Anda di halaman 1dari 13

َّ ‫اَل‬

‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi mata kuliah qawaid fiqiyyah Semester 4

Dosen Pengampu :

Dra. AZIZAH,M.A.

Disusun oleh :

Kelompok 8

RIDWAN (11180440000006)

MUJIMI ABDUL JABAR (11180440000106)

JURUSAN HUKUM KELUARGA A

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/2020 M

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Banyak
dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul
fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah
fiqh, salah satunya yaitu ‫اَلض ََّر ُر يُ َزا ُل‬

Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang
menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih
arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa Pengertian dharûrah?

2. Bagaimana Penjelasan kaedah ad-dharûrah yuzalu?

3. Apa Dasar-dasar nash yang berkaitan dengan kaedah Ad-Dhararu Yuzalu ?

4. َّ ‫? اَل‬
Cabang – Cabang Qaidah ‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬

2
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qaidah ‫اَلض ََّر ُر يُ َزا ُل‬

Arti dari kaidah “ad-Dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/kesulitan harus dihilangkan.


Jadi, konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar
(tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan
bahaya (menyakiti) pada orang lain.1

Namun Dharar (Kemudharatan) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar"
yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara
terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:

a) Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar
sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Hal seperti ini memperbolehkan ia
melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas tertentu.
b) Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang
pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak
makan.”
c) Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang
teramat sangat”.
d) Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari
kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.”
e) Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia
tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.

1
Djuzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, Cet ke-2, 2007), h. 68

3
Jadi, Dharar disini menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat sekali,
maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.

Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka
akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.

B. َّ ‫اَل‬
Sumber Qaidah ‫ض َر ُر يُزَ ا ُل‬

Firman Allah Swt:

َ‫ض بَ ْع َد اِصْ اَل ِحهَا َوا ْد ُعوْ هُ َخوْ فًا َّوطَ َمع ًۗااِ َّن َرحْ َمتَ هللاِ قَ ِريْبٌ ِّمنَ ْال ُمحْ ِسنِ ْين‬
ِ ْ‫واَل تُ ْف ِس ُدوْ ا فِى ااْل َر‬.
َ

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)


memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan
harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik.” (Q.S Al-A’raf/7: 56)

‫َص ْيبَكَ ِمنَ ال ُّد ْنيَا َواَحْ ِس ْن َك َمٓا اَحْ َسنَ هللاُ اِلَ ْيكَ َواَل تَب ِْغ ْالفَ َسا َد فِى‬ َ ‫ارااْل ٰ ِخ َرةَ َواَل تَ ْن‬
ِ ‫سن‬ َ ‫َوا ْبت َِغ فِ ْي َم ٰٓاا ٰتى‬
َ ‫ك هللاُ ال َّد‬
َ‫ض اِ َّن هللاَ اَل يُ ِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِد ْين‬ ِ ۗ ْ‫ ااْل َر‬.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.” (Q.S Al-Qashash/28: 77)

4
Sabda Rasulullah Saw.:

‫ق هللاُ َعلَ ْي ِه‬ َّ ‫ض َّرهُ هللاُ َو َم ْن َش‬


َّ ‫ق َش‬ َ ‫ار َم ْن‬
َ ‫ض َّر‬ ِ َ‫ض َر َر َوال‬
َ ‫ض َر‬ َ َ‫ ال‬.

“Tidak boleh memudharatkan dan di mudaratkan, barang siapa yang memudharatkan,


maka Allah akan memudharatkannya, dan barang siapa saja yang menyusahkan, maka Allah
akan menyusahkannya.” (HR.Imam Malik)

Masalah-masalah yang dapat mempergunakan kaidah ini banyak sekali, diantaranya:


khiyar, syuf’ah, hudud, kafarat, memilih pemimpin, fasakh dalam nikah karena ada aib dan
sebagainya.2

َّ ‫اَل‬
C. Cabang – Cabang Qaidah ‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬

Qaidah Pertama:

َ ‫ا ْل‬
َ ‫ض َر ُر الَيُزَا ُل بِا ل‬
‫ض َر ِر‬

(Kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadhratan yang lain)

Kaedah ini semakna dengan kaedah:

‫ض َر ُر الَيُزَ ا ُل بَ ِم ْثلِ ِه‬


َ ‫ْال‬

“ Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding”

Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan
kemudharatan lain yang sebanding keadaannya.

