FOTOGRAMETRI I
“ORTHOFOTO”
Tanggal Penyerahan : 10 Januari 2022
Disusun Oleh :
Adithya Kuratcana W / 23-2020-041
Kelas :
A
Nama Asisten :
Karlina Dwidjayanti Bambang (23-2017-010)
Alisa Nurohma (23-2019-030)
LABORATORIUM FOTOGRAMETRI
JURUSAN TEKNIK GEODESI
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL
BANDUNG
2022
Praktikum Fotogrametri I
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL...................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
2.1. Fotogrametri.....................................................................................................................2
2.4. Kamera..............................................................................................................................6
2.8. Orthofoto.........................................................................................................................18
4.1. Hasil................................................................................................................................34
4.2. Analisis...........................................................................................................................34
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................................36
5.1. Kesimpulan.....................................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................37
DAFTAR GAMBAR
10
11
12
14
15
16
21
22
34
DAFTAR TABEL
23
BAB I
PENDAHULUAN
BA II
DASAR TEORI
2.1. Fotogrametri
Fotogrametri adalah suatu seni, pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh
informasi yang dapat dipercaya tentang suatu obyek fisik dan keadaan di sekitarnya
melalui proses perekaman, pengamatan atau pengukuran dan interpretasi citra fotografis
atau rekaman gambar gelombang elektromagnetik. Seiring berkembangnya ilmu dan
teknologi, teknik fotogrametri terus berkembang. Mulai dari fotogrametri analog,
fotogrametri analitik hingga fotogrametri digital (Softcopy Photogrammetry) (Santoso,
2001 dalam Syauqani, Subiyanto, & Suprayogi, 2017).
Fotogrametri berasal dari kata Yunani dari kata “photos” yang berarti sinar
“gramma” yang berarti sesuatu yang tergambar atau ditulis, dan “metron” yang berarti
mengukur. Oleh karena itu konsep dari fotogrametri sendiri adalah pengukuran secara
grafik dengan menggunakan sinar ( Hadi, 2007).
Kegiatan pemetaan secara fotogrametris yaitu menggunakan foto udara yang
dilakukan selama puluhan tahun menyebabkan semakin berkembang pula peralatan dan
teknik dalam pemetaan, diikuti dengan perkembangan fotogrametri yang akurat dan
efisien, serta sangat menguntungkan didalam bidang pemetaan. Fotogrametri dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan pemetan yang memerlukan ketelitian tinggi, sehingga
perkembangan selanjutnya sebagian besar pemetaan topografi dan juga pemetaan persil
dilakukan dengan menggunakan fotogrametri (Suyudi, 2014).
2.1.1. Kegunaan Fotogrametri
Fotogrametri mempunyai banyak kegunaan dalam pengukuran tanah dan
rekayasa. Misalnya dipakai dalam pengukuran tanah untuk menghitung koordinat titik
sudut, titik sudut batas. Peta-peta skala besar dibuat berdasarkan fotogrametri untuk
pengkaplingan tanah, untuk memetakan garis-garis pantai, untuk menentukan koordinat
titik kontrol, untuk menggambarkan penampang melintang dalam pembuatan jalan
(Wolf, 1993).
Fotogrametri atau aerial surveying adalah teknik pemetaan melalui foto udara
pada umumnya dipergunakan untuk berbagai kegiatan perencanaan dan desain seperti
jalan raya, jalan kereta api, jembatan, jakur pipa, tanggul, jaringan listrik, jaringan
telepon, bendungan, pelabuhan, pembangunan perkotaan, dsb. (Wolf, 2008).
S=f/H
Pesawat tanpa awak UAV (Unmanned Aerial Vehicle) merupakan jenis pesawat
terbang yang dikendalikan alat sistem kendali jarak jauh lewat gelombang radio. UAV
merupakan sistem tanpa awak (unmanned system) yaitu sistem berbasis elektro mekanik
yang dapat melakukan misi-misi terprogram dengan karakteristik sebuah mesin terbang
yang berfungsi dengan kendali jarak jauh oleh pilot atau mampu mengendalikan dirinya
sendiri, UAV dapat dikendalikan manual melalui radio kontrol atau secara otomatis
dengan mengolah data pada sensor (Saraoinsong, 2018).
1. Kamera Metrik
Kamera metrik merupakan kamera yang dirancang khusus untuk keperluan
fotogrametri. Kamera ini terkalibrasi secara menyeluruh dan stabil sebelum
digunakan, yang meliputi panjang fokus, koordinat titik utama foto, distorsi radial
dan distorsi tangensial lensa. Kamera metrik berformat normal dikenal dengan
tiga bukaan sudut (angle field of view), yaitu: (Dipokusumo, 1999).
Kamera metrik juga dirancang khusus untuk keperluan fotogrametrik. Kamera
metrik yang umum digunakan mempunyai ukuran format 23cm × 23cm, kamera
metrik dibuat stabil dan dikalibrasi secara menyeluruh sebelum digunakan. Nilai-
nilai kalibrasi dari kamera metrik seperti panjang fokus, distorsi radial lensa,
koordinat titik utama foto diketahui dan dapat digunakan untuk periode yang
lama.
2. Kamera Non-Metrik
Kamera non-metrik dirancang untuk merekam foto profesional maupun
pemula. Dengan kamera ini kualitas visual foto lebih diutamakan daripada
kualitas geometrinya. Kamera non-metrik mempunyai dua kekurangan utama,
yaitu:
1. Ketidak stabilan geometrik, Masalah terbesar penggunaan kamera non metrik
adalah ketidakstabilan geometrik. Kamera non metrik tidak memiliki tanda-
tanda fidusial, tidak diketahui secara pasti besarnya panjang fokus dan posisi
principal point, sehingga pengukuran pada foto udara menjadi kurang teliti.
Kamera non metrik dapat dikalibrasi dengan teknik tertentu sehingga
parameter-parameter internal yang berpengaruh pada ketelitian geometrik foto
dapat diketahui, sehingga kamera non metrik dapat digunakan untuk aplikasi
fotogrametri.
2. Pada ukuran film, keterbatasan lain dalam penggunaan kamera non-metrik
adalah terbatasnya ukuran film. Untuk mencakup area dengan luas dan skala
yang sama, penggunaan kamera format kecil (ukuran sensor full frame: 36 mm
x 24 mm). membutuhkan jumlah foto lebih banyak dibandingkan jika
pemotretan itu dilakukan dengan menggunakan kamera metrik format 23 cm x
23 cm. Selain itu seringkali dalam pemetaan metode foto udara dibutuhkan
foto dengan ukuran asli yang besar, sehingga penggunaan kamera format kecil
menjadi masalah.
Kamera DSLR memiliki keunggulan dalam hal ukuran sensornya yang jauh
lebih besar dibanding kamera digital non-metrik biasa. Hal ini kamera ukuran
sensor dibuat menyamai ukuran film analog 35mm atau yang dikenal dengan
sebutan full frame (36x24mm). Selain memakai sensor berukuran 35mm, kamera
DSLR juga tersedia dengan sensor yang berukuran lebih kecil. Tujuannya adalah
untuk menekan biaya produksi dan membuka kesempatan memproduksi lensa
khusus yang bisa dibuat lebih kecil dan dengan biaya yang lebih murah
(Syndicate, 2011).
Sensor yang lebih kecil dari sensor full frame biasa disebut dengan crop-
sensor, karena gambar yang dihasilkan tidak lagi memiliki bidang gambar yang
sama dengan fokal lensa yangdigunakan. Hal ini biasa disebut dengan crop factor,
dinyatakan dengan focal length multiplier, suatu faktor pengali yang akan
membuat panjang fokus lensa yang digunakan akan terkoreksi sesuai ukuran
sensor. Perkalian ini akan menaikkan panjang fokus efektif dari panjang fokus
lensa yang dipakai sehingga hasil foto yang diambil dengan sensor crop ini akan
mengalami perbesaran (magnification). Semakin kecil sensornya maka semakin
tinggi crop factor-nya dan semakin besar perbesaran gambarnya.
2. Kamera DSLM
Digital Single Lens Mirrorless (DSLM) merupakan teknologi baru pada
kamera dimana didapat dengan membuang cermin yang ada di DSLR (Novianty,
2015). Konsekuensinya adalah menghemat ukuran dan berat kamera (serta
menghemat harga), namun kita kehilangan optical viewfinder, oleh karena itu
kamera mirrorless menggunakan sistem viewfinder elektronis (EVF – electronic
viewfinder). Kualitas foto kamera mirrorless juga tidak kalah dengan DSLR
karena ukuran sensor yang relatif sama. Cahaya yang melalui lensa ditangkap oleh
sensor dan langsung tampil di LCD (Anonim, 2014).
Peta jalur terbang (flight plan) merupakan peta yang meliputi seluruh wilayah
yang menjadi objek pemotretan yang menjadi pedoman arah jalur pemotretan.
Flight Plan adalah bagan jalur lengkap dengan letak dan koordinat tiap titik
exposure selama pemotretan. Flight plan dibuat dengan memplot pada peta topografi
atau peta lain yang sesuai
Peta jalur terbang menggambarkan batas daerah proyek dan jalur terbang yang
harus diikuti oleh penerbang dalam proses pemotretan untuk memperoleh liputan
tertentu. Peta jalur terbang dibuat pada peta yang ada yang menggambarkan daerah
proyek. Peta jalur terbang dapat pula dibuat pada foto udara skala kecil daerah yang
bersangkutan bila telah ada pemotretan sebelumnya.
Rute penerbangan biasanya dibuat berdasarkan bentuk daerah yang hendak
dipotret. Pada daerah proyek yang berbentuk rektanguler empat persegi panjang lebih
mudah diliput dengan jalur terbang mengarah utara-selatan atau barat-timur. Bila daerah
proyek berbentuk tidak menentu, apalagi daerahnya sempit, panjang, dan menceng dari
arah kardinal maka jalur penerbangan dengan arah utara-selatan atau timur-barat tidak
ekonomis. Dalam merencanakan daerah yang berbentuk demikian, yang paling
ekonomis adalah menarik jalur terbang sejajar terhadap batas daerah proyek sesedikit
mungkin.
3. Mengkoreksi hasil olah foto udara yang berupa ball effect (kesalahan yang
mengakibatkan model 3D akan berbentuk cembung di tengah area yang di ukur).
4. Menyatukan hasil olah data yang terpisah dengan lebih cepat dan lebih efektif.
Pengukuran titik-titik GCP dan ICP dapat dilaksanakan dengan metode
pengukuran satelit GPS (Global Positioning System).
Independent Control Point atau titik cek adalah titik kontrol tanah yang digunakan
sebagai control kualitas dari objek dengan cara membandingkan koordinat model
dengan koordinat sebenarnya. Perbedaan utama antara GCP dan ICP adalah GCP
digunakan saat pengolahan data sedangkan ICP berfungsi ketika data sudah menjadi
produk dan tidak termasuk dalam proses pengolahan data. Titik ini digunakan untuk
mendapatkan ketelitian horizontal foto udara hasil pemotretan (Lailissaum, 2015).
Pengukuran ini umumnya terbagi menjadi dua jenis baik secara absolut (satu
receiver GPS) ataupun differensial (dua receiver GPS), yaitu (Abidin, 2006) :
1. Pengukuran GPS Statik. Pengukuran metode ini dilakukan pada beberapa epoch
pengamatan. Menggunakan receiver jenis geodetik atau mapping yang diam di satu
titik dan objek titik lainnya juga dalam keadaan diam.
2. Pengukuran GPS Real Time Kinematic (RTK). Pengukuran metode ini dilakukan
pada titiktitik yang bergerak, cukup hanya dengan interval data yang pendek, dan
hasil pengamatannya dapat diperoleh pada saat pengamatan (real time).
Titik kontrol tanah ini dapat ditentukan dengan berbagai cara. Untuk penentuan
koordinat planimetrisnya (X,Y) dapat digunakan metode trianggulasi, trilaterasi,
poligon dan GPS. Sedangkan untuk penentuan tinggi titiknya (Z) dapat digunakan
metode sipat datar atau trigonometris. Data pengukuran disini adalah pengukuran titik
kontrol horisontal dan tinggi. Hasil dari pengukuran titik kontrol ini adalah daftar
koordinat tanah X, Y, Z pada masing-masing titik kontrol tanah yang dilalui jalur
pengukuran.
Dalam pemotretan udara, titik kontrol tanah ini diperlukan untuk trianggulasi
udara. Trianggulasi udara adalah cara penentuan koordinat titik kontrol minor secara
fotogrametris. Titik kontrol minor adalah titik kontrol tanah perapatan yang mengacu
pada titik kontrol tanah hasil premarking. Titik kontrol minor ini sering disebut dengan
postmark, karena ditentukan setelah pemotretan.
Sehubungan dengan hal ini menurut prahasta. E. 2008, dari polanya, pengambilan
titik-titik data DEM atau menurut litaratur istilah lainnya adalah Digital Terrain Model
(DTM) dapat dikelompokan menjadi dua jenis yaitu:
1. DTM irregular, titik-titik data dipilih cenderung secara subjektif oleh pengamat
berdasarkan prioritas objek atau unsur didalam pandangan visualnya. Titik-titik
data yang diambil cenderung mereupakan titik-titik yang menggambarkan
perubahan per- mukaan bumi (topografi). Contoh jenis DTM irregular
diantaranya, DTM acak dan DTM kontur.
2. DTM Regular, adalah DTM yang memiliki sebuah komponen planimetris dengan
pola atau keteraturan jarak tertentu. Contoh jenis DTM Regular yaitu, DTM grid,
DTM rectangular, DTM triangular, dan DTM profit.
Pada umumnya, DTM di sajikan dengan mengunakan tiga metode yaitu garis-garis
kontur, grids atau raster grids, dan TIN.
lokasi yang terda- pat di dalam setiap sel-grid yang bersangkutan dianggap memiliki
nilai ketinggian (z) yang semua.
Hal inilah yang nampaknya terjadi pada kebanyakan file data DEM (USGS DEM,
SRTM, dan lain yang setipe) yang dimunculkan oleh perangkat lunak Global Mapper
dan Arc View (extensions 3D Analyst & Spatial analyst), (Prahasta.E, 2008).
DEM data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi
atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari
permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan
himpunan koordinat (Moore, Grayson and Ladson, 1991). DEM merupakan suatu
sistem, model, metode, dan alat dalam mengumpulkan, prosessing, dan penyajian
informasi medan. Susunan nilai-nilai digital yang mewakili distribusi spasial dari
karakteristik medan, distribusi spasial di wakili oleh nilai sistem koordinat X, Y dan
karakteristik ketinggian medan diwakili dalam sistem koordinat Z (Zhang and
Montgomery, 1994).
koreksi nilai elevasi dari suatu data DEM. Prinsip filtering DEM menghitung nilai-z
baru untuk piksel dalam DEM dengan menggunakan perhitungan terhadap rata-rata
nilai dari piksel di sekitarnya (ESRI, 2010; Zhang et al., 2010). Filtering merupakan
proses perubahan nilai piksel dalam dataset sesuai dengan nilai piksel disekelilingnya.
Filtering merupakan operasi lokal dalam pengolahan citra yang dilakukan guna
memudahkan interpretasi visual.
Digital Elevation Model (DEM) meupakan bentuk penyajian ketinggian bumi
secara digital. DEM terbentuk dari titik-titik sample yang memiliki nilai koordinat 3D
(X, Y, Z). Titik sample merupakan titik-titik yang didapat dari
hasil sampling permukaan bumi. Hasil sampling permukaan bumi didapatkan dari
pengukuran atau pengambilan data ketinggian titik-titik yang dianggap dapat mewakili
relief permukaan bumi. Data sampling titik-titik tersebut kemudian diolah hingga
didapat koordinat titik-titik sample.
Jika titik-titik sample sangat padat, maka permukaan topografi akan didefinisikan
secara mendalam. Jika titik-titik sample kurang padat, maka karakter-karakter medan
yang penting dapat hilang. Contohnya, di area pengukuran terdapat bukit yang memiliki
perbedaan tinggi dengan permukaan tanah disekitarnya, namun karena
titik sample tidak diambil di bukit tersebut maka DEM yang dihasilkan menjadi rata dan
bentuk bukit tidak tersaji dalam DEM tersebut.
Digital Terrain Model (DTM) identik dengan DEM. DTM tidak hanya mencakup
DEM, tetapi mencakup medan yang dapat memberikan definisi yang lebih baik tentang
karakteristik permukaan topografi. Dalam DTM fitur alami seperti sungai, jalan, garis
punggungan, dan lain-lain telah didefinisikan. Pada DTM telah ditambahkan
fitur breaklines dan pengamatan selain data asli untuk mengoreksi kondisi topografi
yang terbentuk. Breaklines digunakan untuk menentukan perubahan ketinggian yang
mendadak pada permukaan tanah.
Breaklines mendefinisikan dan mengontrol perilaku permukaan pada saat proses
interpolasi. Seperti namanya, breaklines adalah fitur linier. Breaklines memiliki efek
signifikan dalam hal menggambarkan perilaku permukaan ketika dimasukkan dalam
model permukaan. Breaklines dapat menggambarkan dan menegakkan perubahan
perilaku permukaan. Nilai-Z sepanjang breakline bisa konstan atau dapat bervariasi
sepanjang breakline.
2.8. Orthofoto
Orthofoto ialah reproduksi foto yang telah dikoreksi pada ke salahan oleh
kemiringan pesawat, oleh relief, dan kadang kadang juga distorsi lensanya. la dibuat
berdasarkan foto stereo dengan proses rektifikasi deferensial sehingga gambaran obyek
pada foto itu posisinya benar sesuai dengan proyeksi ortogonal, bukan proyeksi sentral.
Ortofoto berbeda dengan foto yang diretifikasi, karena dalam rektifikasi hanya
kesalahan oleh kemiringan pesawat saja yang dikoreksi. Dalam rektifikasi diferensial
dilakukan pemotretan kembali atas foto aslinya. Pada ortofoto tidak terdapat lagi
pergeseran letak oleh relief. Pada ortofoto tidak ada paralaks sehingga tidak mungkin
dilakukan pengamatan stereoskopik (Paine, 1981: 215-219).
Ortofoto adalah reproduksi foto yang telah dikoreksi pada kesalahan oleh
kemiringan pesawat, relief, serta distorsi lensa. Ortofoto dibentuk berdasarkan foto
stereomodel, yaitu pembuatannya model demi model, dengan proses rektifikasi
diferensial sehingga gambaran obyek pada foto tersebut posisinya benar sesuai dengan
proyeksi orthogonal (Subiyanto, 2007).
Perbedaan utama antara foto orto dan peta adalah foto orto dibentuk oleh
gambaran visual sedang peta dibentuk oleh garis dan simbol pada skala tertentu. Foto
orto dibentuk dalam konsep foto perspektif dimana melalui proses yang disebut
rektifikasi differensial. Rektifikasi differensial adalah proses peniadaan pergeseran letak
gambar oleh kesendengan fotografik dan relief. Tujuan rektifikasi adalah menghapus
efek kesendengan sumbu dan menghasilkan ekivalen foto tegak. Pada proses orthofoto
secara digital, waktu yang diperlukan jauh lebih cepat dan bersih, tidak perlu repot
dengan proses fotografis yang memerlukan ruang gelap dan bahan kimia, karena proses
dilakukan secara penuh oleh komputer.
Orthorektifikasi adalah proses pembuatan foto miring ke foto/image yang
ekuivalen dengan foto tegak. Foto tegak ekuivalen yang dihasikan disebut foto
terektifikasi. Orthorektifikasi pada dasarnya merupakan proses manipulasi citra untuk
mengurangi/menghilangkan berbagai distorsi yang disebabkan oleh kemiringan, tetapi
masih mengandung pergeseran. Secara teoritik foto terektifikasi merupakan foto yang
benar-benar tegak dan oleh karenanya bebas dari pergeseran karena relief topografi
(relief displacement). Pada foto udara pergeseran relief ini dihilangkan dengan
rektifikasi differensial (Frianzah, 2009).
mendasar adalah penempatan kembali posisi pixel sedemikian rupa, sehingga pada citra
digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran objek di permukaan bumi yang
terekam sensor. Pengubahan bentuk kerangka liputan dari bujur sangkar menjadi jajaran
genjang merupakan hasil transformasi ini.
Untuk dapat membuat ortofoto diperlukan beberapa persyaratan khusus,
diantaranya adalah pemilihan kedudukan geografis yang tepat untuk tempat
pengambilan foto, sudut matahari yang betul, film yang mempunyai resolusi yang baik,
jarak titik api yang tepat, ketinggian terbang yang seimbang dengan panjang fokus,
tampalan ujung dan tepi yang memenuhi syarat. Dalam beberapa hal sebenarnya
fotografi yang sudah ada dapat digunakan untuk menghasilkan suatu ortofoto, tetapi
biasanya untuk keperluan tersebut perlu mengadakan misi penerbangan khusus agar
diperoleh foto yang tidak banyak memiliki kesalahan.
Pembuatan ortofoto dapat dilakukan berdasarkan jenis alat yang digunakan. Alat
pembuat ortofoto meliputi alat proyektor optic serentak (online) proyektor optic secara
terpisah (offline), elektronik dan digital (microdensitometer). Pembuatan ortofoto
memerlukan perubahan fotografi konvensional dengan menggunakan sebuah
ortofotoskop proyeksi ganda. Model ortofotoskop yang kini banyak digunakan adalah
T-64 dari USGS), Gigas-Zeiss Ortho Projektor GZ-1, Wileovioplan OR, Kelch K-320
Orthoscan. Sementara untuk ortofoto digital yang diolah dari citra digital memerlukan
cara berbeda.
Ortofoto sendiri dapat dibuat secara cepat dan ekonomis dengan tingkat ketelitian
yang tinggi. Karena tingkat keletelitiannya tinggi, maka ortofoto dapat menggantikan
peta-peta garis konvensional. Hanya saja kuaitas gambar ortofoto biasanya lebih rendah
dari fotografi baku. Masalah yang timbul dalam menjaga kualitas ortofoto adalah (1)
sulitnya menjaga film agar tetap bersih dan bebas dari debu dan goresan selama tahap-
tahap produksi; (2) kesulitan pencocokan rona antar jalur-jalur penyiaman, garis-garis
siam yang tampak, gambar yang kabur, duplikasi citra, celah, gambar dan garis siam
yang tidak seimbang; (3) penyiaman medan terjal atau yang mempunyai kemiringan
lebih dari 40º dengan suatu ortofotoskop optis, pengkaburan gambar terjadi karena
gerakan naik dan turun yang cepat dari bidang film; (4) resolusi citra akhir lebih kecil
dari citra asli.
BAB III
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
No Gambar Keterangan
No Gambar Keterangan
No Gambar Keterangan
No Gambar Keterangan
No Gambar Keterangan
No Gambar Keterangan
No Gambar Keterangan
No Gambar Keterangan
No Gambar Keterangan
No Gambar Keterangan
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS
4.1. Hasil
Berikut adalah hasil dari proses Orthofoto dan Mosaik Foto menggunakan
Software PCI Geomatica 2014 :
4.2. Analisis
Dari praktikum kali ini saya menganalisis bahwa pada saat saya melakukan
pengolahan atau pemosresan Orthofoto, saya mendapatkan kesulitan untuk melakukan
Tie Point dan Menentukan titik GCP dikarenakan pada saat kita menentukan titik
tersebut kita harus benar benar teliti untuk melakukan atau pemberian titik pada saat
melakuka Tie Point dan GCP karena penentuan titik tersebut harus sesuai dan sama
pada saat pemindahan atau pembuat titik selanjutnya di foto berikutnya yang dimana
pada intinya tersebut yaitu titik foto satu dengan foto lainnya itu harus sama dan sesuai
dengan gambar atau foto sebulumnya agar tidak terjadi pergesran pada saaat melakukan
mosaic atau orthofoto itu sendiri dikarenakan untuk melakukan orthofoto atau mosaic
foto itu agar gambar tidak saling bertabrakan harus dilakukan oenitikan di tempat yang
sama dan harus sesuai, sehingga apabila titik tersebut sama dengan satu sama lainnya
maka pada saat melakukan orthofoto tersbut diakan saling bertabrakan atau akan
sejaajar dan sama dengan foto lainnya .
Dan pada Software PCI Geomatica 2014 ini saya mendapatkan sesuatu yaitu
sering terjadinya trouble yaitu pada saat kita melakukan pengolahan data tersbut atau
mebuka software ini terlalu lama, maka sering kali terjadi keuar sendiri atau biasa
disebut terpental keluar di software ini, sehingga kita harus sering kali melakukan
penyimpanan atau mengesave data tersebut agar kita tidak mengulang dari awal.
BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa kami mahasiswa diharuskan
untuk dapat atau bisa melakukan pengolahan data/pemosresan orthofoto dan mosaic
foto menggunakan Software PCI Geomatica 2014. Yang dimana dalam pengolahannya
itu sendiri kita harus harus lebih teliti dan jeli pada saat melakukan penititikan di Tie
Point dan GCP agar hasil dari pengolahan tersebut sesuai dan tidak terjadi tabrakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ligterink, G.H., 1987 “Dasar-dasar Fotogrametri Interpretasi Foto Udara”.
Jakarta : Penerrbit Universitas Indonesia (UI Press).
Paine, David P., 1993 “Fotografi Udara dan Penafsiran Citra Untuk Pengelolaan
Sumberdaya Edisi ke-2”. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan
Imam Abdurahman. Buku Asli : Aerial Photography and Image Interpretation For
Resource Managament, John Wiley & Sons.
MOCH SANI SALAM.,2016 “PEMANFAATAN FOTOGRAMETRI
RENTANG DEKAT UNTUK PEMODELAN 3D CAGAR BUDAYA
MENGGUNAKAN KAMERA NON-METRIK DSLM DAN DSLR” . Surabaya:
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Web :
https://repository.its.ac.id/688/6/3512100057-Undergraduate_Thesis.pdf
http://eprints.polsri.ac.id/1393/3/BAB%20II.pdf (Diakses pada tanggal
5januari 2022)
EKO BUDI WAHYONO BAMBANG SUYUDI,. “FOTOGRAMETRI
TERAPAN”. MODUL MKK-5/3 SKS/ MODUL I-VII. KEMENTRIAN AGRARIA
DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL SEKOLAH TINGGI
PERTANAHAN NASIONAL 2017
Web :
http://prodi1.stpn.ac.id/wpcontent/uploads/2016/12/modul%20teori
%20semester%201%202019%20fotogrametri%20terapan.pdf (Diakses pada
tanggal 5 januari 2022)
Syarifa Naula Husna, Sawitri Subiyanto, Hani’ah 2016. “PENGGUNAAN
PARAMETER ORIENTASI EKSTERNAL (EO) UNTUK OPTIMALISASI DIGITAL
TRIANGULASI FOTOGRAMETRI UNTUK KEPERLUAN ORTOFOTO”. Semarang
: Program Studi Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Web :
https://media.neliti.com/media/publications/82751-ID-penggunaan-
parameter-orientasi-eksternal.pdf (Diakses pada tanggal 8 januari 2022)
Bagus Subakti. 2017.” PEMANFAATAN FOTO UDARA UAV UNTUK
PEMODELAN BANGUNAN 3D DENGAN METODE OTOMATIS”. Malang :
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITN Malang.
Web :
file:///C:/Users/Administrator/Downloads/592-Article%20Text-1138-1-10-
20191220.pdf (Diakses pada tanggal 8 Januari 2022)
BAMBANG SYAEFUL HADI, M.SI. 2007.” DASAR-DASAR
FOTOGRAMETRI”. Yogyakarta : JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA.
Web :
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132240452/pendidikan/diktat-
fotogramteri.pdf (diakses pada tanggal 8 Januari 2022)
Nugroho Purwono, Prayudha Hartanto, Yosef Prihanto, & Priyadi Kardono.”
TEKNIK FILTERING MODEL ELEVASI DIGITAL (DEM) UNTUK DELINEASI
BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)”. Badan Informasi Geospasial, Prosiding
Seminar Nasional Geografi UMS IX 2018.
Web :
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/10390/E-7-Nugroho
%20%20TEKNIK%20FILTERING%20MODEL%20ELEVASI
%20DIGITAL.pdf?sequence=1
https://www.handalselaras.com/digital-elevation-model-digital-terrain-model-
dan-digital-surface-model/ (Diakses pada tanggal 9 Januari 2022)
Jurnal Geodesi Undip. Christovel Natar P., L.M. Sabri, M. Awaluddin.”
ANALISIS AKURASI MODEL 3 DIMENSI BANGUNAN DARI FOTO SECARA
TEGAK DAN MIRING”(Studi Kasus : Gedung Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro). Semarang : Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro Jl. Prof. Sudarto, SH, Tembalang.
Web :
file:///C:/Users/Administrator/Downloads/26181-54164-1-SM.pdf (Diakses
pada tanggal 9 Januari 2022)
Ferry Sobatnu. 2014. “PERMODELAN ELEVASI DIGITAL PADA LAHAN
RAWA”. Jurnal INTEKNA, Tahun XIV, No. 2, Nopember 2014 : 102 – 209.
Web :
http://repository.poliban.ac.id/id/eprint/435/1/173-1-323-1-10-
20150227.pdf Diakses pada tanggal 9 Januari 2022)