Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak
dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah
menetapkan dekade ini menjadi dekade tulang dan persendian. Masalah pada
tulang yang mengakibatkan keparahan disabilitas adalah fraktur. Fraktur
merupakan kondisi terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan trauma langsung maupun tidak langsung. Dengan makin pesatnya
kemajuan lalu lintas baik dari segi jumlah pemakai jalan, jumlah pemakai
kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan, bertambahnya jaringan jalan dan
kecepatan kendaraan maka mayoritas terjadinya fraktur adalah kecelakaan lalu
lintas. Sementara trauma – trauma lain yang dapat menyebabkan fraktur adalah
jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja dan cedera olah raga.
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2005 terdapat lebih dari 7
juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang
mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang cukup tinggi yakni
insiden fraktur ekstremitas bawah, sekitar 46,2% dari insiden kecelakaan yang
terjadi.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan.
Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan
trauma tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada
tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung, apabila
trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur.
Fraktur secara klinis dibedakan atas fraktur tertutup dan fraktur terbuka.
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga
timbul komplikasi berupa infeksi. Luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang
yang tajam keluar menembus kulit (from within) atau dari luar oleh karena
tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung (from without). Fraktur

1
tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar
(terbatas pada fascia).

1.2 Batasan Masalah


            Referat ini membahas tentang definisi, etiologi, fisiologi, epidemiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosa
fraktur terbuka dan fraktur tertutup.

1.3  Tujuan Penulisan


Penulisan referat ini bertujuan untuk:
1. Memahami definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
penatalaksanaan dan prognosis fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

1.4   Metode Penulisan


Referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan mengacu
kepada beberapa literatur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi, Histologi, Fisiologi, dan Biokimia Tulang


Tulang adalah jaringan yang terstruktur dengan baik dan mempunyai lima
fungsi utama, yaitu:
1. Membentuk rangka badan
2. Sebagai tempat melekat otot
3. Sebagai bagian dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan alat-alat
dalam, seperti otak, sumsum tulang belakang, jantung dan paru-paru
4. Sebagai tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium, dan garam
5. Sebagai organ yang berfungsi sebagai jaringan hematopoetik untuk
memproduksi sel-sel darah merah, sel-sel darah putih dan trombosit 1

Tulang dalam garis besarnya dibagi atas:2


 Tulang panjang, yang temasuk adalah femur, tibia, fibula, humerus, ulna.
Tulang panjang (os longum) terdiri dari 3 bagian, yaitu epiphysis,
diaphysis, dan metaphysis. Diaphysis atau batang, adalah bagian tengah
tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal
yang memiliki kekuatan yang besar.
Metaphysis adalah bagian tulang yang
melebar di dekat ujung akhir batang.
Daerah ini terutama disusun oleh
trabekular atau sel spongiosa yang
mengandung sel-sel hematopoetik.
Metaphysis juga menopang sendi dan
menyediakan daerah yang cukup luas
untuk perlekatan tendon dan ligamen pada
epiphysis. Epiphysis langsung berbatasan
dengan sendi tulang panjang. Seluruh
tulang dilapisi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum.

3
 Tulang pendek, contohnya antara lain tulang vertebra dan tulang-tulang
carpal
 Tulang pipih, antara lain tulang iga, tulang skapula, tulang pelvis
Tulang terdiri atas bagian kompak pada bagian luar yang disebut korteks
dan bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekular dan di luarnya
dilapisi oleh periosteum. Berdasarkan histologisnya maka dikenal:
 Tulang imatur (non-lamellar bone, woven bone, fiber bone), tulang ini
pertma-tama terbentuk dari osifikasi endokondral pada perkembangan
embrional dan kemudian secara perlahan-lahan menjadi tulang yang matur
dan pada umur 1 tahun tulang imatur tidak terlihat lagi. Tulang imatur ini
mengandung jaringan kolagen dengan substansi semen dan mineral yang
lebih sedikit dibandingkan dengan tulang matur.
 Tulang matur (mature bone, lamellar bone)
o Tulang kortikal (cortical bone, dense bone, compacta bone)
o Tulang trabekular (cansellous bone, trabecular bone, spongiosa)

Secara histolgik, perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam


jumlah sel, jaringan kolagen, dan mukopolisakarida. Tulang mature ditandai
dengan sistem Harversian atau osteon yang memberikan kemudahan sirkulasi
darah melalui korteks yang tebal. Tulang matur kurang mengandung sel dan lebih
banyak substansi semen dan mineral dibanding dengan tulang imatur.
Tulang terdiri atas bahan
antar sel dan sel tulang.
Sel tulang ada 3, yaitu
osteoblas, osteosit, dan
osteoklas. Sedang bahan
antar sel terdiri dari bahan
organik (serabut kolagen,
dll) dan bahan anorganik
(kalsium, fosfor, dll).
Osteoblas merupakan
salah satu jenis sel hasil diferensiasi sel mesenkim yang sangat penting dalam

4
proses osteogenesis dan osifikasi. Sebagai sel osteoblas dapat memproduksi
substansi organik intraseluler atau matriks, dimana kalsifikasi terjadi di kemudian
hari. Jaringan yang tidak mengandung kalsium disebut osteoid dan apabila
kalsifikasi terjadi pada matriks maka jaringan disebut tulang. Sesaat sesudah
osteoblas dikelilingi oleh substansi organik intraseluler, disebut osteosit dimana
kradaan ini terjadi dalam lakuna.
Osteosit adalah bentuk dewasa dari osteoblas yang berfungsi dalam
recycling garam kalsium dan berpartisipasi dalam reparasi tulang. Osteoklas
adalah sel makrofag yang aktivitasnya meresorpsi jaringan tulang. Kalsium hanya
dapat dikeluarkan dari tulang melalui proses aktivitas osteoklasis yang
mengilangkan matriks organik dan kalsium secara bersamaan dan disebut
deosifikasi. Jadi dalam tulang selalu terjadi perubahan dan pembaharuan.3,4
Tulang dapat dibentuk dengan dua cara: melalui mineralisasi langsung
pada matriks yang disintesis osteoblas (osifikasi intramembranosa) atau melalui
penimbunan matiks tulang pada matriks tulang rawan sebelumnya (osifikasi
endokondral).
Struktur tulang berubah sangat lambat terutama setelah periode
pertumbuhan tulang berakhir. Setelah fase ini perubahan tulang lebih banyak
terjadi dalam bentuk perubahan mikroskopik akibat aktivitas fisiologis tulang
sebagai suatu organ biokimia utama tulang. Komposisi tulang terdiri atas:
substansi organik (35%), substansi anorganik (45%), air (20%). Substansi organik
terdiri atas sel-sel tulang serta substansi organik intraseluler atau matriks kolagen
dan merupakan bagian terbesar dari matriks (90%), sedangkan sisanya adalah
asam hialuronat dan kondrotin asam sulfur. Substansi anorganik terutama terdiri
atas kalsium dan fosfor dan sisanya oleh magnesium, sodium, hidroksil, karbonat,
dan fluorida. Enzim tulang adalah alkali fosfatase yang diproduksi oleh osteoblas
yang kemungkinan besar mempunyai peranan penting dalam produksi organik
matriks sebelum terjadi kalsifikasi.

5
2.2 Fraktur
2.2.1 Definisi Fraktur
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial.5

2.2.2 Proses Terjadinya Fraktur


Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan,
harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat
menyebabkan tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat
menahan kompresi dan tekanan memuntir (shearing).
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan.
Trauma bisa bersifat :
 Trauma langsung  menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
 Trauma tidak langsung  apabila trauma dihantarkan ke daerah yang
lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan
lunak tetap utuh.
Tekanan pada tulang dapat berupa :
 Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik
 Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
 Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi atau fraktur dislokasi
 Kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah
misalnya pada badan vertebra, talus atau fraktur buckle pada anak-anak
 Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan
menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z
 Fraktur oleh karena remuk
 Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo akan menarik sebagian
tulang

6
Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan seseorang
mempunyai keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan berat badan. Fraktur yang
terjadi dapat berupa fraktur tertutup ataupun fraktur terbuka. Fraktur tertutup tidak
disertai kerusakan jaringan lunak disekitarnya sedangkan fraktur terbuka biasanya
disertai kerusakan jarigan lunak seperti otot, tendon, ligamen, dan pembuluh
darah.
Tekanan yang kuat atau berlebihan dapat mengakibatkan fraktur terbuka
karena dapat menyebabkan fragmen tulang keluar menembus kulit sehingga akan
menjadikan luka terbuka dan akan menyebabkan peradangan dan memungkinkan
untuk terjadinya infeksi. Keluarnya darah dari luka terbuka dapat mempercepat
pertumbuhan bakteri. Tertariknya segmen tulang disebabkan karena adanya
kejang otot pada daerah fraktur menyebabkan disposisi pada tulang, sebab tulang
berada pada posisi yang kaku.

