Disusun Oleh:
i
DAFTAR ISI
i
3.3 Metode Analisis .........................................................................................60
3.3.1 Metode Analisis Kondisi Fisik.............................................................60
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
ketidaksesuaian antara penggunaan lahan dengan rencana peruntukannya (Eko &
Rahayu, 2012).
Kawasan yang kami kaji ialah Kecamatan Ngamprah, Padalarang, dan
Batujajar sebagai kawasan perkotaan. Kawasan Perkotaan Kabupaten Bandung
Barat merupakan salah satu kawasan yang strategis Berdasarkan RTRW Kabupaten
Bandung Barat Tahun 2009-2029, Kecamatan Ngamprah, Padalarang, dan
Batujajar termasuk ke dalam Kawasan Stratergis Perkotaan
Pentingnya mengkaji aspek fisik dan tata guna lahan di kawasan perkotaan
ialah untuk mengetahui karakteristik fisik yang ada di kawasan tersebut,
mengetahui kemampuan dan kesesuaian lahan. Dimana kawasan perkotaan
biasanya terjadi alih fungsi lahan, dari lahan Non-terbangun menjadi lahan
terbangun untuk kepentingan produksi, perumahan, dan permukiman Dengan
mengetahui lebih detail mengenai aspek fisik dan tata guna lahan, maka dapat
menggali isu potensi dan masalah yang berkaitan dengan aspek fisik dan tata guna
lahan yang ada di kawasan tersebut. Aspek fisik dan tata guna lahan yang ada di
Kawasan Pekotaan Kabupaten Bandung Barat perlu ditinjau lebih jauh lagi untuk
mengetahui arahan kesesuaian lahan yang sesuai dalam rencana tata ruang.
1.2 Isu
a. Berdasarkan BPBD KBB terdapat bencana longsor dengan ukuran tinggi sekitar
20 meter dan lebar 25 meter dan juga bencana banjir yang berada di Desa
Jayamekar Kecamatan Padalarang yang di akibatkan oleh curah hujan yang
tinggi dengan waktu yang lama serta kondisi tanah yang labil (Duddy Prabowo,
2020)
b. Berdasrkan BPBD saat musim kemarau kecamatan ngamprah dan padalarang
mengalami bencana kekeringan yang mengakibatkan krisis air bersih (Duddy
Prabowo, 2021)
c. Potensi gerekan tanah yang berada di Kawasan perkotaan Kabupaten Bandung
Barat masuk kedalam tingkat menengah-tinggi (Badan Geologi, 2018)
2
d. Adanya potensi Longsor sehingga Pemkab Kabupaten Bandung Barat
menghentikan Sementara Pembangunan Perumahan di kecamatan Batujajar
(Asep Sodikin, 2021)
3
A. Ruang Lingkup Wilayah Kajian
Kawasan Kabupaten Bandung Barat terletak antara 60,373’ sampai dengan
70,131’ Lintang Selatan dan 1070,110’ dampai dengan 10701440’06” Bujur Timur.
Kabupaten Bandung Barat merupakan dataran tinggi yang memilki ketinggian 110
m sampai 2.2429 m dpl. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan:
▪ Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Cianjur
▪ Sebelah Utara : Berbatasan deng Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten
Subang
▪ Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi
▪ Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Selatan Kabupaten Bandung dan
Kabupaten Cianjur
Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 16 Kecamatan dengan luas wilayah
keseluruhan mencapai 1.305,77 km2. Berikut ini adalah tabel luas wilayah
berdasarkan luas kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung Barat.
4
No Kecamatan Luas Kecamatan (km2) Persentase (%)
14 Cisarua 55,11 4,22
15 Cikalong Wetan 112,93 8,66
16 Cipeundeuy 101,09 7,75
Total 1.305,77 100
Sumber: BPS Kabupaten Bandung Barat Dalam Angka 2021
5
Gambar 1. 1 Peta Administrasi Kabupaten Bandung Barat
6
B. Ruang Lingkup Wilayah Internal
1) Batas wilayah administratif Kecamatan Ngamprah, yaitu:
- Sebelah Utara : Kecamatan Cisarua
- Sebelah Selatan : Kota Cimahi
- Sebelah Barat : Kecamatan Padalarang
- Sebelah Timur : Kota Cimahi
7
2) Batas wilayah administratif Kecamatan Padalarang, yaitu:
- Sebelah Utara : Kecamatan Cikalongwetan
- Sebelah Selatan : Kecamatan Batujajar
- Sebelah Barat : Kecamatan Cipatat dan Saguling
- Sebelah Timur : Kecamatan Cisarua, Kecamatan Ngamprah dan Kota
Cimahi
8
Timur. Ada 7 Desa yang terdapat di Kecamatan Batujajar. Informasi nama-nama
desa dapat dilihat pada tabel berikut.
9
Gambar 1. 2 Peta Administrasi Kawasan Perkotaan Kabupaten Bandung Barat
10
1.4.2 Ruang Lingkup Materi
Ruang Lingkup materi adalah suatu kajian pada suatu materi yang lebih
detail mengenai isi pada materi tersebut. Sedangkan untuk ruang lingkup substansi
aspek fisik dan tata guna lahan meliputi :
1. Mengidentifikasi kondisi fisik dan lingkungan Kawasan Perkotaan Kabupaten
Bandung Barat yang meliputi :
a. Analisis kondisi fisik dasar Kawasan Perkotaan Kabupaten Bandung
Barat dengan data klimatologi, topografi, morfologi , hidrologi, geologi,
data bencana alam, dan penggunaaan lahan.
b. Analisis kemampuan lahan meliputi analisis SKL morfologi, SKL
kemudahan dikerjakan, SKL kestabilan lereng, SKL kestabilan pondasi,
SKL ketersediaan air, SKL terhadap erosi, SKL untuk drainase, SKL
pembuangan limbah, dan SKL kebencanaan.
c. Analisis kesesuaian lahan berpedoman pada Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No.41/PRT/M/2007 menyebutkan data yang dibutuhkan dalam
analisis ini meliputi peta hasil overlay dan skoring dari kemiringan lereng,
jenis tanah, dan intensitas hujan.
2. Mengidentifikasi tata guna lahan di Kawasan Perkotaan Kabupaten Bandung
Barat yang terdiri dari:
a. Mengetahui penggunaan lahan eksisting dan mengetahui dominasi
penggunaan lahan eksisting. Penggunaan lahan berdasarkan 2 kategori,
yaitu fungsi dan status. Dimana penggunaan lahan berdasarkan fungsi
meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya sedangkan untuk
penggunaan lahan berdasarkan status meliputi kawasan terbangun dan
kawasan non terbangun.
b. Mengidentifikasi pola penggunaan lahan di Kawasan Perkotaan
Kabupaten Bandung Barat yang ditinjau dari pola tata guna lahannya yaitu
pola penggunaan memusat, menyebar, dan memanjang.
c. Mengidentifikasi kecenderungan kawasan permukiman di Kawasan
Perkotaan Kabupaten Bandung Barat untuk mengetahui gaya
kecenderungan kawasan permukiman (gaya sentrifugal atau sentripetal).
11
d. Mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan di Kawasan Perkotaan
Kabupaten Bandung Barat untuk mengetahui perkembangan penggunaan
lahan dari penggunaan lahan lampau dengan penggunaan lahan eksisting.
3. Mengidentifikasi potensi dan masalah berdasarkan aspek fisik dan tata guna
lahan di Kawasan Perkotaan Kabupaten Bandung Barat
1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan penulisan proposal aspek fisik dan tata guna lahan
studio perencanaan wilayah ini meliputi :
BAB I PENDAHULUAN
Berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran, isu potensi dan
masalah, ruang lingkup wilayah dan substansi, sistematika penulisan, dan kerangka
pemikiran.
BAB II TINJAUAN TEORI
Menjelaskan mengenai landasan teori yang memuat berbagai teori, referensi,
maupun konsep pada pembahasan yang terkait dengan aspek fisik dan tata guna
lahan serta kerangka teori.
BAB III METODOLOGI
Menjelaskan mengenai metode pendekatan studi, metode pengumpulan data dan
metode/teknik analisis yang digunakan pada aspek fisik dan tata guna lahan dan
kebencanaan dalam studio perencanaan wilayah, matrik analisis, dan kerangka
analisis.
12
1.6 Kerangka Berpikir
ISU
DASAR KEBIJAKAN : a. Berdasarkan BPBD KBB terdapat bencana longsor dan banjir
LATAR BELAKANG :
• UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan yang berada di kecamatan padalarang yang di akibatkan oleh curah
Ruang Kawasan Perkotaan Kabupaten Bandung Barat merupakan salah satu
hujan yang tinggi dan tanggul ambruk (Duddy Prabowo, 2020)
• Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat kawasan yang strategis Berdasarkan RTRW Kabupaten Bandung Barat b. Berdasrkan BPBD saat musim kemarau kecamatan ngamprah dan
No.2 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Tahun 2009-2029, Kecamatan Ngamprah dan Padalarang merupakan PKL padalarang mengalami bencana kekeringan yang mengakibatkan
Bandung Barat 2009 – 2029 Ngamprah-Padalarang sedangkan Kecamatan Batujajar sebagai PPK krisis air bersih (Duddy Prabowo, 2021)
• Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat (Pusat Pelayanan Kawasan) c. Potensi gerekan tanah yang berada di Kawasan perkotaan
No.3 Tahun 2019 RPJMD Kabupaten Bandung Mengkaji aspek fisik dan tata guna lahan di kawasan perkotaan untuk Kabupaten Bandung Barat masuk kedalam tingkat menengah-
Barat 2018 – 2023 mengetahui karakteristik fisik yang ada di kawasan tersebut, mengetahui tinggi (Badan Geologi, 2018)
• Permen PU No. 20/PRT/M Tahun 2007 d. Adanya potensi Longsor sehingga Pemkab Kabupaten Bandung
kemampuan dan kesesuaian lahan. Dimana kawasan perkotaan biasanya Barat menghentikan Sementara Pembangunan Perumahan di
Pedoman Tekbis Analisis Aspek Fisik dan
Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya terjadi alih fungsi lahan, dari lahan Non-terbangun menjadi lahan kecamatan Batujajar (Asep Sodikin, 2021)
dalam penyusunan rencana tata ruang terbangun untuk kepentingan produksi, perumahan, dan permukiman.
1.
SASARAN :
1. Teridentifikasinya Kondisi Fisik dasar, kesesuaian dan kemampuan lahan
TUJUAN
Kawasan Perkotaaan Kabupaten Bandung Barat
Tujuan dibuatnya proposal studio proses perencanaan 2. Teridentifikasinya penggunaan lahan eksisting, pola penggunaan
ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik, potensi lahan, kecenderungan kawasan terbangun dan perubahan penggunaan lahan di
dan masalah aspek fisik dan tata guna lahan yang
Kawasan Perkotaaan Kabupaten Bandung Barat
terdapat di Kawasan Pekotaan Kabupaten Bandung
3. Terdientifikasinya potensi dan masalah aspek fisik dan tata guna lahan Kawasan
Barat.
Perkotaaan Kabupaten Bandung Barat
1.
