Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH BUGHAT

Mata Pelajaran :
Akidah Akhlak

Nama Guru : Hj.


Syuaibah,S.Ag

Disusun Oleh:

1. Ahmad Yogi Hardiman

2. Karto Rahardjo

3. Baiq Hafsanah Lovy Naura

4. Sofiyanti
5. Inayatul Lasmi
6. Wiwit Septiarni Widian

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 LOMBOK TENGAH


Jln. Pejanggik No.5, Jontlak Praya Tengah
Tahun Ajaran 2021/2022

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan dan jasmani dan rohani sehingga kita masih bisa
menikmati keindahan alam ciptaan-Nya.sholawat dan salam tetaplah kita
curahkan kepada nabi Muhammad Saw yang telah menuntun umatnya ke jalan
yang lurus berupa ajaran agama Islam. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yg berjudul ”Bughat".

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran Akidah


Akhlak.Makalah ini juga bertujuan menambah wawasan tentang dampak
bughat pada masyarakat Indonesia dan bagi para pembaca serta penulis.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah


membantu hingga terselesaikannya makalah ini.penulis juga mengungkapkan
terimakasih kepada ibu syuaibah selaku guru mata pelajaran Akidah Akhlak
.Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh sebab
itu,saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah
ini.

Praya, Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

COVER........................................................................................... i

KATA PENGANTAR..................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang......................................................................... 1

B.Rumusan Masalah................................................................... 2

C.Tujuan....................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A.pengertian bughat..................................................................... 4

B. Dasar hukum............................................................................. 5

C.unsur-unsur bughat................................................................... 6

D.Sanksi bughat............................................................................ 7

E.Gerakan terorisme sebagai bughat.......................................... 8

BAB III PENUTUP

A.Kesimpulan................................................................................ 9

B.Kritik dan Saran......................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Islam berintikan aturan-aturan yang bernuansakan sebuah hiasan hidup


yang ditetapkan Allah sebagai suatu bentuk cinta dan kasih sayang-Nya kepada
hamba-hamba-Nya, agar tercipta hidup yang penuh keindahan, kadamaian, dan
ketentraman bagi manusia, sebagai khalifah di muka bumi yang harus senantiasa
menjaga, memelihara, dan menghindari segala bentuk perbuatan jahat yang
berdampak pada kerusakan. Dalam hal ini, diantara aturan-aturan itu adalah
terkait hukuman bagi segala macam pelanggaran, lebih khususnya adalah tentang
tindak pelanggaran yang berupa pemberontakan (bughat), dengan beberapa
pembahasan yang mungkin belum banyak diketahui ataupun dipahami oleh
karenanya, dirasa begitu penting dibahas, guna menjadi bagian dari usaha
memberikan kajian ilmu pengetahuan agama bagi mereka yang membutuhkan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Bughat?

2. Apa Saja Unsur-unsur Bughat?

3. Apa Dasar Hukum Bughat?

4. Bagaimana sanksi Perlakuan Terhadap pelaku Bughat?

5. Bagaimana Pertanggungjawaban Tindak Pidana Bughat?

6. Apa Tujuan Hukuman Bughat?

C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui Pengertian Bughat.

2. Mengetahui Unsur-unsur Bughat.

3. Mengetahui Dasar Hukum Bughat.

4. Mengetahui Perlakuan Terhadap pelaku Bughat.

5. Mengetahui Pertanggungjawaban Tindak Pidana Bughat.

6. Mengetahui Tujuan Hukuman Bughat.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bughat

Secara etimologi, kata bughat berasal dari bahasa Arab ‫ بَغَى‬yang memiliki arti yang
sama dengan kata ‫ ظَلَ َم‬yaitu berlaku zalim, menindas.[1] Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata bughat berasal dari kata yang berarti menginginkan
sesuatu.[2]Sebagaimana dalam firman Allah SWT surat Al-Kahfi ayat 64:
ٰ َ َ‫ق‬
ِ َ‫ال َذلِكَ َما ُكنَّا نَب ِْغ ۚ فَارْ تَ َّدا َعلَ ٰى آث‬
َ َ‫ار ِه َما ق‬
]١٨:٦٤[ ‫صصًا‬