2.2.3 Etiologi Fraktur


Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang.  Dua faktor mempengaruhi
terjadinya fraktur :
 Ekstrinsik  meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang,
arah dan kekuatan trauma.
 Intrinsik  meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma,
kelenturan, kekuatan, dan densitas tulang.
Tulang cukup mudah patah, namun mempunyai kekuatan dan ketahanan
untuk menghadapi stress dengan kekuatan tertentu. Fraktur berasal dari: (1)
cedera; (2) stress berulang; (3) fraktur patologis.5
A. Fraktur yang disebabkan oleh cedera5
Sebagian besar fraktur disebabkan oeh tenaga berlebihan yang tiba-tiba,
dapat secara langsung ataupun tidak langsung.

7
Dengan tenaga langsung tulang patah pada titik kejadian; jaringan lunak
juga rusak. Pukulan langsung biasanya mematahkan tulang secara
transversal atau membengkokkan tulang melebihi titik tupunya sehingga
terjadi patahan dengan fragmen “butterfly”. Kerusakan pada kulit diluarnya
sering terjadi; jika crush injury terjadi, pola faktur dapat kominutif dengan
kerusakan jaringan lunak ekstensif.
Dengan tenaga tidak langsung, tulang patah jauh dari dimana tenaga
dierikan; kerusakan jaringan lunak pada tempat fraktur jarang terjadi.
Walaupun sebagian besar fraktur disebabkan oleh kombinasi tenaga
(perputaran, pembengkokkan, kompresi, atau tekanan), pola x-ray
menunjukkan mekanisme yang dominan:
 Terpelintir mengakibatkan fraktur spiral;
 Kompresi mengakibatkan fraktur oblique pendek;
 Pembengkokan mengakibatkan fraktur dengan fragmen triangular
“butterfly”;
 Tekanan cenderung mematahkan tulang kearah transversal; pada
beberapa situasi tulang dapat avulse menjadi fragmen kecil pada titik
insersi ligament atau tendon.
Deskripsi diatas merupakan deskripsi untuk tulang panjang. Tulang kecil
jika terkena gaya yang cukup, akan terbelah atau hancur menjadi bentuk
yang abnormal.

8
B. Fatigue atau stress fracture5
Fraktur ini terjadi pada tulang normal yang menjadi subjek tumpuan berat
berulang, seperti pada atlet, penari, atau anggota militer yang menjalani
program berat. Beban ini menciptakan perubahan bentuk yang memicu
proses normal remodeling—kombinasi dari esorpsi tulang dan pembentukan
tulang baru menurut hukum Wolff. Ketika pajanan terjadap stress dan
perubahan bentuk terjadi berulang dan dalam jangka panjang, resorpsi
terjadi lebih cepat dari pergantian tulang, mengakibatkan daerah tersebut
rentan terjadi fraktur. Masalah yang sama terjadi pada individu dengan
pengobatan yang mengganggu keseimbangan normal resorpsi dan
pergantian tulang; stress fracture meningkat pada penyakit inflamasi kronik
dan pasien dengan pengobatan steroid atau methotrexate.
C. Fraktur patologis5
Fraktur dapat terjadi pada tekanan normal jika tulang telah lemah karena
perubahan strukturnya (seperti pada osteoporosis, osteogenesis imperfekta,
atau Paget’s disease) atau melalui lesi litik (contoh: kista tulang, atau
metastasis).

9
Fraktur dapat disebabkan oleh trauma minor berulang dibawah ambang
batas cedera yang menyebabkan fraktur, mengakibatkan fraktur stress (fatigue
fracture).2 Fraktur juga dapat disebabkan oleh trauma langsung bertenaga tinggi
seperti pada kecelakaan sepeda motor. Fraktur dapat disebabkan oleh trauma tidak
langsung dimana gaya ditransmisikan melalui tulang dengan terpuntir atau
tertekuk.6
Cedera bertenaga rendah mengakibatkan cedera jaringan lunak yang
terbatas dan pola fraktur sederhana. Tenaga yang besar mengakibatkan absorpsi
energi yang lebih besar sehingga menyebabkan trauma jaringan lunak yang lebih
berat dan kominutif yang berat. Kombinasi kedua mekanisme ini dapat terjadi.7
Prognosisnya ditentukan oleh derajat keparahan cedera jaringan lunak,
jenis fraktur, yang keduanya bergantung pada jumlah tenaga yang ditangkap
ekstrimitas saat cedera.5

2.2.4 Tipe Fraktur


Fraktur untuk alasan praktis dibagi menjadi beberapa kelompok.5
A. Fraktur komplit
Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Pola fraktur pada rontgen
dapat membantu memprediksi tindakan setelah reduksi: jika fraktur
transversal patahan biasanya akan tetap pada tempatnya setelah reduksi;
jika fraktu oblique atau spiral, tulang cenderung memendek dan kembali
berubah posisi walaupun tulang dibidai. Jika terjadi fraktur impaksi,
fragmen terhimpit bersama dan garis fraktur tidak jelas. Fraktur kominutif
dimana terdapat lebih dari 2 fragmen tulang; karena jeleknya hubungan
antara permukaan tulang, cenderung tidak stabil.
B. Faktur inkomplit
Disini tulang tidak secara total terbagi dan periosteum tetap intak. Pada
fraktur greenstick tulang membengkok; hal ini terjadi pada anak-anak yang
tulangnya lebih lentur dibandingkan dewasa. Anak-anak juga dapat
bertahan terhadap cedera dimana tulang berubah bentuk tanpa terlihat
retakan jelas pada foto rontgen.

10
2.2.5 Klasifikasi Fraktur2
 Klasifikasi etiologis
o Fraktur traumatik : terjadi karena trauma yang tiba-tiba
o Fraktur patologis : terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya
akibat kelainan patologis di dalam tulang
o Fraktur stres : terjadi karena adanya trauma yang terus menerus
pada suatu tempat tertentu

 Klasifikasi klinis
o Fraktur tertutup (simple fracture) : suatu fraktur yang tidak
mempunyai hubungan dengan dunia luar
o Fraktur terbuka (compound fracture) : fraktur yang mempunyai
hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan
lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from without
(dari luar).
Fraktur terbuka dibagi berdasarkan klasifikasi Gustilo-Anderson,
yang pertama kali diajukan pada tahun 1976 dan modifikasi pada
tahun 1984.5

11
1. Grade I : Luka kecil kurang dari 1cm panjangnya, biasanya karena luka
tusukan dari fragmen tulang yang menembus kulit. Terdapat sedikit kerusakan
jaringan dan tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan
lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simple, transversal, oblik pendek
atau sedikit komunitif.

2. Grade II : Laserasi kulit melebihi 1cm tetapi tidak ada kerusakan jaringan
yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan
dengan sedikit kontaminasi fraktur.

3. Grade III : Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot,
kulit dan struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Tipe ini
biasanya di sebabkan oleh karena trauma dengan kecepatan tinggi. Tipe 3 di
bagi dalam 3 subtipe:

12
 Tipe IIIA : Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun
terdapat laserasi yang hebat ataupun adanya flap. Fraktur bersifat
segmental atau komunitif yang hebat

 Tipe IIIB: fraktur disertai dengan trauma yang hebat dengan kerusakan
dan kehilangan jaringan, terdapat pendorongan periost, tulang terbuka,
kontaminasi yang hebatserta fraktur komunitif yang hebat.

 Tipe IIIC: fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang
memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan
lunak.10

Gambar Klasifikasi Fraktur Terbuka Berdasarkan Gustilo dan Anderson

13
o Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture) : fraktur yang
disertai dengan komplikasi misalnya malunion, delayed union,
nonunion, atau infeksi tulang

 Klasifikasi radiologis
Klasifikasi ini berdasarkan atas :
o Lokalisasi
 Diafisial
 Metafisial
 Intra-artikuler
 Fraktur dengan dislokasi
o Konfigurasi
 Fraktur transversal
 Fraktur oblik
 Fraktur spiral
 Fraktur Z
 Fraktur segmental
 Fraktur komunitif, fraktur lebih dari dua fragmen
 Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi
 Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendo
misalnya fraktur epikondilus humeri, fraktur trochanter
major, fraktur patella
 Fraktur depresi, karena trauma langsung misalnya pada
tulang tengkorak
 Fraktur impaksi
 Fraktur pecah (burst) dimana terjadi fragmen kecil yang
berpisah misalnya pada fraktur vertebra, patella, talus,
kalkaneus
 Fraktur epifisis

14
o Menurut eksistensi
 Fraktur total
 Fraktur tidak total (fraktur crack)
 Fraktur buckle atau torus
 Fraktur garis rambut
 Fraktur green stick
o Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya
 Tidak bergeser (undisplaced)
 Bergeser (displaced)  dapat terjadi dalam 6 cara :
 Bersampingan
 Angulasi
 Rotasi
 Distraksi
 Over-riding
 Impaksi

15
 Klasifikasi Nicol
Klasifikasi The American Society of Internal Fixation, yang
dikembangkan oleh Muller et al telah diterima di seluruh dunia; klasifikasi ini
kemudian dimodifikasi oleh Johner dan Wruhs dengan menambahkan mekanisme
cedera, patahan, dan derajat keparahan cedera jaringan lunak. Klasifikasi ini
digunakan untuk reduksi terbuka dengan fiksasi plate and screw.6

2.2.6 Gambaran Klinis Fraktur2


 Anamnesis
Biasanya pasien datang dengan suatu trauma, baik yang hebat
maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Pasien biasanya datang karena adanya nyeri
yang terlokalisir dimana nyeri tersebut bertambah bila digerakkan,
pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan
gerak, krepitasi atau dengan gejala-gejala lain.

