00 Pemodelan Matematis Wabah
00 Pemodelan Matematis Wabah
(Model-Model Sederhana)
Eddy Prahasta
2021
SINOPSIS
Penyakit menular, kebiasaan buruk, prilaku menyimpang/tidak baik,
pola hidup tidak sehat, pencemaran lingkungan, berita bohong (hoaks),
fitnahan, gosip, ujaran kebencian (hate speech), dan lain sejenisnya
adalah fenomena-fenomena biasa yang mungkin terjadi dimana dan
kapan saja. Meskipun ada sisi menariknya, mereka tidak patut
dibiarkan, dinikmati, ditiru, dan ditransmisikan lebih jauh. Sebarannya
harus dicegah sebisa mungkin. Meskipun demikian, karena satu dan
lain hal, keberadaannya bisa jadi tak terhindarkan hingga sebagian
menjadi berita utama, populer, membentuk trend, menginveksi, dan
menular dengan cepat hingga menjadi “wabah/pandemi“. Dengan
karakteristiknya yang sangat merugikan itu, maka untuk memenuhi
kebutuhan tertentu, mereka boleh-boleh saja diasumsikan didasarkan
pada suatu “model“ yang dikonsepkan, dikuantitaskan, divisualkan,
dan kemudian disimulasikan.
Salah satu fenomena yang masih aktual adalah pandemi Covid-19 yang
mengakibatkan kerugian besar; aspek-aspek kemanusiaan (kematian,
menurunnya kenyamanan hidup, penderitaan, sakit, merenggangnya
hubungan antar-manusia), ekonomi (bisnis, perdagangan, keuangan),
dan lainnya. Oleh sebab itu, untuk mencari (potensi) unsur keterkaitan
(korelasi) antara fenomena ini dengan fenomena-fenomena lain yang
diduga sebagai dampaknya, maka fenomena ini bisa saja dimodelkan.
Hanya saja, pada akhirnya, kita dapat menilai sejauh mana sebenarnya
(tingkat) kesesuaiannya; layak atau tidak.
Halaman: 1 349
PRAKATA
Bismillah hirrohman nirrohiim,
Alhamdulillah hirobbil a’lamiin. Segala puji & syukur penulis panjatkan kehadirat
Illahi Robbii atas segala kemudahan yang telah didapatkan hingga akhirnya penulisan
buku ini dapat dituntaskan. Terus terang, penulis benar-benar merasa tertantang
untuk mewujudkan naskah ini sebagai salah satu bentuk kontribusi dalam usahanya
untuk memahami dan kemudian mendeskripsikan kembali apa yang dipahaminya
mengenai sebagian dari fenomena biologi-epidemik yang langka, menarik, penting,
merugikan manusia, mengundang banyak pertanyaan, berefek kompleks, memiliki
kemampuan untuk “menakut-nakuti” & “memeras”, dan terjadi secara global di
akhir jaman ini.
Ide mengenai penulisan buku ini, sebetulnya, sudah muncul ketika mulai bergulirnya
pemberitaan mengenai Covid-19 yang disebut bermula di Wuhan (China); sekitar
bulan Desember 2019. Setelah mendapatkan beberapa keping informasi pun (yang
masih bersifat umum), ternyata, tidak mudah untuk memahami fenomena ini secara
utuh. Apalagi, jujur, penulis bukanlah seorang biolog, petugas/pemerhati kesehatan
masyarakat, apoteker, virolog, dokter, atau bahkan epidemiolog. Di lain pihak, pada
awalnya, kebanyakan masyarakat global pun terkedan masih sangat “meraba-raba”
mengenai fenomena ini. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika pada saat itu
banyak perbedaan pendapat dan pemberitaan yang belum tentu benar (hoak,
simpang siur, belum terkonfirmasi oleh akhlinya, atau belum teruji kebenarannya),
dan sebagian dari hasil “penelitian cepat/instan” yang ada pun cenderung hanya
menghasilkan prediksi-prediksi (model & grafik) jangka pendek yang tidak akurat.
Rupanya, untuk memahami fenomena yang langka ini juga diperlukan waktu, usaha,
dan kesabaran yang cukup.
Memang, idealnya, model biologi-epidemik yang tepat cepat ditemukan di awal
pandemi hingga (rancangan) solusinya (mitigasinya) jauh lebih mudah, murah, dan
segera diwujudkan. Meskipun demikian, karena Covid-19 adalah hal yang “baru”,
(katanya) dapat bermutasi hingga menghasilkan varian-varian baru, karakteristiknya
masih terus diteliti, sementara respon (prilaku & sifat) masyarakat terhadapnya pun
cukup beragam dan belum diketahui sepenuhnya. Oleh sebab itu, akibat dari semua
ini, sebaran penyakit beserta dampak-dampaknya secara luas juga benar-benar
merupakan hal yang baru. Dengan demikian, diperlukan waktu, usaha, dan
kesabaran yang cukup untuk mendapatkan makna yang tepat beserta solusinya.
Jika tugasnya sekedar “menampilkan” grafik atau kurva-kurva sampel datanya dan
kemudian memprediksi-cepat kapan saat mencapai puncak dan kapan pula
berakhirnya pendemi dengan (memaksakan) model yang sederhana itu, tentu saja
tidak terlalu sulit, tetapi hasilnya adalah soal yang lain. Seperti yang sudah-sudah,
hasil prediksi cara itu, untuk kasus Covid-19 saja, sering meleset. Sehubungan dengal
Halaman: 2 349
hal ini sebagian orang memberikan komentar dengan perumpamaan orang buta
(yang berusaha) mengenali bentuk seekor gajah (secara utuh).
Ternyata, di luar hal mengenai prediksi (model), yang tidak kalah pentingnya adalah:
(1) merekam fakta-fakta terkait fenomena ini beserta fenomena-fenomena yang
menjadi turunannya (akumulasi dan jumlah kasus harian [terinfeksi (kasus aktif),
sembuh, dan mati], usaha-usaha mitigasi, protokol kesehatan, vaksinasi, kemunculan
klaster-klaster baru dan varian baru, trend gelombang kedua dan berikutnya,
kelumpuhan ekonomi, kebutuhan anggaran, gelombang PHK, gejolak pro & kontra
[berbagai variasi respon] yang terjadi di masyarakat); (2) menganalisis apa saja yang
terekam; (3) merancang (potensi) perbaikan (mitigasi) kondisinya; dan (4) menggali
segala makna dan hikmahnya. Sebab, tidak mustahil, jika fenomena yang sejenis atau
seanalogi juga akan terjadi pada masa yang akan datang. Sebab, bisa saja, kasus ini
adalah (suatu) permulaan. Tentu saja hal ini memerlukan kesiapan mental, spiritual,
ilmu, dan material. Inilah pentingnya kita menuliskan catatan/fakta (selengkap
mungkin), membacanya (kembali), dan kemudian menganalisisnya sebagai
pertimbangan bagi tindakan-tindakan selanjutnya (pembuatan solusi).
Agar dapat dipahami dengan mudah, penulis membagi materinya menjadi lima
bahasan utama: (1) introduksi mengenai munculnya pandemi Covid-19 yang
melanda dunia; fenomena yang bisa saja dimodelkan; (2) model-model biologi/
epidemik (konsep dasar beserta rumusnya) yang sudah ada dan umum digunakan;
(3) pembuatan simulasi model-model tersebut dengan menggunakan contoh data
dan asumsi tertentu hingga didapatkan deretan angka-angka hasil prediksi dan
grafiknya; (4) sampel data epidemik yang terkumpul (termasuk Covid-19) beserta
kesesuaiannya dengan model-model, termasuk simulasi model dengan pendekatan
sistem dinamis; dan (5) analisis yang dirumuskan berdasarkan hasil-hasil simulasi,
pemikiran penulis, dan tentu saja juga dari hasil studi pustaka (terutama kebijakan).
Harapannya, dengan segala keterbatasannya, buku versi elektronik ini dapat
memperkaya sebagian dari fakta, data, model, “sudut pandang” (views), dan analisis
bagi pihak yang bergerak di bidang-bidang epidemik, biologi, lingkungan, sosial,
pemodelan, simulasi, dan lain sejenisnya hingga akhirnya secara umum dapat
memperkaya khazanah keilmuan; khususnya biologi, epidemiologi, dan kesehatan
masyarakat. Meskipun demikian, sebagaimana biasanya, berlakulah peri-bahasa
klasik “tiada gading yang tak retak”. Oleh sebab itu, pada kesempatan yang baik ini,
penulis mohon maklum atas segala kelemahan yang tertuang pada buku ini sekaligus
berharap saran dari pembaca sebagai masukan untuk perbaikan pada masa yang
akan datang.
Wassalam,
02 September 2021
(Penulis)
<eddypra1967@gmail.com>
Halaman: 3 349
DAFTAR ISI
Halaman
Sinopsis 1
Prakata 2
Daftar Isi 4
Daftar Istilah 7
Bab 1: Introduksi Wabah, Epidemi, Pandemi, Pemodelan & Simulasi 14
1.1 Aspek-Aspek Penting 18
1.2 Kaitan Antar Aspek-Aspek 19
1.3 Potensi Ancaman Penyakit 20
1.4 Epidemiologi & Istilah Terkait 21
1.5 Contoh-Contoh Wabah 22
1.6 Upaya Penanggulangan Wabah 23
1.7 Epidemiologi, Pemodelan, dan Simulasi 25
Bab 2: Model-Model Biologi/Epidemik 28
2.1 Model SI 30
2.2 Model SIS 31
2.3 Model SIR 33
2.4 Model SIRS 37
2.5 Model SIRD 39
2.6 Model SEIS 40
2.7 Model SEIR 42
2.8 Model SEIRS 44
2.9 Model SEIRD 45
2.10 Model SIR & Dinamika Penduduk 46
2.11 Model MSEIR 48
2.12 Model MSEIRS 50
2.13 Model Epidemik & Vaksinasi 50
2.14 Pengaruh Delay (Waktu) 55
2.15 Metode Euler & Runge-Kutta 58
2.15.1 Metode Euler 58
2.15.2 Metode Runge-Kutta 58
2.16 Catatan 60
Bab 3: Simulasi Model-Model Epidemik 61
3.1 Model SI 62
3.2 Model SIS 64
3.3 Model SIR 65
3.4 Model SIRS 68
3.5 Model SIRD 70
Halaman: 4 349
3.6 Model SEIS 71
3.7 Model SEIR 72
3.8 Model SEIRS 73
3.9 Model SEIRD 74
3.10 Model SIR & Dinamika 75
3.11 Model MSEIR 76
3.12 Model MSEIRS 77
3.13 Model Epidemik & Vaksinasi 78
3.14 Model Epidemik & Delay 79
Bab 4: Model Epidemik SIR Stokastik 85
4.1 Proses Stokastik/Acak 86
4.2 Model-Model Stokastik 86
4.3 Sampel Acak 87
4.4 Hasil Simulasi 89
4.5 Model SIR Algoritma Gillespie 91
4.6 Rantai Markov 92
Bab 5: Bilangan Reproduksi Dasar & Efektif 97
5.1 Bilangan Reproduksi Dasar 98
5.2 Rumus Sederhana Ro 99
5.3 Matriks Generasi Berikutnya 101
5.3.1 Kasus-Kasus Sederhana 101
5.3.2 Kasus-Kasus Dekomposisi Matriks G 110
5.4 Bilangan Reproduksi Efektif 114
5.5 Epidemik, Endemik, dan Dies-out 117
5.6 Rt dengan Kasus-Kasus Baru 118
Bab 6: Titik-Titik Kesetimbangan 119
Bab 7: Model & Data Epidemik 129
7.1 Data Sederhana 130
7.1.1 Model Kurva-Kurva Gauss 131
7.1.2 Model Persamaan Kuadrat 135
7.1.3 Model Persamaan Polinomial 136
7.1.4 Model SIR Dasar & Parameter α dan β 138
7.1.5 Eliminasi Data, Curve Fitting, dan Offset 140
7.2 Data Sakit & Kebal/Mati 140
7.2.1 Model SIR Dasar α dan β 141
7.2.2 Model SIR Dasar α (β dianggap konstan) 143
7.2.3 Model SIRS 145
7.3 Data Rentan, Sakit, dan Kebal 146
7.3.1 Model SIR Dasar α dan β 147
7.3.2 Model SIR Dasar α (β konstan) 149
7.3.3 Model SIRS 150
7.4 Cara-Cara Alternatif 151
7.4.1 Data Tabel 7.5 151
7.4.2 Data Tabel 7.8 154
Halaman: 5 349
7.5 Data Covid-19 159
7.5.1 Sampel Data Covid-19 160
7.5.2 Kurva/Grafik 162
7.5.3 Model-Model SIR & Alternatifnya 165
Bab 8: Simulasi Model Epidemik dengan Sistem Dinamis 175
8.1 Diagram Sebab-Akibat 175
8.2 Simulasi Model 177
8.2.1 Model SIR Dasar 177
8.2.2 Model SIR & Intervensi 179
Bab 9: Studi Pustaka & Analisis 183
9.1 Items Data & Tipe Model 184
9.2 Satuan Wilayah Epidemik (SWE) 185
9.3 Generalisasi SWE 187
9.4 Klaster Baru & Gelombang Berikutnya 192
9.5 Parameter Epidemik 196
9.5.0 Asumsi Nilai Rentan (So atau N) 197
9.5.1 Alpha (α) 199
9.5.2 Betha (β) 201
9.5.3 Phi (φ) 204
9.5.4 Delta (δ) 205
9.5.5 Bilangan Reproduksi Efektif 205
9.6 Prosedur Pelaporan, Duplikasi, Keterlambatan, dan Blunder 209
9.7 Metode yang Tidak Matang 213
9.8 Sifat & Sikap Masyarakat 215
9.9 Vaksinasi, Imunisasi, dan Varian Baru 222
9.10 Kekebalan Alami & Herd Immunity 230
9.11 Terapi Plasma Konvalesen & Vaksin Nusantara 234
9.12 Re-Infection 235
9.13 Payung Hukum & Kebijakan 238
9.14 Lockdown 252
9.15 Data vs. Model Epidemik 259
9.16 Dampak-Dampak Covid-19 261
9.16.1 Dampak Negatif 262
9.16.2 Dampak Positif 267
9.16.3 Kebijakan Sistem Keuangan Dampak Covid-19 270
9.17 Saran 273
Lembar Catatan 282
Lampiran I 283
Lampiran II 336
Lampiran III 338
Lampiran IV 339
Daftar Pustaka 340
Halaman: 6 349
DAFTAR ISTILAH
Istilah Keterangan
APD Alat pelindung diri; khususnya yang terkait dengan
penanganan wabah penyakit Covid-19.
Halaman: 7 349
Istilah Keterangan
tambahan. Sementara itu, guru tersebut juga mengajar fisika
di suatu lembaga bimbingan belajar sekaligus menjadi guru
privat fisika untuk beberapa murid; (3) pada sebuah film
diceritakan bahwa seorang “bos” telah memerintahkan anak
buahnya agar “membereskan” seseorang. Tetapi ketika
didapati bahwa seseorang tersebut akhirnya mati, maka bos
tersebut menyangkal tuduhan atasnya dengan mengatakan
bahwa ia sama sekali tidak pernah memerintahkan anak
buahnya untuk membunuhnya.
Halaman: 8 349
Istilah Keterangan
suatu wilayah (Depkes, 2006).
Halaman: 9 349
Istilah Keterangan
manifest) dan latent (abstrak atau kompleks). Tipe yang
pertama dapat diukur (dengan alat) secara langsung hingga
besarannya dapat diketahui. Sedangkan yang kedua, karena
bersifat kompleks, maka tidak dapat diukur secara langsung.
Jadi, untuk dapat diukur (sebagai pendekatan), maka tipe
yang kedua ini perlu memiliki beberapa indikator yang
representatif dan berupa satu atau lebih variabel biasa. Jadi,
yang diukur secara langsung pada variabel tipe latent adalah
(hanya) indikator-indikatornya. Contoh-contoh variabel
kompleks adalah kondisi lingkungan, ekosistem,
perekonomian, status keamanan, tingkat emosi, kebaikan,
kerentanan, dan lain sejenisnya.
Infeksi sekunder Infeksi kedua atau baru yang biasanya ditularkan oleh
sesama manusia.
Halaman: 10 349
Istilah Keterangan
dibuatkan solusinya. Atau, masalah adalah
fenomena/kondisi/situasi dimana terdapat perbedaan (yang
signifikan) antara kenyataan (realita) dengan harapan
(keinginan).
Halaman: 11 349
Istilah Keterangan
Halaman: 12 349
Istilah Keterangan
keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta
dapat menimbulkan malapetaka. (Depkes, 2006). Perhatikan
pula definisi wabah menurut UU RI no 4 tahun 1984.
Halaman: 13 349
BAB 1: INTRODUKSI
WABAH, EPIDEMI,
PANDEMI, PEMODELAN &
SIMULASI
Covid-19 (corona virus disease 2019) adalah salah satu virus yang menyebabkan
gangguan kesehatan bagi manusia. Menurut berbagai sumber, virus ini ditemukan
pertama kali di Wuhan (China) di akhir 2019. Sebagian dampaknya adalah munculnya
gejala-gejala demam, suhu badan cukup tinggi, rasa lelah/kelelahan, sakit kepala,
hidung tersumbat, berkurangnya rasa-penciuman, sakit tenggorokan, batuk kering,
dan kesulitan bernafas. Meskipun demikian, tanpa bermaksud untuk
meremehkannya, sebenarnya, penyakit ini (terutama jika tanpa penyakit penyerta)
tidak jauh lebih dahsyat dari pada penyakit-penyakit berat seperti halnya kanker,
(gagal) jantung, (gagal) ginjal, stroke, diabetes, HIV/Aids, TBC, dan lain sejenisnya.
Selain itu, juga tanpa bermaksud untuk mengabaikannya, virus ini pun belum
termasuk ke jajaran 10 besar penyakit yang dianggap paling mematikan menurut
data WHO1.
Catatan: yang dimaksudkan dengan istilah-istilah sakit, menderita, atau
terinfeksi (penyakit) pada (bab-bab) buku ini, di dalam (terminologi) data
Covid-19 disebutkan sebagai (atribut) “kasus aktif” (jumlah individu yang
dalam perawatan/isoman).
Karena faktor-faktor kecepatan transmisinya yang tinggi (terutama pada varian-
varian yang lebih baru), kemampuan menyebarnya yang sangat luas tanpa pandang
bulu, dan memang sudah banyak menelan korban jiwa (terutama orang tua dan
individu-individu yang sedang menderita penyakit berat penyerta/komorbid), maka
Covid-19 tidak dipandang sebagai virus biasa yang dianggap normal jika menyebar
secara lokal; virus ini berbahaya. Covid-19 mengancam siapa saja, kapan saja, dan
dimana saja pada kurun waktunya. Oleh sebab itu, di dalam kaitan ini, WHO secara
resmi telah menyatakan bahwa Covid-19 adalah Pandemi global2.
1
Daftar 10 penyakit yang paling mematikan di dunia menurut WHO dapat dilihat pada
pustaka (idntimes, 2020).
2
WHO, yang diwakili oleh Direktur Jendralnya (Tedros Adhanom G.) pada konferensi pers
yang dilaksanakan pada Rabu, 11 Maret 2020, di Jenewa (Swiss), menyatakan bahwa virus
Corona sebagai pandemi global (Kompas, 2020b).
Halaman: 14 349
Sehubungan dengan gentingnya (akibat) pandemi Covid-19, khususnya di Indonesia,
maka berikut ini adalah sebagian dari historinya:
1) Pada 30 Januari 2020, WHO menetapkan Covid-19 sebagai public health
emergency of international concern (PHEIC) atau kondisi kedaruratan
kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (KKMMD).
2) Pada 4 Februari 2020, telah diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan
nomor HK.01.07/MENKES/104/2020 tentang “Penetapan Infeksi Novel
Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) sebagai Penyakit yang Dapat
Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya”.
3) Pada 2 Maret 2020, telah dilaporkan bahwa di Indonesia terdapat 2 kasus
pertama Covid-19 yang terkonfirmasi.
4) Pada 13 Maret 2020 telah ditetapkan Keputusan Presiden (Keppres) no. 7
tahun 2020 tentang “Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19)”.
5) Pada 31 Maret 2020 telah dibuat Keputusan Presiden (Keppres) nomor
11 tahun 2020 tentang “Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)”.
6) Pada 3 April 2020 telah ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 9
tahun 2020 tentang “pedoman pembatasan sosial berskala besar dalam
rangka percepatan penanganan corona virus disease 2019”.
7) Pada 13 April 2020 telah ditetapkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor
12 tahun 2020 tentang “Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional”.
8) Pada 20 Mei 2020, untuk masalah yang sama, telah ditetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan RI nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang
“panduan pencegahan dan pengendalian corona virus disease 2019
(Covid-19) di tempat kerja perkantoran dan industri dalam mendukung
keberlangsungan usaha pada situasi pandemi”.
Dampak Covid-19 tidak sekedar pada tubuh; kesehatan mental manusia (sebagai
efek samping) pun dapat terganggu. Sebab, begitu Covid-19 mulai bergejolak, secara
bertahap, bermunculan fenomena-fenomena yang berdampak pada aspek-aspek
material (ekonomi) dan non-material; dengan cakupan lokal, nasional, dan bahkan
global. Beberapa bentuk fenomena tersebut adalah: (1) pengadaan alat-alat
pelindung diri (APD); (2) pengumpulan & pendaya-gunaan para akhli medis terkait
(nakes); (3) pembangunan rumah sakit (faskes) baru & khusus secara kilat dan
penambahan kapasitas rumah sakit; (4) penyiapan (peraturan/kebijakan) anggaran;
(5) penutupan (sementara) sekolah/kampus hingga menyebabkan peliburan para
pelajar dan mahasiswa; (6) diberlakukannya belajar, kuliah, dan rapat online; (7)
beralihnya tugas mengajar para guru di sekolah ke para ibu rumah tangga (terutama
di tingkat SD3); (8) berlakunya aturan work from home (WFH) hingga peliburan
3
Beberapa sekolah SD menugaskan orang tua/wali murid untuk mengajarkan (untuk
beberapa mata pelajaran) anaknya dan kemudian melaporkan aktivitas tersebut ke guru-
gurunyanya yang sedang work from home di rumah melalui video atau foto yang dikirimkan.
Halaman: 15 349
sementara bagi para pekerja; (9) pembatasan & karantina wilayah; (10) pembatasan
jam kerja di kantor, pasar, toko, dan supermarket; (11) pembatalan perjalanan4; (12)
penutupan beberapa ruas jalan; (13) penundaan perjanjian bisnis/kontrak dan
pengerjaan proyek (pada tahapan tertentu)5; (14) pemutusan hubungan kerja
sebagian karyawan6; (15) karantina dan isolasi mandiri bagi para OTG7, ODP8, dan
PDP9; (16) diberlakukannya protokol kesehatan, di berikan bantuan sosial, dilakukan
vaksinasi (1, 2, dan booster), dan lain sejenisnya10.
Tentu saja hal ini sangat merepotkan orang tua/wali murid yang memang tidak
berkemampuan sebagai guru karena tugas totalnya menjadi bertambah.
4
Sebenarnya banyak sekali terjadi pembatalan perjalanan akibat Covid-19; terutama
perjalanan wisata. Di Indonesia saja, pernah terjadi 80% pemesanan perjalanan wisata batal
(CNBC, 2020). Sementara itu, Tempo (2020) memberitakan bahwa terjadi peningkatan
permohonan penundaan serta pembatalan rencana perjalanan sebanyak empat kali lipat.
5
Sebenarnya banyak juga kontrak, bisnis, dan/atau pengerjaan proyek yang setidaknya telah
tertunda akibat Covid-19. Sebagai misal Kontan (2021) menginformasikan bahwa PT PP saja
memiliki kontrak yang tertunda dari tahun 2020 sebesar Rp. 69 triliun. Kontrak yang
tertunda ini diperkirakan akan berkontribusi terhadap pendapatan PT PP tahun 2021 sebesar
60%. Kontrak-kontrak ini dibawa ke tahun 2021 kareba tertunda akibat Covid-19. Adapun
jenis proyek yang mengalami penundaan ini pada umumnya milik swasta seperti halnya
apartemen, hotel, dan lain sejenisnya yang berhubungan dengan sektor properti.
6
DTTC (2020) menginformasikan bahwa Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia telah
mencatat bahwa hingga pada saat ini (pemberitaan) ada lebih dari 6,4 juta pekerja yang
dirumahkan atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi virus corona.
Wakil ketua umum bidang perdagangan mengatakan bahwa keputusan PHK tersebut
merupakan efek dari merosotnya omzet selama pandemi virus Corona.
7
Orang tanpa gejala.
8
Orang dalam pemantauan.
9
Pasien dalam pengawasan.
10
Keterangan detil mengenai hal ini dapat dilihat pada surat keputusan menkes nomor 328
tahun 2020.
11
Tetapi kita tidak mengetahui sebenarnya yang akan terjadi karena bisa jadi pengalaman
yang langka dan pahit ini bisa saja terlupakan begitu saja tanpa hikmah yang tersisa (mudah-
mudahan tidak demikian).
12
Dengan adanya kewaspadaan, disadari bahwa pada masa yang akan datang pun sangat
mungkin untuk terjadi wabah; harapannya, kita menjadi lebih siap & sabar menghadapinya.
13
Bisa jadi (semula diprediksikan), karena sedemikian lama, pahit, dan berkesannya, maka
sebagian dari kebiasaan, norma, budaya, cara, atau prosedur selama masa pandemi Covid-
19 berlangsung pun masih dapat ditemui (meskipun bisa timbul-tenggelam) di kehidupan
paska Covid-19; sebagai misal adalah menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak
(fisik), dirubahnya layout ruang/gedung untuk menjaga jarak siswa/karyawan, “mengisolasi
diri”, menghindari keramaian yang tidak perlu, berolah-raga di rumah, terbiasanya
penggunaan kata “jaga jarak”, berkurangnya (frekuensi/budaya) jabat-tangan (salaman),
Halaman: 16 349
Dampak-dampak di atas tentu saja berimplikasi pada sektor ekonomi (bisnis,
perdagangan, dan sistem keuangan). Inilah ancaman besarnya (yang sebenarnya tak
kalah penting dari resiko kematian secara fisik). Oleh sebab itu, tidak mengherankan,
jika mayoritas korban-korban (generasi) pertamanya berasal dari kelompok-
kelompok masyarakat di kelas-kelas menengah ke bawah; terutama bagi yang
“nafkahnya” berbasis aktivitas/kerja harian, usaha UMKM14, tipe pekerjaan sektor
non-formal15, dan tanpa simpanan (tabungan) yang memadai. Bagi mereka, “mati
secara perlahan” karena tekanan ekonomi (tidak bisa atau dilarang keluar rumah
untuk “cari makan” hingga akhirnya “mati kelaparan”)16 lebih menyakitan dan
mengerikan (ditakuti) dari pada kematian karena sebab Covid-19 itu sendiri.
Fokus kita17 adalah penyelesaian pendemi Covid-19, tetapi aspek ekonomi
juga harus dijaga sebagai bagian dari sumber pendapatan negara. Dalam
konteks UMKM, kita semua mengetahui bahwa 99.7% dari total unit usaha
(Indonesia) ada pada UMKM yang jumlahnya labih dari 54.217.000. Selain
itu, dari total 131 juta lapangan pekerjaan, 120 juta di antaranya adalah
sektor UMKM; 60% pertumbuhan GDP berasal dari UMKM.
berpelukan, dan “ber-cipika-cipiki”, tersedianya peluang kerja dengan sistem work from
home, makin pesatnya aktivitas online/dijital di dunia bisnis, perdagangan, pendidikan, dan
sosial (pesan makanan & barang, termasuk ecommerce, video conference, provider konten
video), makin banyak bangunan (pertunjukkan, bioskop, supermarket besar, sekolah, toko
yang fungsi etalase barangnya cukup besar, dan lain sejenisnya) yang (berangsung-angsur)
sepi, dan membudayanya proses belajar-mengajar jarak-jauh, secara online, dan terbiasanya
home schooling (sebagian sekolah/kampus makin kekurangan murid). Dengan demikian,
paska Covid-19, bisa jadi, kondisinya agak berbeda dengan sebelumnya; kondisinya tidak
akan pernah benar-benar pulih kembali 100% seperti sebelumnya. Covid-19 memang
merubah dunia menjadi “bentuk normal yang baru”. Itulah prediksinya. Tetapi, ternyata,
sebagian dari masyarakat, pada saat ini saja sudah mulai bosan (enggan) dengan masker.
14
Kelompok usaha mikro kecil menengah (berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008).
Pada konteks perekonomian Indonesia, UMKM adalah kelompok usaha dengan jumlah yang
paling besar. Jika kelompok usaha ini terganggu, maka perekonomian negara yang
bersangkutan juga akan mendapatkan masalah besar.
15
Pekerjaan yang memiliki ciri-ciri: (1) secara mandiri atau bagi perseorangan; (2) tidak
memiliki penghasilan yang tetap; (3) waktu bekerja tidak pada waktu/hari yang tetap/pasti;
(4) tidak termasuk ke dalam suatu perusahaan, lembaga pemerintah, atau institusi non-
pemerintah. Sebagai contoh adalah supir pribadi, petani, pedagang kaki lima, dan lain
sejenisnya. Meskipun demikian, sebenarnya, sebagian dari para pekerja sektor formal pun
mendapat “ancaman” yang sama. Hanya saja, mereka lebih beruntung karena institusinya
memiliki simpanan tertentu hingga di sana ada toleransi tertentu pula.
16
Orang yang benar-benar sakit karena suatu penyakit fisik tidak akan menjadi kalap, tetapi
orang-orang yang terkena tekanan ekonomi hingga susah mencari makan dan hidupnya
sering kelaparan justru sering menjadi kalap, tidak tenang, beringas, sulit dinasihati, dan
memberontak hingga berpotensi untuk menjarah. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa
kasus dimana sebagian dari anggota masyarakat (terutama kelas menengah ke bawah)
kurang mentaati kebijakan PSBB karena sudah tidak tahan lagi dengan tekanan ekonomi
dalam jangka waktu tertentu.
17
Penjelasan Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang dicuplik dari pustaka
(Natalia M., 2021).
Halaman: 17 349
Demikian heboh, besar, luas, parah, dan beratnya akibat Covid-19 di beberapa bulan
awalnya hingga pada saat ini mungkin saja banyak orang yang masih mengingatnya.
Tentu saja hal itu (mengingat-ingat) tidak cukup. Kita perlu mengambil banyak
hikmah dan pelajarannya. Salah satu bentuk kesadaran itu adalah dengan: (1)
mengumpulkan (mencatat) fakta atau datanya; (2) menganalisa data/pola/model
kecepatan dan sebaran penyakitnya, dan (3) menginventarisir, menaksir, dan
menganalisis dampak-dampak yang ditimbulkannya. Untungnya, hampir semua
aktivitas penting ini telah diwadahi oleh disiplin yang dikenal sebagai epidemiologi.
Meskipun demikian, karena ranah bidang ini akhirnya juga terkait dengan bidang-
bidang matematika18, biologi, pemodelan, dan program-program perangkat lunak
komputer dan aplikasinya untuk kasus-kasus yang sejenis dan seanalogi, maka
sekarang ini adalah saat yang tepat bagi siapa saja untuk mulai memahami apa itu
epidemiologi, meskipun secara parsial sekedar dari sisi matematis dan program
perangkat lunak komputer.
18
Berdasarkan pengamatan sekilas penulis, mayoritas peneliti, pembahas, atau penulis
materi-materi mengenai model-model biologi/epidemiologi plus pembuatan program
simulasi-simulasinya berasal dari personil-personil di bidang matematika.
19
Tentu saja masih banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dalam kehidupan manusia.
Penulis hanya menuliskan sebagian saja secara umum; demi penyederhanaan.
Halaman: 18 349
adalah bencana ekonomi & psikologis bagi masyarakatnya; terutama pada kelompok
masyarakat di kelas-kelas bawahnya. Mereka yang berpendapatan dengan basis
aktivitas ekonomi “harian” akan menjerit & menderita terlebih dahulu; apalagi jika
tidak didukung oleh besaran tabungan yang memadai. Bagi mereka, tekanan atau
ancaman psikologis, PHK, kekurangan uang, dan bahaya kelaparan/ekonomi (berarti
“mati” secara perlahan) adalah jauh lebih nyata (menakutkan) dari pada resiko
wabah penyakit itu sendiri. Setelah itu, ancaman itu akan merambat ke kelas-kelas
yang berada di atasnya; apa pun bentuknya.
Oleh sebab itu, (ancaman wabah) penyakit menular perlu segera ditanggulangi
secara sistemik dan efisien. Untungnya, setidaknya, kita telah memiliki beberapa
payung hukum terkait; Undang-Undang RI nomor 4 tahun 1984, Peraturan
Pemerintah RI nomor 40 tahun 1991, dan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor
1501 tahun 2010. Upaya penanggulangan20 penyakit yang terdapat pada payung
hukum tersebut tentu saja berisi aktivitas pengumpulan data berikut penyelidikan
epidemiologinya. Dalam kaitan inilah, maka aktivitas pengumpulan data epidemik,
pembuatan model dan simulasi, beserta analisa wabah penyakit menular menjadi
sangat relevan.
20
Pengumpulan data epidemiologis dan penyelidikan epidemiologis merupakan langkah
pertama dalam upaya penanggulangan wabah penyakit menular.
