Anda di halaman 1dari 352

Praktis Model Biologi/Epidemik,

Matematis, dan Simulasinya

(Model-Model Sederhana)

Eddy Prahasta
2021
SINOPSIS
Penyakit menular, kebiasaan buruk, prilaku menyimpang/tidak baik,
pola hidup tidak sehat, pencemaran lingkungan, berita bohong (hoaks),
fitnahan, gosip, ujaran kebencian (hate speech), dan lain sejenisnya
adalah fenomena-fenomena biasa yang mungkin terjadi dimana dan
kapan saja. Meskipun ada sisi menariknya, mereka tidak patut
dibiarkan, dinikmati, ditiru, dan ditransmisikan lebih jauh. Sebarannya
harus dicegah sebisa mungkin. Meskipun demikian, karena satu dan
lain hal, keberadaannya bisa jadi tak terhindarkan hingga sebagian
menjadi berita utama, populer, membentuk trend, menginveksi, dan
menular dengan cepat hingga menjadi “wabah/pandemi“. Dengan
karakteristiknya yang sangat merugikan itu, maka untuk memenuhi
kebutuhan tertentu, mereka boleh-boleh saja diasumsikan didasarkan
pada suatu “model“ yang dikonsepkan, dikuantitaskan, divisualkan,
dan kemudian disimulasikan.

Salah satu fenomena yang masih aktual adalah pandemi Covid-19 yang
mengakibatkan kerugian besar; aspek-aspek kemanusiaan (kematian,
menurunnya kenyamanan hidup, penderitaan, sakit, merenggangnya
hubungan antar-manusia), ekonomi (bisnis, perdagangan, keuangan),
dan lainnya. Oleh sebab itu, untuk mencari (potensi) unsur keterkaitan
(korelasi) antara fenomena ini dengan fenomena-fenomena lain yang
diduga sebagai dampaknya, maka fenomena ini bisa saja dimodelkan.
Hanya saja, pada akhirnya, kita dapat menilai sejauh mana sebenarnya
(tingkat) kesesuaiannya; layak atau tidak.

Setiap individu atau kelompok masyarakat tentu saja memiliki daya


tahan tersendiri. Meskipun demikian, kita sepakat bahwa fenomena ini
beserta dampak-dampaknya perlu dicatat, diamati, dan dianalisa
secara cermat untuk memperoleh pemahaman yang benar &
menyeluruh dan kemudian ditemukan potensi-potensi solusinya.
Fenomena ini merupakan pelajaran yang sangat penting dan berharga.
Kita mesti move-on, berubah menjadi lebih baik, siap, dan dewasa
karena pelajaran ini. Selain itu, siapa tahu, bencana lain yang sejenis
atau semakna dengan akan berulang pada masa yang akan datang. Kita
tidak boleh “jatuh pada lubang yang sama”. Dalam kaitan inilah, maka
bidang-bidang keilmuan matematika, statistik, pemodelan, dan
informatika menjadi relevan untuk turut berkontribusi di bidang multi-
disiplin ini. Itulah pentingnya buku ini.

Halaman: 1 349
PRAKATA
Bismillah hirrohman nirrohiim,
Alhamdulillah hirobbil a’lamiin. Segala puji & syukur penulis panjatkan kehadirat
Illahi Robbii atas segala kemudahan yang telah didapatkan hingga akhirnya penulisan
buku ini dapat dituntaskan. Terus terang, penulis benar-benar merasa tertantang
untuk mewujudkan naskah ini sebagai salah satu bentuk kontribusi dalam usahanya
untuk memahami dan kemudian mendeskripsikan kembali apa yang dipahaminya
mengenai sebagian dari fenomena biologi-epidemik yang langka, menarik, penting,
merugikan manusia, mengundang banyak pertanyaan, berefek kompleks, memiliki
kemampuan untuk “menakut-nakuti” & “memeras”, dan terjadi secara global di
akhir jaman ini.
Ide mengenai penulisan buku ini, sebetulnya, sudah muncul ketika mulai bergulirnya
pemberitaan mengenai Covid-19 yang disebut bermula di Wuhan (China); sekitar
bulan Desember 2019. Setelah mendapatkan beberapa keping informasi pun (yang
masih bersifat umum), ternyata, tidak mudah untuk memahami fenomena ini secara
utuh. Apalagi, jujur, penulis bukanlah seorang biolog, petugas/pemerhati kesehatan
masyarakat, apoteker, virolog, dokter, atau bahkan epidemiolog. Di lain pihak, pada
awalnya, kebanyakan masyarakat global pun terkedan masih sangat “meraba-raba”
mengenai fenomena ini. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika pada saat itu
banyak perbedaan pendapat dan pemberitaan yang belum tentu benar (hoak,
simpang siur, belum terkonfirmasi oleh akhlinya, atau belum teruji kebenarannya),
dan sebagian dari hasil “penelitian cepat/instan” yang ada pun cenderung hanya
menghasilkan prediksi-prediksi (model & grafik) jangka pendek yang tidak akurat.
Rupanya, untuk memahami fenomena yang langka ini juga diperlukan waktu, usaha,
dan kesabaran yang cukup.
Memang, idealnya, model biologi-epidemik yang tepat cepat ditemukan di awal
pandemi hingga (rancangan) solusinya (mitigasinya) jauh lebih mudah, murah, dan
segera diwujudkan. Meskipun demikian, karena Covid-19 adalah hal yang “baru”,
(katanya) dapat bermutasi hingga menghasilkan varian-varian baru, karakteristiknya
masih terus diteliti, sementara respon (prilaku & sifat) masyarakat terhadapnya pun
cukup beragam dan belum diketahui sepenuhnya. Oleh sebab itu, akibat dari semua
ini, sebaran penyakit beserta dampak-dampaknya secara luas juga benar-benar
merupakan hal yang baru. Dengan demikian, diperlukan waktu, usaha, dan
kesabaran yang cukup untuk mendapatkan makna yang tepat beserta solusinya.
Jika tugasnya sekedar “menampilkan” grafik atau kurva-kurva sampel datanya dan
kemudian memprediksi-cepat kapan saat mencapai puncak dan kapan pula
berakhirnya pendemi dengan (memaksakan) model yang sederhana itu, tentu saja
tidak terlalu sulit, tetapi hasilnya adalah soal yang lain. Seperti yang sudah-sudah,
hasil prediksi cara itu, untuk kasus Covid-19 saja, sering meleset. Sehubungan dengal

Halaman: 2 349
hal ini sebagian orang memberikan komentar dengan perumpamaan orang buta
(yang berusaha) mengenali bentuk seekor gajah (secara utuh).
Ternyata, di luar hal mengenai prediksi (model), yang tidak kalah pentingnya adalah:
(1) merekam fakta-fakta terkait fenomena ini beserta fenomena-fenomena yang
menjadi turunannya (akumulasi dan jumlah kasus harian [terinfeksi (kasus aktif),
sembuh, dan mati], usaha-usaha mitigasi, protokol kesehatan, vaksinasi, kemunculan
klaster-klaster baru dan varian baru, trend gelombang kedua dan berikutnya,
kelumpuhan ekonomi, kebutuhan anggaran, gelombang PHK, gejolak pro & kontra
[berbagai variasi respon] yang terjadi di masyarakat); (2) menganalisis apa saja yang
terekam; (3) merancang (potensi) perbaikan (mitigasi) kondisinya; dan (4) menggali
segala makna dan hikmahnya. Sebab, tidak mustahil, jika fenomena yang sejenis atau
seanalogi juga akan terjadi pada masa yang akan datang. Sebab, bisa saja, kasus ini
adalah (suatu) permulaan. Tentu saja hal ini memerlukan kesiapan mental, spiritual,
ilmu, dan material. Inilah pentingnya kita menuliskan catatan/fakta (selengkap
mungkin), membacanya (kembali), dan kemudian menganalisisnya sebagai
pertimbangan bagi tindakan-tindakan selanjutnya (pembuatan solusi).
Agar dapat dipahami dengan mudah, penulis membagi materinya menjadi lima
bahasan utama: (1) introduksi mengenai munculnya pandemi Covid-19 yang
melanda dunia; fenomena yang bisa saja dimodelkan; (2) model-model biologi/
epidemik (konsep dasar beserta rumusnya) yang sudah ada dan umum digunakan;
(3) pembuatan simulasi model-model tersebut dengan menggunakan contoh data
dan asumsi tertentu hingga didapatkan deretan angka-angka hasil prediksi dan
grafiknya; (4) sampel data epidemik yang terkumpul (termasuk Covid-19) beserta
kesesuaiannya dengan model-model, termasuk simulasi model dengan pendekatan
sistem dinamis; dan (5) analisis yang dirumuskan berdasarkan hasil-hasil simulasi,
pemikiran penulis, dan tentu saja juga dari hasil studi pustaka (terutama kebijakan).
Harapannya, dengan segala keterbatasannya, buku versi elektronik ini dapat
memperkaya sebagian dari fakta, data, model, “sudut pandang” (views), dan analisis
bagi pihak yang bergerak di bidang-bidang epidemik, biologi, lingkungan, sosial,
pemodelan, simulasi, dan lain sejenisnya hingga akhirnya secara umum dapat
memperkaya khazanah keilmuan; khususnya biologi, epidemiologi, dan kesehatan
masyarakat. Meskipun demikian, sebagaimana biasanya, berlakulah peri-bahasa
klasik “tiada gading yang tak retak”. Oleh sebab itu, pada kesempatan yang baik ini,
penulis mohon maklum atas segala kelemahan yang tertuang pada buku ini sekaligus
berharap saran dari pembaca sebagai masukan untuk perbaikan pada masa yang
akan datang.
Wassalam,
02 September 2021

(Penulis)
<eddypra1967@gmail.com>

Halaman: 3 349
DAFTAR ISI
Halaman
Sinopsis 1
Prakata 2
Daftar Isi 4
Daftar Istilah 7
Bab 1: Introduksi Wabah, Epidemi, Pandemi, Pemodelan & Simulasi 14
1.1 Aspek-Aspek Penting 18
1.2 Kaitan Antar Aspek-Aspek 19
1.3 Potensi Ancaman Penyakit 20
1.4 Epidemiologi & Istilah Terkait 21
1.5 Contoh-Contoh Wabah 22
1.6 Upaya Penanggulangan Wabah 23
1.7 Epidemiologi, Pemodelan, dan Simulasi 25
Bab 2: Model-Model Biologi/Epidemik 28
2.1 Model SI 30
2.2 Model SIS 31
2.3 Model SIR 33
2.4 Model SIRS 37
2.5 Model SIRD 39
2.6 Model SEIS 40
2.7 Model SEIR 42
2.8 Model SEIRS 44
2.9 Model SEIRD 45
2.10 Model SIR & Dinamika Penduduk 46
2.11 Model MSEIR 48
2.12 Model MSEIRS 50
2.13 Model Epidemik & Vaksinasi 50
2.14 Pengaruh Delay (Waktu) 55
2.15 Metode Euler & Runge-Kutta 58
2.15.1 Metode Euler 58
2.15.2 Metode Runge-Kutta 58
2.16 Catatan 60
Bab 3: Simulasi Model-Model Epidemik 61
3.1 Model SI 62
3.2 Model SIS 64
3.3 Model SIR 65
3.4 Model SIRS 68
3.5 Model SIRD 70

Halaman: 4 349
3.6 Model SEIS 71
3.7 Model SEIR 72
3.8 Model SEIRS 73
3.9 Model SEIRD 74
3.10 Model SIR & Dinamika 75
3.11 Model MSEIR 76
3.12 Model MSEIRS 77
3.13 Model Epidemik & Vaksinasi 78
3.14 Model Epidemik & Delay 79
Bab 4: Model Epidemik SIR Stokastik 85
4.1 Proses Stokastik/Acak 86
4.2 Model-Model Stokastik 86
4.3 Sampel Acak 87
4.4 Hasil Simulasi 89
4.5 Model SIR Algoritma Gillespie 91
4.6 Rantai Markov 92
Bab 5: Bilangan Reproduksi Dasar & Efektif 97
5.1 Bilangan Reproduksi Dasar 98
5.2 Rumus Sederhana Ro 99
5.3 Matriks Generasi Berikutnya 101
5.3.1 Kasus-Kasus Sederhana 101
5.3.2 Kasus-Kasus Dekomposisi Matriks G 110
5.4 Bilangan Reproduksi Efektif 114
5.5 Epidemik, Endemik, dan Dies-out 117
5.6 Rt dengan Kasus-Kasus Baru 118
Bab 6: Titik-Titik Kesetimbangan 119
Bab 7: Model & Data Epidemik 129
7.1 Data Sederhana 130
7.1.1 Model Kurva-Kurva Gauss 131
7.1.2 Model Persamaan Kuadrat 135
7.1.3 Model Persamaan Polinomial 136
7.1.4 Model SIR Dasar & Parameter α dan β 138
7.1.5 Eliminasi Data, Curve Fitting, dan Offset 140
7.2 Data Sakit & Kebal/Mati 140
7.2.1 Model SIR Dasar α dan β 141
7.2.2 Model SIR Dasar α (β dianggap konstan) 143
7.2.3 Model SIRS 145
7.3 Data Rentan, Sakit, dan Kebal 146
7.3.1 Model SIR Dasar α dan β 147
7.3.2 Model SIR Dasar α (β konstan) 149
7.3.3 Model SIRS 150
7.4 Cara-Cara Alternatif 151
7.4.1 Data Tabel 7.5 151
7.4.2 Data Tabel 7.8 154

Halaman: 5 349
7.5 Data Covid-19 159
7.5.1 Sampel Data Covid-19 160
7.5.2 Kurva/Grafik 162
7.5.3 Model-Model SIR & Alternatifnya 165
Bab 8: Simulasi Model Epidemik dengan Sistem Dinamis 175
8.1 Diagram Sebab-Akibat 175
8.2 Simulasi Model 177
8.2.1 Model SIR Dasar 177
8.2.2 Model SIR & Intervensi 179
Bab 9: Studi Pustaka & Analisis 183
9.1 Items Data & Tipe Model 184
9.2 Satuan Wilayah Epidemik (SWE) 185
9.3 Generalisasi SWE 187
9.4 Klaster Baru & Gelombang Berikutnya 192
9.5 Parameter Epidemik 196
9.5.0 Asumsi Nilai Rentan (So atau N) 197
9.5.1 Alpha (α) 199
9.5.2 Betha (β) 201
9.5.3 Phi (φ) 204
9.5.4 Delta (δ) 205
9.5.5 Bilangan Reproduksi Efektif 205
9.6 Prosedur Pelaporan, Duplikasi, Keterlambatan, dan Blunder 209
9.7 Metode yang Tidak Matang 213
9.8 Sifat & Sikap Masyarakat 215
9.9 Vaksinasi, Imunisasi, dan Varian Baru 222
9.10 Kekebalan Alami & Herd Immunity 230
9.11 Terapi Plasma Konvalesen & Vaksin Nusantara 234
9.12 Re-Infection 235
9.13 Payung Hukum & Kebijakan 238
9.14 Lockdown 252
9.15 Data vs. Model Epidemik 259
9.16 Dampak-Dampak Covid-19 261
9.16.1 Dampak Negatif 262
9.16.2 Dampak Positif 267
9.16.3 Kebijakan Sistem Keuangan Dampak Covid-19 270
9.17 Saran 273
Lembar Catatan 282
Lampiran I 283
Lampiran II 336
Lampiran III 338
Lampiran IV 339
Daftar Pustaka 340

Halaman: 6 349
DAFTAR ISTILAH
Istilah Keterangan
APD Alat pelindung diri; khususnya yang terkait dengan
penanganan wabah penyakit Covid-19.

Bias Secara umum, bias disebabkan karena adanya kesalahan


“sistematik” (faktor yang bersifat tetap/bawaan) pada proses
evaluasi, penilaian, hitungan, “pengadilan”, pengamatan,
atau pengukurannya. Oleh sebab itu, baik disadari maupun
tidak, karena adanya bias, hasil (output) prosesnya akan
berbeda (menyimpang atau tidak sama) secara signifikan
dengan yang sebenarnya.
Contoh-contoh fenomena dimana terdapat bias di dalamnya:
(1) seseorang mengukur tinggi badannya tanpa disadari
bahwa ia belum melepaskan alas kakinya yang setebal 3.0
cm itu; (2) seseorang menimbang berat badannya sambil
mengangkat salah satu kakinya atau tanpa disadari bahwa ia
masih mengenakan jaketnya yang seberat 0.75 kg itu; (3)
seseorang memeriksakan darahnya (yang mensyaratkannya
agar ia berpuasa selama minimal 20 jam) sementara ia lupa
bahwa pada paginya ia telah makan sepotong roti tawar dan
minum segelas teh manis; (4) panitia olimpiade menganalisa
rata-rata (tingkat) kecerdasan manusia (IQ) di 3 negara: di
negara A diambil beberapa sampel yang merupakan lulusan
S1 di perkotaan, di negara B diambil bebrapa sampel dari
mahasiwa D3 di pinggiran kota, dan di negara C diambil
beberapa sampel dari siswa-siswa SMA yang tinggal di
wilayah pedesaan.
Di bidang (terkait) sosial, fenomena bias juga sering
disematkan pada pernyataan, keputusan, atau kesimpulan
(hasil pengamatan, evaluasi, penilaian, atau “pengadilan”)
yang jauh dari data/fakta objektif, dan cenderung didasarkan
pada prasangka, perasaan, harapan, “arahan”, keinginan,
pendapat pribadi/kelompok, dan lainnya. Dengan demikian,
pada kasus-kasus seperti ini, fenomena bias juga dapat
mengindikasikan adanya unsur keberpihakan, penggiringan,
ketidak-adilan, ketidak-seimbangan, manipulasi, pemaksaan,
dan lainnya; baik dilakukan secara sadar maupun tidak.
Contoh fenomena dimana terdapat bias di dalamnya:
(1) pada sebuah kontes bakat seni tingkat nasional, terdapat
50 peserta dengan seorang juri senior. Khalayak tidak
menyadari bahwa sebenarnya pada saat itu, terdapat 3
peserta yang merupakan mantan murid les vokal dari jurinya,
selain juga terdapat 1 peserta yang merupakan anak teman
baik jurinya; (2) guru fisika mewajibkan muridnya yang nilai
ujian fisikanya di bawah 50 segera mengikuti kursus/les

Halaman: 7 349
Istilah Keterangan
tambahan. Sementara itu, guru tersebut juga mengajar fisika
di suatu lembaga bimbingan belajar sekaligus menjadi guru
privat fisika untuk beberapa murid; (3) pada sebuah film
diceritakan bahwa seorang “bos” telah memerintahkan anak
buahnya agar “membereskan” seseorang. Tetapi ketika
didapati bahwa seseorang tersebut akhirnya mati, maka bos
tersebut menyangkal tuduhan atasnya dengan mengatakan
bahwa ia sama sekali tidak pernah memerintahkan anak
buahnya untuk membunuhnya.

Causal diagrams Alat bantu grafis yang memungkinkan terjadinya visualisasi


(causal loop hubungan-hubungan (relasi) sebab-akibat di antara variabel-
diagram)/CLD/ variabel model diagram sebab-akibat (causal model) atau
diagram sebab- “sistem”. Biasanya, diagram ini terdiri dari sekumpulan
akibat variabel (atau nodes) yang didefinisikan di dalam lingkup
modelnya. Setiap variabel dihubungkan oleh anak panah ke
arah variabel lainnya yang saling berelasi; perubahan pada
variabel A menyebabkan perubahan pada variabel B.
Diagram ini memiliki sejarah yang panjang pada penggunaan
non-formalnya. Selain itu, pada saat ini, diagram ini
mengalami pengembangan formal di aplikasi-aplikasi sistem
cerdas, robotik, dan penelitian mengenai wabah penyakit.

Causal model / Model abstrak (konseptual) yang mendeskripsikan


model sebab-akibat mekanisme sebab-akibat yang terjadi di dalam suatu sistem.

DBD Demam berdarah dengue.

Deterministik Secara umum, variabel-variabelnya (pada model


matematisnya yang mewakili gejala/fenomenanya)
diasumsikan dapat diukur dengan derajat yg tinggi hingga
sisanya (yang tak teramati) dapat diprediksikan dengan baik;
tidak ada ketidak pastian di dalamnya (tanpa probabilitas
atau tidak bersifat stokastik). Pada konteks epidemik, dengan
deterministik, maka diasumsikan bahwa prilaku sebaran
penyakit dan proses kesembuhannya (dan kematianya)
dianggap diketahui (konstan). Sedangkan angka-angka
perubahan kelompok populasinya diasumsikan secara penuh
ditentukan berdasarkan histori dan aturan-aturan modelnya.
Jadi, secara umum, dengan deterministik, diasumsikan
bahwa hubungan antara variavel bebas (faktor penelitian)
dan tidak bebasnya (penyakit) berjalan secara sempurna;
persis seperti apa yang digambarkan oleh model
matematisnya (tanpa kesalahan apapun yang mempengaruhi
hubungan kedua tipe variabel tersebut).

Endemi Keberadaan penyakit atau agen infeksi penyakit secara terus


menerus pada populasi tertentu atau wilayah tertentu.
Istilah ini juga digunakan untuk menyatakan insiden kasus
baru penyakit yang selalu ada dalam keadaan mantap di

Halaman: 8 349
Istilah Keterangan
suatu wilayah (Depkes, 2006).

Epidemi Timbulnya kasus penyakit atau suatu kejadian di dalam suatu


populasi atau wilayah yang melebihi keadaan yang biasa
dianggap normal (Depkes, 2006).

Epidemiologi Ilmu yang mempelajari penyakit-panyakit yang diderita atau


mewabah di masyarakat; dengan tujuan untuk mengurangi
atau mengendalikan dampaknya. Atau, ilmu yang
mempelajari pola-pola kesehatan dan penyebaran penyakit
serta faktor-faktor yang terkait dengan hal ini di tingkat
populasi. Atau, ilmu yang mempelajari distribusi dan
determinan-determinan yang berhubungan dengan
kesehatan atau kejadian pada populasi tertentu dan
penerapannya studi ini untuk mengendalilan masalah-
masalah kesehatan.

Fenomena Hal atau apa saja (fakta, kenyataan, kejadian, gejala,


peristiwa), yang terjadi pada rentang waktu (periode)
tertentu, yang dapat dilihat, diamati, diukur, dan dapat
dirasakan baik secara langsung oleh panca indera manusia
maupun diukur dengan bantuan alat (sensor dan, alat ukur).
Memang, biasanya, sebagian orang mengaitkan istilah ini
dengan hal-hal yang bersifat luar biasa meskipun tidak harus
selalu demikian. Dalam kaitan ini, lenyapnya beberapa
profesi, tutupnya beberapa kelompok supermarket,
tersebar-luasnya berita bohong (hoax), perubahan pola
transaksi & belanja masyarakat menjadi berbasis online,
kenaikan suhu permukaan air laut, mencairnya sebagian
gunung/ bongkahan es di kutub, sering terjadinya gempa
bumi, dan menangisnya adik kecil yang mainannya diambil
juga merupakan fenomena.

Hipotesa/hitotesis Jawaban sementara (dugaan) terhadap suatu masalah atau


solusi (deskripsi/model) sementara terhadap suatu sistem
nyata (karena masih bersifat praduga) yang masih perlu
diteliti lebih lanjut dan kemudian dibuktikan kebenarannya.

Indikator Variabel-variabel sederhana (yang dapat diukur secara


langsung) yang digunakan untuk mewakili sebuah variabel
kompleks, latent, atau abstrak (tidak dapat diukur secara
langsung).
Sebagai misal, untuk mewakili variabel “kesehatan” (atau
kondisi/status kesehatan seseorang) yang bersifat abstrak
(tidak bisa diukur), maka digunakanlah variabel-variabel
sederhana (yang bisa diukur): usia, tekanan darah, berat
badan, tinggi badan, gula darah, kolestrol, lemak darah, dan
lain sejenisnya.
Catatan: di dunia ini terdapat variabel biasa (sederhana/

Halaman: 9 349
Istilah Keterangan
manifest) dan latent (abstrak atau kompleks). Tipe yang
pertama dapat diukur (dengan alat) secara langsung hingga
besarannya dapat diketahui. Sedangkan yang kedua, karena
bersifat kompleks, maka tidak dapat diukur secara langsung.
Jadi, untuk dapat diukur (sebagai pendekatan), maka tipe
yang kedua ini perlu memiliki beberapa indikator yang
representatif dan berupa satu atau lebih variabel biasa. Jadi,
yang diukur secara langsung pada variabel tipe latent adalah
(hanya) indikator-indikatornya. Contoh-contoh variabel
kompleks adalah kondisi lingkungan, ekosistem,
perekonomian, status keamanan, tingkat emosi, kebaikan,
kerentanan, dan lain sejenisnya.

Infeksi Serangan atau perbanyakan-diri yang dilakukan oleh patogen


(mikro organisma, virus, bakteri, dan jamur) atau penyakit
pada tubuh makhluk hidup.

Infeksi primer Infeksi pertama kali yang dilakukan oleh (masuknya)


patogen-nya.

Infeksi sekunder Infeksi kedua atau baru yang biasanya ditularkan oleh
sesama manusia.

Kasus aktif Pasien yang dinyatakan positif Covid-19 dan sedang


menjalani perawatan (dan/atau sedang isoman).

KLB Kejadian luar biasa; timbulnya atau meningkatnya kejadian


kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara
epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu
tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus
pada terjadinya wabah (Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 1501 tahun 2010).

Komorbid Penyakit penyerta. Penyakit atau kondisi yang muncul


bersamaan pada suatu individu. Istilah ini menjadi sangat
populer pada masa pandemi Covid-19. Pada konteks Covid-
19, penyakit-penyakit diabetes, jantung, ginjal, paru-paru,
tekanan darah tinggi, dan lain sejenisnya sering disebut
sebagai komorbid atau penyakit penyerta.

Learning loss Istilah yang merujuk pada hilangnya pengetahuan dan


keterampilan (baik secara umum mapun spesifik) atau
kemunduran proses akademik karena kondisi tertentu.

Lockdown Karantina terhadap suatu wilayah (terutama pada konteks


wabah/pandemi Covid-19).

Masalah Fenomena, situasi, atau kondisi yang sudah dianggap sulit,


tidak disukai, ingin dihindari, atau bahkan berbahaya hingga
perlu segera diatasi, ditangani, diselesaikan, atau setidaknya

Halaman: 10 349
Istilah Keterangan
dibuatkan solusinya. Atau, masalah adalah
fenomena/kondisi/situasi dimana terdapat perbedaan (yang
signifikan) antara kenyataan (realita) dengan harapan
(keinginan).

MERS Middle East Respiratory Syndrome.

Model Suatu bentuk penyederhanaan atau pendekatan bagi suatu


sistem. Atau, bentuk sajian formal suatu sistem yang
dinyatakan oleh bahasa/simbol/perangkat tertentu.
Meskipun demikian, pada konteks sistem dinamis (dan juga
system thinking), biasanya, sebuah model disajikan dalam
bentuk diagram sebab-akibat atau diagram stock & flow.

Model statistik Model (persamaan-persamaan) matematis yang


mengimplementasikan satu atau lebih asumsi statistik (linier,
non-linier, sederhana, dan lain sejenisnya) yang berkenaan
dengan bentuk/distribusi data sampelnya. Model statistik
mewakili suatu proses (sering kali dalam bentuk yang ideal)
untuk menghasilkan data. Model ini dibentuk dari hubungan
antara variabel-variabel bebas (sebab/mempengaruhi[x])
dengan tidak bebas (akibat /dipengaruhi[y]); misalkan
y=ax+b, y=ax1+bx2+cx3, dan lain sejenisnya.

New normal Perubahan prilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal


dengan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah
terjadinya penularan penyakit (khususnya Covid-19). Pada
dasarnya, new normal adalah fase (perioda waktu) dimana
pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilonggarkan hingga
publik dapat kembali beraktivitas seperti biasa dengan
mentaati protokol kesehatan (surat edaran menteri
kesehatan dan turunannya yang dibuat oleh instansi kerja
masing-masing) yang telah ditentukan oleh pemerintah
(selama vaksin Covid-19 belum didapatkan).

Pandemi Wabah yang meliputi wilayah yang sangat luas (Depkes,


2006).

Penyintas Orang/individu yang pernah terpapar (terinfeksi) suatu


penyakit dan kemudian (berhasil) sembuh (atau kebal).
Istilah ini sangat populer ketika terjadi pandemi Covid-19.

PSBB Pembatasan Sosial Berskala Besar. Meskipun berbeda,


praktisnya mengarah pada lockdown.

SARS Severa Acute Respiratory Syndrome.

Simulasi Tiruan atau imitasi dari eksperimen/operasi/fungsi/aktivitas


(prilaku) yang terjadi pada suatu sistem.
Eksperimen sistem, simulasi model.

Halaman: 11 349
Istilah Keterangan

Sistem [1] Entitas yang mempertahankan keberadaannya melalui


sejumlah interaksi bersama bagian-bagiannya.
[2] Sekumpulan komponen (elemen/unsur) yang saling
berkaitan (berelasi sedemikian rupa) hingga mempengaruhi
(sesuai dengan fungsi masing-masing dengan urutan
tertentu) satu sama lainnya dalam mencapai suatu tujuan
(menghasilkan output berdasarkan input yang ditentukan).

Sistem dinamis / Istilah umum bagi sistem-sistem (atau elemen-elemen


(system dynamics) sistem) yang dapat berevolusi sesuai dengan berjalannya
waktu. Meskipun demikian, dalam pengertian khusus atau
lebih teknis, istilah ini sering dirujuk sebagai dynamical
systems yang merujuk pada kelas persamaan-persamaan
matematis yang mendeskripsikan sistem berbasis waktu
dengan properties tertentu. Atau, suatu pendekatan yang
digunakan untuk memahami tingkah-laku (behaviour)
sistem-sistem yang bersifat kompleks di dalam suatu interval
waktu tertentu dengan menggunakan komponen-komponen
stock, flow, feed-back loop internal, dan time delay.

Stokastik Model matematis dimana variabel-variabelnya (yang


mewakili fenomena yang bersangkutan) tidak dapat diukur
dengan derajat kepastian yang tinggi hingga di dalamnya
terdapat unsur-unsur ketidak-pastian, probabilitas/peluang,
noise, gangguan, dan/atau kesalahan (acak, bias, atau
kerancuan). Dengan demikian, unsur-unsur ini dimasukkan
sebagai bagian dari keseluruhan model matematisnya (yang
juga berisi unsur-unsur deterministiknya) sebagai
kompensasinya.

