Anda di halaman 1dari 22

0

MAKALAH
PERADILAN AGAMA PADA MASA ORDE BARU

Oleh:

HASINUDDIN
NIP: 198209152009011008

(PENYULUH AGAMA ISLAM FUNGSIONAL)

KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN


JEMBER
2018
1

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . ... . . . . . . . . . . . . . . .. .. . . .. . . . . . . . . . 1
B. RUMUSAN MASLAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ... . . . . . . . . . . . . . . .. .. . . .. . . . . . . . .
2
C. TUJUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ... . . . . . . . . . . . . . . .. .. . . .. . . . . . . . . . . ... . .. .. . . . 2

BAB II: PEMBAHASAN


A. SEJARAH SINGKAT PERADILAN AGAMA PADA MASA ORDE BARU . . . . . . . . . . .. 3
B. PENATAAN PERADILAN AGAMA PADA MASA ORDE BARU . . . . . . . . . . ... . . . . . . . 7
C. DASAR HUKUM DAN WEWENANG PENGADILAN AGAMA
DI MASA ORDE BARU
1. Dasar hukum Peradilan Agama di masa Orde Baru. . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .. . . 8
2. Wewenang Peradilan Agama di masa Orde Baru . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .. . . 8
D. KEDUDUKAN PENGADILAN AGAMA DALAM UU NO. 14 TAHUN 1970
TENTANG KETENTUA-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN
DAN UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
1. Kedudukan Pengadilan Agama dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentua-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .. 10
2. Kedudukan Pengadilan Agama dalam UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . ..... . . 11
E. EKSISTENSI PERADILAN AGAMA SETELAH LAHIRNYA
UU NO.7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . .12
BAB III : KESIMPULAN . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . 17
2

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Secara historis, pada awal kemerdekaan kekuasaan Kehakiman di Indonesia belum
menunjukkan bentuknya yang independen dan mandiri. Hal ini bisa dilihat susunan lembaga
peradilan masih diatur di dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 1942 tentang susunan peradilan
sipil dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah
Agung dan Kejaksaan Agung.
Perubahan mulai nampak pasca disahkannya UU Nomor 19 Tahun 1948 tentang
susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman dan kejaksaan sebagai perubahan atas UU
Nomor 7 tahun 1947 sebagai keharusan untuk merealisasikan pasal 24 UUD 1945. Dalam pasal
6 UU No 19 tahun 1948 dinyatakan adanya 3 (tiga) lembaga peradilan di Indonesia, yakni
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintah dan Peradilan Ketentaraan. Dan dalam
pasal 10 ayat (2) UU tersebut juga diakui keberadaan Hakim perdamian desa sebagai pemegang
kekuasaan dalam masyarakat yang bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara
berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat desa.1
Dalam UU tersebut Peradilan Agama tidak disebutkan, hal ini menunjukkan adanya
sikap diskriminatif terhadap umat Islam. Sebab Peradilan Agama adalah peradilan tertua yang
sudah ada sebelum Indonesia merdeka dengan bentuknya yang berbeda-beda. Meskipun dalam
pasal 5 ayat (2) UU No. 19 Tahun 1948 menegaskan bahwa perkara perdata antara orang Islam
diperiksa dan diputus menurut agamanya oleh Pengadilan Negeri.2
Pada tahun 1964 melalui UU No. 19 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok-pokok
kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan
dan melaksanakan hukum yang mempuyai fungsi pengayoman, yang dilaksanakan dalam
lingkungan: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara. UU No. 19 Tahun 1964 ini kemudian diubah dengan UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan mulai berlaku pada tanggal 17
Desember 1970.3
Dari urian di atas nampak bahwa pada masa Orde Baru kekuasaan kehakiman
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Sebab dalam UU No. 14 tahun 1970
ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari

1
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kecana: 2008, hal. 174.
2
Dalam pasal 5 ayat (2) UU No. 19 Tahun 1948 dalam menangani kasus perdata antar umat islam Majlis hakimnya
terdiri dari seorang hakim beragama Islam sebagai ketua, dan 2 (dua) orang hakim ahli agama Islam sebagai anggota.
Lihat Jaenal Aripin, Ibid, hal. 175.
3
Ibid, hal. 178.
3

campur tangan kekuasaan lain untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. 4
Kekuasaan kehakiman itu dijalankan oleh Mahkamah Agung dan empat lingkungan peradilan
di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan
Peradilan Militer.
Inilah yang melatarbelakangi penulis untuk meneliti lebih jauh tentang bagaimana
penataan, wewenang dan eksistensi Pengadilan Agama pada masa era orde baru.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah Peradilan Agama pada masa Orde Baru?
2. Bagaimana penataan Pengadilan Agama pada masa Orde Baru?
3. Apa saja dasar hukum dan wewenang Pengadilan Agama pada masa Orde Baru?
4. Bagaimana kedudukan Pengadilan Agama dalam UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
5. Bagaimana eksistensi Pengadilan Agama setelah lahirnya UU No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama?

C. TUJUAN
1. Mengetahui sejarah Peradilan Agama pada masa Orde Baru?
2. Mengetahui penataan Pengadilan Agama pada masa Orde Baru
3. Mengetahui dasar hukum dan wewenang Pengadilan Agama pada masa Orde Baru
4. Mengetahui kedudukan Pengadilan Agama dalam UU No.14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
5. Mengetahui eksistensi Pengadilan Agama setelah lahirnya UU No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama

BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH SINGKAT PERADILAN AGAMA PADA MASA ORDE BARU.

