Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

FOTOGRAMETRI I
“ORTHOFOTO”
Tanggal Penyerahan : 10 Januari 2022
Disusun Oleh :
Adithya Kuratcana W / 23-2020-041
Kelas :
A
Nama Asisten :
Karlina Dwidjayanti Bambang (23-2017-010)
Alisa Nurohma (23-2019-030)

LABORATORIUM FOTOGRAMETRI
JURUSAN TEKNIK GEODESI
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL
BANDUNG
2022
Praktikum Fotogrametri I

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................i

DAFTAR GAMBAR................................................................................................................ii

DAFTAR TABEL...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1

1.1. Latar Belakang..................................................................................................................1

1.2. Maksud dan Tujuan Praktikum.........................................................................................2

1.3. Waktu Pelaksanaan Praktikum.........................................................................................2

BAB II DASAR TEORI...........................................................................................................3

2.1. Fotogrametri.....................................................................................................................2

2.1.1. Kegunaan Fotogrametri..................................................................................................... 2

2.2. Foto Udara........................................................................................................................4

2.2.1. Skala Foto ...................................................................................................................4

2.3. Pesawat Tanpa Awak (UAV)............................................................................................5

2.4. Kamera..............................................................................................................................6

2.5. Desain Jalur Terbang......................................................................................................10

2.6. Titik Kontrol Tanah (GCP)............................................................................................12

2.7. Model Elevasi Digital.....................................................................................................14

2.8. Orthofoto.........................................................................................................................18

BAB III PELAKSANAAN PRAKTIKUM.........................................................................23

3.1. Langkah-langkah Proses Orthofoto................................................................................23

BAB IV HASIL DAN ANALISIS........................................................................................34

4.1. Hasil................................................................................................................................34

4.2. Analisis...........................................................................................................................34

BAB V KESIMPULAN.........................................................................................................36

5.1. Kesimpulan.....................................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................37

232020041_Adithya Kuratcana W_A i


Praktikum Fotogrametri I

DAFTAR GAMBAR

10

11

12

14

15

16

21

22

34

232020041_Adithya Kuratcana W_A ii


Praktikum Fotogrametri I

DAFTAR TABEL

23

232020041_Adithya Kuratcana W_A iii


Praktikum Fotogrametri I

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Fotogrametri merupakan seni, ilmu dan teknologi perolehan informasi tentang
obyek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman, pengukuran dan penafsiran foto
(Thomson dan Gruner, 1980). Istilah fotogrametri berasal dari kata photos yang berarti
sinar, gramma yang berarti sesuatu yang tergambar dan metron yang berarti mengukur.
Dan secara sederhana berdasarkan definisi fotogrametri diatas, maka fotogrametri dapat
diartikan sebagai suatu pengukuran secara grafis dengan menggunakan sinar.
Dari definisi ini dapat diketahui bahwa fotogrametri meliputi (Wolf,1983) :
Perekaman obyek (pemotretan), Pengukuran gambar obyek pada foto udara, dan
Pemotretan hasil ukuran untuk dijadikan bentuk yang bermanfaat (Peta). Berdasarkan
pemaparan di atas, maka saya mahasiswa SPIG angkatan 2014 mengadakan praktikum
fotogrametri. 
Data asli yang dihasilkan dari rekaman pada satelit maupun pesawat terbang
merupakan representasi dari bentuk permukaan bumi yang tidak beraturan. Walaupun
terlihat daerah yang datar, tetapi area yang direkam sesungguhnya mengandung
kesalahan (distorsi) yang diakibatkan oleh pengaruh kelengkungan bumi atau oleh
sensor itu sendiri. Kesalahan tersebut dapat menyebabkan terjadinya degradasi kualitas
data yang diperoleh.
Agar data yang dihasilkan tidak mengandung kesalahan, maka perlu adanya suatu
koreksi terhadap data tersebut, dalam hal ini adalah dengan koreksi orthoretifikasi
(koreksi ketegakan). Orthorektifikasi merupakan sistem koreksi geometrik untuk
mengeliminasi kesalahan akibat perbedaan tinggi permukaan bumi serta proyeksi
akusisi citra yang umumnya tidak orthogonal (oblique). Orthorektifikasi adalah proses
memposisikan kembali citra sesuai lokasi sebenarnya, dikarenakan pada saat
pengambilan data terjadi pergeseran (displacement) yang diakibatkan posisi miring
pada satelit dan variasi topografi. Orthorektifikasi selain digunakan untuk mengoreksi
citra secara geometrik, juga mengoreksi citra berdasarkan ketinggian geografisnya.
Koreksi geometrik jika tidak menggunakan orthorektifikasi , maka puncak gunung akan
bergeser letaknya dari posisi sebenarnya, walaupun sudah dikoreksi secara geometrik
(Purwadhi, 2008).

232020041_Adithya Kuratcana W_A iv


Praktikum Fotogrametri I

1.2. Maksud dan Tujuan Praktikum


Adapun maksud dan tujuan dari praktikum fotogrametri ini adalah untuk
mengetahui lebih dalam dan dapat menggunakan juga memahami tentang alat-alat
fotogrametri atau software-software fotogrametri seperti PCI Geomatika, Autocad,
XRectify, dll. dan agar dapat mengoperasikan alat alat foto udara (fotogrametri) dengan,
menginterpretasi foto udara menggunakan stereoskop.

1.3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum


Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktikum fotogrametri, sebagai berikut :
Hari : Senin
Tanggal : 20 Desember 2021
Waktu : 10.00 – 12.00 WIB
Tempat : Online (Zoom Meetings)

232020041_Adithya Kuratcana W_A v


Praktikum Fotogrametri I

BA II
DASAR TEORI
2.1. Fotogrametri
Fotogrametri adalah suatu seni, pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh
informasi yang dapat dipercaya tentang suatu obyek fisik dan keadaan di sekitarnya
melalui proses perekaman, pengamatan atau pengukuran dan interpretasi citra fotografis
atau rekaman gambar gelombang elektromagnetik. Seiring berkembangnya ilmu dan
teknologi, teknik fotogrametri terus berkembang. Mulai dari fotogrametri analog,
fotogrametri analitik hingga fotogrametri digital (Softcopy Photogrammetry) (Santoso,
2001 dalam Syauqani, Subiyanto, & Suprayogi, 2017).
Fotogrametri berasal dari kata Yunani dari kata “photos” yang berarti sinar
“gramma” yang berarti sesuatu yang tergambar atau ditulis, dan “metron” yang berarti
mengukur. Oleh karena itu konsep dari fotogrametri sendiri adalah pengukuran secara
grafik dengan menggunakan sinar ( Hadi, 2007).
Kegiatan pemetaan secara fotogrametris yaitu menggunakan foto udara yang
dilakukan selama puluhan tahun menyebabkan semakin berkembang pula peralatan dan
teknik dalam pemetaan, diikuti dengan perkembangan fotogrametri yang akurat dan
efisien, serta sangat menguntungkan didalam bidang pemetaan. Fotogrametri dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan pemetan yang memerlukan ketelitian tinggi, sehingga
perkembangan selanjutnya sebagian besar pemetaan topografi dan juga pemetaan persil
dilakukan dengan menggunakan fotogrametri (Suyudi, 2014).
2.1.1. Kegunaan Fotogrametri
Fotogrametri mempunyai banyak kegunaan dalam pengukuran tanah dan
rekayasa. Misalnya dipakai dalam pengukuran tanah untuk menghitung koordinat titik
sudut, titik sudut batas. Peta-peta skala besar dibuat berdasarkan fotogrametri untuk
pengkaplingan tanah, untuk memetakan garis-garis pantai, untuk menentukan koordinat
titik kontrol, untuk menggambarkan penampang melintang dalam pembuatan jalan
(Wolf, 1993).
Fotogrametri atau aerial surveying adalah teknik pemetaan melalui foto udara
pada umumnya dipergunakan untuk berbagai kegiatan perencanaan dan desain seperti
jalan raya, jalan kereta api, jembatan, jakur pipa, tanggul, jaringan listrik, jaringan
telepon, bendungan, pelabuhan, pembangunan perkotaan, dsb. (Wolf, 2008).