2
Jurnal UIN sumatera utara tentang kaidah-kaidah fiqiyyah

5
Contoh:

 Seorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah
habis. Maka dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai
pelunasan terhadap hutangnya.
 Seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke orang lain
jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang
menerima donor.
 Budi dan Tono adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat
membutuhkan makanan untuk meneruskan nafasnya. Budi, saking tidak tahannya
menahan lapar nekat mengambil getuk Manis kepunyaan Tono yang kebetulan
dibeli sebelumnya di Kantin. Tindakan budi walaupun dalam keadaan yang sangat
menghawatirkan baginya tidak bisa dibenarkan karena tono juga mengalami nasib
yang sama dengannya, yaitu kelaparan.

Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena Dharar adalah untuk memenuhi
penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi
kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu:

a) Dharar, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang


dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, bila
tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini
memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian
sutra bagi laki-laki yang telanjang , dan sebagainya.
b) Hajat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi
mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak
menghalalkan yang haram. Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu berpuasa
maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram.
c) Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak.
Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu
mendatangkan manfaat. Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-
mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.
d) Zienah, yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.

6
e) Fudhul, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang
memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini
dikenakan hukum saddu adz dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang
mendatangkan mafsadah.3

Qaidah Kedua:

ِ ‫يح ا ْل َم ْحظُ ْو َرا‬


‫ت‬ ُ ِ‫ض ُر ْو َراتُ تُب‬
َّ ‫ال‬

(Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang)

Dasar nash dari kaidah di atas adalah firman Allah:

‫َوقَ ْد فَص ََّل لَ ُك ْم َّما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ْم اِاَّل َمااضْ طُ ِررْ تُْˆم اِلَ ْي ۗ ِه‬

“Dan sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya


atasmu kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. al-An’am:119)

‫اغ َّواَل عَا ٍد فَٓاَل اِ ْث َم َعلَ ْي ِه‬


ٍ َ‫فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغي َْر ب‬

“Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak


menginginkannya, serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya”. (QS.Al-
Baqarah:173)

Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang


haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak
ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat
diperbolehkan memakainya.

Contoh:

 Seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan
dan bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan
sebatas keperluannya.
 Kebolehan mengucap kata kufur karna dipaksa

3
Jurnal UIN Sumatera Utara tentang kaidah-kaidah fiqiyyah

7
Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia,
yang terkait dengan panca tujuan yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda.

Qaidah Ketiga:

‫ض ُر ْو َر ِة يُقَ َّد ُر بِقَ َّد ِرهَا‬


َّ ‫َمااُبِ ُح لِل‬

(Apa yang diperbolehkan karena adanya kemudlaratan diukur menurut kadar


kemudlaratan)

Kaedah ini menerangkan bahwasanya sesuatu yang yang dilakukan karena mudharat,
maka dibolehkan melakukan secukupnya, sesuai kadar yang cukup menghilangkan
kemudharatan tersebut, sedangkan lebih dari itu tidak boleh dilakukan. Kaedah ini
memberikan peringatan bahwa sesuatu yang awalnya haram, ketika mudharat
diperboleh melakukan secukupnya, sekedar menghilanhkan kemudharatan itu.

Contoh kaidah :

 seseorang dibolehkan bertayammum jika tidak mungkin menggunakan air,


karena sakit atau kedinginan yang dapat membinasakan jiwa. Selama belum
dapat menggunakan air, selama itu ia boleh bertayammum. Bila telah mungkin
memakai air, maka bertayammum menjadi batal, karena dhararnya telah hilang.
 Kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekadar dalam ukuran
untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.
 Sulitnya shalat jumat untuk dilakukan pada satu tempat, maka shalat jumat
boleh dilaksanakan pada dua tempat. Ketika dua tempat sudah dianggap cukup
maka tidak diperbolehkan dilakukan pada tiga tempat. 4

4
Jurnal IAIN Ambon tentang kaidah-kaidah fiqih

8
Qaidah Keempat:

‫ح‬ َ ‫ب ا ْل َم‬
ِ ِ ‫ص ال‬ ِ ‫س ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬
ِ ‫د َْر ُء ا ْل َمفَا‬

(Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan)

Contoh kaidah:

 Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan


sesuatu yang disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena
untuk menjaga masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.
 Seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak mampu
melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau
berbaring.
 Meminum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan
menghambur-hamburkan uang sedang manfaatnya untuk menguatkan badan,
walaupun demikian maka yang dimenangkan adalah menolak kerusakannya.

