Anda di halaman 1dari 23

ASFIKSIA NEONATORUM

 
Definisi
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan
dan teratur  pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang
ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia),
hiperkarbia (PaCO2 meningkat) dan asidosis.

Etiologi
1. Faktor neonatus
- Hipoksia ibu
- Gangguan aliran darah uterus
2. Faktor plasenta
3. Faktor fetus
4. Faktor ibu

Patofisiologi
Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan
plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan
perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang
berperan pada kejadian asfiksia.

Gejala Klinik
Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung
kurang dari 100 x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun,
tidak ada respon terhadap refleks rangsangan.

Manifestasi Klinis
1. Serangan jantung
2. Ptekie hemorragis
3. Sianosis dan kongestif
4. Penemuan jalan napas

Diagnosis
anamnesis : gangguan/kesulitan waktu lahir, lahir tidak
bernafas/menangis.

Pemeriksaan fisik :
Nilai Apgar
Klinis 0 1 2
detak jantung tidak ada < 100 x/menit >100x/menit
Pernafasan tidak ada tak teratur tangis kuat
refleks saat jalan nafas tidak ada menyeringai batuk/bersin
dibersihkan
tonus otot lunglai fleksi ekstrimitas fleksi kuat gerak
(lemah) aktif
warna kulit biru pucat tubuh merah merah seluruh tubuh
ekstrimitas biru
nilai 0-3   : asfiksia berat
nilai 4-6   : asfiksia sedang
nilai 7-10 : normal
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit
ke-5, bila nilai apgar 5 menit  masih kurang dari 7 penilaian
dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai apgar berguna
untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan  menentukan
prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai
30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti
penilaian skor apgar)

Pemeriksaan Penunjang :
1. Foto polos dada
2. USG kepala
3. laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit

Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisa Gas darah
2. Elektrolit darah
3. Gula darah
4. Baby gram (RO dada)
5. USG (kepala)

Komplikasi
Meliputi berbagai organ yaitu :
1. otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
2. jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan
paru, edema paru
3. gastrointestinal : enterokolitis  nekrotikans
4. ginjal : tubular nekrosis akut, siadh
5. hematologi : dic

Penatalaksanaan 
Ada beberapa tahap: ABC resusitasi,
• A= memastikan saluran nafas terbuka
• B= memulai pernafasan
• C= mempertahankan sirkulasi (peredaran darah)

Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1. Pernafasan yang cepat
2. Pernafasan cuping hidung
3. Sianosis
4. Nadi cepat
5. Reflek lemah
6. Warna kulit biru atau pucat
7. Penilaian apgar skor menunjukkan adanya asfiksia, seperti asfiksia ringan (7-10),
sedang (4-6), dan berat (0-3)
Diagnosis / masalah keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas
2. Penurunan kardiac out put
3. Intoleransi aktifitas
4. Gangguan perfusi jaringan (renal)
5. Resiko tinggi terjadi infeksi
6. Kurangnya pengetahuan
Intervensi keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas :
Monitoring gas darah, mengkaji denyut nadi, monitoring sistem jantung dan paru
(resusitasi), memberikan oksigen yang adekuat.
2. Penurunan kardiac out put :
Monitoring jantung paru, mengkaji tanda vital, memonitor perfusi jaringan tiap 2-
4 jam, monitor denyut nadi, memonitor intake dan out put serta melakukan
kolaborasi dalam pemberian vasodilator.
3. Intoleransi aktifitas :
Menyediakan stimulasi lingkungan yang minimal, menyediakan monitoring
jantung paru, mengurangi sentuhan, melakukan kolaborasi analgetik sesuai
kondisi, memberikan posisi yang nyaman.
4. Gangguan perfusi jaringan (renal)
Pemberian diuretik sesuai dengan indikasi, monitor laboratorium urine,
pemeriksaan darah.
5. Resiko tinggi terjadi infeksi
Memperhatikan teknik aseptik
6. Kurangnya pengetahuan

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Asfiksia Pada Bayi. http://www.google.com/.