232020041_Adithya Kuratcana W_A vi


Praktikum Fotogrametri I

2.2. Foto Udara


Foto udara adalah suatu rekaman detail permukaan bumi yang dipengaruhi oleh 
panjang fokus lensa kamera, ketinggian terbang pesawat, waktu pemotretan, jenis film 
dan filter yang dipakai saat pemotretan. Foto udara dapat juga didefinisikan sebagai 
gabungan dari gambar / citra foto yangdibuat untuk mengenal unsur-unsur dalam 
penafsiran/interpretasi. Foto udara pada dasarnya merupakan foto perspektif yang
secara  geometri berhubungan dengan jenis kamera yang dipakai dalam pemotretan.
Teknik pemetaan dari foto udara adalah salah satu aspek yang terpenting dalam
ilmu  fotogrametri / penginderaan jauh. Fotogrametri / Penginderaan Jauh sendiri 
didefinisikansebagai seni, sains, dan teknonologi dalam memperoleh informasi yang 
andal (reliable) tentang obyek fisik dan lingkungan melalui proses rekaman,
pengukuran,  dan interpretasi citra dan polaradiasi elektromagnetis serta gejala lainnya. 
Perbedaan diantara keduanya terletak pada kenyataan bahwa titik berat
Fotogrametri  adalah pada aspek pengukuran dimana letak obyek (lintang, bujur,
ketinggian) yang  dipetakan, sedangkan Penginderaan Jauh lebih tertarik pada
pengenalan obyek apa  (klasifikasi tanah, jenis umbuhan, informasi geomorfologi, dll)
yang akan dipetakan.  Kedua cabang ilmu ini salingberkaitan erat dalam proses
penyajian peta baik peta  topografi maupun peta tematik sebagaiproduk akhirnya.
Sedangkan pemakaian jenis  sensor yang digunakan pada proses data akuisisi(kamera
udara, Landsat, SPOT),  pemrosesan citranya (analog atau digital), cara
analisisnya,serta cara penyajian produk  akhirnya (analog maupun digital) praktis tidak
mempunyai perbedaan.  
2.2.1. Skala Foto
Skala foto udara adalah rasio perbandingan jarak di foto udara dengan jarak
horizontal yang ada pada lapangan (jarak sesungguhnya di lapangan) atau perbandingan
jarak pada foto udara dengan jarak di permukaan bumi. Penentuan skala tersebut
dengan menggunakan rumus seperti berikut:

S=f/H

2.3. Pesawat Tanpa Awak (UAV)

232020041_Adithya Kuratcana W_A vii


Praktikum Fotogrametri I

Pesawat tanpa awak UAV (Unmanned Aerial Vehicle) merupakan jenis pesawat
terbang yang dikendalikan alat sistem kendali jarak jauh lewat gelombang radio. UAV
merupakan sistem tanpa awak (unmanned system) yaitu sistem berbasis elektro mekanik
yang dapat melakukan misi-misi terprogram dengan karakteristik sebuah mesin terbang
yang berfungsi dengan kendali jarak jauh oleh pilot atau mampu mengendalikan dirinya
sendiri, UAV dapat dikendalikan manual melalui radio kontrol atau secara otomatis
dengan mengolah data pada sensor (Saraoinsong, 2018).

Gambar 1. Pesawat Tanpa Awak

Terminologi terbaru UAV fotogrametri menjelaskan bahwa platform ini dapat


beroperasi dan dikendalikan dari jarak jauh baik secara semi-otomatis maupun otomatis
tanpa perlu pilot duduk di kendaraan. Platform ini dilengkapi dengan kemampuan untuk
melakukan pengukuran fotogrametri baik secara skala kecil maupun besar dengan
menggunakan sistem kamera atau kamera video, sistem kamera termal atau inframerah,
sistem LIDAR, atau kombinasi ketiganya. UAV standar saat ini memungkinkan
pendaftaran, pelacakan posisi dan orientasi dari sensor yang diimplementasikan dalam
sistem lokal atau koordinat global. Oleh karena itu teknologi UAV fotogrametri ini
dapat dipahami sebagai alat pengukuran fotogrametri terbaru (Eseinbei, 2009)
Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau kendaraan udara tanpa awak adalah salah
satu teknologi yang sedang mengalami perkembangan yang pesat dan memiliki potensi
yang sangat besar, baik untuk keperluan militer maupun kepentingan sipil. Contoh
aplikasi yang dapat diimplementasikan pada UAV adalah untuk kebutuhan survey,
patroli, deteksi tambang mineral, riset,fotografi, dan keperluan lain. Kelebihan dari
UAV adalah dapat digunakan pada misi-misi berbahaya tanpa membahayakan pilot
manusia.

232020041_Adithya Kuratcana W_A viii


Praktikum Fotogrametri I

UAV awal dibuat kebanyakan untuk kepentingan militer. Seiring berkembang


teknologi dan banyak penelitian yang berkaitan dengan UAV, sekarang UAV memiliki
fungsi yang berbeda-beda. Salah satu adalah Transportasi UAV yang dapat mengangkut
barang pada bagian pesawat, namun untuk UAV jenis helikopter dapat mengangkut
barang diluar badan pesawat. Beban yang diberikan pada UAV ini biasa beban yang
tergolong ringan dan membutuhkan kecepatan pengiriman dan resiko pengiriman yang
tinggi.
Pada metode kombinasi fotogrametri dilakukan dengan pengambilan gambar
vertikal menggunakan UAV dan horisontal menggunakan kamera DSLR, pengambilan
gambar di sekitar obyek itu sendiri dipotret dengan posisi kamera yang konvergen
setelah pemotretan dengan posisi konvergen dilanjutkan dengan metode close range
photogrammetry yaitu pengambilan gambar dari jarak 15m sampai close up dengan
objek tersebut (Atkinson, 1996).
Tahap awal sebelum pemotretan harus memasang retro, pemasangan retro harus
menyebar di setiap obyek yang akan dipotret sehingga dapat dilihat di foto. Titik-titik
ini akan dipakai untuk proses refrencing

Gambar 2. Pengambilan gambar menggunakan UAV


2.4. Kamera
Dalam fotogrametri kamera merupakan salah satu instrumen paling penting,
karena kamera digunakan untuk membuat foto yang merupakan alat utama dalam
fotogrametri. Oleh karena itu dapat dikatakan pula bahwa foto yang akurat (mempunyai
kualitas geometri yang tinggi) diperoleh dari kamera yang teliti.
Kamera ini digunakan sebagai alat perekam foto objek dalam fotogrametri.
Ketelitian geometri foto yang tinggi ditentukan oleh kualitas kamera yang dipakai saat
merekam objek. Baik untuk keperluan foto udara maupun foto terestrial, kamera
diklasifikasikan menjadi dua kategori umum yaitu :

232020041_Adithya Kuratcana W_A ix


Praktikum Fotogrametri I

1. Kamera Metrik
Kamera metrik merupakan kamera yang dirancang khusus untuk keperluan
fotogrametri. Kamera ini terkalibrasi secara menyeluruh dan stabil sebelum
digunakan, yang meliputi panjang fokus, koordinat titik utama foto, distorsi radial
dan distorsi tangensial lensa. Kamera metrik berformat normal dikenal dengan
tiga bukaan sudut (angle field of view), yaitu: (Dipokusumo, 1999).
Kamera metrik juga dirancang khusus untuk keperluan fotogrametrik. Kamera
metrik yang umum digunakan mempunyai ukuran format 23cm × 23cm, kamera
metrik dibuat stabil dan dikalibrasi secara menyeluruh sebelum digunakan. Nilai-
nilai kalibrasi dari kamera metrik seperti panjang fokus, distorsi radial lensa,
koordinat titik utama foto diketahui dan dapat digunakan untuk periode yang
lama.
2. Kamera Non-Metrik
Kamera non-metrik dirancang untuk merekam foto profesional maupun
pemula. Dengan kamera ini kualitas visual foto lebih diutamakan daripada
kualitas geometrinya. Kamera non-metrik mempunyai dua kekurangan utama,
yaitu:
1. Ketidak stabilan geometrik, Masalah terbesar penggunaan kamera non metrik
adalah ketidakstabilan geometrik. Kamera non metrik tidak memiliki tanda-
tanda fidusial, tidak diketahui secara pasti besarnya panjang fokus dan posisi
principal point, sehingga pengukuran pada foto udara menjadi kurang teliti.
Kamera non metrik dapat dikalibrasi dengan teknik tertentu sehingga
parameter-parameter internal yang berpengaruh pada ketelitian geometrik foto
dapat diketahui, sehingga kamera non metrik dapat digunakan untuk aplikasi
fotogrametri.
2. Pada ukuran film, keterbatasan lain dalam penggunaan kamera non-metrik
adalah terbatasnya ukuran film. Untuk mencakup area dengan luas dan skala
yang sama, penggunaan kamera format kecil (ukuran sensor full frame: 36 mm
x 24 mm). membutuhkan jumlah foto lebih banyak dibandingkan jika
pemotretan itu dilakukan dengan menggunakan kamera metrik format 23 cm x
23 cm. Selain itu seringkali dalam pemetaan metode foto udara dibutuhkan
foto dengan ukuran asli yang besar, sehingga penggunaan kamera format kecil
menjadi masalah.