 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal pasien, perlu diperhatikan adanya :
1. Syok, anemia atau pendarahan

16
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul, dan
abdomen
3. Faktor predisposisi misalnya pada fraktur patologis

 Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi, dan kependekan
- Perhatikan adanya pembengkakan
- Perhatikan adanya gerakan yang abnormal
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan (ekimosis) dalam beberapa jam sampai
beberapa hari
- Perhatikan keadaan vaskular
2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati dikarenakan pasien biasanya mengeluh
sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan :
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan  nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan
oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi  dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara
hati-hati
- Pemeriksaan vaskular pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota
gerak yang terkena. Dinilai juga refilling (pengisian) arteri pada kuku,
warna kulit pada bagian distal daerah trauma, dan temperatur kulit.
- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui
adanya perbedaan panjang tungkai

17
3. Pergerakan (Move)
Dilakukan dengan cara mengajak pasien untuk menggerakan secara
aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami
trauma. Pada pasien dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan
nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar,
disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak
seperti pembuluh darah dan saraf.

 Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia,
aksonotmesis, atau neurotmesis.

 Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi,
serta ekstensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta kerusakan jaringan
lunak sebelumnya, maka sebaiknya mempergunakan bidai yang bersifat
radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan
radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis :
- Mempelajari gambaran normal tulang dan sendi
- Konfirmasi adanya fraktur
- Melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta
pergerakannya
- Menentukan teknik pengobatan
- Mnentukan apakah fraktur itu baru atau tidak
- Menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler
- Melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang
- Melihat adanya benda asing, misalnya peluru

18
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan yakni foto polos, CT-
Scan, MRI, tomografi, dan radioisotop scanning. Umumnya dengan foto
polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu ditanyakan apakah
fraktur terbuka atau tertutup, tulang mana yang terkena dan lokasinya,
apakah sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri.
Konfigurasi fraktur dapat menentukan prognosis serta waktu
penyembuhan fraktur.

o Foto Polos
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya
fraktur. Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan
untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur.
Untuk menghindarkan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi
sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan beberapa prinsip dua (rule of 2):
2 posisi proyeksi (minimal AP dan lateral)
2 sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, dibawah dan diatas
sendi yang mengalami fraktur
2 anggota gerak
2 trauma, pada trauma hebat sering menyebabkan fraktur pada 2 daerah
tulang. Misal: fraktur kalkaneus dan femur, maka perlu dilakukan foto
pada panggul dan tulang belakang
2 kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya tulang skafoid foto
pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya
10-14 harikemudian.

o CT-Scan. Suatu jenis pemeriksaan untuk melihat lebih detail


mengenai bagian tulang atau sendi, dengan membuat foto irisan lapis demi
lapis.
o MRI, dapat digunakan untuk memeriksa hampir seluruh tulang,
sendi, dan jaringan lunak. mRI dapat digunakan untuk mengidentifikasi
cedera tendon,ligamen, otot, tulang rawan dan tulang.

19
o Radioisotop scanning
o Tomografi

2.2.7 Tatalaksana Fraktur2,5,8,10


 Penatalaksanaan awal
Sebelum dilakukan pengobatan definitif pada satu fraktur, maka
diperlukan :
1. Pertolongan pertama
Pada pasien dengan fraktur yang penting dilakukan adalah
membersihkan jalan nafas, menutup luka dengan verban yang bersih,
dan imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang terkena agar pasien
merasa nyaman dan mengurangi nyeri sebelum diangkut dengan
ambulans. Bila terdapat pendarahan dapat dilakukan pertolongan
dengan penekanan setempat.
Penilaian awal (primary survey / survei awal)
Survei awal bertujuan untuk menilai dan memberikan pengobatan
sesuai dengan prioritas berdasarkan trauma yang dialami. Fungsi-
fungsi vital penderita harus dinilai secara tepat dan efisien.
Penanganan penderita harus terdiri atas evaluasi awal yang cepat serta
resusitasi fungsi vital, penangan trauma dan identifikasi keadaan yang
dapat menyebabkan kematian.
A: Aiway (saluran napas), penilaian terhadap patensi jalan napas.
Apabila terdapat obstruksi jalan napas, maka harus segera dibebaskan.
Apabila dicurigai kelaian vertebra servikalis maka dilakukan
pemasangan collar neck.
B: Breathing (pernapasan), perlu diperhatikan dan dilihat secara
keseluruhan daerah thorak untuk menilai ventilasi. Jalan napas yang
bebas bukan berarti ventilasi cukup. Bila ada gangguan atau
instabilitas kardiovaskuler, respirasi, atau gangguan neurologis, kita
harus melakukan ventilasi dengan bantuan alat pernapasan berupa
kantong yang disambung dengan masker atau pipa endotrakeal.

20
C: Circulation (sirkulasi), sirkulasi adalah kontrol perdarahan
meliputi 2 hal: a) Volume darah dan output jantung; b) perdarahan
baik perdarahan luar maupun perdarahan dalam, perdarahan luar harus
diatasi dengan balut tekan.
D: Disability (evaluasi neurologis), evaluasi neurologis secara cepat
setelah satu survei awal, dengan menilai tingkat kesadaran, besar dan
reaksi pupil. Menggunakan metode AVPU: A (alert / sadar), V
(vokal / adanya respon terhadap stimuli vokal), P (painful, danya
respon terhadap rangsang nyeri), U (unresponsive / tidak ada respon
sama sekali). Hasinya dapat diketahui GCS (glasgow coma scale).
E: Exposure (kontrol lingkungan), untuk melakukan pemeriksaan
secara teliti pakaian penderita perlu dilepas (pada pasien tidak
sadarkan diri), selain itu perlu dihindari terjadinya hipotermi.

2. Penilaian klinis
Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis,
apakah luka itu luka tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/
saraf ataukah ada trauma alat-alat dalam yang lain.

3. Resusitasi
Kebanyakan pasien dengan fraktur multipel tiba di rumah sakit dengan
syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada
frakturnya sendiri berupa pemberian transfusi darah dan cairan lainnya
serta obat-obat anti nyeri.

 Prinsip Umum Tatalaksana Fraktur


1. “Do no harm”
Yakni dengan mencegah terjadinya komplikasi iatrogenik. Hal ini bisa
dilakukan dengan pertolongan pertama yang hati-hati, transportasi
pasien ke rumah sakit yang baik, dan mencegah terjadinya infeksi dan
kerusakan jaringan yang lebih parah.

21
2. Tatalaksana dasar berdasarkan diagnosis dan prognosis yang akurat
Keputusan pertama adalah menentukan apakah fraktur tersebut
membutuhkan reduksi dan bila iya maka tentukan tipe reduksi terbaik
apakah terbuka atau tertutup. Kemudian keputusan kedua yakni
mengenai tipe imobilisasi, apakah eksternal atau internal.
3. Pemilihan tatalaksana dengan tujuan yang spesifik
Tujuan spesifik dalam tatalaksana fraktur yaitu :
 Untuk mengurangi rasa nyeri
Dikarenakan tulang bersifat relatif tidak sensitif, rasa nyeri
pada fraktur berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak
termasuk periosteum dan endosteum. Rasa nyeri ini dapat
diperberat dengan pergerakan fragmen fraktur yang
berhubungan dengan spasme otot dan pembengkakan yang
progresif. Rasa nyeri pada fraktur dapat berkurang dengan
imobilisasi dan menghindari pembalutan yang terlalu ketat.
Beberapa hari pertama setelah terjadinya fraktur dapat
diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri.
 Untuk memelihara posisi yang baik dari fragmen fraktur
Reduksi fraktur untuk mendapatkan posisi yang baik, yakni
diindikasikan hanya untuk memperbaiki fungsi dan mencegah
terjadinya artritis degeneratif. Pemeliharan posisi fragmen
fraktur biasanya membutuhkan beberapa derajat imobilisasi,
dengan beberapa metode, termasuk continuous traction,
plaster-of-Paris cast, fiksasi skeletal eksterna, dan fiksasi
skeletal interna, berdasarkan derajat dari kestabilan atau
ketidakstabilan reduksi.
 Untuk mengusahakan terjadinya penyatuan tulang (union)
Pada kebanyakan fraktur, proses penyatuan tulang merupakan
proses penyembuhan yang terjadi secara alami. Namun pada
beberapa kasus, misalnya dengan robekan periosteum berat dan
jaringan lunak atau dengan nekrosis avaskular pada satu atau
dua fragmen, proses penyatuan tulang harus dengan

22
autogenous bone grafts, pada tahap penyembuhan awal atau
lanjut.
 Untuk mengembalikan fungsi secara optimal
Saat periode imobilisasi dalam penyembuhan fraktur, diuse
atrophy pada otot regional harus dicegah dengan latihan aktif
statik (isometrik) pada otot tersebut dengan mengkontrol
imobilisasi sendi dan latihan aktif dinamik (isotonik) pada
seluruh otot lainnya di tubuh. Setelah periode imobilisasi,
latihan aktif sebaiknya tetap dilanjutkan.
4. Mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami
Jaringan muskuloskeletal bereaksi terhadap suatu fraktur sesuai
dengan hukum alami yang ada.
5. Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan
Dalam memilih pengobatan harus dipertimbangkan pengobatan yang
realistik dan praktis.
6. Seleksi pengobatan sesuai dengan pasien secara individual
Setiap fraktur memerlukan penilaian pengobatan yang sesuai, yaitu
dengan mempertimbangkan faktor umur, jenis fraktur, komplikasi
yang terjadi, dan perlu pula dipertimbangkan keadaan ekonomi pasien
secara individual.

Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif,


prinsip pengobatan ada empat (4R), yaitu :
 Recognition; diagnosis dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur
dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan lokalisasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan, dan komplikasi
yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
 Reduction; reduksi fraktur apabila perlu
Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi
yang dapat diterima. Pada fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi

23
anatomis dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal dan
mencegah komplikasi seperti kekakuan, deformitas, serta
perubahan osteoartritis di kemudian hari.
Posisi yang baik adalah alignment yang sempurna dan aposisi yang
sempurna.
Fraktur seperti fraktur klavikula, iga, dan fraktur impaksi dari
humerus tidak memerlukan reduksi. Angulasi <5º pada tulang
panjang anggota gerak bawah dan lengan atas dan angulasi sampai
10º pada humerus dapat diterima. Terdapat kontak sekurang-
kurangnya 50%, dan over-riding tidak melebihi 0,5 inchi pada
fraktur femur. Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun
lokalisasi fraktur.
 Retention; imobilisasi fraktur
 Rehabilitation; mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal
mungkin

Penatalaksanaan fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan


splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik
sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multipel
trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah
hemodinamis pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah
dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan “ORIF” maupun
“OREF”.

Tujuan pengobatan fraktur yaitu :


a. REPOSISI
Dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi. Teknik reposisi
terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal. Cara lain yaitu
dengan reposisi terbuka yang dilakukan pada pasien yang telah mengalami
gagal reposisi tertutup, fragmen bergeser, mobilisasi dini, fraktur multipel,
dan fraktur patologis.

24
b. IMOBILISASI / FIKSASI
Mempertahankan posisi fragmen post reposisi sampai union. Indikasi
dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan (shortening), fraktur
unstable serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar.
Jenis Fiksasi :
1. Eksternal / OREF (Open Reduction External Fixation)
• Gips (plester cast)
• Traksi
Jenis traksi :
• Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur humerus
• Skin traksi
Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen
akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila
kelebihan kulit akan lepas
• Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.
Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea,
femur, lutut), pada tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris). Adapun
komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan traksi yaitu gangguan
sirkulasi darah pada beban > 12 kg, trauma saraf peroneus (kruris) ,
sindroma kompartemen, infeksi tempat masuknya pin.

- Indikasi OREF :
• Fraktur terbuka derajat III
• Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
• Fraktur dengan gangguan neurovaskuler
• Fraktur Kominutif
• Fraktur Pelvis
• Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
• Non Union
• Trauma multipel

25
2. Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail.
Keuntungan cara ini adalah reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa
fiksasi luar.
- Indikasi ORIF :
• Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avascular nekrosis tinggi,
misalnya fraktur talus dan fraktur collum femur.
• Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulsi dan
fraktur dislokasi.
• Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya fraktur
Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur pergelangan
kaki.
• Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi, misalnya : fraktur femur.

 Penatalaksanaan Khusus
I. Penatalaksanaan Fraktur Tertutup
Prinsip tatalaksana untuk fraktur meliputi tindakan manipulasi untuk
memperbaiki posisi fragmen, diikuti pembebatan untuk mempertahankannya
bersama sebelum semua fragmennya menyatu, lalu melakukan tindakan
rehabilitasi guna menjaga fungsi dan pergerakan sendi. Penyembuhan fraktur
dibantu oleh pembebanan fisiologis pada tulang sehingga dianjurkan melakukan
aktivitas otot dan penahanan beban lebih awal. Secara umum, komponen
tatalaksana untuk fraktur tertutup meliputi Reduce (Reduksi), Hold
(Mempertahankan), dan Exercise (Latihan).
Permasalahnya adalah bagaimana cara menahan fraktur secara memadai
sambil tetap menggunakan tungkai secukupnya, hal ini menjadi pertentangan
antara “penahanan” lawan “gerakan” yang perlu dicari jalan keluarnya
secepatnya oleh tenaga medis (semisal dengan fiksasi internal), tetapi dia juga
ingin menghindari risiko yang tak perlu, hal ini menjadi pertentangan antara
“kecepatan” dan “keamanan”. Adanya dua konflik ini menggambarkan empat
faktor utama dalam penanganan fraktur (kuartet fraktur).

26
Perlu digarisbawahi untuk fraktur tertutup adalah hubungan fraktur dengan
jaringan sekitarnya yaitu jaringan lunak di sekitar lokasi fraktur. Tscherne tahun
1984 mencoba mengklasifikasikan fraktur tertutup menjadi :
Grade 0 : fraktur ringan tanpa kerusakan jaringan lunak
Grade 1 : fraktur dengan abrasi superfisial atau memar pada kulit dan jaringan
subkutan
Grade 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio di jaringan lunak bagian
dalam dan terdapat pembengkakan
Grade 3 : fraktur tertutup terberat dengan ancaman terdapat sindrom
kompartemen.
Semakin berat cedera yang terjadi akan lebih membutuhkan bentuk fiksasi
mekanik tertentu.

A. Reduce (Reduksi)
Meski terapi umum dan resusitasi harus selalu didahulukan, tidak boleh ada
keterlambatan dalam menangani fraktur, pembengkakan jaringan lunak
selama 12 jam pertama akan mempersulit reduksi. Akan tetapi, terdapat
beberapa kondisi yang tak memerlukan reduksi, yaitu :
1. Bila pergeseran tidak banyak atau tidak ada
2. Bila pergeseran tidak berarti (semisal fraktur clavicula)
3. Bila reduksi tampaknya tidak berhasil (semisal fraktur kompresi
vertebrae).
Penjajaran (alignment) fragmen lebih penting daripada aposisi, asalkan
diperoleh penjajaran yang normal. Yang menjadi pengecualian adalah fraktur
yang melibatkan permukaan sendi dimana ini harus direduksi sesempurna
mungkin agar tidak menimbulkan arthritis degeneratif.
Sejauh ini sudah diketahui ada dua metode reduksi yaitu :
a) Reduksi Tertutup
Penggunaan anestesi dan relaksasi otot yang tepat, memudahkan proses
reduksi melalui tiga tahap manuver yaitu : (1) bagian distal ditarik ke garis
tulang, (2) sementara fragmen terlepas, fragmen tersebut direposisi

27
(dengan membalikkan arah kekuatan asal kalau ini dapat diperkirakan), (3)
penjajaran disesuaikan di setiap bidang.
Cara ini efektif bila periosteum dan otot pada satu sisi fraktur tetap utuh,
pengikatan jaringan lunak mencegah reduksi yang berlebihan dan
menstabilkan fraktur setelah direduksi. Beberapa fraktur sulit direduksi
dengan manipulasi (seperti fraktur batang femur) karena tarikan otot
sangat kuat dan membutuhkan traksi yang lama. Reduksi tertutup
digunakan untuk semua fraktur dengan pergeseran minimal, pada fraktur
yang terjadi pada anak-anak dan pada fraktur yang stabil setelah reduksi.

Gambar. Reduksi Tertutup


b) Reduksi Terbuka
Reduksi bedah pada fraktur dilakukan atas indikasi :
1) Bila reduksi tertutup gagal, baik karena kesukaran mengendalikan
fragmen atau karena terdapat jaringan lunak di antara fragmen-fragmen
itu
2) Bila terdapat fragmen artikular yang cukup besar yang perlu
ditempatkan secara tepat
3) Bila terdapat fraktur traksi yang fragmennya terpisah.
Biasanya reduksi terbuka merupakan langkah awal untuk melakukan
fiksasi internal.