“Musa berkata: Itulah (tempat) yang kita cari.” (QS. Al-Kahfi: 64 Dalam ‘urf, kata
al-baghyu diartikan meminta sesuatu yang tidak halal atau melanggar hak.
Sedangkan secara terminologi, terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh
dalam mendefinisikan tindak pidana baghat, antara lain:

1. Ulama Malikiyyah, mendefinisikan bughat sebagai tindakan menolak untuk


tunduk dan taat kepada orang yang kepemimpinannya telah tetap dan
tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara menggulingkannya, dengan
menggunakan alasan (ta’wil). Dengan kata lain, bughat adalah sekelompok orang
muslim yang berseberangan dengan imam (kepala negara) atau wakilnya, dengan
menolak hak dan kewajiban atau maksud menggulingkannya.
2. Ulama Hanafilah, bughat adalah keluar dari ketaatan kepada imam (kepala
negara) yang sah dengan cara dan alasan yang benar.

3. Ulama Syafi’iyyah mendefinisikannya dengan orang-orang Islam yang tidak


patuh dan tunduk kepada pemimpin tertinggi negara dan melakukan suatu
gerakan massa yang didukung oleh suatu kekuatan dengan alasanalasan mereka
sendiri.

4. Ulama Hanabilah mendefinisikannya dengan menyatakan ketidakpatuhan


terhadap pemimpin negara sekalipun pemimpin itu tidak adil dengan
menggunakan suatu kekuatan dengan alasan-alasan sendiri.4 Dari beberapa
definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberontakan adalah pembangkangan
terhadap kepala negara (imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan
argumentasi atau alasan (ta’wil).[3] Pendapat lain mengatakan bahwa al-baghyu
adalah bergeraknya sekelompok orang bersenjata yang terorganisir melawan
pemegang otoritas. Hukum yang legal menurut syara’ dengan tujuan
mencopotnya dari jabatannya dengan dasar prinsip pemahaman yang mereka
pegangi. Bughat memiliki kesamaan dengan hirobah (perampokan), yakni sama-
sama mengadakan kekacauan dengan dalam sebuah negara. Namun jika dilihat
dari motif yang melatarinya, keduanya sangat berbeda. Hirobah hanya bertujuan
mengadakan kekacauan dan mengganggu keamanan di muka bumi tanpa
menggunakan alasan (ta’wil), sedangkan bughat menggunakan alasan (ta’wil)
politis. Tegasnya, bughat merupakan tindakan yang dilakukan bukan hanya
sekedar mengadakan kekacauan dan mengganggu keamanan, melainkan tindakan
yang targetnya adalah mengambil alih kekuasaan atau menjatuhkan
pemerintahan yang sah.[4]

B. Dasar Hukum

Terdapat beberapa ayat al-Quran dan hadits yang membicarakan persoalan


bughat, antara lain;

‫َت إِحْ دَاهُ َما َعلَى اأْل ُ ْخ َر ٰى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَب ِْغي َحتَّ ٰى تَفِي َء‬ ْ ‫ فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَهُ َما ۖ فَإِ ْن بَغ‬7‫َوإِ ْن طَائِفَتَا ِن ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ا ْقتَتَلُوا‬
َ‫ بَ ْينَهُ َما بِ ْال َع ْد ِل َوأَ ْق ِسطُوا ۖ إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين‬7‫ت فَأَصْ لِحُوا‬ْ ‫إِلَ ٰى أَ ْم ِر هَّللا ِ ۚ فَإِ ْن فَا َء‬
“Dan apabila ada dua golongan dari orang-orang yang beriman berperang maka
damaikanlah keduanya. Apabila salah satu dari keduanya itu berbuat aniaya
terhadap golongan lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah
kembali(kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil,
dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.”(QS. Al Hujuraat :9)

َ َ‫إِنَّ َما ْال ُم ْؤ ِمنُونَ إِ ْخ َوةٌ فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَ أ‬


َ‫م ۚ َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُمون‬7ْ ‫خَو ْي ُك‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara, karena itu


damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya
kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujuraat: 10)

