Anda di halaman 1dari 16

19/08/2021

25

Elemen Pembentuk Budaya K3

Informed
Reporting
Culture 2
Culture 1
5 Elemen untuk membentuk budaya K3 versi
International Association of Oil & Gas Producers: Learning
Culture 3
Just
Culture 5
Flexible
Culture 4
26

1
19/08/2021

Elemen Pembentuk Budaya K3

• Bagaimana membangun perilaku, bagaimana membangun budaya K3


dan memeliharanya agar terus meningkat ?
• Membangun budaya K3 tidaklah mudah seperti dikatakan Prof James
Reason,
“Managing Safety is like fighting a guerilla war in which there are no
final victory. It is a never ending struggle to identify and eliminate or
control hazards.”
• Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sejauh ini lebih banyak
bersifat slogan atau retorika belaka, tanpa upaya kongkrit yang
terencana.
• Membangun budaya safety (keselamatan) membutuhkan strategi dan
program kerja yang jelas dan dengan manajemen yang terpadu
perang gerilya tidak akan bisa dimenangkan untuk membangun
budaya safety secara komprehensip, sistematis, dan konsisten
membangun budaya tidak bisa sekadar slogan, tetapi harus dengan
amunisi cukup.

27

Elemen Pembentuk Budaya K3


• Bagaimana membangun perilaku, bagaimana membangun budaya K3 dan memeliharanya agar terus
meningkat ?
• Membangun budaya K3 tidaklah mudah seperti dikatakan Prof James Reason,
“Managing Safety is like fighting a guerilla war in which there are no final victory. It is a never ending
struggle to identify and eliminate or control hazards.”
“Mengelola Keselamatan itu seperti berperang gerilya di mana tidak ada kemenangan akhir. Ini adalah
perjuangan tanpa akhir untuk mengidentifikasi dan menghilangkan atau mengendalikan bahaya.”
• Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sejauh ini lebih banyak bersifat slogan atau retorika
belaka, tanpa upaya kongkrit yang terencana.
• Membangun budaya safety (keselamatan) membutuhkan strategi dan program kerja yang jelas dan
dengan manajemen yang terpadu perang gerilya tidak akan bisa dimenangkan untuk membangun
budaya safety secara komprehensip, sistematis, dan konsisten membangun budaya tidak bisa sekadar
slogan, tetapi harus dengan amunisi cukup.
• Membangun budaya safety (keselamatan) mirip dengan menanam benih, dimana benih ini tidak akan
dapat tumbuh di tanah yang gersang memerlukan lingkungan yang kondusif, budaya safety akan tumbuh
di tengah organisasi yang memiliki komitmen terhadap K3, memiliki kepedulian, dan menempatkan K3
sebagai bagian integral dari bisnisnya.
• Budaya safety juga seperti tanaman yang memerlukan kasih sayang dari pemiliknya harus dengan
dipupuk, dirawat dan dijaga setiap waktu, pupuk yang baik untuk budaya safety adalah partisipasi aktif
dari semua pekerjanya yaitu semua manusia di dalam perusahaan untuk menanamkan semangat saling
ingat mengingatkan.
• Tanaman yang sudah tumbuh baik ini dipajang di tempat terhormat dan diberikan penghargaan sesuai
dengan pencapaiannya yang harus selalu dirawat dan dijaga konsistensinya melalui observasi, audit, dan
pemantauan berkala.
28

2
19/08/2021

Elemen Pembentuk Budaya K3


1. Budaya untuk Mencari Kabar (Informed Culture)
• Tetap mendapatkan informasi untuk membantu organisasi dalam mencegah
ketidakwaspadaan dan ketiadaan kecelakaan kerja;
• Organisasi dengan budaya K3 yang kuat, selalu siaga dan percaya kalau situasi yang aman
dapat bermasalah;
• Bila tidak melihat apa pun yang bermasalah, akan beranggapan tidak akan muncul
permasalahan, ini hal yang tidak tepat karena perlu usaha-usaha untuk mengikis
pemikiran itu, akibatnya tidak diwajibkan untuk bertindak apa pun; Informed
• Organisasi dalam ketiadaan peristiwa kecelakaan kerja harus berusaha untuk
meningkatkan kesehatan kerja yang terjadi dengan membuat sebuah sistem info yang
Culture 1
mengumpulkan, menganalisa dan membagikan info mengenai manusia, technical,
organisasi dan aspek lingkungan yang menunjukkan keseluruhan sistem keselamatan
kerja;
• Sebuah organisasi yang berkomitmen untuk mencegah kecelakaan selalu memahami info
itu dan berupaya untuk mencegahnya dan menyatukan info lebih banyak;
• Pekerja dalam budaya itu juga didorong untuk memberikan laporan situasi tidak aman,
bahaya, prosedur yg tidak efisien, sistem yang gagal, beberapa alarm, dan sebagainya
untuk mencegah potensi kecelakaan
29

Elemen Pembentuk Budaya K3


2. Budaya Memberikan Laporan (Reporting Culture)
• Organisasi dalam industri yang memiliki risiko tinggi meningkatkan kepemahaman mengenai keselamatan kerja melalui laporan dan investigasi
kecelakaan.
• Keengganan untuk menyelidiki dan berdiskusi mengenai kecelakaan dapat menyebabkan kehilangan peluang untuk mencegah bencana di masa depan
dan dapat diterjemahkan jadi tanda kalau produksi dihargai lebih dari pada keselamatan kerja.
• Keengganan untuk memberikan laporan kecelakaan dapat terjadi ketika sistem pelaporan terlalu rumit atau terdapat ketidakpercayaan diantara beragam
jenis susunan dalam organisasi. Ini dapat diatasi dengan memperkenalkan sistem pelaporan dimana identitas dari pelapor hanya di ketahui oleh badan
yang dipercayai biasanya yaitu departemen HSE.
• Nilai dari pelaporan terlihat dari tindakan perbaikan, penyebaran pelajaran yang bisa di ambil dari pelaporan dan umpan balik ke pelapor. Ini memerlukan
sumber daya yang cukup dan kompeten yang siap sedia untuk investigasi kecelakaan dengan efektif
• Kita mustahil dapat menginvestigasi semua laporan dengan kedalaman analisis yang sama, kita harus bisa untuk memprioritaskan.
• Parameter berikut harus jadi persyaratan untuk mengutamakan laporan :
Risiko : Menilai keparahan dan frekwensi potensi dari kejadia
Peningkatan : Identifikasi potensi tinggi untuk ide peningkatan
Reporting
Culture 2
Tema : Apakah peristiwa selalu berulang?
• Penambahan laporan tergantung oleh keterlibatan dari semua karyawan untuk menanggung peran dan pelajaran dari sistem perbaikan dan penambahan
(improvement).
• 2 aspek ini harus diakui, aspek ini jadi tanda dari kedewasaan dari budaya K3 :
Menjamin independensi maksimal dari kecelakaan walaupun hasil investigasi menunjukkan kalau terdapat ketiadaan kendali dari manajemen
Dengan cara aktif melibatkan manajemen lini untuk merubah referensi jadi tindakan sehingga mereka jadi terlibat didalam referensi itu. Ini membuat
mereka mennyadari peranan mereka untuk meningkatkan keselamatan kerja di masa depan.