Hidayat, Aziz Alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Edisi 1. Jakarta :
Salemba Medika.
BBLR

. Definisi

BBLR adalah bayi baru lahir dengan BB 2500 gram/ lebih rendah (WHO 1961)

Klasifikasi BBLR

 Prematuritas murni

Masa Gestasi kurang dari 37 minggu dan Bbnya sesuai dengan masa gestasi.

 Dismaturitas

BB bayi yang kurang dari BB seharusnya, tidak sesuai dengan masa gestasinya.

2. Etiologi

a. Faktor ibu

Faktor penyakit (toksemia gravidarum, trauma fisik dll)

Faktor usia
Keadaan sosial

b. Faktor janin

 Hydroamnion

 Kehamilan multiple/ganda

 Kelainan kromosom

c. Faktor Lingkungan

 Tempat tinggal didataran tinggi

 Radiasi

 Zat-zat beracun

3. Patofisiologi?

4. Gejala Klinis

 BB <>

Pb <>

Lingkar dada <>

Lingkar kepala <>

5. Pem. Penunjang

Analisa gas darah

6. Komplikasi

 RDS
 Aspiksia

7. Penatalaksanaan medis

 Pemberian vitamin K

 Pemberian O2

8. Askep Pengkajian

 Tanda-tanda anatomis

 Kulit keriput, tipis, penuh lanugo pada dahi, pelipis, telinga dan lengan, lemak
jaringan sedikit (tipis).

 Kuku jari tangan dan kaki belum mencapai ujung jari

 Pada bayi laki-laki testis belum turun.

 Pada bayi perempuan labia mayora lebih menonjol.

 Tanda fisiologis

 Gerakan bayi pasif dan tangis hanya merintih, walaupun lapar bayi tidak
menangis, bayi lebih banyak tidur dan lebih malas.

 Suhu tubuh mudah untuk menjadi hipotermi.

Penyebabnya adalah :

o Pusat pengatur panas belum berfungsi dengan sempurna.

o Kurangnya lemak pada jaringan subcutan akibatnya mempercepat terjadinya


perubahan suhu.

o Kurangnya mobilisasi sehingga produksi panas berkurang.


9. Diagnosa Keperawatan

1. Tidak efektifnya pola nafas b.d imaturitas fungsi paru dan neuromuskuler.
2. Tidak efektifnya termoregulasi b.d imaturitas control dan pengatur suhu tubuh dan
berkurangnya lemak sub cutan didalam tubuh.
3. Resiko infeksi b.d defisiensi pertahanan tubuh (imunologi).
4. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan tubuh dalam
mencerna nutrisi (imaturitas saluran cerna).
5. Resiko gangguan integritas kulit b.d tipisnya jaringan kulit, imobilisasi.
6. Kecemasan orang tua b.d situasi krisis, kurang pengetahuan.

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No. Diagnosa Perencanaan


Keperawatan
Tujuan
1. Tidak efektifnya pola nafasPola nafas efektif . 1. Observasi pola Nafas.
b.d imaturitas fungsi paru dn
neuro muscular
Kriteria Hasil : 2. Observasi frekuensi dan bunyi nafas

 RR 30-60 x/mnt 3. Observasi adanya sianosis.

 Sianosis (-) 4. Monitor dengan teliti hasil pemeriksaan


gas darah.

 Sesak (-)
5. Tempatkan kepala pada posisi
hiperekstensi.
 Ronchi (-)
6. Beri O2 sesuai program dokter
 Whezing (-)
7. Observasi respon bayi terhadap
ventilator dan terapi O2.

8. Atur ventilasi ruangan tempat perawatan


klien.

9. Kolaborasi dengan tenaga medis lainnya.


2 Tidak efektifnyaSuhu tubuh kembali normal.  Observasi tanda-tanda vital.
termoregulasi b.d imaturitas
control dan pengatur suhu
dan berkurangnya lemakKriteria Hasil :  Tempatkan bayi pada incubator.
subcutan didalam tubuh.
 Suhu 36-37 C.  Awasi dan atur control temperature dalam
incubator sesuai kebutuhan.

 Kulit hangat.
 Monitor tanda-tanda Hipertermi.

