Mata Pelajaran :
Akidah Akhlak
Disusun Oleh:
2. Karto Rahardjo
4. Sofiyanti
5. Inayatul Lasmi
6. Wiwit Septiarni Widian
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan dan jasmani dan rohani sehingga kita masih bisa
menikmati keindahan alam ciptaan-Nya.sholawat dan salam tetaplah kita
curahkan kepada nabi Muhammad Saw yang telah menuntun umatnya ke jalan
yang lurus berupa ajaran agama Islam. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yg berjudul ”Bughat".
Penulis
DAFTAR ISI
COVER........................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang......................................................................... 1
B.Rumusan Masalah................................................................... 2
C.Tujuan....................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A.pengertian bughat..................................................................... 4
B. Dasar hukum............................................................................. 5
C.unsur-unsur bughat................................................................... 6
D.Sanksi bughat............................................................................ 7
A.Kesimpulan................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui Pengertian Bughat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bughat
Secara etimologi, kata bughat berasal dari bahasa Arab بَغَىyang memiliki arti yang
sama dengan kata ظَلَ َمyaitu berlaku zalim, menindas.[1] Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata bughat berasal dari kata yang berarti menginginkan
sesuatu.[2]Sebagaimana dalam firman Allah SWT surat Al-Kahfi ayat 64:
ٰ َ َق
ِ َال َذلِكَ َما ُكنَّا نَب ِْغ ۚ فَارْ تَ َّدا َعلَ ٰى آث
َ َار ِه َما ق
]١٨:٦٤[ صصًا
“Musa berkata: Itulah (tempat) yang kita cari.” (QS. Al-Kahfi: 64 Dalam ‘urf, kata
al-baghyu diartikan meminta sesuatu yang tidak halal atau melanggar hak.
Sedangkan secara terminologi, terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh
dalam mendefinisikan tindak pidana baghat, antara lain:
B. Dasar Hukum
َت إِحْ دَاهُ َما َعلَى اأْل ُ ْخ َر ٰى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَب ِْغي َحتَّ ٰى تَفِي َء ْ فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَهُ َما ۖ فَإِ ْن بَغ7َوإِ ْن طَائِفَتَا ِن ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ا ْقتَتَلُوا
َ بَ ْينَهُ َما بِ ْال َع ْد ِل َوأَ ْق ِسطُوا ۖ إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين7ت فَأَصْ لِحُواْ إِلَ ٰى أَ ْم ِر هَّللا ِ ۚ فَإِ ْن فَا َء
“Dan apabila ada dua golongan dari orang-orang yang beriman berperang maka
damaikanlah keduanya. Apabila salah satu dari keduanya itu berbuat aniaya
terhadap golongan lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah
kembali(kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil,
dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.”(QS. Al Hujuraat :9)
ِ اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَإِ ْن تَنَازَ ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا7ُول َوأُولِي َ هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرس7يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا
َوال َّرسُو ِل إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذلِكَ خَ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ تَأْ ِوياًل
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul- Nya dan Ulil
Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat, tentang sesuatu
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul-Nya (sunnahnya) jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa:59)
7 السمع والطاعة على المرء المسلم فيما احب او كرها مالم يؤمرو: قال.م. عن النبى ص.ع.عن ابن عمر ر
) ومسلم7بمعصية فال سمع وال طاعة (رواه البخارى
Artinya:” dari ibnu umar r.a. dari nabi SAW beliau bersabda: mendengar dan
menaati terhadap imam yang adil merupakan kewajiban orang muslim, baik yang
ia sukai maupun yang ia benci selama ia tidak diperintah melakukan maksiat,
tidaklah boleh didengar dan ditaati”. (H.R. Bukhori dan Muslim)[5]
C. Unsur-Unsur Bughat
Dari Abdullah bin Syaddad ia berkata, berkata Ali R.A. kepada kaum khawarij,
“kamu boleh berbuat sekehendak hatimu dan antara kami dan antara kamu
hendaklah ada perjanjian, yaitu supaya kamu jangan menumpahkan darah yang
diharamkan (membunuh). Jangan merampok di jalan, jangan menganiaya
seseorang. Jika kamu berbuat itu, penyerangan akan diteruskan terhadap kamu
sekalian (HR. Ahmad dan Hakim) Dengan keterangan ini, dapat ditegaskan bahwa
gerombolan itu belum boleh diperangi begitu saja selagi mereka bersedia diajak
berunding dan belum merusak.[7]
D. Sanksi Bughat
Dalam menentukan sanksi bagi pelaku pidana bughat atau pemberontakan dibagi
menjadi dua hal, yakni; Pertama, Tindak pidana yang berkaitan langsung dengan
pemberontakan. Yang dimaksud tindak pidana yang berkaitan langsung dengan
pemberontakan adalah berbagai tindak pidana yang muncul sebagai bentuk
pemberontakan terhadap pemerintah, seperti perusakan fasilitas publik,
pembunuhan, penganiayaan, penawanan dan lain sebagainya. Sebagai
konsekuensi dari berbagai kejahatan yang langsung berkaitan dengan
pemberontakan tersebut, pelaku tidak mendapat jarimah biasa, akan tetapi
mendapat hukuman mati. Akan tetapi, jika imam memberikan pengampuan
(amnesti), maka pelaku pemberontakan akan mendapatkan hukuman ta’zir.