METODE DESKRIPTIF ANALISIS
- Kondisi fisik Dasar
ANALISIS FISIK
Teridentifikasinya karakteristik, - Penggunaan lahan eksisting dan
potensi, dan masalah, berdasarkan Kondisi fisik Dasar , Kemampuan Lahan dan
pola penggunaan lahan
kajian aspek fisik dan tata guna Kesesuaian lahan
lahan di Kawasan Perkotaan
Kabupaten Bandung Barat. METODE SUPERIMPOSE
ANALISIS GUNA LAHAN
- Kemampuan lahan
Penggunaan lahan eksisting ,Pola penggunaan lahan, dan
- Kesesuaian Lahan
Kecenderungan Kawasan
- Kecenderungan kawasan
- Perubahan Penggunaan lahan
13
Gambar 1. 3 Kerangka Berpikir Aspek Fisik dan Tata Guna Lahan
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Tinjauan Teori Perkotaan
Dalam pengertian geografis, kota itu adalah suatu tempat yang penduduknya
rapat, rumah-rumahnya berkelompok kelompok, dan mata pencaharian
penduduknya bukan pertanian. Sementara menurut Bintarto, 1987, kota dalam
tinjauan geografi adalah suatu bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur
alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar,
dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan
dengan daerah di belakangnya. Tinjauan di atas masih sangat kabur dalam arti akan
sulit untuk menarik batas yang tegas untuk mendefinisi kota dan membedakannya
dari wilayah desa apabila menginginkan tinjauan tersebut. Tinjauan di atas
merupakan batasan kota dari segi sosial. Dalam perkembangannya, konsep-konsep
kota paling tidak dapat dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu segi fisik , administratif,
sosial dan fungsional. Dengan banyaknya sudut pandang dalam membatasi kota,
mengakibatkan pemahaman kota dapat berdimensi jamak dan selama ini tidak
satupun batasan tolak ukur kota yang dapat berlaka secara umum.
Prof. Dr. Ir. Zoe’raini Djamal Irwan, M.Si, juga mengemukakan dalam bukunya
tantangan lingkungan & lansekap kota (2004 ; 31), dari berbagai macam sudut
pandang para ahli, aspek utama yang digunakan untuk menjelaskan pengertian kota
antara lain adalah dari aspek morfologi, jumlah penduduk, hukum, ekonomi, dan
sosial. Berbagai literatur mengenai kota antara lain mengemukakan bahwa banyak
kota – kota bermula dari desa kecil yang terdapat di pusat pertanian yang subur,
misal nya Los Angeles. Hal serupa terjadi jika daerah pertanian itu menjadi suatu
daerah yang optimum bagi pertumbuhan ekonomi pertanian yang terus
berkembang. Kota petani tumbuh dengan pesatnya ke daerah subur yang justru
merupakan unsur utama perkembangan kota. Sehingga berakibat pada usaha
pertanian yang menjadi terhambat, bahkan akirnya perdagangan mengganti sistem
pertanian daerah secara menyeluruh.kota berkembang terus dan menyebar ke arah
tanah pertanian yang mengakibatkan rusaknya usaha pertanian. Banyak kriteria
yang digunakan untuk sebuah kota sehingga defenisi kota berbeda disetiap negara.
14
2.2 Tinjauan Teori Aspek
Tinjauan teori yang dijelaskan meliputi tinjauan teori fisik dan tinjauan teori
tata guna lahan. Penjelasan tersebut sebagai berikut :
B. Topografi
Keadaan topografi merupakan bahasan tentang permukaan tanah atau bentang
alam, berguna untuk mengetahui/menentukan batas lereng/kemiringan tanah yang
15
diizinkan dalam pembangunan. Pengertian topografi dapat merupakan keadaan
yang menggambarkan kemiringan lahan, atau kontur lahan, semakin besar kontur
lahan berarti lahan tersebut memiliki kemiringan lereng yang semakin besar
(Suparno dan Marlina Endy, 2005). Beberapa fitur yang dikaji dalam topografi,
antara lain:
1. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng adalah kenampakan permukan alam disebabkan adanya
perbedaan ketinggian antar dua tempat. Kemiringan lereng adalah besaran yang
dinyatakan dalam persen (%) yang menunjukkan sudut yang dibentuk oleh
perbedaan tinggi tempat. Dibawah ini merupakan klasifikasi persentase
kemiringan lahan.
Tabel II.1 Aturan kelas Kelerengan
No. Kelas Lereng Sudut Lereng (%) Deskripsi Skor
1 1 0-8 Datar 20
2 2 8 - 15 Landai 40
3 3 15 - 25 Agak Curam 60
4 4 25 - 40 Curam 80
5 5 >40 Sangat Curam 100
Sumber: SK Menteri No. 837/KPTS/11UM/VIII/1981 tentang kesesuai lahan
2. Ketinggian Lereng
Ketinggian lereng adalah daratan yang di ukur dari atas permukaan laut.
Fungsinya untuk menggolongkan suatu daerah ke dalan dataran tinggi atau
dataran rendah. Dari segi topografi Kecamatan Ngamprah, Padalarang dan
Batujajar, tingkat kemampuan fisik yang dimiliki di wilayah perencanaan dapat
mendukung terhadap perkembangan wilayah secara fisik. Kondisi fisik tersebut
adalah berdasarkan proporsi penyebaran kondisi topografi wilayah yang datar (0-
8%).
C. Morfologi
Secara garis besar morfologi dapat dibagi menjadi beberapa satuan, yang
setiap satuan mempunyai ciri dan kenampakan yang khas baik dari bentuk
gunung, perbukitan, kemiringan lereng maupun pola alirannya (Chay Asdhak,
16
2004). Perbedaan bentuk bentang alam ini umumnya disebabkan oleh adanya
perbedaan jenis dan macam batuan, struktur geologi, ketahanan batuan terhadap
proses-proses geodinamik dan vegetasi penutupnya. Morfologi sangat
berpengaruh pada tingkat erosi, tergantung dari kenampakan khas dari
kemiringan lereng tersebut:
1. Dataran
Dataran merupakan daerah dengan kemiringan lereng antara 0-5%,
ketinggian wilayah antara 18 - 45 meter di atas permukaan laut. Pada daerah yang
termasuk dalam satuan morfologi ini mempunyai tingkat erosi sangat rendah.
2. Landai
Satuan morfologi ini mempunyai bentuk permukaan bergelombang halus
dengan kemiringan lereng 5-15% ketinggian wilayah antara 45 - 144 meter di atas
permukaan laut. Pada daerah yang termasuk ke dalam satuan morfologi ini
mempunyai tingkat erosi rendah.
3. Perbukitan Berelief Sedang
Satuan morfologi ini mempunyai bentuk permukaan bergelombang sedang
dengan kemiringan lereng 15 - 30% dengan ketinggian wilayah 150 - 400 meter
di atas permukaan laut. Pada daerah yang termasuk dalam satuan morfologi ini
mempunyai tingkat erosi rendah sampai menengah.
4. Perbukitan Berelief Terjal
Satuan morfologi ini mempunyai bentuk permukaan bergelombang agak
kasar dengan kemiringan lereng 30 - 50% dengan ketinggian wilayah 200 - 550
meter di atas permukaan laut. Pada daerah yang termasuk dalam satuan morfologi
ini mempunyai tingkat erosi menengah.
5. Perbukitan Berelief Sangat Kasar
Satuan morfologi ini mempunyai bentuk permukaan bergelombang kasar
dengan kemiringan lereng 50 - 70% dengan ketinggian wilayah 225 - 644 meter
di atas permukaan laut. Pada daerah yang termasuk dalam satuan morfologi ini
mempunyai tingkat erosi tinggi.
D. Hidrologi
17
Hidrologi adalah ilmu yang memepelajari karakteristik kuantitas dan kulitas
air di bumi menurut ruang dan waktu. Proses hidrologi tersebut mencakup
pergerakan, sirkulasi, dan penyebaran eksplorasi sampai ke tahap pengembangan
dan manajemen (Singh, 1992). Segala sesuatu yang mengenai air seperti
pergerakan, distribusi, kualitas, sifat kimia dan fisikalnya, reaksi dengan
lingkungan, termasuk dampaknya.
1. Proses Terjadinya Siklus Hidrologi
Dalam siklus hidrologi ini air melalui beberapa tahapan seperti dijelaskan
gambar di atas. Tahapan proses terjadinya siklus hidrologi tersebut antara lain
evaporasi, transpirasi, evapotranspirasi, sublimasi, kondensasi, adveksi,
presipitasi, run off, dan infiltrasi. Berikut ini adalah penjelasan dari masing-
masing tahapan siklus tersebut.
• Evaporasi
Siklus hidrologi diawali oleh terjadinya penguapan air yang ada di
permukaan bumi. Air-air yang tertampung di badan air seperti danau, sungai,
laut, sawah, bendungan atau waduk berubah menjadi uap air karena adanya
panas matahari. Penguapan serupa juga terjadi pada air yang terdapat di
permukaan tanah. Penguapan semacam ini disebut dengan istilah evaporasi.
• Transpirasi
Penguapan air di permukaan bumi bukan hanya terjadi di badan air dan
tanah. Penguapan air juga dapat berlangsung di jaringan mahluk hidup,
seperti hewan dan tumbuhan. Penguapan semacam ini dikenal dengan istilah
transpirasi.
• Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah penguapan air keseluruhan yang terjadi di seluruh
permukaan bumi, baik yang terjadi pada badan air dan tanah, maupun pada
jaringan mahluk hidup. Evapotranspirasi merupakan gabungan antara
evaporasi dan transpirasi. Dalam siklus hidrologi, laju evapotranspirasi ini
sangat mempengaruhi jumlah uap air yang terangkut ke atas permukaan
atmosfer.
• Sublimasi
18
Sublimasi adalah proses perubahan es di kutub atau di puncak gunung
menjadi uap air tanpa melalui fase cair terlebih dahulu. Meski sedikit,
sublimasi juga tetap berkontribusi terhadap jumlah uap air yang terangkut ke
atas atmosfer bumi melalui siklus hidrologi panjang. Akan tetapi, dibanding
melalui proses penguapan, proses sublimasi dikatakan berjalan sangat
lambat.
• Kondensasi
Ketika uap air yang dihasilkan melalui proses evaporasi, transpirasi,
evapotranspirasi, dan proses sublimasi naik hingga mencapai suatu titik
ketinggian tertentu, uap air tersebut akan berubah menjadi partikel-partikel
es berukuran sangat kecil melalui proses kondensasi. Perubahan wujud uap
air menjadi es tersebut terjadi karena pengaruh suhu udara yang sangat
rendah di titik ketinggian tersebut.
• Adveksi
Awan yang terbentuk dari proses kondensasi selanjutnya akan mengalami
adveksi. Adveksi adalah proses perpindahan awan dari satu titik ke titik lain
dalam satu horizontal akibat arus angin atau perbedaan tekanan udara.
Adveksi memungkinkan awan akan menyebar dan berpindah dari atmosfer
lautan menuju atmosfer daratan. Perlu diketahui bahwa, tahapan adveksi
tidak terjadi pada siklus hidrologi pendek.
2. Air Permukaan
Potensi air permukaan di masing-masing sungai yang berada di setiap wilayah
dihitung dengan cara pengolahan data debit yang tercatat di masing-masing
stasiun pencatat debit. Untuk sungai yang tidak memiliki pos pencacatan debit
dihitung dengan cara perbandingan Wilayah Aliran Sungai (WAS), yaitu
membandingkan dengan WAS yang paling dekat dan yang memiliki karakteristik
yang mirip.