 Sianosis (-)
 Hindari bayi dari pengaruh yang dapat
menurunkan suhu tubuh.
 Ekstremitas hangat.
 Ganti pakaian setiap basah.

 Observasi adanya sianosis.


3. Resiko infeksi b.d defisiensiInfeksi tidak terjadi.  Kaji tanda-tanda infeksi.
pertahanan tubuh (imunologi)
Kriteria Hasil :  Isolasi bayi dengan bayi lain

 Suhu 36-37 C  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak


dengan bayi.

 Tidak ada tanda-tanda


infeksi.  Gunakan masker setiap kontak dengan
bayi.

 Leukosit 5.000 – 10.000


 Cegah kontak dengan orang yang
terinfeksi.

 Pastikan semua perawatan yang kontak


dengan bayi dalam keadaan
bersih/steril.

 Kolaborasi dengan dokter.

 Berikan antibiotic sesuai program.


4. Resiko gangguan nutrisiNutrisi terpenuhi setelah  Observasi intake dan output.
kurang dari kebutuhan b.d
ketidakmampuan mencerna
nutrisi (Imaturitas saluranKriteria hasil :  Observasi reflek hisap dan menelan.
cerna)
 Reflek hisap dan menelan  Beri minum sesuai program
baik
 Pasang NGT bila reflek menghisap dan
 Muntah (-) menelan tidak ada.

 Kembung (-)  Monitor tanda-tanda intoleransi terhadap


nutrisi parenteral.

 BAB lancar
 Kaji kesiapan untuk pemberian nutrisi
enteral
 Berat badan meningkat 15
gr/hr
 Kaji kesiapan ibu untuk menyusu.

 Turgor elastis.
 Timbang BB setiap hari.
5 Resiko gangguan integritasGangguan integritas kulit tidak  Observasi vital sign.
kulit b.d tipisnya jaringanterjadi
kulit, imobilisasi.
 Observasi tekstur dan warna kulit.
Kriteria hasil :
 Lakukan tindakan secara aseptic dan
 Suhu 36,5-37 C antiseptic.

 Tidak ada lecet atau  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
kemerahan pada kulit. dengan bayi.

 Tanda-tanda infeksi (-)  Jaga kebersihan kulit bayi.

 Ganti pakaian setiap basah.

 Jaga kebersihan tempat tidur.


 Lakukan mobilisasi tiap 2 jam.

 Monitor suhu dalam incubator.


6. Kecemasan orang tua b.dCemas berkurang  Kaji tingkat pengetahuan orang tua
kurang pengetahuan orang
tua dan kondisi krisis.
Kriteria hasil :  Beri penjelasan tentang keadaan bayinya.

Orang tua tampak tenang  Libatkan keluarga dalam perawatan


bayinya.
Orang tua tidak bertanya-tanya
lagi.  Berikan support dan reinforcement atas
apa yang dapat dicapai oleh orang
tua.
Orang tua berpartisipasi dalam
proses perawatan.
 Latih orang tua tentang cara-cara
perawatan bayi dirumah sebelum bayi
pulang.

Diposkan oleh Susilawati di 5:25:00 PM


Label: Askep Neonatal

0 komentar:

Poskan Komentar

HIPER BILIRUBIN

. Pengertian
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak
mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau
mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada
bayi.
Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.

B. Metabolisme Bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu
diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin pada neonatus.
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian
lagi dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi
dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX
alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat
lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan
sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan
dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat
oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel
hati, terjadi persnyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation hati lain
yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada
kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang
terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan
selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus
sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi
enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada
neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa
hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari
ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya
tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi
kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan
karenanya disebut ikterus fisiologik.
Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati
menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan
dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh t3, misal kerusakan sel otak yang akan
mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian.

C. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor:

1. Produksi yang berlebihan


Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada hemolisis yang
meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-
6-PADA, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

2. Gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar


Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar) penyebab lain
atau defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke
sel hepar.

3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan sulfaforazole.
Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

4. Gangguan dalam ekskresi


Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di
luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya
akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain.
D. Patofisiologi
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin
pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi,
meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi
enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan
protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan
anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii
transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal
atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang
memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar
darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati
biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus
sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat
keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan
susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.