30

3
19/08/2021

Elemen Pembentuk Budaya K3


3. Budaya Belajar (Learning Culture)
Budaya belajar yaitu sebuah perpanjangan alami dari budaya pelaporan karena sebuah laporan
tidak akan bisa efisien terkecuali jika organisasi belajar dari pelaporan yang karyawan buat.
Sebuah organisasi dengan budaya belajar yang kuat akan mengumpulkan info dari beragam jenis
sumber, ambil pelajaran yang bermanfaat, membagi pelajaran yang di dapat dan menindaklanjuti
sistem pengembangan keselamatan kerja.
Organisasi pembelajar juga akan mencari pandangan yang berlawanan untuk mencari
Learning
Culture 3 kesempatan belajar dengan lebih efisien.
Mereka terbuka juga akan berita yang buruk hingga info tidak “dikecilkan” begitu sampai ke
manager.
Laporan yang ada adalah laporan yang valid karena sistem pelaporan berdasarkan kejujuran dan
kepercayaan karena organisasi dengan jelas merespon laporan, karyawan merasa terdorong
untuk terus melapor hingga menghasilkan budaya pelaporan yang efektif
Organisasi pembelajar sangat sensitive dengan pelajaran dari beragam jenis sumber.
Mereka dapat mengambil evaluasi dari sistem pelaporan internal, analisa root cause yang
sistematik sampai belajar dari kecelakaan dari organisasi eksternal
Organisasi evaluasi memiliki karyawan profesional yang memilki pekerja untuk menganalisa info
dan mengambil keuntungan dari hasilnya.
31

Elemen Pembentuk Budaya K3


4. Budaya Fleksibel (Flexibility Culture)
Budaya fleksibel dalam sebuah organisasi juga akan memungkinkan organisasi untuk menjaga koordinasi dalam
level yang efisien dan perhatian yang tepat mengingat terdapat perbedaan dalam sistem pengambilan ketentuan
karena perbedaan tingkat urgensi dan kehandalan dalam orang-orang yang ikut serta;
Budaya fleksibel diikuti dengan kemampuan untuk mengganti susunan organisasional dari hierarki konvensional ke
susunan operasional yang lebih setara (flat) tanpa harus kehilangan kwalitas dalam pengambilan ketentuan;
Ciri budaya fleksibel yaitu
responsif, melibatkan dan menyesuaikan dan fokus pada kekuatan seseorang sebagai sebuah individu untuk
ikut serta dalam pemecahan permasalahan daripada kemampuan orang itu jadi bagian dari susunan
organisasi;
Mampu untuk menyesuaikan diri sendiri dalam menghadapi operasi kerja yang cepat dan beberapa bahaya
Flexible
Culture 4
yang muncul
Memiliki kekuatan untuk memodifikasi susunan yang konvensional jadi susunan yang lebih setara
Memiliki tingkat ketrampilan yang sesuai untuk membuat penilaian dan keputusan
Sangat penting untuk sebuah perusahaan untuk mengerti jangkauan kemampuan dari karyawannya dan
bagaimana memakai skill itu ketika diperlukan;
Beberapa orang yang menghargai peluang untuk mempertunjukkan kemampuan mereka dalam organisasi yang
pada ujungnya juga akan membuat budaya fleksibel di perusahaan akan lebih baik lagi;
Organisasi yang ingin memperoleh budaya fleksibel harus melatih kekuatan mereka dan membahas tindakan yang
diberikan untuk merespons ancaman dari kejadian, memastikan fleksibilitas struktural yang cocok dan efisien.
32

4
19/08/2021

Elemen Pembentuk Budaya K3


5. Budaya Adil (Just Culture)
o Budaya Adil adalah fasilitas yang kuat untuk elemen-elemen lain dalam
budaya k3.
o Harapan yang pasti, implementasi yang konsisten pada semua ketentuan,
sistem investigasi yang adil dan tanggapan yang adil pada mereka yang tidak
mematuhi ketentuan akan jadi pesan yang kuat untuk seluruh karyawan
mengenai hak dan kewajiban mereka yang benar.
o Penting untuk sebuah organisasi agar memutuskan batasan-batasan yg tidak
Just
jelas.
o Misalnya pada permasalahan kekerasan dalam tempat kerja atau kecanduan
Culture 5
alcohol, batasan itu dengan terus menerus bergerak dan dinegosiasi kembali.
o Bahkan, beberapa masalah pelanggaran yang semestinya jelas seperti
kecanduan narkoba, pengendalian yang dilakukan oleh organisasi dapat
bervariasi.
o Organisasi mungkin menghukum pencandu narkoba atau malah mengirimnya
ke pusat rehabilitasi jadi bentuk support untuk karyawan dalam kondisi sulit
itu.

33

Elemen Pembentuk Budaya K3

34

5
19/08/2021

Elemen Pembentuk Budaya K3


1. Responsibility (Tanggung Jawab)
Perusahaan dengan budaya K3 yang kuat berbagi nilai tanggung jawab. Maksudnya adalah
keyakinan bersama bahwa setiap individu terikat secara moral dan etis untuk bertindak sesuai
dengan aturan kesekanatan secara bertanggung jawab demi kebaikan sesama karyawan,
perusahaan, dan masyarakat secara keseluruhan. Sampai setiap orang di organisasi Anda percaya
ini, Anda akan berjuang dengan menciptakan budaya keselamatan.
2. Akuntability (Akuntabilitas)
Manajer harus bertanggung jawab untuk memimpin dengan memberi contoh setiap hari.
Manajer dan penyelia perlu memahami bahwa perilaku mereka memengaruhi semua orang di
sekitar mereka. Manajemen atas perlu meminta pertanggungjawaban orang-orang ini terhadap
keselamatan, dan tidak berpaling ke arah lain selama tujuan produksi tercapai.
3. Clear Expectations (Harapan yang Jelas)
Harapan keselamatan (zero accident) harus ditetapkan dan dikomunikasikan kepada semua orang
di organisasi. Komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan ini perlu ditunjukkan dari atas ke bawah.
Hanya ketika pangkat dan file karyawan melihat komitmen ini akan mereka mulai berubah.
4. Ethic (Etika)
Sistem manajemen yang digerakkan secara etis penting dalam mengembangkan budaya K3 yang
kuat. Tujuannya adalah agar dalam membuat keputusan tidak hanya memenuhi prosedur dalam
manual keselamatan tetapi juga etis dan moral. Individu yang Anda pekerjakan untuk perusahaan
Anda harus memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang etis dan rasional dalam situasi
sehari-hari, dan berbagi nilai-nilai inti perusahaan Anda. Mempekerjakan orang yang tepat
dengan sikap yang benar sangat membantu menciptakan budaya keselamatan yang kuat.
5. Next Steps (Langkah selanjutnya…)
Survei persepsi keselamatan dapat membantu Anda mengevaluasi budaya K3 perusahaan Anda
untuk menentukan area yang perlu ditingkatkan sebagai langkah selanjutnya.

