: N0 = Kadar NAA 0 mg/L, N1 = Kadar NAA 0,1 mg/L, N2 = Kadar NAA 1,0 mg/L, N3 =
Kadar NAA 10 mg/L, K0 = Kadar Kinetin 0 mg/L, K1 = Kadar Kinetin 0,05 mg/L, K2 = Kadar
Kinetin 0,5 mg/L, K3 = Kadar Kinetin 5 mg/L
N0K0 dengan berat basah kalus 16,68 mg. Analisis data dengan menggunakan statistik
(Anova: Two-Factor With Replication) untuk seluruh kelompok perlakuan, yaitu
dengan menggunakan anova dengan dua faktor dengan ulangan menunjukkan adanya
interaksi antar variabel (Fhitung 12.62327 > Ftabel 2.506056) pada taraf signifikansi 0,01.
Dari hasil ini disimpulkan bahwa zat pengatur tumbuh kinetin dan NAA sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan kalus Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin
Dryander) di dalam media kultur.
10.9.2.1. Pengaruh NAA Terhadap Pertumbuhan Kalus
Untuk melihat lebih lanjut pengaruh -napthaleneacetic acid (NAA) terhadap
pertumbuhan kalus Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) di dalam media
kultur, maka berat basah kalus untuk kelompok perlakuan diukur. Rata-rata berat basah
kalus yang dihasilkan variasi konsentrasi NAA diperlihatkan pada Gambar 10.1. Dari
grafik pada Gambar 10.1 terlihat adanya pola peningkatan berat basah kalus dengan
meningkatnya konsentasi NAA di dalam media kultur. Semakin tinggi konsentrasi NAA
di dalam sampel maka berat basah kalus juga semakin meningkat. Dalam penelitian ini
tidak dilakukan penambahan NAA lebih tinggi karena pada penelitian sebelumnya yang
dilakukan pada kultur daun jeruk (Nurwahyuni, 2001) dan kultur daun kopi
(Nurwahyuni, 2000), konsentrasi NAA lebih kecil dari 10 mg/L ternyata sudah mampu
memacu pertumbuhan kalus dalam media kultur. Dalam penelitian untuk kultur
Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) ternyata kadar NAA pada konsentrasi
rendah juga sudah menunjukkan pertumbuhan kalus, akan tetapi belum didapatkan
kondisi yang optimum untuk pertumbuhan kalus. Adanya pola peningkatan berat basah
kalus dengan semakin meningkatnya kadar NAA yang ditambahkan di dalam media
menantang peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan utuk melakukan optimasi untuk
melihat konsentrasi optimum yang dibutuhkan dalam memperbaiki kualitas
pertumbuhan dan perkembangan kalus.
250.00
Berat basah kalus (mg)
200.00
y = 20.353x + 41.071
150.00
R2 = 0.9867
100.00
50.00
0.00
0 2 4 6 8 10 12
NAA (mg/L)
Gambar 10.1. Pengaruh NAA terhadap pertambahan berat basah kalus kultur daun
pucuk Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) di dalam media
basal MS yang diperkaya dengan kinetin.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 149
Gambar 10.2. Pengaruh Kinetin terhadap pertambahan berat basah kalus kultur daun
pucuk Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) di dalam media
basal MS yang diperkaya dengan NAA.
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa berat basah kalus yang dihasilkan dalam
media kultur semakin meningkat dengan meningkatnya kadar kinetin yang ditambahkan
di dalam sampel. Dari hasil ini terlihat adanya hubungan antara peningkatan berat basah
kalus yang disebabkan oleh peningkatan kadar kinietin di dalam sampel, berarti kinetin
sangat efektif dalam merangsang pertumbuhan kalus di dalam media kultur.
10.9.3. Pengaruh Media Terhadap Perkembangan Eksplan
Media kultur yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan eksplan. Pengamatan terhadap pertumbuhan eksplan yang
disebabkan oleh pemberian zat pengatur tumbuh dengan variasi konsentrasi dapat
diamati dari bentuk dan kualitas pertumbuhan eksplan. Pengamatan terhadap pengaruh
pemberian zpt terhadap tipe pertumbuhan eksplan dirangkum dalam Tabel 10.3. Dari
hasil ini diperoleh dua jenis tipe pertumbuhan kalus, yaitu hanya membentuk kalus dan
yang membentuk kalus berakar. Pada umumnya media basal yang tidak mengandung
zat pengatur tumbuh hanya menghasilkan kalus saja, sedangkan media yang diperkaya
dengan zat pengatur tumbuh menghasilkan kalus berakar. Akan tetapi terdapat
pengecualian pada penambahan zat pengatur tumbuh pada kadar tertinggi, yaitu pada
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 150
kombinasi kinetin 10 mg/L dan NAA 5 mg/L ternyata hanya menghasilkan kalus saja,
akan tetapi dari hasil pengamatan terlihat laju pertumbuhan kalus yang sangat cepat (29
kali) dan dengan berat basah kalus tinggi 476,13 mg kalus bila dibandingkan dengan
kontrol yang hanya menghasilkan kalus 16,68 mg kalus. Menurut George dan
Sherrington (1984) dan Pierik (1997) kultur yang sudah berorganogenesis membentuk
akar umumnya tidak berhasil ditunaskan untuk menjadi planlet tetapi sebaliknya bila
kalus membentuk tunas dapat langsung berakar pada media yang sama atau disubkultur
pada media lain untuk menumbuhkan akarnya.Kalus berakar dapat disubkultur untuk
perbanyakan kalus.
Tabel 10.3. Tipe pertumbuhan regenerasi eksplan kultur daun pucuk Kemenyan
Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) oleh pengaruh pemberian zpt.
No Kelompok Tipe Pertumbuhan/ Kultur Yang Membentuk
Perlakuan Regenerasi Eksplan Akar (%)*
1 N0K0 Kalus -
2 N0K1 Kalus -
3 N0K2 Kalus -
4 N0K3 Kalus -
5 N1K0 Kalus berakar 25
6 N1K1 Kalus berakar 25
7 N1K2 Kalus berakar 25
8 N1K3 Kalus berakar 25
9 N2K0 Kalus berakar 25
10 N2K1 Kalus berakar 20
11 N2K2 Kalus berakar 25
12 N2K3 Kalus berakar 50
13 N3K0 Kalus berakar 50
14 N3K1 Kalus berakar 66,7
15 N3K2 Kalus berakar 50
16 N3K3 Kalus -
*Dihitung dari banyaknya eksplan yang membentuk akar dibagi dengan jumlah eksplan hidup.
sampai 5 mg/L pada media MS tidak berhasil menstimulasi proliferasi sel. Hasil ini
didukung dengan rendahnya berat basah kalus yang dihasilkan seperti yang dirangkum
dalam Tabel 10.2. Perkembangan eksplan di dalam media yang tidak diperkaya dengan
NAA sangat lambat sekali. Walau sudah dikultur dalam jangka waktu yang cukup lama
(3 bulan) ternyata kalus tidak berkembang.
Gambar 10.3. Pertumbuhan dan perkembangan kalus kultur daun pucuk Kemenyan
Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) oleh pengaruh variasi konsentrasi
kinetin di dalam media basal MS tanpa adanya NAA, pengamatan setelah
3 bulan.
Gambar 10.4. Pertumbuhan dan perkembangan kalus kultur daun pucuk Kemenyan
Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) oleh pengaruh variasi konsentrasi
kinetin di dalam media basal MS dengan kehadiran 0,1 mg/L NAA,
pengamatan setelah tiga bulan.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 152
Gambar 10.5. Pertumbuhan dan perkembangan kalus kultur daun pucuk Kemenyan
Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) oleh pengaruh variasi konsentrasi
kinetin di dalam media basal MS dengan kehadiran 1,0 mg/L NAA,
pengamatan setelah tiga bulan.
Selanjutnya pengaruh pemberian NAA pada konsentrasi lebih tinggi terhadap
pertumbuhan eksplan juga diamati seperti diperlihatkan pada Gambar 10.5 dengan
peningkatkan kadar NAA di dalam media kultur yaitu 1,0 mg/L NAA dikombinasi
dengan variasi konsentrasi kinetin diperlihatkan pada Gambar 10.5. Dari hasil
pengamatan terlihat adanya peningkatan pertutumbuhan eksplan, baik peningkatan
pertumbuhan kalus dan jumlah akar di dalam media kultur. Dari percobaan ini terlihat
bahawa NAA sangat efektif di dalam memacu pertumbuhan kalus dan akar. Semakin
tinggi kadar NAA yang ditambahkan di dalam media kultur kana semakin
meningkatkan jumlah kalus dan akar. Pola penurunan persentase kultur yang
membentuk akar terlihat setelah pemberian 10 mg/L NAA dan 0,5 mg kinetin, dan
bahkan tidak menghasilkan akar lagi bila diberikan 10 mg/L NAA dan 5 mg kinetin
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 153
(Gambar 10.7). Kultur yang ditumbuhkan di dalam media yang mengandung zat
pengatur tumbuh dengan kadar tinggi (10 mg/L NAA dan 5 mg kinetin) menghasilkan
eksplan dengan kalus yang tidak menghasilkan akar (Gambar 10.7). Kualitas kalus
bertekstur padat, berwarna hijau, dan sebagian kecil friable berwarna putih.
Gambar 10.6. Pertumbuhan dan perkembangan kalus dalam kultur daun pucuk
Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) oleh pengaruh variasi
konsentrasi kinetin di dalam media basal MS dengan kehadiran 10
mg/L NAA, pengamatan setelah 3 bulan.
Gambar 10.7. Kultur daun pucuk Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) yang
membentuk kalus tanpa akar
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 154
di dalam media kultur pada minggu keduabelas. Berat basah kalus yang dihasilkan
dalam media kultur semakin meningkat dengan meningkatnya kadar kinetin dan
NAA yang ditambahkan di dalam media kultur.
2. Dua jenis tipe pertumbuhan kalus, yaitu membentuk kalus dan kalus berakar. Media
basal yang tidak mengandung zat pengatur tumbuh menghasilkan kalus, sedangkan
media yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh mengahasilkan kalus berakar.
Laju pertumbuhan kalus sangat cepat (29 kali lipat dibandingkan dengan kontrol)
bila menggunakan zpt.
3. Penamabahan kinetin di dalam media basal MS sangat mempengaruhi terhadap
pertumbuhan eksplan. Semakin tinggi kadar kinetin di dalam media, kualitas eksplan
sebakin baik, yaitu dihasilkan kalus bertekstur padat, berwarna hijau, dan sebagian
kecil friable berwarna putih.
4. Kultur jaringan tanaman Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) sangat
sukar sekali terhindar dari kontaminasi cendawan dan bakteri. Memindahkan bibit
yang berasal dari hutan ke rumah kaca sangat efektif dalam mengurangi sumber
kontaminasi dalam kultur jaringan Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander).
10.11. Saran dan Rekomendasi
Agar perbanyakan bibit tanaman Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander)
dapat tercapai, maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa peningkatan kadar kinetin untuk memacu
pertumbuhan tunas, dan variasi zat pengatur tumbuh yang lain sampai menghasilkan
bibit tanaman.
2. Agar kalus dapat ditumbuhkan menjadi bibit tanaman, maka perlu dilakukan
penelitian lanjutan berupa subkultur. Penelitian ini merupakan tahap berikutnya yang
akan dilakukan dalam rencana penelitian pada tahun 2003.
10.12. Daftar Pustaka
Balch, E.P.M., dan Alejo, N.O., (1997), In vitro plant regeneration of Mexican lime and
Mandarin by direct organogenesis, Hortscience 32: 931-934.
Barlass, M., dan Skene, K.G.M., (1982), In Vitro plantlet formation from Citrus species
and hybrids, Scientia Horticulturae 17: 333-341.
Bacchi, E.M., Sertie, J.A., Villa, N., dan Katz, H., (1995), Antiulcer action and toxicity
of Styrax camporum and Caesalpinia ferrea, Planta Medica 61: 204-207.
Bacchi, E.M., dan Sertie, J.A., (1994), Antiulcer action of Styrax camporum and
Caesalpinia ferrea in rats, Planta Medica 60: 118-120.