Kedua, Tindak pidana yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan.
Yang dimaksudkan dengan tindak pidana yang tidak berkaitan dengan
pemberontakan adalah berbagai tindak kejahatan yang tidak ada korelasinya
dengan pemberontakan, tapi dilakukan pada saat terjadinya pemberontakan atau
peperangan. Beberapa kejahatan tersebut seperti minum minuman keras, zina
atau perkosaan, pencurian, dan lain sebagainya.
َت إِحْ دَاهُ َما َعلَى اأْل ُ ْخ َر ٰى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَب ِْغي َحتَّ ٰى تَفِي َء ْ فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَهُ َما ۖ فَإِ ْن بَغ7َوإِ ْن طَائِفَتَا ِن ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ا ْقتَتَلُوا
َ بَ ْينَهُ َما بِ ْال َع ْد ِل َوأَ ْق ِسطُوا ۖ إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين7ت فَأَصْ لِحُواْ إِلَ ٰى أَ ْم ِر هَّللا ِ ۚ فَإِ ْن فَا َء
“Dan jika ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan telah kembali (kepada
perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku
adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.” (QS. Al-
Hujurat: 9)
Strategi islah dengan cara dialog sebagai tindakan awal untuk menyelesaikan
pemberontakan tersirat dalam ayat di atas. Hal ini juga beberapa kali pernah
dilakukan oleh Ali bin Abu Thalib saat menjadi Khalifah. Misalnya ketika muncul
kaum Khawarij, yakni segolongan kaum muslimin yang berlainan faham politik,
menentang kebijakan serta menyatakan keluar dari pemerintah. Menurut
riwayat, jumlah kaum Khawarij pada waktu itu diperkirakan 8000 orang. Khalifah
Ali mengutus Ibnu Abbas kepada untuk mendekati dan dialog kepada mereka agar
kembali patuh kepada imam. Setelah berunding dan bertukar pikiran, 4000 orang
diantara mereka kembali masuk ke dalam pemerintahan, sedang 4000 lainnya
tetap menjadi gerombolan. Sisanya tersebutlah yang kemudian boleh diperangi.
Sebelum terjadinya perang Jamal (Unta), Khalifah Ali juga pernah mengirimkan
utusan untuk melakukan pendekatan dialoh dan ajakan untuk patuh pada imam
kepada penduduk Basrah. Bahakan Khalifah Ali menekankan kepada para sahabat
untuk tidak memulai pertempuran. Pendekatan dialog serta ajakan untuk kembali
patuh kepada imam sebelum melakukan perang bagi pemberontak, menunjukkan
bahwa Islam merupakan ajaran cinta damai, mengajarkan kasih sayang dan
menjadi rahmat untuk alam semesta “rahmatan lil alamin”. Perimbangan lain,
pertempuran dalam bentuk apapun hanya akan menimbulkan kerugian kepada
kedua belah pihak. Untuk menentukan hukum dalam Islam, selain pertimbangan
nash juga ada kaidah fiqh yang bisa menjadi pedoman. Salah satu kaidah fiqh
tersebut adalah maslahat mursalah, yakni menetapkan hukum dalam hal-hal yang
sama sekali tidak disebutkan dalam al-quran maupun al-sunnah, dengan
pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang
bersendikan pada asas menarik manfaat dan menghindari kerusakan.[9]
Secara etimologi, terorisme memiliki kata dasar terror. Ia berasal dari bahasa
Latin terrorem yang berarti rasa takut yang luar biasa. Bila merujuk Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), teror dimaknai sebagai usaha menciptakan ketakutan,
kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. W.J.S. Poerwadarminta
(2006) mengartikan terorisme sebagai praktekpraktek tindakan terror;
penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai
suatu tujuan (terutama politik).[10] Senada dengan Poerwadarminta, B.N.