System thinking [1] cara/pendekatan (konsep) pemikiran untuk


mengoptimasikan (memaksimalkan efektivitas) segala
sesuatu yang akan dikerjakan. [2] Disiplin manajemen yang
berkonsentrasi pada pemahaman terhadap suatu sistem
dengan cara mengamati hubungan-hubungan dan atau
interaksi-interaksi yang terjadi di antara komponen-
komponen pembentuk sistem yang bersangkutan.

Terkonfirmasi Jumlah individu-individu yang pernah dinyatakan


positif/terinfeksi virus Covid-19 yang pada saat itu dibuktikan
dengan hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Aktualnya,
yang terkonfirmasi terbagi menjadi 3 kasus: sudah sembuh,
sudah meninggal, dan sisanya masih dirawat atau sedang
isoman (kasus aktif atau masih positif). Kasus terkonfirmasi
ini terbagi menjadi 2: dengan gejala (simpomatik) dan tanpa
gejala (asimtomatik).

Wabah (outbreak) Berjangkitnya suatu penyakit menular di masyarakat yang


jumlah pendetitanya meningkat secara nyata melebihi

Halaman: 12 349
Istilah Keterangan
keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta
dapat menimbulkan malapetaka. (Depkes, 2006). Perhatikan
pula definisi wabah menurut UU RI no 4 tahun 1984.

WFH Work from home; bekerja dari rumah.

WHO World health organization; badan (unit organisasi) persatuan


bangsa-bangsa (PBB) yang secara khusus mengurusi masalah
kesehatan dunia.

Halaman: 13 349
BAB 1: INTRODUKSI
WABAH, EPIDEMI,
PANDEMI, PEMODELAN &
SIMULASI
Covid-19 (corona virus disease 2019) adalah salah satu virus yang menyebabkan
gangguan kesehatan bagi manusia. Menurut berbagai sumber, virus ini ditemukan
pertama kali di Wuhan (China) di akhir 2019. Sebagian dampaknya adalah munculnya
gejala-gejala demam, suhu badan cukup tinggi, rasa lelah/kelelahan, sakit kepala,
hidung tersumbat, berkurangnya rasa-penciuman, sakit tenggorokan, batuk kering,
dan kesulitan bernafas. Meskipun demikian, tanpa bermaksud untuk
meremehkannya, sebenarnya, penyakit ini (terutama jika tanpa penyakit penyerta)
tidak jauh lebih dahsyat dari pada penyakit-penyakit berat seperti halnya kanker,
(gagal) jantung, (gagal) ginjal, stroke, diabetes, HIV/Aids, TBC, dan lain sejenisnya.
Selain itu, juga tanpa bermaksud untuk mengabaikannya, virus ini pun belum
termasuk ke jajaran 10 besar penyakit yang dianggap paling mematikan menurut
data WHO1.
Catatan: yang dimaksudkan dengan istilah-istilah sakit, menderita, atau
terinfeksi (penyakit) pada (bab-bab) buku ini, di dalam (terminologi) data
Covid-19 disebutkan sebagai (atribut) “kasus aktif” (jumlah individu yang
dalam perawatan/isoman).
Karena faktor-faktor kecepatan transmisinya yang tinggi (terutama pada varian-
varian yang lebih baru), kemampuan menyebarnya yang sangat luas tanpa pandang
bulu, dan memang sudah banyak menelan korban jiwa (terutama orang tua dan
individu-individu yang sedang menderita penyakit berat penyerta/komorbid), maka
Covid-19 tidak dipandang sebagai virus biasa yang dianggap normal jika menyebar
secara lokal; virus ini berbahaya. Covid-19 mengancam siapa saja, kapan saja, dan
dimana saja pada kurun waktunya. Oleh sebab itu, di dalam kaitan ini, WHO secara
resmi telah menyatakan bahwa Covid-19 adalah Pandemi global2.

1
Daftar 10 penyakit yang paling mematikan di dunia menurut WHO dapat dilihat pada
pustaka (idntimes, 2020).
2
WHO, yang diwakili oleh Direktur Jendralnya (Tedros Adhanom G.) pada konferensi pers
yang dilaksanakan pada Rabu, 11 Maret 2020, di Jenewa (Swiss), menyatakan bahwa virus
Corona sebagai pandemi global (Kompas, 2020b).

Halaman: 14 349
Sehubungan dengan gentingnya (akibat) pandemi Covid-19, khususnya di Indonesia,
maka berikut ini adalah sebagian dari historinya:
1) Pada 30 Januari 2020, WHO menetapkan Covid-19 sebagai public health
emergency of international concern (PHEIC) atau kondisi kedaruratan
kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (KKMMD).
2) Pada 4 Februari 2020, telah diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan
nomor HK.01.07/MENKES/104/2020 tentang “Penetapan Infeksi Novel
Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) sebagai Penyakit yang Dapat
Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya”.
3) Pada 2 Maret 2020, telah dilaporkan bahwa di Indonesia terdapat 2 kasus
pertama Covid-19 yang terkonfirmasi.
4) Pada 13 Maret 2020 telah ditetapkan Keputusan Presiden (Keppres) no. 7
tahun 2020 tentang “Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19)”.
5) Pada 31 Maret 2020 telah dibuat Keputusan Presiden (Keppres) nomor
11 tahun 2020 tentang “Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)”.
6) Pada 3 April 2020 telah ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 9
tahun 2020 tentang “pedoman pembatasan sosial berskala besar dalam
rangka percepatan penanganan corona virus disease 2019”.
7) Pada 13 April 2020 telah ditetapkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor
12 tahun 2020 tentang “Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional”.
8) Pada 20 Mei 2020, untuk masalah yang sama, telah ditetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan RI nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang
“panduan pencegahan dan pengendalian corona virus disease 2019
(Covid-19) di tempat kerja perkantoran dan industri dalam mendukung
keberlangsungan usaha pada situasi pandemi”.
Dampak Covid-19 tidak sekedar pada tubuh; kesehatan mental manusia (sebagai
efek samping) pun dapat terganggu. Sebab, begitu Covid-19 mulai bergejolak, secara
bertahap, bermunculan fenomena-fenomena yang berdampak pada aspek-aspek
material (ekonomi) dan non-material; dengan cakupan lokal, nasional, dan bahkan
global. Beberapa bentuk fenomena tersebut adalah: (1) pengadaan alat-alat
pelindung diri (APD); (2) pengumpulan & pendaya-gunaan para akhli medis terkait
(nakes); (3) pembangunan rumah sakit (faskes) baru & khusus secara kilat dan
penambahan kapasitas rumah sakit; (4) penyiapan (peraturan/kebijakan) anggaran;
(5) penutupan (sementara) sekolah/kampus hingga menyebabkan peliburan para
pelajar dan mahasiswa; (6) diberlakukannya belajar, kuliah, dan rapat online; (7)
beralihnya tugas mengajar para guru di sekolah ke para ibu rumah tangga (terutama
di tingkat SD3); (8) berlakunya aturan work from home (WFH) hingga peliburan

3
Beberapa sekolah SD menugaskan orang tua/wali murid untuk mengajarkan (untuk
beberapa mata pelajaran) anaknya dan kemudian melaporkan aktivitas tersebut ke guru-
gurunyanya yang sedang work from home di rumah melalui video atau foto yang dikirimkan.

Halaman: 15 349
sementara bagi para pekerja; (9) pembatasan & karantina wilayah; (10) pembatasan
jam kerja di kantor, pasar, toko, dan supermarket; (11) pembatalan perjalanan4; (12)
penutupan beberapa ruas jalan; (13) penundaan perjanjian bisnis/kontrak dan
pengerjaan proyek (pada tahapan tertentu)5; (14) pemutusan hubungan kerja
sebagian karyawan6; (15) karantina dan isolasi mandiri bagi para OTG7, ODP8, dan
PDP9; (16) diberlakukannya protokol kesehatan, di berikan bantuan sosial, dilakukan
vaksinasi (1, 2, dan booster), dan lain sejenisnya10.

Demikian hebohnya Covid-19 hingga semua memperhatikannya, “tiarap” &


“terkarantina” di lingkungan masing-masing beberapa bulan. Karena
pengalaman kolektif yang langka & pahit inilah, nampaknya11, diperkirakan
banyak orang akan memiliki kesadaran, kewaspadaan12, norma, budaya,
atau pandangan yang baru13 mengenai kehidupan yang akan datang. Tetapi
ternyata tidak juga, sebagian orang kini enggan menggunakan masker.

Tentu saja hal ini sangat merepotkan orang tua/wali murid yang memang tidak
berkemampuan sebagai guru karena tugas totalnya menjadi bertambah.
4
Sebenarnya banyak sekali terjadi pembatalan perjalanan akibat Covid-19; terutama
perjalanan wisata. Di Indonesia saja, pernah terjadi 80% pemesanan perjalanan wisata batal
(CNBC, 2020). Sementara itu, Tempo (2020) memberitakan bahwa terjadi peningkatan
permohonan penundaan serta pembatalan rencana perjalanan sebanyak empat kali lipat.
5
Sebenarnya banyak juga kontrak, bisnis, dan/atau pengerjaan proyek yang setidaknya telah
tertunda akibat Covid-19. Sebagai misal Kontan (2021) menginformasikan bahwa PT PP saja
memiliki kontrak yang tertunda dari tahun 2020 sebesar Rp. 69 triliun. Kontrak yang
tertunda ini diperkirakan akan berkontribusi terhadap pendapatan PT PP tahun 2021 sebesar
60%. Kontrak-kontrak ini dibawa ke tahun 2021 kareba tertunda akibat Covid-19. Adapun
jenis proyek yang mengalami penundaan ini pada umumnya milik swasta seperti halnya
apartemen, hotel, dan lain sejenisnya yang berhubungan dengan sektor properti.
6
DTTC (2020) menginformasikan bahwa Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia telah
mencatat bahwa hingga pada saat ini (pemberitaan) ada lebih dari 6,4 juta pekerja yang
dirumahkan atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi virus corona.
Wakil ketua umum bidang perdagangan mengatakan bahwa keputusan PHK tersebut
merupakan efek dari merosotnya omzet selama pandemi virus Corona.
7
Orang tanpa gejala.
8
Orang dalam pemantauan.
9
Pasien dalam pengawasan.
10
Keterangan detil mengenai hal ini dapat dilihat pada surat keputusan menkes nomor 328
tahun 2020.
11
Tetapi kita tidak mengetahui sebenarnya yang akan terjadi karena bisa jadi pengalaman
yang langka dan pahit ini bisa saja terlupakan begitu saja tanpa hikmah yang tersisa (mudah-
mudahan tidak demikian).
12
Dengan adanya kewaspadaan, disadari bahwa pada masa yang akan datang pun sangat
mungkin untuk terjadi wabah; harapannya, kita menjadi lebih siap & sabar menghadapinya.
13
Bisa jadi (semula diprediksikan), karena sedemikian lama, pahit, dan berkesannya, maka
sebagian dari kebiasaan, norma, budaya, cara, atau prosedur selama masa pandemi Covid-
19 berlangsung pun masih dapat ditemui (meskipun bisa timbul-tenggelam) di kehidupan
paska Covid-19; sebagai misal adalah menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak
(fisik), dirubahnya layout ruang/gedung untuk menjaga jarak siswa/karyawan, “mengisolasi
diri”, menghindari keramaian yang tidak perlu, berolah-raga di rumah, terbiasanya
penggunaan kata “jaga jarak”, berkurangnya (frekuensi/budaya) jabat-tangan (salaman),

Halaman: 16 349
Dampak-dampak di atas tentu saja berimplikasi pada sektor ekonomi (bisnis,
perdagangan, dan sistem keuangan). Inilah ancaman besarnya (yang sebenarnya tak
kalah penting dari resiko kematian secara fisik). Oleh sebab itu, tidak mengherankan,
jika mayoritas korban-korban (generasi) pertamanya berasal dari kelompok-
kelompok masyarakat di kelas-kelas menengah ke bawah; terutama bagi yang
“nafkahnya” berbasis aktivitas/kerja harian, usaha UMKM14, tipe pekerjaan sektor
non-formal15, dan tanpa simpanan (tabungan) yang memadai. Bagi mereka, “mati
secara perlahan” karena tekanan ekonomi (tidak bisa atau dilarang keluar rumah
untuk “cari makan” hingga akhirnya “mati kelaparan”)16 lebih menyakitan dan
mengerikan (ditakuti) dari pada kematian karena sebab Covid-19 itu sendiri.
Fokus kita17 adalah penyelesaian pendemi Covid-19, tetapi aspek ekonomi
juga harus dijaga sebagai bagian dari sumber pendapatan negara. Dalam
konteks UMKM, kita semua mengetahui bahwa 99.7% dari total unit usaha
(Indonesia) ada pada UMKM yang jumlahnya labih dari 54.217.000. Selain
itu, dari total 131 juta lapangan pekerjaan, 120 juta di antaranya adalah
sektor UMKM; 60% pertumbuhan GDP berasal dari UMKM.

berpelukan, dan “ber-cipika-cipiki”, tersedianya peluang kerja dengan sistem work from
home, makin pesatnya aktivitas online/dijital di dunia bisnis, perdagangan, pendidikan, dan
sosial (pesan makanan & barang, termasuk ecommerce, video conference, provider konten
video), makin banyak bangunan (pertunjukkan, bioskop, supermarket besar, sekolah, toko
yang fungsi etalase barangnya cukup besar, dan lain sejenisnya) yang (berangsung-angsur)
sepi, dan membudayanya proses belajar-mengajar jarak-jauh, secara online, dan terbiasanya
home schooling (sebagian sekolah/kampus makin kekurangan murid). Dengan demikian,
paska Covid-19, bisa jadi, kondisinya agak berbeda dengan sebelumnya; kondisinya tidak
akan pernah benar-benar pulih kembali 100% seperti sebelumnya. Covid-19 memang
merubah dunia menjadi “bentuk normal yang baru”. Itulah prediksinya. Tetapi, ternyata,
sebagian dari masyarakat, pada saat ini saja sudah mulai bosan (enggan) dengan masker.
14
Kelompok usaha mikro kecil menengah (berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008).
Pada konteks perekonomian Indonesia, UMKM adalah kelompok usaha dengan jumlah yang
paling besar. Jika kelompok usaha ini terganggu, maka perekonomian negara yang
bersangkutan juga akan mendapatkan masalah besar.
15
Pekerjaan yang memiliki ciri-ciri: (1) secara mandiri atau bagi perseorangan; (2) tidak
memiliki penghasilan yang tetap; (3) waktu bekerja tidak pada waktu/hari yang tetap/pasti;
(4) tidak termasuk ke dalam suatu perusahaan, lembaga pemerintah, atau institusi non-
pemerintah. Sebagai contoh adalah supir pribadi, petani, pedagang kaki lima, dan lain
sejenisnya. Meskipun demikian, sebenarnya, sebagian dari para pekerja sektor formal pun
mendapat “ancaman” yang sama. Hanya saja, mereka lebih beruntung karena institusinya
memiliki simpanan tertentu hingga di sana ada toleransi tertentu pula.
16
Orang yang benar-benar sakit karena suatu penyakit fisik tidak akan menjadi kalap, tetapi
orang-orang yang terkena tekanan ekonomi hingga susah mencari makan dan hidupnya
sering kelaparan justru sering menjadi kalap, tidak tenang, beringas, sulit dinasihati, dan
memberontak hingga berpotensi untuk menjarah. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa
kasus dimana sebagian dari anggota masyarakat (terutama kelas menengah ke bawah)
kurang mentaati kebijakan PSBB karena sudah tidak tahan lagi dengan tekanan ekonomi
dalam jangka waktu tertentu.
17
Penjelasan Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang dicuplik dari pustaka
(Natalia M., 2021).

Halaman: 17 349
Demikian heboh, besar, luas, parah, dan beratnya akibat Covid-19 di beberapa bulan
awalnya hingga pada saat ini mungkin saja banyak orang yang masih mengingatnya.
Tentu saja hal itu (mengingat-ingat) tidak cukup. Kita perlu mengambil banyak
hikmah dan pelajarannya. Salah satu bentuk kesadaran itu adalah dengan: (1)
mengumpulkan (mencatat) fakta atau datanya; (2) menganalisa data/pola/model
kecepatan dan sebaran penyakitnya, dan (3) menginventarisir, menaksir, dan
menganalisis dampak-dampak yang ditimbulkannya. Untungnya, hampir semua
aktivitas penting ini telah diwadahi oleh disiplin yang dikenal sebagai epidemiologi.
Meskipun demikian, karena ranah bidang ini akhirnya juga terkait dengan bidang-
bidang matematika18, biologi, pemodelan, dan program-program perangkat lunak
komputer dan aplikasinya untuk kasus-kasus yang sejenis dan seanalogi, maka
sekarang ini adalah saat yang tepat bagi siapa saja untuk mulai memahami apa itu
epidemiologi, meskipun secara parsial sekedar dari sisi matematis dan program
perangkat lunak komputer.

1.1 Aspek-Aspek Penting


Bagi kebanyakan manusia, yang paling penting adalah (keberlangsungan) kehidupan
itu sendiri. Tentu saja, secara praktis, aspek pertama yang dipentingkan adalah
jiwanya; dalam pengertian hidup sehat lahir & batin. Artinya, organ-organ tubuhnya
berfungsi dengan baik tanpa gangguan (kekurangan) apa pun (termasuk pikiran
/psikologis); konsidi biologi-epidemik baik atau tanpa penyakit/wabah. Setelah itu,
aspek berikutnya adalah harta-benda (termasuk sandang, pangan, papan, dan lain
sejenisnya); alat/sarana pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam skala yang lebih luas
dan umum, aspek yang kedua ini dapat dimaknai sebagai aspek “ekonomi”.
Aspek-aspek di atas, selain dianggap sangat penting, juga saling terkait-erat satu
sama lainnya hingga masalah yang terjadi pada suatu aspek juga akan berpengaruh
pada aspek-aspek yang lain. Sebagai misal, meskipun pada awalnya sehat, manusia
tidak dapat hidup normal tanpa pemenuhan aspek ekonomi yang memadai. Dengan
demikian, ia akan selalu berusaha untuk mempertahankan kecukupan kebutuhan
ekonominya. Dengan tercukupinya kebutuhan ini, maka kesehatannya cenderung
lebih baik. Selain itu, manusia pun perlu selalu menjaga hubungan sosialnya dengan
sesamanya; yang juga akan meningkatkan kualitas aspek-aspek kesehatan dan
ekonominya sekaligus. Oleh sebab itu, manusia selalu perlu mempertahankan
keseimbangan aspek-aspek19 ini demi keberlangsungan dan kenyamanan hidupnya.
Ketidak-seimbangan di antara aspek-aspek ini tentu saja akan berakibat buruk;
meskipun pada awalnya dilakukan dengan niat baik. Sebagai misal, ketika manusia
terancam suatu wabah, kemudian mereka meresponnya dengan tindakan preventif
mengisolasi (karantina) diri, menghentikan sebagian besar aktivitas ekonominya, dan
juga menutup wilayahnya selama sekian waktu dengan tujuan untuk mengendalikan
/mengurangi sebaran wabahnya, maka efek samping yang muncul pertama kali

18
Berdasarkan pengamatan sekilas penulis, mayoritas peneliti, pembahas, atau penulis
materi-materi mengenai model-model biologi/epidemiologi plus pembuatan program
simulasi-simulasinya berasal dari personil-personil di bidang matematika.
19
Tentu saja masih banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dalam kehidupan manusia.
Penulis hanya menuliskan sebagian saja secara umum; demi penyederhanaan.

Halaman: 18 349
adalah bencana ekonomi & psikologis bagi masyarakatnya; terutama pada kelompok
masyarakat di kelas-kelas bawahnya. Mereka yang berpendapatan dengan basis
aktivitas ekonomi “harian” akan menjerit & menderita terlebih dahulu; apalagi jika
tidak didukung oleh besaran tabungan yang memadai. Bagi mereka, tekanan atau
ancaman psikologis, PHK, kekurangan uang, dan bahaya kelaparan/ekonomi (berarti
“mati” secara perlahan) adalah jauh lebih nyata (menakutkan) dari pada resiko
wabah penyakit itu sendiri. Setelah itu, ancaman itu akan merambat ke kelas-kelas
yang berada di atasnya; apa pun bentuknya.
Oleh sebab itu, (ancaman wabah) penyakit menular perlu segera ditanggulangi
secara sistemik dan efisien. Untungnya, setidaknya, kita telah memiliki beberapa
payung hukum terkait; Undang-Undang RI nomor 4 tahun 1984, Peraturan
Pemerintah RI nomor 40 tahun 1991, dan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor
1501 tahun 2010. Upaya penanggulangan20 penyakit yang terdapat pada payung
hukum tersebut tentu saja berisi aktivitas pengumpulan data berikut penyelidikan
epidemiologinya. Dalam kaitan inilah, maka aktivitas pengumpulan data epidemik,
pembuatan model dan simulasi, beserta analisa wabah penyakit menular menjadi
sangat relevan.

1.2 Kaitan Antar Aspek-Aspek


Seperti telah disebutkan bahwa aspek-aspek di atas saling terkait. Dengan demikian:
(a) manusia yang sehat memerlukan dan menghasilkan ekonomi, dan faktor ekonomi
akan menunjang kesehatan manusia; (b) kesehatan yang baik akan menumbuhkan
kecenderungan hubungan sosial yang baik, dan sebaliknya, ikatan sosial yang baik
juga akan menyebabkan kecenderungan kesehatan yang baik bagi manusia; dan (c)
hubungan sosial yang baik akan membaikkan faktor ekonomi manusianya, dan
sebaliknya, faktor ekonomi yang baik juga cenderung akan memperluas kesempatan
manusia untuk memiliki hubungan sosial yang baik. Artinya, aspek-aspek ini memiliki
hubungan positif (+) bolak-balik (membentuk loop). Jika divisualkan, maka kaitan
(logika normal/positif) di antara aspek-aspek ini dapat digambarkan dalam sebuah
diagram kausalitas seperti berikut:

Gambar 1.1: Kausalitas Kesehatan, Ekonomi, dan Hubungan Sosial

20
Pengumpulan data epidemiologis dan penyelidikan epidemiologis merupakan langkah
pertama dalam upaya penanggulangan wabah penyakit menular.

Halaman: 19 349
Berdasarkan diagram sederhana di atas, maka dapat dibaca secara logis (normal
/positif) dan konseptual bahwa gangguan (apa pun bentuknya) terhadap suatu aspek
akan berdampak negatif (-) terhadap kedua aspek lainnya, sedangkan perbaikan
(peningkatan kualitas/kuantitas) pada suatu aspek juga akan berpengaruh positif (+)
terhadap dua aspek lainnya. Dengan demikian, gangguan terhadap aspek kesehatan
(jiwa) akan berdampak negatif (-) pada aspek-aspek ekonomi dan sosialnya sekaligus.
Demikian pula halnya dengan gangguan terhadap aspek ekonomi, juga akan
berdampak negatif (-) sekaligus pada aspek-aspek kesehatan beserta hubungan
sosialnya. Sedangkan gangguan pada hubungan sosial21 juga akan berdampak negatif
(-) pada aspek-aspek kesehatan dan ekonominya.
Memang, meskipun sudah logis dan dapat diterima oleh akal sehat, kaitan/logika
/relasi antar-ketiga aspek ini masih bersifat umum, kualitatif, dan konseptual. Untuk
menjadikannya lebih konkrit (implementatif) juga kuantitatif dan detil, tentu saja
masih diperlukan pendalaman: batasan atau lingkup (sistem), studi kasus, asumsi,
skenario, pendetilan, model matematis, dan lain sejenisnya.
Fenomena pendemi Covid-19 telah mendorong (banyak) hutang global (negara-
negara di dunia) ketingkat yang sangat bersejarah. Hingga akhir tahun 2020 saja,
tambahan hutang ini telah mencapai 19.5 triliun USD22.

1.3 Potensi Ancaman Penyakit


Jika difokuskan pada aspek pertama23, sebagai bentuk penyederhanaan, maka salah
satu potensi ancaman yang terbesar adalah keberadaan penyakit menular (disease)24
yang menyebar secara cepat ke berbagai arah hingga banyak menelan korban; sakit
(kesehatannya terganggu, terinfeksi, atau ”kasus aktif”), dan kemudian sembuh
kembali (recovered) atau bahkan meninggal dunia. Tentu saja hal ini cukup
menyulitkan dan menakutkan. Oleh sebab itu, adalah wajar jika manusia selalu
berusaha untuk mempertahankan kesehatannya dari sakit, tertekan, dan kematian.
Adapun penyakit-penyakit menular yang sangat berpotensi untuk menyebar secara
aktif dan cepat ke berbagai arah, terlepas dari bagaimana menyebarnya, adalah Flue,

21
Berkenaan dengan hubungan, ikatan, dan/atau prilaku sosial, meskipun kasus-kasusnya
tidak banyak, di dunia nyata, terkadang ada saja (kemungkinan) perbedaan, penyimpangan,
kekecualian, atau anomali (dari yang terjadi secara umum/normal) untuk suatu area dan
periode waktu tertentu. Sebagai misal, mungkin saja terjadi di suatu area dan periode
tertentu dimana peningkatan faktor ekonomi justru tidak membaikan hubungan sosialnya,
atau hubungan sosial tidak membaikkan kondisi ekonomi secara signifikan, atau
kesehatannya tidak membaikkan hubungan sosialnya, dan/atau hubungan sosialnya
tidak/belum membaikkan kesehatannya. Hal-hal yang kurang umum seperti inilah yang tidak
dibahas (diasumsikan tidak terjadi pada model).
22
Informasi lebih jauh mengenai hal ini dapat dilihat di pustaka (Torres et al, 2021).
23
Aspek kedua dan ketiga secara konseptual juga akan terdampak sebagaimana telah
dibahas. Oleh sebab itu, aspek pertama juga dapat mewakili aspek kedua dan ketiga yang
tidak disebutkan meskipun kita belum mengetahui seberapa besar dampaknya pada aspek
kedua dan ketiga.
24
Memang masih ada potensi lain yang bisa menjadi ancaman bagi aspek pertama ini. Tetapi
pada tulisan ini fokus ada pada penyakit.

Halaman: 20 349
SARS, MERS, Covid-1925, TBC, Pneumonia, HIV/AIDs, Hepatitis, DBD, Disentri, Kolera,
Tipes, Malaria, Pes, Cacar, dan lain sejenisnya. Meskipun demikian, mengingat
potensinya yang juga bisa menyebar dan sangat merugikan, maka beberapa hal
(selain penyakit menular di atas) pun dapat ”dimodelkan” sebagai suatu ”penyakit
menular”; sebagai misal adalah data/informasi, ilmu, budaya, kebiasaan, keyakinan,
idiologi, barang & jasa, miras & narkoba, tikus, kelinci, nyamuk, lalat, dan lain
sejenisnya.
Daftar nama-nama penyakit menular yang (dapat) menimbulkan wabah di
Indonesia dapat dilihat pada pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1501/Menkes/Per/X/2010.

1.4 Epidemiologi & Istilah Terkait


Terinfeksinya (sakit) satu, dua, atau tiga individu di suatu wilayah pada suatu periode
adalah peristiwa biasa. Tetapi jika penyakitnya menular dan kemudian menyebar
dengan cepat sedemikian rupa di tengah masyarakat hingga banyak menelan korban
jiwa dalam waktu yang relatif singkat, maka kebanyakan orang menyebutnya, secara
umum, sebagai suatu ”wabah penyakit” atau sekedar ”wabah”. Meskipun demikian,
di dalam konteks epidemiologi, fenomena seperti ini masih dapat dikelompokkan
lebih lanjut menurut tingkatannya hingga lebih spesifik26:
a) Endemi: penyakit menular yang berjangkit dengan cepat dan memakan
banyak korban dengan cakupan daerah tertentu; mulai dari kota hingga
provinsi tertentu saja.
b) Wabah: penyakit menular yang berjangkit dengan cepat dan memakan
banyak korban dengan cakupan nasional; mulai dari daerah, kota, hingga
beberapa provinsi sekaligus (di suatu negara saja).
c) Epidemi: penyakit menular yang berjangkit dengan cepat dan memakan
banyak korban dengan cakupan regional; sebaran penyakit hingga ke
beberapa negara tetangga (negara-negara yang berdekatan) saja.
d) Pandemi: penyakit menular yang berjangkit dengan cepat dan memakan
banyak korban dengan cakupan global; sebaran penyakit hingga ke
seluruh dunia.

25
Covid-19, Corona Virus Disease 2019, ditetapkan sebagai jenis penyakit yang
menyebabkan darurat kesehatan masyarakat melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 11 tahun 2019 tengang “Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)”.
26
Penulis agak kesulitan dalam menemukan definisi yang jelas dan unik mengenai istilah-
istilah ini. Sebagai contoh, menurut penulis, beberapa definisi mengenai istilah-istilah ini
yang beredar di pustaka online (yang dibaca penulis) dan/atau juga yang telah dikutip dari
pustaka (Depkes, 2006) kurang jelas dan juga tidak clear dalam keunikannya; sebagian
perbedaan agak tersamar. Meskipun demikian, menurut penulis, keempat istilah itu pada
dasarnya adalah sama (penyakit menular yang berjangkit dengan cepat dan memakan
banyak korban di suatu luasan/area tertentu), perbedaannya hanyalah pada jangkauan
luasan wilayah sebarannya.

Halaman: 21 349
Berdasarkan keterangan di atas, pada dasarnya, keempat istilah tersebut masih
memiliki makna dasar yang kurang-lebih sama. Perbedaannya hanya terletak pada
cakupan wilayahnya saja27. Oleh sebab itu, nampaknya, penyebutan (baik secara
lisan maupun tulisan) istilah-istilah tersebut (yang terkadang) secara umum (sekedar
”wabah”) atau saling tertukar (oleh masyarakat) tidak berakibat fatal; meskipun
memang, kita perlu merujuk pada istilah yang tepat sesuai dengan epidemiologinya.
Tentu saja, di satu sisi, berdasarkan tingkatannya, suatu penyakit (beserta kondisi
penyebarannya pada saat itu) bisa saja dipandang memiliki karakteristik tertentu dan
boleh saja dianggap ”lebih berbahaya” dari pada yang lain.
Sebagai pembanding, kita juga bisa merujuk pada definisi ”wabah penyakit
menular” atau ”wabah” yang tertera pada pasal 1 Undang-Undang RI
Nomor 4 tahun 1984 tentang ”Wabah Penyakit Menular”. Pada pasal 4-nya,
dinyatakan bahwa ”Menteri menetapkan daerah tertentu dalam wilayah
Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah”. Pada pasal yang
sama juga dinyatakan bahwa Menteri pula yang berwenang untuk
mencabut status wabah suatu daerah.