4
Lihat pasal 1 UU No. 14 tahun 1970, ketentuan ini sesuai dengan pasal 24 UUD 1945.
4

Pada masa awal Pemerintahan Orde Baru, tindakan pertama-tama yang dilakukan
dalam rangka penataan pelaksanaan Kekuasan Kehakiman secara murni berdasarkan
kehendak Undang-undang Dasar 1945, dan sesuai dengan ketentuan Ketetapan Majelis
Permusywaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor: XIX/MPRS/1966 jo. Nomor:
XXXIX/MPRS/1968, maka Pemerintah Orde Baru bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengadakan peninjauan terhadap Undang-
undang Nomor 19 Tahun 1964 dengan Undang-undang Nomor 6 tahun 1969 yang
menghendaki adanya suatu undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Untuk merealisasikannya, pada tanggal 17 Desember 1970 disahkan dan
diundangkanlah Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
yakni dengan disahkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Berdasarkan ketentuan
Undang-undang ini, eksistensi Peradilan Agama di Indonesia semakin kokoh sebagai salah
satu lembaga pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman di Negara Republik Indonesia. Bahkan
dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang ini, kedudukan Badan Peradilan Agama
setara dan sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya, seperti; Peradilan Umum, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Kekokohan Badan Peradilan Agama semakin menonjol khsususnya dalam
kompetensinya, setelah disahkan dan diundangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan5 pada tanggal 2 Januari 1974 dan diundangkannya aturan pelaksananya
pada tanggal 1 April 1975 dengan sebuah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 1975. Kemudian disusul dengan
diundangkannya Peratuarn Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Hak
Milik beserta Peraturan Pelaksanaannya. Dengan diundangkannya peraturan perundang-
undangan tersebut di atas, selain memperkokoh eksistensi Badan Peradilan Agama,
sekaligus memperluas beban tugasnya dan kewenangannya (absolute competence). Dengan
diundangkannya peraturan perundang-undangan tersebut semakin jelas dan kokoh peran dan
fungsi Badan Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Realitasnya
kepercayaan para pihak pencari keadilan semakin meningkat dan perkara-perkara yang
masuk setiap tahunnya naik. Sebagai bandingan, pada tahun 1974 sebanyak 28.650, tahun
1975 sebanyak 48.000 dan pada tahun 1976 sebanyak 142.069 perkara.6

5
Namun dalam Undang-undang ini, putusan Pengadilan Agama harus mendapatkan fiat eksekusi dari Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Agama tidak dapat melaksanakan putusannya.
6
Departemen Agama RI, Yurisprodensi Badan Peradilan Agama, Ditbinbapera Islam, Jakarta: 1977, hlm. 1
5

Relevan dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran hukum umat Islam di


Indonesia, maka kasasi atas perkara-perkara yang diputus oleh pengadilan agama mulai
masuk ke Mahkmah Agung Republik Indonesia, sementara hukum acara yang harus
dimilikinya tentang hal itu sesuai ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
belum ada. Oleh karena adanya kekosongan hukum, untuk mengatasinya Mahkamah Agung
RI pada tanggal 26 November 1977 mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 1977 tentang
Jalan Pengadilan Dalam Pemeriksaan Kasasi dalam Perkara Perdata dan Perkara Pidana oleh
Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer, disertai Surat Edarannya Nomor:
MA/Pemb./0921/1977.
Keberadaan Mahkamah Islam Tinggi, Kerapatan Kadi Besar maupun Susunan,
Kekuasaan dan Acara Peradilan Agama yang bersifat integral sesuai kehendak Pasal 12
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, untuk keseragaman nama pengadilan agama yang
selama ini berbeda-beda sebagai akibat dari keberadaan peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya (Stbl. 1882 Nomor 152 jo. Stbl. 1937 Nomor 116 dan 610, Stbl. 1937
Nomor 638 dan 639 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957), Menteri Agama telah
mengeluarkan Keputusannya tanggal 28 Januari 1980 dengan Nomor 6 Tahun 1980.
Berdasarkan keputusan tersebut, Pengadilan Tingkat Bandingnya bernama Pengadilan
Tinggi Agama, dan nama-nama Mahkamah Islam Tinggi, Kerapatan Kadi dan Kerapatan
Kadi Besar maupun Mahkamah Syari’ah dari Mahkmah Syari’ah Provinsi sudah tidak
dipergunakan lagi.
Sejalan dengan kenyatan-kenyataan di atas, untuk dapat memantapkan serta
memegang teguh tugas dan fungsi pengadilan agama sebagai salah satu lingkungan
peradilan dalam jajaran Kekuasaan Kehakiman di Negara Indonesia, pada tanggal 27 Maret
1982 Presiden Republik Indonesia mengangkat seorang Ketua Muda Mahkamah Agung
Urusan Lingkungan Peradilan Agama. Dengan demikian berarti tugas pembinaan teknis
yustisial terhadap Peradilan Agama yang selama ini di lakukan langsung oleh Departemen
Agama, telah menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia sesuai kehendak
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Pada tahun 1982 Pemerintah melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 95 Tahun
1982, membentuk beberapa Cabang Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama untuk
Indonesia Tengah dan Timur, seperti Nusa Tenggara Timur, Timor Timur, Sulawesi, Maluku
dan Irian Jaya. Kemudian disusul daerah-daerah lainnya dan selanjutnya Pengadilan Tinggi
Agama (Mahkamah Islam Tinggi) di Surakarta dipindahkan kembali ke Jakarta, dan untuk
6