35

36

6
19/08/2021

1. DARI KINERJA INDIVIDU MENJADI KINERJA TEAM


Manajemen tradisional mengukur kinerja atau keberhasilan secara individu, sehingga muncul kompetisi dan upaya untuk berhasil sendiri-sendiri didalam organisasi. yang terpenting adalah tugas saya selesai dan
tidak mendapat kecelakaan, peduli apa dengan rekan-rekan kerja yang lain. Selama saya baik dan berhasil maka kinerja saya akan dinilai baik, meskipun tingkat kecelakaan didalam organisasi saya masih tinggi.
Sistem manajemen keselamatan yang modern mengajarkan untuk mengukur kinerja team. Jadi bukan lagi “Apa yang bisa kamu lakukan dan apa yang kamu dapat”, akan tetapi“ Bagaimana kamu berkolaborasi
dengan yang lain dan apa yang dicapai oleh team”. Namun bukan berarti kinerja individu dilupakan, akan tetapi porsi pengukuran kinerja team menjadi lebih besar. Hal ini akan menimbulkan dan mengajarkan
tanggung jawab terhadap kelompok kerja atau rekan-rekan kerja yang lain. Sehingga keberhasilan individu akan diiringi dengan keberhasilan team atau organisasi. Bagaimana mungkin kita bisa memberikan
penghargaan keberhasilan kepada individu sementara organisasi secara keseluruhan berprestasi buruk atau tingkat kecelakaan tinggi. Maka didalam budaya K3, kinerja individu diukur dari kontribusi yang dia
lakukan didalam organisasi atau team dan pencapaian team.
2. DARI PEKERJAAN INDIVIDU MENJADI PEKERJAAN TEAM
Efektifitas kerjasama team akan terjadi manakala setiap individu yang diberi tanggung jawab pekerjaan adalah untuk meningkatkan kinerja team. Setiap individu menerima tugas masing-masing dan
melaksanakan tanggung jawabnya dalam rangka membantu pencapaian target oragnisasi atau team. Jadi bukan menyelasaikan tugas pekerjaan secara indvidu untuk menyenangkan atasan. Teamwork
memerlukan perubahan dari pencapaian personal goals menjadi pencapaian target secara team atau kelompok.
3. DARI PENGHARGAAN KOMPETISI MENJADI PENGHARGAAN KERJASAMA
Dari poin 1 dan 2 diatas sudah dijelaskan bahwa kinerja diukur berdasarkan pencapaian atau keberhasilan team, dan pelaksanaan pekerjaan dilakukan dalam rangka mencapai target dari team bukan individu.
Demikian pula penghargaan dari keberhasilan tidak diberikan secara individu akan tetapi penghargaan atas keberhasilan bersama karena kerjasama yang baik dari team. Pardigma ini akan merubah kompetisi
individu yang seringkali tidak sehat menjadi kerjasama dan kerbersamaan dalam mencapai target organisasi.
4. DARI KETERGANTUNGAN INDIVIDU MENJADI KETERGANTUNGAN TEAM
Jika budaya kerjasama dalam mencapai target dan mengukur kinerja team telah diterapkan, maka akan muncul saling ketergantungan didalam team atau organisasi. Tidak akan ada orang yang merasa bahwa dia
bisa berhasil sendiri tanpa rekan kerja yang membantunya. Setiap pekerja akan merasa adanya saling ketergantungan dan membutuhkan dalam melakukan pekerjaan, sehingga akan muncul perilaku saling
membantu dan saling mengingatkan atau menjaga satu sama lain. Karena mereka menyadari jika ada yang gagal atau celaka akan berdampak pada keberhasilan team dan keberhasilan team adalah keberhasilan
mereka sendiri secara individu.
5. DARI KOMUNIKASI ORANG KE ORANG MENJADI INTERAKSI KELOMPOK
Safety culture juga mengutamakan komunikasi dalam bentuk interaksi kelompok. Setiap indvidu didorong untuk menyampaikan pendapat atau usulan dan dilibatkan dalam setiap bentuk diskusi. Komunikasi tidak
hanya dari top-down akan tetapi juga dari button-up. Artinya setiap atasan atau supervisor harus membuka diri untuk menerima masukkan dari team. Safety meeting merupakan media komunikasi dan interaksi
antar indvidu dalam kelompok. Semakin tinggi tingkat interaksi dari individu didalam team, akan semakin meningkatkan personal commitment untuk mencapai target team. Hal tersebut juga akan membangun
lingkungan kerja yang kondusive, meningkatkan kebersamaan, meningkatkan motivasi kerja dan rasa memiliki terhadap program yang sudah disepakati.

37

4. DARI KETERGANTUNGAN INDIVIDU MENJADI KETERGANTUNGAN TEAM


Jika budaya kerjasama dalam mencapai target dan mengukur kinerja team telah diterapkan, maka akan muncul saling ketergantungan didalam team atau organisasi.
Tidak akan ada orang yang merasa bahwa dia bisa berhasil sendiri tanpa rekan kerja yang membantunya. Setiap pekerja akan merasa adanya saling ketergantungan
dan membutuhkan dalam melakukan pekerjaan, sehingga akan muncul perilaku saling membantu dan saling mengingatkan atau menjaga satu sama lain. Karena
mereka menyadari jika ada yang gagal atau celaka akan berdampak pada keberhasilan team dan keberhasilan team adalah keberhasilan mereka sendiri secara
individu.
5. DARI KOMUNIKASI ORANG KE ORANG MENJADI INTERAKSI KELOMPOK
Safety culture juga mengutamakan komunikasi dalam bentuk interaksi kelompok. Setiap indvidu didorong untuk menyampaikan pendapat atau usulan dan dilibatkan
dalam setiap bentuk diskusi. Komunikasi tidak hanya dari top-down akan tetapi juga dari button-up. Artinya setiap atasan atau supervisor harus membuka diri untuk
menerima masukkan dari team. Safety meeting merupakan media komunikasi dan interaksi antar indvidu dalam kelompok. Semakin tinggi tingkat interaksi dari
individu didalam team, akan semakin meningkatkan personal commitment untuk mencapai target team. Hal tersebut juga akan membangun lingkungan kerja yang
kondusive, meningkatkan kebersamaan, meningkatkan motivasi kerja dan rasa memiliki terhadap program yang sudah disepakati.