Halaman: 19 349
Berdasarkan diagram sederhana di atas, maka dapat dibaca secara logis (normal
/positif) dan konseptual bahwa gangguan (apa pun bentuknya) terhadap suatu aspek
akan berdampak negatif (-) terhadap kedua aspek lainnya, sedangkan perbaikan
(peningkatan kualitas/kuantitas) pada suatu aspek juga akan berpengaruh positif (+)
terhadap dua aspek lainnya. Dengan demikian, gangguan terhadap aspek kesehatan
(jiwa) akan berdampak negatif (-) pada aspek-aspek ekonomi dan sosialnya sekaligus.
Demikian pula halnya dengan gangguan terhadap aspek ekonomi, juga akan
berdampak negatif (-) sekaligus pada aspek-aspek kesehatan beserta hubungan
sosialnya. Sedangkan gangguan pada hubungan sosial21 juga akan berdampak negatif
(-) pada aspek-aspek kesehatan dan ekonominya.
Memang, meskipun sudah logis dan dapat diterima oleh akal sehat, kaitan/logika
/relasi antar-ketiga aspek ini masih bersifat umum, kualitatif, dan konseptual. Untuk
menjadikannya lebih konkrit (implementatif) juga kuantitatif dan detil, tentu saja
masih diperlukan pendalaman: batasan atau lingkup (sistem), studi kasus, asumsi,
skenario, pendetilan, model matematis, dan lain sejenisnya.
Fenomena pendemi Covid-19 telah mendorong (banyak) hutang global (negara-
negara di dunia) ketingkat yang sangat bersejarah. Hingga akhir tahun 2020 saja,
tambahan hutang ini telah mencapai 19.5 triliun USD22.
21
Berkenaan dengan hubungan, ikatan, dan/atau prilaku sosial, meskipun kasus-kasusnya
tidak banyak, di dunia nyata, terkadang ada saja (kemungkinan) perbedaan, penyimpangan,
kekecualian, atau anomali (dari yang terjadi secara umum/normal) untuk suatu area dan
periode waktu tertentu. Sebagai misal, mungkin saja terjadi di suatu area dan periode
tertentu dimana peningkatan faktor ekonomi justru tidak membaikan hubungan sosialnya,
atau hubungan sosial tidak membaikkan kondisi ekonomi secara signifikan, atau
kesehatannya tidak membaikkan hubungan sosialnya, dan/atau hubungan sosialnya
tidak/belum membaikkan kesehatannya. Hal-hal yang kurang umum seperti inilah yang tidak
dibahas (diasumsikan tidak terjadi pada model).
22
Informasi lebih jauh mengenai hal ini dapat dilihat di pustaka (Torres et al, 2021).
23
Aspek kedua dan ketiga secara konseptual juga akan terdampak sebagaimana telah
dibahas. Oleh sebab itu, aspek pertama juga dapat mewakili aspek kedua dan ketiga yang
tidak disebutkan meskipun kita belum mengetahui seberapa besar dampaknya pada aspek
kedua dan ketiga.
24
Memang masih ada potensi lain yang bisa menjadi ancaman bagi aspek pertama ini. Tetapi
pada tulisan ini fokus ada pada penyakit.
Halaman: 20 349
SARS, MERS, Covid-1925, TBC, Pneumonia, HIV/AIDs, Hepatitis, DBD, Disentri, Kolera,
Tipes, Malaria, Pes, Cacar, dan lain sejenisnya. Meskipun demikian, mengingat
potensinya yang juga bisa menyebar dan sangat merugikan, maka beberapa hal
(selain penyakit menular di atas) pun dapat ”dimodelkan” sebagai suatu ”penyakit
menular”; sebagai misal adalah data/informasi, ilmu, budaya, kebiasaan, keyakinan,
idiologi, barang & jasa, miras & narkoba, tikus, kelinci, nyamuk, lalat, dan lain
sejenisnya.
Daftar nama-nama penyakit menular yang (dapat) menimbulkan wabah di
Indonesia dapat dilihat pada pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1501/Menkes/Per/X/2010.
25
Covid-19, Corona Virus Disease 2019, ditetapkan sebagai jenis penyakit yang
menyebabkan darurat kesehatan masyarakat melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 11 tahun 2019 tengang “Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)”.
26
Penulis agak kesulitan dalam menemukan definisi yang jelas dan unik mengenai istilah-
istilah ini. Sebagai contoh, menurut penulis, beberapa definisi mengenai istilah-istilah ini
yang beredar di pustaka online (yang dibaca penulis) dan/atau juga yang telah dikutip dari
pustaka (Depkes, 2006) kurang jelas dan juga tidak clear dalam keunikannya; sebagian
perbedaan agak tersamar. Meskipun demikian, menurut penulis, keempat istilah itu pada
dasarnya adalah sama (penyakit menular yang berjangkit dengan cepat dan memakan
banyak korban di suatu luasan/area tertentu), perbedaannya hanyalah pada jangkauan
luasan wilayah sebarannya.
Halaman: 21 349
Berdasarkan keterangan di atas, pada dasarnya, keempat istilah tersebut masih
memiliki makna dasar yang kurang-lebih sama. Perbedaannya hanya terletak pada
cakupan wilayahnya saja27. Oleh sebab itu, nampaknya, penyebutan (baik secara
lisan maupun tulisan) istilah-istilah tersebut (yang terkadang) secara umum (sekedar
”wabah”) atau saling tertukar (oleh masyarakat) tidak berakibat fatal; meskipun
memang, kita perlu merujuk pada istilah yang tepat sesuai dengan epidemiologinya.
Tentu saja, di satu sisi, berdasarkan tingkatannya, suatu penyakit (beserta kondisi
penyebarannya pada saat itu) bisa saja dipandang memiliki karakteristik tertentu dan
boleh saja dianggap ”lebih berbahaya” dari pada yang lain.
Sebagai pembanding, kita juga bisa merujuk pada definisi ”wabah penyakit
menular” atau ”wabah” yang tertera pada pasal 1 Undang-Undang RI
Nomor 4 tahun 1984 tentang ”Wabah Penyakit Menular”. Pada pasal 4-nya,
dinyatakan bahwa ”Menteri menetapkan daerah tertentu dalam wilayah
Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah”. Pada pasal yang
sama juga dinyatakan bahwa Menteri pula yang berwenang untuk
mencabut status wabah suatu daerah.
27
Meskipun demikian, secara implisit, tingkatan-tingkatan ini bermakna pula pada jumlah
atau besar korbannya.
28
Data ini sudah tersebar di banyak media, salah satunya adalah pustaka (Kompas, 2020).
Pada kasus ini, di lain pihak, penulis menyebutnya sebagai “wabah penyakit” atau sekedar
“wabah”, tetapi dengan menyimak uraian sebelumnya, maka para pembaca bisa
memutuskan sendiri apakah fenomena yang dimaksud akan tergolong sebagai endemi,
wabah, epidemi, atau pandemi.
Halaman: 22 349
orang di seluruh dunia, termasuk orang-orang yang tinggal di pulau-pulau
sekitar Pasifik yang dianggap terpencil hingga ke Kutub Utara.
4) Di akhir 2019 (atau awal 2020), tersebarlah virus Corona (Covid-19) yang
dimulai dari kota Wuhan (China) hingga ke seluruh dunia. Karena wabah
ini banyak memakan korban, tersebar secara masif, dan bersifat global,
maka istilahnya pun berganti menjadi pandemi29. Hingga 5 April 2020
saja, telah tercatat 1,196,944 jiwa yang (pernah) terinfeksi (pernah
terkonfirmasi positif) di dunia. Meskipun demikian, dari jumlah tersebut,
246,110 jiwa telah dinyatakan sembuh dan 64,580 jiwa dinyatakan sudah
meninggal dunia. Adapun 10 negara yang memiliki catatan terbanyak
untuk kasus ini (pernah terkonfirmasi) hingga pada saat itu adalah
Amerika Serikat (305,820 jiwa), Spanyol (126,168), Italia (124,632),
Jerman (96,092), Perancis (89,953), China (81,639), Iran (55,743), Inggris
(41,903), Turki (23,934), dan Swis (20,505)30.
29
Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO (penjelasan peraturan pemerintah RI
nomor 21 tahun 2020).
30
Data selengkapnya untuk saat itu dapat dilihat pada pustaka (Kompas, 2020a), meskipun
demikian, data ini masih sangat berpotensi untuk berubah karena pada saat itu pun
pandeminya masih berlangsung.
Halaman: 23 349
5) Pananganan jenazah akibat wabah.
6) Penyuluhan kepada masyarakat.
7) Upaya penanggulangan lainnya yang mencakup meliburkan sekolah
dan menutup fasilitas umum untuk sementara waktu, melakukan
pengamatan secara intensif/surveilans selama KLB, dan melakukan
evaluasi terhadap upaya penanggulangan secara keseluruhan.
Sementata itu, pada lampiran (dokumen salinan) peratuan menteri ini, juga
dijelaskan bahwa pertimbangan epidemiologis yang dimaksud didasarkan pada data
epidemiologi yang sekurang-kurangnya mencakup:
1) Perkembangan penyakit (data kesakitan dan kematian) menurut
karakteristik epidemiologinya (waktu, tempat, dan orang).
2) Data & analisis kemungkinan terjadinya malapetaka, yaitu kemungkinan
terjadinya peningkatan jumlah penderita dan kematian yang lebih besar
serta perluasan penularan penyakit ke daerah/negara lain.
Sebagai tambahan, terutama sejak kemunculan wabah Covid-19, berikut ini adalah
sebagian dari aturan terkait dengan penanggulangan wabah:
a) Kepres RI nomor 11 tahun 2020 tentang ”penetapan kedaruratan
kesehatan masyarakat corona virus disease 2019”.
b) Surat edaran menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi
birokrasi nomor 19 tahun 2020 tentang ”penyesuaian sistem kerja
aparatur sipil negara dalam upaya pencegahan Covid-19 di lingkungan
instansi pemerintah”. Surat edaran ini dimaksudkan sebagai pedoman
bagi instansi pemerintah dalam melaksanakan tugas kedinasan dengan
kerja di rumah (work from home) bagi ASN sebagai upaya pencehagan
dan meminimalisir penyebaran Covid-19.
c) Surat edaran menteri pendayagunaan aparatur negara nomor 34 tahun
2020 (perubahan terhadap surat edaran menteri pendayagunaan
aparatur negara nomor 19 tahun 2020). Surat edaran ini secara umum
dimaksudkan untuk penyesuaian sistem kerja dan perpanjangan masa
pelaksanaan tugas kedinasan di rumah (WFH) bagi ASN.
d) Surat edaran menteri PUPR nomor 04/SE/M/2020 tentang ”penanganan
penyebaran corona virus disease 2019 di lingkungan kementerian
pekerjaan umum dan perumahan rakyat”. Surat edaran ini dimaksudkan
sebagai pedoman bagi organisasi dalam pencegahan & meminimalisir
penyebaran corona virus disease 2019 serta penanganannya di
lingkungan kementerian PUPR (plus panduan pelaksanaan bekerja di
rumah/WFH).
Selain itu, sebagai tambahan bagi pelaksanaan WFH, untuk mencegah dan
meminimalisir sebaran Covid-19, pemerintah telah mengubah istilah pembatasan
sosial (social distancing) menjadi menjaga jarak fisik (physical distancing) yang
bermakna bahwa kontak sesama manusia perlu diminimalisir dan jika pun terjadi
pertemuan yang sangat penting, masyarakat diminta untuk menjaga jarak sekitar 1
Halaman: 24 349
meter serta rajin membersihkan diri. Sehubungan dengan hal ini, maka berikut ini
adalah aturan-aturan terkait implementasi physical distancing:
a) Undang-undang RI nomor 6 tahun 2018 tentang ”Karantina Kesehatan”.
b) Peraturan Pemerintah RI nomor 21 tahun 2020 tentang ”pembatasan
sosial berskala besar (PSBB)31 dalam rangka percepatan penanganan
corona virus disease 2019”.
c) Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 9 tahun 2020 tentang ”pedoman
pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam rangka percepatan
penanganan corona virus disease 2019”.
d) Keputusan Menteri Kesehatan RI HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang
”panduan pencegahan dan pengendalian corona virus disease 2019
(Covid-19) di tempat kerja perkantoran dan industri dalam mendukung
keberlangsungan usaha pada situasi pendemi”.
Pada pasal 1 UU RI nomor 6 tahun 2018 dijelaskan pengertian mengenai isolasi,
PSBB, dan beberapa lingkup karantina; karantina rumah, karantina rumah sakit, dan
karantina wilayah. Sementara pada pasal 3-nya, telah dijelaskan tujuan karantina
kesehatan. Sedangkan apa saja aktivitas yang dilakukan pada karantina kesehatan
dapat dilihat pada pasal 15-nya.
Pada lampiran peraturan menteri kesehatan nomor 9 tahun 2020 di atas juga diatur
pelaksanaan PSBB. Jadi, PSBB dilakukan selama masa inkubasi (Covid-19) terpanjang;
14 hari. Tetapi jika masih terbukti adanya kasus baru, maka pelaksanaan ini masih
dapat diperpanjang 14 hari lagi sejak ditemukannya kasus yang terakhir. Adapun
implementasi PSBB yang dimaksud adalah: (1) peliburan sekolah, (2) peliburan
tempat kerja, (3) pembatasan kegiatan keagamaan, (4) pembatasan kegiatan di
tempat/fasilitas umum, (5) pembatasan kegiatan sosial dan budaya, (6) pembatasan
moda transportasi, dan (7) pembatasan kegiatan lainnya khusus yang terkait dengan
aspek pertahanan dan keamanan.
31
Maksud PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang
diduga terinfeksi corona virus disease 2019 untuk mencegah kemungkinan penyebaran lebih
lanjut virus tersebut (pasal 1). Dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan, pemerintah daerah dapat memberlakukan PSBB atau
pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk suatu provinsi atau kabupaten
/kota tertentu (pasal 2). PSBB tersebut harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis,
besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber-daya, teknis operasional, pertimbangan
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (pasal 2).
32
Perhatikan ayat 1 pasal 15 UU nomor 6 tahun 2018 tentang “Karantina Kesehatan”.
Halaman: 25 349
terinfeksi, sembuh, dan meninggal dunia) di setiap lokasi dan periode waktu33; (2)
aktivitas pengamatan penyakit dan faktor resiko kesehatan masyarakat terhadap alat
angkut, orang, barang, dan lingkungan34; dan (3) analisis35 mengenai kemungkinan
terjadinya peningkatan status/jumlah penderita dan korban kematian yang lebih
besar beserta perluasan area penularan penyakit.
Pemodelan biologi/epidemik beserta matematis yang diturunkan dan disimulasikan
dapat menggambarkan (prediksi) perkembangan penyakit untuk menunjukkan
kemungkinan kondisi epidemik yang sedang berjalan sekaligus membantu dalam
menginformasikan perlunya (dan akibat) intervensi bagi kesehatan masyarakat.
Model-model ini dikembangkan dengan asumsi-asumsi dasar masing-masing beserta
data statisik yang dikumpulkan untuk menemukan parameter yang ”pas” pada
kondisinya (karakteristik penyakit, sosial setempat, dan temporal). Jika dianggap baik
(representatif), maka model-model ini dapat digunakan untuk mengevaluasi sejauh
mana pengaruh tindakan-tindakan intervensi yang dipilih; jaga jarak fisik, peliburan
siswa/karyawan (work from home), pembatasan aktivitas sosial/keramaian
/peribadatan, PSBB, lockdown, penggunaan APD, belajar & bisnis secara online,
membiasakan pola hidup sehat, vaksinasi, pengobatan, rapid-test & swab-test atau
PCR (polymerase chain reaction) secara masal, dan lain sejenisnya.
Seperti telah disinggung, secara umum, model atau pemodelan sangat penting bagi
banyak bidang; termasuk biologi, epidemik, politik, sosial, budaya, dan sejenisnya.
Oleh sebab itu, sehubungan dengan manfaat umum model atau pemodelan, Samuel
P. Huntington36, seorang guru besar ilmu politik dari Universitas Harvard Amerika
Serikat, pada tahun 1996 mengatakan bahwa “kita memerlukan model-model baik
yang bersifat eksplisit maupun yang implisit agar dapat/untuk”:
a) Mengatur dan menggeneralisasikan suatu realitas (fenomena).
b) Memahami hubungan-hubungan kausal di antara berbagai fenomena.
c) Melakukan antisipasi dan, jika kita beruntung, melakukan prediksi terhadap
perkembangan-perkembangan yang terjadi di masa yang akan datang.
d) Memilah-milah mana yang penting dan yang tidak penting.
e) Menempuh jalan yang memungkinkan kita untuk mencapai tujuan kita.
Bagi pihak pengambil kebijakan (keputusan), pemodelan ini (matematis [diferensial
& integral] dan diagram sebab-akibat [causal loop diagram]), terutama jika modelnya
tepat/akurat, maka dapat membantu dalam: (1) memprediksikan perkembangan
harian sebaran penyakit dan kondisi umum kesehatan masyarakatnya; (2) memilih
bentuk intervensi mana saja yang dianggap paling efisien hingga akan diprioritaskan
uji-cobanya (dengan skenario dan strategi tertentu); (3) menghindari (tidak
memprioritaskan) intervensi yang paling beresiko (efek samping) tinggi (terutama
pada aspek ekonomi yang sebenarnya tidak kurang menyeramkan) [aspek strategi];
33
Perhatikan ayat 1 pasal 5 UU RI nomor 4 tahun 1984 dan ayat 2 pasal 13 Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1501 tahun 2010.
34
Ayat 1 pasal 15 UU RI nomor 6 tahun 2018 tentang “Karantina Kesehatan”.
35
Perhatikan halaman lampiran pada III. Pertimbangan Epidemiologis dan Keadaan
Masyarakat yang terdapat pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501 tahun 2010.
36
Dicuplik dari pustaka (Huntington S,P., 2012); buku terjemahan halaman 14 (bab 1).
Halaman: 26 349
dan (4) memprediksikan kapan saat yang tepat untuk melakukan ”tarik-ulur”37
(mengetatkan/melonggarkan) tindakan intervensi kesehatan masyarakat (kembali ke
kondisi normal) [aspek skenario dan strategi].
Kurang dari sebulan setelah organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkan status
pandemi Covid-19, lebih dari 100 negara telah mengetuk pintu dana moneter
internasional (IMF) untuk mengajukan permohonan hutang. Pendemi ini
menyebabkan pemerintah di sejumlah negara – termasuk negara yang dianggap
kaya38 – berlomba mencari hutang untuk menyelamatkan perekonomiannya39.
37
Untuk itu, pada masa pandemi ini, pada proses tarik-ulur keputusannya (pengetatan atau
pelonggaran), diperlukan kesepahaman bersama antara bidang/disiplin keilmuan dan
praktisi (terutama) kesehatan dan ekonomi.
38
Menurut pustaka (CNBC, 2020a): (1) hutang Arab Saudi diprediksikan membengkak
menjadi 941 miliar riyal (Rp. 3.533 triliun); (2) per Desember 2020 China memiliki hutang 5.5
triliun USD (Rp. 77 ribu triliun), China mungkin telah mengakumulasi 40 triliun yuan (5.8
triliun USD) hutang; (3) pada tahun 2020 pinjaman Amerika meningkat menjadi 27 triliun
USD (Rp. 381 ribu triliun). Jumlah hutang ini setara dengan jumlah pendapatan Amerika
tahunan hingga menjadikan rasio hutangnya di atas 100% dari PDB-nya; (4) di tahun 2020
Perancis menambah 258 milyar euro (Rp. 4.400 triliun) hutang tambahan hingga menjadikan
total hutangnya menjadi 2.6 triliun euro (Rp. 44 ribu triliun). Dengan hutang ini, maka rasio
hutang Perancis menjadi 98% dari PDB-nya; dan (5) Perlemen di Tokyo mengumumkan
stimulus percepatan penanggulangan pendemi Covid-19 senilai 117 triliun yen (Rp. 15 ribu
triliun). Akibatnya, rasio hutang negara ini diprediksikan menjadi hampir 250% dari PDB-nya.
39
Dicuplik dari pustaka (CNN, 2020b).
40
Uraian ini dicuplik dari pustaka (Liputan6, 2021).
Halaman: 27 349
BAB 2: MODEL-MODEL
BIOLOGI/EPIDEMIK
Bisa dibayangkan, sekumpulan populasi yang awalnya sehat kemudian terinfeksi dan
sakit karena tertular penyakit. Meskipun demikian, setelah beberapa saat berlalu,
mereka sembuh kembali (menjadi kebal) dengan sendirinya (atau meninggal dunia).
Pada kasus ini, setiap individu yang terinfeksi diasumsikan dapat menularkan kembali
penyakitnya kepada yang rentan karena kedekatannya secara fisik. Oleh sebab itu,
pada konteks biologi/epidemik, selama siklus wabahnya masih berlangsung, setiap
orang akan melewati sebagian atau seluruh “status” yang terdapat pada modelnya
(yang berpola dasar): (1) rentan (susceptible atau S), (2) terinfeksi (infected atau I),
dan (3) sembuh (recuperated, recovered, removed). Fenomena biologi-epidemik ini
tentu saja dapat (diasumsikan) didasarkan pada model tertentu; model-model
konseptual dan matematis yang perlu dipahami karena menjadi dasar pemikiran,
analisa, asumsi, implementasi, dan simulasi yang menyertainya.
Pola dasar status/kondisi tersebut terus berkembang sesuai dengan pendekatan dan
asumsi pembuat model berikut hasil pengamatan terhadap fenomenanya. Oleh
sebab itu, adalah tidak mengherankan jika akhirnya bermunculan model-model
biologi/epidemik beserta beberapa variannya. SI, SIS, SIR, SIRS, SIRD, SEIS, SEIR,
SEIRS, dan SEIRD adalah sebagian dari contoh model-model yang dimaksud.
Sehubungan dengan hal ini, maka tugas problem solver (terutama para biolog,
epidemiolog, dokter, matematikawan41, dan programmer) adalah mengumpulkan,
mengenali pola, menganalisis data, dan kemudian merancang dan memilih model
yang tepat; benar-benar mewakili fenomena epidemik yang dihadapinya. Jika tidak
puas dengan model-model yang ada, maka kembangkan model baru yang lebih
realistis dengan mendefinisikan variabel-variabel state-nya beserta beberapa
asumsinya yang masuk akal.
Untuk membuat model-model konseptual, matematis, prediksi, atau bahkan suatu
sistem dinamis yang dapat mendeskripsikan fenomena-fenomena biologi-epidemis,
tentu saja diperlukan variabel-variabel states yang mewakili kondisi epidemik yang
terjadi dan dapat diamati. Dalam kaitan ini, untungnya, status-status pada siklus
wabah di atas sudah merupakan variabel states. Oleh sebab itu, notasi-notasi berikut
adalah variabel-variabel state yang diperlukan oleh pemodelan sistem dinamis:
1) S(t), St, atau Sn adalah populasi pada saat t atau saat n (ke-t atau ke-n)
yang rentan terhadap (mudah/bisa tertular/terinfeksi) penyakit. Pada
41
Berdasarkan kehadiran buku-buku beserta karya tulis (terutama paper dan penelitian
tugas akhir) yang beredar, bidang-bidang matematika, biologi, epidemiologi, kedokteran,
dan komputasi (komputer atau informatika) sangat mendominasi pemikiran beserta
pembuatan model-model biologi/epidemiologi berikut simulasi-simulasinya.
Halaman: 28 349
model epidemik, biasanya, jumlah orang yang rentan tidak diukur atau
diperiksa (mengenai kerentanannya); tetapi diasumsikan. Jadi, sebagai
misal, jika studinya dilakukan di provinsi “X”, maka pada awalnya, seluruh
(dikurangi 1 yang terinfeksi primer) penduduknya diasumsikan rentan;
meskipun kondisi sebenarnya tidak demikian.
2) E(t), Et, atau En adalah populasi pada saat t atau n (ke-t atau ke-n) yang
mengalami pra-infeksi, sedang mengalami masa inkubasi, atau memang
sudah tertular penyakitnya tetapi belum bisa menularkan penyakitnya
kepada yang lain. Jika pada modelnya diasumsikan ada, maka biasanya,
diberi nilai awal=1.
3) I(t), It, atau In adalah populasi pada saat t atau n (ke-t atau ke-n) yang
telah terinfeksi (menderita penyakit) dan sudah dapat menularkan
penyakit. Pada umumnya diberi nilai awal=1.
4) R(t), Rt, atau Rn adalah populasi pada saat t atau n (ke-t atau ke-n) yang
sudah sembuh (dan kebal). Pada umumnya diberi nilai awal=0.
5) D(t), Dt, atau Dn adalah populasi yang mati (karena penyakit yang
bersangkutan) pada saat t (ke n). Pada umumnya diberi nilai awal=0.
Model epidemik memiliki beberapa asumsi dasar: (1) total populasi (N)
konstan; (2) ukuran populasi (N) cukup besar hingga kesalahan pendekatan
1/(N-1) oleh 1/N tidak besar (dalam persen [%], kesalahan ini 100/N, jadi
untuk populasi=10,000 kesalahannya sekitar 0.01%)42; (3) pada umumnya
berlaku: S(0)≈N, I(0)=N-S(0), dan R(0)=0; (4) model tidak memperhatikan
sebarannya secara spasial; (5) pencampuran populasi bersifat homogen43
(individu berinteraksi secara merata [kesempatan yang sama] dan acak
hingga penyakitnya menyebar melalui interaksi pasangan individu); (6)
kecepatan interaksi di dalam populasinya konstan; nilai-nilai parameter α, β
konstan; (7) modelnya deterministik44; (8) hanya ada 1 penyakit (varian?)
yang menyebar (menjadi perhatian), dan (9) kematian yang disebabkan
oleh selain penyakit yang bersangkutan (infeksi) dianggap sebagai kematian
alami (umum).
42
Beberapa pustaka menyebutkan bahwa model deterministik dianggap valid jika
populasinya cukup besar.
43
Setiap individu memiliki kemungkinan (probabilitas) yang sama untuk terserang penyakit.
Kalau pun ada struktur di dalam komunitasnya, struktur tersebut sama sekali tidak
berpengaruh pada pola interaksi dan probabilitas terinfeksinya setiap individu. Jadi,
serangan penyakitnya ditujukan kepada siapa saja tanpa pola atau struktur (kelompok usia,
jenis kelamin, ras/suku, status sosial, dan lain sejenisnya) tertentu seperti halnya penularan
yang khas dari seorang ibu (orang tua) secara vertikal kepada anak-anaknya atau secara
horizontal dari wanita kepada pria (dan sebaliknya dari pria ke wanita) dewasa (terutama
yang berkaitan dengan penyakit kelamin).
44
Pada modelnya (terutama model matematisnya), variabel-variabelnya (gejala atau
fenomenanya) dapat diukur dengan derajat yang tinggi hingga sisanya dapat diprediksi
dengan baik; tidak ada ketidak-pastian (tanpa probabilitas atau bukan stokastik). Penjelasan
tambahan mengenai deterministik juga dapat dilihat pada awal bab “Model SIR Stokastik”.
Halaman: 29 349
Karena sebab-sebab pemahaman dan/atau asumsi yang tidak sama,
seringnya hasil pengamatan atas suatu fenomena bersifat parsial (tidak
utuh), lokal (tidak berlaku di lain tempat), dan temporal (terkadang tidak
berlaku di lain waktu), plus juga hasil pengamatan juga mengandung bias,
maka tidak mengherankan jika akhirnya terdapat lebih dari satu model
yang dianggap mampu ”mewakili” suatu fenomena. Proses pemodelan, di
lain pihak, memang cenderung bersifat iteratif (tidak sekali jadi).
2.1 Model SI
Model SI (susceptible-Infected) merupakan model epidemik yang paling sederhana.
Model yang sebenarnya agak jarang ditemui di kehidupan nyata ini memisahkan
status populasi menjadi dua kelompok saja; rentan (S) dan terinfeksi (I). Begitu
kelompok populasi yang rentan mulai terinfeksi (sekunder), maka individu-individu
yang bersangkutan segera menjadi anggota kelompok yang terinfeksi (sekunder);
meningkatkan jumlah populasi yang terinfeksi (sekunder) sekaligus mengurangi
jumlah populasi yang rentan. Pada model ini, diasumsikan45 bahwa:
1) Laju (rate) kelompok populasi yang rentan menjadi kelompok yang terinfeksi
sebanding (proporsional) dengan kontak antara individu-individu yang rentan
dengan yang terinfeksi. Konsekuensinya, laju individu yang terinfeksi menjadi
αSI (α kali S kali I).
2) Setiap individu pada awalnya rentan. Setelah terinfeksi/tertular penyakit,
pada model ini, maka yang bersangkutan tetap akan terinfeksi, dan dapat
menularkan penyakitnya sepanjang hidupnya karena mereka tetap bergaul
dengan populasi yang masih rentan. Pada akhirnya, semuanya akan menjadi
terinfeksi.
3) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan46.
45
Perlu diperhatikan bahwa semua asumsi yang dibuat akan mempengaruhi properties
modelnya; termasuk rumusan matematisnya. Sebab, asumsi yang dibentuk adalah bagian
dari definisi model itu sendiri. Oleh sebab itu, asumsinya harus jelas. Hal ini yang perlu
disadari sejak awal sebelum beranjak pada model-model yang lain pada buku ini.
46
Tidak ada perpindahan penduduk dan angka kelahiran dan kematian secara umum
dianggap sama besarnya. Tidak ada dinamika (perubahan) jumlah populasi.
Halaman: 30 349
dS dI
a) S + I = N , atau S = N − I , dan + =0
dt dt
dS αSI dI αSI αSI αSI
b) =− , =+ , dS = − dt , dI = dt
dt N dt N N N
1 αI 1 αS
c) ∫ S dS = −∫ N dt , ∫ I dI = + ∫ N dt , solusi persamaan diferensial.
αI∆t αS∆t
d) Ln( S ) = − + C1 , Ln ( I ) = + C 2 , solusi persamaan diferensial.
N N
αI∆t αS∆t αI∆t αS∆t
− −
e) S = e N
.e C1 , I = e N
.e C2 , atau S = K1e N
, I = K 2e N
αI o ∆t αSo ∆t
−
f) S (t o ) = S o , I (t o ) = I o , S = S o .e N
, I = I o .e N
αS t I t αS t I t
g) S t +1 = S t − ∆t , dan I t +1 = I t + ∆t
N N
αI t αS t
h) S t +1 = S t (1 − ∆t ) , dan I t +1 = I t (1 + ∆t )
N N
i) N adalah jumlah total populasi (baik yang rentan maupun yang terinfeksi);
satuannya adalah individu, orang, atau jiwa.
j) α adalah konstanta (probabilitas) laju infeksi atau penularan (baru/sekunder)
per-waktu, probabilitas laju kontak penularan (baru) penyakit per-waktu,
atau nilai rata-rata (probabilitas) laju kontak dengan individu yang telah
terinfeksi per-waktu; pada kondisi kontak sosial apa adanya di suatu area dan
kurun waktu tertentu. Satuan α adalah 1-per-satuan-waktu; sebagai misal
0.25/hari (proses penularan lebih lambat) atau 0.67/hari (proses penularan
lebih cepat). Oleh sebab itu, α.dt adalah nilai probabilitas orang yang rentan
menjadi terinfeksi selama selang waktu dt.
k) T=1/α, waktu (rata-rata) yang diperlukan untuk menyebarkan penyakit
(melalui kontak).
l) dt atau ∆t selang waktu; satuan waktu (kebanyakan dalam hari).
47
Pada persamaan ini terdapat faktor pembagi N; dibagi dengan jumlah total individu. Itu
disebabkan karena variabel S dan I-nya sudah dinyatakan dalam satuan individu (orang atau
jiwa).
Halaman: 31 349
menjadi rentan kembali (S). Oleh sebab itu, sebagian orang menyebut model ini
berisi aspek delay waktu, mutasi, atau evolusi (berevolusi untuk menjadi rentan
kembali). Akibatnya, suatu saat, jumlah-jumlah individu yang rentan dan terinfeksi
menjadi konstan (perhatikan gambar 3.5) atau menjadi endemik (penyakitnya akan
selalu ada atau tinggal di kelompok populasi yang bersangkutan, terlepas dari berapa
jumlah individu yang mengidapnya).
Pada umumnya, pada model SIS diasumsikan bahwa48:
1) Laju populasi yang terinfeksi sebanding dengan kontak antara individu-
individu yang rentan dengan yang terinfeksi. Konsekuensinya, laju populasi
yang terinfeksi menjadi αSI (α kali S kali I).
2) Seiring dengan waktu, sebagian dari yang terinfeksi itu menjadi rentan
kembali; (S). Konsekuensinya, laju populasi yang menjadi rentan adalah βI (β
kali I).
3) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan.
48
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
untuk model SI di atas.
Halaman: 32 349
g) β adalah konstanta (probabilitas) laju ”penyembuhan” populasi yang
terinfeksi menjadi rentan kembali per-satuan waktu, atau koefisien
probabilitas kecepatan populasi yang terinfeksi menjadi rentan kembali (SIS)
atau sembuh (SIR) per-satuan waktu; pada kondisi apa adanya di suatu area
dan kurun waktu tertentu. Satuan β adalah 1-per-satuan-waktu; contoh, 1/14
hari (penyembuhan lebih lambat) dan 0.33/hari (penyembuhan lebih cepat).
Oleh sebab itu, β.dt adalah probabilitas jumlah orang yang terinfeksi menjadi
rentan atau sembuh kembali selama selang waktu dt.
49
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
untuk model SI di atas.
