Anda di halaman 1dari 211

PERATURAN PENDAFTARAN OBAT

DAN PRODUK BIOLOGI


DI INDONESIA
PERTEMUAN X

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


1. Apt. Bunga Destiyana M. Farm
2. Apt Dyah Ayuwati Waluyo, M. Farm
DEFINISI

Obat adalah
 Bahan atau paduan bahan termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia
Produk Biologi adalah
 Produk yang mengandung bahan biologi yang berasal dari manusia, hewan atau
mikroorganisme yang dibuat dengan cara konvensional, antara lain ekstraksi, fraksinasi,
reproduksi, kultivasi, atau melalui metode bioteknologi, antara lain fermentasi, rekayasa
genetika, kloning, termasuk tetapi tidak terbatas pada enzim, antibodi monoklonal, hormon,
sel punca, terapi gen, vaksin, produk darah, produk rekombinan DNA, dan imunosera
REGULASI DALAM PENGEMBANGAN OBAT
cal Company
Pharmaceuti
Academic &

Academic Academic/ Pharm. Academic/ Pharm. Pharm.


Expert
Company Company Company
Academic

Drug Discovery Clinical Trial re Drug Review Phase IV


Pre clinical IN
D gi
S st
Drug Development

u ra

Drug Approval
10000 compounds

b Phase I Phase II tio


b n
Compounds
mi
tt
150

5 Compounds
e
d
Phase III

6 year 2 year 6 year 2.5 year 2 year

BPOM BPOM BPOM


BPOM
Regulatory Control

▪ IND ▪ CT Approval Pre – market Risk Assessment Optimal


▪ Drug Importation ▪Safety, Efficacy, Quality Protection
▪ GCP Inspection ▪ On Site Evaluation •Control on Phase IV CT
Pharmacovigilance Public
▪ SAE Reporting

MOH MOH MOH


MTA = Material Transfer NATIONAL
Agreement PROGRAM AEFI
CIRI – CIRI FUNGSI REGULASI YANG
FRAMEWORK SHOWING KEY COMPONENTS OF DRUG REGULATION

Administrative
elements
• Policy, legislation,
regulations
• Human resources
• Finance Regulatory functions
• Infrastructure

Technical
elements

• Standards Licensing of Inspection of Product Monitoring Control of Adverse drug


• Specifications premises, manufactures, assessment drug promotion reaction
quality
• Guidelines practices & & & of drugs & advertising monitoring
• Procedures persons distributors registration

*) Effective drug regulation, a multi country study, WHO 2002


KETERKAITAN REGULASI OBAT
PRE-MARKET DAN POST-MARKET
KEGIATAN PRE MARKET KEGIATAN POST MARKET

Konsistensi Mutu
Pengembangan
produk : Formulasi, Pemenuhan − Pemeriksaan Sarana Prod.
Stabilitas, BA, BE CPOB Dan Dist.
− Sampling dan Pengujian

Konsistensi Keamanan
Efikasi,
Admin Dossier Keamanan − Monitoring ESO dan KIPI
dan Mutu − Pelaksanaan studi keamanan
Post Market Jangka Pendek
dan Panjang (PMS)
Evaluasi Produk
Konsistensi Informasi
− Monitoring Penandaan
− Was Iklan/Promo
Izin Edar
Khasiat Penilaian data non klinis dan klinis

Keamanan Program MESO dan KIPI


Aspek yang
dinilai Standarisasi mutu obat jadi (FI, USP, BP)

Penerapan dan inspeksi CPOB


Mutu
Sampling dan Uji lab

Inspeksi dan supervisi rantai distribusi obat


Kerangka Regulatori Konsep Evaluasi Obat Sebelum Beredar (Pre-Market)
KRITERIA DAN PERSYARATAN

Selesai sesuai target


Berdasarkan alasan
ilmiah (scientifically waktu (within time
sound) target)

GOOD DOSSIER GOOD


PRACTICES Prosedur dapat Konsisten secara DOSSIER
diprediksi ilmiah dan legal PRACTICES
(Procedurally (legally &
predictable) scientifically
consistent)

1. Proses yang jelas dan tertata


baik (Good clear & defined 3. SDM yang kompeten
process) Keputusan
(well trained people)
2. Aplikasi Dossier yang Regulasi yang bermutu
4. Evaluasi proses yang
konsisten(consistent application) (Good Quality Decision) sesuai Good
Management Review
Practices
PRODUK DENGAN
NOMOR IJIN EDAR
SISTEM PENDAFTARAN OBAT DAN PRODUK BIOLOGI DI
INDONESIA

Sistem registrasi obat di Indonesia dimulai tahun 1971


 Semua obat yang akan dipasarkan di Indonesia harus didaftarkan ke
Departemen Kesehatan RI (sekarang ke Badan Pengawas Obat dan
Makanan) untuk dilakukan evaluasi berdasarkan kriteria yang ditetapkan
Ketentuan teknis pelaksanaan registrasi obat
 Per Ka Badan (buku coklat) ttg Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat
thn 2003, 2011, 2013 (suplemen), 2016
1. Penilaian dalam
3. Pemasukan Obat
rangka registrasi obat 2. Uji Klinik 4. Sertifikat Ekspor
Jalur Khusus (SAS)
dan produk biologi

Otorisasi
Pengembangan
Pra registrasi Protokol Uji
Klinik
Produk CPP

Pemasukan
Registrasi baru
Obat Uji Penelitian
obat
Klinik

PPUK/
Registrasi
variasi Surat Vaksin Donasi
Keterangan
PPUK/
Registrasi
ulang/renewal
Surat
Keterangan
Surat
Persetujuan
ALUR PROSES REGISTRASI dan EVALUASI OBAT

KOMNAS POJ
Penyerahan Obat Baru
& Penilaian Efikasi dan
Dokumen Produk Keamanan
Pendaftar Registrasi
Biologi:
Ya
Memenuhi Penilaian
- Informasi established terkait Syarat? Penandaan
Tidak efikasi dan keamanan obat
lengkap - Data ekivalensi termasuk BE
Tidak Approvabl
Pemeriksaan
Kelengkapan e Letter
Data Lengkap

In situ (jika
Penilaian Mutu Perlu perlu) /
Obat Copy Peno-
Tambahan Data
Tambahan data
(generik) lakan Data Produksi /
Bukti
Prsiapan
Appeal Impor

Data SMF Evaluasi Ya


Ya
untuk Obat Dok Pre Inspeksi
Impor *) Inspeksi Memen
Tidak
uhi Tidak
NIE /
Syarat?
SPP
*) Industri Farmasi perlu diinspeksi
JALUR EVALUASI Pasal 31 PerKaBPOM
•Pra Registrasi
2011 (Buku Coklat)
40 HK •Variasi minor yang memerlukan persetujuan
•Registrasi Obat Khusus Ekspor

•OB dan PB untuk life saving drug, dan/atau mudah menular dan/atau belum ada atau kurangnya pilihan
terapi lain yang aman dan efektif  (a)
•OB dan PB dengan justifikasi untuk orphan drug  (b)
•OB dan PB untuk program kesehatan masyarakat  (c)
•OB dan PB yang telah melalui proses obat pengembangan baru di Indonesia dan seluruh tahapan uji
100 HK kliniknya dilakukan di Indonesia  (d)
•OC esensial generik dengan dokumen penunjang kebutuhan program atau data pendukung sebagai obat
esensial  (e)
•OC dengan STINEL  (f)
•Variasi Major Indikasi baru/posologi baru yang ditujukan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d.
•Variasi Major tidak termasuk pada huruf g

•OB & PB yang telah disetujui di negara dengan sistem evaluasi terharmonisasi dan di negara dengan sistem
evaluasi yang telah dikenal baik.
150 HK •Variasi Major Indikasi baru/posologi baru OB & PB yang telah disetujui di negara yang telah menerapkan
sistem evaluasi terharmonisasi dan di negara dengan sistem evaluasi yang telah dikenal baik
•OC tanpa STINEL

•Registrasi baru OB & PB tidak termasuk dalam jalur 100 HK & 150 HK 13
300 HK •Registrasi baru PB Sejenis / Biosimilar
•Variasi major indikasi baru/posologi baru yang tidak termasuk dalam jalur 100 HK& 150 HK
Kategori
Registrasi

Registrasi Baru Variasi Registrasi Ulang

Kategori 1
Ketegori 3 Ketegori 5
Obat Baru dan Kategori 6
Sediaan lain Variasi Minor
Produk Biologi, Kategori 2 Kategori 4 Variasi Minor
yang yang Kategori 7
termasuk Obat Copy Variasi Mayor dengan
mengandung memerlukan
Produk Biologi Notifikasi
obat persetujuan
Sejenis
PROSEDUR REGISTRASI OBAT

1. Pra Registrasi 2. Penyerahan berkas registrasi


 Untuk pertimbangan jalur evaluasi  Formulir yang telah diisi lengkap
(Obat Baru dan Copy)  Dokumen Penunjang (administrasi dan
 Konsulatasi kelengkapan dokumen teknis)
registrasi  Bukti pembayaran biaya evaluasi
KRITERIA PENILAIAN OBAT

Berdasarkan Kebutuhan
Efikasi dan Mutu Penandaan Nyata Masyarakat
Keamanan - Psychotropics:
superior E&S over
registered drug
- Health Program:
local clinical trial
• Informasi lengkap dan - Price : Int. & ext.
• Standard GMP objektif yang
• Studi Pre- comparison
• Proses produksi meyakinkanpengguna
clinical
• Spesifikasi produk an obat secara benar,
• Studi klinik
(fase I, II and rasional dan aman.
III)

Penilaian Risiko
Komite Nasional
Penilaian Obat
Sistem Sistem
FDA Registrasi di Registrasi di
Negara Lain EVALUATOR Negara Lain
EVALUASI KHASIAT DAN KEAMANAN OBAT

 Meliputi penilaian terhadap data uji non klinis dan uji klinis
dengan level of confidence sesuai ketentuan ilmiah
 Uji Non Klinis → melihat profil toksisitas, mutagenitas, karsinogenitas,
teratogenistas, dsis letal, dosis maksimal, dll
 Uji Klinis → memastikan pembuktian khasiat dan keamanan obat sesuai
dengan indikasi yang diajukan
EVALUASI MUTU OBAT

 Meliputi penilaian terhadap Standarisasi mutu bahan baku obat, obat jadi (FI, USP, BP),
proses produksi sesuai CPOB, dan Spesifikasi serta Metode Analisa
 Bahan Baku (Zat Aktif dan Zat tambahan)
 Sumber
 Proses Sintesa
 Spesifikasi
 Metode Analisa
 Stabilitas
EVALUASI MUTU OBAT

 Proses Produksi
 Pemastian mutu bahan baku dna produk jadi
 Validasi metode analisa dan proses
 IPC
 Kesesuaian sarana dan prasarana terhadap sertifikat CPOB
EVALUASI MUTU OBAT

 Produk Obat
 Formula
 Spesifikasi
 Hasil validasi metode analisis
 Hasil validasi proses pembuatan
 Hasil uji stabilitas
 Bioekivalensi (untuk bahan yang memiliki rentang terapi yang sempit)
EVALUASI PENANDAAN

Memastikan bahwa informasi


yang tercantum pada
penandaan obat (etiket,
brosur, kemasan) adalah
informasi yang lengkap
dan objektif

Dapat menjamin
penggunaan obat secara
tepat, rasional dan aman
INFORMASI MINIMAL YANG HARUS DICANTUMKAN PADA
KEMASAN
A. RINGKASAN KARAKTERISTIK PRODUK
• Nama Obat, Bentuk Sediaan, Pemerian,
• Komposisi Obat (nama dan kekuatan zat aktif)
• Cara Kerja, dan at FD dan at FK
• Informasi Keamanan non klinik (bila ada)
• Indikasi, Posologi dan cara pemberian, KI.
• PP, Interaksi Obat, kehamilan dan menyusui
• Efek pada pengendara dan yg menjalankan mesin (jika perlu)
• ESO, Overdosis dan pengobatan (jika ada)
• Daftar zat tambahan
• Ketidaktercampuran (jika perlu)
• Cara penyimpanan
• Stabilitas/masa edar (shelf life) dst (hal 82 buku coklat)

B. INFORMASI PRODUK UNTUK PASIEN (btk narasi atau Q&A)


TANDA KHUSUS PADA PENANDAAN
Untuk obat yang hanya diperoleh dengan resep dokter :
• Lingkaran bulat merah dengan garis tepi berwarna
hitam, dengan huruf K ditengah yang menyentuh garis
tepi

Untuk obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter :

•Tanda khusus obat bebas terbatas : lingkaran biru


dengan garis tepi berwarna hitam.

