Anda di halaman 1dari 78

RESUME HUKUM ADAT

PERTEMUAN 1-15

DISUSUN OLEH :
Ilham Ramadhan
1910012111070

DOSEN PENGAMPU :
Adri S.H., M.H.

UNIVERSITAS BUNG HATTA


FAKULTAS HUKUM
HUKUM
Nama : ILHAM RAMADHAN
NPM : 1910012111070
Kelas : IH 4B
Ruang : 2533
Hari/Tgl : Rabu, 3 Maret 2021
Jam : 07.30-10.00
Dosen : Adri S.H., M.H.
PERTEMUAN 1
PENGERTIAN HUKUM ADAT DAN SEJARAH HUKUM ADAT
1. PENGERTIAN HUKUM ADAT
A. ISTILAH HUKUM ADAT
Istilah hukum adat adalah kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis yang ditaati secara turun
temurun.istilah hukum adat diperkenalkan oleh dunia barat yang menyatakan bahwa hukum
hanya terdapat pada masyarakat yang beradab.Pada saat Belanda datang pertama sekali ke
Indonesia pada tahun 1601,mereka beranggapan bahwa Di Indonesia tidak terdapat
hukum.Barat memiliki dalil Wet is Recht atau Undang-undang adalah hukum.akan tetapi lama
kelamaan dalil tersebut ditinggalkan karena timbul pemahaman bahwa tidaklah mungkin
dalam suatu masyarakat tidak memiliki hukum.Pemikiran tersebut dilandasi pernyataan Cicero
yang menyatakan bahwa ” dimana ada masyarakat,disitu ada hukum (ubi societas ibi ius)”.
Kemudian Snouck Hourgronje mengenalkan dalam bukunya De Atjehers (masyarakat aceh)
istilah adatrecht.lalu istilah ini lebih dipopulerkan lagi oleh Van Vollenhoven dalam bukunya
llet adatrecht van nederlandsch indie (Hukum adat hindia belanda).
B. PENGERTIAN HUKUM ADAT MENURUT MASYARAKAT
Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim
di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,adanya hubungan
yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial, dan hukum.Hukum adat dalam masyarkat Merupakan hukum
tradisional masyarakat yang merupakan perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata
serta merupakan salah satu cara pandangan hidup yang secara keseluruhannya merupakan
kebudayaan masyarakat tempat hukum adat tersebut berlaku.
C. PENGERTIAN HUKUM ADAT MENUURUT SARJANA BARAT
1. Prof. Dr. C. van Vollenhoven.
Hukum adat adalah aturan-aturan prilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-
orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain
pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat).
2. Prof. Dr. B. Ter Haar Bzn.
Pengertian Hukum Adat, adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusankeputusan
para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai
pengaruh dan yang dalam pelaksanaan berlakunya serta merta dan ditaati dengan sepenuh
hati.
D. HUKUM ADAT DALAM PERUNDANGAN HINDIA BELANDA
1. Zaman VOC :
• Tahun1609 dibuat peraturan khusus terkait Hukum Adat
• Tahun1757-1765 Mr. Hasselar berencana membuat Kitab Hk Adat utk pedoman
Hakim
2. Zaman penjajahan Belanda :
• Pasal 131 ayat 2 sub b Indische Staatsregeling (IS) :
“Pedoman bagi pembentuk ordonansi utk hk perdata materiil bagi org Indonesia dan Timur
Asing dg asas bhw hukum adat mereka dihormati…”
• Pasal 131 ayat 6 IS :
“Selama ordonansi dimaksud psl 131 ayat 2 sub b tsb blm terbentuk bagi org bukan Eropa
berlaku hukum adatnya”
E. HUKUM ADAT DALAM PERUNDANGAN R.I
• Dalam pasal 11 AB (Algemene bevelingen van wetgwving voor Indonesia/ peraturan umum
tentang perundangan Indonesia) yaitu : godsdientstige (peraturan keagamaan),
volkinstellingen (perwakilan rakyat), gebruiken (kebiasaan-kebiasaan)
• Dalam pasal 75 (3) RR 1854 yaitu Godsdientstige (peraturan keagamaan),Instellingen
(Kelembagaan),Gebruiken (kebiasaan-kebiasaan)
• Dalam pasal 78 (3) RR 1854 yaitu Godsdientige wetten (peraturan keagamaan) dan Oude
Herkomsten (Naluri-naluri).
• Dalam pasal 128 (4) I.S. yaitu Instellingen des volles (lembaga-lembaga dari rakyat).
• Dalam pasal 131 (2) sub b I.S. yaitu Het Hunne godsdiensten en gewoonten samenhangede
recht regelen (Aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan agama-agama dan kebiasaan-
kebiasaan mereka).
F. HUKUM ADAT DALAM SEMINAR DI YOKYAKARTA 1975
Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan
perundang undangan RI yang di sana sini mengandung unsur agama. hukum adat timbul dan
berlaku apabila diputuskan dan ditetapkan oleh petugas hukum seperti kepala adat, hakim
rapat adat, dan perangkat desa lainnya menurut (Terhaar).hal ini didukung oleh Soepomo
yang mengatakan bahwa tingkah laku manusia pada suatu waktu mendapat sifat hukum pada
saat petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar
peraturan itu.
2. SEJARAH HUKUM ADAT
A. ZAMAN HINDU
Agama Hindu hanya mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali, sedangkan
didaerah lain mendapat pengaruh dari zaman Malaio polynesia´, yaitu : Suatu zaman
dimananenek moyang kita masih memegang adat istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam
yang serbakesaktian.Pada zaman Hindu tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh
hukum agama Hindu sertahukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya
dari Cina). Kerajaan-kerajaantersebut antara lain :
a. Sriwijaya ± Raja Syailendra (abad 7 s/d 9)
Pusat pemerintahan : hukum agama Budha~ Pedalaman : hukum adat Malaio Polynesia
b. Medang (Mataram)
Masa raja Dharmawangsa´ dikeluarkan suatu UU wacasana ± Jawa Kuno ±
Purwadhigama.Untuk mengabadikan berbagai peristiwa penting dalam bidang peradilan, telah
dibuat beberapa prasasti antara lain : Prasasti Bulai (860 M), Prasasti Kurunan (885 M),
Prasasti Guntur (907 M)Setelah runtuhnya kerajaan Mataram, Jawa dipimpin oleh Airlangga´
yang membagi wilayah kerajaan atas : Kerajaan Jonggala, Kerajaan Kediri (Panjalu)Zaman raja-
raja Airlangga.
c. Zaman Singosari (Tumapel) ± didirikan oleh Ken Arok (Rajasa)
Raja yang terkenal ³Prabu Kertaqnegara´ yang menghina utusan Cina (Men Gici). Usaha
yangdilakukan terhadap hukum adat :Mendirikan prasasti ³Sarwadharma´ yang melukiskan
tentang adanya ³Tanah Punpunan´, yaitu :tanah yang disediakan untuk membiayai bangunan
suci yang statusnya dilepaskan darikekuasaan Thanibala atau kekuasaan sipil (masyarakat)
dengan ganti rugi.
d. Zaman Majapahit ± didirikan oleh Jayakatong (Jayakatwang)
Dengan adanya pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Wijaya (Kertarajasa
Jayawardhana),Jayakatwang berhasil dibunuh. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk,
hukum adat mendapat perhatian berkat usaha Mahapatih Gajah Mada. Usaha yang
dilakukan :- Membagi bidang-bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misal : soal
perkawinan, peralihan kekuasaan, ketentaraan negara.-Keputusan pengadilan pada masa itu
disebut : Jayasong (Jayapatra).
B. ZAMAN ISLAM
a. Aceh (Kerajaan Pasai dan Perlak)
Pengaruh hukum Islam cukup kuat terhadap hukum adat, terlihat dari setiap tempat
pemukimandipimpin oleh seorang cendekiawan agama yang bertindak sebagai imam dan
bergelar ³Teuku/Tengku´.
b. Minangkabau dan Batak
Hukum adat pada dasarnya besar tetap bertahan dalam kehidupan sehari-hari, sedang
hukumIslam berperan dalam kehidupan keagamaan, dalam hal ini terlihat dalam bidang
perkawinan.Pepatah adat : Hukum adat bersendi alur dan patut, hukum agama/syara bersendi
kitab Allah.Di Batak yang terdiri dari berbagai suku :-Toba- Karo- Dairi- Simalungun-
AngkolaMasing-masing suku tetap pada hukum adat, karena menghormati Sisingamangaraja,
tetapi berkat Ompu Nommensen, agam Kristen juga ikut berpengaruh (jalan damai).Secara
umum, agama Islam dan Kristen di Batak hanya dalam hal kerohanian saja, tetapi tetapdalam
struktur kemasyarakatan hukum adat tetap dipakai.Kedudukan pejabat agama hanya sebagai
penyerta saja dalam pemerintahan desa, mengurus danmenyelenggarakan acara agama,
misalnya : perkawinan, perceraian dan sebagainya.
c. Sumatera Selatan (Palembang/Kukang)
Masuknya agama Islam berasal dari :~ Barat : Pedagang/mubaligh dari Aceh dan
Minangkabau~ Utara : Pedagang/mubaligh dari Aceh, Malaka dan Cina~ Selatan :
Pedagang/mubaligh dari Cirebon dan BantenPerkembangan terhadap hukum adat :Pada masa
³Ratu Senuhun Seding´, hukum adat dibukukan dalam bahasa Arab Melayu ± UUSimbur
Cahaya. Di dalamnya memuat istilah-istilah yang berasal dari hukum Islam, seperti :Khatib
Bilal.Berdasarkan Tambo Minang : Datuk Perpatih Nan Sabatang dari Minangkabau
pernahmengusahakan tambang emas di daerha Rejang Lebong (Bengkulu).Masuknya para
mubaligh yang berasal dari Minangkabau membawa pula pengaruh terhadaphukum adat
dengan gari matrilineal ± daerah Semendo. (jadi menempatkan kedudukan wanitasebagai
penguasa harta kekayaan dari kerabatnya).Di daerah Semendo dengan dianutnya garis
keturunan matrilineal, telah membawa pengaruhterhadap sistem kewarisan yang dipakai,
yaitu :Sitem kewaisan mayorat (Mayorat Erprecht), dimana anak wanita tertua sebagai tunggu
tubang´atas harta kerabat yang tidak terbagi. Sedangkan anak lelaki tertua disebut payung
jurai´ yang bertugas harta pengurusan harta tersebut.Di samping itu juga berlaku adat kawin
Semendo´, dimana suami setelah kawin menetap dipihak istri.
d. Lampung
Masuknya Islam disini pada masa Ratu Pugung´ dimana puterinya yang bernama Sinar Alam
´melangsungkan perkawinan dengan Syarif Hidayat Fatahillah/sunan Gunung Jati´,
setelahatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Islam. Susunan kekerabatan yang dianut adalah
garisketurunan laki-laki (patrilineal). Di mana laki-laki tertua (disebut pun´ ± yang dihargai) ±
Kewarisan Mayorat. Ia berhak dan berkewajiban melanjutkan orang tua.
e. Jawa
Jawa Timur : pelabuhan Gresik dan TubanPenduduknya : Kota pantai ± orang pendatang (Arab,
Cina, Pakistan) dengan agama Islam.adanya makam Maulana Malik Ibrahim. Penduduk asli :
agama Hindu.~ Jawa TengahBerdIrinya kerajaan Demak ± Raden Patah.Dimana Masjid ±
menjadi pusat perjuangan dan pemerintahan pembantu raden Fatah yangterkenal ± Raden
Sa¶id/Sunan Kali Jogo.Pada masa Pangeran Trenggana´ dengan bantuan Fatahillah berhasil
menduduki Cirebon danBanten.~ Jawa Barat ± kerajaan Pajajaran didirikan Ratu purana
´Pelabuhan laut :-Banten- Kalapa (Sunda Kelapa)Tahun 1552 Fatahillah memimpin Armada
Demak dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa ± Jayakarta.
f. Bali
Pengaruh Islam sangat kecil, masyarakat masih tetap mempertahankan adat istiadat dari
agamaHindu. Menurut I Gusti Ketut Sutha, SH bahwa hubungan antara adat/hukum adat
dengan agama(khususnya agama Hindu) di Bali merupakan pengecualian. Hal ini diperkuat
oleh penegasanPemda Bali yang menyatakan :Bahwa pengertian adat di Bali dengan desa dan
krama adatnya adalah berbeda dengan pengertianadat secara umum.Artinya : pelaksanaan
agama dengan segala aspeknya terwujud dalam Panca Yodnya yangmerupakan wadah konkrit
dan tatwa (Filsafah) dan susila (etika) agama, karena seluruhkehidupan masyarakat Bali terjali
erat berdasarkan atas keagamaan.Contoh : dalam hal pembagian warisan erat hubungannya
dengan pengabenan atau upacara pembakaran mayat yang hakekatnya adalah pengaruh
agama Hindu, juga ada bagian tertentu dariumlah warisan yang diperuntukkan untuk tujuan
keagamaan.
g. Kalimantan
Agama Islam hanya berhasil mempengaruhi masyarakat di daerah pantai.~ Masyarakat daerah
pedalaman masih berdasarkan kepercayaan dari zaman Malaio Polynesia ± kepercayaan
kaharingan.
h. Sulawesi
Dimulai berdirinya kerajaan Goa´ oleh Datuk Ri Bandang. Pengaruh Islam hanya sebagai
pengisi rohani, tidak merubah/mendesak adat masyarakat.
C. ZAMAN KOMPENI
a. Hukum Adat dibiarkan seperti sediakala.
b. Hukum yg dipakai dlm pelaksanaan peradilan kejahatan dipakai acuannya adalah Hukum
Adat setempat, apabila di pandang baik.
c. Di Banten berlaku “Peradilan Penghulu” untuk menyelesaikan perkara kekeluargaan
berdasarkan Hukum Islam.
d. Berlakunya Hukum Adat bagi gol. Pribumi & Timur Asing adalah Pasal 11 AB.
e. Hukum Adat pernah hendak di unifikasi karena ada Asas Konkor
D. ZAMAN KOLONIAL
Pada masa VOC sebenarnya telah dimulai kajian hukum adat, tetapi istilah “hukum adat”
(adatrecht) baru pertama kali digunakan pada tahun 1900 oleh Hurgronje, yang digunakan
untuk menunjuk bentuk-bentuk adat yang mempunyai konsekuwensi hukum.Perkembangan
studi hukum adat selama periode pebjajahan Belanda, dapat dibagi ke dalam tiga periode,
Pertama, periode tahun 1602 hingga tahun 1800. Secara relatif kajiankajian tentang hukum
adat yang dilakukan pada masa VOC (1602-1800) masih sedikit, kecuali beberapa karya dari
beberapa orang seperti Marooned (1754-1836), seorang pegawai Kolonial yang banyak
mengumpulkan bahan-bahan tentang adat di Sumatera, Raffles (1781-1826) Gubernur Jawa
Tengah selama masa kekuasaan Inggris sejak tahun 1811 hingga 1816, Crawford (1783-1868)
yaitu anak buah Raffles, dan Muntinghe (1773-1827) seorang Belanda yang menjadi pegawai
di Jawa.Kedua, periode tahun 1800 hingga tahun 1865. Pada masa ini disebut oleh van
Vollenhoven sebagai masa “eksplorasi Barat” (Wertern reconnoitering). Pada masa ini tidak
dihasilkan banyak karya hukum adat.Ketiga, periode pasca tahun 1865 hingga masa
kemerdekaan. Pada masa ini, berbagai macam keadaan mendorong Belanda ujtuk semakin
peduli terhadap hukum adat. Masalah-masalah hukum agraria, mendorong pemerintah untuk
menginvestigasi hukum ini. Tiga figur utama penemu hukum adat pada waktu itu adalah G.A
Wilken, Liefrinck, dan Cristian Snouck Hurgronje. Ketiga orang inilah yang membangun fondasi
tentang hukum adat di Indonesia.
E. SETELAH KEMERDEKAAN
a. Hukum Adat adalah Hukum Indonesia Asli yang tidak tertulis yang disana-sini mengandung
unsur agama.
b. Kodifikasi & Unifikasi hukum dengan menggunakan bahan-bahan dari Hukum Adat dibatasi
pada bidang-bidang dan hal-hal yang sudah mungkin dilaksanakan
Nama : ILHAM RAMADHAN
NPM : 1910012111070
Kelas : IH 4B
Ruang : 2533
Hari/Tgl : Rabu, 10 Maret 2021
Jam : 07.30-10.00
Dosen : Adri S.H., M.H.
PERTEMUAN 2
CORAK DAN SISTEM HUKUM ADAT
1.CORAK HUKUM ADAT
A. Tradisional.
Pada umumnya hukum adat bercorak tradisiona, artinya bersifat turun temurun, dari zaman
nenek moyang hingga ke anak cucu sekarang ini yang keadaannya masih tetap berlaku dan
dipertahankan oleh masyarakat adat yang bersangkutan.Misalnya dalam hukum adat
kekerabatan adat batak yang menarik garis keturunannya dari laki-laki sejak dahulu hingga
sekarang masih tetap berlaku dan dipertahankan. Demikian pula sebaliknya pada hukum
kekerabatan masyarakat minangkabau yang menarik garis keturunan dari perempuan dan
masih dipertahankan hingga dewasa ini.
B. Keagamaan.
Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan ( magis-relegius ) artinya perilaku hukum
atau kaedah-kaedah hukum berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang gaib dan
berdasarkan pada ajaran ketuhanan yang maha Esa. Menurut kepercayaan bangsa indonesia
bahwa di alam semesta ini benda-benda itu berjiwa ( animisme ), benda-benda itu bergerak
( dinamisme ). Disekitar kehidupan manusia itu ada roh-roh halus yang mengawasi kehidupan
manusia ( jin, malaikat, iblis dan lain sebagainya ) dan alam sejagat ini ada karena ada yang
mengadakan yaitu yang maha mencipta.
C. Kebersamaan ( Bercorak Komunal ).
Corak kebersamaan dalam hukum adat dimaksudkan bahwa didalam hukum adat lebih
diutamakan kepentingan bersama. Dimana kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama.
Satu untuk semua dan semua untuk satu, hubungan hukum antara anggota masyarakat adat
didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong-menolong dan gotong-
royong.Kenyataan yang demikian ini masih trlihat dari adanya rumah gadang di minangkabau,
sebagai tanah pusaka yang tidak dapat dibagi-bagi secara individual melainkan menjadi milik
bersama.Di pedesaan jawa jika ada tetangga menderita kesusahan atau kematian, maka para
tetangga berdatangan menyampaikan rasa bela sungkawa. Orang jawa mengatakan “dudu
sanak dudu kadang neng yen mati melu kelangan” ( sanak bukan saudara bukan, jika ada yang
mati turut merasa kehilangan ).
D. Konkrit Dan Visual.
Corak hukum adat konkrit, artinya hukum adat itu jelas, nyata dan berwujud. Sedangkan
bercorak visual dimaksudkan hukum adat itu dapat dilihat, terbuka dan tidak terselubung.
Sehingga sifat hubungan hukum yang berlaku didalam hukum adat itu terang dan tunai, tidak
sanar-samar,dapat disaksikan, diketahui dan didengar oleh orang lain serta nampak serah
terimanya, misalnya dalam jual beli waktunya jatuh bersamaan antara pembayaran harga
dengan penyerahan barangnya. Jika barang diterima pembeli tapi harga belum dibayar maka
itu bukan jual beli tetapi utang piutang.
E. Terbuka Dan Sederhana
Corak hukum adat itu terbuka artinya hukum adat itu dapat menerima unsur-unsur yang
datangnya dari luar asal tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Sedangkan
corak hukum adat itu sederhana artinya hukum adat itu bersahaja, tidak rumit dan tidak
abanyak administrasinya, mudah dimengerti, dilaksanakan berdasarkan saling mempercayai
bahkan kebanyakan tidak tertulis, kecuali yang telah dilegislasi oleh undang-undang.
F. Dapat Berubah Dan Menyesuaikan.
Kalau ditilik dari batasan hukum adat, maka dapatlah dimengerti bahwa hukum adat itu
merupakan hukum yang hidup dan berlaku dimasyarakat indonesia sejak dulu hingga sekarang
yang dalam pertumbuhannya atau perkembangannya secara terus menerus mengalami proses
perubahan. Oleh karena itu dalam perkembangannya terdapat isi atau materi yang tidak
berlaku lagi.
G. Tidak Dikodifikasi
Kebanyakan hukum adat bercorak tidak di kodifikasi atau tidak tertulis. Oleh karena itu hukum
adat mudah berubah dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat seperti
yang di uraikan di atas. Walaupun demikian adanya, juga dikenal hukum adat yang di catat
dalam aksara daerah yang bentuknya tertulis seperti di tapanuli “ruhut parsaoron” di bali dan
lombok “awig awig”, di jawa “pranata desa”, di surakarta dan yogyakarta “angger angger” dan
lain-lain.
H. Selain itu masih ada peraturan-peraturan hukum adat pada abad XV sampai XVIII yang
tertulis dalam buku (manuskrip) orang orang di sulawesi selatan yang di sebut “lontara” yang
masih berlaku hingga sekarang. jadi berbeda dengan hukum barat yang corak hukumnya di
kodifikasi atau di susun secara teratur dalam kitab yang di sebut kitab perundang undangan.
I. Musyawarah Dan Mufakat.
Hukum adat pada hakikatnya mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, baik di dalam
keluarga, kekerabatan dan ketetanggaan dalam memulai suatu pekerjaan sampai dalam
mengakhirinya, apalagi yang bersifat peradilan dalam menyelesaikan perselisihan antara yang
satu dengan yang lainnya, diutamakan jalan penyelesaiannya ecara rukun dan damai dengan
musyawarah dan mufakat, dengan saling memaafkan tidak begitu saja terburu buru pertikaian
itu langsung di bawa ke meja hijau. Corak musyawarah dan mufakat ini dalam penyelesaian
perselisihan biasanya di dahului oleh adanya semangat itikad baik, adil dan bijaksana dari
orang yang dipercaya sebagai penengah dalam perkara itu, peribahasa lampung dalam
bermufakat terungkap dalam kata “mak patoh lamen lemoh mak pegat dalam kendur” tak kan
patuh jika lemah, tak kan putus jika kendur.
2.SISTEM HUKUM ADAT
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di
Indonesia dan negara-negara Asia lainnya se- perti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya
adalah peraturan-peraturan hukum tidak ter- tulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakat- nya. Peraturan-peraturan ini tidak
tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis. Pe- negak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani
dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup
sejahtera.
Hukum adat ini didasarkan pada nilai- nilai yang hidup dalam setiap masyarakat hukum adat,
apabila didasarkan pada perwi- layahan lingkungan masyarakat adat, sebagai- mana
dikemukakan oleh Cornelis van Vollen- hoven maka akan memiliki nilai-nilai hukum adat pada
setiap masyarakat adat di 23 (dua puluh tiga) lingkungan wilayah adat, sedangkan menurut
Gezt maka akan memiliki nilai-nilai hukum adat pada setiap masyarakat adat di 350 lingkungan
wilayah adat beserta budayanya.Hukum adat di Indonesia terdiri dari berbagai macam hukum
adat, menurut Puchta (1798-1846) murid von Savigny hukum adat yang semacam ini tidak
dapat dijadikan hukum secara nasional hanya sebagai keyakinan bagi masyarakatnya masing-
masing, nilai-nilainya juga tidak dapat dimasukkan di dalam sistem hukum nasional, keculai
hukum adat yang di miliki, diyakini dan diamalkan secara terus menerus. oleh bangsa atau
masyarakat nasional dapat dijadikan hukum secara nasional setelah melalui proses
pengesahan di lembaga legis- latif dan atau eksekutif, dan nilai-nilainya da- pat dimasukkan ke
dalam sistem hukum nasional.
Nama : ILHAM RAMADHAN
NPM : 1910012111070
Kelas : IH 4B
Ruang : 2533
Hari/Tgl : Rabu, 17 Maret 2021
Jam : 07.30-10.00
Dosen : Adri S.H., M.H.
PERTEMUAN 3

TATA SUSUNAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

1. PERSEKUTUAN HUKUM

Persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) adalah perikatan atau perkumpulan antar manusia yang
mempunyai anggota-anggota yang merasa dirinya terikat satu-sama lainnya dalam satu kesatuan yang
penuh solidaritas, dimana dalam anggota-anggota tertentu berkuasa untuk bertindak atas nama
mewakili kesatuan itu dalam mencapai kepetingan atau tujuan bersama.