3. Air Tanah
Air tanah merupakan salah satu sumber air di alam yang terdapat dalam tanah
atau batuan. Sebagai salah satu komponen daur hidrologi, maka pembentukan dan
pergerakan air tanah akan dikontrol oleh komponen daur hidrologi lainnya seperti
19
curah hujan, evapotranspirasi, dan air permukaan. Sebagian air hujan yang jatuh
kepermukaan tanah akan meresap ke dalam tanah dan kemudian akan bergerak
melalui rongga-rongga yang ada menuju ke tempat yang letaknya lebih rendah
seperti lembah, sungai dan akhirnya ke laut.
E. Geologi
Geologi merupakan ilmu pengetahuan yang memang dikhususkan untuk
mempelajari planet bumi, terutama bahan penyusunnya, proses terjadi dan
terbentuknya, hasil daripada proses tersebut, sejarah planet beserta dengan
kehidupan yang ada di atas bumi semenjak planet ini terbentuk Bates dan Jackson
(1990).
1. Batuan
a) Jenis Batuan
Batuan adalah segala sesuatu yang menjadi bahan alam dalam pembentukan
kerak bumi. Batuan terdiri dari berbagai jenis mineral. Jenis batuan sangat
berperan dalam mencegah atau mengurangi pecemaran air tanah dan air
permukaan secara alami yang berasal dari air lindi.
b) Sifat Batuan
1) Heterogen
• Jenis mineral pembentul batuan berbeda
• Ukuran dan bentuk yang berbeda dalam batuan
• Ukuran, bentuk dan penyebaran void berbeda dalam batuan
2) Diskontinu
Massa batuan di alam tidak kontinu, karena adanya bidang-bidang lemah
(crack, joint, fault, fissure) dimana kekerapan, perluasan dan orientasi
bidang lemah tersebut tidak kontinu
3) Anisotrop
Karena sifat batuan yang heterogen, diskontinu dan anisotropy maka
tidak dapat menghitung secara sistematik
c) Jenis Batuan Berdasarkan Proses Pembentukan
1) Batuan Beku
20
Batuan beku adalah batuan yang terbentuk dari magma yang
membeku. Batuan beku terjadi dari magma cair pijar yang rnernbeku
karena mengalami pendinginan (penurunan temperatur). Magma
merupakan benda cair yang sangat panas dan terdapat di perut bumi. Magma
yang mencapai permukaan bumi disebut lava. Beberapa jenis batuan beku
adalah batu obsidian, batu granit dan batu basal.
2) Batuan Endapan (Sedimen)
Batuan endapan merupakan batuan yang terbentuk dari hasil endapan
pelapukan batuan. Batuan jenis seperti ini dapat pula terbentuk dari batuan
yang terkikis ataupun dari hasil endapan sisa-sisa binatang dan tumbuhan.
Beberapa jenis batuan endapan adalah batu breksi, batu kapur dan batu
konglomerat.
3) Batuan Malihan (Metamorf)
Batuan malihan (metamorf) berasal dari batuan sedimen yang
mengalami perubahan (metamorfosis). Batuan sedimen mengalami
perubahan karena mendapat panas dan tekanan dari dalam Bumi. Kalau
mendapat panas terus menerus, batuan sedimen akan berubah menjadi
batuan malihan. Beberapa jenis batuan malihan adalah batu genes, batu
marmer dan batu sabak.
F. Tanah
Tanah adalah material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral
padat yangtidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dari bahan-
bahan organikyang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai zat cair juga
gas yang mengisiruang-ruang kosong diantara partikel-partikel padat tersebut
(Das, 1995).
1. Jenis Tanah
21
a. Pasir, merupakan batuan sedimen sisa hasil rombakan batuan padat. Pasir
dihasilkan dari pengikisan endapan-endapan yang timbul akibat erosi
aliran air, gelombang laut, glister dan angin.
b. Lanau, adalah tanah atau butiran penyusun tanah dan batuan yang
berukuran antara pasir dan lempung. Lanau dapat membentuk endapan
yang mengapung di permukaan air maupun yang tenggelam.
c. Lempung, Lempung atau tanah liat adalah partikel mineral berkerangka
dasar silikat yang berdiameter kurang dari 4 mikrometer, mengandung
silica dan/ atau aluminium yang halus. Lempung terbentuk dari proses
pelapukan batuan silica oleh asam karbonat dan sebagian dihasilkan dari
aktivitas panas bumi.
d. Tanah Aluvial, merupakan jenis tanah yang terjadi karena endapan
lumpur biasanya yang terbawa karena aliran sungai, biasanya ditemukan
dibagian hilir karena dibawa dari hulu. Tanah ini berwarna coklat hingga
kelabu, cocok untuk pertanian padi maupun palawija jagung, tembakau
dan jenis tanaman lainnya.
e. Tanah Andosol, merupakan salah satu jenis tanah vulkanik dimana
terbentuk karena adanya proses vulkanisme pada gunung berapi. Tanah
ini sangat subur dan cocok untuk segala jenis tanaman yang ada di dunia
f. Tanah Entisol, merupakan pelapukan dari material yang dikeluarkan oleh
letusan gunung berapi seperti debu, pasir, lahar, dan lapili. Tanah ini juga
sangat subur dan merupakan tipe tanah yang masih muda.
g. Tanah Grumusol, terbentuk dari pelapukan batuan kapur dan tuffa
vulkanik. Kandungan organik di dalamnya rendah karena dari batuan
kapur jadi dapat disimpulkan tanah ini tidak subur dan tidak cocok untuk
ditanami tanaman.
h. Tanah Humus, merupakan tanah yang terbentuk dari pelapukan tumbuh-
tumbuhan. Mengandung banyak unsur hara dan mineral dan sangat subur,
cocok untuk semua jenis tanaman karena memiliki unsur hara dan mineral
yang banyak.
22
i. Tanah Inseptisol, Inseptol terbentuk dari batuan sedimen atau metamorf
dengan warna agak kecoklatan dan kehitaman serta campuran yang agak
keabu-abuan. Tanah ini dapat menopang pembentukan hutan yang asri,
cocok untuk perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit.
j. Tanah Laterit, memiliki warna merah bata karena mengandung banyak
zat besi dan alumunium. Tanah laterit termasuk dalam jajaran tanah yang
sudah tua sehingga tidak cocok untuk ditanami tumbuhan apapun.
k. Tanah Latosol, terbentuk dari pelapukan batuan sedimen dan metamorf,
Tanah latosol tidak terlalu subur karena mengandung zat besi dan
alumunium.
l. Tanah Litosol, terbentuk dari adanya perubahan iklim, topografi dan
adanya vulkanisme. Untuk mengembangkan tanah ini harus dilakukan
dengan cara menanam pohon supaya mendapatkan mineral dan unsur hara
yang cukup. tekstur tanah litosol bermacam-macam ada yang lembut,
bebatuan bahkan berpasir
2. Kedalaman Efektif Tanah
Kedalaman tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan akar
tanaman, selain itu juga menentukan jumlah unsur hara dan air yang dapat diserap
tanaman. Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati
penyebaran akar tanaman. Banyaknya perakaran, baik akar halus maupun akar
kasar, serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah perlu diamati
dengan baik. Kedalaman efektif tanah adalah suatu kedalaman yang diukur dari
permukaan tanah sampai pada lapisan kedap air, yakni ; lapisan pasir, kerikil, batu
lignit. Cara praktis penetapan bawah (kedalaman efektif) suatu solum tanah
adalah melalui penyidikan pada kedalaman penetrasi perakaran tanaman yang
tidak mempunyai lapisan padat yang dapat menghambat penetrasi akar, maka
perakaran tanaman akan berpeluang menembus sampai perbatasan mineral tanah
dan bahan geologis atau bukan tanah. (Foth, 1994) mengklasifikasikan kedalaman
efektif sebagai berikut :
▪ Ke1 = > 90 cm (dalam)
▪ Ke2 = 50-90 cm (sedang)
23
▪ Ke3 = 25-50 cm (dangkal)
▪ Ke4 = < 25 cm (sangat dangkal)
G. Kemampuan Lahan
Kemampuan lahan adalah penilaian lahan secara sistematik dan
pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang
merupkan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari
(Notohadiprawiro, 1991). Analisis fisik dan lingkungan wilayah atau kawasan ini
adalah untuk mengenali karakteristik sumber daya alam tersebut, dengan menelaah
kemampuan dan kesesuaian lahan, agar penggunaan lahan dalam pengembangan
wilayah dan/ atau kawasan dapat dilakukan secara optimal dengan tetap
memperhatikan keseimbangan ekosistem. Analisis Satuan Kemampuan Lahan
(Pedoman Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007) terdapat
beberapa Satuan Kemampuan Lahan yaitu :
1. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Morfologi
SKL morfologi dilakukan pemilahan bentuk morfologi pada wilayah dan/atau
kawasan perencanaan yang mampu untuk dikembangkan sesuai dengan fungsinya.
Sasaran dalam analisis SKL morfologi ini yaitu:
1) Memperoleh gambaran tingkat kemampuan lahan untuk dikembangkan sebagai
perkotaan dilihat dari segi morfologinya, dan
2) Mengetahui potensi dan kendala morfologi masing-masing tingkatan
kemampuan lahan terhadap morfologi.
Input SKL morfologi:
1) Peta morfologi skala terbesar yang tersedia,
2) Peta kemiringan lereng bila ada,
3) Peta morfologi bila sudah pernah dilakukan studi sejenis,
4) Hasil pengamatan lapangan mengenai morfologi ini.
Output SKL morfologi
1) Peta morfologi skala terbesar yang tersedia,
2) Peta kemiringan lereng bila ada,
3) Peta morfologi bila sudah pernah dilakukan studi sejenis,
24
4) Hasil pengamatan lapangan mengenai morfologi ini.
25
2) Mengetahui daerah-daerah yang berlereng cukup aman untuk dikembangkan
sesuai dengan fungsi kawasan, dan
3) Mengetahui batasan-batasan pengembangan pada masing-masing tingkatan
kestabilan lereng.
Input SKL kestabilan lereng :
1) Peta topografi,
2) Peta morfologi,
3) Peta kemiringan lereng,
4) Peta geologi,
5) Peta geologi permukaan,
6) Karakteristik air tanah dangkal,
7) Besar curah hujan,
8) Penggunaan lahan yang ada saat ini,
9) Data bencana alam (bahaya gerakan tanah, kegempaan, gunung berapi, dan
pengikisan).
Output SKL kestabilan lereng :
1) Peta satuan kemampuan lahan kestabilan lereng,
2) Deskripsi masing-masing tingkatan kestabilan lereng
26
3) Peta geologi permukaan,
4) Karakteristik air tanah dangkal,
5) Penggunaan lahan yang ada saat ini.
Output SKL kestabilan pondasi :
1) Peta SKL kestabilan pondasi,
2) Deskripsi masing-masing tingkatan kestabilan pondasi, yang memuat juga
perkiraan jenis pondasi untuk masing-masing tingkatan kestabilan pondasi.
27
6. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Untuk Drainase
SKL drainase dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam
mematuskan air hujan secara alami, sehingga kemungkinan genangan baik bersifat
lokal ataupun meluas dapat dihindari.
Sasaran dalam analisis SKL drainase yaitu:
1) Memperoleh gambaran karakteristik drainase alamiah masing-masing tingkatan
kemampuan drainase.
2) Mengetahui daerah-daerah yang cenderung tergenang di musim penghujan.
Input SKL drainase :
1) Peta morfologi,
2) Peta kemiringan lereng,
3) Peta topografi,
4) Peta geologi,
5) Peta geologi permukaan,
6) Data hidrologi dan klimatologi,
7) Penggunaan lahan yang ada saat ini.