BPS, (2002), Statistik Hasil Hutan Indonesia Tahun 1991-1992, Komoditi Kemenyan,
Biro Pusat Statistik, Indonesia.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 156
Carimi, F., DePasquale, F., dan Crescimanno, F.G., (1995), Somatic embryogenesis in
Citrus from styles culture, Plant Science 105: 81-86.
Chaturvedi, H.C., Sharma, A.K., Sharma, M., dan Prasad, R.N., (1982), Morphogenesis,
micropropagation and germplasm preservation of some economic plants by tissue
cultures. In: Plant Tissue Culture, (A.Fugiwara, eds), Maruzen, Tokyo, p. 687-688.
Grosser, J.W., Gmitter, F.G., Tusa, N., Recupero, G.R., dan Cucinotta, P., (1996),
Further evidence of a cybridization requirement for plant regeneration from citrus
leaf protoplasts following somatic fusion, Plant Cell Report 15: 672-676.
Hostettmann, K., Wolfender, J.L., dan Rodriguez, S., (2000), Rapid detection and
subsequent isolation of bioactive constituents of crude plant extracts, Planta
Medica 63: 2-10.
Jiang WD., Xu DZ., Hu GJ., dan Lin BZ., (1979), Some pharmacologic effects of the
"Styrax pill for coronary disease" and the pharmacological basis of a simplified
styrax-borneol preparation, Acta Pharmaceutica Sinica. 14(11):655-61 (Abstract).
Ling, J.T., dan Iwamasa, M., (1997), Plant regeneration from embryogenic calli of six
Citrus related genera, Plant Cell and Organ Culture 49: 145-148.
Luo, G., Yang, R., Lai, X., Yang, W., Xie, S., dan Zhou, H., (1996), Analysis of
cinnamic acid in storax and its original plant by HPLC, China Journal of Chinese
Materia Medica 21(12): 744-745, 763 (Abstract)
Maggon, R., dan Singh, B.D., (1995), Promotion of adventitious bud regeneration by
ABA in combination with BAP in epicotyl and hypocotyl explants sweet orange
(Citrus sinensis L.Osbeck), Scientia Horticulturae 63: 123-128.
Moreira-Dias, J.M., Molina, R.V., Guardiola, J.L., dan Garcia-Luis, A., (2001),
Daylength and photon flux density influence the growth regulator effects on
morphogenesis in epicotyl segments of Troyer citrange, Scientia Horticulturae 87:
275-290.
Murashige, T., dan Skoog, F., (1962), A revised medium for rapid grouth and bioassay
with tobacco tissue culture, Physiol. Plant. 15: 473-496.
Murashige, T., dan Tucker, D.P.H., (1969), Grouth factor requirement of citrus tissue
culture, Proc. 1st. Citrus Symp. 3: 1155-1161.
Nurwahyuni, I., (2003), Uji ketahanan kultur jeruk manis (Citrus sinensis Brasitepu)
terhadap salinitas menuju bibit unggul, Jurnal Scientia 3(2): 75-84.
Nurwahyuni, I., (2002), Upaya perbanyakan tanaman Kemenyan Sumatrana (Styrax
Benzoin Dryander) melalui kultur pucuk, Laporan Hasil Penelitian, PPD HEDS -
FMIPA USU Medan.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 157
Nurwahyuni, I., (2001a), Perbanyakan Tanaman Jeruk Manis (Citrus sinensis Brasitepu)
Secara Kultur Jaringan, Laporan Hasil Penelitian, USU Medan.
Nurwahyuni, I., (2001b), Kultur jaringan daun kopi arabika (Coffea arabica L.) dalam
media MS diperkaya dengan kombinasi sitokinin dan auksin, Jurnal Pendidikan
Science 25(2A): 29-38.
Nurwahyuni, I., (2000), Kultur kalus jeruk manis (Citrus sinensis Brasitepu), Laporan
Hasil Penelitian, USU Medan.
Nurwahyuni, I., (1999), Perbanyakan tanaman kopi arabika (Coffea arabica L) secara
kultur jaringan, Komunikasi Penelitian 11(2): 88-102.
Nurwahyuni, I., Munir, E., dan Riyani, Y., (1996), Perbanyakan Tanaman Anggrek
Dendrobium sp. secara Kultur jaringan, Komunikasi Penelitian 8(4): 331-337.
Nurwahyuni, I., dan Tjondronegoro, P., (1994), Induksi kalus dan regenerasi tanaman
Dioscorea composita Hemls, Hayati 1: 15-17.
Sianipar, H., dan Simanjuntak, B., (2000) Isolasi dan identifikasi asam sinamat dari
kemenyan sumatrana, Media Farmasi 4(1): 22-28.
Shahjahan, M., dan Islam, I., (1998), Preliminary evaluation of shilajit as a suspending
agent in antacid suspensions, Drug Development & Industrial Pharmacy 24: 1109-
1112.
Teranishi, R., Buttery, R.G., dan Sugisawa, H., (1993), Bioactive volatile compounds
from plants, ACS, Washington, DC.
Ulubelen, A., dan Goren, N., (1973), Preliminary investigations on the herba of Styrax
officinalis. I., Planta Medica 24: 290-293.
Zar, J.H., (1996), Biostatistical Analysis, 3rd ed, Prentice hall International Inc., London
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 158
Bab XI
PERBANYAKAN KEMENYAN SUMATRANA (Styrax benzoin Dryander)
MELALUI TEKNIK SUBKULTUR
11.1. Latar Belakang Penelitian
Pelestarian dan peningkatan kualitas tanaman hutan perlu mendapat perhatian,
terutama terhadap tanaman yang dapat mengasilkan produk non-kayu yang memiliki
nilai ekonomi tinggi. Salah satu tanaman hutan yang sangat penting untuk
dikembangkan dan dibudidayakan adalah kemenyan sumatrana (Styrax benzoin
Dryander) karena mempunyai nilai ekonomi tinggi, yaitu menghasilkan getah kulit yang
disebut kemenyan. Kemenyan sumatrana mengandung senyawa bioaktif yang dapat
digunakan sebagai bahan baku obat (Sianipar dan Simanjuntak, 2000). Tanaman
kemenyan tumbuh dengan baik di hutan Sumatera Utara, khususnya di empat
kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Dairi, Kabupaten Toba
Samosir, dan Kabupaten Pakpak Barat (Nurwahyuni dan Elimasni, 2008).
Kemenyan yang dikenal sebagai getah kemenyan merupakan produk hasil hutan
non-kayu yang khas dari beberapa kabupaten di Sumatera Utara dan sudah merupakan
komoditas ekspor andalan dari Provinsi Sumatera Utara (BPS, 2006). Banyak penduduk
di sekitar hutan di Sumatera Utara yang menggantungkan hidup dari getah kemenyaan,
umumnya masih dijual dalam bentuk bahan baku mentah. Walaupun kemenyan sudah
termasuk komoditas unggulan dari Sumatera Utara, akan tetapi budidaya kemenyan
belum dilakukan dengan baik. Getah kemenyan yang diproduksi dari Sumatera Utara
masih berasal dari kemenyan yang tumbuh secara liar di hutan. Budidaya kemenyan
dalam jumlah banyak sulit untuk dilakukan karena kendala dalam penyediaan bibit.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan masyarakat di sekitar hutan diketahui
bahwa bibit pohon kemenyan yang tumbuh di dalam hutan diperoleh dari biji yang
tumbuh liar di huta-hutan Sumatera Utara. Usaha untuk menghasilkan bibit tanaman
melalui biji sering dicobakan masyarakat, akan tetapi, jumlah biji yang dapat tumbuh
sangat sedikit bahkan tidak tumbuh sama sekali karena kulit biji yang keras. Hal ini
menyebabkan usaha budidaya kemenyan menjadi sulit dilakukan, terutama untuk
kebutuhan hutan industri lahan luas. Sebagai alternatif terbaik untuk memenuhi
penyediaan bibit kemenyan dalam jumlah besar harus dilakukan melalui teknik in vitro,
karena dapat memproduksi bibit dalam jumlah banyak dan seragam dalam waktu relatif
singkat. Hal ini mendorong peneliti melakukan propagasi kemenyan sumatrana melalui
teknik subkultur sebagai usaha penyediaan bibit kemenyan.
Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan tanaman sangat tepat di dalam
penyediaan bibit dalam jumlah besar, seragam dan dengan kualitas baik. Teknik in vitro
termasuk cara yang sangat baik untuk perbaikan kualitas tanaman, khususnya tanaman
hortikultura dan tanaman hutan. Teknik kultur jaringan tanaman telah banyak digunakan
untuk perbanyakan tanaman dikotil yang memiliki nilai ekonomi (Santos, dkk., 2005;
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 159
Chaturvedi, dkk., 1982; Marroquin, dkk. 2004). Bahan tanaman (eksplan) yang
digunakan dalam teknik in vitro adalah bagian biji, benih, helai daun, tangkai daun, ruas
batang, tunas aksilar, dan meristem apikal, semuanya ini diambil dari bahan yang masih
muda karena jaringan tersebut mengandung sel-sel yang aktif membelah atau sel
meristematik (Balch dan Alejo, 1997; Cervera, dkk. 2005, Ling dan Iwamasa, 1997).
Eksplan ditanam pada media MS yang mengandung garam-garam mineral, asam-asam
amino, vitamin, sumber karbon dan energi (gula) dan zat pengatur tumbuh (ZPT)
dengan komposisi tertentu (Murashige dan Skoog, 1962; Murashige dan Tucker, 1969).
Ada beberapa jenis ZPT yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman, seperti auksin
(-napthaleneacetic acid (NAA), 2,4 dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), Indole-3-
acetic acid (IAA), IBA, dll., dan sitokinin (benzyladenin (BA), kinetin (KI), dan zeatin
(ZI)). Respon tumbuhan terhadap ZPT yang ditambahkan ke dalam media berbeda-
beda, tergantung pada jenis tanaman yang dikultur (Davey, dkk. 2005). Efisiensi dan
efektifitas dari hormon pertumbuhan juga berbeda terhadap jenis tanaman yang berbeda.
Sebagai contoh, kinetin sangat efektif untuk kultur buku batang (Carimi, dkk., 1995),
sementara sitokinin konsentrasi rendah dapat memacu perkembangan tunas sedangkan
konsentrasi tinggi merangsang penggandaan tunas (Nurwahyuni, 2004). Auksin pada
konsentrasi rendah dapat memacu pertumbuhan akar dan pada konsentrasi tinggi dapat
merangsang pertumbuhan kalus (Katz, dkk., 2005; Magoon dan Singh, 1995). Dengan
demikian, pengaturan zat pengatur tumbuh di dalam media sangat menentukan terhadap
keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan kultur. Dalam perbanyakan tanaman
dibutuhkan pemilihan perbandingan konsentrasi auksin, sitokinin dan suplemen yang
tepat, karena hal ini akan menentukan dalam derajat keberhasilan pembentukan tanaman
baru (Guo dan Grosser, 2005, Nurwahyuni dan Tjondronegoro, 1994).
Perbanyakan tanaman secara in vitro banyak dilakukan dalam pemenuhan bibit
dalam jumlah besar dengan kualitas bibit dan produksi relatif sama. Teknik in vitro
memiliki keuntungan karena dapat menghasilkan bibit klonal secara massal dalam
waktu yang singkat, dapat meningkatkan kualitas tanaman karena menghasilkan
tanaman seragam dan tingkat kesehatan yang lebih baik. Sepanjang penelusuran pustaka
yang sudah dilakukan, belum ada usaha yang dilakukan untuk perbanyakan tanaman
kemenyan sumatrana secara kultur jaringan tanaman, dan bahkan terhadap tanaman
golongan Styrax masih sangat terbatas. Hal ini mungkin disebabkan karena belum
banyaknya penelitian yang telah dilakukan terhadap potensi tanaman tingkat tinggi
golongan Styrax. Usaha perbanyakan kemenyan sumatrana (Styrax benzoin dryander)
melalui kultur pucuk telah dilakukan (Nurwahyuni, 2002). Kemampuan jaringan
tanaman untuk membentuk kalus sangat dipengaruhi oleh konsentrasi zat pengatur
tumbuh kinetin dan NAA. Penelitian lanjutan dengan kombinasi perlakuan media yang
mengandung 2,4-D dan BAP diperoleh pertumbuhan kalus yang bervariasi tergantung
konsentrasi zat pengatur tumbuh (Nurwahyuni dan Elimasni, 2005). Akan tetapi,
aklimatisasi tanaman pada tahap ini belum dapat dilakukan karena tidak terbentuk
planlet sehingga bibit tanaman belum dapat dihasilkan. Pendekatan teknik in vitro
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 160
terhadap tanaman tingkat tinggi seperti yang dilakukan jeruk manis (Grosser, dkk, 1996;
Nurwahyuni, 2003; Nurwahyuni, 2001a) dan kopi arabika (Nurwahyuni, 2001b,
Nurwahyuni, 1999) digunakan sebagai acuan. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan
teknik regenerasi melalui teknik subkultur yang baik untuk perbanyakan tanaman
kemenyan sumatrana secara teknik kultur jaringan tanaman sebagai usaha untuk
penyediaan bibit kemenyan sumatrana secara kultur jaringan tanaman.