Persekutuan adat menurut beberapa Ahli :

A. Soeroyo W.P mengartikan persekutuan hukum sebagai kesatuan-kesatuan yangmempunyai tata


susunan yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri baik
kekayaan materiil maupun imateriil.
B. Djaren Saragih mengatakan, Persekutuan hukum adalah: Sekelompok orang-orang sebagai satu
kesatuan dalam susunan yang teratur yang bersifat abadi dan memiliki pimpinan serta kekayaan
baik berwujud maupun tidak berwujud dan mendiami alam hidup diatas wilayah tertentu.
C. Van Vollenhoven mengartikan persekutuan hukum sebagai suatu masyarakat hukum yang
menunjukkan pengertian-pengertian kesatuan-kesatuan manusia yang mempunyai:

• Tata susunan yang teratur,

• Daerah yang tetap,

• Penguasa-penguasa atau pengurus,

• Harta kekayaan.

Beberapa contoh persekutuan hukum adalah Famili di Minangkabau

• Tata susunan yang tetap yang disebut rumah Jurai

• Pengurus sendiri yaitu yang diketuai oleh Penghulu Andiko, sedangkan Jurai dikepalai oleh seorang
Tungganai atau Mamak kepala waris.

• Harta pusaka sendiri

2. STRUKTUR PERSEKUTUAN HUKUM

Van Vollenhoven dalam bukunya "Adatrecht-I" menguraikan tentang Tata Persekutuan Hukum dari
masing-masing wilayah hukum menurut bentuk susunan masyarakat yang hidup di daerah-daerah,
yaitu:

• semua persekutuan tata hukum dipimpin oleh kepala rakyat/desa;

• sifat dan tata susunan itu erat hubungannya dengan sifat, serta susunan tiap-tiap jenis badan
persekutuan yang bersangkutan.

3. LINGKUNGAN HUKUM ADAT


Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat
(rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya
sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang
disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.

1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu).

2. Tanah Gayo, Alas dan Batak.

• Tanah Gayo (Gayo lueus)


• Tanah Alas
• Batak (Tapanuli)
• Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige,
Laguboti, Lumbun Julu)
• Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
• Nias (Nias Selatan)

3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)

4. Mentawai (Orang Pagai)

5. Sumatera Selatan

• Bengkulu (Renjang)
• Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
• Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
• Jambi (Batin dan Penghulu)
• Enggano

6. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)

7. Bangka dan Belitung

8. Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak

Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat
Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)

9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)

10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan,
To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)

11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)

12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)

13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)

14. Irian (Papua)

15. Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur,
Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima.

16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok,
Sumbawa).

17. Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur,
Surabaya, Madura).

18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta).


19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten.

4. KEPENGURUSAN MASYARAKAT ADAT

1. Kepengurusan Masyarakat Adat Territorial

Susunan kepengurusan atau pemerintahan adat yang bersifat territorial menunjukkan adanya jalinan
hubungan kewargaan adat yang bersifat kekeluargaan dalam ketetanggaan terdapat pada beberapa
daerah berikut diantaranya.

a. Daerah di Pulau Jawa

Di Jawa dan Madura, suatu desa merupakan tempat kediaman yang meliputi beberapa pedukuhan.
Dukuh yang utama yakni tempet kedudukan kepala desa disebut krajan. Sedangkan dukuh-dukuh
lainnya terletak tidak begitu jauh dari pusat desa. Kepala desa dijabat turun temurun yang disebut
lurah, kuwu, bekel, petinggi dengan staf pembantunya disebut carik atau juru tulis, kami Tuwa (kepala
pedukuhan), Bahu, Kebayan, Modin (urusan agama), Jogoboyo (keamanan).

Para warga desa di Jawa dapat dibedakan antara mereka yang disebut Kuli Kenceng (pribumi, sikep,
baku, gogol) ialah keluarga-keluarga terhomat pendiri asal desa yang mempunyai rumah dan tanah
pekarangan, sawah, dan peladangan yang luas. Mereka merupakan sesepuh desa dan menjadi
pemegang kendali pemerintahan desa.

b. Daerah Aceh

Tempat kediaman disebut mukim, atau daerah yang dahulu dipimpin oleh uleebalang. mukim ini
merupakan satu kesatuan dari beberapa gampong (kampung) dan juga mennasah (lembaga agama).
Setiap gampong dipimpin oleh seorang keucik dan imeum sebagai imam atau teuku meunasah.
Kepengurusan dari suatu gampong dilaksanakan oleh keucik dan teuku meunasah yang didampingi
oleh ureng tuha (majelis tua kampung). Untuk mengatur kehidupan warga diterapkan hukum adat dan
hukum islam.

c. Daerah Sumatera Selatan

Masyarakat terdiri dari orang-rang palembang, Ogan, Pasemah, Semendo dan Komering yang
menyebut “Marga” sebagai desa yang terdiri dari beberapa dusun. Kepala Marga disebut Pasirah,
dengan gelar Pangeran atau Depati, sedangkan para kepala dusun disebut Krio, mangku atau prowarin.
Para staf pembantunya disebut punggawa. Dalam susunan yang sama, hal ini juga berlaku di Bangka
dan Belitung.

d. Daerah-daerah Melayu

Masyarakat adat melayu tersebat diberbagai tempat, mulai dari medan, riau (pantai timur sumatera
sampai pantai timur kamimantan). Termasuk pula masyarakat adat yang Goorontalo dipimpin oleh
“Marsaoleh” yang kepal adusunnya disebut “Kimelaha”, pelaksanaan pengurusan adat dibantu oleh
“probis” dan tua-tua kerabat yang disebut “tenggol”.

2. Kepengurusan Masyarakat Adat Hukum Genealogis

Merupakan suatu kesatuan masyarakat yang teratur, terikat, suatu garis keturunan yang sama dari satu
leluhur, langsung hubungan darah, atau tidak langsung yang berupa perkawinan atau tali adat.
Masyarakat hukum genealogis diantaranya adalah: antara kewargaan adat yang tidak hanya bersifat
kekeluargaan dalam hubungan ketetanggaan tetapi juga bersifat hubungan keturunan dan
kekerabatan.

a. Masyarakat hukum territorial asli atau tradisional


Kepengurusan masyarakat tipe ini cenderung menekankan hubungan ketetanggan yang bersifat
keturunan dan kekerabatan. Di daerah Alas masyarakat adatnya terdiri dari beberapa suku (keturunan)
yang menjadi masyarakat territorial dengan rumah-rumah kediaman penduduk dalam perkampungan
yang masing-masing dipimpin oleh Penghulu Suku sebagai Kepala Kampung. Masyarakat hukum
terriitorial asli atau tradisional menggunakan metode kepengurusan yang masih sederhana dan
biasanya dipimpin oleh seorang kepala desa.

b. Daerah Batak

Kepengurusan dalam pemerintahan adat batak dapat dibedakan menjadi 3 bidang yaitu bidang urusan
adat, bidang urusan pemerintahan, dan bidang urusan keagamaan.di daerah batak sebelah utara,
bagaian urusan pemerintahan umum biasanya dipegang oleh wakil keturunan yang menguasai tanah,
marga tanah. Para wakil marga tanah ini yang secara turun temurun menjadi kepala Huta (kuta) yang
disebut “Raja ni Huta” atau “Raja Urung” di Karo, atau “Sibayak” untuk bagian-bagian kerajaan.

c. Daerah Minangkabau

Kepengurusan terhadap anak kemenakan dalam keluarga (paruik) dipimpin oleh “mamak kepala waris”
yang terutama berkedudukan sebagai “tungganai” dari suatu rumah gadang dalam satu kesatuan
payung atau suku dibawah pimpinan seorang yang berkedudukan sebagai penghulu. Dilihat dari sistem
kepengurusan dalam pemerintahan adatnya dapat dibedakan dari dua kelarasan yaitu laras
Bodicaniago dan laras Kotopiliang.

d. Daerah Lampung

Dilingkungan masyarakat adat pesisir kewargaan adatnya dibedakan menurut susunan “kesebatinan”
yaitu “kesebatinan marga”, “kesebatinan pekon”, dan “kesebatinan suku” yang tetap tidak berubah.
Sistem pemerintahan marga yang bersifat territorial di lampung berlaku sejak 1952, pemerintah umum
dilaksanakan oleh seorang Camat yang membawahi kepala-kepala kampung, sedangkan pemerintahan
adat kekerabatan kembali semata-mata menjadi urusan para penyeimbang adat menurut marga
adatnya masing-masing.
3. Kepengurusan Masyarakat Adat-Keagamaan.

a. Lingkungan Masyarakat Kepercayaan Lama.

Masyarakat adat di Indonesia walaupun sudah banyak menjadi penganut agama islam. Kristen/katolik
dan Hindu/Buddha. Masih banyak juga yang menganut kepercayaan lama yang beranekaragam. Ada
yang dianut bercampur dengan agama tanpa kesatuan anggota dan ada pula yang merupakan
kesatuan-kesatuan warga sendiri, dengan memiliki kepengurusan sendiri, memelihara dan memuja
tempat atau benda keramatnya, sehingga mempunyai tata tertib hukum keagamaan sendiri, yang
berbeda antara yang satu dengan yang lain.

b. Didaerah Minahasa walaupun masyarakat adatnya pada umumnya sudah menganut agama kristen,
masih juga terdapat masyarakatnya yang percaya pada “opo” atau “datu” yaitu ruh nenek moyang ,
dan ruh-ruh lain atau hantu-hantu yang disebut mereka “panunggu” , ”Lulu”, “Puntianak”, “pok-pok”
dan sebagainya. Ruh-ruh nenek moyang disebut “Mukur” dan berada disekitar kediaman manusia.
Menurut pemikikiran orang Minahasa “jiwa” itu mempunyai tiga unsur, yaitu “gegenang” (ingatan),
“pemendam” (perasaan) dan “keketer” (tenaga). Orang mati yang ketika hidupnya baik akan menjadi
ruh yang baik, tetapi orang mati yang waktu hidupnya jahat atau mati karena bunuh diri atau karena
kecelakaan akan menjadi ruh yang jahat. Upacara pemujaan terhadap ruh , agar lepas dari bencana
atau tidak terkena penyakit, dilakukan oleh seorang dukun yang disebut “Tonaas” atau “Walian”, yang
mempunyai ilmu “Makatan” yang dapat menyembuhkan dari berbagai macam penyakit. “mamak
kepala waris” yang terutama berkedudukan sebagai “tungganai” dari suatu rumah gadang dalam satu
kesatuan payung atau suku dibawah pimpinan seorang yang berkedudukan sebagai penghulu. Dilihat
dari sistem kepengurusan dalam pemerintahan adatnya dapat dibedakan dari dua kelarasan yaitu laras
Bodicaniago dan laras Kotopiliang.

c. Daerah Lampung

Dilingkungan masyarakat adat pesisir kewargaan adatnya dibedakan menurut susunan “kesebatinan”
yaitu “kesebatinan marga”, “kesebatinan pekon”, dan “kesebatinan suku” yang tetap tidak berubah.
Sistem pemerintahan marga yang bersifat territorial di lampung berlaku sejak 1952, pemerintah umum
dilaksanakan oleh seorang Camat yang membawahi kepala-kepala kampung, sedangkan pemerintahan
adat kekerabatan kembali semata-mata menjadi urusan para penyeimbang adat menurut marga
adatnya masing-masing.
Nama : ILHAM RAMADHAN
NPM : 1910012111070
Kelas : IH 4B
Ruang : 2533
Hari/Tgl : Rabu, 24 Maret 2021
Jam : 07.30-10.00
Dosen : Adri S.H., M.H.
PERTEMUAN 4
HUKUM PERORANGAN DAN KELUARGA
1. MANUSIA DAN BADAN HUKUM SEBAGAI SEBAGAI SUBJEK HUKUM

A. Manusia (Natuurlijk Persoon)


Manusia menurut pengertian hukum terdiri dari tiga pengertian :
 Mens, yaitu manusia dalam pengertian biologis yang mempunyai
anggota tubuh,kepala, tangan, kaki dan sebagainya.
 Persoon, yaitu manusia dalam pengertian yuridis,baik sebagi individu/pribadi
maupun sebagai makhluk yang melakukan hubungan Hukum dalam masyarakat.
 Rehts Subject (Subjek Hukum).yaitu manusia dalam hubungan dengan
hubungan hukum (rechts relatie), maka manusia sebagai pendukung hak dan
kewajiban.

Pada azasnya manusia (naturlijk persoon) merupakan subjek hukum (pendukung hak dan
kewajiban) sejak lahirnya sampai meninggal. Dapat dihitung surut, apabila
memang untuk kepentingannya, dimulai ketika orang tersebut masih berada di dalam
kandungan ibunya. (Teori Fiksi Hukum). Bahkan pasal 2 KUH.Perdata mengatakan :
“ Anak ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan (menjadi subjek
hukum) bila mana kepentingan sianak menghendakinya misal mengenai pewarisan dan jika
sianak mati sewaktu dilahirkan dianggap sebagai tidak pernah ada.”

B. Badan Hukum (Recht Person)


Badan Hukum adalah subjek hukum yang bukan manuia yang mempunyai wewenang dan
cakap bertindak dalam hukum melalui wakil-wakil atau pengurusnya. Sebagai subjek hukum
yang bukan manusia tentu Badan Hukum mempunyai perbedaaan dengan Subjek hukum
manusia terutama dalam lapangan Hukum Kekeluargaan seperti
kawin,beranak,mempunyai kekuasaan sebagai suami atau orangtua dan sebagainya.

2.KETURUNAN
Di negara Indonesia dikenal 3 (tiga) macam sisitem keturunan, yaitu:
A. Masyarakat Keibuan
Masyarakat keibuan (matrilineal) adalah suatu sistem kemasyarakatan dimana seoraang
menarik garis keturunan melalui ibu, terus keatas ke ibu dari ibu dan seterusnya hingga
berakhir pada suatu kepercayaan bahwa ada ibu asal. Dalam segenap sistem ini, ibulah yang
berkuasa atas harta benda dan atas pendidikan dan keserasian dalam masalah
keluarga.
B. Masyarakat Kebapakan
Masyarakat dengan garis keturunan bapak (patrilineal) adalah sistem kekeluargaan
dengan para anggota masyarakat hukum yang menarik garis keturunan secara konsekuen
melalui garis laki-laki atau bapak. Masyarakat kebapakan adalah suatu masyarakat yang
terbagi dalam klan-klan kebapakan, yang anggotanya menaarik garis keturunan secara
konsekuen dan berdasar pandangan yang bersifat religio magis melalui garis ayah atau laki-
laki.
Sistem perkawinan yang cocok untuk mempertahankan garis bapak adalah kawin jujur atau
sering disebut dengan eksogami jujur. Ini merupakan suatu keharusan laki-laki dan
perempuan yang bertalian klan itu, dengan pemberian barang yang bersifat magis
religius, perempuan dilepaskan dari ikatan klannya dan dimasukkan kedalam anggota klan
suaminya dan selanjutnya berhak, bertugas dan berkewajiban dilingkungan suami.

C. Masyarakat Bilateral atau Parental


Masyarakat keibu bapakan yaitu suatu sistem kemasyarakatan yang menarik garis keturunan
melalui ibu dan bapak serta keluarga dari ibu dan keluarga dari bapak, sama nilai dan sama
derajatnya. Dalam hukum adat dikenal dua sistem masyarakat parental atau bilateral, yaitu:
• Masyarakat bilateral di Jawa
Masyarakat Jawa yang menganut garis keturunan ibu dan bapak adalah berdasarkan
keluarga / gezin, yaitu suatu unit terkecil yang dalam keseluruhannya merupakan sebuah
desa. Sistem perkawinannya disebut dengan “kawin bebas” artinya orang boleh kawin
dengan siapa saja, sepanjang hal itu sesuai dengan aturan kesusilaan setempat dan agama.
Apa yang disebut kawin bebas ini adalah suatu kebebasan yang relatif, karena perkawinan
tidak bisa dilangsungkan karena hubungan kekerabatan atau karena hubungan darah.

• Masyarakat bilateral di Kalimantan


Masyarakat keibu bapakan di Kalimantan (Borneo) ialah masyarakat Dayak yang banyak
macam sukunya dan diperkirakan hidup disana sejak kurang lebih 2.500 atau
6.000 tahun yang lalu. Sebagian dari mereka hidup primitif dan nomadis. Kebanyakan mereka
saat ini menetap di saluran jalan-jalan lalulintas sungai dan hidup
berkelompok dalam rumah-rumah yang terdiri dari sejumlah keluarga 12 (dua belas) sampai
20 (duapuluh) keluarga.

3. HUBUNGAN ANAK DENGAN ORANG TUA

Istilah orang tua secara sempit dapat diartikan sebagai orang tua suami istri, yaitu ibu dan
ayah dari anak-anak. Sedangkan istilah orang tua dalam arti yang luas yaitu mencakup
saudara-saudara sekandung ayah menurut garis laki-laki atau saudara-saudara sekandung ibu
menurut garis wanita, yang ikut bertanggung jawab terhadap anak kemenakan.
Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya adalah seimbang menurut kedudukan
dan tanggung jawabnya masing-masing dalam keluarga / rumah tangga. Orang tua sebagai
suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi

sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30 Undang-undang No. 1 tahun 1974).
Dalam hukum adat tidak dikenal apa yang dimaksud dengan lembaga pencabutan kekuasaan
orang tua terhadap anak-anaknya sebagaimana ketentua pasal 49 undang-undang no. 1
tahun 1974, karena hukum adat yang berlaku pada masing-masing kekerabatan sudah ada
ketentuan yang bersifat tradisional.

4. HUBUNGAN ANAK DENGAN KELOMPOK KEKERABATAN


Pada umunya hubungan anak dengan keluarga ini (kelompok kekerabatan) sangat
tergantung dari keadaan social dalam masyarakat yang bersangkutan. Seperti yang telah
diketahui di awal bahwa di Indonesia ini terdapat persekutuan yang susunan berlandaskan
tiga macam garis keturunan yaitu keturunan ibu, keturunan bapak, dan keturunan ibu bapak.
Maksudnya dalam garis keturunan bapak dan ibu (bilateral), hubungan anak dengan pihak
bapak dan ibu sama eratnya, derajatnya ataupun pentinganya. Lain halnya dalam garis
keturunan unilateral (patrilineal atapun matrilineal) adalah tidak sama eratnya, derajatnya
ataupun pentinganya.

5. PEMELIHARAAN ANAK YATIM/PIATU


Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya bapak atau ibunya sudah tidak
ada lagi, maka anak-anak yang belum dewasa dipelihara oleh salah satu orang tuanya yang
masih hidup. Jika kedua orang tuanya tidak ada, maka yang memelihara anak-anak yang
ditinggalkan adalah salah satu dari kelurga yang terdekat dan yang paling memungkinkan
untuk keperluan itu. Dalam keadaan demikian biasanya tergantung pada anak diasuh dimana
pada waktu ibu dan bapaknya masih ada, kalau biasanya diasuh dikeluarga ibu, maka anak
akan diasuh oleh keluarga ibu dan sebaliknya. Dalam keluarga matrilineal, jika bapaknya
meninggal dunia, maka ibunya meneruskan kekuasannya terhadap anak-anak yang belum
dewasa. Jika ibunya yang meninggal dunia, maka anak-anak yang belum dewasa berada pada
kerabat ibunya serta dipelihara terus oleh kerabat ibunya yang bersangkutan, sedangkan
hubungan antara anak dengan bapaknya dapat terus dipelihara.
Dalam keluarga yang patrilineal jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya terus
memelihara anak-anak yang belum dewasa, jika ibunya meninggalkan rumah dan pulang
kerumah lingkungan keluarganya atau kawin lagi, maka anak-anak tetap pada kekuasaan
keluarga almarhum suaminya.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas, makin hari atau lambat laun mengalami perubahan
dan penyimpangan-penyimpangan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan
cara berfikir masyarakat yang modern.

6. PENGANGKATAN ANAK
Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam
keluarga sendiri sehingga timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada
antara orang tua dengan anak kandung sendiri. Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka
dapat dibedakan beberapa macam, sebagai berikut:
a. Mengangkat Anak bukan Warga Keluarga
Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang
kepada keluarga anak semula. Alasan adopsi pada umumnya takut tidak ada
keturunan. Kedudukan hukum anak adopsi ini adalah sama dengan anak kandung suami istri
yang mengangkatnya, sedangkan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat menjadi
putus.
Adopsi harus terang artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan
kepala adat. Hal demikian terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.
b. Mengangkat Anak dari Kalangan Keluarga
Alasan mengadopsi anak ini sama dengan yang di atas, yaitu karena takut tidak mempunyai
keturunan.
Di Bali perbuatan ini disebut nyentanayang, adapun dalam keluarga dengan selir-selir, maka
apabila isterinya tidak mepunyai anak, biasanya anak-anak dari selir-selir itu
diangkat untuk dijadikan anak istrinya.
c. Mengangkat Anak dari Kalangan Keponakan-Keponakan
Perbuatan ini terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lain. Sebab pengankatan
keponakan sebagai anak karena;
a. Tidak punya anak sendiri
b. Belum dikaruniai anak
c. Terdorong oleh rasa kasihan
Sesungguhnya perbuatan ini merupakan pergeseran kekeluargaan dalam lingkungan
keluarga. Lazimnya ini tidak disertai dengan pembayaran atau penyerahan barang. Tetapi di
Jawa Timur sekedar sebagai tanda bahwa hubungan anak dengan orang tuanya terputus
(pedot), orang tua kadung anak tersebut diberi uang sejunlah rongwang segobang (=17 ½ sen
) sebagai syarat. Sedangkan di Minahasa diberi tanda yang disebut parade sebagai
pengakuan. Selain itu dikenal juga dengan istilah pemungutan anak yang maksud serta
tujuannya buakn semata karena untuk memperoleh keturunan melainkan lebih untuk
memberikan kedudukan hukum kepada anak yang dipungut agar lebih baik dan
menguntungkan dari semula. Misalnya mengangkat anak laki-laki dari selir (Lampung, Bali)
dan mengangkat anak tiri menjadi anak sendiri.
Perlu ditegaskan, bahwa anak yang diangkat itu pada umumnya mereka yang belum kawin
dan kebanyakan anak yang belum dewasa. Sedangkan yang mengangkat
biasanya orang yang sudah menikah serta yang berumur jauh lebih tua dari pada anak
angkatnya, sehingga anak tersebut memang pantas diangkat menjadi anaknya. Mungkinkah
adopsi dicabut atau digugurkan? Adopsi pada asasnya dapat digugurkan atau dicabut dalam
hal-hal yang dapat juga menjadi alasan untuk membuang anak kandung sendiri dari
lingkungan keluarga.
konsekuen dan berdasar pandangan yang bersifat religio magis melalui garis ayah atau
laki-laki. Sistem perkawinan yang cocok untuk mempertahankan garis bapak adalah kawin
jujur atau sering disebut dengan eksogami jujur. Ini merupakan suatu keharusan laki-laki
dan perempuan yang bertalian klan itu, dengan pemberian barang yang bersifat magis
religius, perempuan dilepaskan dari ikatan klannya dan dimasukkan kedalam anggota klan
suaminya dan selanjutnya berhak, bertugas dan berkewajiban dilingkungan suami.