28
B. Hold (Mempertahankan Reduksi)
Kata imobilisasi untuk poin jarang digunakan karena sebenarnya tindakan
yang dilakukan merupakan pencegahan pergeseran. Namun pembatasan
gerakan tertentu diperlukan untuk membantu penyembuhan jaringan lunak
dan memungkinkan gerakan bebas pada bagian yang tidak terkena.
Metode yang tersedia untuk mempertahankan reduksi adalah sebagai berikut.
1) Traksi
2) Pembebatan Gips
3) Pemakaian Penahan Fungsional
4) Fiksasi Internal
5) Fiksasi Eksternal
Otot di sekeliling fraktur kalau utuh bertindak sebagai kompartemen cair;
traksi atau kompresi menciptakan efek hidrolik yang dapat membebat fraktur.
Karenanya metode tertutup cocok untuk fraktur dengan jaringan lunak yang
masih utuh dan cenderung gagal bila digunakan untuk fraktur dengan
kerusakan jaringan lunak yang hebat. Kontraindikasi lain untuk metode non-
operasi adalah fraktur yang sifatnya tidak stabil, fraktur ganda, dan fraktur
pada pasien yang tidak kooperatif.
1. Traksi
Adalah alat imobilisasi yang menggunakan kekuatan tarikan yang
diterapkan pada suatu bagian distal anggota badan dengan tujuan
mengembalikan fragmen tulang ke tempat semula.
Traksi dibagi menjadi beberapa macam, yaitu :
a) Traksi terus-menerus
Traksi dilakukan pada tungkai di bagian distal femur supaya
melakukan tarikan terus menerus pada poros panjang tulang itu. Cara
ini berguna untuk fraktur batang yang bersifat oblique atau spiral yang
mudah tergeser oleh kontraksi otot.
Traksi tidak dapat menahan fraktur tetap diam, traksi dapat menarik
tulang panjang secara lurus dan mempertahankan panjangnya tetapi
reduksi yang tepat kadang susah dipertahankan. Sementara itu pasien
dapat menggerakkan sendinya dan melatih ototnya.

29
b) Traksi dengan gaya berat
Digunakan pada cedera tungkai atas. Karenanya bila menggunakan
kain penggendong lengan, berat lengan akan memberikan traksi terus-
menerus pada humerus, untuk kenyamanan dan stabilitas, terutama
pada fraktur melintang.
c) Traksi kulit
Traksi dibebankan pada kulit dan jaringan lunak. Dilakukan bila daya
tarik yang diperlukan kecil (sekitar 4-5 kg). Penggunaannya dengan
ikatan elastoplast ditempelkan pada kulit yang telah dicukur dan
dipertahankan dengan suatu pembalut. Beberapa macam traksi kulit
adalah :
1) Traksi Bucks (digunakan pada fraktur femur, pelvis, dan lutut)
2) Traksi Bryants (untuk dislokasi sendi panggul pada anak)
3) Traksi Russells (untuk fraktur femur)
d) Traksi skeletal
Traksi dibebankan pada tulang pasien dengan menggunakan pin
logam dan atau kawat Kirschner, biasanya di belakang tuberkel tibia
untuk cedera pinggul, paha dan lutut, di sebelah bawah tibia atau pada
kalkaneus untuk fraktur tibia. Kalau digunakan pen, dipasang kait
yang dapat berputar dengan bebas, dan tali dipasang pada kait itu
untuk menerapkan traksi. Dilakukan bila daya tarik yang diperlukan
lebih besar (1/5 dari berat badan) dan untuk jangka waktu lama.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :
a) pada anak-anak, traksi dan pembalut melingkar dapat menghambat
sirkulasi
b) pada orang yang lebih tua, traksi dapat menyebabkan cedera saraf
peroneus communis yang menyebabkan drop-foot.
c) Sindroma kompartemen yang terjadi akibat traksi berlebihan melalui pen
kalkaneus.

30
Gambar. Jenis-jenis traksi

31
2. Bebat Gips
Penggunaan gips (plaster of paris) sebagai bebat imobilisasi yang cukup
mudah dan murah untuk dilakukan, dimana pasien juga dapat pulang lebih
cepat. Biasanya digunakan untuk fraktur tungkai distal dan untuk fraktur
pada anak. Meskipun diketahui gips ini membuat pasien kurang nyaman
karena kerasnya gips dalam mengimobilisasi jaringan di bawahnya dan
kecepatan penyatuannya tidaklah lebih baik dibandingkan dengan traksi.
Tehnik pemasangan gips :
Setelah fraktur direduksi, pasang kaus kaki pada tungkai dan tonjolan
tulang dilindungi dengan wol. Gips kemudian dipasang. Sementara gips
mengeras, tenaga medis membentuknya agar tonjolan tulang tidak
tertekan. Pembebatan gips ini tidak boleh dihentikan sebelum fraktur
berkonsolidasi, kalaupun diperlukan perubahan gips, diperlukan
pemeriksaan sinar-X.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut.
a) Cetakan gips yang ketat
Pasien akan mengeluh nyeri yang difus kemudian muncul
pembengkakan. Tungkai harus ditinggikan untuk mengurangi
keluhan. Kalaupun nyeri tetap ada, penanganannya adalah melepas
gips.
b) Luka akibat tekanan
Gips dapat menekan kulit pada tonjolan tulang (patella, tumit, siku)
dan pasien akan mengeluh nyeri lokal di atas tempat tekanan.
c) Abrasi kulit
Terjadi bila pelepasan gips tidak dilakukan dengan benar

32
Gambar. Pemasangan Gips
3. Pemakaian Penahan Fungsional
Penggunaan alat ini biasanya untuk fraktur femur, tibia, akan tetapi
penahan ini bersifat tidak kaku, sehingga hanya dipakai bila fraktur mulai
menyatu, semisal 3-6 minggu setelah traksi atau pemasangan gips.
Adapun penggunaan alat ini harus memenuhi syarat sebagai berikut.
a) Fraktur dapat dipertahankan dengan baik,
b) Sendi dapat digerakkan,
c) Fraktur menyatu dengan kecepatan normal,
d) Memastikan metode yang dipakai itu aman.
Hal ini cukup berisiko bila pemasangan alat ini tidak oleh tenaga
berpengalaman dikarenakan dapat menyebabkan mal-union pada fraktur
yang lebih besar.
Tehnik pemasangannya adalah dengan menstabilkan frakturnya terlebih
dahulu (dalam gips atau traksi), lalu dipasang alat ini yang dapat menahan
fraktur tapi memungkinkan gerakan sendi, dan selalu dianjurkan
melakukan aktivitas fisik fungsional termasuk penahanan beban.

33
Gambar. Alat Penahan Fungsional
4. Fiksasi Internal
Fragmen tulang dapat diikat dengan sekrup, pen, paku pengikat, plat
logam dengan sekrup, paku intramedular yang panjang (dengan atau tanpa
sekrup pengunci), atau kombinasinya.
Bila dipasang dengan semestinya, fiksasi internal menahan fraktur dengan
aman sehingga gerakan dapat segera dilakukan. Semakin segera gerakan
dapat dilakukan, semakin rendah pula risiko terjadinya kekakuan dan
edema. Dalam hal kecepatan, pasien dapat meninggalkan rumah sakit
segera setelah luka sembuh, dikarenakan fraktur yang terjadi sudah
dipertahankan dengan jembatan logam.
Bahaya yang mungkin terjadi adalah infeksi yang dapat menyebabkan
sepsis. Risiko infeksi ini tergantung pada kebersihan luka yang dibuat
pada tubuh pasien, keterampilan tenaga medis dalam melakukan
pembedahan dan jaminan asepsis saat di ruang operasi.
Tindakan ini baru bisa dilakukan atas indikasi :
a) Fraktur yang terjadi tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi
b) Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung akan bergeser
setelah direduksi.
c) Fraktur yang penyatuannya kurang baik dan perlahan, terutama fraktur
leher femur

34
d) Fraktur patologis dimana penyakit yang mendasarinya mencegah
penyembuhan
e) Fraktur multipel
f) Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya (pasien lanjut usia,
pasien paraplegia)

Gambar. Fiksasi Internal

DAPAT diperbaiki

PERLU DASAR
diperbaiki KETRAMPILA
N
HARUS
diperbaiki

Gambar. Tangga Indikasi


Indikasi untuk fiksasi tidak tetap; karena itu, jika ketrampilan operasi atau
daya dukung fasilitas (staff, sterilitas dan perlengkapan) kurang memadai, fiksasi
internal diindikasikan hanya bila alternatifnya tidak dapat diterima (missal pada

35
fraktur leher femur). Bila tingkat ketrampilan dan fasilitas sedang, fiksasi
diindikasikan bila metode alternaif dapat dilakukan tetapi sukar atau tidak
bijaksanan (missal cedera multiple). Bila ketrampilan dan fasilitas baik, fiksasi
pantas dilakukan jika menghemat waktu, uang atau lama perawatan.
Gambaran beberapa jenis tehnik pemasangan fiksasi internal:

A B

C
36
D E

F G

Gambar. Jenis Fiksasi Internal


(A) Screws – interfragmentary compression (B) Interlocking nail & screw
(C) Flexible intramedullary nails (D) Tension-band wiring (E) Kirschner wires
(F) Dynamic compression screw & plate (G) Plate & screw

Komplikasi yang sering terjadi akibat fiksasi internal adalah infeksi, non-
union (dikarenakan terdapat gap yang cukup jauh antar sekrup yang
dipasang pada plat logam yang ditanam), kegagalan implan (dikarenakan
buruknya kualitas plat logam yang keropos) dan fraktur kembali
(dikarenakan terlalu cepat melepas plat logam yang dipasang). Waktu
minimal yang dibutuhkan untuk melepas plat logam tersebut adalah
sekitar satu tahun.