1.5 Contoh-Contoh Wabah


Jika kita memperhatikan rentetan fenomena epidemik yang terekam sejak masa-
masa yang lalu, mungkin saja kita akan terkaget-kaget dengan kenyataan bahwa
ternyata wabah penyakit telah terjadi sejak dahulu. Data mengungkapkan bahwa
”wabah penyakit” menular terjadi (hampir) setiap 100 tahun sekali. Gak percaya?
Simaklah fakta berikut28:
1) Pada tahun 1720, wabah Sampar telah melanda kota Marseille (Prancis)
dan menewaskan lebih dari seratus ribu jiwa warganya. Dampak sosial-
ekonomisnya sangat luas; pengaruhnya hingga sampai ke negara-negara
yang menjadi koloninya di Afrika, Amerika Latin, dan Hindia Barat.
2) Pada tahun 1820, wabah Kolera melanda India dan kemudian menyebar
ke hampir seluruh negara di Asia; termasuk Indonesia. Ratusan ribu orang
tewas akibat wabah ini; termasuk banyak tentara Inggris yang mati
hingga menarik perhatian masyarakat Eropa. Pada peristiwa ini tercatat
lebih dari seratus ribu jiwa korban di Asia saja.
3) Pada 1920, korban wabah Flu saja sudah lebih banyak dari pada korban
perang dunia ke-1. Penyebab wabah yang disebut Flu Spanyol ini adalah
virus flu H1N1 yang mengalami mutasi genetik hingga lebih berbahaya
dari pada virus Flu biasa. Wabah ini telah menginfeksi lebih dari 500 juta

27
Meskipun demikian, secara implisit, tingkatan-tingkatan ini bermakna pula pada jumlah
atau besar korbannya.
28
Data ini sudah tersebar di banyak media, salah satunya adalah pustaka (Kompas, 2020).
Pada kasus ini, di lain pihak, penulis menyebutnya sebagai “wabah penyakit” atau sekedar
“wabah”, tetapi dengan menyimak uraian sebelumnya, maka para pembaca bisa
memutuskan sendiri apakah fenomena yang dimaksud akan tergolong sebagai endemi,
wabah, epidemi, atau pandemi.

Halaman: 22 349
orang di seluruh dunia, termasuk orang-orang yang tinggal di pulau-pulau
sekitar Pasifik yang dianggap terpencil hingga ke Kutub Utara.
4) Di akhir 2019 (atau awal 2020), tersebarlah virus Corona (Covid-19) yang
dimulai dari kota Wuhan (China) hingga ke seluruh dunia. Karena wabah
ini banyak memakan korban, tersebar secara masif, dan bersifat global,
maka istilahnya pun berganti menjadi pandemi29. Hingga 5 April 2020
saja, telah tercatat 1,196,944 jiwa yang (pernah) terinfeksi (pernah
terkonfirmasi positif) di dunia. Meskipun demikian, dari jumlah tersebut,
246,110 jiwa telah dinyatakan sembuh dan 64,580 jiwa dinyatakan sudah
meninggal dunia. Adapun 10 negara yang memiliki catatan terbanyak
untuk kasus ini (pernah terkonfirmasi) hingga pada saat itu adalah
Amerika Serikat (305,820 jiwa), Spanyol (126,168), Italia (124,632),
Jerman (96,092), Perancis (89,953), China (81,639), Iran (55,743), Inggris
(41,903), Turki (23,934), dan Swis (20,505)30.

1.6 Upaya Penanggulangan Wabah


Apapun penyakit beserta wabahnya, tentu saja perlu segera ditanggulangi agar tidak
banyak menelan korban dan potensi kerugiannya dapat ditekan seminimal mungkin.
Sehubungan dengan hal ini, maka di Indonesia saja terdapat beberapa aturan
penanggulangan wabah penyakit. Sebagai misal, [1] pasal 5 Undang-Undang RI
nomor 4 tahun 1984 tentang ”Wabah Penyakit Menular”; [2] pasal 6-20 Peraturan
Pemerintah RI nomor 40 tahun 1991 tentang ”Penanggulangan Wabah Penyakit
Menular”; [3] pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 1501 tahun 2010
tentang ”Jenis Penyakit Menular Tertentu yang dapat menimbulkan Wabah dan
Upaya Penanggulangan”; dan [4] Undang-Undang RI nomor 6 tahun 2018 tentang
”Karantina Kesehatan” mengatur karantina kesehatan & upaya penanggulangan
wabah di Indonesia.
Sebagai ilustrasi mengenai upaya penanggulangan suatu wabah, pada pasal 13
peraturan menteri tersebut dijelaskan bahwa:
a) Penanggulangan KLB/Wabah dilakukan secara terpadu oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
b) Penanggulangan KLB/wabah meliputi:
1) Penyelidikan epidemiologis.
2) Penata-laksanaan penderita yang mencakup kegiatan pemeriksaan,
pengobatan, perawatan dan isolasi penderita, termasuk tindakan
karantina.
3) Pencegahan dan pengebalan.
4) Pemusnahan penyebab penyakit.

29
Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO (penjelasan peraturan pemerintah RI
nomor 21 tahun 2020).
30
Data selengkapnya untuk saat itu dapat dilihat pada pustaka (Kompas, 2020a), meskipun
demikian, data ini masih sangat berpotensi untuk berubah karena pada saat itu pun
pandeminya masih berlangsung.

Halaman: 23 349
5) Pananganan jenazah akibat wabah.
6) Penyuluhan kepada masyarakat.
7) Upaya penanggulangan lainnya yang mencakup meliburkan sekolah
dan menutup fasilitas umum untuk sementara waktu, melakukan
pengamatan secara intensif/surveilans selama KLB, dan melakukan
evaluasi terhadap upaya penanggulangan secara keseluruhan.
Sementata itu, pada lampiran (dokumen salinan) peratuan menteri ini, juga
dijelaskan bahwa pertimbangan epidemiologis yang dimaksud didasarkan pada data
epidemiologi yang sekurang-kurangnya mencakup:
1) Perkembangan penyakit (data kesakitan dan kematian) menurut
karakteristik epidemiologinya (waktu, tempat, dan orang).
2) Data & analisis kemungkinan terjadinya malapetaka, yaitu kemungkinan
terjadinya peningkatan jumlah penderita dan kematian yang lebih besar
serta perluasan penularan penyakit ke daerah/negara lain.
Sebagai tambahan, terutama sejak kemunculan wabah Covid-19, berikut ini adalah
sebagian dari aturan terkait dengan penanggulangan wabah:
a) Kepres RI nomor 11 tahun 2020 tentang ”penetapan kedaruratan
kesehatan masyarakat corona virus disease 2019”.
b) Surat edaran menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi
birokrasi nomor 19 tahun 2020 tentang ”penyesuaian sistem kerja
aparatur sipil negara dalam upaya pencegahan Covid-19 di lingkungan
instansi pemerintah”. Surat edaran ini dimaksudkan sebagai pedoman
bagi instansi pemerintah dalam melaksanakan tugas kedinasan dengan
kerja di rumah (work from home) bagi ASN sebagai upaya pencehagan
dan meminimalisir penyebaran Covid-19.
c) Surat edaran menteri pendayagunaan aparatur negara nomor 34 tahun
2020 (perubahan terhadap surat edaran menteri pendayagunaan
aparatur negara nomor 19 tahun 2020). Surat edaran ini secara umum
dimaksudkan untuk penyesuaian sistem kerja dan perpanjangan masa
pelaksanaan tugas kedinasan di rumah (WFH) bagi ASN.
d) Surat edaran menteri PUPR nomor 04/SE/M/2020 tentang ”penanganan
penyebaran corona virus disease 2019 di lingkungan kementerian
pekerjaan umum dan perumahan rakyat”. Surat edaran ini dimaksudkan
sebagai pedoman bagi organisasi dalam pencegahan & meminimalisir
penyebaran corona virus disease 2019 serta penanganannya di
lingkungan kementerian PUPR (plus panduan pelaksanaan bekerja di
rumah/WFH).
Selain itu, sebagai tambahan bagi pelaksanaan WFH, untuk mencegah dan
meminimalisir sebaran Covid-19, pemerintah telah mengubah istilah pembatasan
sosial (social distancing) menjadi menjaga jarak fisik (physical distancing) yang
bermakna bahwa kontak sesama manusia perlu diminimalisir dan jika pun terjadi
pertemuan yang sangat penting, masyarakat diminta untuk menjaga jarak sekitar 1

Halaman: 24 349
meter serta rajin membersihkan diri. Sehubungan dengan hal ini, maka berikut ini
adalah aturan-aturan terkait implementasi physical distancing:
a) Undang-undang RI nomor 6 tahun 2018 tentang ”Karantina Kesehatan”.
b) Peraturan Pemerintah RI nomor 21 tahun 2020 tentang ”pembatasan
sosial berskala besar (PSBB)31 dalam rangka percepatan penanganan
corona virus disease 2019”.
c) Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 9 tahun 2020 tentang ”pedoman
pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam rangka percepatan
penanganan corona virus disease 2019”.
d) Keputusan Menteri Kesehatan RI HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang
”panduan pencegahan dan pengendalian corona virus disease 2019
(Covid-19) di tempat kerja perkantoran dan industri dalam mendukung
keberlangsungan usaha pada situasi pendemi”.
Pada pasal 1 UU RI nomor 6 tahun 2018 dijelaskan pengertian mengenai isolasi,
PSBB, dan beberapa lingkup karantina; karantina rumah, karantina rumah sakit, dan
karantina wilayah. Sementara pada pasal 3-nya, telah dijelaskan tujuan karantina
kesehatan. Sedangkan apa saja aktivitas yang dilakukan pada karantina kesehatan
dapat dilihat pada pasal 15-nya.
Pada lampiran peraturan menteri kesehatan nomor 9 tahun 2020 di atas juga diatur
pelaksanaan PSBB. Jadi, PSBB dilakukan selama masa inkubasi (Covid-19) terpanjang;
14 hari. Tetapi jika masih terbukti adanya kasus baru, maka pelaksanaan ini masih
dapat diperpanjang 14 hari lagi sejak ditemukannya kasus yang terakhir. Adapun
implementasi PSBB yang dimaksud adalah: (1) peliburan sekolah, (2) peliburan
tempat kerja, (3) pembatasan kegiatan keagamaan, (4) pembatasan kegiatan di
tempat/fasilitas umum, (5) pembatasan kegiatan sosial dan budaya, (6) pembatasan
moda transportasi, dan (7) pembatasan kegiatan lainnya khusus yang terkait dengan
aspek pertahanan dan keamanan.

1.7 Epidemiologi, Pemodelan, & Simulasi


Seperti disebutkan pada Undang-Undang dan/atau Peraturan Menteri Kesehatan
yang telah disebutkan di atas bahwa penyelidikan, pertimbangan, dan pengumpulan
data epidemiologi adalah bagian dari upaya penanggulangan penyakit (KLB, wabah,
atau epidemi) dan karantina kesehatan32. Di dalamnya terdapat aktivitas-aktivitas
penting: (1) pengamatan data (lapangan) yang mencakup faktor-faktor sebab-
akibatnya dan perkembangan dampak penyakit (populasi manusia yang rentan,

31
Maksud PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang
diduga terinfeksi corona virus disease 2019 untuk mencegah kemungkinan penyebaran lebih
lanjut virus tersebut (pasal 1). Dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan, pemerintah daerah dapat memberlakukan PSBB atau
pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk suatu provinsi atau kabupaten
/kota tertentu (pasal 2). PSBB tersebut harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis,
besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber-daya, teknis operasional, pertimbangan
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (pasal 2).
32
Perhatikan ayat 1 pasal 15 UU nomor 6 tahun 2018 tentang “Karantina Kesehatan”.

Halaman: 25 349
terinfeksi, sembuh, dan meninggal dunia) di setiap lokasi dan periode waktu33; (2)
aktivitas pengamatan penyakit dan faktor resiko kesehatan masyarakat terhadap alat
angkut, orang, barang, dan lingkungan34; dan (3) analisis35 mengenai kemungkinan
terjadinya peningkatan status/jumlah penderita dan korban kematian yang lebih
besar beserta perluasan area penularan penyakit.
Pemodelan biologi/epidemik beserta matematis yang diturunkan dan disimulasikan
dapat menggambarkan (prediksi) perkembangan penyakit untuk menunjukkan
kemungkinan kondisi epidemik yang sedang berjalan sekaligus membantu dalam
menginformasikan perlunya (dan akibat) intervensi bagi kesehatan masyarakat.
Model-model ini dikembangkan dengan asumsi-asumsi dasar masing-masing beserta
data statisik yang dikumpulkan untuk menemukan parameter yang ”pas” pada
kondisinya (karakteristik penyakit, sosial setempat, dan temporal). Jika dianggap baik
(representatif), maka model-model ini dapat digunakan untuk mengevaluasi sejauh
mana pengaruh tindakan-tindakan intervensi yang dipilih; jaga jarak fisik, peliburan
siswa/karyawan (work from home), pembatasan aktivitas sosial/keramaian
/peribadatan, PSBB, lockdown, penggunaan APD, belajar & bisnis secara online,
membiasakan pola hidup sehat, vaksinasi, pengobatan, rapid-test & swab-test atau
PCR (polymerase chain reaction) secara masal, dan lain sejenisnya.
Seperti telah disinggung, secara umum, model atau pemodelan sangat penting bagi
banyak bidang; termasuk biologi, epidemik, politik, sosial, budaya, dan sejenisnya.
Oleh sebab itu, sehubungan dengan manfaat umum model atau pemodelan, Samuel
P. Huntington36, seorang guru besar ilmu politik dari Universitas Harvard Amerika
Serikat, pada tahun 1996 mengatakan bahwa “kita memerlukan model-model baik
yang bersifat eksplisit maupun yang implisit agar dapat/untuk”:
a) Mengatur dan menggeneralisasikan suatu realitas (fenomena).
b) Memahami hubungan-hubungan kausal di antara berbagai fenomena.
c) Melakukan antisipasi dan, jika kita beruntung, melakukan prediksi terhadap
perkembangan-perkembangan yang terjadi di masa yang akan datang.
d) Memilah-milah mana yang penting dan yang tidak penting.
e) Menempuh jalan yang memungkinkan kita untuk mencapai tujuan kita.
Bagi pihak pengambil kebijakan (keputusan), pemodelan ini (matematis [diferensial
& integral] dan diagram sebab-akibat [causal loop diagram]), terutama jika modelnya
tepat/akurat, maka dapat membantu dalam: (1) memprediksikan perkembangan
harian sebaran penyakit dan kondisi umum kesehatan masyarakatnya; (2) memilih
bentuk intervensi mana saja yang dianggap paling efisien hingga akan diprioritaskan
uji-cobanya (dengan skenario dan strategi tertentu); (3) menghindari (tidak
memprioritaskan) intervensi yang paling beresiko (efek samping) tinggi (terutama
pada aspek ekonomi yang sebenarnya tidak kurang menyeramkan) [aspek strategi];

33
Perhatikan ayat 1 pasal 5 UU RI nomor 4 tahun 1984 dan ayat 2 pasal 13 Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1501 tahun 2010.
34
Ayat 1 pasal 15 UU RI nomor 6 tahun 2018 tentang “Karantina Kesehatan”.
35
Perhatikan halaman lampiran pada III. Pertimbangan Epidemiologis dan Keadaan
Masyarakat yang terdapat pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501 tahun 2010.
36
Dicuplik dari pustaka (Huntington S,P., 2012); buku terjemahan halaman 14 (bab 1).

Halaman: 26 349
dan (4) memprediksikan kapan saat yang tepat untuk melakukan ”tarik-ulur”37
(mengetatkan/melonggarkan) tindakan intervensi kesehatan masyarakat (kembali ke
kondisi normal) [aspek skenario dan strategi].
Kurang dari sebulan setelah organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkan status
pandemi Covid-19, lebih dari 100 negara telah mengetuk pintu dana moneter
internasional (IMF) untuk mengajukan permohonan hutang. Pendemi ini
menyebabkan pemerintah di sejumlah negara – termasuk negara yang dianggap
kaya38 – berlomba mencari hutang untuk menyelamatkan perekonomiannya39.

Menteri Keuangan40, sehubungan dengan hal ini, mengatakan bahwa sudah


banyak negara di dunia dengan posisi rasio hutang yang telah menembus 100%
dari PDB-nya (sebagian mencapai 60% dari PDB-nya); Amerika 131.2%, Perancis
118.7%, Jerman 73.3%, China 63.3%, India 69.3%, Singapura 131.2%, Malaysia
67.6%, Thailand 50.4%, Filipina 48.9%, Vietnam 46.6%, dan Indonesia 38.5%. Hal
ini disebabkan karena negara yang bersangkutan membutuhkan dana besar untuk
penanganan dan pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.

37
Untuk itu, pada masa pandemi ini, pada proses tarik-ulur keputusannya (pengetatan atau
pelonggaran), diperlukan kesepahaman bersama antara bidang/disiplin keilmuan dan
praktisi (terutama) kesehatan dan ekonomi.
38
Menurut pustaka (CNBC, 2020a): (1) hutang Arab Saudi diprediksikan membengkak
menjadi 941 miliar riyal (Rp. 3.533 triliun); (2) per Desember 2020 China memiliki hutang 5.5
triliun USD (Rp. 77 ribu triliun), China mungkin telah mengakumulasi 40 triliun yuan (5.8
triliun USD) hutang; (3) pada tahun 2020 pinjaman Amerika meningkat menjadi 27 triliun
USD (Rp. 381 ribu triliun). Jumlah hutang ini setara dengan jumlah pendapatan Amerika
tahunan hingga menjadikan rasio hutangnya di atas 100% dari PDB-nya; (4) di tahun 2020
Perancis menambah 258 milyar euro (Rp. 4.400 triliun) hutang tambahan hingga menjadikan
total hutangnya menjadi 2.6 triliun euro (Rp. 44 ribu triliun). Dengan hutang ini, maka rasio
hutang Perancis menjadi 98% dari PDB-nya; dan (5) Perlemen di Tokyo mengumumkan
stimulus percepatan penanggulangan pendemi Covid-19 senilai 117 triliun yen (Rp. 15 ribu
triliun). Akibatnya, rasio hutang negara ini diprediksikan menjadi hampir 250% dari PDB-nya.
39
Dicuplik dari pustaka (CNN, 2020b).
40
Uraian ini dicuplik dari pustaka (Liputan6, 2021).

Halaman: 27 349
BAB 2: MODEL-MODEL
BIOLOGI/EPIDEMIK
Bisa dibayangkan, sekumpulan populasi yang awalnya sehat kemudian terinfeksi dan
sakit karena tertular penyakit. Meskipun demikian, setelah beberapa saat berlalu,
mereka sembuh kembali (menjadi kebal) dengan sendirinya (atau meninggal dunia).
Pada kasus ini, setiap individu yang terinfeksi diasumsikan dapat menularkan kembali
penyakitnya kepada yang rentan karena kedekatannya secara fisik. Oleh sebab itu,
pada konteks biologi/epidemik, selama siklus wabahnya masih berlangsung, setiap
orang akan melewati sebagian atau seluruh “status” yang terdapat pada modelnya
(yang berpola dasar): (1) rentan (susceptible atau S), (2) terinfeksi (infected atau I),
dan (3) sembuh (recuperated, recovered, removed). Fenomena biologi-epidemik ini
tentu saja dapat (diasumsikan) didasarkan pada model tertentu; model-model
konseptual dan matematis yang perlu dipahami karena menjadi dasar pemikiran,
analisa, asumsi, implementasi, dan simulasi yang menyertainya.
Pola dasar status/kondisi tersebut terus berkembang sesuai dengan pendekatan dan
asumsi pembuat model berikut hasil pengamatan terhadap fenomenanya. Oleh
sebab itu, adalah tidak mengherankan jika akhirnya bermunculan model-model
biologi/epidemik beserta beberapa variannya. SI, SIS, SIR, SIRS, SIRD, SEIS, SEIR,
SEIRS, dan SEIRD adalah sebagian dari contoh model-model yang dimaksud.
Sehubungan dengan hal ini, maka tugas problem solver (terutama para biolog,
epidemiolog, dokter, matematikawan41, dan programmer) adalah mengumpulkan,
mengenali pola, menganalisis data, dan kemudian merancang dan memilih model
yang tepat; benar-benar mewakili fenomena epidemik yang dihadapinya. Jika tidak
puas dengan model-model yang ada, maka kembangkan model baru yang lebih
realistis dengan mendefinisikan variabel-variabel state-nya beserta beberapa
asumsinya yang masuk akal.
Untuk membuat model-model konseptual, matematis, prediksi, atau bahkan suatu
sistem dinamis yang dapat mendeskripsikan fenomena-fenomena biologi-epidemis,
tentu saja diperlukan variabel-variabel states yang mewakili kondisi epidemik yang
terjadi dan dapat diamati. Dalam kaitan ini, untungnya, status-status pada siklus
wabah di atas sudah merupakan variabel states. Oleh sebab itu, notasi-notasi berikut
adalah variabel-variabel state yang diperlukan oleh pemodelan sistem dinamis:
1) S(t), St, atau Sn adalah populasi pada saat t atau saat n (ke-t atau ke-n)
yang rentan terhadap (mudah/bisa tertular/terinfeksi) penyakit. Pada

41
Berdasarkan kehadiran buku-buku beserta karya tulis (terutama paper dan penelitian
tugas akhir) yang beredar, bidang-bidang matematika, biologi, epidemiologi, kedokteran,
dan komputasi (komputer atau informatika) sangat mendominasi pemikiran beserta
pembuatan model-model biologi/epidemiologi berikut simulasi-simulasinya.

Halaman: 28 349
model epidemik, biasanya, jumlah orang yang rentan tidak diukur atau
diperiksa (mengenai kerentanannya); tetapi diasumsikan. Jadi, sebagai
misal, jika studinya dilakukan di provinsi “X”, maka pada awalnya, seluruh
(dikurangi 1 yang terinfeksi primer) penduduknya diasumsikan rentan;
meskipun kondisi sebenarnya tidak demikian.
2) E(t), Et, atau En adalah populasi pada saat t atau n (ke-t atau ke-n) yang
mengalami pra-infeksi, sedang mengalami masa inkubasi, atau memang
sudah tertular penyakitnya tetapi belum bisa menularkan penyakitnya
kepada yang lain. Jika pada modelnya diasumsikan ada, maka biasanya,
diberi nilai awal=1.
3) I(t), It, atau In adalah populasi pada saat t atau n (ke-t atau ke-n) yang
telah terinfeksi (menderita penyakit) dan sudah dapat menularkan
penyakit. Pada umumnya diberi nilai awal=1.
4) R(t), Rt, atau Rn adalah populasi pada saat t atau n (ke-t atau ke-n) yang
sudah sembuh (dan kebal). Pada umumnya diberi nilai awal=0.
5) D(t), Dt, atau Dn adalah populasi yang mati (karena penyakit yang
bersangkutan) pada saat t (ke n). Pada umumnya diberi nilai awal=0.
Model epidemik memiliki beberapa asumsi dasar: (1) total populasi (N)
konstan; (2) ukuran populasi (N) cukup besar hingga kesalahan pendekatan
1/(N-1) oleh 1/N tidak besar (dalam persen [%], kesalahan ini 100/N, jadi
untuk populasi=10,000 kesalahannya sekitar 0.01%)42; (3) pada umumnya
berlaku: S(0)≈N, I(0)=N-S(0), dan R(0)=0; (4) model tidak memperhatikan
sebarannya secara spasial; (5) pencampuran populasi bersifat homogen43
(individu berinteraksi secara merata [kesempatan yang sama] dan acak
hingga penyakitnya menyebar melalui interaksi pasangan individu); (6)
kecepatan interaksi di dalam populasinya konstan; nilai-nilai parameter α, β
konstan; (7) modelnya deterministik44; (8) hanya ada 1 penyakit (varian?)
yang menyebar (menjadi perhatian), dan (9) kematian yang disebabkan
oleh selain penyakit yang bersangkutan (infeksi) dianggap sebagai kematian
alami (umum).

42
Beberapa pustaka menyebutkan bahwa model deterministik dianggap valid jika
populasinya cukup besar.
43
Setiap individu memiliki kemungkinan (probabilitas) yang sama untuk terserang penyakit.
Kalau pun ada struktur di dalam komunitasnya, struktur tersebut sama sekali tidak
berpengaruh pada pola interaksi dan probabilitas terinfeksinya setiap individu. Jadi,
serangan penyakitnya ditujukan kepada siapa saja tanpa pola atau struktur (kelompok usia,
jenis kelamin, ras/suku, status sosial, dan lain sejenisnya) tertentu seperti halnya penularan
yang khas dari seorang ibu (orang tua) secara vertikal kepada anak-anaknya atau secara
horizontal dari wanita kepada pria (dan sebaliknya dari pria ke wanita) dewasa (terutama
yang berkaitan dengan penyakit kelamin).
44
Pada modelnya (terutama model matematisnya), variabel-variabelnya (gejala atau
fenomenanya) dapat diukur dengan derajat yang tinggi hingga sisanya dapat diprediksi
dengan baik; tidak ada ketidak-pastian (tanpa probabilitas atau bukan stokastik). Penjelasan
tambahan mengenai deterministik juga dapat dilihat pada awal bab “Model SIR Stokastik”.

Halaman: 29 349
Karena sebab-sebab pemahaman dan/atau asumsi yang tidak sama,
seringnya hasil pengamatan atas suatu fenomena bersifat parsial (tidak
utuh), lokal (tidak berlaku di lain tempat), dan temporal (terkadang tidak
berlaku di lain waktu), plus juga hasil pengamatan juga mengandung bias,
maka tidak mengherankan jika akhirnya terdapat lebih dari satu model
yang dianggap mampu ”mewakili” suatu fenomena. Proses pemodelan, di
lain pihak, memang cenderung bersifat iteratif (tidak sekali jadi).

2.1 Model SI
Model SI (susceptible-Infected) merupakan model epidemik yang paling sederhana.
Model yang sebenarnya agak jarang ditemui di kehidupan nyata ini memisahkan
status populasi menjadi dua kelompok saja; rentan (S) dan terinfeksi (I). Begitu
kelompok populasi yang rentan mulai terinfeksi (sekunder), maka individu-individu
yang bersangkutan segera menjadi anggota kelompok yang terinfeksi (sekunder);
meningkatkan jumlah populasi yang terinfeksi (sekunder) sekaligus mengurangi
jumlah populasi yang rentan. Pada model ini, diasumsikan45 bahwa:
1) Laju (rate) kelompok populasi yang rentan menjadi kelompok yang terinfeksi
sebanding (proporsional) dengan kontak antara individu-individu yang rentan
dengan yang terinfeksi. Konsekuensinya, laju individu yang terinfeksi menjadi
αSI (α kali S kali I).
2) Setiap individu pada awalnya rentan. Setelah terinfeksi/tertular penyakit,
pada model ini, maka yang bersangkutan tetap akan terinfeksi, dan dapat
menularkan penyakitnya sepanjang hidupnya karena mereka tetap bergaul
dengan populasi yang masih rentan. Pada akhirnya, semuanya akan menjadi
terinfeksi.
3) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan46.

Gambar 2.1: Model Susceptible (S)-Infected (I)


Berdasarkan beberapa asumsi di atas, maka pada model epidemik SI dapat dituliskan
beberapa persamaan seperti berikut47:

45
Perlu diperhatikan bahwa semua asumsi yang dibuat akan mempengaruhi properties
modelnya; termasuk rumusan matematisnya. Sebab, asumsi yang dibentuk adalah bagian
dari definisi model itu sendiri. Oleh sebab itu, asumsinya harus jelas. Hal ini yang perlu
disadari sejak awal sebelum beranjak pada model-model yang lain pada buku ini.
46
Tidak ada perpindahan penduduk dan angka kelahiran dan kematian secara umum
dianggap sama besarnya. Tidak ada dinamika (perubahan) jumlah populasi.

Halaman: 30 349
dS dI
a) S + I = N , atau S = N − I , dan + =0
dt dt
dS αSI dI αSI αSI αSI
b) =− , =+ , dS = − dt , dI = dt
dt N dt N N N
1 αI 1 αS
c) ∫ S dS = −∫ N dt , ∫ I dI = + ∫ N dt , solusi persamaan diferensial.

αI∆t αS∆t
d) Ln( S ) = − + C1 , Ln ( I ) = + C 2 , solusi persamaan diferensial.
N N
αI∆t αS∆t αI∆t αS∆t
− −
e) S = e N
.e C1 , I = e N
.e C2 , atau S = K1e N
, I = K 2e N

αI o ∆t αSo ∆t

f) S (t o ) = S o , I (t o ) = I o , S = S o .e N
, I = I o .e N

αS t I t αS t I t
g) S t +1 = S t − ∆t , dan I t +1 = I t + ∆t
N N
αI t αS t
h) S t +1 = S t (1 − ∆t ) , dan I t +1 = I t (1 + ∆t )
N N
i) N adalah jumlah total populasi (baik yang rentan maupun yang terinfeksi);
satuannya adalah individu, orang, atau jiwa.
j) α adalah konstanta (probabilitas) laju infeksi atau penularan (baru/sekunder)
per-waktu, probabilitas laju kontak penularan (baru) penyakit per-waktu,
atau nilai rata-rata (probabilitas) laju kontak dengan individu yang telah
terinfeksi per-waktu; pada kondisi kontak sosial apa adanya di suatu area dan
kurun waktu tertentu. Satuan α adalah 1-per-satuan-waktu; sebagai misal
0.25/hari (proses penularan lebih lambat) atau 0.67/hari (proses penularan
lebih cepat). Oleh sebab itu, α.dt adalah nilai probabilitas orang yang rentan
menjadi terinfeksi selama selang waktu dt.
k) T=1/α, waktu (rata-rata) yang diperlukan untuk menyebarkan penyakit
(melalui kontak).
l) dt atau ∆t selang waktu; satuan waktu (kebanyakan dalam hari).