C. Masyarakat Bilateral atau Parental


Masyarakat keibu bapakan yaitu suatu sistem kemasyarakatan yang menarik garis
keturunan melalui ibu dan bapak serta keluarga dari ibu dan keluarga dari bapak, sama nilai
dan sama derajatnya. Dalam hukum adat dikenal dua sistem masyarakat parental atau
bilateral, yaitu:
 Masyarakat bilateral di Jawa
Masyarakat Jawa yang menganut garis keturunan ibu dan bapak adalah berdasarkan
keluarga / gezin, yaitu suatu unit terkecil yang dalam keseluruhannya merupakan sebuah desa.
Sistem perkawinannya disebut dengan “kawin bebas” artinya orang boleh kawin dengan siapa
saja, sepanjang hal itu sesuai dengan aturan kesusilaan setempat dan agama. Apa yang
disebut kawin bebas ini adalah suatu kebebasan yang relatif, karena perkawinan tidak bisa
dilangsungkan karena hubungan kekerabatan atau karena hubungan darah.

 Masyarakat bilateral di Kalimantan


Masyarakat keibu bapakan di Kalimantan (Borneo) ialah masyarakat Dayak yang banyak
macam sukunya dan diperkirakan hidup disana sejak kurang lebih 2.500 atau
6.000 tahun yang lalu. Sebagian dari mereka hidup primitif dan nomadis. Kebanyakan mereka
saat ini menetap di saluran jalan-jalan lalulintas sungai dan hidup
berkelompok dalam rumah-rumah yang terdiri dari sejumlah keluarga 12 (dua belas) sampai
20 (duapuluh) keluarga.

3. HUBUNGAN ANAK DENGAN ORANG TUA

Istilah orang tua secara sempit dapat diartikan sebagai orang tua suami istri, yaitu ibu dan
ayah dari anak-anak. Sedangkan istilah orang tua dalam arti yang luas yaitu mencakup
saudara-saudara sekandung ayah menurut garis laki-laki atau saudara-saudara sekandung
ibu menurut garis wanita, yang ikut bertanggung jawab terhadap anak kemenakan.

Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya adalah seimbang menurut kedudukan
dan tanggung jawabnya masing-masing dalam keluarga / rumah tangga. Orang tua sebagai
suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30 Undang-undang No. 1 tahun 1974).

Dalam hukum adat tidak dikenal apa yang dimaksud dengan lembaga pencabutan kekuasaan
orang tua terhadap anak-anaknya sebagaimana ketentua pasal 49 undang-undang no. 1
tahun 1974, karena hukum adat yang berlaku pada masing-masing kekerabatan sudah ada
ketentuan yang bersifat tradisional.

4. HUBUNGAN ANAK DENGAN KELOMPOK KEKERABATAN

Pada umunya hubungan anak dengan keluarga ini (kelompok kekerabatan) sangat
tergantung dari keadaan social dalam masyarakat yang bersangkutan. Seperti yang telah
diketahui di awal bahwa di Indonesia ini terdapat persekutuan yang susunan berlandaskan
tiga macam garis keturunan yaitu keturunan ibu, keturunan bapak, dan keturunan ibu bapak.
Maksudnya dalam garis keturunan bapak dan ibu (bilateral), hubungan anak dengan pihak
bapak dan ibu sama eratnya, derajatnya ataupun pentinganya. Lain halnya dalam garis
keturunan unilateral (patrilineal atapun matrilineal) adalah tidak sama eratnya, derajatnya
ataupun pentinganya.

5. PEMELIHARAAN ANAK YATIM/PIATU

Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya bapak atau ibunya sudah tidak
ada lagi, maka anak-anak yang belum dewasa dipelihara oleh salah satu orang tuanya yang
masih hidup.
Jika kedua orang tuanya tidak ada, maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan
adalah salah satu dari kelurga yang terdekat dan yang paling memungkinkan untuk
keperluan itu. Dalam keadaan demikian biasanya tergantung pada anak diasuh dimana pada
waktu ibu dan bapaknya masih ada, kalau biasanya diasuh dikeluarga ibu, maka anak akan
diasuh oleh keluarga ibu dan sebaliknya.
Dalam keluarga matrilineal, jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya meneruskan
kekuasannya terhadap anak-anak yang belum dewasa. Jika ibunya yang meninggal dunia,
maka anak-anak yang belum dewasa berada pada kerabat ibunya serta dipelihara terus oleh
kerabat ibunya yang bersangkutan, sedangkan hubungan antara anak dengan bapaknya
dapat terus dipelihara.
Dalam keluarga yang patrilineal jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya terus
memelihara anak-anak yang belum dewasa, jika ibunya meninggalkan rumah dan pulang
kerumah lingkungan keluarganya atau kawin lagi, maka anak-anak tetap pada kekuasaan
keluarga almarhum suaminya.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas, makin hari atau lambat laun mengalami perubahan
dan penyimpangan-penyimpangan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan
cara berfikir masyarakat yang modern.
6.PENGANGKATAN ANAK

Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam
keluarga sendiri sehingga timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada
antara orang tua dengan anak kandung sendiri. Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka
dapat dibedakan beberapa macam, sebagai berikut:
a. Mengangkat Anak bukan Warga Keluarga
Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang
kepada keluarga anak semula. Alasan adopsi pada umumnya takut tidak ada
keturunan. Kedudukan hukum anak adopsi ini adalah sama dengan anak kandung suami istri
yang mengangkatnya, sedangkan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat
menjadi putus.
Adopsi harus terang artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan
kepala adat. Hal demikian terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.

b. Mengangkat Anak dari Kalangan Keluarga


Alasan mengadopsi anak ini sama dengan yang di atas, yaitu karena takut tidak mempunyai
keturunan.
Di Bali perbuatan ini disebut nyentanayang, adapun dalam keluarga dengan selir-selir, maka
apabila isterinya tidak mepunyai anak, biasanya anak-anak dari selir-selir itu
diangkat untuk dijadikan anak istrinya.

c. Mengangkat Anak dari Kalangan Keponakan-Keponakan


Perbuatan ini terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lain. Sebab pengankatan
keponakan sebagai anak karena;
a. Tidak punya anak sendiri
b. Belum dikaruniai anak
c. Terdorong oleh rasa kasihan
Sesungguhnya perbuatan ini merupakan pergeseran kekeluargaan dalam lingkungan keluarga.
Lazimnya ini tidak disertai dengan pembayaran atau penyerahan barang. Tetapi di Jawa Timur
sekedar sebagai tanda bahwa hubungan anak dengan orang tuanya terputus (pedot), orang
tua kadung anak tersebut diberi uang sejunlah
rongwang segobang (=17 ½ sen ) sebagai syarat. Sedangkan di Minahasa diberi tanda yang
disebut parade sebagai pengakuan.
Selain itu dikenal juga dengan istilah pemungutan anak yang maksud serta tujuannya buakn
semata karena untuk memperoleh keturunan melainkan lebih untuk
memberikan kedudukan hukum kepada anak yang dipungut agar lebih baik dan
menguntungkan dari semula. Misalnya mengangkat anak laki-laki dari selir
(Lampung, Bali) dan mengangkat anak tiri menjadi anak sendiri.

Perlu ditegaskan, bahwa anak yang diangkat itu pada umumnya mereka yang belum kawin
dan kebanyakan anak yang belum dewasa. Sedangkan yang mengangkat
biasanya orang yang sudah menikah serta yang berumur jauh lebih tua dari pada anak angkatnya,
sehingga anak tersebut memang pantas diangkat menjadi anaknya. Mungkinkah adopsi dicabut atau
digugurkan? Adopsi pada asasnya dapat digugurkan atau dicabut dalam hal-hal yang dapat juga
menjadi alasan untuk membuang anak kandung sendiri dari lingkungan keluarga.
Nama : ILHAM RAMADHAN
NPM : 1910012111070
Kelas : IH 4B
Ruang : 2533
Hari/Tgl : Rabu, 7 April 2021
Jam : 07.30-10.00
Dosen : Adri S.H., M.H.
PERTEMUAN 5 DAN 6
HUKUM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN
1. ARTI PERKAWINAN
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian
antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk
rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila. Dalam buku Hukum Adat, perkawinan
adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, sebab
perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga
orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka
masing-masing.
2. PERTUNANGAN
Pertunangan merupakan suatu perbuatan permulaan sebelum dilangsungkannya suatu
perkawinan. Pertunangan timbul setelah ada persetujuan antara kedua belah pihak laki-laki
dan perempuan untuk mengadakan perkawinan. Persetujuan ini dicapai oleh kedua belah
pihak setelah lebih dahulu melakukan lamaran yaitu permintaan atau pertimbangan yang
dikemukakan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pertunangan secara perbuatan
dapat dikatakan telah mengikat kedua belah pihak hal ini disertai dengan adanya
penyerahan tanda pengikat. Dimana dalam hal ini, telah dicapainya suatu kesepakatan
antara kedua belah pihak untuk saling mengikatkan kedua pihak (laki-laki dan perempuan)
untuk melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi yaitu perkawinan.
Pertunangan di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan hukum. Dalam hukum adat
Indonesia, pertunangan di atur dalam hukum adat masing-masing daerah. Pertunangan
dilakukan orang tua kedua belah pihak sendiri atau dengan 2 seorang utusan duta atau
orang yang mewakili keluarga pihak laki-laki. Istilah pertunangan tidak dikenal dalam Hukum
Islam, melainkan istilah peminangan atau khitbah yang dimuat dalam Kompilasi Hukum
Islam (selanjutnya disebut dengan KHI). Peminangan atau khitbah dapat diartikan sebagai
suatu kegiatan ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara laki-laki dan perempuan
yang tidak hanya dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, akan
tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya. Pertunangan menurut
hukum Barat tidak diatur secara jelas di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut dengan KUHPerdata). Dalam KUHPerdata hanya mengatur mengenai
janji kawin yang terdapat pada Pasal 58 KUHPerdata.
3. PERKAWINAN TANPA LAMARAN DAN PERTUNANGAN
Khitbah merupakan lamaran di mana seorang laki-laki berniat untuk menikahi seorang
perempuan pilihannya untuk dijadikan sebagai istri.Khitbah di dalam agama Islam ada dua
jenis yakni khitbah tashrih (diungkapkan secara terang-terangan) dan khitbah ta'ridh
(diungkapkan dengan cara sindiran). menurut jumhur ulama,khitbah bukanlah bagian dari
syarat sahnya pernikahan. Oleh sebab itu, pernikahan tanpa terlebih dahulu melakukan
lamaran hukumnya tetap sah.
4. BENTUK DAN SYSTEM PERKAWINAN
A. Sistem perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Tuhan YME. Di dalam hukum perkawinan adat dikenal adanya beberapa sistem
perkawinan yaitu:
• Perkawinan monogami adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita.
Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan ajaran agama serta Undang- Undang
perkawinan.
• Perkawinan poligami adalah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita
ataupun perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria.
Berkaitan dengan poligami ini kita mengenal juga perkawinan poliandri yaitu perkawinan
antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria.
• Perkawinan eksogami adalah perkawinan antara pria dan wanita yang berlainan suku dan
ras.
• Perkawinan endogamy adalah perkawinan antara pria dan wanita yang berasal dari suku
dan ras yang sama.
• Perkawinan homogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan sosial yang
sama. Contohnya, pada zaman dulu anak bangsawan cenderung kawin dengan anak orang
bangsawan juga.
• Perkawinan heterogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan sosial yang
berlainan.
• Perkawinan cross cousin adalah perkawinan antara saudara sepupu, yakni anak saudara
laki-laki ibu (anak paman) atau anak dari saudara perempuan ayah.
• Perkawinan parallel cousin adalah perkawinan antara anak-anak dari ayah mereka
bersaudara atau ibu mereka bersaudara.
• Perkawinan Eleutherogami adalah seseorang bebas untuk memilih jodohnya dalam
perkawinan, baik itu dari klen sendiri maupun dari klen lainnya.
B. Bentuk perkawinan
a). Bentuk perkawinan menurut susunan kekerabatan
• Perkawinan pada susunan kekerabatan patrilineal, si wanita berpindah ke dalam
kekerabatan suaminya dan melepaskan diri dari kerabat asal.

• Perkawinan pada susunan kekerabatan matrilineal, meskipun telah terjadi perkawinan,