Halaman: 33 349
Berdasarkan beberapa asumsi di atas, pada model epidemik SIR dapat dituliskan
beberapa bentuk persamaan seperti berikut50:
dS αSI dI αSI dR
a) =− , = − βI , dan = βI
dt N dt N dt
dS dI dR αSI αSI
b) + + = (− )+( − β I ) + ( β I ) = 0 , maknanya secara umum
dt dt dt N N
adalah tidak ada perubahan (pertambahan atau pengurangan) dari populasi
totalnya (N), apalagi terdapat asumsi bahwa lamanya simulasi relatif singkat,
dan memang sering ditegaskan bahwa S + I + R = N berlaku untuk model-
model deterministik. Oleh sebab itu, beberapa pihak tidak menyertakan
persamaan yang ketiga (R) karena bisa diturunkan dari dua persamaan yang
pertama: R=N-S-I.
αSI αSI
c) dS = − dt , dI = ( − βI )dt , dan dR = βI .dt
N N
αS t I t αS t I t
d) S t +1 = S t − ∆t , I t +1 = I t + ( − β I t )∆t , dan Rt +1 = Rt + βI t ∆t
N N
αI t αS t
e) S t +1 = S t (1 − ∆t ) , I t +1 = I t (1 + ( − β )∆t ) , dan Rt +1 = Rt + β I t ∆t
N N
f) N adalah jumlah total populasi (baik yang rentan, terinfeksi, maupun yang
kebal); satuannya adalah individu, orang, atau jiwa.
g) Keterangan mengenai α dapat dilihat pada model SI di atas.
h) β adalah konstanta (probabilitas) laju proses ”penyembuhan” dari (kelompok
populasi) yang terinfeksi menjadi (kelompok populasi yang) sembuh51
(recovered) dan mati (dead) per-satuan waktu; pada kondisi apa adanya di
suatu area dan kurun waktu tertentu. Satuan β adalah 1-per-satuan-waktu;
sebagai misal 1/14 hari (proses penyembuhan lebih lambat) atau 0.33/hari
(proses penyembuhan lebih cepat). Oleh sebab itu, β.dt adalah nilai
probabilitas proses kesembuhan (dari yang terinfeksi) selama selang waktu
dt. Nilai β secara alami akan bergantung dari beberapa hal, di antaranya
adalah faktor penyakit itu sendiri (patogen) dan rata-rata daya tahan tubuh
individunya.
i) Ta = 1/α, waktu (rata-rata) yang diperlukan untuk menyebarkan penyakit.
50
Pada persamaan ini terdapat faktor pembagi N; dibagi dengan jumlah total individu. Itu
disebabkan karena variabel S dan I-nya sudah dinyatakan dalam satuan individu (orang atau
jiwa).
51
Pada umumnya, pada model epidemik SIR, kelas atau kelompok yang “sembuh” atau “R”
(recovered) itu sudah mencakup individu-individu yang benar-benar sembuh betulan dan
yang sudah mati (meninggal dunia) karena penyakit yang bersangkutan. Kelompok individu
yang mati jarang disebutkan secara eksplisit (tersendiri) kecuali pada model epidemik
turunan SIR yaitu SIRD dan SEIRD yang jelas-jelas mengelompokkan individu-individu yang
mati ke dalam kelas atau kelompok tersendiri. Jadi, individu-individu pada kelas “R” model
SIR belum tentu masih hidup, tetapi yang jelas mereka sudah tidak lagi rentan dan juga tidak
terinfeksi.
Halaman: 34 349
j) Tb = 1/β, waktu (rata-rata) yang diperlukan untuk menyembuhkan penyakit.
Sebagai catatan, fenomena penyakit cacar (salah satu penyakit menular di
wilayah tropis) pada umumnya (disebutkan) berpola model SIR; setelah
sembuh, yang bersangkutan cenderung menjadi kebal permanen.
Jika juga diinginkan relasi matematis antara variabel I dan S, maka hal itu dapat
diturunkan dengan cara seperti berikut:
dI dI / dt αSI / N − βI βN
a) = = = −1 +
dS dS / dt − αSI / N αS
βN βN
b) dI = ( − 1)dS , jika diintegralkan I (S ) = Ln ( S ) − S + C
αS α
βN
c) I (0) = I o = Ln(0) − 0 + C ==> C = I o
α
Dengan memperhatikan bahasan sub-bab 5.3.2 di bawah (dimana untuk model SIR
didapatkan Ro = α / β ) dan juga bab 3 di bawah yang memberikan nilai awal bagi I
(Io) adalah 1 (satu), maka persamaan b) di atas menjadi seperti berikut:
N N
d) I = I o + Ln ( S ) − S ==> I ( S ) = 1 + Ln ( S ) − S
Ro Ro
Seperti nampak pada lampiran I, contoh baris-baris kode yang menggunakan fungsi
(Octave) ”LSode” dan fungsi diferensialnya (laju atau xdot) dinyatakan di dalam
fungsi tersendiri yabf mengindikasikan bahwa solusinya persamaan diferensial
biasanya (ordinary differential equations/ODE) akan diselesaikan dengan secara
kontinyu. Artinya, model epidemiknya, untuk membuat solusinya, pada saat itu
dianggap sebagai fungsi kontinyu. Dengan kekontinyuan ini, maka nilai fungsinya
akan ada di semua titik waktu.
Halaman: 35 349
Sebagai misal, t=linspace(0,50,100) yang berarti bahwa vektor waktunya akan
dimulai dari 0 dan maksimum 50 dengan jumlah titik sampel 100. hasilnya, nilai
elemen vektor waktunya bertipe bilangan nyata; termasuk pecahan. Sebaliknya,
untuk versi diskritnya, pada umumnya tanpa pendefinisian jumlah titik sampel, t =
linspace (0, 50), untuk menghasilkan titik-titik waktu yang berupa bilangan bulat.
Dari sisi pemrograman (coding) dan pemahaman terhadap algoritmanya, tentu saja
lebih mudah cara yang diskrit. Tetapi penggunaan model diskrit pada kasus-kasus
seperti ini, terkadang, beresiko kehilangan akurasi waktu dalam menentukan kapan
suatu event sebenarnya terjadi. Sebagai misal, berdasarkan grafik hasil baris-baris
kode yang menggunakan persamaan diferensial biasa (kontinyu), diketahui bahwa
antara hari ke 11 dan 12 terjadi titik potong antara jumlah kelompok populasi yang
rentan dengan yang terinfeksi; di sekitar 44 jiwa. Tetapi berdasarkan angka-
angkanya, jika dicetak, maka diketahui bahwa event jumlah populasi yang rentan
tepat sama dengan jumlah populasi yang terinfeksi terjadi pada hari ke 11.11; yaitu
44 jiwa (perhatikan gambar 2.3a). Sedangkan hasil baris-baris kode yang
mengimplementasikan model diskrit akan menampilkan hasil yang kurang lebih sama
pada grafiknya. Hanya saja, pada angka-angka yang tercetaknya (meskipun juga tidak
sama persis), tidak diketahui kapan tepatnya event jumlah populasi yang rentan
sama dengan yang terinfeksi. Yang diketahui adalah bahwa pada hari ke-11, yang
rentan 50 dan yang terinfeksi 41 jiwa, sedangkan pada hari ke-12 yang rentan 39 dan
yang terinfeksi 48 jiwa. Dengan demikian, pada hasil diskrit ini memang diketahui
bahwa event yang dimaksud terjadi di antara hari ke 11 dan 12, tetapi kapan
tepatnya tidak diketahui, demikian pula dengan berapa jumlah masing-masing
kelompok populasinya pada saat itu (juga tidak diketahui). Perhatikan gambar 2.3b.
Halaman: 36 349
Gambar 2.3b: Hasil Diskrit
52
Karena, sebagai suatu contoh, virus atau penyakitnya “berkembang” sedemikian rupa
hingga sebagian dari kekebalan atau imunitas manusianya menjadi berkurang. Pada konteks
ini pula sering dikaitkan dengan delay waktu (model epidemik yang berisi aspek delay),
karena mutasi beserta efek berkurangnya kekebalan ini sebenarnya juga memerlukan waktu
atau delay tertentu. Hanya saja, pada model SIRS ini, tidak aspek delay (T) belum
dimasukkan secara eksplisit ke dalam model matematisnya (persamaan diferensial delay).
Halaman: 37 349
Siklus model epidemik ini sesuai dengan beberapa fenomena penyakit seperti halnya
(virus) flue, batuk, pilek, influenza, dan lain sejenisnya; setelah sembuh, suatu saat
bisa kena kembali. Pada model ini, diasumsikan bahwa53:
1) Laju populasi yang terinfeksi sebanding dengan kontak antara individu-
individu yang rentan dengan yang terinfeksi. Konsekuensinya, laju individu
yang terinfeksi menjadi αSI (α kali S kali I).
2) Seiring dengan berjalannya waktu, sebagian dari populasi yang terinfeksi (I)
akan menjadi sembuh. Konsekuensinya, laju populasi yang sembuh menjadi
βI (β kali I).
3) Dengan berjalannya waktu, sebagian dari yang sembuh menjadi rentan
kembali. Konsekuensinya, laju populasi yang rentan kembali menjadi φ (φ
kali R).
4) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan.
53
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
untuk model SI di atas.
Halaman: 38 349
αS t I t
e) I t +1 = I t + ( − β I t ) ∆t
N
f) Rt +1 = Rt + ( β I t − φRt )∆t
g) Keterangan mengenai α dapat dilihat pada model SI.
h) Keterangan mengenai β dapat dilihat pada model SIR.
i) φ adalah koefisien/konstanta (probabilitas) laju (kelompok populasi) yang
sembuh menjadi (kelompok populasi) yang rentan kembali per-satuan waktu;
satuannya 1 per-satuan waktu (1/hari, 0.25 per-hari, dsb.). φ.dt adalah
probabilitas proses kerentanan kembali dari yang sembuh selama selang
waktu dt.
Sebagai catatan, fenomena-fenomena penyakit TBC, demam berdarah, dan
malaria (beberapa contoh penyakit menular di area tropis) pada umumnya
berpola model SIRS; setelah (pernah) sembuh dari penyakitnya, yang
bersangkutan masih beresiko (rentan) terinfeksi kembali (sembuh tetapi
tidak benar-benar menjadi kebal).
54
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
pada model SI di atas.
Halaman: 39 349
Gambar 2.5: Model Susceptible-Infected-Recovered-Dead
Berdasarkan beberapa asumsi di atas, maka pada model epidemik SIRD dapat
dituliskan beberapa bentuk persamaan seperti berikut:
dS dI dR dD
a) S + I + R + D = N , dan + + + =0
dt dt dt dt
dS αSI dI αSI dR dD
b) =− , = − βI − δI , = βI , dan = δI
dt N dt N dt dt
αSI αSI
c) dS = − dt , dI = ( − βI − δI ).dt , dR = β I .dt , dan dD = δI .dt
N N
αS t I t αS t I t
d) S t +1 = S t − .∆t , I t +1 = I t + ( − β I t − δI t )∆t
N N
e) Rt +1 = Rt + βI t .∆t , Dt +1 = Dt + δI t .∆t
f) Keterangan mengenai α dapat dilihat pada model SI.
g) Keterangan mengenai β dapat dilihat pada model SIR.
h) δ adalah koefisien/konstanta (probabilitas) laju proses (kelompok populasi)
yang terinfeksi menjadi (kelompok populasi) yang mati (meninggal dunia);
satuannya 1 per-satuan waktu (1/hari, 0.2 per-hari, dan lain sejenisnya).
Dengan demikian, δ.dt adalah nilai probabilitas laju kematian (dari yang
terinfeksi) selama selang waktu dt.
Halaman: 40 349
Pada model ini, populasi yang rentan akan terlebih dahulu mengalami masa inkubasi
(setelah terpapar) selama beberapa saat. Pada kondisi ini (inkubasi/exposed), yang
bersangkutan masih belum mampu menularkan penyakitnya pada siapa pun. Tetapi
setelah masa inkubasinya berlalu, yang terpapar dapat menularkan penyakitnya, dan
oleh karena satu dan lain hal, pada akhirnya yang bersangkutan bisa ”sembuh
sementara” dalam pengertian menjadi rentan kembali.
Untuk mengumpulkan sampel datanya, pengamat fenomena epidemik
model SEIS (berikut model lain yang berisi state ”E”) perlu memiliki alat,
atau cara/metode/prosedur yang mampu memisahkan (menentukan)
kapan saatnya seseorang (individu) berstatus ”E” dan kapan pula saatnya
ia berstatus ”I”. Jika tidak, kemungkinan besar, ia melakukan ”pukul-
rata”, atau menggunakan asumsi tertentu untuk memisahkan kedua state
ini.
Kejadian menjadi rentan kembalinya (evolusi) sebagian individu, pada akhirnya, akan
menyebabkan penyakitnya cenderung bersifat endemik. Artinya, secara konseptual,
penyakit yang berpola model ini akan selalu hadir (konstan) di sekitar tempat tinggal
populasinya (ada saja yang kena dalam jumlah tertentu). Hal ini dapat dilihat,
sebagai contoh (perhatikan gambar 3.13), pada kurva-kurvanya yang pada suatu saat
menjadi konstan (garis lurus horizontal).
Pada model ini, diasumsikan bahwa55:
1) Laju populasi yang rentan hingga mengalami inkubasi sebanding dengan
kontak antara individu-individu yang rentan dengan yang terinfeksi; αSI (α
kali S kali I).
2) Laju populasi yang terinfeksi dari populasi yang mengalami inkubasi
sebanding dengan populasi yang mengalami inkubasi; KE (K kali E).
3) Laju populasi yang terinfeksi menjadi rentan kembali sebanding dengan
populasi yang terinfeksi β (β kali I).
4) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan.
55
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
pada model SI di atas.
Halaman: 41 349
Berdasarkan beberapa asumsi di atas, maka pada model epidemik SEIS dapat
dituliskan beberapa bentuk persamaan seperti berikut:
dS dE dI
a) S + E + I = N , dan + + =0
dt dt dt
dS αSI dE αSI dI
b) =− + βI , = − KE , dan = KE − β I
dt N dt N dt
αSI αSI
c) dS = (− + βI ).dt , dE = ( − KE ).dt , dI = KE .dt
N N
αS t I t αS t I t
d) S t +1 = S t + (− + β I t ).∆t , Et +1 = Et + ( − KEt )∆t
N N
e) I t +1 = I t + ( KE − β I t ).∆t
f) Pada model ini, α adalah probabilitas laju yang rentan (S) menjadi (kelompok
populasi) yang terekspos (E) per-satuan waktu; satuannya adalah konstanta
per-waktu (misalnya 0.3 per-hari). Dengan demikian, α.dt adalah probabilitas
yang rentan menjadi terekspos selama selang waktu dt.
g) Pada model ini, keterangan mengenai β dapat dilihat pada model SIS.
h) K adalah koefisien/konstanta (probabilitas) laju (kelompok populasi) yang
mengalami inkubasi (terekspos) menjadi (kelompok populasi) terinfeksi per-
satuan waktu; satuannya adalah 1 per-satuan waktu (1/hari, 0.25 per-hari,
dan lain sejenisnya). Dengan demikian, K.dt adalah nilai probabilitas yang
terekspos menjadi terinfeksi selama selang waktu dt.
Seperti nampak pada model epidemik yang menyertakan exposed &
infected), kita boleh saja memodelkan kondisi individu-individu yang
berpenyakit dalam beberapa terminologi status. Misalnya, infected saja (1
status), atau memisahkannya menjadi dua status (state); exposed (E) dan
infected (I). Pilihan ini bergantung pada kemampuan, cara, metode, dan
/atau asumsi yang bersangkutan dalam mengidentifikasi dan mengamati
(sampel data) jumlah-jumlah berikut perkembangannya dari waktu-ke-
waktu. Sebagai pembanding, di lain pihak, Murti (1997) telah menjabarkan
riwayat alamiah penyakit menjadi 4 fase; rentan, presimtomatik, klinik, dan
terminal. Oleh sebab itu, ke-4 fase ini pun bisa dilibatkan di dalam model
epidemik sebagai status.
Halaman: 42 349
menularkan penyakitnya. Setelah masa inkubasi berlalu, mereka yang terinfeksi
sudah mampu menularkan penyakitnya (infected) kepada orang lain, dan kemudian
dapat disembuhkan hingga menjadi sembuh (dalam pengertian kebal). Pada model
ini, diasumsikan bahwa56:
1) Laju populasi yang rentan hingga mengalami inkubasi sebanding dengan
kontak antara individu-individu yang rentan dengan yang terinfeksi; αSI (α
kali S kali I).
2) Laju populasi yang menjadi terinfeksi dari populasi yang mengalami inkubasi
sebanding dengan populasi yang mengalami inkubasi; KE (K kali E).
3) Laju populasi yang terinfeksi menjadi sembuh sebanding dengan populasi
yang terinfeksi β (β kali I).
4) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan.
56
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
pada model SI di atas.
Halaman: 43 349
f) Keterangan mengenai α dapat dilihat pada model SI.
g) Keterangan mengenai β dapat dilihat pada model SIR.
h) Keterangan mengenai K dapat dilihat pada model SEIS.
57
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
pada model SI di atas.
Halaman: 44 349
Berdasarkan beberapa asumsi di atas, maka pada model epidemik SEIRS dapat
dituliskan beberapa bentuk persamaan seperti berikut:
dS dE dI dR
a) S + E + I + R = N , dan + + + =0
dt dt dt dt
dS αSI dE αSI dI dR
b) =− + φR , = − KE , = KE − βI , dan = βI − φR
dt N dt N dt dt
αSI αSI
c) dS = (φR − )dt , dE = ( − KE )dt , dI = ( KE − βI ) dt , dR = ( βI − φR).dt
N N
αS t I t αS t I t
d) S t +1 = S t + (φRt − )∆t , Et +1 = Et + ( − KEt )∆t
N N
e) I t +1 = I t + ( KEt − βI t ) ∆t , Rt +1 = Rt + ( βI t − φR) ∆t
f) Keterangan mengenai α dapat dilihat pada model SI.
g) Keterangan mengenai β dapat dilihat pada model SIR.
h) Keterangan mengenai φ dapat dilihat pada model SIRS.
i) Keterangan mengenai K dapat dilihat pada model SEIS & SEIR.
58
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
pada model SI di atas.
Halaman: 45 349
Gambar 2.9: Model Susceptible-Exposed-Infected-Recovered-Dead
Berdasarkan beberapa asumsi di atas, maka pada model epidemik SEIRD dapat
dituliskan beberapa bentuk persamaan seperti berikut:
dS dE dI dR dD
a) S + E + I + R + D = N , dan + + + + =0
dt dt dt dt dt
dS αSI dE αSI dI
b) =− , =( − KE ) , = ( KE − βI − δI )
dt N dt N dt
dR dD
c) = βI , dan = δI
dt dt
αSI αSI
d) dS = − dt , dE = ( − KE ).dt , dI = ( KE − βI − δI ).dt
N N
e) dR = βI .dt , dan dD = δI .dt
αS t I t αS t I t
f) S t +1 = S t − .∆t , Et +1 = Et + ( − KEt )∆t
N N
g) I t +1 = I t + ( KEt − β I t − δI )∆t , Rt +1 = Rt + βI t .∆t , Dt +1 = Dt + δI t .∆t
h) Keterangan mengenai α dapat dilihat pada model SI.
i) Keterangan mengenai β dapat dilihat pada model SIR.
j) Keterangan mengenai K dapat dilihat pada model SEIS & SEIR.
k) Keterangan mengenai δ dapat dilihat pada model SIRD.
59
Dalam beberapa literatur, faktor-faktor kelahiran dan kematian (demografi) sering disebut
sebagai faktor dinamika vital.
Halaman: 46 349
diabaikan (dianggap 0 karena angka-angka kelahiran dan kematian dianggap sama
besarnya hingga saling meniadakan). Untuk itu, agar lebih memahami hal ini, maka
diperlukan beberapa asumsi seperti contoh berikut:
a) Angka kelahiran dan kematian dinyatakan dalam satuan yang sama dalam
satuan waktu simulasi. Sebagai contoh60, jika angka-angka kelahirannya (L)
dan kematiannya (M) berturut-turut adalah 2.5% dan 0.625% per-tahun,
maka nilai-nilai tersebut ekivalen dengan 0.0000685 per-hari (0.025/365) dan
0.0000171 per-hari (0.00625/365).
b) Angka kelahiran (L) & kematian (M) diasumsikan tetap pada masa simulasi;
kebanyakan dianggap sama besar hingga akhirnya sering diabaikan (hingga N
menjadi konstan).
c) Perubahan populasi karena faktor kelahiran per-harinya sebanding dengan
total populasi (N); +L*N. Perubahan ini, biasanya (bergantung pada
modelnya), hanya akan mempengaruhi populasi yang rentan (S); bayi lahir
sehat tapi rentan.
d) Perubahan populasi karena faktor kematian per-harinya terjadi pada setiap
kelompok epidemik, dan perubahan-perubahan itu sebanding dengan setiap
jumlah populasinya; -M*S (rentan), -M*I (terinfeksi), dan –M*R (sembuh).
60
Sebagai alternatif, pembaca dapat menggunakan angka-angka kelahiran dan kematian
yang sama besar (hingga jumlah total populasinya tetap di sepanjang waktu) sebagaimana
telah sering diasumsikan oleh kebanyakan model; tidak seperti contoh ini yang secara
teoritis memungkinkan perubahan jumlah total populasi meskipun sedikit/kecil. Perbedaan
asumsi ini memungkinkan hasil-hasil yang berbeda pula.
Halaman: 47 349
αS t I t
c) I t +1 = I t + ( − βI t − MI t )∆t
N
d) Rt +1 = Rt + ( βI t − MR)∆t
Tetapi jika perancang modelnya mengasumsikan bahwa dinamikanya juga secara
khusus dipengaruhi oleh faktor kematian karena (wabah) panyakitnya (patogen)61
bagi populasi yang terinfeksi, maka persamaan yang terinfeksi menjadi seperti
berikut (S dan R sama dengan sebelumnya):
dI αSI αS I
a) = − βI − MI − δI , I t +1 = I t + ( t t − βI t − MI t − δI t )∆t
dt N N
b) Dimana δ (dengan satuan konstanta per-hari atau per-satuan waktu) adalah
koefisien laju kematian karena wabah penyakitnya (patogen).
c) Secara umum, dengan asumsi ini, pada dasarnya, model ini menjadi mirip
dengan SIRD (sub-bab 2.5 di atas), hanya saja, individu-individu yang mati
karena penyakitnya tidak dijadikan sebagai kelompok populasi tersendiri.
61
Bukan hanya karena faktor-faktor kelahiran dan kematian secara umum.
62
Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada pustaka (Wikipedia, 2020a).
Halaman: 48 349
4) Perubahan Laju populasi yang rentan (S) hingga mengalami inkubasi (E)
sebanding dengan kontak antara individu-individu yang rentan (S) dengan
yang terinfeksi (I); αSI (α kali S kali I).
5) Perubahan populasi yang terinfeksi setelah mengalami inkubasi sebanding
dengan populasi yang mengalami inkubasi; KE (K kali E).
6) Perubahan populasi yang terinfeksi (I) menjadi sembuh (R) sebanding dengan
populasi yang terinfeksi (β kali I).
7) Jumlah penduduk (N) tetap sepanjang waktu: N=M+S+E+I+R = konstan, tidak
ada pertumbuhan populasi yang signifikan (perubahan karena faktor-faktor
kelahiran dan kematian dianggap sama besar, perpindahan penduduk
dianggap nol, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari pada usia
rata-rata populasi yang ada).
Berdasarkan beberapa asumsi di atas, maka pada model epidemik MSEIR dapat
dituliskan beberapa bentuk persamaan seperti berikut:
dM dS dE dI dR
a) M + S + E + I + R = N dan + + + + =0
dt dt dt dt dt
dM dS αSI
b) = L( N − S ) − µM − eM , = LS + eM − µS −
dt dt N
dE αSI dI dR
c) = − KE − µE , = KE − βI − µI , = βI − µR
dt N dt dt
Halaman: 49 349
2.12 Model MSEIRS
Model MSEIRS merupakan MSEIR plus ”S”; jadi asumsi tambahannya adalah, setelah
sembuh (R) dari penyakit, maka yang bersangkutan bisa menjadi rentan (S) kembali.
Dengan demikian, pada akhirnya, penyakit yang perpola epidemik seperti ini
cenderung akan bersifat endemik; akan selalu hadir di kelompok populasi yang
bersangkutan. Indikasinya akan terlihat jelas dari kenampakkan kurva-kurvanya yang
pada suatu saat akan mencapai haris lurus (konstan) horizontal (sebagai misal,
perhatikan gambar 3.19).
Adapun persamaan-persamaan model MSEIRS adalah sebagai berikut:
dM dS dE dI dR
a) M + S + E + I + R = N dan + + + + =0
dt dt dt dt dt
dM dS αSI
b) = L( N − S ) − µM − eM , = LS + eM + φR − µS −
dt dt N
dE αSI dI dR
c) = − KE − µE , = KE − βI − µI , = βI − φR − µR
dt N dt dt
63
Merangsang sistem kekebalan tubuh. Pada konteks ini merangsang kekebalan tubuh pada
bayi yang baru lahir (sejak dini) hingga tidak akan menjadi rentan terhadap penyakit
tertentu.
Halaman: 50 349
Berkenaan dengan hal ini, maka sub-bab ini akan membahas pengaruh vaksinasi
pada model SIR; hingga akhirnya menjad model SIRV. Meskipun demikian, untuk
mengakomodasikan hal ini diperlukan beberapa asumsi seperti contoh berikut:
a) Juga berlaku asumsi pada sub-bab 2.12 (model dan dinamika penduduk).
b) Faktor kelahiran hanya mempengaruhi kelompok populasi yang rentan (S)
dan yang tervaksinasi (V). Setiap bayi yang baru lahir, beberapa saat
kemudian, divaksinasi; 100% bayi tervaksinasi. Peluang (P) untuk sehat/kebal
secara permanen terhadap penyakit tertentu setelah divaksinasi, sebagai
misal, adalah 75% (0.75)64.
c) Yang tidak divaksinasi berarti rentan (terhadap penyakit).
d) Faktor angka kematian (M) juga mengancam kelompok populasi (bayi) yang
telah tervaksinasi; apapun penyebabnya, dan besarnya sebanding dengan
populasi itu sendiri.
e) Jika terdapat individu-individu yang bukan bayi tetapi ternyata pernah
divaksinasi hingga menjadi kebal, maka yang bersangkutan masuk ke dalam
kelompok populasi yang tervaksinasi (Vo); Vo > 0.
Dengan demikian, rumus-rumus yang ada pada model SIR sub-bab 2.3 di atas,
dengan tambahan dinamika karena kelahiran, kematian, dan vaksinasi, akan menjadi
seperti berikut:
dS αSI dI αSI
a) = LN (1 − P) − MS − , = − β I − MI
dt N dt N
dR dV
b) = βI − MR , = LNP − MV
dt dt
αS t I t
c) S t +1 = S t + ( LN [1 − P] − MS t − )∆t
N
αS t I t
d) I t +1 = I t + ( − βI t − MI t )∆t
N
e) Rt +1 = Rt + ( βI t − MR)∆t
f) Vt +1 = Vt + ( LNP − MVt ) ∆t
64
Asumsi ini semakna dengan P adalah jumlah bayi yang baru lahir dan kemudian
divaksinasi. Yang divaksinasi peluang untuk sehatnya adalah 100%; dengan status
tervaksinasi (V). Sementara bayi yang tidak divaksinasi 100% menjadi rentan (S).
Halaman: 51 349
Gambar 2.13a: Model SIRV
Sebagai catatan, jika ternyata asumsi-asumsi (skenario) vaksinasinya seperti berikut
(agak berbeda dengan sebelumnya):
a) Modelnya sederhana, tanpa angka kelahiran dan kematian.
b) Setiap orang dalam keadaan rentan (S), kecuali jika divaksinasi.
c) Persentase (%) individu yang rentan dan kemudian divaksinasi dinyatakan
sebagai v. Perubahan jumlah populasi yang rentan dan kemudian divaksinasi
hingga sembuh sebanding dengan yang rentan; v kali S. Individu yang telah
divaksinasi tidak dijadikan sebagai kelompok status tertendiri.
d) Individu-individu yang divaksinasi akan mengurangi jumlah yang rentan (S)
sekaligus menambahkan jumlah yang sembuh (R).
Maka rumus-rumus model SIR sederhana pada sub-bab 2.3 di atas akan menjadi
berikut ini:
dS αS (1 − v) I dI αS (1 − v) I dR
a) =− − vS , = − βI , = β I + vS
dt N dt N dt
αS t (1 − v) I t
b) S t +1 = S t + (− − vSt )∆t
N
αS t (1 − v) I t
c) I t +1 = I t + ( − βI t )∆t
N
d) Rt +1 = Rt + ( βI t + vSt )∆t
Halaman: 52 349
Gambar 2.13b: Model SIRV
Sebagai catatan, jika ternyata asumsi-asumsi vaksinasinya seperti berikut:
a) Setiap bayi lahir dalam keadaan rentan (S), kecuali jika divaksinasi (tidak
menjadi rentan begitu dilahirkan).
b) Persentase individu (bayi dan bukan bayi) yang rentan dan kemudian
divaksinasi setiap harinya dinyatakan dalam koefisien v. Perubahan jumlah
populasi yang rentan dan kemudian divaksinasi sebanding dengan yang
rentan; v kali S.
c) Individu-individu yang telah divaksinasi tidak dijadikan sebagai kelompok
status tertendiri.
d) Individu-individu yang divaksinasi akan mengurangi jumlah yang rentan (s)
sekaligus menambahkan jumlah yang sembuh (R).
Maka rumus-rumus model SIR pada sub-bab 2.3 di atas akan menjadi berikut ini
(dengan memperhitungkan dinamika akibat faktor-faktor kelahiran, kematian, dan
tindakan vaksinasi):
dS αSI dI αSI dR
a) = LN − MS − − vS , = − β I − MI , = βI + vS − MR
dt N dt N dt
αS t I t
b) S t +1 = S t + ( LN − MS t − − vS t )∆t
N
αS t I t
c) I t +1 = I t + ( − βI t − MI t )∆t
N
d) Rt +1 = Rt + ( βI t + vS t − MR) ∆t
Halaman: 53 349
Gambar 2.13c: Model SIRV
Sebagai catatan, jika asumsinya setiap bayi lahir dalam keadaan rentan (S), kecuali
jika divaksinasi (tidak menjadi rentan begitu dilahirkan), yang divaksinasi hanyalah
bayi yang baru lahir, dan v adalah persentase bayi yang lahir dan divaksinari per-
harinya, maka modelnya akan nampak seperti berikut (hampir sama).
Halaman: 54 349
2.14 Pengaruh Delay (Waktu)
Seperti nampak dari persamaan-persamaan matematisnya, model-model biologi
dan/atau epidemik yang telah dibahas di atas, menggunakan persamaan diferensial
biasa; ordinary differential equations (ODE). Meskipun demikian, pada konteks
persamaan diferensial dan juga model-model tersebut, sebenarnya, dikenal pula
istilah delay65; delay differential equations atau DDE. Di beberapa aplikasi, status
sistem pada saat yang akan datang ditentukan oleh statusnya pada saat ini (current
atau t). Meskipun demikian, yang lebih mendekati kenyataan adalah yang juga
melibatkan status-statusnya pada saat-saat sebelumnya (history). Oleh sebab itu,
pemahaman mengenai delay (τ) juga diperlukan; terutama untuk memodelkan
mekanisme di dalam dinamika model sistemnya (konteks epidemik/kekebalan).
DDE, secara umum, dapat diartikan sebagai persamaan diferensial yang pada model
matematisnya, terdapat variabel state bersama dengan satu atau lebih parameter
(argumen) delay. Sementara itu, sebagian sumber pustaka menyatakan bahwa DDE
merupakan persamaan diferensial dimana turunan fungsi yang tidak diketahui (pada
suatu waktu) ditentukan (didekati) berdasarkan nilai-nilai fungsinya (solusi-solusi)
pada waktu-waktu sebelumnya, atau suatu persamaan diferensial dimana turunan
fungsinya terhadap waktu pada saat ini diasumsikan bergantung pada solusi (nilai-
nilai) dan turunan fungsinya pada masa yang lalu66. Sehubungan dengan hal ini, maka
model atau sistem yang menggunaan fitur DDE ini sering disebut sebagai sistem
dengan delay waktu, sistem dengan efek-samping (after-effect) atau memiliki saat
tidak aktif/produktif (dead-time), sistem (dengan aspek kekebalan sementara
berdasarkan) keturunan (hereditary system), persamaan yang berisi argumen yang
menyimpang, atau persamaan diferensial perbedaan (differential-difference
equations)67.
Secara matematis, sebetulnya DDE memiliki beberapa tipe68. Bentuk persamaan
yang paling umumnya dapat dituliskan sebagai berikut:
∂y (t )
= f (t , y (t ), yt )
∂t
Sedangkan pada bentuknya yang paling sederhana, dengan delay yang dianggap
konstan, rumus umum DDE dapat dituliskan seperti berikut:
∂y (t )
= f (t , y (t ), y (t − τ 1 ), y (t − τ 2 ), y (t − τ 3 ),..., y (t − τ n ))
∂t
Berdasarkan rumusan ini saja terlihat bahwa DDE dapat mengakomodasikan
pengaruh dari satu atau lebih delay69. Oleh sebab itu, jelas bahwa delay (Tn, dimana
65
Meskipun keberadaan delay (jeda waktu) atau DDE sangat penting dan juga dikenal pada
bahasan model biologi/epidemik, tetapi pembahasan mengenai konsep dan
implementasinya pada model biologi/epidemik belum terlalu banyak (masih terbilang
jarang).