Qaidah Kelima:

‫ب أَ َخفِّ ِه َما‬
ِ ‫ارتِ َكا‬ َ ‫س َدتَا ِن ُر ْو ِع َي أَ ْعظَ ُم ُه َما‬
ْ ِ‫ض َر ًرا ب‬ َ ‫اِ َذا تَ َعا َر‬
ِ ‫ض ا ْل ُم ْف‬

(Jika ada dua kemadaratan yang bertentangan, maka diambil kemadaratan yang paling
besar)

Maksudnya, apabila ada dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana


yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya.5

Contoh kaidah:

 Diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang mati jika


dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan.

5
Ebook Mudjib, Abdul. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia : Jakarta. . 2008

9
Selain itu ada juga beberapa qaidah furu’iyah tambahan lainnya menurut ulama-ulama
fiqih yang lain yaitu :

‫الضرر األشد يزال بالضرر األخف‬

Artinya: Kemudharatan yang lebih besar dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih
ringan.

Kaedah ini menegaskan bahwa untuk menghilangkan suatu kemudharatan dibolehkan


dengan menimbulkan bahaya yang lebih ringan, hal ini bila kemudharatan sama sekali tidak
dapat dihindari. Seseorang yang ingin menghilangkan bahaya, harus memperhitungkan terlebih
dahulu dampak yang akan muncul, bila seimbang atau lebih besar maka seorang tidak boleh
melakukannya, sebaliknya bila lebih kecil maka dapat dilakukan.

Contoh

 pelaksanaan qishas, yaitu membunuh pelaku pembunuhan secara sengaja. Ini


menimbulkan dharar pada pelaku tersebut, namun kecil dibandingkan
seandainya qishas tidak dilaksanakan, maka semua orang tidak merasa takut
melakukan pembunuhan dan kriminalitas lainnya. Maka tidak diragukan bahwa
banyaknya pembunuhan merupakan dharar yang jauh lebih besar dibandingkan
sekedar dharar akibat qishas.

‫الضرر يدفع بقدر اإلمكان‬

Artinya: Bahaya harus ditolak sesuai kemampuan

Berdasarkan kaedah ini suatu kemudharatan yang menimpa kita harus dicegah
semampunya. Seseorang tidak dibolehkan membiarkan kemudharatan menimpanya, tanpa ada
usaha untuk menolaknya. Dalam menolak kemudharatan ini bila memungkinkan untuk
mencegah seluruhnya, maka harus dicegah seluruhnya. Bila tidak maka semampu seseorang
untuk menolaknya. Bahkan bila membutuhkan biaya untuk menolaknya, maka biaya harus
dikeluarkan untuk menghilangkan kemudharatan.

10
Maka dapat dipahami bahwasanya ‫ الضرر يزال‬dibatasi oleh kaedah-kaedah lain yang
merupakan furu’ darinya. Dengan demikian dalam penerapannya kaedah ini harus disesuaikan
dengan kaedah furu’. Kaedah furu’ ini menjadikan kaedah asal tidak mutlak tanpa batas, namun
terkendalikan oleh kaedah-kaedah yang lain yang merupakan petunjuk teknis dalam beroperasi.

11
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Qaidah ‫ الضرر يزال‬adalah suatu prinsip umum yang mengharuskan seseorang


menghilangkan kemudharatan, baik pada dirinya maupun orang lain.

2. Qaidah ‫ الضرر يزال‬memiliki landasan atau dasar yang kokoh berupa nash (al-Quran-
hadits) dan juga rasio.

3. Qaidah ‫ الضرر يزال‬dalam penerapannya harus memperhatikan kepada kaedah-kaedah lain


yang merupakan furu’nya. Kaedah furu’ ini menjadi batasan bagi kaedah ‫الضˆرر يˆˆزال‬
dalam aplikasinya.

Bahwa permasalahan-permasalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari ragam


macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar supaya didapati jalan keluar terhadap jalan
penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-cabang
secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya
kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasahalan
yang muncul ditengah-tengah kehidupan.

12
Daftar pustaka

Djuzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, Cet ke-2, 2007), h. 68

Jurnal UIN Sumatera Utara tentang kaidah-kaidah fiqiyyah

Jurnal IAIN Ambon tentang kaidah-kaidah fiqih

Ebook Mudjib, Abdul. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam


Mulia : Jakarta. . 2008

13

Anda mungkin juga menyukai