namun suami istri masing-masing tetap berada pada kelompok
kerabatnya sendiri, sedangkan anak-anak masuk ke kelompok kekerabatan ibunya.
• Perkawinan pada susunan kekerabatan parental, setelah perkawinan suami istri masuk ke
dalam kerabat suami dan kerabat istri. Anak-anak juga masuk dalam kerabat bapaknya dan
kerabat ibunya.
b). Bentuk perkawinan anak-anak
Perkawinan ini dilakukan terhadap calon suami dan istri yang belum dewasa, yang biasanya
dilaksanakan menurut ketentuan hukum islam, sedang pesta dan upacara menurut hukum
adat ditangguhkan. Sebelum upacara perkawinan, suami belum boleh melakukan hubungan
suami istri, ditangguhkan sampai mereka dewasa dan dilangsungkan pesta dan upacara
menurut hukum adat.
c). Bentuk perkawinan permaduan
Permaduan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan dua atau lebih wanita
dalam waktu bersamaan. Pada daerah yang mengenal lapisan masyarakat, wanita yang dari
lapisan tinggi (sama) dijadikan istri pertama dan wanita yang dari lapisan bawah dijadikan
istri (kedua dan seterusnya). Para istri yang dimadu (selir), masing-masing beserta anaknya
berdiam dan membentuk rumah berpisah satu sama lain.
d). Bentuk perkawinan ambil anak
Perkawinan ini terjadi pada kekerabatan patrilineal, yaitu pihak laki-laki tidak perlu
membayar jujur, dengan maksud mengambil si laki-laki (menantunya) itu ke dalam
keluarganya agar keturunannya nanti menjadi penerus silsilah kakeknya. Bentuk perkawinan
ini juga bisa terjadi pada masyarakat semendo yang disebut perkawinan semendo ambik
anak, dalam rangka penerus silsilah menurut garis perempuan.
e). Bentuk perkawinan mengabdi
Perkawinan ini terjadi sebagai akibat adanya pembayaran perkawinan yang cukup besar,
sehingga pihak laki-laki tidak mampu membayarnya. Dalam bentuk ini suami istri sudah
mulai berkumpul, sedang pembayaran perkawinan ditunda dengan cara bekerja untuk
kepentingan kerabat mertuanya sampai jumlah pembayaran perkawinan terbayar lunas.
f). Bentuk perkawinan meneruskan (sororat)
Adalah suatu perkawinan seorang duda (balu) dengan saudara perempuan mendiang
istrinya. Perempuan tersebut meneruskan fungsi istri pertama tanpa suatu pembayaran
(jujur). Perkawinan ini disebut kawin turun ranjang atau ngarang wulu (Jawa).
g). Bentuk perkawinan mengganti (leverat)
adalah perkawinan yang terjadi apabila seorang janda yang menetap di lingkungan kerabat
suaminya, kawin dengan laki-laki adik mendiang suaminya. Perkawinan ini sebagai sarana
perkawinan jujur, yang di Palembang dan Bengkulu dikenal dengan kawin anggau.
5. PENGARUH AGAMA ISLAM DAN KRISTEN TERHADAP PPERKAWINAN
Bila suatu masyarakat memeluk agama Islam ataupun Kristen maka terlihat adanya
pengaruh agama yang bersangkutan terhadap ketentuan-ketentuan perkawinan adat.
Perkawinan secara Islam maupun Kristen tidak memberikan kewenangan turut campur
begitu jauh dan menentukan pada keluarga, kerabat dan persekutuan seperti dalam adat.
Pleh karena itu perkawinan menurut hukum Islam dan Kristen itu membuka jalan bagi
mereka yang memeluk agama-agama tersebut untuk menghindari-menghindari kekuasaan-
kekuasaan kerabat, keluarga serta persekutuan seperti keharusan untuk memilih isteri dari
“hula-hula” yang bersangkutan keharusan exogami, keharusan endogami idan lain
sebagainya.
Dalam perkembangan jaman proses pengaruh ini jalan terus dan akhirnya ternyata, bahwa :
• Bagi yang beragama Islam, nikah menurut Islam itu menjadi satu bagian dari perkawinan
adat secara keseluruhan.
• Bagi yang beragama Kristen, hanya unsur-unsur dalam perkawinan adat yang betul-betul
secara positif dapat digabungkan dengan agama Kristen saja yang masih dapat diturut.
6. UPACARA PERKAWINAN ADAT
• Melamar
Sebelum melamar calon isteri, seorang pemuda Betawi biasanya sudah melewati suatu
proses yang dikenal dengan istilah stilah ngedelengin; yaitu upaya mencari atau
menemukan kesamaan missi dan visi antara seorang lelaki dengan seorang perempuan
dalam rangka membina rumah tangga. Bawaan yang dibawa pada waktu melamar adalah
pisang sebanyak dua tiga sisir, roti tawar empat buah, dan dua tiga macam buah. Semua
bawaan ditempatkan di piring besar atau nampan. Bawaan biasanya tampak terbuka yang
merupakan tanda melamar supaya orang dapat mengetahui bahwa saat itu ada upara
melamar pengantin.
• Masa pertunangan
Setelah lamaran diterima pihak si gadis, pertunangan menjadi tahap berikutnya. Tahapan ini
ditandai dengan diadakannya acara mengantar kue-kue dan buah-buahan dari pihak
pemuda ke rumah pihak sigadis.
• Menentukan hari perkawinan
Untuk menentukan hari perkawinan dicari hari dan bulan yang baik serta saat-saat dimana
segenap keluarga ada dalam keadaan selamat, sehat wal afiat. Pihak laki-laki mengirim
utusan ke rumah keluarga si gadis dengan membawa buah tangan berupa buah-buahan dan
kue kue sekedarnya. Dalam pembicaraan, selain menentukan hari pernikahan juga
diutarakan apa yang diminta keluarga si gadis sebagai persyaratan. Seperti jumlah mas
kawin, peralatan yang dibawa, dan jumlah uang belanja. Setelah hari perkawinan
ditentukan, beberapa hari sebelumnya pihak pemuda mengantar peralatan yang telah
ditentukan.
• Mengantar Peralatan
Setelah hari perkawinan ditentukan, beberapa hari sebelumnya pihak pemuda mengantar
peralatan yang telah ditentukan pada pembicaraan terdahulu. Peralatan biasanya
berbentuk alat-alat rumah tangga secara lengkap, perhiasan emas, pakaian, mas kawin dan
uang belanja. Jika si gadis mempunyai kakak yang belum kawin, maka pihak pemuda wajib
menyerahkan uang pelangkah sebagai tanda permintaan maaf karena si adik
mendahuluinya. Uang pelangkah juga dimaksudkan agar si kakak enteng jodoh.
• Menyerahkan Uang Sembah
Peralatan yang diperlukan termasuk mas kawin telah diserahkan kepada pihak si gadis. Kira-
kira tiga hari sebelum hari perkawinan, si pemuda diantar oleh salah seorang keluarganya
pergi ke rumah calon mertua. Tujuan kepergian si pemuda untuk menyerahkan uang kepada
si gadis yang disebut uang sembah. Jumlah uang sembah tidak ditentukan tergantung pada
kemampuan pemuda itu. Uang sembah itu dibawa dengan menggunakan sirih dare, yaitu
berupa anyaman dari daun sirih yang berbentuk kerucut.
• Seserahan
Sehari sebelum upacara perkáwinan dilangsungkan, diadakan suatu acara yang disebut
seserahan. Seserahan adalah suatu upacara mengantar bahan-bahan yang diperlukan untuk
keperluan pesta pada keesokan harinya dari pihak si pemuda. Antaran tersebut berupa
beras, ayam, kambing, daging, sayur-mayur, bumbu-bumbu dapur, dan sebagainya. Selain
kambing dan ayam, semua barang antaran ditempatkan di dalam peti- peti kayu yang
disebut shi.
• Nikah
Pada han pernikahan, si pemuda diantar oleh beberapa orang keluarganya berangkat
menjemput si gadis di rumahnya. Mereka bersama-sama akan ke penghulu melakukan akad
nikah. Si gadis yang diantar oleh ayah ibunya, lalu keluar dan rumahnya. Selanjutnya, kedua
pengantin dinaikkan ke dalam sebuah delman dengan masing-masing seorang pengiring.
Delman tersebut ditutupi dengan kain pelekat hitam sehingga tidak kelihatan dan luar. Akan
tetapi, dengan kain pelekat hitam itu orang-orang telah mengetahui bahwa ada pengantin
yang akan pergi ke penghulu.
• Ngarak Penganten
Pada hari pesta pernikahan, baik pengantin pria maupun pengantin wanita, mengenakan
pakaian kebesaran pengantin dan dihias. Pengantin pria diãrak dari rumahnya menuju
rumah pengantin wanita dengan diantar oleh keluarga, kaum kerabat, dan teman
temannya. Arak-arakan didahului oleh barisan rebana yang diiringi nyanyian. Peserta arak-
arakan berjalan kaki dengan tertib sampai di rumah pengantin wanita. Setelah sampai di
depan rumah, dilakukan pembacaan zikir sebagai pembuka pintu. Selanjutnya mempelai
wanita melakukan sumkem kepada mempelai pria dan keduanya kemudian duduk di
pelaminan.
7. PERCERAIAN
Pemutusan hubungan perkawinan karena perceraian dalam hukum adat tidak
hanyadipahami sebagai bentuk pemutusan hubungan perikatan lahir batin antara suami dan
isteri, tetapi juga pemutusan hubungan lahir dan batin dengan paguyuban dalam keluarga
danmasyrakat yang didalamnya suami dan isteri itu menjadi anggota dari keluarga masing-
masing. Perceraian secara terminologi berasal dari kata dasar cerai yang berarti pisah,
kemudian mendapat awalan per yang berfungsi pembentuk kata benda abstrak kemudian
menjadi perceraian yang berarti hasil dari perbuatan cerai. Istilah perceraian terdapat dalam
pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan fakultatif bahwa “Perkawinan dapat
putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan”. Jadi secara yuridis
perceraian berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkkan putusnya hubungan sebagai
suami istri.
Didalam uu no 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat definisi yang tegas
mengenai perceraian secara khusus. Sesuai dengan asas perkawinan dalam Undang-Undang
Perkawinan, yaitu tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal,
seharusnya putusnya perkawinan karena perceraian haruslah dilarang, tetapi pada
kenyataannya Undang-Undang Perkawinan tidak menegaskan mengenai larangan tersebut,
tetapi cukup dengan mempersukar suatu perceraian yang memutuskan perkawinan.
8. AKIBAT PERCERAIAN
• Konsekuensi atau akibat hukum perceraian terhadap harta bersama diatur dalam Pasal 37
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) yang menyatakan “Bila perkawinan
putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Lebih
jauh daam Penjelasan Pasal 37 UU Perkawinan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan
"hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.”
Hilman Hadikusuma menjelaskan dalam buku “Hukum Perkawinan Indonesia Menurut:
Perundangan Hukum Adat Hukum Agama” (hlm. 189), akibat hukum yang menyangkut harta
bersama berdasarkan Pasal 37 UU Perkawinan ini diserahkan kepada para pihak yang
bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak ada
kesepakatan antara mantan suami-istri, hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa
keadilan yang sewajarnya.
Jadi, akibat suatu perceraian terhadap harta bersama bagi setiap orang dapat berbeda-
beda, tergantung dari hukum apa dan mana yang akan digunakan para pihak untuk
mengatur harta bersama
Nama : ILHAM RAMADHAN
NPM : 1910012111070
Kelas : IH 4B
Ruang : 2533
Hari/Tgl : Rabu, 14 Maret 2021
Jam : 07.30-10.00
Dosen : Adri S.H., M.H.
PERTEMUAN 7 DAN 8
HUKUM HARTA PERKAWINAN DAN HUKUM WARIS
A. FUNGSI HARTA PERKAWINAN
Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan ialah semua harta yang
dikuasai suami dan istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta
perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta
pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah.
Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga
suami istri, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, yaitu:
• Harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan.
• Harta yang diperoleh suami atau istri secara perorangan sebelum atau sesudah
perkawinan yaitu harta penghasilan.
• Harta yang diperoleh suami dan istri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta
pencaharian.
• Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sabagai hadiah yang
kita sebut hadiah perkawinan.
B. MACAM-MACAM HARTA PERKAWINAN
Macam-macam harta perkawinan menurut Soerojo Wignjodipuro bahwa harta perkawinan
dipisahkan menjadi 4 golongan yaitu :
• Barang-barang yang diperoleh suami atau istri secara warisan atau penghibahan dari
kerabat masing-masing yang dibawa ke dalam perkawinan.
• Barang-barang yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas jasa sendiri
sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
• Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri sebagai harta milik
bersama.
• Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami atau istri bersama pada waktu pernikahan.
Menurut Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Harta
perkawinan dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu :
• Harta bersama,adalah harta yang diperoleh selama perkawinan.
• Harta bawaan,adalah harta yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan.
• Harta perolehan,adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah
atau warisan.
Menurut Prof.Djojodiguno dan Tirtawinata dalam buku Adat Privaatrecth van middle java
dikatakan bahwa masyarakat Jawa tengah mengadakan pemisahan harta perkawinan ke
dalam 2 golongan yaitu :
• Barang asal atau barang yang dibawa masuk ke dalam perkawinan.
• Barang milik bersama atau barang perkawinan.
Menurut Bushar Muhammad,syarat adanya harta bersama berdasarkan hukum adat
diantaranya :
• Adanya hidup bersama,hidup berkeluarga.
• Adanya kesamaan derajad antara suami istri baik dalam arti ekonomis maupun keturunan.
• Tidak ada pengaruh hukum islam.
• Adanya hubungan baik antara suami dan istri dan antara keluarga kedua belah pihak satu
sama lain.
Jikalau satu syarat tidak terpenuhi maka tidak ada harta bersama tersebut . Harta
perkawinan menurut hukum perdata adalah mulai saat dimulainya perkawinan/sejak
perkawinan berlangsung,demi hukum maka berlakulah persatuan bulat antara kekayaan
suami dan istri (Pasal 119 KUH Perdata).Oleh sebab itu perkawinan membawa suatu
konsekuensi terhadap harta dari masing-masing laki-laki dan perempuan dan menjadi
kesatuan yang disebut harta perkawinan, kecuali para pihak menentukan lain dengan cara
membuat suatu perjanjian perkawinan yang memisahkan harta kekayaan mereka.
C. PEMISAHAN HARTA PERKAWINAN
Menurut Soerojo Wignjodipoero, SH (1995: 150) dinyatakan bahwa :
harta perkawinan lazimnya dapat dipisah-pisahkan dalam 4 golongan sebagai berikut:
• Barang-barang yang diperoleh suami atau istri secara warisan atau penghibahan dari
kerabat (famili) masing-masing dan di bawa ke dalam perkawinan.
• Barang-barang yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri
sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
• Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri sebagai milik
bersama.
• Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu
pernikahan.”
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat menyebutkan
bahwa:
“dalam kedudukan harta perkawinan sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan
rumah tangga suami istri, maka harta perkawinan itu dapat kita golongkan dalam beberapa
macam, sebagaimana di bawah ini:
• Harta yang diperoleh / dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan, yaitu “harta
bawaan”
Harta bawaan ini dapat dibedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan istri, yang
masing-masing masih dapat dibedakan antara harta peninggalan, harta warisan, harta
hibah/wasiat dan harta pemberian / hadiah. harta seperti ini disebut PIMBIT (NGAJU-
Dayak), SILSILA (Makasar) (BABAKTAN-Bali) (ASAL-ASELI-PUSAKA- Jawa-Jambi-Riau)
(GONO,GAWAN-Jawa) (BARANG SASAKA, BARANG BANDA, BARANG BAWA-Jawa Barat).
Barang-barang atau harta ini tetap menjadi milik suami atau istri yang menerimanya dari
warisan atau penghibahan, juga termasuk kalau mereka bercerai. Apabila salah satu dari
mereka meninggal dunia serta mereka tidak mempunyai anak, maka barang-barang itu
kembali kepada keluarga dari suami atau istri yang masih hidup.
Harta peninggalan yang dimaksud adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami
istri dalam sebuah perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tua untuk diteruskan
penguasaan dan pengaturan pemanfaatannya guna untuk kepentingan ahli waris bersama,
dikarenakan harta peninggalan itu tidak terbagi- bagi kepada setiap ahli waris. Sedangkan
yang dimaksud harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atu
istri ke dalam perkawinan yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan
dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan berumah tangga.
Sedangkan harta hibah / wasiat yang dimaksud adalah harta atau barang-barang yang
dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan yang berasal dari hibah / wasiat anggota
kerabat, misalnya hibah atau wasiat dari saudara-saudara ayah yang keturunannya terputus.
Adapun maksud dari harta pemberian / hadiah adalah harta atau barang-barang yang
dibawa oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari pemberian / hadiah para
anggota kerabat dan mungkin juga orang lain yang mempunyai hubungan baik. Misalnya
ketika akan melangsungkan perkawinan,anggota kerabat memberikan mempelai pria ternak
untuk dipelihara guna bekal kehidupan rumah tangganya, atau anggota kerabat wanita
memberi mempelai wanita barang-barang perabot rumah tangga untuk dibawa kedalam
perkawinan sebagai barang bawaan.
• Harta yang diperoleh / dikuasai suami istri secara perseorangan sebelum atau sesudah
perkawinan, yaitu “harta penghasilan”
Tidak sedikit seorang suami atau istri telah memiliki harta kekayaan sendiri yang
diperolehnya dari kerja kerasnya sendiri. Harta kekayaan tersebut harta penghasilan. Harta
penghasilan pribadi ini terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat, pemiliknya dapat saja
melakukan transaksi atas harta kekayaan tersebut tanpa bermusyawarah dengan para
anggota kerabat yang laim. Namun demikian, apabila barangnya adalah barang tetap, pada
umumnya masih harus bermusyawarah.
Barang-barang yang diperoleh sebelum perkawinan di Sumatera Selatan disebut Harta
Pembujangan kalau suami yang memperolehnya, sedangkan kalau yang memperolehnya
adalah istri maka disebut Harta Penantian. Di Bali tanpa melihat siapa yang memperolehnya
disebut Guna Kaya. Barang-barang yang diperoleh dalam masa perkawinan pada umumnya
jatuh kedalam Harta Perkawinan, milik bersama suami istri dan apabila terjadi perceraian
maka masing-masing dapat menuntut bagiannya. Azas ini sudah menjadi umum sehingga
dimana azas ini tidak dapat diterima maka orang dapat mengatakan bahwa di tempat itu
terjadi pengecualian. Di aceh setelah perkawinan adakalanya suami mendapat penghasilan
sendiri dari hasil usahanya sendiri, terpisah dari harta pencaharian. Di Jawa Barat dalam
bentuk perkawinan antara istri kaya dengan suami miskin (nyalindung kagelung), maka
suatu harta kekayaan hasil pencaharian istri adalah hak milik is tri itu sendiri, walaupun
suami bersusah payah membantu dengan tenaganya. Di Jawa Tengah beda lagi, apabila
terjadi perkawinan dimana suami lebih kaya dari istri, maka semua hasil pencaharian suami
yang diperoleh dalam ikatan perkawinan adalah milik suami itu sendiri.
• Harta yang diperoleh / dikuasai suami istri bersama-sama selama perkawinan, yaitu
harta pencaharian”
Dengan dasar modal kekayaan yang diperoleh suami istri dari harta bawaan masing-masing
dan harta penghasilan masing-masing sebelum perkawinan, maka setelah perkawinan
dalam usaha suami istri membentuk dan membangun rumah tangga keluarga yang bahagia
dan kekal, mereka berusaha mencari rizki bersama- sama, sehingga dari sisa belanja sehari-
hari akan dapat terwujud harta kekayaan sebagai hasil pencaharian bersama, yang kita
sebut “harta pencaharian”. Tanpa mempedulikan apakah suami yang bekerja aktif dan istri
mengurus rumah dan anak-anak. Harta yang suami-istri peroleh tersebut disebut “harta
bersama suami- istri”.Kekayaan milik bersama suami istri ini disebut Harta Suarang-
Minangkabau, Barang perpantangan- Kalimantan, Cakkara- Bugis, Druwe Gabro- Bali, Barang
Gini, Gono Gini- Jawa. Apabila salah seorang meninggal dunia, lazimnya semua milik
bersama itu tetap berada di bawah kekuasaan pihak yang masih hidup, seperti halnya
semasa perkawinan. Pihak yang masih hidup itu berhak untuk menggunakan barang-barang
milik bersama itu guna keperluan hidupnya. Namun apabila keperluan sehari-hari sudah
cukup, maka kelebihannya dapat dibagikan kepada ahli warisnya. Apabila ada anak, maka
anaklah yang mendapat harta asal. Apabila tidak ada anak, maka dibagikan kepada kerabat