Pengadilan Tinggi Banding bagi Propinsi Jawa Tengah, didirikanlah Cabang Pengadilan
Tinggi Agama di Semarang.
Akhirnya sebagai puncak dari kekokohan dan kemapanan Badan Peradilan Agama
sebagai Pengadilan Negara di Indonesia, adalah dengan disahkan dan diundangkannya
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 27 Desember
1989 termasuk di dalamnya memuat aturan tentang Susunan Kekuasaan dan Hukum Acara
yang berlaku pada pengadilan agama. Dengan disahkan dan diundangkannya Undang-
undang ini terpenuhilah sudah kehendak Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang kesetaraan dan kesejajaran Peradilan Agama dengan Pengadilan Negara
lainnya. Karena dalam Undang-undang ini pengadilan agama sudah tidak lagi harus
menggantungkan kepada pengadilan negeri dalam hal melaksanakan putusannya (eksekusi),
dan tidak lagi memerlukan pengukuhan atas putusan-putusan pengadilan agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap sebelum dijalankan oleh para pihak pencari
keadilan.
Sebelum RUU Peradilan Agama disahkan, tepatnya pada dekade 80-an, terjadi
perubahan drastis dalam bidang sosial, agama, dan khususnya politik. Umat Islam – dalam
menyalurkan aspirasi politiknya – tidak lagi terjebak pada bentuk-bentuk formalisme dengan
kecenderungan eksklusivitas yang tinggi seperti tuntutan berdirinya negara Islam, tetapi
lebih substantif dan integratif, lebih mengarah pada sikap-sikap inklusif, dan menghindarkan
diri dari pemisahan-pemisahan kategoris yang kaku.
Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA) yang disampaikan oleh
Pemerintah kepada DPR dengan Amanat Presiden Nomor: R. 06/PU/XII/1988 tanggal 3
Desember 1988, telah menarik perhatian masyarakat luas dan menimbulkan berbagai
tanggapan yang kadang-kadang kontroversial. Dalam DPR-RI proses pembahasan
berlangsung dengan senantiasa menjunjung tinggi asas musyawarah untuk mufakat dan
menempatkan kepentingan seluruh rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan,
walaupun sering terjadi adu argumentasi yang keras untuk mempertahankan pendiriannya
masing-masing.
Perubahan orientasi dan strategi politik Islam ini menjadi titik poin melunaknya
politik negara terhadap Islam, yang tidak lagi dipandangnya sebagai ancaman, dan partai-
partai politik Islam terpaksa berbenah mengikuti alur yang dikembangkan oleh para
intelektual muslim. Dalam perkembangan-perkembangan selanjutnya, setelah merasa
pendukung utamanya sudah mulai tidak menikmati kepemimpinannya, Soeharto mulai
melirik Islam sebagai alternatif sehingga terjadi pertemuan dua kepentingan yang selama
7

periode-periode sebelumnya selalu berlawanan. Pertemuan dua kepentingan itu akhirnya


menghasilkan sikap politik penguasa yang responsif dan akomodatif terhadap kepentingan
politik Islam, dan salah satunya ditunjukkan dengan pengajuan RUU Peradilan Agama pada
tanggal 3 Desember 1988 ke DPR, yang selama 17 tahun dirintis oleh Departemen Agama.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah undang-undang yang secara politis
sangat strategis. Undang-undang tersebut selain memantapkan keberadaan Peradilan Agama,
juga memfasilitasi pelembagaan hukum Islam lebih lanjut sebagaimana dituntut oleh Pasal
49. Munawir mengatakan bahwa pengajuan RUU Peradilan Agama bertujuan memberikan
wadah bagi pemberlakuan hukum-hukum Islam lainnya di kemudian hari. Dan ketika
mengatakan demikian, sebenarnya Munawir telah mengantongi draft hukum materil Islam,
yang disarikan dari 13 kitab fikih bermazhab Syafi’i.
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam7 (selanjutnya disebut KHI) – melalui Instruksi
Presiden kepada Menteri Agama, dengan Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang
ditindaklanjuti dengan pelaksanaannya melalui Keputusan Menteri Agama RI kepada
seluruh instansi Departemen Agama dan instansi Pemerintah lainnya dengan Nomor 154
Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 untuk menyebarluaskannya dan sedapat mungkin
menerapkannya di samping perundang-undangan lainnya – merupakan hukum yang ditulis
dari 13 kitab hukum yang selama ini menjadi referensi utama Peradilan Agama,
sebagaimana Edaran Biro Peradilan Agama Nomor B/1/735 tanggal 18 Pebruari 1958
sebagai Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.
KHI merupakan fikih Indonesia yang disusun dalam upaya unifikasi berbagai
mazhab fikih untuk penyatuan persepsi para Hakim menuju kepastian hukum. Ide
penyusunan KHI muncul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung melakukan pembinaan
teknis yustisial kepada Peradilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970. Dan berdasarkan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Agama (masing-masing) Nomor 07/KMA/1985, dan Nomor 25 Tahun 1985 tanggal 25
Maret 1985 tentang Tim Pelaksana Proyek Penyusunan KHI, yang hasilnya dibahas dalam
Loka Karya Para Ulama dan Cendikiawan Muslim pada tanggal 2 s.d. 6 Pebruari 1988 di
Jakarta.

B. PENATAAN PERADILAN AGAMA PADA MASA ORDE BARU


Pada tahun 1964 melalui UU No. 19 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok-pokok
kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan

7
Menurut Ismail Sunny, Proyek KHI yang merupakan kerjasama antara Menteri Agama dan Ketua Mahkamah Agung
RI didorong oleh Presiden Soeharto, bahkan beliaulah yang mendanainya sebesar Rp 230.000.000,-.
8

dan melaksanakan hukum yang mempuyai fungsi pengayoman, yang dilaksanakan dalam
lingkungan: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara. UU No. 19 Tahun 1964 ini kemudian diubah dengan UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan mulai berlaku pada tanggal 17
Desember 1970.8
Pada masa Orde Baru kekuasaan kehakiman mengalami perkembangan yang cukup
signifikan. Karena dalam UU No. 14 tahun 1970 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari campur tangan kekuasaan lain untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. 9 Kekuasaan kehakiman itu
dijalankan oleh Mahkamah Agung dan empat lingkungan peradilan di bawahnya, yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.
Akan tetapi kekuasaan kehakiman yang merdeka di atas masih belum bisa dilaksanakan
secara sempurna. Hal ini dikarenakan adanya dualisme sistem dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman dimana dalam hal teknis yustisial 4 (empat) lingkungan peradilan di atas berada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung, sedangkan dalam hal non yustisial seperti administrasi,
organisasi dan keuangan berada di bawah kekuasaan eksekutif (departemen). Peradilan Umum
dan Peradilan Tata Usaha Negara di bawah Departemen Kehakiman, Peradilan Agama di
bawah Departemen Agama dan Peradilan Militer di bawah Departemen Pertahanan dan
Keamanan. Dengan kata lain, sepanjang Pemerintahan Orde Baru, keberadaan Badan Peradian
Agama sebagai salah satu Pelaksana Kekuasaan Kehakiman pembinaan dan pengawasannya
dilakukan oleh dua lembaga, yakini Yudikatif dan Eksekutif. Di satu sisi, pembinaan tehnis
dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan di sisi lain organisasi, administrasi oleh Departemen
Agama. Keadaan seperti ini karena aturan dasarnya yakni Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman jo. Pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Walhasil kekuasaan kehakiman pada saat itu masih kental intervensi oleh kekuasaan eksekutif,
bahkan dikendalikan oleh kehendak orang perorang yang berkuasa. Di sini pengebiran terhadap
kekuasaan kehakiman terulang kembali.
Kenyataan buram masa Orde Baru di atas menunjukkan bahwa kekuasaan kehakiman
secara normatif sudah independen, yakni ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-
undangan seperti UUD 1945 dan UU no 14 tahun 1970 sudah menegaskan bahwa kekuasaan

8
Jaenal Aripin, Op.Cit. hal. 178.
9
Lihat pasal 1 UU No. 14 tahun 1970, ketentuan ini sesuai dengan pasal 24 UUD 1945.
9

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Akan tetapi secara empiris atau realitanya
tidak independen.10

C. DASAR HUKUM DAN WEWENANG PENGADILAN AGAMA DI MASA ORDE BARU


1. Dasar Hukum Pengelenggaraan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Baru
Sebelum UU Nomor 7 Tahun 1989 diundangkan, dasar hukum penyelenggaraan
Peradilan Agama bervariasi. Sebagian merupakan produk pemerintah kolonial Belanda, dan
sebagian produk pemerintah Republik Indonesia. Dasar hukum itu meliputi berbagai
peraturan perundang-undangan, yaitu:
a. Peraturan tentang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882
Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610);
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi
Kalimantan Selatan-Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639); dan
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar`iyah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957
Nomor 99).
2. Wewenang Pengadilan Agama Pada Masa Orde Baru
Menurut ketentuan Pasal 49 UU No.7 tahun 1989 ayat (1), “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b.
Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, c. Wakaf dan
shadaqah”. Hal itu menunjukkan bahwa kewenangan pengadilan di Jawa-Madura
dikembalikan sebagaimana kewenangan yang berlaku sebelum tahun 1937. dengan
perkataan lain, kewenangan pengadilan tersebut “lebih luas” dibandingkan pada masa
sebelumnya (1937-1989). Kewenangan lain Pengadilan Agama, zakat dan infaq.Sedangkan
kewenangan Pengadilan Agama yang lainnya tidak mengalami perubahan. Namun demikian,
menurut PP Nomor 45 Tahun 1957 kewenangan tersebut (selain perselisihan antara suami
dengan isteri) berhubungan dengan”hukum yang hidup” diputus menurut hukum agama
Islam. Kini, pengganti “hukum yang hidup” itu adalah hukum Islam sebagaimana
dinyatakan dalam Penjelasan Umum undang-undang tersebut.
Kewenangan Pengadilan Agama yang pertama adalah dibidang perkawinan. Yang
dimaksud dengan bidang perkawinan adalah antara lain:11
a. Izin beristeri lebih dari seorang;

10
Lihat Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta, STIH ISLAM, 2004, hal. 10-11.
11
Lihat penjelasan pasal 49 huruf (a) UU No. 3 Tahun 2006.
10

b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal
orangtua, wali atau keluarga dalam garis lurus tanpa ada perbedaan pendapat;
c. Dispensasi kawin;
d. Pencegahan perkawinan;
e. Penolakan perkawinan oleh PPN;
f. Pembatalan perkawinan;
g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri;
h. Perceraian karena talak;
i. gugatan perceraian;
j. Penyelesaian harta bersama;
k. Penguasaan anak-anak;
l. Pengadilan Agama dapat menetapkan bahwa seorang ibu memikul biaya pemeliharaan
dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggungjawab tidak
mematuhinya;
m. Pengadilan Agama dapat menetapkan penentuan kewajiban biaya penghidupan oleh
suami kepada bekas isteri atau penentuan kewajiban bagi bekas isteri;
n. Pengadilan Agama dapat memberi putusan tentang sah tidaknya anak;
o. Pengadilan Agama dapat memberi putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
p. Pengadilan Agama dapat memberi putusan tentang pencabutan kekuasaan wali;
q. Pengadilan Agama dapat menetakan penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan
dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
r. Pengadilan Agama dapat menetapka tentang penunjukan wali dalam hal seorang anak
belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
s. pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pembentukan kewajiban ganti kerugian
atas harta anak yang berada dibawah kekuasaannya;
t. Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang asal usul anak dan penetapan pengangkatan
anak berdasarkan hukum islam;
u. Pengadilan Agama dapat memberi putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan
untuk melakukan perkawinan campuran; dan
v. Pengadilan Agama dapat menyatakan tentang sahnya perkawinan.
Kewenangan lain Pengadilan Agama adalah dalam perkara warisan yang meliputi:
(a) penentuan siapa yang menjadi ahli waris; (b) penentuan mengenai harta peninggalan; (c)
penentuan mengenai bagian masing-masing ahli waris; (d) pelaksanaan pembagiab harta
11

