a. Faktor Internal
▪ Kurangnya permodalan
b. Faktor Eksternal
Pemerintah pun menurunkan tarif PPh Final atau yang sering disebut
sebagai pajak UMKM dari 1% menjadi 0,5% yang tertuang dalam
Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Selain itu, yang menjadi WP
adalah mereka dengan usaha yang memiliki omzet sampai dengan
Rp4,8 miliar dalam satu tahun.Kebijakan penurunan tarif ini bisa
dimanfaatkan oleh pelaku UMKM untuk mengembangkan usahanya
menjadi lebih baik lagi.
Jumlah UMKM di Tanah Air yang terus bertambah bagai 2 sisi mata
uang. Di satu sisi, geliat masyarakat Indonesia yang tinggi dalam
membuat bisnis sendiri sangat baik dalam membantu mendorong
perekonomian nasional. Di sisi lain, banyak juga yang mendirikan
usaha hanya karena ikut-ikutan tren atau latah.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, salah satu faktor yang menjadi
kendala adalah tidak meratanya penyebaran informasi di Tanah Air
yang menyebabkan munculnya virus gaptek ini. Selain itu, generation
gap antara pelaku UMKM yang diwakilkan oleh generasi X dan pelaku
UMKM dari generasi milenial melahirkan jarak soal permasalahan
UMKM ini.
Masalah yang masih krusial dihadapi oleh UMKM di antaranya adalah masih
rendahnya permodalan. UMKM masih menghadapi kendala dalam menambah
permodalan, baik untuk modal kerja maupun modal investasi. Dalam hal ini
terdapat keengganan pihak perbankkan dalam memberikan kredit kepada
UMKM. Untuk membantu permodalan bagi UMKM ini pemerintah telah
mewajibkan kepada perbankan untuk menyalurkan Kredit Usaha Rakyat
(KUR). KUR ditujukan untuk memperluas akses kredit Perbankan bagi
UMKM yang produktif, layak namun belum bankable. Ketentuan dalam
Program KUR untuk Usaha Mikro (Menteri Koperasi dan UMKM, 2010)
adalah:
Kendala lain yang cukup krusial adalah kesulitan bahan baku, terutama
UMKM di sektor processing, dan manufacturing. Hal ini dapat terjadi akibat
minimnya modal kerja sehingga semua transaksi harus dilaksanakan dalam
bentuk uang tunai. Misalnya pengusaha garmen kesulitan untuk memperoleh
benang atau pengusaha kecap kesulitan bahan baku kedelai, karena sedikitnya
penawaran atau kalau ada harganya relative mahal. Di sisi lain, fasilitas
perlengkapan produksi seperti control kualitas, gudang tempat penyimpanan,
alat distribusi sering tidak dimiliki oleh pengusaha UMKM. Akibat
perlengkapan yang kurang lengkap ini berdampak pada terbatasnya jumlah,
jenis dan variasi produk yang dihasilkan sehingga produk yang dihasilkan
menjadi statis dan tidak mampu lagi untuk bersaing di pasar (Hershkovich dan
Harper, 2005).
Berbagai kendala lainnya yang masih sering ditemui pada UMKM adalah
masih rendahnya kualitas SDM, yang tercermin dari kurang berkembangnya
perilaku kewirausahaan, lemahnya kaderisasi, kreativitas, disiplin, etos kerja,
dan profesionalisme. Berbagai kendala tersebut, menyebabkan sangat
rentannya UMKM dalam menghadapi persaingan. Pengalaman menunjukkan
bahwa eksistensi UMKM yang teramcam bahkan mati sebelum bersentuhan
dengan iklim liberalisasi perdagangan dunia.
Tantangan UMKM
Tantangan lain yang dihadapi oleh UMKM adalah liberalisasi ekonomi dan
globalisasi. Secara formal liberalisasi di tingkat Asia Tenggara (AFTA) pada
tahun 2003, di tingkat Asia Pasifik (APEC) pada tahun 2010, dan di tingkat
dunia pada tahun 2020. Hal ini membawa sejumlah tantangan bagi
pengembangan UMKM, yaitu:
Persaingan tidak hanya di pasar output tetapi juga di pasar input. Dengan
segala keunggulannya, para ekspatriat lebih mudah memanfaatkan kekayaan
sumberdaya alam Indonesia, sehingga kekayaan alam kita lebih banyak
dinikmati oleh asing dari pada bangsa sendiri.
Pemerintah tidak bias bertindak melakukan intervensi guna melindungi
UMKM, baik melalui pemberian subsidi ataupun proteksi lainnya.
Menteri Koperasi dan UMKM dalam Sidang Pleno ISEI di Bandung (2010)
mengemukakan bahwa tantangan yang dihadapi UMKM adalah:
Saat ini, kebanyakan layanan yang disediakan hanyalah berupa pelatihan. Jenis
kegiatan pelatihan memang sangat diperlukan, namun kegiatan pendampingan
juga sama pentingnya. Karena dengan adanya pendampingan, pemerintah
dapat melakukan tindak lanjut (follow-up) dari kegiatan pelatihan yang ada.