Output SKL drainase :
1) Peta SKL Drainase.
2) Deskripsi masing-masing tingkatan kemampuan drainase
28
1) Peta permukaan,
2) Peta geologi,
3) Peta morfologi,
4) Peta kemiringan lereng,
5) Data hidrologi dan klimatologi,
6) Penggunaan lahan yang ada saat ini
Output SKL terhadap erosi :
1) Peta SKL terhadap erosi.
2) Deskripsi masing-masing tingkatan kemampuan lahan terhadap erosi tersebut.
29
untuk menghindari/mengurangi kerugian dan korban akibat bencana tersebut.
Untuk sasaran dalam analisis SKL Bencana Alam yaitu:
1) Mengetahui tingkat kemampuan wilayah perencanaan terhadap berbagai jenis
bencana alam beraspekkan geologi.
2) Mengetahui daerah-daerah yang rawan bencana alam dan mempunyai
kecenderungan untuk terkena bencana alam, termasuk bahaya ikutan dari
bencana tersebut.
3) Mengetahui pola pengembangan dan pengamanan masing-masing tingkat
kemampuan lahan terhadap bencana alam.
Input SKL bencana alam
1) Data bencana alam,
2) Peta topografi, morfologi, dan kemiringan lereng,
3) Peta geologi dan geologi permukaan,
4) Data hidrologi dan klimatologi,
5) Penggunaan lahan yang ada saat ini.
Output SKL bencana alam
1) Peta SKL terhadap bencana alam.
2) Deskripsi masing-masing tingkatan kemampuan lahan terhadap bencana alam
tersebut.
3) Batasan pengembangan pada masing-masing tingkat kemampuan terhadap
bencana alam tersebut.
Untuk pembobotan Satuan Kemampuan Lahan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel II.2 Bobot Satuan Kemampuan Lahan
Satuan Kemampuan Lahan Skoring/bobot
SKL Morfologi 5
30
Satuan Kemampuan Lahan Skoring/bobot
SKL Terhadap Bencana Alam 5
Sumber: Pedoman Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007
H. Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan secara sederhana adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan
terhadap penggunaan tertentu (Nina Selvani, 2013). Analisis ini bertujuan
mengidentifikasi lokasi-lokasi yang sangat sesuai dengan tipe penggunaan lahan
tertentu pada suatu kawasan. Analisis ini meliputi “overlaying map” (tumpang
tindih) dan ukuran-ukuran kesesuaian lahan, seperti kemiringan, perubahan
penggunaan lahan baik itu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Hasil yang
diperoleh dari analisis ini digunakan untuk menghasilkan “suistability scores”
(scoring kesesuaian lahan) untuk setiap kawasan dalam wilayah perencanaan.
1. Kawasan Budidaya
Kawasan budidaya adalah kawasan yang dapat dikembangkan untuk kegiatan
budidaya yaitu dengan skor < 125, dengan kriteria pertimbangan adalah faktor
kemiringan lahan, kepekaaan tanah, dan curah hujan. Kawasan budidaya
merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas
dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber
daya buatan.
2. Kawasan Permukiman
Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya pemukimanberasal
dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan kata
human settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang
rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan.
a) Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan :
1) Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%);
2) Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh
penyelenggara dengan jumlah yang cukup. Untuk air PDAM suplai air
antara 60 liter/org/hari - 100 liter/org/hari;
3) Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi,
abrasi);
31
4) Drainase baik sampai sedang;
5) Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/pantai/waduk/danau/mata
air/saluran pengairan/rel kereta api dan daerah aman penerbangan;
6) Tidak berada pada kawasan lindung;
7) Tidak terletak pada kawasan budi daya pertanian/penyangga;
8) Menghindari sawah irigasi teknis.
b) Kriteria dan batasan teknis :
1) Penggunaan lahan untuk pengembangan perumahan baru 40% - 60%
dari luas lahan yang ada, dan untuk kawasan-kawasan tertentu
disesuaikan dengan karakteristik serta daya dukung lingkungan.
2) Kepadatan bangunan dalam satu pengembangan kawasan baru
perumahan tidak bersusun maksimum 50 bangunan rumah/ha dan
dilengkapi dengan utilitas umum yang memadai.
3) Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim di kawasan
peruntukan permukiman di perdesaan dengan menyediakan
lingkungan yang sehat dan aman dari bencana alam serta dapat
memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi pengembangan
masyarakat, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi
lingkungan hidup.
4) Kawasan perumahan harus dilengkapi dengan :
• Sistem pembuangan air limbah yang memenuhi SNI 03 - 1733
- 2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan
di Perkotaan.
• Sistem pembuangan air hujan yang mempunyai kapasitas
tamping yang cukup sehingga lingkungan perumahan bebas dari
genangan. Saluran pembuangan air hujan harus direncanakan
berdasarkan frekuensi intensitas curah hujan 5 tahunan dan daya
resap tanah.
• Prasarana air bersih yang memenuhi syarat, baik kuantitas
maupun kualitasnya. Kapasitas minimum sambungan rumah
32
tangga 60 liter/orang/hari dan sambungan kran umum 30
liter/orang/hari.
• Sistem pembuangan sampah mengikuti ketentuan SNI 03 - 3242
- 1994 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di Permukiman.
5) Penyediaan kebutuhan sarana pendidikan di kawasan peruntukan
permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan,
jumlah penduduk pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal,
radius pencapaian, serta lokasi.
6) Penyediaan kebutuhan sarana kesehatan di kawasan peruntukan
permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan,
jumlah penduduk pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal,
radius pencapaian, serta lokasi dan penyelesaian secara lebih rinci
7) Penyediaan kebutuhan sarana ruang terbuka, taman, dan lapangan olah
raga di kawasan peruntukan permukiman yang berkaitan dengan jenis
sarana yang disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas lahan
minimal, radius pencapaian, dan kriteria lokasi dan penyelesaian
secara lebih rinci.
8) Penyediaan kebutuhan sarana perdagangan dan niaga di kawasan
peruntukan permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang
disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas lantai dan luas lahan
minimal, radius pencapaian, serta lokasi dan penyelesaian secara lebih
rinci
9) Pemanfaatan kawasan perumahan merujuk pada SNI 03 - 1733 - 2004
tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan,
serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1987 tentang
Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas
Sosial Perumahan kepada Pemerintah Daerah.
10) Dalam rangka mewujudkan kawasan perkotaan yang tertata dengan
baik, perlu dilakukan peremajaan permukiman kumuh yang mengacu
pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kampung Kota.
33
3. Kawasan Peruntukkan Industri
Kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang
dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan
dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan
industri.
a) Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan kawasan peruntukan industri
yang berorientasi bahan mentah :
1) Kemiringan lereng : kemiringan lereng yang sesuai untuk kegiatan
industri berkisar 0% - 25%, pada kemiringan > 25%-45% dapat
dikembangkan kegiatan industri dengan perbaikan kontur, serta
ketinggian tidak lebih dari 1000 meter dpl.
2) Hidrologi : bebas genangan, dekat dengan sumber air, drainase baik
sampai sedang.
3) Klimatologi : lokasi berada pada kecenderungan minimum arah angin
yang menuju permukiman penduduk.
4) Geologi : dapat menunjang konstruksi bangunan, tidak berada di
daerah rawan bencana longsor.
5) Lahan : area cukup luas minimal 20 ha; karakteristik tanah bertekstur
sedang sampai kasar, berada pada tanah marginal untuk pertanian.
b) Kriteria teknis :
1) Harus memperhatikan kelestarian lingkungan;
2) Harus dilengkapi dengan unit pengolahan limbah;
3) Harus memperhatikan suplai air bersih;
4) Jenis industri yang dikembangkan adalah industri yang ramah
lingkungan dan memenuhi kriteria ambang limbah yang ditetapkan
Kementerian Lingkungan Hidup.
5) Pengelolaan limbah untuk industri yang berkumpul di lokasi
berdekatan Sebaiknya dikelola secara terpadu.
6) Pembatasan pembangunan perumahan baru di kawasan peruntukan
industri.
34
7) Harus memenuhi syarat AMDAL sesuai dengan ketentuan peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku.
8) Memperhatikan penataan kawasan perumahan di sekitar kawasan
industri.
9) Pembangunan kawasan industri minimal berjarak 2 Km dari
permukiman dan berjarak 15-20 Km dari pusat kota;Kawasan
Perdagangan Dan Jasa.
10) Kawasan industri minimal berjarak 5 Km dari sungai tipe C atau D.
11) Penggunaan lahan pada kawasan industri terdiri dari penggunaan
kaveling industri, jalan dan saluran, ruang terbuka hijau, dan
fasilitas penunjang. Pola penggunaan lahan pada kawasan industri.
12) Setiap kawasan industri, sesuai dengan luas lahan yang dikelola, harus
mengalokasikan lahannya untuk kaveling industri, kaveling
perumahan, jalan dan sarana penunjang, dan ruang terbuka hijau.
13) Kawasan Industri harus menyediakan fasilitas fisik dan pelayanan
umum.
35
1) Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata
Alam untuk kegiatan pariwisata alam dilaksanakan sesuai dengan asas
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
2) Pemanfaatan kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan
Taman Wisata Alam untuk sarana pariwisata alam diselenggarakan
dengan persyaratan sebagai berikut :
• Bentuk bangunan bergaya arsitektur setempat.
• Tidak mengubah bentang alam yang ada.
• Tidak mengganggu pandangan visual.
3) Pihak-pihak yang memanfaatkan kawasan Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam untuk kegiatan pengusahaan
pariwisata alam harus menyusun Rencana Karya Pengusahaan
Pariwisata Alam yang dilengkapi dengan AMDAL sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
4) Pemanfaatan kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan
Taman Wisata Alam untuk kegiatan pengusahaan pariwisata alam
diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun sesuai dengan jenis
kegiatannya
5) Jenis-jenis usaha sarana pariwisata alam yang dapat dilakukan dalam
kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata
Alam meliputi kegiatan usaha:
• akomodasi seperti pondok wisata, bumi perkemahan, karavan, dan
penginapan
• makanan dan minuman
• sarana wisata tirta
• angkutan wisata
• cenderamata
• sarana wisata budaya.
6) Dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya setempat, pemerintah
daerah dapat menetapkan kawasan, lingkungan dan atau bangunan
sebagai lingkungan dan bangunan cagar budaya sebagai kawasan
36
pariwisata budaya. Penetapannya dilakukan apabila dalam suatu
kawasan terdapat beberapa lingkungan cagar budaya yang mempunyai
keterkaitan keruangan, sejarah, dan arkeologi
7) Penetapan kawasan, lingkungan dan atau bangunan bersejarah sebagai
kawasan pariwisata oleh Pemerintah Kota/Kabupaten berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
8) Kriteria, tolak ukur, dan penggolongan lingkungan cagar budaya
berdasarkan kriteria nilai sejarah, umur, keaslian, dan kelangkaan.
Sedangkan kriteria penggolongan bangunan cagar budaya berdasarkan
kriteria nilai sejarah, umur, keaslian, kelangkaan, tengeran/landmark,
dan arsitektur.
9) Berdasarkan kriteria dan tolak ukur, kawasan lingkungan cagar budaya
dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan yang berbeda satu
dengan lainnya. Penggolongan lingkungan cagar budaya diatur melalui
Keputusan Bupati/Walikota setempat,
10) Pelestarian lingkungan dan bangunan cagar budaya yang dijadikan
kawasan pariwisata harus mengikuti prinsip-prinsip pemugaran yang
meliputi keaslian bentuk, penyajian dan tata letak dengan
memperhatikan nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan,
11) Pengembangan lahan yang berada dalam kawasan lingkungan cagar
budaya harus mengikuti peraturan perundangan yang berlaku.