38

7
19/08/2021

MANAGEMENT/LEADERSHIP PLAY AN ACTIVE


ROLE TO DEMONSTRATE THAT THE SAFETY OF
EXISTING SAFETY SYSTEMS ARE THE WORKFORCE IS THE TOP PRIORITY.
CONSTANTLY DEVELOPED AND IMPROVED

THE SAFETY SYSTEM IS INFORMED BY


THE WORKFORCE, NOT DESIGNED AND
ENFORCED ONLY BY MANAGEMENT.

ALL PERSONNEL, FROM THE FRONT LINE


TO THE SENIOR LEADERSHIP, SHARE THE
SAME RESPONSIBILITY FOR SAFE WORK.

NOTHING TAKES PRECEDENT


OVER SAFE WORK UNDER
INCIDENTS, SAFETY ISSUES, OR STOPPING
ANY CIRCUMSTANCES.
WORK FOR SAFETY CONCERNS ARE NOT
MET WITH NEGATIVITY
COMMUNICATION OCCURS OPENLY BETWEEN DEPARTMENTS, MEMBERS
OF THE WORKFORCE, AND MANAGEMENT. COMMUNICATION IS NOT
JUST ONE-WAY AND IS ALWAYS OPEN AND ENCOURAGED

39

1. NOTHING TAKES PRECEDENT OVER SAFE WORK UNDER ANY CIRCUMSTANCES.


The workforce never feels as if safe work procedures are an obstacle to getting their tasks done correctly, on time,
and without reprimand. The keyword here is “feels.“
How do you get your workforce to feel the same safety priorities that you do?
So, if your employees are continuing to take safety risks despite your focus on making safety a priority, you may
need to evaluate how effective the communication is between your company’s management and its workforce.
Often, employees assumed that it was more acceptable to take a safety shortcut than it was to miss a deadline
Because sometimes, the most innocent comment of urgency may influence workers to speed up, take short-cuts,
and neglect existing safety practices.
Sometimes it is a miscommunication like a manager's casual comment, it would be good to have this order ready
to ship by next week, being interpreted as a rush order
Most of the time, the pressure to put production over safety is implied, not stated
If employees are under the impression, for any reason, that safety rules must be broken to achieve the results that
management wants, any existing safety system, no matter how great, cannot protect them.

40

8
19/08/2021

1. NOTHING TAKES PRECEDENT OVER SAFE WORK UNDER ANY CIRCUMSTANCES.


TIDAK ADA YANG DIDASARKAN DARIPADA PEKERJAAN LEBIH AMAN DALAM KONDISI APAPUN
The workforce never feels as if safe work procedures are an obstacle to getting their tasks done correctly, on time, and without reprimand. The keyword here is
“feels.“
Tenaga kerja tidak pernah merasa bahwa prosedur kerja yang aman menjadi penghalang untuk menyelesaikan tugasnya dengan benar, tepat waktu, dan tanpa teguran. Kata kuncinya di sini
adalah "terasa".
How do you get your workforce to feel the same safety priorities that you do?
Bagaimana Anda membuat tenaga kerja Anda merasakan prioritas keselamatan yang sama dengan yang Anda rasakan?
So, if your employees are continuing to take safety risks despite your focus on making safety a priority, you may need to evaluate how effective the communication
is between your company’s management and its workforce.
Jadi, jika karyawan Anda terus mengambil risiko keselamatan meskipun Anda fokus pada keselamatan sebagai prioritas, Anda mungkin perlu mengevaluasi seberapa efektif komunikasi antara
manajemen perusahaan dan tenaga kerjanya
Often, employees assumed that it was more acceptable to take a safety shortcut than it was to miss a deadline
Seringkali, karyawan berasumsi bahwa mengambil jalan pintas yang aman lebih dapat diterima daripada melewatkan tenggat waktu
Because sometimes, the most innocent comment of urgency may influence workers to speed up, take short-cuts, and neglect existing safety practices.
Karena terkadang, komentar urgensi yang paling polos dapat mempengaruhi pekerja untuk mempercepat, mengambil jalan pintas, dan mengabaikan praktik keselamatan yang ada.
Sometimes it is a miscommunication like a manager's casual comment, it would be good to have this order ready to ship by next week, being interpreted as a rush
order
kadang-kadang itu adalah miskomunikasi seperti komentar santai manajer, akan lebih baik jika pesanan ini siap dikirim minggu depan, ditafsirkan sebagai pesanan terburu-buru
Most of the time, the pressure to put production over safety is implied, not stated
Sebagian besar waktu, tekanan untuk menempatkan produksi di atas keselamatan tersirat, tidak disebutkan
If employees are under the impression, for any reason, that safety rules must be broken to achieve the results that management wants, any existing safety system,
no matter how great, cannot protect them.
Jika karyawan mendapat kesan, untuk alasan apa pun, bahwa aturan keselamatan harus dilanggar untuk mencapai hasil yang diinginkan manajemen, sistem keselamatan apa pun yang ada,
betapa pun hebatnya, tidak dapat melindungi mereka.

41

2. ALL PERSONNEL, FROM THE FRONT LINE TO THE SENIOR LEADERSHIP, SHARE THE SAME RESPONSIBILITY FOR SAFE WORK
If you want to keep your workforce safe, accountability is key, because Complacency and ineffective safety-related
communication can lead to lapses in accountability if your company has a negative safety culture.
A positive safety culture shows compassion to spark positive change and does not blame or reprimand others because at a
high-hazard operation with a negative safety culture, workers often feel that supervisors and company managers have little
concern for their well-being.
The managers that employees valued and trusted were those who “talked to people one-on-one, gathered their opinions,
their concerns and ideas, and acted on them.” So, not only do managers have to be good communicators, they also have to
take accountability and act on issues. Seems simple, however, double-standards are all too prevalent in negative safety
cultures.
“People were not disciplined for failing to use proper personal protective equipment (PPE), but they were punished for
accidents. Managers were seen walking through the plant without proper protection. Management wanted employees to
remind each other to wear their PPE, but employees felt that constituted ‘enforcing the rules’, which is a management
responsibility. Thus, employees felt management was sidestepping its responsibilities.”
In a positive safety culture, all personnel (regardless of position, job description, or time spent at the worksite) have an equal
responsibility in keeping themselves and each other safe, and holding themselves and each other accountable. Management
should lead by example and not just talk the talk but also walk the walk. If you need a way to enforce accountability and a
sense of responsibility in your workforce,
42