suami dan kerabat istri.
• Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah, yang
kita sebut “hadiah perkawinan”.
Barang-barang yang diterima sebagai hadiah perkawinan pada waktu pernikahan biasanya
diperuntukkan mempelai berdua, baik yang berasal dari pemberian para anggota kerabat
maupun bukan anggota kerabat . Oleh karenanya maka barang- barang tersebut menjadi
harta milik bersama suami istri. Akan tetapi, dilihat dari tempat, waktu dan tujuan
pemberian hadiah itu, maka harta hadiah perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima
oleh mempelai pria, yang diterima oleh mempelai wanita, dan yang diterima kedua
mempelai bersama-sama ketika upacara resmi pernikahan.
Hadiah perkawinan yang diterima mempelai pria sebelum upacara perkawinan, misalnya
berupa uang, ternak, dan lain-lain, dapat dimasukkan kedalam harta bawaan suami,
sedangkan yang diterima mempelai wanita sebelum upacara perkawinan masuk dalam
harta bawaan istri. Tetapi semua hadiah yang didapat ketika kedua mempelai duduk
bersanding dan menerima upacara selamat dari para hadirin adalah harta bersama kedua
suami istri, yang terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat, atau hanya dibawah pengaruh
orang tua yang melaksanakan upacara perkawinan itu yang kedudukan hartanya
diperuntukkan bagi kedua mempelai bersangkutan.
Sebagai contoh, di daerah lampung, dalam upacara perkawinan, barang-barang ringan yang
diperoleh saat mereka bersanding seperti kain atau yang sejenisnya diberikan kepada
anggota kerabat atau tetangga yang telah membantu memberikan tenaganya di dapur,
terutama kepada kaum wanita tua dan muda, yang sudah kawin maupun yang belum kawin.
Sedangkan hadiah perkawinan yang berat dan berharga disimpan untuk dimanfaatkan
kedua suami istri dalam pergaulan adat dan atau untuk dimanfaatkan bagi kepentingan
membangun rumah tangga. Barang-barang hadiah ini merupakan hak milik bersama yang
dapat ditransaksikan atas kehendak dan persetujuan bersam suami istri. Di daerah lain
barang-barang hadiah perkawinan bercampur dengan harta pencaharian.
Apabila terjadi pemberian hadiah uang atau barang oleh suami kepada istri pada saat
pernikahan yang dalam hal ini merupakan “pemberian perkawinan suami”, hal ini seperti
“jinamee” (Aceh), “sunrang” (Sulawesi selatan) atau “hook” (minahasa) begitu pula
pemberian perhiasan dari suami kepada istri di tapanuli, maka kedudukan pemberian suami
ini sama dengan “mas kawin” yang menjadi milik dari istri itu sendiri. Suami tidak boleh
menggunakan barang-barang tersebut tanpa ada persetujuan dari istri.
D. PENGERTIAN HUKUM WARIS
Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta
kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan kata lain, mengatur peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat – akibatnya bagi ahli
waris.
E. SIFAT HUKUM WARIS
1. Sistem pribadi. Yaitu ahli waris adalah perseorangan bukan kelompok ahli waris.
2. Sistem bilateral. Yaitu mewaris dari pihak ibu atau bapak.
3. Sistem perderajatan. Yaitu ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si pewaris
menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.
F. SISTEM KEWARISAN
Dari sistem kekeluargaan tersebut diatas, terdapat tiga sistem pewarisan di dalam Hukum
Waris Adat, Yaitu :
• Sistem Pewarisan Individual
Ciri sistem pewarisan individual adalah bahwa harta warisan akan terbagi-bagi hak
kepemilikannya kepada para ahli waris, hal ini sebagaimana yang berlaku menurut hukum
KUH Perdata dan Hukum Islam, begitu pula halnya berlaku bagi masyarakat di lingkungan
masyarakat hukum adat seperti pada keluarga-keluarga Batak Patrilineal dan keluarga-
keluarga Jawa yang parental.
Kelebihan dari sistem pewarisan individual adalah dengan adanya pembagian harta warisan
maka masing-masing individu ahli waris mempunyai hak milik yang bebas atas bagian
masing-masing yang telah diterimanya. Kelemahan sistem pewarisan individual adalah
selain harta warisan tersebut menjadi terpecah-pecah, dapat mengakibatkan putusnya
hubungan kekerabatan antara keluarga ahli waris yang satu dengan yang lainnya. Hal ini
berarti asas hidup kebersamaan dan tolong menolong menjadi lemah diantara keluarga ahli
waris tersebut. Hal ini kebanyakan terjadi di masyarakat adat yang berada di perantauan
dan telah jauh berada dari kampung halamannya.
• Sistem Pewarisan Kolektif
Ciri dari sistem pewarisan kolektif ini adalah bahwa harta warisan itu diwarisi atau lebih
tepatnya dikuasai oleh sekelompok ahli waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang
seolah-olah merupakan suatu badan keluarga/kerabat (badan hukum adat). Harta
peninggalan seperti ini disebut “harta pusaka” di Minangkabau dan “harta menyanak” di
Lampung.
Dalam sistem ini, harta warisan orang tuanya (harta pusaka rendah) harta peninggalan
seketurunan atau suku dari moyang asal (marga genealogis) tidak dimiliki secara pribadi
oleh ahli waris yang bersangkutan. Akan tetapi para anggota keluarga hanya boleh
memanfaatkan tanah pusaka untuk digarap bagi keperluan hidup keluarganya, atau rumah
pusaka itu boleh ditunggu dan didiami oleh salah seorang dari mereka yang sekaligus
mengurusnya.
• Sistem Pewarisan Mayorat
Ciri sistem kewarisan mayorat, adalah bahwa harta peninggalan orang tua atau harta
peninggalan leluhur kerabat tetap utuh tidak dibagi-bagi kepada para waris, melainkan
dikuasai oleh anak tertua laki-laki (mayorat laki-laki) di lingkungan masyarakat patrilineal
Lampung dan juga bali, atau tetap dikuasai anak tertua perempuan (mayorat wanita) di
lingkungan masyarakat matrilineal semendo di Sumatera Selatan dan Lampung.
Bagi masyarakat adat Lampung Pesisir, penduduknya menggunakan sistem kewarisan
mayorat laki-laki. Sistem kewarisan mayorat hampir sama dengan sistem kewarisan kolektif,
hanya penerusan dan pengalihan hak penguasa atas harta yang tidak terbagi-bagi itu
dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala
keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
G. HARTA PENINGGALAN YANG TIDAK DAPAT DIBAGI
Sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris maka terlebih dahulu harta warisan
tersebut dibebaskan dari harta yang termasuk dalam bagian zakat, hutang, biaya
pengurusan jenazah dan wasiat. Oleh karena itu tidak boleh membagiakan semua harta
warisan terlebih dahulu baru kemudian mengurus zakat dan lainnya.
Pembahasan Harta warisan yang diberikan sebagai wasiat hanya boleh maksimal sepertiga
dari total harta warisan. Jika yang diwasiatkan lebih dari sepertiga maka yang diberikan
cuma sepertiga. Wasiat hanya boleh diberikan untuk orang-orang yang tidak masuk dalam
golongan ahli waris. karena tidak boleh wasiat diberikan kepada ahli waris.
H. HIBAH
Penerapan hibah di dalam perspektif hukum di Indonesia maka mengacu pada 3 (tiga)
perspektif hukum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Islam dan Hukum
Adat. Hal ini terjadi karena hibah merupakan kajian pada hukum perdata dan hukum
perdata di Indonesia saat ini merujuk pada 3 perspektif hukum tersebut.
Kitab Undang-Undang hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) menjelaskan hibah
pada pasal 1666 yang bunyinya : suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu
hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan
sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu, Undang-
Undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih
hidup.
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa hibah adalah suatu perjanjian yang dimana itu dilakukan
semasa pemberi hibah masih hidup dan itu dilakukan dengan dasar cuma-cuma ketika
diserahkan. Dikatakan cuma-cuma karena pemberian hibah ini tidak mungkin dapat dicela
oleh keluarga atau orang lain terhadap suatu pemberian, mengingat pemberi hibah berhak
untuk mengelola harta kekayaannya dan leluasa untuk memberikannya kepada siapapun.
I. PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN
• Pembagian Warisan di Adat Patrilineal
Dalam adat patrilineal, ahli waris yang berhak menerima peninggalan harta dari seseorang
adalah anak laki-laki yang terdapat di dalam keluarga tersebut. Anak laki-laki pertama biasa
mendapatkan porsi lebih besar. Namun, ada juga adat yang membagi rata seluruh warisan
seseorang sesuai jumlah anak laki-laki di keluarga tersebut.
• Pembagian Warisan di Adat Matrilineal
Cara pembagian harta warisan menurut adat matrilineal berkebalikan dengan pembagian
warisan di adat patrilineal. Seseorang yang menggunakan sistem adat ini untuk membagi
harta peninggalannya mengarahkan ahli waris utama kepada pihak anak perempuan.
J. AHLI WARIS
Ahli waris adalah orang yang berhak mendapatkan bagian dari harta warisan yang
ditinggalkan pewaris. Seseorang bisa dinyatakan sebagai ahli waris setelah ditunjuk secara
resmi berdasarkan hukum yang digunakan dalam pembagian harta warisan, yaitu hukum
Islam, hukum perdata, dan hukum adat.
Dalam hukum adat, ahli waris ditentukan berdasarkan dua garis pokok, yaitu garis pokok
keutamaan dan garis pokok penggantian. Garis pokok keutamaan berasal dari keluarga
pewaris di antaranya:
• Kelompok keutamaan I: Keturunan pewaris.
• Kelompok keutamaan II: Orang tua pewaris.
• Kelompok keutamaan III: Saudara-saudara pewaris dan keturunannya.
• Kelompok keutamaan IV: Kakek dan nenek pewaris dan seterusnya.
K. BAGIAN-BAGIAN HARTA PENINGGALAN
1. Harta Bawaan
Harta bawaan atau disebut juga dengan harta milik masing-masing dari suami dan istri atau
harta milik suami atau istri adalah harta yang diperoleh suami atau istri sebelum terjadinya
perkawinan yang berasal dari warisan dari kedua ibu-bapak dan kerabat, hibah, hadiah dan
harta yang diperoleh dari usaha sendiri. Untuk harta bawaan yang diperoleh dari warisan,
hibah, hadia serta sodoqoh dari ibu-bapak dan kerabat mereka masing-masing setelah
menikah dan bukan karena usahanya sendiri, tetapi adalah diusahakan setelah mereka
Bersama-sama sebagai suami istri termasuk harta bawaan.
2. Harta Bersama
Dalam kenyataan hidup berkeluarga, antara pewaris dan ahli waris tidak menutup
kemungkinan terdapat harta peninggalan menjadi milik bersama apakah itu wujudnya harta
benda atau hak-hak. Keberadaan harta bersama dalam satu keluarga susah untuk
menghindarinya karena hampir semua keluarga yang ada memiliki harta bersama. Suami
isteri misalnya, sama-sama berusaha untuk menghidupi keluarganya, istri melayani segala
keperluan dan kebutuhan suami untuk dapat memperoleh harta dalam kehidupan rumah
tangganya.
Kategori harta Bersama adalah sebagai berikut :
• Harta yang dibeli selama perkawinan
Sebagai ukuran untuk menentukan apakah sesuatu barang itu termasuk objek harta
bersama atau tidak, adalah saat pembeliannya. Setiap barang yang dibeli selama
berlangsung ikatan perkawinan, termasuk objek harta bersama, tanpa mempersoalkan siapa
diantara suami-isteri itu membelinya, terdaftar atas nama siapa dan terletak dimana.
• Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian tetapi dibiayai dari harta Bersama
Sebagai ukuran yang kedua adalah apa saja yang dibeli, jika uang pembelinya itu berasal dari
harta bersama, maka barang tersebut tetap termasuk dalam pengertian harta bersama,
meskipun barang tersebut dibeli atau dibangun sesudah terjadinya perceraian. Sebagai
contoh, suami-isteri selama ikatan perkawinan berlangsung mempunyai royalty terhadap
sebuah karangan buku. Setelah perceraian terjadi, royalty itu mendatangkan sejumlah uang.
Lantas, dari uang ini suami membeli tanah dan membangun sebuah rumah di atasnya.
• Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan
Dalam sengketa harta bersama, jarang sekali yang berjalan secara mulus, apalagi kalau hal
itu terjadi jauh setelah berlangsungnya perceraian. Biasanya, dalam menanggapi dalil
gugatan penggugat, tergugat selalu membantah bahwa harta yang sedang dipersengketakan
itu bukan sebagai harta bersama, tetapi sebagai harta pribadinya. Dalam hal ini, menjadi
patokan untuk menentukan bahwa barang itu termasuk tidaknya sebagai objek harta
bersama, ditentukan oleh keberhasilan penggugat untuk membuktikan harta yang sedang
dipersengketakan itu diperoleh selama berlangsungnya perkawinan dan perolehannya itu
bukan melalui warisan atau hadiah.
• Penghasilan harta bersama dan harta bawaan
Penghasilan yang berasal dari harta bersama, secara otomatis menjadi harta bersama,
karena ia berasal dari harta bersama. Akan tetapi tidak demikian halnya pada harta pribadi,
karena penghasilan yang berasal dari harta pribadi suami atau isteri, tidak menentukannya
secara lain dalam perjanjian perkawinan.
• Segala penghasilan pribadi suami atau isteri
Penghasilan suami atau istri, dengan sendirinya menjadi harta bersama, karena memang
demikianlah ketentuan yang telah digariskan oleh pasal 35 ayat (1) Undang- undang Nomor
1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta benda bersama”24 dan pasal 1 huruf f Kompilasi dijelaskan juga bahwa harta
kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri
atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya
disebut harta Bersama.
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang
Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:
1. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing-
masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
2. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka yang kemudian berhak
mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia,
dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat
seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
3. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh
untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal
dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-
saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh
keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Nama : ILHAM RAMADHAN
NPM : 1910012111070
Kelas : IH 4B
Ruang : 2533
Hari/Tgl : Rabu, 7 April 2021
Jam : 07.30-10.00
Dosen : Adri S.H., M.H.
PERTEMUAN 9
HUKUM EKONOMI
A. HAK-HAK KEBENDAAN
1. Pengertian Hak Kebendaan
Hak kebendaan ialah hak mutlak atas suatu benda, dan merupakan hak perdata. Hak ini
memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapa
pun juga. Hak kebendaan adalah adalah hak yang memberikan kekuasaan langsung atas
suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, hak kebendaan dibedakan menjadi dua, yaitu hak kebendaan yang
memberikan jaminan (gadai, hipotek, hak tanggungan, fidusia), dan hak kebendaan yang
memberikan kenikmatan (hak milik, bezit).
2. Karakteristik Hak Kebendaan
• Hak kebendaan bersifat absolut, yang berarti haknya dapat dipertahankan terhadap setiap
orang.
• Jangka waktunya tidak terbatas.
• Hak kebendaan mempunyai droit de suite (zaaksgevolg) yang berarti mengikuti bendanya
dimanapun benda tersebut berada. Dalam hal hak kebendaan di atas suatu benda, maka
kekuatan hak itu ditentukan berdasarkan urutan terjadinya (asas prioritas).
• Hak kebendaan memberikan wewenang yang sangat luas kepada pemiliknya. Hak ini
dapat dijual, dijaminkan, disewakan, atau dapat digunakan sendiri.
3. Macam - Macam Hak Kebendaan
• Hak Kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan
Hak Kebendaan dengan sifat ini terbagi menjadi dua jenis yaitu Hak Kebendaan yang
memberikan kenikmatan atas benda itu sendiri seperti Hak Eigendom dan Hak Bezit. Serta
Hak Kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda orang lain, misalnya seperti Hak
Postal, Hak Erfpact, Hak Memungut Hasil, Hak Pakai, dan Hak Mendiami.
• Hak Kebendaan yang bersifat memberi jaminan
Sesuai namanya, Hak Kebendaan ini bersifat atau memiliki fungsi untuk memberi jaminan,
contohnya saja Hak Gadai, dan Hipotik.
4. Asas Hukum Hak Kebendaan
• Asas hukum pemaksa (dewingenrecht)
• Asas individualitas(individualiteit)
• Asas totalitas (totaliteit)
• Asas tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid)
• Asas dapat dipindah tangankan
• Asas pengaturan dan perlakuan
• Asas percampuran (Verminging)
• Asas prioritas (prioriteit)
• Asas publisitas (publiciteit)
5. Cara Memperoleh Hak Kebendaan
Berikut beberapa hal yang dapat kamu lakukan untuk memperoleh Hak Kebendaan:
• Hak benda dapat dimiliki apabila adanya pengakuan terhadap suatu benda yang
ditemukan.
• Hak kebendaan dapat diperoleh melalui penyerahan berdasarkan alas hak (rechts lite)
tertentu, seperti hasil jual beli, sewa menyewa, warisan, hibah, dan lain sebagainya yang
membuat terjadinya perpindahan title kepemilikan.
• Hak Kebendaan dapat diperoleh melalui daluwarsa, yaitu apabila barang bergerak yang
tidak diketahui siapa pemiliknya dan kemudian ditemukan oleh orang lain, maka hak benda
tersebut akan diperoleh setelah tiga tahun sejak dikuasainya benda oleh orang yang
bersangkutan.
6. Penyebab Hilangnya Hak Kebendaan
• Hak Kebendaan atau kepemilikan benda dapat hilang apabila benda tersebut dipindah
tangankan kepada orang lain
• Benda yang bersangkutan musnah, lenyap, atau hilang.
• Adanya pelepasan hak terhadap benda yang bersangkutan.
• Hak Kebendaan sudah kadaluarsa, perlu diketahui bahwa daluwarsa untuk barang
bergerak umumnya adalah tiga tahun, dan untuk barang tidak bergerak mencapai 20 tahun.
• Adanya pencabutan hak dari penguasa publik sesuai dengan syarat yang berlaku yaitu atas
didasari hukum undang-undang, atau dilakukan demi kepentingan umum bersama yang
disertai dengan imbalan/ganti rugi yang kayak.
Istilah hukum adat adalah kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis yang ditaati secara turun
temurun.istilah hukum adat diperkenalkan oleh dunia barat yang menyatakan bahwa
hukum hanya terdapat pada masyarakat yang beradab.
Pada saat Belanda datang pertama sekali ke Indonesia pada tahun 1601,mereka
beranggapan bahwa Di Indonesia tidak terdapat hukum.Barat memiliki dalil Wet is Recht
atau Undang-undang adalah hukum.akan tetapi lama kelamaan dalil tersebut ditinggalkan
karena timbul pemahaman bahwa tidaklah mungkin dalam suatu masyarakat tidak memiliki
hukum.Pemikiran tersebut dilandasi pernyataan Cicero yang menyatakan bahwa ” dimana
ada masyarakat,disitu ada hukum (ubi societas ibi ius)”.
Kemudian Snouck Hourgronje mengenalkan dalam bukunya De Atjehers (masyarakat aceh)
istilah adatrecht.lalu istilah ini lebih dipopulerkan lagi oleh Van Vollenhoven dalam bukunya
llet adatrecht van nederlandsch indie (Hukum adat hindia belanda).
B. TRANSAKSI TANAH
1. Transaksi Tanah Menurut Hukum Adat
PengertianYang dimaksud transaksi tanah dalam hukum adat adalah suatu perbuatan
hukum yang dilakukan oleh sekelompok orang atau secara individu untuk menguasai
sebidang tanah yang dilakukan baik secara secara sepihak maupun secara 2 pihak sesuai
dengan kebutuhan mereka.
2. Macam-Macam Transaksi Tanah
1) Transaksi Tanah Sepihak
Adalah suatu perbuatan yang dilakukan untuk menguasai sebidang tanah dan tanah
tersebut tidak dikuasai oleh siapa pun.
2) Transaksi Tanah Dua Pihak
Adalah transaksi tanah yang objeknya/tanahnya telah dikuasai oleh hak milik. Transaksi ini
biasa terjadi karena :
• Jual lepas/jual beli
Yang dimaksud dengan jual lepas adalah suatu transaksi dimana satu pihak menyerahkan
kepemilikannyaatas tanah untuk selama-lamanya kepada pihak lain/pihak ke-2 dan pihak
ke-2 tersebut telah membayar harga yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
• Jual gadai
Jual gadai adalah penyerahan tanah oleh penjual kepada pembeli dengan harga tertentu
dan dengan hakmenebusnya kembali.
• Jual tahunan
Terjadi apabila pemilik tanah menyerahkan milik tanahnya kepada orang orang lain untuk
beberapa tahun panen dengan menerima pembayaran terlebih dahulu dari
penggarap(orang lain itu).
3. Pengertian Transaksi Tanah
Yang dimaksud transaksi tanah dalam hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh sekelompok orang atau secara individu untuk menguasai sebidang tanah