2.2 Model SIS


Model SIS (Susceptible-Infected-Suceptible) merupakan hasil pengembangan model
SI. Seperti halnya SI, model ini memisahkan populasinya menjadi dua kelompok; S
(rentan) dan I (terinfeksi). Pada model ini, begitu individu yang rentan (S) mulai
terinfeksi, maka sejak saat itu ia menjadi terinfeksi (I); mengurangi jumlah S sekaligus
menambahkan jumlah I. Tetapi kemudian, setelah berjalannya waktu, sebagian dari
yang terinfeksi (I) ini pun akan ”sembuh” dengan sendirinya; tetapi dalam pengertian

47
Pada persamaan ini terdapat faktor pembagi N; dibagi dengan jumlah total individu. Itu
disebabkan karena variabel S dan I-nya sudah dinyatakan dalam satuan individu (orang atau
jiwa).

Halaman: 31 349
menjadi rentan kembali (S). Oleh sebab itu, sebagian orang menyebut model ini
berisi aspek delay waktu, mutasi, atau evolusi (berevolusi untuk menjadi rentan
kembali). Akibatnya, suatu saat, jumlah-jumlah individu yang rentan dan terinfeksi
menjadi konstan (perhatikan gambar 3.5) atau menjadi endemik (penyakitnya akan
selalu ada atau tinggal di kelompok populasi yang bersangkutan, terlepas dari berapa
jumlah individu yang mengidapnya).
Pada umumnya, pada model SIS diasumsikan bahwa48:
1) Laju populasi yang terinfeksi sebanding dengan kontak antara individu-
individu yang rentan dengan yang terinfeksi. Konsekuensinya, laju populasi
yang terinfeksi menjadi αSI (α kali S kali I).
2) Seiring dengan waktu, sebagian dari yang terinfeksi itu menjadi rentan
kembali; (S). Konsekuensinya, laju populasi yang menjadi rentan adalah βI (β
kali I).
3) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan.

Gambar 2.2: Model Susceptible (S)-Infected (I)- Susceptible (S)


Berdasarkan beberapa asumsi di atas, pada model epidemik SIS dapat dituliskan
beberapa bentuk persamaan seperti berikut:
dS dI
a) S + I = N , dan + =0
dt dt
dS αSI dI αSI
b) =− + βI , = − βI
dt N dt N
αSI αSI
c) dS = (− + βI )dt , dI = ( − β I )dt
N N
αS t I t αS t I t
d) S t +1 = S t + (− + βI t )∆t , dan I t +1 = I t + ( − β I t ) ∆t
N N
e) N adalah jumlah total populasi (rentan dan terinfeksi); satuannya adalah
individu, orang, atau jiwa.
f) Keterangan mengenai α dapat dilihat pada model SI di atas.

48
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
untuk model SI di atas.

Halaman: 32 349
g) β adalah konstanta (probabilitas) laju ”penyembuhan” populasi yang
terinfeksi menjadi rentan kembali per-satuan waktu, atau koefisien
probabilitas kecepatan populasi yang terinfeksi menjadi rentan kembali (SIS)
atau sembuh (SIR) per-satuan waktu; pada kondisi apa adanya di suatu area
dan kurun waktu tertentu. Satuan β adalah 1-per-satuan-waktu; contoh, 1/14
hari (penyembuhan lebih lambat) dan 0.33/hari (penyembuhan lebih cepat).
Oleh sebab itu, β.dt adalah probabilitas jumlah orang yang terinfeksi menjadi
rentan atau sembuh kembali selama selang waktu dt.

2.3 Model SIR


Model SIR (Susceptible-Infected-Recovered) merupakan model epidemik yang paling
umum dan mendasar. Model yang merupakan hasil pengembangan model SI dan
pertama kali digunakan oleh Kermack dan McKendrick sekitar tahun 1927 ini telah
diaplikasikan untuk berbagai penyakit pada anak yang berujung pada kekebalan
(sembuh) seumur hidupnya (permanen) atau mati. Dengan demikian, model ini akan
memisahkan total populasinya (N) menjadi tiga kelompok populasi saja; S, I, dan R.
Begitu individu yang rentan terinfeksi, maka yang bersangkutan menjadi anggota
populasi yang terinfeksi; mengurangi jumlah S sekaligus menambahkan jumlah I.
Kemudian, setelah berjalannya waktu, sebagian dari yang terinfeksi tersebut akan
sembuh dengan sendirinya (dalam pengertian kebal atau bahkan meninggal dunia);
mengurangi jumlah I sekaligus menambahkan jumlah anggota R. Pada model ini,
diasumsikan bahwa49:
1) Laju populasi yang terinfeksi sebanding dengan kontak antara individu-
individu yang rentan dengan yang terinfeksi. Konsekuensinya, laju yang
terinfeksi menjadi αSI (α kali S kali I).
2) Seiring dengan berjalannya waktu, sebagian dari populasi yang terinfeksi
menjadi sembuh (R); tidak kembali menjadi rentan. Konsekuensinya, laju
individu yang sembuh menjadi βI (β kali I).
3) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan.

Gambar 2.3: Model Susceptible (S)-Infected (I)-Recovered (R)

49
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
untuk model SI di atas.

Halaman: 33 349
Berdasarkan beberapa asumsi di atas, pada model epidemik SIR dapat dituliskan
beberapa bentuk persamaan seperti berikut50:
dS αSI dI αSI dR
a) =− , = − βI , dan = βI
dt N dt N dt
dS dI dR αSI αSI
b) + + = (− )+( − β I ) + ( β I ) = 0 , maknanya secara umum
dt dt dt N N
adalah tidak ada perubahan (pertambahan atau pengurangan) dari populasi
totalnya (N), apalagi terdapat asumsi bahwa lamanya simulasi relatif singkat,
dan memang sering ditegaskan bahwa S + I + R = N berlaku untuk model-
model deterministik. Oleh sebab itu, beberapa pihak tidak menyertakan
persamaan yang ketiga (R) karena bisa diturunkan dari dua persamaan yang
pertama: R=N-S-I.
αSI αSI
c) dS = − dt , dI = ( − βI )dt , dan dR = βI .dt
N N
αS t I t αS t I t
d) S t +1 = S t − ∆t , I t +1 = I t + ( − β I t )∆t , dan Rt +1 = Rt + βI t ∆t
N N
αI t αS t
e) S t +1 = S t (1 − ∆t ) , I t +1 = I t (1 + ( − β )∆t ) , dan Rt +1 = Rt + β I t ∆t
N N
f) N adalah jumlah total populasi (baik yang rentan, terinfeksi, maupun yang
kebal); satuannya adalah individu, orang, atau jiwa.
g) Keterangan mengenai α dapat dilihat pada model SI di atas.
h) β adalah konstanta (probabilitas) laju proses ”penyembuhan” dari (kelompok
populasi) yang terinfeksi menjadi (kelompok populasi yang) sembuh51
(recovered) dan mati (dead) per-satuan waktu; pada kondisi apa adanya di
suatu area dan kurun waktu tertentu. Satuan β adalah 1-per-satuan-waktu;
sebagai misal 1/14 hari (proses penyembuhan lebih lambat) atau 0.33/hari
(proses penyembuhan lebih cepat). Oleh sebab itu, β.dt adalah nilai
probabilitas proses kesembuhan (dari yang terinfeksi) selama selang waktu
dt. Nilai β secara alami akan bergantung dari beberapa hal, di antaranya
adalah faktor penyakit itu sendiri (patogen) dan rata-rata daya tahan tubuh
individunya.
i) Ta = 1/α, waktu (rata-rata) yang diperlukan untuk menyebarkan penyakit.

50
Pada persamaan ini terdapat faktor pembagi N; dibagi dengan jumlah total individu. Itu
disebabkan karena variabel S dan I-nya sudah dinyatakan dalam satuan individu (orang atau
jiwa).
51
Pada umumnya, pada model epidemik SIR, kelas atau kelompok yang “sembuh” atau “R”
(recovered) itu sudah mencakup individu-individu yang benar-benar sembuh betulan dan
yang sudah mati (meninggal dunia) karena penyakit yang bersangkutan. Kelompok individu
yang mati jarang disebutkan secara eksplisit (tersendiri) kecuali pada model epidemik
turunan SIR yaitu SIRD dan SEIRD yang jelas-jelas mengelompokkan individu-individu yang
mati ke dalam kelas atau kelompok tersendiri. Jadi, individu-individu pada kelas “R” model
SIR belum tentu masih hidup, tetapi yang jelas mereka sudah tidak lagi rentan dan juga tidak
terinfeksi.

Halaman: 34 349
j) Tb = 1/β, waktu (rata-rata) yang diperlukan untuk menyembuhkan penyakit.
Sebagai catatan, fenomena penyakit cacar (salah satu penyakit menular di
wilayah tropis) pada umumnya (disebutkan) berpola model SIR; setelah
sembuh, yang bersangkutan cenderung menjadi kebal permanen.

Jika juga diinginkan relasi matematis antara variabel I dan S, maka hal itu dapat
diturunkan dengan cara seperti berikut:

dI dI / dt αSI / N − βI βN
a) = = = −1 +
dS dS / dt − αSI / N αS

βN βN
b) dI = ( − 1)dS , jika diintegralkan I (S ) = Ln ( S ) − S + C
αS α

βN
c) I (0) = I o = Ln(0) − 0 + C ==> C = I o
α

Dengan memperhatikan bahasan sub-bab 5.3.2 di bawah (dimana untuk model SIR
didapatkan Ro = α / β ) dan juga bab 3 di bawah yang memberikan nilai awal bagi I
(Io) adalah 1 (satu), maka persamaan b) di atas menjadi seperti berikut:

N N
d) I = I o + Ln ( S ) − S ==> I ( S ) = 1 + Ln ( S ) − S
Ro Ro

Seperti nampak pada lampiran I, contoh baris-baris kode yang menggunakan fungsi
(Octave) ”LSode” dan fungsi diferensialnya (laju atau xdot) dinyatakan di dalam
fungsi tersendiri yabf mengindikasikan bahwa solusinya persamaan diferensial
biasanya (ordinary differential equations/ODE) akan diselesaikan dengan secara
kontinyu. Artinya, model epidemiknya, untuk membuat solusinya, pada saat itu
dianggap sebagai fungsi kontinyu. Dengan kekontinyuan ini, maka nilai fungsinya
akan ada di semua titik waktu.

Sebaliknya, sebagai alternatif/variasi, ada pendekatan lain; yaitu diskrit. Untuk


persamaan diferensial biasa yang solusinya ingin diselesaikan dengan cara diskrit,
maka baris-baris kodenya akan berisi looping/iterasi (untuk menghitung kelompok-
kelompok populasi S(t), I(t), dan R(t) untuk setiap saatnya) dengan masukan nilai
awal sebagai pendekatan. Dengan sifatnya yang diskrit ini, maka nilai fungsinya tidak
selalu ada di semua titik waktu; bergantung pada indeks (bilangan bulat) satuan
waktunya. Sebagai misal, jika satuan waktunya adalah hari, maka nilai fungsi
diskritnya hanya akan tersedia untuk hari-hari ke 0, 1, 2, 3, dan seterusnya; tidak
akan tersedia untuk hari-hari ke 0.25, 5.15, 12.5, dan sejenisnya. Sebaliknya, jika
fungsinya diasumsikan bersifat kontinyu (demikian pula dengan baris-baris kodenya),
maka nilai-nilai fungsinya juga akan tersedi untuk bilangan-bilangan nyata pecahan.

Kemungkinan perbedaan hasil implementasi konstinyu & diskrit perlu diperhatikan.


Pada model kontinyu, titik-titik waktu bisa didefinisikan sebagai vektor waktu
(linspace) antara awal dan akhir berikut jumlah titik sampel waktu yang dikehendari.

Halaman: 35 349
Sebagai misal, t=linspace(0,50,100) yang berarti bahwa vektor waktunya akan
dimulai dari 0 dan maksimum 50 dengan jumlah titik sampel 100. hasilnya, nilai
elemen vektor waktunya bertipe bilangan nyata; termasuk pecahan. Sebaliknya,
untuk versi diskritnya, pada umumnya tanpa pendefinisian jumlah titik sampel, t =
linspace (0, 50), untuk menghasilkan titik-titik waktu yang berupa bilangan bulat.

Dari sisi pemrograman (coding) dan pemahaman terhadap algoritmanya, tentu saja
lebih mudah cara yang diskrit. Tetapi penggunaan model diskrit pada kasus-kasus
seperti ini, terkadang, beresiko kehilangan akurasi waktu dalam menentukan kapan
suatu event sebenarnya terjadi. Sebagai misal, berdasarkan grafik hasil baris-baris
kode yang menggunakan persamaan diferensial biasa (kontinyu), diketahui bahwa
antara hari ke 11 dan 12 terjadi titik potong antara jumlah kelompok populasi yang
rentan dengan yang terinfeksi; di sekitar 44 jiwa. Tetapi berdasarkan angka-
angkanya, jika dicetak, maka diketahui bahwa event jumlah populasi yang rentan
tepat sama dengan jumlah populasi yang terinfeksi terjadi pada hari ke 11.11; yaitu
44 jiwa (perhatikan gambar 2.3a). Sedangkan hasil baris-baris kode yang
mengimplementasikan model diskrit akan menampilkan hasil yang kurang lebih sama
pada grafiknya. Hanya saja, pada angka-angka yang tercetaknya (meskipun juga tidak
sama persis), tidak diketahui kapan tepatnya event jumlah populasi yang rentan
sama dengan yang terinfeksi. Yang diketahui adalah bahwa pada hari ke-11, yang
rentan 50 dan yang terinfeksi 41 jiwa, sedangkan pada hari ke-12 yang rentan 39 dan
yang terinfeksi 48 jiwa. Dengan demikian, pada hasil diskrit ini memang diketahui
bahwa event yang dimaksud terjadi di antara hari ke 11 dan 12, tetapi kapan
tepatnya tidak diketahui, demikian pula dengan berapa jumlah masing-masing
kelompok populasinya pada saat itu (juga tidak diketahui). Perhatikan gambar 2.3b.

Gambar 2.3a: Hasil Kontinyu

Halaman: 36 349
Gambar 2.3b: Hasil Diskrit

2.4 Model SIRS


Model SIRS (Susceptible-Infected-Recovered-Suceptible) merupakan model epidemik
yang membentuk loop. Model ini sebenarnya merupakan hasil pengembangan atau
modifikasi dari model SIR. Seperti halnya SIR, model ini juga memisahkan total
populasinya menjadi tiga kelompok; rentan (S), terinfeksi (I), dan sembuh (S) [tetapi
tidak kebal]. Pada model ini, kelompok populasi yang rentan (sehat) akan terinfeksi
(mengurangi yang rentan dan menambahkan yang terinfeksi), kemudian sembuh
untuk sementara waktu dengan sendirinya atau mati (mengurangi yang terinfeksi),
dan akhirnya rentan kembali52 (mengurangi yang sembuh sekaligus menambahkan
yang rentan). Artinya, dengan model SIRS, digambarkan bahwa suatu (wabah)
penyakit dapat bertahan (akan selalu ada) di sekelompok orang (populasi) ketika
(faktor) kekebalan setiap individunya hanya pulih untuk sementara waktu saja (tidak
permanen seperti halnya pada model SIR); penyakitnya menjadi bersifat endemik
(terutama jika diamati dalam jangka waktu yang panjang). Sifat endemik ini dapat
diperlihatkan pada kurva-kurvanya yang suatu saat akan mencapai nilai konstan
tertentu (perhatikan gambar 3.10 & 3.11 sebagai contoh). Oleh sebab itu,
sebagaimana halnya model SIS, sebagian orang menyebut model ini berisi aspek
delay waktu, mutasi, atau evolusi.

52
Karena, sebagai suatu contoh, virus atau penyakitnya “berkembang” sedemikian rupa
hingga sebagian dari kekebalan atau imunitas manusianya menjadi berkurang. Pada konteks
ini pula sering dikaitkan dengan delay waktu (model epidemik yang berisi aspek delay),
karena mutasi beserta efek berkurangnya kekebalan ini sebenarnya juga memerlukan waktu
atau delay tertentu. Hanya saja, pada model SIRS ini, tidak aspek delay (T) belum
dimasukkan secara eksplisit ke dalam model matematisnya (persamaan diferensial delay).

Halaman: 37 349
Siklus model epidemik ini sesuai dengan beberapa fenomena penyakit seperti halnya
(virus) flue, batuk, pilek, influenza, dan lain sejenisnya; setelah sembuh, suatu saat
bisa kena kembali. Pada model ini, diasumsikan bahwa53:
1) Laju populasi yang terinfeksi sebanding dengan kontak antara individu-
individu yang rentan dengan yang terinfeksi. Konsekuensinya, laju individu
yang terinfeksi menjadi αSI (α kali S kali I).
2) Seiring dengan berjalannya waktu, sebagian dari populasi yang terinfeksi (I)
akan menjadi sembuh. Konsekuensinya, laju populasi yang sembuh menjadi
βI (β kali I).
3) Dengan berjalannya waktu, sebagian dari yang sembuh menjadi rentan
kembali. Konsekuensinya, laju populasi yang rentan kembali menjadi φ (φ
kali R).
4) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan.

Gambar 2.4: Model Susceptible-Infected-Recovered-Susceptible


Berdasarkan beberapa asumsi di atas, pada model epidemik SIRS dapat dituliskan
beberapa bentuk persamaan seperti berikut:
dS dI dR
a) S + I + R = N , dan + + =0
dt dt dt
dS αSI dI αSI dR
b) =− + φR , = − βI , dan = β I − φR
dt N dt N dt
αSI αSI
c) dS = (− + φR )dt , dI = ( − β I )dt , dan dR = ( β I − φR )dt
N N
αS t I t
d) S t +1 = S t + (− + φRt )∆t
N

53
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
untuk model SI di atas.

Halaman: 38 349
αS t I t
e) I t +1 = I t + ( − β I t ) ∆t
N
f) Rt +1 = Rt + ( β I t − φRt )∆t
g) Keterangan mengenai α dapat dilihat pada model SI.
h) Keterangan mengenai β dapat dilihat pada model SIR.
i) φ adalah koefisien/konstanta (probabilitas) laju (kelompok populasi) yang
sembuh menjadi (kelompok populasi) yang rentan kembali per-satuan waktu;
satuannya 1 per-satuan waktu (1/hari, 0.25 per-hari, dsb.). φ.dt adalah
probabilitas proses kerentanan kembali dari yang sembuh selama selang
waktu dt.
Sebagai catatan, fenomena-fenomena penyakit TBC, demam berdarah, dan
malaria (beberapa contoh penyakit menular di area tropis) pada umumnya
berpola model SIRS; setelah (pernah) sembuh dari penyakitnya, yang
bersangkutan masih beresiko (rentan) terinfeksi kembali (sembuh tetapi
tidak benar-benar menjadi kebal).

2.5 Model SIRD


Model SIRD (Susceptible-Infected-Recovered-Dead/Deseased) adalah pengembangan
model SIR. Model ini memisahkan populasinya menjadi empat kelompok; S (rentan),
I (terinfeksi), R (sembuh), dan D (mati). Pada model ini, populasi yang rentan akan
terinfeksi (karena tertulas) dan akhirnya sembuh (dalam pengertian kebal) atau
bahkan mati (karena wabah penyakit itu sendiri atau patogen). Pada model ini,
diasumsikan bahwa54:
1) Laju populasi yang terinfeksi sebanding dengan kontak individu yang rentan
dengan yang terinfeksi; laju individu yang terinfeksi menjadi αSI (α x S x I).
2) Sebagian dari populasi yang terinfeksi kemudian menjadi sembuh atau mati.
Akibatnya, laju populasi yang sembuh menjadi βI (β kali I) dan laju populasi
yang mati menjadi δI (δ kali I).
3) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan.

54
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
pada model SI di atas.

Halaman: 39 349
Gambar 2.5: Model Susceptible-Infected-Recovered-Dead
Berdasarkan beberapa asumsi di atas, maka pada model epidemik SIRD dapat
dituliskan beberapa bentuk persamaan seperti berikut:
dS dI dR dD
a) S + I + R + D = N , dan + + + =0
dt dt dt dt
dS αSI dI αSI dR dD
b) =− , = − βI − δI , = βI , dan = δI
dt N dt N dt dt
αSI αSI
c) dS = − dt , dI = ( − βI − δI ).dt , dR = β I .dt , dan dD = δI .dt
N N
αS t I t αS t I t
d) S t +1 = S t − .∆t , I t +1 = I t + ( − β I t − δI t )∆t
N N
e) Rt +1 = Rt + βI t .∆t , Dt +1 = Dt + δI t .∆t
f) Keterangan mengenai α dapat dilihat pada model SI.
g) Keterangan mengenai β dapat dilihat pada model SIR.
h) δ adalah koefisien/konstanta (probabilitas) laju proses (kelompok populasi)
yang terinfeksi menjadi (kelompok populasi) yang mati (meninggal dunia);
satuannya 1 per-satuan waktu (1/hari, 0.2 per-hari, dan lain sejenisnya).
Dengan demikian, δ.dt adalah nilai probabilitas laju kematian (dari yang
terinfeksi) selama selang waktu dt.

Sebagai pembanding, perhatikan pula bahasan sub-bab 2.10 di bawah mengenai


”model dan dinamika penduduk” yang pada bagian akhirnya menyinggung faktor
kematian karena wabah penyakitnya (patogen).

2.6 Model SEIS


Model SEIS (Susceptible-Exposed-Infected-Susceptible) merupakan model epidemik
yang unik. Model ini merupakan hasil modifikasi dari model SIS. Model ini akan
memisahkan populasinya menjadi tiga kelompok (state); S (rentan), E (masa
inkubasi, penyakitnya belum nampak jelas, masih bersifat laten, atau pra-infeksi),
dan I (terinfeksi); populasi I (infected) pada model SIS dipisahkan (dibagi dua)
menjadi populasi E (exposed) dan populasi I (infected beneran) pada model SEIS.

Halaman: 40 349
Pada model ini, populasi yang rentan akan terlebih dahulu mengalami masa inkubasi
(setelah terpapar) selama beberapa saat. Pada kondisi ini (inkubasi/exposed), yang
bersangkutan masih belum mampu menularkan penyakitnya pada siapa pun. Tetapi
setelah masa inkubasinya berlalu, yang terpapar dapat menularkan penyakitnya, dan
oleh karena satu dan lain hal, pada akhirnya yang bersangkutan bisa ”sembuh
sementara” dalam pengertian menjadi rentan kembali.
Untuk mengumpulkan sampel datanya, pengamat fenomena epidemik
model SEIS (berikut model lain yang berisi state ”E”) perlu memiliki alat,
atau cara/metode/prosedur yang mampu memisahkan (menentukan)
kapan saatnya seseorang (individu) berstatus ”E” dan kapan pula saatnya
ia berstatus ”I”. Jika tidak, kemungkinan besar, ia melakukan ”pukul-
rata”, atau menggunakan asumsi tertentu untuk memisahkan kedua state
ini.
Kejadian menjadi rentan kembalinya (evolusi) sebagian individu, pada akhirnya, akan
menyebabkan penyakitnya cenderung bersifat endemik. Artinya, secara konseptual,
penyakit yang berpola model ini akan selalu hadir (konstan) di sekitar tempat tinggal
populasinya (ada saja yang kena dalam jumlah tertentu). Hal ini dapat dilihat,
sebagai contoh (perhatikan gambar 3.13), pada kurva-kurvanya yang pada suatu saat
menjadi konstan (garis lurus horizontal).
Pada model ini, diasumsikan bahwa55:
1) Laju populasi yang rentan hingga mengalami inkubasi sebanding dengan
kontak antara individu-individu yang rentan dengan yang terinfeksi; αSI (α
kali S kali I).
2) Laju populasi yang terinfeksi dari populasi yang mengalami inkubasi
sebanding dengan populasi yang mengalami inkubasi; KE (K kali E).
3) Laju populasi yang terinfeksi menjadi rentan kembali sebanding dengan
populasi yang terinfeksi β (β kali I).
4) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan.

Gambar 2.6: Model Susceptible-Exposed-Infected-Susceptible

55
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
pada model SI di atas.

Halaman: 41 349
Berdasarkan beberapa asumsi di atas, maka pada model epidemik SEIS dapat
dituliskan beberapa bentuk persamaan seperti berikut:
dS dE dI
a) S + E + I = N , dan + + =0
dt dt dt
dS αSI dE αSI dI
b) =− + βI , = − KE , dan = KE − β I
dt N dt N dt
αSI αSI
c) dS = (− + βI ).dt , dE = ( − KE ).dt , dI = KE .dt
N N
αS t I t αS t I t
d) S t +1 = S t + (− + β I t ).∆t , Et +1 = Et + ( − KEt )∆t
N N
e) I t +1 = I t + ( KE − β I t ).∆t
f) Pada model ini, α adalah probabilitas laju yang rentan (S) menjadi (kelompok
populasi) yang terekspos (E) per-satuan waktu; satuannya adalah konstanta
per-waktu (misalnya 0.3 per-hari). Dengan demikian, α.dt adalah probabilitas
yang rentan menjadi terekspos selama selang waktu dt.
g) Pada model ini, keterangan mengenai β dapat dilihat pada model SIS.
h) K adalah koefisien/konstanta (probabilitas) laju (kelompok populasi) yang
mengalami inkubasi (terekspos) menjadi (kelompok populasi) terinfeksi per-
satuan waktu; satuannya adalah 1 per-satuan waktu (1/hari, 0.25 per-hari,
dan lain sejenisnya). Dengan demikian, K.dt adalah nilai probabilitas yang
terekspos menjadi terinfeksi selama selang waktu dt.
Seperti nampak pada model epidemik yang menyertakan exposed &
infected), kita boleh saja memodelkan kondisi individu-individu yang
berpenyakit dalam beberapa terminologi status. Misalnya, infected saja (1
status), atau memisahkannya menjadi dua status (state); exposed (E) dan
infected (I). Pilihan ini bergantung pada kemampuan, cara, metode, dan
/atau asumsi yang bersangkutan dalam mengidentifikasi dan mengamati
(sampel data) jumlah-jumlah berikut perkembangannya dari waktu-ke-
waktu. Sebagai pembanding, di lain pihak, Murti (1997) telah menjabarkan
riwayat alamiah penyakit menjadi 4 fase; rentan, presimtomatik, klinik, dan
terminal. Oleh sebab itu, ke-4 fase ini pun bisa dilibatkan di dalam model
epidemik sebagai status.

2.7 Model SEIR


Model SEIR (Susceptible-Exposed-Infected-Recovered) merupakan model epidemik
hasil modifikasi model SIR. Model ini memisahkan populasinya menjadi empat
kelompok; S (rentan), E (inkubasi atau pra-infeksi), I (terinfeksi), dan R (sembuh).
Populasi I (infected) pada model SIR dipisahkan (dibagi dua) menjadi populasi E
(exposed) dan populasi I (infected beneran) di dalam model SEIR. Pada model ini,
populasi yang rentan dianggap terlebih dahulu mengalami masa inkubasi (setelah
terpapar penyakit) selama beberapa saat sebelum benar-benar berstatus infected (I).
Pada kondisi tersebut (inkubasi/exposed), yang bersangkutan masih belum mampu

Halaman: 42 349
menularkan penyakitnya. Setelah masa inkubasi berlalu, mereka yang terinfeksi
sudah mampu menularkan penyakitnya (infected) kepada orang lain, dan kemudian
dapat disembuhkan hingga menjadi sembuh (dalam pengertian kebal). Pada model
ini, diasumsikan bahwa56:
1) Laju populasi yang rentan hingga mengalami inkubasi sebanding dengan
kontak antara individu-individu yang rentan dengan yang terinfeksi; αSI (α
kali S kali I).
2) Laju populasi yang menjadi terinfeksi dari populasi yang mengalami inkubasi
sebanding dengan populasi yang mengalami inkubasi; KE (K kali E).
3) Laju populasi yang terinfeksi menjadi sembuh sebanding dengan populasi
yang terinfeksi β (β kali I).
4) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan.

Gambar 2.7: Model Susceptible-Exposed-Infected-Recovered


Berdasarkan beberapa asumsi di atas, maka pada model epidemik SEIR dapat
dituliskan beberapa bentuk persamaan seperti berikut:
dS dE dI dR
a) S + E + I + R = N , dan + + + =0
dt dt dt dt
dS αSI dE αSI dI dR
b) =− , =( − KE ) , = ( KE − β I ) , dan = βI
dt N dt N dt dt
αSI αSI
c) dS = − dt , dE = ( − KE ).dt , dI = ( KE − βI ).dt , dan dR = β I .dt
N N
αS t I t αS t I t
d) S t +1 = S t − .∆t , Et +1 = Et + ( − KEt )∆t
N N
e) I t +1 = I t + ( KEt − βI t ) ∆t , Rt +1 = Rt + βI t .∆t

56
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
pada model SI di atas.

Halaman: 43 349
f) Keterangan mengenai α dapat dilihat pada model SI.
g) Keterangan mengenai β dapat dilihat pada model SIR.
h) Keterangan mengenai K dapat dilihat pada model SEIS.

2.8 Model SEIRS


Model SEIRS (Susceptible-Exposed-Infected-Recovered-Susceptible) adalah model
epidemik yang unik. Model ini merupakan hasil pengembangan dari model SIRS atau
SEIR; SEIRS=SEIR+S. Dengan demikian, model ini akan memisahkan populasinya
menjadi empat kelompok; rentan, inkubasi/pra-infeksi, terinfeksi, sembuh (tetapi
tidak kebal). Meskipun demikian, seperti halnya model-model yang bernama akhiran
”S” sebelumnya, maka model ini pun, pada akhirnya, cenderung bersifat endemik.
Artinya, pada suatu saat, terutama dalam jangka panjang, nampak jelas bahwa
penyakitnya akan selalu hadir di kelompok populasi yang bersangkutan. Hal ini akan
terlihat dari bentuk kurva-kurvanya yang pada suatu saat akan membentuk garis
lurus horizontal (sebagai contoh perhatikan gambar 3.15).
Pada model ini, diasumsikan bahwa57:
1) Laju populasi yang rentan hingga mengalami inkubasi sebanding dengan
kontak antara individu-individu yang rentan dengan yang terinfeksi; αSI (α
kali S kali I).
2) Laju populasi yang menjadi terinfeksi dari populasi yang mengalami inkubasi
sebanding dengan populasi yang mengalami inkubasi; KE (K kali E).
3) Laju populasi yang terinfeksi menjadi sembuh sebanding dengan populasi
yang terinfeksi β (β kali I).
4) Laju populasi yang sembuh menjadi rentan kembali sebanding dengan
populasi yang sembuh φ (φ kali R).
5) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan.