E. Tanda dan Gejala


♦ Kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga (pada bayi dengan bilirubin
indirek).
♦ Anemia
♦ Petekie
♦ Perbesaran lien dan hepar
♦ Perdarahan tertutup
♦ Gangguan nafas
♦ Gangguan sirkulasi
♦ Gangguan saraf

F. Penatalaksanaan
Tujuan utama adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai
nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris, serta mengobati penyebab
langsung ikterus. Konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung ini dapat dilakukan
dengan merangsang terbentuknya glukuronil transferase dengan pemberian obat seperti
luminal atau agar. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin
(plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin),
terapi sinar atau transfusi hikan, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan
kenaikan kadar bilirubin.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek
samping terapi sinar, antara lain: enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit (ruam
gigitan kutu), gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping bersifat sementara
dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya
diperbaiki.
G. Prognosis
Hiperbilirubin baru akan berpengaruh bentuk apabila bilirubin indirek telah melalui
sawar otak, penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris, gejala
ensefalopati pada neonatus mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan
minum, letargi dan hipotonia, selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan
opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan adanya atitosis didan ditemukan
opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan adanya atitosis ditai gangguan
pendengaran atau retardasi mental di hari kemudian.

III. ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian

a. Riwayat penyakit
Kekacauan/ gangguan hemolitik (Rh atau ABO incompabilitas), policitemia, infeksi,
hematom, memar, liver atau gangguan metabolik, obstruksi menetap, ibu dengan
diabetes.

b. Pemeriksaan fisik
- Kuning
- Pucat
- Urine pekat
- Letargi
- Penurunan kekuatan otot (hipotonia)
- Penurunan refleks menghisap
- Gatal
- Tremor
- Convulsio (kejang perut)
- Menangis dengan nada tinggi
c. Pemeriksaan psikologis
Efek dari sakit bayi; gelisah, tidak kooperatif/ sulit kooperatif, merasa asing.
d. Pengkajian pengetahuan keluarga dan pasien

Penyebab dan perawatan, tindak lanjut pengobatan, membina kekeluargaan dengan bayi
yang lain yang menderita ikterus, tingkat pendidikan, kurang membaca dan kurangnya
kemauan untuk belajar.

B. Diagnosa keperawatan

1. Resiko peningkatan kadar bilirubin dalam darah berhubungan dengan kondisi


fisiologis/patologis

Tujuan/Kriteria
Tidak ada peningkatan hiperbilirubinemia

Rencana Tindakan
a.Monitor tanda-tanda vital
b.Monitor bilirubin serum
c.Monitor bila ada muntah, kaku otot atau tremor
d.Kolaborasi terapi dengan tim medis
e.Berikan minum ekstra
f.Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian fototerapi

2. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan malas menghisap

Tujuan/Kriteria
Kebutuhan nutrisi terpenuhi

Rencana Tindakan
a.Berikan minum melalui sonde(ASI yang diperah atau PASI)
b.Lakukan oral hygiene dan olesi mulut dengan kapas basah
c.Monitor intake dan output
d.Monitor berat badan tiap hari
e.Observasi turgor dan membran mukosa

3. Resiko perubahan suhu Tubuh berhubungan dengan efek samping fototerapi

Tujuan/Kriteria:
Suhu tubuh tetap normal

Rencana Tindakan:
a.Monitor tanda-tanda vital tiap 4jam
b.Perhatikan suhu lingkungan dan gunakan isolasi
c.Berikan minum tambahan

4. Resiko terjadi trauma persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan efek samping
fototerapi

Tujuan/Kriteria:
Tidak terjadi gangguan pada retina pada masa perkembangan

Rencana Tindakan:
1.Kaji efek samping fototerapi
2.Letakkan bayi 45 cm dari sumber cahaya/lampu
3.Selama dilakukan fototerapi tutup mata dan genital dengan bahan yang tidak tembus
cahaya
4.Monitor reflek mata dengan senter pada saat bayi diistirahatkan dan kontrol keadaan
mata setiap 8 jam
5.Buka tutup mata bila diberi minum atau saat tidak dibawah sinar
6.Observasi dan catat penggunaan lampu