peninggalan; dan (e) penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, dan penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Kewenangan Pengadilan Agama selanjutnya adalah dalam perkara wasiat dan hibah.
Wasiat, sesuai penjelasan pasal 49 huruf (c) adalah perbuatan seseorang memberikan suatu
benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah
yang memberi tersebut meninggal dunia. Sedangkan hibah (penjelasan pasal 49 huruf [d])
adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seorang atau badan
hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. Kewenangan lain Pengadilan
Agama adalah wakaf, zakat dan infaq.
Adapaun hukum materiil Pengadilan Agama adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan KHI yang didalamnya ada 3 bab yaitu perkawinan, kewarisan dan wakaf.

D. KEDUDUKAN PENGADILAN AGAMA DALAM UU NO.14 TAHUN 1970 TENTANG


KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN UU NO.1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
1. Kedudukan Pengadilan Agama dalam UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman
Susunan Pengadilan di Indonesia diatur dalam UU No. 14 tahun 1970, tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Susunan Pengadilan di Indonesia diatur
dalam UU No 14 Tahun 1970, tentang ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan kehakiman.
Pasal 10 ayat 1 menetapkan : kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 10 ayat 1 ini menunjukkan bahwa kedudukan Pengadilan Agama sederajat
dengan peradilan lainnya. Baik secara kelembagaan maupun secara putusan.
Dengan adanya UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman maka, kedudukan Peradilan Agama secara legal formal semakin kuat dan kokoh.
Meskipun dalam hal yutisial Peradilan Agama berada di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung, sedangkan dalam hal non yustisial seperti administrasi, organisasi dan keuangan
berada di bawah kekuasaan eksekutif (departemen) dalam hal ini adalah Departemen
Agama. Walhasil kekuasaan kehakiman pada Peradilan Agama pada saat itu masih kental
intervensi oleh kekuasaan eksekutif, bahkan dikendalikan oleh kehendak orang perorang
yang berkuasa.
12

Selanjutnya, ketika UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Kekuasaan Kehakiman diundangkan Peradilan Agama memiliki kedudukan yang kuat dan
sejajar dengan peradilan lain, yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata
Usaha Negara, sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Yang membedakan keempat
penyelenggara kekuasaan kehakiman itu ditentukan oleh bidang yirisdiksi yang dilimpahkan
undang-undang kepadanya. Namun demikian, pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama, dalam hal ini Pengadilan Agama, tidak memiliki kemandirian untuk melaksanakan
putusannya sebelum dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri (dalam lingkungan Peradilan
Umum), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang berbunyi “Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh
Pengadilan Umum”. Institusi pengukuhan itu baru dihapus ketika disahkan dan diundangkan
UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2. Kedudukan Pengadilan Agama dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan kelahiran UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Peradilan Agama
semakin luas wewenangnya dan fungsinya semakin mengakar dalam mengatur urusan-
urusan umat Islam. Dibanding dengan wewenang Peradilan Agama yang lain seperti waris,
wasiat hibah wakaf infaq, shadaqah, seperti yang tertera didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
maka Hukum Perkawinan lebih memiliki kekuatan hukum. Karena bentuknya berbentuk undang-
undang. Sebagaimana yang ada dalam tertib perundang-undangan menurut TAP MPRS
No.XX/MPRS/1996. Sedangkan KHI tidak termasuk didalamnya. Oleh karenanya, UU No.1
tahun 1974 justru memiliki kedudukan lebih tinggi dari hanya sekedar kompilasi. Karena
Undang-undang memiliki daya ikat dan daya paksa pada subyek dan obyek hukumnya,
sedangakan kompilasi sesuai dengan karakaternya, hanya menjadi pedoman saja, yang
relatif tidak mengikat.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menampak-jelaskan
kedudukan Peradilan Agama dalam sistem peradilan di Indonesia. Hanya saja putusan dan
penetapan Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan sebelum ada pengukuhan dari
Peradilan Umum. Hal itu menunjukkan politik hukum penjajah Belanda masih memberikan
pengaruh terhadap para pembuat undang-undang di negeri ini. Busthanul Arifin mengatakan
pula bahwa para ahli hukum Indonesia merupakan korban dari rekayasa ilmiah hukum
zaman kolonial, dan memerlukan waktu yang panjang untuk benar-benar membebaskan
alam pikiran kita dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perekayasaan itu, walaupun
proklamasi kemerdekaan Indonesia dan UUD 1945 telah memupus secara prinsipal
rekayasa-rekayasa tersebut. Perekayasaan hukum secara ilmiah itu dilaksanakan dengan baik
13

oleh rezim kolonial sehingga sampai sekarang pun manusia-manusia Indonesia masih
bergulat untuk melepaskan diri dari kungkungan rekayasa itu.