Gambar 2.8: Model Susceptible-Exposed-Infected-Recovered-Susceptible

57
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
pada model SI di atas.

Halaman: 44 349
Berdasarkan beberapa asumsi di atas, maka pada model epidemik SEIRS dapat
dituliskan beberapa bentuk persamaan seperti berikut:
dS dE dI dR
a) S + E + I + R = N , dan + + + =0
dt dt dt dt
dS αSI dE αSI dI dR
b) =− + φR , = − KE , = KE − βI , dan = βI − φR
dt N dt N dt dt
αSI αSI
c) dS = (φR − )dt , dE = ( − KE )dt , dI = ( KE − βI ) dt , dR = ( βI − φR).dt
N N
αS t I t αS t I t
d) S t +1 = S t + (φRt − )∆t , Et +1 = Et + ( − KEt )∆t
N N
e) I t +1 = I t + ( KEt − βI t ) ∆t , Rt +1 = Rt + ( βI t − φR) ∆t
f) Keterangan mengenai α dapat dilihat pada model SI.
g) Keterangan mengenai β dapat dilihat pada model SIR.
h) Keterangan mengenai φ dapat dilihat pada model SIRS.
i) Keterangan mengenai K dapat dilihat pada model SEIS & SEIR.

2.9 Model SEIRD


Model SEIRD (Susceptible-Exposed-Infected-Recovered-Dead) adalah model epidemik
yang unik dan realistis hingga sering diaplikasikan. Model ini hasil pengembangan SIR
dan SEIR; SEIRD=SEIR+D. Dengan demikian, model ini memisahkan populasinya
menjadi 5 kelompok populasi; S (rentan), E (inkubasi atau pra-infeksi), I (terinfeksi), R
(sembuh/kebal), dan D (mati). Pada model ini, diasumsikan bahwa58:
1) Laju populasi yang rentan hingga mengalami inkubasi sebanding dengan
kontak antara individu-individu yang rentan dengan yang terinfeksi; αSI (α
kali S kali I).
2) Laju populasi yang terinfeksi setelah mengalami inkubasi sebanding dengan
populasi yang mengalami inkubasi; KE (K kali E).
3) Laju populasi yang terinfeksi menjadi sembuh sebanding dengan populasi
yang terinfeksi β (β kali I).
4) Laju populasi yang terinfeksi menjadi mati (meniggal dunia) sebanding
dengan populasi yang terinfeksi δ (δ kali I).
5) Jumlah penduduk tetap; tidak ada pertumbuhan (kelahiran, kematian,
perpindahan penduduk, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari
pada usia rata-rata populasi yang ada) yang signifikan.

58
Perhatikan pula catatan mengenai beberapa asumsi tambahan sebagaimana telah dibahas
pada model SI di atas.

Halaman: 45 349
Gambar 2.9: Model Susceptible-Exposed-Infected-Recovered-Dead
Berdasarkan beberapa asumsi di atas, maka pada model epidemik SEIRD dapat
dituliskan beberapa bentuk persamaan seperti berikut:
dS dE dI dR dD
a) S + E + I + R + D = N , dan + + + + =0
dt dt dt dt dt
dS αSI dE αSI dI
b) =− , =( − KE ) , = ( KE − βI − δI )
dt N dt N dt
dR dD
c) = βI , dan = δI
dt dt
αSI αSI
d) dS = − dt , dE = ( − KE ).dt , dI = ( KE − βI − δI ).dt
N N
e) dR = βI .dt , dan dD = δI .dt
αS t I t αS t I t
f) S t +1 = S t − .∆t , Et +1 = Et + ( − KEt )∆t
N N
g) I t +1 = I t + ( KEt − β I t − δI )∆t , Rt +1 = Rt + βI t .∆t , Dt +1 = Dt + δI t .∆t
h) Keterangan mengenai α dapat dilihat pada model SI.
i) Keterangan mengenai β dapat dilihat pada model SIR.
j) Keterangan mengenai K dapat dilihat pada model SEIS & SEIR.
k) Keterangan mengenai δ dapat dilihat pada model SIRD.

2.10 Model SIR & Dinamika Penduduk


Ketika berurusan dengan populasi yang besar, ada resiko dinamika/perubahan
populasi selama simulasi; setidaknya karena faktor kelahiran & kematian, meskipun
simulasinya lebih pendek dari pada usia rata-rata populasinya. Meskipun demikian,
pada model deterministik, biasanya, faktor-faktor kelahiran dan kematian59 memang

59
Dalam beberapa literatur, faktor-faktor kelahiran dan kematian (demografi) sering disebut
sebagai faktor dinamika vital.

Halaman: 46 349
diabaikan (dianggap 0 karena angka-angka kelahiran dan kematian dianggap sama
besarnya hingga saling meniadakan). Untuk itu, agar lebih memahami hal ini, maka
diperlukan beberapa asumsi seperti contoh berikut:
a) Angka kelahiran dan kematian dinyatakan dalam satuan yang sama dalam
satuan waktu simulasi. Sebagai contoh60, jika angka-angka kelahirannya (L)
dan kematiannya (M) berturut-turut adalah 2.5% dan 0.625% per-tahun,
maka nilai-nilai tersebut ekivalen dengan 0.0000685 per-hari (0.025/365) dan
0.0000171 per-hari (0.00625/365).
b) Angka kelahiran (L) & kematian (M) diasumsikan tetap pada masa simulasi;
kebanyakan dianggap sama besar hingga akhirnya sering diabaikan (hingga N
menjadi konstan).
c) Perubahan populasi karena faktor kelahiran per-harinya sebanding dengan
total populasi (N); +L*N. Perubahan ini, biasanya (bergantung pada
modelnya), hanya akan mempengaruhi populasi yang rentan (S); bayi lahir
sehat tapi rentan.
d) Perubahan populasi karena faktor kematian per-harinya terjadi pada setiap
kelompok epidemik, dan perubahan-perubahan itu sebanding dengan setiap
jumlah populasinya; -M*S (rentan), -M*I (terinfeksi), dan –M*R (sembuh).

Gambar 2.10: Model SIR Dengan Dinamika Kelahiran & Kematian


Dengan demikian, rumus-rumus yang ada pada mode SIR (sebagai misal) sub-bab 2.3
di atas, dengan adanya variabel dinamika populasi, akan menjadi seperti berikut:
dS αSI dI αSI dR
a) = LN − MS − , = − β I − MI , dan = βI − MR
dt N dt N dt
αS t I t
b) S t +1 = S t + ( LN − MS t − )∆t
N

60
Sebagai alternatif, pembaca dapat menggunakan angka-angka kelahiran dan kematian
yang sama besar (hingga jumlah total populasinya tetap di sepanjang waktu) sebagaimana
telah sering diasumsikan oleh kebanyakan model; tidak seperti contoh ini yang secara
teoritis memungkinkan perubahan jumlah total populasi meskipun sedikit/kecil. Perbedaan
asumsi ini memungkinkan hasil-hasil yang berbeda pula.

Halaman: 47 349
αS t I t
c) I t +1 = I t + ( − βI t − MI t )∆t
N
d) Rt +1 = Rt + ( βI t − MR)∆t
Tetapi jika perancang modelnya mengasumsikan bahwa dinamikanya juga secara
khusus dipengaruhi oleh faktor kematian karena (wabah) panyakitnya (patogen)61
bagi populasi yang terinfeksi, maka persamaan yang terinfeksi menjadi seperti
berikut (S dan R sama dengan sebelumnya):
dI αSI αS I
a) = − βI − MI − δI , I t +1 = I t + ( t t − βI t − MI t − δI t )∆t
dt N N
b) Dimana δ (dengan satuan konstanta per-hari atau per-satuan waktu) adalah
koefisien laju kematian karena wabah penyakitnya (patogen).
c) Secara umum, dengan asumsi ini, pada dasarnya, model ini menjadi mirip
dengan SIRD (sub-bab 2.5 di atas), hanya saja, individu-individu yang mati
karena penyakitnya tidak dijadikan sebagai kelompok populasi tersendiri.

2.11 Model MSEIR


Model MSEIR (Maternally derived immunity,Susceptible,Exposed,Infected,Recovered)
merupakan model epidemik yang unik. Model ini merupakan hasil pengembangan
model-model SIR dan SEIR; MSEIR=M+SEIR. Pada model ini disumsikan bahwa ketika
dilahirkan, sebenarnya, setiap bayi memiliki kekebalan sementara (pasif) selama
beberapa bulan pertama yang didapat dari ibunya (maternally derived immunity)
hingga begitu lahir tidak secara langsung masuk ke dalam kelompok epidemis yang
rentan (S). Baru kemudian, setelah itu, ia bisa masuk kelompok yang rentan. Hal ini
berlaku untuk beberapa tipe infeksi; termasuk campak62. Dengan demikian, model ini
akan memisahkan populasinya menjadi lima kelompok populasi; M (kebal
sementara), S (rentan), E (inkubasi atau pra-infeksi), I (terinfeksi), dan R (sembuh).
Pada model ini, diasumsikan bahwa:
1) Jumlah masukan (individu) baru atau perubahan karena kelahiran hanya ada
pada kelompok populasi M (kebal sementara) dan S (rentan) saja. Oleh sebab
itu, masukan baru untuk M adalah L*(N-S), sedangkan perubahan untuk S
adalah L*S; dimana L adalah angka kelahiran per-hari. Jadi, masukan individu-
individu baru terdiri dari yang kebal sementara dan yang langsung rentan.
2) Perubahan (minus) populasi karena faktor kematian terjadi pada semua
kelompok populasi epidemik; M, S, E, I, dan R dengan laju konstan μ per-hari.
Dengan demikian, karena berbanding lurus dengan populasi masing-masing,
maka nilai-nilai perubahan ini sebesar –μM, –μS, –μE, –μI, dan –μR.
3) Perubahan populasi yang kebal sementara (M) menjadi rentan (S) sebanding
dengan M. Dengan demikian, perubahannya akan sebesar ε kali M; dimana ε
(atau e) adalah konstan (per-hari).

61
Bukan hanya karena faktor-faktor kelahiran dan kematian secara umum.
62
Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada pustaka (Wikipedia, 2020a).

Halaman: 48 349
4) Perubahan Laju populasi yang rentan (S) hingga mengalami inkubasi (E)
sebanding dengan kontak antara individu-individu yang rentan (S) dengan
yang terinfeksi (I); αSI (α kali S kali I).
5) Perubahan populasi yang terinfeksi setelah mengalami inkubasi sebanding
dengan populasi yang mengalami inkubasi; KE (K kali E).
6) Perubahan populasi yang terinfeksi (I) menjadi sembuh (R) sebanding dengan
populasi yang terinfeksi (β kali I).
7) Jumlah penduduk (N) tetap sepanjang waktu: N=M+S+E+I+R = konstan, tidak
ada pertumbuhan populasi yang signifikan (perubahan karena faktor-faktor
kelahiran dan kematian dianggap sama besar, perpindahan penduduk
dianggap nol, dan lamanya simulasi pun jauh lebih pendek dari pada usia
rata-rata populasi yang ada).

Berdasarkan beberapa asumsi di atas, maka pada model epidemik MSEIR dapat
dituliskan beberapa bentuk persamaan seperti berikut:
dM dS dE dI dR
a) M + S + E + I + R = N dan + + + + =0
dt dt dt dt dt
dM dS αSI
b) = L( N − S ) − µM − eM , = LS + eM − µS −
dt dt N
dE αSI dI dR
c) = − KE − µE , = KE − βI − µI , = βI − µR
dt N dt dt

Gambar 2.11: Model MSEIR

Halaman: 49 349
2.12 Model MSEIRS
Model MSEIRS merupakan MSEIR plus ”S”; jadi asumsi tambahannya adalah, setelah
sembuh (R) dari penyakit, maka yang bersangkutan bisa menjadi rentan (S) kembali.
Dengan demikian, pada akhirnya, penyakit yang perpola epidemik seperti ini
cenderung akan bersifat endemik; akan selalu hadir di kelompok populasi yang
bersangkutan. Indikasinya akan terlihat jelas dari kenampakkan kurva-kurvanya yang
pada suatu saat akan mencapai haris lurus (konstan) horizontal (sebagai misal,
perhatikan gambar 3.19).
Adapun persamaan-persamaan model MSEIRS adalah sebagai berikut:
dM dS dE dI dR
a) M + S + E + I + R = N dan + + + + =0
dt dt dt dt dt
dM dS αSI
b) = L( N − S ) − µM − eM , = LS + eM + φR − µS −
dt dt N
dE αSI dI dR
c) = − KE − µE , = KE − βI − µI , = βI − φR − µR
dt N dt dt

Gambar 2.12: Model MSEIRS

2.13 Model Epidemik & Vaksinasi


Model-model epidemik tentu saja dapat dimodifikasi untuk mengakomodasikan
pengaruh tindakan atau intervensi terhadap kesehatan masyarakat dalam bentuk
vaksinasi63 masal. Dengan demikian, meskipun masih bergantung pada asumsi atau
skenario vaksinasinya, intervensi seperti ini juga akan mempengaruhi dinamika yang
telah ada; selain yang disebabkan oleh faktor-faktor kelahiran dan kematian.
Meskipun demikian, modifikasi ini bisa berakibat pada penambahan kelompok status
baru bagi populasinya; kelompok (compartment) yang tervaksinasi (V).

63
Merangsang sistem kekebalan tubuh. Pada konteks ini merangsang kekebalan tubuh pada
bayi yang baru lahir (sejak dini) hingga tidak akan menjadi rentan terhadap penyakit
tertentu.

Halaman: 50 349
Berkenaan dengan hal ini, maka sub-bab ini akan membahas pengaruh vaksinasi
pada model SIR; hingga akhirnya menjad model SIRV. Meskipun demikian, untuk
mengakomodasikan hal ini diperlukan beberapa asumsi seperti contoh berikut:
a) Juga berlaku asumsi pada sub-bab 2.12 (model dan dinamika penduduk).
b) Faktor kelahiran hanya mempengaruhi kelompok populasi yang rentan (S)
dan yang tervaksinasi (V). Setiap bayi yang baru lahir, beberapa saat
kemudian, divaksinasi; 100% bayi tervaksinasi. Peluang (P) untuk sehat/kebal
secara permanen terhadap penyakit tertentu setelah divaksinasi, sebagai
misal, adalah 75% (0.75)64.
c) Yang tidak divaksinasi berarti rentan (terhadap penyakit).
d) Faktor angka kematian (M) juga mengancam kelompok populasi (bayi) yang
telah tervaksinasi; apapun penyebabnya, dan besarnya sebanding dengan
populasi itu sendiri.
e) Jika terdapat individu-individu yang bukan bayi tetapi ternyata pernah
divaksinasi hingga menjadi kebal, maka yang bersangkutan masuk ke dalam
kelompok populasi yang tervaksinasi (Vo); Vo > 0.
Dengan demikian, rumus-rumus yang ada pada model SIR sub-bab 2.3 di atas,
dengan tambahan dinamika karena kelahiran, kematian, dan vaksinasi, akan menjadi
seperti berikut:
dS αSI dI αSI
a) = LN (1 − P) − MS − , = − β I − MI
dt N dt N
dR dV
b) = βI − MR , = LNP − MV
dt dt
αS t I t
c) S t +1 = S t + ( LN [1 − P] − MS t − )∆t
N
αS t I t
d) I t +1 = I t + ( − βI t − MI t )∆t
N
e) Rt +1 = Rt + ( βI t − MR)∆t
f) Vt +1 = Vt + ( LNP − MVt ) ∆t

64
Asumsi ini semakna dengan P adalah jumlah bayi yang baru lahir dan kemudian
divaksinasi. Yang divaksinasi peluang untuk sehatnya adalah 100%; dengan status
tervaksinasi (V). Sementara bayi yang tidak divaksinasi 100% menjadi rentan (S).

Halaman: 51 349
Gambar 2.13a: Model SIRV
Sebagai catatan, jika ternyata asumsi-asumsi (skenario) vaksinasinya seperti berikut
(agak berbeda dengan sebelumnya):
a) Modelnya sederhana, tanpa angka kelahiran dan kematian.
b) Setiap orang dalam keadaan rentan (S), kecuali jika divaksinasi.
c) Persentase (%) individu yang rentan dan kemudian divaksinasi dinyatakan
sebagai v. Perubahan jumlah populasi yang rentan dan kemudian divaksinasi
hingga sembuh sebanding dengan yang rentan; v kali S. Individu yang telah
divaksinasi tidak dijadikan sebagai kelompok status tertendiri.
d) Individu-individu yang divaksinasi akan mengurangi jumlah yang rentan (S)
sekaligus menambahkan jumlah yang sembuh (R).
Maka rumus-rumus model SIR sederhana pada sub-bab 2.3 di atas akan menjadi
berikut ini:
dS αS (1 − v) I dI αS (1 − v) I dR
a) =− − vS , = − βI , = β I + vS
dt N dt N dt
αS t (1 − v) I t
b) S t +1 = S t + (− − vSt )∆t
N
αS t (1 − v) I t
c) I t +1 = I t + ( − βI t )∆t
N
d) Rt +1 = Rt + ( βI t + vSt )∆t

Halaman: 52 349
Gambar 2.13b: Model SIRV
Sebagai catatan, jika ternyata asumsi-asumsi vaksinasinya seperti berikut:
a) Setiap bayi lahir dalam keadaan rentan (S), kecuali jika divaksinasi (tidak
menjadi rentan begitu dilahirkan).
b) Persentase individu (bayi dan bukan bayi) yang rentan dan kemudian
divaksinasi setiap harinya dinyatakan dalam koefisien v. Perubahan jumlah
populasi yang rentan dan kemudian divaksinasi sebanding dengan yang
rentan; v kali S.
c) Individu-individu yang telah divaksinasi tidak dijadikan sebagai kelompok
status tertendiri.
d) Individu-individu yang divaksinasi akan mengurangi jumlah yang rentan (s)
sekaligus menambahkan jumlah yang sembuh (R).
Maka rumus-rumus model SIR pada sub-bab 2.3 di atas akan menjadi berikut ini
(dengan memperhitungkan dinamika akibat faktor-faktor kelahiran, kematian, dan
tindakan vaksinasi):
dS αSI dI αSI dR
a) = LN − MS − − vS , = − β I − MI , = βI + vS − MR
dt N dt N dt
αS t I t
b) S t +1 = S t + ( LN − MS t − − vS t )∆t
N
αS t I t
c) I t +1 = I t + ( − βI t − MI t )∆t
N
d) Rt +1 = Rt + ( βI t + vS t − MR) ∆t

Beberapa variasi/perbedaan detil pada model-model epedemik dengan


dinamika populasi (yang disebabkan oleh angka-angka kematian dan
kelahiran secara umum, kematian karena penyakitnya [patogen], dan
perpindahan penduduk) dan vaksinasi telah memperlihatkan bahwa adalah
sangat diperlukan asumsi-asumsi yang jelas (tidak ambigu) dan dengan
detil yang cukup. Sebab, asumsi-asumsi tersebut juga merupakan bagian
dari definisi model itu sendiri (termasuk model-model matematisnya).

Halaman: 53 349
Gambar 2.13c: Model SIRV
Sebagai catatan, jika asumsinya setiap bayi lahir dalam keadaan rentan (S), kecuali
jika divaksinasi (tidak menjadi rentan begitu dilahirkan), yang divaksinasi hanyalah
bayi yang baru lahir, dan v adalah persentase bayi yang lahir dan divaksinari per-
harinya, maka modelnya akan nampak seperti berikut (hampir sama).

Gambar 2.13d: Model SIRV


Dengan demikian, rumus-rumus model SIR pada sub-bab 2.3 di atas akan menjadi
berikut ini (dengan memperhitungkan dinamika akibat faktor-faktor kelahiran,
kematian, dan tindakan vaksinasi):
dS αSI dI αSI dR
a) = LN (1 − v) − MS − , = − β I − MI , = βI + vLN − MR
dt N dt N dt
αS t I t
b) S t +1 = S t + ( LN (1 − v) − MS t − ) ∆t
N
αS t I t
c) I t +1 = I t + ( − βI t − MI t )∆t , Rt +1 = Rt + ( βI t + vLN − MR)∆t
N

Halaman: 54 349
2.14 Pengaruh Delay (Waktu)
Seperti nampak dari persamaan-persamaan matematisnya, model-model biologi
dan/atau epidemik yang telah dibahas di atas, menggunakan persamaan diferensial
biasa; ordinary differential equations (ODE). Meskipun demikian, pada konteks
persamaan diferensial dan juga model-model tersebut, sebenarnya, dikenal pula
istilah delay65; delay differential equations atau DDE. Di beberapa aplikasi, status
sistem pada saat yang akan datang ditentukan oleh statusnya pada saat ini (current
atau t). Meskipun demikian, yang lebih mendekati kenyataan adalah yang juga
melibatkan status-statusnya pada saat-saat sebelumnya (history). Oleh sebab itu,
pemahaman mengenai delay (τ) juga diperlukan; terutama untuk memodelkan
mekanisme di dalam dinamika model sistemnya (konteks epidemik/kekebalan).
DDE, secara umum, dapat diartikan sebagai persamaan diferensial yang pada model
matematisnya, terdapat variabel state bersama dengan satu atau lebih parameter
(argumen) delay. Sementara itu, sebagian sumber pustaka menyatakan bahwa DDE
merupakan persamaan diferensial dimana turunan fungsi yang tidak diketahui (pada
suatu waktu) ditentukan (didekati) berdasarkan nilai-nilai fungsinya (solusi-solusi)
pada waktu-waktu sebelumnya, atau suatu persamaan diferensial dimana turunan
fungsinya terhadap waktu pada saat ini diasumsikan bergantung pada solusi (nilai-
nilai) dan turunan fungsinya pada masa yang lalu66. Sehubungan dengan hal ini, maka
model atau sistem yang menggunaan fitur DDE ini sering disebut sebagai sistem
dengan delay waktu, sistem dengan efek-samping (after-effect) atau memiliki saat
tidak aktif/produktif (dead-time), sistem (dengan aspek kekebalan sementara
berdasarkan) keturunan (hereditary system), persamaan yang berisi argumen yang
menyimpang, atau persamaan diferensial perbedaan (differential-difference
equations)67.
Secara matematis, sebetulnya DDE memiliki beberapa tipe68. Bentuk persamaan
yang paling umumnya dapat dituliskan sebagai berikut:
∂y (t )
= f (t , y (t ), yt )
∂t
Sedangkan pada bentuknya yang paling sederhana, dengan delay yang dianggap
konstan, rumus umum DDE dapat dituliskan seperti berikut:
∂y (t )
= f (t , y (t ), y (t − τ 1 ), y (t − τ 2 ), y (t − τ 3 ),..., y (t − τ n ))
∂t
Berdasarkan rumusan ini saja terlihat bahwa DDE dapat mengakomodasikan
pengaruh dari satu atau lebih delay69. Oleh sebab itu, jelas bahwa delay (Tn, dimana
65
Meskipun keberadaan delay (jeda waktu) atau DDE sangat penting dan juga dikenal pada
bahasan model biologi/epidemik, tetapi pembahasan mengenai konsep dan
implementasinya pada model biologi/epidemik belum terlalu banyak (masih terbilang
jarang).
66
Pengertian dan/atau definisi ini didapat dari beberapa sumber; Wikipedia (2020), Sciml
(2020), Scholarpedia (2020), Wolfram (2020), dan Tony (2016).
67
Disebutkan pada pustaka (Wikipedia, 2020).
68
Detil mengenai tipe dan rumusan matematis DDE dapat dilihat pada pustaka (Tony, 2016).

Halaman: 55 349
Tn≥0) akan mempengaruhi dinamika modelnya. Meskipun demikian, penerapan dan
keberadaan delay pada model matematis biologi/epidemik juga bergantung pada
persepsi dan asumsi para perancang modelnya. Berkenaan dengan hal ini, sebagai
ilustrasi, maka pada sub-bab ini diberikan beberapa contoh varian pengaruh delay
pada persamaan matematis model-model biologi/epidemiknya70.
Sebagai misal, di samping ”proses infeksinya” memang memerlukan waktu (terkait
α), jika juga memang diperlukan delay (T) untuk kembali menjadi rentan setelah
terinfeksi, maka model epidemiknya bisa menjadi seperti berikut (SIS dasar):
dS αS (t ) I (t )
a) =− + βI (t − T )
dt N
dI αS (t ) I (t )
b) = − βI (t − T )
dt N
Sebagai misal lainnya, di samping ”proses penyembuhannya” (kembali menjadi
rentan setelah terinfeksi) memang memerlukan waktu (terkait β), jika juga
diperlukan delay (T) untuk terinfeksi (pada proses kontak antar-individunya), maka
model epidemiknya bisa saja menjadi seperti berikut (SIS dasar):
dS αS (t ) I (t − T )
a) =− + βI (t )
dt N
dI αS (t ) I (t − T )
b) = − β I (t )
dt N
Sebagai misal lainnya, jika ”virusnya” ternyata dapat bermutasi sedemikian rupa
hingga akhirnya orang-orang yang telah dinyatakan sembuh (recovered atau R) bisa
menjadi rentan kembali (karena kekebalannya hilang) dalam delay tertentu (T), maka
model epidemiknya bisa menjadi seperti berikut (SIRS dasar):
dS (t ) αS (t ) I (t )
a) =− + φR(t − T )
dt N
dI (t ) αS (t ) I (t )
b) = − βI (t )
dt N
dR
c) = β I (t ) − φR(t − T )
dt
Atau, sebagai pemisalan yang lain, jika ”virusnya” ternyata memerlukan delay (T)
yang signifikan untuk menginfeksi manusia (mempengaruhi kontak antar-individu),
maka model epidemiknya bisa saja menjadi seperti berikut (SIRS dasar):
dS (t ) αS (t − T ) I (t − T )
a) =− + φR(t )
dt N

69
Pada konteks ini, terkadang, keberadaan suatu delay bisa dimaknai sebagai kendali.
70
Logika delay pada contoh-contoh model ini juga dapat diterapkan (dan juga
dikombinasikan) pada model-model epidemik lainnya. Beberapa varian dari bentuk/rumus
DDE ini didapat dari berbagai pustaka yang tercantum pada daftar pustaka.

Halaman: 56 349
dI (t ) αS (t − T ) I (t − T )
b) = − βI (t )
dt N
dR
c) = β I (t ) − φR(t )
dt
Atau hanya,
dS (t ) αS (t ) I (t − T )
a) =− + φR(t )
dt N
dI (t ) αS (t ) I (t − T )
b) = − βI (t )
dt N
dR
c) = β I (t ) − φR(t )
dt
Atau, sebagai pemisalan yang lain, jika ”virusnya” ternyata memerlukan delay baik
pada proses infeksi (T1) maupun pada proses penyembuhan (T2), maka model
epidemiknya bisa menjadi seperti berikut (SIRS dasar):
dS (t ) αS (t − T1 ) I (t − T1 )
a) =− + φR(t − T2 )
dt N
dI (t ) αS (t − T1 ) I (t − T1 )
b) = − βI (t )
dt N
dR
c) = βI (t ) − φR(t − T2 )
dt
Atau,
dS (t ) αS (t ) I (t − T1 )
a) =− + φR(t − T2 )
dt N
dI (t ) αS (t ) I (t − T1 )
b) = − β I (t )
dt N
dR
c) = βI (t ) − φR(t − T2 )
dt
Atau, sebagai pemisalan yang lain, jika perancang modelnya ingin memasukkan
program faksinasi dengan tujuan untuk meminimalkan tingkat kerentanan (dan juga
akan berefek tidak langsung pada tingkat infeksi) demi memaksimalkan tingkat
kesembuhan (R), maka diperlukan variabel kendali (misalkan k) yang mewakili
persentase individu-individu yang rentan dan difaksinasi per-satuan waktu. Dengan
demikian, maka model epidemiknya bisa menjadi seperti berikut (untuk SIR dasar):
dS (t ) αS (t ) I (t )
a) =− + φR(t ) − k (t − T ).S (t − T )
dt N
dI (t ) αS (t ) I (t )
b) = − βI (t )
dt N
dR
c) = β I (t ) − φR(t ) + k (t − T ).S (t − T )
dt

Halaman: 57 349
Sebagai catatan, pembaca dapat melihat lebih banyak lagi variasi model
biologi/epidemik yang melibatkan argumen delay di pustaka-pustaka Yan
(2005), Bertram (2020), Shampine (2000), dan Guan (2016).

2.15 Metode Euler & Runge-Kutta


Untuk memprediksi hasil-hasil model epidemik dari waktu-ke-waktu, selain dengan
menggunakan persamaan diferensial seperti telah dijelaskan di atas, juga dapat
digunakan (pendekatan) metode lainnya; antara lain adalah Euler dan Runge-Kutta
yang nampak jelas sifat kediskritannya.

2.15.1 Metode Euler


Dengan metode Euler, jika gradien (turunan pertama) fungsinya (dy/dt), nilai Yo, dan
selang waktu Δt-nya diketahui, maka nilai-nilai fungsi pada saat-saat berikutnya
dapat dihitung dengan rumus Yn+1 = Yn + gradien n .∆t . Dengan analogi metode ini,
maka, secara umum, rumus-rumus model epidemik SIR juga dapat dituliskan sebagai
berikut:
S n+1 = S n + gradien _ S n .∆t

I n+1 = I n + gradien _ I n .∆t

Rn+1 = Rn + gradien _ Rn .∆t


Atau, secara khusus untuk model SIR, dapat dituliskan sebagai berikut:
S n+1 = S n − (α .S n .I n / N ).∆t

I n+1 = I n + (α .S n .I n / N − β .I n ).∆t

Rn+1 = Rn + ( β .I n ).∆t
Dengan demikian, untuk menaksir atau memprediksikan nilai-nilai S, I, dan R untuk
waktu-waktu berikutnya (Sn+1, In+1, dan Rn+1) diperlukan nilai-nilai So atau S(0), Io atau
I(0), Ro atau R(0), Δt, α, dan β; dimana N=So+Io+Ro. Rumus-rumus Euler inilah yang
kebanyakan dibentuk oleh penulis hingga akhirnya menjadi beberapa persamaan
matriks untuk mengestimasikan nilai-nilai parameter modelnya; khususnya α dan β
pada model SIR.