ِ ‫ اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَإِ ْن تَنَازَ ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا‬7‫ُول َوأُولِي‬ َ ‫ هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرس‬7‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا‬
‫َوال َّرسُو ِل إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذلِكَ خَ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ تَأْ ِوياًل‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul- Nya dan Ulil
Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat, tentang sesuatu
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul-Nya (sunnahnya) jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa:59)

Dalam sebuah hadits dinyatakan:

7‫ السمع والطاعة على المرء المسلم فيما احب او كرها مالم يؤمرو‬:‫ قال‬.‫م‬.‫ عن النبى ص‬.‫ع‬.‫عن ابن عمر ر‬
)‫ ومسلم‬7‫بمعصية فال سمع وال طاعة (رواه البخارى‬

Artinya:” dari ibnu umar r.a. dari nabi SAW beliau bersabda: mendengar dan
menaati terhadap imam yang adil merupakan kewajiban orang muslim, baik yang
ia sukai maupun yang ia benci selama ia tidak diperintah melakukan maksiat,
tidaklah boleh didengar dan ditaati”. (H.R. Bukhori dan Muslim)[5]

C. Unsur-Unsur Bughat

Setidaknya, terdapat tiga unsur di dalam jarimah bughat, yaitu:[6]


1. Pembangkangan terhadap kepala negara (imam), Pembangkangan di sini
dalam artian menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya,
atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Menurut
empat mazhab dan Syi’ah Zaidiyah, haram hukumnya keluar (membangkang) dari
imam yang ada walau dia berlaku fasik atau tidak adil, walau pembangkang
tersebut bermaksud amar ma’ruf nahi munkar. Alasannya adalah pembangkangan
terhadap imam justru akan mendatangkan akibat yang lebih munkar, yaitu
timbulnya fitnah, pertumpahan darah, merebaknya kerusakan dan kekacauan
dalam negara, serta terganggunya ketertiban dan keamanan. Akan tetapi
menurut pendapat marjuh (lemah), apabila seorang imam itu fasik, zalim, dan
mengabaikan hak-hak masyarakat maka ia harus diberhentikan dari jabatannya.

2. Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan, Pembangkangan di sini dalam


artian menggunakan kekuatan yang berupa anggota, senjata, sejumlah logistik
dan dana dalam rangka mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sebuah gerakan bisa
dikatakan pemberontakan jika sudah menggunakan kekuatan secara nyata.
Sehingga jika baru sebatas ide belum bisa dikatakan pemberontakan, tapi jika
sudah tahap perhimpunan kekuatan dikategorikan sebagai ta’zir. Berbeda
pendapat dengan Abu Hanifah yang sudah menganggap sebagai pemberontakan
walau baru tahap berkumpul untuk menghimpun kekuatan untuk maksud
berperang dan membangkang terhadap imam.

3. Adanya niat yang melawan hukum (al-qasd al-jinaiy) Yang tergolong


pemberontak adalah kelompok yang dengan sengaja berniat menggunakan
kekuatan untuk menjatuhkan imam maupun tidak menaatinya.

Dalam istilah ketatanegaraan, perbuatan pemberontakan dinamakan jarimah


siasiyah (tindak pidana politik) Jarimah Siasiyah belum dinamakan tindak pidana
politik yang sebenarnya, kecuali kalau memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Perbuatan itu ditunjukkan untuk menggulingkan negara dan semua badan


eksekutif lainnya atau tidak mau lagi mematuhi pemerintah nya.
b. Ada alasan yang mereka kemukakan, apa sebabnya mereka memberontak,
walaupun alasan itu lemah sekali.

c. Pemberontak telah mempunyai kekuatan dengan adanya orang yang


mereka taati (pengatur pemberontakan) atau ada pimpinan nya.

d. Telah terjadi pemberontakan yang merupakan perang saudara dalam


negara, sesudah mereka mengadakan persiapan atau rencana.