9
19/08/2021

2. ALL PERSONNEL, FROM THE FRONT LINE TO THE SENIOR LEADERSHIP, SHARE THE SAME RESPONSIBILITY FOR SAFE WORK
SEMUA PERSONIL, DARI GARIS DEPAN SAMPAI KEPEMIMPINAN SENIOR, BERBAGI TANGGUNG JAWAB YANG SAMA UNTUK PEKERJAAN YANG AMAN.
If you want to keep your workforce safe, accountability is key, because Complacency and ineffective safety-related communication can lead to lapses in
accountability if your company has a negative safety culture.
Jika Anda ingin menjaga keamanan tenaga kerja Anda, akuntabilitas adalah kuncinya karena Rasa puas diri dan komunikasi yang terkait dengan keselamatan yang tidak efektif dapat menyebabkan
penyimpangan dalam akuntabilitas jika perusahaan Anda memiliki budaya keselamatan yang negatif.
A positive safety culture shows compassion to spark positive change and does not blame or reprimand others because at a high-hazard operation with a negative
safety culture, workers often feel that supervisors and company managers have little concern for their well-being.
Budaya keselamatan yang positif menunjukkan kasih sayang untuk memicu perubahan positif dan tidak menyalahkan atau menegur orang lain karena pada operasi dengan bahaya tinggi dengan budaya
keselamatan negatif, pekerja sering merasa bahwa supervisor dan manajer perusahaan tidak terlalu peduli dengan kesejahteraan mereka.
The managers that employees valued and trusted were those who “talked to people one-on-one, gathered their opinions, their concerns and ideas, and acted on
them.” So, not only do managers have to be good communicators, they also have to take accountability and act on issues. Seems simple, however, double-
standards are all too prevalent in negative safety cultures.
Manajer yang dihargai dan dipercaya oleh karyawan adalah mereka yang "berbicara dengan orang-orang secara pribadi, mengumpulkan pendapat mereka, keprihatinan dan ide-ide mereka, dan bertindak
atas mereka." Jadi, manajer tidak hanya harus menjadi komunikator yang baik, mereka juga harus bertanggung jawab dan bertindak atas masalah. Tampaknya sederhana. Namun, standar ganda terlalu lazim
dalam budaya keselamatan negatif.
“People were not disciplined for failing to use proper personal protective equipment (PPE), but they were punished for accidents. Managers were seen walking
through the plant without proper protection. Management wanted employees to remind each other to wear their PPE, but employees felt that constituted
‘enforcing the rules’, which is a management responsibility. Thus, employees felt management was sidestepping its responsibilities.”
“Orang-orang tidak didisiplinkan karena tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) yang tepat, tetapi mereka dihukum karena kecelakaan. Manajer terlihat berjalan melalui pabrik tanpa perlindungan yang
tepat. Manajemen ingin karyawan saling mengingatkan untuk memakai APD mereka, tetapi karyawan merasa itu merupakan 'menegakkan aturan', yang merupakan tanggung jawab manajemen. Dengan
demikian, karyawan merasa manajemen telah mengabaikan tanggung jawabnya.”
In a positive safety culture, all personnel (regardless of position, job description, or time spent at the worksite) have an equal responsibility in keeping themselves
and each other safe, and holding themselves and each other accountable. Management should lead by example and not just talk the talk but also walk the walk. If
you need a way to enforce accountability and a sense of responsibility in your workforce,
Dalam budaya keselamatan yang positif, semua personel (terlepas dari posisi, deskripsi pekerjaan, atau waktu yang dihabiskan di tempat kerja) memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga
keselamatan diri mereka sendiri dan satu sama lain, dan meminta pertanggungjawaban diri mereka sendiri dan satu sama lain. Manajemen harus memimpin dengan memberi contoh dan tidak hanya
berbicara tetapi juga berjalan. Jika Anda membutuhkan cara untuk menegakkan akuntabilitas dan rasa tanggung jawab dalam tenaga kerja Anda,
43

3. THE SAFETY SYSTEM IS INFORMED BY THE WORKFORCE, NOT DESIGNED AND ENFORCED ONLY BY MANAGEMENT
Even if you think you have a great, positive safety culture, your workers’ input is critical to ensure it actually works to reduce
incidents.
Why? Because it needs to be in their language and suited to their needs and the pressures of their jobs.
Workers will disregard official safe work procedures if they are difficult to understand, use technical vocabulary or jargon, or
are in an entirely different language than what your workforce speaks!
Your procedures also need to reflect the experience of your workers on the job.
The crew felt they had little in common with the managers who had devised the new safety culture with which they were being
asked to comply.
Operating manuals, which were supposed to direct the crew’s every task, were inadequate, so the workers had developed their
own alternatives.
The crews believed strongly that their own understanding of safety was superior to that prompted by managers in offices
In a positive safety culture, safety systems and procedures represent the experiences and tasks of the workers realistically
through their own input.
Not including their input devalues their first-hand experience and expertise, and maintains a cultural rift between them and
their managers.
This cultural rift further contributes to poor communication and miscommunications that lead to safety incidents.
44

10
19/08/2021

3. THE SAFETY SYSTEM IS INFORMED BY THE WORKFORCE, NOT DESIGNED AND ENFORCED ONLY BY MANAGEMENT
Even if you think you have a great, positive safety culture, your workers’ input is critical to ensure it actually works to reduce incidents.
Bahkan jika Anda berpikir Anda memiliki budaya keselamatan yang baik dan positif, masukan pekerja Anda sangat penting untuk memastikannya benar-benar berfungsi untuk mengurangi
insiden
Why? Because it needs to be in their language and suited to their needs and the pressures of their jobs.
Mengapa? Karena itu harus dalam bahasa mereka dan sesuai dengan kebutuhan dan tekanan pekerjaan mereka.
Workers will disregard official safe work procedures if they are difficult to understand, use technical vocabulary or jargon, or are in an entirely different language
than what your workforce speaks!
Pekerja akan mengabaikan prosedur kerja aman resmi jika mereka sulit untuk mepahami, menggunakan kosa kata atau jargon teknis, atau menggunakan bahasa yang sama sekali berbeda
dari yang digunakan oleh tenaga kerja Anda!
Your procedures also need to reflect the experience of your workers on the job.
Prosedur Anda juga perlu mencerminkan pengalaman pekerja Anda di tempat kerja.
The crew felt they had little in common with the managers who had devised the new safety culture with which they were being asked to comply.
Para kru merasa mereka memiliki sedikit kesamaan dengan para manajer yang telah merancang budaya keselamatan baru yang diminta untuk mereka patuhi.
Operating manuals, which were supposed to direct the crew’s every task, were inadequate, so the workers had developed their own alternatives.
Manual operasi, yang seharusnya mengarahkan setiap tugas kru, tidak memadai, sehingga para pekerja telah mengembangkan alternatif mereka sendiri.
The crews believed strongly that their own understanding of safety was superior to that prompted by managers in offices
Para kru sangat percaya bahwa pemahaman mereka sendiri tentang keselamatan lebih tinggi daripada yang diminta oleh manajer di kantor
In a positive safety culture, safety systems and procedures represent the experiences and tasks of the workers realistically through their own input.
Dalam budaya keselamatan yang positif, sistem dan prosedur keselamatan mewakili pengalaman dan tugas pekerja secara realistis melalui masukan mereka sendiri
Not including their input devalues their first-hand experience and expertise, and maintains a cultural rift between them and their managers.
Tidak memasukkan masukan mereka akan menurunkan nilai pengalaman dan keahlian langsung mereka, dan mempertahankan keretakan budaya antara mereka dan manajer mereka
This cultural rift further contributes to poor communication and miscommunications that lead to safety incidents.
Keretakan budaya ini lebih lanjut berkontribusi pada komunikasi yang buruk dan miskomunikasi yang mengarah pada insiden keselamatan