2.15.2 Metode Runge-Kutta


Metode Euler memiliki kelemahan yang berakibat pada kekurangan akurasinya;
terutama akibat kesalahan pemotongan beserta akumulasinya. Oleh sebab itu,
metode ini terus diperbaiki hingga bermuncullan berbagai metode yang lebih baik.
Salah satu metode yang dimaksud adalah Runge-Kutta orde ke-4.
Secara umum, bentuk persamaan metode Runge-Kutta orde-n dapat dituliskan
sebagai berikut: Yn +1 = Yn + a1k1 + a 2 k 2 + a3 k 3 + ... . Dimana a1, a2, a3, an merupakan
konstanta. Sedangkan:
1 1
k1 = hf (t n , Yn ) , k 2 = hf (t n + h, Yn + k1 ) ,
2 2

Halaman: 58 349
1 1
k 3 = hf (t n + h, Yn + k 2 ) , k 4 = hf (t n + h, Yn + k 3 )
2 2
∆t
Yn+1 = Yn + (k1 + 2k 2 + 2k 3 + k 4 )
6
Khususnya untuk model epidemik SIR71, jika pembaca ingin menggunakannya (untuk
mendapatkan akurasi yang lebih baik) sebagai pengganti metode Euler yang telah
dipakai oleh penulis dalam beberapa contoh baris-baris kodenya, maka rumus-
rumus Runge-Kutta orde-4-nya yang perlu dilibatkan adalah sebagai berikut:
∆t s
S n+1 = S n + (k1 + 2k 2s + 2k3s + k 4s ) , dimana:
6
α .S n .I n
k1s = f (t n , S n , I n ) = −
N
∆t ∆t ∆t ∆t ∆t
k 2s = f (t n + , S n + k1s , I n + k1i ) = −α .( S n + k1s ).( I n + k1i )
2 2 2 2 2
∆t ∆t ∆t ∆t ∆t
k 3s = f (t n + , S n + k 2s , I n + k 2i ) = −α .( S n + k 2s ).( I n + k 2i )
2 2 2 2 2
k 4s = f (t n + ∆t , S n + ∆t.k 3s , I n + ∆t.k 3i ) = −α .( S n + ∆t.k 3s ).( I n + ∆t.k 3i )
∆t i
I n+1 = I n + (k1 + 2k 2i + 2k 3i + k 4i ) , dimana:
6
α .S n .I n
k1i = f (t n , S n , I n ) = − β .I n
N
∆t ∆t ∆t ∆t ∆t ∆t
k 2i = f (t n + , S n + k1s , I n + k1i ) = α .( S n + k1s ).( I n + k1i ) − ( I n + k1i )
2 2 2 2 2 2
∆t ∆t ∆ t ∆t ∆t ∆t
k 3i = f (t n + , S n + k 2s , I n + k 2i ) = α .( S n + k 2s ).( I n + k 2i ) − ( I n + k 2i )
2 2 2 2 2 2
k 4 = f (t n + ∆t , S n + ∆t.k3 , I n + ∆t.k3 ) = α .( S n + ∆t.k3 ).( I n + ∆t.k3 ) − ( I n + ∆t.k3i )
s s i s i

∆t r
Rn+1 = Rn + (k1 + 2k 2r + 2k 3r + k 4r ) ,
6
dimana:
k1r = f (t n , I n ) = β .I n
∆t ∆t ∆t
k 2r = f (t n + , I n + k1i ) = β .( I n + k1i )
2 2 2
∆ t ∆ t ∆ t
k 3r = f (t n + , I n + k 2i ) = β .( I n + k 2i )
2 2 2
k 4 = f (t n + ∆t , I n + ∆t.k3 ) = β .( I n + ∆t.k3i )
r i

71
Uraian lengkapmengenai rumus-rumus ini dapat dilihat pada pustaka (Hossain, 2017).

Halaman: 59 349
2.16 Catatan
Model-model biologi/epidemik yang dibahas pada bab ini (dan bab 3) bersifat
deterministik. Meskipun demikian, sebagaimana terlihat pada bahasan bab 7, 8, dan
9, tidak mudah untuk mencarikan sampel data nyata yang ”pas” bagi model-model
tipe ini. Pada model-model ini, semua nilai parameternya (α, β, dan seterusnya)
sudah ditentukan (diasumsikan bernilai tertentu, konstan) sejak di awal simulasi.
Tentu saja hal ini masih jauh dari realitasnya karena pada kenyataannya, ada banyak
faktor (tidak sekedar parameter α, β, dan seterusnya) yang menentukan, dan semua
ini berjalan dan berubah secara dinamis (tidak konstan). Jadi, pada kenyataannya,
nilai-nilai parameter ini (yang akurat) hampir tidak mungkin ditentukan sejak di
awalnya untuk mepresentasikan fenomena epidemiknya. Apalagi, (tipe) model yang
digunakan pun belum tentu ”pas” atau benar-benar representatif. Pada kasus Covid-
19 saja, sebagai misal, karena virusnya dianggap masih baru dan di periode awalnya
belum tersedia vaksinnya, maka pengaruh vaksinasinya saja akan bersifat dinamis
(tidak konstan); pada awalnya nol hingga sekian waktu, kemudian terus meningkat
(karena ada progress program vaksinasi), dan berubah secara dinamis sesuai dengan
kondisi aktualnya (termasuk yang pro & kontra, kemunculan varian baru, re-
invection, dan lain sejenisnya).
Faktor-faktor yang dimaksud di atas, di antaranya, adalah satuan wilayah epidemik
vs. wilayah administrasi (generalisasi SWE), adanya klaster baru, kondisi geografis,
karakteristik penyakit, kondisi kesehatan individu, budaya hidup sehat, penerapan
kebijakan atau intervensi (vaksinasi/imunisasi, terapi plasma konvalesen, karantina
wilayah, PSBB, PPKM, protokol kesehatan, karantina, isolasi, pembentukkan gugus
tugas, dan lain sejenisnya), cara kerja vaksin, efektivitas vaksin, jumlah dan kualitas
tenaga dan fasilitas kesehatan, prosedur pelaporan dan pencatatan kasus,
kemunculan varian virus baru, kemungkinan terjadinya re-infection, metode/alat
yang digunakan untuk pengujian, sifat & sikap masyarakat, dan lain sejenisnya.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor dinamis ini, maka pemodelan sistem
dinamis (bahasan bab 8) menjadi alternatif yang sangat baik (bahkan berpotensi
lebih baik) dalam memberikan solusi (prediksi atau ramalan) bagi permasalahan
(pemodelan) biologi-epidemik.
Untuk kepentingan praktis, dengan beberapa tambahan asumsi dan batasan
tertenntu, tentu saja rumus-rumus model biologi-epidemik di atas juga dapat
dimodifikasi hingga menjadi lebih sederhana. Sebagai misal, Serhii et al (2020) telah
menyederhanakan rumus model epidemik SIR untuk menghitung pendekatan jumlah
kasus-kasus baru (individu yang terinfeksi). Hasilnya, merupakan nilai-nilai yang
membentuk garis trend kasus baru yang cukup mulus. Sementara itu, Mario et al
(2021) telah memodifikasi model epidemik SIR/SEIR dan melibatkan sampel data
demografi/populasi untuk mendapatkan nilai-nilai prediksi (fitting) evolusi pandemi
Covid-19 yang disebutkan dianggap cukup akurat di wilayah perkotaan.

Halaman: 60 349
BAB 3: SIMULASI MODEL-
MODEL EPIDEMIK
Setelah memahami model-model (konseptual) biologi/epidemisnya beserta rumus
matematisnya (khususnya yang bersifat deterministik), pada bab 2, tentu saja
sebagian besar dari kita tergelitik untuk segera mengimplementasikan dan kemudian
melihat contoh hasil-hasil simulasinya. Sebenarnya, hal ini dapat dilakukan dalam
bentuk latihan (hitungan numerik) secara manual (dengan kalkulator) di atas kertas
atau secara otomatis dengan bantuan baris-baris kode program komputer. Hal ini
perlu dilakukan untuk menambah wawasan mengenai konsep/modelnya, sekaligus
memastikan apakah yang bersangkutan sudah memahaminya dengan benar. Sebab,
sekedar paham saja (secara konseptual) sering kali tidak cukup. Ada saja detil atau
teknis tertentu yang masih diperlukan. Jadi, pada umumnya, masih ada “jarak”
antara konsep dengan implementasinya; apalagi jika dibandingkan dengan
realitasnya di lapangan. Kita masih memerlukan sampel data/fakta, alat, ilmu, dan
tentu saja pengalaman berhitung mengenai itu semua untuk menjembatani “jarak”
itu. Oleh sebab itu, pada bab ini dibahas contoh-contoh simulasi bagi model-model
yang telah dibahas pada bab 2.
Pada contoh-contoh simulasi/implementasi model yang dibahas di bab ini, sesuai
dengan model konseptual biologi/epidemiknya, penulis memasukkan nilai/angka
bagi satu atau lebih konstanta/parameternya; alpha (α), betha (β), K, tetha (φ), delta
(δ), dan lain sejenisnya. Tentu saja pemberian nilai-nilai ini bersifat tentatif,
percobaan, relatif, dan/atau pendekatan secara kasaran dengan tujuan agar simulasi
modelnya dapat berjalan dan menampakkan hasilnya; munculnya angka-angka,
grafik, kurva-kurva S (rentan), I (terinfeksi), R (kebal atau mati), dan lain sejenisnya.
Meskipun demikian, sebenarnya, pemberian nilai-nilai ini seharusnya didasarkan
pada penelitian, analisa, dan sampel data lapangan (dunia nyata) dengan ketersedian
dan format yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan model konseptualnya. Inilah
masalahnya72. Apalagi jika memang hasil simulasi pemodelan beserta analisisnya
dibuat tidak sekedar untuk memenuhi kepentingan sendiri.

72
Sampel data yang tersedia, terutama yang gratisan dan berlokasi di jaringan internet,
biasanya bersifat sangat umum hingga belum tentu dapat memenuhi semua kebutuhan
simulasi-simulasi pemodelan biologi/epidemik yang memang memerlukan banyak
konstanta/parameter. Jika diperlukan sampel data yang lengkap dan detil sesuai dengan
modelnya, maka kemungkinan besar, pihak yang bersangkutan perlu mengamatinya sendiri
dengan resiko biaya, waktu, dan tenaga yang besar. Belum lagi terkait masalah lain; yaitu
kewenangan dalam mengumpulkan sampel data itu sendiri secara khusus. Mungkin saja,
untuk lingkup yang tidak terlalu luas, masih bisa diusahakan meskipun dengan motivasi yang
tinggi dan “biaya” yang sangat “mahal”.

Halaman: 61 349
Tampilan grafik, kurva-kurva (terutama S I R), dan nilai-nilai hasil simulasi model
biologi/epidemik ini kebanyakan dihasilkan oleh baris-baris kode Octave; bersifat
free dan opensource. Contoh-contoh baris-baris kode yang dimaksud dimuat di
lembaran lampiran. Oleh sebab itu, para pembaca dapat merekonstruksi hasil-hasil
yang diperoleh oleh penulis dan kemudian dapat memodifikasinya sendiri untuk
meningkatkan pemahaman dan memenuhi kebutuhan sendiri. Meskipun demikian,
terutama pada bahasan yang perlu melibatkan aspek delay/DDE (delay differential
equations), penulis menggunakan baris-baris kode Matlab karena paket program ini
memiliki referensi dan fungsi DDE yang lebih lengkap.

3.1 Model SI
Untuk lebih memahami dinamika populasi yang rentan (S) dan terinfeksi (I) dari
waktu-ke-waktu dengan menggunakan model SI, sebagai misal, digunakanlah contoh
kasus dengan asumsi-asumsi seperti berikut73:
a) Jumlah populasi yang rentan dan terinfeksi di awal waktu (t=0) adalah So = 99
dan Io = 1; jadi N = So+Io= 100.
b) Probabilitas laju infeksi α= 0.25 per-hari.
c) Digunakan rumus-rumus yang terdapat pada sub-bab 2.1.

Dengan menggunakan contoh baris-baris kode Octave74 persamaan diferensial


kontinyu (lihat lampiran L1) akan didapatkan hasil-hasil75 seperti berikut:

Gambar 3.1: Model SI Kontinyu dengan α=0.25

73
Pada kasus ini, penulis menentukan jumlah populasi yang rentan 99 jiwa, yang terinfeksi 1
jiwa, dan seterusnya hanyalah sebagai ilustrasi. Jika kurang berkenan (dianggap terlalu
sedikit atau apalah), setiap pembaca dapat menggunakan nilai-nilai yang berbeda (tinggal
diketikkan pada baris-baris kodenya untuk mendapatkan hasil hitungannya); sesuai
kebutuhan.
74
Paket program aplikasi sejenis MATLAB tetapi gratis dan opensource. Octave dapat di-
download secara gratis di https://www.gnu.org/software/octave/download.html.
75
Hasil hitungannya (sebenarnya) merupakan bilangan real (kolom 2 dan 3), tetapi karena
menyangkut individu (yang merupakan entitas yang utuh), maka hasilnya dibulatkan.

Halaman: 62 349
Gambar 3.1 memperlihatkan bahwa pada hari ke-17 hingga ke-18 (tepatnya tidak
diketahui), populasi yang rentan (S) dan yang terinfeksi (I) sudah sama (sekitar 50
tetapi tepatnya tidak diketahui) karena pernah berpotongan. Sedangkan sejak hari
ke-40-nya, akhirnya, seluruh populasi telah terinfeksi; yang rentan minimum (0) dan
yang terinfeksi maksimum (100).
Sementara itu, jika laju infeksinya ditingkatkan, menjadi α=0.67 per-hari dan
digunakan pendekatan diskrit76, maka hasilnya akan nampak seperti berikut:

Gambar 3.2: Model SI Diskrit dengan α=0.67


Gambar 3.2 memperlihatkan bahwa pada hari ke-8 hingga ke-9 (tepatnya tidak
diketahui), populasi yang rentan (S) dan yang terinfeksi (I) sudah sama (sekitar 50
tetapi tepatnya tidak diketahui) karena pernah berpotongan. Sedangkan sejak hari
ke-15-nya, akhirnya, seluruh populasi telah terinfeksi; yang rentan minimum (0) dan
yang terinfeksi maksimum (100).
Pada tulisan ini, hampir semua nilai α berada dalam domain 1.0>α>0.0
hingga tampilan grafiknya masih berpola eksponensial (sebagaimana juga
diisyaratkan oleh persamaan diferensialnya) seperti di atas (gambar 3.1 dan
3.2). Tetapi jika nilai α dilebihkan, sebagai misal adalah berturut-turut
α=2.5, α=3.0, maka populasinya beserta tampilan grafiknya nampak aneh
(gambar 3.3 & 3.4); jumlah populasi yang rentan dan terinfeksi pernah
menyentuh angka-angka yang tidak wajar atau tidak seharusnya (di atas
populasi maksimum dan di bawah populasi minimum). Di lain pihak, di
dunia nyata, biasanya, ada saja mekanisme atau (faktor) dinamika yang
akan menghalangi suatu fenomena untuk terus berkembang secara
eksponensial.

76
Contoh baris-baris kodenya ada pada lembaran lampiran L2.

Halaman: 63 349
Gambar 3.3: Model SI Diskrit dengan α=2.5

Gambar 3.4: Model SI Diskrit dengan α=3.0

3.2 Model SIS


Untuk lebih memahami dinamika populasi yang rentan (S) dan terinfeksi (I) dengan
menggunakan model SIS, sebagai misal, digunakanlah contoh kasus dengan asumsi
seperti berikut:
a) Pada saat t=0, populasi yang rentan So=99 jiwa, populasi yang terinfeksi Io=1
jiwa. Jadi, total populasi adalah N=So+Io= 100.
b) Koefisien (probabilitas) laju infeksi α= 0.5 per-hari.
c) Koefisien (probabilitas) laju penyembuhan β=1/14 per-hari
d) Digunakan rumus-rumus pada sub-bab 2.2.

Dengan asumsi seperti di atas beserta baris-baris kode pada lampiran L3 akan
didapatkan hasil seperti berikut.

Halaman: 64 349
Gambar 3.5: Model SIS Kontinyu dengan α=0.5, β=1/14
Gambar 3.5 memperlihatkan bahwa pada hari ke-11 hingga ke-12 (tepatnya tidak
diketahui), populasi yang rentan (S) dan yang terinfeksi (I) sudah sama (sekitar 50
tetapi tepatnya tidak diketahui) karena pernah berpotongan. Sedangkan sejak hari
ke-25-nya, akhirnya, yang rentan sudah mencapai konstan (14) jiwa dan yang
terinfeksi juga sudah konstan (86) jiwa.
Pada tulisan ini, kondisi model SIS kurang lebih sama dengan SI & SIR dalam
hal pengaruh nilai-nilai α dan β-nya. Jika α mendekati β; kurva rentan
cenderung lurus (horizontal) tinggi dan konstan, sedangkan kurva terinfeksi
cenderung lurus (horizontal) rendah (mendekati 0 & konstan). Makin tinggi
selisih keduanya, makin mungkin kedua kurva ini berpotongan.

3.3 Model SIR


Untuk lebih memahami logika atau konsep sebab-akibat model SIR, perhatikan
gambar 8.1 di bawah. Sementara itu, implementasi dinamika populasi yang rentan
(S), terinfeksi (I), dan sembuh (R) pada contoh kasus model ini, sebagai misal, dapat
disertai dengan asumsi-asumsi seperti berikut:
a) Pada saat t=0, populasi yang rentan So = 99, populasi yang terinfeksi Io = 1;
populasi yang kebal Ro=0. Jadi, total populasi adalah N=So+Io+ Ro= 100.
b) Koefisien (probabilitas) laju infeksi α= 0.5 per-hari.
c) Koefisien (probabilitas) laju penyembuhan β=1/14 per-hari
d) Digunakan rumus-rumus pada sub-bab 2.3.

Dengan asumsi di atas dan menggunakan contoh baris kode model kontinyu pada
lampiran L4 akan didapatkan hasil-hasil seperti berikut:

Halaman: 65 349
Gambar 3.6: Model SIR Kontinyu dengan α=0.5, β=1/14
Gambar 3.6 memperlihatkan bahwa pada hari ke-11, S dan I sudah sama (44 atau 45
jiwa); kurvanya berpotongan. Pada hari ke-14 S dan R hampir sama (sekitar 21 atau
22 jiwa). Sejak hari ke-20 hingga ke-21, jumlah I dan R hampir sama. Jumlah I
maksimum di hari ke 15 (58 jiwa). Sejak hari ke-32 S minimum (0) dan konstan di titik
itu. Sejak hari ke-87, I mencapai minimum (0) dan konstan di titik itu. Sejak hari ke-
90, R maksimum (100) dan konstan di titik itu.
Dengan asumsi seperti di atas dan menggunakan contoh baris kode model diskrit
pada lampiran L5 akan didapatkan hasil-hasil seperti berikut:

Gambar 3.7: Model SIR Diskrit dengan α=0.5, β=1/14

Halaman: 66 349
Gambar 3.7 memperlihatkan bahwa pada hari ke-13 hingga ke-14, yang rentan (S)
dan yang terinfeksi (I) sudah sama (44 atau 45 jiwa) karena kurvanya berpotongan.
Pada hari ke-16 yang rentan dan yang sembuh sudah hampir sama (sekitar 20 atau
22 jiwa). Sedangkan sejak hari ke-23, jumlah yang terinfeksi dan yang sembuh sudah
sama (49 jiwa). Jumlah yang terinfeksi mencapai maksimum pada hari ke 17 (61
jiwa). Sejak hari ke-29 yang rentan sudah minimum (0) dan terus konstan di titik
minimum itu. Sejak hari ke-86 yang terinfeksi sudah mencapai minimum (0) dan
terus konstan di titik minimum itu. Dan sejak hari ke-88, yang sembuh sudah
mencapai maksimum (100) dan terus konstan di titik maksimum itu.
Dengan asumsi seperti di atas (tetapi α=2.5) dan menggunakan contoh baris kode
model diskrit seperti pada lampiran L5 seperti di atas, maka sebagai iustrasi, akan
didapatkan hasil seperti berikut:

Gambar 3.8: Model SIR Diskrit dengan α=2.5, β=1/14


Gambar 3.8, karena menggunakan contoh α=2.5, maka menghasilkan kurva-kurva
yang nampaknya tidak wajar; beberapa nilai tidak wajar (jumlah yang rentan menjadi
minus) dan melebihi total jumlah manusianya (menjadi lebih dari 100). Sementara
itu, dengan menggunakan baris-baris kode model SIR diskrit yang sama tetapi nilai α-
nya ditingkatkan hingga menjadi 3.0, maka sebagai ilustrasi tambahan, tampilan
kurva-kurvanya menjadi lebih nampak tidak wajar lagi.

Halaman: 67 349
Gambar 3.9: Model SIR Diskrit dengan α=3.0, β=1/14

3.4 Model SIRS


Untuk memahami dinamika populasi yang rentan (S), terinfeksi (I), sembuh (R), dan
kemudian rentan kembali dengan menggunakan model SIRS, sebagai misal,
digunakanlah asumsi-asumsi berikut:
a) Pada saat t=0, populasi yang rentan So = 99, populasi yang terinfeksi Io = 1;
populasi yang sembuh Ro=0. Jadi, total populasi adalah N=So+Io+ Ro= 100.
b) Koefisien (probabilitas) laju infeksi α= 0.5 per-hari.
c) Koefisien (probabilitas) laju penyembuhan β=1/14 per-hari.
d) Koefisien (probabilitas) laju rentan kembali φ=1/18 per-hari.
e) Digunakan rumus-rumus pada sub-bab 2.4.

Dengan menggunakan contoh baris-baris program model kontinyu (lampiran L6)


didapatkan hasil berikut:

Halaman: 68 349
Gambar 3.10: Model SIRS Kontinyu α=0.5,β=1/14,φ=1/18
Gambar 3.10 memperlihatkan bahwa pada hari ke-11, yang rentan (S) dan yang
terinfeksi (I) sudah hampir sama (sekitar 45 jiwa) karena kurvanya berpotongan.
Pada hari ke-14 dan ke-15 yang rentan dan yang sembuh sudah hampir sama (sekitar
20 atau 21 jiwa). Sedangkan sejak hari ke-28, jumlah yang terinfeksi dan yang
sembuh sudah sama (45 jiwa). Jumlah yang terinfeksi mencapai maksimum pada hari
ke 16 (61 jiwa). Sejak hari ke-43 yang rentan sudah minimum (14) dan terus konstan
di titik minimum itu. Sejak hari ke-86 yang terinfeksi konstan di titik 38. Dan sejak
hari ke-50, yang sembuh sudah konstan di titik 48.
Sebagai ilustrasi tambahan, dengan menggunakan asumsi nilai-nilai yang sama
dengan di atas dan contoh baris-baris program model diskrit (lampiran L7)
didapatkan hasil berikut:

Halaman: 69 349
Gambar 3.11: Model SIRS Diskrit α=0.5,β=1/14,φ=1/18
Gambar 3.11 memperlihatkan bahwa pada hari ke-13 hingga ke-14, yang rentan (S)
dan yang terinfeksi (I) sudah hampir sama (sekitar 45 jiwa) karena kurvanya
berpotongan. Pada hari ke-17 yang rentan dan yang sembuh sudah hampir sama
(sekitar 17 hingga 20 jiwa). Sedangkan sejak hari ke-29, jumlah yang terinfeksi dan
yang sembuh sudah hampir sama (45 atau 46 jiwa). Jumlah yang terinfeksi mencapai
maksimum pada hari ke 18 (64 jiwa). Sejak hari ke-43 yang rentan sudah konstan di
titik 14. Sejak hari ke-73 yang terinfeksi konstan di titik 38. Dan sejak hari ke-51, yang
sembuh sudah konstan di titik 48.

3.5 Model SIRD


Untuk lebih memahami dinamika populasi yang rentan (S), terinfeksi (I), sembuh (R),
dan mati (D) dengan menggunakan model SIRD, sebagai misal, digunakanlah asumsi-
asumsi seperti berikut:
a) Pada saat t=0, populasi yang rentan So = 99, terinfeksi Io = 1, sembuh Ro=0,
dan mati Do=0. Jadi, total populasi adalah N=So+Io+Ro+Do=100.
b) Koefisien (probabilitas) laju infeksi α= 0.5 per-hari.
c) Koefisien (probabilitas) laju penyembuhan β=1/6 per-hari.
d) Koefisien (probabilitas) laju rentan kembali φ=1/14 per-hari.
e) Digunakan rumus-rumus pada pada sub-bab 2.5.

Halaman: 70 349
Karena yang menjadi sasaran penyembuhan dan kematian adalah populasi
yang terinfeksi, maka sewajarnya, δ adalah yang terinfeksi dikurangi β, δ<β;
kondisinya baik. Sebaliknya, jika δ>β, maka populasi yang mati akan lebih
besar dari pada yang sembuh; kondisi (penanganan penyakitnya) buruk.
Jika nilai δ diperbesar hingga mendekati β, maka kedua kurvanya makin
berimpit dan yang terinfeksi makin kecil.
Dengan menggunakan baris-baris kode program model kontinyu seperti pada
lampiran L8 didapatkan hasil berikut:

Gambar 3.12: Model SIRD Kontinyu, α=0.5,β=1/6, δ=1/14


Gambar 3.12 memperlihatkan bahwa pada hari ke-14 hingga ke-15, yang sembuh (R)
dan yang terinfeksi (I) sudah hampir sama (sekitar 15 atau 16 jiwa). Pada hari ke-21
yang rentan dan yang sembuh sudah sama (35 jiwa) dan yang terinfeksi juga sama
dengan yang mati (15 jiwa). Sedangkan sejak hari ke-30, jumlah yang rentan sama
dengan yang mati (22). Jumlah yang terinfeksi mencapai maksimum pada hari ke 17
(18 jiwa). Sejak hari ke-40, yang rentan konstan di titik 18. Sejak hari ke-48, yang
terinfeksi mencapai minimum dan konstan di titik 0. Sejak hari ke-53, yang sembuh
sudah maksimum dan konstan di titik 58. Sejak hari ke-48, yang mati sudah
maksimum dan konstan di titik 25.

3.6 Model SEIS


Untuk memahami dinamika populasi yang rentan (S), pra-infeksi (E), dan terinfeksi (I)
dengan menggunakan model SEIS, sebagai misal, digunakanlah asumsi seperti
berikut:
a) Pada saat t=0, populasi yang rentan So=99, yang mengalami inkubasi Eo=0,
dan yang terinfeksi Io=1. Jadi, total populasi adalah N=So+Eo+Io=100.
b) Koefisien (probabilitas) laju infeksi (masa inkubasi setelah penularan) α= 0.5
per-hari.
c) Koefisien (probabilitas) laju infeksi (setelah inkubasi) K= 0.4 per-hari.
d) Koefisien (probabilitas) laju penyembuhan β=1/10 per-hari.

Halaman: 71 349
e) Digunakan rumus pada sub-bab 2.6.

Dengan program (persamaan diferensial/model kontinyu) pada lampiran L9


didapatkan hasil seperti berikut:

Gambar 3.13: Model SEIS dengan α=0.5,β=1/10,K=0.4


Gambar 3.13 memperlihatkan bahwa pada hari ke-22 hingga ke-23, yang rentan (S)
dan yang terinfeksi (I) sudah sama (sekitar 40 jiwa). Kurva yang rentan turun terus
hingga mencapai minimum dan terus konstan di titik 20 sejak hari ke 36. Pada hari
ke-24, yang terekspos sudah mencapai maksimum di titik 20, kemudian turun
kembali hingga mulai konstan di titik 16 sejak hari ke 36. sementara itu, kurva yang
terinfeksi terus naik hingga akhirnya mencapai maksimum dan terus konstan di titik
64 sejak hari ke 38.

3.7 Model SEIR


Untuk lebih memahami dinamika populasi yang rentan (S), pra-infeksi (E), terinfeksi
(I), dan sembuh (R) dengan menggunakan model SEIR, sebagai misal, digunakanlah
asumsi seperti berikut:
a) Pada saat t=0, populasi yang rentan So=99, yang mengalami inkubasi Eo=0,
yang terinfeksi Io=1, dan yang sembuh Ro=0. Total populasi adalah
N=So+Eo+Io+Ro=100.
b) Koefisien laju infeksi (dalam pengertian penularan) α= 0.5 per-hari.
c) Koefisien laju infeksi (dalam pengertian menjadi sakit) K= 0.15 per-hari.
d) Koefisien laju penyembuhan β=1/14 per-hari.
e) Digunakan rumus pada sub-bab 2.7.

Dengan menggunakan program pada lampiran L10 (model kontinyu) didapatkan hasil
berikut:

Halaman: 72 349
Gambar 3.14: Model SEIR Kontinyu α=0.5,K=0.15,β=1/14
Gambar 3.14 memperlihatkan bahwa pada hari ke-29, jumlah yang rentan (S) sama
dengan yang terekspos (E), 26 jiwa. Pada hari ke-28 dan 29, yang rentan sama (S)
dengan yang terinfeksi (I), sekitar 28 jiwa. Pada hari ke-30 dan 31 yang rentan (S)
sama dengan yang sembuh (R), sekitar 21 dan 22 jiwa. Pada hari ke-27, yang
terekspos sama dengan yang terinfeksi; 25 jiwa. Pada hari ke-31 dan 31, jumlah yang
terekspos sama dengan yang sembuh; sekitar 24 jiwa. Pada hari ke-36, yang
terinfeksi sama dengan yang sembuh; sekitar 36-37 jiwa. Sejak hari ke-54, yang
rentan sudah mencapai minimum (0). Sejak hari ke-67, yang terekspos sudah
mencapai minimum (0). Sejak hari ke 111, jumlah yang terinfeksi mencapai minimum
(0). Sejak hari ke-114, yang sembuh sudah mencapai maksimum (100).