Setelah diajak berunding dengan bijaksana sebagaimana yang telah dilakukan


oleh khalifah ali ra terhadap ahli ramal dan shiffin. Keterangan tentang persoalan
ini dapat dijumpai dalam sepucuk surat yang dikirim oleh khalifah ali kepada
kaum Bughat

)‫احدا فان فعلتم نفدت اليكم بالحرب (رواه احمد والحكم‬

Dari Abdullah bin Syaddad ia berkata, berkata Ali R.A. kepada kaum khawarij,
“kamu boleh berbuat sekehendak hatimu dan antara kami dan antara kamu
hendaklah ada perjanjian, yaitu supaya kamu jangan menumpahkan darah yang
diharamkan (membunuh). Jangan merampok di jalan, jangan menganiaya
seseorang. Jika kamu berbuat itu, penyerangan akan diteruskan terhadap kamu
sekalian (HR. Ahmad dan Hakim) Dengan keterangan ini, dapat ditegaskan bahwa
gerombolan itu belum boleh diperangi begitu saja selagi mereka bersedia diajak
berunding dan belum merusak.[7]

D. Sanksi Bughat

Dalam menentukan sanksi bagi pelaku pidana bughat atau pemberontakan dibagi
menjadi dua hal, yakni; Pertama, Tindak pidana yang berkaitan langsung dengan
pemberontakan. Yang dimaksud tindak pidana yang berkaitan langsung dengan
pemberontakan adalah berbagai tindak pidana yang muncul sebagai bentuk
pemberontakan terhadap pemerintah, seperti perusakan fasilitas publik,
pembunuhan, penganiayaan, penawanan dan lain sebagainya. Sebagai
konsekuensi dari berbagai kejahatan yang langsung berkaitan dengan
pemberontakan tersebut, pelaku tidak mendapat jarimah biasa, akan tetapi
mendapat hukuman mati. Akan tetapi, jika imam memberikan pengampuan
(amnesti), maka pelaku pemberontakan akan mendapatkan hukuman ta’zir.
Kedua, Tindak pidana yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan.
Yang dimaksudkan dengan tindak pidana yang tidak berkaitan dengan
pemberontakan adalah berbagai tindak kejahatan yang tidak ada korelasinya
dengan pemberontakan, tapi dilakukan pada saat terjadinya pemberontakan atau
peperangan. Beberapa kejahatan tersebut seperti minum minuman keras, zina
atau perkosaan, pencurian, dan lain sebagainya.

Ketika beberapa perbuatan tersebut dilakukan, maka akan dihukumi dengan


hukuman jarimah biasa dan akan mendapat hukuman hudud sesuai dengan
jarimah yang dilakukan. Dalam persoalan perdata ada sedikit perbedaan
pendapat ulama. Menurut Imam Abu Hanifah, para pemberontak yang merusak
dan menghancurkan aset-aset negara dalam rangka melancarkan aksi tidak ada
pertanggungjawabannya, kecuali jika perusakan dilakukan terhadap kekayaan
individu, maka pelaku wajib mengganti dan mengembalikannya. Sedangkan
sebagian penganut Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa pemberontak harus
bertanggung jawab atas semua barang yang dihancurkannya, baik ada kaitannya
dengan pemberontakan atau tidak, karena perbuatan itu mereka lakukan dengan
melawan hukum.[8]

Secara umum, pada hakikatnya hukuman bagi pelaklu pemberotakan adalah


hukuman mati. Hal tersebut dikarenakan pemberontakan merupakan kejahatan
yang akan menimbulkan kekacauan, ketidaktenangan dan pada akhirnya akan
mendatangkan kemunduran dalam suatu masyarakat (negara).9 Walau jarimah
pemberontakan adalah hukuman mati atau ditumpas pada saat terjadinya
perang, tapi para ulama mazhab sepakat harus adanya proses dialog terlebih
dahulu sebelum hukuman mati dieksekusi. Proses dialog dalam rangka
menemukan faktor yang mengakibatkan para pembangkang melakukan
pemberontakan. Jika mereka menyebut beberapa kezaliman atau penyelewengan
yang dilakukan oleh imam dan mereka memiliki fakta-fakta yang benar maka
imam harus berupaya menghentikan kezaliman dan penyelewengan tersebut.
Upaya berikutnya adalah mengajak para pemberontak diajak kembali tunduk dan
patuh kepada imam atau kepala negara. Apabila mereka bertaubat dan mau
kembali patuh maka mereka dilindungi.Sabaliknya, jika mereka menolak untuk
kembali, barulah diperbolehkan untuk memerangi dan membunuh mereka. Hal
tersebut berdasarkan surat al-Hujjarat ayat 9:

‫َت إِحْ دَاهُ َما َعلَى اأْل ُ ْخ َر ٰى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَب ِْغي َحتَّ ٰى تَفِي َء‬ ْ ‫ فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَهُ َما ۖ فَإِ ْن بَغ‬7‫َوإِ ْن طَائِفَتَا ِن ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ا ْقتَتَلُوا‬
َ‫ بَ ْينَهُ َما بِ ْال َع ْد ِل َوأَ ْق ِسطُوا ۖ إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين‬7‫ت فَأَصْ لِحُوا‬ْ ‫إِلَ ٰى أَ ْم ِر هَّللا ِ ۚ فَإِ ْن فَا َء‬

“Dan jika ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan telah kembali (kepada
perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku
adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.” (QS. Al-
Hujurat: 9)

Strategi islah dengan cara dialog sebagai tindakan awal untuk menyelesaikan
pemberontakan tersirat dalam ayat di atas. Hal ini juga beberapa kali pernah
dilakukan oleh Ali bin Abu Thalib saat menjadi Khalifah. Misalnya ketika muncul
kaum Khawarij, yakni segolongan kaum muslimin yang berlainan faham politik,
menentang kebijakan serta menyatakan keluar dari pemerintah. Menurut
riwayat, jumlah kaum Khawarij pada waktu itu diperkirakan 8000 orang. Khalifah
Ali mengutus Ibnu Abbas kepada untuk mendekati dan dialog kepada mereka agar
kembali patuh kepada imam. Setelah berunding dan bertukar pikiran, 4000 orang
diantara mereka kembali masuk ke dalam pemerintahan, sedang 4000 lainnya
tetap menjadi gerombolan. Sisanya tersebutlah yang kemudian boleh diperangi.
Sebelum terjadinya perang Jamal (Unta), Khalifah Ali juga pernah mengirimkan
utusan untuk melakukan pendekatan dialoh dan ajakan untuk patuh pada imam
kepada penduduk Basrah. Bahakan Khalifah Ali menekankan kepada para sahabat
untuk tidak memulai pertempuran. Pendekatan dialog serta ajakan untuk kembali
patuh kepada imam sebelum melakukan perang bagi pemberontak, menunjukkan
bahwa Islam merupakan ajaran cinta damai, mengajarkan kasih sayang dan
menjadi rahmat untuk alam semesta “rahmatan lil alamin”. Perimbangan lain,
pertempuran dalam bentuk apapun hanya akan menimbulkan kerugian kepada
kedua belah pihak. Untuk menentukan hukum dalam Islam, selain pertimbangan
nash juga ada kaidah fiqh yang bisa menjadi pedoman. Salah satu kaidah fiqh
tersebut adalah maslahat mursalah, yakni menetapkan hukum dalam hal-hal yang
sama sekali tidak disebutkan dalam al-quran maupun al-sunnah, dengan
pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang
bersendikan pada asas menarik manfaat dan menghindari kerusakan.[9]

E. Gerakan Terorisme sebagai Bughat

Secara etimologi, terorisme memiliki kata dasar terror. Ia berasal dari bahasa
Latin terrorem yang berarti rasa takut yang luar biasa. Bila merujuk Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), teror dimaknai sebagai usaha menciptakan ketakutan,
kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. W.J.S. Poerwadarminta
(2006) mengartikan terorisme sebagai praktekpraktek tindakan terror;
penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai
suatu tujuan (terutama politik).[10] Senada dengan Poerwadarminta, B.N.
Marbun dalam Kamus Politik mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan
kekerasan yang ditujukan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai
satu tujuan (terutama tujuan-tujuan politik). Tujuannya, untuk mempromosikan
kepentingan politiknya, sehingga dunia internasional tahu apa yang mereka
perjuangkan.[11] Cara memerangi bughat hendaklah dengan cara membela diri,
sebagaimana yang telah dijelaskan. Berarti dengan tertib dari yang seringan-
ringan nya, karena yang dimaksud adalah supaya mereka kembali taat kepada
imam dan melenyapkan kejahatan mereka.[12] Kaum bughat yang tertawan
hendaklah diperlakukan;

a) Kalau ada yang luka jangan ada yang menambah lukanya, seperti memukul
dan sebagainya.