11.2. Metode Penelitian
Inisiasi kalus adalah penelitian tahap I bersifat eksperimental, Rancangan Acak
Lengkap (RAL) faktorial dengan kombinasi perlakuan percobaan dengan 5 ulangan.
Kombinasi perlakuan diantaranya adalah media Murashige dan Skoog, MS (Murashige,
1962) yang mengandung sukrosa, dan diperkaya dengan zat pengatur tumbuh Benzyl
Amino Purin (BAP, 0-10.0 mg/l)) dan 2,4 Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D, 0-5.0
mg/l).. Prosedur penelitian terdiri atas penyediaan media kultur, sterilisasi eksplan dan
penanaman eksplan, subkultur, dan regenerasi. Terhadap kalus yang terbentuk pada
kultur akan dilakukan subkultur dengan variasi perlakuan sampai terbentuk planlet.
Selanjutnya tahap II dilakukan regenerasi kalus menjadi tanaman dengan cara
memindahkan kalus ke dalam media regenerasi. Sebagai media regenerasi digunakan
media MS0 (media MS tanpa zat pengatur tumbuh) dan Woody Plant Medium (WPM
tanpa zat pengatur tumbuh). Kondisi ruangan kultur dipelihara sama seperti pada saat
inisiasi. Pada fase ini dilakukan pengamatan kemampuan kultur morfogenik
beregenerasi menjadi tanaman, seperti jumlah tunas dan tunas berakar, jumlah tunas
per-eksplan, jumlah akar dan kecepatan pertumbuhan, hasil diferensiasi kalus setelah di
subkultur, respon tunas pada media perakaran, dan kecepatan pertumbuhan.
11.3. Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian untuk perbanyakan kemenyan sumatrana (Styrax benzoin
Dryander) melalui teknik subkultu diantaranya adalah induksi kalus kemenyan
sumatrana, pengaruh media terhadap pertumbuhan kalus, perkembangan tunas
kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander), pertumbuhan akar kemenyan
sumatrana, multiplikasi tunas dan planlet Styrax benzoin Dryander. Masing-masing
dijelaskan secara rinci berikut ini.
11.3.1. Induksi Kalus Kemenyan Sumatrana
Kemampuan jaringan tanaman kemenyan untuk membentuk kalus dalam teknik
kultur jaringan tanaman sangat dipengaruhi oleh komponen dan konsentrasi media, jenis
dan konsentrasi zat pengatur tumbuh, dan intensitas cahaya (Nurwahyuni, 1994), maka
dalam dalam kultur kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) digunakan media
MS sehingga pengaruh pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh terhadap
pertumbuhan kalus dapat diamati. Eksplan tanaman kemenyan yang berasal dari daun
muda yang sudah disterilisasi dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam botol kultur
berisi media. Potongan daun dibenamkan dengan seluruh permukaan menempel pada
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 161
media. Cara ini dilakukan karena ternyata meletakkan daun pada posisi permukaan
bawah atau permukaan atas daun yang bersentuhan dengan media cukup baik untuk
inisiasi dan pertumbuhan kalus pada kultur daun pucuk kemenyan ini karena setiap sel
pada permukaan yang bersentuhan dengan media mempunyai potensi untuk menyerap
nutrien yang terdapat dalam media. Walaupun menurut Moreira-Dias, dkk., (2001)
bahwa cara seperti ini tidak selalu efektif dalam induksi kalus, akan tetapi, pada
penelitian yang dilakukan pada kultur jaringan kopi (Nurwahyuni, 1999), dan kultur
jaringan jeruk manis (2001) telah terbukti bahwa cara yang dilakukan seperti pada
kultur jaringan kemenyan ini tidak efektif dalam merangsang pembentukan kalus
embriogenik. Kultur kemenyan sumatrana diinkubasi di dalam ruang dengan
pencahayaan konstan 1000 lux pada suhu 252 oC, dan setelah empat minggu terlihat
kalus mulai terbentuk dan membesar untuk beberapa kelompok perlakuan, dilanjutkan
pada pertumbuhan kalus di dalam media kultur pada minggu ke duabelas. Kalus
bertumbuh mulai pada bagian eksplan bekas luka yang merupakan pinggiran yang
bersentuhan langsung dengan media, dan selanjutnya pertumbuhan meluas keseluruh
permukaan eksplan. Pertumbuhan kalus pada eksplan semakin meningkat apabila pada
eksplan terdapat tulang-tulang daun apalagi ibu tulang daun yang mengandung
berkas/jaringan pengangkut. Hal ini disebabkan oleh karena pada jaringan pengangkut
tersebut terdapat nutrien yang lebih banyak bila dibandingkan dengan jaringan daun
yang tidak mempunyai jaringan pengangkut mengakibatkan pemacuan pertumbuhan
kalus meningkat. Hasil seperti ini selalu didapati dalam penelitian sebelumnya
(Nurwahyuni, 2002, dan Nurwahyuni, 2004).
Gambar 10.1. Bentuk kalus dari daun muda kemenyan sumatrana (Styrax benzoin
Dryander) pada minggu ke dua belas melalui teknik subkultur. Gambar
kanan adalah histologi kalus embriogenik kemenyan sumatrana (Styrax
benzoin Dryander).
Kalus yang bertumbuh terlihat bervariasi. Kalus berwarna coklat berair hanya
bertumbuh menjadi kalus dalam jumlah yang besar, tetapi tidak dapat menghasilkan
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 162
tanaman. Sedangkan kalus yang berwarna hijau merupakan kalus embriogenik yang
berkembang dengan baik. Bentuk kalus yang bertumbuh pada minggu ke enam
diperlihatkan pada Gambar 11.1. Bentuk kalus kultur kemenyaan yang bertumbuh di
dalam media kultur selanjutnya dianalisis untuk melihat bentuk jaringan kalus, agar
diperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang jaringan kalus yang diperlukan di dalam
perlakuan berikutnya sebagai usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan kalus
menjadi tanaman dalam teknik sub kultur. Histologi kalus embriogenik kemenyan
sumatrana diperlihatkan pada Gambar 11.1 (insert). Hasil ini menunjukkan bahwa kalus
kemenyan sumatrana adalah kalus embriogenik yang memungkinkan untuk
dikembangkan lebih lanjut menjadi tanaman.
Bentuk kalus dari kultur pucuk yang tumbuh di dalam berbagai jenis perlakuan
diperlihatkan pada Gambar 11.2. Kalus yang dikultur pada media D3B3 terlihat semua
bagian kultur pucuk berubah menjadi kalus, sementara itu eksplan yang ditumbuhkan
pada media D0B2 hanya sebagian dari bagian eksplan yang bertumbuh menjadi kalus,
dan eksplan yang ditumbuhkan pada media D3B1 yang bertumbuh menjadi kalus hanya
pada bagian ujung saja.
Gambar 11.2. Tipe-tipe kalus dari pucuk kemenyan sumatera dan letak
pertumbuhannya yang berbeda pada berbagai jenis media: (a) semua
permukaan pucuk membentuk kalus (D3B3), (b) kalus bertumbuh dari
ujung eksplan (D0B2) dan (c) .kalus betumbuh ditengah eksplan.
11.3.2. Pengaruh Media Terhadap Pertumbuhan Kalus
Pertumbuhan dan perkembangan kalus kemenyan sumatrana sangat dipengaruhi
oleh jenis zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media kultur. Dalam
percobaan ini telah di berikan variasi beberapa jenis zat pengatur tumbuh yang
ditambahkan ke dalam media kultur, kemudian persentase kultur yang bertumbuh
kalusnya diamati dan berat kalus ditimbang untuk dianalisis secara statistika.
Pertumbuhan eksplan baru menunjukkan gejala tumbuh setelah satu bulan pengkulturan,
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 163
dan diikuti dengan perkembangan kalus. Perkembangan kalus di dalam media kultur
sangat lambat. Pertumbuhan dan perkembangan kalus oleh pengaruh konsentrasi zat
pengatur tumbuh 2,4-D dan BAP di dalam media basal MS ditunjukkan dari berat basah
kalus di dalam kultur seperti dirangkum pada Tabel 11.1.
Tabel 11.1. Pertumbuhan kalus kultur, tunas dan akar kemenyan sumatrana (Styrax
benzoin Dryander) pada media MS yang diperkaya berbagai kombinasi 2,4-
D dan BAP melalui teknik subkultur. Tanda dalam kurung adalah superskrip
yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada
taraf signifikansi 0,01.
Berat Kalus (g) Jumlah Tunas Jumlah Akar
No Perlakuan
Daun Pucuk Daun Pucuk Daun Pucuk
1 D0B0 0.017(f) 0.008 (f) 0.00 (e) 0 0.50 (ef) 0
2 D0B1 0.028 (ef) 0.011 (ef) 0.50 (d) 0 0.50 (ef) 0
3 D0B2 0.030 (ef) 0.018 (ef) 1.00 (bc) 0 0.00 (ef) 0
4 D0B3 0.031(ef) 0.013 (ef) 1.00 (bc) 0 0.00 (ef) 0
5 D1B0 0.042(ef) 0.039 (cd) 0.00 (e) 0 2.40 (cd) 0
6 D1B1 0.042(ef) 0.061 (cd) 1.00 (cd) 0 2.75 (bcd) 0
7 D1B2 0.050 (ef) 0.011 (ef) 1.50 (abc) 0 1.25 (de) 0
8 D1B3 0.053 (ef) 0.017 (ef) 2.00 (a) 0 4.25 (abc) 0
9 D2B0 0.065 (de) 0.020 (ef) 0.00 (e) 0 2.20 (cd) 0
10 D2B1 0.068 (de) 0.053 (cd) 0.00 (e) 0 2.75 (bcd) 0
11 D2B2 0.073 (cd) 0.062 (cd) 1.00 (cd) 0 1.25 (de) 0
12 D2B3 0.093 (cd) 0.158 (a) 1.75 (ab) 0 1.75 (de) 0
13 D3B0 0.146 (b) 0.033 (ef) 0.00 (e) 0 5.50 (a) 0
14 D3B1 0.161 (b) 0.032 (ef) 0.00 (e) 0 4.67 (ab) 0
15 D3B2 0.190 (b) 0.117 (b) 0.00 (e) 0 2.75 (bcd) 0
16 D3B3 0.319 (a) 0.010 (ef) 1.25 (abc) 0 1.50 (dc) 0
Keterangan: D0 = 0,0 mg/l 2,4-D, B0 = 0,0 mg/l BAP , D1 = 0,05 mg/l 2,4-D, B1 = 0,1 mg/l BAP, D2 =
0,5 mg/l 2,4-D, B2 = 1,0 mg/l BAP, D3 = 5,0 mg/l 2,4-D, B3 = 10,0 mg/l BAP
Pemberian zat pengatur tumbuh sangat nyata berpengaruh terhadap induksi dan
kecepatan perkembangan kalus tetapi tidak berpengaruh terhadap persentase kultur
membentuk kalus. Pada kelompok perlakuan ditemukan persentase kultur berkalus yang
bervariasi, yaitu 50-83%, persentase tertinggi ditemukan pada kelompok D1B0 dan
D2B0 masing-masing 83%, sedangkan terrendah pada kelompok D3B1 bertumbuh
50%. Berat kalus tertinggi diperoleh pada kelompok perlakuan D3B3 dengan rataan
berat kalus 0.319 g, disusul dengan kelompok perlakuan D3B2 dengan rataan berat
basah kalus 0.190 g, sedangkan berat kalus terrendah diperoleh pada kelompok
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 164
perlakuan D0B1 dengan rataan bert kalus 0.028 g, yaitu hamper sama dengan kelompok
control D0B0 dengan rataan berat kalus 0.017 g. Dari data ini diketahui bahwa
konsentrasi zat pengatur tumbuh sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan kalus,
yaitu semakin tinggi konsentrasi 2,4-D dan BAP yang ditambahkan ke dalam media
kultur maka berat basah kalus yang dihasilkan juga semakin tinggi.