37
5. Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksternal ini dilakukan atas indikasi :
a) Fraktur disertai kerusakan pembuluh darah atau saraf
b) Fraktur disertai kerusakan jaringan lunak yang hebat
c) Fraktur dengan keadaan sangat kominutif dan sangat tidak stabil
d) Fraktur disertai dengan keadaan infeksi

A B C D E

Gambar. Alat Fiksasi Eksternal


Laki-laki ini mengalami fraktur kaki dalam kecelakaan ski. Meskipun dilakukan fiksasi
internal, fraktur mengarah pada non-union. (a) osteotomi dan kalotasis pada setengah
bagian proksimal tulang itu memungkinkan dilakukannya secara serentak pemanjangan
TIBIA dan fiksasi kompresi pada fraktur yang tak menyatu (b,c,d) sementara pasien
berjalan dengan fiksator luar (e) tiga bulan kemudian fraktur menyatu dan fiksator luar
dapat dilepas.

Teknik
Prinsip fiksasi eksternal sederhana yaitu tulang ditransfiksikan di atas dan di
bawah fraktur dan sekrup atau kawat transfiksasi bagian proksimal dan distal
dihubungkan satu sama lain dengan batang yang kaku.
Komplikasi fiksasi eksternal adalah sebagai berikut:
- Overdistraksi fragmen sehingga dipertahankan terpisah
- Berkurangnya penyaluran beban melalui tulang, yang menunda
penyembuhan fraktur dan menyebabkan osteoporosis, karena alesan

38
tersebut sehingga fiksasi luar dilepas setelah 6-8 minggu kemudian diganti
dengan jenis pembebatan yang memungkinkan pembebanan tulang
- Infeksi di tempat pen

C. Exercise
Pengertian Exercise dalam konteks ini adalah suatu tindakan rehabilitatif
guna memperbaiki pergerakan sendi dan kekuatan otot agar bisa kembali
menjalankan fungsi kehidupannya seperti sedia kala.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam poin ini, yaitu:
- Mencegah edema
Alasan mengapa elevasi ini dilakukan guna mengurangi edema yang
terjadi akibat fraktur, adapun edema yang terjadi ini dapat menyebabkan
kekakuan sendi terutama di tangan.
- Peninggian
Tungkai yang cedera perlu ditinggikan, setelah reduksi pada fraktur kaki,
kkaki tempat tidur ditinggikan dan latihan dimulai. Jika kaki digips,
tungkai hanya boleh pada posisi di bawah.jika gips dilepas, kaki dibalut
dan latihan aktif disertai peninggian pengaturan peredaran darah.
- Latihan rehabilitatif aktif,
Latihan rehabilitatif pun dilakukan atas alasan agar membantu
memompa cairan edema yang ada, menstimulasi sirkulasi, mencegah
terjadinya adhesi jaringan lunak, dan dapat mempercepat penyembuhan
fraktur
- Gerakan berbantuan,
Latihan yang dimaksud disini adalah bukan latihan aktif berat,
melainkan latihan aktivitas normal yang tidak memberatkan. Adapun bila
pasien tidak bisa melakukan tindakan rehabilitatif aktif, bisa digunakan
alat rehabilitatif pasif menggunakan mesin yang dinamakan CPM
(Continuous Passive Motions).

39
Gambar . Alat CPM
- Aktivitas fungsional.
Seiring waktu berjalan, pasien juga harus diajarkan kembali bagaimana
melakukan kegiatan sehari-hari seperti berjalan, mandi, berpakaian, dan
lain-lain. Pasien juga diajarkan agar tidak takut menggunakan anggota
tubuh yang mengalami fraktur. Adapun dukungan keluarga cukup banyak
membantu dalam proses kesembuhan pasien dan perbaikan kualitas hidup
pasien ke depannya.

II. Penatalaksanaan Fraktur Terbuka


Pencegahan infeksi pada fraktur terbuka penting dilakukan yaitu berupa
pembalutan luka dengan segera, profilaksis antibiotika, debridement luka secara
dini, dan stabilisasi fraktur.
Beberapa prinsip dasar pengelolaan fraktur tebuka:9
1. Obati fraktur terbuka sebagai satu kegawatan.
2. Adakan evaluasi awal dan diagnosis akan adanya kelainan yang dapat
menyebabkan kematian.
3. Berikan antibiotic dalam ruang gawat darurat, di kamar operasi dan setelah
operasi.
4. Segera dilakukan debrideman dan irigasi yang baik
5. Ulangi debrideman 24-72 jam berikutnya
6. Stabilisasi fraktur.
7. Biarkan luka tebuka antara 5-7 hari
8. Lakukan bone graft autogenous secepatnya
9. Rehabilitasi anggota gerak yang terkena
A. Penanganan dini

40
Penanganan dini luka harus tetap ditutup hingga pasien tiba di kamar
bedah. Pemberian antibiotik dilakukan secepat mungkin. Antibiotik yang
diberikan berupa kombinasi benzilpenisilin dan fluloksasilin tiap 6 jam selama 48
jam, sedangkan jika luka terkontaminasi dapat diberikan gentamisin atau
metronidazol selama 4 atau 5 hari.
Pemberian profilaksis tetanus toksoid pada pasien yang telah diimuniasi
dan antiserum manusia pada pasien yang belum diimunisasi.

Menerima dari Hari ke 0 Gabungan penilaian konsultan


unit orthopedi Rencana Manajemen
Debridemen
Monitoring Kompartemen
Transfer ke unit Bedah Hari ke 2
Plastik kecuali jika pasien
memiliki cedera multipel Fasciotomi
mungkin
Pengamatan kedua
diperlukan
Debridemen lebih lanjut
Hari ke 4 pada setiap
Penutupan jaringan lunak jika
waktu sebelum
memungkinkan
5 hari pertama

Pengamatan kembali dan jika perlu


penutupan jaringan lunak

Gambar. Manajemen fraktur terbuka.


Flow Chart menunjukkan manajemen dari fraktur terbuka tibia.

B. Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl
fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.

C. Debridemen
Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah
tempat pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit,
jaringan subkutaneus, lemak, fascia, otot dan fragmen-fragmen yang lepas.
Debridement adalah pengangkatan jaringan yang rusak dan mati sehingga luka
menjadi bersih. Untuk melakukan debridement yang adekuat, luka lama dapat

41
diperluas, jika diperlukan dapat membentuk irisan yang berbentuk elips untuk
mengangkat kulit, fasia serta tendon ataupun jaringan yang sudah mati.
Debridement yang adekuat merupakan tahapan yang penting untuk pengelolaan.
Debridement harus dilakukan sistematis, komplit serta berulang. Diperlukan
cairan yang cukup untuk fraktur terbuka, menggunakan cairan normal saline.
Prinsip debridement adalah untuk membersihkan kontaminasi yang
terdapat di sekitar fraktur dengan melakukan pengangkatan terhadap jaringan
yang non viabel dan material asing, seperti pasir yang melekat pada jaringan
lunak. Dilakukan penilaian pada sekitar jaringan sekitar tulang, cedera pembuluh
darah, tendon, otot, saraf. Debridement jaringan otot dipertimbangkan jika otot
terkontaminasi berat dan kehilangan kontraktilitas. Debridement pada tendon
mempertimbangkan kontraktilitas tendon, sedangkan debridement pada kulit
dilakukan hingga timbul perdarahan. Pada fraktur terbuka grade IIIb dan IIIc
dilakukan serial debridement yang diulang dalarn selang waktu 24-72 jam untuk
tercapainya debridement definitif.