5. Kawasan Lindung
Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian Lingkungan Hidup yang mencakup sumber alam, sumber
daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan
Pembangunan berkelanjutan. (Keppres No 32 Tahun 1990 Tentang Kriteria
Kawasan Lindung). Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 1
meliputi:
a) Kawasan yang memberikan perlindungan Kawasan Bawahannya.
b) Kawasan Perlindungan setempat.
c) Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya.
37
d) Kawasan Rawan Bencana Alam.
38
C. Penggunaan Lahan
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41 Tahun 2007 tentang
pedoman kriteria teknis kawasan budidaya, sesuai dengan amanat Undang
Undang Penataan Ruang, tata laksana kegiatan perencanaan tata ruang dilakukan
dengan mempergunakan seperangkat pedoman teknis yang salah satunya
mengatur analisis dan klasifikasi penggunaan lahan untuk kawasan pedesaan dan
perkotaan. Peraturan Menteri PU nomor 41 tahun 2007 mengatur klasifikasi
penggunaan lahan menjadi dua kelompok besar, dengan penjelasan sebagai
berikut :
1. Kawasan Lindung
Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam
dan sumber daya buatan.
2. Kawasan Budidaya
Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk di budidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Chapin, F. Stuart dan Edward J. Kaiser (1979), memberikan pengertian
lahan pada dua skala yang berbeda yaitu lahan pada wilayah skala luas dan
pada konteks skala urban. Dalam lingkup wilayah yang luas, lahan adalah
resource (sumber) diperolehnya bahan mentah yang dibutuhkan untuk
menunjang keberlangsungan kehidupan manusia dan kegiatannya. Bentuk
dari penggunaan lahan adalah pemanfaatan lahan. Pemanfaatan lahan
tersebut dapat berupa pemanfaatan dari lahan yang belum terbangun
menjadi lahan terbangun atau berupa konversi dari satu jenis pemanfaatan
ke pemanfaatan lainnya. salah satu tujuan utama dari pemanfaatan lahan
adalah untuk mendapatkan nilai tambah tertinggi dari kegiatan yang
diselenggarakan di atas lahan.
Menurut Chapin dan Kaiser (1979) kebutuhan penggunaan lahan dalam
struktur tata ruang kota/wilayah berkaitan dengan 3 sistem yang ada yaitu :
39
1) Sistem kegiatan, manusia dan kelembagaannya untuk memenuhi
kebutuhannya berinteraksi dalam waktu dan ruang.
2) Sistem pengembangan lahan yang berfokus untuk kebutuhan manusia
dalam aktifitas kehidupan.
3) Sistem lingkungan berkaitan dengan kondisi biotik dan abiotik
dengan air, udara dan material.
D. Pola Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan dapat diartikan sebagai campur tangan manusia terhadap
lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik berupa kebutuhan
material maupun nonmaterial. Permentan No 79 Tahun 2013 tentang pedoman
kesesuaian lahan pada komoditas tanaman pangan menjelaskan bahwa
penggunaan Lahan adalah penggolongan lahan berdasarkan penggunaanya secara
umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput,
kehutanan, atau daerah rekreasi. Secara garis besar penggunaan atau pemanfaatan
ruang dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
a) Pemanfaatan lahan untuk kawasan budidaya. Kawasan ini mewadahi berbagai
kegiatan fungsional wilayah, seperti perumahan beserta fasilitas
pendukungnya, perdagangan dan jasa, pemerintahan, pendidikan, jaringan
prasarana wilayah, dan lain-lain.
b) Pemanfaatan lahan untuk kawasan lindung. Kawasan ini mewadahi kegiatan
yang bersifat bukan perkotaan, seperti kawasan resapan air, sempadan sungai,
dan ruang terbuka hijau.
Daldjoeni (1987) mengemukakan bahwa ditinjau dari pola tata guna lahannya,
ada tiga bentuk perdesaan yang banyak dijumpai di Indonesia. Ketiga bentuk desa
tersebut adalah sebagai berikut: Pola memanjang (linier), Pola terpusat
(nucleated) dan Pola tersebar (dispersed).
1. Pola Memanjang (Linier)
Pola memanjang permukiman penduduk dikatakan linier bila rumah-rumah
yang dibangun membentuk pola berderet-deret hingga panjang. Pola memanjang
umumnya ditemukan pada kawasan permukiman yang berada di tepi sungai, jalan
raya, atau garis pantai. Pola ini dapat terbentuk karena kondisi lahan di kawasan
40
tersebut memang menuntut adanya pola ini. Seperti kita ketahui, sungai, jalan,
maupun garis pantai memanjang dari satu titik tertentu ke titik lainnya, sehingga
masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut pun membangun rumah-rumah
mereka dengan menyesuaikan diri pada keadaan tersebut.
41
dikunjungi dan menarik untuk ditinggali. Pola permukiman linier di sepanjang
rel kereta api lazim ditemukan di Pulau Jawa saja.
d) Pola Permukiman Linier di Sepanjang Pantai
Pola permukiman ini biasanya dibangun oleh penduduk yang memiliki
mata pencaharian sebagai nelayan.Pola permukiman linier di sepanjang
pantai dapat ditemukan di berbagai kawasan pantai dan desa-desa nelayan di
Indonesia.
2. Pola Terpusat (Nucleated)
Pola terpusat merupakan pola permukiman penduduk di mana rumah-rumah
yang dibangun memusat pada satu titik. Pola terpusat umumnya ditemukan pada
kawasan permukiman di desa-desa yang terletak di kawasan pegunungan. Pola
ini biasanya dibangun oleh penduduk yang masih satu keturunan.
42
Salah satu penyebab tidak meratanya persebaran permukiman penduduk adalah
perekonomian masyarakat.Sejak zaman dahulu, Jawa telah menjadi pusat
pemerataan perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Akibatnya, penduduk
banyak berdatangan ke Pulau Jawa untuk mencari barang dan pekerjaan karena
mengharapkan kehidupan yang lebih baik.Padahal, kawasan-kawasan lain di
Indonesia pun memiliki potensi yang besar untuk pengembangan ekonomi.
43
pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal,
pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan
mutu kehidupan yang lebih baik.
44
b. Faktor ini mempunyai peranan yang besar terhadap perubahan pemanfaatan
lahan, khususnya perubahan pemantaatan lahan agraris menjadi non agraris
di daerah pinggiran kota.
c. Faktor pelayanan umum (public services).
d. Merupakan faktor penarik terhadap penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan
untuk dating kearahnya.
e. Faktor Karakteristik lahan (land characteristics).
f. Faktor karakteristik lahan tidak kalah penting peranannya dalam
mempengaruhi intensitas perkembangan baru di sesuatu kota.
g. Faktor karakteristik pemilik lahan (land owners characteristics)
h. Menentukan corak perkembangan spasial di sesuatu tempat, khususnya
akselerasi intensitas perkembangannya.
i. Faktor keberadaan peraturan yang mengatur tata ruang
j. Diyakini sebagai salah satu faktor yang berpengaruh kuat terhadap
intensitas perkembangan spasial di daerah pinngiran kota apabila peraturan
yang ada dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen (Sinclair, 1967).
k. Faktor Prakarsa Pengembang
Mempunyai peranan yang kuat pula dalam mengarahkan pengembangan
spasial sesuatu kota.
45
dan arif, dapat menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap kehidupan kota.
Gaya ini terjadi karena sejumlah kualitas daya pusat kota (kawasan), yaitu:
a) Daya tarik (fisik) tapak (kualitas lansekap alami),
b) Penyamanan fungsional (aksesibilitas maksimum),
c) Daya tarik fungsional (satu fungsi menarik fungsi lainnya) dan gengsi
fungsional (Reputasi jalan atau lokasi untuk fungsi tertentu).
46
penduduk. Kedua variabel ini dapat dilakukan melalui tahapan analisis konsep
kemampuan lahan yang mengacu pada pada Permen PU No 20 Tahun 2007
tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta
Sosial Budaya Dalam Penyusunan Tata Ruang, dan konsep daya tampung lahan.
1. Konsep Kemampuan Lahan
Analisis kemampuan lahan dalam Permen PU No 20 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial
Budaya Dalam Penyusunan Tata Ruang dilakukan dengan melakukan analisis
terhadap 9 jenis satuan kemampuan lahan, yaitu satuan kemampuan lahan (SKL)
Morfologi, SKL Kemudahan di Kerjakan, SKL Kestabilan Lereng, SKL
Kestabilan Pondasi, SKL Ketersediaan Air, SKL Untuk Drainase, SKL Terhadap
Erosi, SKL Pembuangan Limbah, dan SKL Terhadap Bencana Alam. Dari 9 SKL
tersebut akan di bobot dan di tumpang tindihkan berdasarkan kriteria skoring
yang ada sehingga memunculkan nilai dari kemampuan lahan hingga
menghasilkan kesesuaian lahan. Untuk menghasilkan Tingkat daya tampung
lahan dilakukan analisis terhadap satuan kemampuan lahan yang diperoleh dari
hasil overlay dari 9 jenis satuan kemampuan lahan.
a) SKL Morfologi
Melakukan pemilahan bentuk bentang alam/morfologi pada wilayah
dan/atau kawasan perencanaan yang mampu untuk dikembangkan sesuai
dengan fungsinya.
47
Melakukan analisis tingkat kemampuan lahan dalam mendukung bangunan
berat dalam pengembangan perkotaan, serta jenis-jenis pondasi yang sesuai
untuk masing-masing tingkatan.
e) SKL Ketersediaan Air
Melakukan analisis tingkat ketersediaan air guna pengembangan kawasan,
dan kemampuan penyediaan air masing-masing tingkatan.
f) SKL Untuk Drainase
Melakukan analisis tingkat kemampuan lahan dalam mematuskan air hujan
secara alami, sehingga kemungkinan genangan baik bersifat lokal ataupun
meluas dapat dihindari.
g) SKL Terhadap Erosi
Melakukan analisis tingkat kemampuan lahan dalam tingkat ketahanan
lahan terhadap erosi.
h) SKL Pembuangan Limbah
Melakukan analisis untuk daerah-daerah yang mampu untuk ditempati
sebagai lokasi penampungan akhir dan pengolahan limbah, baik limbah
padat maupun limbah cair.
i) SKL Terhadap Bencana Alam
Melakukan analisis tingkat kemampuan lahan dalam menerima bencana
alam khususnya dari sisi geologi, untuk menghindari/mengurangi kerugian
dan korban akibat bencana tersebut.
j) Kemampuan Lahan
Setelah melakukan analisis per jenis satuan kemampuan lahan, dilakukan
overlay untuk menghasilkan kemampuan lahan dengan sasaran :
1) Mendapatkan klasifikasi kemampuan lahan untuk dikembangkan sesuai
fungsi kawasan.
2) Memperoleh gambaran potensi dan kendala masing-masing kelas
kemampuan lahan.
48
3) Sebagai dasar penentuan: arahan-arahan kesesuaian lahan pada tahap
analisis berikutnya dan rekomendasi akhir kesesuaian lahan untuk
pengembangan kawasan.