•Tanda khusus obat bebas : lingkaran hijau dengan garis


tepi berwarna hitam.
TANDA PERINGATAN OBAT
P.No. 1 P.No. 2
Awas! Obat Keras Awas! Obat Keras
Bacalah aturan memakainya Hanya untuk kumur, jangan ditelan

P.No. 3 P.No. 4
Awas! Obat Keras Awas! Obat Keras
Hanya untuk bagian luar dari badan Hanya untuk dibakar

P.No. 5 P.No. 6
Awas! Obat Keras Awas! Obat Keras
Tidak boleh ditelan Obat wasir, jangan ditelan
PENCANTUMAN ASAL BAHAN TERTENTU, KANDUNGAN ALKOHOL, DAN BATAS
KADALUARSA PADA PENANDAAN/LABEL OBAT, OBAT TRADISIONAL, SUPLEMEN
MAKANAN, DAN PANGAN

ASAL BAHAN TERTENTU :


➢ Harus mencantumkan asal dan keterangan bahan tertentu
tersebut pada komposisi penandaan/label

Penandaan lama Obat Penandaan baru Obat


Zat aktif : Zat aktif dan/atau Zat tambahan :

Porcine origin Bersumber babi


AeRO: Aplikasi Registrasi Obat

Sistem registrasi on line digunakan untuk


melakukan registrasi obat ke Badan POM

Memenuhi kebutuhan industri farmasi akan prosedur


pengajuan registrasi obat dan produk biologi yang lebih efektif,
efisien, cepat, mudah dan transparan
TAHAPAN PENDAFTARAN MELALUI AERO

• Pendaftaran akun Industri Farmasi

• Pendaftaran zat aktif, bahan tambahan, produsen bahan baku dan obat
jadi

• Proses Pra Registrasi Obat


• Proses Registrasi Obat
IZIN EDAR

 Izin edar obat, persetujuan impor dalam bentuk ruahan, persetujuan impor khusus
ekspor dan persetujuan khusus ekspor berlaku paling lama 5 tahun selama
memenuhi ketentuan yang berlaku
 Untuk registrasi obat berdasarkan perjanjan/penunjukkan masa kerjasama kurang dari
5 tahun, maka masa berlaku izin edar sesauai dengan masa berlaku kerjasama
dalam dokumen perjanjian
 Obat yang telah habis masa berlaku izin edarnya dan tidak diperpanjang dinyatakan
sebagai obat yang tidak memiliki izin edar
KETENTUAN IZIN EDAR

 Pendafar wajib memproduksi atau mengimpor dan mengedarkan obat yang telah
mendapat izin edar selambat-lambatnya 1 tahun setelah tanggal persetujuan
dikeluarkan
 Pelaksanaan kewajiban memproduksi atau mengimpor dan mengedarkan obat harus
dilaporkan dengan menyerahkan kemasan siap edar kepada Kepala Badan
 Pelaksanaan impor obat dilakukan oleh Industri Farmasi Pemilik Izin Edar
 Industri Farmasi Pemilik Izin Edar dapat menunjuk Industri Farmasi lain atau PBF
importir sebagai pelaksana impor obat
 Kemasan siap edar yang diserahkan berupa kemasan primer, kemasan sekunder dan
Informasi Produk
 Penyerahan kemasan dilakukan selambat-lambatnya 1 bulan sebelum pelaksanaan
peredaran obat
KETENTUAN IZIN EDAR

 Pemilik Izin Edar obat wajib melakukan pemantauan khasiat, keamanan dan mutu obat
selama obat diedarkan dan melaporkan hasilnya kepada Kepala Badan
 Pemantauan khasiat, keamanan dan mutu obat selama obat diedarkan ditetapkan tersendiri
 Evaluasi kembali dilakukan jika berdasarkan hasil pemantauan terdapat perkembangan baru mengenai
khasiat, keamanan, dan mutu obat yang berbeda dari data penunjang pada waktu registrasi
 Keputusan terhadap hasil evaluasi kembali dapat berupa:
 Perubahan penandaan
 Perbaikan formula/komposisi
 Pemberian batasan penggunaan
 Penarikan obat dari peredaran dan/atau
 Pembekuan izin edar/pembatalan izin edar
SANKSI

 Peringatan tertulis
 Pembatalan proses registrasi
obat • Tidak melaksanakan kewajiban
• Selama 12 bulan berturut-turut tidak diproduksi
 Pembekuan izin edar atau diimpor dan diedarkan
 Pembatalan izin edar • Izin industri farmasi pemilik izin edar dicabut
• Pemilik izin edar melakukan pelanggaran di
 Sanksi adminstratif lain bidang produksi dan/atau distribusi obat
KODE IZIN EDAR
. . . . . 15 DIGIT . . . . .
Digit 1 : D : menunjukkan nama dagang
G : menunjukkan nama generik

Digit 2 : K : golongan Obat Keras


T : golongan Obat Bebas Terbatas
B : golongan Obat Bebas
N : golongan Obat Narkotika
P : golongan Obat Psikotropika

Digit 3 : I : Obat Jadi Impor


L : Obat Jadi Produksi Lokal
X : Obat untuk Keperluan Khusus (untuk Program)
E : Obat Khusus untuk Keperluan Ekspor
Digit 4 dan 5 : membedakan periode pendaftaran obat jadi
Digit 6,7,8 : menunjukkan nomor urut pabrik
Digit 9,10,11 : menunjukkan nomor urut obat jadi yang
disetujui untuk masing-masing pabrik
Digit 12,13 : menunjukkan bentuk sediaan obat jadi
Digit 14 : menunjukkan kekuatan sediaan obat jadi
Digit 15 : menunjukkan perbedaan jenis kemasan
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
PENERAPAN CPOB
DI INDUSTRI FARMASI
PERTEMUAN XI

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


1. Apt. Bunga Destiyana M. Farm
2. Apt Dyah Ayuwati Waluyo, M. Farm
CIRI – CIRI FUNGSI REGULASI YANG
FRAMEWORK SHOWING KEY COMPONENTS OF DRUG REGULATION

Administrative
elements
• Policy, legislation,
regulations
• Human resources
• Finance Regulatory functions
• Infrastructure

Technical
elements

• Standards Licensing of Inspection of Product Monitoring Control of Adverse drug


• Specifications premises, manufactures, assessment drug promotion reaction
quality
• Guidelines practices & & & of drugs & advertising monitoring
• Procedures persons distributors registration

*) Effective drug regulation, a multi country study, WHO 2002


KETENTUAN UMUM
▪ Menjamin obat dibuat secara konsisten
▪ Menjamin obat memenuhi persyaratan Tujuan
yang telah ditetapkan sesuai
penggunaannya CPOB

Aspek Produksi
Meliputi
Pengendalian Mutu

Peraturan BPOM RI No
HK.03.1.33.12.12.8195 TAHUN 2012
Tentang Pedoman CPOB
SEJARAH DARI GMP DUNIA (1)

PIC-GMP
EC-GMP
FDA-cGMP
FDA-Aseptic Processing
FDA-GMP

GMP Enforcement by
WH0-GMP German National Law

1968 1971 1978 1983 1985 1987 1989

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI………………………..


SEJARAH DARI GMP DUNIA (2)
Revision to Annex 1
EC-GMP
WHO-Revised GMP
WHO-Revised GMP
WHO-GMP for
WHO-GMP for Sterile pharmaceuticals
Biological products

PIC-Adapts GMP WHO-Guide for


According to EC-GMP Inspection

1992 1992 1992 1996 1997 2002 2003

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI………………………..


UPDATE PENERAPAN CPOB DI INDONESIA

PRODUK OBAT& BBO


1st GMP GMP GL
Inspection 3rd Ed
Operational Adp of PIC/S GMP GL Ed 2009
Manual 1st GMP including Annexes
& GL on API
Certification Op. Manual PERMENKES 1799/2010
GMP GL
1st ed GMP GL Op.
2nd Ed Manual REV GL
ASEAN
WH0-GMP 2012
GMP GL
voluntary

1971 1988 1990 1990 1990 2001 2001 2006 2009 2010 2012

PRODUK HERBAL
GMP GL
1st ed

ASEAN
Op. Manual
harmonization
GMP enforced by
Ministry of
Health Regulation

1991 2005 2006 2011


DASAR HUKUM PENERAPAN CPOB
▪ UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan :
Pasal 98 ayat (1): “ Sediaan farmasi dan alkes harus aman,berkhasiat/bermanfaat,
bermutu dan terjangkau”
Pasal 105 ayat (1) “Sediaan farmasi yang berupa Obat dan Bahan Obat hrs
memenuhi syarat farmakope Indo at buku standar lainnya ”
▪ PP No. 72 tahun 1998 pasal 5
Pasal 5 ayat (1):“ Produksi Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan
dengan cara produksi yang baik”
• PerMenKes no 1799/2010 tentang Industri Farmasi
▪ SK Kepala Badan POM, No HK 0045.3.002.7 Tahun 2006 : “ Mengesahkan dan
memberlakukan Pedoman CPOB Tahun 2006 … sebagai pedoman bagi semua pihak
yang terlibat dalam pembuatan obat”
▪ Per Ka Badan POM No HK 0301.23.09.9030 Tahun 2010 “melegalisasi aneks
3,12,17,18,19 GMP PIC/s”
▪ Per Ka Badan POM 2012 tentang penyempurnaan pedoman CPOB 2012
PERSYARATAN
CPBBAOB

• Sesuai Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan


Republik Indonesia Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012
tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik
• Pedoman CPOB terkini:

ANEKS 8
PEDOMAN
CARA PEMBUATAN BAHAN BAKU AKTIF OBAT
YANG BAIK

Badan Pengawas Obat dan


Makanan RI

Pedoman CPOB Ed.4 Annex 8 Pedoman CPOB Petunjuk Operasional


(2012) tentang Pedoman Penerapan CPOB
CPBBAOB (2009) (2012)
SERTIFIKASI
CPOB

Dalam rangka Sertifikasi baru, Pemohon melaporkan kemajuan


Pemohon menyampaikan pembangunan secara periodik setiap 3
permohonan persetujuan (tiga) bulan kepada Direktur
Rencana Induk Pembangunan
(RIP) kepada Kepala Badan cc
Direktur Setelah pembangunan selesai dan
dilakukan kualifikasi, pemohon
mengajukan permohonan Sertifikasi
Perbaikan RIP

Evaluasi
kesesuaian RIP Inspeksi CPOB

Persetujuan RIP Rekomendasi pemenuhan persyaratan


CPOB (kelengkapan permohonan izin
Sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
IF)
HK.04.1.33.12.11.09937 tahun 2011 tentang Tata Cara
Sertifikasi Cara Pembuatan Obat yang Baik.
Sertifikat CPOB (diterbitkan setelah
memperoleh izin IF)
• Produksi dgn
▪Pelaksanaannya “taking care”
bukan presentase • Tdk tergantung
( tdk menjadi hanya hasil
pengujian saja
“predominant”)
• Enforceable

• Tdk memenuhi std


PRINSIP • Kontaminasi
• Keslhan penandan
CPOB • Bioavailability
• Keamanan dan
efektivitas

• Merupakan standar
minimal untuk • Standar senantiasa
jaminan mutu berkembang dari
• Bukan mutlak “best waktu ke waktu
practices” • Pedoman rinci utk
jaminan mutu
10 PRINSIP DASAR CPOB

Catatlah semua
Tersedia Prosedur Kerjakan sesuai Validasi semua
yang dikerjakan
tertulis prosedur tersebut pekerjaan tersebut
dengan benar

Gunakan peralatan Cegahlah Selalu ikuti CPOB Jagalah segala


yang benar dan kontaminasi dan mutakhir melalui sesuatu bersih dan
bersih pencampur-bauran pelatihan benar

Waspadalah
Lakukan inspeksi-
terhadap kesalahan
diri agar selalu
(laporkan segera
memenuhi standar
bila terjadi
CPOB.
kesalahan)
ASPEK-ASPEK DASAR
CPOB

Bangunan dan
Manajemen mutu Personalia Peralatan
fasilitas

Inspeksi Diri, Audit


Mutu dan Audit &
Sanitasi dan Higiene Produksi Pengawasan mutu
Persetujuan
Pemasok

Penanganan Keluhan
Pembuatan dan
terhadap Produk dan Kualifikasi dan
Dokumentasi Analisis Berdasarkan
Penarikan Produk Validasi
Kontrak
Kembali
MANAJEMEN MUTU

Manajemen Mutu Memberikan arahan dan kebijakan tentang Mutu

Pemastian Mutu Tindakan sistematis untuk melaksanakan system mutu

Menghindarkan atau meminimalkan resiko yang tidak dapat


CPOB dideteksi melalui serangkaian tes. Ex : Kontaminasi dan
tercampurnya Produk

Bagian dari CPOB yang focus pada pelaksanaan pengujian


Pengawasan Mutu lingkungan, fasilitas, bahan, komponen dan produk sesuai
dengan standar
PEROANLIA
Mengontrol proses produksi obat dari bahan awal
hingga obat tersebar di pasaran (Produksi,
Fungsi
pengawasan mutu,Manajemen mutu)

Disiplin Pelatihan Berpengalaman

Kualifikasi Terampil Bertanggungjawab

Identitas
Obat yang Kadar
Agar diproduksi terjamin :
Mutu
Kemurnian
BANGUNAN DAN FASILITAS

Terhindar dari pencemaran lingkungan (udara, tanah, air, dan limbah


industri lain)

Terlindung dari cuaca, banjir, serta hewan kecil dan pengerat Syarat

Beberapa ruangan perlu dilengkapi pengaturan tekanan udara,


kelembapan, dan pengendalian jumlah mikroba
BANGUNAN DAN FASILITAS

Permukaan dinding, lantai dan langit-langit bagian dalam halus, bebas


retak dan sambungan terbuka, tidak melepaskan partikulat, serta
memungkinkan pelaksanaan pembersihan (bila perlu disinfeksi) yang
mudah dan efektif.

Lantai di area pengolahan: kedap air, halus, dan rata Syarat

Saluran pembuangan air besar dan tidak berarus balik

Dibedakan jalur lalu lintas personil dan obat dan diatur agar antar bahan
obat tidak tercampur
BANGUNAN DAN FASILITAS
▪ Memudahkan pengoperasian
▪ Memperkecil resiko kekeliruan dan kesalahan lain
Tujuan ▪ Mempermudah pembersihan, sanitasi, dan perawatan
▪ Menghindari pencemaran ke dalam mutu obat

Area Penimbangan

Area Pengawasan Mutu


Terbagi Area Produksi

Sarana Pendukung
Area Penyimpanan
PERALATAN
Jika kontak dengan produk, tidak memengaruhi
identitas, kadar, mutu, dan kemurniannya.

Mudah digunakan, dibersihkan, dan dirawat

Harus mempunyai protap yang rinci soal


pembersihan dan perawatan alat
SANITASI DAN HIGIENE

Perorangan

Bangunan

Peralatan dan Perlengkapan


Meliputi

Bahan produksi serta wadahnya

Bahan pembersih dan desinfeksi


PRODUKSI

PRODUKSI OBAT membutuhkan:


 Sarana gedung produksi-pengemasan-penyimpanan
 Material yang memenuhi persyaratan
 Peralatan yang sesuai terkualifikasi dan terkalibrasi
 Personalia yang terlatih dan “qualified”
 Proses produksi
 Dokumen produksi yang sah yang mampu telusur
PRO DUKSI

• Produk Obat Dijamin Dengan :


- Penggunaan bahan awal yang bermutu

- Prosedur tertulis untuk menghasilkan


produk yang memenuhi syarat
- In process control
- Pencegahan produk terhadap kontaminasi
PRODUKSI STERIL

Perlakuan Pada tingkat


Bioburden awal
khusus dan kebersihan
: rendah
tervalidasi tertentu

Butuh
keterampilan Pelatihan yang Uji sterilitas
dan dedikasi cukup dan pirogen
tinggi
PENGAWASAN MUTU

• Mencegah kesalahan
FUNGSI • Pengujian terhadap setiap tahap mulai dari
bahan awal sampai dengan produk jadi

Pelulusan atau penolakan terhadap bahan awal,


TANGGUNG JAWAB
proses pembuatan dan produk jadi

UNIT QC TERPISAH DARI UNIT PRODUKSI


INSPEKSI DIRI

TUJUAN
Untuk mengevaluasi apakah semua aspek
produksi dan pengawasan mutu industri
farmasi memenuhi ketentuan CPOB.