5. Resiko terjadi gangguan integritas kulit berhubungan dengan efek samping


fototerapi

Tujuan/Kriteria:
Selama dalam perawatan kulit bayi tidak mengalami gangguan integritas kulit

Rencana Tindakan:
a.Observasi keadaan keutuhan kulit dan warnanya
b.Bersihkan segera bila bayi buang air besar atau buang air kecil
c.Gunakan lotion pada daerah bokong
d.Jaga alat tenun dalam keadaan bersih dan kering
e.Lakukan alih baring dan pemijatan

6. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang tujuan,


prosedur pemasangan dan efek samping fototerapi

Tujuan/Kriteria:
Orang tua mengerti tujuan tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi

Rencana Tindakan:
1.Beri penyuluhan pada orang tua tentang tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi
2.Berikan support mental
3.Libatkan orang tua dalam prosedur fototerapi

Pengertian

Kegawatan pernafasan adalah keadaan kekurangan oksigen yang terjadi dalam jangka
waktu relatif lama sehingga mengaktifkan metabolisme anaerob yang menghasilkan asam
laktat. Dimana apabila keadaan asidosis memburuk dan terjadi penurunan aliran darah ke
otak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain. Selanjutnya dapat terjadi depresi
pernafasan yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang dan bahkan dapat
menyebabkan kematian (Yu dan Monintja, 1997).

Etiologi

Towel dalam Jumiarni, dkk (1995) menggolongkan penyebab kegagalan pernafasan pada
neonatus yang terdiri dari faktor ibu, faktor plasenta, faktor janin dan faktor persalinan.

Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
tahun, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah, maupun penyakit pembuluh
darah ibu yang mengganggu pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit jantung,
diabetes melitus dan lain-lain. Faktor plasenta meliputi solusio plasenta, perdarahan
plasenta, plasenta kecil, plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya. Faktor
janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali
pusat antara janin dan jalan lahir, gemeli, prematur, kelainan kongenital pada neonatus
dan lain-lain. Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-
lain.
Kegawatan pernafasan dapat terjadi pada bayi aterm maupun pada bayi preterm,
yaitu bayi dengan berat lahir cukup maupun dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi
dengan BBLR yang preterm mempunyai potensi kegawatan lebih besar karena belum
maturnya fungsi organ-organ tubuh.

Kegawatan sistem pernafasan dapat terjadi pada bayi yang lahir dengan berat kurang dari
2500 gram dalam bentuk sindroma gagal nafas dan asfiksia neonatorum yang terjadi
pada bayi cukup bulan.

Sindroma gagal nafas adalah perkembangan imatur pada sistem pernafasan atau
tidak adekwatnya jumlah surfaktan pada paru-paru. Sementara asfiksia neonatorum
merupakan gangguan pernafasan akibat ketidakmampuan bayi beradaptasi terhadap
asfiksia. Biasanya masalah ini disebabkan karena adanya masalah-masalah kehamilan
dan pada saat persalinan.

Sindroma gagal nafas (respiratory distress syndrom, RDS) adalah istilah yang digunakan
untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang
berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak adekwatnya
jumlah surfaktan dalam paru (Suriadi dan Yuliani, 2001). Gangguan ini biasanya dikenal
dengan nama hyaline membran desease (HMD) atau penyakit membran hialin karena
pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli.

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi dimana bayi tidak dapat bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan hipoksia,
hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis.

Patofisiologi

Kegawatan pernafasan dapat terjadi pada bayi dengan gangguan pernafasan yang dapat
menimbulkan dampak yang cukup berat bagi bayi berupa kerusakan otak atau bahkan
kematian.

Akibat dari gangguan pada sistem pernafasan adalah terjadinya kekurangan oksigen
(hipoksia) pada tubuh. bayi akan beradapatasi terhadap kekurangan oksigen dengan
mengaktifkan metabolisme anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin berat dan lama,
metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat.