11.3.3. Perkembangan Tunas Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander)
Perkembangan tunas di dalam kultur untuk beberapa kondisi perlakuan
menunjukkan pertumbuhan baik. Persentase keberhasilan kultur bertumbuh menjadi
tunas tinggi, sehingga memberikan harapan yang cukup besar untuk dikembangkan
menjadi tanaman. Kalus di dalam media kultur menunjukkan pertumbuhan dan
perkembangan setelah 6 minggu, yaitu membentuk tunas (Tabel 11.1). Variasi
perlakuan memberikan perkembangan kultur menjadi tunas namun jumlah tunas antar
perlakuan tidak berbeda nyata. Kalus yang terbentuk pada beberapa kombinasi media
seperti pada perlakuan D1B3 memiliki intensitas pertumbuhan tunas tinggi dengan
rataan jumlah tunas sebanyak 2,0 buah, diikuti oleh kelompok D2B3 dengan rataan
jumlah tunas sebanyak 1,75 buah, kelompok D1B2 sebanyak 1,50 buah, dan kelompok
D3B3 sebanyak 1,25 buah. Akan tetapi, masih banyak kelompok perlakuan yang tidak
mampu menumbuhkan tunas seperti pada perlakuan D1B0, D2B0, D2B1, D3B0, D3B1,
dan D3B2, yaitu hampir sama dengan kelompok kontrol D0B0. Dari hasil ini terlihat
bahwa peningkatan konsentrasi zat pengatur tumbuh tidak konsisten terhadap variasi
pertumbuhan tunas. Tipe pertumbuhan untuk tunas kemenyan sumatrana bervariasi
seperti perbesaran eksplan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah sel dan
pembesaran sel yang menyebabkan eksplan bertambah luas permukaannya. Warna
eksplan coklat, dan bentuknya berupa lembaran potongan daun yang membesar. Tunas
yang bertumbuh di dalam media kultur menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan
yang cukup baik setelah 6 minggu (Gambar 11.3).
tertinggi diperoleh pada kelompok T2M1, yaitu kultur berumur 1,5 bulan yang
dipindahkan ke dalam media MS0 dengan rata-rata jumlah 1,55 planlet, diikuti pada
kelompok T3M1, yaitu kultur yang berumur dua bulan dengan jumlah 1,32 planlet,
berumur 2,5 bulan dengan jumlah 1,19 planlet (T4M1), dan terrendah diperoleh pada
kultur yang berumur tiga bulan dengan jumlah 0,99 planlet (T5M1), yaitu hampir sama
dengan kultur yang berumur satu bulan dengan jumlah 0,99 planlet (T1M1).
Berbeda dengan kultur yang ditumbuhkan di dalam media WPM terlihat bahwa
rata-rata jumlah planlet yang diperoleh pada kultur berumur 1,5 bulan yang dipindahkan
ke dalam media WPM juga memberikan hasil tertinggi (T2M2), tetapi tidak
menunjukkan pola penurunan yang teratur dengan meningkatnya umur kultur. Kultur
bermultifikasi tertinggi diperoleh pada kelompok perlakuan T2M2, yaitu kultur yang
berumur 1,5 bulan dipindahkan ke dalam media MS0 menghasilkan rata-rata jumlah
1,16 planlet, diikuti pada kultur yang berumur satu bulan memiliki jumlah 1,02 planlet
(T1M2)., kelompok T3M2, yaitu kultur yang berumur dua bulan mempunyai jumlah
0,99 planlet, dan pada kultur berumur 3 bulan dengan rata-rata jumlah 0,91 planlet
(T5M2). Jumlah rata-rata planlet terrendah diperoleh pada kultur yang berumur 2,5
bulan pada T4M2 mempunyai 0,81 planlet. Planlet terbanyak diperoleh pada media
MS0 untuk semua jenis umur kultur lebih tinggi dibanding dengan kultur pada media
WPM. Pada Media MS0, terlihat bahwa kultur yang sudah berumur 1,5 bulan memiliki
tinggi planlet yang tertinggi dibanding dengan kultur yang lain.
kelompok perlakuan T3M1, yaitu kultur yang berumur dua bulan mempunyai rata-rata
tinggi planlet 2,32 cm, kultur yang berumur 2,5 bulan 2,09 cm (T4M1), berumur tiga
bulan 2,09 cm (T4M1), dan terrendah diperoleh pada kultur berumur satu bulan tinggi
planlet 2,09 cm (T1M1). Tinggi planlet yang diperoleh pada kultur berumur satu bulan
yang dipindahkan ke dalam media WPM juga memberikan hasil tertinggi (T1M2),
tetapi tidak menunjukkan pola penurunan yang teratur dengan meningkatnya umur
kultur. Tunas tertinggi diperoleh pada kelompok perlakuan T1M2, yaitu kultur yang
berumur satu bulan dipindahkan ke dalam media MS0 dengan rata-rata tinggi planlet
2,15 cm, diikuti pada kultur yang berumur tiga bulan memiliki rata-rata tinggi planlet
1,99 cm (T5M2). Selanjutnya kelompok perlakuan T2M2, yaitu kultur yang berumur
1,5 bulan dipindahkan ke dalam media MS0 mempunyai rata-rata tinggi planlet 1,94
cm, dan pada kultur berumur dua bulan (T3M2) dan 2,5 bulan (T4M2) memiliki tinggi
yang sama dengan dengan rata-rata tinggi planlet 1,81 cm. Bentuk planlet yang
bertumbuh tinggi pada kelompok perlakuan M1T2 dan M2T2 diperlihatkan pada
Gambar 11.4
11.4. Kesimpulan
Perbanyakan tanaman kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) melalui
teknik subkultur dalam penelitian ini menunjukkan tahapan yang menggembirakan,
yaitu sebagai langkah awal dalam usaha penyediaan bibit kemenyan menggunakan
teknik kultur jaringan tanaman. Tahapan penelitian sebagai usaha perbanyakan tanaman
kemenyan sumatrana secara kultur jaringan masih belum mencapai tahapan
perbanyakan tanaman, akan tetapi langkah yang sudah berhasil dilakukan sudah berada
pada arah yang tepat. Beberapa hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu diperoleh
pengaruh pemberian zat tumbuh terhadap pertumbuhan eksplan kultur daun pucuk di
dalam media kultur.
11.5. Daftar Pustaka
Balch, E.P.M., dan Alejo, N.O., (1997), In vitro plant regeneration of Mexican lime and
Mandarin by direct organogenesis, Hortscience 32: 931-934.
BPS, (2006), Statistik Hasil Hutan Indonesia, Komoditi Kemenyan, Biro Pusat Statistik,
Indonesia
Carimi, F., De-Pasquale, F., dan Crescimanno, F.G., (1995), Somatic embryogenesis in
Citrus from styles culture, Plant Science 105: 81-86.
Cervera, M., Juarez J., Navarro, L., dan Pena, L., (2005), Genetic transformation of
mature citrus plants, Methods Mol Biol. 286: 177-188
Chaturvedi, H.C., Sharma, A.K., Sharma, M., dan Prasad, R.N., (1982), Morphogenesis,
micropropagation and germplasm preservation of some economic plants by tissue
cultures. In: Plant Tissue Culture, (A.Fugiwara, eds), Maruzen, Tokyo, p. 687-688.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 168
Davey, M.R., Anthony, P., Power, J.B., dan Lowe, K.C., (2005), Plant protoplasts:
status and biotechnological perspectives, Biotechnology Advances 23(2): 131-171.
Grosser, J.W., Gmitter, F.G., Tusa, N., Recupero, G.R., dan Cucinotta, P., (1996),
Further evidence of a cybridization requirement for plant regeneration from citrus
leaf protoplasts following somatic fusion, Plant Cell Report 15: 672-676.
Katz, E.M., Riov, J., Weiss, D., dan Goldschmidt, E.E., (2005), The climacteric-like
behaviour of young, mature and wounded citrus leaves, J. Exp. Bot. 56(415): 1359-
1367
Ling, J.T., dan Iwamasa, M., (1997), Plant regeneration from embryogenic calli of six
Citrus related genera, Plant Cell and Organ Culture 49: 145-148.
Maggon, R., dan Singh, B.D., (1995), Promotion of adventitious bud regeneration by
ABA in combination with BAP in epicotyl and hypocotyl explants sweet orange
(Citrus sinensis L.Osbeck), Scientia Horticulturae 63: 123-128.
Marroquin, C., Olmos, A., Teresa, G.M.,Bertolini, E., Carmen, M.M., Carbonell, EA.,
Hermoso, M.A., dan Cambra, M., (2004), Estimation of the number of aphids
carrying Citrus tristeza virus that visit adult citrus trees, Virus Res. 100(1): 101-
108.
Moreira-Dias, J.M, Molina, R.V., Guardiola, J.L., dan Garcia-Luis, A., (2001),
Daylength and photon flux density influence the growth regulator effects on
morphogenesis in epicotyl segments of Troyer citrange, Scientia Horticulturae 87:
275-290
Murashige, T., dan Skoog, F., (1962), A revised media for rapid grouth and bioassay
with tobacco tissue culture, Physiol. Plant. 15: 473-496.
Murashige, T., dan Tucker, D.P.H., (1969), Grouth factor requirement of citrus tissue
culture, Proc. 1st. Citrus Symp. 3: 1155-1161.
Nurwahyuni, I., (1999), Perbanyakan tanaman kopi arabika (Coffea arabica L) secara
kultur jaringan, Komunikasi Penelitian 11(2): 88-102.
Nurwahyuni, I., (2000), Kultur Kalus Jeruk Manis (Citrus sinensis Brasitepu), Laporan
Hasil Penelitian, FMIPA USU Medan.
Nurwahyuni, I., (2001a), Perbanyakan Tanaman Jeruk Manis (Citrus sinensis
Brasitepu) Secara Kultur Jaringan, Laporan Hasil Penelitian, FMIPA USU Medan.
Nurwahyuni, I., (2001b), Kultur jaringan daun kopi arabika (Coffea arabica L.) dalam
media MS diperkaya dengan kombinasi sitokinin dan auksin, Jurnal Pendidikan
Science 25(2A): 29-38.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 169
Bab XII
PERBANYAKAN TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica L) SECARA
KULTUR JARINGAN
12.1. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, tanaman kopi memiliki potensi ekonomi tinggi, yaitu merupakan
salah satu produk agrobisnis penghasil devisa bagi negara. Secara nasional kopi
termasuk produk nonmigas peringkat ke empat setelah kayu, tekstil dan karet. Indonesia
sudah dikenal sebagai penghasil kopi dunia, yaitu menduduki peringkat ke-3 terbesar
menyusul Brazil dan Kolumbia (BPS, 1996). Dua jenis kopi yang dikenal secara
komersil, yaitu kopi arabika dan kopi robusta. Biji kopi arabika memiliki harga jual
lebih tinggi dibanding kopi robusta, dan pada pasar internasional kopi arabika memiliki
pangsa pasar sekitar 72%. Jenis kopi yang paling banyak ditanam di Indonesia adalah
kopi robusta. Tanaman kopi arabika telah dikenal memiliki kualitas baik dan sangat
potensil sebagai tanaman masyarakat pedesaan karena didukung oleh keadaan iklim dan
kesuburan tanah Indonesia. Akan tetapi, penanaman kopi arabika oleh masyarakat dan
usaha perkebunan di Indonesia hanya sekitar 5% dari luas areal keseluruhan (BPS,
1996).