PELAKSANAAN • INDEPENDEN
• Pelaksana: petugas yang kompeten dari
perusahaan yang dapat mengevaluasi penerapan
CPOB secara obyekktif atau pihak ketiga
• Pelaksanaan inspeksi diri secara menyeluruh
dilakukan minimal 1 kali dalam setahun
• Semua hasil inspeksi diri dicatat, dilaporkan dan
ada penindaklanjutan yang efektif
AUDIT DAN PERSETUJUAN PEMASOK

Pemasok bahan awal dan bahan kemas harus memenuhi spesifikasi sebelum
digunakan

Jika perlu, lakukan audit untuk menetapkan kemampuan pemasok dalam


pemenuhan standar

Dibuat daftar pemasok yang telah disetujui dan daftar ini harus ditinjau secara
berkala

Pemasok dan daftar pemasok dievaluasi secara teratur


KOMPLAIN

Pelaporan ke
BPOM jika terkait
Komplain masuk Penyelidikan dan Tindak lanjut dan dengan kesalahan
→ dicatat evaluasi perbaikan pembuatan,
kerusakan produk,
pemalsuan, dll
RECALL – PENARIKAN KEMBALI

 Sistem dokumentasi penarikan kembali produk


 Tindakan penarikan kembali produk hendaklah di industri farmasi, hendaklah menjamin bahwa
dilakukan segera setelah diketahui ada produk embargo dan penarikan Kembali dilaksanakan
yang cacat mutu atau diterima laporan secara cepat, efektif dan tuntas; dan
mengenai reaksi yang merugikan;
 Pedoman dan prosedur penarikan kembali
 Pemakaian produk yang berisiko tinggi terhadap terhadap produk hendaklah dibuat untuk
kesehatan, hendaklah dihentikan dengan cara memungkinkan embargo dan penarikan Kembali
embargo yang dilanjutkan dengan penarikan dapat dilakukan dengan cepat dan efektif dari
kembali dengan segera. Penarikan kembali seluruh mata rantai distribusi.
hendaklah menjangkau sampai tingkat
konsumen;  Efektivitas penyelenggaraan penarikan kembali
hendaklah dievaluasi dari waktu ke waktu
DOKUMENTASI
Sistem/prosedur yang
dipersyaratkan untuk dokumen

Kontrol untuk
dokumen

Identifikasi yang unik Update


Periodic Review
Penerbitan Persetujuan
Penghapusan
Pencegahan Revisi
penggunaan versi
Pembuatan
lama
Distribusi
Perbanyakan
Apakah Data Integrity itu?
• Memelihara dan menjamin keakuratan, kelengkapan dan konsistensi data selama siklusnya
tetap sesuai dengan peraturan yang berlaku.
• Menjamin bahwa suatu record utuh dan dipertahankan dalam konteks aslinya, termasuk
keterkaitannya dengan data yang lain.
• Menjamin bahwa record attributable dan kontemporer untuk siapa yang memperoleh data
dan kapan.
• Menjamin bahwa record terbaca, abadi and tersedia
• Berlaku pada data electronik dan paper formats (or hybrid)
ALCOA acronym defines expectations:
MHRA; Data Integrity is the
Attributable
extent to which all data are
Legible
Contemporaneous complete, consistent, and
Original accurate throughout the data
Accurate lifecycle.
ALCOA + adds: Complete, consistent, enduring, and 29

available
PEMBUATAN DAN ANALISIS BERDASARKAN KONTRAK

Pembuatan dan analisis


berdasarkan kontrak harus dibuat Kontrak harus menyatakan secara
Kontrak tertulis antara Pemberi
secara benar, disetujui dan jelas prosedur pelulusan tiap bets
Kontrak dan Penerima Kontrak
dikendalikan untuk produk untuk diedarkan yang
harus dibuat secara jelas yang
menghindarkan kesalahpahaman menjadi tanggung jawab penuh
menentukan tanggung jawab dan
yang dapat menyebabkan produk kepala bagian Manajemen Mutu
kewajiban masing-masing pihak.
atau pekerjaan dengan mutu yang (Pemastian Mutu).
tidak memuaskan.
KUALIFIKASI

Kualifikasi Desain Kualifikasi Instalasi Kualifikasi Operasional Kualifikasi Kinerja

• Pada tahap ini, alat • Pada tahap ini, alat • Pada tahap ini, alat • Pada tahap ini, alat
dipastikan sudah dipastikan sudah sudah dapat dipastikan sudah
memenuhi spesifikasi terpasang dengan beroperasi dengan mampu menghasilkan
desain yang diajukan benar spesifikasi yang produk sesuai
• Desain yang diajukan • Dapat meliputi ditujukan dengan spesifikasi
harus memenuhi instalasi utility, • Biasana dilakukan yang kita harapkan
ketentuan CPOB maintenance dan challenge • Alat akan
kalibrasi juga sudah menggunakan kondisi dioperasikan dalam
terjadwal terburuk kondisi operasi yang
normal untuk menilai
fungsionalitas dan
keamanannya
VALIDASI

Validasi Tipe pelaksanaan


Proses Validasi prospektif

Pembersihan Validasi konkuren

Metode Analisa Validasi Retrospektif

Validasi Ulang
Produk Bermutu
Berdasarkan CPOB yang Dinamis

Mutu berdasarkan Produk


Kualifikasi disain
disain Bermutu

Validasi

Kendali Proses
Disain Scaling up Kritis
Proses

Validasi
Kendali
Disain
Ekstensif :
Pra- Skala laboratorium tiap tahap
Formulasi
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
PENERAPAN CPOB
DI INDUSTRI FARMASI
PART 2
PERTEMUAN XI

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


1. Apt. Bunga Destiyana M. Farm
2. Apt Dyah Ayuwati Waluyo, M. Farm
CIRI – CIRI FUNGSI REGULASI YANG
FRAMEWORK SHOWING KEY COMPONENTS OF DRUG REGULATION

Administrative
elements
• Policy, legislation,
regulations
• Human resources
• Finance Regulatory functions
• Infrastructure

Technical
elements

• Standards Licensing of Inspection of Product Monitoring Control of Adverse drug


• Specifications premises, manufactures, assessment drug promotion reaction
quality
• Guidelines practices & & & of drugs & advertising monitoring
• Procedures persons distributors registration

*) Effective drug regulation, a multi country study, WHO 2002


ASPEK-ASPEK DASAR
CPOB

Bangunan dan
Manajemen mutu Personalia Peralatan
fasilitas

Inspeksi Diri, Audit


Mutu dan Audit &
Sanitasi dan Higiene Produksi Pengawasan mutu
Persetujuan
Pemasok

Penanganan Keluhan
Pembuatan dan
terhadap Produk dan Kualifikasi dan
Dokumentasi Analisis Berdasarkan
Penarikan Produk Validasi
Kontrak
Kembali
STRUCTURE OF THE QUALITY MANAGEMENT SYSTEM

Referensi

5
DOKUMENTASI

Kontrol untuk
dokumen

Identifikasi yang unik


Penerbitan
Penghapusan
Pencegahan
penggunaan versi
lama
Distribusi
Perbanyakan
Integritas Data
• Attributable : Jelas siapa yang membuat rekaman dan harus didokumentasikan.
• Legible : Catatan harus dapat dibaca dan dipahami
• Contemporaneous : Semua catatan harus dibuat pada saat kegiatan terjadi
• Original : Harus asli; informasi harus dicatat langsung ke dokumennya
• Accurate : Catatan harus mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi. Setiap perubahan harus
dilakukan tanpa mengaburkan atau menghapus informasi asli

ALCOA acronym defines expectations:


MHRA; Data Integrity is the
Attributable
extent to which all data are
Legible
Contemporaneous complete, consistent, and
Original accurate throughout the data
Accurate lifecycle.
ALCOA + adds: Complete, consistent, enduring, and 8

available
PEMBUATAN DAN ANALISIS
BERDASARKAN KONTRAK

Kontrak tertulis antara Pemberi


Kontrak dan Penerima Kontrak
harus dibuat secara jelas yang
menentukan tanggung jawab dan
kewajiban masing-masing pihak.
KUALIFIKASI DAN
VALIDASI
• Validasi Prospektif
• Validasi tipe ini dilakukan sebelum proses distribusi dari produk baru atau
produk yang dibuat dengan revisi proses pembuatannya
VALIDASI • Dilakukan pada setidaknya tiga bers berturut-turut (consecutive batches)
• Tujuan: membuktikan atau mendemonstrasikan bahwa proses akan berjalan
sesuai dengan protocol yang telah disiapkan
• Pada tipe ini, validasi harus selesai sebelum proses distribusi dan penjualan
produk
• Validasi Konkuren
Tipe pelaksanaan • Validasi ini dilakukan untuk memonitor parameter proses.Validasi ini
melibatkan monitoring dari proses kritis dan pengujian produk
Validasi prospektif • Sistem ataupun peralatan harus sudah tervalidasi terlebi dahulu
sebelumnya
• Pada validasi ini, produk dapat dijual dan didistribusikan selama validasi
Validasi konkuren
berlangsung
• Validasi Retrospektif
Validasi Retrospektif • Validasi ini dilakukan untuk mereview dan menganalisa Riwayat informasi
dari produk yang biasanya sudah didsitribusikan
• Validasi tipe ini hanya diakukan pada proses yang sudah berjalan dengan
baik dan tidak cocok jika terdapat perubahan proses baru-baru ini
• Pada validasi ini, data didapatkan dari 10 hingga 30 bets untuk dianalisa
konsistensi prosesnya.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
REGULASI DISTRIBUSI SEDIAAN
FARMASI DAN ALAT KESEHATAN
PERTEMUAN XII

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


1. Apt. Bunga Destiyana M. Farm
2. Apt Dyah Ayuwati Waluyo, M. Farm
CIRI – CIRI FUNGSI REGULASI YANG
FRAMEWORK SHOWING KEY COMPONENTS OF DRUG REGULATION

Administrative
elements
• Policy, legislation,
regulations
• Human resources
• Finance Regulatory functions
• Infrastructure

Technical
elements

• Standards Licensing of Inspection of Product Monitoring Control of Adverse drug


• Specifications premises, manufactures, assessment drug promotion reaction
quality
• Guidelines practices & & & of drugs & advertising monitoring
• Procedures persons distributors registration

*) Effective drug regulation, a multi country study, WHO 2002


SISTIM PENDISTRIBUSIAN OBAT DI INDONESIA

PABRIK DENGAN DISTRIBUTOR PABRIK TANPA DISTRIBUTOR

PABRIK OBAT PABRIK OBAT

PERATURAN
PER-UU-AN

PBF DISTRIBUTOR
PBF PBF

PBF PBF SUB DISTRIBUTOR

PBF, APOTIK, RS BERAPOTEKER – toko obat PBF, APOTIK, RS BERAPOTEKER –


toko obat

HUBUNGAN ANTARA INDUSTRI FARMASI DENGAN DISTRIBUTOR


DAN ANTARA DISTRIBUTOR DENGAN SUB-DISTRIBUTOR
DILIHAT DARI SISI STATUS KEAGENAN 3
KHUSUS PENYALURAN
NARKOTIKA

ULS (UNIT LOGISTIK SENTRAL)


KIMIA FARMA

• PBF Kimia Farma lain


• Apotek
• Rumah Sakit
• Sarana Pelayanan Pemerintah
4
Regulasi/Ketentuan
terkait Distribusi Obat
UMUM

;Mengatur :
Penyaluran dan Penyerahan
Mutu
Dokumentasi
 Penanggung jawab atas kelengkapan dokumen
Pengangkut bertanggungjawab atas kelengkapan dokumen
 Status Komoditi Izin Edar

Perzinan Penyalur 5
PP 72 TAHUN 1998

Distribusi /peredaran : (psl 1)


Adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau
penyerahan

> Sediaan Farmasi dan Alkes

baik dalam rangka perdagangan ,

bukan perdagangan atau pemindah

tanganan
PP 72 TAHUN 1998

Penyerahan Sediaan Farmasi ( SF) dan Alat Kesehatan (Alkes)

> Dilakukan untuk digunakan dalam

pelayanan kesehatan atau

kepentingan ilmu pengetahuan

Pelayanan Kesehatan :

a. Resep dokter

b. Tanpa resep dokter


DISTRIBUSI OBAT

 Pabrik Farmasi dapat menyalurkan hasil produksinya langsung ke PBF, Apotik, Toko Obat dan sarana pelayanan
kesehatan lainnya. (Permenkes 918/Menkes/Per/X/1993, 1191/2002, 1148/2011, 34/2014)

 Apotik dilarang membeli atau menerima bahan baku obat selain dari PBF Penyalur Bahan Baku Obat PT. Kimia
Farma dan PBF yang akan ditetapkan kemudian. (Permenkes 287/Menkes/SK/XI/76 ttg Pengimporan, penyimpanan
dan penyaluran bahan baku obat)
KERANGKA KONSEP
CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK(CDOB)
PRINSIP CDOB
SARANA DISTRIBUSI • PERSONALIA
- Kompeten
• Sistem Jaminan Mutu Standar QA post- - Profesional
Obat Market
• Sistem Jaminan • SISTEM JAGA MUTU
Keabsahan Obat - Sumber pengadaan
• Pengamanan Lalu-lintas - Kondisi penyimpanan
- Hindari kontaminasi
Distribusi
(TL pelanggaran
Secara obyektif,
• DOKUMENTASI
cepat - SOP yang mantap
dan tepat) - Pencatatan (mudah telusur)
- Pelaporan
- Inspeksi diri

Perlindungan masyarakat atas


obat yang beredar
( Q,S & E) 9
TUJUAN CDOB

 Menjamin penyebaran obat secara merata dan teratur agar dapat diperoleh yang
membutuhkan pada saat diperlukan

 Terlaksananya pengamanan lalu lintas obat dan penggunaan obat untuk melindungi
masyarakat dari kesalahan penggunaan dan penyalah gunaan

 Menjamin keabsahan dan mutu obat agar obat yang sampai ke konsumen adalah obat
yang efektif, aman dan dapat digunakan sesuai tujuan penggunaannya.
PRINSIP-PRINSIP DASAR CDOB
Profesional

PERSONALIA Memiliki pengetahuan


ketrampilan dan kemampuan

Penanggung Jawab

Harus mempunyai wewenang dan


tanggung jawab untuk memastikan
diterapkannya sistem mutu
dan pemeliharaannya
PRINSIP-PRINSIP DASAR CDOB

• Jaga mutu perlu dilakukan


• Sistem jaga mutu meliputi :

Kondisi penyimpanan yang sesuai

Hindari kontaminasi dengan produk lain

Jaminan bahwa produk yang benar diserahkan


kepada konsumen dalam waktu yang memadai

Sistem penelusuran / dokumentasi yang baik


apabila terjadi suatu kesalahan pada pengelolaan

Prosedur penarikan yang efektif


PRINSIP-PRINSIP DASAR CDOB
Sistem Jaga Mutu
Sistem yang diterapkan harus memastikan bahwa:
Aktivitas sesuai dengan aturan
Obat-obat yang ditangani telah terdaftar

Catatan yg akurat terpelihara dengan baik

Tempat penyimpanan dan transportasi terawasi

Pencemaran oleh produk lain dapat dicegah

Tempat pertukaran memadai

Pengiriman produk dilakukan efisien


FAKTOR PENDUKUNG PELAKSANAAN CDOB

• PROSEDUR OPERASIONAL YANG MANTAP,


UNTUK DAPAT :