Dengan memburuknya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak maka akan
terjadi kerusakan otak dan organ lain karena hipoksia dan iskemia (Yu dan Monintja,
1997).

Pada stadium awal terjadi hiperventilasi diikuti stadium apneu primer. Pada keadaan ini
bayi tampak sianosis, tetapi sirkulasi darah relatif masih baik. Curah jantung yang
meningkat dan adanya vasokontriksi perifer ringan menimbulkan peningkatan tekanan
darah dan refleks bradikardi ringan. Depresi pernafasan pada saat ini dapat diatasi dengan
meningkatkan impuls aferen seperti perangsangan pada kulit. Apneu primer berlangsung
sekitar 1 – 2 menit (Yu dan Monintja, 1997).

Apneu primer dapat memanjang dan diikuti dengan memburuknya sistem sirkulasi.
Hipoksia miokardium dan asidosis akan memperberat bradikardi, vasokontriksi dan
hipotensi. Keadaan ini dapat terjadi sampai 5 menit dan kemudian terjadi apneu sekunder.
Selama apneu sekunder denyut jantung, tekanan darah dan kadar oksigen dalam darah
terus menurun. Bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidsssak menunjukkan upaya
pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi kecuali pernafasan buatan dan
pemberian oksigen segera dimulai (Saifuddin, 2002).

Manifestasi Klinik

Menurut Surasmi, dkk (2003) tanda dan gejala yang muncul adalah sebagai berikut :

1) Takhipneu (> 60 kali/menit)

2) Pernafasan dangkal

3) Mendengkur

4) Sianosis

5) Pucat

6) Kelelahan

7) Apneu dan pernafasan tidak teratur

8) Penurunan suhu tubuh

9) Retraksi suprasternal dan substernal

10) Pernafasan cuping hidung

Penatalaksanaan

Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan
pernafasan meliputi :

1) Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekwat.

2) Mempertahankan keseimbangan asam basa.

3) Mempertahankan suhu lingkungan netral.


4) Mempertahankan perfusi jaringan adekwat.

5) Mencegah hipotermia.

6) Mempertahankan cairan dan elektrolit adekwat.

Asuhan Keperawatan

Pengkajian

Pengkajian adalah proses pengumpulan data untuk mendapatkan berbagai informasi yang
berkaitan dengan masalah yang dialami klien. Pengkajian dilakukan dengan berbagai cara
yaitu anamnesa, observasi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan diagnostik (Surasmi dkk,
2003).

Riwayat Keperawatan

Menurut Surasmi, dkk (2003) data riwayat keperawatan meliputi riwayat kehamilan
sekarang (apakah ibu mengalami hipotensi atau perdarahan), riwayat kelahiran (jenis
persalinan, lahir dengan asfiksia atau terpajan hipotermia), riwayat keluarga dan nilai
APGAR rendah serta tindakan resusitasi yang dilakukan pada bayi.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu (> 60 kali/menit), pernafasan


mendengkur, retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat,
hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada
awalnya suara nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya pertukaran udara,
nafas menjadi parau dan pernapasan dalam.

Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat dilihat dari
penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi
meliputi:

1) Frekuensi nafas

Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu tanpa tanda
lain berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis
metabolik seperti pada syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan
salisilat, dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler
sering terjadi pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda
memburuknya keadaan klinik.

2) Mekanika usaha pernafasan


Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding
dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan
kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan
mekanik usaha pernafasan.

3) Warna kulit/membran mukosa

Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat berbercak (mottled),
tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.

Penilaian fungsi kardiovaskuler meliputi:

1) Frekuensi jantung dan tekanan darah

Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum adanya stress, ansietas, nyeri, demam,
hiperkapnia, dan atau kelainan fungsi jantung.

2) Kualitas nadi

Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan aliran sirkulasi
perifer nadi yang tidak adekwat dan tidak teraba pada satu sisi menandakan berkurangnya
aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang
memburuk dapat dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis. Pemeriksaan pada
pengisian kapiler dapat dilakukan dengan cara:

(1) Nail Bed Pressure ( tekan pada kuku)

(2) Blancing Skin Test, caranya yaitu dengan meninggikan sedikit ekstremitas
dibandingkan jantung kemudian tekan telapak tangan atau kaki tersebut selama 5
detik, biasanya tampak kepucatan. Selanjutnya tekanan dilepaskan pucat akan
menghilang 2-3 detik.

3) Perfusi pada otak dan respirasi

Gangguan fungsi serebral awalnya adalah gaduh gelisah diselingi agitasi dan letargi. Pada
iskemia otak mendadak selain terjadi penurunan kesadaran juga terjadi kelemahan otot,
kejang dan dilatasi pupil.

Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik meliputi gas darah arteri dengan PaO2 kurang dari 50 mmHg dan
PCO2 diatas 60 mmHg, peningkatan kadar kalium darah, pemeriksaan sinar-X
menunjukkan adanya atelektasis, lesitin/spingomielin rasio 2 :1 mengindikasikan bahwa
paru sudah matur, pemeriksaan dekstrostik dan fosfatidigliserol meningkat pada usia
kehamilan 33 minggu.
Analisa Data

Data yang terkumpul melalui pengkajian selanjutnya dikelompokkan dan dianalisis untuk
merumuskan diagnosa keperawatan. Menurut Suryadi dan Yuliani (2001), diagnosa
keperawatan yang mungkin timbul pada bayi dan anak yang mengalami gawat nafas
antara lain :

1) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan imatur paru dan dinding dada atau
berkurangnya jumlah cairan surfaktan.

2) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya sekret pada
jalan nafas dan obstruksi atau pemasangan intubasi trachea yang kurang tepat.

3) Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan
ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang
tepat.

4) Resiko injuri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan asam basa; O2 dan CO2
dan barotrauma (perlukaan dinding mukosa) dari alat bantu nafas.

5) Resiko perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan hospitalisasi, sekunder
dari situasi krisis pada bayi.

6) Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan yang tidak
disadari (insensible water loss).

7) Intake nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan menelan,


maturitas gastrik menurun dan kurangnya absorpsi.

Perencanaan

Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) tujuan dari intervensi keperawatan meliputi :

1) Gangguan pertukaran gas adekwat ditandai dengan nilai analisa gas darah dan saturasi
oksigen dalam batas normal.

2) Kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan ditandai dengan bunyi nafas normal dan
adanya pergerakan dinding dada.

3) Support ventilator tepat dan ada usaha bayi untuk bernafas yang ditandai dengan
analisa gas darah dalam batas normal.

4) Bayi tidak mengalami ketidakseimbangan asam dan basa dan barotrauma.

5) Orang tua bayi akan menerima keadaan anaknya dan mau melakukan bonding dan
mengidentifikasi perubahan peran yang terjadi.
6) Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan.

7) Kebutuhan intake nutrisi dapat dipertahankan.

Adapun implementasi yang dapat dilakukan meliputi :

1) Mempertahankan pertukaran gas adekwat.

(1) Identifikasi adanya resiko yang muncul.

(2) Monitor status pernafasan dan lapor ke dokter bila pernafasan memburuk.

(3) Monitor analisa gas darah, pulse oxymetry.

(4) Posisikan bayi dengan tepat.

(5) Pertahankan suhu lingkungan netral.

(6) Pemberian oksigen sesuai dengan program.

2) Meningkatkan kebersihan jalan nafas.

(1) Kaji dada bayi apakah bunyi nafas bilateral dan adanya ekspansi selama inspirasi

(2) Atur posisi bayi utuk memudahkan drainase

(3) Lakukan pengisapan lendir (suction).

(4) Kaji kepatenan jalan nafas setiap jam.

(5) Kaji posisi ketepatan alat ventilator setiap jam.

(6) Auskultasi kedua lapang paru.

3) Meningkatkan pola nafas efektif.

(1) Monitor serial analisa gas darah sesuai program.

(2) Gunakan alat Bantu nafas sesuai program.

(3) Pantau ventilator setiap jam

(4) Berikan lingkungan yang kondusif supaya bayi dapat tidur, gunakan sedatif bila
perlu sesuai program.
4) Mencegah injuri berhubungan dengan ketidakseimbangan asam – basa; O2 dan CO2 dan
barotrauma.