b) Tidak boleh dibunuh.

c) Mereka yang lari tidak perlu di cari, kecuali bila ia mengganggu keamanan.

d) Harta bendanya tidak boleh dijadikan rampasan.

Hadits Rasulullah SAW. Menyebutkan:


‫ هل تدرى كيف حكم هللا فيمن بغى من هذه االمة قال هللا‬,‫ ل هللا ص م‬7‫ قال رسو‬:‫ قال‬.‫عن ابن عمر ر ع‬
7‫ ال يجهر على جريحها وال يقتل اسير وال يطلب هاربها وال يقسم فيئها (رواه البخارى‬: ‫ورسوله اعلم قال‬
)‫والحكم‬

Dari Ibnu Umar R.A. ia berkata “Telah bersabda Rasulullah SAW. Tahukah engkau
bagai mana hukum Allah dalam perkara orang-orang yang telah jadi kaum bughat
dari umat ini? Seorang dari sahabat berkata, Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu,
Rasulullah bersabda “tidak boleh ditambah lukanya, tidak boleh dibunuh tawanan
nya, tidak perlu dicari mereka yang lari, dan tidak boleh dibagi-bagi rampasan nya.
(HR. Al-Bazzar dan Hakim)[13]

Penyelesaian terhadap bughot tertera dalam Allah berfirman:

‫َت إِحْ دَاهُ َما َعلَى اأْل ُ ْخ َر ٰى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَ ْب ِغي َحتَّ ٰى‬ ْ ‫ بَ ْينَهُ َما ۖ فَإِ ْن بَغ‬7‫ف َوإِ ْن طَائِفَتَا ِن ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ا ْقتَتَلُوا فَأَصْ لِحُوا‬
َ‫ بَ ْينَهُ َما بِ ْال َع ْد ِل َوأَ ْق ِسطُوا ۖ إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين‬7‫ت فَأَصْ لِحُوا‬ ْ ‫تَفِي َء إِلَ ٰى أَ ْم ِر هَّللا ِ ۚ فَإِ ْن فَا َء‬

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikan
lah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya, maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali pada
perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka
damaikan lah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah (Al-Hujarat:9)

Harus diakui bahwa kaum bughat itu berbahaya menurut hukum negara. Oleh
karena itu, mereka harus ditumpas dan diselesaikan perkaranya. Penjelasannya
adalah sebagai berikut:

a) Diperangi lebih dahulu sebagai langkah utama

b) Di adili di muka pengadilan sebagai langkah terakhir

Dalam ayat di atas dinyatakan kalimat “dua golongan dari orang-orang mu’min”
yang mengandung satu pengertian , bahwa “satu golongan “ itu, mu’min bukan
pemerintah dan mungkin pula yang satu golongan pemerintah. Adapun dalam
kalimat “ maka damaikan lah olehmu” pertama kali ayat tersebut disebut
sebelum perintah perang dan keduanya disebutkan setelah perintah berperang.
Adapun perintah mendamaikan ditunjukkan kepada orang yang berwenang untuk
mendamaikan, dalam hal ini adalah wewenang penguasa negara. Apabila
pemberontakan telah terjadi, langkah pertama ialah mengajak kedua golongan itu
untuk berdamai saja, yaitu antara golongan yang menyerang dan diserang,
terutama tokoh-tokoh pemimpinnya. Apabila diantara kedua golongan itu tidak
mau berdamai melainkan terus menerus memberontak, ada satu peraturan yang
berupa maklumat perang dari allah terhadap golongan yang memberontak itu.