Langkah – Langkah dari analisis kemampuan lahan adalah sebagai berikut :
1) Melakukan analisis satuan-satuan kemampuan lahan, untuk
memperoleh gambaran tingkat kemampuan pada masing-masing satuan
kemampuan lahan.
2) Tentukan nilai kemampuan setiap tingkatan pada masing-masing satuan
kemampuan lahan, dengan penilaian 5 (lima) untuk nilai tertinggi dan 1
(satu) untuk nilai terendah.
3) Kalikan nilai-nilai tersebut dengan bobot dari masing-masing satuan
kemampuan lahan. Bobot ini didasarkan pada seberapa jauh pengaruh
satuan kemampuan lahan tersebut pada pengembangan perkotaan.
Bobot yang digunakan hingga saat ini adalah seperti terlihat pada Tabel
dibawah ini.
4) Superimpose-kan semua satuan-satuan kemampuan lahan tersebut,
dengan cara menjumlahkan hasil perkalian nilai kali bobot dari seluruh
satuan-satuan kemampuan lahan dalam satu peta, sehingga diperoleh
kisaran nilai yang menunjukkan nilai kemampuan lahan di wilayah
dan/atau kawasan perencanaan.
49
2.2 Kerangka Teori
TEORI PERKOTAAN
Bintarto, 1987. Kota dalam
tinjauan geografi
Prof. Dr. Ir. Zoe’raini Djamal
Irwan, M.Si, tantangan
lingkungan & lansekap kota
(2004 ; 31)
50
BAB III
METODOLOGI
3.1 Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang di lakukan pada aspek fisik dan tata guna lahan
menggunakan metode campuran, yaitu gabungan dari metode kuantitatif dan
metode kualitatif. Pengkombinasian atau penggabungan antara metode kuantitatif
dan kualitatif ini digunakan secara bersama-sama dalam suatu penelitian sehingga
diperoleh data yang lebih komprehensif, valid, reliable dan objektif. Metode
campuran ini lebih kompleks dari sekedar mengumpulkan dan menganalsis dua
jenis data tetapi juga melibatkan fungsi dari kedua metode pendekatan yaitu
kuantitatif dan kualitatif secara kolektif sehingga memperoleh hasil penelitian yang
secara keseluruhan lebih komprehensif, valid, reliable dan objektif daripada
penelitian yang hanya menggunakan metode kualitatif atau metode kuantitatif.
51
disertai dengan penjelasannya atau penafsirannya. Pendekatan Kuantitatif
merupakan suatu proses menemukan pengetahuan yang berupa angka sebagai alat
untuk menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin diketahui (Kasiram (2008
: 149) dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif). Pendekatan
ini dilakukan dalam analisis :
A. Aspek Fisik
Dalam analisis kondisi fisik lingkungan, karena proses analisis data melibatkan
Analisa statistika (angka), metode kuantitatif ini digunakan untuk analisis
kemampuan lahan lahan dan analisis kesesuaian lahan.
B. Aspek Tata Guna Lahan
Dalam analisis tata guna lahan dikarenakan adanya proses perhitungan, maka
analisis ini digunakan untuk melakukan analisis terhadap perubahan lahan.
52
atau cara pengumpulan data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh peneliti
langsung dari subjek atau objek penelitian.
Data yang diperoleh didapat melalui beberapa cara diantaranya:
A. Observasi lapangan
Observasi lapangan adalah penelitian yang dilakukan secara lansung dengan
mengamati kondisi fisik kawasan yang dikaji. Observasi lapangan dilakukan
dengan mengamati keadaan yang berkaitan dengan aspek fisik dan tata guna
lahan di Kawasan Perkotaan Kabupaten Bandung Barat.
B. Wawancara / Interview
Menurut Irawati Singarimbun (1989) wawancara adalah suatu proses
interaksi dan komunikasi. Dalam proses ini, hasil wawancara ditentukan oleh
beberapa faktor diantaranya pewawancara, responden, topik penelitian yang
tertuang dalam daftar pernyataan dan situasi wawancara. Wawancara yang
dijadikan teknik pengumpulan data dalam metode survey dengan menggunakan
pertanyaan secara lisan kepada responden atau pihak terkait dimana responden
merupakan pihak instansi terkait dengan masyarakat yang berkepentingan.
Dalam aspek fisik dan tata guna lahan wawancara berguna untuk mengetahui isu
– isu potensi dan masalah terkait aspek tersebut yang berada di Wilayah Kajian
Kawasan Perkotaan Kabupaten Bandung Barat.
Wawancara dilakukan jika memerlukan komunikasi atau hubungan dengan
responden mengenai masalah yang ada. Untuk pemilihan narasumber dilakukan
dengan menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling diambil
agar mendapatkan narasumber yang paham di bidang terkait dan dianggap
dianggap mengetahui tentang kondisi fisik dan tata guna lahan yang ada di
Kabupaten Bandung Barat.
53
Perkotaan Kabupaten Bandung Barat, responden tersebut dilihat
berdasarkan instansi yang dituju :
a. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Bandung Barat
i. Bekerja pada bidang yang terkait Penataan Ruang dan
Kebencanaan
ii. Ketua/pimpinan dalam suatu bidang kerja
iii. Mengetahui kondisi fisik dan penggunaan lahan di Kabupaten
Bandung Barat
iv. Telah bekerja di instansi terkait (minimal 5 tahun)
b. Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian Pengembangan Daerah
Kabupaten Bandung Barat
i. Bekerja pada bidang yang terkait Penataan Ruang dan
Kebencanaan
ii. Ketua/pimpinan dalam suatu bidang kerja
iii. Telah bekerja di instansi terkait (minimal 5 tahun)
iv. Mengetahui kondisi fisik dan penggunaan lahan di Kabupaten
Bandung Barat
c. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bandung Barat
i. Bekerja pada bidang yang terkait Penataan Ruang dan
Kebencanaan
ii. Ketua/pimpinan dalam suatu bidang kerja
iii. Telah bekerja di instansi terkait (minimal 5 tahun)
iv. Mengetahui kondisi fisik dan penggunaan lahan terkait
kebencanaan di Kabupaten Bandung Barat
d. Kantor Kecamatan
i. Ketua/pimpinan dalam suatu bidang kerja
ii. Telah bekerja di instansi terkait (minimal 3 tahun)
iii. Mengetahui kondisi fisik dan penggunaan lahan di Kecamatan
yang termasuk kedalam Kawasan Perkotaan.
Dalam wawancara yang dipilih adalah sampel yang dapat menjawab
pertanyaan dan dianggap mengetahui kondisi fisik dan tata guna lahan apa
54
yang menjadi tujuan dan permasalahan di Kawasan Perkotaan Kabupaten
Bandung Barat.
55
No Dinas Topik Tujuan Jumlah Narasumber Kriteria
Narasumber Narasumber
Dampak yang
terjadi dari
bencana
terhadap
lingkungan dan
masyarakat
Upaya
penanggulangan
terhadap
bencana
56
No Dinas Topik Tujuan Jumlah Narasumber Kriteria
Narasumber Narasumber
Kabupaten
Bandung barat
Dampak yang
terjadi dari
bencana
terhadap
lingkungan dan
masyarakat
Tabel III. 2 Ceklis Data Sekunder Aspek Fisik dan Tata Guna Lahan
Bentuk
Data Sumber Data Instansi
Data
• Peta Topografi
• Peta Morfologi
• Peta Geologi RTRW Kab. Bandung BAPPELITBANGDA
• Peta Klimatologi Barat tahun 2009-2029 Kabupaten Bandung Barat
• Peta Jenis Tanah Peta
Digital
Peta Daerah Rawan dan Dokumen Rencana BPBD Kabupaten Bandung
Bencana Dokumen Penanggulangan Bencana Barat
• Data Air Permukaan
Dinas Bina Marga, Sumber
• Data Air Tanah
Peta Hidrologi Daya Air dan Pertambangan
• Data Daerah Aliran
Kabupaten Bandung Barat
Sungai
a. Peta SKL Morfologi Peta RTRW Kab. Bandung BAPPELITBANGDA
• Peta Morfologi Digital Barat tahun 2009-2029 Kabupaten Bandung Barat
57
Bentuk
Data Sumber Data Instansi
Data
• Peta kemiringan dan
lereng Dokumen
b. Peta SKL
Kestabilan Lereng •
Peta Topografi
• Peta Morfologi
• Peta Kemiringan
Lereng
• Peta Geologi
• Peta Curah Hujan •
Peta Penggunaan
Lahan
• Data Bencana Alam Dokumen Rencana BPBD Kabupaten Bandung
Penanggulangan Bencana Barat
c. Peta SKL
Kestabilan Pondasi •
Peta Kestabilan
Lereng
• Peta Geologi
• Peta Penggunaan
Lahan RTRW Kab. Bandung BAPPELITBANGDA
d. Peta SKL Barat tahun 2009-2029 Kabupaten Bandung Barat
• Ketersediaan Air
• Data Klimatologi •
Peta Morfologi
• Peta Kemiringan
Lereng
• Peta Geologi
• Data Air Permukaan
Dinas Bina Marga, Sumber
• Data Air Tanah
Data Hidrologi Daya Air dan Pertambangan
• Data Daerah Aliran
Kabupaten Bandung Barat
Sungai
e. Peta SKL Drainase
• Peta Morfologi
• Peta Kemiringan
Lereng RTRW Kab. Bandung BAPPELITBANGDA
• Peta Topografi Barat tahun 2009-2029 Kabupaten Bandung Barat
• Peta Geologi
• Data Klimatologi •
Penggunaa Lahan
• Data Air Permukaan
Dinas Bina Marga, Sumber
• Data Air Tanah
Data Hidrologi Daya Air dan Pertambangan
• Data Daerah Aliran
Kabupaten Bandung Barat
Sungai
f. Peta SKL Bencana
Alam
• Peta Topografi
• Peta Morfologi
RTRW Kab. Bandung BAPPELITBANGDA
• Peta Kemiringan
Barat tahun 2009-2029 Kabupaten Bandung Barat
Lereng
• Peta Geologi
• Peta Geologi
Permukaan
58
Bentuk
Data Sumber Data Instansi
Data
• Data Klimatologi •
Peta penggunaan
Lahan
Dokumen Rencana BPBD Kabupaten Bandung
Data Bencana Alam
Penanggulangan Bencana Barat
• Data Air Permukaan Dinas Bina Marga, Sumber
• Data Air Tanah Daya Air dan Pertambangan
Data Hidrologi
• Data Daerah Aliran Kabupaten Bandung Barat
Sungai
g. Peta SKL Mudah
Dikerjakan
• Peta topografi
• Peta morfologi
RTRW Kab. Bandung BAPPELITBANGDA
• Peta Kemiringan
Barat tahun 2009-2029 Kabupaten Bandung Barat
Lereng
• Peta Geologi
• Peta Penggunaan
Lahan saat ini
• Peta Morfologi
Peta
• Peta Topografi
Digital RTRW Kab. Bandung BAPPELITBANGDA
• Peta Kemiringan
dan Barat tahun 2009-2029 Kabupaten Bandung Barat
lahan
Dokumen
• Jenis Tanah
Peta Penggunaan
Lahan
Peta Morfologi
Peta
Digital RTRW Kab. Bandung BAPPELITBANGDA
Peta Topografi
dan Barat tahun 2009-2029 Kabupaten Bandung Barat
Dokumen
Peta Jenis Tanah
Peta Geologi
Peta
Digital Dokumen Rencana BPBD Kabupaten Bandung
Peta Potensi Bencana
dan Penanggulangan Bencana Barat
Dokumen
Peta penggunaan lahan Peta BAPPELITBANGDA
eksisting dan lampau Digital Kabupaten Bandung Barat
RTRW Kab. Bandung
Peta sebaran lahan dan Dinas Perumahan Rakyat
Barat tahun 2009-2029
terbangun dan non Dokumen Kawasan Permukiman dan
terbangun Lingkungan Hidup
59
3.3 Metode Analisis
Metode analisis pada aspek fisik dan tata guna lahan yaitu untuk mengetahui
serta memahami kondisi dan karakteristik terkait fisik dan tata guna lahan di
Kawasan Perkotaan Kabupaten Bandung Barat secara eksisting untuk mendapatkan
output yang sesuai.