66
Pengertian dan/atau definisi ini didapat dari beberapa sumber; Wikipedia (2020), Sciml
(2020), Scholarpedia (2020), Wolfram (2020), dan Tony (2016).
67
Disebutkan pada pustaka (Wikipedia, 2020).
68
Detil mengenai tipe dan rumusan matematis DDE dapat dilihat pada pustaka (Tony, 2016).
Halaman: 55 349
Tn≥0) akan mempengaruhi dinamika modelnya. Meskipun demikian, penerapan dan
keberadaan delay pada model matematis biologi/epidemik juga bergantung pada
persepsi dan asumsi para perancang modelnya. Berkenaan dengan hal ini, sebagai
ilustrasi, maka pada sub-bab ini diberikan beberapa contoh varian pengaruh delay
pada persamaan matematis model-model biologi/epidemiknya70.
Sebagai misal, di samping ”proses infeksinya” memang memerlukan waktu (terkait
α), jika juga memang diperlukan delay (T) untuk kembali menjadi rentan setelah
terinfeksi, maka model epidemiknya bisa menjadi seperti berikut (SIS dasar):
dS αS (t ) I (t )
a) =− + βI (t − T )
dt N
dI αS (t ) I (t )
b) = − βI (t − T )
dt N
Sebagai misal lainnya, di samping ”proses penyembuhannya” (kembali menjadi
rentan setelah terinfeksi) memang memerlukan waktu (terkait β), jika juga
diperlukan delay (T) untuk terinfeksi (pada proses kontak antar-individunya), maka
model epidemiknya bisa saja menjadi seperti berikut (SIS dasar):
dS αS (t ) I (t − T )
a) =− + βI (t )
dt N
dI αS (t ) I (t − T )
b) = − β I (t )
dt N
Sebagai misal lainnya, jika ”virusnya” ternyata dapat bermutasi sedemikian rupa
hingga akhirnya orang-orang yang telah dinyatakan sembuh (recovered atau R) bisa
menjadi rentan kembali (karena kekebalannya hilang) dalam delay tertentu (T), maka
model epidemiknya bisa menjadi seperti berikut (SIRS dasar):
dS (t ) αS (t ) I (t )
a) =− + φR(t − T )
dt N
dI (t ) αS (t ) I (t )
b) = − βI (t )
dt N
dR
c) = β I (t ) − φR(t − T )
dt
Atau, sebagai pemisalan yang lain, jika ”virusnya” ternyata memerlukan delay (T)
yang signifikan untuk menginfeksi manusia (mempengaruhi kontak antar-individu),
maka model epidemiknya bisa saja menjadi seperti berikut (SIRS dasar):
dS (t ) αS (t − T ) I (t − T )
a) =− + φR(t )
dt N
69
Pada konteks ini, terkadang, keberadaan suatu delay bisa dimaknai sebagai kendali.
70
Logika delay pada contoh-contoh model ini juga dapat diterapkan (dan juga
dikombinasikan) pada model-model epidemik lainnya. Beberapa varian dari bentuk/rumus
DDE ini didapat dari berbagai pustaka yang tercantum pada daftar pustaka.
Halaman: 56 349
dI (t ) αS (t − T ) I (t − T )
b) = − βI (t )
dt N
dR
c) = β I (t ) − φR(t )
dt
Atau hanya,
dS (t ) αS (t ) I (t − T )
a) =− + φR(t )
dt N
dI (t ) αS (t ) I (t − T )
b) = − βI (t )
dt N
dR
c) = β I (t ) − φR(t )
dt
Atau, sebagai pemisalan yang lain, jika ”virusnya” ternyata memerlukan delay baik
pada proses infeksi (T1) maupun pada proses penyembuhan (T2), maka model
epidemiknya bisa menjadi seperti berikut (SIRS dasar):
dS (t ) αS (t − T1 ) I (t − T1 )
a) =− + φR(t − T2 )
dt N
dI (t ) αS (t − T1 ) I (t − T1 )
b) = − βI (t )
dt N
dR
c) = βI (t ) − φR(t − T2 )
dt
Atau,
dS (t ) αS (t ) I (t − T1 )
a) =− + φR(t − T2 )
dt N
dI (t ) αS (t ) I (t − T1 )
b) = − β I (t )
dt N
dR
c) = βI (t ) − φR(t − T2 )
dt
Atau, sebagai pemisalan yang lain, jika perancang modelnya ingin memasukkan
program faksinasi dengan tujuan untuk meminimalkan tingkat kerentanan (dan juga
akan berefek tidak langsung pada tingkat infeksi) demi memaksimalkan tingkat
kesembuhan (R), maka diperlukan variabel kendali (misalkan k) yang mewakili
persentase individu-individu yang rentan dan difaksinasi per-satuan waktu. Dengan
demikian, maka model epidemiknya bisa menjadi seperti berikut (untuk SIR dasar):
dS (t ) αS (t ) I (t )
a) =− + φR(t ) − k (t − T ).S (t − T )
dt N
dI (t ) αS (t ) I (t )
b) = − βI (t )
dt N
dR
c) = β I (t ) − φR(t ) + k (t − T ).S (t − T )
dt
Halaman: 57 349
Sebagai catatan, pembaca dapat melihat lebih banyak lagi variasi model
biologi/epidemik yang melibatkan argumen delay di pustaka-pustaka Yan
(2005), Bertram (2020), Shampine (2000), dan Guan (2016).
I n+1 = I n + (α .S n .I n / N − β .I n ).∆t
Rn+1 = Rn + ( β .I n ).∆t
Dengan demikian, untuk menaksir atau memprediksikan nilai-nilai S, I, dan R untuk
waktu-waktu berikutnya (Sn+1, In+1, dan Rn+1) diperlukan nilai-nilai So atau S(0), Io atau
I(0), Ro atau R(0), Δt, α, dan β; dimana N=So+Io+Ro. Rumus-rumus Euler inilah yang
kebanyakan dibentuk oleh penulis hingga akhirnya menjadi beberapa persamaan
matriks untuk mengestimasikan nilai-nilai parameter modelnya; khususnya α dan β
pada model SIR.
Halaman: 58 349
1 1
k 3 = hf (t n + h, Yn + k 2 ) , k 4 = hf (t n + h, Yn + k 3 )
2 2
∆t
Yn+1 = Yn + (k1 + 2k 2 + 2k 3 + k 4 )
6
Khususnya untuk model epidemik SIR71, jika pembaca ingin menggunakannya (untuk
mendapatkan akurasi yang lebih baik) sebagai pengganti metode Euler yang telah
dipakai oleh penulis dalam beberapa contoh baris-baris kodenya, maka rumus-
rumus Runge-Kutta orde-4-nya yang perlu dilibatkan adalah sebagai berikut:
∆t s
S n+1 = S n + (k1 + 2k 2s + 2k3s + k 4s ) , dimana:
6
α .S n .I n
k1s = f (t n , S n , I n ) = −
N
∆t ∆t ∆t ∆t ∆t
k 2s = f (t n + , S n + k1s , I n + k1i ) = −α .( S n + k1s ).( I n + k1i )
2 2 2 2 2
∆t ∆t ∆t ∆t ∆t
k 3s = f (t n + , S n + k 2s , I n + k 2i ) = −α .( S n + k 2s ).( I n + k 2i )
2 2 2 2 2
k 4s = f (t n + ∆t , S n + ∆t.k 3s , I n + ∆t.k 3i ) = −α .( S n + ∆t.k 3s ).( I n + ∆t.k 3i )
∆t i
I n+1 = I n + (k1 + 2k 2i + 2k 3i + k 4i ) , dimana:
6
α .S n .I n
k1i = f (t n , S n , I n ) = − β .I n
N
∆t ∆t ∆t ∆t ∆t ∆t
k 2i = f (t n + , S n + k1s , I n + k1i ) = α .( S n + k1s ).( I n + k1i ) − ( I n + k1i )
2 2 2 2 2 2
∆t ∆t ∆ t ∆t ∆t ∆t
k 3i = f (t n + , S n + k 2s , I n + k 2i ) = α .( S n + k 2s ).( I n + k 2i ) − ( I n + k 2i )
2 2 2 2 2 2
k 4 = f (t n + ∆t , S n + ∆t.k3 , I n + ∆t.k3 ) = α .( S n + ∆t.k3 ).( I n + ∆t.k3 ) − ( I n + ∆t.k3i )
s s i s i
∆t r
Rn+1 = Rn + (k1 + 2k 2r + 2k 3r + k 4r ) ,
6
dimana:
k1r = f (t n , I n ) = β .I n
∆t ∆t ∆t
k 2r = f (t n + , I n + k1i ) = β .( I n + k1i )
2 2 2
∆ t ∆ t ∆ t
k 3r = f (t n + , I n + k 2i ) = β .( I n + k 2i )
2 2 2
k 4 = f (t n + ∆t , I n + ∆t.k3 ) = β .( I n + ∆t.k3i )
r i
71
Uraian lengkapmengenai rumus-rumus ini dapat dilihat pada pustaka (Hossain, 2017).
Halaman: 59 349
2.16 Catatan
Model-model biologi/epidemik yang dibahas pada bab ini (dan bab 3) bersifat
deterministik. Meskipun demikian, sebagaimana terlihat pada bahasan bab 7, 8, dan
9, tidak mudah untuk mencarikan sampel data nyata yang ”pas” bagi model-model
tipe ini. Pada model-model ini, semua nilai parameternya (α, β, dan seterusnya)
sudah ditentukan (diasumsikan bernilai tertentu, konstan) sejak di awal simulasi.
Tentu saja hal ini masih jauh dari realitasnya karena pada kenyataannya, ada banyak
faktor (tidak sekedar parameter α, β, dan seterusnya) yang menentukan, dan semua
ini berjalan dan berubah secara dinamis (tidak konstan). Jadi, pada kenyataannya,
nilai-nilai parameter ini (yang akurat) hampir tidak mungkin ditentukan sejak di
awalnya untuk mepresentasikan fenomena epidemiknya. Apalagi, (tipe) model yang
digunakan pun belum tentu ”pas” atau benar-benar representatif. Pada kasus Covid-
19 saja, sebagai misal, karena virusnya dianggap masih baru dan di periode awalnya
belum tersedia vaksinnya, maka pengaruh vaksinasinya saja akan bersifat dinamis
(tidak konstan); pada awalnya nol hingga sekian waktu, kemudian terus meningkat
(karena ada progress program vaksinasi), dan berubah secara dinamis sesuai dengan
kondisi aktualnya (termasuk yang pro & kontra, kemunculan varian baru, re-
invection, dan lain sejenisnya).
Faktor-faktor yang dimaksud di atas, di antaranya, adalah satuan wilayah epidemik
vs. wilayah administrasi (generalisasi SWE), adanya klaster baru, kondisi geografis,
karakteristik penyakit, kondisi kesehatan individu, budaya hidup sehat, penerapan
kebijakan atau intervensi (vaksinasi/imunisasi, terapi plasma konvalesen, karantina
wilayah, PSBB, PPKM, protokol kesehatan, karantina, isolasi, pembentukkan gugus
tugas, dan lain sejenisnya), cara kerja vaksin, efektivitas vaksin, jumlah dan kualitas
tenaga dan fasilitas kesehatan, prosedur pelaporan dan pencatatan kasus,
kemunculan varian virus baru, kemungkinan terjadinya re-infection, metode/alat
yang digunakan untuk pengujian, sifat & sikap masyarakat, dan lain sejenisnya.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor dinamis ini, maka pemodelan sistem
dinamis (bahasan bab 8) menjadi alternatif yang sangat baik (bahkan berpotensi
lebih baik) dalam memberikan solusi (prediksi atau ramalan) bagi permasalahan
(pemodelan) biologi-epidemik.
Untuk kepentingan praktis, dengan beberapa tambahan asumsi dan batasan
tertenntu, tentu saja rumus-rumus model biologi-epidemik di atas juga dapat
dimodifikasi hingga menjadi lebih sederhana. Sebagai misal, Serhii et al (2020) telah
menyederhanakan rumus model epidemik SIR untuk menghitung pendekatan jumlah
kasus-kasus baru (individu yang terinfeksi). Hasilnya, merupakan nilai-nilai yang
membentuk garis trend kasus baru yang cukup mulus. Sementara itu, Mario et al
(2021) telah memodifikasi model epidemik SIR/SEIR dan melibatkan sampel data
demografi/populasi untuk mendapatkan nilai-nilai prediksi (fitting) evolusi pandemi
Covid-19 yang disebutkan dianggap cukup akurat di wilayah perkotaan.
Halaman: 60 349
BAB 3: SIMULASI MODEL-
MODEL EPIDEMIK
Setelah memahami model-model (konseptual) biologi/epidemisnya beserta rumus
matematisnya (khususnya yang bersifat deterministik), pada bab 2, tentu saja
sebagian besar dari kita tergelitik untuk segera mengimplementasikan dan kemudian
melihat contoh hasil-hasil simulasinya. Sebenarnya, hal ini dapat dilakukan dalam
bentuk latihan (hitungan numerik) secara manual (dengan kalkulator) di atas kertas
atau secara otomatis dengan bantuan baris-baris kode program komputer. Hal ini
perlu dilakukan untuk menambah wawasan mengenai konsep/modelnya, sekaligus
memastikan apakah yang bersangkutan sudah memahaminya dengan benar. Sebab,
sekedar paham saja (secara konseptual) sering kali tidak cukup. Ada saja detil atau
teknis tertentu yang masih diperlukan. Jadi, pada umumnya, masih ada “jarak”
antara konsep dengan implementasinya; apalagi jika dibandingkan dengan
realitasnya di lapangan. Kita masih memerlukan sampel data/fakta, alat, ilmu, dan
tentu saja pengalaman berhitung mengenai itu semua untuk menjembatani “jarak”
itu. Oleh sebab itu, pada bab ini dibahas contoh-contoh simulasi bagi model-model
yang telah dibahas pada bab 2.
Pada contoh-contoh simulasi/implementasi model yang dibahas di bab ini, sesuai
dengan model konseptual biologi/epidemiknya, penulis memasukkan nilai/angka
bagi satu atau lebih konstanta/parameternya; alpha (α), betha (β), K, tetha (φ), delta
(δ), dan lain sejenisnya. Tentu saja pemberian nilai-nilai ini bersifat tentatif,
percobaan, relatif, dan/atau pendekatan secara kasaran dengan tujuan agar simulasi
modelnya dapat berjalan dan menampakkan hasilnya; munculnya angka-angka,
grafik, kurva-kurva S (rentan), I (terinfeksi), R (kebal atau mati), dan lain sejenisnya.
Meskipun demikian, sebenarnya, pemberian nilai-nilai ini seharusnya didasarkan
pada penelitian, analisa, dan sampel data lapangan (dunia nyata) dengan ketersedian
dan format yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan model konseptualnya. Inilah
masalahnya72. Apalagi jika memang hasil simulasi pemodelan beserta analisisnya
dibuat tidak sekedar untuk memenuhi kepentingan sendiri.
72
Sampel data yang tersedia, terutama yang gratisan dan berlokasi di jaringan internet,
biasanya bersifat sangat umum hingga belum tentu dapat memenuhi semua kebutuhan
simulasi-simulasi pemodelan biologi/epidemik yang memang memerlukan banyak
konstanta/parameter. Jika diperlukan sampel data yang lengkap dan detil sesuai dengan
modelnya, maka kemungkinan besar, pihak yang bersangkutan perlu mengamatinya sendiri
dengan resiko biaya, waktu, dan tenaga yang besar. Belum lagi terkait masalah lain; yaitu
kewenangan dalam mengumpulkan sampel data itu sendiri secara khusus. Mungkin saja,
untuk lingkup yang tidak terlalu luas, masih bisa diusahakan meskipun dengan motivasi yang
tinggi dan “biaya” yang sangat “mahal”.
Halaman: 61 349
Tampilan grafik, kurva-kurva (terutama S I R), dan nilai-nilai hasil simulasi model
biologi/epidemik ini kebanyakan dihasilkan oleh baris-baris kode Octave; bersifat
free dan opensource. Contoh-contoh baris-baris kode yang dimaksud dimuat di
lembaran lampiran. Oleh sebab itu, para pembaca dapat merekonstruksi hasil-hasil
yang diperoleh oleh penulis dan kemudian dapat memodifikasinya sendiri untuk
meningkatkan pemahaman dan memenuhi kebutuhan sendiri. Meskipun demikian,
terutama pada bahasan yang perlu melibatkan aspek delay/DDE (delay differential
equations), penulis menggunakan baris-baris kode Matlab karena paket program ini
memiliki referensi dan fungsi DDE yang lebih lengkap.
3.1 Model SI
Untuk lebih memahami dinamika populasi yang rentan (S) dan terinfeksi (I) dari
waktu-ke-waktu dengan menggunakan model SI, sebagai misal, digunakanlah contoh
kasus dengan asumsi-asumsi seperti berikut73:
a) Jumlah populasi yang rentan dan terinfeksi di awal waktu (t=0) adalah So = 99
dan Io = 1; jadi N = So+Io= 100.
b) Probabilitas laju infeksi α= 0.25 per-hari.
c) Digunakan rumus-rumus yang terdapat pada sub-bab 2.1.
73
Pada kasus ini, penulis menentukan jumlah populasi yang rentan 99 jiwa, yang terinfeksi 1
jiwa, dan seterusnya hanyalah sebagai ilustrasi. Jika kurang berkenan (dianggap terlalu
sedikit atau apalah), setiap pembaca dapat menggunakan nilai-nilai yang berbeda (tinggal
diketikkan pada baris-baris kodenya untuk mendapatkan hasil hitungannya); sesuai
kebutuhan.
74
Paket program aplikasi sejenis MATLAB tetapi gratis dan opensource. Octave dapat di-
download secara gratis di https://www.gnu.org/software/octave/download.html.
75
Hasil hitungannya (sebenarnya) merupakan bilangan real (kolom 2 dan 3), tetapi karena
menyangkut individu (yang merupakan entitas yang utuh), maka hasilnya dibulatkan.
Halaman: 62 349
Gambar 3.1 memperlihatkan bahwa pada hari ke-17 hingga ke-18 (tepatnya tidak
diketahui), populasi yang rentan (S) dan yang terinfeksi (I) sudah sama (sekitar 50
tetapi tepatnya tidak diketahui) karena pernah berpotongan. Sedangkan sejak hari
ke-40-nya, akhirnya, seluruh populasi telah terinfeksi; yang rentan minimum (0) dan
yang terinfeksi maksimum (100).
Sementara itu, jika laju infeksinya ditingkatkan, menjadi α=0.67 per-hari dan
digunakan pendekatan diskrit76, maka hasilnya akan nampak seperti berikut:
76
Contoh baris-baris kodenya ada pada lembaran lampiran L2.
Halaman: 63 349
Gambar 3.3: Model SI Diskrit dengan α=2.5
Dengan asumsi seperti di atas beserta baris-baris kode pada lampiran L3 akan
didapatkan hasil seperti berikut.
Halaman: 64 349
Gambar 3.5: Model SIS Kontinyu dengan α=0.5, β=1/14
Gambar 3.5 memperlihatkan bahwa pada hari ke-11 hingga ke-12 (tepatnya tidak
diketahui), populasi yang rentan (S) dan yang terinfeksi (I) sudah sama (sekitar 50
tetapi tepatnya tidak diketahui) karena pernah berpotongan. Sedangkan sejak hari
ke-25-nya, akhirnya, yang rentan sudah mencapai konstan (14) jiwa dan yang
terinfeksi juga sudah konstan (86) jiwa.
Pada tulisan ini, kondisi model SIS kurang lebih sama dengan SI & SIR dalam
hal pengaruh nilai-nilai α dan β-nya. Jika α mendekati β; kurva rentan
cenderung lurus (horizontal) tinggi dan konstan, sedangkan kurva terinfeksi
cenderung lurus (horizontal) rendah (mendekati 0 & konstan). Makin tinggi
selisih keduanya, makin mungkin kedua kurva ini berpotongan.
Dengan asumsi di atas dan menggunakan contoh baris kode model kontinyu pada
lampiran L4 akan didapatkan hasil-hasil seperti berikut:
Halaman: 65 349
Gambar 3.6: Model SIR Kontinyu dengan α=0.5, β=1/14
Gambar 3.6 memperlihatkan bahwa pada hari ke-11, S dan I sudah sama (44 atau 45
jiwa); kurvanya berpotongan. Pada hari ke-14 S dan R hampir sama (sekitar 21 atau
22 jiwa). Sejak hari ke-20 hingga ke-21, jumlah I dan R hampir sama. Jumlah I
maksimum di hari ke 15 (58 jiwa). Sejak hari ke-32 S minimum (0) dan konstan di titik
itu. Sejak hari ke-87, I mencapai minimum (0) dan konstan di titik itu. Sejak hari ke-
90, R maksimum (100) dan konstan di titik itu.
Dengan asumsi seperti di atas dan menggunakan contoh baris kode model diskrit
pada lampiran L5 akan didapatkan hasil-hasil seperti berikut:
Halaman: 66 349
Gambar 3.7 memperlihatkan bahwa pada hari ke-13 hingga ke-14, yang rentan (S)
dan yang terinfeksi (I) sudah sama (44 atau 45 jiwa) karena kurvanya berpotongan.
Pada hari ke-16 yang rentan dan yang sembuh sudah hampir sama (sekitar 20 atau
22 jiwa). Sedangkan sejak hari ke-23, jumlah yang terinfeksi dan yang sembuh sudah
sama (49 jiwa). Jumlah yang terinfeksi mencapai maksimum pada hari ke 17 (61
jiwa). Sejak hari ke-29 yang rentan sudah minimum (0) dan terus konstan di titik
minimum itu. Sejak hari ke-86 yang terinfeksi sudah mencapai minimum (0) dan
terus konstan di titik minimum itu. Dan sejak hari ke-88, yang sembuh sudah
mencapai maksimum (100) dan terus konstan di titik maksimum itu.
Dengan asumsi seperti di atas (tetapi α=2.5) dan menggunakan contoh baris kode
model diskrit seperti pada lampiran L5 seperti di atas, maka sebagai iustrasi, akan
didapatkan hasil seperti berikut:
Halaman: 67 349
Gambar 3.9: Model SIR Diskrit dengan α=3.0, β=1/14
Halaman: 68 349
Gambar 3.10: Model SIRS Kontinyu α=0.5,β=1/14,φ=1/18
Gambar 3.10 memperlihatkan bahwa pada hari ke-11, yang rentan (S) dan yang
terinfeksi (I) sudah hampir sama (sekitar 45 jiwa) karena kurvanya berpotongan.
Pada hari ke-14 dan ke-15 yang rentan dan yang sembuh sudah hampir sama (sekitar
20 atau 21 jiwa). Sedangkan sejak hari ke-28, jumlah yang terinfeksi dan yang
sembuh sudah sama (45 jiwa). Jumlah yang terinfeksi mencapai maksimum pada hari
ke 16 (61 jiwa). Sejak hari ke-43 yang rentan sudah minimum (14) dan terus konstan
di titik minimum itu. Sejak hari ke-86 yang terinfeksi konstan di titik 38. Dan sejak
hari ke-50, yang sembuh sudah konstan di titik 48.
Sebagai ilustrasi tambahan, dengan menggunakan asumsi nilai-nilai yang sama
dengan di atas dan contoh baris-baris program model diskrit (lampiran L7)
didapatkan hasil berikut:
Halaman: 69 349
Gambar 3.11: Model SIRS Diskrit α=0.5,β=1/14,φ=1/18
Gambar 3.11 memperlihatkan bahwa pada hari ke-13 hingga ke-14, yang rentan (S)
dan yang terinfeksi (I) sudah hampir sama (sekitar 45 jiwa) karena kurvanya
berpotongan. Pada hari ke-17 yang rentan dan yang sembuh sudah hampir sama
(sekitar 17 hingga 20 jiwa). Sedangkan sejak hari ke-29, jumlah yang terinfeksi dan
yang sembuh sudah hampir sama (45 atau 46 jiwa). Jumlah yang terinfeksi mencapai
maksimum pada hari ke 18 (64 jiwa). Sejak hari ke-43 yang rentan sudah konstan di
titik 14. Sejak hari ke-73 yang terinfeksi konstan di titik 38. Dan sejak hari ke-51, yang
sembuh sudah konstan di titik 48.
Halaman: 70 349
Karena yang menjadi sasaran penyembuhan dan kematian adalah populasi
yang terinfeksi, maka sewajarnya, δ adalah yang terinfeksi dikurangi β, δ<β;
kondisinya baik. Sebaliknya, jika δ>β, maka populasi yang mati akan lebih
besar dari pada yang sembuh; kondisi (penanganan penyakitnya) buruk.
Jika nilai δ diperbesar hingga mendekati β, maka kedua kurvanya makin
berimpit dan yang terinfeksi makin kecil.
Dengan menggunakan baris-baris kode program model kontinyu seperti pada
lampiran L8 didapatkan hasil berikut:
Halaman: 71 349
e) Digunakan rumus pada sub-bab 2.6.
Dengan menggunakan program pada lampiran L10 (model kontinyu) didapatkan hasil
berikut:
Halaman: 72 349
Gambar 3.14: Model SEIR Kontinyu α=0.5,K=0.15,β=1/14
Gambar 3.14 memperlihatkan bahwa pada hari ke-29, jumlah yang rentan (S) sama
dengan yang terekspos (E), 26 jiwa. Pada hari ke-28 dan 29, yang rentan sama (S)
dengan yang terinfeksi (I), sekitar 28 jiwa. Pada hari ke-30 dan 31 yang rentan (S)
sama dengan yang sembuh (R), sekitar 21 dan 22 jiwa. Pada hari ke-27, yang
terekspos sama dengan yang terinfeksi; 25 jiwa. Pada hari ke-31 dan 31, jumlah yang
terekspos sama dengan yang sembuh; sekitar 24 jiwa. Pada hari ke-36, yang
terinfeksi sama dengan yang sembuh; sekitar 36-37 jiwa. Sejak hari ke-54, yang
rentan sudah mencapai minimum (0). Sejak hari ke-67, yang terekspos sudah
mencapai minimum (0). Sejak hari ke 111, jumlah yang terinfeksi mencapai minimum
(0). Sejak hari ke-114, yang sembuh sudah mencapai maksimum (100).
Dengan menggunakan program (model kontinyu) pada lampiran L11 didapatkan hasil
berikut:
Halaman: 73 349
Gambar 3.15: Model SEIRS dengan α=0.5,K=0.4,β=1/10,φ=1/14
Gambar 3.15 memperlihatkan bahwa kurva yang rentan tidak pernah berpotongan
dengan yang terekspos. Pada hari ke-18 dan 19, jumlah yang rentan sama dengan
yang terinfeksi; sekitar 33 atau 32 jiwa. Pada hari ke-21, yang rentan sama dengan
yang sembuh; 21 jiwa. Pada hari ke-19, yang terekspos sama dengan yang sembuh;
sekitar 17 dan 16 jiwa. Pada hari ke-30 dan 31, jumlah yang terinfeksi sama dengan
yang sembuh; sekitar 40 dan 41.
Halaman: 74 349
Dengan program (model kontinyu) pada lampiran L12 didapatkan grafik seperti
berikut77.
77
Tabelnya tidak dimunculkan; yang dipentingkan adalah pola-pola kurva-kurvanya
Halaman: 75 349
c) Koefisien (probabilitas) laju penyembuhan β=1/14 per-hari.
d) Angka kelahiran (L) = 0.0000685 per-hari.
e) Angka kematian (M) = 0.0000171 per-hari.
f) Digunakan rumus pada sub-bab 2.10.
Dengan menggunakan rumus yang pertama untuk SIR dengan dinamika populasi
(sub-bab 2.10) dan program sederhana (model kontinyu) pada lampiran L13
didapatkan grafik berikut.
Halaman: 76 349
g) Koefisien (probabilitas) laju yang kebal sementara ke rentan (e) = 0.1 per-
hari.
h) Digunakan rumus pada sub-bab 2.11.
Dengan program (model kontinyu) pada lampiran L14 didapatkan grafik seperti
berikut.
Halaman: 77 349
yang terinfeksi sudah mencapai konstan di titik 51. Pada hari ke-61, yang terekspos
sudah mencapai konstan di tiitk 5. Pada hari ke-70, yang sembuh sudah mencapai
konstan di titik 15.
Halaman: 78 349
Pada kasus ini, dari tabelnya, pengaruh kelahiran & kematian sangat kecil;
tidak signifikan hingga yang tervaksinasi pun kecil (nol). Karena itu, kurva-
kurva model SIRV ini tidak berbeda jauh dengan SIR. Kecuali jika populasi
awal (So) yang rentannya dinaikan, misalnya, menjadi 100 juta (atau lebih);
nilai-nilai pada tabelnya baru menampakkan dinamikanya (total
populasinya bertambah). Karena skala grafisnya, tampilan kurvanya tidak
berubah sedangkan yang tervaksinasi (V) masih merapat ke sumbu waktu.
Sebagai perbandingan dan variasi, pembaca dapat menggunakan dan
membuat model epidemik vaksinasi lainnya (terutama yang terdapat di
bahasan sub-bab 2.13 di atas) untuk melihat perbedaan detilnya.
Halaman: 79 349
Dengan demikian, modelnya epidemiknya menjadi SIRS78 yang melibatkan
DDE seperti berikut:
dS (t ) αS (t ) I (t )
=− + γR(t − T1 )
dt N
dI (t ) αS (t ) I (t )
= − βI (t ) ,
dt N
dR
= βI (t ) − γR (t − T1 )
dt
b) Pada saat t≤0, populasi rentan So=99, terinfeksi Io=1, dan sembuh(kebal)
Ro=0. Jadi, total populasi awal adalah N=So+Io+Ro=100 (jiwa). Dengan
demikian history-nya adalah [99, 1, 0].
c) Koefisien laju infeksi α= 0.5 per-hari, koefisien laju penyembuhan β=1/10
per-hari, koefisien laju rentan kembali γ=1/15 per-hari, dan delay (τ) 1 hari.
Dengan menggunakan program (model kontinyu) pada lampiran L17 didapatkan
grafik berikut.
78
Pada model SIR, R (recovered) dianggap mewakili kelompok populasi yang kebal (sembuh)
permanen (selamanya) atau mati karena penyakit yang bersangkutan. Sementara itu, pada
model SIRS, R (recovered) dianggap mewakili kelompok populasi yang kebal (sembuh)
sementara (bisa rentan kembali) atau mati karena penyakit yang bersangkutan.
Halaman: 80 349
dS (t ) αS (t ) I (t − T2 )
=− + γR(t − T1 )
dt N
dI (t ) αS (t ) I (t − T2 )
= − βI (t ) ,
dt N
dR
= βI (t ) − γR (t − T1 )
dt
b) Pada saat t≤0, populasi rentan So=99, terinfeksi Io=1, dan sembuh(kebal)
Ro=0. Jadi, total populasi awal adalah N=So+Io+Ro=100 (jiwa). Dengan
demikian history-nya adalah [99, 1, 0].
c) Koefisien laju infeksi α= 0.5 per-hari, koefisien laju penyembuhan β=1/10
per-hari, koefisien laju rentan kembali γ=1/15 per-hari, delay rentan kembali
(τ1) 0.5 hari, dan delay terinfeksi (τ2) 0.25 hari.
Dengan program pada lampiran L18 didapatkan grafik berikut.
79
Contoh baris-baris kode matlab-nya dapat dilihat pada lampiran 19 di bawah.
Halaman: 81 349
Gambar 3.23: Model SIRS DDE dengan 1 Delay, Rentan
Halaman: 82 349
Gambar 3.25: Model SIRS DDE dengan 1 Delay, Kebal Sementara
Sebagai ilustrasi tambahan keempat80, berikut ini adalah contoh hasil-hasil simulasi
seperti yang kedua; melibatkan 2 komponen delay. Hanya saja, pada simulasi ini,
menggunakan 1 delay untuk suku R (delay yang merepresentasikan waktu tenggang
sebelum rentan kembali dari status kebalnya) dan 3 delay yang berbeda untuk suku I
(delay yang merepresentasikan tenggang waktu sebelum benar-benar terinfeksi
sejak masa kontak untuk pertama kalinya). Jadi, pasangan dua komponen delay yang
kurva-kurvanya akan ditampilkan bersama adalah sebagai berikut: [τ1=2, τ2=1], [τ1=2,
τ2=5], [τ1=2, τ2=14].
80
Contoh baris-baris kode matlab-nya dapat dilihat pada lampiran 20 di bawah.
Halaman: 83 349
Gambar 3.27: Model SIRS DDE dengan 2 Delay, Terinfeksi
Halaman: 84 349
BAB 4: MODEL EPIDEMIK
SIR STOKASTIK
Sebelumnya telah dibahas model-model SI, SIS, SIR, dan beberapa variannya. Asumsi
utama pada model-model tersebut adalah sifat/proses epidemiknya deterministik;
(pengaruh) prilaku (karakter virus, intensitas interaksi sosial, dan tingkat disiplin
masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan) sebaran penyakit (α) dan proses
kesembuhannya (β) dianggap konstan atau pasti (diketahui)81, sedangkan perubahan
populasinya82 ditentukan oleh histori83 dan sejumlah aturan yang mendeskripsikan
modelnya. Selain itu, di dalam rumusan modelnya pun diasumsikan bahwa jumlah
anggota setiap kelompok populasinya (S, I, dan R) merupakan fungsi (persamaan
diferensial) yang dapat diturunkan terhadap waktunya (ada turunannya: fungsinya
kontinyu)84. Asums-asumsi ini (telah dibahas di awal bab 2) tentu saja masuk akal jika
wabah penyakitnya sudah berjalan ”stabil” (established)85, tetapi hal ini menjadi
kurang valid di awalnya; yaitu, ketika hanya terdapat beberapa orang saja86 yang
terinfeksi87.
