PANCASILA
DALAM LINTASAN
MASA KE MASA
PANCASILA
DALAM LINTASAN MASA KE MASA
INTRODUKSI
Materi “Pancasila Dalam Lintasan Masa Ke Masa” pada bab ini memusatkan
perhatian pada pelaksanaan Pancasila dalam setiap fase perjalanan kehidupan
Bangsa dan Negara Indonesia. Mahasiswa dapat dikatakan menguasai materi pada
Bab III ini apabila telah mampu mencapai capaian pembelajaran sebagaimana
berikut ini:
1.
Menjelaskan sejarah perumusan
pancasila sebagai dasar Negara
3.
Mengambil hikmah setiap peristiwa
Indonesia
sejarah pelaksanaan Pancasila pada
setiap fase pemerintahan Indonesia
STIMULAN
Bagian ini berisi contoh kasus yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Mahasiswa diminta memahami kasus yang dipaparkan
kemudian memberikan tanggapan. Selain itu, mahasiswa juga diminta untuk
menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan berdasarkan kasus-kasus yang
disajikan.
Kasus Pertama
Pancasila merupakan suatu konsep yang luar biasa dahsyat. Sejarah kelahirannya
menjadi mozaik sejarah yang dramatis dan monumental. Setidaknya ada tiga
momentum penting yang mengiringi kelahiran Pancasila. Tanggal 1 Juni 1945
menjadi sangat bersejarah karena kata “Pancasila” pertama kali terucap di sidang
30
BPUPK dan mendapat sambutan yang hangat. Selanjutnya tanggal 22 Juni 1945,
tanggal dirumuskannya Pancasila, setelah digodhog oleh Panitia Sembilan,
disepakati dalam rapat BPUPK yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Momentum
terakhir adalah satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada saat
sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Pada tanggal ini UUD 1945 ditetapkan dan di
dalam UUD tersebut terdapat rumusan Pancasila.
Hari lahir Pancasila disepakati untuk diperingati setiap tanggal 1 Juni. Artinya
setiap setahun sekali pada tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia selalu memperingati hari
lahir Pancasila.
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Menurut pendapat Saudara, apa dasar pertimbangan yang melandasi
tercapainya kesepakatan tentang tanggal peringatan hari lahir Pancasila?
2. Seandainya Saudara memiliki kesempatan untuk mengusulkan peringatan hari
lahir Pancasila, tanggal berapa yang Saudara usulkan? Berikan alasannya!
Kasus Kedua
Terdapat perbedaan yang signifikan mengenai peran negara terhadap
pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan bernegara, terutama apabila dibandingkan
antara zaman Orde Baru dan Era Reformasi. Pada era antara 1970-an hingga
menjelang akhir 1990-an, terdapat program Penataran P4 (Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila). Program ini menjadi ritual wajib bagi setiap elemen
masyarakat, baik di konteks pendidikan sekolah maupun di dunia kerja.
31
Akan tetapi program tersebut seperti hilang ditelan bumi setelah lengsernya
Orde Baru. Muncul kesan bahwa ada phobia terhadap Orde Baru yang berimplikasi
pada “hilangnya” program-program yang dilaksanakan selama Orde Baru, termasuk
program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Sosialisasi untuk
mengenal Pancasila menjadi sangat minim (atau bahkan tidak ada) sehingga
generasi muda terjauhkan dari Pancasila.
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Bagaimana pendapat Saudara dengan fenomena anak muda sekarang yang
jauh dari Pancasila, yang bahkan tidak hafal sila-sila dalam Pancasila?
2. Menurut Saudara, masih pentingkah kita mengenal Pancasila? Berikan alasan!
3. Menurut Saudara, bagaimana cara mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari?
BAHASAN
Metode perkuliahan adalah bagian dari strategi pembelajaran yang berfungsi
sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi
latihan kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan tertentu. Penyajian materi pada
bab ini berupa:
Alat, bahan
Metode pembelajaran Alokasi waktu dan sumber belajar
ASUPAN
Begitu kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa Indonesia sehingga
Pancasila terus berjaya sepanjang masa. Hal tersebut disebabkan ideologi Pancasila
tidak hanya sekadar “confirm and deepen” identitas Bangsa Indonesia. Lebih dari itu,
Pancasila adalah identitas Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak digali dan
dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, Pancasila membangunkan
dan membangkitkan identitas yang dormant, yang “tertidur” dan yang “terbius”
selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).