Menurut As-Syafi’i, kata “kembali” yang dinyatakan dalam ayat diatas


mengandung pengertian:

a. Si pemberontak itu lagi

b. Si pemberontak itu meletakkan senjata.

Akan tetapi yang jelas bahwa yang dimaksud dengan kembali ialah kembali pada
pengakuan negara di bawah pimpinan imam yang adil yang menjalankan syariat
islam.

Hanya cara mereka itu, adakalanya dengan kesadaran sendiri, maupun kekerasan,
mereka harus di bawa ke muka pengadilan untuk di selesaikan perkara mereka,
dan membuat perdamaian menurut yang seadil adilnya.

Sesungguhnya kaum pemberontak terhadap negara yang menjalankan hukum


syariat islam, dapat dikatakan penyamun besar terhadap allah dan rasulnya, serta
membuat kekacauan dan kerusakan di muka bumi. Ini lebih besar dari pada
kerusakan yang ditimbulkan oleh penyamun biasa. Oleh sebab itu, hukuman yang
akan dijatuhkan kepada mereka yang telah kembali kepada pengakuan negara
yang adil itu adalah hukuman si penyamun atau si perampok, yang terbagi atas
dua bagian, yaitu;

a. Hukuman terhadap mereka yang kembali setelah ditangkap atau diperangi


lebih dulu.

b. Hukuman terhadap mereka yang tobat (kembali) sebelum ditangkap atau


diperangi.[14]
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bughat adalah segolongan kaum muslimin yang menentang imam (pemerintah


yang adil) dengan menyerang, serta tidak mau mengikutinya atau tidak
memberikan hak imam yang menjadi kewajibannya, dan mempunyai alasan yang
kuat untuk memberontak, serta ada seseorang pemimpin yang mereka taati. Bila
pemberontak itu sudah di berikan nasehat oleh imam secara baik-baik dan telah
ditempuh cara-cara lain yang baik agar mereka bersedia mengikuti motiv yang
mendorong mereka bersikap keras tidak mau tunduk kepada imam yang adil,
tidak bersedia sadar diri dan bertobat, mereka masih bersikeras membangkang
,maka sang imam baru dibolehkan memberi tahu, bahwa mereka akan di bunuh
sebagai langkah yang terakhir.

B. Saran

Demikianlah makalah yang saya susun. Saya yakin dalam makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA

Farih, Amin, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, Semarang:


Walisongo Press, 2006.

Marbun, B.N., Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003

Mas’ud, Drs. Ibnul, Drs Zainul Arifin. Fiqih Madzab Syafi’i, Bandung: Pustaka
Setia, 2000.

Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

Muthohar, Ali, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta: PT Mizan Publika, 2005.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,


2006

Umar , Drs. Imron Abu, Terjemah Fathul Qorib Juz 2, Kudus: Menara Kudus, 1983.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1989.

[1] Ali Muthohar, Kamus Arab – Indonesia, ( Jakarta: PT Mizan Publika, 2005), hlm.
228.

[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989),
hlm. 69.

[3] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hlm. 111.

[4] ibid.,.
[5] Drs. Ibnul Mas’ud. Drs Zainul Arifin. Fiqih Madzab Syafi’i, (Bandung: Pustaka
Setia, 2000). hlm. 539.

[6] Op. cit., hlm, 111

[7] Drs. Imron Abu Umar. Terjemah Fathul Qorib Juz 2.( Kudus: Menara Kudus,
1983). hlm. 159.

[8] Ahmad Wardi Muslich, ibid., hlm. 118.

[9] Amin Farih, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang:


Walisongo Press, hlm. 17.

[10] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai


Pustaka, 2006), hlm. 1263

[11] B.N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), hlm. 530.

[12] Drs. Imron Abu Umar. Terjemah Fathul Qorib Juz 2. (Kudus: Menara Kudus,
1983). hlm. 159

[13] Ibid.,

[14] Drs. Ibnul Mas’ud. Drs Zainul Arifin. Fiqih Madzab Syafi’i. (Bandung: Pustaka
Setia, 2000). hlm. 538

Anda mungkin juga menyukai