3.3.1 Metode Analisis Kondisi Fisik
Dalam analisis kondisi fisik menggunakan metode deskriptif. Metode
analisis deskriptif adalah sebuah metode penelitian yang menggambarkan objek
penelitian berupa data-data yang sudah ada. Analisis Kondisi Fisik Kawasan
Perkotaan meliputi:
a. Analisis Kondisi Fisik Dasar
Analisis kondisi fisik dasar kawasan Kabupaten Bandung Barat dengan data
klimatologi, topografi, geologi, hidrologi, morfologi, data bencana alam, dan
penggunaaan lahan. Berdasarkan Permen PU No 20 Tahun 2007 tentang pedoman
analisis aspek fisik dan lingkungan, ekonomi, serta sosial budaya dalam
penyusunan tata ruang
b. Analisis Kemampuan Lahan
Sebagai faktor pendukung pengembangan kawasan, kondisi fisik dan
lingkungan dapat sangat membantu dalam mengetahui ketersediaan lahan dan
bagaimana pemanfaatannya. Sebagai faktor penghambat, kondisi fisik dan
lingkungan dapat menjadi faktor pembatas pengembangan kawasan yang
dicerminkan dengan penentuan kawasan lindung dan kawasan yang tidak boleh
dikembangkan dengan jenis kegiatan budidaya tertentu.
Analisis fisik dan lingkungan kawasan ini dilakukan untuk mengsenali
karakteristik sumber daya alam tersebut, dengan menelaah kemampuan dan
kesesuaian lahan, agar penggunaan lahan dalam pengembangan wilayah dan atau
kawasan dapat dilakukan secara optimal dengan tetap memperhatikan
keseimbangan ekosistem.
Analisis satuan kemampuan lahan (Pedoman Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No. 20/PRT/M/2007) terdapat beberapa satuan kemampuan lahan yaitu:
60
▪ Penilaian lahan SKL Morfologi
Berdasarkan kriteria kelas lereng yang dikeluarkan dari Kementerian
Pekerjaan Umum yang menetapkan bahwa kemiringan lereng 0 -< 15%
merupakan bentuk lahan datar-landai, kemiringan lereng 15-<25 %
dikatagorikan sebagai bentuk lahan agak curam, dan kemiringan lereng di atas
25 % dikatagorikan sebagai bentuk lahan curam.
61
Tabel III. 4 Pembobotan SKL Kestabilan Lereng
SKL Kestabilan
Ketinggian Nilai Kemiringan Nilai Morfologi Nilai Nilai
Lereng
0-2% 5 Dataran 5 Tinggi (14-15) 5
< 500 5
2-5% 4 Landai 4 Cukup (12-13) 4
500 -1500 4 5 -15 % 3 Perbukitan Sedang 3 Sedang (9-11) 3
Pegunungan/Perbukitan
15 - 40 % 2 2 Kurang (6-8) 2
Terjal
Pegunungan/Perbukitan
1500 – 2500 3
> 40 % 1 Sangat 1 Rendah (4-5) 1
Terjal
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007
62
Tabel III. 6 Pembobotan SKL Ketersediaan Air
Peta Curah Peta Guna SKL Ketersediaan
Peta DAS Nilai Nilai Nilai Nilai
Hujan Lahan Air
4000-4500 mm 5 Tinggi (11-12) 5
Baik merata 5 Terbangun 2
3500-4000 mm 4 Cukup (9-10) 4
Baik tidak merata 4 3000-3500 mm 3 Sedang (7-8) 3
Non
Setempat terbatas 3 2500-3000 mm 2 Terbangun 1 Kurang (5-6) 2
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007
▪ SKL Drainase
Penilaian terhadap kondisi drainase akan memperhatikan faktor kemiringan
lereng, kondisi geologi, kerapatan sungai dan penggunaan lahan.
Tabel III. 7 Pembobotan SKL Drainase
Peta Peta Curah
Nilai Peta Kemiringan (%) Nilai Nilai SKL Drainase Nilai
Ketinggian Hujan
0-2% 5 2500-3000 mm 2 Tinggi (12-14) 3
<500 5
2-5% 4 3000-3500 mm 3
Cukup (6-11) 2
500-1500 4 5 - 15 % 3 3500-4000 mm 4
15 - 40 % 2
1500-2500 3 4000-4500 mm 5 Kurang (3-5) 1
>40% 1
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007
Curah Hujan Nilai Jenis Tanah Nilai Morfologi Nilai Kemiringan Nilai SKL Erosi Nilai
63
▪ SKL Pembuangan Limbah
Penilaian terhadap daya dukung lahan untuk pemanfaatan ruang pembuangan
limbah di Sub DAS Babura, dilakukan melalui penilaian beberapa variabel
terkait yaitu kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, dan penggunaan
lahan.
Tabel III. 9 Pembobotan SKL Pembuangan Limbah
SKL
Kemiringan Guna
Pembuangan
Ketinggian Nilai (%) Nilai Curah Hujan Nilai Lahan Nilai Nilai
Limbah
0-2% 5 2500-3000 mm 2 Non Tinggi (4-6) 5
<500 5 1
2-5% 4 3000-3500 mm 3 Terbangun Cukup (7-8) 4
500-1500 4 5 - 15 % 3 3500-4000 mm 4 Sedang (9-10) 3
15 - 40 % 2 Kurang (11-12) 2
1500-2500 3 4000-4500 mm 5 Terbangun 2
>40% 1 Rendah (13-14) 1
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007
64
▪ SKL Kemudahan dikerjakan
Untuk pembobotan satuan kemampuan lahan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel III. 12 Bobot Satuan kemampuan Lahan
Satuan Kemampuan Lahan Skoring/bobot
SKL Morfologi 5
65
digunakan untuk menghasilkan suitability scores (skoring kesesuaian lahan)
untuk setiap kawasan dalam wilayah perencanaan.
Berikut ini merupakan skoring fisik wilayah yaitu skoring kemiringan lereng,
jenis tanah, dan intesitas tanah.
▪ Skoring Kemiringan Lahan
Pada analisis skoring kemiringan lahan ini berpedoman pada Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No.20/PRT/M/2007 dapat dilihat pada tabel
berikut:
66
(curam), jika pertumbuhan menutupi permukaan tanah di tebing, maka
lereng mudah terkena erosi. Dan yang terakhir yaitu kelerengan >45% atau
kelerangan tingkat 4 (sangat curam), merupakan kelerengan yang memiliki
tingkat kepekaan yang sangat tinggi terhadp erois, maka dari itu kegiatannya
harus bersifat non budidaya.
Pada tabel skoring jenis tanah yang berpedoman pada Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No.20/PRT/M/2007, dapat dilihat adanya jenis tanah yang
dapat mengalami ketidakpekaan terhadap erosi, agak peka, kurang peka,
peka, dan sangat peka sesuai dengan jenis tanah yang terkandung di
dalamnya sehingga skoring jenis tanah dapat diketahui.
67
Kelas Kisaran Intensitas Hujan (mm/hari) Keterangan Skoring
IV 2,77 – 3,48 Tinggi 40
Pada tabel diatas, dipaparkan aturan kelas intensitas hujan yang akan dilihat
dari kisaran hujan mm/hari sehingga dikategorikan menjadi intesitas curah
hujan yang sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
68
Tabel III. 16 Analisis Penggunaan Lahan dan Pola Penggunaan Lahan
No Analisis Tujuan Metode Analisis Output
Mengetahui jenis dan Peta distribusi
distribusi penggunaan lahan penggunaan lahan
1 di Wilayah Kajian Kawasan eksisitng tahun
Perkotaan Kabupaten Mengidentifikasi Peta terbaru dan lampau
Bandung Barat Penggunaan Lahan
Mengetahui penggunaan Tahun Terbaru yang Peta penggunaan
Penggunaan
lahan berdasarkan jenisnya : dapat berupa Peta lahan kawasan
Lahan
2 - Kawasan Permukiman Digital/SHP dan Peta permukiman dan
Eksisting
- Kawasan Non Tematik kemudian kawasan non
Permukiman diolah menggunakan permukiman
Mengetahui penggunaan sofrtware Arcgis.
Peta penggunaan
lahan berdasarkan fungsinya
3 lahan kawasan
- Kawasan Lindung
lindung dan budidaya
- Kawasan Budidaya
Mengetahui pola
Peta pola penggunaan
penggunaan lahan di
lahan per jenis
Wilayah Kajian Kawasan
Pola Mengidentifikasi peta penggunaan lahan
Perkotaan Kabupaten
4 Penggunaan penggunaan lahan yang ada di Wilayah
Bandung Barat
Lahan tahun terbaru Kajian Kawasan
- Memusat
Perkotaan Kabupaten
- Menyebar
Bandung Barat
- Memanjang
69
Tabel III. 17 Analisis Kecenderungan Kawasan dan Perubahan Penggunaan Lahan
70
3.4 Matriks Analisis
Tabel III. 18 Matriks Analisis
Bentuk
No Output Metodologi Teknik Analisis Data Sumber Data Instansi
Data
• Peta Topografi
• Peta Morfologi
RTRW Kabupaten BAPPELITBANGDA
• Peta Geologi
Bandung Barat tahun Kabupaten Bandung
• Peta Klimatologi
2009-2029 Barat
Analisis deskriptif. • Peta Jenis Tanah
Melihat kondisi fisik
eksisting Kawasan • Peta Daerah Dokumen Rencana
1 Kondisi fisik Peta Digital dan BPBD Kabupaten
Deskripsi Perkotaan Kabupaten Rawan Bencana Penanggulangan
dasar Dokumen Bandung Barat
Bandung Barat dari Bencana
data atribut peta dalam • Peta Hidrologi
Dinas Bina Marga,
ArcGIS. • Data Air
RTRW Kabupaten Sumber Daya Air dan
Permukaan
Bandung Barat tahun Pertambangan
• Data Air Tanah
2009-2029 Kabupaten Bandung
• Data Daerah
Barat
Aliran Sungai
a. Peta SKL
Analisis deskriptif.