45

4. EXISTING SAFETY SYSTEMS ARE CONSTANTLY DEVELOPED AND IMPROVED.


You make changes every day to ensure that your system continues to be up to date and prevent incidents before they happen
with three tools:
1. Communication
2. Trust and accountability
3. Proactive practices
A positive safety culture understands that incident-free work is the result of continuous attention to improvement and
proactive practices.

5. COMMUNICATION OCCURS OPENLY BETWEEN DEPARTMENTS, MEMBERS OF THE WORKFORCE, AND MANAGEMENT.
COMMUNICATION IS NOT JUST ONE-WAY AND IS ALWAYS OPEN AND ENCOURAGED
A great way to prevent miscommunication, whether it’s due to a misunderstanding of tone/language/vocabulary or a
perceived double standard is to make sure that communication is open and encouraged.
Many of the miscommunication issues related to over-reliance on memos, bulletin boards, and e-mails in place of face-to-face
contact.
A positive safety culture uses open communication to operate optimally in a singular direction that is clear to all throughout
the company.

46

11
19/08/2021

4. EXISTING SAFETY SYSTEMS ARE CONSTANTLY DEVELOPED AND IMPROVED.


SISTEM KESELAMATAN YANG ADA TERUS DIKEMBANGKAN DAN DIPERBAIKI
You make changes every day to ensure that your system continues to be up to date and prevent incidents before they happen with three tools:
Anda membuat perubahan setiap hari untuk memastikan bahwa sistem Anda terus diperbarui dan mencegah insiden sebelum terjadi dengan 3 cara:

1. Communication Komunikasi
2. Trust and accountability Kepercayaan dan akuntabilitas
3. Proactive practices Praktik Proaktif
A positive safety culture understands that incident-free work is the result of continuous attention to improvement and proactive practices.
Budaya keselamatan yang positif memahami bahwa pekerjaan bebas insiden adalah hasil dari perhatian terus-menerus terhadap perbaikan dan praktik proaktif.

5. COMMUNICATION OCCURS OPENLY BETWEEN DEPARTMENTS, MEMBERS OF THE WORKFORCE, AND MANAGEMENT. COMMUNICATION IS
NOT JUST ONE-WAY AND IS ALWAYS OPEN AND ENCOURAGED
KOMUNIKASI TERBUKA ANTARA DEPARTEMEN, ANGGOTA TENAGA KERJA, DAN MANAJEMEN. KOMUNIKASI TIDAK HANYA SATU ARAH DAN SELALU TERBUKA DAN DIGALAKKAN.
A great way to prevent miscommunication, whether it’s due to a misunderstanding of tone/language/vocabulary or a perceived double
standard is to make sure that communication is open and encouraged.
Cara yang bagus untuk mencegah miskomunikasi, baik itu karena kesalahpahaman nada/bahasa/kosa kata atau persepsi standar ganda adalah dengan memastikan bahwa komunikasi
terbuka dan didorong.

Many of the miscommunication issues related to over-reliance on memos, bulletin boards, and e-mails in place of face-to-face contact.
Banyak masalah miskomunikasi yang terkait dengan ketergantungan yang berlebihan pada memo, papan buletin, dan email sebagai pengganti kontak tatap muka

A positive safety culture uses open communication to operate optimally in a singular direction that is clear to all throughout the company.
Budaya keselamatan yang positif menggunakan komunikasi terbuka untuk beroperasi secara optimal dalam satu arah yang jelas bagi seluruh perusahaan

47

6. MANAGEMENT/LEADERSHIP PLAY AN ACTIVE ROLE TO DEMONSTRATE THAT THE SAFETY OF THE WORKFORCE IS THE TOP
PRIORITY.
Demonstrate, Not just say.
When management says they prioritize worker safety and then somehow communicate the opposite, the workforce begins to
mistrust management and their intentions.
How do you demonstrate that you prioritize safety?
1. Go to the worksite.
2. Gain first-hand understanding of their work environment and what happens on the front line.
3. Talk to your workers individually.
4. Take interest in their tasks and safety concerns.
5. Take their concerns seriously and act upon them.
6. Realize that you can’t understand the hazards of the job more than the workers facing these hazards daily.
You need to be present: “Employees [perceive] the lack of visible presence as lack of interest.“ And you need to be responsive:
"Managers saw that responding to safety concerns and suggestions in a timely manner was at the heart of building trust and
credibility.“

48

12
19/08/2021

6. MANAGEMENT/LEADERSHIP PLAY AN ACTIVE ROLE TO DEMONSTRATE THAT THE SAFETY OF THE WORKFORCE IS THE TOP
PRIORITY.
MANAJEMEN/PEMIMPINAN BERPERAN AKTIF UNTUK MENUNJUKKAN BAHWA KESELAMATAN TENAGA KERJA ADALAH PRIORITAS UTAMA
Demonstrate, Not just say.
Tunjukkan, Bukan Hanya Katakan.
When management says they prioritize worker safety and then somehow communicate the opposite, the workforce begins to mistrust
management and their intentions.
Ketika manajemen mengatakan mereka memprioritaskan keselamatan pekerja dan kemudian entah bagaimana mengomunikasikan sebaliknya, tenaga kerja mulai
tidak mempercayai manajemen dan niat mereka.
How do you demonstrate that you prioritize safety? Bagaimana Anda menunjukkan bahwa Anda memprioritaskan keselamatan?
1. Go to the worksite. Pergi ke tempat kerja
2. Gain first-hand understanding of their work environment and what happens on the front line. Dapatkan pemahaman langsung tentang lingkungan
kerja mereka dan apa yang terjadi di garis depan
3. Talk to your workers individually. Bicaralah dengan pekerja Anda satu per satu
4. Take interest in their tasks and safety concerns. Perhatikan tugas dan masalah keselamatan mereka
5. Take their concerns seriously and act upon them. Tanggapi kekhawatiran mereka dengan serius dan tindak lanjuti
6. Realize that you can’t understand the hazards of the job more than the workers facing these hazards daily. Sadarilah bahwa Anda tidak dapat
memahami bahaya pekerjaan lebih dari pekerja yang menghadapi bahaya ini setiap hari
You need to be present: “Employees [perceive] the lack of visible presence as lack of interest.“ And you need to be responsive: "Managers saw
that responding to safety concerns and suggestions in a timely manner was at the heart of building trust and credibility.“
Anda harus hadir: "Karyawan [melihat] kurangnya kehadiran yang terlihat sebagai kurangnya minat.“ Dan Anda harus responsif: "Para manajer melihat bahwa
menanggapi masalah dan saran keselamatan secara tepat waktu adalah inti dari membangun kepercayaan dan kredibilitas."
49