(1) Evaluasi gas darah untuk melihat fungsi abnormal pernafasan.

(2) Monitor pulse oksimetri

(3) Monitor adanya komplikasi

(4) Pantau dan pertahankan ketepatan posisi alat bantu nafas atau ventilator.

5) Meningkatkan bonding orang tua dan bayi.

(1) Jelaskan semua alat (monitor, ETT, ventilator) pada orang tua.

(2) Anjurkan orang tua untuk selalu mengunjungi bayi.

(3) Jika tidak menggunakan oksigen, ajarkan orang tua untuk menyentuh bayi,
bercakap dan belaian kasih sayang.

(4) Ajarkan cara orang tua untuk berpartisipasi dalam perawatan bayi.

(5) Instruksikan pada ibu untuk memberikan ASI dan ajarkan cara merangsang
pengeluaran ASI.

6) Mencegah kekurangan volume cairan.

(1) Pertahankan cairan infus 60 – 100 ml/kg/hari.

(2) Peningkatan pemberian cairan dapat dilihat dari hasil output urine, dan jumlah
makanan enteral yang didapat.

(3) Gunakan infus pompa agar jumlah cairan tubuh yang normal dapat dipertahankan.

(4) Moitor intake dan output dan catat secara ketat.

(5) Monitor output urine pada popok.

(6) Kaji elektrolit; sodium dan potasium.

(7) Monitor jumlah infus yang masuk.

7) Memenuhi kebutuhan nutrisi.

(1) Pasang NGT untuk pemberian minum.


(2) Evaluasi abdomen dengan cara auskultasi.

(3) Pastikan bahwa selang NGT masuk tepat pada lambung.

(4) Berikan makanan atau minuman melalui NGT secara bertahap.

(5) Tinggikan kepala anak sedikit pada saat akan minum.

(6) Pemberian makanan atau minuman secara perlahan-lahan.

(7) Pantau sisa makanan atau minuman sebelum pemberian makanan.

(8) Tempatkan bayi dengan posisi miring ke kanan setelah pemberian minum selama
satu jam.

Evaluasi dan Perencanaan Pulang

1) Berikan pengajaran perawatan bayi pada orang tua dengan simulasi. Kenalkan pada
orang tua utuk mengidentifikasi tanda dan gejala distress pernafasan.

2) Ajarkan pada orang tua bagaimana cara melakukan resusitasi jantung paru (RJP) dan
disimulasikan bila perlu untuk perawatan dirumah.

3) Jika bayi menggunakan monitor di rumah, ajarkan pada orang tua bagaimana
mengatasi bila ada alarm.

4) Jelaskan kepada orang tua pentingnya sentuhan dan suara-suara nada sayang didengar
oleh bayi.

5) Tekankan pentingnya kontrol ulang dan deteksi dini bila ada kelainan.

Daftar Pustaka

Hudak,CM dan Gallo, BM. 1997. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Alih
Bahasa Monika E. dkk. Edisi VI, Volume I . Jakarta : EGC

Jumiarni dkk. 1995. Asuhan Keperawatan Perinatal. Jakarta : EGC

Markum, AH. 1999. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Nelson, B. 2000. Ilmu Kesehatan Anak vol 2 edisi 15. Jakarta : EGC

Ngastiyah. 1997.Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Rilantono, L I. dkk. 1999. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI.

Saifuddin, A B. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan


Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Suriadi dan Yuliani, R. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1 Jakarta : CV
Sagung Seto

Surasmi, A. dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta : EGC.

Yu Vy and Monintja, HE. 1997. Beberapa Masalah Perawatan Intesif Neonatus.


Jakarta : FKUI

Yunanto, dkk. 2003. Laporan Penelitian : Pengaruh BBLR Untuk Terjadinya


Asfiksia Neonatorum di RSU Ulin Banjarmasin 2002-2003. Banjar Baru : FKU
Lambung Mangkurat/ Perinasia Cabang Kalsel.

_________. 1997. Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi RSUD Gunung Jati Cirebon

Diposkan oleh Arif Wibawa Rukmana di 01:14

0 komentar:

Anda mungkin juga menyukai