yang dilakukan baik secara secara sepihak maupun secara dua pihak sesuai dengan
kebutuhan mereka.
4. Jenis-jenis Transaksi Tanah
1) Transaksi Tanah yang Bersifat Perbuatan Hukum Sepihak
Adalah suatu perbuatan yang dilakukan untuk menguasai sebidang tanah dan tanah
tersebut tidak dikuasai oleh siapa pun. Sebagai contoh dari transaksi tanah semacam ini
adalah :
• Pendirian Suatu Desa
Sekelompok orang orang mendiami suatu tempat tertentu dan membuat perkampungan
diatas tanah itu, membuka tanah pertanian, mengubur orang-orang yang meninggal dunia
di tempat itu, dan lain sebagainya, sehingga lambat laun tempat itu menjadi desa, lambat
laun timbul hubunganreligio-magisantara desa dan tanah tersebut, tumbuh suatu hubungan
hukum antara desa dan tanah dimaksud,tumbuh suatu hak atas tanah itu bagi persekutuan
yang bersangkutan, yakni hakulayat.
• Pembukaan Tanah Oleh Seorang Warga Persekutuan
Kalau seorang individu, warga persekutuan dengan ijin kepala desa membuka tanah wilayah
persekutuan, maka dengan menggarap tanah itu terjadi suatu hubungan hukum dan
sekaligus juga hubunganreligio-magisantara warga tersebut dengan tanah dimaksud.
Lazimnya warga yang membuka tanah tersebut kemudian menempatkan tanda-tanda
pelarangan pada tanah yang ia kerjakan itu.
Perbuatan hukum ini adalah bersifat sepihak juga, perbuatan ini berakibat timbulnya hak
bagi warga yang membuka tanah tersebut, yakni hak milik dan kemudian juga hak wenang
pilih atas tanah yang bersangkutan.
2) Transaksi Tanah yang Bersifat Perbuatan Hukum Dua Pihak
Adalah transaksi tanaha yang objeknya/tanahnya telah dikuasai oleh hak milik.Macam-
macam transaksi tanah ini yaitu :
• Menjual gadai
Yang menerima tanah berhak untuk mengerjakan tanah itu serta untuk memungut dari
tanah itu. Ia hanya terikat oleh janjinya bahwa tanah itu hanya dapat ditebus oleh yang
menjual gadai. Ia bila sangat membutuhkan uang hanya dapat menjual gadaikan tanah itu
lagi kepada orang lain dan sekali-kali tidak boleh menjual lepas tanah tersebut. Ia tidak
dapat minta kembali uang yang diberikannya kepada yang menjual gadai, tetapi dalam
transaksi demikian ini biasanya disertai dengan perjanjian tambahan seperti :
a) Kalau tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan, maka tanah menjadi milik yang membeli
gadai.
b) Tanah tidakboleh ditebus sebelum satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan pembeli
gadai
Transaksi ini terdapat diseluruh Indonesia. Perbuatan tidak prinsipal hanya terdapat dalam
pelaksanaannya saja seperti di Aceh, dalam akta wajib dicantumkan formulaijab-kabul, di
tanah Suku Batak transaksi harus dijalankan diatasnasi ngebul.
• Menjual lepas
Yang dimaksud dengan jual lepas adalah suatu transaksi dimana satu pihak menyerahkan
kepemilikannyaatas tanah untuk selama-lamanya kepada pihak lain/pihak ke-2 dan pihak
ke-2 tersebut telah membayar harga yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Di Aceh terdapat kebiasaan bahwa akta dicantumkan ijaab-kabul, sedangkan di
Minangkabau dalam transaksi ini pembeli lazimnya dalam pembayaran tidak hanya
menyerahkan uang saja, akan tetapi di sertai pisau atau sepotong kain (magis).
• Menjual Tahunan
Terjadi apabila pemilik tanah menyerahkan tanah miliknya kepada orang lain untuk
beberapa tahun panen dengan menerima pembayaran terlebih dahulu dari
penggarap(orang lain itu).Transaksi tanah ini diluar jawa tidak begitu dikenal lamanya tidak
tentu.
3) Pengaturan Transaksi Tanah yg Diatur Dalam UUPA
Dalam undang undang No.5 tahun 1960 (UUPA) pemerintah RI menetapkan kebijakan
penuh terhadap masalah jual gadai. Dalam pasal 16 ayat 1(h) dan pasal 53 ayat 1 undang
undang tersebut ditetapkan, bahwa “hak gadai” itu sifatnya sementara artinya dalam waktu
yang akan datang diusahakan dihapuskan. Dan pada saat ini, mengingat keadaan
masyarakat indonesia sekarang masih belum dapat dihapuskan dan diberi sifat sementara.
Sifat sementara ini akan diatur lebih lanjut dalm undang undang. Kemudian ternyata
Undang-undang yang mengatur masalah gadai ini adalah Peraturan Pemerintah pengganti
Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 yang menetapkan dalam pasal 7 ketentuan-
ketentuan sebagai berikut :
• Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya
peraturan ini ( yaitu pada tanggal 1 Januari 1961) sudah berlangsung 7 tahun atau lebih
wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu 1 bulan sesudah tanaman
yang ada selesai di panen dengan tidak ada hak menuntut pembayaran uang tebusan.
• Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung 7
tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah
tanaman yang ada selesai di panen dengan membayar uang tebusan yang besarnya di
hitung menurut rumus di bawah ini :
7+1/2)-waktu berlangsungnya hak gadai x uang gadai : 7.3 / 5
Pelaksanaan pengembaliannya adalah dalam waktu 1 bulan setelah pemanenan yang
bersangkutan.
C. TRANSAKSI MENYANGKUT TANAH
Transaksi Yang Menyangkut Tanah Perjanjian yang menyangkut tanah dimaksud semua
perjanjian dimana bukan tanah yang menjadi objek perjanjian, melainkan tanah sebagai
tempat atau sesuatu yang terlibat oleh perjanjian itu, dalam hal ini perjanjian yang
berhubungan dengan kekaryaan, pengolahan, memungut hasil, menikmati hasil tanah atau
tanah tersebut dijadikan jaminan atas pemakaian uang, jadi tanah hanya tersangkut saja,
bidang tanah seolah-olah hanya sebagai perjanjian pelengkap dari perjanjian pokok."
Bentuk-bentuk transaksi menyangkut tanah adalah :
1. Perjanjian Bagi Hasil Perjanjian bersangkutan dengan tanah, tetapi tidak dapat dikatakan
berobjek tanah. Dasar perjanjian ini adalah pemilik tanah mempunyai sebidang tanah tetapi
ia tidak ada kesempatan atau waktu untuk mengusahakan sendiri tanahnya sampai berhasil.
Sehingga pemilik tanah membuat suatu perjanjian dengan orang lain untuk mengerjakan,
menanaminya dan pada akhirnya penggarap (orang lain tersebut) akan memberikan
sebagian hasil panennya kepada pemilik tanah. Perjanjian bagi hasil ini berfungsi dan untuk
membuat berhasilnya pemilik tanah tanpa sendiri dan mempergunakan tenaga pekerjaan
dari orang lain yang tidak memiliki tanah sendiri. Istilah perjanjian bagi hasil di daerah Jawa
disebut paroan (maro). Perjanjian bagi hasil merupakan suatu kebiasaan yang sering terjadi
pada masyarakat didaerah pedesaan yang mayoritas penduduknya petani. Perjanjian ini
sifatnya tolong menolong sesama petani, baikn itu pemilik tanah atau orang yang
menggarap tanah tersebut. Unsur positif perjanjiian bagi hasil ini adalah perimbangnya
didasarkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak dan terjamin kedudukan hukum yang
layak bagi penggarap dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban, baik dari penggarap
maupun pemilik tanah.
Latar belakang terjadinya transaksi bagi hasil ini antara lain :
• Bagi pemilik tanah, mempunyai tanah tetapi tidak mampu atau tidak berkesempatan
untuk mengerjakan tanahnya sendiri, berkeinginan mendapatkan mendapatkan hasil tanpa
susah payah dengan memberi kesempatan kepada orang lain mengerjakan tanah miliknya.
• Bagi penggarap, bahwa ia tidak/belum mempunyai tanah garapan atau tidak mempunyai
pekerjaan dan tetap, penggarap mempunyai kelebihan waktu bekerja karena memiliki tanah
terbatas luasnya, serta penggarap berkeinginan mendapatkan tambahan hasil garapan.
Perjanjian bagi hasil diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian
Bagi Hasil (untuk selanjutnya disebut UU Bagi Hasil).
Pasal 1 butir 3 UU Bagi Hasil , yang dimaksud perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan
nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan
hukum pada pihak lain yang dalam undang-undang ini disebut penggarap, berdasarkan
perjanjian dimana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk
menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasil antara
kedua belah pihak.
Apabila pemilik tanah membuat perjanjian dengan orang lain untuk mengerjakan tanahnya,
mengolah dan menanami tanaman, dengan perjanjian bahwa hasil dari tanah itu dibagi dua.
2. Perjanjian Sewa Tanah
Transaksi sewa tanah adalah transaksi yang ada hubungannya dengan tanah dimana pemilik
tanah mengizinkan tanah miliknya dikerjakan oleh orang lain atau untuk trmpat tinggal
sementara waktu dengan menerima pembayaran sejumlah uang dari pihak lain itu.
Pengertian sewa disini sesungguhnya lebih luas dari pengertian jual tahunan ( jual tahunan
merupakan salah satu bentuk dari penyewaan tanah. Biasanya orang-orang menyewa
sebidang tanah milik orang lain untuk tempat membangun kedai kopi, tempat bengkel
mobil, tempat usaha dagang dan lain sebagainya. Pembayaran uang sewa dapat dilakukan
dimuka, jika demikian transaksi itu sama dengan transaksi jual tahunan. Pada umumnya jika
sewa dilakukan oleh perusahaan maka uang sewanya dilakukan di belakang karena
perjanjian sewa itu untuk jangka waktu yang lama. Transaksi ini objeknya adalah hasil
pertanian atau perkebunan. Dasarnya adalah investasi (uang) dengan tanah sebagai
sarananya. Jika transaksi sewa ini dilakukan dengan perusahaan besar atau pemilik modal
besar, selalu dilakukan dihadapan notaris. melibatkan notaris maka hukum vang berlaku
baginya adalah hukum negara.
3. Perjanjian Berganda
Perjanjian berganda atau perjanjian terpadu ialah perjanjian yang menyangkut tanah
dimana terdapat perpaduan (kombinasi) perjanjian antara perjanjian pokok dengan
perjanjian tambahan yang berjalan bersama. Misalnya perjanjian bagi hasil atau perjanjian
sewa berjalan bersama dengan perjanjian gadai atau perjanjian bagi hasil atau perjanjian
sewa berjalan bersama dengan perjanjian jual tahunan. Dalam pelaksanaannya X
menggadaikan tanahnya kepada Y, kemudian X yang mengolah tanah itu dengan perjanjian
bagi hasil dengan Y, maka perjanjian pokoknya adalah “jual gadai" sedangkan perjanjian
tambahannya adalah "bagi hasil". Terjadinya perjanjian ganda ini disebabkan setelah
terjadinya perjanjian pokok maka timbul perjanjian tambahan. Setelah terjadinya jual gadai
maka pemegang tanah gadai mengizinkan penggadai untuk mengusahakan atau menggarap
tanahnya sendiri dengan perjanjian bagi hasil, penggadai berkedudukan sebagai pemaro
(menyewa tanah). Dengan demikian transaksi tersebut mirip dengan pinjam uang dengan
jaminan tanah, karena bidang tanahnya masih tetap diusahakan oleh pemilik tanah, bukan
oleh pembeli gadai.
Nama : ILHAM RAMADHAN
NPM : 1910012111070
Kelas : IH 4B
Ruang : 2533
Hari/Tgl : Rabu, 5 Mei 2021
Jam : 07.30-10.00
Dosen : Adri S.H., M.H.
PERTEMUAN 10
HUKUM ADAT DELIK DAN PERADILAN ADAT
A. PENGERTIAN DELIK ADAT
Hukum pidana adat atau delik adat adalah mengatur mengenai tindakan yang melanggar
rasa keadilan dan kepatutan yang hidup ditengah masyarakat, sehingga menyebabkan
terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat. Untuk memulihkan
ketentraman dan keseimbangan tersebut, maka terjadi reaksi adat.
B. SIFAT HUKUM ADAT DELIK
Sifat Hukum Adat Delik, Sifat umum delik adat yaitu :
1. Tradisional dan Relegio magis.
sifat tradisional Relegio magis maksudnya adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan
perbuatan mana yang mengganggu keseimbangan masyarakat itu dilakukan dan perbuatan
mana yang mengganggu keseimbangan masyarakat itu bersifat turun temurun dan
berkaitan dengan kepercayaan atau agama masyarakat yang bersangkutan.Contohnya :
Anak tidak boleh durhaka kepada orang tua,tidak boleh berzina,tidak boleh menganiaya
orang,dan sebagainya.
2. Menyeluruh dan menyatukan.
Delit adat tidak membedakan antara perbuatan yang bersifat pidana dan perdata,maupun
antara perbuatan kejahatan (Delik hukum) dan Pelanggaran (Delik Undang-
undang).kecuali,tidak ada perbedaan apakah perbuatan itu dilakukan dengan unsur sengaja
(Opzet),atau dilakukan karena kelalaian (culpa) si pelaku.semua unsur delik itu menjadi satu
dan menyeluruh,yang merupakan rangkaian peristiwa yang menyebabkan terganggunya
keseimbangan masyarakat.
3. Tidak Prae-Exsistente.
Delik adat tidak mengenal prinsip Prae Existente regel (Soepomo;1967),artinya adalah tidak
perlu ada aturan yang dibuat terlebih dahulu,baru perbuatan delik itu dapat
dihukum.dengan demikian,delik adat menganut prinsip yang berlawanan dengan
KUHP,sebagaimana diatur dalam pasal 1 KUHP yang menyatakan bahwa tiada suatu
delik,melainkan atas kekuatan aturan pidana yang telah ada di dalam Undang-undang
terlebih dahulu perbuatan itu.
4. Tidak menyamaratakan pelaku.
Apabila terjadi delik adat yang mengakibatkan terganggunyya keseimbangan
masyarakat,terhadap si pelaku tidak di sama ratakan antara warga masyarakat biasa dengan
tokoh masyarakat,pemuka agama atau pejabat,golongan bangsawan.Lazimnya,delik yang
dilakukan oleh masyarakat biasa dengan para tokoh tersebut terdapat perbedaan.warga
masyarakat biasa umumnya hukumannya lebih ringan dibandingkan dengan tokoh
masyarakat atau pejabat.
5. Terjadinya delik adat.
Delik adat dinyatakan telah terjadi apabila tata tertib adat setempat dilanggar atau bilamana
salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain ,sehingga timbul reaksi dan koreksi serta
keseimbangan masyarakat menjadi terganggu.Contohnya : di Aceh seseorang mengambil
buah-buahan dari pohon yang tidak dipelihara,maka si pelaku dihukum membayar harga
buah tersebut.
6. Reaksi dan koreksi.
Tindakan reaksi dan koreksi terhadap peristiwa atau perbuatan delik adalah untuk
memulihkan kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu
7. Tempat berlakunya.
Berlakunya delik adat adalah bersifat lokal,yakni terbatas pada wilayah atau lingkungan
masyarakat adat yang bersangkutan.pada masa pemerintahan Hindia Belanda,terdapat
peradilan untuk menyelesaikan perkara misalnya : peradilan pribumi (inheemsche
rechtspraak), Peradilan swapraja (zelfbestuur),dan peradilan desa (dorpsjustitie).Hukum
pidana adat berlaku sepenuhnya dibawah bimbingan pemerintah Hindia Belanda.Saat
sekarang peradilan tersebut tidak berlaku,kecuali peradilan desa yang sifatnya hanya
menyelesaikan perkara kecil secara damai yang dikoordinir oleh kepala desa dan
perangkatnya.
C. PENGERTIAN PERAILAN ADAT
Peradilan adat merupakan institusi peradilan yang hidup dalam masyarakat yang dilandasi
adat istiadat setempat. Keanekaragaman peradilan adat diidentikkan dengan karakteristik
masing-masing wilayah. Keberadaan peradilan adat telah hidup sejak lama dan saat ini
dikuatkan dengan berbagai macam regulasi kebijakan. Pasca Indonesia merdeka, peradilan
adat tetap hidup berdampingan dengan peradilan lainnya. Menarik untuk dikaji terkait
dengan relevansi keberadaan peradilan adat di Indonesia dikaitkan dengan pembangunan
nasional. Metode yang digunakan dalam menelaah permasalahan yaitu metode yuridis
normatif dengan pendekatan kepustakaan (library research).
D. PENYELESAIAN SENGKETA ADAT
Dalam hukum adat tidak dikenal pembedaan atau pembagian hukum ke dalam hukum
perdata atau hukum pidana sebagaimana kita bedakan dalam konteks hokum formal.
Dengan demikian, sengketa yang dimaksudkan dalam konteks penyelesaian sengketa secara
adat ini adalah semua bentuk pelangaran hukum adat dan semua baik yang bersifat perdata
maupun pidana. Apapun bentuk atau sifatnya sengketa, penyelesaiannya dimaksudkan
untuk mewujudkan keharmonisan masyarakat. Tujuam inilah yang ingin dicapai dalam
setiap penyelesaian sengketa secara adat.
Penyeleaian sengketa secara dapat mendasari pada ajaran menyelesaikan, bukan pada
ajaran memutus. Menurut Hakim Nyak Pha “ajaran menyelesaikan” berpendirian bahwa
suatu persengketaan atau perselisihan atau perkara, pemerosessannya haruslah sedemikian
rupa, sehingga pihak-pihak yang bersengketa atau berselisih itu di kemudian hari dapat
meneruskan kehidupan bersama mereka kembali sebagaimana sebelumnya. Dengan kata
lain proses itu mampu mengembalikan keadaan diantara mereka terselesaikan.
Dalam buku Panduan Peradilan Adat yang dikeluarkan oleh MAA dimuat beberapa asas atau
prinsip yang menjadi acuan penyelesaian sengketa secara adat. Dalam buku tersebut
penyelesaian sengketa secara adat disitilahkan dengan Peradilan Adat. Prinsip- prinsip
dimaksud adalah :
1. Terpercaya atau Amanah
Peradilannya didasari pada kepercayan masyarakat karena itu fungsionarisnya adalah tokoh
adat yang terpercaya.
2. Tanggungjawab
Pelaksanaan Peradilan adat didasari pada tangung jawab pelaksanaannya kepada para
pihak, masyarakat dan ALLAH SWT.
3. Kesetaraan Di Depan Hukum
Peradilan tidak boleh membeda-bedakan, jenis kelamin, status sosial, umur. Semua orang
semua orang mempunyai kedudukan dan hak yang sama didepan adat.
4. Cepat, Murah dan Mudah
Proses peradilan dilaksanakan secara cepat, tidak boleh dilarut-larutkan, dan mudah.
Putusannya harus terjangkau untuk dilaksanakan oleh masyarakat.
5. Ikhlas dan Sukarela
Tidak boleh memaksa para pihak untuk menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat.
6. Penyelesaian Damai
Dalam Bahasa Aceh prinsip ini dikenal dengan ungkapan “Uleue bek matee ranteng bek
patah”. Peradilan adat ini dimaksudkan untuk benar- benar menyelesaikan masalah, guna
mengembalikan keseimbangan dan kerukunan hidup masyarakat.
7. Musyawarah/Mufakat
Keputusan yang dibuat dalam peradilan adat didasari pada hasil musyawarah mufakat yang
berlandaskan hukum adat.
8. Keterbukaan Untuk Umum
Semua proses peradilan (kecuali kasus-kasus tertentu, seperti perkara keluarga) dijalankan
secara terbuka.
9. Jujur
Pelaksanaan Peradilan Adat dilakukan secara jujur. Setiap pemimpin adat tidak boleh
mengambil keuntungan dalam bentuk apapun baik materil maupun non materil dalam
penanganan perkara.
10. Keberagaman
Peradilan adat menghargai keberagaman ketentuan adat dalam berbagai sub sistem hukum
adat yang berlaku dalam masyarakat.
11. Praduga Tidak Bersalah
Hukum adat tidak membenarkan adanya tindakan main hakim sendiri. Dalam proses
peradilan, para pihak harus dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan.
12. Berkeadilan
Putusan peradilan Adat harus bersifat adil dan putusannya diterapkan sesuai dengan
kualitas perkara dan tingkat ekonomi para pihak.
Menurut hukum adat penyelesaian sengketa secara adat tetap memperhatikan hak-hak dari
para pihak yang bersengeta. Para fungsionaris Peradiloan Adat haru selalu menjamin
perlindungan hak-hak para pihak yang bersenketa/berperkara. Perlindungan hak ini
diimplimentasikan dalam mekanisme pemnyelesaian sengketanya. Mekanismenya
mengakomodir prinsip Thesa, Anti Thesa dan Sinthesa, sebagaimana lazimnya digunakan
dalam peradilan formal, dengan langkah-lagkah penyelesaiannya, secara singkat sebagai
berikut.
- Pengaduan/laporan (bisa juga atas inisiaif fungsionaris adat)
- Rapat Persiapan dan Pengamanan kalau diperlukan
- Penelusuran duduk sengketa
- Sidang persiapan keputusan
- Penawaran alternatif penyelesaian (yg bukan pelanggaran adat/tidak menyangkut dua
pihak )
- Rapat pengambilan keputusan/Pengumuman
- Pelaksanaan Putusan
- Sayam dan Pesijuek KESIMPULANNYA :
Penyelesaian sengketa melalui pendekatan adat merupaka alternatif penyelesaian sengekta
yang terjadi dalam masayarakat, khusunya dalam masyarakat Aceh dan merupakan bentuk
penyelesaian sengketa secara damai yang diperankan oleh lembaga adat. Tujuan utamanya
adalah mengembalikan kerukunan, keharmonisan dan keseimbangan kehidupan
masyarakat. Dalam realitas kehidupan masyarakat di Aceh telah banyak sengketa
diselesaikan secara adat dan ini efektif merukunkan kehidupan masyarakat. Kalau ini bisa
lebih efektif dilakasanakan diperkirakan akan bisa mengurangi beban kerja peradilan formal.
Untuk ini perlu dibangun kesepahaman dan kebersamaan untuk mendorong lebih
berfungsinya lembaga adat dalam penyelesaian sengketa.
Nama : ILHAM RAMADHAN
NPM : 1910012111070
Kelas : IH 4B
Ruang : 2533
Hari/Tgl : Rabu, 12 Mei 2021
Jam : 07.30-10.00
Dosen : Adri S.H., M.H.
PERTEMUAN 11