7. INCIDENTS, SAFETY ISSUES, OR STOPPING WORK FOR SAFETY CONCERNS ARE NOT MET WITH NEGATIVITY
Negativity and reprimands are the most obvious indicators of a negative safety culture.
Responding to a safety issue with punitive measures sends a pretty ridiculous message: “Don’t hurt yourself or you’ll get in
trouble.”
When workers are afraid of getting in trouble, your safety culture can’t take advantage of these mistakes to improve.
Had management eased workers’ fears of being reprimanded or punished for incidents, and created a positive environment in
which workers could come forward without fear, they could have understood the circumstances that led to the problem and
learned how to avoid it in the future.
In contrast, punitive and negative safety cultures contribute to the accident cycle:
• Workers don’t need to be punished for getting hurt.
• Getting hurt is punishment enough.
• What workers need is for management to create an environment where everyone is encouraged to be accountable and
responsible.
Here’s how you can start to build such an environment: Inilah cara Anda dapat mulai membangun lingkungan seperti itu:
1. Lead by example. Own up to your mistakes in front of your workers.
2. Build trust with your workers, so that they are not afraid to confide in you.
3. Communicate openly about your shared responsibility to identify and manage risks.

50

13
19/08/2021

7. INCIDENTS, SAFETY ISSUES, OR STOPPING WORK FOR SAFETY CONCERNS ARE NOT MET WITH NEGATIVITY
INSIDEN, MASALAH KESELAMATAN, ATAU BERHENTI BEKERJA UNTUK MASALAH KESELAMATAN TIDAK MENJADI NEGATIF
Negativity and reprimands are the most obvious indicators of a negative safety culture.
Negatif dan teguran adalah indikator paling jelas dari budaya keselamatan negatif.
Responding to a safety issue with punitive measures sends a pretty ridiculous message: “Don’t hurt yourself or you’ll get in trouble.”
Menanggapi masalah keamanan dengan tindakan hukuman mengirimkan pesan yang cukup konyol: "Jangan melukai diri sendiri atau Anda akan mendapat masalah.“
When workers are afraid of getting in trouble, your safety culture can’t take advantage of these mistakes to improve.
Ketika pekerja takut mendapat masalah, budaya keselamatan Anda tidak dapat memanfaatkan kesalahan ini untuk diperbaiki.
Had management eased workers’ fears of being reprimanded or punished for incidents, and created a positive environment in which workers
could come forward without fear, they could have understood the circumstances that led to the problem and learned how to avoid it in the
future.
Seandainya manajemen meredakan ketakutan pekerja akan teguran atau hukuman atas insiden, dan menciptakan lingkungan yang positif di mana pekerja dapat maju tanpa rasa takut,
mereka dapat memahami keadaan yang menyebabkan masalah dan belajar bagaimana menghindarinya di masa depan.
In contrast, punitive and negative safety cultures contribute to the accident cycle:
Sebaliknya, budaya keselamatan yang menghukum dan negatif berkontribusi pada siklus kecelakaan:
• Workers don’t need to be punished for getting hurt. Pekerja tidak perlu dihukum karena terluka.
• Getting hurt is punishment enough. Terluka adalah hukuman yang cukup
• What workers need is for management to create an environment where everyone is encouraged to be accountable and responsible.
Yang dibutuhkan pekerja adalah manajemen menciptakan lingkungan di mana setiap orang didorong untuk bertanggung jawab dan bertanggung jawab.
Here’s how you can start to build such an environment: Inilah cara Anda dapat mulai membangun lingkungan seperti itu:
1. Lead by example. Own up to your mistakes in front of your workers. Pimpin dengan memberi contoh. Akui kesalahan Anda di depan pekerja Anda
2. Build trust with your workers, so that they are not afraid to confide in you. Bangun kepercayaan dengan pekerja Anda, sehingga mereka tidak takut untuk curhat kepada Anda
3. Communicate openly about your shared responsibility to identify and manage risks. Berkomunikasi secara terbuka tentang tanggung jawab bersama Anda untuk
mengidentifikasi dan mengelola risiko
51