Menjamin pelaksanaan pengelolaan obat


sesuai peraturan

Menjamin penyediaan data yang akurat

Menjaga tingkat stock

Melaksanakan dokumentasi/
administrasi yang baik
Lanjutan
FAKTOR PENDUKUNG PELAKSANAAN CDOB

• DOKUMENTASI/ADMINISTRASI :

Selalu tersedia bila diperlukan

Termasuk dokumen pengadaan,


penjualan, penyimpanan resep , recall

• INSPEKSI DIRI :

Dilakukan untuk memantau pemenuhan


terhadap peraturan
FAKTOR PENDUKUNG PELAKSANAAN CDOB

Faktor Lain : Pengangkutan

Mengawasi peralatan dan lokasinya

Catatan pengawasan suhu

Kontrol penggunaan bahan-bahan dingin

Alur pemetaan suhu

Kontrak transport dan audit


•APA : - Mengucapkan Sumpah Apoteker
Kep. Menkes No.
• Apoteker Pengganti :
1332/Menkes/SK/2002
•APA tidak ditempat > 3 bulan terus
tentang
menerus
Perubahan atas
•Bukan APA Apotek lain
Per. MenKes No.
• Apoteker Pendamping :
922/MenKes/Per/X/1993
• Apoteker yang bekerja di Apotek
tentang
disamping APA dan / atau menggantinya
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian
pada jam tertentu
Ijin Apotik
• Apoteker di Apotek dapat dinyatakan
sebagai Masa Bakti Apoteker
Per Men Kes no
• AA : - Memiliki SIK
889/Menkes/Per/V/2011 tentang
- Melakukan pekerjaan
Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja 17
kefarmasian
Tenaga Kefarmasian
Dalam rangka
meningkatkan dan memperluas
akses masyarakat dalam memperoleh
obat dan meningkatkan pelayanan
kefarmasian

MENKES PERMENKES NO:284/MENKES/PER/III/2007


TENTANG APOTEK RAKYAT
DEFINISI
APOTEK RAKYAT
Limpahkan ADALAH SARANA KESEHATAN TEMPAT
DinKes Kab/Kota DILAKSANAKANNYA PELAYANAN
KEFARMASIAN DIMANA DILAKUKAN
PENYERAHAN OBAT DAN PERBEKALAN
KESEHATAN DAN TIDAK MELAKUKAN
PERACIKAN
Periksa
DinKes Kab/Kota 2017 :PERMENKES
Atau BB/BPOM NO:284/MENKES/PER/III/2007
TENTANG APOTEK RAKYAT
PENGERTIAN TENTANG
PEDAGANG BESAR FARMASI ( PBF )

PEDAGANG BESAR
FARMASI ( PBF )

Permenkes 918/1993
Permenkes 918/1993 ttg
ttg PBF
PBF yg
yg UU No. 5 thn 1997 yg mengatur ttg
Diperbarui dg
Diperbarui dg Permenkes
Permenkes Psikotropika
1191/2002, 1148/2009
1191/2002, 1148/2009 dandan PBF adalah
34/2014 adalah
34/2014 adalah Badan
Badan Hukum
Hukum Prshn Berbadan Hukum
PT atau
PT atau Koperasi
Koperasi yg memiliki Izin untuk melakukan
yg memiliki
yg memiliki izin
izin untuk
untuk kegiatan Penyaluran sediaan farmasi
pengadaan ,penyimpanan,
pengadaan ,penyimpanan, termasuk psikotropika dan alat
penyaluran perbekalan
penyaluran perbekalan farmasi
farmasi kesehatan
dalam jumlah
dalam jumlah besar
besar
sesuai ketentuan
sesuai ketentuan per
per uu
uu an
an yang
yang
berlaku.
berlaku.
pel.insp.dist.obat / 05 - 2004 / tp
PENGERTIAN TENTANG
PEDAGANG BESAR FARMASI ( PBF )

PEDAGANG BESAR
FARMASI ( PBF )

PEDAGANG BESAR PEDAGANG BESAR FARMASI


BAHAN BAKU FARMASI OBAT JADI

PT
BENTUK
Permenkes 918/1998,
BADAN
1191/2002, 1148/2009,
USAHA KOPERASI
34/2014

pel.insp.dist.obat / 05 - 2004 / tp
PEDAGANG BESAR 1. PENANGGUNGJAWAB
FARMASI ( PBF ) - APOTEKER BEKERJA PENUH
2. BANGUNAN
- R. ADMINISTRASI
- LABORATORIUM & KELENGKAPANNYA
PEDAGANG BESAR - GUDANG & KELENGKAPANNYA
BAHAN BAKU FARMASI > GUDANG DINGIN (TERMOMETER
DIKALIBRASI )
> PALET
> PEMADAM API (MASIH VALID)
3. KOMODITI
PARTAI ECERAN **
- BAHAN BERKHASIAT ( ACTIVE PHARMA-
CEUTICAL INGREDIENTS – API )
> INDUSTRI : FARMASI, MAKMIN,
KOSMETIKA , OBAT HEWAN ( VETE-
TENDER REGULER RINARY ).
- BAHAN PENOLONG
> S.D.A TERMASUK PABRIK OBAT TRA-
21
DISIONAL
pel.insp.dist.obat / 05 - 2004 / tp
PEDAGANG BESAR
FARMASI ( PBF ) 4. LAIN-LAIN
- , BAHAN BAKU PSIKOTROPIKA,
PREKURSOR DAN OBAT NARKOTIKA,
DIBUTUHKAN IZIN IMPOR TERMASUK
PEDAGANG BESAR BAHAN BAKU OBAT
BAHAN BAKU FARMASI - BAHAN BAKU OBAT HARUS DISERTAI
CERTIFICATE OF ANALYSA –(CoA)
- PBBBO IMPORTIR HARUS MENYIMPAN
CoA.
- PEMBELI HARUS DIBERI KOPI CoA
PARTAI ECERAN **
- BAHAN BAKU DIJUAL DALAM WADAH
ASLI.
- PBBBO YANG AKAN MENJUAL ECERAN
HARUS MENDAPAT IZIN KHUSUS.
TENDER REGULER - KUALITAS BAHAN BAKU YANG DIJUAL
PHARMACETICAL GRADE ATAU FOOD
GRADE DAN BUKAN TECHNICAL
GRADE
pel.insp.dist.obat / 05 - 2004 / tp
1. PENANGGUNGJAWAB
PEDAGANG BESAR
- Apt YG BEKERJA PENUH
FARMASI ( PBF )
2. BANGUNAN
- R. ADMINISTRASI
- GUDANG & KELENGKAPANNYA PEDAGANG
PEDAGANG BESAR
BESAR FARMASI
FARMASI
> GUDANG DINGIN ( BILA PERLU ) OBAT
OBAT JADI
JADI
> PALET
> PEMADAM API (MASIH VALID)

3. KOMODITI
- OBAT, PERBEKALAN FARMASI KECUALI PARTAI
PARTAI
JAMU YANG BERASAL DARI
SIMPLISIA.
- PENYALURAN OBAT PSIKOTROPIKA
HARUS DILAPORKAN KE BADAN POM. TENDER
TENDER REGULER
- PENYALURAN OBAT NARKOTIKA HANYA
OLEH PT. KIMIA FARMA.
PEDAGANG BESAR
- PENYALURAN OBAT KERAS HANYA
FARMASI ( PBF )
KPD PIHAK YANG BERWENANG
MENERIMA- NYA.
- PENYIMPANAN VAKSIN HRS
MEMENUHI KETENTUAN “COLD PEDAGANG BESAR FARMASI
CHAIN”. OBAT JADI

4. LAIN-LAIN
- OBAT JADI DIJUAL DALAM
KEMASAN ASLI ( BUKAN ECERAN
.- TETAPI MEMPERTAHANKAN PARTAI
PRINSIP “QUALITY ASSURANCE”.
- PBF TIDAK DILARANG MENJUAL
OBAT KELUAR PROVINSI, KECUALI
UNTUK OBAT NARKOTIKA. TENDER REGULER
- PENDISTRIBUSIAN OBAT
PSIKOTROPIKA DAN NARKOTIKA
HARUS DILAPORKAN.
PENGERTIAN TENTANG
PEDAGANG BESAR FARMASI ( PBF )

PEDAGANG BESAR
FARMASI ( PBF )

PEDAGANG BESAR PEDAGANG BESAR FARMASI


BAHAN BAKU OBAT OBAT JADI

BAHAN BAKU OBAT OBAT JADI

Vaksin,serum, PERBEKALAN FARMASI


BAHAN BAHAN albumin
PRODUK BIOLOGI *
BERKHASIAT PENOLONG
OBAT NARKOTIKA **

KOMODITI
pel.insp.dist.obat / 05 - 2004 / tp
PBF PENYALUR VAKSIN
PERSYARATAN TAMBAHAN : PEDAGANG BESAR
FARMASI ( PBF )
1. KEPMENKES nomor 02049/A/SK/
AP/VII/87 TGL. 7 JULI 1987, penya-
luran vaksin untuk sarana pelayanan
kesehatan dan praktek dokter.
PEDAGANG BESAR FARMASI
2. SE Dirjen POM no. 02659/A/VII/1988 OBAT JADI
tgl. 18 Juli 1988 , petunjuk pelaksana
an vaksin untuk sarana pelayanan &
praktek dokter komoditi
3. SK Ka Badan POM Tentang CDOB

4.Mempunyai perlengkapan yang dapat


mempertahankan “cold chain” seperti O B A T J A DI
> lemari / ruang pendingin
PERBEKALAN FARMASI
> ice pack, dry ice & sejenisnya
> termometer terkalibrasi PRODUK BIOLOGI *
> TTM (Tiny thermometer monitor)
> sistim penjagaan temperatur, OBAT NARKOTIKA **
termasuk sistim alarm.
untuk vaksin beku atau cair
pel.insp.dist.obat / 05 - 2004 / tp

PROSES PEMBUATAN VAKSIN & PERLENGKAPAN PENUNJANGNYA

PAKAIAN KERJA CPOB-PRODUKSI VAKSIN PEMERIKSAAN FISIK PENGUJIAN MUTU

RUANG PENYIMPANAN PERSYARATAN KONDISI MONITOR TEMPERATUR TEMPERATURE CHART

RETAINED SAMPLE ICE PACK TTM=TINY TEMP.MONITOR KOTAK PENGANGKUT


PROSES PERJALANAN PRODUK VAKSIN

PABRIK VAKSIN PBF

APOTIK

MUTU VAKSIN SANGAT TERGANTUNG PADA ASPEK PEMBUATAN,


ASPEK PENDISTRIBUSIAN DAN ASPEK PENGGUNA
pel.insp.dist.obat / 05 - 2004 / tp
1. Mempunyai catatan
monitoring
temperatur.

2. Mempunyai termometer
yang telah dikalibrasi
dengan bukti
kalibrasinya.

3. Dilengkapi alarm yang


memberi peringatan pada
suhu kritis.

4. Dilengkapi dengan “temperatur


chart” yang dapat memberi
informasi bahwa vaksin tidak
pernah mengalami suhu yang
merusak mutunya.

5. Mempunyai generator otomatis

6. Mempunyai petugas khusus yang menangani


vaksin
OBAT HARUS MENDAPATKAN PENANGANAN
KONDISI SESUAI DENGAN YANG DISYARATAN
BAGI OBAT TERSEBUT SEJAK DIBUAT
SAMPAI DENGAN IA BERADA DITANGAN PASIEN

COLD CHAIN ADALAH PERSYARATAN


AGAR VAKSIN SELALU MEMENUHI
PERSYARATAN MUTU

pel.insp.dist.obat / 05 - 2004 / tp
VALIDASI DISTRIBUSI COLD CHAIN

Setiap pengapalan barang antar negara


dan dalam negara yang wilayah geografis
nya luas, harus diperlakukan secara
khusus dalam hal pengaturan rentang
suhu yang tepat sebagaimana mestinya
KEKURANGAN COLD-CHAIN

Temuan : ditemukan adanya vaksin


yang Mengendap .
Penelitian menunjukkan bahwa
kemasan vial tidak disegel sehingga
vaksin membeku karena
bersentuhan langsung dengan es
pada saat pengiriman .
1.Vaksin BCG Kering :
Disimpan pada suhu 2 – 8 oC
Lebih baik dalam freezer.
Pengangkutan dalam keadaan dingin
(2 -8 oC) dan terhindar dari sinar
matahari langsung/tidak langsung.