Dengan sudut pandang lain, asumsi-asumsi ini bisa jadi dianggap suatu kelemahan.
Karena, pada umumnya, fenomena-fenomena fisik, biologi, epidemik, sosial,
ekonomi, dan lain sejenisnya juga sering dipandang memiliki unsur ketidak-pastian,
keacakan (stochasticity), berisi noise (”gangguan”), mengandung kesalahan (acak,
bias, kerancuan), atau memiliki unsur peluang. Di dalamnya, terdapat probabilitas
terjadinya suatu peristiwa. Jadi, sebenarnya, kapan saatnya suatu individu akan lahir,
mati, rentan, terinfeksi, dan sembuh tidak dapat dipastikan. Demikian pula halnya
dengan kontak antar-individu; (yang menurut prinsip model stokastik) juga
dipengaruhi oleh aspek probabilitas. Selain itu, setiap kelompok populasi epidemik
terdiri dari individu-individu yang utuh; bersifat diskrit88 (bernilai 0, 1, 2, 3, dan
seterusnya). Dengan kata lain, sebenarnya, fenomena-fenomena alamiah dan sosial
memiliki kecenderungan sifat stokastik (acak) ketimbang deterministik. Oleh sebab
itu, pada akhirnya, para peneliti juga akan memodifikasi model deterministiknya
81
Meskipun sebenarnya merupakan nilai rata-rata, perkiraan, atau nilai yang pada dasarnya
bersifat probabilistik/peluang dan tidak eksak benar 100%, tetapi pada model deterministik
α, β, dan lain sejenisnya dinyatakan secara eksplisit sebagai konstanta-konstanta (pasti).
82
Yang disebabkan oleh faktor kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk di setiap
kelompok populasi (compartment S, I, R) secara umum beserta secara khusus oleh faktor
kematian karena sebab patogennya.
83
Data (populasi) sebelumnya.
84
Model deterministik kurang memperhitungkan sifat diskrit populasi.
85
Populasinya sudah berukuran (relatif) besar dan biasanya jumlah totalnya tetap (konstan).
86
Populasinya masih berukuran (relatif) kecil.
87
Lihat juga pustaka (Braurer, 2012) halaman 351.
88
Tidak bersifat kontinyu dari nol sampai tak hingga (~).
Halaman: 85 349
menjadi model stokastik sebagai pendekatan terbaik bagi representasi fenomena
epidemik di dunia nyata. Meskipun demikian, memang, adalah tidak mudah untuk
menuliskan model-model stokastik secara formal; cukup panjang dan juga agak
rumit89.
Pada bab ini hanya dibahas model epidemik SIR stokastik dengan menggunakan
beberapa pendekatan. Harapannya, pembaca dapat memahaminya dan kemudian
dapat membuat (memodifikasi) sendiri model-model epidemik stokastik yang lain (SI,
SIS, SIRS, SEIR, SEIRD, dan lain sejenisnya) dengan pendekatan yang sama.
89
Seperti telah disebutkan di dalam pustaka (Regoes, 2020).
90
Bilangan nyata (yang merupakan anggota dari suatu ruang sampel atau sample space [0.0,
100.0]) yang merupakan hasil eksekusi suatu fungsi acak (misalkan fungsi “rand”).
91
Gerakan acak (bebas dan tidak teratur atau random walk [dengan arah dan ukuran
langkah yang acak pula]) yang terus menerus dari partikel-partikel zal cair dan gas.
92
Proses stokastik dengan waktu kontinyu yang menghasilkan bilangan nyata (real). Proses
Wiener juga digunakan untuk merepresentasikan gerakan Brown 1 dimensi.
93
Banyak pilihan untuk mensimulasikan model stokastik, di antaranya adalah metode “brute
force” dan algoritma “gillespie”.
Halaman: 86 349
dR
c) = [ βI + f 2 ( I ) w2 ]
dt
Keterangan:
a) w1 dan w2 adalah sampel acak dari distribusi normal N (0,1)94. Dalam
beberapa literatur, terkadang, w1 dan w2 juga dirujuk sebagai proses Wiener.
b) Sedangkan dW (dWs atau dWi) adalah proses Wiener yang telah didiskritkan;
tetapi di dalam beberapa literatur sering dituliskan (untuk memudahkan
pemrograman komputer) dW = w.dt ≈ dt * N (0,1) (sebagai pendekatan).
c) N(0,1) merupakan sampel bilangan acak dengan distribusi normal standard
dengan rata-rata 0 dan simpangan baku 1.
d) f1(S,I) dan f2(I) adalah fungsi penyekalaan untuk menskalakan noise–nya
sesuai dengan ukuran variabelnya.
Sebagai noise tambahan yang bersifat sederhana, f1 dan f2 dapat dianggap sebagai
bilangan-bilangan konstan; f1 = const dan f 2 = const . Dengan demikian, keduanya
tidak bergantung pada ukuran populasinya. Sementara itu, sebagai noise tambahan
αSI
yang diskalakan biasanya digunakan rumusan f1 = dan f 2 = βI . Oleh sebab
N
itu, persamaan-persamaan di atas akan berubah menjadi seperti berikut:
dS αSI αSI αSI αSI
a) = −[ + .w1 ] , atau dS = − .dt − .dWS
dt N N N N
dI αSI αSI
b) =[ + .w1 ] − [ βI + β I .w2 ] , atau
dt N N
αSI αSI
dI = ( − βI ).dt + ( .dWS − βI .dWI )
N N
dR
c) = [ βI + βI .w2 ] , atau dR = βI .dt + βI .dWI
dt
94
Distribusi normal dengan nilai rata-rata = 0. dan deviasi standard = 1.
95
Keterangan mengenai transformasi Box-Muller dapat dilihat pada Kusdian et al. (2005).
Halaman: 87 349
Keterangan:
• R1 & R2 merupakan bilangan acak yang besarnya antara 0 & 1 dengan
distribusi seragam/merata; dibuat secara otomatis dengan menggunakan
fungsi internal bahasa pemrograman/aplikasi perangkat lunaknya.
• S adalah transformasi Box-Muller.
• X adalah sampel acak dari distribusi normal standard N (0,1).
b) Simulasi Proses Wiener
Dengan menggunakan fungsi simulasi proses Wiener milik paket perangkat lunak
Octave96, digunakan algoritma sederhana sebagai berikut:
waktu = 1; dimensi = 1; jumlah = 1;
temps = wienrnd (waktu, dimensi, jumlah);
sampel_acak = temps (1,2);
c) w1 dan w2 adalah sampel acak dengan pendekatan proses Wiener yang
didiskritkan untuk interval waktu (time-step) dt=1 (setiap hari, setiap detik,
dan lain sejenisnya): dW = N (0,1) dt ≈ randn * 1 ≈ randn . Dimana randn
merupakan fungsi internal Octave dan Matlab untuk menghasilkan nilai-nilai
sampel acak di dalam distribusi normal standard N(0,1).
Jika disimulasikan, masing-masing pendekatan akan nampak seperti berikut97:
96
Hampir semua bahasa pemrograman komputer atau scripting (Matlab, Python, Perl, Java,
Java Script, C, C++, Basic, Pascal, dan lain sejenisnya) memiliki fungsi-fungsi internal yang
dapat menghasilkan bilangan-bilangan acak dengan interval minimum dan maksimum
tertentu. Bahkan sebagian di antaranya (Octave & Matlab) sudah memiliki fungsi yang sudah
mengarah kepada topik khusus seperti halnya proses Wiener.
97
Contoh programnya dapat dilihat pada lembaran lampiran L21.
Halaman: 88 349
4.4 Hasil Simulasi
Untuk memahami dinamika populasi yang rentan (S), terinfeksi (I), dan sembuh (R)
dengan model SIR stokastik di atas, sebagai misal, digunakanlah asumsi-asumsi
seperti berikut:
a) Pada saat t=0, populasi rentan So=99, terinfeksi Io=1, sembuh Ro=0; total
populasi awal adalah N=So+Io+Ro=100 (jiwa).
b) Koefisien laju infeksi α= 0.5 per-hari.
c) Koefisien laju penyembuhan β=1/14 per-hari.
d) Digunakan rumus-rumus model SIR stokastik di atas dengan sampel acak
transformasi Box-Muller.
Dengan menggunakan program pada lampiran L22 didapatkan akan grafik berikut.
Halaman: 89 349
Gambar 4.3: Kurva Rentan (S) Model SIR: Dasar Vs. Stokasitik
Gambar 4.4: Kurva Terinfeksi (I) Model SIR: Dasar Vs. Stokasitik
Halaman: 90 349
Gambar 4.5: Kurva Sembuh (R) Model SIR: Dasar Vs. Stokasitik
98
Misalnya, pada kasus model epidemik SIR, hingga jumlah populasi kelompok terinfeksi
atau I= 0 (habis); sembuh semua.
Halaman: 91 349
menghasilkan trayektori yang benar secara statistik bagi persamaan stokastiknya.
Dengan demikian, algoritma ini juga dapat diaplikasikan untuk mensimulasikan
model epidemik yang bersifat stokastik.
Maka dengan asumsi-asumsi seperti berikut:
a) Pada saat t=0, populasi rentan So=99, terinfeksi Io=1, sembuh Ro=0; dan total
populasi adalah N=So+Io+Ro=100 (jiwa).
b) Koefisien laju infeksi α= 0.5 per-hari.
c) Koefisien laju penyembuhan β=1/14 per-hari.
d) Digunakan algoritma Gillespie yang tercantum pada pustaka (Yong, 2018)
halaman 563 dan dengan contoh baris-baris kode pada lampiran L23.
99
Bagian nama belakang salah seorang pakar matematika dari Rusia.
Halaman: 92 349
Pada proses markov, seperti telah disebutkan, status berikutnya (n+1) hanya akan
dipengaruhi oleh statusnya pada saat ini (n) dengan perantaraan sebuah matriks
transisi yang sebenarnya berisi angka-angka yang menyatakan probabilitas kejadian
peristiwa-peristiwa (berurutan) berikutnya. Pada konteks model epidemik SIR
sederhana (yang telah dibahas), peristiwa, kondisi, atau status yang dimaksud adalah
jumlah-jumlah individu-individu yang rentan (S), terinfeksi (I), dan sembuh (R). Oleh
sebab itu, pada putaran pertama (t=to), kondisi awalnya pada saat itu adalah (S=So,
I=Io, R=Ro). Kemudian, pada putaran berikutnya (t=t1, S=S1, I=I1, R=R1), kondisinya
adalah (S-1, I+1, R). Pada putaran berikutnya lagi (t=t2, S=S2, I=I2, R=R2), kondisinya
adalah (S, I-1, R+1). Hal ini mengisyaratkan sifat diskrit pada perubahan kelompok-
kelompok populasi epidemik.
Jika diasumsikan bahwa probabilitas individu yang rentan menjadi terinfeksi adalah x
(misalkan x=0.2), maka probabilitas individu yang rentan dan kemudian tetap
menjadi rentan adalah 1-x, sedangkan probabilitas individu yang rentan dan
kemudian menjadi sembuh adalah 0 (tidak ada jalur itu di dalam model SIR-nya). Jika
diasumsikan bahwa probabilitas individu yang terinfeksi menjadi sembuh adalah y
(misalkan y=0.05), maka probabilitas individu yang terinfeksi dan kemudian tetap
terinfeksi adalah 1-y, sedangkan probabilitas individu yang terinfeksi menjadi rentan
adalah 0 (tidak ada jalur itu di dalam modelnya, kecuali jika modelnya adalah SIRS).
Dengan demikian, jika nilai-nilai probabilitas ini dikemas menjadi matriks transisi,
maka bentuknya akan menjadi seperti berikut:
1 − x 0 0 0. 8 0 0
x 1 − y 0 , atau 0.2 0.95 0 dimana kolom matriks menunjukkan status S,
0 y 1 0 0.05 1
I, R pada saat ini (n), sedangkan baris matriks menunjukkan status S, I, R pada saat
berikutnya (n+1).
Jika diperhatikan, contoh100 elemen-elemen matriks transisi di atas bernilai non-
negatif, sementara jumlah total setiap kolomnya adalah 1.0; 0.8+0.2 = 0.95+0.05 =
0+1 = 1. Dengan demikian, matriks bujur sangkar ini disebut juga sebagai matriks
stokastik. Oleh sebab itu, dengan memanfaatkan matriks ini, secara iteratif, maka
status-status S, I, R dari waktu-ke-waktu dapat diketahui.
Jika So=100, Io=1, dan Ro=0, maka matrik-matriksnya akan menjadi seperti berikut:
S 0. 8 0 0 S S 0. 8 0 0 100 79
I = 0.2 0.95 0 * I , I = 0.2 0.95 0 * 1 = 21
R n+1 0 0.05 1 R n R 1 0 0.05 1 0 0 0 1
100
Sebagai alternatif lainnya, para pembaca dapat memilih nilai-nilai x dan y lain (baik secara
intuisi maupun atas dasar rumusan tertentu) yang dianggap sesuai untuk mewakili nilai-nilai
probabilitasnya.
Halaman: 93 349
Matriks stokastik adalah matriks bujur sangkar yang digunakan untuk
mendeskripsikan transisi rantai Markov; setiap elemennya merupakan
bilangan real non-negatif yang merepresentasikan (nilai-nilai) probabilitas
peralihan ke status-status yang bersangkutan, dan jumlah nilai-nilai elemen
setiap kolomnya adalah 1. Matriks ini sering disebut juga sebagai matriks
probabilitas, matriks transisi, matriks substitusi, atau matriks Markov.
Sebagai informasi, jika model epidemiknya adalah SIRS dasar (perhatikan gambar
atau skema modelnya di bab sebelumnya), maka bentuk umum matriks transisinya
(model stokastik) akan nampak seperti berikut.
1 − x 0 z
x 1− y 0 dimana z adalah nilai probabilitas individu yang sembuh (karena
0 y 1 − z
satu dan lain hal) beralih atau berubah menjadi rentan kembali.
Jika iterasi hitungan matriks di atas diteruskan selama waktu simulasi, maka akan
didapatkan101 kurva-kurva dengan grafik seperti berikut.
101
Contoh baris-baris kodenya dapat dilihat pada lembaran lampiran L24.
102
Penulis membagi lagi nilai-nilai elemen matriks di atas dengan pembagi N (tambahan)
agar matriks transisinya memenuhi sifat stokastik; semua nilai elemen matriks bujur sangkar
seragam ini (nilai-nilai probabilitas) seragam tak bersatuan, non-negatif, dan jumlah elemen-
elemen pada setiap kolomnya sama dengan satu (total probabilitas suatu peristiwa).
Halaman: 94 349
αSI
1 − N * N ∆t 0 0
αSI βI
∆t 1 − ∆t 0
N*N N
βI
0 ∆t 1
N
Sedangkan untuk model epidemik SIRS dasar yang setingkat, maka bentuk umum
matriks transisinya nampak seperti berikut103.
αSI γR
1 − N * N ∆t 0
N
∆t
αSI βI
∆t 1 − ∆t 0
N *N N
βI γR
0 ∆t 1 − ∆t
N N
Jika digunakan hitungan matriks transisi di atas, yang melibatkan aspek perubahan
individunya sebagai nilai-nilai probabilitas, akan didapatkan104 kurva-kurva seperti
berikut.
103
Nampak bahwa pengaruh perubahan populasi yang sembuh (R) terhadap yang kelompok
populasi yang rentan (S) tidak dimasukkan sebagai probabilitas (elemen 1,1 di dalam matriks
transisi). Hal ini pun dilakukan agar matriks transisinya memenuhi sifat stokastik.
104
Contoh baris-baris kodenya dapat dilihat pada lembaran lampiran L25.
Halaman: 95 349
Sebenarnya, masih terdapat beberapa varian dari model stokastik rantai
Markov yang dapat diaplikasikan di bidang epidemik; yang secara eksplisit
melibatkan masukan nilai-nilai acaknya dan/atau memperkecil Δt untuk
menonjolkan sifat keacakannya secara visual. Dari kenampakkan kurva-
kurvanya, penulis melihat bhwa algoritma Gillespie sudah cukup baik
dalam merepresentasikan sifat keacakkan.
Halaman: 96 349
BAB 5: BILANGAN
REPRODUKSI DASAR &
EFEKTIF
Definisi mengenai model epidemik deterministik beserta beberapa asumsinya akan
menentukan model matematisnya. Dengan model ini, kita dapat memahami sejauh
mana ”progress” (prediksi) sebaran wabah penyakitnya. Kemudian, jika
memungkinkan, hasil pemodelan ini juga dapat digunakan sebagai pertimbangan
bagi upaya pengendalian laju sebaran wabahnya. Pada kondisi seperti inilah biasanya
muncul pertanyaan: (a) seberapa cepat wabahnya menyebar? (b) berapa banyak
populasi yang terinfeksi, sembuh, mati, dan rentan kembali? (c) apakah wabahnya
telah mencapai puncaknya? dan (d) kapankah wabah ini (kira-kira) akan berakhir?
Tentu saja pertanyaan-pertanyaan di atas tidak dapat dijawab secara eksak; tidak
ada jawaban pasti. Meskipun demikian, memang, ada kalanya sebagian dari kita
dapat mengenali beberapa pola/siklus penyakit; ada yang memiliki periode harian
hingga mingguan atau bulanan (bersifat akut, infeksinya berlangsung relatif cepat)
seperti halnya flu, pilek, campak, cacar air, Covid-19, dan lain sejenisnya, dan ada
pula yang bersifat kronis (menahun) seperti halnya hepatitis, TBC, HIV/AIDS, dan lain
sejenisnya. Setiap penyakit tentu saja memiliki karakteristik yang khas. Meskipun
demikian, secara umum, pertanyaan di atas dapat diuraikan dengan pendekatan
terminologi populasi yang rentan, terinfeksi (kasus aktif), dan yang sembuh/mati dari
waktu-ke-waktu yang diimplementasikan dalam bentuk model epidemik beserta
rumus-rumus matematisnya.
Pada model epidemik, untuk menyatakan sejauh mana kecepatan sebarannya,
digunakan bilangan reproduksi dasar (Ro) & bilangan reproduksi efektif (Rt). Bilangan
yang pertama menyatakan nilai/tingkat sebaran penyakit di awal kemunculannya
(ketika semua anggota populasinya dianggap rentan). Sementara itu, bilangan yang
kedua mengindikasikan nilai, tingkat, atau status sebaran penyakitnya pada waktu-
waktu setelahnya (aktual); populasinya sudah tidak rentan sepenuhnya. Oleh sebab
itu, secara umum, bilangan yang kedua lebih sering digunakan sebagai dasar atau
referensi untuk mengevaluasi apakah penyakitnya masih menyebar (kasusnya masih
meningkat) hingga masih perlu intervensi (kesehatan) tertentu atau bahkan sudah
cenderung turun (kasusnya makin berkurang) hingga sebagian dari intervensi yang
masih diberlakukan bisa ”dilonggarkan” dalam menghadapi kehidupan yang normal
(”new normal”). Itulah alasannya mengapa kita perlu mengetahui nilai-nilai Ro & Rt.
Halaman: 97 349
5.1 Bilangan Reproduksi Dasar
Bilangan reproduksi dasar (basic reproduction atau reproductive number), yang
sering dinotasikan sebagai Ro, sebenarnya, pertama kali diperkenalkan di bidang
demografi untuk mengkalkulasikan pertumbuhan penduduk. Tetapi karena konsep
dan manfaatnya yang cukup luas, maka berkembanglah pengertian Ro di berbagai
bidang; termasuk ekologi & epidemiologi. Ketika konsep ini diadopsi oleh para
epidemiolog, maka yang menjadi perhatian adalah kasus-kasus infektif (penyakit
menular).
Pada notasi Ro, indeks atau subscript nol (0) bermakna bahwa bilangan dasar ini
diestimasikan pada saat t=0 atau to, dimana faktor kekebalan (imunitas) pada
(keseluruhan) populasinya masih bernilai nol (0). Jadi, pada konsep Ro, pada saat
t=to, maka diasumsikan bahwa (sebelumnya) sama sekali tidak terdapat faktor
kekebalan dan intervensi kesehatan pada masyarakat (populasi) yang menjadi objek
penelitian105. Artinya, dengan asumsi ini, tidak ada individu yang pernah terpapar
penyakit yang bersangkutan (dan kemudian sembuh/mati) dan juga tidak ada
seorang pun yang pernah divaksinasi untuk penyakitnya106 itu. Jadi, pada saat t=to,
semua anggota populasinya dianggap benar-benar masih rentan seluruhnya dan juga
terjadi kontak (bercampurnya) individu secara acak & homogen.
105
Kondisi (asumsi) ini biasanya terjadi pada saat awal-awal berjangkitnya wabah penyakit.
Penyakitnya (virus, bakteri, atau yang sejenisnya) memang baru ditemukan atau mulai
bergejolak hingga aparat pemerintah beserta masyarakatnya secara umum belum siap
menghadapinya.
106
Keterangan lebih lanjut mengenai hal ini juga dapat dilihat pada pustaka (EID, 2019).
107
Yang pada asalnya berstatus rentan.
Halaman: 98 349
individu infektif primer108); atau, jumlah (rata-rata) kasus baru yang diakibatkan oleh
satu (1) kasus lama (primer) pada populasi yang sepenuhnya rentan. Sehubungan
dengan hal ini, maka Ro sering dianggap sebagai ”batas” atau indikator yang
menyatakan seberapa besar sebaran (wabah) penyakit di suatu wilayah. Jadi, Ro
merupakan representasi dari tingkatan terinfeksinya populasi yang rentan terhadap
suatu penyakit. Makin besar nilai Ro, maka makin mudah dan cepat pula penyakitnya
menular/menyebar; artinya, pertambahannya meningkat dari waktu-ke-waktu. Dan
sebaliknya, makin kecil nilai Ro, maka makin sulit/lambat pula penyakitnya menular
/menyebar. Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah tabel109 yang berisi contoh nilai-nilai
Ro untuk beberapa kasus wabah penyakit yang pernah melanda dunia.
Tabel 5.1: Wabah Penyakit & Nilai Ro
Ro = T.c.d (5.1)
Dimana:
a) T adalah transmissibility atau kemampuan menularnya suatu penyakit
(probabilitas infeksi atau penularan karena sebab telah terjadi kontak antara
individu yang rentan dengan individu yang terinfeksi). Satuannya adalah
infeksi per-kontak atau orang per-kontak.
b) c adalah kecepatan (laju) rata-rata kontak antara individu-individu yang
rentan dan terinfeksi. Satuannya adalah kontak per waktu.
c) d adalah durasi penularan (duration of infectiousness) penyakitnya.
Satuannya adalah waktu per infeksi atau waktu per-orang.
108
Yang terinfeksi pertama kali; orang pertama yang terinfeksi.
109
Tabel ini diambil dari pustaka (Driessche, 2017). Meskipun demikian, contoh data lain
(sebagai alternatif) mengenai Ro untuk beberapa penyakit pun tersedia di berbagai sumber;
di antaranya adalah https://en.wikipedia.org/wiki/Basic_reproduction_number.
110
Lihat pustaka (Jones, 2007) halaman 1.
Halaman: 99 349
Dengan demikian, untuk menurunkan Ro, yang dapat upayakan adalah menurunkan
nilai-nilai T, c, dan d; semakin kecil nilai mereka, semakin kecil pula nilai Ro.
Satuan-Satuan Variabel-Variabel
Jika diperhatikan, perkalian T dengan c ekivalen dengan α (kecepatan infeksi baru,
infected rate, atau contact rate) pada bahasan bab 2. Satuan α=T.c memang tidak
sama, tetapi jika rumusnya menjadi α=T.c/N atau α.N=T.c, maka satuannya menjadi
sama (1 per-satuan waktu). Memang, sebagian pustaka tidak secara eksplisit
mencantumkan faktor pembagi N (total populasi). Meskipun demikian, hal ini (α=T.c)
akan berkonsekuensi bahwa satuan variabel d adalah waktu (bukan waktu per-orang
dan juga bukan waktu per-infeksi sebagaimana dituliskan pada banyak sumber
pustakanya). Dan hal ini (d adalah waktu) memang logis karena variabel duration of
infectiousness hanya berkenaan dengan waktu (hari, minggu, bulan, dan sejenisnya);
tidak melibatkan orang atau infeksinya. Oleh sebab itu, satuan-satuan variabel-
variabel di atas menjadi lebih relevan jika T adalah orang per-kontak, c adalah kontak
per-orang per-waktu, dan d adalah waktu. Dengan demikian, maka satuan α atau T
kali c menjadi sama; 1/waktu. Akhirnya, rumus (5.1) menjadi seperti berikut:
Jadi, untuk menurunkan nilai Ro secara keseluruhan, yang sering dilakukan adalah
menurunkan nilai-nilai α, T, dan c; terlepas dari bagaimana caranya.
Model SIR
Berdasarkan rumus (5.1), didapatkan bahwa α=T.c, sementara itu, pada model SIR
(bahasan bab 2) terdapat konstanta β (removal rate, recovered rate, atau laju
penyembuhan) yang menjadi faktor pengurang kecepatan populasi yang rentan
menjadi terinfeksi; satuannya pun sama. Artinya, nilai expected duration of
infectiousness (durasi penularan) secara praktis juga merupakan kebalikan dari nilai
removal rate-nya111; d=1/β, atau Ro=Tcd= αd=α/β.
Ro = α/β (5.3)
111
Lihat pustaka (Jones, 2007) halaman 2.
112
Tidak selalu homogen, populasinya tidak selalu dapat bercampur dengan sempurna
hingga kontak antar-individunya tidak selalu bisa secara acak, tidak rentan seluruhnya, di
dalamnya ada peran signifikan dari struktur atau status sosial tertentu seperti halnya
kelompok-kelompok usia (tua & muda), klasifikasi jenis kelamin [pria & wanita] (terutama
pada konteks kasus-kasus penyakit terkait kelamin seperti halnya HIV, AIDS, dan lain
sejenisnya), jenis, penyebab, atau fenomena penyakit (yang bisa lebih dari 1 seperti halnya
exposed [E], infected [I], carrier [C]), dan lain sejenisnya. Dalam kaitan ini, sebenarnya, kelas-
kelas populasi exposes (E) dan infected (I) itu bisa diaplikasikan untuk dua jenis penyakit yang
berbeda tetapi erat kaitannya seperti halnya HIV dan AIDS. Jadi, singkatnya, pada populasi
yang berstruktur (tidak homogen), pola kontak antar-individunya mengikuti “aturan”,
probabilitas, atau asumsi terkait strukturnya. Misalkan, seorang ibu diasumsikan dapat
menularkan penyakitnya kepada anak-anaknya, sedangkan bapaknya beserta orang lain
tidak sama sekali. Sementara itu pada kasus lain, sebagai contoh, diasumsikan bahwa
seorang wanita dewasa perpotensi menularkan penyakitnya kepada 20 hingga 30 orang pria
dewasa per-bulannya, sedangkan seorang pria dewasa hanya berpotensi menularkan
penyakitnya kepada 4 hingga 8 orang saja per-bulannya. Pada contoh lain, diasumsikan
bahwa pengaruh teman dan media sosial pada (pemikiran) anak remaja biasanya lebih besar
(dua kali lipat) dari pada orang tua dan gurunya, sedangkan pada orang tua dan guru (orang
dewasa) pengaruh teman dan media sosial tidak terlalu besar (0.25).
3 1 3 1 1 0 3 − λ 1
G= , G − λI = − λ =
2 2 2 2 0 1 2 2 − λ
pada kasus ini, determinan matriks (G-λI)=0, atau persamaan karakteristiknya adalah
(3-λ)*(2-λ)-(2)(1)=0. Atau, λ2-5λ+4=0 (λ-1)(λ-4)=0 λ1=1 dan λ2=4
Ro=Maks(λi)=4. Sehubungan dengan hal ini, maka beberapa baris kode Octave seperti
berikut akan menghasilkan nilai-nilai determinan, eigen, dan Ro dengan mudah.
nilai_eigen = []; G = [3, 1; 2, 2];
determinan = det(G)
nilai_eigen = eig(G)
Ro = max(nilai_eigen)
Jika pada awalnya diasumsikan hanya terdapat seorang (1) anak muda yang sakit dan
0 orang tua yang sakit, maka akibatnya adalah:
3 1 1 3 3 1 3 11 3 1 11 43 3 1 43 171
2 2.0 = 2 , 2 2.2 = 10 , 2 2.10 = 42 , 2 2.42 = 170
0 1 1 2 2 3 3 4
1 5 21 85 341 (jumlah total anak muda dan orang tua yang terinfeksi) dengan
faktor peningkatan (jumlah total individu pada saat ini dibagi jumlah total individu
tepat sebelumnya) 5/1 21/5 85/21 341/85 atau 5 4.2 4.05 4.02.
Perhatikan bahwa nilai-nilai ini makin mendekati (konvergen) nilai Ro-nya. Dengan
beberapa baris kode Octave seperti berikut, maka nilai-nilai yang terinfeksi seperti di
atas dapat diperoleh secara mudah.
G = [3, 1; 2, 2]; Z = [1; 0];
for i=1:5
x = G*Z
Z = x;
endfor
Contoh Kasus 2
Sebagai contoh, terdapat populasi yang terdiri dari 2 kelompok (struktur jenis
kelamin); pria dan wanita (dewasa). Pada kasus ini, diasumsikan bahwa setiap wanita
yang sakit hanya akan menularkan penyakitnya kepada 5 pria. Sedangkan setiap pria
yang sakit hanya akan menularkan penyakitnya kepada 2 wanita. Oleh sebab itu,
pada kasus ini, matrik (bujur-sangkar) generasi berikutnya menjadi seperti berikut:
wanita _ wanita pria _ wanita 0 2
G= =
wanita _ pria pria _ pria 5 0
0 2 0 2 1 0 − λ 2
G= , G − λI = − λ =
5 0 5 0 0 1 5 − λ
Dengan beberapa contoh baris kode seperti pada lembaran lampiran L26, maka akan
didapatkan Ro=1.6. Jika pada awalnya (t=0 atau to) hanya terdapat 1 anak, 1 remaja,
dan satu orang tua yang terpapar, maka setelah 7 putaran akan didapatkan sebaran
paparan ”penyakit”: 92 anak, 40 remaja, dan 4 orang tua.
113
Penyebaran hoak via medsos, tv, dan media online.
114
Nilai Ro=1 ini didapat dengan metode matriks G di atas hingga menghasilkan ketiga nilai
eigen yang sebenarnya merupakan bilangan kompleks. Jadi, nilai Ro ini bisa jadi berbeda jika
dihitung dengan rumus sederhana α/β sebagaimana model SIRS biasa. Oleh sebab itu,
periksalah terlebih dahulu nilai-nilai matriks G-nya; apakah sudah realistis. Meskipun,
memang menuliskannya secara bebas pun, untuk sekedar menuliskan sebuah ilustrasi, tidak
menjadi masalah.
115
Ini sekedar contoh saja mengenai aplikasi matriks generasi berikutnya, sebab, pada
kenyataannya, golongan darah setiap anak ditentukan oleh golongan darah ayah dan ibunya.
Selain itu, seorang ibu pun sebenarnya bisa punya anak lebih dari 1 atau tidak sama sekali
(mandul) dan dengan jenis kelamin pria dan wanita. Sedangkan angka-angka probabilitas
pada kasus ini pun merupakan asumsi (bukan yang sebenarnya atau berdasarkan
pengamatan), hanya sekedar ilustrasi saja.
Model SIRD
dX αSI δF αS
X = [I ] , = − βI − δI , F1= αSI/N F = = ,
dt N δI N
δV 1
V= (-βI-δI) V = = [− β − δ ] , V −1 =
δI − (β + δ )
αS 1 αS
G = − FV −1 = −( ).(− )= , ketika t=0 (to), maka S≈N
N (β + δ ) N (β + δ )
α α
G= ==> Ro =
(β + δ ) (β + δ )
Model SEIRD
E dX αSI − KE
X = , = N , F1 = αSI , F2 = 0
I dt KE − βI − δI N
δF1 δF1
αS 0 α
F = δE δI = 0
δF δF2 N , t o ==> S ≈ N ==> F =
2 0 0 0 0
δE δI
δV1 δV1
V1 = − KE , V2 = KE − βI − δI , V = δE δI = − K 0
δV δV2 K − ( β + δ )
2
δE δI
Determinan (V)=(-K).(-β-δ)-(K).(0)=K(β+δ)
1
− β + δ − 0
( ) 0 Adj (V ) K
Adj (V ) = , V −1 = = 1
−K − K Det (V ) − 1 −
( β + δ ) ( β + δ )
1
0 α − 0 α α
G = − FV −1 = K
1 1 (β + δ ) (β + δ )
=
0 0 − − 0 0
( β + δ ) ( β + δ )
α α α α
1 0 ( − λ) − ( )
G − λI = ( β + δ )
(β + δ ) − λ = ( β + δ ) ( β + δ )
0 1
0 0 0 −λ
α α
Persamaan karakteristiknya: ( − λ ).(−λ ) − (0). =0, Jadi,
β +δ (β + δ )
E dX αSI − KE − µE αSI
X = , = N , F1 = , F2 = 0
I dt KE − βI − µI N
δF1 δF1
αS 0 α
F = δE δI = 0 , t o ==> S ≈ N ==> F =
δF δF2 N
2 0 0 0 0
δE δI
δV1 δV1
V1 = − KE − µE , V2 = KE − βI − µI , V = δE δI = − ( K + µ ) 0
δV δV2 K − ( β + µ )
2
δE δI
Determinan (V)=(K+μ).(β+μ)-(K).(0)= μ2+μ(K+β)+Kβ=(K+μ).(β+μ)
− ( β + µ ) 0
Adj (V ) = ,
−K − ( K + µ )
1
− 0
Adj (V ) (K + µ )
V −1 = =
Det (V ) − K 1
−
( K + µ )( β + µ ) ( β + µ )
116
Jumlah (rata-rata) individu baru yang terinfeksi (kasus sekunder) atau tertular penyakit
oleh satu (1) orang yang telah terinfeksi sebelumnya (primer).