Trust
Tool

Training

Personnel Contents Here

Procedure Contents Here

Coaching Contents Here

Cooperation
Contents Here
Caring

Commitment
Communication

52

14
19/08/2021

Budaya keselamatan yang kuat memiliki beberapa karakteristik yang sama dan identifikasi dua ciri yang sangat penting bagi budaya keselamatan yang efektif: kepemimpinan dan keterlibatan karyawan.
Atribut organisasi dengan budaya keselamatan yang kuat antara lain:
1. Komunikasi.
Komunikasi paling efektif bila terdiri dari kombinasi interaksi top-down dan bottom-up; Manajemen senior menetapkan tujuan dan visi strategis untuk program keselamatan perusahaan; Tingkatan manajemen
(senior, menengah, supervisor) mengkomunikasikan strategi secara jelas kepada para pekerja yang menjalankan misi perusahaan dan pekerja memberikan umpan balik pada tingkat praktis tentang apa yang
berhasil dan apa yang tidak.
2. Komitmen.
Dalam hal keamanan, tindakan benar-benar berbicara lebih keras daripada kata-kata. Kurangnya komitmen, seperti yang ditunjukkan oleh tindakan (atau tidak adanya komitmen), muncul dengan keras dan jelas
bagi staf. Misalnya, mengharuskan staf untuk bekerja berjam-jam atau menggunakan suku cadang yang cacat untuk memenuhi tujuan produktivitas mengirimkan pesan yang jelas bahwa produktivitas lebih
penting daripada keselamatan.
3. Merawat.
Peduli adalah tentang melakukan apa pun yang diperlukan untuk memastikan karyawan kembali ke rumah dengan selamat setiap malam. Ini melibatkan menunjukkan kepedulian terhadap keselamatan pribadi
individu, tidak hanya membuat komitmen terhadap gagasan keselamatan secara keseluruhan.
4. Kerja sama.
Keselamatan bekerja paling baik jika manajemen dan pekerja berada di tim yang sama. Kerjasama berarti bekerja sama untuk mengembangkan program keselamatan yang kuat (misalnya, manajemen yang
melibatkan pekerja lini dalam membuat kebijakan dan prosedur keselamatan). Ini berarti manajemen mencari umpan balik dari pekerja tentang masalah keselamatan—dan menggunakan umpan balik itu untuk
melakukan perbaikan. Dan itu berarti tidak ada yang disalahkan ketika insiden terjadi.
5. Pelatihan (coaching)
Melatih satu sama lain—peer to peer, supervisor ke karyawan, bahkan karyawan ke manajemen—adalah cara penting untuk menjaga semua orang tetap pada jalurnya. Pembinaan melibatkan pemberian umpan
balik yang tidak menghakimi untuk perbaikan dan, dengan demikian, menerima dan menggabungkan umpan balik itu sebagai kritik yang membangun.
6. Prosedur.
Harus ada prosedur yang jelas dan terdokumentasi untuk setiap tugas. Ini tidak hanya mencegah ketidaksepakatan tentang apa yang diperlukan, tetapi juga menunjukkan komitmen ketika segala sesuatunya
dituangkan ke dalam tulisan. Prosedur harus dirancang bersama oleh manajemen dan pekerja untuk kepraktisan dan untuk mendorong peningkatan kerjasama, komunikasi, dan penerimaan.
7.Personil.
Harus ada cukup pekerja untuk melakukan setiap tugas dengan aman. Perusahaan tidak boleh mengorbankan keselamatan individu karena kekurangan staf (yaitu, membutuhkan jalan pintas/lembur untuk
memenuhi tujuan produksi).
8. Pelatihan (training)
Pelatihan adalah proses yang lebih formal dan terdokumentasi untuk memastikan bahwa karyawan mengikuti proses dan prosedur keselamatan. Pelatihan formal harus cukup sering dilakukan agar karyawan
merasa siap untuk melakukan pekerjaan mereka dengan aman.
9. Peralatan.
Semua peralatan dan perkakas harus dalam kondisi baik, bebas dari puing-puing, dan berfungsi seperti yang dirancang. Alat yang tidak memadai berdampak langsung pada keselamatan/perlindungan dan secara
tidak langsung berdampak pada persepsi komitmen manajemen. Praktik dugaan Boeing mengirimkan pesan yang jelas bahwa keselamatan tidak sepenting produktivitas.
10. Memercayai.
Kepercayaan pada program keselamatan, manajemen senior, dan satu sama lain dibangun ketika masing-masing karakteristik ini ada dan diperlakukan sebagai prioritas di seluruh perusahaan. 53

1. COACHING VS TRAINING
Coaching
Tentang bagaimana menggunakan pengetahuan individu lebih efektif. Coaching dapat memperbaiki kinerja Training.
“… mengikuti Training, produktivitas karyawan meningkat lebih dari 22%, sedangkan Training dikombinasikan dengan Coaching menghasilkan peningkatan kinerja
sebesar 88%. Coaching di tempat kerja positif berdampak pada bottom line “(International Personnel Management Association).
Klien bertanggung jawab untuk agenda. Coaching tidak dimulai sampai tujuan telah diidentifikasi.
Training
Fokus utama ditempatkan pada menanamkan pengetahuan baru dan membangun keahlian. Demikian pula untuk Consultant, Trainer juga harus ahli di bidangnya.
2. COACHING VS MENTORING
Coaching
Membantu individu untuk mengembangkan solusi mereka sendiri dan melatih proses berpikir, yang kemudian dapat diterapkan secara mandiri di masa depan. Coach
umumnya tidak diperlukan untuk ahli dalam bidang usaha klien
Mentoring
Biasanya melibatkan bimbingan dari seorang individu yang lebih berpengalaman atau senior. Menimbulkan berbagai hubungan pendampingan jangka panjang antara
mentee dan mentor. Mentor akan diharapkan untuk mengetahui jawaban atas tugas yang dilakukan oleh mentee
3. COACHING VS COUNSELLING
Coaching
Berorientasi ke masa depan, yaitu berkaitan dengan bagaimana individu dapat maju dari situasi saat ini untuk hasil yang diinginkan. Mengasumsikan bahwa seseorang
tidak membutuhkan intervensi psiko-sosial dan tidak berusaha untuk mengatasi masalah psikologis yang mendasari.
Counselling/Therapy
Berusaha untuk membantu individu memahami dan berhubungan dengan peristiwa-peristiwa di masa lalu (misalnya dalam masalah psikologis yang dalam) yang
berdampak pada kinerja mereka saat ini. Isi dan urutan terapi ditentukan oleh psikolog / konselor. Seringkali tujuan akan muncul selama terapi atau konseling.
4. COACHING VS CONSULTING
Coaching
Client dan Coach bekerja bersama, contoh: Coach akan mendukung Client untuk menemukan jawaban sendiri. Coach yakin klien memiliki semua sumber daya dalam
dirinya untuk bergerak maju. Fokusnya adalah pada orang/kepribadian dan sikap/hasil.
Consulting
Para ahli dalam bidang tertentu, yang akan menyelidiki/memberikan saran kepada perusahaan. Fokusnya adalah pada tugas/pekerjaan dan memberitahu orang
(misalnya CEO) apa yang harus dilakukan. Konsultan mengumpulkan fakta-fakta. Usulan terhadap perbaikan dan solusi dipimpin dan dilakukan oleh mereka.
54

15
19/08/2021

Training adalah suatu proses pelatihan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk membentuk suatu kemampuan
dalam meraih tujuan tertentu di dalam organisasi atau perusahaan.

Coaching adalah melatih, mengajar, menginstruksikan, memberikan saran kepada anggota tim atau seseorang untuk
mencapai tujuan tertentu.

55

1.0 zaman pada masa purbakala dimana teknologi dan peradaban masih sangat minim,
peradaban ini dengan istilah food gathering;
2.0 food gathering beralih menjadi produksi makanan (pertanian), sektor agraria;
3.0 Dimulai dari Inggris, perubahan pola kerja dari yang tadinya menggunakan tenaga
manusia beralih dengan menggunakan mesin;
4.0 sendi kehidupan manusia didominasi oleh kemajuan teknologi informasi, internet of
things (IoI), data, dan kecerdasan buatan (artificial intelligence = AI);
5.0 Jepang, konsep masyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered) dan
berbasis teknologi (technology based), artinya kecerdasan buatan (artificial intelligence) akan
mentransformasi big data pada segala sendi kehidupan serta the Internet of Things akan
menjadi suatu kearifan baru, yang akan didedikasikan untuk meningkatkan kemampuan
manusia membuka peluang-peluang bagi kemanusiaan, membantu manusia untuk menjalani
kehidupan yang lebih bermakna = society 5.0 56

16

Anda mungkin juga menyukai