E. EKSISTENSI PENGADILAN AGAMA SETELAH LAHIRNYA UU NO.7 TAHUN 1989


TENTANG PERADILAN AGAMA
Politik kolonial berusaha mengkerdilkan syariat Islam dan mengecilkan Peradilan
Agama. Politik kolonial tersebut tidak hanya mengecilkan dalam mengurangi yuridiksi,
melainkan segala syarat pengadilan yang layak ditiadakan sehingga Pengadilan Agama tidak
mandiri. Semua putusan baru mempunyai kekuatan eksekusi kalau sudah disetujui Pengadilan
Negeri, yang dikenal dengan sebutan fiat eksekusi. Keadaan ini berlanjut terus setelah merdeka.
Pernah, Kantor Pengadilan Agama menempati satu bagian masjid, berada dalam lingkungan
Kantor Urusan Agama, dan lain-lain keadaan yang serupa itu.
Keadaan berubah setelah ada UU Nomor 14 Tahun 1970. Peradilan Agama ditempatkan
sederajat dan Sejajar dengan badan peradilan lainnya. Pernah ada kesalahan, karena UU Nomor
1 Tahun 1974 mencantumkan lagi pranata fiat eksekusi. Hal ini kemudian dikoreksi oleh PP
Nomor 9 Tahun 1975. Sejak saat itu, tidak ada lagi praktek fiat eksekusi. Pranata tersebut benar-
benar terhapus setelah ada UU Nomor 7 Tahun 1989. Hal itu menunjukkan tentang suatu
dinamika Peradilan Agama di tengah-tengah kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yang
majemuk. Dinamika itu secara bertahap menuju ke arah kemajuan. Ini terlihat dalam berbagai
ketentuan UU Nomor 7 Tahun 1989 yang sarat dengan pergeseran paradigma dari “peradilan
semu” yang cenderung menampakkan diri sebagai instansi pemerintahan menjadi pengadilan
yang sesungguhnya (court of law), yang memiliki ciri: hukum acara dan minutasi dilaksanakan
secara benar, administrasi dilaksanakan secara tertib, dan putusan dilaksanakan oleh pengadilan
yang memutuskan perkara.
Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dalam lembaran negara RI 1989 No. 49. Sebelumnya sudah ada UU
N0. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
dan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN. Dengan lahirnya undang-undang ini setiap
lingkungan peradilan yang disebutkan dalam pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 sudah memiliki
landasan kedudukan dan kekuasaan.
Salah satu tujuan pokok UU No. 7 tahun 1989 di atas adalah mempertegas kedudukan
dan kekuasaan lingkungan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
atau judicial power dalam Negara Republik Indonesia. Penegasan tujuan ini dapat disimak dalam
rumusan konsideran huruf c dan e.
14

Dalam huruf c dirumuskan: “bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keadilan,
kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah melalui Peradilan Agama
sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok-pokok
kekuasaan kehakiman”. Sedangkan dalam huruf e ditegaskan: “….dipandang perlu menetapkan
undang-undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama”.12
Sebelum berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 terdapat ketidak sejajaran antara
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dengan pengadilan lainnya, khususnya antara
Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri. Hal itu tercermin dengan adanya institusi
pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri. Berdasarkan UU Nomor 7
Tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sejajar dengan
pengadilan dalam lingkungan Peradilan lainnya. Ketentuan pengukuhan putusan Pengadilan
Agama oleh Pengadilan Negeri, dinyatakan dicabut. Dengan demikian, Pengadilan Agama
memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri yang dilaksanakan oleh jurusita.
Kejurusitaan merupakan institusi baru di dalam susunan organisasi Pengadilan Agama.
Dengan adanya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka secara institusional
eksistensi Peradilan Agama mengalami penguatan karena kewenangan mengadilinya diperluas
dan eksistensi institusinya kokoh sama dengan peradilan lain. Perluasan kewenangan ini akan
membawa Peradilan Agama ke posisi yang lebih tinggi sebagai media untuk mempertahankan
eksistensi kelembagaannya.
Dan juga, dengan disahkannya UU No.7 Tahun 1989, maka secara yuridis formal
kelembagaan Peradilan Agama semakin kokoh dan mempunyai kedudukan yang sama dan
sejajar dengan tiga lingkungan peradilan lainnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha
Negara, dan Peradilan Militer.
Diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 1989 tersebut menandai lahirnya paradigma baru
Peradilan Agama. Paradigma baru itu menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan
bahwa: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini”.13
Banyak perubahan-perubahan penting dalam Peradilan Agama dengan lahirnya UU No.7
Tahun 1989. Diantaranya adalah:
1. Kedudukan Hakim.

12
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta,
edisi kedua, 2007, hal.8-9.
13
Jaenal Aripin, Op. Cit., Hal. 343.
15

Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), hakim diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan
Mahkamah Agung. Hal yang sama berlaku bagi hakim dalam lingkungan Peradilan Umum
dan hakim dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam menjalankan tugasnya,
hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan, terlepas dari pengaruh pemerintah
dan pengaruh pihak lainnya.
2. Hukum Acara.
Menurut ketentuan pasal 54, “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-
undang ini”. Hal itu menunjukkan bahwa hukum acara yang berlaku adalah hukum tertulis.
Di samping itu, adanya perkecualian dan kekhususan yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun
1989. kekhususan itu meliputi prosedur cerai talak, cerai gugat, cerai dengan alasan zina,
dan biaya perkara. Sebelum berlakunya undang-undang tersebut, hukum acara yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama tersebar dalam berbagai sumber, baik
hukum tertulis maupun hukum tak tertulis.
3. Penyelenggaraan administrasi peradilan.
Dalam lingkungan Peradilan Agama terdapat dua jenis administrasi, yaitu
administrasi peradilan dan administrasi umum. Jenis pertama berkenaan dengan administrasi
perkara dan teknis yudisial. Sedangkan jenis kedua berkenaan dengan administrasi
kepegawaian, keuangan, dan tata usaha. Oleh karena itu, di pengadilan terdapat dua jenis
jabatan pengelola kedua jenis administrasi itu. Secara keseluruhan kedua jenis administrasi
tersebut dikelola oleh panitera yang merangkap sebagai sekretaris pengadilan. Secara
khusus, administrasi peradilan dikelola oleh wakil panitera; sedangkan administrasi umum
dikelola oleh wakil sekretaris. Sebelum berlakunya UU tersebut administrasi pada
pengadilan bercorak tunggal, dan dikelola oleh panitera kepala.
Jadi, kedudukan dan kemandirian Peradilan Agama lebih kuat ketika diundangkan
UU Nomor 7 Tahun 1989. Selanjutnya hal itu lebih kuat lagi berdasarkan ketentuan Pasal 24
ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen, “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Terkait dengan independensi, Prof. Dr. Muchsin, SH. Pernah mengatakan bahwa pada
masa lalu independensi kekuasaan kehakiman dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) hal, yaitu
16