32
1.Sejarah Lahirnya Pancasila
Sejarah Indonesia modern sejak awal tumbuhnya kesadaran nasionalisme
(kebangkitan nasional) hingga memasuki fase revolusi fisik, bahkan sampai
memasuki tahapan pembentukan negara, perumusan dasar negara, dan
penyusunan sistem konstitusi nasional (1945) memang tidak bisa lepas dari
peran mayoritas umat Islam (Maarif, 2017: 173-174). Sebagai mayoritas, umat
Islam di Indonesia terbentuk dalam komunitas-komunitas besar yang diikat
secara ideologis dan kultural dalam wadah organisasi atau perkumpulan yang
telah tumbuh jauh sebelum Indonesia merdeka. Beberapa organisasi atau
perkumpulan umat Islam yang tumbuh sejak zaman kolonial dan sampai saat ini
masih eksis, seperti: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam
(Persis), Al-Irsyad, dan lain-lain.
KH.A. Dahlan
Pendiri Muhammadiyah
sumber gambar:
suaramuhammadiyah.id
Logo Muhammadiyah
sumber gambar:
suaramuhammadiyah.id
34
Pascapembubaran BPUPK yang diiringi
dengan pembentukan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), lembaga
baru tersebut langsung menggelar sidang-
sidang maraton pada 7-19 Agustus.
Keanggotaan PPKI ditambah 6 (enam) orang
anggota baru tanpa sepengetahuan
pemerintah Jepang. Dari anggota tambahan
tersebut terdapat satu tokoh yang
dipandang merepresentasikan kelompok
Muslim modernis (Muhammadiyah), yaitu Rapat BPUK
Mr. Kasman Singodimedjo. Tokoh inilah yang sumber gambar:
https://www.freedomsiana.id/hasil-sidang-ppki-1-2-3-
menjadi juru kunci pemecah kebuntuan lengkap-18-19-22-agustus-1945/
Indonesia bukan “negara agama” yang berdasarkan Pancasila, tetapi juga bukan
“negara sekuler” yang memisahkan agama dalam kehidupan politik-
kenegaraan. Akan tetapi, ajaran-ajaran Islam diakomodasi dalam sistem
konstitusi negara dan umat Islam dijamin kebebasannya untuk menjalankan
ajaran agama Islam.
35
17
diletakkan sebagai diskursus utama yang lahir dari khazanah pemikiran dan
budaya bangsa, sedangkan Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi pilar
pendiri bangsa diletakkan sebagai perangkat aturan dan kondisi-kondisi khas
yang turut memengaruhi kemunculan sebuah diskursus utama. Titik singgung
terpenting dalam kajian sejarah pemikiran ini adalah konsep-konsep atau nilai-
nilai keislaman dari tokoh-tokoh Muhammadiyah yang sejalan dengan falsafah
Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
36
sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh sidang
PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD 1945, setelah
terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya”, diubah
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Awal dekade 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak
melakukan interpretasi ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan
perspektif yang dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama, beberapa tokoh
berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi politik atau
kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik
melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka
yang menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar
argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-sidang BPUPK dan
PPKI. Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di antara
golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan Takdir
Alisyahbana dkk) dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai
Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar negara.
37
Majelis (Konstituante) ini menemui jalan buntu pada bulan Juni 1959. Kejadian ini
menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden
yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959 yang dirumuskan di Istana Bogor
pada tanggal 4 Juli 1959. Dekrit ini kemudian diumumkan secara resmi oleh
presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka (Anshari,
1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi:
a b c
Pembentukan
Undang-Undang
Pembubaran Majelis
Dasar 1945
Konstituante Permusyawaratan
kembali berlaku
Rakyat Sementara.
38
4. Pancasila pada Era Orde Baru
Setelah lengsernya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal
Soeharto yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya
kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai
diperbaiki.
Pada peringatan hari lahir
Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden
Soeharto mengatakan, “Pancasila
makin banyak mengalami ujian
zaman dan makin bulat tekad kita
mempertahankan Pancasila”. Selain
itu, Presiden Soeharto juga
mengatakan, “Pancasila sama sekali
bukan sekedar semboyan untuk
dikumandangkan, Pancasila bukan
dasar falsafah negara yang sekedar
dikeramatkan dalam naskah UUD,
melainkan Pancasila harus
diamalkan (Setiardja, 1994: 5).
Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan
ritual. Untuk memperkuat Pancasila sebagai dasar negara, pada 1 Juni 1968
Presiden Soeharto mengatakan bahwa jika Pancasila sebagai pegangan hidup
bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak
tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila
pasti dapat digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42).
Selanjutnya, pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi
Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan
Pancasila sebagai dasar negara, yaitu:
Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada
tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR Nomor
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa) yang salah satu pasalnya, Pasal 4, menjelaskan,
“Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pancasila merupakan penuntun dan
pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara
39
bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap
lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di
Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”. Adapun nilai dan norma-
norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan ketetapan tersebut meliputi 36
butir kemudian pada tahun 1994 disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat
menjadi 45 butir P4. Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu,
menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga,
menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima,
menjadi 11 (sebelas) butir. Sumber hukum dan tata urutan peraturan
perundang- undangan di negara Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan, “Amanat penderitaan rakyat hanya
dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala
segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan
secara murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk
menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu negara hukum yang
konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan UUS 1945” (Ali,
2009: 37). Pada masa Orde Baru, dasar negara itu berubah menjadi ideologi
tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha
tahu mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke
benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50).