Morfologi
Menganalisis
• Peta Morfologi
kemampuan lahan
• Peta kemiringan
Kawasan Perkotaan
lereng
a. Overlaying Kabupaten Bandung RTRW Kabupaten BAPPELITBANGDA
2 Kemampuan b. Peta SKL Peta Digital dan
Maps Barat berdasarkan hasil Bandung Barat tahun Kabupaten Bandung
Lahan Kestabilan Lereng Dokumen
b. Skoring overlay peta SKL yang 2009-2029 Barat
• Peta Topografi
data atributnya sudah
• Peta Morfologi
diberi skoring yang
• Peta Kemiringan
berpedoman pada
Lereng
Peraturan Menteri
• Peta Geologi
71
Bentuk
No Output Metodologi Teknik Analisis Data Sumber Data Instansi
Data
Pekerjaan Umum No. • Peta Curah
20 Tahun 2007 Hujan • Peta
Penggunaan
Lahan
• Data Bencana Dokumen Rencana
BPBD Kabupaten
Alam Penanggulangan
Bandung Barat
Bencana
c. Peta SKL
Kestabilan
Pondasi • Peta
Kestabilan Lereng
• Peta Geologi
• Peta
Penggunaan
Lahan RTRW Kabupaten BAPPELITBANGDA
d. Peta SKL Bandung Barat tahun Kabupaten Bandung
• Ketersediaan 2009-2029 Barat
Analisis deskriptif. Air
Menganalisis • Data
kemampuan lahan Klimatologi •
Kawasan Perkotaan Peta Morfologi
Kabupaten Bandung • Peta Kemiringan
Barat berdasarkan hasil Lereng
overlay peta SKL yang • Peta Geologi
data atributnya sudah • Data Hidrologi Dinas Bina Marga,
• Data Air Permukaan
diberi skoring yang Sumber Daya Air dan
• Data Air Tanah
berpedoman pada Pertambangan
• Data Daerah Aliran
Peraturan Menteri Kabupaten Bandung
Sungai
Pekerjaan Umum No. Barat
20 Tahun 2007 e. Peta SKL RTRW Kabupaten BAPPELITBANGDA
Drainase Bandung Barat tahun Kabupaten Bandung
• Peta Morfologi 2009-2029 Barat
72
Bentuk
No Output Metodologi Teknik Analisis Data Sumber Data Instansi
Data
• Peta Kemiringan
Lereng
• Peta Topografi
• Peta Geologi
• Data
Klimatologi •
Penggunaa Lahan
Analisis deskriptif.
Menganalisis
kemampuan lahan
Kawasan Perkotaan
Kabupaten Bandung Dinas Bina Marga,
• Data Air Permukaan
Barat berdasarkan hasil Sumber Daya Air dan
• Data Air Tanah
overlay peta SKL yang • Data Hidrologi Pertambangan
• Data Daerah Aliran
data atributnya sudah Kabupaten Bandung
Sungai
diberi skoring yang Barat
berpedoman pada
Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No.
20 Tahun 2007
Analisis deskriptif. f. Peta SKL
Menganalisis Bencana Alam
kemampuan lahan • Peta Topografi
Kawasan Perkotaan • Peta Morfologi
Kabupaten Bandung • Peta Kemiringan RTRW Kabupaten BAPPELITBANGDA
Barat berdasarkan hasil Lereng Bandung Barat tahun Kabupaten Bandung
peta SKL yang data • Peta Geologi 2009-2029 Barat
atributnya sudah diberi • Peta Geologi
skoring yang Permukaan
berpedoman pada • Data
Peraturan Menteri Klimatologi •
73
Bentuk
No Output Metodologi Teknik Analisis Data Sumber Data Instansi
Data
Pekerjaan Umum No. Peta penggunaan
20 Tahun 2007 Lahan
• Data Bencana Dokumen Rencana
BPBD Kabupaten
Alam Penanggulangan
Bandung Barat
Bencana
• Data Hidrologi
• Data Air
RTRW Kabupaten BAPPELITBANGDA
Permukaan
Bandung Barat tahun Kabupaten Bandung
• Data Air Tanah
2009-2029 Barat
• Data Daerah
Aliran Sungai
g. Peta SKL
Mudah
Dikerjakan • Peta
topografi
• Peta morfologi RTRW Kabupaten BAPPELITBANGDA
• Peta Kemiringan Bandung Barat tahun Kabupaten Bandung
Lereng 2009-2029 Barat
• Peta Geologi
• Peta
Penggunaan
Lahan saat ini
3 Kesesuaian • Overlaying Analisis deskriptif. • Peta Morfologi
Lahan Maps Melihat hasil overlay • Peta Topografi
• Skoring peta SKL beserta • Peta Kemiringan
pemberian skoring pada lahan RTRW Kabupaten BAPPELITBANGDA
Peta Digital dan
setiap SKL sehingga • Jenis Tanah Bandung Barat tahun Kabupaten Bandung
Dokumen
diketahui kesesuaian 2009-2029 Barat
lahan eksisting
berdasarkan data yang
didapatkan.
74
Bentuk
No Output Metodologi Teknik Analisis Data Sumber Data Instansi
Data
Melihat pola
penggunaan lahan Peta Penggunaan
Pola eksisting yang Lahan Eksisting RTRW Kabupaten BAPPELITBANGDA
Peta Digital dan
5 Pengunaan Deksripsi terdapat di alat bantu Bandung Barat tahun Kabupaten Bandung
dan Lampau Dokumen
Lahan pengerjaan (Arcgis) 2009-2029 Barat
dengan mengeluarkan
attribute
Mengoverlay peta
penggunaan lahan
tahun lampau dengan Peta Penggunaan
RTRW Kabupaten BAPPELITBANGDA
Kecenderungan Overlaying peta penggunaan Lahan Eksisting Peta Digital dan
6 dan Lampau Bandung Barat tahun Kabupaten Bandung
Kawasan Maps lahan tahun terbaru, Dokumen
2009-2029 Barat
untuk melihat
perkembangan
wilayah
75
Bentuk
No Output Metodologi Teknik Analisis Data Sumber Data Instansi
Data
76
3.5 Kerangka Analisi
METODOLOGI
78
TABEL KENDALI
Sudah diperbaiki/ belum
No Perbaikan Halaman
Sudah belum
1 Cover seragamkan sesuai ketentuan standar PWK UNPAS √
2 Daftar isi, daftar tabel, dan daftar gambar sesuaikan dan rapihkan ii-iv √
3 Penomoran untuk tabel pemisah bab menggunakan romawi dan dilanjutkan √
dengan urutan angka (Tabel I.1) dan untuk penomoran gambar
menggunakan angka dilanjutkan dengan urutan angka (Gambar 1.1)
4 Ketentuan format penulisan perhatikan dan seragamkan semua font times √
new rowman, paragraft deskripsi size 12, judul tabel/gambar size 11 posisi
di tengah, isi tabel size 10, sumber tabel/gambar size 9
5 Penomoran subbab seragamkan mau sampai berapa digit (maksimal 4 digit) √
setelahnya bisa dilanjutkan dengan penomoran huruf dan sebagainya
(hindari penggunakan pointer dot baiknya menggunakan huruf, angka,
romawi)
6 Penulisan untuk angka ribuan/jutaan menggunakan titik dan untuk desimal √
menggunakan koma
7 Penyusunan paragraft jangan hanya 1 kalimat = 1 paragraft → sesuaikan √
dengan ketentuan penyusunan paragrfat
8 Penulisan kutipan didalam paragraft seragamkan (nama ke-2 penulis, tahun) √
dan tidak usah ditulis “sumber” kecuali untuk dibawah tabel/gambar,
bedakan penulisan sumber kutipan didalam paragraft dan dibawah
tabel/gambar
9 Sumber dari kebijakan/peraturan/pedoman baiknya ditulis lengkap jangan √
hanya nomor dan tahun tapi harus lengkap dengan “tentang”
10 Latar Belakang : harus sudah menjelaskan kawasan masing – masing yang √
berkaitan dengan aspek masing – masing, karakteristik/potret nya seperti
apa, temuan – temuan bisa dijelaskan dari kebijakan/berita/jurnal sesuai
sumber referensi yang relevan
11 Penulisan untuk angka ribuan/jutaan menggunakan titik dan untuk desimal √
menggunakan koma
12 Isu permasalahan : jelaskan temuan – temuan permasalahan yang berkaitan
dengan aspek masing – masing dan sudah sesuai kawasan kajian, sumber
jangan dibatasi bisa dari berbagai sumber yang relevan
13 Tujuan : seragamkan penyusunan kalimatnya bahwa tujuan adalah √
Karakteristik, Potensi, dan Masalah Aspek ...... di Kawasan ...... → jadi tidak
79
ada yang menyebutkan masalah dulu baru potensi atau lainnya, jadi
penyebutannya diseragamkan
14 Sasaran : sesuaikan urutan/step nya karena hal ini harus konsisten sampai √
bab selanjutnya
15 Ruang lingkup wilayah : yang dijelaskan tidak hanya pembagian √
administrasi wilayah (kecamatan/desa) beserta luasannya tetapi juga
menjelaskan posisi geografis perbatasan utara, selatan, barat, timur,
pewarnaan peta administrasi baiknya seragamkan antar aspek per kawasan
16 Ruang lingkup substansi : penjelasan substansi/materi harus sesuai dengan √
urutan sasaran
17 Kerangka pikir √
a. huruf harus terbaca dan seragam, tidak tertutup kolom
b. alurnya harus jelas
c. penjelasan singkat dan padat (tidak copy paste dari isi laporan)
d. penjelasan latar belakang singkat dan padat tapi sudah mewakili aspek di
kawasan kajian (tidak bersifat umum)
e. penjelasan proses analisis harus turunan dari sasaran
f. output akhir konsisten menjawab tujuan
18 Tinjauan teori √
a. sumber setiap paragraft perhatikan harus dicantumkan
b. penulisan sumber kutipan sesuai ketentuan
c. gambar yang dicantumkan harus dilengkapi sumber
d. urutan subbab harus menunjukkan urutan teori dari umum ke khusus dan
sesuai penjelasan sasaran
e. kerangka teori harus tersetruktur berdasarkan penjelasan antar subbab dan
wajib dicantumkan teori yang digunakan (1 topik teori = 1 kolom)
19 Metodologi √
a) Metode pendekatan tidak hanya menjelaskan secara teoritis tapi
jelaskan penerapannya pada masing – masing aspek
b) Metode pengumpulan data primer
i. tidak semua aspek harus melakukan semua teknik tapi sesuai
kebutuhan
ii. observasi baiknya jelaskan objek yang diobservasi apa saja jangan
hanya menjelaskan secara umum (bukan hanya karakteristik aspek
....)
iii. wawancara perlu dijelaskan teknik-narasumber-jumlah
narasumber-informasi yang dicari untuk pemenuhan sasaran mana
iv. kuesioner perlu penjelasan teknik-responden-polulasi-perhitungan
sampling-jumlah samping responden- informasi yang dicari untuk
pemenuhan sasaran mana
c) Metode pengumpulan data sekunder harus mencantumkan ceklis data
d) Metode analisis
i. baiknya urutannya berdasarkan sasaran
ii. judul subbab adalah urutan sasaran baru penjelasan teknik analisis
per sasaran
iii. dilengkapi matriks analisis dan kerangka analisis
80
20 Daftar pustaka cek penulisan pada setiap sumber (buku, jurnal, kebijakan, √
data statistik, dll), urutkan berdasarkan abjad, setiap yang dijadikan sumber
kutipan didalam proposal harus dicantumkan didalam daftar pustaka
21 Tambahkan tabel kendali (berisi revisi dari tim pengajar disertai point yang √
direvisi, halaman, keterangan revisi sudah dikerjakan atau belum), dan tabel
kontribusi antar anggota
22 Kolom pertama dari ceklis data berupa sasaran, kolom kedua 56 √
81
TABEL KONTRIBUSI
Tanggal 06 oktober
No Nama NRP Kontribusi
1 Prayoga Faiz Nurhasbi 203060011 Revisi proposal
2 Dita Safira Amelia 203060041 Revisi Bahn tayang
Nabilah Khairiyah 203060008
3 Membuat tabel kendali dan mengcek Kembali
Athaya
82