independen normatif dan independen empiris. Dari dua macam ini dalam prakteknya saling
berkaitan satu sama lain, sehingga dilapangan muncul beberapa bentuk independensi sebagai
berikut:
1. secara normatif independen dan realitanya juga independen. Disini antara ketentuan yang
ada dalam perundang-undangan dengan kenyataan yang ada di lapangan kekuasaan
kehakiman sama-sama independen. Bentuk ini merupakan bentuk ideal yang seharusnya
terjadi pada sebuah negara hukum.
2. Secara normatif tidak independen dan realitanya juga tidak independen. Di Indonesia, model
ini pernah terjadi pada tahun 1964 ketika UU No 19 Tahun 1964 disahkan, dimana pada
pasal 19 nya disebutkan bahwa presiden dapat turut atau campur tangan dalam masalah
pengadilan dan realitanya dilapangan hal itu terjadi. Model ini merupakan terburuk dari
model kekuasaan kehakiman karena kekuasaan kehakiman tidak merdeka dan tidak
independen.
3. Secara normatif independen, akan tetapi realitanya tidak independen. Di Indonesia, model
ini pernah terjadi pada masa orde baru dimana dalam peraturan perundang-undangan secara
tegas dinyatakan kekuasaan kehakiman itu merdeka dan independen akan tetapi pada
kenyataan dilapangan para hakim dan pelaku kekuasaan kehakiman sering mendapat
intervensi dari eksekutif dan ekstra yudisial lainnya.14
Lebih jauh lagi Prof. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengkonsepsikan independensi kekuasaan
kehakiman dalam 3 (tiga) pengertian:
1. Structural independence, yaitu independensi kelembagaan, disini dapat dilihat dari bagan
organisasi yang terpisah dari organisasi lain seperti eksekutif dan yudikatif.
2. Functional independence, yaitu independensi dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi-
fungsi kekuasaan kehakiman dari intervensi ekstra yudisial.
3. Financial independence, yaitu independensi dilihat dari segi kemandiriannya dalam
menentukan sendiri anggaran yang dapat menjamin kemandiriannya dalam menjalankan
fungsi.15
Dari ketiga pengertian independen tersebut, independensi kekuasaan kehakiman di
Indonesia pada masa orde baru maka telah mecakup independensi dalam pengertian structural
independence, cuma untuk functional independence dan financial independence belum
sepenuhnya independen karena masih tergantung pada APBN yang notabene ditentukan oleh

14
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka. …, hal. 10-11; lihat juga Muchsin, makalah dengan judul
Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945…, hal. 5.
15
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka, Ibid, hal. 12; juga lihat Cetak Biru (Blue Print) Pembaharuan
Mahkamah Agung RI Tahun 2003, hal. 4.
17

eksekutif dan legislatif dan masih kental intervensi oleh kekuasaan eksekutif. Karena secara
normatif independen, akan tetapi realitanya tidak independen

BAB III
KESIMPULAN
Secara historis, pada awal kemerdekaan Peradilan Agama masih belum ada. Ini terbukti
dengan adanya UU Nomor 7 tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan
Kejaksaan Agung. Bahkan dalam UU No19 Tahun 1948 tentang Susunan Dan Kekuasaan Badan-
Badan Kehakiman Dan Kejaksaan sebagai Koreksi UU No 7 tahun 1947. Dalam Pasal 6 undang-
undang tersebut, ada 3 lembaga peradilan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Tata
Usaha Pemerintah dan Peradilan Ketentaraan. Undang-undang ini tidak menyebutkan adanya
Peradilan Agama. Namun Pasal 10 ayat (2) UU tersebut, diakui keberadaan Hakim Perdamian Desa
18

sebagai pemegang kekuasaan yang bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara berdasarkan
hukum yang hidup di masyarakat desa. Begitu juga Pasal 5 ayat (2) dalam UU tersebut,
menyebutkan perkara perdata antara orang Islam diperiksa dan diputus menurut agamanya oleh
Pengadilan Negeri. Hal ini sangat diskriminatif terhadap syariat, Umat Islam dan Peradilan Agama.
Padahal, faktanya Peradilan Agama sudah ada sebelum Indonesia merdeka mekipun dalam bentuk
yang berbeda-beda.
UU No. 19 Tahun 1964, menyebutkan Peradilan Negara RI menjalankan dan melaksanakan
hukum yang mempuyai fungsi pengayoman, yang dilaksanakan dalam lingkungan: Peradilan
Umum, Peradial Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Uasaha Negara. Undang-undang ini
sudah menyebutkan adanya peradilan Agama dan diperjelas lagi dengan adanya UU No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan kekuasaan
kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung dan empat peradilan di bawahnya. Pada masa ini,
kekuasaan kehakiman mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Sebab, UU No. 14 tahun
1970 menegaskan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari campur
tangan kekuasaan lain untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Pasal 10 ayat (1)
UU No.14 Th 70 menyebutkan Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan; Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Ini menunjukkan kedudukan Badan PA setara dan sejajar dengan peradilan lainnya.
Adapun Hukum Acara pada Peradilan Agama menurut UU.No14 Th 1970 masih belum ada. Untuk
mengatasi hal tersebut, akhirnya Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 26 November
1977 mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 1977 tentang Jalan Pengadilan Dalam Pemeriksaan
Kasasi dalam Perkara Perdata dan Perkara Pidana oleh Peradilan Agaman dan Peradilan Militer,
disertai Surat Edarannya Nomor: MA/Pemb./0921/1977.
Badan Peradilan Agama semakin kuat dengan adanya UU. Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan khususnya dalam kopetensi dan bertambahnya wewenang serta tanggung jawab
Peradilan Agama. Nama Peradialan Agama sebelum adanya UU Nomor 14 Th 1970 berbeda-beda.
Menteri Agama mengeluarkan SKMA No 6 Th 1980 yang menghapus nama Mahkamah Islam
Tinggi, Kerapatan Kadi dan Kerapatan Kadi Besar maupun Mahkamah Syari’ah dari Mahkmah
Syari’ah Provinsi, menjadi Peradilan Agama. Sedangkan Pengadilan Tingkat Bandingnya bernama
Pengadilan Tinggi Agama.
Pada tahun 1970-an kekuasaan kehakiman yang merdeka masih belum bisa dilaksanakan
dengan sempurna karena adanya dualisme sistem pelaksanaan. Dalam tehnis yustisial, empat
peradilan tersebut dibawah pembinaan dan pengawasan Mahkamah Agung selaku Yudikatif. Dalam
19