Sehubungan dengan hal di atas, sebagai misal, jika diketahui bahwa nilai Ro=4,
dimana sebenarnya (setelah berjalannya periode waktu tertentu dan kemudian
terjadi perubahan kondisi masyarakatnya karena adanya intervensi) setengah (50%)
dari populasinya sudah menjadi kebal (tetapi dianggap masih rentan), maka nilai Rt-
nya adalah Roc =4x0.5=2. Artinya, penyakitnya masih menyebar atau mewabah di
masyarakat (jumlah kasusnya masih meningkat).
Sejalan dengan perjalanan waktu, maka secara umum, terdapat tiga kondisi untuk
nilai-nilai Rt ini. Jika Rt<1, artinya jumlah kasus barunya sudah menurun, puncaknya
pernah tercapai, dan wabah penyakitnya akan segera berhenti (dies out). Sementara
itu, jika Rt>1, artinya jumlah populasi yang terinfeksi (kasus baru) masih meningkat
Gambar 5.8: Garis Ro & Kurva Rt; α=0.5, β=1/14, N=100, So=99
Rt memiliki arti yang sangat penting di dalam epidemiologi. Bilangan ini memiliki
beberapa fungsi. Di antaranya adalah: (1) sebagai parameter untuk menilai
keberhasilan penanggulangan wabah penyakit; (2) sebagai bahan evaluasi histori
sebaran wabahnya secara alamiah, terutama jika sama sekali belum dilakukan
intervensi; (3) sebagai alat analisis sejauh mana pengaruh intervensinya (jika
memang intervensinya pernah dilakukan); dan (4) sebagai parameter masukan bagi
penyusunan, perencanaan, dan pengambilan keputusan tindakan (intervensi)
berikutnya: bagaimana jika jika Rt>1, Rt=1, dan Rt<1.
Sedemikian pentingnya nilai reproduksi yang aktual ini hingga pemerintah pun
memakainya untuk menghitung (mengestimasi) laju sebaran wabah Covid-19 dalam
perencanaan penerapan new normal117; tatanan kehidupan (normal baru) dengan
mengikuti protokol kesehatan118. Pemerintah mensyaratkan daerah yang akan
menerapkan new normal agar angka reproduksi ini (Rt) di bawah satu (1)119. Maka
dalam kaitan inilah Joko Widodo juga secara tegas menyatakan bahwa penerapan
new normal baru dilaksanakan jika nilai reproduksi aktual ini sudah rendah120.
117
Detil mengenai protokol new normal dapat dilihat pada surat keputusan menteri
kesehatan RI nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang “Panduan Pencegahan dan
Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Tempat Kerja Perkantoran dan
Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi”.
118
Detil mengenai protokol kesehatan dapat dilihat pada surat edaran menteri kesehatan
nomor RI HK.02.01/MENKES/335/2020 tentang “Protokol Pencegahan Penularan Corona
Virus Disease (Covid-19) di Tempat Kerja Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik) dalam
Mendukung Keberlangsungan Usaha”. Atau surat-surat turunannya yang diterbitkan oleh
masing-masing instansi kerja.
119
Lihat pustaka (Detik, 2020).
120
Dicuplik dari pustaka (Tobing, 2020).
Rt = Kt/Kt-1 (5.9)
Keterangan:
a) Kt adalah jumlah (terinfeksi) kasus baru atau harian (new cases) pada saat
(hari) ini.
b) Kt-1 adalah jumlah (terinfeksi) kasus baru atau harian sehari sebelumnya
(kemarin).
c) Pada umumnya, data kasus harian untuk Covid-19 sudah tersedia di
beberapa website.
Pada suatu kasus, sebagai misal, pada hari ke-1 (t=1), terdapat 1 kasus dan pada hari
ke-2-nya (t=2) terdapat 2 kasus, sedangkan pada hari ke=3-nya (t=3) terdapat 6
kasus, maka nilai R1=2/1=2 dan R2=6/2=3. Dengan demikian, nilai Rt bersifat dinamis;
setiap perioda waktu (harian) bisa berbeda. Adalah hampir mustahil terjadi dimana
nilai Rt (atau Re) terus sama di sepanjang sumbu waktu sebagaimana pada gambar
5.1 di atas; 1, 2, 4, 8, 16 dan seterusnya hingga nilainya konstan Rt=2. Biasanya, di
dunia nyata, akan ada saja kondisi atau mekanisme yang membuat nilai-nilai Rt
bersifat dinamis.
121
Definisi ini diambil dari pustaka (Aronson, 2020).
122
Disease free equilibrium; semua nilai eigen matriks Jacob-nya memiliki nilai real negatif;
kurva (grafiknya) turun terus dan mendekati (asimtot) 0 (nol) atau konstanta tertentu.
123
Endemic equilibrium point.
124
Titik Eo ini disebut sebagai kesetimbangan bebas penyakit (DFE) karena nilai-nilai
komponen I dan R-nya sama dengan nol; I=0 dan R=0.
125
Persamaan (6.2) tidak diberlakukan pada saat EEP.
126
Gantikan variabel-variabel S, I, dan R dengan koordinat S, I, dan R pada saat DFE.
127
Salinan rumus determinan untuk matriks 2x2 dan 3x3 dapat dilihat pada lembaran
lampiran II.
128
Salinan rumus determinan untuk matriks 2x2 dan 3x3 dapat dilihat pada lembaran
lampiran II.
129
Salinan rumus determinan untuk matriks 2x2 dan 3x3 dapat dilihat pada lembaran
lampiran II.
130
Titik Eo ini disebut sebagai kesetimbangan bebas penyakit (DFE) karena nilai-nilai
komponen I dan R-nya sama dengan nol; I=0 dan R=0.
131
Persamaan (6.2) tidak diberlakukan pada saat EEP.
132
Gantikan variabel-variabel S, I, dan R dengan koordinat S, I, dan R pada saat DFE.
133
Perhatikan salinan rumus determinan pada lembaran lampiran II.
134
Ganti variabel-variabel S,I,R pada matriks J dengan variabel-variabel S,I,R pada saat
kesetimbangan endemik.
135
Titik Eo ini disebut sebagai kesetimbangan bebas penyakit (DFE) karena nilai-nilai
komponen I dan R-nya sama dengan nol; I=0 dan R=0.
136
Persamaan (6.2) tidak diberlakukan pada saat EEP.
137
Gantikan variabel-variabel S, I, dan R dengan koordinat S, I, dan R pada saat DFE.
− λ 0 0
J − λI = 0 −β −λ 0 = 0 . Dengan demikian akan didapatkan determinan138
0 β − λ
3 2 2
(J-λI)=0=λ -βλ =λ (λ-β)= (λ-0) (λ-0) (λ-β) λ1 = 0, λ2 = − β , λ3 = 0 .
Dengan memperhatikan matriks Jacob di atas, pada139 titik kesetimbangan endemik
Nβ N
E * ( S , I , R) = ( ,0,0) atau E * ( S , I , R ) = ( ,0,0) , maka matriks J tersebut menjadi
α Ro
seperti berikut.
0 − β 0 − λ − β 0
J = 0 0
0 . J − λI = 0 − λ 0 = 0 . Dengan demikian, akhirnya didapat
0 β 0 0 β − λ
140
determinan (J- λI)=0=-λ 3
λ1 = 0, λ2 = 0, λ3 = 0 .
DFE & EEP Model yang Lain
Uraian di atas, sebagai contoh, telah membahas bagaimana penurunan titik-titik
kesetimbangan bebas penyakit (DFE) dan endemik (EEP) untuk 3 model epidemik
saja. Harapannya, dengan menyimaknya secara cermat, dan dengan menggunakan
analogi yang sama, pembaca dapat menurunkan sendiri titik-titik tersebut untuk
model-model yang lain.
Seperti telah diuraikan bahwa makin banyak konstanta/koefisien laju yang dilibatkan
pada modelnya (sebagai misal adalah angka kelahiran atau L, angka kematian atau
M, dan faktor vaksinasi atau v), maka semakin rumit pula analisis (hitungan simbolik)
variabel-variabel (elemen-elemen) di dalam matriksnya. Jika tidak teliti, bisa jadi,
sebagian dari elemennya tidak tertuliskan dengan benar.
Untuk matriks yang berdimensi dua (2), analisanya cukup mudah (dilakukan secara
manual-visual). Tetapi untuk matriks-matriks yang berdimensi 3, 4, dan seterusnya,
apalagi dengan melibatkan banyak konstanta laju, maka cara analisa manual-visual
seperti ini tentu saja tidak memadai. Otak manusia memiliki keterbatasan memori
dan sering menderita kelelahan. Oleh sebab itu diperlukan software tool yang
mampu memproses elemen-elemen matriks tersebut secara simbolik (dan juga
dengan tampilan yang baik).
Seperti telah dibahas, model yang sederhana (sedikit melibatkan konstanta laju),
seperti halnya pada kasus SIR dasar (sub-bab 2.3), akan membentuk matriks Jacob (J)
yang sederhana pula; banyak elemennya yang bernilai nol. Hal ini berakibat pada
138
Salinan rumus determinan matriks 2x2 dan 3x3 ada pada lembaran lampiran II.
139
Ganti variabel-variabel S,I,R pada matriks J dengan variabel-variabel S,I,R pada saat
kesetimbangan endemik.
140
Salinan rumus determinan matriks 2x2 dan 3x3 ada pada lembaran lampiran II.
142
Sebagian orang yang masih menderita penyakit bawaan tertentu (seperti halnya penyakit
jantung, paru-paru, sesak nafas/asma, dan lain sejenisnya) dan juga berstatus lansia, ketika
terinfeksi Covid-19, berpotensi untuk mengalami penderitaan yang lebih parah dari pada
yang lain; bahkan sebagian dapat menimbulkan resiko meninggal dunia.
143
Full width at at half maximum.
144
Nilai parameter ini secara default adalah nol; hanya optional saja. Parameter ini bisa saja
tidak dilibatkan sama sekali. Jadi, nilai q yang paling “pas” akan ditentukan setelah
perancang melihat tampilan kurva gauss-nya (dengan terlebih dahulu menggunakan nilai
q=0). Nilai q tidak harus bilangan bulat meskipun sebaiknya merupakan bilangan bulat.
145
Half width at half maximum. Untuk memperlebar bentuk kurva, besarkan nilai l-nya,
misalkan jadi l=width=fwhm/0.5 (makin besar nilai width, makin lebar bentuk kurvanya);
meskipun nilai default-nya adalah l=width=fwhm/2, atur-aturlah nilai width ini sesuai
sebaran datanya.
Berdasarkan kedekatannya dengan bentuk kurva data di atas, maka rumusan (solusi)
gaussian peak function yang dianggap paling sesuai (dekat) untuk kasus ini adalah:
x − 14 − 3.5 2
G ( x) = 322 * Exp (− Ln(2) * ( ) )
7
Sebagai tambahan, target pemodelan (solusi lain), kita juga dapat menggunakan
fungsi Gauss lain yang sejenis dengan persamaan seperti berikut:
Dengan menggunakan rumus 7.2 sebagai dasar, dan data tabel di atas (tabel 7.1),
hari sebagai X dan jumlah siswa yang sakit sebagai Y atau F(X), maka nilai-nilai
parameter/koefisien (matriks X) di atas dapat dihitung dengan menggunakan rumus
X=(ATA)-1.(ATY). Setelah itu, dengan menggunakan contoh baris-baris kode yang
terdapat pada lampiran 1 L.29 (fungsi kuadrat), maka akan didapatkan grafik seperti
berikut:
Seperti sebelumnya, dengan menggunakan rumus 7.4, dan juga data tabel di atas
(tabel 7.1), hari sebagai x dan jumlah siswa yang sakit (kasus aktif) sebagai y atau
F(x), maka nilai-nilai parameternya dapat dihitung dengan rumusan X=(ATA)-1.(ATY).
Meskipun demikian, Octave memiliki fungsi khusus untuk memecahkan persamaan
polinomial hingga penggunanya tidak harus memakai notasi matriks (seperti
Berdasarkan tampilan kurvanya, pada kasus ini, makin besar derajat polinomialnya,
maka bentuk kurvanya makin mendekati kurva datanya. Di lain pihak, makin tinggi
derajat polinomialnya146, makin besar pula potensi kemunculan pesan ”matrix
singular to machine precision” (indikasi kesalahan/error dalam hitungan).
146
Pada umumnya polinom berderajat 11 ke atas.
147
Memang, sajian tabel 7.1 di atas hanya mengasumsikan bahwa yang tidak sakit itu
rentan. Dengan asumsi ini, maka model yang cukup dekat adalah SI atau SIS. Meskipun
demikian, jika pihak pengelolanya mencatat jumlah siswa yang sembuh perharinya, maka
kemungkinannya menjadi lain; dari rumus δR/δt = βI akan didapatkan nilai parameter β
hingga model SIR dan SIRS juga bisa diuji-cobakan. Toh, data ini tidak sulit didapatkan.
Tinggal selangkah lagi. Selain itu, sebenarnya, mengidentifikasi jumlah orang yang sembuh
Dengan melibatkan sebagian dari148 datanya (tabel 7.1), seperti sebelumnya, jumlah
siswa yang sakit sebagai I (infected), maka nilai parameter α (matriks X) di atas dapat
dihitung dengan menggunakan rumusan X=(ATA)-1.(ATF). Setelah itu, dengan
menggunakan baris kode yang terdapat pada lampiran 1 L.31 (SIR Dasar β konstan),
maka akan didapatkan grafik/kurva seperti berikut (hasil hitungan α=0.50608≈0.5).
perharinya itu jauh lebih mudah (clearer) dari pada mengidentifikasi jumlah orang yang sakit
perharinya.
148
Perhatikan baris-baris kodenya (pada pengisian elemen-elemen matriks A dan F); hanya
melibatkan baris (hari) data ke 10 hingga 15.
149
Silahkan putuskan sendiri baris data mana saja yang tidak akan dilibatkan dalam hitungan
matriksnya hingga dimensi matriksnya menjadi berkurang.
150
Data ini secara eksplisit menyatakan jumlah-jumlah individu yang dinyatakan sakit
(infected) dan kebal (recovered) untuk setiap harinya. Sementara itu, jumlah individu yang
rentan (susceptible) dinyatakan secara implisit (dihitung dengan cara mengurangi jumlah
populasi total dengan yang sakit dan kebal).
Jika contoh data (tabel 7.5) ini digambarkan, dan kelompok individu yang rentan-nya
dihitung151 (sebagai populasi total minus yang sakit dan minus yang kebal), maka
kurva-kurvanya akan nampak seperti berikut.
151
Artinya, pada kasus ini, kelompok yang rentan didapatkan secara implisit (tidak diamati);
juga dengan bantuan asumsi adanya nilai total populasi yang terdapat di dalam area
studinya.
I n+1 − I n ( N − I n− Rn ) I n α
∆t − I n ∆t
R − R = N β ... (7.11)
n+1 n F ( 2 x1) 0 I ∆t
n A( 2 x 2) X ( 2 x1)
Berdasarkan tampilan gambar-gambar 7.7 & 7.8, nampak bahwa pola kurva hasil
model SIR sudah sangat mirip dengan pola kurva datanya. Artinya, hipotesa awal si
perancang bahwa karakter datanya didasarkan pada model SIR sudah tepat; item
datanya (tabel 7.5) sudah memadai untuk diproyeksikan terhadap model SIR dasar.
Hanya saja, berdasarkan nilai-nilai selisih pada kolom-kolom ”dSa” dan ”dKe”, masih
152
Baris persama, yang berisi suku S (yang rentan), bisa diabaikan untuk sementara karena
beberapa alasan. Yang pertama adalah variabel S bukan merupakan variabel bebas (tidak
diamati secara langsung dan dapat diturunkan berdasarkan rumus N-sakit-kebal). Yang
kedua, untuk memecahkan 2 parameter cukup digunakan 2 baris persamaan saja.
Gambar 7.8: Kurva-Kurva Hasil Model SIR: Rentan, Sakit, & Kebal
7.2.2 Model SIR Dasar α (β dianggap konstan)
Sebagai alternatif, jika perancang cukup yakin dengan hipotesanya, pada model SIR,
maka seperti sebelumnya, nilai parameter β-nya juga dapat diasumsikan (diketahui
secara pasti) hingga yang akan dihitung hanyalah nilai α-nya saja. Sehubungan
dengan hal ini, dengan data yang sama (tabel 7.5), maka pada sub-bab ini akan
dihitung nilai α-nya dengan asumsi bahwa β=0.125.
Dengan asumsi ini, maka salah satu alternatif penyederhanaan rumusnya (7.11)
adalah sebagai berikut.
I n +1 − I n = ( N − I n − R n ) I n ∆ t / N (α ) − ( 0 .125 ) I n ∆ t ... (7.12)
I n+1 − I n + (0.125).I n ∆t
atau, α n = .N ... (7.13)
( N − I n − Rn ).I n ∆t
Jika rumus (7.13) ini diimplementasikan, dengan data yang sama, dengan baris kode
seperti pada lampiran 1 L.33 (Data Model SIR β konstan), maka akan didapatkan
tabel & grafik seperti berikut.
Berdasarkan tampilan gambar-gambar 7.7 dan 7.9, seperti juga kasus sebelumnya,
nampak bahwa pola kurva model SIR sudah sangat mirip dengan pola kurva datanya.
Artinya, hipotesa awal perancang bahwa karakter datanya didasarkan pada model
SIR sudah tepat; item datanya (tabel 7.5) sudah memadai untuk dipetakan pada
model SIR. Hanya saja, berdasarkan nilai-nilai selisih pada kolom-kolom ”dSa” dan
”dKe”, memang masih terdapat perbedaan yang signifikan. Perbedaan nilai-nilai ini
bisa jadi karena beberapa sebab, yang antara lain karena datanya (khususnya yang
sakit) belum benar-benar representatif hingga menghasilkan nilai α yang belum
akurat, modelnya menggunakan persamaan diferensial (padahal bisa menggunakan
Di lain pihak, item data yang tersedia (tabel 7.5) adalah yang sakit (I) dan yang kebal
(R), sementara kelompok individu yang rentan (S) tidak diamati secara khusus hingga
(seperti biasanya) dijadikan sebagai variabel tidak bebas (merupakan fungsi dari I
dan S); Sn=(N-In-Rn). Dengan demikian, sebenarnya, hanya tersedia 2 item data saja
yang benar-benar merupakan variabel bebas (perhatikan persamaan 7.11 di atas)
untuk memecahkan 3 parameter (α, β, dan φ). Artinya, secara teoritis, sajian data ini
memang tidak memadai untuk dipetakan sebagai model epidemik SIRS. Meskipun
demikian, seperti pada contoh kasus sebelumnya, jika saja perancang modelnya
mengasumsikan (memaksakan diri) bahwa nilai parameter β-nya telah diketahui
(misalkan berdasarkan penelitian telah didapatkan β=0.125), maka hal itu, sebagai
hipotesa awal, secara teoritis matematis, menjadi memungkinkan.
Jika nilai parameter β memang telah diasumsikan, maka persamaan (7.14) di atas
akan menjadi (lebih sederhana) seperti berikut.
Sn I n
− N ∆t 0 Rn ∆t
S n+1 − S n S I α
I −I = n n
∆t − (0.125).I n ∆t 0 . 1 … (7.15)
n+1 n N
Rn+1 − Rn F (3 x1) 0 (0.125).I n ∆t − Rn ∆t φ X (3 x1)
A ( 3 x 3)
S n+1 − S n Sn I n α
− ∆t Rn ∆t
R − R − (0.125).I .dt = N . … (7.16)
n+1 n n F ( 2 x1) 0 − Rn ∆t A( 2 x 2) φ X ( 2 x1)
Jika rumus (7.16) diimplementasikan, dengan data yang sama (tabel 7.5) dan dengan
baris kode seperti pada lampiran 1 L.35 (Data Model SIRS β konstan), maka sebagian
besar datanya juga menyebabkan timbulnya pesan ”Matrix singular to machine
precision”, sedangkan solusinya (matriks X yang seharusnya berisi nilai-nilai α dan φ)
menjadi NaN (not a number) atau Inf (infinity/tak-hingga)154. Artinya, solusinya
(matriks X) juga tidak bisa diperoleh. Dengan demikian, berdasarkan hasil-hasil ini,
maka pada contoh kasus ini, dapat disimpulkan bahwa data di atas (tabel 7.5) masih
tidak memadai untuk dipetakan sebagai model SIRS meskipun nilai parameter β-nya
telah diasumsikan dengan nilai tertentu.
153
Akibat suatu operasi matematis yang tidak menghasilkan bilangan numerik yang tidak
terdefinisikan dengan baik.
154
Tipikal nilai hasil operasi pembagian suatu bilangan dengan nol (0).
Dengan semua baris datanya nampak bahwa hasil modelnya sudah mirip dengan
model SIR; dengan α=0.64, β=0.10, dan Ro=6.18. Artinya, hipotesa awal mengenai
model epidemiknya adalah SIR sudah tepat dan sajian item datanya juga memadai.
Hanya saja, nilai-nilai selisihnya (kolom-kolom ”dSa” & ”dKe”) masih relatif besar.
Meskipun demikian, jika 9 baris data terakhirnya dieliminasi, dengan menggunakan
contoh baris kode yang sama, maka akan didapatkan grafik dan tabel seperti berikut.
Dengan rumus X=(ATA)-1.ATF, maka nilai α-nya dapat diketahui. Sehubungan dengan
hal ini, maka dengan contoh baris kode yang terdapat pada lampiran 1 L.37 (Data
Model SIR α, β konstan), maka akan didapatkan tabel & grafik seperti di bawah ini.
155
Nilai parameter model epidemik adalah positif.
156
Anggap saja didapatkan dari literatur dan/atau sebuah penelitian selama wabahnya
berlangsung. Baris kode baru “betha = 0.125” diletakkan tepat setelah baris rumus betha
yang sudah tertera pada lampiran 1 L.39. Jadi, pada kasus ini, yang dihitung hanyalah nilai
parameter alpha-nya saja. Nilai betha yang baru ini akan menggantikan nilai betha hasil
hitungan sebelumnya.
157
Untuk mendapatkan informasi grafiknya, klik nama negaranya pada tabel “Report
Coronavirus Cases”.
158
https://docs.google.com/spreadsheets/d/1ma1T9hWbec1pXlwZ89WakRk-
OfVUQZsOCFl4FwZxzVw/edit#gid=387345074
159
Data yang tersedia terkadang berubah-rubah (tempat); dulu tersedia, sekarang tidak
tersedia; dulu tersedia di menu/tab ini, sekarang pindah ke menu/tab itu; dulu tersedia
secara lengkap, sekarang tidak lengkap (item datanya tidak sama) atau dipecah dalam
beberapa file.
7.5.2 Kurva/Grafik
Berdasarkan histori data yang tersedia, maka kita dapat menampilkan grafik atau
kurva-kurvanya untuk mendapatkan gambaran visualnya. Oleh sebab itu, sebagai
ilustrasi, berikut ini adalah beberapa contoh tampilan kurva-kurvanya, khususnya
untuk cakupan Indonesia dan Kota Bandung.
Gambar 7.32: Kurva-Kurva Sakit, Sembuh, dan Mati (Total & Harian)
Gambar 7.33: Kurva-Kurva Kasus Aktif, Total Kebal, dan Total Rentan
160
Kita tidak mengetahui kelanjutannya (kasus aktif beserta kasus baru hariannya) apakah
trend-nya akan selesai di gelombang kedua, atau berkemungkinan memiliki gelombang
berikutnya.
161
Tampilan pertama kali (apa adanya), tanpa offset sama sekali, adalah sangat penting
untuk melihat posisi-posisi kurva-kurva aslinya. Berdasarkan tampilan ini, maka kita dapat
melakukan proses trial and error untuk mendapatkan nilai-nilai offset yang lebih baik;
kedekatan data dengan modelnya.
162
Tampilan pertama kali (apa adanya), tanpa offset sama sekali, adalah sangat penting
untuk melihat posisi-posisi kurva-kurva aslinya. Berdasarkan tampilan ini, maka kita dapat
melakukan proses trial and error untuk mendapatkan nilai-nilai offset yang lebih baik;
kedekatan data dengan modelnya.
163
Nilai ini perlu ditingkatkan sejalan dengan penambahan baris datanya; nilai ini digunakan
untuk mem-fit-kan kurva modelnya terhadap datanya.
164
Nilai ini perlu ditingkatkan sejalan dengan penambahan baris datanya; nilai ini digunakan
untuk mem-fit-kan kurva modelnya terhadap datanya.
165
Ini bukan aturan, hanya sekedar sharing pengalaman pribadi; bisa benar & tidak.
166
Jika nilai So terlalu kecil, nilai α–nya cenderung negatif, jika terlalu besar juga tidak
realistis tidak realistis (jumlah yang rentan melebihi jumlah penduduk yang sebenarnya).
167
Jika datanya memang cukup dekat dengan modelnya.
168
Untuk model yang lain, perbedaannya dengan model SIR dasar dan SIR dengan Intervensi
ini tidak terlalu banyak; pola umumnya sama saja.
169
Biasanya, pengertian vaksinasi berupa suntikan serumhingga yang bersangkutan menjadi
kebal penyakit tertentu. Dengan pengertian ini, maka dalam pemodelannya, intervensi
vaksinasi akan melahirkan kelompok populasi baru; “Tervaksinasi”. Atau, jika tidak
diasumsikan seperti itu, maka keberadaam individu yang tervaksinasi akan mengurangi
jumlah yang rentan karena biasanya semuanya diasumsikan rentan (perhatikan sub-bab
2.13). Selain dari itu, dengan vaksinasi, maka individu-individu yang bersangkutan dianggap
kebal. Artinya, mereka akan langsung dianggap sebagai individu yang sudah kebal sejak di
awalnya (tidak pernah rentan dan sakit). Jumlah mereka langsung masuk ke dalam kelompok
yang kebal hingga nilai Ro-nya tidak sama dengan nol (0). Meskipun demikian, khusus pada
bab ini, vaksinasi bermakna sebagai proses pemeliharaan (treatment) kesehatan atau
pengobatan tertentu hingga waktu yang diperlukan untuk sembuh menjadi lebih cepat. Jadi,
khusus pada bab ini, vaksinasi yang dimaksud diasumsikan akan memperbesar nilai betha
(β); mempercepat proses kesembuhan.
170
Bahasan (tutorial) mengenai bagaimana menggunakan perangkat lunak Vensim dapat
dilihat pada bab 6 pustaka (Prahasta, 2018).
Jika disimulasikan, maka model SIR ini akan menghasilkan tampilan-tampilan dengan
kurva-kurva seperti berikut.
Jika disimulasikan, maka model SIR dengan intervensi ini akan menghasilkan
tampilan-tampilan dengan kurva-kurva seperti berikut.
Gambar 8.8: Kurva-Kurva SIR Rentan (S), Sakit (I), dan Kebal (R)
Seperti nampak pada gambar-gambar di atas bahwa nilai-nilai alpha (α) dan betha
(β) berfluktuasi; tidak konstan sebagaimana biasanya diasumsikan pada model-
model epidemik deterministik dan stokastik. Meskipun demikian, hal ini lebih dekat
dengan realitasnya; adalah hal yang langka jika justru nilai contact-rate–nya konstan
(homogen) untuk selamanya, karena nilai contact-rate juga akan bergantung pada
situasinya yang dinamis. Selain itu, di lain pihak, sebagaimana terlihat, fluktuasi pada
nilai-nilai alpha dan betha (gambar 8.6) juga menyebabkan fluktuasi (meskipun tidak
pada skala yang sama) pada kurva-kurva model SIR yang terintervensi (gambar 8.8).
Hal ini, terutama, disebabkan oleh adanya lonjakan-lonjakan (nilai-nilai acak) yang
digunakan sebagai model dan juga karena adanya kemunculan klaster-klaster baru.
Dengan demikian, akhirnya, kurva-kurva SIR deterministiknya nampak seperti versi
stokastiknya.
Gambar 8.9: Diagram Stock & Flow Model SIR & Intervensi Plus Sliders
171
Perhatikan bahasan sub-bab 7.5 d atas.
172
Khususnya ketika penulis melakukan penelitian.
173
Yang disebarkan (dipublikasikan) secara online.
Pada pandemi Covid-19, diberitakan terjadi banyak kasus (dalam dan luar negeri)
dimana seorang yang dinyatakan sembuh kemudian terinfeksi kembali. Jika fakta ini
benar, maka fenomena Covid-19 pun dapat didasarkan pada model SIRS; memang
fenomenanya demikian. Jadi, sebenarnya, fenomena nyata pandemi Covid-19 jauh
lebih dekat ke model SIRS ketimbang SIR. Tetapi, mengingat model SIRS memiliki 3
paramater (α, β, dan Φ) yang harus dipecahkan, sementara item data epidemik
174
Jika nilai So-nya terlalu kecil (perlu ditingkatkan), maka salah satu indikasinya adalah nilai
alphanya akan negatif dan tampilan kurvanya “tidak wajar”. Inilah yang membuatnya tidak
selalu mudah untuk menentukan nilai pendekatan yang tepat bagi nilai So.
175
Yang dikurangi dengan Io (1) dan Ro (0).
176
Susceptible exposed infected isolated recovered.
177
Perhatikan pengertian bilangan reproduksi dasar (sub-bab 5.6) versi Aronson (2020) yang
mengatakan bahwa Ro adalah jumlah kasus yang diharapkan terjadi secara rata-rata di dalam
populasi yang homogen sebagai akibat dari satu inveksi individual. Pengertian ini mengarah
pada suatu ruang/“wadah” yang berupa satuan wilayah epidemik/SWE (dibahas pada bab 9);
dan bukan wilayah administrasi. Jadi, Ro secara tidak langsung merujuk pada SWE; bukan
wilayah administrasi. Dengan demikian, bilangan reproduksi dasar adalah properties SWE.
178
Unsur-unsur geografis adalah kondisi/kenampakkan alam atau permukaan bumi yang
membentuk lingkungan hidup manusia. Unsur-unsur ini secara umum terdiri dari dua hal;
unsur-unsur fisik dan non-fisik. Yang fisik mencakup letak/luas/batas geografis,
relief/kontur/DAS, cuaca dan iklim, flora dan fauna, tanah (soils), sumber daya alam (laut,
sungai, hutan, dan lainnya), dan lain sejenisnya yang mencakup benda-benda buatan (hasil
rekayasa) manusia seperti halnya bangunan (gedung, sekolah/kampus, pasar, mall, super
market, pasar tradisional), jalan, jembatan, bendungan, danau, bandara, pelabuhan, jalan
KA, kebun, sawah, batas administrasi, dan lain sejenisnya. Sedangkan yang non-fisik
mencakup kondisi beserta aktivitas masyarakat yang bersangkutan (populasi, budaya,
keyakinan, adat-istiadat, prilaku sosial, dan lain sejenisnya). Sehubungan dengan hal ini,
maka unsur-unsur geografis yang tergolong fisik dapat dilihat secara langsung di lapangan
atau dari peta-peta dengan berbagai skalanya.
179
Memang tidak benar-benar unik; masih saja ada unsur-unsur rata-ratanya karena di
dalam satuan wilayah pun terdapat struktur-struktur yang memungkinkan prilaku
180
Meskipun bukan faktor penentu satu-satunya.
Pada contoh kasus di atas (gambar 9.3), telah disebutkan bahwa pada SWE1 terjadi
fenomena yang sesuai dengan model SIR (α=0.80), pada SWE2 juga terjadi fenomena
yang sesuai dengan SIR (α=0.55), sedangkan pada SWE3 terjadi fenomena yang
sesuai dengan SIRS (α=0.65). Jika ketiga contoh kasus SWE ini diagregasikan, dan
kemudian dipetakan pada salah satu model (SIR atau SIRS), maka akan terjadi
generalisasi tipe model beserta nilai-nilai parameternya. Inilah bentuk biasnya
(kerugian besar di bidang epidemik). Pada kondisi ini, yang ”dipukul-rata” tidak
sekedar nilai-nilai α & β-nya, tetapi lebih mendasar lagi; yaitu, asumsi mengenai tipe
modelnya. Masalahnya adalah apakah tipe model yang menjadi pilihan beserta nilai-
nilai parameternya sudah pantas mendasari fenomena epidemiknya. Jika tidak, maka
adalah hal yang sangat wajar jika terjadi perbedaan yang signifikan antara sampel
data dengan (hasil prediksi) modelnya.
Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah contoh sampel data buatan181 (tabel 9.1) bagi
simulasi epidemik (dengan wabah penyakit yang sama dan dengan asumsi β=1/14)
yang berasal dari 3 SWE yang berbeda tetapi tepat bersebelahan. Tetapi karena satu
181
Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran III di bawah.
182
Dengan menggunakan data dan rumus yang sama untuk menghitung alpha (α) pada saat
mencapai puncak kurvanya.
Gambar 9.6: Kurva Sakit Agregasi dan Rekonstruksi Model SIR & SIRS
Gambar 9.6a adalah contoh tampilan kurva-kurva yang sakit (kasus aktif) dengan
model yang sama tetapi dengan nilai-nilai parameter (to, Io, α, dan β) yang berbeda.