Propinsi Sumatra Utara terkenal sebagai daerah penghasil kopi. Salah satu produk
yang dikenal masyarakat secara luas adalah "Kopi Sidikalang" dengan berbagai jenis
merek dagang. Dari berbagai jenis tanaman hortikulture diketahui bahwa tanaman kopi
termasuk produk unggulan dari Sumatra Utara, dengan demikian sangat diperlukan
perhatian untuk untuk peningkatan kualitas dan kuantitas produksi kopi, agar mampu
bersaing di pasar domestik dan terlebih di pasar internasional. Di samping itu, diketahui
bahwa beberapa daerah tingkat dua di wilayah Sumatra Utara sangat sesuai untuk di
tanami dengan tanaman kopi, sehingga sangat perlu dilakukan usaha perbaikan kualitas
kopi melalui budidaya tanaman kopi arabika secara kultur jaringan tanaman. Karena
kopi arabika sangat digemari oleh konsumen dunia maka usaha telah dimulai oleh para
petani dan perkebunanan kopi untuk menanam kopi arabika menggantikan tanaman
kopi robusta. Akan tetapi, permasalahan yang dihadapi dalam peremajaan kopi robusta
menggantikan tanaman kopi arabika adalah sulitnya mendapatkan bibit kopi arabika
berkualitas yang sesuai dengan iklim di Sumatra Utara. Salah satu alternatif sangat baik
yang dapat dilakukan dalam penyediaan bibit tanaman kopi arabika adalah perbanyakan
secara vegetatif melalui teknik kultur jaringan tanaman.
12.2. Ruang Lingkup Penelitian
Pada umumnya pemuliaan tanaman kopi di Sumatra Utara masih dilakukan secara
konvensional melalui perbanyakan generatif dan vegetatif. Perbanyakan generatif
melalui biji sangat mudah dan sederhana, dan teknik ini sudah lama dikenal di
Indonesia, akan tetapi, kualitas produksi kopi sangat rendah dan bervariasi sehingga
budi daya kopi dengan melalui biji akan menjadi tidak ekonomis untuk jangka panjang.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 171
Cara lain dengan menggunakan teknologi yang sederhana, yaitu perbanyakan tanaman
secara vegetatif melalui stek dan okulasi dapat menghasilkan bibit tanaman berkualitas
sama dengan tanaman induknya. Akan tetapi, penyediaan bibit tanaman melalui stek
dan okulasi ini akan sangat sulit mendapatkan benih yang seragam kualitasnya dalam
jumlah banyak, sehingga tidak memungkinkan menanam kopi pada areal luas misalnya
untuk kebutuhan tanaman rakyat areal luas maupun untuk keperluan bibit tanaman di
perkebunan.
Untuk mengatasi permasalahan dalam penyediaan bibit kopi arabika berkualitas
dalam jumlah banyak dan pada waktu yang singkat, usaha yang dapat dilakukan untuk
perbanyakan tanaman kopi adalah secara in vitro melalui kultur jaringan tanaman.
Metode ini sangat baik untuk menyediakan bibit tanaman yang berkualitas dan dalam
jumlah yang cukup banyak dan dengan kualitas yang seragam. Penelitian ini diarahkan
untuk perbanyakan tanaman kopi arabika secara kultur jaringan agar didapatkan bibit
kopi kualitas baik. Secara kusus penelitian dilakukan untuk mempelajari teknik kultur
jaringan yang baik untuk perbanyakan tanaman kopi arabika berkualitas yang sesuai
dengan iklim daerah Sumatra Utara. Di dalam penelitian pendahuluan ini dilakukan
studi pengamatan pengaruh pemberian beberapa jensi zat pengatur tumbuh ke dalam
media kultur jaringan tanaman terhadap pertumbuhan kalus tanaman kopi kopi arabika.
Keberhasilan dalam penelitian ini merupakan langkah awal menuju keberhasilan dalam
usaha penyediaan bibit tanaman kopi arabika yang berkualitas baik, seragam, dan
dengan jumlah yang banyak untuk memenuhi kebutuhan bibit tanaman kopi arabika di
Sumatra Utara.
12.3. Perbanyakan Tanaman Secara Kultur Jaringan
Metode kultur jaringan telah dikenal sebagai cara untuk perbaikan kualitas
tanaman. Berbagai jenis teknik in vitro yangdikenal untuk perbanyakan tanaman
diantaranya adalah germinasi biji, mikropropagasi, kultur meristem dan kultur kalus
(Fay, 1994). Kultur jaringan atau teknik kultur in vitro kini sering digunakan untuk
perbanyakan bibit tanaman dikotil. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan sudah
lama dilakukan, terutama terhadap tanaman yang memiliki nilai ekonomi (Chaturvedi,
1982). Bahan tanaman (eksplan) yang umum digunakan adalah bagian biji, benih, helai
daun, tangkai daun, ruas batang, tunas aksilar, dan meristem apikal (Berthouly, 1996
dan Van Boxtel, 1996). Eksplan untuk kultur jaringan harus diambil dari bahan yang
masih muda karena jaringan tersebut mengandung sel-sel yang aktif membelah atau sel
meristematik (Guiderdoni, 1988). Kultur jaringan dari buku batang dapat dihasilkan
tanaman dengan cepat dan dalam jumlah besar (Ammirato, 1984). Di samping
perbanyakan dan budidaya tanaman, kalus yang terbentuk dapat dipergunakan untuk
produksi senyawa bioaktif diosgenin, yaitu senyawa bioaktif yang dapat dipergunakan
sebagai bahan baku kontrasepsi (Nurwahyuni, 1994).
Pemilihan eksplan banyak ditentukan oleh tujuan penelitian dan terutama
tergantung pada ketersediaan bahan sepanjang waktu. Pada umumnya eksplan ditanam
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 172
pada medium Murashige dan Skoog (MS). Medium untuk kultur jaringan mengandung
garam-garam mineral, asam-asam amino, vitamin, sumber karbon dan energi (gula) dan
zat pengatur tumbuh, dengan komposisi tertentu (Murashige, 1962). Zat pengatur
tumbuh yang digunakan dalam kultur jaringan bermacam-macam antara lain auksin
(NAA, 2,4-D, IBA dll) dan sitokinin (BA, kinetin, dan zeatin).
Efisiensi dan efektifitas dari hormon tumbuhan auksin dan sitokinin berbeda di
dalam memacu pertumbuhan tanaman. Penggunaan hormon tumbuh dan zat pengatur
tumbuh banyak yang telah berhasil dilakukan dalam teknik kultur jaringan tanaman
seperti di reviw oleh Gaspar (1996). Beberapa jenis hormon pertumbuhan yang
tergolong klasik banyak dipergunakan seperti auksin, sitokinin, gibberalin, dan asam
etylene abscissic. Sedangkan zat pengatur tumbuh sintesis seperti polyamin,
oligosacharin, salysilat, jasmonate, sterol, bassinosteroid, dehydrodiconyferil alcohol
glucosida, turgorin, systemin dan myoinositol juga telah digunakan di dalam teknik
kultur jaringan tanaman (Gaspar, 1996). Respon tumbuhan terhadap zat pengatur
tumbuh yang ditambahkan ke dalam media berbeda, tergantung pada jenis tanaman.
Potongan tunas, batang atau petiol berukuran besar (1-2 cm) biasanya membentuk tunas
dan akar bila ditumbuhkan pada medium basal tanpa suplemen (Ammiranto, 1984).
Namun ujung tunas atau meristem apikal membutuhkan kombinasi dari auksin dan
sitokinin untuk pertumbuhan. Kinetin sangat efektif untuk kultur buku batang,
sedangkan BA efektif untuk kultur tunas apikal (Abe, 1985). Sitokinin konsentrasi
rendah akan memacu perkembangan tunas sedangkan pada konsentrasi tinggi dapat
merangsang pembentukan penggandaan tunas (Laksmi, 1976). Auksin konsentrasi
rendah akan memacu pertumbuhan akar dan pada konsentrasi tinggi dapat merangsang
pertumbuhan kalus (Uduebo, 1971). Dengan demikian, dalam usaha perbanyakan
tanaman dibutuhkan pemilihan perbandingan konsentrasi auksin, sitokinin dan
suplemen yang tepat, karena hal ini akan menentukan dalam derajat keberhasilan
pembentukan dan kualitas tanaman baru.
11.4. Kultur Jaringan Tanaman Kopi
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk kultur jaringan tanaman kopi.
Penggunaan metode in vitro untuk kultur jaringan tanaman kopi telah dimulai oleh
Sondahl (1981), sejak itu kultur jaringan tanaman kopi semakin mendapat perhatian,
namun tidak banyak yang dilakukan terhadap tanaman kopi arabika. Beberapa peneliti
telah berhasil dalam membentuk embriosomatik tanaman kopi dari suspensi sel
embriogenik (Acuna, 1991) dan dari protoplas yang diisolasi dari kalus embriogenik
eksplan daun muda (Tahara, 1994). Penggunaan eksplan daun muda kopi arabika di
dalam pembentukan embriosomatik juga telah di laporkan oleh Accuna (1993). Peneliti
lain seperti Nilawati (1996) telah mencoba menggunakan beberapa zat pengatur tumbuh
dalam meregenerasi tanaman kopi arabika. Penelitian lanjut melaui kultur in vitro untuk
mengetahui jenis genotif kopi arabika yang tahan terhadap suatu penyakit telah
dilakukan oleh Nyange, dkk (1995a dan 1995b). Akan tetapi, penelitian-penelitian di
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 173
atas masih tergolong penelitian dasar skala laboratorium, yaitu perbanyakan tanaman
kopi di dalam media kultur di dalam botol di laboratorium dan belum berhasil dalam
perbanyakan bibit tanaman kopi arabika yang tumbuh di lapangan.
Perbanyakan tanaman kopi secara in vitro melalui kultur jaringan memiliki
beberapa keuntungan diantaranya adalah: (1) dapat menghasilkan bibit klonal secara
massal dalam waktu yang singkat (George, 1984); (2) dapat meningkatkan kualitas
tanaman karena menghasilkan tanaman kopi yang seragam dan tingkat kesehatan yang
lebih baik. Perbanyakan in vitro untuk pembentukan planlet kultur jaringan kopi adalah
melalui embriogenesis somatik, yaitu dapat menghasilkan propagula dalam jumlah
besar dalam waktu singkat. Proses pembentukannya terjadi secara langsung atau tidak
langsung melalui pembentukan kalus. Keberhasilan perbanyakan tanaman secara
embriogenesis dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti zat pengatur tumbuh (ZPT),
sumber nitrogen, konsentrasi hara dalam medium tumbuh, jenis tanaman, eksplan dan
lingkungan tumbuh (Bhojwani, 1983; Calheiros, 1994; dan Dubuis, 1995). Media MS
yang dipergkaya dengan kinetin telah diketahui sangat berpengaruh di dalam memacu
pertumbuhan kalus embriogenik tanaman kopi arabika (Neureschwander, 1992),
sehingga pemilihan konsentrasi dan penggunaan medium MS di dalam kultur jaringan
tanaman sangat perlu mendapat perhatian khusus.
Bahan baku tanaman untuk kultur jaringan tanaman juga sangat menentukan
didalam teknik kultur jaringan tanaman. Dalam beberapa percobaan diketahui bahwa
bahan eksplan tanaman diketahui sangat baik digunakan dalam kultur jaringan tanaman.
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemilihan eksplan diantaranya organ
sumber eksplan, umur organ, musim, ukuran eksplan, dan kualitas tanaman induk
(Bieysse, 1993). Untuk tanaman kopi arabika, sebagai sumber bahan eksplan adalah
bagian vegetatif tanaman karena mudah diperoleh. Eksplan yang potensil untuk
regenerasi kopi arabika adalah tunas. Faktor lain yang juga tidak kalah penting dalam
teknik kultur jaringan tanaman adalah faktor lingkungan seperti kelembaban, pH, suhu,
dan cahaya (Murashige, 1977), karena sangat berpengaruh di dalam proses induksi,
inisiasi, dan diferensiasi sel-sel jaringan tanaman.
12.5. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menghasilkan bibit tanaman kopi
arabika berkualitas secara kultur jaringan yang sesuai dengan iklim di Sumatra Utara.
Tujuan khusus adalah:
1. Untuk mendapatkan teknik regenerasi yang baik dan efisien untuk perbanyakan bibit
tanaman kopi arabika.