D. Operatif/Pembedahan
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari bahan asing dan jaringan
mati, serta memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian tersebut.
Dalam anestesi umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten
mempertahankan traksi pada tungkai yang mengalami cedera dan menahannya
agar tetap diam. Pembalut yang sebelumnya digunakan pada luka diganti dengan
bantalan yang steril dan kulit di sekitarnya dibersihkan dan dicukur. Kemudian
bantalan diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan garam fisiologis. Irigasi
akhir dapat disertai antibiotik seperti basitrasin. Tornikuet tidak digunakan karena
dapat membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan struktur yang mati.
 Kulit
Pertahankan kulit semaksimal mungkin, luka dieksisi sedikit mungkin dari
tepi luka. Luka sering diperluas dengan insisi yang terencana untuk
memperoleh daerah terbuka yang memadai. Setelah diperluas, pembalut dan
bahan asing lainnya dapat dilepas.
 Fasia

42
Fasia dibelah secara meluas sehingga sirkulasi tidak terhalang.
 Otot
Otot yang mati dapat membahayakan karena otot tersebut dapat menjadi
sumber makanan bagi bakteri. Otot yang mati ini biasanya dapat dikenali
dengan adanya perubahan warna yang keungu-unguan, konsistensi buruk,
tidak dapat berkontraksi jika dirangsang, dan tidak berdarah jika dipotong.
Semua otot mati dan kemampuan hidupnya meragukan sebaiknya dieksisi.
 Pembuluh darah
Pembuluh darah yang banyak mengalami perdarahan diikat dengan cermat
tetapi untuk meminimalkan jumlah benang yang tertinggal dalam luka,
pembuluh kecil dijepit dengan gunting tang arteri dan dipilin.
 Saraf
Saraf yang terpotong dan baik akan dibiarkan saja. Jika luka bersih dan
ujung saraf dijahit dengan bahan yang tidak dapat diserap untuk memudahkan
pengenalan di hari berikutnya.
 Tendon
Biasanya tendon yang terpotong juga dibiarkan saja. Seperti halnya saraf,
penjahitan diperbolehkan hanya kalau luka itu bersih dan diseksi tidak
diperlukan.
 Tulang
Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan kembali
pada posisi yang benar. Tulang seperti kulit harus diselamatkan, fragmen baru
boleh dibuang bila kecil dan lepas semua sekali.
 Sendi
Cedera sendri terbuka diterapi dengan pembersihan luka, penutupan
sinovium dan antibiotika sistemik. Drainase atau irigasi sedang hanya
digunakan jika terjadi kontaminasi hebat.

E. Penutupan luka
Luka kecil tipe 1 dan tidak terkontaminasi yang dibalut dalam beberapa
jam setelah cedera , setelah debridemen dan dapat dijahit (asalkan dapat dilakukan
tanpa tegangan) atau dilakukan pencangkokan kulit. Luka yang lain harus

43
dibiarkan terbuka hingga bahaya tegangan dan infeksi terlewati. Luka dibalut
sekedarnya dengan kassa steril dan diperiksa setelah 5 hari. Jika bersih, luka
tersebut dijahit atau dilakukan pencangkokan kulit ( penutupan primer tertunda).
Luka tipe III mungkin perlu debridement lebih dari sekali dan memrlukan
bedah plastic untuk penutupan luka, serta penggunaan penutup otot vaskuler.
Idealnya, penutupan luka seharusnya terjadi selama 72 jam, atau lebih cepat.
Penutupan luka hamper selalu membutuhkan cangkok kulit atau penutup lainnya
(penutup bebas, fasciocutenus, dan vaskularisasi).

F. Stabilisasi fraktur
Stabilisasi fraktur diperlukan untuk mengurangi kemungkinan infeksi dan
pemulihan jaringan lunak. Cara fiksasi tergantung derajat kontaminasi, lamanya
dari kejadian hingga operasi, serta kerusakan jaringan lunak. Jika tidak terdapat
kontaminasi nyata dan selang waktunya kurang dari 8 jam, fraktur terbuka dari
semua grade hingga tipe IIIA dapat ditangani seperti luka tertutup, berupa cast
splintage, pemberian paku intramedular atau fiksasi eksternal dapat dilakukan
tergantung karakteristik dari fraktur dan luka. Luka yang sangat parah hampir
akan melibatkan bedah bplastik dan bedah orthopedi. Metode dalam stabilisasi
tergantung luasnya dari penutup jaringan lunak yang membutuhkan pemakaian
penutup, meskipun fiksasi internal dapat mengatasi masalahnya. Pada unit
tertentu, jika pekerja memiliki pengalaman yang banyak dalam penyembuhan
fraktur terbuka yang parah, meskipun luka grade IIIB dapat diatasi dengan
mengunci paku. Plat dan screw dapat digunakan untuk fraktur metafisis atau
artikuler, dengan syarat ahli bedah tersebut berpengalaman dalam
menggunakannya dan keadaannya ideal.

44
Gambar. Tatalaksana fraktur terbuka
Stabilisasi fraktur sangat menentukan dan biasanya terbaik
dicapai dengan fiksasi eksternal.

G. Perawatan Lanjutan Pasca Tindakan


Tungkai ditinggikan di atas tempat tidur dan sirkulasinya diperhatikan
dengan cermat. Syok mungkin masih membutuhkan terapi. Antibiotik dilanjutkan
jika luka terbuka, kultur sudah didapat dan jika perlu penggantian antibiotik.
Jika luka dibiarkan terbuka, periksa setelah 5-7 hari. Penjahitan primer
tertunda sering aman, atau jika terdapat banyak kehilangan kulit dapat dilakukan
pencangkokan kulit. Jika terus terjadi toksemia atau septicemia meskipun telah
diberi kemoterapi, luka tersebut didrainase (terapi aman satu-satunya jika fraktur
yang tidak ditangani 24 jam setelah cedera).

Gambar. Fraktur terbuka – Infeksi


(a).Fragmen tibia bagian atas telah menembus kulit, namun fraktur tetap diberi
plat. (b).Luka sembuh dengan cepat; fraktur tidak; beberapa bulan kemudian kulit
menjadi merah dan parah (c).Plat dilepas setelah 1 tahun (d)-tulang masih
terinfeksi, fraktur masih belum terkonsolidasi.

H. Sequele pada Fraktur Terbuka


 Kulit

45
Jika terdapat kehilangan kulit atau kontraktur, pencangkokan mungkin
diperlukan. Bila dilakukan operasi perbaikan atau rekonstruksi pada jaringan yang
lebih dalam, pencangkokan kulit dengan ketebalan penuh sangat diperlukan.
 Tulang
Infeksi dapat mengakibatkan sekuster dan sinus. Sekuester yang kecil
harus disingkirkan secara dini, tetapi potongan tulang yang besar tidak boleh
dieksisi. Penundaan penyatuan tidak dapat dielakkan setelah infeksi fraktur, tetapi
penyatuan akan terjadi jika infeksi dikendalikan dan terapi dilanjutkan dalam
waktu yang cukup lama.
 Sendi
Bila fraktur yang terinfeksi mempunyai hubungan dengan suatu sendi,
prinsip terapinya sama seperti infeksi tulang, yaitu pengobatan, drainase, dan
pembebatan. Sendi itu harus dibebat dalam posisi optimum untuk ankilosis, agar
ini tidak terjadi. Pada fraktur terbuka, meskipun tidak berhubungan dengan sendi,
kekakuan hampIr tidak dapat dihindari. Keadaan ini dapat diminimalkan dengan
latihan aktif yang ditingkatkan secara perlahan atau dengan gerakan pasif yang
terus menerus, bila telah dipastikan bahwa infeksi telah dapat diatasi.

2.2.8 Penyembuhan Fraktur2,5


Penyembuhan fraktur merupakan suatu proses biologis yang menakjubkan.
Tidak seperti jaringan lainnya, tulang yang mengalami fraktur dapat sembuh tanpa
jaringan parut. Pengertian tentang reaksi tulang yang hidup dan periosteum pada
penyembuhan fraktur merupakan dasar untuk mengobati fragmen fraktur. Proses
penyembuhan pada fraktur mulai terjadi segera setelah tulang mengalami
kerusakan apabila lingkungan untuk penyembuhan memadai sampai terjadi
konsolidasi. Faktor mekanis yang penting seperti imobilisasi fragmen tulang
secara fisik sangat penting dalam penyembuhan, selain faktor biologis yang juga
merupakan suatu faktor yang sangat esensial dalam penyembuhan fraktur. Proses
penyembuhan fraktur berbeda pada tulang kortikal pada tulang panjang serta
tulang kanselosa pada metafisis tulang panjang atau tulang-tulang pendek,
sehingga kedua jenis penyembuhan fraktur ini harus dibedakan.

46
Proses Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu:

1.

1. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil
yang melewati kanalikuli dalam sistem harvesian mengalami robekan pada
daerah fraktur dan akan membentuk hematoma di antara kedua sisi fraktur.
Hematoma yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong
dan dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi
sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah
fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu
daerah cincin avaskuler tulang yang matipada sisi sisi fraktur segera
setelah trauma. Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi
sampai 2 – 3 minggu.

2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal


Pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu
reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel
osteogenik yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk suatu
kalus eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus interna
sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan

47
yang hebat pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari
diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam
jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi
pertambahan jumlah dari sel-sel osteogenik yang memberi pertumbuhan
yang cepat pada jaringan osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor
ganas. Jaringan seluler tidak terbentuk dari organisasi pembekuan
hematoma suatu daerah fraktur.
Setelah beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa
yang meliputi jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus
belum mengandung tulang sehingga merupakan suatu daerah radiolusen.
Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan
berakhir pada minggu ke 4 – 8.

3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)


Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen
sel dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas
membentuk tulang rawan. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks
interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh garam-garam
kalsium membentuk suatu tulang imatur. Bentuk tulang ini disebut sebagai
woven bone. Pada pemeriksaan radiologis pertama terjadi penyembuhan
fraktur.