Agregasi ke-3 model ini dapat menghasilkan sebuah kurva dengan 3 puncak.
Berdasarkan kenampakkan 3 model ini, adalah tidak sulit untuk memahami bahwa
kurva hasil agregasi data bisa saja memiliki lebih dari 1 puncak, tidak semulus model
deterministik tunggal, tidak teratur, dan tidak mudah ditebak.
Jika hasil tracing-nya akurat, direkam dengan baik, dan dianalisis dengan
benar, maka gambaran (perhatikan contoh kasus gambar 9.28) mengenai
kronologis beserta sebaran penyakitnya berpotensi untuk menjadi lebih
jelas (clear tanpa perdebatan); berasal dari mana sebenarnya (asal-usul),
berapa jumlah infeksi primernya (Io pada saat to), dan berikut jumlah-
jumlah infeksi sekunder (It) yang diakibatkannya pada periode awalnya.
183
Intervensi kesehatan mungkin pernah atau akan terjadi sebelum atau setelah siklus
wabahnya terjadi; pada kasus ini tidak terjadi intervensi di dalam siklus modelnya.
184
Sebagai misal, 1 orang yang terinfeksi masuk ke wilayah A dan menularkan ke sejumlah
orang. Tiga hari kemudian, datanglah 2 orang lain yang juga terinfeksi ke wilayah A dan juga
menularkan penyakitnya ke beberapa orang yang berbeda.
185
Aktivitas-aktivitas yang berpotensi untuk menimbulkan claster baru antara lain adalah
pertunjukkan/konser musik, fashion show, acara hiburan, club-malam, kafe, restoran,
tempat wisata, seminar, perkuliahan/sekolah tatap muka, (menonton) pertandingan olah-
raga di stadion atau ruang tertentu, jual-beli/bisnis di pasar atau pertokoan (gedung),
kepengurusan pajak, keuangan, dan kesehatan di kantor pemerintahan, bank, dan rumah
sakit, peringatan/perayaan dan/atau libur (mudik) hari besar agama, resepsi pernikahan,
pengambilan suara (terutama pilkada & pilpres) di TPS, dan lain sejenisnya.
186
Perhatikan nilai-nilai yang terdapat pada sumbu Y-nya (“skala” jumlah kasus hariannya).
Dengan memperhatikan skala-skalanya, sebenarnya, kenampakkan bentuk “gelombang
Gambar 9.8b: Rata-Rata Kasus Baru India, Indonesia, dan Afrika Selatan
Gelombang kedua (dan seterusnya) sangat dikhawatirkan. Menurut informasi,
efeknya lebih dahsyat dari pada gelombang pertama. Kejadian ini pernah dialami
oleh beberapa negara di dunia. Amerika Serikat, Argentina, Brasil, Jerman, Prancis,
Itali, Bangladesh, Filipina, India, Turki, Iran, dan lain sebagainya adalah sebagian dari
negara-negara yang dimaksud. Dari negara-negara tersebut, nampaknya, kondisi
India yang dianggap terparah (khususnya pada bulan April 2021).
Sebagai ilustrasi187, gambar 9.8b memperlihatkan perbandingan jumlah rata-rata
kasus baru per-harinya antara India, Indonesia, dan Afrika Selatan. Berdasarkan data
tersebut, India mulai mengalami gelombang kedua sejak pertengahan bulan Februari
2021. Sedangkan Indonesia memperlihatkan trend penurunan rata-rata kasus (masih
gelombang pertama) sejak awal Februari 2021. Baik kurva kasus aktif (yang sedang
terinfeksi, sakit, atau dalam perawatan/isoman) maupun kurva kasus hariannya
memperlihatkan bahwa Indonesia sudah mengalami penurunan jumlah kasus pada
kedua” (dan seterusnya) bisa bersifat relatif; jika bentuknya relatif kecil (jumlah kasusnya
relatif kecil), maka itu cenderung merupakan “riak-riak” atau tonjolan karena adanya klaster.
Sebagai contoh, perhatikan gambar 9.8b yang memperlihatkan fenomena riak-riak kecil
(bukan gelombang kedua dan seterusnya) yang pernah terjadi di Brunei Darrusalam. Jika
bentuknya memang besar (jumlah kasusnya relatif besar), maka itu dapat dianggap sebagai
gelombang kedua, dan seterusnya.
187
Gambar-gambar seperti ini dapat diperoleh dari pencarian di situs Google
https://www.google.co.id dengan kata kunci “corona new cases”.
Gambar 9.8c: Rata-Rata Kasus Baru Arab Saudi, Korea Selatan, Brunei
Sehubungan dengan kasus ”gelombang kedua” di India, WHO188 menyatakan bahwa
kombinasi dari pertemuan masal189, rendahnya tingkat vaksinasi, dan keberadaan
varian-varian baru (terutama yang lebih ganas) telah menyebabkan190 kasus Covid-19
melonjak parah. Pada gelombang kedua ini, India benar-benar mengalami badai yang
mematikan. Kepanikan masal, kerusuhan atau kekacauan di rumah sakit (faskes),
angka kematian meningkat tajam, dan gangguan di sektor ekonomi adalah sebagian
dari akibatnya. Oleh sebab itu, karena resikonya yang sangat parah, sebagian media
menyebut kejadian di India ini sebagai ”tsunami covid-19”. Peristiwa ini tentu saja
menjadi pelajaran penting bagi negara-negara lainnya untuk selalu mewaspadai dan
mencegah terjadinya gelombang kedua dan seterusnya di negara masing-masing.
191
Sebagai salah satu cara yang mudah untuk mendapatkan solusi.
192
Menggunakan nilai populasi area-area yang berbeda tingkatan.
193
Nilai parameter β-nya dianggap sama; penyakit dan kesembuhannya dianggap sama.
194
Angka-angkanya dapat dimunculkan jika memang diperlukan.
Berdasarkan tabel-tabel 9.1a & 9.1b dan gambar 9.8d dan 9.8e, seperti disinggung,
meskipun dengan menggunakan sampel data (It & Rt) yang sama, nampak bahwa
perbedaan asumsi bagi nilai-nilai (pendekatan) So akan menyebabkan perbedaan
195
Tentu saja pengelolaan faktor-faktor di atas cenderung akan menekan (mengurangi) nilai
alpha ini hingga kecepatan sebaran penyakit menjadi lebih kecil, ketimbang sekedar
berharap pada kondisi kontak sosial apa adanya. Oleh sebab itu, faktor-faktor ini sering
198
Tentu saja, tidak semua penyakit yang akan sembuh (dalam pengertian kebal atau
meninggal dunia) dengan sendirinya.
199
Parameter-parameter inilah yang dapat digunakan sebagai bagian dari strategi untuk
meningkatkan nilai betha yang pada gilirannya akan mempercepat proses kesembuhan para
penderita penyakit (infected).
200
Detil (items) dari APD dapat dilihat pada dokumen yang dibuat oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; lihat pustaka (Kemenkes, 2020).
201
Salah salah satu rujukan yang menerangkan hal ini adalah pustaka (CNN, 2020).
202
Tentu saja, ada jenis/tipe penyakit yang memungkinkan seseorang menjadi rentan
kembali setelah sebelumnya dinyatakan sembuh.
203
Hampir semua manusia cenderung akan lebih tetap sehat/sembuh/kebal (recovered) jika
yang bersangkutan menempuh cara cara hidup sehat (menggunakan parameter-parameter
tersebut) ketimbang sekedar membiarkan apa adanya.
204
Parameter-parameter inilah yang dapat digunakan sebagai bagian dari strategi untuk
menurunkan nilai phi yang mempertahankan kualitas kesehatan populasi (dalam kondisi
sembuh, kebal, atau tetap recovered).
205
Faktor-faktor inilah yang juga dapat digunakan untuk menurunkan nilai delta.
206
Yang didapat dari website KawalCovid19. Meskipun demikian, untuk kemudahan
tampilan, maka yang dimunculkan pada halaman ini hanya sebagian, sementara itu sisanya
dicantumkan pada lampiran IV di bawah. Tabel ini cukup terbatas agar dapat dimunculkan 1
halaman dan grafik/kurvanya pun mudah dimunculkan.
207
Kolom ini (bilangan reproduksi efektif) dihitung secara sederhana dengan menggunakan
perangkat lunak Ms. Excel berdasarkan masukkan kolom kasus harian/baru dengan rumus
sederhana RE= Kt/Kt-1.
208
Contoh baris-baris kode yang digunakan untuk menampilkan kurva-kurva ini dapat dilihat
pada lampiran I, L.51 “Bilangan Reproduksi Efektif”.
209
Perbuatan yang nampak secara sekilas tidak konsisten seperti inilah yang sering menjadi
bahan “serangan” kepada pemerintah oleh pihak “oposisi”.
210
Mengingat bahwa kondisi (kasus baru/harian, kasus aktif, dan nilai bilangan reproduksi
efektif) di suatu area (SWE atau batas administrasi) bisa jadi berbeda dengan area-area yang
terdapat di sekitarnya, maka keputusan kapan saat memperlonggar dan/atau kapan pula
waktunya untuk memperketat suatu pelaksanaan kebijakan (tindakan intervensi kesehatan)
bisa jadi juga berbeda. Tetapi, dengan adanya potensi perbedaan ini, yang perlu
dipertimbangkan adalah “harmonisasinya” (tenggang-rasa) sehingga tindakan pelonggaran
atau pengetatan yang dilakukan terhadap suatu tindakan intervensi kesehatan di suatu area
tidak “mengganggu” (merugikan aspek-aspek ekonomi dan epidemik) area-area yang berada
di sekitarnya. Pada kondisi tertentu, juga diperlukan penyelarasan dengan area-area
sekitarnya.
211
https://www.worldometers.info/coronavirus/country/.
212
Sebelumnya, karena merasakan beberapa gejalanya, pasien berinisiatif memeriksanya
(rapid test atau antigen) di lab. kesehatan komersial (yang buka kapan saja) dengan biaya
sendiri.
213
Kemungkinan besar, yang sering mengalami keterlambatan pelaporan dan pencatatan
adalah yang terinfeksi/sakit (apalagi yang terekspos) karena lebih sulit untuk mengenali
orang yang mulai terinfeksi (dan yang terekspos) dari pada mengenali orang yang sembuh
dan mati. Selain itu, keterbatasan tenaga medis, alat medis, fasilitas medis, inisiatif
warga/keluarga yang bersangkutan, dan lain sejenisnya, juga bisa menyebabkan
keterlambatan pelaporan dan pencatatan peristiwa epidemik.
215
Daftar ini (sebagian negara) diperoleh dengan cara mengevaluasi data harian total jumlah
penderita Covid-19 (jumlah kasus terinfeksi/kasus aktif, sembuh, mati) yang dapat diperoleh
secara gratis di website internasional yang telah disebutkan pada bab 7; khususnya
https://covid19.who.int/table. Memang, di beberapa hari awal bulan Maret 2020, nampak
ada sedikit perbedaan antara data yang bersumber dari website WHO ini dengan
https://data.humdata.org. Sebagai misal, pada data WHO, pada hari pertama terinfeksi (2
Maret 2020), Indonesia terdeteksi 6 orang sedangkan pada data Humdata terdeteksi 2 orang
saja. Meskipun demikian, keduanya menyatakan hal yang sama bahwa sejak hari itu, jumlah
yang terinfeksi sudah ada dan lebih dari 1; yaitu 2 atau 6 orang.
Jika data ini benar/akurat, nampak bahwa secara kronologis, negara yang pertama
kali terinfeksi (kasus aktif) adalah China (4 Januari 2020) kemudian disusul Jepang (14
Januari 2020) dan Singapura (23 Januari 2020). Menurut catatan ini, di China
terdapat seorang yang terinfeksi di hari pertama; masuk akal dan sesuai dengan
asumsi model epidemik (pada saat to, Io=1). Demikian pula halnya dengan Jepang,
Jerman, Finlandia, Polandia, dan Libya. Meskipun demikian, berdasarkan data pada
tabel ini pula, kebanyakan negara telah terinfeksi oleh lebih dari satu orang sejak
hari pertamanya. Artinya, kelompok negara yang kedua ini berpotensi mengalami
ketidak-cermatan dalam mengidentifikasi jumlah individu yang terinfeksi atau
setidaknya keterlambahan pelaporannya. Sebenarnya, jika sampel datanya lebih
detil (misalkan per-kota di dunia), akan ada banyak (item) hasil analisis yang dapat
diperoleh berdasarkan catatan krolologis, letak geografis, dan pola pergerakan
(terutama melalui moda-moda transportasi darat dan udara) orang-orang yang telah
terinfeksi.
Sampel data ini (tabel 9.3) berbasis wilayah administrasi yang sangat luas (negara),
bukan per-kota atau bahkan per-SWE yang sempit dan homogen. Dengan demikian,
sampel datanya masih bersifat umum hingga hasil analisisnya tidak detil. Pada
kondisi ini, jika diasumsikan bahwa sumber penyakitnya sama (1 model saja), infeksi
primernya sama dengan satu, adalah tidak mudah untuk menjawab beberapa
pertanyaan seperti halnya: (1) ”mengapa setelah China, yang terinfeksi adalah
Jepang (bukannya negara yang tepat bersebelahan atau lebih dekat dengan China)?”,
dan (2) ”mengapa perlu waktu hingga 10 hari untuk sampai ke Jepang?” Selain itu,
dengan asumsi yang sama pula (semua individu yang terinfeksi seharusnya dapat
dirunut hingga ke peristiwa yang pertama di China), nampak bahwa pola sebaran
Covid-19 tidak seperti yang dideskripsikan oleh gambar 5.1 di atas (sebaran virus
bermula dan menyebar dari yang paling dekat). Lain halnya jika asumsinya berbeda.
216
Jika yang bersangkutan berada dalam perawatan/pengawasan para praktisi/akhli medis.
217
Karena yang bersangkutan tidak selalu memahami kondisi kesehatannya bahwa dirinya
mulai terinfeksi, dan jika ia memang memahami bahwa dirinya terinfeksi pun, yang
bersangkutan belum tentu akan segera datang ke fasilitas kesehatan untuk memeriksakan
diri untuk mendapatkan kepastian statusnya; sudah terinfeksi atau tidak.
218
Setahu penulis, di luar periode awal pandemi pun (awal Agustus 2021), terdapat kasus
(kerabat penulis) dimana terjadi kematian dengan hasil pemeriksaan paru-paru yang bercak
putih tetapi hasil tes SWAB Covid-19-nya (sebelum yang bersangkutan meningal dunia)
negatif hingga kemudian dimakamkan secara normal; pasien non-Covid-19.
219
Kasus seperti ini juga dapat disimak dari percakapan antara Prof. Rhenald Kasali dengan
Deddy Corbuzier yang videonya telah di-upload ke situs Youtube pada Mei 2020.
220
Informasi ini dicuplik dari pustaka (Sumantri, 2020).
221
Untuk point ini solusinya juga memerlukan keterlibatan/peran/dukungan pemerintah
selain kerja keras dan kreativitas yang bersangkutan.
222
Banyak sumber berita yang mengungkapkan hal ini. Tetapi sebagai ilustrasi saja, penulis
hanya memberikan dua sumber yang memberitakan hal itu; yaitu pustaka (Suara, 2020) dan
(Liputan6, 2020).
223
Nampaknya, hal ini tidak didasarkan pada argumen yang masuk akal, hasil penelitian yang
terbukti benar, dan sikap kehati-hatian yang memadai.
224
Bagi yang tidak memiliki uang yang cukup tentu saja menyisakan masalah tersendiri;
akibatnya bisa besar, bisa kecil.
225
Sebagian dari orang yang nyeleneh ini bahkan sampai tega menyalahkan pemerintahnya
yang sebenarnya sudah berusaha untuk menanggulangi pandemi Covid-19 dan
mengingatkan warganya agar mentaati protokol kesehatan.
226
Segelintir orang, di periode awalnya, menganggap (berprasangka) bahwa pandemi Covid-
19 adalah suatu azab bagi suatu negeri; hingga yang bersangkutan tidak waspada. Tetapi
ketika negerinya juga ternyata terkena pandemi yang sama beberapa bulan kemudian,
mereka baru menyadari kekeliruan ini; prasangka/pendapat buruk yang tak berdasar dan
terlalu dini pula. Terkait dengan hal ini, maka untuk meredam perkembangan anggapan yang
keliru itu dan juga tidak memperbaiki keadaan (tidak menyelesaikan masalah), maka imam
besar Istiqlal sampai perlu meminta agar tidak ada pihak yang menganggap virus corona ini
sebagai azab. Detil mengenai keterangan ini dapat dilihat pada pustaka (CNN, 2020a).
227
Ketua Satgas Penanganan Covid-19, Doni Monardo, menyebut ada 17 persen masyarakat
Indonesia yang masih tak percaya Covid-19, padahal sudah banyak korban jiwa [lihat pustaka
(detik, 2021a)]. Bahkan, segelintir orang (oknum) yang tidak percaya ini justru berasal dari
kalangan yang sebenarnya memahami kesehatan dan penyakit/tenaga medis [lihat pustaka
(Kompas, 2021e)].
228
Ada suatu kejadian dimana seseorang yang sebenarnya sudah merasa terkena Covid-19
(karena teman-teman dekat di tempat kerjanya pun sudah di-test dan terbukti hasilnya
positif), sengaja merahasiakannya dan tidak segera memeriksakan diri dengan pertimbangan
bahwa ia tinggal di sekitar perkampungan dan memiliki orang tua tunggal yang sudah sepuh
dan tinggal terpisah tidak jauh dari rumahnya. Jadi, pertimbangannya, jika ia di-tes dan
kemudian terbukti hasilnya positif, maka orang sekampung akan mengetahuinya hinga ia
dikarantina di rumah (isoman); tidak bisa kemana-mana. Jika dikarantina, ia pikir, siapa yang
akan mengurus (memberi makan dan memperhatikan kehidupan sehari-hari) orang tua
tunggalnya. Pertimbangan ini tentu saja berisi unsur kebenaran sekaligus kelemahan.
Kelemahannya, ia menilai kondisi kesehatannya tanpa bukti/data/dasar yang kuat/valid
(belum dites). Jika ternyata ia (sebenarnya) terinfeksi, selama di dalam dan ke luar rumah
(untuk belanja dan mengurusi orang tua tunggalnya), maka potensi penularan kepada anak-
istri beserta anggota masyarakat yang berada di sekitarnya akan terus berlangsung. Belum
lagi jika anak-istrinya pun bergaul dengan anggota masyarakat yang lain. Dan mereka
akhirnya tidak akan mengetahui dengan pasti kapan (subjektivitas) saatnya mereka
sebenarnya masih terinfeksi (dapat menularkan) dan kapan pula saatnya sudah sembuh
(untuk bisa bergaul dan beraktivitas seperti biasanya). Artinya, dengan contoh kejadian
seperti ini saja (secara umum karena sebab sifat/sikap masyarakatnya), bisa jadi, potensi
jumlah manusia yang terinfeksi oleh pandemi Covid-19 (atau yang lain) akan jauh lebih besar
dari pada yang tercatat; mirip dengan fenomena gunung ES.
229
Mungkin, sebagian anggota keluarganya juga mengetahui hal ini tetapi karena merasa
segan akhirnya tidak melaporkan kondisi yang sebenarnya. Sementara itu, karena banyak
keterbatasan, memang, tidak akan ada petugas yang akan mendatangi dan menanyai
pasiennya satu-per-satu di rumah masing-masing.
230
Tentu saja fungsi kekebalan ini bersifat sementara waktu; sebab, belum diketahui bahwa
terdapat fungsi kekebalan (berasal dari vaksin) yang bersifat permanen. Hal ini memang
sudah terbukti; beberapa orang yang telah divaksinasi pun masih bisa terkena kembali oleh
penyakit yang sama. Sifat kekebalan (“pemberian” vaksin) ini memiliki rentang waktu yang
cukup bervariasi; tentu saja secara detil masih akan bergantung pada kondisi tubuh yang
bersangkutan, kualitas vaksinnya, dan juga pergaulan/mobilitas yang bersangkutan. Sebagai
ilustrasi, khusus untuk kasus Covid-19, laporan yang dimuat di surat kabar di New England
Journal of Medicine, berdasarkan pantauan para dokter terhadap 34 (sampel) pasien
pertama yang menerima vaksin Moderna, menyatakan bahwa vaksin ini dapat melindungi
tubuh dari virus yang bersangkutan (secara efektif) selama sekitar 119 hari (sekitar 3 bulan).
Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada pustaka (Kompas, 2020h). Sifat kekebalan yang
sementara ini, karena vaksin, tentu saja perlu dimasukkan ke dalam model epidemiknya
hingga aspek/faktor vaksinasi (di dalam modelnya) hanya efektif untuk simulasi model yang
berjalan tidak lebih lama dari masa efektif vaksinnya.
231
Vaksin adalah zat, senyawa, atau “virus” yang telah dilemahkan atau “dimatikan” (sudah
tidak lagi mampu menyebarkan penyakitnya) dan kemudian disuntikkan ke dalam tubuh
hingga mendapatkan respon dari tubuh dengan meningkatkan produksi antibodinya
(merangsang pembentukkan kekebalan tubuh) yang akan menangkal benda asing yang
masuk tersebut (virus penyakit yang telah dilemahkan).
232
Sumber: https://www.dreamstime.com
233
Dicuplik dari pustaka (Hakim, 2021).
234
Perhatikan pustaka (Kompas, 2020h).
235
Untuk tipe vaksi lain tentu saja bisa memiliki waktu yang berbeda.
236
Lihat pustaka (Kompas, 2021d).
237
Lihat pustaka (Beritasatu, 2021).
238
Politisi.
239
Pada saat itu tengah menjabat sebagai Gubernur Aceh.
240
Pada saat itu tengah menjabat sebagai Bupati Sleman.
241
Mantan Gubernur DKI.
242
Setidaknya di Inggris, Lebanon, Korea Selatan, India, Singapura, Jepang, dan Malaysia
telah ditemukan varian baru virus korona (Kompas, 2020c). Dengan memperhatikan nama-
nama negara tersebut, dekat Indonesia, maka adalah tidak mengherankan jika tidak dalam
waktu yang terlalu lama di Indonesia pun dapat ditemukan varian baru. Dan memang
terbukti.
243
Dicuplik dari pustaka (Sarah, 2021).
244
Dikutip dari pernyataan dr. Sepriani Timurtini Limbong di pustaka (Maharani, 2020).
245
Uji klinis adalah pengujian obat/vaksin baru pada manusia; sebelumnya diawali oleh
pengujian terhadap hewan (uji pra-klinis). Pada dasarnya, uji klinis bertujuan untuk
mengevaluasi efektivitas, keamanan, dan memberikan gambaran mengenai efek samping
yang mungkin muncul pada manusia sebagai akibat mengkonsumsi obat/vaksin barunya.
246
Plasebo adalah perawatan yang terlihat seperti obat atau vaksin tetapi tidak
menggunakan bahan aktif yang telah terbukti dapat melindungi atau menyembuhkan.
247
Pada saat tulisan ini dibuat, nilai efektivitas vaksin Covid-19 belum lengkap; memerlukan
waktu untuk menentukannya dan terkadang memiliki nilai yang tidak sama dan berupa
kisaran (bukan nilai tunggal) untuk wilayah (dan sumber berita) yang berbeda.
248
WHO merekomendasikan efikasi yang baik adalah di atas 50% hasil uji klinis fase 3. Di lain
pihak, nilai efikasi suatu vaksin bisa berbeda-beda untuk jumlah sampel, waktu, dan tempat
pengujian yang berbeda pula.
249
Berdasarkan pustaka (Maharani, 2020).
250
Vaksin ini telah dilaporkan mengalami sejumlah masalah keamanan. Terkait hal ini, pihak
regulator Eropa mengatakan bahwa mereka telah menemukan kasus pembekuan darah
pada beberapa penerima vaksin ini di usia dewasa (Tribun, 2021).
251
Dikutip dari pustaka (Kompas, 2020d)
252
Diambil dari (Kompas, 2020e).
253
Pembuatan vaksin ini diprakarsai oleh Terawan Agus Putranto (mantan menteri
kesehatan RI) di RSPAD Gatot Subroto (Jakarta). Pengembangannya melibatkan Universitas
Diponegoro, RS. Kariadi (Semarang), dan Avita Biomedical Corporation (Amerika Serikat).
Vaksin ini merupakan vaksin personal yang berbasiskan sel dendritik; menggunakan bahan
serum darah pasiennya. Vaksin ini tidak memerlukan alat penyimpanan (cooler box) dengan
suhu minus 80 derajat celcius yang mahal itu. Vaksin ini telah menyelesaikan (akhir Januari
2021) uji klinis fase I-nya yang melibatkan 27 relawan dan dilaporkan tidak ada efek-samping
serius. Pada saat tulisan (paragraf) ini dibuat, uji klinis fase II-nya masih direncanakan
dengan melibatkan 180 relawan. Hingga Juni 2021, vaksin ini belum mendapatkan ijin dari
badan pengawas obat dan makanan (BPOM). Meskipun demikian, sejumlah tokoh nasional
dan anggota DPR telah menjadi relawan bagi vaksin ini. Mereka mengaku tidak mengalami
efek-samping karena vaksin ini. (informasi ini disarikan dari berbagai sumber pustaka online).
254
Vaksin yang dikembangkan bersama oleh lembaga biologi molekuler Eijkman
(pengembangan skala laboratorium/RND), Universitas Airlangga, PT. Kalbe Farma, dan PT.
Biofarma (skala industri). Diperkirakan, vaksin ini baru menyelesaikan tahap uji klinisnya
beserta produksinya di akhir tahun 2021 hingga 2022. (informasi ini disarikan dari berbagai
sumber pustaka online).
255
(Butir-butir) ketentuan ini dikutip dari pustaka (Okezone, 2021), meskipun demikian, ada
kemungkinan beberapa perbedaan detil jika dibandingkan dengan butir-butir pada pustaka-
pustaka yang lain. Apalagi jika waktunya jika berbeda. Selain itu, pada saat tulisan sub-bab
ini dibuat, pandemi masih berlangsung dan program vaksinasi di Indonesia belum lama
dimulainya. Dengan demikian, berdasarkan perkembangan dan pertimbangan situasinya,
pada akhirnya, terdapat perbedaan detil antara butir-butir ketentuan ini dengan prakteknya
di lapangan. Dan memang, ketentuan mengenai hal ini, pada prakteknya, tidak seketat butir-
butir di atas. Pada prakteknya, disediakan waktu untuk berkonsultasi (dan konfirmasi) antara
pasien dengan dokternya sebelum benar-benar divaksinasi. Dalam beberapa kasus, ternyata
ada toleransi tertentu. Sesuai dengan surat edaran nomor HK.02.02/II/368/2021, tertanggal
11 Februari 2021, tentang “pelaksanaan vaksinasi Covid-19 pada kelompok sasaran lansia,
komorbid, penyintas covid-19, serta sasaran tunda”, ternyata, ibu menyusui, penderita
Covid-19 (yang sudah sembuh lebih dari 3 bulan), dan penderita diabetes (yang belum akut
dan terkontrol) juga dapat divaksinasi. Aturan mengenai pelaksanaan vaksinasi Covid-19 di
Indonesia adalah surat edaran ini.
256
Tidak semua dokter, praktisi medis, dan/atau petugas medis pun mendalami atau
menguasai ilmu dan praktis pervaksinan.
257
Badan pengawas obat dan makanan.
258
Majelis ulama Indonesia.
259
Sumber: https://dailyprogress.com
260
Dicuplik dari (sumber) pustaka (Dinkes, 2020).
261
Mengingat bahwa sifat kekebalan yang diberikan oleh vaksin tidak bersifat permanen dan
juga memiliki nilai efektivitas tertentu. Menurut pustaka (Kompas, 2020h), sebagai ilustrasi
saja, vaksin Moderna ditaksir dapat memberikan kekebalan terhadap Covid-19 selama
sekitar 3 bulan.
262
Menurut surat edaran (kementerian kesehatan RI) nomor HK.02.02/II/368/2021 tentang
“pelaksanaan vaksinasi covid-19…”, pelaksanaan vaksinasi covid-19 telah dilakukan (di
Indonesia) sejak 13 Januari 2021, dilakukan secara bertahap dengan target sasaran 181,5
juta orang.
263
Perhatikan pustaka (Kompas, 2021)
264
Dicuplik dari (Detik, 2021).
265
Sebagai contoh kasus, WHO (badan kesehatan dunia) mengungkapkan bahwa kemajuan
program vaksinasi bagi para lansia di provinsi-provinsi Aceh dan Sumatera Barat berjalan
lambat. Hingga berita ini dicuplik (15 September 2021), di kedua provinsi ini, lebih dari 90%
lansia masih belum tervaksinasi sama sekali; di Sumbar yang tersisa (belum tervaksinasi)
92.78% dan di Aceh tersisa 92.64%. Padahal program vaksinasinya telah berjalan mulai dari
bulan Februari 2021. Informasi lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat pada pustaka
(CNN, 2021c).
266
Sebagai contoh kasus, Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Dinas
Kesehatan provinsi Aceh (Kab. Aceh Tenggara) mengatakan bahwa banyak vaksin yang
terbuang karena pada awal program vaksinasi banyak anggota masyarakat yang takut atau
tidak antusias untuk divaksin. Saat program vaksinasi digelar, jumlah anggota masyarakat
yang datang masih jauh dari targetnya. Terkadang, yang datang hanya 6 orang. Padahal,
vaksin yang dikirim dari pusat berbentuk kemasan dimana satu vial dapat digunakan untuk
memvaksinasi 10 orang; hingga cukuk banyak yangt tak terpakai. Akhirnya, sebanyak 1.921
dosis vaksin Sinovac rusak dan terbuang sia-sia di Kab. Aceh Tenggara saja. Informasi lebih
detil mengenai hal ini dapat dilihat di pustaka (Kompas, 2021h).
267
Perhatikan pernyataan Epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, di dalam
pustaka (Hakim, 2021).
268
Perhatikan cara kerja vaksin.
269
Karena pada saat tulisan (bab) ini dibuat nilai-nilai efektivitas vaksin-vaksin Covid-19
belum diketahui, belum semua informasi mengenai vaksin Covid-19 terpublikasikan, belum
diketahui apakah Indonesia menggunakan yang mana, dan juga program vaksinasinya belum
dimulai, maka pada kondisi (sementara) ini nilai efektivitasnya nol (0).
270
Keterangan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat pada pustaka (Merdeka, 2021).
271
Sebenarnya hal ini masih menyisakan pertanyaan apakah seseorang yang telah kebal
secara alami juga akan kebal terhadap virus Covid-19 dengan varian yang lain (berbeda).
272
Perhatikan pernyataan pakar epidemilog pada pustaka (Hakim, 2021).
273
Dikutip dari pustaka (Aronson, 2020).
274
Dikutip dari pustaka (Kompas, 2021) dan (Detik, 2021).
275
Perhatikan pula beberapa kelompok orang yang sebaiknya tidak (atau paling tidak
ditunda) disuntik vaksinnya, belum lagi terdapat sekelompok orang yang memang sejak awal
sudah menolak vaksinasi Covid-19.
276
Disarikan dari pustaka (Ariyani, 2020).
277
Penyakit, termasuk Covid-19, diasumsikan akan menyebar hanya pada orang-orang yang
masih rentan. Jadi, jika sudah tidak ada lagi orang yang rentan, maka penyakitnya akan
berhenti pada orang-orang yang terakhir terinfeksi (menunggu kesembuhan secara
keseluruhan). Atau, jika penyakitnya “masuk” ke orang-orang telah sembuh atau kebal
(dengan asumsi bahwa masuknya penyakit ini tidak akan berpengaruh), maka orang-orang
yang masih rentan dan berada di balik orang-orang yang kebal akan terlindungi; orang-orang
yang rentan tidak berhubungan langsung dengan orang-orang yang terinfeksi. Dengan
Pemikiran mengenai herd immunity ini, sebetulnya, bisa saja tercederai jika
ternyata: (1) terjadi reinfection (karena varian virus yang sama atau yang
berbeda); (2) terjadi mutasi hingga muncul varian-varian virus baru dan
lebih ganas; (3) vaksin hanya dapat mengatasi varian virus tertentu saja; (4)
banyak individu yang tidak disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan;
dan (5) terjadi banyak kerumunan (interaksi sosial yang masih tinggi).
demikian, orang-orang yang sudah kebal merupakan “tameng” (perisai) bagi orang-orang
yang masih rentan.
278
Dengan memperhatikan gambar 9.17, nampak bahwa untuk mencapai herd immunity,
tidak sekedar nilai batasnya (HIT) yang harus terlampaui. Lokasi atau posisi manusianya pun
perlu dipertimbangkan; individu-individu yang dianggap sudah kebal (tervaksinasi) harus
menjadi “batas” atau “penghalang” di antara yang rentan dan yang terinfeksi.
279
Sehubungan dengan hal ini, di dalam pustaka (PR, 2021a), mantan menteri kesehatan Siti
Fadilah mengatakan bahwa upaya pemerintah dengan memberikan vaksin Covid-19 tidak
akan merubah resiko penyebaran virus karena efektivitas yang tidak maksimal. “Harapan
pemerintah dengan 70% divaksin, 70% juga terjadi imunitas, padahal itu tidak mungkin
karena efektivitasnya tidak ada yang 100%”.
280
Sumber: https://www.nursingcenter.com
281
Perhasikan pustaka-pustaka (Kompas, 2021) dan (Detik, 2021).
282
Bloomberg adalah perusahaan media masa (layanan berita global, televisi, radio, internet,
dan publikasi cetak) besar dan multi-nasional di Amerika Serikat.