Marbun dalam Kamus Politik mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan
kekerasan yang ditujukan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai
satu tujuan (terutama tujuan-tujuan politik). Tujuannya, untuk mempromosikan
kepentingan politiknya, sehingga dunia internasional tahu apa yang mereka
perjuangkan.[11] Cara memerangi bughat hendaklah dengan cara membela diri,
sebagaimana yang telah dijelaskan. Berarti dengan tertib dari yang seringan-
ringan nya, karena yang dimaksud adalah supaya mereka kembali taat kepada
imam dan melenyapkan kejahatan mereka.[12] Kaum bughat yang tertawan
hendaklah diperlakukan;
a) Kalau ada yang luka jangan ada yang menambah lukanya, seperti memukul
dan sebagainya.
c) Mereka yang lari tidak perlu di cari, kecuali bila ia mengganggu keamanan.
Dari Ibnu Umar R.A. ia berkata “Telah bersabda Rasulullah SAW. Tahukah engkau
bagai mana hukum Allah dalam perkara orang-orang yang telah jadi kaum bughat
dari umat ini? Seorang dari sahabat berkata, Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu,
Rasulullah bersabda “tidak boleh ditambah lukanya, tidak boleh dibunuh tawanan
nya, tidak perlu dicari mereka yang lari, dan tidak boleh dibagi-bagi rampasan nya.
(HR. Al-Bazzar dan Hakim)[13]
َت إِحْ دَاهُ َما َعلَى اأْل ُ ْخ َر ٰى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَ ْب ِغي َحتَّ ٰى ْ بَ ْينَهُ َما ۖ فَإِ ْن بَغ7ف َوإِ ْن طَائِفَتَا ِن ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ا ْقتَتَلُوا فَأَصْ لِحُوا
َ بَ ْينَهُ َما بِ ْال َع ْد ِل َوأَ ْق ِسطُوا ۖ إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين7ت فَأَصْ لِحُوا ْ تَفِي َء إِلَ ٰى أَ ْم ِر هَّللا ِ ۚ فَإِ ْن فَا َء
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikan
lah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya, maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali pada
perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka
damaikan lah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah (Al-Hujarat:9)
Harus diakui bahwa kaum bughat itu berbahaya menurut hukum negara. Oleh
karena itu, mereka harus ditumpas dan diselesaikan perkaranya. Penjelasannya
adalah sebagai berikut:
Dalam ayat di atas dinyatakan kalimat “dua golongan dari orang-orang mu’min”
yang mengandung satu pengertian , bahwa “satu golongan “ itu, mu’min bukan
pemerintah dan mungkin pula yang satu golongan pemerintah. Adapun dalam
kalimat “ maka damaikan lah olehmu” pertama kali ayat tersebut disebut
sebelum perintah perang dan keduanya disebutkan setelah perintah berperang.
Adapun perintah mendamaikan ditunjukkan kepada orang yang berwenang untuk
mendamaikan, dalam hal ini adalah wewenang penguasa negara. Apabila
pemberontakan telah terjadi, langkah pertama ialah mengajak kedua golongan itu
untuk berdamai saja, yaitu antara golongan yang menyerang dan diserang,
terutama tokoh-tokoh pemimpinnya. Apabila diantara kedua golongan itu tidak
mau berdamai melainkan terus menerus memberontak, ada satu peraturan yang
berupa maklumat perang dari allah terhadap golongan yang memberontak itu.
Akan tetapi yang jelas bahwa yang dimaksud dengan kembali ialah kembali pada
pengakuan negara di bawah pimpinan imam yang adil yang menjalankan syariat
islam.
Hanya cara mereka itu, adakalanya dengan kesadaran sendiri, maupun kekerasan,
mereka harus di bawa ke muka pengadilan untuk di selesaikan perkara mereka,
dan membuat perdamaian menurut yang seadil adilnya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Demikianlah makalah yang saya susun. Saya yakin dalam makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Mas’ud, Drs. Ibnul, Drs Zainul Arifin. Fiqih Madzab Syafi’i, Bandung: Pustaka
Setia, 2000.
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Umar , Drs. Imron Abu, Terjemah Fathul Qorib Juz 2, Kudus: Menara Kudus, 1983.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1989.
[1] Ali Muthohar, Kamus Arab – Indonesia, ( Jakarta: PT Mizan Publika, 2005), hlm.
228.
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989),
hlm. 69.
[3] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hlm. 111.
[4] ibid.,.
[5] Drs. Ibnul Mas’ud. Drs Zainul Arifin. Fiqih Madzab Syafi’i, (Bandung: Pustaka
Setia, 2000). hlm. 539.
[7] Drs. Imron Abu Umar. Terjemah Fathul Qorib Juz 2.( Kudus: Menara Kudus,
1983). hlm. 159.
[11] B.N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), hlm. 530.
[12] Drs. Imron Abu Umar. Terjemah Fathul Qorib Juz 2. (Kudus: Menara Kudus,
1983). hlm. 159
[13] Ibid.,
[14] Drs. Ibnul Mas’ud. Drs Zainul Arifin. Fiqih Madzab Syafi’i. (Bandung: Pustaka
Setia, 2000). hlm. 538