4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)

48
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang
menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara
bertahap. Pada fase 3 dan 4 dimulai pada minggu ke 4 – 8 dan berakhir
pada minggu ke 8 – 12 setelah terjadinya fraktur.

5. Fase remodelling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian
yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis
medularis. Pada fase remodelling ini, perlahan-lahan akan terjadi resorbsi
secara osteoklasik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada tulang dan
kalus eksterna secara perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediat
berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem harvesian dan
kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk ruang
sumsum. Pada fase terakhir ini, dimulai dari minggu ke 8 – 12 dan
berakhir sampai beberapa tahun dari terjadinya fraktur.

WAKTU PENYEMBUHAN FRAKTUR


Waktu penyembuhan fraktur bervariasi secara individual dan berhubungan
dengan beberapa faktor penting pada penderita, antara lain:

1. Umur penderita
Waktu penyembuhan tulang pada anak – anak jauh lebih cepat pada orng
dewasa. Hal ini terutama disebabkan karena aktivitas proses osteogenesis

49
pada daerah periosteum dan endoestium dan juga berhubungan dengan
proses remodeling tulang pada bayi pada bayi sangat aktif dan makin
berkurang apabila unur bertambah

2. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur


Lokalisasi fraktur memegang peranan sangat penting. Fraktur metafisis
penyembuhannya lebih cepat dari pada diafisis. Disamping itu konfigurasi
fraktur seperti fraktur tranversal lebih lambat penyembuhannya dibanding
dengan fraktur oblik karena kontak yang lebih banyak.

3. Pergeseran awal fraktur


Pada fraktur yang tidak bergeser dimana periosteum intak, maka
penyembuhannya dua kali lebih cepat dibandingkan pada fraktur yang
bergeser. Terjadinya pergeseran fraktur yang lebih besar juga akan
menyebabkan kerusakan periosteum yang lebih hebat.

4. Vaskularisasi pada kedua fragmen


Apabila kedua fragmen memiliki vaskularisasi yang baik, maka
penyembuhan biasanya tanpa komplikasi. Bila salah satu sisi fraktur
vaskularisasinya jelek sehingga mengalami kematian, maka akan
menghambat terjadinya union atau bahkan mungkin terjadi nonunion.

5. Reduksi dan Imobilisasi


Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk vaskularisasi yang
lebih baik dalam  bentuk asalnya. Imobilisasi yang sempurna akan
mencegah pergerakan dan kerusakan pembuluh darah yang akan
mengganggu penyembuhan fraktur.

6. Waktu imobilisasi
Bila imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan sebelum
terjadi union, maka kemungkinan untuk terjadinya nonunion sangat besar.

50
7. Ruangan diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan
lemak.
Bila ditemukan interposisi jaringan baik berupa periosteal, maupun otot
atau jaringan fibrosa lainnya, maka akan menghambat vaskularisasi kedua
ujung fraktur.

8. Adanya infeksi
Bila terjadi infeksi didaerah fraktur, misalnya operasi terbuka pada fraktur
tertutup atau fraktur terbuka, maka akan mengganggu terjadinya proses
penyembuhan.

9. Cairan Sinovia
Pada persendian dimana terdapat cairan sinovia merupakan hambatan
dalam penyembuhan fraktur.

10. Gerakan aktif dan pasif anggota gerak


Gerakan pasif dan aktif pada anggota gerak akan meningkatkan
vaskularisasi daerah fraktur tapi gerakan yang dilakukan didaerah fraktur
tanpa imobilisasi yang baik juga akan mengganggu vaskularisasi.

Penyembuhan fraktur berkisar antara 3 minggu – 4 bulan. Waktu penyembuhan


pada anak secara kasar setengah waktu penyembuhan daripada orang dewasa.

Perkiraan  penyembuhan fraktur pada orang dewasa dapat di lihat pada table
berikut :
LOKALISASI WAKTU PENYEMBUHAN (minggu)
Phalang / metacarpal/ metatarsal / kosta 3 – 6
Distal radius 6
Diafisis ulna dan radius 12
Humerus 10 – 12
Klavicula 6
Panggul 10 – 12

51
Femur 12 – 16
Condillus femur / tibia 8 – 10
Tibia / fibula 12 – 16
Vertebra 12

PENILAIAN PEYEMBUHAN FRAKTUR


Penilaian penyembuhan fraktur (union) didasarkan atas union secara klinis
dan union secara radiologik. Penilaian secara klinis dilakukan dengan
pemeriksaan daerah fraktur dengan melakukan pembengkokan pada daerah
fraktur, pemutaran dan kompresi untuk mengetahui adanya gerakan atau perasaan
nyeri pada penderita. Keadaan ini dapat dirasakan oleh pemeriksa atau oleh
penderita sendiri. Apabila tidak ditemukan adanya gerakan, maka secara klinis
telah terjadi union dari fraktur.
Union secara radiologik dinilai dengan pemeriksaan roentgen pada daerah
fraktur dan dilihat adanya garis fraktur atau kalus dan mungkin dapat ditemukan
adanya trabekulasi yang sudah menyambung pada kedua fragmen. Pada tingkat
lanjut dapat dilihat adanya medulla atau ruangan dalam daerah fraktur.
Salah satu tanda proses penyembuhan fraktur adalah dengan terbentuknya
kalus yang menyeberangi celah fraktur (bridging callus) untuk menyatukan
kembali fragmen-fragmen tulang yang fraktur). Pembentukan bridging callus
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jarak antara fragmen, stabilitas fraktur,
vaskularisasi, keadaan umum penderita, umur, lokasi fraktur, infeksi dan lain-lain.
Vaskularisasi daerah fraktur dapat berasal dari periosteum, endosteum dan
medulla.

52
2.2.9 Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat
penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik.
a. Komplikasi umum5,6
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernafasan. Ketiga macam komplikasi tersebut dapat terjadi
dalam 24 jam pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan
terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi
umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau
gas gangren.

b. Komplikasi Lokal5
Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca
trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut
komplikasi lanjut.
• Pada Tulang
1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi
pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan
non union

53
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering
terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga
terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi.
• Pada Jaringan lunak
1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial
karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan
melakukan pemasangan elastik.
2. Dekubitus. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh
karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.

• Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut
terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut
yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit
dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush atau thrombus.
• Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus.
Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi
dan perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis.
Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan
mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan
intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri
yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh
vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal
lesi.
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot
pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan
neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat
terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran
darah dan terjadi edema dalam otot.

54
Apabila iskemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat
menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan
fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur
volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor
(pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis
• Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis
(kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi
nervus.5

Komplikasi lanjut5,6
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada
pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau
perpanjangan.
• Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal.
Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-
ujung fraktur.
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Bila
lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)
• Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union)
Tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen
fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union
dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.
Tipe II (atrophic non union)
Disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial
sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak
akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.

55
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum
yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi
yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi,
infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis)
• Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas.
Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi.
• Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai
non union (infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang mengalami
osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan
atropi otot.
• Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama,
sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler,
perlengketan antara otot dan tendon. Pencegahannya berupa memperpendek
waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan
periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan
kekakuan sendi menetap.

56
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Masalah pada tulang yang mengakibatkan keparahan disabilitas adalah
fraktur. Penyebabnya dapat berupa trauma langsung dan tidak langsung.
Diagnosis frakturdidapatkan dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik serta
penunjang berupa pemeriksaan rafiologis. Tujuan dari tata laksana fraktur adalah
untuk mengurangi resiko infeksi, terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi
anggota gerak. Penatalaksanaan fraktur tertutup dan terbuka berbeda.

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Ed: Ke-6. Jakarta: EGC.
2. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi: Struktur dan Fungsi Tulang,
Edisi ke-3. Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2008; 6-11.
3. Carlos Junqueira, Jose Carniero, Robert Kelley. 1998. Histologi Dasar.
Jakarta : EGC.
4. Ott S. Bone Growth and Remodelling. 2008. Available from:URL:
depts.washington.edu/bonebio/ASBMRed/growth.html. Accessed 5
November 2014.
5. Solomon L, et al (eds). Apley’s system of orthopaedics and fractures. 9 th
ed. London: Hodder Arnold; 2010.
6. Chapman MW. Chapman’s orthopaedic surgery. 3rd ed. Boston: Lippincott
Williams&wilkins; 2001. p 756-804.
7. Konowalchuk BK, editor. Tibia shaft fractures [online]. 2012. Available
from: http://www.emedicine.medscape.com/article/1249984 Accessed 5
November 2014.
8. Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the muesculoskeletal
system. USA: Williams & Wilkins; 1999. p. 436-8.
9. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi: Trauma, Fraktur Terbuka,
Edisi ke-3. Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2008; 317-478.

58
10. Buckley, R. General Principles of Fracture Care Treatment and
Management. Emedicine Drugs, Desease and Procedures. 2012.

59

Anda mungkin juga menyukai