3.8 Model SEIRS


Untuk lebih memahami dinamika populasi yang rentan (S), pra-infeksi (E), terinfeksi
(I), dan sembuh (R) dengan menggunakan model SEIRS, sebagai misal, digunakanlah
asumsi berikut:
a) Pada saat t=0, populasi yang rentan So=99, yang mengalami inkubasi Eo=0,
yang terinfeksi Io=1, dan yang sembuh Ro=0. Total populasi adalah
N=So+Eo+Io+Ro=100.
b) Koefisien (probabilitas) laju infeksi (dalam pengertian penularan) α= 0.6 per-
hari.
c) Koefisien (probabilitas) laju infeksi (menjadi sakit setelah masa inkubasi) K=
0.4 per-hari.
d) Koefisien (probabilitas) laju penyembuhan β=1/10 per-hari.
e) Koefisien (probabilitas) laju menjadi rentan kembali φ=1/14.
f) Digunakan rumus pada sub-bab 2.8.

Dengan menggunakan program (model kontinyu) pada lampiran L11 didapatkan hasil
berikut:

Halaman: 73 349
Gambar 3.15: Model SEIRS dengan α=0.5,K=0.4,β=1/10,φ=1/14
Gambar 3.15 memperlihatkan bahwa kurva yang rentan tidak pernah berpotongan
dengan yang terekspos. Pada hari ke-18 dan 19, jumlah yang rentan sama dengan
yang terinfeksi; sekitar 33 atau 32 jiwa. Pada hari ke-21, yang rentan sama dengan
yang sembuh; 21 jiwa. Pada hari ke-19, yang terekspos sama dengan yang sembuh;
sekitar 17 dan 16 jiwa. Pada hari ke-30 dan 31, jumlah yang terinfeksi sama dengan
yang sembuh; sekitar 40 dan 41.

3.9 Model SEIRD


Untuk memahami dinamika populasi yang rentan (S), pra-infeksi (E), terinfeksi (I),
sembuh (R), dan mati (D) dengan model SEIRD, sebagai misal, digunakanlah asumsi
seperti berikut:
a) Pada saat t=0, populasi yang rentan So=99, yang inkubasi Eo=0, yang
terinfeksi Io=1, yang sembuh Ro=0, dan yang mati Do=0. Total populasinya
adalah N=So+Eo+Io+Ro+Do=100 (jiwa).
b) Koefisien (probabilitas) laju infeksi (dalam pengertian penularan) α= 0.75 per-
hari.
c) Koefisien (probabilitas) laju infeksi (menjadi sakit setelah masa inkubasi) K=
0.5 per-hari.
d) Koefisien (probabilitas) laju penyembuhan β=0.1 per-hari.
e) Koefisien (probabilitas) laju kematian δ=0.02 per-hari.
f) Digunakan rumus pada sub-bab 2.9.

Sebagaimana halnya model SIRD, pada model SEIRD pun, sewajarnya, δ


merupakan yang terinfeksi dikurangi β, δ<β; kondisinya baik. Sebaliknya,
jika δ>β, maka populasi yang mati lebih besar dari pada yang sembuh;
kondisi (penanganan penyakitnya) buruk. Jika nilai δ diperbesar hingga
mendekati β, maka kedua kurvanya makin berimpit dan yang terinfeksi
makin kecil.

Halaman: 74 349
Dengan program (model kontinyu) pada lampiran L12 didapatkan grafik seperti
berikut77.

Gambar 3.16: Model SEIRD dengan α=0.75,K=0.5,β=0.1,φ=0.02


Gambar 3.16 memperlihatkan bahwa pada hari ke-18, yang rentan dan yang
terekspos sudah sama; 11 jiwa. Pada hari ke-14 dan 15, yang rentan dan yang
terinfeksi sudah sama; sekitar 32 dan 33 jiwa. Pada hari ke-16, yang rentan dan yang
sembuh sudah sama; 21 jiwa. Pada hari ke-19 dan 20 jumlah yang rentan sama
dengan yang mati; sekitar 7 jiwa. Pada hari ke-13 hingga 15 yang terekspos mencapai
puncak; 16 jiwa. Pada hari ke-18 dan 19, yang terinfeksi telah mencapai puncaknya;
43 jiwa.
Sebenarnya, tidak mudah untuk mendapatkan sampel data epidemik yang
benar-benar akurat mengenai kelompok E (pra-infeksi) secara clear; siapa
yang mau & sanggup melakukan pemeriksaannya dan bagaimana pula
cara/metode/mekanisme memilih orang-orang yang akan diperiksanya.
Jadi, sampel data yang benar-benar merepresentasikan kelompok E hampir
mustahil didapatkan (terutama untuk sampel data Covid-19 yang
terpublikasikan). Oleh sebab itu, pihak yang menggunakan model epidemik
yang melibatkan kelompok E, biasanya, mengasumsikan bahwa sekian
persen dari kelompok I adalah (pernah mengalami selama sekian waktu di
periode awalnya) kelompok E.

3.10 Model SIR & Dinamika


Untuk memahami dinamika populasi yang rentan (S), terinfeksi (I), dan sembuh (R)
dengan model SIR dan melibatkan dinamika (faktor-faktor) kelahiran & kematian
populasi, sebagai misal, digunakanlah asumsi-asumsi berikut:
a) Pada saat t=0, populasi rentan So=99, terinfeksi Io=1, dan sembuh Ro=0. Jadi,
total populasi awal adalah N=So+Io+Ro=100 (jiwa).
b) Koefisien (probabilitas) laju infeksi α= 0.5 per-hari.

77
Tabelnya tidak dimunculkan; yang dipentingkan adalah pola-pola kurva-kurvanya

Halaman: 75 349
c) Koefisien (probabilitas) laju penyembuhan β=1/14 per-hari.
d) Angka kelahiran (L) = 0.0000685 per-hari.
e) Angka kematian (M) = 0.0000171 per-hari.
f) Digunakan rumus pada sub-bab 2.10.

Dengan menggunakan rumus yang pertama untuk SIR dengan dinamika populasi
(sub-bab 2.10) dan program sederhana (model kontinyu) pada lampiran L13
didapatkan grafik berikut.

Gambar 3.17: Model SIR Plus Dinamika Populasi


Gambar 3.17 memperlihatkan bahwa pada hari ke-11, yang rentan dan yang
terinfeksi sudah sama; sekitar 45/45 jiwa. Pada hari ke-14, jumlah yang rentan sudah
sama dengan yang sembuh; sekitar 21/22 jiwa. Pada hari ke-20/21, jumlah yang
terinfeksi sudah sama dengan yang sembuh; sekitar 48 jiwa. Pada hari ke-15, yang
terinfeksi sudah mencapai puncaknya di titik 58 jiwa. Sejak hari ke-32, jumlah yang
rentan sudah mencapai minimum (0). Sejak hari ke-87, yang terinfeksi sudah
mencapai minimum (0), dan pada saat yang sama, yang sembuh telah mencapai nilai
maksimum (100).

3.11 Model MSEIR


Untuk memahami model MSEIR, sebagai contoh, diperlukan asumsi berikut:
a) Saat t=0, kebal sementara Mo=75, rentan So=24, inkubasi Eo=0, terinfeksi
Io=1, sembuh Ro=0. Total populasi awal adalah N=So+Io+Ro=100.
b) Koefisien (probabilitas) laju infeksi α= 0.25 per-hari.
c) Koefisien (probabilitas) laju penyembuhan β=1/14 per-hari.
d) Angka kelahiran (L) = 0.0000685 per-hari.
e) Angka kematian (u) = 0.0000685 per-hari; lahir≈mati.
f) Koefisien (probabilitas) laju yang terinfeksi setelah masa inkubasi (K) = 0.7
per-hari.

Halaman: 76 349
g) Koefisien (probabilitas) laju yang kebal sementara ke rentan (e) = 0.1 per-
hari.
h) Digunakan rumus pada sub-bab 2.11.

Dengan program (model kontinyu) pada lampiran L14 didapatkan grafik seperti
berikut.

Gambar 3.18: Model MSEIR


Gambar 3.18 memperlihatkan bahwa pada hari ke-4, yang kebal sementara sudah
sama dengan yang rentan; sekitar 49 jiwa. Pada hari ke-31, jumlah yang kebal
sementara sama dengan yang terekspos; 3 jiwa. Pada hari ke-25, yang kebal
sementara sama dengan yang terinfeksi; 6 jiwa. Pada hari ke-27, yang kebal
sementara sama dengan yang sembuh; 5 jiwa. Pada hari ke 19, yang rentan
mencapai puncak di titik 83 jiwa. Pada hari ke-49, yang terinfeksi mencapai puncak di
titik 31 jiwa.

3.12 Model MSEIRS


Untuk lebih memahami model MSEIRS juga diperlukan uji-coba; simulasi. Adapun uji-
coba pada sub-bab ini dilakukan dengan asumsi yang sama dengan asumsi pada
model MSEIR (sub-bab 3.11) tetapi dengan tambahan koefisien laju populasi yang
sembuh menjadi rentan kembali (phi), φ = 0.25. Kemudian, dengan program model
kontinyu (source codes) seperti pada lampiran L15 akan didapatkan grafik seperti
berikut.
Gambar 3.19 memperlihatkan bahwa pada hari ke-4, yang kebal sementara dan yang
rentan sudah hampir sama; sekitar 49 jiwa. Pada hari ke-25, yang kebal sementara
sudah sama dengan yang terinfeksi; 6 jiwa. Pada hari ke-31, yang kebal sementara
sudah sama dengan yang terekspos; 3 jiwa. Pada hari ke-32, yang kebal sementara
sama dengan yang sembuh; 3 jiwa. Pada hari ke-20, yang rentan sudah mencapai
puncaknya; 85 jiwa. Pada hari ke-48, yang rentan sama dengan yang terinfeksi; 41
atau 42 jiwa. Pada hari ke-51, yang kebal sementara sudah mencapai nilai minimum
(0). Pada hari ke-64, yang rentan sudah mencapai konstan di titik 29. Pada hari ke-62,

Halaman: 77 349
yang terinfeksi sudah mencapai konstan di titik 51. Pada hari ke-61, yang terekspos
sudah mencapai konstan di tiitk 5. Pada hari ke-70, yang sembuh sudah mencapai
konstan di titik 15.

Gambar 3.19: Model MSEIRS

3.13 Model Epidemik & Vaksinasi


Untuk memahami dinamika populasi yang rentan (S), terinfeksi (I), sembuh (R), dan
tervaksinasi (V) dengan model SIRV (pengembangan model SIR) berdasarkan faktor-
faktor kelahiran, kematian, dan vaksinasi, sebagai misal, digunakanlah asumsi-asumsi
seperti berikut:
a) Pada saat t=0, populasi rentan So=99, terinfeksi Io=1, sembuh Ro=0, dan
tervaksinasi Vo=0. Jadi, total populasi awal adalah N=So+Io+Ro=100 (jiwa).
b) Koefisien (probabilitas) laju infeksi α= 0.5 per-hari.
c) Koefisien (probabilitas) laju penyembuhan β=1/14 per-hari.
d) Angka kelahiran (L) = 0.0000685 per-hari.
e) Angka kematian (M) = 0.0000171 per-hari.
f) Peluang (P) untuk sehat/kebal (tidak menjadi rentan) bagi yang tervaksinasi
adalah 75% (0.75).
g) Digunakan rumus-rumus pada pada sub-bab 2.13 dan model gambar 2.13a.

Dengan menggunakan program (model kontinyu) pada lampiran L16 didapatkan


grafik berikut.

Halaman: 78 349
Pada kasus ini, dari tabelnya, pengaruh kelahiran & kematian sangat kecil;
tidak signifikan hingga yang tervaksinasi pun kecil (nol). Karena itu, kurva-
kurva model SIRV ini tidak berbeda jauh dengan SIR. Kecuali jika populasi
awal (So) yang rentannya dinaikan, misalnya, menjadi 100 juta (atau lebih);
nilai-nilai pada tabelnya baru menampakkan dinamikanya (total
populasinya bertambah). Karena skala grafisnya, tampilan kurvanya tidak
berubah sedangkan yang tervaksinasi (V) masih merapat ke sumbu waktu.
Sebagai perbandingan dan variasi, pembaca dapat menggunakan dan
membuat model epidemik vaksinasi lainnya (terutama yang terdapat di
bahasan sub-bab 2.13 di atas) untuk melihat perbedaan detilnya.

Gambar 3.20: Model SIRV (Vaksinasi)


Gambar 3.20 memperlihatkan bahwa pada hari ke-11, yang rentan dan yang
terinfeksi sudah sama; sekitar 44-45 jiwa. Pada hari ke 14, yang rentan dan yang
sembuh sudah sama; di sekitar 21-22 jiwa. Pada hari ke 15, yang terindeksi sudah
mencapai puncak di titik 58. Sejak awal, kurva yang terinfeksi nampak merapat
dengan sumbu waktu karena jumlahnya tidak signifikan; nilai So-nya masih dianggap
kecil.

3.14 Model Epidemik & Delay


Untuk lebih memahami model biologi/epidemik yang melibatkan (argumen) delay,
yang telah dibahas pada sub-bab 2.14 di atas, pembaca dapat melakukan beberapa
simulasi beserta beberapa asumsinya. Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah asumsi-
asumsi bagi simulasi pertama:
a) Sebenarnya, model biologi/epidemik dasar yang digunakan adalah SIR. Tetapi
karena satu dan lain hal, dengan delay konstanta tertentu (masa tenggang),
maka kelompok individu yang sebelumnya telah dinyatakan sembuh (kebal)
dapat menjadi rentan kembali dengan konstanta laju γ pada saat (t-τ).

Halaman: 79 349
Dengan demikian, modelnya epidemiknya menjadi SIRS78 yang melibatkan
DDE seperti berikut:
dS (t ) αS (t ) I (t )
=− + γR(t − T1 )
dt N
dI (t ) αS (t ) I (t )
= − βI (t ) ,
dt N
dR
= βI (t ) − γR (t − T1 )
dt
b) Pada saat t≤0, populasi rentan So=99, terinfeksi Io=1, dan sembuh(kebal)
Ro=0. Jadi, total populasi awal adalah N=So+Io+Ro=100 (jiwa). Dengan
demikian history-nya adalah [99, 1, 0].
c) Koefisien laju infeksi α= 0.5 per-hari, koefisien laju penyembuhan β=1/10
per-hari, koefisien laju rentan kembali γ=1/15 per-hari, dan delay (τ) 1 hari.
Dengan menggunakan program (model kontinyu) pada lampiran L17 didapatkan
grafik berikut.

Gambar 3.21: Model SIRS DDE dengan 1 Delay


Sebagai ilustrasi tambahan, berikut adalah asumsi-asumsi bagi simulasi kedua:
a) Model biologi/epidemik dasar yang digunakan adalah SIR. Tetapi karena satu
dan lain hal, dengan delay konstanta tertentu (masa tenggang), maka
kelompok individu yang sebelumnya telah dinyatakan sembuh (kebal) dapat
menjadi rentan kembali dengan laju γ pada saat (t-τ1). Selain itu, pada model
ini diasumsikan juga terjadi delay pada proses terinfeksinya kelompok
individu yang rentan pada saat (t-τ2). Dengan demikian, modelnya
epidemiknya menjadi SIRS yang melibatkan DDE seperti berikut:

78
Pada model SIR, R (recovered) dianggap mewakili kelompok populasi yang kebal (sembuh)
permanen (selamanya) atau mati karena penyakit yang bersangkutan. Sementara itu, pada
model SIRS, R (recovered) dianggap mewakili kelompok populasi yang kebal (sembuh)
sementara (bisa rentan kembali) atau mati karena penyakit yang bersangkutan.

Halaman: 80 349
dS (t ) αS (t ) I (t − T2 )
=− + γR(t − T1 )
dt N
dI (t ) αS (t ) I (t − T2 )
= − βI (t ) ,
dt N
dR
= βI (t ) − γR (t − T1 )
dt
b) Pada saat t≤0, populasi rentan So=99, terinfeksi Io=1, dan sembuh(kebal)
Ro=0. Jadi, total populasi awal adalah N=So+Io+Ro=100 (jiwa). Dengan
demikian history-nya adalah [99, 1, 0].
c) Koefisien laju infeksi α= 0.5 per-hari, koefisien laju penyembuhan β=1/10
per-hari, koefisien laju rentan kembali γ=1/15 per-hari, delay rentan kembali
(τ1) 0.5 hari, dan delay terinfeksi (τ2) 0.25 hari.
Dengan program pada lampiran L18 didapatkan grafik berikut.

Gambar 3.22: Model SIRS DDE dengan 2 Delay


Sebagai ilustrasi tambahan ketiga79, berikut ini adalah contoh hasil-hasil simulasi
seperti yang pertama; hanya melibatkan 1 komponen delay. Hanya saja, pada
simulasi ini, menggunakan 3 delay dengan nilai-nilai yang berbeda (τ=0.01, τ=7, dan
τ=16,) dan kemudian ditampilkan bersama.

79
Contoh baris-baris kode matlab-nya dapat dilihat pada lampiran 19 di bawah.

Halaman: 81 349
Gambar 3.23: Model SIRS DDE dengan 1 Delay, Rentan

Gambar 3.24: Model SIRS DDE dengan 1 Delay, Terinfeksi

Halaman: 82 349
Gambar 3.25: Model SIRS DDE dengan 1 Delay, Kebal Sementara
Sebagai ilustrasi tambahan keempat80, berikut ini adalah contoh hasil-hasil simulasi
seperti yang kedua; melibatkan 2 komponen delay. Hanya saja, pada simulasi ini,
menggunakan 1 delay untuk suku R (delay yang merepresentasikan waktu tenggang
sebelum rentan kembali dari status kebalnya) dan 3 delay yang berbeda untuk suku I
(delay yang merepresentasikan tenggang waktu sebelum benar-benar terinfeksi
sejak masa kontak untuk pertama kalinya). Jadi, pasangan dua komponen delay yang
kurva-kurvanya akan ditampilkan bersama adalah sebagai berikut: [τ1=2, τ2=1], [τ1=2,
τ2=5], [τ1=2, τ2=14].

Gambar 3.26: Model SIRS DDE dengan 2 Delay, Rentan

80
Contoh baris-baris kode matlab-nya dapat dilihat pada lampiran 20 di bawah.

Halaman: 83 349
Gambar 3.27: Model SIRS DDE dengan 2 Delay, Terinfeksi

Gambar 3.28: Model SIRS DDE dengan 2 Delay, Kebal Sementara

Halaman: 84 349
BAB 4: MODEL EPIDEMIK
SIR STOKASTIK
Sebelumnya telah dibahas model-model SI, SIS, SIR, dan beberapa variannya. Asumsi
utama pada model-model tersebut adalah sifat/proses epidemiknya deterministik;
(pengaruh) prilaku (karakter virus, intensitas interaksi sosial, dan tingkat disiplin
masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan) sebaran penyakit (α) dan proses
kesembuhannya (β) dianggap konstan atau pasti (diketahui)81, sedangkan perubahan
populasinya82 ditentukan oleh histori83 dan sejumlah aturan yang mendeskripsikan
modelnya. Selain itu, di dalam rumusan modelnya pun diasumsikan bahwa jumlah
anggota setiap kelompok populasinya (S, I, dan R) merupakan fungsi (persamaan
diferensial) yang dapat diturunkan terhadap waktunya (ada turunannya: fungsinya
kontinyu)84. Asums-asumsi ini (telah dibahas di awal bab 2) tentu saja masuk akal jika
wabah penyakitnya sudah berjalan ”stabil” (established)85, tetapi hal ini menjadi
kurang valid di awalnya; yaitu, ketika hanya terdapat beberapa orang saja86 yang
terinfeksi87.
Dengan sudut pandang lain, asumsi-asumsi ini bisa jadi dianggap suatu kelemahan.
Karena, pada umumnya, fenomena-fenomena fisik, biologi, epidemik, sosial,
ekonomi, dan lain sejenisnya juga sering dipandang memiliki unsur ketidak-pastian,
keacakan (stochasticity), berisi noise (”gangguan”), mengandung kesalahan (acak,
bias, kerancuan), atau memiliki unsur peluang. Di dalamnya, terdapat probabilitas
terjadinya suatu peristiwa. Jadi, sebenarnya, kapan saatnya suatu individu akan lahir,
mati, rentan, terinfeksi, dan sembuh tidak dapat dipastikan. Demikian pula halnya
dengan kontak antar-individu; (yang menurut prinsip model stokastik) juga
dipengaruhi oleh aspek probabilitas. Selain itu, setiap kelompok populasi epidemik
terdiri dari individu-individu yang utuh; bersifat diskrit88 (bernilai 0, 1, 2, 3, dan
seterusnya). Dengan kata lain, sebenarnya, fenomena-fenomena alamiah dan sosial
memiliki kecenderungan sifat stokastik (acak) ketimbang deterministik. Oleh sebab
itu, pada akhirnya, para peneliti juga akan memodifikasi model deterministiknya

81
Meskipun sebenarnya merupakan nilai rata-rata, perkiraan, atau nilai yang pada dasarnya
bersifat probabilistik/peluang dan tidak eksak benar 100%, tetapi pada model deterministik
α, β, dan lain sejenisnya dinyatakan secara eksplisit sebagai konstanta-konstanta (pasti).
82
Yang disebabkan oleh faktor kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk di setiap
kelompok populasi (compartment S, I, R) secara umum beserta secara khusus oleh faktor
kematian karena sebab patogennya.
83
Data (populasi) sebelumnya.
84
Model deterministik kurang memperhitungkan sifat diskrit populasi.
85
Populasinya sudah berukuran (relatif) besar dan biasanya jumlah totalnya tetap (konstan).
86
Populasinya masih berukuran (relatif) kecil.
87
Lihat juga pustaka (Braurer, 2012) halaman 351.
88
Tidak bersifat kontinyu dari nol sampai tak hingga (~).

Halaman: 85 349
menjadi model stokastik sebagai pendekatan terbaik bagi representasi fenomena
epidemik di dunia nyata. Meskipun demikian, memang, adalah tidak mudah untuk
menuliskan model-model stokastik secara formal; cukup panjang dan juga agak
rumit89.
Pada bab ini hanya dibahas model epidemik SIR stokastik dengan menggunakan
beberapa pendekatan. Harapannya, pembaca dapat memahaminya dan kemudian
dapat membuat (memodifikasi) sendiri model-model epidemik stokastik yang lain (SI,
SIS, SIRS, SEIR, SEIRD, dan lain sejenisnya) dengan pendekatan yang sama.

4.1 Proses Stokastik/Acak


Pada teori probabilitas/statistik, proses stokastik/acak merupakan salah satu objek
yang dianggap sebagai keluarga variabel acak90. Pada konteks ini, biasanya, variabel
acak diasosiasikan, diindekskan, atau dikaitkan dengan sekumpulan (himpunan) titik-
titik waktu; yang dapat memberikan gambaran bahwa proses stokastik akan
menyajikan atau menghasilkan nilai-nilai numerik (bilangan real) secara acak di
sepanjang (sumbu) waktu. Oleh sebab itu, proses stokastik banyak digunakan
sebagai model matematika bagi model/sistem yang memiliki unsur-unsur variasi
acak pada fenomenanya. Tetapi karena secara umum konsepnya sudah logis dan
representatif, terlepas dari pada bagaimana hasil-hasil implementasinya, maka
proses stokastik telah diterapkan di beberapa bidang; sebagai misal adalah biologi,
kimia, epidemik, ekologi, fisika (terutama pemrosesan sinyal-sinyal, gelombang,
gerakan Brown91 atau proses Wiener92), dan lain sejenisnya.

4.2 Model-Model Stokastik


Seperti telah disinggung bahwa tidak mudah untuk menurunkan model epidemik
stokastik secara formal (dari model deterministiknya). Jika dituliskan secara langkap,
dibutuhkan tahapan yang cukup panjang. Selain itu, hal ini sudah banyak dibahas di
berbagai literatur. Oleh sebab itu, untuk mudahnya, berikut ini disajikan model-
model stokastik yang sudah ringkas; khususnya model stokastik93 untuk SIR.
dS αSI
a) = −[ + f1 ( S , I ) w1 ]
dt N
dI αSI
b) =[ + f1 ( S , I ) w1 ] − [ βI + f 2 ( I ) w2 ]
dt N

89
Seperti telah disebutkan di dalam pustaka (Regoes, 2020).
90
Bilangan nyata (yang merupakan anggota dari suatu ruang sampel atau sample space [0.0,
100.0]) yang merupakan hasil eksekusi suatu fungsi acak (misalkan fungsi “rand”).
91
Gerakan acak (bebas dan tidak teratur atau random walk [dengan arah dan ukuran
langkah yang acak pula]) yang terus menerus dari partikel-partikel zal cair dan gas.
92
Proses stokastik dengan waktu kontinyu yang menghasilkan bilangan nyata (real). Proses
Wiener juga digunakan untuk merepresentasikan gerakan Brown 1 dimensi.
93
Banyak pilihan untuk mensimulasikan model stokastik, di antaranya adalah metode “brute
force” dan algoritma “gillespie”.

Halaman: 86 349
dR
c) = [ βI + f 2 ( I ) w2 ]
dt
Keterangan:
a) w1 dan w2 adalah sampel acak dari distribusi normal N (0,1)94. Dalam
beberapa literatur, terkadang, w1 dan w2 juga dirujuk sebagai proses Wiener.
b) Sedangkan dW (dWs atau dWi) adalah proses Wiener yang telah didiskritkan;
tetapi di dalam beberapa literatur sering dituliskan (untuk memudahkan
pemrograman komputer) dW = w.dt ≈ dt * N (0,1) (sebagai pendekatan).
c) N(0,1) merupakan sampel bilangan acak dengan distribusi normal standard
dengan rata-rata 0 dan simpangan baku 1.
d) f1(S,I) dan f2(I) adalah fungsi penyekalaan untuk menskalakan noise–nya
sesuai dengan ukuran variabelnya.
Sebagai noise tambahan yang bersifat sederhana, f1 dan f2 dapat dianggap sebagai
bilangan-bilangan konstan; f1 = const dan f 2 = const . Dengan demikian, keduanya
tidak bergantung pada ukuran populasinya. Sementara itu, sebagai noise tambahan
αSI
yang diskalakan biasanya digunakan rumusan f1 = dan f 2 = βI . Oleh sebab
N
itu, persamaan-persamaan di atas akan berubah menjadi seperti berikut:
dS αSI αSI αSI αSI
a) = −[ + .w1 ] , atau dS = − .dt − .dWS
dt N N N N

dI αSI αSI
b) =[ + .w1 ] − [ βI + β I .w2 ] , atau
dt N N
αSI αSI
dI = ( − βI ).dt + ( .dWS − βI .dWI )
N N
dR
c) = [ βI + βI .w2 ] , atau dR = βI .dt + βI .dWI
dt

4.3 Sampel Acak


Persamaan model epidemik stokastik di atas tentu saja memerlukan masukan w1 &
w2 sebagai sampel acak dengan distribusi normal standard N (0,1). Sehubungan
dengan hal ini, maka terdapat beberapa pilihan metode yang dapat digunakan untuk
membangkitkan nilai sampel acak yang dimaksud. Di antaranya adalah Transformasi
Box-Muller, simulasi proses Wiener, dan pendekatan fungsi bilangan acak sederhana.
a) Transformasi Box-Muller.
Dengan transformasi Box-Muller, digunakanlah rumus-rumus sebagai berikut95:
R1 = randn, R2=randn
S = (−2 Ln( R1 )) * Cos (2πR2 )
X = S * σ + µ (sampel acak)

94
Distribusi normal dengan nilai rata-rata = 0. dan deviasi standard = 1.
95
Keterangan mengenai transformasi Box-Muller dapat dilihat pada Kusdian et al. (2005).

Halaman: 87 349
Keterangan:
• R1 & R2 merupakan bilangan acak yang besarnya antara 0 & 1 dengan
distribusi seragam/merata; dibuat secara otomatis dengan menggunakan
fungsi internal bahasa pemrograman/aplikasi perangkat lunaknya.
• S adalah transformasi Box-Muller.
• X adalah sampel acak dari distribusi normal standard N (0,1).
b) Simulasi Proses Wiener
Dengan menggunakan fungsi simulasi proses Wiener milik paket perangkat lunak
Octave96, digunakan algoritma sederhana sebagai berikut:
waktu = 1; dimensi = 1; jumlah = 1;
temps = wienrnd (waktu, dimensi, jumlah);
sampel_acak = temps (1,2);
c) w1 dan w2 adalah sampel acak dengan pendekatan proses Wiener yang
didiskritkan untuk interval waktu (time-step) dt=1 (setiap hari, setiap detik,
dan lain sejenisnya): dW = N (0,1) dt ≈ randn * 1 ≈ randn . Dimana randn
merupakan fungsi internal Octave dan Matlab untuk menghasilkan nilai-nilai
sampel acak di dalam distribusi normal standard N(0,1).
Jika disimulasikan, masing-masing pendekatan akan nampak seperti berikut97:

Gambar 4.1: Contoh Sampel-Sampel Acak

96
Hampir semua bahasa pemrograman komputer atau scripting (Matlab, Python, Perl, Java,
Java Script, C, C++, Basic, Pascal, dan lain sejenisnya) memiliki fungsi-fungsi internal yang
dapat menghasilkan bilangan-bilangan acak dengan interval minimum dan maksimum
tertentu. Bahkan sebagian di antaranya (Octave & Matlab) sudah memiliki fungsi yang sudah
mengarah kepada topik khusus seperti halnya proses Wiener.
97
Contoh programnya dapat dilihat pada lembaran lampiran L21.

Halaman: 88 349
4.4 Hasil Simulasi
Untuk memahami dinamika populasi yang rentan (S), terinfeksi (I), dan sembuh (R)
dengan model SIR stokastik di atas, sebagai misal, digunakanlah asumsi-asumsi
seperti berikut:
a) Pada saat t=0, populasi rentan So=99, terinfeksi Io=1, sembuh Ro=0; total
populasi awal adalah N=So+Io+Ro=100 (jiwa).
b) Koefisien laju infeksi α= 0.5 per-hari.
c) Koefisien laju penyembuhan β=1/14 per-hari.
d) Digunakan rumus-rumus model SIR stokastik di atas dengan sampel acak
transformasi Box-Muller.

Dengan menggunakan program pada lampiran L22 didapatkan akan grafik berikut.