1. SEJARAH MINANGKABAU,

A. ASAL NAMA DAN ORANG MINANGKABAU


Merujuk pada artikel yang ditulis oleh Rusdi Chaprian, sejarah bermula pada masa kerajaan
Adityawarman. Adityawarman adalah seorang raja yang pernah memerintah di
Pagaruyungan, pusat Kerajaan Minangkabau. Tidak hanya itu, dirinya juga merupakan raja
pertama yang memperkenalkan sistem kerajaan di Sumatera Barat. Kemudian pada abad
ke-17, provinsi ini mulai lebih terbuka dengan provinsi lainnya, khususnya Aceh.
Sebelumnya, masyarakat Minangkabau didominasi oleh aga Budha, namun demikian
akhirnya masyarakat Minangkabau didominasi oleh agama Islam. Sementara itu, kata
Minang yang dipakai pada desa ini berawal dari adanya isu yang beredar bahwa Kerajaan
Pagaruyung akan diserang oleh Kerajaan Majapahit dari Provinsi Jawa. Atas kerajaan
tersebut, maka terjadilah peristiwa adu kerbau. Peristiwa adu kerbau ini, akhirnya
dimenangi oleh kerbau minang. Kemenangan tersebut, memunculkan kata minang dan
kabau. Sehingga selanjutnya, kedua kata tersebut dijadikan nama desa Minangkabau.
Sebagai pengingat dari kemenangan peristiwa adu kerbau antara Kerajaan Paguruyung dan
Kerajaan Majapahit, masyarakat Minangkabau mendirikan rangkiang atau rumah loteng
yang atapnya mengikuti bentuk tanduk kerbau. Beberapa tulisan sejarah mengatakan,
transportasi masyarakat Minangkabau pada saat itu adalah kerbau. Hal ini didorong dengan
adanya pernyataan bahwa agama yang dipercaya saat itu mengajarkan untuk menyayangi
binatang seperti, gajah, kerbau, dan lembu. Runtuhnya kerajaan Paguruyungan, dan adanya
pengaruh dari Belanda di Perang Padri, membuat daerah pedalaman Minangkabau menjadi
bagian dari Pax Netherlandica atau politik kolonial Belanda, yang berupaya menyatukan
wilayah jajahan Belanda.
B. WILAYAH MINANGKABAU
Minangkabau adalah kelompok etnis Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat
Minangkabau. Minangkabau meruapakah wilayah budaya. Ekologi Minangkabau dilekatkan
pada Sumatera Barat, karena Sumatera Barat adalah provinsi yang penduduknya adalah
mayoritas Minangkabau. Wilayah kebudayaannya Minang meliputi daerah Sumatera Barat,
separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera
Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Secara administratif geografis
wilayah berbatas dengan;
• Provinsi Sumatera Utara di sebelah Utara
• Provinsi Jambi dan Bengkulu di sebelah Selatan
• Provinsi Riau dan Jambi di sebelah Timur
• Samudra Hindia di sebelah Barat
Wilayah minangkabau terdiri atas dua bagian yaitu inti atau luhak dan wilayah rantau
utama. Wilayah luhak berada di selingkar Gunung Merapi, gunung yang dalam tambo
disebut sebagai tempat mula nenek moyang mereka membentuk pemukiman.
Minangkabau memiliki tiga luhak yang disebut Luhak nan tigo "Luhak nan tiga", Luhak Tanah
Data "Luhak Tanah Datar', Luhak Agam "Luhak Agam", dan Luhak Limo Puluah Koto "Luhak
Lima Puluh Kota".
Batas-batas wilayah Minangkabau dapat dinyatakan sesuai arah mata angin. Batas-batas
daerah Minangkabau itu adalah:
• Batas wilayah daratan
• Sebelah utara dibatasi oleh Rao Mapat Tunggul
• Sebelah timur dibatasi oleh Tanjung Simalidu
• Sebelah tenggara dibatasi oleh Muko-Muko.
• Sebelah barat laut dibatasi oleh Gunung Mahalintang.

2. ADAT DAN SYSTEM HUKUM ADAT MINANGKABAU


A. PENGERTIAN ADAT DAN HUKUM ADAT SERTA TINGKATAN ADAT
1. Pengertian adat
Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia,
sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah menganal dan menggunakan
istilah tersebut. Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai berikut : “Tingkah laku
seseoarang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat
luar dalam waktu yang lama”.
Dengan demikian unsure-unsur terciptanya adat adalah :
• Adanya tingkah laku seseorang
• Dilakukan terus-menerus
• Adanya dimensi waktu.
• Diikuti oleh orang lain/ masyarakat.
Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti oleh orang
lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu luasnya pengertian
adat-iatiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa dan Negara memiliki adat-istiadat
sendiri-sendiri, yang satu satu dengan yang lainnya pasti tidak sama.
2. Pengertian hukum adat
• Prof. Mr. B. Terhaar Bzn
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan- keputusan
dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat.Terhaar terkenal
dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu
sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum
terhadap sipelanggar peraturan adat- istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan
hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
• Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan
mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
• Dr. Sukanto, S.H.
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak
dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.
3. Tingkatan Adat
Untuk memahami lebih dalam tentang Adaik Minangkabau, berikut ada empat tingkatan
adat di Minangkabau.
• Adat Nan Sabana Adat
Adat nan sabana adat adalah kenyataan yang berlaku tetap di alam, tidak pernah berubah
oleh keadaan tempat dan waktu. Kenyataan itu mengandung nilai-nilai, norma, dan hukum.
Di dalam ungkapan Minangkabau dinyatakan sebagai adat nan indak lakang dek paneh,
indak lapuak dek hujan, diasak indak layua, dibubuik indak mati; atau adat babuhua mati.
Adat nan sabana adat bersumber dari alam.
Pada hakikatnya, adat ini ialah kelaziman yang terjadi sesuai dengan kehendak Allah. Maka,
adat Minangkabau tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu melahirkan konsep dasar
pelaksanaan adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, yakni adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah dan syarak mangato, adat mamakai. Dari konsep itu lahir pulalah
falsafah dasar orang Minangkabau yakni alam takambang jadi guru.
Adat nan sabana adat menempati kedudukan tertinggi dari empat jenis adat di
Minangkabau, sebagai landasan utama dari norma, hukum, dan aturan-aturan masyarakat
Minangkabau. Semua hukum adat, ketentuan adat, norma kemasyarakatan, dan peraturan-
peraturan yang berlaku di Minangkabau bersumber dari adat nan sabana adat.
• Adat Nan Diadatkan
Adat nan diadatkan adalah adat buatan yang dirancang, dan disusun oleh nenek moyang
orang Minangkabau untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aturan yang berupa
adat nan diadatkan disampaikan dalam petatah dan petitih, mamangan, pantun, dan
ungkapan bahasa yang berkias hikmah. Inti dari adat nan diadatkan yang dirancang Datuak
Parpatiah Nan Sabatang ialah demokrasi, berdaulat kepada rakyat, dan mengutamakan
musyawarah untuk mufakat. Sedangkan adat yang disusun Datuak Katumangguangan
intinya melaksanakan pemerintahan yang berdaulat ke atas, otokrasi namun tidak
sewenang-wenang. Sepintas, kedua konsep adat itu berlawanan. Namun dalam
pelaksanaannya kedua konsep itu bertemu, membaur, dan saling mengisi. Gabungan
keduanya melahirkan demokrasi yang khas di Minangkabau.
• Adat Nan Taradat
Adat nan taradat adalah ketentuan adat yang disusun di nagari untuk melaksanakan adat
nan sabana adat dan adat nan diadatkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan nagarinya.
Adat ini disusun oleh para tokoh dan pemuka masyarakat nagari melalui musyawarah dan
mufakat. Dari pengertian itu lahirlah istilah adat salingka nagari.
Adat nan taradat disebut juga adat babuhua sentak, artinya dapat diperbaiki, diubah, dan
diganti. Fungsi utamanya sebagai peraturan pelaksanaan dari adat Minangkabau. Contoh
penerapannya antara lain dalam upacara batagak pangulu, turun mandi, sunat rasul, dan
perkawinan, yang selalu dipagari oleh ketentuan agama, di mana syarak mangato adaik
mamakaikan.
• Adat Istiadat
Adat istiadat merupakan aturan adat yang dibuat dengan mufakat niniak mamak dalam
suatu nagari. Peraturan ini menampung segala kemauan anak nagari yang sesuai menurut
alua jo patuik, patuik jo mungkin. Adat istiadat umumnya tampak dalam bentuk kesenangan
anak nagari seperti kesenian, langgam dan tari, dan olahraga.
B. SISTEM HUKUM ADAT MINANGKABAU
Minang atau Minangkabau adalah kelompok kultur etnis yang menganut sistem adat yang
khas, yaitu sistem kekeluargaan menurut garis keturunan perempuan yang disebut sistem
matrilineal. Dalam budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa
penting dalam siklus kehidupan dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam
membentuk kelompok kecil keluarga baru penerus keturunan.
Nama : ILHAM RAMADHAN
NPM : 1910012111070
Kelas : IH 4B
Ruang : 2533
Hari/Tgl : Rabu, 19 Mei 2021
Jam : 07.30-10.00
Dosen : Adri S.H., M.H.
PERTEMUAN 12
NAGARI SEBAGAI MASYARAKAT HUKUM ADAT
A. SUSUNAN MASYARAKAT NAGARI
Diungkapkan dalam pepatah adat:
nagari baampek suku
dalam suku babuah paruik
kampuang ba katua
rumah batungganai
Dari pantun itu dapat dijelaskan bahwa:
• Setiap nagari mempunyai penduduk yang antara sesamanya terikat dalam kesatuan
geneologis yng disebut suku. Dalam sebuah nagari itu minimal ( boleh lebih) harus terdiri
atas 4 suku. Empat suku asal itu disebut suku nan ampek. Setiap suku tersebut dipimpin
oleh seorang laki laki pilihan yang disebut “penghulu” yang berpangkat andiko dengan
panggilan “ Datuak”
• Setiap suku tersiri atas beberapa buak “paruik”. Paruik dihubungkan dg seorang ibu asal
yang mendiami sebuah rumah gadang. Setiap paruik yang mendiami sebuah rumah gadang
tersebut dipimpin oleh seorang “tungganai” sedangkan dalam pengurusan harta pusakanya
dilakukan oleh Mamak Kepala Waris. Jadi tungganai memipin anggota paruik, mamak kepala
waris mengurus harta pusaka orang yng dalam satu paruik itu. Tungganai atau mamak
kepala waris adalah laki-laki tertua dari seorang ibu tertua dalam sebuah paruik.
• Apabila dalam satu rumah gadang anggotanya sudah berkembang sehingga tidak muat lagi
tinggal dalam rumah gadang itu, maka didirikanlah rumah-rumah disekeliling rumah gadang
itu. Orang yg tinggal dalam satu rumah itu disebut “sarumah”. Orang yang berada dalam
satu rumah itu dipimpin pula oleh laki-laki tertua dalam rumah itu yang disebut “mamak
rumah”
• Kampuang adalah wilayah yang didiami sebuah suku dalam nagari (satu kelompok
geneologis yg mendiami satu wilayah teritorial). Setiap kampuang dikepalai oleh “kapalo
kampuang” yg sekaligus menjadi penghulu andiko.
• Kemudian dalam perkembangan, apabila orang dlm rumah tadi juga berkembang dan
membuat lagi rumah-rumah lainnya, maka kelompok orang yng terdiri dari beberapa buah
rumah itu disebut dengan “jurai” . Jurai itu dikepalai pula oleh seseorang laki-laki tertua
dalam sebuah jurai itu yang disebut “mamak jurai”
B. TERJADINYA NAGARI
Sebuah nagari baru dapat terjadi karena adanya sekelompok masyarakat dari sebuah suku
yang kemudian mencari lahan baru untuk tempat mereka bercocok tanam, karena lahan
mereka yang selama ini mereka tempati sudah mulai sempit karena anggota masyarakatnya
yang berkembang. Dalam prakteknya terjadinya nagari itu melalui 4 tahap yaitu dimulai
dengan adanya taratak, dusun, koto dan kemudian menjadi nagari baru. dalam susunan
masyarakat nagari disebut nagari mulo dibuek (mulai didirikan) berhubungan dengan lahan/
wilayah baru tak berpenduduk. Bermula dari taratak, taratak menjadi dusun. Dusun menjadi
koto. Koto sebagai wilayah pusat perkampungan. Kampung-kampung bergabung sepakat
menjadi nagari baru. Jadi pembuatan nagari baru bukan membagi wilayah nagari yang telah
ada. Tetapi bermula dari mencari lahan baru karena ruang hidup (lebensraum) sudah
sempit. Tak ada lagi lahan mendirikan rumah, tak cukup lagi sawah ladang yang ada untuk
kaum (paruik – suku). Lalu KK (Tunganai/ saudara lelaki tertua) diikuti beberapa keluarganya
dalam satu suku atau banyak suku mencari lahan baru. Mereka berpisah dengan kampung
asalnya meninggalkan sanak saudaranya yang lain separuik atau sesuku. Di lahan baru itu
mereka berladang, meneroka sawah dan mendirikan rumah. Saat itu dimulai proses
pengembangan wilayah (resort) perkampungan baru.
C. KELENGKAPAN NAGARI
• Adanya beberapa kampuang (minimal 4)
• Adanya sumber ekonomi (sawah ladang)
• Adanya tempat kediaman (rumah gadang)
• Adanya sarana media kemasyarakatan (balai) sarana ibadah (mesjid)
• Adanya tempat pemandian ( tapian)
• Adanya sarana hiburan (medan & galanggang)
• Adanya pandam pakuburan
D. PEMERINTAHAN NAGARI
Dari adanya dua orang yg merancang adat Minangkabau lahirlah 2 kelarasan yaitu
Kelarasan Koto Piliang yg berpaham Otokrasi yang dirancang oleh Dt Ketumanggungan dan
kelarasan Bodi Caniago yang berpaham demokrasi yang dirancang oleh Dt Perpatih nan
Sabatang.
Perbedaan antara kelarasan Koto Piliang dengan Bodi Caniago :
• Koto Piliang berpaham Demokrasi sedangkan Bodi Caniago berpaham Demokrasi.
• Koto Piliang, negeri diperintah oleh penguasa tunggal (Penghulu Pucuak) yg dibantu 4
orang penghulu suku, sedangkan Bodi Caniago pemerintahan dilaksanakan oleh penghulu
dalam Nagari Secara bersama-sama dengan Musyawarah.
• Pada Koto Piliang, Penghulu Pucuak berhadapan dg rakyatnya melalui andiko,sedangkan
pada Bodi Caniago penguasa lansung berhubungan dg rakyat tanpa jenjang.
• Pada Koto Piliang, pemerintahan menganut prinsip “bajanjang naik batangga turun,
sambah datang dari bawah, berintah turun dari ateh” secara berjenjang, sedang pada Bodi
Caniago pemerintahan menganut prinsip “duduak sama ranah tagak samo tinggi”.
• Pada Koto Piliang pangkat Penghulu tidak sama, sehingga balairung dibuat
bertingkat-tingkat, pada Bodi Caniago Penghulu mempunyai derajat yang sama, sehingga
balairung lantainya datar.
• Pada Koto Piliang, dalam penyelesaian sengketa juga berlaku prinsip bajanjang naiak
batanggo turun, sengketa pertama diselesaikan oleh tungganai,penghulu suku, penghulu
nagari dan kata putus dari penghulu Pucuak sebagai penguasa tertinggi dalam nagari, Jadi
putusan dapat dibanding, sedangkan pada Bodi Caniago penyelesaian sengketa dilakukan
oleh kerapatan seluruh Penghulu suku sebagai mahkamah pertama dan tertinggi, tidak
dapat dibanding.
Nagari dipimpin oleh seorang wali nagari, dan dalam menjalankan pemerintahannya,
dahulunya wali nagari ditolong oleh beberapa orang wali jorong, namun sekarang ditolong
oleh sekretaris nagari (setnag) dan beberapa pegawai negeri sipil (PNS) yang jumlahnya
bergantung dengan kebutuhan pemerintahan nagari tersebut. Wali nagari dipilih oleh anak
nagari (penduduk nagari) secara demokratis dengan pemilihan langsung untuk masa jabatan
6 tahun dan kemudian mampu dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Kebanyakan yang dipilih menjadi wali nagari yaitu orang yang diasumsikan paling menguasai
tentang semua bidang kehidupan dalam budaya Minangkabau, sehingga wali nagari
tersebut dapat menjawab semua persoalan yang dihadapi anak nagari.
Nagari secara administratif pemerintahan benar di bawah disktrik yang adalah bagian dari
perangkat kawasan kabupaten. Sedangkan nagari bukan adalah bagian dari perangkat
kawasan bila benar dalam struktur pemerintahan kota. Berlainan dengan kelurahan, nagari
mempunyai hak mengatur wilayahnya yang lebih luas. Nagari adalah wujud dari republik
mini. Dalam sebuah nagari dibentuk Kerapatan Aturan sejak dahulu kala Nagari (KAN), yakni
lembaga yang mempunyai anggota tungku tigo sajarangan. Tungku tigo sajarangan adalah
perwakilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik pandai (kaum intelektual) dan
niniak mamak (pemimpin suku-suku dalam nagari). Keputusan penting yang hendak diambil
selalu dimusyawarahkan sela wali nagari dan tungku tigo sajarangan di balai aturan sejak
dahulu kala atau balairung sari nagari. Untuk legislasi, dibentuklah Badan Musyawarah
Nagari (BMN) nama lain dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Unsur dalam BMN
memuat unsur pada KAN dan dilengkapi dengan unsur pemuda, wanita dan perwakilan tiap
suku. BMN bermarkas sebagai unsur penyelenggara pemerintahan nagari, yang dikuatkan
dengan acara musyawarah dan mufakat dengan masa jabatan selama 6 tahun dan mampu
diangkat/diusulkan kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Jumlah anggota BMN
dikuatkan dengan jumlah ajaib, paling sedikit 5 orang dan paling banyak 11 orang, dengan
memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan nagari, serta
dikuatkan dengan keputusan Bupati/Walikota.
E. PENGHULU, FUNGSI PENGHULU
Penghulu dalam masyarakat adat Minangkabau adalah pemimpin kaumnya dan pemuka
adat dalam Nagari. Jabatan Penghulu di Minangkabau merupakan jabatan turun- temurun
dari niniak turun ke mamak dan dari mamak turun kepada kemenekan yang segaris
ketururan berdasarkan garis keturunan di pihak ibu. Biasanya yang berhak menyandang
gelar penghulu adalah kemenekan terdekat dari seorang mamak yang biasanya disebut
dengan kemenakan dibawah dagu. Seorang penghulu di Minang kabau adalah seorang
pemimpin dikaumnya yang tanggung jawabnya adalah untuk membimbing anak
kemenakannya, selain itu penghulu juga menjadi niniak mamak dalam Nagari yang biasanya
tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN) atau sebutan lainnya di Minangkabau.
Penghulu atau lazim juga dipanggil datuk di Minangkabau adalah seseorang laki-laki yang
sudah memenuhi syarat menurut kaumnya, diantaranya orang baik, sudah baliq danberakal,
berilmu dan lain- lain. Penghulu lebih tinggi kedudukannya dari anak-kemenakan atau
kaumnya. Biasanya penghulu di Minangkabau adalah seseorang yang “didahulukan
selangkah dan ditinggikan seranting di kaumnya”. Penghulu dalam masyarakat Minangkabau
mempunyai tanggung jawab yang besar didalam kaumnya untuk mengatur anak
kemenakannya secara khusus dan masyarakat nagari secara umum.
Ada pun tugas dan Fungsi dari penghulu dalam mayarakat adat Minangkabau diantaranya
sebagai berikut:
1. Mengendalikan sistem pemerintahan menurut hukum adat yang berlaku dikaumnya;
2. Membimbing anak- kemenakan;
3. Mengadakan rapat dibalai adat untuk membicarakan sekitar persoalan kehidupan
masyarakat Minangkabau;
4. Memimpin kaumnya;
5. Menyelesaikan masalah secara adil yang terjadi dalam kaumnya;
6. Memelihara adat dan melestarikannya dengan cara mengajarkan kepada kaumnya;
7. Memelihara dan melestarikan harta pusaka untuk menjamin kesejahteraan kaumnya.
F. PROSES PENGANGKATAN PENGHULU
• Penghulu diangkat memalui suatu musyawarah dan mufakat.
• Bila suatu suku terdiri atas beberapa bagian yg disebut Paruik/payuang”, maka jabatan
penghulu digilirkan dari paruik yang satu ke paruik yang lain (gadang balega, kayo basalin)
• Dalam menjalankan pemerintahan seorang penghulu dibantu oleh seorang “panungkek”
yang dapat mewakili penghulu bila berhalangan. Panungkek dipilih dari paruik yang akan
mendapat giliran untuk menjadi penghuludimasa yang akan dating
• Masa jabatan penghulu adalah seumur hidup
• Penghulu di Minangkabau adalah pemimpin kaum. Beliau diangkat oleh sanak
kemenakannya. Gelar ‘Sako’ dan ‘Pusako’ yang disandangnya merupakan gelar turun-
temurun, dari ‘niniak turun ka mamak, dari mamak turun ka kamanakan’.
G. CARA PENGANGKATAN PENGHULU
1. Hiduik Bakarelaan
Hiduik bakarelaan artinya, pertukaran penghulu disebabkan karena penghulu yang lama
sudah tidak sanggup lagi menjalankan tugasnya.Sebagaimana pepatah mengatakan: " Bukik
lah tinggi, lurah lah dalam ", sehingga ia perlu diganti.
2. Mati Batungkek Budi
Mati batungkek budi maksudnya adalah penghulu yang meninggal dunia dalam keadaan
masih memegang jabatan kepenghuluannya. Sedangkan orang yang menerima jabatan
kepenghuluan selanjutnya disebut batungkek budi. Gelar pusaka dihimbaukan di tanah
sirah, yang artinya pusara. Keadaan seperti ini segera mengadakan helat untuk menegakkan
kepenghuluannya.
3. Mambangkik Batang Tarandam
Mambangkik batang tarandam artinya, mengangkat seorang penghulu setelah gelar pusaka
sudah lama terpendam yang disebabkan karena kekurangan alat untuk melaksanakannya.
4. Malakekkan Baju Talipek
Malakekkan baju talipek artinya, gelar pusaka tidak dipakai. Dalam hal ini bukan alat yang
kurang, tetapi orang yang akan menyandang gelar tersebut tidak ada. Ini mungkin
disebabkan karena orang yang berhak menyandang gelar pusaka masih kecil sehingga gelar
pusaka dilipat dahulu, menunggu dia akil baligh dan berakal. Setelah ia besar dan akil baligh,
barulah diadakan pengangkatan penghulu.
5. Manurunkan Nan Tagantuang
Manurunkan nan tagantuang artinya, mengangkat seorang penghulu dengan alasan
pengangkatan sudah lama tertangguh karena belum mendapat kesepakatan dari kaum
kemenakan terhadap calon pengganti penghulu, sehingga gelar pusaka digantung dahulu.
6. Babalah Siba Baju
Babalah siba baju atau disebut juga dengan padi sarumpun dibagi duo, artinya menambah
penghulu baru karena anak kemenakan bertambah banyak.
7. Mangguntiang Siba Baju
Mangguntiang siba baju artinya, mendirikan penghulu baru karena ada persengketaan
diantara beberapa kaum dalam menentukan calon pengganti penghulu.
8. Gadang Manyimpang
Gadang manyimpang artinya, mendirikan penghulu baru oleh suatu kaum yang ingin
memisahkan diri dari kepemimpinan yang telah ada.
H. “TUNGKU TIGO SAJARANGAN TALI TIGO SAPILIN”
• Tungku tigo sajarangan artinya ada tiga kekuatan yang memimpin masyarakat
Minangkabau. Munculnya lembaga ini adalah sebagai akibat dari perkembangan hukum
adat Minangkabau
• Tali tigo sapilin, artinya ada pula tiga aturan sebagai pegangan (pedoman) dalam
menjalani hidup bagi masyarakat di Minangkabau.
“Tungku tigo sajarangan”
• Tungku tigo sajarangan, menggambarkan adanya tiga lembaga yang memimpin
masyarakat di Minangkabau. Lembaga ini muncul dalam msyarakat adat sebagai akibat
masuknya agama Islam dan adanya wilayah pemerintahan terendah dalam negara Republik
Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 45.
• Tiga lembaga yang dimaksud adalah: Lembaga Adat yang dipimpin oleh Ninik Mamak
(Penghulu), Lembaga Agama yang dipimpin oleh Alim Ulama dan lembaga Pemerintahan
yang dipimpin oleh “Cadiak Pandai”
• Penghulu, alim ulama dan cadiak pandai bersama-sama menjalankan kekuasaan
membimbing dalam mengurus masyarakat di wilayah Minangkabau.
“Tali tigo sapilin”
• Tali tigo sapilin, menggambarkan bahwa ada pula tiga aturan yang dipakai sebagai
pedoman hidup bagi masyarakat Minangkabau, yaitu:
1. Hukum Adat, adalah aturan yang dipakai oleh Penghulu.
2. Hukum Agama, adalah ajaran agama Islam yang dijadikan pedoman oleh alim ulaama.
3. peraturan perUU
Nama : ILHAM RAMADHAN
NPM : 1910012111070
Kelas : IH 4B
Ruang : 2533
Hari/Tgl : Rabu, 26 Mei 2021
Jam : 07.30-10.00
Dosen : Adri S.H., M.H.
PERTEMUAN 13
HUKUM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN

A. SYSTEM KEKERABATAN MATRILINIAL MINANGKABAU


sistem kekerabatan dengan hasil sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau
menempatkan perempuan sebagai pewaris harta kekayaan dan laki-laki sebagai pihak yang
berpindah ke rumah perempuan. Artikel ilmiah kedua yang juga memiliki keterkaitan
dengan apa yang sudah dituliskan oleh Misnal, yaitu ulasan dari Iva (2015) yang mengangkat
judul tentang Nilai Filosofis Budaya Matrilineal di Minangkabau (Relevansinya bagi
Pengembangan Hak-Hak Perempuan di Indonesia). Iva memaparkan mengenai esensi
budaya matrilineal adat Minangkabau menurut filsafat feminisme. Seolah melanjutkan
kedua penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penelitian ini lebih menekankan pada
sistem kekerabatan Minangkabau yang terdapat dalam novel Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai
karya Marah Rusli. Berdasarkan ulasan dan penelitian terdahulu yang telah dipaparkan
sebelumnya, maka dalam penelitian ini akan menguraikan mengenai sistem kekerabatan
Minangkabau dari sisi peran perempuan dalam keluarga. Dalam sistem matrilineal,
perempuan memiliki hak yang penuh terhadap rumah gadang yang ditempatinya,
sedangkan laki-laki hanya menumpang saja. Dalam sistem ini seorang anak perempuan yang
telah menikah tinggal pada bilik-bilik (kamar) bersama suami mereka, sedangkananak
perempuan yang belum dewasa masih tidur bersama suara perempuan lain di ruang tengah
(Nurwani, 2012:67). Hal ini semakin memperkuat betapa kuatnya pengaruh dari perempuan
dalam adat Minangkabau, sebagaimana data berikut ini. “Suatu lagi yang tak baik,” kata
Ahmad Maulana; sedang senyumnya hilang dari dirinya, “perkawinan itu dipandang sebagai
perniagaan. Di negeri lain, perempuan yang dijual kepada laki-laki, artinya si laki- laki harus
memberi uang kepada si perempuan; akan tetapi di sini, laki-laki dibeli oleh perempuan,
sebab perempuan; memberi uang kepada laki- laki.” (Rusli, 1922:361).
B. PERAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DAN KEKERABATAN MATRLINIAL MINANGKABAU
1. Peran perempuan dalam sistem kekerabatan matrilinial MK
• Adalah sebagai penyambung garis keturunan dalam kerabat, karena itu kelahiran anak
perempuan sangat diharapkan,karena dengan demikian, keturunan bisa berlanjut,
sedangkan kelahiran anak laki-laki tidak punya arti apa2.
• Karena peran perempuan itu, maka kepadanya diberikan hak istimewa sebagai pemegang
harta pusaka (umbun puro pegangan kunci)
• Dalam keluarga inti, yang menjadi kepala keluarga adalah perempuan, karena suami
hanyalah pendatang, yang lebih banyak menghabiskan waktu dirumah ibunya.
• Karena perannya itu maka kepadanya diberikan gelar “Bundo Kanduang”
Sistem matrilineal menetapkan garis keturunan menurut garis perempuan, seorang anak
laki- laki atau perempuan adalah anggota kelompok kerabat ibunya dan pola menetap
setelah menikah adalah uxorilokal. Hal ini membuat posisi dan peran perempuan di
Minangkabau sering mejadi bahan kajian dan juga perdebatan. Salah satunya adalah apakah
perempuan Minangkabau pemegang kekuasaan atau hanya sebagai penerus garis
keturunan. Dalam istilah antropologi untuk pemegang kekuasaan dan penerus keturunan
berbeda yaitu matriarchat untuk kekuasaan di tangan perempuan dan matrilineal untuk
penerus garis keturunan. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa yang terdapat dalam
sistem kekerabatan di Minangkabau adalah matrilineal bukan matriakhat. Karena
sebenarnya yang berkuasa dalam kelompok kekerabatan adalah laki-laki, laki-laki yang
menjadi kepala sub klen, yang mewakili kelompok dalam urusan dengan masyarakat di
nagari. Sedangkan Peggy Reeves Sanday (1998) mempunyai pendapat lain dia menjelaskan
bahwa sebenarnya masyarakat Minangkabau adalah matriakhat karena perempuan
mempunyai kekuasaan tidak hanya sebagai penerus garis keturunan. Menurut Sanday
dalam hubungan sosial di desa perempuan sama dengan “ titik pusat dari suatu jaring”.
Perempuan senior diasosiasikan dengan tiang utama dari rumah gadang, dikatakan tiang
yang paling utama karena pertama didirikan. Sanday menjelaskan bahwa matriarkhi dalam
masyarakat Minangkabau adalah tentang perempuan sebagai pusat, asal usul, dan dasar
dari tidak hanya kehidupan tetapi juga tatanan sosial.
2. Peran laki-laki :
• Sebagai mamak dirumah ibunya:
• Dalam hubungan ke dalam. Dia adalah pemilik kekuasaan terhadap harta pusaka ( harta
ninik turun ke mamak, dari mamak ke kemenakan). Mamak dan ibu secara bersama-sama
berusaha menjaga dan mengembangkan harta pusaka. Selain dari itu laki-laki juga sebagai
pimpinan organisasi kesatuan kerabat, membimbing dan mendidik kemenakan
• Dalam hubungan keluar. Mamak mewakili keluarga dalam musyawarah suku dan nagari.
• Sebagai urang sumando di rumah istri:
• Kedudukannya lemah, tidak punya tanggung jawab terhadap anak dan isterinya
• Perannya hanya memberikan keturunan saja, karena itu dia datang pada malam hari dan
kembali kerumah ibunya pada siang hari.
C. BENTUK LAPISAN KEKERABATAN
Dalam Adat Minangkabau mempunyai bentuk tersendiri yang disebabkan karena bentuk-
bentuk lapisan-lapisan kekerabatan. Lapisan pertama disebut “bertali darah, artinya
hubungan pewaris dngan ahli waris adanya kesamaan keturunan melalui garis perempuan,
lapisan kedua disebut “ bertali Adat” adalah secara Adat hubungan pewaris dengan ahli
waris tidak diketahui bertali Adat, tetapi secara Adat diketahui keduanya dinyatakan
mempunyai hubungan kerabat karena sukunya sama, hanya berbeda negeri, sedangkan
lapisan ketiga ketiga disebut” bertali budi” artinya hubungan antara pewaris dengan ahli
waris tidak diikat dengan hubungan darah dan hubungan kesamaan suku, tetapi kelompok
di luar suku menempatkan dirinya di satu suku atau kerabat, dan berbuat jasa pada suku
tersebut. Selanjutnya lapisan keempat disebut “bertali emas” ini terjadi yang tidak sedarah
dan tidak sesuku, tetapi datang menyandar kepada suatu suku atau kaum untuk ikut
mengusahakan tanah ulayat itu, Selanjutnya mereka untuk dapat diterima sebagai kerabat
ia diwajibkan mengisi/menyerahkan sesuatu Adat dalam bentuk emas.
D. ORGANISASI KEKERABATAN MATRILINEAL DAN PERKEMBANGANNYA
1. Organisasi kekerabatan matrilinial
• Kekerabatan terendah disebut kelompok “serumah” dipimpin oleh seorang mamak
rumah.
• Jurai sebagai kesatuan di atas serumah, kalau keturunan itu sudah sangat berkembang,
yang dipimpin oleh “mamak jurai”
• Paruik sebagai kesatuan yang mendiami rumah gadang asal yang masih jelas silsilahnya
yang dipimpin oleh seorang “ Tungganai” atau “Mamak Kepala Waris” jika paruik adalah
sebagai pemegang harta pusaka. Tapi jika harta pusaka dikuasai oleh jurai maka Mamak
Kepala Waris bukan Tungganai, tapi mamak jurai.
• Suku sebagai kesatuan geneologis tertinggi yang sesama anggota sudah sulit diketahui
silsilah keluarganya, karena sudah banyak, yang dikepalai oleh seorang “ Penghulu”.
Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis matrilineal merupakan
anggota kaum dari keturunan tersebut. Di dalam sebuah kaum, unit terkecil disebut
samande. Yang berasal dari satu ibu (mande). Unit yang lebih luas dari samande disebut
saparuik. Maksudnya berasal dari nenek yang sama. Kemudian saniniak maksudnya adalah
keturunan nenek dari nenek. Yang lebih luas dari itu lagi disebut sakaum. Kemudian dalam
bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku. Maksudnya, berasal dari keturunan yang sama
sejak dari nenek moyangnya. Suku artinya seperempat atau kaki. Jadi, pengertian sasuku
dalam sebuah nagari adalah seperempat dari penduduk nagari tersebut. Karena, dalam
sebuah nagari harus ada empat suku besar. Padamulanya suku-suku itu terdiri dari Koto,
Piliang, Bodi dan Caniago. Dalam perkembangannya, karena bertambahnya populasi
masyarakat setiap suku, suku- suku itupun dimekarkan. Koto dan Piliang berkembang
menjadi beberapa suku; Tanjuang, Sikumbang, Kutianyir, Guci, Payobada, Jambak, Salo,
Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang, Dalimo, Pisang, Pagacancang, Patapang, Melayu,
Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang, Bijo dll. Bodi dan Caniago berkembang
menjadi beberapa suku; Sungai napa, Singkuang, Supayang, Lubuk Batang, Panyalai,
Mandaliko, Sumagek dll.
2. Perkembangan sistem kekerabatan matrilinial MK :
• Kesatuan kekerabatan mulai ditinggalkan, beralih kekesatuan lingkungan.
• Mamak rumah terutama di bidang ekonomi tidak banyak lagi berperan, digantikan oleh
suami/ayah. Pengaruh mamak hanya terlihat di bidang moral dan adat.
• Peran tungganai atau MKW hanya terlihat dalam kasus2 tertentu, seperti tampil
dipengadilan mewakili angggota kaum dalam sengketa harta pusaka.
• Penggantian penghulu lebih banyak dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi dan
penampilan pribadi dari ketuaan dan pewarisan
• Kekompakan anggota organisasi dalam lingkungan rumah gadang, sekarang sudah beralih
ke keluarga inti.
• Harta pusaka yang selama ini menjadi tulang punggung kelansungan kehidupan ekonomi
keluarga sekarang telah menipis, dijual dan bahkan diolah oleh anak laki- laki.
E. KAUM
Kaum Adalah kesatuan geneologis yang menguasai harta pusaka. Dengan demikian kalau
harta pusaka dikuasai oleh paruik, maka yang diartikan kaum adalah orang-orang yang ada
dalam paruik tersebut. Tapi bila harta pusaka sudah dibagi-bagikan kepada jurai karena
paruik sudah demikian berkembang, maka kaum adalah orang yang ada dalam jurai.
anggota kaum :
• Kemenakan bertali darah, yaitu orang yang nyata2 dapat ditarik garis silsilahnya ke ibu
asal.
• Kemenakan bertali adat, yaitu anggota yang datang dari luar lingkungan,
menggabung pada suku asal dan mereka berasal dari satu suku yang sama dengan suku asal.
• Kemenakan bertali budi, yaitu anggota yang diterima bergabung ke dlm suku asal, karena
adanya jasa/budi yang diberikan pada suku asal.
• Kemenakan bertali emas, yaitu anggota yang menggabungkan diri pada suku asal dengan
melakukan pembayaran kepada suku asal.
Hak anggota kaum
• Semua anggota kaum tersebut mempunyai hak yang sama pada setiap tingkatannya baik
dibidang sosial, ekonomi, kecuali terhadap sako dan pusako. Sako (penerusan gelar
penghulu) dan pusako (penerusan harta kekayaan) hanya dapat diwarisi oleh kemenakan
bertali darah saja, kecuali kalau kemenakan bertali darah sudah tidak ada lagi (punah).
Sebuah kaum merupakan kumpulan dari jurai dan tiap jurai tidak sama jumlah anggotanya.
Setiap jurai membuat rumah gadang pula, tetapi rumah gadang asal tetap dipelihara
bersama sebagai rumah pusaka kaum. Pimpinan tiap jurai ini disebut tungganai atau mamak
rumah sebuah anggota jurai.
F. PEMBELAHAN SUKU
• Apabila anggota dalam sebuah suku sudah demikian berkembang, maka dilakukanlah
pembelahan suku, artinya orang yang satu suku dibagi dua.
• Pembelahan suku itu melebihi lingkup rumah gadang, sehingga tidak dapat dikatakan
sebuah paruik.
• Dengan terjadinya pembelahan suku tersebut, maka diangkat pulalah seorang pemimpin
yang baru (penambahan penghulu baru), sehingga merupakan perluasan dari suku asal.
1. Suku Asal
Kata suku dari bahasa Sanskerta, artinya “kaki”, satu kaki berarti seperempat dari satu
kesatuan. Pada mulanya negeri mempunyai empat suku, Nagari nan ampek suku. Nama-
nama suku yang pertama ialah Bodi, Caniago, Koto, Piliang. Kata-kata ini semua berasal dari
sanskerta :
• Bodi dari bhodi (pohon yang dimuliakan orang Budha)
• Caniago dari caniaga (niaga = dagang) ·
• Koto dari katta (benteng)
• Piliang dari pili hiyang (para dewa) Bodi Caniago adalah kelompok kaum Budha dan
saudagar-saudagar (orang-orang niaga) yang memandang manusia sama derajatnya. Koto
Piliang adalah kelompok orang-orang yang menganut agama Hindu dengan cara hidup
menurut hirarki yang bertingkat-tingkat. Dalam tambo, kata-kata Bodi Caniago dan Koto
Piliang ditafsirkan dengan : Budi Caniago = Budi dan tango, budi nan baharago, budi nan
curigo Merupakan lambang ketinggian Dt. Perpatih nan Sabatang dalam menghadapi
pemerintahan aristokrasi Dt. Katumanggungan. Koto Piliang = kata yang pilihan (selektif)
dalam menjalankan pemerintahan Dt. Katumanggungan.
2. Pertambahan Suku
Suku yang empat itu lama-lama mengalami perubahan jumlah karena :
• Pemecahan sendiri, karena warga sudah sangat berkembang. Umpama : suku koto
memecah sendiri dengan cara pembelahan menjadi dua atau tiga suku.
• Hilang sendiri karena kepunahan warganya, ada suku yang lenyap dalam satu nagari.
• Perpindahan, munculnya suku baru yang warganya pindah dari negeri lain.
• Tuntutan kesulitan sosial, hal ini timbul karena masalah perkawinan, yang melarang kawin
sesuku (eksogami). Suatu suku yang berkembang membelah sukunya menjadi dua atau tiga.
Biasanya suku-suku yang baru tidak pula mencari nama baru. Nama yang lama ditambah
saja dengan nama julukan. Jika suku bari itu terdiri dari beberapa ninik, jumlah ninik itu
dipakai sebagai atribut suku yang baru itu. Koto Piliang memakai angka genap dan Bodi
Caniago memakai angka ganjil. Umpama :
• Suku Melayu membelah menjadi : melayu ampek Niniak, Melayu Anam Niniak, Caniago
Tigo Niniak, Caniago Limo Niniak (Bodi Chaniago)
• Kalau gabungan terdiri dari sejumlah kaum, namanya : Melayu Ampek Kaum (Koto
Piliang), Melayu Tigo Kaum (Bodi Caniago)
• Apabila gabungan terdiri dari sejumlah korong namanya : Melayu Duo Korong (Koto
Piliang), Caniago Tigo Korong (Bodi Caniago).
G. BENTUK-BENTUK HUBUNGAN KEKERABATAN
1. Hubungan kekerabatan “mamak kemenakan”
• Yaitu hubungan antara sorang laki-laki dengan anak dari saudara perempuannya.
Laki-laki itu disebut mamak, anak dari saudara perempuannya itu disebut kemenakan.
• Terhadap kemenakan perempuan, peran mamak membimbing dalam hal menyambut
warisan untuk kelanjutan garis kekerabatan.
• Terhadap kemenakan laki-laki, peran mamak membimbing dalam memelihara harta
pusaka, dan mempersiapkan laki-laki mewarisi fungsi mamak
2. Hubungan kekerabatan “suku sako”
• Yaitu hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam lingkup masyarakat adat yang
terikat oleh keturunan matrilinial.
• Hubungan ini menonjolkan hubungan geneologis saja, karena sama-sama berasal dari
suku yang sama.
• Hubungan ini dimulai dengan lingkungan terendah yaitu serumah gadang,
sekampung,sesuku. Hubungan orang ini tidak lagi sesumah,sekampung,seharta sepusaka,
tapi dulu berasal dari keturunan yang sama.
3. Hubungan kekerabatan “induak bako anak pisang”
• Yaitu hubungan antara seorang perempuan dengan anak-anak dari saudara laki- lakinya,
atau hubungan antara anak laki-laki atau perempuan dengan saudara perempuan ayahnya.
• Hubungan ini penting menurut adat Minangkabau, karena hubungan inilah yang akan
mendekatkan ayah dan anak.
4. Hubungan kekerabatan “sumando pasumandan”
• Hubungan antara suami dengan orang dirumah istrinya. Suami disebut urang sumando,
saudara laki-laki dari istri disebut bisan, dan saudara perempuan dari istri disebut ipar.
• Hubungan antara isteri dengan orang dirumah suaminya. Istri dirumah suami disebut
sumandan, saudara perempuan/ laki-laki dari suami disebut ipar.
• Hubungan antara keluarga suami dengan keluarga istri disebut bisan
• Bagi seorang ayah/ibu, suami dari anak perempuan atau istri dari anak-laki-lakinya disebut
menantu sepanjang syara’, bagi seorang mamak/istrinya, suami dari keenakan kerempuan
atau istri dari kemenakan laki-laki disebut menantu sepanjang adat.
Bentuk kekerabatan pada umumnya :
1. Sistem kekerabatan parental (bilateral) Dalam sistem kekerabatan ini menarik garis
keturunan dari ayah dan ibu. Penganut sistem kekerabatan ini di antara masyarakat Jawa,
Madura, Sunda, Bugis, dan Makassar. Seorang anak akan terhubung dengan kedua orang
tuanya dan sekaligus kerabat ayah-ibunya secara bilateral. Konsekuensi sistem kekerabatan
parental yaitu berlaku peraturan yang sama mengenai perkawinan, kewajiban memberi
nafkah, penghormatan, dan pewarisan. Seseorang akan memperoleh semenda dari jalan
perkawinan, baik perkawinan langsung atau perkawinan sanak kandungnya.
2. Sistem kekerabatan patrilineal Dalam sistem kekerabatan ini menarik keturunan hanya
dari satu pihak yaitu sang ayah saja. Anak akan terhubung dengan kerabat ayah berdasarkan
garis keturunan laki-laki secara unilateral. Penganut sistem ini di antaranya masyarakat
Batak, Bali, Ambon, Asmat, dan Dani. Konsekuensi sistem kekerabatan patrilineal adalah
keturunan dari pihak bapak (lelaki) memiliki kedudukan lebih tinggi. Hak-hak yang diterima
juga lebih banyak.
3. Sistem kekerabatan matrilineal Sistem kekerabatan ini menarik garis keturunan dari pihak
ibu saja. Anak akan terhubung dengan ibunya, termasuk terhubung dengan kerabat ibu,
berdasarkan garis keturunan perempuan secara unlateral. Konsekuensi sistem kekerabatan
ini yaitu keturunan dari garis ibu dipandang sangat penting. Dalam urusan warisan,
misalnya, orang dari garis keturunan ibu mendapatkan jatah lebih banyak dari garis bapak.
Sistem kekerabatan ini bisa dijumpai pada masyarakat Minangkabau dan Semando.
H. SISTEM PERKAWINAN
Dalam bentuk kekerabatan yang matrilinial, perkawinan yang sesuai dengan sistem ini
adalah dengan mendatangkan laki-laki dari luar lingkungan untuk menghasilkan keturunan
yang akan mengembangkan anggota kelompok.
• Perkawinan itu disebut kawin semendo
• Suami yang didatangkan disebut urang sumando
• Suami tidak masuk anggota kelompok, dia hanya bapak biologis, tidak bapak sosial.
• Status sosial ayah tidak diperhitungkan, kecuali untuk dapat bibit yang baik.
• Karena menganggap orang2 dalam kelompok ibu adalah keluarga, maka cari jodoh harus
dari luar suku (eksogami), tapi harus didalam nagari (endogami)
• Apabila terjadi perkawinan sesuku maka kepada pelaku akan diberi sanksi yaitu dibuang.
• Eksogami suku berarti bahwa seseorang tidak boleh mengambil jodoh dari kelompok
sukunya, tapi harus dalam nagari yang sama (endogami nagari) karena seorang suami
bertempat di dua rumah yaitu rumah istrinya dan rumah keluarganya.
Perkawinan di Minangkabau terbagi dari beberapa bagian, antara lain; kawin ideal dan
kawin pantang. Kawin Ideal disebut juga dengan perkawinan awak samo awak atau pulang
ka bako. Menurut alam pikiran orang Minangkabau perkawinan yang paling ideal ialah
perkawinan antara keluarga dekat. seperti perkawinan antara anak kemenakan. Pulang ke
Mamak artinya mengawini anak mamak, sedangkan Pulang ke Bako maksudnya adalah
mengawini kemenakan Ayah. Tingkat perkawinan ideal berikutnya ialah perkawinan ambil
mengambil. Artinya kakak beradik laki-laki dan perempuan A menikah secara bersilang
dengan kakak beradik laki-laki dan perempuan B. Urutan selanjutnya ialah perkawinan
orang sekorong sekampung. Senagari. seluhak. Dan akhirnya sesama Minangkabau.
Perkawinan dengan orang luar kurang disukai, meskipun tidak dilarang. Dengan kata lain.
perkawinan ideal bagi masyarakat Minangkabau ialah perkawinan antara "awak samo
awak", ltu bukan menggambarkan bahwa mereka menganut sikap yang eksklusif. Pola
perkawinan "awak sarna awak" itu berlatar belakang sistem komunal dan kolektivisme yang
dianutnya. Sedangkan Kawin Pantang ialah kawin yang dilarang atau tidak boleh dilakukan
oleh orang Minangkabau, apabila tetap dilakukan akan mendapatkan sanksi hukuman. Di
samping itu ditemui pula semacam perkawinan sumbang, yang tidak ada larangan dan
pantangannya, akan tetapi lebih baik tidak dilakukan. Perkawinan yang dilarang ialah
perkawinan yang terlarang menurut'hukum perkawinan yang telah umum seperti
mengawini ibu, ayah. anak saudara seibu dan sebapak, saudara ibu dan bapak, mamak, adik
dan kakak, mertua dan menantu. anak tiri dan ibu atau bapak tiri. saudara kandung istri atau
suami, dan anak saudara laki-Iaki ayah. Perkawinan pantang ialah perkawinan yang akan
merusakkan sistem adat mereka, yaitu perkawinan orang yang setali damh menurut stelsel
matrilineal, sekaum, dan juga sesuku meskipun tidak ada hubungan kekerabatan dan tidak
sekampung halaman.
I. URANG SUMANDO DAN PERKEMBANGANNYA
Urang sumando berarti sebagai suami, ia akan tinggal dan bermukim di rumah keluarga
istrinya. Sebagai seorang sumando, lelaki Minang haruslah sangat berhati-hati, karena
posisinya di rumah keluarga istrinya hanyalah sebagai seorang tamu. Dalam adat Minang
posisi urang sumando digambarkan sebagai bak abu di ateh tunggua artinya posisinya
lemah. Namun, meskipun posisinya lemah di tengah keluarga istrinya sebagai urang
sumando, ia sangat dihormati. Untuk memanggil saja misalnya, ia tidak boleh dipanggil
nama secara langsung melainkan yang dipanggil adalah gelarnya. Perkembangan urang
sumando
1. Urang sumando batandang, yaitu urang sumando yang hanya datang kerumah istri pada
malam hari dan pergi pada pagi harinya. Perannya hanya sebagai pemberi keturunan, tidak
bertanggung jawab memberi nafkah.
2. Urang sumando mementap, apabila suami sudah menetap tinggal dirumah istri dan sudah
bertangung jawab terhadap anak dan istrinya dengan cara membantu istri mengolah sawah
ladang untuk menghidupi anak2nya
3. Urang sumando bebas, kalau suami sudah membawa anak dan istrinya keluar dari rumah
istrinya dan tinggal bersama sebagai kelurga inti, suami sebagai kepala keluarga
bertanggung jawab penuh memberi nafkah terhadap istri dan anak2nya
Nama : ILHAM RAMADHAN
NPM : 1910012111070
Kelas : IH 4B
Ruang : 2533
Hari/Tgl : Rabu, 02 Juni 2021
Jam : 07.30-10.00
Dosen : Adri S.H., M.H.
PERTEMUAN 14
HUKUM HARTA KEKAYAAN DAN HUKUM WARIS
A. MACAM-MACAM HARTA KEKAYAAN
1. Kategorisasi dan Klasifikasi Harta Kekayaan
Kategorisasi dan klasifikasi harta kekayaan menurut masing-masing sistim hukum berbeda-
beda sebagai- mana sistim social yang menjadi konteks social berlakunya hukum itu.
Konteks social berlakunya hukum ialah nilai-nilai social-budaya yang menjadi dasar atau
rohnya hukum, sistim social yaitu strata social yang menjadi dasar bekerjanya struktur
hukum, dan pola pikir masyarakat/komunitas yang mendasari budaya hukum. Dalam
pandangan hukum adat, keluarga sebagai kesatuan paguyuban baik berdasarkan darah
(geneologis) maupun karena daerah (territorial) atau campuran keduanya, mempunyai
kewajiban untuk menyediakan harta benda baik material maupun immaterial demi
kelangsungan hidup dan kehidupan anak cucu atau ahli waris mereka. Harta kekayaan ini
merupakan bekal material dalam kehidupan mereka sehari-hari. Harta kekayaan ini
merupakan peninggalan orang tua atau leluhur mereka. Orang tua atau leluhur selama
hidup mereka berupaya mengumpulkan harta benda ini dengan tujuan kebahagiaan dan
kesejahteraan anak cucunya.
2. Harta Kekayaan dalam Kosmologi Hukum serta Konsep tentang Kategorisasi dan
Klasifikasi Harta Kekayaan
Kosmologi hukum berasal dari kata kosmologi dan hukum. Kosmologi adalah cara
pandangan masyarakat hukum adat atau alam berpikir masyarakat hukum adat tentang
alam semesta serta kedudukan mereka dalam alam semesta itu dikonsepkan. Ber- dasarkan
cara pandang ini, alam dipandang sebagai ibu, dan alam diaktualkan dalam bentuk tanah,
sehingga tanah disebut sebagai ibu, yaitu Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi. Namun, ada pula
masyarakat hukum adat yang alam berpikir mereka tidak bertaut atau terikat pada alam,
tetapi pada leluhur. Dalam konteks yang sedang di- bahas, alam dan leluhur adalah
manunggal. Perbedaan pandang-an tentang hubungan mereka tidak berakar pada konsep
dasar, tetapi pada definisi mereka tentang hubungan itu. Sedangkan konsep dasarnya
adalah bahwa antara manusia, leluhur, dan alam adalah tunggal dan manunggal. Kosmologi
hukum adat menyatakan bahwa alam (tanah) dan leluhur adalah tunggal dan manunggal.
Saya tidak menyata- kan ‘sama dengan’ tetapi ‘tunggal dan manunggal.’ Pada masya- rakat
hukum adat yang sistim kekerabatannya matrilineal, hubu- ngan antara alam dan manusia
dikonsepkan bahwa hubungan antara tanah (alam), ibu (leluhur = buah perut), rumah (yoni
= anak cucu) adalah tunggal dan manunggal sebab ketiganya berada dalam satu konsep
yaitu kesuburan (fertilitas bumi). Pada masya- rakat yang sistim kekerabatannya patrilineal,
hubungan antara alam dan manusia dikonsepkan bahwa hubungan antara langit (alam),
ayah (leluhur = marga/fam), lingga (anak cucu) adalah tunggal dan manunggal, sebab
ketiganya berada dalam satu konsep yaitu kekuasaan (ceiling powers or power of the
heavens). Berbeda dengan masyarakat hukum adat parental, hubungan kedua konsep diatas
sama-sama diperhitungkan dan diperhati- kan. Berangkat dari konsep kosmologi yang
demikian itu, maka idea tentang kategorisasi dan klasif ikasi benda dan harta kekayaan
dikonsepkan. Menurut Iman Sudiyat dan Surojo Wignjodipuro bahwa dalam hukum adat,
harta benda keluarga dibagi atas 4 macam, yaitu:
a. Harta asal;
b. Harta bersama atau harta gono-gini;
c. Harta yang diperoleh melalui usaha sendiri; dan
d. Harta yang diperoleh sebagai hadiah pada waktu perkawinan.
B. HARTA PUSAKA, FUNGSI DAN MACAM-MACAMNYA
Harta Pusaka merupakan harta yang diurus dan diwakili oleh ninik mamak kepala waris
diluar dan di dalam peradilan dan berlaku hukum adat, sedangkan Harta Pencaharian
diwarisi oleh ahli waris menurut hukum faraidh yaitu hukum Islam yang mengatur mengenai
pembagian harta secara agama Islam.
Macam-macam harta puusaka dan fungsinya :
1. Harta pusaka tinggi diartikan sebagai harta yang dimiliki oleh keluarga dari pihak ibu atau
perempuan. Dari harta tersebut, mereka diberi hak pengelolaan, bukan kepemilikan. Hasil
dari hak pakai itu kemudian dibagi rata sesuai dengan jumlah kerabat dalam satu keluarga.
Fungsi Harta Pusako Tinggi adalah pemersatu dalam jurai, kaum, suku dan bagi masyarakat
Minangkabau pada umumnya, sekaligus untuk mengetahui asasketurunanmenurut jalur
adat. Harta tersebut juga harta cadangan bagi suatu kaum. Jika ada salah seorang anak
kemenakan yang hidupnya agak susah, harta tersebut dapat dimanfaatkan.
2. harta pusaka rendah adalah harta yang diperoleh dari jerih payah keluarga, baik ayah
maupun ibu. Harta itu diperoleh melalui transaksi jual beli. Karena harta tersebut dapat
diperjualbelikan, umumnya harta pusaka rendah dibuatkan sertifikat, misalnya, tanah.
Meski memiliki pengertian berbeda, harta pusaka tetap menyimpan artian khusus. Menjual
tanah pusaka bukan kebiasaan masyarakat Minang. Apalagi alasan jual adalah untuk
bermewah-mewahan.
C. TANAH ULAYAT, MACAM-MACAM TANAH ULAYAT
Tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Hak ulayat
merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang
berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. jenis tanah ulayat
bagi masyarakat minangkabau dibagi 4 sesuai dengan Pasal 5 Perda ini yaitu tanah ulayat
nagari, tanah ulayat suku tanah ulayat kaum dan tanah ulayat rajo.
1. Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada di atas dan
di dalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak kerapatan adat nagari (“KAN”)
dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan
pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya. Tanah
ulayat nagari berkedudukan sebagai tanah cadangan masyarakat adat nagari, penguasaan
serta pengaturannya dilakukan oleh ninik mamak KAN bersama pemerintahan nagari
dengan adat minangkabau dan dapat dituangkan dalam peraturan nagari.
2. Tanah ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah berserta sumber daya alam yang
berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku
tertentu yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku. Tanah
ulayat suku berkedudukan sebagai tanah cadangan bagi anggota suku tertentu di nagari,
penguasaan dan pengaturannya dilakukan oleh penghulu suku berdasarkan musyawarah
mufakat dengan anggota suku sesuai dengan hukum adat minangkabau.
3. Tanah ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang
ada diatas dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari
jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai/mamak kepala
waris. Sementara itu, tanah ulayat kaum berkedudukan sebagai tanah garapan dengan
status ganggam bauntuak pagang bamansiang oleh anggota kaum yang pengaturannya
dilakukan oleh ninik mamak kepala waris sesuai dengan hukum adat minangkabau.
4. Tanah ulayat rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang
ada diatas dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki
tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup disebagian Nagari di Propinsi
Sumatra Barat. Tanah ulayat rajo berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status
ganggam bauntuk pagang bamansinag oleh anggota kaum kerabat pewaris rajo yang
pengaturannya dilakukan oleh laki-laki tertua pewaris rajo sesuai hukum adat minangkabau.
D. ASAS-ASAS KEWARISAN
1. Asas Ijbari
Secara etimologi “Ijbari” mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu diluar
kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang
telah meninggal kepada yang masih hidup terjadi dengan sendirinya. Artinya tanpa adanya
perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari pewaris. Dengan perkataan lain adanya
kematian pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya. Asas Ijbari ini
dapat dilihat dari berbagai segi yaitu: 1 dari peralihan harta, 2 dari segi jumlah harta yang
beralih, 3 dari segi kepada siapa harta itu akan beralih. Kententuan asas Ijbari ini dapat
dilihat antara lain dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat 7 yang menyelaskan bahwa:
“bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya
atau dari karib kerabatnya kata nasib dalam ayat tersebut dalam arti saham, bagian atau
jatah dari harta peninggalan sipewaris.”
2. Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah seseorang
menerima hak kewarisan bersumber dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis
keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Asas bilateral ini secara tegas dapat di
temui dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176 antara lain dalam ayat
7 dikemukakan bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya
maupun ibunya. Begitu juga dengan perempuan mendapat warisan dari kedua belah pihak
orang tuanya. Asas bilateral ini juga berlaku pula untuk kerabat garis kesamping (yaitu
melalui ayah dan ibu).
3. Asas Individual
Pengertian asas individual ini adalah: setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian
yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan demikian bagian yang
diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua harta yang telah
menjadi bagianya. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat
7 yang mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan secara individu.
4. Asas keadilan berimbang
Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara antara hak dengan
kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan kegunaan.
Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak menentukan
dalam hak kewarisan. Dasar hukum asas ini adalah dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa
ayat 7, 11, 12 dan 179.
5. Kewarisan Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata- mata
karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih apabila
belum ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat
dilakukan dengan pewarisan.
E. AHLI WARIS
Ahli waris adalah orang yang berhak mendapatkan bagian dari harta warisan yang
ditinggalkan pewaris. Seseorang bisa dinyatakan sebagai ahli waris setelah ditunjuk secara
resmi berdasarkan hukum yang digunakan dalam pembagian harta warisan, yaitu hukum
Islam, hukum perdata, dan hukum adat. Berdasarkan hukum agama Islam, keberadaannya
ditentukan oleh dua hal. Pertama, karena terdapat hubungan pertalian darah ayah dan
anak. Kedua, karena terdapat hubungan pernikahan. Dalam hukum adat, ahli waris
ditentukan berdasarkan dua garis pokok, yaitu garis pokok keutamaan dan garis pokok
penggantian. Garis pokok keutamaan berasal dari keluarga pewaris di antaranya:
• Kelompok keutamaan I: Keturunan pewaris.
• Kelompok keutamaan II: Orang tua pewaris.
• Kelompok keutamaan III: Saudara-saudara pewaris dan keturunannya.
• Kelompok keutamaan IV: Kakek dan nenek pewaris dan seterusnya.
Berdasarkan Hukum Perdata, ada dua golongan yang disebut sebagai ahli waris, yaitu:
Pertama, orang yang ditunjuk oleh pewaris atau diberikan wasiat (Pasal 830 KUHPerdata).
Kedua, orang yang memiliki hubungan darah dengan pewaris dan terikat dengan
perkawinan (Pasal 832 KUHPerdata).Mengenai kelompok orang yang memiliki pertalian
darah, dibagi lagi ke dalam empat golongan berdasarkan KUHPerdata , yaitu:
• Golongan I: Suami/Istri yang hidup terlama dan anak keturunannya (Pasal 852
KUHPerdata)
• Golongan II: Orang tua dan saudara kandung pewaris
• Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris.
• Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu,
keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek
dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
F. CARA PEWARISAN
Unsur terjadinya pewarisan diperlukan unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya orang yang meninggal dunia (erflater), yang meninggalkan harta warisan yang
disebut pewaris.
2. Adanya orang yang masih hidup (erfgenaam), yaitu orang yang menurut Undang- undang
atau testaman berhak mendapat waris, yang disebut ahli waris.
Pada Hukum Waris Perdata Barat dikenal dua cara pembagian warisan untuk ahli waris
yaitu:
1. secara ab intestato (ahli waris mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan
dengan si pewaris) dan
2. secara testamentair/surat wasiat (ahli waris ditentukan oleh si pewaris dalam surat
wasiat.
Nama : ILHAM RAMADHAN
NPM : 1910012111070
Kelas : IH 4B
Ruang : 2533
Hari/Tgl : Rabu, 02 Juni 2021
Jam : 07.30-10.00
Dosen : Adri S.H., M.H.
PERTEMUAN 15
TRANSAKSI-TRANSAKSI MENURUT ADAT MINANGKABAU
A. TRANSAKSI ATAS TANAH
Yang dimaksud transaksi tanah dalam hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh sekelompok orang atau secara individu untuk menguasai sebidang tanah
yang dilakukan baik secara secara sepihak maupun secara 2 pihak sesuai dengan kebutuhan
mereka.
Macam-Macam Transaksi Tanah
1. Transaksi Tanah Sepihak Adalah suatu perbuatan yang dilakukan untuk menguasai
sebidang tanah dan tanah tersebut tidak dikuasai oleh siapa pun.
2. Transaksi Tanaha Dua Pihak Adalah transaksi tanaha yang objeknya/tanahnya telah
dikuasai oleh hak milik.
Transaksi ini biasa terjadi karena:
1. Jual lepas/jual beli
Yang dimaksud dengan jual lepas adalah suatu transaksi dimana satu pihak menyerahkan
kepemilikannya atas tanah untuk selama-lamanya kepada pihak lain/pihak ke-2 dan pihak
ke-2 tersebut telah membayar harga yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
2. Jual gadai
Jual gadai adalah penyerahan tanah oleh penjual kepada pembeli dengan harga tertentu
dan dengan hak menebusnya kembali.
3. Jual tahunan
Terjadi apabila pemilik tanah menyerahkan milik tanahnya kepada orang orang lain untuk
beberapa tahun panen dengan menerima pembayaran terlebih dahulu dari
penggarap(orang lain itu).
B. TRANKSAKSI YANG ADA HUBUNGANNYA DENGAN TANAH
Beberapa macam transaksi yang berhubungan dengan tanah:
• Transaksi bagi hasil tanam.
• Sewa.
• Transaksi pinjam uang dengan tanggungan tanah.
• Numpang.
• Kombinasi bagi hasil tanam-sewa-jual gadai. contoh tranksaksi tanah menurut adat :
• Jual Gadai , Si A mempunyai sebuah sawah dan ia membutuhkan sejumlah uang.
Kemudian Sia A mengadaikan sawahnya kepada orang/warga untuk mendapatkan sejumlah
uang (hutang dengan jaminan sawah) dengan perjanjian antara orang yang menggadaikan
sawah dan orang yang memberi hutang. Setelah si Asudah mempunyai uangataumembayar
hutangnya maka sawahnya dapat ditarik kembali dari orang yang memberi hutang
walaupun belumjatuh tempo. Dimanapemiliktanahatausawah (pejualgadai)
hanyadapatmemilikiataumengusaitanahnyakembalidengancaramembayarataumeng
embalikanuangkepadaorang yang menggadaisawahnya.
• Jual lepas , Si A mempunyai sebuah sawah, kemudian si A menjual tanahnya kepada orang.
Dimana orang yang menjual sawah mendapatkan uang, tetapi dengan menyerahkan tanda
bukti kepemilikan sawah kepada pembeliuntuk selama- lamanyadengan perjanjianharga
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Pemilik sawah berpindah sepenuhnya kepada
pembeli (pemilikbaru)

Anda mungkin juga menyukai