non-tehnis yustisial seperti administrasi dibawah departemen yang menaungi selaku Eksekutif.
Peradidan Umum dan peradilan Tata Usaha Negara dibawah Departemen Kehakiman, Peradilan
Agama dibawah Departen Agama, dan Peradilan Militer dibawah Departemen Pertahanan dan
Keamanan.Walhasil, kekuasana kehakiman kental intervensi kekuasaan eksekutif. Meskipun secara
normatif dan legal formal sudah independen.
Adapun dasar hukum Peradilan Agama pada masa Orde Baru adalah UU No.7 Th 1989
tentang Peradilan Agama. Adapun sebelum 1989 dasar hukum penyelenggaran Peradilan Agama
berbeda-beda. Sebagian merupakan produk pemerintah kolonial Belanda, dan sebagian produk
pemerintah Republik Indonesia diantaranya adalah (1) Peraturan tentang Pengadilan Agama di Jawa
dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610);
(2) Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi
Kalimantan Selatan-Timur (Staatsblad Tahun 1937 No 638 dan 639); (3) PP. No 45 Th 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara
Tahun 1957 Nomor 99).
Wewenang Peradilan Agama dalam UU No.7 Th 1989 sesuia dengan Pasal 49 ayat (1)
adalah Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a.
Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf
dan shadaqah”.
Kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dan kokoh dengan diundangkannya UU No 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, karena Peradilan Agama semakin luas wewenangnya dan
fungsinya semakin mengakar dalam mengatur urusan-urusan umat Islam. Meskipun undang-undang
perkawinan ini berbentuk undang-undang yang memiliki kekuatan hukum dibangding wewenang
Peradilan Agama yang lainnya seperti warisan, wasiat, hibah, zakat dan shadaqah yang acuannya
hanya Kompilasi Hukum Islam, tetapi kenyatannya Peradilan Agama tidak mandiri sepenuhnya.
Hal ini terbukti dengan adanya Pasal 63 ayat (2) UU tersebut menyatakan setiap keputusan
Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.
Dengan adanya UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
kedudukan Pengadilan Agama semakin kuat dan kokoh dan sejajar dengan peradilan lainnya.
Karena pasal Pasal 10 ayat 1 menetapkan : kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Ini menunjukkan secara kelembagaan Peradilan Agama sejajar dengan empat peradilan
lainnya, namun secara putusan tidak independen atas dasar Pasal 63 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawina: Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.
20

Disamping itu, dalam hal non-tehnis Yustisial Peradilan Agama berada dibawah pembinaan dan
pengawasan Depatemen Agama sehingga masih berpeluang diintervensi oleh Ekekutif.
Diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 1989 tersebut menandai lahirnya paradigma baru Peradilan
Agama. Paradigma baru itu menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan bahwa: “Peradilan
Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara perdata tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
Adanya kejurusitaan yangmana kejurusitaan merupakan institusi baru di dalam susunan
organisasi Peradilan Agama menurt UU Nomor 7 Tahun 1989. Perubahan juga terjadi pada
kewenangan Peradilan Agama, Kedudukan Hakim, Hukum Acara dan penyelenggaran administrasi.
Sedangkan kelemahan dan kekurangan Peradilan Agaman yaitu pada pembinaan dan pengawasan
Peradilan Agama yang dilakukan oleh dua lembaga, yakini Yudikatif dan Eksekutif. Di satu sisi,
pembinaan tehnis dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan di sisi lain organisasi, administrasi oleh
Departemen Agama. Sebagaimana Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1) UU No 14 th 1970 tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman : Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal
10 ayat (1) organisatoris, administratif dan finansil ada dibawah kekuasaan masing-masing
Departemen yang bersangkutan. Sedangkan Pasal 5 UU No 7 Th 1989 tentang Peradilan Agama
ayat (1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2)
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan dilakukan oleh Menteri Agama.

DAFTAR PUSTAKA
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta,
Kecana: 2008.
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta, STIH
IBLAM, 2004.
Muchsin, makalah dengan judul “Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945”
yang disampaikan sebagai bahan kuliah di Program Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya tahun
2009.
21

Pendapat akhir presiden yang diwakili menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta terhadap
RUU tentang Kekuasaan Kehakiman dan RUU badan peradilan (PU, PA, dan PTUN) dihadapan
sidang paripurna DPR RI tertanggal 29 September 2009.
Cetak Biru (Blue Print) Pembaharuan Mahkamah Agung RI Tahun 2003.
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun
1989, Sinar Grafika, Jakarta, edisi kedua, 2007.

Anda mungkin juga menyukai