Pelatihan seyogyanya tak hanya di kelas, tetapi sampai pada aplikasi di
masyarakat.
Perlu pembenahan serius dalam kegiatan pendampingan yang ada saat ini
untuk dapat mencapai tujuan pendampingan yang sesungguhnya. Pelaku
UMKM juga memerlukan pendamping yang berasal dari individu yang telah
berpengalaman di bidang usaha yang sama. Tujuannya tak lain agar
menghasilkan UMKM yang tangguh dan mandiri.
1. Kendala Digitalisasi
Kondisi tersebut nyatanya masih menjadi permasalahan bisnis digital saat ini,
karena masih belum adanya regulasi dari pemerintah mengenai aturan
keamanan data dan informasi digital. Terlebih sejak munculnya berbagai berita
mengenai kebocoran data digital, masyarakat Indonesia dan juga berbagai
bisnis kecil dan menengah yang terdaftar secara digital pun tentu merasa
dirugikan sedangkan pemerintah pun masih belum sigap untuk menghadapi
kondisi tersebut.
UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) merupakan salah satu yang secara
langsung merasakan dampak negatif dari hadirnya pandemi di Indonesia.
Berdasarkan informasi yang didapatkan pada tahun 2019, UMKM
diperkirakan mampu menyumbang 65% dari produk domestik bruto (PDB)
nasional atau sekitar Rp2.394,5 triliun.
Akibat dari kemunculan pandemi, dampak yang dirasakan oleh para pelaku
bisnis kecil dan menengah dari berbagai sektor adalah bisnis tidak beroperasi
secara maksimal, keberlangsungan mereka pun terancam.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Katadata, hanya 5,9% bisnis kecil dan
menengah yang mampu bertahan di tengah pandemi. Namun disisi lain,
terdapat 82,9% pelaku usaha yang terkena dampak negatif pandemi. Bahkan
63,9% mengalami penurunan omzet hingga lebih dari 30%. Hal demikian tentu
saja membuat para pelaku bisnis kecil dan menengah Indonesia semakin resah
karena semakin lama pendapatan yang dihasilkan semakin menurun di masa
pandemi.
Pelaku bisnis kecil dan menengah tentu berharap adanya solusi yang datang
dari pemerintah guna mengatasi berbagai kendala yang dihadapi karena
dampak pandemi.
Konsumen tidak perlu ragu untuk menghubungi bisnis Anda pada jam tertentu.
Sehingga konsumen dapat dengan mudah mencari informasi mengenai produk
ataupun melakukan transaksi belanja kapanpun. Karena chatbot dapat
digunakan kapan saja tanpa terpatok jam operasional bisnis Anda.
Strategi pemasaran digital atau digital marketing juga jadi salah satu tantangan
yang harus dihadapi UMKM dalam perjalanan transformasinya.
Hal ini menjadi tantangan terbesar dari tantangan lainnya, mengingat UMKM
membutuhkan banyak sumber daya sementara jika merekrut anggota baru
yang minim kualifikasi juga bukan solusi. Bukannya untuk memudahkan
justru menyulitkan mengingat proses mengajar dan pengenalan yang memakan
banyak waktu dan bisa saja uang yang digunakan cukup besar.
5) Pelanggan
Permasalahan umum yang perlu dicermati antara lain adalah kapasitas SDM,
serta kontribusi yang terbatas. Kondisi ini juga menunjukkan kontribusi
UMKM dalam peningkatkan nilai tambah di sektorsektor produktif masih
rendah, partisipasi UMKM dalam ekspor masih rendah dan kontribusinya
dalam ekspor terus mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir dan
kontribusi UMKM dalam investasi masih lebih rendah dibandingkan dengan
usaha besar (Prabowo dan Wardoyo, 2003).
Menurut Ansharullah (2017), permasalahan terbesar dari perkembangan
UMKM yakni lemahnya strategi pemasaran, peralatan dan perlengkapan yang
digunakan dalam produksi masih teknologi tradisional atau sangat sederhana
juga masih kurangnya sumber daya manusia dalam mengelola usaha secara
bisnis sehingga peluang-peluang pasar belum diisi secara optimal. Prasetyo
(2008) menambahkan, peran pemerintah belum optimal dalam pengembangan
UMKM dari segi SDM, produksi dan pemasaran, pembiayaan, kelembagaan
dan iklim usaha seperti, rendahnya efektivitas pelaksanaan kebijakan dan
program yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah karena koordinasi dan
sinergi baik dalam pelaksanaan, pemantauan kebijakan dan program belum
dilaksanakan dengan baik.