2.Vaksin Jerap DifteriTetanus


CARA Disimpan dan ditransportasikan pada
PENYIMPANAN : suhu 2 – 8 oC.
VAKSIN PROGRAM Tidak boleh dibekukan.
IMMUNISASI
Daluwarsa : 2 tahun

3. Vaksin Jerap Difteri Tetanus Pertusis :


Disimpan dan ditransportasikan pada
suhu 2 – 8 oC
Tidak boleh dibekukan
Daluarsa : 2 tahun
4.Vaksin Jerap Tetanus :
Disimpan dan ditransportasikan pada
suhu 2 – 8 oC.
Tidak boleh dibekukan
Daluwarsa : 2 tahun
5. Vaksin Polio Oral :
Jika disimpan pada suhu -20 oC atau lebih
CARA rendah, potensi vaksin sesuai yang tertera
PENYIMPANAN : pada vial di atas sampai masa daluarsa.
VAKSIN PROGRAM
Tidak boleh disimpan pada suhu 2 – 8 o C
IMMUNISASI
selama periode waktu tidak lebih dari 6
bulan.Bila vaksin sudah dibuka dan disimpan
pada
suhu 2 – 8 oC potensi bertahan 7 hari
Daluwarsa tergantung dari penyimpanan :
a. - 20 oC daluwarsa : 2 tahun
Pel.ins.dist.obat / 05-2004 / tp
b. 2 – 8 oC daluwarsa : 6 bulan
6. Vaksin Campak Kering :
Disimpan pada suhu dibawah 8 oC (kalau
memungkinkan < 0 oC) sampai ketika
vaksin akan digunakan. Tingkat stabilitas akan
lebih baik jika vaksin (bukan pelarut) disimpan
pada suhu – 20 oC.
Pelarut tidak boleh dibekukan tetapi disimpan
pada kondisi sejuk sampai dengan ketika akan
CARA
digunakan.
PENYIMPANAN : Vaksin harus terlindung dari matahari.
VAKSIN PROGRAM Daluarsa : 2 tahun.
IMMUNISASI
7. Vaksin Hepatitis B Rekombinan
Disimpan pada suhu 2-8 oC
Daluwarsa : 26 bulan
8. Vaksin DTwP/HB 5 µg
Disimpan pada suhu 2 – 8 oC dan
jangan sampai beku
CONTOH TEMUAN PELANGGARAN (ADMINISTRASI DAN
PIDANA) DISTRIBUSI OBAT
PBF APOTIK TOKO OBAT
• Menjual obat keras • Menjual obat keras
 Menyalurkan obat keras
kepada pihak yang tidak tanpa resep, tidak • Melayani resep
memiliki kewenangan dengan sepengetahuan dokter
hukum secara langsung • Menjual obat palsu
maupun tidak langsung Apoteker pengelola
dengan bekerjasama apotik • Menjual obat tidak
dengan Industri Farmasi – terdaftar
• Menjual obat keras
PBF lain – Apotik • Tidak memiliki ijin
kepada yang tidak
 Menyalurkan obat palsu berhak dengan Meracik obat
 Menyalurkan obat yang bekerjasama dengan • Administrasi tidak
tidak terdaftar Industri Farmasi dan tertib
 Pindah lokasi tanpa ijin PBF (sistem panel) • Tidak memiliki
asisten apoteker
 Dokumentasi tidak tertib • Ditemukan obat exp
penanggung jawab
date dan obat tidak
 Tidak melaporkan laporan • Pengadaan /
triwulan selama 3 tahun terdaftar
Penyaluran
berturut-turut / tidak aktif • Pengadaan obat dari narkotika
dalam waktu 1 tahun sumber tidak sesuai • Pengadaan / 36
 Khusus PBF BBO tidak • Administrasi penyaluran
mempunyai lab./peralatan psikotropika
atau lab tidak memadai pengelolaan tidak tertib
SANKSI ADMINISTRATIF
Pemerintah berwenang
mengambil
tindakan administratif terhadap

Sarana kesehatan
Tenaga kesehatan
yaitu berupa pencabutan izin
atau izin lain yang diberikan

37
SANKSI PIDANA
 Ordonansi Obat Keras (St. 1949 No. 419)
 UU No. 1/1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana (KUHP)
 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan
 UU No. 5/1997 tentang Psikotropika
 UU No. 35/2009
 tentang Narkotika
 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen
 PP No. 72/1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan
38
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.74, 2015 KEMENKES. Narkotika. Psikotropika. Prekursor
Farmasi. Pelaporan. Pemusnahan.
Penyimpanan. Peredaran. Pencabutan.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 3 TAHUN 2015
TENTANG
PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN PELAPORAN
NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR FARMASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


28/Menkes/Per/I/1978 tentang Penyimpanan
Narkotika, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran
Psikotropika, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
912/Menkes/Per/VIII/1997 tentang Kebutuhan
Tahunan dan Pelaporan Psikotropika perlu
disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan
hukum;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 14 ayat (3), Pasal 36 ayat (2), Pasal
42, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, dan Pasal 9 ayat (3), Pasal 14
ayat (6) dan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang

www.peraturan.go.id
2015, No.74 2

Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan


Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3671);
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5062);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5072);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3781);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang
Prekursor (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5126);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5419);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5533);

www.peraturan.go.id
3 2015, No.74

10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


1144/Menkes/Per/lll/2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 35 Tahun 2013 (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 741);
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
721) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2013 (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 442);
12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar
Farmasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 370) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
585);
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2013
tentang Impor dan Ekspor Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 178);
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014
tentang Klinik (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 232);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN
PELAPORAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN
PREKURSOR FARMASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

www.peraturan.go.id
2015, No.74 4

menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-


golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang
Narkotika.
2. Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku.
3. Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia
yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan
proses produksi industri farmasi atau produk antara, produk ruahan,
dan produk jadi yang mengandung ephedrine, pseudoephedrine,
norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine, atau
Potasium Permanganat.
4. Penyaluran adalah setiap kegiatan distribusi Narkotika, Psikotropika
dan Prekursor Farmasi dalam rangka pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan.
5. Penyerahan adalah setiap kegiatan memberikan narkotika,
psikotropika dan prekursor farmasi, baik antar penyerah maupun
kepada pasien dalam rangka pelayanan kesehatan.
6. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan
obat.
7. Pedagang Besar Farmasi yang selanjutnya disingkat PBF adalah
perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk
pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat
dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
8. Instalasi Farmasi Pemerintah adalah sarana tempat menyimpan dan
menyalurkan sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah,
baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha
Milik Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan, yang dalam
Undang-Undang mengenai Narkotika dan Psikotropika disebut Sarana
Penyimpanan Sediaan Farmasi Pemerintah.
9. Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah unit pelaksana fungsional yang
menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah
Sakit.
10. Instalasi Farmasi Klinik adalah bagian dari klinik, yang dalam
Undang-Undang mengenai Narkotika dan Psikotropika disebut Balai
Pengobatan, yang bertugas menyelenggarakan, mengoordinasikan,

www.peraturan.go.id
5 2015, No.74

mengatur, dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta


melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian.
11. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan
praktek kefarmasian oleh Apoteker.
12. Toko Obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat-
obat bebas dan obat-obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran.
13. Lembaga Ilmu Pengetahuan adalah lembaga pendidikan dan pelatihan
serta lembaga penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan
oleh pemerintah ataupun swasta yang dapat menggunakan narkotika,
psikotropika, dan prekursor farmasi untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
14. Importir Terdaftar Psikotropika yang selanjutnya disingkat IT
Psikotropika adalah pedagang besar farmasi yang mendapat izin
untuk mengimpor psikotropika guna didistribusikan kepada industri
farmasi dan lembaga ilmu pengetahuan sebagai pengguna akhir
psikotropika.
15. Importir Terdaftar Prekursor Farmasi yang selanjutnya disingkat IT
Prekursor Farmasi adalah pedagang besar farmasi yang mendapat izin
untuk mengimpor prekursor farmasi guna didistribusikan kepada
industri farmasi dan lembaga ilmu pengetahuan sebagai pengguna
akhir prekursor farmasi.
16. Kepala Balai adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis di lingkungan
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
17. Kepala Badan adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian
yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan obat dan makanan.
18. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian
Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan
kefarmasian dan alat kesehatan.
19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang kesehatan.
Pasal 2
Pengaturan peredaran, penyimpanan, pemusnahan dan pelaporan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam Peraturan Menteri
ini meliputi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi untuk
kepentingan pelayanan kesehatan atau pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.

www.peraturan.go.id
2015, No.74 6

BAB II
PEREDARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
Peredaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi terdiri dari
Penyaluran dan Penyerahan.
Pasal 4
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus
memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.
Pasal 5
(1) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat
jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari
Menteri.
(2) Untuk mendapatkan izin edar Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara untuk mendapat izin edar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 6
(1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika dan PBF atau
Instalasi Farmasi Pemerintah yang menyalurkan Narkotika wajib
memiliki izin khusus dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Izin khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Izin Khusus Produksi Narkotika;
b. Izin Khusus Impor Narkotika; atau
c. Izin Khusus Penyaluran Narkotika.
(3) Lembaga Ilmu Pengetahuan yang memperoleh, menanam,
menyimpan, dan menggunakan Narkotika dan/atau Psikotropika
untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memiliki
izin dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

www.peraturan.go.id
7 2015, No.74

Pasal 7
Peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi yang digunakan dalam
program terapi dan rehabilitasi medis dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Penyaluran
Paragraf 1
Umum
Pasal 8
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib
memenuhi Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
(1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya
dapat dilakukan berdasarkan:
a. surat pesanan; atau
b. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk
pesanan dari Puskesmas.
(2) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya
dapat berlaku untuk masing-masing Narkotika, Psikotropika, atau
Prekursor Farmasi.
(3) Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis
Narkotika.
(4) Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat
digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau
Prekursor Farmasi.
(5) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
harus terpisah dari pesanan barang lain.
Paragraf 2
Penyaluran Narkotika Golongan I
Pasal 10
(1) Penyaluran Narkotika Golongan I hanya dapat dilakukan oleh
perusahaan PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor
Narkotika kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk untuk
kebutuhan laboratorium.

www.peraturan.go.id
2015, No.74 8

(2) Penyaluran Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya


dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker
penanggung jawab dan/atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir
1 terlampir.
Paragraf 3
Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi Dalam Bentuk Bahan Baku
Pasal 11
(1) Penyaluran Narkotika dalam bentuk bahan baku hanya dapat
dilakukan oleh perusahaan PBF milik Negara yang memiliki Izin
Khusus Impor Narkotika kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga
Ilmu Pengetahuan.
(2) Penyaluran Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker
penanggung jawab produksi dan/atau Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 1 terlampir.
Pasal 12
(1) Penyaluran Psikotropika dalam bentuk bahan baku hanya dapat
dilakukan oleh PBF yang memiliki izin sebagai IT Psikotropika kepada
Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
(2) Penyaluran Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker
penanggung jawab produksi dan/atau Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 2 terlampir.
Pasal 13
(1) Penyaluran Prekursor Farmasi berupa zat/bahan pemula/bahan
kimia atau produk antara/produk ruahan hanya dapat dilakukan
oleh PBF yang memiliki izin IT Prekursor Farmasi kepada Industri
Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
(2) Penyaluran Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari
Apoteker penanggung jawab produksi dan/atau Kepala Lembaga
Ilmu Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 3 terlampir.

www.peraturan.go.id
9 2015, No.74

Paragraf 4
Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi Dalam Bentuk Obat Jadi
Pasal 14
(1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan oleh:
a. Industri Farmasi kepada PBF dan Instalasi Farmasi Pemerintah;
b. PBF kepada PBF lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan;
c. PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika
kepada Industri Farmasi, untuk penyaluran Narkotika;
d. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi
Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik
Pemerintah, dan Instalasi Farmasi Tentara Nasional Indonesia
atau Kepolisian; dan
e. Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi Farmasi
Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik
milik Pemerintah Daerah, dan Puskesmas.
(2) Selain kepada PBF lainnya, Apotek, Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, PBF dapat menyalurkan Prekursor Farmasi
golongan obat bebas terbatas kepada Toko Obat.
Pasal 15
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi oleh Industri Farmasi kepada PBF hanya dapat
dilakukan oleh Industri Farmasi pemilik izin edar.
Pasal 16
(1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan
dari Apoteker penanggung jawab atau Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan untuk kebutuhan penelitian dan pengembangan, dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 1,
Formulir 2 dan Formulir 4 terlampir.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
untuk penyaluran kepada Instalasi Farmasi Pemerintah, surat
pesanan dapat ditandatangani oleh Apoteker yang ditunjuk.

www.peraturan.go.id
2015, No.74 10

(3) Dalam hal penyaluran Prekursor Farmasi dari PBF kepada Toko Obat,
hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Tenaga
Teknis Kefarmasian dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 4 terlampir.
Pasal 17
(1) Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang
dilakukan oleh Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi
Pemerintah harus dilengkapi dengan:
a. surat pesanan;
b. faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat:
1. nama Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi;
2. bentuk sediaan;
3. kekuatan;
4. kemasan;
5. jumlah;
6. tanggal kadaluarsa; dan
7. nomor batch.
(2) Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan melalui jasa
pengangkutan hanya dapat membawa Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi sesuai dengan jumlah yang tecantum dalam surat
pesanan, faktur, dan/atau surat pengantar barang yang dibawa pada
saat pengiriman.
Bagian Ketiga
Penyerahan
Paragraf 1
Umum
Pasal 18
(1) Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya
dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi.
(2) Dalam hal Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan kepada pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker di
fasilitas pelayanan kefarmasian.
(3) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara
langsung sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian.

www.peraturan.go.id
11 2015, No.74

(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


penyerahan Prekursor Farmasi yang termasuk golongan obat bebas
terbatas di Toko Obat dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian.
Paragraf 2
Penyerahan Narkotika dan Psikotropika
Pasal 19
(1) Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan
oleh:
a. Apotek;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik; dan
e. dokter.
(2) Apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat
menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada:
a. Apotek lainnya;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat dilakukan
untuk memenuhi kekurangan jumlah Narkotika dan/atau
Psikotropika berdasarkan resep yang telah diterima.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berdasarkan
surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Apoteker
penanggung jawab dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 5 terlampir.
(5) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi
Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau
Psikotropika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
Pasal 20
(1) Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh Apotek kepada Dokter
hanya dapat dilakukan dalam hal:

www.peraturan.go.id
2015, No.74 12

a. dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan


Narkotika dan Psikotropika melalui suntikan; dan/atau
b. dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang
tidak ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berdasarkan
surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh dokter yang
menangani pasien dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 6 terlampir.
Pasal 21
(1) Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh dokter kepada pasien
hanya dapat dilakukan dalam hal:
a. dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan
Narkotika dan Psikotropika melalui suntikan;
b. dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
memberikan Narkotika melalui suntikan;
c. dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
memberikan Psikotropika; atau
d. dokter menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada
Apotek berdasarkan surat penugasan dari pejabat yang
berwenang.
(2) Surat penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
termasuk sebagai izin penyimpanan Narkotika dan Psikotropika untuk
keperluan pengobatan.
Paragraf 3
Penyerahan Prekursor Farmasi
Pasal 22
(1) Penyerahan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan oleh:
a. Apotek;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter; dan
f. Toko Obat.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat
keras kepada:

www.peraturan.go.id
13 2015, No.74

a. Apotek lainnya;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi
Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi
golongan obat keras kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat keras sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat
dilakukan untuk memenuhi kekurangan jumlah Prekursor Farmasi
golongan obat keras berdasarkan resep yang telah diterima.
(5) Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh
Apotek kepada Apotek lainnya, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah
Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, dan Toko Obat hanya dapat dilakukan
untuk memenuhi kekurangan kebutuhan harian Prekursor Farmasi
golongan obat bebas terbatas yang diperlukan untuk pengobatan.
(6) Penyerahan Prekursor Farmasi oleh Apotek kepada dokter hanya
dapat dilakukan apabila diperlukan untuk menjalankan tugas/praktik
di daerah terpencil yang tidak ada Apotek atau sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), ayat
(5), dan ayat (6) harus berdasarkan surat permintaan tertulis
yang ditandatangani oleh Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian
penanggung jawab atau dokter yang menangani pasien dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7,
Formulir 8, dan Formulir 9 terlampir.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas
oleh Apotek kepada Toko Obat, hanya dapat dilakukan
berdasarkan surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh
Tenaga Teknis Kefarmasian dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 8 terlampir.
(3) Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas
kepada pasien harus memperhatikan kerasionalan jumlah yang
diserahkan sesuai kebutuhan terapi berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