40
ASAS
TUNGGAL
41
5. Pancasila pada Era Reformasi
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai serta dasar moral etik bagi negara
dan aparat pelaksana Negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat
legitimasi politik. Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya
ekonomi nasional, sehingga timbullah berbagai gerakan masyarakat yang
dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan
moral politik yang menuntut adanya “reformasi” di segala bidang, terutama
politik, ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000: 245).
Mahasiswa Menduduki
Gedung MPR
Sumber gambar:
https://sangpencerah.id/2017/
06/sebelum-reformasi-amien-
rais-dilarang-berkumpul-
lebih-3-orang/
Mahasiswa Berdemo
Sumber gambar:
https://www.matamatapolitik.com/wp-
content/uploads/sites/2/2018/05/Pasca-
Reformasi-Indonesia-Era-Ketidakpastian.
jpg
Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu
untuk sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan
rezim Orde Baru. Pengesampingan Pancasila pada Era Reformasi ini, pada
awalnya memang tidak menunjukkan suatu dampak negatif yang berarti, namun
semakin hari semakin terasa dampak negatif tersebut pada kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial, sebagian
masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik
horizontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya,
kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur,
yang pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan
rusaknya moral generasi muda. Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-
ketimpangan di berbagai sektor diperparah lagi dengan cengkeraman modal
42
asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi disorientasi
politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada
kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik hanya
sekedar merupakan libido dominandi atas hasrat untuk berkuasa, bukannya
sebagai suatu aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional yang pada
akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara seperti dewasa ini
(Hidayat, 2012).
43
Sekretariat Wapres Republik Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara
intensif melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi nilai-nilai
Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian Pendidikan
Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan tinggi telah
menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres Pancasila di
Universitas Gadjah Mada, Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan
Kebangsaan di Universitas Pendidikan Indonesia, dan Kongres Pancasila di
Universitas Udayana. Lebih dari itu MPR-RI melakukan kegiatan sosialisasi nilai-
nilai Pancasila yang dikenal dengan sebutan “Empat Pilar Kebangsaan”, yang
terdiri dari: Pancasila, Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Akan tetapi, istilah “Empat Pilar Kebangsaan” ini menurut Kaelan (2012:
249-252) dianggap: 1) mengandung linguistic mistake (kesalahan linguistik)
atau dapat pula dikatakan kesalahan terminologi; 2) tidak mengacu pada realitas
empiris sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan mengacu
pada suatu pengertian atau ide, 'berbangsa dan bernegara' itu dianalogikan
bangunan besar (gedung yang besar); 3) mengandung kesalahan kategori
(category mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan
Pancasila, Undang- Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama.
Ketidaksamaan itu berkaitan dengan realitas atau hakikat, wujud, kebenaran
serta koherensi pengetahuannya.
Sosialiasi 4 Pilar
Sumber gambar:
https://muktamar-imm.org/sosialisasi-
empat-pilar-mpr-ri-zulkifli-hasan-dorong-
semangat-perubahan-bagi-kader-imm/
44
Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk menyosialisasikan kembali
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan juga merupakan produk perundangan yang
memberikan kedudukan penting Pancasila dalam sistem perundangan di
Indonesia.
Makna penting dari kajian historis Pancasila ini ialah untuk menjaga
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu seluruh komponen
bangsa harus secara imperatif kategoris menghayati dan melaksanakan
Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai Pandangan Hidup
Bangsa, dengan berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD
1945 dan secara konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal
UUD 1945.
45
46
SUMBER BACAAN
Abdulgani, Roeslan. 1979. Pengembangan Pancasila di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Idayu.
Maarif, Ahmad Syafii. 2017. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi
Perdebatan dalam Konstituante. Bandung: Mizan.
Ali, As'ad Said. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta:
Pustaka LP3ES.
Anshari, Endang Saifuddin. 1981. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah
Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945-1959. Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman ITB.
Dodo, Surono dan Endah (ed.). 2010. Konsistensi Nilai-Nilai Pancasila dalam UUD
1945 dan Implementasinya. Yogyakarta: PSP-Press.
47
9
Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ritzer, George. 2015. Teori Sosiologi Modern terj. Triwibowo B.S. Jakarta: Prenada
Media Group.
S.U. Bajasut dan Lukman Hakiem. 2014. Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan
Prawoto Mangkusasmito: Ketua Umum (Terakhir) Partai Masyumi. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.