2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian zat tumbuh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan kalus tanaman kopi di dalam medium kultur jaringan seperti inisisasi
dan induksi somatik tanaman kopi arabika.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 174
kemudian disterilasi dalam kondisi aseptik di dalam alkohol 70% selama satu menit dan
kemudian diikuti dengan pemindahan ke dalam larutan kloroks berturut-turut 10% dan
20% masing-masing selama 10 menit, dan selanjutnya ke dalam larutan 0,1% HgCl2
selama 5 menit. Bahan tanaman kemudian dibilas dengan akuades (yang sudah terlebih
dahulu disterilkan) selama 5 kali pencucian.
Meristem apikal dibuang dan daun dikupas, kemudian eksplan dipotong-potong,
dan kemudian ditanam sepanjang 0,5 cm di dalam medium inisiasi. Sebagai medium
inisiasi kalus embriogenik digunakan medium MS padat yang ditambah dengan 2,4-D
dengan konsentrasi bervariasi (0,05-0,25 mg/L) seperti diperlihatkan di dalam Tabel
12.1. Komposisi 2,4-D di variasi sebagai medium pemelihara embriogenik. Kultur
diinkubasi dengan penyinaran 1.000 lux selama 16 jam/hari, dengan suhu 25 oC.
Sebagian kultur disimpan di dalam kamar gelap. Sebagai tahapan pertama, semua kultur
dipelihara selama 30 hari dan pengamatan dilakukan setiap tiga hari sekali. Untuk
tahapan kedua, pengamatan dilakukan untuk periode percobaan 60 hari, dan
pengamatan juga dilakukan setiap tiga hari, dan tahapan terakhir, pengamatan hasil
percobaan dilanjutkan sampai 90 hari.
12.7.3.3. Regenerasi Tanaman
Setelah kalus terbentuk pada kultur, regenerasi kalus menjadi tanaman dilakukan
dengan memindahkan kalus ke dalam media. Sebagai media regenerasi digunakan
media MS0 (media tanpa zat pengatur tumbuh) dan MS yang diperkaya dengan kinetin
1-4 mg/L dan 2,4-D yang diturunkan konsentrasinya sampai 0,5 mg/L. Kondisi ruangan
kultur dipelihara sama seperti pada saat inisiasi. Pada fase ini dilakukan pengamatan
kemampuan kultur morfogenik untuk beregenerasi menjadi tanaman untuk setiap
perlakuan. Data pengamatan yang dilakukan pada fase percobaan ini diantaranya adalah
jumlah tunas dan tunas berakar, jumlah tunas pereksplan, jumlah akar dan kecepatan
pertumbuhan, hasil diferensiasi kalus setelah di sub-kultur, respon tunas pada media
perakaran, dan kecepatan pertumbuhan.
12.7.4. Organisasi dan Analisis Data
Data utama yang diperoleh dalam penelitian ini adalah berdasarkan pertumbuhan
kultur seperti pembentukan kalus (berat basah kalus) dan jumlah embriosomatik oleh
pengaruh perlakuan. Data dikelompokkan dan dihitung secara statistik untuk penarikan
keputusan. Karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 45% kelompok
perlakuan tidak menunjukkan pertumbuhan kalus tanaman, maka beberapa analisis
statistik yang direncanakan di dalam penelitian ini tidak dilanjutkan.
12.8. Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian yang diperoleh dalam perbanyakan tanaman kopi arabika (Coffea
arabica L) secara kultur jaringan terdiri atas induksi kalus kopi arabika, pertumbuhan
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 177
kalus kopi arabika, dan perkembangan kalus kalus kopi arabika, yang dijelaskan secara
terperinci berikut ini.
11.8.1. Induksi Kalus Kopi Arabika
Karena kemampuan jaringan tanaman untuk membentuk kalus sangat dipengaruhi
oleh kondisi dan konsentrasi medium, zat pengatur tumbuh dan intensitas cahaya
(Nurwahyuni, 1994), maka dalam percobaan ini digunakan medium 0.5-MS dan dengan
pencahayaan yang konstan 1000 lux, sehingga pengaruh kombinasi pemberian zat
pengatur tumbuh sitokinin dan auksin terhadap pertumbuhan kalus tanaman kopi
arabika dapat diamati. Eksplan tanaman kopi yang sudah disterilisasi dipotong-potong
dan dimasukkan ke dalam botol kultur berisi medium. Di dalam percobaan ini dipilih
medium 0,5-MS karena berdasarkan hasil percobaan diketahui bahwa konsentrasi
medium sangat berpengaruh terhadap pertumuhan kultur jaringan tanaman kopi
(Nilawati, 1996). Potongan kalus dibenamkan sampai satu bagian bersentuhan dengan
medium, kemudian diinkubasi di dalam ruang dengan pencahayaan 1000 lux pada suhu
28 oC. Setelah masa inkubasi 16 hari terlihat bahwa pertumbuhan kalus di dalam
medium kultur untuk beberapa kelompok perlakuan menunjukkan pertumbuhan kalus,
yaitu kalus bertumbuh pada bagian eksplan bekas luka yang merupakan pinggiran yang
besentuhan langsung dengan medium. Akan tetapi, pada beberapa kondisi kelompok
perlakuan percobaan terlihat bahwa kalus tidak dapat bertumbuh, hal ini mungkin
disebabkan karena kondisi pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh di dalam medium
masih kurang mencukupi untuk memacu pertumbuhan kalus tanaman kopi arabika.
Kalus yang tidak bertumbuh pada umumnya berobah warna menjadi coklat tua.
12.8.1.1. Pertumbuhan Kalus Kopi Arabika
Pengaruh pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan kalus
tanaman kopi arabika di dalam medium kultur jaringan menujukkan hasil yang
bervariasi. Pertumbuhan kalus untuk kombinasi pemberian beberapa jenis zat pengatur
tumbuh dengan variasi konsentrasi yang ditambahkan ke dalam dalam medium MS
setelah periode 26 hari pengamatan dirangkum di pada Tabel 12.2. Data kolom pada
Table 12.2 yang diberi tanda (-) berati kelompok perlakuan tidak mengalami
pertumbuhan kalus, tanda (+) memberikan arti bahwa eksplan tanaman kopi arabika
menunjukkan pertumbuhan, setelah periode inkubasi 26 hari pengkulturan di dalam
medium kultur. Dari hasil ini terlihat bahwa kombinasi penambahan zat pengatur
tumbuh seperti jenis auksin dan sitokinin sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan
dan pertambahan kalus di dalam kultur jaringan tanaman kopi arabika. Berdasarkan
analisis data terhadap pertumbuhan kalus untuk 5 ulangan diketahui bahwa pengaruh
pemberian zat pengatur tumbuh sangat nyata terhadap pertumbuhan kalus tanaman kopi
arabika.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 178
Tabel 12.2. Pertumbuhan kalus oleh pengaruh pemberian variasi konsentrasi zat
pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh ditambahkan
ke dalam medium MS. Pengamatan dilakukan setelah waktu inkubasi
kultur jaringan selama 26 hari.
ZPT Sitokinin ( ZPT Auksin ( mg/L)
mg/L) 2,4-D (P) IBA (Q) NAA (R)
1,0 (1) 2,5 (2) 0,05 (1) 0,25 (2) 1,00 (1) 2,00 (2)
Kinetin 1,0 (1) - + - - - -
(A) 2,0 (2) + + - + + +
4,0 (3) + + + + + +
BAP 1,0 (1) - - - - - -
(B) 3,0 (2) - - - + + +
5,0 (3) - + + + + +
Keterangan: - kalus tidak bertumbuh, + terbentuk kalus
Berdasarkan hasil percobaan dengan variasi pemberian zat pengatur tumbuh ke
dalam medium MS diketahui bahwa kalus tidak bertumbuh untuk seluruh perlakuan
pemberian zat pengatur tumbuh konsentrasi rendah 2,0 mg/L kinetin, sedangkan
pemberian kinetin konsentrasi yang lebih tinggi (4,0 mg/L dan 6,0 mg/L kinetin)
menunjukkan pertumbuhan kalus pada kultur tanaman kopi, yaitu pada hampir seluruh
kombinasi perlakuan, kecuali pada pemberian 0,05 mg/L IBA yang menunjukkan tidak
terbentuknya kalus pada kultur tanaman. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa eksplan
kelihatan menjadi berwarna coklat, hal ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya
kadar fenol (George, 1984), sehingga untuk kalus yang tidak bertumbuh dilakukan
penambahan 1% asam askorbat seperti yang dilakukan oleh Belarmino (1992) bertujuan
untuk mengurangi pencoklatan. Perlakuan dengan penambahan 1% asam askorbat ke
dalam medium telah berhasil dalam mengurangi pencoklatan eksplan, akan tetapi,
mengurangi pencoklatan juga tidak menjadikan kalus bertumbuh di dalam kultur
jaringan tanaman kopi arabika.
12.8.1.2. Sitokinin dan Pertumbuhan Kalus
Pengamatan secara khusus untuk masing-masing kelompok perlakuan
menunjukkan bahwa kombinasi kinetin dengan 2,4-D, IBA dan NAA sangat nyata
dalam merangsang pembentukan kalus pada kultur jaringan tanaman kopi arabika.
Kombinasi kinetin (4,0 mg/L dan 6,0 mg/L) dengan 1,0 mg/L dan 2,5 mg/L 2,4-D sudah
mampu merangsang pembentukan kalus. Hal yang sama juga terjadi pada kombinasi 4,0
mg/L dan 6,0 mg/L kinetin dengan 1,0 mg/L dan 2,0 mg/L NAA. Hasil yang diperoleh
dalam penelitian ini hampir sama dengan hasil pengamatan pertumbuhan kalus pada
tanaman Rauvolfia serpentina seperti yang dilaporkan oleh Sarker (1996). Dalam
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 179
penelitiannya, Sarker mengamati bahwa pertumbuhan kalus terjadi pada eksplan yang di
subkultur ke dalam medium yang mengandung IBA dan NAA.
Dalam hasil penelitian diketahui juga bahwa pembemberian zat pengatur tumbuh
4,0 mg/L kinetin yang dikombinasi dengan IBA 0,05 mg/L ternyata tidak mampu
merangsang pertumbuhan kalus, akan tetapi pada penambahan kinetin pada konsentrasi
tinggi (6,0 mg/L kinetin) mengakibatkan pertumbuhan kalus tanaman kopi. Dari hasil
percobaan ini dapat dinyatakan bahwa kombinasi 4,0 mg/L kinetin dan 6,0 mg/L kinetin
dengan 0,25 mg/L IBA telah mampu merangsang pertumbuhan kalus di dalam kultur
jaringan tanaman kopi. Pengaruh jenis zat pengatur tumbuh auksin seperti NAA yang
dikombinasikan dengan kinetin pada konsentrasi tinggi (4,0 mg/L dan 6,0 mg/L) sudah
mampu merangsang pertumbuhan kalus tanaman kopi arabika. Akan tetapi, pada
kombinasi pemberian kinetin pada konsentrasi rendah, misalnya pada konsentrasi 2,0
mg/L kinetin di dalam medium kultur tanaman masih belum mampu di dalam memacu
pertumbuhan kalus. Dari hasil ini terlihat bahwa kinetin dalam konsentrasi tinggi yang
dikombinasikan dengan auksin (2,4-D, IBA dan NAA) sangat berpengaruh di dalam
merangsang pertumbuhan kalus tanaman kopi. Dari kombinasi kinetin dengan ke tiga
jenis auksin (2,4-D, IBA dan NAA) tersebut diketahui bahwa pemberian zat pengatur
tumbuh jenis kinetin pada konsentrasi tinggi (paling sedikit 4,0 mg/L) sangat diperlukan
untuk merangsang pertumbuhan kalus pada kultur tanaman kopi arabika
12.8.1.3. BAP dan Pertumbuhan Kalus
Pengaruh pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh jenis BAP (sebagai ganti
kinetin) dengan bererapa jenis auksin (2,4-D, IBA dan NAA) terhadap pertumbuhan
kalus kultur jaringan tanaman kopi juga diamati (Tabel 11.2). Dari seluruh perlakuan
diketahui bahwa kombinasi pemberian konsentrasi BAP pada konsentrasi rendah (1,0
mg/L BAP) dengan tiga jenis ausksin (2,4-D, IBA dan NAA) ternyata tidak
menunjukkan pertumbuhan kalus pada kultur jaringan tanaman kopi arabika.
Meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh BAP menjadi 3,0 mg/L ke dalam
medium MS yang dikombinasikan dengan 2,4-D juga belum mampu merangsang
pertumbuhan kalus tanaman kopi. Kalus juga tidak bertumbuh pada kombinasi
pemberian 3,0 mg/L BAP dengan 0,05 mg/L IBA, dan kalus tanaman kopi terlihat
menunjukkan pertumbuhan apabila konsentrasi zat pengatur tumbuh di tingkatkan
menjadi 0,25 mg/L IBA. Pertumbuhan kalus diperoleh pada kombinasi pemberian zat
pengatur tumbuh 3,0 mg/L BAP dengan 1,0 mg/L NAA.
Meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh pada konsentrasi 5,0 mg/L BAP
yang di kombinasikan dengan 1,0 mg/L 2,4-D juga tidak menunjukkan pertumbuhan
kalus, akan tetapi bila konsentrasi 5,0 mg/L BAP di kombinasikan dengan konsentrasi
tinggi 2,5 mg/L 2,4-D mengakibatkan kalus menjadi bertumbuh. Dari hasil pengamatan
ini diketahui bahwa pemberian zat pengatur tumbuh konsentrasi tinggi 5,0 mg/L BAP
yang dikombinasikan dengan auksin IBA dan NAA telah mampu merangsang
pertumbuhan kalus tanaman kopi. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian yang
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 180
dilakukan oleh Bera (1993) terhadap pertumbuhan kalus tanaman Tylophora indica.
Perlakuan pemberian zat pengatur tumbuh dengan kombinasi konsentrasi tinggi 3,0-5,0
mg/L BAP dengan konsentrasi 2,0 mg/L NAA setelah periode inkubasi 26 hari juga
menunjukkan pertumbuhan kalus dalam kultur jarinagn tanaman kopi arabika.
Pertumbuhan kalus yang sama juga terlihat pada perlakuan dengan pemberian
konsentrasi rendah 1,0 mg/L NAA.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa pengaruh perlakuan pemberian zat
pengatur tumbuh diperoleh sebanyak 55% dari seluruh kelompok percobaan yang
menunjukkan pertumbuhan kalus tanaman kopi, yaitu sebanyak 20 kelompok perlakuan,
dan ada sebanyak 16 kelompok perlakuan yang tidak menunjukkan pertumbuhan kalus.
Dengan demikian, untuk pengamatan selanjutnya hanya kelompok perlakuan yang
menujukkan pertumbuhan kalus yang diikutsertakan di dalam data pengamatan.
12.8.2. Perkembangan Kalus Kalus Kopi Arabika
Pertumbuhan kalus untuk beberapa kondisi perlakuan menunjukkan
perkembangan yang sempurna, sehingga pada beberapa sampel terlihat bahwa seluruh
permukaan eksplan telah ditutupi oleh kalus setelah waktu inkubasi selama 26 hari,
seperti diperlihatkan pada Gambar 12.1. Kalus di dalam medium kultur (Gambar 12.1)
menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang cukup baik. Tekstur kalus
kelihatan remah, kompak, bernodul dan berwarna kekuningan. Kualitas kalus ini
tergolong cukup baik.
Gambar 12.1. Pertumbuhan kalus kultur jaringan tanaman kopi arabika di dalam
medium 0,5-MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh 1,0 mg/L
2,4-D. Pengamatan dilakukan setelah inkubasi 42 hari.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 181
Data peratambahan berat basah kalus seperti dirangkumkan di dalam Tabel 12.3
menunjukkan bahwa kombinasi pemberian zat pengatur tumbuh kinetin dan BAP
menunjukkan perbedaan nyata. Berat basah kalus tertinggi didapati pada kelompok
perlakuan pemberian kombinasi sitokoinin dengan auksin menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata pada pemberian 6,0 mg/L kinetin dengan 2,0 mg/L NAA, yaitu dengan
berat basah kalus 0,68 mg. Sedangkan kelompok perlakuan dengan pemberian 6,0 mg/L
kinetin dan 0,25 mg/L IBA ke dalam medium MS hanya menunjukkan perkebnagan
kalus yang sedikit lebih rendah, yaitu menghasilkan 0,55 mg berat basah kalus.
Berat basah kalus untuk perlakuan dengan pemberian sitokinin jenis BAP dengan
auksin (2,4-D, IBA dan NAA) juga menunjukkan pertumbuhan yang berbed pada
masing-masing kelompok perlakuan (Tabel 12.3). Terlihat bahwa berat basah kalus
setelah inkubasi 42 hari di dalam medium kultur menunjukkan bahwa kombinasi
pemberian (3,0 mg/L dan 5,0 mg/L) BAB dengan NAA menghasilkan berat basah kalus
yang tinggi (0,42-0,78 mg), sedangkan pemberian kombinasi 5,0 mg/L BAP dengan 2,5
mg/L 2,4-D hanya menghasilkan kalus sebanyak 0,31 mg. Kombinasi pemberian 5,0
mg/L BAP dengan 0,05 mg/L IBA menghasilkan berat kalus 0,38 mg sedangkan bila
BAP dikombinasikan dengan 0,25 mg/L IBA dapat menghasilkan 0,51 mg berat basah
kalus kopi arabika.
12.8.2.1. Pengaruh Sitokinin Terhadap Perkembangan Kalus Kopi Arabika
Pengaruh zat pengatur tumbuh kinetin terhadap perkembangan kalus tanaman
kopi arabika, yaitu berdasarkan rata-rata berat basah kalus dari 5 ulangan diperlihatkan
pada Gambar 12.2. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa rata-rata berat basah
kalus untuk masing-masing kelompok perlakuan untuk pemberian zat pengatur tumbuh
yang berbeda sangat bervariasi. Pemberian 2,0 mg/L kinetin yang dikombinasikan
dengan 2,5 mg 2,4-D ke dalam medium kultur tanaman hanya memberikan
perkembangan kalus sebanyak 0,13 mg berat basah kalus, sedangkan perlakuan dengan
pada kombinasi 2,0 mg/L kinetin dengan zat pengatur tumbuh lain seperti 1,0 mg/L 2,4-
D, 0.05-0.25 mg/L IBA dan 1,0-2,0 mg/L NAA tidak menunjukkan pertumbuhan dan
perkembangan kalus. Berat basah kalus yang paling tinggi diperoleh pada kelompok
perlakuan pemberian 6,0 mg/L kinetin dengan 2,0 mg/L NAA, yaitu menghasilkan berat
basah kalus 0.68 gram, disusul dengan kelompok perlakuan pemberian 2,5 mg/L 2,4-D
untuk tingkat kinetin yang sama, yaitu menghasilkan berat basah kalus sebanyak 0,67
mg kalus. Pengaruh kinetin terhadap perkembangan kalus tanaman juga telah diamati
oleh Das (1996). Dilaporkan bahwa pertambahan berat basah kalus yang lebih tinggi
diperoleh pada kombinasi pemberian kinetin dan auksin di dalam medium kultur.
Berdasarkan data pengamatan di dalam Gambar 12.2 juga terlihat adanya
hubungan yang linier antara pertambahan berat basah kalus dengan semakin tingginya
konsentrasi kinetin yang diberikan di dalam medium inisisasi. Diketahui bahwa semakin
tinggi konsentrasi kinetin yang ditambahkan ke dalam medium kultur, maka berat basah
kalus juga menjadi semakin tinggi. Hal ini memberikan informasi bahwa kebutuhan
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 183
akan kinetin di dalam perkembangan kalus sangat berpengaruh karena semakin tinggi
konsentrasi kinetin akan memacu kecepatan pembelahan sel-sel kalus tanaman kopi.
1.0
0.6
0.4
0.2
0.0
2 4 6
Kinetin (mg/L)
Gambar 12.2. Pengaruh zat pengatur tumbuh kinetin terhadap perkembangan kalus
tanaman kopi arabika (berat bersih kalus) setelah 42 hari inkubasi. Zat
pengatur tumbuh ditambahkan ke dalam medium MS. Data pengamatan
adalah berat rata-rata dari 5 ulangan.
12.8.2.2. Pengaruh BAP Terhadap Perkembangan Kalus Kopi Arabika
Pengamatan terhadap perkembangan kalus tanaman kopi yang dipengaruhi oleh
pemberian variasi konsentrasi BAP sebagai pengganti kinetin ke dalam medium kultur
menunjukkan pertambahan berat basah kalus yang bervariasi seperti diperlihatkan di
dalam Gambar 12.3. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa untuk pemberian
kombinasi sitokinin pada konsentrasi yang rendah (1,0 mg/L BAP) dengan beberapa
zenis auksin (2,4-D, IBA dan NAA) pada umumnya kultur tanaman kopi arabika tidak
menunjukkan pertumbuhan kalus. Pertumbuhan dan perkembangan kalus hanya
didapatkan pada perlakuan pemberian zat pengatur tumbuh BAP konsentrasi tinggi ,
yaitu untuk konsentrasi 3.0 mg/L BAP dan 5,0 mg/L BAP yang dikombinasikan dengan
auksin.
Meningkatkan konsentrasi sitokinin 3,0-5,0 mg/L BAP di dalam medium kultur
yang dikomnbinasikan dengan beberapa jenis auksin menunjukkan perkembangan kalus
yang agak sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan pemberian kinetin.
Pertumbuhan kalus di dalam kelompok perlakuan pemberian 3.0 mg/L BAP
dikombinasikan dengan 2,0 mg/L NAA menghasilkan berat basah kalus yang cukup
banyak, yaitu 0,68 mg kalus. Jumlah kalus yang diperoleh akan menjadi semakin
meningkat dengan penambahan konsentarasi kinetin yang lebih tinggi, yaitu berat basah
kalus meningkat menjadi 0,78 mg pada kombinasi pemberian 5,0 mg/L BAP dengan 2,0
mg/L NAA. Untuk perlakuan kombinasi pemberian 3,0 mg/L BAP dengan 0,25 mg IBA
menghasilkan berat basah kalus sebanyak 0,54 mg, dan berat basah kalus juga
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 184
mengalami peningkatan bila konsentrasi BAP ditingkatkan menjadi 5,0 mg/L yang
dikombinasikan dengan 0,25 mg/L IBA. Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa semakin
tinggi konsentrasi BAP yang ditambahkan ke dalam medium maka berat basah kalus
yang dihasilkan juga menjadi semakin tinggi.
1.0
0.6
0.4
0.2
0.0
1 3 5
BAP (mg/L)
Gambar 12.3. Pengaruh zat pengatur tumbuh BAP terhadap perkembangan kalus
tanaman kopi arabika (berat bersih kalus) setelah 42 hari inkubasi. Zat
pengatur tumbuh ditambahkan ke dalam medium MS. Data pengamatan
adalah berat rata-rata dari 5 ulangan.
pemberian kombinasi kinetin dengan 2,4-D terlihat adanya pertumbuhan bulu-bulu pada
lapisan epidermis, proses ini diduga merupakan proses awal inisiasi akar, akan tetapi
sapai pada periode inkubasi 86 hari belum terlihat pembentukan embriosomatik di
dalam kelompok perlakuan ini.
Tabel 12.4. Pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan
embriosomatik setelah masa inkubasi 86 hari. Zat pengatur tumbuh
ditambahkan ke dalam medium 0.5-MS.
ZPT Sitokinin ZPT Auksin (mg/L)
(mg/L) 2,4-D (P) IBA (Q) NAA (R)
1,0 (1) 2,5 (2) 0,05 (1) 0,25 (2) 1,00 (1) 2,00 (2)
Kinetin 1,0 (1) - + - - - -
(A) 2,0 (2) + + - - - -
4,0 (3) - - - - - -
BAP 1,0 (1) - - - - - -
(B) 3,0 (2) - - - - - *
5,0 (3) - - - - - *
Keterangan: - embriosomatik tidak terbentuk, + terbentuk bulu-bulu
*terbentuk emrio somatik
terdapat di dalam tanaman kopi arabika tidak sama dengan yang terdapat pada
Geranium hortorium.
12.8.1. Kualitas Embriosomatik Kopi Arabika
Dari pengamatan visual terlihat bahwa bentuk embrio pada fase stadium embrio di
dalam perlakuan pemberian 2 mg/L NAA dengan 5 mg/L BAP tidak seragam, yaitu ada
yang berbentuk globular, berbentuk hati, berbentuk torpedo dan berebentuk kotiledon.