www.peraturan.go.id
2015, No.74 14

BAB III
PENYIMPANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 24
Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di
fasilitas produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian
harus mampu menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
Pasal 25
(1) Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus.
(2) Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk
menyimpan barang selain Narkotika.
(3) Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk
menyimpan barang selain Psikotropika.
(4) Tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku
dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Prekursor
Farmasi dalam bentuk bahan baku.
Pasal 26
(1) Gudang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang
dilengkapi dengan pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci
yang berbeda;
b. langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi;
c. jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji
besi;
d. gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker
penanggung jawab; dan
e. kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan
pegawai lain yang dikuasakan.
(2) Ruang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat;
b. jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji
besi;

www.peraturan.go.id
15 2015, No.74

c. mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;


d. kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan;
dan
e. tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker
penanggung jawab/Apoteker yang ditunjuk.
(3) Lemari khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. terbuat dari bahan yang kuat;
b. tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci
yang berbeda;
c. harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk
Instalasi Farmasi Pemerintah;
d. diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum,
untuk Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas,
Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan ; dan
e. kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
Pasal 27
Penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
wajib memenuhi Cara Produksi Obat yang Baik, Cara Distribusi
Obat yang Baik, dan/atau standar pelayanan kefarmasian sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Penyimpanan Narkotika atau Psikotropika
Pasal 28
(1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika harus memiliki tempat
penyimpanan Narkotika berupa gudang khusus, yang terdiri atas:
a. gudang khusus Narkotika dalam bentuk bahan baku; dan
b. gudang khusus Narkotika dalam bentuk obat jadi.
(2) Gudang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam
penguasaan Apoteker penanggung jawab.
Pasal 29
(1) Industri Farmasi yang memproduksi Psikotropika harus memiliki
tempat penyimpanan Psikotropika berupa gudang khusus atau ruang
khusus, yang terdiri atas:

www.peraturan.go.id
2015, No.74 16

a. gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk


bahan baku; dan
b. gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk
obat jadi.
(2) Gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berada dalam penguasaan Apoteker penanggung jawab.
Pasal 30
(1) PBF yang menyalurkan Narkotika harus memiliki tempat
penyimpanan Narkotika berupa gudang khusus.
(2) Dalam hal PBF menyalurkan Narkotika dalam bentuk bahan baku
dan obat jadi, gudang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus terdiri atas:
a. gudang khusus Narkotika dalam bentuk bahan baku; dan
b. gudang khusus Narkotika dalam bentuk obat jadi.
(3) Gudang khusus untuk tempat penyimpanan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berada dalam penguasaan
Apoteker penanggung jawab.
Pasal 31
(1) PBF yang menyalurkan Psikotropika harus memiliki tempat
penyimpanan Psikotropika berupa gudang khusus atau ruang
khusus.
(2) Dalam hal PBF menyalurkan Psikotropika dalam bentuk bahan baku
dan obat jadi, gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus terdiri atas:
a. gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk
bahan baku; dan
b. gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk
obat jadi.
(3) Gudang khusus atau ruang khusus untuk tempat penyimpanan
Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berada
dalam penguasaan Apoteker penanggung jawab.
Pasal 32
(1) Instalasi Farmasi Pemerintah yang menyimpan Narkotika atau
Psikotropika harus memiliki tempat penyimpanan Narkotika atau
Psikotropika berupa ruang khusus atau lemari khusus.
(2) Ruang khusus atau lemari khusus tempat penyimpanan Narkotika
atau Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam
penguasaan Apoteker penanggung jawab atau Apoteker yang ditunjuk.

www.peraturan.go.id
17 2015, No.74

Pasal 33
(1) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi
Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan harus memiliki tempat
penyimpanan Narkotika atau Psikotropika berupa lemari khusus.
(2) Lemari khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam
penguasaan Apoteker penanggung jawab.
Pasal 34
Dokter praktik perorangan yang menggunakan Narkotika atau
Psikotropika untuk tujuan pengobatan harus menyimpan Narkotika atau
Psikotropika di tempat yang aman dan memiliki kunci yang berada di
bawah penguasaan dokter.
Bagian Ketiga
Penyimpanan Prekursor Farmasi
Pasal 35
(1) Industri Farmasi yang menggunakan Prekursor Farmasi dalam bentuk
bahan baku untuk memproduksi Prekursor Farmasi atau PBF yang
menyalurkan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku harus
memiliki tempat penyimpanan Prekursor Farmasi berupa gudang
khusus atau ruang khusus.
(2) Gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berada dalam penguasaan Apoteker penanggung jawab.
Pasal 36
(1) Industri Farmasi yang memproduksi Prekursor Farmasi dalam bentuk
obat jadi, PBF yang menyalurkan Prekursor Farmasi dalam bentuk
obat jadi, atau Instalasi Farmasi Pemerintah harus menyimpan
Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi dalam gudang
penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko.
(2) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan harus menyimpan Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi di tempat penyimpanan obat yang
aman berdasarkan analisis risiko.
BAB IV
PEMUSNAHAN
Pasal 37
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya
dilakukan dalam hal:
a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku
dan/atau tidak dapat diolah kembali;

www.peraturan.go.id
2015, No.74 18

b. telah kadaluarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan
dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa
penggunaan;
d. dibatalkan izin edarnya; atau
e. berhubungan dengan tindak pidana.
Pasal 38
(1) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a
sampai dengan huruf d dilaksanakan oleh Industri Farmasi, PBF,
Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah
Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan,
Dokter atau Toko Obat.
(2) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang memenuhi
kriteria pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
huruf a sampai dengan huruf d yang berada di Puskesmas harus
dikembalikan kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah
setempat.
(3) Instalasi Farmasi Pemerintah yang melaksanakan pemusnahan
harus melakukan penghapusan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah.
(4) Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
yang berhubungan dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 huruf e dilaksanakan oleh instansi pemerintah
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 39
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus
dilakukan dengan:
a. tidak mencemari lingkungan; dan
a. tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
Pasal 40
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:
a. penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan
menyampaikan surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada:

www.peraturan.go.id
19 2015, No.74

1. Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan,


bagi Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat;
2. Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas
Obat dan Makanan setempat, bagi Importir, Industri Farmasi,
PBF, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau Instalasi Farmasi
Pemerintah Provinsi; atau
3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai
Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi
Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi
Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau Toko Obat.
b. Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas
Kesehatan Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan
setempat, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan petugas
di lingkungannya menjadi saksi pemusnahan sesuai dengan surat
permohonan sebagai saksi.
c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf b.
d. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan
baku, produk antara, dan produk ruahan harus dilakukan sampling
untuk kepentingan pengujian oleh petugas yang berwenang sebelum
dilakukan pemusnahan.
e. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat
jadi harus dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh
saksi sebelum dilakukan pemusnahan.
Pasal 41
Dalam hal Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
dilakukan oleh pihak ketiga, wajib disaksikan oleh pemilik Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dan saksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 huruf b.
Pasal 42
(1) Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan
yang melaksanakan pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi harus membuat Berita Acara Pemusnahan.
(2) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
paling sedikit memuat:
a. hari tanggal bulan dan tahun pemusnahan;
b. tempat pemusnahan;

www.peraturan.go.id
2015, No.74 20

c. nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas


distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan
lembaga/dokter praktik perorangan;
d. nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain
badan/sarana tersebut;
e. nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
yang dimusnahkan;
f. cara pemusnahan; dan
g. tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas
distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/
dokter praktik perorangan dan saksi.
(3) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada
Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 10 terlampir.
BAB V
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pencatatan
Pasal 43
(1) Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek,
Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau dokter praktik perorangan yang
melakukan produksi, Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib membuat pencatatan
mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi.
(2) Toko Obat yang melakukan penyerahan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan
dan/atau pengeluaran Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi.
(3) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling
sedikit terdiri atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan;
c. tanggal nomor dokumen dan sumber penerimaan
d. jumlah yang diterima;

www.peraturan.go.id
21 2015, No.74

e. tanggal nomor dokumen dan tujuan penyaluran/penyerahan;


f. jumlah yang disalurkan/diserahkan;
g. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau
penyaluran/penyerahan; dan
h. paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
(4) Pencatatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) harus dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan
dokumen penyaluran termasuk dokumen impor, dokumen ekspor
dan/atau dokumen penyerahan.
Pasal 44
Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen
penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib disimpan secara
terpisah paling singkat 3 (tiga) tahun.
Bagian Kedua
Pelaporan
Pasal 45
(1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan
laporan produksi dan penyaluran produk jadi Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi setiap bulan kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan Kepala Badan.
(2) PBF yang melakukan penyaluran Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi wajib membuat,
menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat
jadi setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan
tembusan Kepala Badan/Kepala Balai.
(3) Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan.
(4) Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah wajib membuat, menyimpan,
dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/Kota setempat
dengan tembusan kepada Kepala Balai setempat.
(5) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4) paling sedikit terdiri atas:

www.peraturan.go.id
2015, No.74 22

a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,


dan/atau Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. tanggal nomor dokumen dan sumber penerimaan;
d. jumlah yang diterima;
e. tanggal nomor dokumen dan tujuan penyaluran;
f. jumlah yang disalurkan; dan
g. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran
dan persediaan awal dan akhir.
(6) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib
membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan
penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika, setiap bulan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan
Kepala Balai setempat.
(7) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling sedikit terdiri
atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. jumlah yang diterima; dan
d. jumlah yang diserahkan.
(8) Puskesmas wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan
pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
dan ayat (6) dapat menggunakan sistem pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi secara elektronik.
(10) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
dan ayat (6) disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan
berikutnya.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi diatur oleh Direktur
Jenderal.

www.peraturan.go.id
23 2015, No.74

BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 46
Menteri, Kepala Badan, Kepala Balai, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi,
dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini sesuai dengan
tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
Pasal 47
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenai
sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 48
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, setiap Industri Farmasi,
PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi
Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, atau Lembaga Ilmu Pengetahuan
dalam melakukan penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan/atau
Prekursor Farmasi harus menyesuaikan dengan ketentuan penyimpanan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28/Menkes/Per/I/1978 tentang
Penyimpanan Narkotika;
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 688/Menkes/Per/VII/1997
tentang Peredaran Psikotropika; dan
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 912/Menkes/Per/VIII/1997
tentang Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan Psikotropika,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

www.peraturan.go.id
2015, No.74 24

Pasal 50
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Januari 2015
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

NILA FARID MOELOEK


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA H. LAOLY

www.peraturan.go.id
25 2015, No.74

www.peraturan.go.id
2015, No.74 26

www.peraturan.go.id
27 2015, No.74

www.peraturan.go.id
2015, No.74 28

www.peraturan.go.id
29 2015, No.74

www.peraturan.go.id
2015, No.74 30

www.peraturan.go.id
31 2015, No.74

www.peraturan.go.id
2015, No.74 32

www.peraturan.go.id
33 2015, No.74

www.peraturan.go.id
2015, No.74 34

www.peraturan.go.id
35 2015, No.74

www.peraturan.go.id
2015, No.74 36

www.peraturan.go.id
PENGEMBANGAN INDUSTRI
BAHAN BAKU OBAT
PERTEMUAN XIV

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


1. Apt. Bunga Destiyana M. Farm
2. Apt Dyah Ayuwati Waluyo, M. Farm
Bahan
baku
Bahan aktif obat
Bahan Baku Obat: tambahan

• Bahan aktif Bahan


• Bahan tambahan tambahan

OBAT
Bahan Aktif Obat

Tiap bahan atau campuran bahan yang akan digunakan


dalam pembuatan sediaan farmasi dan apabila
digunakan dalam pembuatan obat menjadi zat aktif
obat tersebut.
Memiliki khasiat farmakologi atau efek langsung lain
dalam diagnosis, penyembuhan, peredaan, pengobatan
atau pencegahan penyakit atau untuk mempengaruhi
struktur dan fungsi tubuh.
(Pedoman CPBBAOB)
Zat tambahan

Suatu bahan, bukan berupa zat aktif, yang telah dievaluasi


dengan benar keamanannya dan termasuk dalam sistem
pengantaran obat (drug delivery system) untuk:
 Membantu dalam memroses sistem pengantaran obat
Selama pembuatan obat tersebut;
 Melindungi, mendukung atau meningkatkan stabilitas obat,
Ketersediaan hayati (bioavailability), atau akseptabilitas
Pasien;
 Membantu identifikasi produk; atau
 Meningkatkan atribut lain yang berkaitan dengan keamanan
Dan efektifitas obat selama penyimpanan atau penggunaan.
(Pedoman CPBBAOB)
KONDISI INDUSTRI FARMASI INDONESIA

Hampir seluruh Industri


farmasi Indonesia merupakan
KELOMPOK INDUSTRI Industri Formulasi
FARMASI GLOBAL *
1. Fully integrated
pharmaceutical company
(FIPCO)
Isu Pokok Bahan Baku:
2. Virtually integrated Lebih dari 96% Bahan Baku Obat (BBO)
pharmaceutical company di Indonesia diimpor*
(VIPCO) Permasalahan:
3. Formulation industry 1.Sangat bergantung pada harga dolar
4. Contract research 2.Terdapat BBO yang tidak memenuhi
organization (CRO) standar pharma grade.
3.Kontinuitas BBO sulit dikontrol.
4.Kesulitan memilih BBO yang memenuhi
standard.
5
5.Produksi BBAO kerap dinilai tidak
Sumber: Ristek (2010) menguntungkan (profitable)
PASAR FARMASI INDONESIA DI DUNIA

2014 RANK 2017 RANK 2020 RANK


UNITED UNITED UNITED
ID Pharmaceutical market sales 1
STATES
1
STATES
1
STATES
(US$, M) 2 CHINA 2 CHINA 2 CHINA
3 JAPAN 3 JAPAN 3 JAPAN
4 GERMANY 4 GERMANY 4 BRAZIL
5 FRANCE 5 BRAZIL 5 VENEZUELA
6 BRAZIL 6 FRANCE 6 GERMANY
7 ITALY 7 ITALY 7 FRANCE
8 UK 8 UK 8 UK
9 CANADA 9 VENEZUELA 9 ITALY
10 SPAIN 10 CANADA 10 INDIA
11 RUSSIAN 11 SPAIN 11 RUSSIAN
12 INDIA 12 INDIA 12 ARGENTINA
13 KOREA 13 RUSSIAN 13 CANADA
14 AUSTRALIA 14 KOREA 14 SPAIN
15 VENEZUELA 15 AUSTRALIA 15 AUSTRALIA
16 MEXICO 16 ARGENTINA 16 KOREA
17 TURKEY 17 MEXICO 17 MEXICO
18 POLAND 18 TURKEY 18 TURKEY
19 BELGIUM 19 POLAND 19 INDONESIA
SWITZERLA
20 20 INDONESIA 20 POLAND
Sumber: IMS Health Midas data N
23 INDONESIA

6
Menjadi 15 besar kekuatan utama TARGET PASAR
industri farmasi pada 2025 dengan FARMASI
nilai pasar Rp. 700 T
INDONESIA
Kebutuhan Obat dari Rencana Kebutuhan Obat Nasional dan Formularium Nasional