232020041_Adithya Kuratcana W_A x


Praktikum Fotogrametri I

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuian dan teknologi keterbatasan-


keterbatasan penggunaan kamera format kecil dapat diatasi, sehingga kamera non
metrik menjadi instrumen yang layak digunakan untuk keperluan fotogrametri. Kamera
non-metrik jika dilihat dari sisi keuangan, tentu saja lebih ekonomis dibanding kamera
metrik. Selain itu jenis kamera non-metrik di pasaran bervariasi, antara lain kamera
saku, kamera pro summer, kamera DSLR dan kamera DSLM .
1. Kamera DSLR
Digital Single Lens Reflex (Digital SLR atau DSLR) adalah kamera digital
yang menggunakan sistem cermin otomatis dan pentaprisma atau pentamirror
untuk meneruskan cahaya dari lensa menuju ke viewfinder. Berikut adalah
gambaran struktur pada kamera DSLR (Syndicate, 2011)

Gambar 3. Struktur Kamera DSLR

Kamera DSLR memiliki keunggulan dalam hal ukuran sensornya yang jauh
lebih besar dibanding kamera digital non-metrik biasa. Hal ini kamera ukuran
sensor dibuat menyamai ukuran film analog 35mm atau yang dikenal dengan
sebutan full frame (36x24mm). Selain memakai sensor berukuran 35mm, kamera
DSLR juga tersedia dengan sensor yang berukuran lebih kecil. Tujuannya adalah
untuk menekan biaya produksi dan membuka kesempatan memproduksi lensa
khusus yang bisa dibuat lebih kecil dan dengan biaya yang lebih murah
(Syndicate, 2011).
Sensor yang lebih kecil dari sensor full frame biasa disebut dengan crop-
sensor, karena gambar yang dihasilkan tidak lagi memiliki bidang gambar yang
sama dengan fokal lensa yangdigunakan. Hal ini biasa disebut dengan crop factor,
dinyatakan dengan focal length multiplier, suatu faktor pengali yang akan

232020041_Adithya Kuratcana W_A xi


Praktikum Fotogrametri I

membuat panjang fokus lensa yang digunakan akan terkoreksi sesuai ukuran
sensor. Perkalian ini akan menaikkan panjang fokus efektif dari panjang fokus
lensa yang dipakai sehingga hasil foto yang diambil dengan sensor crop ini akan
mengalami perbesaran (magnification). Semakin kecil sensornya maka semakin
tinggi crop factor-nya dan semakin besar perbesaran gambarnya.
2. Kamera DSLM
Digital Single Lens Mirrorless (DSLM) merupakan teknologi baru pada
kamera dimana didapat dengan membuang cermin yang ada di DSLR (Novianty,
2015). Konsekuensinya adalah menghemat ukuran dan berat kamera (serta
menghemat harga), namun kita kehilangan optical viewfinder, oleh karena itu
kamera mirrorless menggunakan sistem viewfinder elektronis (EVF – electronic
viewfinder). Kualitas foto kamera mirrorless juga tidak kalah dengan DSLR
karena ukuran sensor yang relatif sama. Cahaya yang melalui lensa ditangkap oleh
sensor dan langsung tampil di LCD (Anonim, 2014).

Gambar 4. Struktur perbedaan kiri kamera DSLR, kanan kamera DSLM

Kamera DSLM muncul pertama kali pada tahun 2004 denngan


diluncurkannya Epson RD-1. Kemudian diikuti oleh Leica pada tahun 2006. Pada
tahun tersebut Leica yang merupakan produsen kamera asal Jerman meluncurkan
kamera jenis mirrorless Leica M8. Hanya saja Leica meluncurkan M8 dengan
pasar khusus karena Leica memakai sensor besar dan dijual dengan harga yang
sangat tinggi. Kamera digital jenis ini mulai semakin berkembang pesat untuk
harga yang relatif lebih rendah pada sekitar tahun 2008. Saat itu Panasonic
mengembangkam sistem Micro Four Thirds dengan produk pertama adalah
kamera Panasonic Lumix DMC-G1, yang dirilis di Jepang pada Oktober 2008.

232020041_Adithya Kuratcana W_A xii


Praktikum Fotogrametri I

2.5. Desain Jalur Terbang


Dalam suatu pekerjaan fotogrametri memerlukan suatu rencana jalur terbang agar
foto yang di hasilkan mempunyai kualitas yang baik. Proses pengambilan jalur terbang
biasanya diambil jarak yang terpanjang untuk melakukan perekaman, hal ini untuk
memperoleh kestabilan pesawat disaat emotretan. Dalam mendesain jalur terbang di
buat sepanjang garis yang sejajar untuk membuat foto yang bertampalan (Eisenbei,
2009).
Area yang bertampalan overlap, merupakan daerah yang bertampalan antara foto
satu dengan foto yang lainnya sesuai dengan nomor urutan jalur terbang. Besarnya
tampalan antar foto tersebut umumnya sebesar 60%. Misalnya foto X1 memiliki
informasi yang sama dengan foto X2 sebesar 60%. Tujuan dari tampalan ini adalah
untuk menghindari daerah yang kosong disaat perekaman dikarenakan wahana pesawat
terbang melaju dengan kecepatan yang tinggi. Selain overlap foto udara juga harus
sidelap, sidelap merupakan pertampalan antara foto udara satu dengan foto udara lain
yang ada diatas maupun dibawah area yang direkam ilustrasi pada gambar 2.5. Sidelap
ini terjadi pada jalur terbang yang berbeda jadi suatu wilayah pada jalur terbang 1 yang
telah direkam akan direkam kembali sebesar 25% dari liputan jalur terbang 2. Berikut
ini gambaran dari proses Overlap dan Sidelap (Surya, 2017).

Gambar 5. Contoh Gambar Jalur Terbang

Peta jalur terbang (flight plan) merupakan peta yang meliputi seluruh wilayah
yang menjadi objek pemotretan yang menjadi pedoman arah jalur pemotretan.
Flight Plan adalah bagan jalur lengkap dengan letak dan koordinat tiap titik
exposure selama pemotretan. Flight plan dibuat dengan memplot pada peta topografi
atau peta lain yang sesuai

232020041_Adithya Kuratcana W_A xiii


Praktikum Fotogrametri I

Peta jalur terbang menggambarkan batas daerah proyek dan jalur terbang yang
harus diikuti oleh penerbang dalam proses pemotretan untuk memperoleh liputan
tertentu. Peta jalur terbang dibuat pada peta yang ada yang menggambarkan daerah
proyek. Peta jalur terbang dapat pula dibuat pada foto udara skala kecil daerah yang
bersangkutan bila telah ada pemotretan sebelumnya.
Rute penerbangan biasanya dibuat berdasarkan bentuk daerah yang hendak
dipotret. Pada daerah proyek yang berbentuk rektanguler empat persegi panjang lebih
mudah diliput dengan jalur terbang mengarah utara-selatan atau barat-timur. Bila daerah
proyek berbentuk tidak menentu, apalagi daerahnya sempit, panjang, dan menceng dari
arah kardinal maka jalur penerbangan dengan arah utara-selatan atau timur-barat tidak
ekonomis. Dalam merencanakan daerah yang berbentuk demikian, yang paling
ekonomis adalah menarik jalur terbang sejajar terhadap batas daerah proyek sesedikit
mungkin.