Bentuk stadium embriosomatik kultur jaringan tanaman kopi arabika di perlihatkan di
dalam Gambar 12.4. Pertumbuhan embrio pada pemberian 2,0 mg/L NAA dengan 3,0
mg/L BAP menunjukkan pertumbuhan akar yang tidak sempurna. Jumlah akar-akar
yang terbentuk sangat sedikit dan bentuk akarnya gemuk dan pendek. Hal ini mungkin
disebabkan karena faktor internal sel seperti hormon endogen. Bentuk akar yang
dihasilkan di dalam percobaan ini berbeda dengan bentuk akar yang dihasilkan pada
pengkulturan dengan yang dilakukan oleh Nilawati (1996) karena menggunakan teknik
pengkulturan yang berbeda. Dalam penelitian, Nilawati (1996) telah melakukan teknik
pengkulturan dengan cara mengkultur tanaman kopi dengan menggunakan 1,0 mg/L
kinetin dan 2,5 mg/L 2,4-D ke dalam medium MS dan yang dikultur selama satu bulan
dan kemudian kultur tanaman dipindahkan ke dalam medium yang mengandung 5,0
mg/L BAP dan 2,0 mg/L NAA dan dalam hasil penelitiannya dihasilkan jumlah akar
yang agak banyak dan panjang. Hal ini mungkin disebabkan karena kondisi medium
perlakuan yang berbeda.
Gambar 12.4. Bentuk fase tunas dan planlet kultur jaringan tanaman kopi arabika di
dalam medium MS 0,5 pada kombinasi pemberian 2,0 mg/L NAA dan
5,0 mg/L BAP.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 187
Gambar 12.5. Pertumbuhan embriosomatik di dalam medium yang bebas auksin dan
sitokinin. Planlet kopi arabika dipindah dari medium kultur setelah
periode inkubasi 86 hari.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 188
12.10. Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian ini telah diperoleh langkah awal dalam upaya
perbanyakan tanaman kopi arabika secara teknik kultur jaringan tanaman, dengan
demikian peneli mengajukan saran perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk
meningkatkan kualitas bibit tanaman kopi arabika sampai diperoleh bibit tanaman kopi
arabika yang baik yang dapat menyesuaikan dengan iklim di Sumatra Utara.
Calheiros, M.B.P., Vieira, L.G.E., dan Fuentes, S.R.L., (1994), Effects of exogenous
polyamines on dirrect somatic embryogenesis in coffee, Revista Brasileira Fisiol.
Veget. 6 (1994) 109-114.
Chaturvedi, H.C., Sharma, A.K., Sharma, M., dan Prasad, R.N., (1982), Morphogenesis,
micropropagation and germplasm preservation of some economic plants by tissue
cultures. In: Plant Tissue Culture, (A.Fugiwara, eds), Maruzen, Tokyo, P.687-688.
Das, S., Jha, T.B., dan Jha, S., (1996), In vitro propagation of cashewnut, Plant Cell
Report 15: 615-619.
Dubuis, B., Kut, O.M., dan Prenosil, J.E., (1995), Pilot-scale culture of Coffea arabica in
a novel loop fluidised bed reactor, Plant Cell Tissue Org. Culture 43: 171-183.
Fay, M.F., (1994), In what situations is in vitro culture appropriate to plant
conservation?, Biodiversity Conservation 3: 176-183.
Gaspar, T., Kevers, C., Penel, C., Greppin, H., Reid, D.M., dan Thorpe, T.A., (1996)
Plant hormones and plant growth regulators in plant tissue culture, In Vitro
Cellular Developmental Byology Plant 32: 272-289.
George, E.F., dan Sherrington, P.D., (1984), Plant Propagation by Tissue Culture,
Eastern Press, London.
Guiderdoni, E., dan Demarly, Y., (1988), Hystology of somatic embriogenesis in
cultured leaf segments of sugar cane plantlets, Plat Cell. Tiss. Org. Cult. 14: 71-88.
Laksmi, S., Bammi, R.K., dan Randhawa, G.S., (1976), Clonal propagation of Dioscorea
flaribunda by tissue culture, J. Horticult. Sci. 51: 551-554.
Millikarjuna, N., Reena, M.J.T., Sastri, D.C., dan Moss, J.P., (1996), Somatic
embryogenesis in pigeonpea Cajanus cajan L., Indian Journal Experimental
Biology 34: 282-284.
Murashige, T., dan Skoog, F., (1962), A revised medium for rapid grouth and bioassay
with tobacco tissue culture, Physiol. Plant. 15: 473-496.
Murashige, T., (1977), Clonal crop through tissue culture In: Plant Tissue Culture and
Its Biological Application, (W.Barz, E.Reinhard, dan M.H.Zenk, eds), Springer-
Verlag, Berlin p.392-402.
Neuenschwonder, B., Baumann, T.W., (1992), A novel type of somatic embryogenesis
in Coffea arabica, Plant Cell reports 10: 608-612.
Nilawati, T.S., (1996), Pengaruh beberapa zat pengatur tumbuh terhadap regenerasi daun
kopi arabika, Skripsi, FMIPA IPB Bogor.
Nurwahyuni, I., dan Tjondronegoro, P., (1994), Induksi kalus dan regenerasi tanaman
Dioscorea composita Hemls, Hayati 1: 15-17.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 191
Nyange, N.E., Williamson, B., Mcnicol, R.J., dan Hackett, C.A., (1995a) In vitro
screening of coffea genotypes for resistance to coffee berry diseases, Ann. Appl.
Biol. 127: 251-261.
Nyange, N.E., Williamson, B., Mcnicol, R.J., Lyon, C.D., dan Hackett, C.A., (1995b) In
vitro sellection of Coffea arabica calus for resistance to partially furified
phytotoxic culture filtrates from colletrium Kahawae, Ann. Appl. Biol. 127: 425-
439.
Preece, J.E., dan Imel, M.R., (1991), Plant regeneration from leaf explant of
Rhododendra P.J.M Hybrids, Scientia Horticulturae 48: 159-170.
Rao, G.P., and Bahadur, B., (1991), Somatic embryogenesis and plant regeneration in
self incompatible Oldelandia umbellata L. Rubiaceae, Phytomorphology 40: 95-
102.
Sarker, K.P., Islam, R., Hogue, A., dan Joarder, O.I., (1996), In vitro propagation of
Rauvolfia aerpentina through tissue culture, Planta Medica 62: 358-359.
Slimmon, T., Qureshi, J.A. dan Saxena, P.K., (1991), Phenylacetic acid induced somatic
embryogenesis in cultured hypocotyl explants of Germanium pelargonium H.B.,
Plant Cell Reports 10: 587-589.
Sondahl, M.R., Monaco, L.C., dan Sharp, W.R., (1981), In vitro methods applied to
coffee, In: Plant Tissue Culture: Method and Application in Agriculture, Academic
Press, London p.325-347.
Tahara, M., Yasuda, T., Uchida, N., dan Yamaguchi, T., (1994), Formation of somatic
embryos from protoplast of Coffea arabica, Hortscience 29: 172-174.
Uduebo, A.E., (1971), Effect of external supply of growth substances on axillary
proliferation and development in Dioschorea bulbifera., Ann. Botany 35: 159-163.
Van Boxtel, J., dan Berthouly, M., (1996), High frequency somatic embriogenesis from
coffee leaves: Factors influencing embriogenesis and subsequent proliferation and
regeneration in liquid medium, Plant Cell Tissue Org. Culture 44: 7-17.
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 192
DAFTAR PUSTAKA
Ammirato, P.V., (1984), Yams. In: Hanbook of Plant Cell Culture, Vol 3 (P.V.
Ammirato, D.A. Evans, W.R. Sharp, dan Y.Yamada, eds), Macmillan, New York
Bhojwani, S.S., dan Razdan, M.K., (1983), Plant Tissue Culture: Theory dan Practise,
Elsevier, Oxford
George, E.F., dan Sherrington, P.D., (1984), Plant Propagation by Tissue Culture,
Eastern Press, London
Hendaryono, D.P.S, dan Wijayani, A., (1994), Teknik Kultur Jaringan, Kanisius,
Yogyakarta
Murashige, T., (1977), Clonal crop through tissue culture In: Plant Tissue Culture and
Its Biological Application, (W.Barz, E.Reinhard, dan M.H.Zenk, eds), Springer-
Verlag, Berlin
Nurwahyuni, I., dan Elimasni, (2005), Perbanyakan Bibit Kemenyan Sumatrana (Styrax
Benzoin Dryander) Secara Kultur Jaringan Tanaman, Laporan Penelitian,
FMIPA USU Medan.
Nurwahyuni, I., dan Elimasni, (2009), Pengembangan Teknik Subkultur Untuk
Mengatasi Kesulitan Perbanyakan Bibit Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin
Dryander) Secara Kultur Jaringan Tanaman, Laporan Penelitian, FMIPA USU
Medan.
Nurwahyuni, I., dan Elimasni, (2010), Optimalisasi Teknik In Vitro Untuk Perbanyakan
Jeruk Berkualitas Baik Sebagai Strategi Biokonservasi Jeruk Lokal Sumatera
Utara, Laporan Penelitian, FMIPA USU Medan.
Nurwahyuni, I., dan Sinaga, R., (1998), Perbanyakan Tanaman Kopi Arabika (Coffea
arabica L) Secara Kultur Jaringan, Laporan Penelitian, FMIPA USU Medan.
Nurwahyuni, I., dan Sinaga, R., (2014), Strategi Biokonservasi Jeruk Keprok Brastagi
(Citrus nobilis Brastepu) Menggunakan Teknik Kultur Jaringan Tanaman Untuk
Mengatasi Kepunahan Jeruk Lokal Sumatera Utara, Laporan Penelitian, FMIPA
USU Medan.
Nurwahyuni, I., Situmorang, M., dan Elimasni, (2007), Perbaikan Kualitas Jeruk Manis
Brastagi (Citrus sinensis Brastepu) Melalui Kultur Jaringan Tanaman Untuk
Menghasilkan Bibit Unggul, Laporan Penelitian, FMIPA USU Medan.
Sondahl, M.R., Monaco, L.C., dan Sharp, W.R., (1981), In vitro methods applied to
coffee, In: Plant Tissue Culture: Method and Application in Agriculture,
Academic Press, London
Kultur Jaringan Tanaman dan Aplikasi (Isnaini Nurwahyuni) Halaman 193
TENTANG PENULIS
Dra. Isnaini Nurwahyuni, M.Sc., lahir di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 23 Mei
1960. Pendidikan SD, SMP, SMA-IPA, dan Sarjana semua diselesaikannya di
Yogyakarta. Penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMAN II Yogyakarta
lulus pada tahun 1979. Pada Tahun 1979 masuk di Fakultas Biologi, Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, lulus sarjana (S1) bidang Botani pada tahun 1984. Pada Tahun 1989
melanjutkan Studi di Graduate Study di Queensland University, Brisbane, Queensland,
Australia dan menyelesaikan Master of Science (M.Sc) dalam bidang Botani pada tahun
1990. Saat ini terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, di Medan dan sedang tahap penulisan Disertasi. Pada tahun
1995 penulis mengawali pekerjaan sebagai PNS dosen di Jurusan Biologi, Fakultas
MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB) sampai tahun 1996, dan selanjutnya pada tahun
1996 sampai saat ini adalah staf dosen di Departemen Biologi Fakultas MIPA,
Universitas Sumatera Utara (USU). Mata kuliah yang diajarkan adalah Fisiologi
Tumbuhan dan Kultur Jaringan Tanaman. Sejak tahun 1997 sampai sekarang dipercaya
sebagai Kepala Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Kultur Jaringan Tanaman di
Departemen Biologi FMIPA USU Medan. Penulis sudah berhasil melakukan 18 Judul
Penelitian dari berbagai sumber dana penelitian, dan telah melakukan 9 Judul
Pengabdian Kepada Masyarakat untuk penerapan bidang ilmu dari berbagai sumber
dana. Dari hasil penelitian tersebut sudah menulis artikel yang dimuat dalam Jurnal
Internasional, Jurnal Nasional Terakreditasi, Jurnal Nasional, Prosiding Seminar
Internasional dan Nasional. Bidang kajian penelitian, pengabdian dan publikasi
umumnya dalam bidang Biologi, Fisiologi Tumbuhan dan Kultur Jaringan Tanaman.