1. Mendominasi kebutuhan
pasar nasional
2. Mengoptimalkan
kapasitas produksi
3. Meningkatkan ekspor dan
mengurangi impor
4. Mengembangkan industri
bahan baku obat
5. Mengembangkan industri
bioteknologi
NAMUN, 90% BAHAN BAKU FARMASI DI INDONESIA DIIMPOR, HAL INI
MENUNJUKKAN STRUKTUR INDUSTRI FARMASI YANG BELUM OPTIMAL
(TERBATAS FORMULASI)
R&D dan clinical trial API Formulasi Manufakturing Dist. & Ekspor

Nilai Impor Bahan Baku Farmasi 2014 (juta USD)

Eropa Cina

India
Indonesia

Sumber: Ministry of Trade

Partner utama bahan baku farmasi Indonesia adalah Cina (60%) dan India (30%)
dengan nilai +1.3 milyar USD
MENGAPA KITA PERLU MENGEMBANGKAN
INDUSTRI BBO  PENUNJANG INDUSTRI FARMASI?
Aspek
Aspek Sosial
Ekonomi

Ketersediaan, Kemandirian, Ketahanan


Pengobatan Menghemat
Devisa
Aspek Teknologi

Kontribusi Industri
Potensi Kekayaan Indonesia Menguasai ke GDP &
Untuk Pengobatan Teknologi Perekonomian
Kefarmasian Masyarakat
Tantangan Industri Bahan Aktif Obat
Indonesia (1)

 Proses transfer teknologi dan penyiapan sumber daya /


infrastruktur:
 Multidicipline skills: pakar bidang kimia, mikro, farmasi
dan toksikologi
 Pemilihan teknologi yang digunakan : risk-benefit analisis
efektifitas dan efisiensi

 Proses pemurnian bahan aktif obat dan pembuktian


bahwa impuritas dan sisa pelarut yang digunakan
merupakan parameter yang terkontrol
Tantangan Industri Bahan Aktif Obat
Indonesia (2)

 Industri Kimia Dasar pendukung tidak tersedia


 Persaingan mutu dan harga dengan pemain besar dari luar negeri
 Sertifikat analisis dengan pengujian sesuai dengan kompendial
 Pembuatan DMF yang menjamin mutu BAO yang akan diproduksi
untuk keperluan registrasi produk jadi
 Pembuktian mutu bahan aktif juga dapat berupa pengakuan dengan
sertifikasi, misal: CEP,WHO-PQ dsb
MENUJU INDUSTRI BIDANG FARMASI YANG
TERINTEGRASI (BBO  OBAT JADI)

KONDISI SAAT INI


Impor (API/ Active pharmaceutical Formulasi Manufaktur Distribusi
ingredients - BBO & Eksipien)

MASA DEPAN

Distribusi dan
Formulasi Manufaktur
Ekspor
UJI Inter- API /
R&D KLINIS mediate BBO
1.Kurangnya
industri hulu
2. Kurangnya
7. Kurangnya kebijakan yang
promosi dan berpihak pada
peluang investasi pengembangan
di bidang bahan bahan baku farmasi
baku farmasi dalam negeri

KENDALA DALAM PENGEMBANGAN


BAHAN BAKU FARMASI
6. Kurangnya 3. Kurangnya
pemutakhiran sinergi antar
teknologi stakeholder

4. Belum fokusnya
5. Penelitian belum pengembangan
berorientasi pada yang berorientasi
peningkatan nilai pada
tambah dan pengembangan
optimasi produk di bahan baku
industri farmasi.
PRASYARAT YANG DIBUTUHKAN INDUSTRI BBO / API
PASOKAN BAHAN BAKU YANG PENGUASAAN
SKALA EKONOMI
KOMPETITIF DAN TEKNOLOGI
BERKELANJUTAN
Industri hanya akan Teknologi terbaru
melakukan produksi Biaya komponen menawarkan proses
pada level volume utama berasal dari yang lebih efisien dan
tertentu yang bahan mentah efektif serta ramah
memenuhi nilai lingkungan.
kompetitif

REGULASI DAN INSENTIF DUKUNGAN INVESTASI KUALITAS DAN KUANTITAS SDM

Komitmen pemerintah Perusahaan API baru Ketersediaan SDM


untuk mengeluarkan membutuhkan investasi terutama bio-scientist
regulasi dan insentif setidaknya Rp. 50-200 dan chemical engineers
terutama bagi start up milliar (tergantung jenis merupakan tantangan
industry, termasuk API, kapasitas, dan untuk membangun
untuk industry cluster, teknologi) sehingga Industri API
infrastruktur, insentif pemerintah perlu
pajak, dan komitmen memfasilitasi dukungan
pembelian jangka pembiayaan (penyertaan
modal pada BUMN)
panjang.
PRA-SYARAT PENGEMBANGAN BBO SECARA LOKAL 
KRITERIA EKONOMIS

 Industri Kimia hulu harus mengembangkan bahan antara (intermediate)


 Pengawasan penggunaan bahan kimia agar jangan dipergunakan secara illicit
(prekursor)
 Koordinasi sektor industri hulu dengan sektor industri aplikasi bidang kimia dan
farmasi
 Adanya insentif riset dan penguatan jejaring iptek BBO secara bertahap
 Adanya insentif ekonomi (pajak, kepabeaan)
CONTOH : PENGEMBANGAN BBO
YANG BERASAL DARI ALAM

• Untuk sampai tahap siap uji klinik


diperlukan waktu 8-9 tahun
• Uji klinik dan pengembangan skala industri
3-4 tahun

• Diperlukan waktu sangat lama


• Biaya sangat besar

Perlu teknik inovasi baru yang radikal

High Throughput Screening


(HTS)

Interaksi Biomolekuler antara protein target


reseptor dengan senyawa aktif dlm ekstrak
bahan alam
KRITERIA TEKNOLOGI :
INDUSTRI TERPADU (CONTOH : SUMBERBAHAN ALAM)

BAHAN
BAHAN DASA
DASARR
ALA M
ALA M

meng hasilkan
INDUS TRI BAHAN
BAHAN DASA R
INDUS TRI KI
KIMIA
MIA KIM
DASA
IA
R
DASAR
DASAR KIMIA

diproses

meng hasilkan
INDUS
INDUSTRI
TRI KI
KIMIA
MIA BAHAN
BAHANAN
ANTARA
TARA
AN
ANTARA
TARA KIMIA
KIMIA

diproses

INDUS
INDUS TRI
TRI
KIMIA
KIMIA
LAINNYA
LAINNYA
meng hasilkan
INDUS
INDUSTT
RI
RI BBO
BBO BBO
BBO

diprose
s
dij ual

INDUS
INDUS TRI
TRI PPBBFF EKSPOR
EKSPOR
FAR M ASI
FAR MASI
FOR
FOR MU
MULASI
LASI
IF BBO di Indonesia
Ada 8 Industri Produsen BBO yang telah Ada 9 Industri BBO yang masih dalam proses
tersertifikasi CPBBAOB. BBO yang diproduksi pembangunan/ sertifikasi. BBO yang
a.l: diproduksi a.l:
Bulk vaksin campak Bulk vaksin polio Paracetamol, Acyclovir, Glimepiride,
Bulk vaksin BCG Bulk pertusis Fenofibrate atau Ciprofloxacine
Bulk toksoid difteri Bulk antisera
Bulk toksoid tetanus
Cangkang kapsul gelatin (2 IF) Produk biosimilar (EPO) (2 IF)
Bulk EPO Garam farmasi
Omeprazole beku kering Attapulgit
Garam farmasi natrium klorida Cangkang kapsul
Serbuk steril: Simvastatin, Pantoprazole, Clopidogrel,
Ampicillin Sodium Atorvastatin, Rosuvastatin, Esomeprazole,
Kloksasilin natrium hidrat Rabemeprazole, Saprogelate
Benzil penisilin kalium
Sulbaktam natrium

Garam kina dan turunannya Fraksi protein bioaktif


Serbuk micronized bahan aktif

Paracetamol, Salicylamide, Guafenesin


DASAR HUKUM UPAYA KEMANDIRIAN
BAHAN BAKU SEDIAAN FARMASI
 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
 UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian;  Permenkes No 87 Tahun 2013 tentang Peta Jalan
Pengembangan Bahan Baku Obat;
 PP No 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan,
Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan  Permenkes No 88 Tahun 2013 tentang Rencana
Industri; Induk Pengembangan Bahan Baku Obat
Tradisional;
 PP No 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;  Kepmenkes No 189/Menkes/SK/III/2006 tentang
Kebijakan Obat Nasional;
 PP No 14 Tahun 2015 tentang Rencana
Pengembangan Industri Nasional 2015 – 2035;  Kepmenkes 381/Menkes/SK/III/2007 tentang
Kebijakan Obat Tradisional Nasional ;
 Perpres No 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional  Kepmenkes No. 1076 Tahun 2003 tentang
(RPJMN) 2015-2019; Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional.
 Perpres No 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan  Inpres No. 6 Tahun 2016, tentang Percepatan
Industri Nasional; Pengembangan Industri Farmasi dan alkes
 Permenkes No 6 Tahun 2012 tentang Industri dan
Usaha Obat Tradisional;
REGULASI/KEBIJAKAN TERKAIT PENGEMBANGAN BBO(2)

UU Kesehatan No 36 /2009 :
Pasal2 terkait pengembangan bahan alam Indonesia dan OT
 pasal 99 ayat (1) bahan alam yg terbukti berkhasiat dan aman utk
pengobatan hrs dijaga kelestariannya,(2)masy dpt mengolah
seluas2nya,(3)Pemerintah menjamin pengembangan dan
pemeliharaan sediaan farmasi
 pasal 100 ayat (1)sumber OT yg sdh terbukti Kh & kamnya tetap
dijaga kelestariannya,(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan
pemeliharaan bahan baku OT
 pasal 101 ayat (1) Masy dapat mengolah seluas2nya,(2)ketentuan
untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan dll
diatur oleh Peraturan Pemerintah.
INPRES NO 6 /2016 TTG PERCEPATAN PENGEMBANGAN
INDUSTRI FARMASI DAN ALKES (9 KEMENTRIAN & 3
LEMBAGA)
Menginstruksikan kepada Menteri Kesehatan untuk Menginstruksikan kepada Kepala
1. menyusun dan menetapkan rencana aksi untuk Badan POM untuk
Pengembangan IF dan alkes 1. Memfasilitasi
pengembangan obat utk
2. Memfasilitasi pengembangan ke arah mendukung akses obat
biopharmaceuticals, vaksin, natural dan API kimia dalam rangka Jaminan
Kesehatan Nasional
3. Mendorong dan mengembangkan R&D sediaan 2. Mendukung investasi sektor
farmasi dan alkes menuju kemandirian IF dan alkes IF melalui fasilitasi proses
sertifikasi fasilitas produksi
4. Memprioritaskan penggunaan produk dalam dan penilaian/evaluasi obat
negeri melalui e-catalogue 3. Mendorong pelaku usaha
5. Mengembangkan sistem data dan informasi
meningkatkan kepatuhan
terhadap regulasi dan
terintegrasi dari kebutuhan masyarakat, produksi, standard, dalam rangka
distribusi sampai pelayanan kesehatan serta IF dan alkes jaminan Khasiat,
Keamanan, Mutu dan
6. Menyederhanakan system dan proses perizinan percepatan kemandirian serta
7. Melakukan koordinasi dengan BPJSK untuk peningkatan daya saing IF
memperluas faskes sesuai kebutuhan
REGULASI/KEBIJAKAN LAIN YG TERKAIT

 Kebijakan bidang Industri Kimia Dasar :


Ketersediaan bahan kimia dasar dengan”pharmaceutical grade”
 Kebijakan bidang ekonomi terkait investasi :
PerPres 39 tahun 2014 tentang bidang usaha tertutup dan bidang usaha
terbuka dengan persyaratan penanaman modal : FDI (Foreign Direct
Investment) dan Negative Investment List  direvisi dengn PerPres No
44 tahun 2016 yang antara lain bidang usaha bahan baku farmasi terbuka
100%
KRITERIA UMUM JENIS BBO DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRINYA

1. Merupakan obat esensial


2. Memiliki umur pakai obat yang masih panjang
3. Memiliki potensi pasar di dalam negeri maupun ekspor
4. Memiliki lokal content/resources base yang kuat
5. Memiliki economics of scale yang memadai
6. Memanfaatkan teknologi peralatan penggunaan majemuk (multi purpose
plant)
23
KEBUTUHAN RAW MATERIAL DALAM PRODUKSI BBO
Produk Bahan Awal Solvent
Pantoprazole 2-Hydroxymethyl-3,4-demethoxypyridine Hydrochloride 2- Methylene chloride, NaCl
Mercapto-5-difluoromethoxy benzimidazole

Simvastatin Simvastatin ammonium salt(SV-5) Toluene, Ethanol Active carbon

Atorvastatin Atorvastatin tert-butoxy ester Methanol, Methylene chloride, Calsium


acetate
Rosuvastatin Rosuvastatin tert-butoxy ester Methanol, Methylene chloride

Clopidogrel (+)-(S)-methyl 2-(2-chlorophenyl)-2-(6,7-dihydrothieno[3,2-c] Ethylacetate, Acetone Sodium carbonate,


pyridin-5(4H)-yl)acetate Sodium sulfate
Entecavir Dipivoxil 2-Amino-9-[(1S,3R,4S)-4-hydroxy-3-(hydroxymethyl)-2- Ethanol, ethylacetate Hydrochloride
methylidenecyclopentyl]-6,9-dihydro-3H-purin-6-one
Tenofovir Dipivoxil ({[(2R)-1-(6-amino-9H-purin-9-yl)propan-2-yl]oxy}methyl) Ethylacetate, Acetone, Methanol
phosphonic acid Isoproxylchloride
Glucopala Biji pala Ethanol, Hexane, Ethyl Acetat, Methanol

Steviosid Stevia plant Chloroform dan Buthanol

Cephalosphorin Acremonium chrysogenum ethyl acetate, methyl-Isobutyl ketone,


isopropyle alcohol and acetone,
ammonium sulfate, polyehylinglicol
(PEG)
Albumin, IgG, Faktor Blood Ethanol
VIII + IX
Ascorbic Acid Sorbitol - Cassava Ethanol

Xantorhizol Curcuma xanthorrhiza Ethanol, Hexane, Ethyl Acetat, Methanol


TAHAPAN PENGAWASAN BBO UNTUK
JAMINAN MUTU
No TAHAPAN KOMPONEN FUNGSI WAS

1 Pengembangan  Fase Preformulasi & Formulasi  Importir BBO


Produk  Sumber BBO yang reliable  Industri Farmasi
 Karakteristik BBO
 Konsistensi formulasi (desain,
stabilitas, dll)  Uji Laboratorium
 Was Distribusi (GDP)
 Fase Scaling Up  GMP