Gambar 6. Contoh Gambar Template Jalur Terbang

Sebuah templet perencanaan penerbangan dapat berguna untuk menentukan


liputan yang baik dan ekonomis, terutama bagi daerah sempit. Tempelt tersebut
menggambarkan blok-blok model murni yang digambarkan di atas lembaran plastic
transparan yang sesuai dengan skala peta dasar yang digunakan untuk menggambarkan
peta jalur. Plastik ditumpangtindihkan dengan peta dan diorientasika sesuai dengan
daerah proyek sehingga menghasilkan posisi yang efektif dan ekonomis.

232020041_Adithya Kuratcana W_A xiv


Praktikum Fotogrametri I

2.6. Titik Kontrol Tanah (GCP)


Dalam perencanaan proses ortorektifikasi citra dibutuhkan jumlah titik kontrol
tanah yang tepat, agar pelaksanaan pengukuran dilapangan tidak terlalu lama.
Titik kontrol tanah (GCP) adalah target besar yang ditandai di tanah, ditempatkan
secara strategis di seluruh area survey dengan teknis dan preferensi tertentu. Anda harus
terlebih dulu menentukan koordinat GPS RTK di pusat masing-masing. GCP dan
koordinatnya kemudian digunakan untuk membantu perangkat lunak pemetaan drone
untuk secara akurat memposisikan peta dengan kondisi nyata di sekitarnya.

Gambar 7. Pengukuran Titik Kontrol Tanah


Ground Control Point (GCP) atau yang biasa disebut dengan titik kontrol adalah
titik-titik yang berada di lapangan yang dapat digunakan untuk mentransformasikan
sistem koordinat udara dengan sistem koordinat tanah suatu objek yang dipetakan. Titik
kontrol ini nantinya akan digunakan pada saat pengolahan foto udara tahap triangulasi
udara (Hasyim, 2009). Disamping titik GCP, adapula titik-titik yang disebut dengan
ICP (Independent Check Point) yakni titik yang digunakan untuk menguji kualitas hasil
dan tidak diikutkan pada proses pengolahan foto udara.
Disamping titik GCP, adapula titik-titik yang disebut dengan ICP (Independent
Check Point) yakni titik yang digunakan untuk menguji kualitas hasil dan tidak
diikutkan pada proses pengolahan foto udara. Selain fungsi utama tersebut, GCP juga
berfungsi sebagai Berikut:
1. Faktor penentu ketelitian geometris hasil olah foto (misalnya ortofoto, DSM, DTM).
Semakin teliti GCP maka akan semakin baik pula ketelitian geometris hasil dari
pengolahan foto udara tersebut.
2. Mempermudah proses orientasi relatif antar foto.

232020041_Adithya Kuratcana W_A xv


Praktikum Fotogrametri I

3. Mengkoreksi hasil olah foto udara yang berupa ball effect (kesalahan yang
mengakibatkan model 3D akan berbentuk cembung di tengah area yang di ukur).
4. Menyatukan hasil olah data yang terpisah dengan lebih cepat dan lebih efektif.
Pengukuran titik-titik GCP dan ICP dapat dilaksanakan dengan metode
pengukuran satelit GPS (Global Positioning System).
Independent Control Point atau titik cek adalah titik kontrol tanah yang digunakan
sebagai control kualitas dari objek dengan cara membandingkan koordinat model
dengan koordinat sebenarnya. Perbedaan utama antara GCP dan ICP adalah GCP
digunakan saat pengolahan data sedangkan ICP berfungsi ketika data sudah menjadi
produk dan tidak termasuk dalam proses pengolahan data. Titik ini digunakan untuk
mendapatkan ketelitian horizontal foto udara hasil pemotretan (Lailissaum, 2015).
Pengukuran ini umumnya terbagi menjadi dua jenis baik secara absolut (satu
receiver GPS) ataupun differensial (dua receiver GPS), yaitu (Abidin, 2006) :
1. Pengukuran GPS Statik. Pengukuran metode ini dilakukan pada beberapa epoch
pengamatan. Menggunakan receiver jenis geodetik atau mapping yang diam di satu
titik dan objek titik lainnya juga dalam keadaan diam.
2. Pengukuran GPS Real Time Kinematic (RTK). Pengukuran metode ini dilakukan
pada titiktitik yang bergerak, cukup hanya dengan interval data yang pendek, dan
hasil pengamatannya dapat diperoleh pada saat pengamatan (real time).
Titik kontrol tanah ini dapat ditentukan dengan berbagai cara. Untuk penentuan
koordinat planimetrisnya (X,Y) dapat digunakan metode trianggulasi, trilaterasi,
poligon dan GPS. Sedangkan untuk penentuan tinggi titiknya (Z) dapat digunakan
metode sipat datar atau trigonometris. Data pengukuran disini adalah pengukuran titik
kontrol horisontal dan tinggi. Hasil dari pengukuran titik kontrol ini adalah daftar
koordinat tanah X, Y, Z pada masing-masing titik kontrol tanah yang dilalui jalur
pengukuran.
Dalam pemotretan udara, titik kontrol tanah ini diperlukan untuk trianggulasi
udara. Trianggulasi udara adalah cara penentuan koordinat titik kontrol minor secara
fotogrametris. Titik kontrol minor adalah titik kontrol tanah perapatan yang mengacu
pada titik kontrol tanah hasil premarking. Titik kontrol minor ini sering disebut dengan
postmark, karena ditentukan setelah pemotretan.

232020041_Adithya Kuratcana W_A xvi


Praktikum Fotogrametri I

2.7. Model Elevasi Digital


Model Elevasi Digital adalah grid raster yang mereferensikan titik awal dari
permukaan bumi. Pemodelan ini memungkinkan Anda untuk mengeliminasi objek di
permukaan tanah seperti tanaman dan perumahan, model yang dihasilkan berupa model
3D dengan permukaan yang halus. Bangunan (jaringan listrik, gedung dan menara) dan
fitur alam (pohon dan jenis vegetasi lainnya) tidak termasuk dalam DEM. Pemodelan
ini berguna untuk:

1. Hidrografi atau hidrologi menggunakan DEM untuk menggambarkan batas air,


menghitung akumulasi aliran dan arah aliran.

2. Stabilitas Batuan berguna untuk merencanakan pembangunan jalan raya dan


pemukiman, kaitannya dengan daerah rawan longsoran dan daerah lereng yang
tinggi dengan vegetasi yang jarang.

3. Pemetaan Tanah DEM membantu pemetaan jenis tanah berdasarkan pengamatan


terhadapap elevasi, kondisi geologi, faktor pendukung lainnya.

Gambar 8. Digital Elavation Model


DEM merupakan bentuk tiga dimensi dari permukaan bumi yang memberikan
data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan lereng, aspek lereng,
ketinggian tempat, dan area DAS (Zhou dan Liu 2003). Pembuatan DEM pada
dasaranya merupakan proses matematis terhadap data ketinggian yang diperlukan dari
peta kontur. Hasil DEM yang biasa dibuat berbentuk data vektor (TIN) dan data raster
(Grid). Jenis TIN (Triangulated Irreguler Network) merupakan representasi dari
permukaan bumi, digambarkan dalam tiga dimensi berkoordinat (x,y dan z).

232020041_Adithya Kuratcana W_A xvii


Praktikum Fotogrametri I

Sehubungan dengan hal ini menurut prahasta. E. 2008, dari polanya, pengambilan
titik-titik data DEM atau menurut litaratur istilah lainnya adalah Digital Terrain Model
(DTM) dapat dikelompokan menjadi dua jenis yaitu:

1. DTM irregular, titik-titik data dipilih cenderung secara subjektif oleh pengamat
berdasarkan prioritas objek atau unsur didalam pandangan visualnya. Titik-titik
data yang diambil cenderung mereupakan titik-titik yang menggambarkan
perubahan per- mukaan bumi (topografi). Contoh jenis DTM irregular
diantaranya, DTM acak dan DTM kontur.

2. DTM Regular, adalah DTM yang memiliki sebuah komponen planimetris dengan
pola atau keteraturan jarak tertentu. Contoh jenis DTM Regular yaitu, DTM grid,
DTM rectangular, DTM triangular, dan DTM profit.
Pada umumnya, DTM di sajikan dengan mengunakan tiga metode yaitu garis-garis
kontur, grids atau raster grids, dan TIN.

Gambar 9. Tampilan struktur DTM dalam bentukl Raster-Grids


Konteks DTM grids sering pula digunakan terminologi lattice untuk merujuknya;
yaitu interpretasi permukaan grids yang di- sajikan oleh sejumlah titik sample yang
berukuran sama (equally Spaced) yang direferensikan terhadap titik awal yang sama
(origin) dan jarak sampling konstan yang sama pula dalam arah absis (x) dan ordinat
(y). Setiap mesh point (grid atau piksel) ini berisi nilai ketinggian (z) untuk lokasi yang
bersangkutan yang merujuk pada nilai dasar- nya.
Lattice, setiap mesh point merepre- sentasikan sebuah nilai ketinggian di atas
permukaan; hanya saja nilai ini hanya berlaku di pusat sel-grid yang bersangkutan. Jadi
hal ini tidak mengimplikasikan bahwa nilai keting- gian tersebut milik keseluruhan area
sel-grid (atau piksel) terkait. Walaupun demikian, sistem grid yang lain (sebagai contoh
adalah categorical grids atau surface grids) bisa saja menganggap bahwa setiap sel-grid
merupa- kan sel bujur sangkar dengan nilai atribut ketinggian konstan. Artinya, nilai
ketinggian akan memiliki keseluruhan area sel-grid yang bersangkutan; atau semua

232020041_Adithya Kuratcana W_A xviii


Praktikum Fotogrametri I

lokasi yang terda- pat di dalam setiap sel-grid yang bersangkutan dianggap memiliki
nilai ketinggian (z) yang semua.
Hal inilah yang nampaknya terjadi pada kebanyakan file data DEM (USGS DEM,
SRTM, dan lain yang setipe) yang dimunculkan oleh perangkat lunak Global Mapper
dan Arc View (extensions 3D Analyst & Spatial analyst), (Prahasta.E, 2008).
DEM data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi
atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari
permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan
himpunan koordinat (Moore, Grayson and Ladson, 1991). DEM merupakan suatu
sistem, model, metode, dan alat dalam mengumpulkan, prosessing, dan penyajian
informasi medan. Susunan nilai-nilai digital yang mewakili distribusi spasial dari
karakteristik medan, distribusi spasial di wakili oleh nilai sistem koordinat X, Y dan
karakteristik ketinggian medan diwakili dalam sistem koordinat Z (Zhang and
Montgomery, 1994).

Gambar 10. Contoh Visualisasi data DEM


Dalam proses analisis bentang lahan, data DEM perlu divisualisasikan agar
memudahkan proses interpretasi. Visualisasi DEM memungkinkan pengguna untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi topografi di lokasi yang
dimaksud. Sementara untuk analisis hidrologi, data turunan DEM yang digunakan yaitu
data digital surface model (DSM). Data DSM atau dapat diartikan sebagai model
permukaan digital merupakan model elevasi yang menampilkan ketinggian permukaan
di atas tanah (ground), jika data terrain hanya menampilkan ground maka DSM
menampilkan bentuk permukaan apapun seperti ketinggian pohon, bangunan dan objek
apapun yang ada diatas tanah (Zhang and Montgomery, 1994).
Filtering DEM atau Teknik filtering DEM adalah proses manipulasi khusus
terhadap data DEM agar diperoleh turunan data sesuai dengan tujuan penggunaan
(Zhang and Montgomery, 1994). Filtering DEM juga digunakan untuk melakukan

232020041_Adithya Kuratcana W_A xix


Praktikum Fotogrametri I

koreksi nilai elevasi dari suatu data DEM. Prinsip filtering DEM menghitung nilai-z
baru untuk piksel dalam DEM dengan menggunakan perhitungan terhadap rata-rata
nilai dari piksel di sekitarnya (ESRI, 2010; Zhang et al., 2010). Filtering merupakan
proses perubahan nilai piksel dalam dataset sesuai dengan nilai piksel disekelilingnya.
Filtering merupakan operasi lokal dalam pengolahan citra yang dilakukan guna
memudahkan interpretasi visual.
Digital Elevation Model (DEM) meupakan bentuk penyajian ketinggian bumi
secara digital. DEM terbentuk dari titik-titik sample yang memiliki nilai koordinat 3D
(X, Y, Z). Titik sample merupakan titik-titik yang didapat dari
hasil sampling permukaan bumi. Hasil sampling permukaan bumi didapatkan dari
pengukuran atau pengambilan data ketinggian titik-titik yang dianggap dapat mewakili
relief permukaan bumi. Data sampling titik-titik tersebut kemudian diolah hingga
didapat koordinat titik-titik sample.
Jika titik-titik sample sangat padat, maka permukaan topografi akan didefinisikan
secara mendalam. Jika titik-titik sample kurang padat, maka karakter-karakter medan
yang penting dapat hilang. Contohnya, di area pengukuran terdapat bukit yang memiliki
perbedaan tinggi dengan permukaan tanah disekitarnya, namun karena
titik sample tidak diambil di bukit tersebut maka DEM yang dihasilkan menjadi rata dan
bentuk bukit tidak tersaji dalam DEM tersebut.
Digital Terrain Model (DTM) identik dengan DEM. DTM tidak hanya mencakup
DEM, tetapi mencakup medan yang dapat memberikan definisi yang lebih baik tentang
karakteristik permukaan topografi. Dalam DTM fitur alami seperti sungai, jalan, garis
punggungan, dan lain-lain telah didefinisikan. Pada DTM telah ditambahkan
fitur breaklines dan pengamatan selain data asli untuk mengoreksi kondisi topografi
yang terbentuk. Breaklines digunakan untuk menentukan perubahan ketinggian yang
mendadak pada permukaan tanah.
Breaklines mendefinisikan dan mengontrol perilaku permukaan pada saat proses
interpolasi. Seperti namanya, breaklines adalah fitur linier. Breaklines memiliki efek
signifikan dalam hal menggambarkan perilaku permukaan ketika dimasukkan dalam
model permukaan. Breaklines dapat menggambarkan dan menegakkan perubahan
perilaku permukaan. Nilai-Z sepanjang breakline bisa konstan atau dapat bervariasi
sepanjang breakline.

232020041_Adithya Kuratcana W_A xx


Praktikum Fotogrametri I

Sehingga DEM dan DTM hanya menyajikan ketinggian permukaan tanah saja,


sedangkan DSM menyajikan ketinggian permukaan tanah dan objek-objek yang terlihat
dari atas tanah seperti, vegetasi, bangunan, dan lain-lain.

2.8. Orthofoto
Orthofoto ialah reproduksi foto yang telah dikoreksi pada ke salahan oleh
kemiringan pesawat, oleh relief, dan kadang kadang juga distorsi lensanya. la dibuat
berdasarkan foto stereo dengan proses rektifikasi deferensial sehingga gambaran obyek
pada foto itu posisinya benar sesuai dengan proyeksi ortogonal, bukan proyeksi sentral.
Ortofoto berbeda dengan foto yang diretifikasi, karena dalam rektifikasi hanya
kesalahan oleh kemiringan pesawat saja yang dikoreksi. Dalam rektifikasi diferensial
dilakukan pemotretan kembali atas foto aslinya. Pada ortofoto tidak terdapat lagi
pergeseran letak oleh relief. Pada ortofoto tidak ada paralaks sehingga tidak mungkin
dilakukan pengamatan stereoskopik (Paine, 1981: 215-219).
Ortofoto adalah reproduksi foto yang telah dikoreksi pada kesalahan oleh
kemiringan pesawat, relief, serta distorsi lensa. Ortofoto dibentuk berdasarkan foto
stereomodel, yaitu pembuatannya model demi model, dengan proses rektifikasi
diferensial sehingga gambaran obyek pada foto tersebut posisinya benar sesuai dengan
proyeksi orthogonal (Subiyanto, 2007).
Perbedaan utama antara foto orto dan peta adalah foto orto dibentuk oleh
gambaran visual sedang peta dibentuk oleh garis dan simbol pada  skala tertentu. Foto
orto dibentuk dalam konsep foto perspektif dimana melalui proses yang disebut
rektifikasi differensial. Rektifikasi differensial adalah proses peniadaan pergeseran letak
gambar oleh kesendengan fotografik dan relief. Tujuan rektifikasi adalah menghapus
efek kesendengan sumbu dan menghasilkan ekivalen foto tegak. Pada proses orthofoto
secara digital, waktu yang diperlukan jauh lebih cepat dan bersih, tidak perlu repot
dengan proses fotografis yang memerlukan ruang gelap dan bahan kimia, karena proses
dilakukan secara penuh oleh komputer.
Orthorektifikasi adalah proses pembuatan foto miring ke foto/image yang
ekuivalen dengan foto tegak. Foto tegak ekuivalen yang dihasikan disebut foto
terektifikasi. Orthorektifikasi pada dasarnya merupakan proses manipulasi citra untuk
mengurangi/menghilangkan berbagai distorsi yang disebabkan oleh kemiringan, tetapi
masih mengandung pergeseran. Secara teoritik foto terektifikasi merupakan foto yang
benar-benar tegak dan oleh karenanya bebas dari pergeseran karena relief topografi

232020041_Adithya Kuratcana W_A xxi


Praktikum Fotogrametri I

(relief displacement). Pada foto udara pergeseran relief ini dihilangkan dengan
rektifikasi differensial (Frianzah, 2009).

Proses orthorektifikasi dilakukan dengan menggunakan data DEM yang telah


dihasilkan dari plotting fotogrametri, sehingga akan didapatkan Ortho Rectified Image
(ORI). Data yang dihasilkan untuk menghasilkan orthofoto secara digital.
Orthofoto/image adalah foto yang menyajikan gambaran obyek pada posisi ortografik
yang benar (Wolf, 1981). Orthofoto/image dapat digunakan sebagai peta untuk
melakukan pengukuran langsung atas jarak, sudut, posisi, dan daerah tanpa melakukan
koreksi bagi pergeseran letak gambar.
Rektifikasi adalah suatu proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid
menggunakan suatu transformasi geometrik. Oleh karena posisi piksel pada citra output
tidak sama dengan posisi piksel input (aslinya) maka piksel-piksel yang digunakan
untuk mengisi citra yang baru harus di-resampling kembali. Resampling adalah suatu
proses melakukan ekstrapolasi nilai data untuk piksel-piksel pada sistem grid yang baru
dari nilai piksel citra aslinya. Rektifikasi juga dapat diartikan sebagai pemberian
koordinat pada citra berdasarkan koordinat yang ada pada suatu peta yang mencakup
area yang sama. Bisa dilakukan dengan input GCP atau rectification  image to map dan
diperlukan peta (dengan sistem koordinat tertentu) atau kumpulan GCP untuk objek
yang sudah diketahui pada citra.
Rektifikasi diferensial adalah proses peniadaan pergeseran letak gambar oleh
kesendengan fotografik dan relief. Tujuan rektifikasi adalah menghapus efek
kesendengan sumbu dan menghasilkan ekuivalen foto tegak. Ortofoto berbeda dengan
foto yang diretifikasi, karena dalam rektifikasi hanya kesalahan oleh kemiringan
pesawat saja yang dikoreksi. Dalam rektifikasi diferensial dilakukan pemotretan
kembali atas foto aslinya. Pada ortofoto tidak terdapat lagi pergeseran letak oleh relief
serta tidak terdapat paralaks sehingga tidak mungkin dilakukan pengamatan
stereoskopik (Paine, 1981 dalam Wanfebrianta, 2009).
Geometrik merupakan posisi geografis yang berhubungan dengan distribusi
keruangan (spatial distribution). Geometrik memuat informasi data yang mengacu bumi
(geo-referenced data), baik posisi (sistem koordinat lintang dan bujur) maupun
informasi yang terkandung didalamnya. Menurut Mather (1987), koreksi geometrik
adalah transformasi citra hasil penginderaan jauh sehingga citra tersebut mempunyai
sifat-sifat peta dalam bentuk, skala dan proyeksi. Transformasi geometrik yang paling

232020041_Adithya Kuratcana W_A xxii


Praktikum Fotogrametri I

mendasar adalah penempatan kembali posisi pixel sedemikian rupa, sehingga pada citra
digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran objek di permukaan bumi yang
terekam sensor. Pengubahan bentuk kerangka liputan dari bujur sangkar menjadi jajaran
genjang merupakan hasil transformasi ini.
Untuk dapat membuat ortofoto diperlukan beberapa persyaratan khusus,
diantaranya adalah pemilihan kedudukan geografis yang tepat untuk tempat
pengambilan foto, sudut matahari yang betul, film yang mempunyai resolusi yang baik,
jarak titik api yang tepat, ketinggian terbang yang seimbang dengan panjang fokus,
tampalan ujung dan tepi yang memenuhi syarat. Dalam beberapa hal sebenarnya
fotografi yang sudah ada dapat digunakan untuk menghasilkan suatu ortofoto, tetapi
biasanya untuk keperluan tersebut perlu mengadakan misi penerbangan khusus agar
diperoleh foto yang tidak banyak memiliki kesalahan.
Pembuatan ortofoto dapat dilakukan berdasarkan jenis alat yang digunakan. Alat
pembuat ortofoto meliputi alat proyektor optic serentak (online) proyektor optic secara
terpisah (offline), elektronik dan digital (microdensitometer). Pembuatan ortofoto
memerlukan perubahan fotografi konvensional dengan menggunakan sebuah
ortofotoskop proyeksi ganda. Model ortofotoskop yang kini banyak digunakan adalah
T-64 dari USGS), Gigas-Zeiss Ortho Projektor GZ-1, Wileovioplan OR, Kelch K-320
Orthoscan. Sementara untuk ortofoto digital yang diolah dari citra digital memerlukan
cara berbeda.
Ortofoto sendiri dapat dibuat secara cepat dan ekonomis dengan tingkat ketelitian
yang tinggi. Karena tingkat keletelitiannya tinggi, maka ortofoto dapat menggantikan
peta-peta garis konvensional. Hanya saja kuaitas gambar ortofoto biasanya lebih rendah
dari fotografi baku. Masalah yang timbul dalam menjaga kualitas ortofoto adalah (1)
sulitnya menjaga film agar tetap bersih dan bebas dari debu dan goresan selama tahap-
tahap produksi; (2) kesulitan pencocokan rona antar jalur-jalur penyiaman, garis-garis
siam yang tampak, gambar yang kabur, duplikasi citra, celah, gambar dan garis siam
yang tidak seimbang; (3) penyiaman medan terjal atau yang mempunyai kemiringan
lebih dari 40º dengan suatu ortofotoskop optis, pengkaburan gambar terjadi karena
gerakan naik dan turun yang cepat dari bidang film; (4) resolusi citra akhir lebih kecil
dari citra asli.

232020041_Adithya Kuratcana W_A xxiii


Praktikum Fotogrametri I

Gambar 11. Ortofoto yang telah ditumpangsusun dengan garis-garis kontur


Ortofoto juga ada jenis orthofoto digital, jenis digital ini merupakan fotografi
udara digital yang benar skalanya. Foto udara konvensional memiliki keterbatasan
dalam pemanfaatannya untuk keperluan pengukuran karena skalanya yang tidak benar.
Ketika melihat objek di bagian tengah foto udara maka sama halnya dengan melihat
objek sebenarnya dari pesawat udara, tetapi pandangan ke medan pada bagian tepi foto
udara tidak benar-benar vertical, tetapi menyudut. Inilah yang disebut proyeksi
perspektif central; skala dalam keadaan benar hanya pada bagian yang sangat dekat
dengan pusat foto.
Dalam proses digital, pembuatan ortofoto harus melalui suatu proses yang disebut
rektifikasi diferensial atau ortorektifikasi, dimana koreksi skala titik per titik dan
pergeseran relief secara normal dari variasi dalam elevasi antara wahana dan topografi
lewat jalur penerbangan. Proses ini membutuhkan suatu himpunan fotografi dan model
medan digital TIN (triangular irregular network) atau triangle file dan file GRD (grid
raster digital) sebagai input. Sebuah model TIN khususnya digunakan untuk
merepresentasikan permukaan medan secara digital. Permukaan TIN digunakan untuk
merektifikasi file citra raster yang disiam secara orthogonal. Dengan
mengkombinasikan TIN dan citra raster, masing-masing pixel citra teratribut dengan
suatu lokasi dan nilai intensitas yang diketahui. Dalam proses rektifikasi, nilai intensitas
untuk masing-masing pixel disampel ulang dengan menggunakan suatu persamaan
reseksi ruang, sekaligus menghilangkan displacement yang disebabkan oleh proyeksi
perspektif central, kemiringan kamera, dan relief medan. Foto udara-foto udara tunggal
kemudian diklip dan dirangkai sehingga mencakup seluruh area yang hendak dikaji.
Hasilnya merupakan sebuah citra digital yang mengkombinasikan karakteristik citra
fotografi dengan kualitas geometrik sebuah peta, sebuah peta fotografi yang benar
skalanya.

232020041_Adithya Kuratcana W_A xxiv


Praktikum Fotogrametri I

Untuk keperluan pembuatan ortofoto pesawat udara diterbangkan pada ketinggian


normal dengan menggunakan sebuah kamera bersudut lebar standar (standard wide-
angle camera). Orthophotografi dibuat dengan suatu stereomodel medan, pendekatan
yang sama diadopsi dalam peta garis konvensional from foto udara menggunakan mesin
stereo-plotting. Proses tersebut menerapkan koreksi sebelum foto udara didigitasi,
dimana foto yang discan bertujuan untuk memperoleh sebuah citra raster digital. Foto
udara dapat dikonversi ortofoto digital dengan cara membagi area yang ada pada foto
udara menjadi bagianbagian kecil, sama dalam hal ukuran pixelnya.
Koreksi geometrik foto udara memerlukan kalkulasi distorsi pada masing-masing
titik, kemudian menempatkan citra pada lokasi yang tepat. Untuk menghasilkan sebuah
ortofotografi, foto udara yang bertampalan perlu dirangkai menggunakan model stereo,
dimana mesin plotter diganti oleh sebuah celah sempit, dimana hanya satu citra yang
diperkenankan melewati filter untuk direkam pada lembar film. Sebagai pengganti fitur
individual, seperti jalan raya, batas-batas lahan, sungai, seperti dilakukan as done by a
measuring mark, celah dibuat untuk memotong stereomodel secara sistematis dalam
suatu rangkaian potongan paralel, membentuk sebuah pola raster ke seluruh details
yang ada pada model stereo yang direkam secara ortogonal pada film.

Gambar 12. Digital Orthofoto Map

232020041_Adithya Kuratcana W_A xxv


Praktikum Fotogrametri I

BAB III
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Tahapan Pembuatan Orthofoto


Berikut adalah langkah-langkah pembuatan Orthofoto :
Tabel 1. Pembuatan Orthofoto
No Gambar Keterangan

1. Buka aplikasi Geomatika 2014 lalu


klik Ortho Engine.

2. Lalu akan muncul seperti


disamping, dan kemudian kllik
File > New

3. Setelah muncul seperti disamping


beri nama file tersebut dan
deskripsikan judul tersebut. Lalu
di Option pilih Aerial Photograpy
> Digital / Vidio > Computer
Form GCP and tie point.
4. Lalu akan muncul seperti berikut
dan dan pada Output projection
pilih UTM..

232020041_Adithya Kuratcana W_A xxvi


Praktikum Fotogrametri I

No Gambar Keterangan

5. Dan akan muncul seperti


disamping dan pilih D000-
WGS 84, lalu accept

6. Dan akan muncul seperti


disamping lalu pilih Zone
49, lalau Accept

7. Maka akan muncul seperi


berikut dan pilih Row M
dan Accept. Lalu OK.

8. Setelah itu akan muncul


gampar seperti disamping
lalu mauskan data sesuai
yang diberikan. Lalu Klik
ok.

232020041_Adithya Kuratcana W_A xxvii


Praktikum Fotogrametri I

No Gambar Keterangan

9. Setelah itu pilih data input


dan pilih Open a new or
Existing Image..

10. Lalu akan muncul seperti


berikut, dan untuk
memasukan foto klik Add
Image lalau Oke terus
menerus. Dan tunggu.

11. Hingga muncul seperti


gambar berikut.

12. Setelah itu kita lanjut ke


pengolahan. Pilih GCP/TP
Collection dan pilih Tie
Point Manually

232020041_Adithya Kuratcana W_A xxviii


Praktikum Fotogrametri I

No Gambar Keterangan

13. Lalu akan muncul seperti


berikut kemudian open
image.

14. Untuk selanutnya kita


membuat Tie point pada
foto atau citra tersebu,
stelah itu tentukan titik yang
akan dibuat dan klik Use
Point.

15. Selanjutnya buka kembali


Tie Point . Lalu klik Accept.
Lakukan pembuatan Tie
Point pada gambar
selanjutnya.

16. Buka foto selanjutnya lalu


pindahkan titik foto
sebelumnya ke foto yang
baru. Dengan cara foto
sebelah kiri klik Working
kemudian pilih dan klik
nomer titik yang akan
dipindahkan.

232020041_Adithya Kuratcana W_A xxix


Praktikum Fotogrametri I

No Gambar Keterangan

17. Lakukan penandaan tie


point pada foto selanjutnya
dengan cara yang sama.
Penandaan dilakukan pada
semua file foto udara yang
saling bertampalan overlap
dan sidelap. Jumlah
minimal tie point pada foto
tersebut 6 titi (Tie Point).

18. Selanjut kembali ke Ortho


Egine untuk melakukan
penitikan GCP Point. Pilih
GCP/TP Collection dan
pilih Collect GCPs
Manually.

19. Lalu akan muncul seperti


berikut kemudian open
image.

20. Lalu pilih DEM yang akan


digunakan. Setelah itu tekan
open.

232020041_Adithya Kuratcana W_A xxx


Praktikum Fotogrametri I

232020041_Adithya Kuratcana W_A xxxi


Praktikum Fotogrametri I

No Gambar Keterangan

21. Dan akan muncul gambar


seperti disamping kemudian
ok.

22. Setelah itu centang Auto


Locate dan Compute Mode.

23. Lalu selanjutnya plih foto


udara yang akan dibuka
pada jendela open image
lalu pilih open image
hingga muncul seperti
gambar berikut.

24. Lalu pada GCP Collection


beri nama pada point id lalu
masukan koordinat X, Y, Z
yang sudah diberikan.

232020041_Adithya Kuratcana W_A 28


Praktikum Fotogrametri I

No Gambar Keterangan

25. Lalu pilih titik di titik GCP


yang sudah dimasukan
koordinatnya kemudian klik
use opint.

26. Kemudian kembai ke GCP


Collection kemudian pilih
Accept. Lakukan hal yang
sama untuk membuat GCP
pada foto selanjutnya..

27. Dan untuk memindahkan


titik GCP ke foto
selanjutnya klik Reference
pada foto yag akan menjai
acuan kemudian pilih titik
yang sesuai di foto
selanjutnya.

28. Kemudian klik Use Point


lalu kembali ke GCP
Collection alu klik Accept.
Lakukan hal yang sama
pada foto selanjutnya

232020041_Adithya Kuratcana W_A 29


Praktikum Fotogrametri I

No Gambar Keterangan

29. Langkah selanjutnya apabila


sudah menentukan titik
GCP . Pada processing step
pilih Model Calculations.
Kemudian OK.

30. Kemudian klik kembali


Processing step kemudian
pilih Ortho Generation.

31. Kemudian klik Schedule


ortho generation dan akan
muncul gambar seperti
disamping.

32. Kemudian pidahkan foto ke


sebelah kiri lalu pilih DEM
file kemudian masukan
DTM_Degan.

232020041_Adithya Kuratcana W_A 30


Praktikum Fotogrametri I

No Gambar Keterangan

33. Kemudian klik kembali


Processing step kemudian
pilih Ortho Generation.

34. Setlah itu pindahkan foto di


sebelah kiri ke sebelah
kanan kemudain pilih file
sector lalu klik open.

35. Lalu klik generate ortho


kemudian tunggu hingga
selesai.

36. Untuk langkah selanjutnya


kita melakukan pengolahan
orth mosaic. Kembali ke
Ortho Engine kemudian
pilih mosaic dan pilih
define mosaic area.

232020041_Adithya Kuratcana W_A 31


Praktikum Fotogrametri I

No Gambar Keterangan

37. Pada mosaic area maka


akan muncul seperti gambar
disamping .

38. Kemudian klik file dan pilih


tempat untuk melaukan
peyimpanan mosaic
tersebut. Setelah itu
kemudian save lalu klik
oke. Pilih Automatic
Mosaiking , maka akan
tampil jendela Automatic
Mosaiking.

39. Seperti gambar disamping.


Kemudian pada tab
Mosaiking Options pada
kolom Color Balance, pilih
Method Neigboard.

40. Kemudian Pilih Generate


Mosaic untuk memulai
proses mosaic orthophoto.
Dan kemudian tunggu
sampai proses selesai.

232020041_Adithya Kuratcana W_A 32


Praktikum Fotogrametri I

No Gambar Keterangan

37. Kemudian untuk mengecek


dan melihat hasil yang
sudah dibuat atau hasil
mosaik dan orthofoto yang
sudah dibaut tersebut.
Kembali ke PCI Geomatica
lalu klik Focus.

38. Kemudian akan muncul


seperti gambar disamping
kemudian klik file lalu buka
mosaik dan orthofoto yang
tadi sebelumnya sudah
disimpan.

39. Dan berikut adalah hasil


dari orthofoto dan mosaik
yang sudah dibuat
seblumnya..

232020041_Adithya Kuratcana W_A 33


Praktikum Fotogrametri I

BAB IV
HASIL DAN ANALISIS
4.1. Hasil
Berikut adalah hasil dari proses Orthofoto dan Mosaik Foto menggunakan
Software PCI Geomatica 2014 :

Gambar 13. Hasil Orthofoto dan Mosaik

4.2. Analisis
Dari praktikum kali ini saya menganalisis bahwa pada saat saya melakukan
pengolahan atau pemosresan Orthofoto, saya mendapatkan kesulitan untuk melakukan
Tie Point dan Menentukan titik GCP dikarenakan pada saat kita menentukan titik
tersebut kita harus benar benar teliti untuk melakukan atau pemberian titik pada saat
melakuka Tie Point dan GCP karena penentuan titik tersebut harus sesuai dan sama
pada saat pemindahan atau pembuat titik selanjutnya di foto berikutnya yang dimana
pada intinya tersebut yaitu titik foto satu dengan foto lainnya itu harus sama dan sesuai
dengan gambar atau foto sebulumnya agar tidak terjadi pergesran pada saaat melakukan
mosaic atau orthofoto itu sendiri dikarenakan untuk melakukan orthofoto atau mosaic
foto itu agar gambar tidak saling bertabrakan harus dilakukan oenitikan di tempat yang
sama dan harus sesuai, sehingga apabila titik tersebut sama dengan satu sama lainnya
maka pada saat melakukan orthofoto tersbut diakan saling bertabrakan atau akan
sejaajar dan sama dengan foto lainnya .

232020041_Adithya Kuratcana W_A 34


Praktikum Fotogrametri I

Dan pada Software PCI Geomatica 2014 ini saya mendapatkan sesuatu yaitu
sering terjadinya trouble yaitu pada saat kita melakukan pengolahan data tersbut atau
mebuka software ini terlalu lama, maka sering kali terjadi keuar sendiri atau biasa
disebut terpental keluar di software ini, sehingga kita harus sering kali melakukan
penyimpanan atau mengesave data tersebut agar kita tidak mengulang dari awal.

232020041_Adithya Kuratcana W_A 35


Praktikum Fotogrametri I

BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa kami mahasiswa diharuskan
untuk dapat atau bisa melakukan pengolahan data/pemosresan orthofoto dan mosaic
foto menggunakan Software PCI Geomatica 2014. Yang dimana dalam pengolahannya
itu sendiri kita harus harus lebih teliti dan jeli pada saat melakukan penititikan di Tie
Point dan GCP agar hasil dari pengolahan tersebut sesuai dan tidak terjadi tabrakan.

232020041_Adithya Kuratcana W_A 36


Praktikum Fotogrametri I

DAFTAR PUSTAKA
Ligterink, G.H., 1987 “Dasar-dasar Fotogrametri Interpretasi Foto Udara”.
Jakarta : Penerrbit Universitas Indonesia (UI Press).
Paine, David P., 1993 “Fotografi Udara dan Penafsiran Citra Untuk Pengelolaan
Sumberdaya Edisi ke-2”. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan
Imam Abdurahman. Buku Asli : Aerial Photography and Image Interpretation For
Resource Managament, John Wiley & Sons.
MOCH SANI SALAM.,2016 “PEMANFAATAN FOTOGRAMETRI
RENTANG DEKAT UNTUK PEMODELAN 3D CAGAR BUDAYA
MENGGUNAKAN KAMERA NON-METRIK DSLM DAN DSLR” . Surabaya:
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Web :
https://repository.its.ac.id/688/6/3512100057-Undergraduate_Thesis.pdf
http://eprints.polsri.ac.id/1393/3/BAB%20II.pdf (Diakses pada tanggal
5januari 2022)
EKO BUDI WAHYONO BAMBANG SUYUDI,. “FOTOGRAMETRI
TERAPAN”. MODUL MKK-5/3 SKS/ MODUL I-VII. KEMENTRIAN AGRARIA
DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL SEKOLAH TINGGI
PERTANAHAN NASIONAL 2017
Web :
http://prodi1.stpn.ac.id/wpcontent/uploads/2016/12/modul%20teori
%20semester%201%202019%20fotogrametri%20terapan.pdf (Diakses pada
tanggal 5 januari 2022)
Syarifa Naula Husna, Sawitri Subiyanto, Hani’ah 2016. “PENGGUNAAN
PARAMETER ORIENTASI EKSTERNAL (EO) UNTUK OPTIMALISASI DIGITAL
TRIANGULASI FOTOGRAMETRI UNTUK KEPERLUAN ORTOFOTO”. Semarang
: Program Studi Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Web :
https://media.neliti.com/media/publications/82751-ID-penggunaan-
parameter-orientasi-eksternal.pdf (Diakses pada tanggal 8 januari 2022)
Bagus Subakti. 2017.” PEMANFAATAN FOTO UDARA UAV UNTUK
PEMODELAN BANGUNAN 3D DENGAN METODE OTOMATIS”. Malang :
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITN Malang.

232020041_Adithya Kuratcana W_A 37


Praktikum Fotogrametri I

Web :
file:///C:/Users/Administrator/Downloads/592-Article%20Text-1138-1-10-
20191220.pdf (Diakses pada tanggal 8 Januari 2022)
BAMBANG SYAEFUL HADI, M.SI. 2007.” DASAR-DASAR
FOTOGRAMETRI”. Yogyakarta : JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA.
Web :
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132240452/pendidikan/diktat-
fotogramteri.pdf (diakses pada tanggal 8 Januari 2022)
Nugroho Purwono, Prayudha Hartanto, Yosef Prihanto, & Priyadi Kardono.”
TEKNIK FILTERING MODEL ELEVASI DIGITAL (DEM) UNTUK DELINEASI
BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)”. Badan Informasi Geospasial, Prosiding
Seminar Nasional Geografi UMS IX 2018.
Web :
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/10390/E-7-Nugroho
%20%20TEKNIK%20FILTERING%20MODEL%20ELEVASI
%20DIGITAL.pdf?sequence=1
https://www.handalselaras.com/digital-elevation-model-digital-terrain-model-
dan-digital-surface-model/ (Diakses pada tanggal 9 Januari 2022)
Jurnal Geodesi Undip. Christovel Natar P., L.M. Sabri, M. Awaluddin.”
ANALISIS AKURASI MODEL 3 DIMENSI BANGUNAN DARI FOTO SECARA
TEGAK DAN MIRING”(Studi Kasus : Gedung Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro). Semarang : Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro Jl. Prof. Sudarto, SH, Tembalang.
Web :
file:///C:/Users/Administrator/Downloads/26181-54164-1-SM.pdf (Diakses
pada tanggal 9 Januari 2022)
Ferry Sobatnu. 2014. “PERMODELAN ELEVASI DIGITAL PADA LAHAN
RAWA”. Jurnal INTEKNA, Tahun XIV, No. 2, Nopember 2014 : 102 – 209.
Web :
http://repository.poliban.ac.id/id/eprint/435/1/173-1-323-1-10-
20150227.pdf Diakses pada tanggal 9 Januari 2022)

232020041_Adithya Kuratcana W_A 27

Anda mungkin juga menyukai