283
Informasi ini dicuplik dari pustaka (CNN, 2021).
284
Sebagian orang menganggap bahwa vaksin nusantara (yang buatan anak bangsa ini)
adalah bagian dari terapi plasma konvalesen, tetapi sebagian yang lain mengatakan bahwa
ada perbedaan mendasar di antara keduanya.
285
Perhatikan informasi ini pad pustaka (Kompas, 2021c).
9.12 Re-Infection
Berdasarkan beberapa sumber, pengalaman nyata, meskipun belum terlalu sering
terjadi, pada kasus Covid-19, individu yang pernah dinyatakan sembuh pun, ternyata,
bisa kembali terinfeksi (bukti bahwa Covid-19 lebih dekat ke model SIRS ketimbang
SIR). Demikian pula halnya dengan sebagian akhli/praktisi medis yang mengakui
bahwa hal ini memang bisa dan pernah terjadi:
a) Bukti pertama289 bahwa individu dapat kembali terinfeksi Covid-19 terjadi
pada Februari 2020 ketika otoritas di Jepang melaporkan bahwa seorang
wanita yang berusia 40-an dites positif karena (varian) virus yang sama tiga
minggu setelah pernah dinyatakan sembuh.
b) Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Hongkong membuktikan adanya
peristiwa infeksi-ulang terhadap pasien Covid-19. Seorang pasien pria yang
berumur 33 tahun pernah dinyatakan bebas Covid-19 dan keluar dari rumah
sakit pada April 2020, tetapi kemudian dinyatakan positif kembali setelah
kembali dari Spanyol pada Agustus 2020. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kedua (varian) virus Covid-19 (April & Agustus) yang pernah diidap
oleh pria ini tidak sama290.
c) Kejadian serupa juga pernah terjadi di Belanda dan Belgia. Mereka terinfeksi
kembali setelah beberapa bulan sembuh. Hasil penelitian mengatakan bahwa
pasien lansia ini memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah dan antibodi
286
Dicuplik dari pustaka (Anastasia, 2020).
287
Perhatikan pernyataan Kolone Jonny (seorang peneliti vaksin Nusantara) pada pustaka
(Suara, 2021).
288
Sebenarnya hal ini, sebagaimana juga vaksin dan kekebalan alami, masih menyisakan
pertanyaan apakah antibodi yang berasal dari seseorang (donor) juga dapat menyembuhkan
orang lain yang terinfeksi virus Covid-19 tetapi dengan varian virus yang berbeda.
289
Dicuplik dari pustaka (Gatra, 2020).
290
Keterangan ini dicuplik dari pustaka (Orami, 2020).
291
Keterangan ini dikutip dari pustaka (Harini, 2020).
292
Keterangan ini didapat dari pustaka (Tinta, 2020).
293
Informasi ini didapat dari pustaka (Media, 2020).
294
Informasi ini dapat dilihat pada pustaka (Haibunda, 2020).
295
Dicuplik dari pustaka (Anjar, 2020).
296
Dicuplik dari pustaka (CNN, 2021b).
297
Dicuplik dari pustaka (Hakim, 2021).
298
Keterangan mengenai hal ini dapat dilihat pada pustaka (Lilis, 2020).
299
Keterangan ini didapat dari pustaka (Kontan, 2020a).
300
Dikutip dari pustaka (Gatra, 2020).
301
Ini pendapat/pandangan pribadi penulis.
302
Dikutip dari pustaka (Wahyudi, 2020).
303
Kedaruratan kesehatan masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat
luar biasa dengan ditandai oleh penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang
disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bio-terorisme, dan
pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau
lintas negara (UU RI no. 6 tahun 2018 pasal 1 ayat 2).
304
Perhatikan pula definisi karantina sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 1 ayat 6
UU RI Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Undang-undang ini masih
bersifat umum (kekarantinaan kesehatan); tidak dikhususkan hanya untuk Covid-19 dan
dibuat sebelum munculnya pandemi Covid-19.
305
Beberapa jenis hewan (gorila, singa, harimau, anjing, kucing, cerpelai, kelelawar),
menurut beberapa sumber pustaka, juga dapat tertular virus Covid-19 akibat berinteraksi
dengan manusia.
306
Pengertian ini sedikit berbeda dengan istilah yang sama sebagaimana telah disebutkan di
dalam pasal 1 ayat 7 UU RI Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
307
Perhatikan tingkatan UU yang menjadi dasarnya dan juga pustaka (Kompas, 2020f) yang
menjadi dasar bahwa karantina wilayah adalah wewenang pemerintah pusat. Meskipun
demikian, pernah terjadi beberapa kasus dimana pemerintah daerah memutuskan
berlakunya karantina wilayah beserta pencabutannya; memberlakukan karantina wilayah
tanpa terlebih dahulu meminta arahan atau persetujuan dari pemerintah pusat.
308
Pemerintah (Presiden) melarang lockdown; perhatikan pustaka (Kompas, 2020f).
309
Pasal 53 UU RI no 6 tahun 2018.
310
Pasal 54 UU RI no 6 tahun 2018.
311
Sumber: https://www.alamy.com
312
Perhatikan ayat 1 pasal 11 UU no 6 tahun 2018 tentang “Kekarantinaan Kesehatan”.
313
Perhatikan ayat 1 pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan RI no 9 tahun 2020 tentang
“pedoman pembatasan sosial berskala besar dalam rangka percepatan penanganan corona
virus disease 2019 (Covid-19)”.
314
Perhatikan pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan RI no 9 tahun 2020.
315
Perhatikan pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan RI no 9 tahun 2020 dan pasal 4
peraturan pemerintah RI nomor 21 tahun 2020.
316
Sumber: https://setkab.go.id
317
Perhatikan isi butir-butir pada diktum kedua instruksi menteri dalam negeri nomor 1
tahun 2021.
318
Dicuplik dari pustaka (PR, 2021).
319
Perhatikan isi butir-butir pada diktum ketiga pada dokumen instrukri menteri dalam
negeri nomor 1 tahun 2021.
320
Diktum kedua mengenai kriteria zonasi pengendalian wilayah hingga tingkat RT.
Sementara itu, detil (deskripsi) mengenai skenario sebagai konsekuensi dari zonasi ini dapat
dilihat pada diktum kedua dokumen instruksi menteri dalam negeri no. 3 tahun 2021.
321
Kondisi dimana masyarakat tetap beraktivitas “seperti biasanya” dalam kondisi wabah,
pandemi, “perang”, atau yang sejenisnya (kondisi yang tidak seperti biasanya).
322
Sumber: https://heloborneo.com
323
Pasal 3 Keppres nomor 7 tahun 2020.
324
Memang, di satu sisi, bagi pihak yang tidak memahami masalahnya, kondisi “tarik-ulur”
ini dapat dipahami sebagai sebuah tindakan yang tidak konsisten.
325
Perhatikan kembali bahasan sub-bab 9.8 yang menjelaskan beberapa sifat dan sikap
anggota masyarakat terkait pandemi Covid-19.
326
Agar fasilitasnya (ruang) tetap terpakai meskipun tidak ditambah lagi (karena sudah
terbatas), aktivitas kerja masih berjalan seperti biasa, bisnisnya tidak terlalu rugi, masih ada
pendapatan, atau proyeknya tidak terlalu terbengkalai, sebagai misal, maka: (1) pelaksanaan
ketentuan PPKM di sebagian lembaga tidak sesuai ketentuan (sebagai contoh menjadi 25%
WFH dan 75% WFO); (2) pelaksanaan PSBB di sebagian lembaga di bawah ketentuan level
kewaspadaannya (perhatikan kenyataan yang terjadi dengan ketentuan yang ada pada
pergub yang bersangkutan), jaga jarak fisik baik dalam suatu antrian pelayanan maupun
lokasi-lokasi duduk/menunggu tidak sesuai dengan level kewaspadaannya (ruangnya tidak
ditambah atau pesertanya tidak dikurangi), pengurangan jam operasional/kerja tidak sesuai
dengan level kewaspadaannya, pembatasan jumlah pengunjung belum sesuai dengan level
kewaspadaannya, dan lain sejenisnya.
327
Bisa jadi, wajib militer, pendidikan dasar militer, pecinta alam, latihan bela negara, olah-
raga bela diri, ninja warior, dan bentuk-bentuk kedisiplinan lainnya akan banyak membantu;
hingga perlu segera diterapkan. Masyarakat harus lebih dikompakkan dan didisiplinkan
Tidak mudah bagi setiap badan usaha untuk selalu mengikuti dinamika level
kewaspadaan yang ada di wilayahnya dan kemudian memasukkan points
kebijakan tersebut kedalam peraturan internalnya328 (persentase WFH,
WFO, jumlah kedatangan, aktivitas pelacakan kontak & test, pemberlakuan
kasus-kasus karantina, isolasi mandiri, dll.) sesuai dengan pedoman level
kewaspadaan yang tercantum pada pergub-nya (PSBB) atau instruksi
menteri dalam negeri (PPKM/PPKM mikro, darurat, dan level-nya).
Kecepatan perubahan (aturan internal berikut penerapannya) mereka,
biasanya, di bawah dinamika level kewaspadaan kasus Covid-19. Selain itu,
mereka juga belum tentu memiliki personel yang secara khusus mengurusi
hal itu.
Demikian pula halnya dengan sebagian dari anggota masyarakat. Sebagian
dari mereka kurang memperhatikan level kewaspadaan dan juga kurang
peduli dengan konsekuensinya (termasuk perlunya mengurangi interaksi
sosial dan menerapkan protokol kesehatan secara ketat). Oleh sebab itu,
tidak mengherankan jika banyak korban yang berjatuhan di Indonesia; 26
Januari 2021 mencapai 1 juta jiwa, dan Senin 21 Juni 2021 mencapai 2 juta
jiwa (total terkonfirmasi). Negara mana pun, yang kondisi masyarakatnya
seperti ini, tidak layak menerapkan lockdown; percuma saja jika prilakunya
belum berubah (interaksi sosialnya tinggi dan sering terjadi pelanggaran
protokol kesehatan). Jika dipaksakan, maka jumlah kasusnya cenderung
tetap tidak segera turun, kasusnya terus berlanjut, sementara pengorbanan
dan biayanya sudah sangat besar.
Untuk mendapatkan (sampel) data Covid-19 yang akurat, hingga
mencerminkan level kewaspadaan yang sebenarnya, perlu dibuatkan
prosedur pelaporan dan pencatatan jumlah kasusnya secara terpusat,
tanpa duplikasi (data kasus), efisien, dan terkonfirmasi (uptodate).
Diperlukan kesabaran petugas/satgas/gugus tugas dalam mengawal dan
memonitor mereka selama menerapkan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, dalam mengatasi masalah Covid-19
ini diperlukan pengertian & kerjasama yang sangat baik di antara seluruh
komponen masyarakat dengan pemerintah.
dengan pendidikan (fisik & mental) yang agak ketat agar di masa yang akan datang tidak
repot dalam menghadapi tantangan yang lebih berat.
328
Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa teman yang bekerja di lembaga/kantor
yang berbeda, didapatkan keterangan bahwa beberapa instansi tidak/belum menerapkan
aturan internalnya (khususnya WFH, WFO) sesuai dengan level kewaspadaan yang aktual.
9.14 Lockdown
Pada kondisi pandemi Covid-19, dalam usaha untuk menurunkan jumlah kasus aktif
(plus hariannya/baru) dan membendung menyebarannya yang cepat dan masif,
maka beberapa negara pernah menerapkan kebijakan darurat lockdown; baik secara
harfiah (apa adanya) maupun maknawi (dengan batasan/ketentuan tertentu).
Meskipun demikian, bahasan pada sub-bab ini lebih cenderung pada implementasi
makna lockdown secara harfiah.
Lockdown
Pada kondisi lockdown, sederhananya (secara harfiah), wilayah yang terdampak
wabah/pandemi akan ditutup secara total dari akses ke luar dan masuknya; tidak ada
(orang dan kendaraan) yang boleh keluar dan masuk (kecuali yang berwajib, petugas,
dan/atau satgas terkait). Dengan demikian, anggota masyarakat yang berada di
wilayah lockdown tidak boleh (sangat dibatasi/tidak disarankan untuk) keluar rumah
dan berkumpul sesamanya di luar rumah dan/atau di tempat umum; masyarakat
diperintahkan untuk ”mengurung diri” (tinggal) di dalam rumah masing-masing
untuk sementara waktu329. Oleh sebab itu, pada kondisi ini, pemerintah akan
memenuhi semua kebutuhan sehari-hari makanan, minuman, dan obat-obatan bagi
masyarakatnya selain juga menyediakan petugas yang berpatroli.
329
Sebenarnya, dengan pengertian seperti ini, pada dasarnya (kurang-lebih) lockdown juga
berarti karantina wilayah. Oleh sebab itu, sebagian orang/pihak menyamakan lockdown
dengan “karantina wilayah”.
330
Sumber: https://www.thenationalnews.com
331
Ketika paragraf ini dituliskan, setidaknyanya pandemi Covid-19 sudah berjalan sekitar
setahun lebih dan masih belum juga mereda. Apakah ada negara yang dapat bertahan
dengan kebijakan lockdown total selama setahun lebih?
332
Dengan mempertimbangkan kemungkinan perbedaan penerapannya di setiap wilayah
atau negara, tentu saja akan ada variasi pada potensi-potensi keuntungan dan kerugian
pelaksanaan kebijakan lockdown di setiap wilayah/negara. Selain itu, karena sebab satu dan
lain hal, penerapan kebijakan lockdown tidak menjamin kasusnya (yang terinfeksinya) akan
berhenti 100% . Oleh sebab itu, efek lockdown di setiap negara bisa berbeda-beda; secara
umum bergantung pada kesiapan, kesabaran, kedisiplinan, dan kemampuan (khususnya
cadangan atau sumber-daya makanan, uang, dan devisa) masing-masing negara. Sebagai
catatan, butir-butir potensi-potensi keuntungan dan kerugian yang dituliskan oleh penulis ini
(pendapat pribadi) cenderung ditujukan pada negara-negara yang berpenduduk banyak dan
tidak kaya. Sebagai tambahan, karena memang ada unsur overlap-nya, maka ada sebagian
336
Sebagian diperoleh dengan cara berhutang; perhatikan uraian pada pustaka (Kompas,
2021f).
337
Memang, dengan kebiasaan baru dalam proses belajar-mengajar via online, baik guru dan
murid akan mendapatkan pengalaman baru dengan teknologi yang pada awalnya
menyenangkan. Meskipun demikian, jika hal ini terus berlangsung sekian lama, hal ini bisa
jadi akan memunculkan rasa kebosanan. Bagaimana pun juga, manusia perlu bersosialisasi
dan berkomunikasi secara langsung dan tatap-muka hingga dapat mengekspresikan apa
yang benar-benar diperlukannya; sosialisasi dan komunikasi tatap-muka antara guru dan
murid dan antara seorang murid dengan sesama murid yang lain. Mereka merindukan
suasana sekolah/kampus. Efek jangka panjangnya cukup jelas, kualitas pendidikan menurun,
meskipun memang hal ini belum diketahui seberapa jauh. Selain itu, jika kebiasaan ini terus
berlangsung, kebiasaan anak untuk bersosialisasi (budaya bergaul, bermain, dan saling
peduli/empati) dengan sesamanya tidak dapat berjalan semestinya.
338
Beberapa (oknum) politikus menyarankan untuk segera menerapkan kebijakan lockdown.
339
Ini pendapat pribadi penulis. Sebagian negara bisa jadi telah dan/atau pernah melakukan
lockdown secara maknawi dengan batasan/lingkup tertentu dan dengan menggunakan
istilah yang berbeda.
340
Covid-19, nampaknya, tidak seperti wabah “alami” yang biasa seperti halnya DB, tipus,
flue, cacar air, dan lain sejenisnya. Ia memiliki “daya dorong”dan kemampuan untuk
“menakut-nakuti” yang luar biasa besar selain juga berefek pada fisik (sakit dan kematian),
psikologis, ekonomi, sistem keuangan, perlunya kebijakan pemerintah, dan potensi
keributan (gesekan) di tengah masyarakat (terkait penerapan kebijakan tertentu yang
dibuat).
341
Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada pustaka (Tempo, 2021).
342
ibid.
343
ibid.
344
Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada pustaka (Tempo, 2021a).
345
https://www.worldometers.info/coronavirus/country/.
346
Perhatikan juga grafik-grafik “Active cases” (number of invected people) pada website
WorldOmeters.
347
Perhatikan juga grafik-grafik “Daily new cases” pada website WorldOmeters.
348
Keterangan, deskripsi, fakta, atau pemahaman mengenai kondisi/hal yang menyebabkan
datanya menjadi seperti itu (baik secara langsung maupun tidak langsung) adalah sangat
berharga. Catatan ini hendaknya dibuat pada waktunya, jika terlambat, sebagian dari
detilnya yang penting bisa jadi terlupakan. Negara (juga kita semua) memerlukan catatan-
catatan ini sebagai bahan pembelajaran. Suatu sampel data (termasuk epidemik), yang tidak
dilengkapi dengan pemahaman atau keterangan seperti ini bisa jadi akan kehilangan makna.
Keterangan beserta pemahaman seperti ini lebih berharga dari pada kedekatan suatu
sampel data terhadap modelnya.
349
Sebagai contoh hikmah, perhatikan bencana lumpur Lapindo (di Sidoarjo Provinsi Jawa
Timur) yang terjadi beberapa tahun yang lalu dan sangat menyesakkan masyarakat lokal dan
pemerintah. Tetapi baru-baru ini para peneliti menemukan banyak kandungan
mineral/logam yang sangat berharga di wilayah itu; rare earth (logam tanah jarang),
350
Nilai total dari butir-butir dampak negatif (baik secara mikro maupun makro) dari Covid-
19 ini tentu saja sulit diukur secara eksak (terutama yang dikeluarkan oleh elemen-elemen
masyarakat dan badan usaha milik non-pemerintah karena laporannya tidak tersedia). Selain
itu, sebagian butir dampak merupakan pengaruh atau efek-samping dari butir-butir dampak
yang lain. Relasi timbal-balik antar-butir dampak ini tidak mudah untuk dinarasikan dengan
kata-kata semata. Apalagi, relasi ini bersifat dinamis. Oleh sebab itu, biasanya, deskripsi
mengenai butir-butir dampak ini disertai dengan diagram sebab-akibat yang sebagian di
antaranya bisa jadi dapat dimodelkan dengan menggunakan simulasi model sistem dinamis
(dengan pendekatan dan asumsi tertentu).
351
Prosedur pemeriksaan Covid-19 didahulukan sementara yang lain dilakukan setelahnya.
Kondisi ini membuat sebagian pasien penyakit non-Covid-19 menunda jadwal
pemeriksaannya dan/atau enggan untuk memeriksakan diri/kontrol kesehatan.
352
Tetapi sejak di awal 2022 pemberitaan mengenai Covid-19 sudah cukup mereda,
masyarakat nampak sudah tidak begitu terganggu dengan berita-berita mengenai Covid-19,
dan kehidupan nampak mulai normal seperti sebelum pandemi.
353
Pemberitaan yang heboh & masif dapat bisa berdampak negatif (di luar isi/materi
pemberitaannya itu sendiri); menyisakan sifat/kondisi kepanikan masal, pesimisme, atau
cara pandang yang negatif. Di lain pihak, lama-ke-lamaan, bisa jadi, karena rasa kebosanan
atau kejenuhan, maka suatu saat berita-berita dari media mengenai (bahaya dan korban-
korban) Covid-19 akan surut atau mereda juga dengan sendirinya dan oleh karenanya
banyak orang yang lalai terhadap bahaya virus ini, sementara virus ini masih mengancam
(bergentayangan); suatu saat banyak orang sudah tidak peduli lagi.
354
Memang, sebagian dari pengeluaran ini juga ditanggung oleh pemerintah (instansi
pemerintah dimana kepala rumah tangganya bekerja dan/atau puskesmas dimana mereka
berada) pada beberapa kondisi atau event tertentu. Tetapi di luar itu, pengeluarannya harus
ditanggung oleh yang bersangkutan atau lembaga (swasta) dimana yang bersangkutan
bekerja.
355
Kebijakan-kebijakan ini dibuat (karena jumlah kasusnya masih meningkat) untuk
menurunkan jumlah kasusnya atau menghentikan sebaran Covid-19.
356
Perhatikan pustaka (Kompas, 2021f).
357
Tetapi karena juga ada penurunan demand yang disebabkan oleh sikap hati-hati, “tiarap”,
dan penurunan daya-beli masyarakat, maka juga terdapat beberapa penurunan harga pada
beberapa tipe barang; terutama barang-barang yang berharga tinggi, mahal, atau mewah.
358
Hasil survey kementerian ketenaga-kerjaan memperlihatkan bahwa sekitar 88%
perusahaan terdampak pendemi Covid-19 selama 6 bulan terakhir, pada umumnya dalam
362
Meskipun memang pandemi Covid-19 berkemungkinan besar menyebabkan terjadinya
learning loss, tetapi pandemi ini (yang menyebabkan tercegahnya sekolah/kuliah tatap-
muka) bukanlah sebab satu-satunya yang menjadi penyebab learning loss. Komunikasi yang
tidak berjalan dengan baik antara guru dan murid atau komunikasi yang berjalan searah pun
dapat menyebabkan learning loss.
363
Perhatikan pula uraian yang terdapat pada pustaka (Kompas, 2021f).
364
Pengertian ini dicuplik dari pustaka (Antara, 2021).
365
Informasi ini didapatkan dari pustaka (CNN, 2021d).
366
Meskipun demikian, dengan sudut pandang atau konteks tertentu, butir-butir yang pada
saat ini dipandang sebagai dampak positif, pada suatu saat, sebagai efek-samping, bisa jadi
akan menyebabkan munculnya dampak negatif.
367
Pada umumnya didominasi oleh kartu-kartu yang dikeluarkan oleh Bank dan layanan
sambungan telepon seluler.
368
Sebagian dari butir-butir ini cenderung akan mengurangi pengeluaran dan menambah
(meningkatkan) pendapatan (devisa) nasional.
369
Sektor-sektor usaha (yang produknya bisa diproduksi oleh UMKM dan kemudian
diekspor) yang nampaknya tidak terlalu terganggu atau justru mendukung perbaikan pada
kondisi pandemi ini.
370
Sebagian dari hal ini juga disebabkan oleh karena meredupnya atau matinya beberapa
bidang usaha atau bisnis yang berukuran relatif besar (operasionalnya sangat mahal),
sementara demand-nya tetap ada.
371
Oleh sebab itu, kesempatan ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan tepat dan
cepat (tidak membuang waktu dan kesempatan).
372
Sebab, tidak mustahil akan terjadi lagi “musibah masal” pada masa yang akan datang.
373
Perhatikan butir-butir yang menjadi pertimbangan atau “menimbang” (khususnya butir b)
pada Perpu nomor 1 tahun 2020 ini.
374
Penulis hanya menuliskan sebagian saja dari points yang terdapat pada kebijakan atau
peraturan yang bersangkutan.
375
Keterangan lebih lanjut dan detil mengenai hal ini dapat dilihat pada (dokumen) lembar
lampiran pidato presiden RI pada sidang tahunan MPR, DPR, dan DPRD (14 Agustus 2020)
dalam rangka HUT ke-75 proklamasi kemerdekaan RI.
9.17 Saran
Sehubungan dengan bahasan di atas (khususnya bab 9) berikut analisisnya, maka
sebagai bentuk resume, berikut ini adalah beberapa saran yang dapat diberikan:
1) Sebaiknya, pandemi Covid-19 juga dibahas (dianalisis) dalam perspektif
sebab-akibat379 dengan beberapa konteksnya (biologi-epidemik, pendidikan,
sosial, politik, kemanusiaan, pendidikan, ekonomi/bisnis/perdagangan,
budaya, dan lainnya) sehingga: (1) permasalahannya dapat teruraikan secara
luas & lengkap, terpahami dengan baik dan logis, dapat dikoreksi, dan mudah
dikomunikasikan lebih luas; (2) potensi solusinya dapat tergambarkan dan
dipilih sesuai prioritas; dan (3) masalahnya dapat diselesaikan tahap-demi-
tahap, paralel, dan menyeluruh.
2) Social network terkait juga perlu dipertimbangkan untuk menganalisa,
memilih (memutuskan), dan melakukan (potensi) intervensi kesehatan
masyarakat (karantina, isolasi, & penghentian sebaran penyakit).
3) Model epidemik yang dibahas (bab 2 & 3), dari sudut pandang Covid-19, bisa
saja dianggap terlalu sederhana karena hanya “membungkus” karakteristik
wabah & prilaku masyarakat sekaligus sebagai koefisien α, β, dan lainnya.
Pada kenyataannya, pada kasus Covid-19 di Indonesia saja, prilaku (intensitas
interaksi sosial & pelanggaran prokes) masyarakat nampak “dominan”380 dari
pada karakteristik Covid-19 itu sendiri. Kurva harian/kasus baru (dan kasus
aktifnya pun) untuk setiap negara pun bervariasi (tidak sama). Model biologi-
376
Disarikan dari pustaka (Kompas, 2020g) dan beberapa pustaka online lainnya.
377
Menurut surat edaran menteri kesehatan nomor HK.02.02./II/368/2021 jumlahnya
adalah 181.5 juta jiwa.
378
Keterangan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat pada pustaka (Kompas, 2021a).
379
Jangan seperti pendapat (sifat/sikap) “orang aneh” (bahasan sub-bab 9.8).
380
Sebaran Covid-19 sangat banyak didukung oleh (pola) mobilitas/pergerakan dan ketidak-
patuhan individu-individu terhadap prilaku hidup bersih & sehat (PHBS) dan protokol
kesehatan 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan
mengurangi mobilitas).
381
Implementasi point ini yang tidak mudah.
382
Sebagai contoh, gambar 9.28 di bawah ini memberikan ilustrasi mengenai hasil visualisasi
(yang bisa dianalisis) produk alat bantu analisis jaringan sosial yang diaplikasikan pada data
transmisi Covid-19 untuk kasus Karnataka (India) sebagaimana telah diulas pada pustaka
(Saraswathi et al, 2020).
383
Perhatikan berita yang ada pada pustaka (Kompas, 2021g) dan (Tribun, 2021a).
384
Termasuk konsekuensinya dengan menyediakan segala fasilitas untuk belajar online bagi
anak-anaknya sekaligus membimbingnya selama belajar online tersebut (plus tugas-tugas
yang menyertainya); terutama bagis siswa yang belum dewasa (setingkat SD hingga SMP).
385
Terutama bagi para siswa yang sudah dewasa (setingkat SMP, SMA/SMK, dan mahasiswa)
dan peralatannya (sistemnya) sudah memadai (siswa dan guru memiliki sistem komputernya
dan jaringan internetnya sudah tersedia).
386
Juga merupakan cerminan prilaku masyarakatnya yang kurang sabar/tergesa.
387
Sering terjadi di beberapa negara berkembang dan yang berpenduduk relatif besar/
padat. Prilaku seperti ini bisa berkembang menjadi masalah besar dengan pemicu apa pun.
Oleh sebab itu, hal ini perlu segera dibenahi.
388
Sebagian orang menolak PSBB & PPKM karena kesulitan mencari nafkah.
389
Dalam beberapa contoh kasus, Indonesia pernah mengalami krisis yang serupa (dengan
negara-negara yang lain) tetapi akibatnya lebih parah dan pulih tidak lebih cepat seperti
halnya negara yang lain. Pandemi Covid-19 ini (global) dan krisis moneter 1998 (regional) itu
sekedar contoh kasus (pelajaran). Oleh sebab itu, kita perlu introspeksi, tidak lalai, dan
segera mengatasi akar penyebabnya sebelum (potensi) bencala lain (berikutnya)
berdatangan. Paling tidak, dari bencana ini, manusia Indonesia seharusnya sudah lebih
waspada dan siap secara mental untuk menghadapi potensi bencana; apa pun bentuknya.
390
Covid-19 hanya sebuah kasus, tetapi nampaknya kita memang cenderung tidak siap
dalam menghadapi bencana. Oleh sebab itu, kita tetap perlu waspada, tidak lalai, dan tidak
berprasangka baik yang tidak pada tempatnya & waktunya agar dapat mengurangi potensi
dampak dan kerugian totalnya beserta memudahkan mitigasinya.
391
Pada pustaka (PR, 2021b), pakar wabah dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa
pandemi Covid-19 ini merupakan simulasi perang biologis. Sementara itu, di lain pihak, pada
pustaka (PR, 2021c), mantan Menkes RI Siti Fadilah Supari meyakini bahwa Amerika & China
merupakan korban Covid-19.
392
Fakta menunjukkan bahwa tidak sedikit orang yang sering melupakan “sejarah” hingga
mereka beberapa kali “jatuh ke lubang yang sama”. Setelah pandemi Covid-19 ini berjalan
lebih dari satu setengah tahun, sebagian orang beraktivitas seperti biasanya hingga
berkerumun tanpa bermasker. Mereka cenderung melupakan atau tidak ingat lagi pada
masa-masa sulitnya ketika di awal-awal periode pandemi Covid-19.
393
Di Indonesia saja, hal ini dapat dilihat dengan terbitnya: (1) peraturan pemerintah
pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2020 tentang “kebijakan keuangan negara dan
stabilitas sistem keuangan untuk pandemi corona virus 2019 dan/atau dalam rangka
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas
sistem keuangan”; (2) peraturan menteri keuangan nomor 38/PMK.02/2020 tentang
“pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi corona virus disease
dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau
sistem keuangan”; dan (3) peraturan menteri keuangan nomor 43/PMK.05/2020 tentang
“mekanisme pelaksanaan anggaran belanja atas beban anggaran pendapatan dan belanja
negara dalam penanganan pandemi corona virus disease 2019”.
394
Singapura sempat mengalami krisis (kekurangan) energi karena pasokan gas alam dari
Indonesia yang dialirkan melalui pipa West Natuna mengalami gangguan sejak Juli 2021.
395
Inggris mengalami krisis energi akibat persediaan gas bumi yang menipis, kenaikan harga
/tarif listrik, dan kelangkaan BBM.
396
China mengalami kekurangan suplai batubara sebagai pemasok energi listriknya;
terutama bagi sebagian besar industri dan rumah tangganya. Karena pasokannya yang mulai
berkurang (dorongan untuk mengurangi emisi karbon, tutupnya/berkurangnya tambang
batubara, dan berkurangnya investasi di bidang oil & gas), harganya melonjak, permintannya
(konsumsinya) meningkat, sementara pasokan energi listrik dari sumber-sumber yang
terbarukan (sinar matahari, angin, dan lain sejenisnya) masih belum memadai, maka krisis ini
menyebabkan gangguan pada produksi industri (barang & jasa) dan memberatkan pengguna
rumah tangga (terutama di musim dingin). India, Inggris, dan beberapa negara Eropa lainnya
pun secara umum demikian; tidak jauh berbeda, apalagi untuk mempersiapkan musim
dingin (energi listrik sebagai sumber pemanas).
Sehubungan dengan pentingnya materi yang dibahas dan juga agar segera tersebar
dengan mudah dan cepat ke pada para pembacanya, maka buku ini dituliskan dalam
bentuk softcopy (file format PDF). Buku ini merupakan pendapat dan tulisan pribadi
penulis (yang bisa salah bisa juga benar); jadi gratis. Meskipun demikian, bagi
orang/pihak yang ingin menyalurkan infaknya terkait dengan kemanfaatan buku ini,
silahkan kirimkan ke rekening Bank Mandiri di nomor 132-00-0119076-9 atas
nama penulis.
function yo = histori(t)
global So; global Io; global Ro;
yo = [So, Io, Ro];
end
function yo = histori(t)
global So; global Io; global Ro;
yo = [So, Io, Ro];
end
function yo = h1(t)
global So; global Io; global Ro;
yo = [So, Io, Ro];
end
function yo = h2(t)
global So; global Io; global Ro;
yo = [So, Io, Ro];
end
function yo = h3(t)
global So; global Io; global Ro;
yo = [So, Io, Ro];
end
function yo = histori(t)
global So; global Io; global Ro;
yo = [So, Io, Ro];
end
L.48 Analisa
clc; clear; close all; global alpha; global betha; global tetha; global N;
simulasi_awal=0; simulasi_ahir=50;
alpha=0.8; betha=1/14; So=299; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
Contoh 1:
3 2 3 1 4 − 2
X = , XT = , adj ( X ) = ,
1 4 2 4 − 1 3
4 2
−1 1 4 − 2 10 − 10
X = =
(3.4) − (1.2) − 1 3 − 1 3
10 10
Contoh 2:
2 5 2 1 3 − 5
X = , XT = , adj ( X ) = ,
1 3 5 3 − 1 2
1 3 − 5 3 − 5
X −1 = =
(2.3) − (1.5) − 1 2 − 1 2
Matriks 3x3
a11 a12 a13 a11 a21 a31
X = a21 a22 a23 , X i , j = X j ,i = a12 a22 a32 ,
T
Contoh 4:
1 2 3
X = 2 1 4
3 1 2
det( X ) = (1.1.2 + 2.4.3 + 3.2.1) − (3.1.3 + 1.4.1 + 2.2.2) =2+24+6-9-4-8= 11.
Persamaan Kuadrat
− b + b 2 − 4ac − b − b 2 − 4ac
aX 2 + bX + c = 0 X1 = , X2 =
2a 2a
− 1 + 12 − 4.1.(−2)
Contoh 5: X 2 + X − 2 = 0 a=1, b=1, c=-2 X1 = = 1,
2.1
− 1 − 12 − 4.1.(−2)
X2 = = − 2.
2.1