2 Produksi Penanganan Bahan Awal Industri Farmasi /


 Pengadaan dari pemasok yang Industri Bahan Baku
disetujui dengan spesifikasi yang MS
 Dokumentasi/pencatatan penerimaan,
pengeluaran dan bahan tersisa
 Pemberian label sebelum pelulusan GMP
dan tindakan pengamanan

3 Registrasi  Sistem Aplikasi Database Bahan Baku Dossier termasuk S Part


Obat (SIDABBO) (DMF)
 Dokumen Registrasi Mutu
25
Nomor Izin Edar
Kerangka Regulatori Pengawasan
BBAO di Indonesia

SISTEM PERBAIKAN
IMPLEMENTASI
 Inspeksi CPBBAOB BERKESINAMBUNGAN
 Memperkuat evaluasi pre-
market untuk sumber bahan  Standarisasi Mutu (BE  Gap Analiysis
aktif obat dan BBAO (bagian untuk BBAOO tertentu)
registrasi obat)  Benchmarking ke Organisasi
 Sistem Aplikasi Database
 Importasi BBAO melalui NSW BBOA (SIDABBO) Internasional/ NRA lain
untuk membangun database Update farmakope, pedoman, dan
 Pemantauan dan Kajian
BBAO standar
terhadap BBAO Impor
 Menerapkan CPBBAOB
 Regulatory advice/ Capacity building (SDA dan
untuk produsen BBAO
assistance untuk institusi)
 Farmakope, Pedoman CPOB Produsen BBAO
dan Petunjuk Teknis Regulasi yang mendukung
pengembangan dan kemandirian bahan
 Perkuatan pengawasan di jalur baku obat oleh industri dalam negeri
distribusi BBO
Pendekatan Pengawasan BBO secara umum

• Registrasi
• Sertifikasi CPOB Kualifikasi
dan CDOB
• Surat
Keterangan Kualifikasi
Impor Kualifikasi

Industri PBBBF
PBF BBO API
Produsen
IF
farmasi BBO
Manufacture
Supply Supply

Audit
compliance
Audit Supply
compliance Audit
Badan
Badan compliance
POM
POM
Dukungan Badan POM dalam
Pengembangan Industri BBO di
Indonesia

Pengawasan mutu BBO impor


Menyusun database industri BBAO yang digunakan di Indonesia (listed
manufacturer)
Regulasi yang mendukung pengembangan dan kemandirian bahan baku
obat oleh industri dalam negeri (IND, UK, Registrasi Obat)

Standarisasi Mutu (BE untuk BBAO tertentu)

Regulatory advice/ assistance untuk Produsen BBAO ; diskusi terkait RIP;


sertifikasi CPBBAOB; penyusunan DMF; Seminar terkait CPBBAOB

Capacity Building untuk regulator dan pelaku usaha


Academia-Business-
Government Partnership

 Applied Academia  Basic research

A
Research  Technical Training
 Academia (GMP, GLP, GCP)
Supervision  Expert/consultant
 Expert  Development of
 Research research center
Safety,  Development of
Funding
efficacy and database
quality
compliance

B
Business
(BPOM)

G
Government

 Communication forum
 Regulatory assistance and controlling
 Regulatory advice
 Technical Training (GMP, GLP, GCP) 29

 Regulation
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
AGREEMENTS, UU PATEN DAN
BEBERAPA KETENTUAN TERKAIT DAMPAK
PADA PERATURAN BIDANG FARMASI
PERTEMUAN XV

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


1. Apt. Bunga Destiyana M. Farm
2. Apt Dyah Ayuwati Waluyo, M. Farm
HAKEKAT OBAT
NOT JUST A TRADE COMODITY

WTO/TRIPs IPTEK
AKSES UNTUK
& PERATURAN KESEHATAN
PERDAGANGAN MASYARAKAT
LAIN

EKONOMI SOSIAL

PERLINDUNGAN KONSUMEN
Quality, Safety, Efficacy
SISTEM KESEHATAN NASIONAL (SKN)
KEPMENKES NO. 131/MENKES/SK/II/2004

 Sub Sistem Obat dan Perbekalan Kesehatan:


 Tatanan yang menghimpun berbagai upaya yang menjamin ketersediaan,
pemerataan, serta mutu obat dan perbekalan kesehatan secara terpadu dan saling
mendukung dalam rangka tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

 Tujuan Sub Sistem Obat dan Perbekalan Kesehatan:


 Tersedianya obat dan perbekalan kesehatan yang aman, bermutu, dan bermanfaat,
serta terjangkau oleh masyarakat untuk menjamin terselenggaranya pembangunan
kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
KEBIJAKAN OBAT NASIONAL (KONAS)
KEPMENKES NO. 189/MENKES/SK/III/2006

Pedoman bagi semua pihak yang terkait dalam rangka ketersediaan, pemerataan, dan
keterjangkauan obat secara berkelanjutan sejalan dengan SKN.
Tujuan dalam arti luas: equity dan kesinambungan
Tujuan Khusus :
• ACCESS : Jaminan ketersediaan, pemerataan & keterjangkauan obat, terutama obat
esensial
• QUALITY : Jaminan mutu, keamanan dan efikasi obat
• RATIONAL USE : peningkatan penggunaan obat yang tepat dan cost-effective oleh
tenaga kesehatan dan konsumen
STRATEGI UNTUK MENCAPAI TUJUAN:

Ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat esensial

 Ada 7 (tujuh) strategi yang ditetapkan.


 Strategi ke 7 (tujuh) adalah
Memanfaatkan skema dalam TRIPs seperti Lisensi Wajib,
Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah dan parallel import

Catatan : TRIPs :Trade Related aspects of Intellectual Property Rights


TRIPS (TRADE RELATED ASPECTS OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS)
AGREEMENT

 It is a framework that sets minimum standards and conditions for the


protection of Intellectual Property Rights and enforcement obligations
 Patents will be granted based on standards of patentability (Criteria :
1. Novelty, 2.Inventive Steps & 3.Industrial applicability)
 All WTO-members have to incorporate these standards into their
national IP law
 Disputes between members subject to WTO dispute settlement
mechanism
TRIPS (TRADE RELATED ASPECTS OF INTELLECTUAL
PROPERTY RIGHTS) AGREEMENT

PATENT GRANTING FOR PHARM PRODUCTS


“the patent holder shall have exclusive right to carry out the patent he
possesses, and to forbid other parties from so doing without his
approval :
a. with regard to patented products: manufacturing, using, selling,
importing, leasing, delivering, or providing for sale or lease or
delivering patented product;
b. with regard to patented processes: using patented production
processes to manufacture goods and other acts as intended in letter
(a)
POSSIBLE IMPACT OF TRIPS AGREEMENT IN PHARMACEUTICAL
SECTORS

 TRIPs Agreement treats medicines as any other commodity, though


medicines are not ordinary consumer products
 TRIPs’ Safeguards to protect Public Health needs to be included in
the National Patent Law e.g Compulsory Licensing, Government Use,
Bolar Provision
 Criteria for patentability in Pharm Sectors will facilitate the granting of
‘secondary’ patents, e.g formulation patents, patents of polymorphs
etc
 Patents on NCE and ‘Secondary Patents’ may influence access to
essential medicines particularly in developing countries
TRIPS & ACCESS TO MEDICINE (1)

Voluntary • The license approval issued by the license holder to another party pursuant
to a right agreement in order to enjoy the economic benefits of a patent
licensing that is protected for a certain period of time and under certain conditions

Compulsory • Compulsory license are licensees that are granted by a government to use

licensing patents on certain conditions abuse of patent rights unsuccessful attempt

Parallel import • the import of pharmaceutical products of witch patent is protected in


Indonesia and such product has marketed in a country by the lawful patent

(article 135) holder provided such products are imported pursuant to the prevailing
laws.”
TRIPS & ACCESS TO MEDICINE (2)

Bolar • Provides possibilities for the production of


pharmaceutical products of which patent is protected
within 2 (two) years to the lapse of the patent protection

Provision and for the purpose of the licensing process and


marketing following the lapse of the patent protection

- Allows (generics) manufacturers to start producing test batches


of a product prior to patent expires
- Will reduce the delay for generic products to enter the market
after the patent has expired
UU PATEN DI INDONESIA DAN KETERSEDIAAN/
AKSES OBAT

 Article 16
 Article 17
 Article 69 – 73
 Article 74 – 87
 Article 99 – 103
 Article 135
Undang-Undang Paten
➢ Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada
Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi yang untuk
selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya
tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakan

➢ Paten Proses
➢ Paten Produk
➢ Paten diberikan 20 tahun sejak persetujuan
12
➢Obat Paten / Obat Innovator
Obat yang masih memiliki perlindungan hak paten sesuai ketentuan perUUan.
➢Obat Generik
Obat yang sudah off patent yang mengandung zat aktif dengan komposisi, kekuatan,
bentuk sediaan, rute pemberian, indikasi dan posologi sama dengan obat innovator.
➢Obat Generik Berlogo
Obat dengan nama sesuai International Non-proprietary Names Modified (INNM) yang
ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), atau nama yang ditetapkan oleh Program
Kesehatan Nasional.
➢Obat Nama Dagang
Obat yang dijual dengan nama dagang, dapat berupa obat generik atau obat paten
➢Obat Copy
Obat yang mengandung zat aktif dengan komposisi, kekuatan, bentuk sediaan, rute
pemberian, indikasi dan posologi sama dengan obat yang sudah disetujui.
➢Orphan drug
Obat yang sangat dibutuhkan untuk pengobatan penyakit langka dan telah dibuktikan 13
keamanan dan efektivitasnya.
INDONESIAN PATENT LAW
GOVERNMENT USE

 Article 99 of Law No. 14 of 2001 provides the following:


1) If the government deems that a patent is crucial to Indonesia for state
defense and that such requirement is urgent for the interest of the
people, the government may carry out such patent.
2) The decision to implement a patent shall be stipulated by virtue of a
presidential decree after being advised by the minister or head of the
office responsible for field concerned.
Indonesian Patent Law
GOVERNMENT USE

Article 101 of Law No. 14 of 2001 provides the following:


1) In case the government intends to implement a patent that is crucial to Indonesia
for state defense and is urgent for the interest of the people, the Government
shall give written notice regarding that matter to the Patent holder which shall
include:
- the intended Patent with the name of the Paten holder and the Patent Number;
- the reasons;
- the period;
- other important matters.
2) The implementation of patent by the government shall be with a fair
compensation to the patent holder
PELAKSANAAN PATEN OLEH PEMERINTAH
 Kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat:
 obat-obat yang masih dilindungi Paten di Indonesia yang diperlukan untuk
menanggulangi penyakit yang berjangkit secara luas

 PP No. 27 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah
 Keppres No. 83 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah terhadap Obat-obat Anti
Retroviral
 Nevirapin (Boehringer Ingelheim)
 Lamivudin (Biochem Pharma INC)
 Keppres No. 6 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 83 tahun 2004
tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah terhadap Obat-obat Anti Retroviral
 Efavirenz (Merck & Co. INC)

PP no 76 tahun 2012 tentang pelaksanaan paten oleh Pemerintah terhadap obat antiviral
dan antiretroviral : 6 zat aktif
(Lisensi Wajib)

COMPULSORY LICENSING
UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten PASAL 87:
 Alasan:
 >36 bulan Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di
Indonesia oleh Pemegang Paten.
 Dapat diajukan setiap saat setelah Paten diberikan atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh
Pemegang Paten atau Penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan
masyarakat
 Keadaan darurat di bidang kesehatan (Emergency in Public Health) belum termasuk sebagai alasan dapat
dimohonkannya Lisensi-wajib (Paragraf 6 Deklarasi Doha)
 Apabila Pemerintah berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat penting artinya bagi:
 pertahanan keamanan Negara; dan
 kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat,
→ Pemerintah dapat melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan
 Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan pasal 87 UU No: 14/2001 belum ada
Ketentuan bidang Obat terkait dua regulasi:

Hak Kekayaan Persyaratan


Intelektual (IPR) Registrasi

Hak untuk melarang Otorisasi untuk


Kepada yang tdk berhak memasarkan obat
untuk memasarkan atau
menggunakannya
KERAHASIAAN DATA DALAM PRODUK OBAT

 Berdasarkan keputusan Kepala Badan POM 2011 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Registrasi Obat, bahwa segala data dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan penilaian dan pengujian dalam rangka registrasi obat dijaga
kerahasiaannya oleh Kepala Badan. Penerapan regulasi ini sejalan dengan artikel
39.3 The TRIPS Agreement. Data tersebut meliputi :
➢ Data pre klinik dan klinik
- terpublikasi (published)
- tidak terpublikasi
➢ Data mutu dan proses produksi
Merupakan data yang tidak pernah dipublikasi dan merupakan rahasia pemilik
produk
REGISTRASI OBAT YANG DILINDUNGI PATEN

 Pendaftar obat yang dilindungi paten di Indonesia adalah industri


farmasi dalam negeri pemegang hak paten, atau industri farmasi
lain yang mendapat pengalihan paten dari pemegang paten
sesuai ketentuan paten yang berlaku di Indonesia
 Hak paten dibuktikan dengan sertifikat paten
REGISTRASI OBAT COPY PERTAMA

 Obat Copy Pertama adalah Obat Copy yang tergolong


pertama didaftarkan di Indonesia dengan zat aktif sama dengan
obat inovator di Indonesia
 Obat Inovator adalah obat yang telah diberi izin pemasaran di
Indonesia berdasarkan penilaian data pre-klinik dan klinik
lengkap yang membuktikan efikasi dan keamanan, serta penilaian
data mutu.
PATENTABILITAS

Beberapa contoh paten yang tidak masuk kriteria

 Aplikasi formulasi baru terutama untuk bahan aktif obat tunggal dengan bahan
pembawa atau eksipien yang telah diketahui.
 Bentuk sediaan baru untuk produk yang telah diketahui secara umum
 Bentuk garam baru dari produk farmasi yang telah ada yang dapat dibuat dengan
kemampuan biasa
 Kombinasi obat dari produk yang telah ada kecuali ditunjukkan adanya efek
sinergisme kombinasi dan kriteria paten dipenuhi
 Bentuk polimorf, kecuali ada perbedaan signifikan terhadap efikasi
 Bentuk metabolit aktif dari produk yang telah diketahui sebelumnya
PATEN BIDANG FARMASI

KRITERIA PATEN • Novel/ Kebaruan


• Langkah inventif
Dapat diberikan dalam bentuk :
• Dapat diterapkan di bidang industri
 Formulasi/Bentuk Sediaan
 Bentuk garam
 Bentuk hidrat/solvat
 Kombinasi
 Bentuk polimorf
 Isomer optik
 Indikasi baru (metode pengobatan)
SEKIAN DAN TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai