AB R
Arief Budiman ADVOKAT
, 6 Maret 2017
Palembang, 11 Mei 2021Palembang &Rekan
advokatariefbudiman@gmail.com
081261181205
Jalan Jendral Sudirman No. 102
Kota Palembang;
Provinsi Sumatera Selatan
KESIMPULAN
Perkara Praperadilan Nomor 10/Pid.Pra/2021/PN.Plg
I. PENDAHULUAN
- Bahwa menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH. MA, penegakan hukum
dipengaruhi beberapa faktor yaitu:
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang);
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan; dan
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
(Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor Yang Memperngaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta: Rajawali Pers, hlm.5);
- Bahwa lebih lanjut Soerjono Soekanto mengatakan bahwa kelima faktor tersebut
adalah saling terkait, karena merupakan essensi dari penegakan hukum, juga
merupakan tolok ukur daripada efektifitas penegakan hukum.
- Bahwa terpenuhinya kelima faktor tersebut secara baik maka baiklah pula penegakan
hukum dilaksanakan. Namun sebaliknya, jika tidak, maka penegakan hukum tidak
akan tercapai, atau bahkan justru hukum ditegakan dengan cara melawan hukum.
Jika ini terjadi, hukum ditegakan dengan cara melawan hukum, apakah hal ini masih
dapat dikatakan sebagai penegakan hukum;
- Bahwa dalam penegakan hukum pidana yang menjadi faktor ‘hukum’nya (faktor
pertama) adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana - atau lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) – dan peraturan-peraturan pelaksananya, yang merupakan
perangkat hukum yang diperuntukan demi tegaknya hukum pidana (hukum pidana
materiil), baik hukum pidana umum yang normanya terdapat dalam Kitab Undang-
KESIMPULAN dalam perkara 10/Pid.Pra/2021/PN.Plg Halaman 2 dari 30
undang Hukum Pidana (KUHP), maupun hukum pidana khusus, seperti Narkotika,
Korupsi, dan Perbankan, dan hukum pidana khusus lainnya, selama hukum acara
pidana khusus tersebut tidak menyatakan mengenyampingkan atau menyatakan lain;
- Bahwa Hukum Acara Pidana telah mengatur sedemikian rupa hal-hal terkait
penegakan hukum pidana, yaitu mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
hingga tata cara persidangan sampai dengan putusan pengadilan yang merupakan
puuncak dari penegakan hukum pidana;
- Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP
adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana
pengawasan horizontal, sehingga essensi dari Praperadilan adalah untuk
mengawasi tidakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan atau/atau
penuntut umum terhadap Tersangka apakah dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan, dilakukan secara profesional, dan bukan
tindakan yang bertentangan dengan hukum;
- Bahwa spirit atau ruh atau jiwanya KUHAP tersebut juga ditegaskan kembali dalam
Penjelasan Umum KUHAP angka 2 pragraf ke-6, yang berbunyi:
“... Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan
agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai
serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan
fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegak mantabnya hukum, keadilan dan
perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta
martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik
Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.”;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
- Bahwa dari ketentuan Pasal 77 KUHAP tersebut maka materi pokok Praperadilan
adalah tentang:
1. Sah atau tidaknya penangkapan;
2. Sah atau tidaknya penahanan;
3. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan;
4. Sah atau tidaknya penghentian penuntutan; dan
5. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.;
- Bahwa oleh karena itu, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Nomor 21/PUU-XII/2014, maka ketentuan Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21
ayat (1) KUHAP berubah bunyi menjadi:
Pasal 17 KUHAP
”Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184
ayat (1) undang-undang ini”;
- Bahwa juga sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
130/PUU-XIII/2015 materi pokok Praperadilan termasuk juga pemberitahuan dan
penyerahan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP); Bahwa berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi ini, Pasal 109 ayat (1) KUHAP adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat jika tidak
dimaknai sebagai: “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat
perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, terlapor dan
korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
dikeluarkannya surat perintah penyidikan”;
g. Bahwa juga oleh karenanya, segala proses yang dilakukan pada tahap
penyidikan sebelum disampaikannya SPDP adalah bersifat unlawfull dan
berimplikasi pada segala tindakan yang telah dilakukan dalam tahapan
penyidikan harus dinyatakan batal demi hukum.
b. Bahwa walaupun dalam kaitannya dengan SPDP telah pula berimplikasi pada
TIDAK SAHnya PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PEMOHON
PRAPERADILAN, namun dalam bagian ini kami akan menambahkan dalil-dalil
tentang TIDAK SAHnya PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP
PEMOHON PRAPERADILAN OLEH TERMOHON PRAPERADILAN, yaitu
sebagaimana akan kami uraikan lebih lanjut;
c. Bahwa pada hari Kamis tanggal 21 Januari 2021 sekira pukul 06.00 WIB
beertempat di Komplek GRAND SOETTA Blok B 01 RT. 050 RW. 010
h. Bahwa adapun yang menjadi dasar bagi Penyelidik perkara laporan PEMOHON
PRAPERADILAN adalah:
a. Telah dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi:
1. MUSLIANTI, S.Pd (korban),
2. SUSI SUSANTI (saksi),
l. Bahwa dari Surat Panggilan tersebut dalam huruf i diketahui terdapat fakta hukum
bahwa Surat Perintah Penyidikan yang dibuat oleh TERMOHON
PRAPERADILAN TIDAK ADA NOMOR SURAT. Surat Perintah Penyidikan
tertulis:
“Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Dik/ /IV/2021/Skm tanggal 17
April 2021”;
m. Bahwa tidak adanya nomor Surat pada Surat Perintah Penyidikan pada hurf j di atas
mengindikasikan bahwa Polsek Sukarami (TERMOHON PRAPERADILAN) tidak
professional dan tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dalam melaksanakan
tugas penegakan hukum. Hal ini bertentangan dengan ketentuan dasar pembentukan
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang
Penyidikan Tindak Pidana, sebagaimana tertuang dalam konsideran menimbang
huruf a yang berbunyi:
“bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, Penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia mempunyai tugas, fungsi, dan wewenang di bidang
penyidikan tindak pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang
dilaksanakan secara profesional, transparan dan akuntabel terhadap setiap
perkara pidana guna terwujudnya supremasi hukum yang mencerminkan
kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan.”;
q. Bahwa laporan yang dibuat oleh seorang yang bernama PURNAMAWATI kepada
TERMOHON PRAPERADILAN adalah diperuntukan sebagai nilai tawar
(bargaining position) saja, agar PEMOHON PRAPERADILAN berdamai dengan
seorang yang telah menganiaya dirinya, yaitu PURNAMAWATI, dan agar
PEMOHON PRAPERADILAN mencabut laporannya di POLDA SUMSEL. Hal ini
disampaikan sendiri oleh Penyidik pada Kepolisian Sektor Sukarami (TERMOHON
PRAPERADILAN) kepada PEMOHON PRAPERADILAN. Hal ini disadari oleh
PURNAMAWATI karena PEMOHON PRAPERADILAN memiliki rekaman video
penganiayaan yang dilakukannya, memiliki saksi-saksi yang menyaksikan langsung
kejadaian pada saat itu, pada tubuh PEMOHON PRAPERADILAN terdapat luka-
luka. Bahwa oleh karena itu tindakan TERMOHON PRAPERADILAN yang
menetapkan PEMOHON PRAPERADILAN sebagai TERSANGKA adalah tindakan
yang memihak pada seorang yang bernama PURNAMAWATI agar memiliki
bargaining position untuk berdamai. Dan jika nantinya terjadi perdamaian maka
kedua penyidikan tersebut dapat dihentikan dengan payung hukum Surat Edaran
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan
Keadilan Restoratif (RESTORATIVE JUSTIVE) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana;
t. Bahwa berdasarkan seluruh uraian yang kami sampaikan di atas, maka telah nyata
tindakan Penetepan Tersangka kepada PEMOHON PRAPERADILAN oleh
TERMOHON PRAPERADILAN adalah tidak sah karena telah menerima
laporan dari seseorang tentang adanya suatu tindak pidana hingga menetapkannya
sebagai Tersangka dengan tidak menjunjung tinggi hukum yang berlaku, yaitu
bertentangan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (3) KUHAP dan juga ketentuan dasar
pembentukan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019
Tentang Penyidikan Tindak Pidana, sebagaimana tertuang dalam konsideran
menimbang huruf a;
u. Bahwa oleh karena telah nyata dan berdasar hukum, Penetepan Tersangka kepada
PEMOHON PRAPERADILAN oleh TERMOHON PRAPERADILAN adalah
tidak sah, maka sudah berdasar hukum pula untuk menyatakan PERMOHONAN
PRAPERADILAN ini diterima;
V. PERMOHOHAN
MENGADILI:
1. Menerima permohonan praperadilan dari PEMOHON PRAPERADILAN untuk
seluruhnya;
Atau jika Yang Mulia berpendapat hukum lain, maka mohon berikan putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
VI. PENUTUP
Demikian permohonan praperadilan ini kami sampaikan. Kepada Sang Maha Agung,
Tuhan Yang Maha Kuasa, kami mengantungkan do,a. Dan kepada Yang Mulia Hakim
kami berharap permohon kami dapat dikabulkan seluruhnya.
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditentukan, untuk Pemohon
datang mengahdap di persidangan kuasanya, yaitu: 1. Arief Budiman, S.H., 2. Yudi Al
Munandar, S.H., dan 3. Rendi Hirawansyah, S.H., semuanya adalah Advokat yang berkantor
pada Kantor Hukum ARIEF BUDIMAN & REKAN (AB&R Advokat) yang beralamat di
Bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang
larangan pengajuan praperadilan bagi tersangka yang melarikan diri atau sedang
dalam status daftar pencarian orang (DPO), yang menyebutkan: “Bahwa untuk
memberikan kepastian hukum dalam proses pengajuan praperadilan bagi tersangka
dengan status Daftar Pencarian Orang (DPO), Mahkamah Agung memberikan petunjuk
sebagai berikut:
1. Dalam hal tersangka melarikan diri atau dalam status Daftar Pencarian Orang
(DPO), maka tidak dapat diajukan permohonan praperadilan;
2. Jika permohonan praperadilan itu tetap dimohonkan oleh penasihat hukum atau
keluarganya, maka hakim menjatuhkan putusan yag menyatakan permohonan
praperadilan tidak dapat diterima.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka permohonan PEMOHON yang saat ini
berstatus DPO, sehingga sudah sepatutnya Hakim Praperadilan yang mengadili,
memeriksa dan memutus perkara a quo menyatakan bahwa permohonan
PEMOHON praperadilan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
DALAM EKSEPSI
1. Dalam hal tersangka melarikan diri atau dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO),
maka tidak dapat diajukan permohonan praperadilan;
2. Jika permohonan praperadilan itu tetap dimohonkan oleh penasihat hukum atau
keluarganya, maka hakim menjatuhkan putusan yag menyatakan permohonan