Gambar 4.2: Model SIR Stokasitik

Halaman: 89 349
Gambar 4.3: Kurva Rentan (S) Model SIR: Dasar Vs. Stokasitik

Gambar 4.4: Kurva Terinfeksi (I) Model SIR: Dasar Vs. Stokasitik

Halaman: 90 349
Gambar 4.5: Kurva Sembuh (R) Model SIR: Dasar Vs. Stokasitik

Beberapa grafik di atas (gambar 4.2 hingga 4.5) memperlihatkan bahwa


tampilan kurva-kurva model SIR deterministik nampak mulus dan halus,
sementara yang stokastiknya memiliki unsur ketidak-beraturan (karena
faktor bilangan acak yang dibuat secara otomatis oleh program untuk
mensimulasikan prilaku acak), meskipun sebenarnya keduanya memiliki
pola umum (gambaran besar) yang masih mirip. Meskipun demikian, tidak
seperti pada model deterministiknya yang hasilnya konsisten, maka setiap
kali running simulasi model stokastik akan dihasilkan kurva-kurva dengan
detil (acak) yang berbeda. Terkadang, kurva stokastik sangat dekat dengan
kurva deterministiknya. Demikian pula jika digunakan metode pengambilan
sampel acak yang berbeda; setiap kali running program akan dihasilkan
kurva-kurva dengan detil yang berbeda tetapi dengan pola umum yang
masih mirip.

4.5 Model SIR Algoritma Gillespie


Algoritma Gillespie (Dood-Gillespie) sudah sering digunakan untuk mensimulasikan
proses-proses markov dimana objek-objeknya selalu berganti status dari waktu ke
waktu. Algoritma ini dapat digunakan untuk memprediksikan kapan saatnya atau
waktu t (yang berisi faktor acak) terjadi peristiwa berikutnya sambil menghitung
peristiwa apa yang akan terjadi. Kemudian, algoritma ini akan melompat ke waktu
tersebut dan meng-update status-statusnya. Proses ini akan berulang sampai ada
ketentuan (kondisi) untuk selesai98. Pada konteks teori probabilitas, algoritma ini

98
Misalnya, pada kasus model epidemik SIR, hingga jumlah populasi kelompok terinfeksi
atau I= 0 (habis); sembuh semua.

Halaman: 91 349
menghasilkan trayektori yang benar secara statistik bagi persamaan stokastiknya.
Dengan demikian, algoritma ini juga dapat diaplikasikan untuk mensimulasikan
model epidemik yang bersifat stokastik.
Maka dengan asumsi-asumsi seperti berikut:
a) Pada saat t=0, populasi rentan So=99, terinfeksi Io=1, sembuh Ro=0; dan total
populasi adalah N=So+Io+Ro=100 (jiwa).
b) Koefisien laju infeksi α= 0.5 per-hari.
c) Koefisien laju penyembuhan β=1/14 per-hari.
d) Digunakan algoritma Gillespie yang tercantum pada pustaka (Yong, 2018)
halaman 563 dan dengan contoh baris-baris kode pada lampiran L23.

Akan didapatkan hasil seperti berikut:

Gambar 4.6: Model SIR Stokasitik dengan Algoritma Gillespie

4.6 Rantai Markov


Rantai Markov99, yang sering juga dirujuk sebagai proses markov, adalah model
stokastik yang dapat mendeskripsikan urutan peristiwa (status/state) yang mungkin
terjadi dimana probabilitas setiap peristiwa yang akan datangnya (ke-n) hanya akan
bergantung pada kondisi, status, dan/atau peristiwa yang terjadi tepat sebelumnya
(ke n-1). Proses markov adalah proses stokastik yang memenuhi property markov;
terkadang disebut sebagai proses ”tanpa memori”, prediksi mengenai statusnya di
masa yang akan datang (ke n+1) hanya didasarkan pada kondisinya saat ini (ke n).
Meskipun demikian, yang terpenting adalah, hasil prediksnya ”sama baiknya”
dengan prediksi berdasarkan atas proses yang dilengkapi dengan histori seutuhnya.

99
Bagian nama belakang salah seorang pakar matematika dari Rusia.

Halaman: 92 349
Pada proses markov, seperti telah disebutkan, status berikutnya (n+1) hanya akan
dipengaruhi oleh statusnya pada saat ini (n) dengan perantaraan sebuah matriks
transisi yang sebenarnya berisi angka-angka yang menyatakan probabilitas kejadian
peristiwa-peristiwa (berurutan) berikutnya. Pada konteks model epidemik SIR
sederhana (yang telah dibahas), peristiwa, kondisi, atau status yang dimaksud adalah
jumlah-jumlah individu-individu yang rentan (S), terinfeksi (I), dan sembuh (R). Oleh
sebab itu, pada putaran pertama (t=to), kondisi awalnya pada saat itu adalah (S=So,
I=Io, R=Ro). Kemudian, pada putaran berikutnya (t=t1, S=S1, I=I1, R=R1), kondisinya
adalah (S-1, I+1, R). Pada putaran berikutnya lagi (t=t2, S=S2, I=I2, R=R2), kondisinya
adalah (S, I-1, R+1). Hal ini mengisyaratkan sifat diskrit pada perubahan kelompok-
kelompok populasi epidemik.
Jika diasumsikan bahwa probabilitas individu yang rentan menjadi terinfeksi adalah x
(misalkan x=0.2), maka probabilitas individu yang rentan dan kemudian tetap
menjadi rentan adalah 1-x, sedangkan probabilitas individu yang rentan dan
kemudian menjadi sembuh adalah 0 (tidak ada jalur itu di dalam model SIR-nya). Jika
diasumsikan bahwa probabilitas individu yang terinfeksi menjadi sembuh adalah y
(misalkan y=0.05), maka probabilitas individu yang terinfeksi dan kemudian tetap
terinfeksi adalah 1-y, sedangkan probabilitas individu yang terinfeksi menjadi rentan
adalah 0 (tidak ada jalur itu di dalam modelnya, kecuali jika modelnya adalah SIRS).
Dengan demikian, jika nilai-nilai probabilitas ini dikemas menjadi matriks transisi,
maka bentuknya akan menjadi seperti berikut:
1 − x 0 0  0. 8 0 0
 x 1 − y 0 , atau 0.2 0.95 0 dimana kolom matriks menunjukkan status S,
   
 0 y 1  0 0.05 1 
I, R pada saat ini (n), sedangkan baris matriks menunjukkan status S, I, R pada saat
berikutnya (n+1).
Jika diperhatikan, contoh100 elemen-elemen matriks transisi di atas bernilai non-
negatif, sementara jumlah total setiap kolomnya adalah 1.0; 0.8+0.2 = 0.95+0.05 =
0+1 = 1. Dengan demikian, matriks bujur sangkar ini disebut juga sebagai matriks
stokastik. Oleh sebab itu, dengan memanfaatkan matriks ini, secara iteratif, maka
status-status S, I, R dari waktu-ke-waktu dapat diketahui.
Jika So=100, Io=1, dan Ro=0, maka matrik-matriksnya akan menjadi seperti berikut:
S   0. 8 0 0  S   S   0. 8 0 0 100 79
 I  = 0.2 0.95 0 *  I  ,  I  = 0.2 0.95 0 *  1  =  21
             
 R  n+1  0 0.05 1  R  n  R 1  0 0.05 1  0  0  0  1

100
Sebagai alternatif lainnya, para pembaca dapat memilih nilai-nilai x dan y lain (baik secara
intuisi maupun atas dasar rumusan tertentu) yang dianggap sesuai untuk mewakili nilai-nilai
probabilitasnya.

Halaman: 93 349
Matriks stokastik adalah matriks bujur sangkar yang digunakan untuk
mendeskripsikan transisi rantai Markov; setiap elemennya merupakan
bilangan real non-negatif yang merepresentasikan (nilai-nilai) probabilitas
peralihan ke status-status yang bersangkutan, dan jumlah nilai-nilai elemen
setiap kolomnya adalah 1. Matriks ini sering disebut juga sebagai matriks
probabilitas, matriks transisi, matriks substitusi, atau matriks Markov.
Sebagai informasi, jika model epidemiknya adalah SIRS dasar (perhatikan gambar
atau skema modelnya di bab sebelumnya), maka bentuk umum matriks transisinya
(model stokastik) akan nampak seperti berikut.
1 − x 0 z 
 x 1− y 0  dimana z adalah nilai probabilitas individu yang sembuh (karena

 0 y 1 − z 
satu dan lain hal) beralih atau berubah menjadi rentan kembali.

Jika iterasi hitungan matriks di atas diteruskan selama waktu simulasi, maka akan
didapatkan101 kurva-kurva dengan grafik seperti berikut.

Gambar 4.7: Model SIR dengan Rantai Markov


Untuk model SIR dasar yang melibatkan aspek perubahan individunya, maka bentuk
umum matriks transisinya nampak seperti berikut102.

101
Contoh baris-baris kodenya dapat dilihat pada lembaran lampiran L24.
102
Penulis membagi lagi nilai-nilai elemen matriks di atas dengan pembagi N (tambahan)
agar matriks transisinya memenuhi sifat stokastik; semua nilai elemen matriks bujur sangkar
seragam ini (nilai-nilai probabilitas) seragam tak bersatuan, non-negatif, dan jumlah elemen-
elemen pada setiap kolomnya sama dengan satu (total probabilitas suatu peristiwa).

Halaman: 94 349
 αSI 
1 − N * N ∆t 0 0
 αSI βI 
 ∆t 1 − ∆t 0
 N*N N 
 βI
0 ∆t 1
 N 

Sedangkan untuk model epidemik SIRS dasar yang setingkat, maka bentuk umum
matriks transisinya nampak seperti berikut103.
 αSI γR 
1 − N * N ∆t 0
N
∆t 
 αSI βI 
 ∆t 1 − ∆t 0 
 N *N N 
 βI γR 
0 ∆t 1 − ∆t
 N N 

Jika digunakan hitungan matriks transisi di atas, yang melibatkan aspek perubahan
individunya sebagai nilai-nilai probabilitas, akan didapatkan104 kurva-kurva seperti
berikut.

Gambar 4.8: Model SIR dengan Rantai Markov

103
Nampak bahwa pengaruh perubahan populasi yang sembuh (R) terhadap yang kelompok
populasi yang rentan (S) tidak dimasukkan sebagai probabilitas (elemen 1,1 di dalam matriks
transisi). Hal ini pun dilakukan agar matriks transisinya memenuhi sifat stokastik.
104
Contoh baris-baris kodenya dapat dilihat pada lembaran lampiran L25.

Halaman: 95 349
Sebenarnya, masih terdapat beberapa varian dari model stokastik rantai
Markov yang dapat diaplikasikan di bidang epidemik; yang secara eksplisit
melibatkan masukan nilai-nilai acaknya dan/atau memperkecil Δt untuk
menonjolkan sifat keacakannya secara visual. Dari kenampakkan kurva-
kurvanya, penulis melihat bhwa algoritma Gillespie sudah cukup baik
dalam merepresentasikan sifat keacakkan.

Halaman: 96 349
BAB 5: BILANGAN
REPRODUKSI DASAR &
EFEKTIF
Definisi mengenai model epidemik deterministik beserta beberapa asumsinya akan
menentukan model matematisnya. Dengan model ini, kita dapat memahami sejauh
mana ”progress” (prediksi) sebaran wabah penyakitnya. Kemudian, jika
memungkinkan, hasil pemodelan ini juga dapat digunakan sebagai pertimbangan
bagi upaya pengendalian laju sebaran wabahnya. Pada kondisi seperti inilah biasanya
muncul pertanyaan: (a) seberapa cepat wabahnya menyebar? (b) berapa banyak
populasi yang terinfeksi, sembuh, mati, dan rentan kembali? (c) apakah wabahnya
telah mencapai puncaknya? dan (d) kapankah wabah ini (kira-kira) akan berakhir?
Tentu saja pertanyaan-pertanyaan di atas tidak dapat dijawab secara eksak; tidak
ada jawaban pasti. Meskipun demikian, memang, ada kalanya sebagian dari kita
dapat mengenali beberapa pola/siklus penyakit; ada yang memiliki periode harian
hingga mingguan atau bulanan (bersifat akut, infeksinya berlangsung relatif cepat)
seperti halnya flu, pilek, campak, cacar air, Covid-19, dan lain sejenisnya, dan ada
pula yang bersifat kronis (menahun) seperti halnya hepatitis, TBC, HIV/AIDS, dan lain
sejenisnya. Setiap penyakit tentu saja memiliki karakteristik yang khas. Meskipun
demikian, secara umum, pertanyaan di atas dapat diuraikan dengan pendekatan
terminologi populasi yang rentan, terinfeksi (kasus aktif), dan yang sembuh/mati dari
waktu-ke-waktu yang diimplementasikan dalam bentuk model epidemik beserta
rumus-rumus matematisnya.
Pada model epidemik, untuk menyatakan sejauh mana kecepatan sebarannya,
digunakan bilangan reproduksi dasar (Ro) & bilangan reproduksi efektif (Rt). Bilangan
yang pertama menyatakan nilai/tingkat sebaran penyakit di awal kemunculannya
(ketika semua anggota populasinya dianggap rentan). Sementara itu, bilangan yang
kedua mengindikasikan nilai, tingkat, atau status sebaran penyakitnya pada waktu-
waktu setelahnya (aktual); populasinya sudah tidak rentan sepenuhnya. Oleh sebab
itu, secara umum, bilangan yang kedua lebih sering digunakan sebagai dasar atau
referensi untuk mengevaluasi apakah penyakitnya masih menyebar (kasusnya masih
meningkat) hingga masih perlu intervensi (kesehatan) tertentu atau bahkan sudah
cenderung turun (kasusnya makin berkurang) hingga sebagian dari intervensi yang
masih diberlakukan bisa ”dilonggarkan” dalam menghadapi kehidupan yang normal
(”new normal”). Itulah alasannya mengapa kita perlu mengetahui nilai-nilai Ro & Rt.

Halaman: 97 349
5.1 Bilangan Reproduksi Dasar
Bilangan reproduksi dasar (basic reproduction atau reproductive number), yang
sering dinotasikan sebagai Ro, sebenarnya, pertama kali diperkenalkan di bidang
demografi untuk mengkalkulasikan pertumbuhan penduduk. Tetapi karena konsep
dan manfaatnya yang cukup luas, maka berkembanglah pengertian Ro di berbagai
bidang; termasuk ekologi & epidemiologi. Ketika konsep ini diadopsi oleh para
epidemiolog, maka yang menjadi perhatian adalah kasus-kasus infektif (penyakit
menular).
Pada notasi Ro, indeks atau subscript nol (0) bermakna bahwa bilangan dasar ini
diestimasikan pada saat t=0 atau to, dimana faktor kekebalan (imunitas) pada
(keseluruhan) populasinya masih bernilai nol (0). Jadi, pada konsep Ro, pada saat
t=to, maka diasumsikan bahwa (sebelumnya) sama sekali tidak terdapat faktor
kekebalan dan intervensi kesehatan pada masyarakat (populasi) yang menjadi objek
penelitian105. Artinya, dengan asumsi ini, tidak ada individu yang pernah terpapar
penyakit yang bersangkutan (dan kemudian sembuh/mati) dan juga tidak ada
seorang pun yang pernah divaksinasi untuk penyakitnya106 itu. Jadi, pada saat t=to,
semua anggota populasinya dianggap benar-benar masih rentan seluruhnya dan juga
terjadi kontak (bercampurnya) individu secara acak & homogen.

Gambar 5.1: Makna Nilai-Nilai Ro


Pada konteks epidemiologi, Ro merupakan parameter penting. Nilai ini menyatakan
jumlah (rata-rata/harapan) individu107 yang terinfeksi (sekunder) akibat tertular (oleh

105
Kondisi (asumsi) ini biasanya terjadi pada saat awal-awal berjangkitnya wabah penyakit.
Penyakitnya (virus, bakteri, atau yang sejenisnya) memang baru ditemukan atau mulai
bergejolak hingga aparat pemerintah beserta masyarakatnya secara umum belum siap
menghadapinya.
106
Keterangan lebih lanjut mengenai hal ini juga dapat dilihat pada pustaka (EID, 2019).
107
Yang pada asalnya berstatus rentan.

Halaman: 98 349
individu infektif primer108); atau, jumlah (rata-rata) kasus baru yang diakibatkan oleh
satu (1) kasus lama (primer) pada populasi yang sepenuhnya rentan. Sehubungan
dengan hal ini, maka Ro sering dianggap sebagai ”batas” atau indikator yang
menyatakan seberapa besar sebaran (wabah) penyakit di suatu wilayah. Jadi, Ro
merupakan representasi dari tingkatan terinfeksinya populasi yang rentan terhadap
suatu penyakit. Makin besar nilai Ro, maka makin mudah dan cepat pula penyakitnya
menular/menyebar; artinya, pertambahannya meningkat dari waktu-ke-waktu. Dan
sebaliknya, makin kecil nilai Ro, maka makin sulit/lambat pula penyakitnya menular
/menyebar. Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah tabel109 yang berisi contoh nilai-nilai
Ro untuk beberapa kasus wabah penyakit yang pernah melanda dunia.
Tabel 5.1: Wabah Penyakit & Nilai Ro

5.2 Rumus Sederhana Ro


Nilai Ro, biasanya, diestimasikan berdasarkan data yang terkumpul dan kemudian
dimasukkan ke dalam model matematisnya. Jadi, nilai estimasi ini akan bergantung
pada sampel data dan model yang dipilih. Meskipun demikian, secara sederhana,
bilangan penting yang tidak berdimensi ini dapat diformulasikan seperti berikut110:

Ro = T.c.d (5.1)
Dimana:
a) T adalah transmissibility atau kemampuan menularnya suatu penyakit
(probabilitas infeksi atau penularan karena sebab telah terjadi kontak antara
individu yang rentan dengan individu yang terinfeksi). Satuannya adalah
infeksi per-kontak atau orang per-kontak.
b) c adalah kecepatan (laju) rata-rata kontak antara individu-individu yang
rentan dan terinfeksi. Satuannya adalah kontak per waktu.
c) d adalah durasi penularan (duration of infectiousness) penyakitnya.
Satuannya adalah waktu per infeksi atau waktu per-orang.

108
Yang terinfeksi pertama kali; orang pertama yang terinfeksi.
109
Tabel ini diambil dari pustaka (Driessche, 2017). Meskipun demikian, contoh data lain
(sebagai alternatif) mengenai Ro untuk beberapa penyakit pun tersedia di berbagai sumber;
di antaranya adalah https://en.wikipedia.org/wiki/Basic_reproduction_number.
110
Lihat pustaka (Jones, 2007) halaman 1.

Halaman: 99 349
Dengan demikian, untuk menurunkan Ro, yang dapat upayakan adalah menurunkan
nilai-nilai T, c, dan d; semakin kecil nilai mereka, semakin kecil pula nilai Ro.
Satuan-Satuan Variabel-Variabel
Jika diperhatikan, perkalian T dengan c ekivalen dengan α (kecepatan infeksi baru,
infected rate, atau contact rate) pada bahasan bab 2. Satuan α=T.c memang tidak
sama, tetapi jika rumusnya menjadi α=T.c/N atau α.N=T.c, maka satuannya menjadi
sama (1 per-satuan waktu). Memang, sebagian pustaka tidak secara eksplisit
mencantumkan faktor pembagi N (total populasi). Meskipun demikian, hal ini (α=T.c)
akan berkonsekuensi bahwa satuan variabel d adalah waktu (bukan waktu per-orang
dan juga bukan waktu per-infeksi sebagaimana dituliskan pada banyak sumber
pustakanya). Dan hal ini (d adalah waktu) memang logis karena variabel duration of
infectiousness hanya berkenaan dengan waktu (hari, minggu, bulan, dan sejenisnya);
tidak melibatkan orang atau infeksinya. Oleh sebab itu, satuan-satuan variabel-
variabel di atas menjadi lebih relevan jika T adalah orang per-kontak, c adalah kontak
per-orang per-waktu, dan d adalah waktu. Dengan demikian, maka satuan α atau T
kali c menjadi sama; 1/waktu. Akhirnya, rumus (5.1) menjadi seperti berikut:

Ro = T.c.d = α.d (5.2)

Jadi, untuk menurunkan nilai Ro secara keseluruhan, yang sering dilakukan adalah
menurunkan nilai-nilai α, T, dan c; terlepas dari bagaimana caranya.
Model SIR
Berdasarkan rumus (5.1), didapatkan bahwa α=T.c, sementara itu, pada model SIR
(bahasan bab 2) terdapat konstanta β (removal rate, recovered rate, atau laju
penyembuhan) yang menjadi faktor pengurang kecepatan populasi yang rentan
menjadi terinfeksi; satuannya pun sama. Artinya, nilai expected duration of
infectiousness (durasi penularan) secara praktis juga merupakan kebalikan dari nilai
removal rate-nya111; d=1/β, atau Ro=Tcd= αd=α/β.

Ro = α/β (5.3)

Rumus (5.3) mengisyaratkan bahwa Ro juga merupakan konstanta sebagaimana


parameter α dan β (yang nilainya ditentukan terlebih dahulu); berbeda dengan Rt
yang merupakan variabel dengan fungsi terhadap waktu. Sehubungan dengan hal ini,
dengan rumus (5.3), jika diasumsikan bahwa nilai α=0.5 (per-hari) dan nilai β=1/14
(per-hari), seperti telah simulasikan beberapa kali pada bab 3, maka untuk contoh
kasus ini berlaku Ro=0.5*14=7.
Ro untuk Model-Model yang lain
Berdasarkan persamaan diferensial (khususnya untuk nilai dI/dt=0) masing-masing,
maka akan diperoleh Ro seperti berikut untuk beberapa (varian) model lain:
α α
1) SIR dengan dinamika penduduk (2.10): Ro = , Ro =
(β + M ) (β + M + δ )

111
Lihat pustaka (Jones, 2007) halaman 2.

Halaman: 100 349


α α α
2) SIS Ro = , SIRS Ro = , SIRD Ro =
β β (β + δ )
α α (1 − v)
3) Model SIR dengan vaksinasi (2.13): Ro = , Ro =
(β + M ) β

5.3 Matriks Generasi Berikutnya


Jika masalahnya tidak sesederhana di atas, dan juga dilibatkan konstanta tambahan,
apalagi jika populasinya tidak benar-benar homogen tetapi justru memilik struktur112
tertentu hingga pola-pola interaksi antar-individunya dan probabilitas terinfeksinya
setiap individu mengikuti (dipengaruhi) strukturnya, maka tersedia metode lain yang
lebih umum untuk menghitung nilai Ro; yaitu, matriks generasi berikutnya (next
generation matrix), G atau NGM. Metode ini menggunakan matriks yang seanalogi
dengan matriks transisi (lihat bahasan mengenai rantai Markov sebelumnya) untuk
menghitung Ro dan jumlah individu yang termasuk ke dalam kelompok populasi yang
tertular/terinfeksi pada generasi (iterasi) berikutnya (sekunder).

5.3.1 Kasus-Kasus Sederhana


Matriks generasi berikutnya dapat juga dapat digunakan pada kasus sederhana.
Sehubungan dengan hal ini, maka untuk memudahkan pemahaman, berikut ini
adalah beberapa contoh kasus yang dimaksud.
Contoh Kasus 1
Sebagai contoh, terdapat populasi yang terdiri dari 2 kelompok (struktur usia); tua &
muda. Pada kasus ini, diasumsikan bahwa setiap anak muda yang terinfeksi akan
menularkan penyakitnya kepada 3 anak muda lainnya dan juga kepada 2 orang tua.
Sedangkan orang tua yang sakit akan menularkan penyakitnya kepada 1 orang anak

112
Tidak selalu homogen, populasinya tidak selalu dapat bercampur dengan sempurna
hingga kontak antar-individunya tidak selalu bisa secara acak, tidak rentan seluruhnya, di
dalamnya ada peran signifikan dari struktur atau status sosial tertentu seperti halnya
kelompok-kelompok usia (tua & muda), klasifikasi jenis kelamin [pria & wanita] (terutama
pada konteks kasus-kasus penyakit terkait kelamin seperti halnya HIV, AIDS, dan lain
sejenisnya), jenis, penyebab, atau fenomena penyakit (yang bisa lebih dari 1 seperti halnya
exposed [E], infected [I], carrier [C]), dan lain sejenisnya. Dalam kaitan ini, sebenarnya, kelas-
kelas populasi exposes (E) dan infected (I) itu bisa diaplikasikan untuk dua jenis penyakit yang
berbeda tetapi erat kaitannya seperti halnya HIV dan AIDS. Jadi, singkatnya, pada populasi
yang berstruktur (tidak homogen), pola kontak antar-individunya mengikuti “aturan”,
probabilitas, atau asumsi terkait strukturnya. Misalkan, seorang ibu diasumsikan dapat
menularkan penyakitnya kepada anak-anaknya, sedangkan bapaknya beserta orang lain
tidak sama sekali. Sementara itu pada kasus lain, sebagai contoh, diasumsikan bahwa
seorang wanita dewasa perpotensi menularkan penyakitnya kepada 20 hingga 30 orang pria
dewasa per-bulannya, sedangkan seorang pria dewasa hanya berpotensi menularkan
penyakitnya kepada 4 hingga 8 orang saja per-bulannya. Pada contoh lain, diasumsikan
bahwa pengaruh teman dan media sosial pada (pemikiran) anak remaja biasanya lebih besar
(dua kali lipat) dari pada orang tua dan gurunya, sedangkan pada orang tua dan guru (orang
dewasa) pengaruh teman dan media sosial tidak terlalu besar (0.25).

Halaman: 101 349


muda dan juga kepada 2 orang tua lainnya. Oleh sebab itu, pada kasus ini, model
matrik (bujur-sangkar) generasi berikutnya akan nampak seperti berikut ini:
anakmuda _ anakmuda orangtua _ anakmuda   3 1 
G= =
 anakmuda _ orangtua orangtua _ orangtua   2 2

3 1  3 1  1 0 3 − λ 1 
G=  , G − λI =   − λ =
 2 2  2 2 0 1   2 2 − λ 
pada kasus ini, determinan matriks (G-λI)=0, atau persamaan karakteristiknya adalah
(3-λ)*(2-λ)-(2)(1)=0. Atau, λ2-5λ+4=0 (λ-1)(λ-4)=0 λ1=1 dan λ2=4
Ro=Maks(λi)=4. Sehubungan dengan hal ini, maka beberapa baris kode Octave seperti
berikut akan menghasilkan nilai-nilai determinan, eigen, dan Ro dengan mudah.
nilai_eigen = []; G = [3, 1; 2, 2];
determinan = det(G)
nilai_eigen = eig(G)
Ro = max(nilai_eigen)
Jika pada awalnya diasumsikan hanya terdapat seorang (1) anak muda yang sakit dan
0 orang tua yang sakit, maka akibatnya adalah:
3 1  1  3 3 1   3 11 3 1  11  43 3 1   43 171
2 2.0 =  2 , 2 2.2 = 10 , 2 2.10 = 42 , 2 2.42 = 170
    0  1    1   2    2  3    3   4
1 5 21 85 341 (jumlah total anak muda dan orang tua yang terinfeksi) dengan
faktor peningkatan (jumlah total individu pada saat ini dibagi jumlah total individu
tepat sebelumnya) 5/1 21/5 85/21 341/85 atau 5 4.2 4.05 4.02.
Perhatikan bahwa nilai-nilai ini makin mendekati (konvergen) nilai Ro-nya. Dengan
beberapa baris kode Octave seperti berikut, maka nilai-nilai yang terinfeksi seperti di
atas dapat diperoleh secara mudah.
G = [3, 1; 2, 2]; Z = [1; 0];
for i=1:5
x = G*Z
Z = x;
endfor
Contoh Kasus 2
Sebagai contoh, terdapat populasi yang terdiri dari 2 kelompok (struktur jenis
kelamin); pria dan wanita (dewasa). Pada kasus ini, diasumsikan bahwa setiap wanita
yang sakit hanya akan menularkan penyakitnya kepada 5 pria. Sedangkan setiap pria
yang sakit hanya akan menularkan penyakitnya kepada 2 wanita. Oleh sebab itu,
pada kasus ini, matrik (bujur-sangkar) generasi berikutnya menjadi seperti berikut:
 wanita _ wanita pria _ wanita  0 2
G= =
 wanita _ pria pria _ pria  5 0 

0 2 0 2 1 0 − λ 2 
G=  , G − λI =   − λ =
5 0 5 0  0 1   5 − λ 

Halaman: 102 349


Pada kasus ini, determinan matriks (G-λI)=0, atau persamaan karakteristiknya adalah
(-λ)*(-λ)-(5)(2)=0. Atau, λ2-10=0 λ = ± 10 Ro=Maks λi= 3.1623.
Jika pada awalnya hanya terdapat 1 wanita yang sakit dan 1 pria yang sakit, maka
akibatnya adalah:
0 2 1  2 0 2 2 10 0 2 10 20
5 . = , . = , 5 0.10 = 50  ,
 0  1 0 51 5 0 5 1 10 2     2  3
0 2 20 100
5 . =
 0  50  3 100 4

2 7 20 70 200 (jumlah total yang terinfeksi) dengan faktor peningkatan 7/2


20/7 70/20 200/70 atau 3.5 2.857 3.5 2.857. Perhatikan bahwa nilai-
nilai ini berfluktuasi, tetapi rata-ratanya [(3.5+2.857)/2] mendekati nilai Ro-nya.
Contoh Kasus 3
Pada kasus ini, sebagai misal, terdapat struktur populasi dengan 3 kelompok yang
berperan signifikan dalam penyebaran penyakit; anak-anak, remaja, dan orang tua
(struktur kelompok usia). Pada kasus ini, yang disebut ”penyakit” adalah kebiasaan
menggunakan kata-kata kotor (tidak pantas) atau prilaku buruk yang dapat menular
di antara sesama manusia (ke-3 kelompok populasi tersebut). Pada kasus ini,
diasumsikan bahwa setiap anak akan menularkan ”penyakitnya” kepada 1 anak
lainnya, 0.20 remaja, dan 0.025 orang tua. Setiap remaja akan menularkan
penyakitnya pada 1.25 anak-anak, 1 remaja lainnya, dan 0.075 orang tua. Setiap
orang tua akan menularkan penyakitnya kepada 1.50 anak-anak, 1.75 remaja, dan
0.10 orang tua lainnya. Dengan demikian, matrik generasi berikutnya akan nampak
seperti berikut:
 anak _ anak remaja _ anak ortu _ anak   1 1.25 1.5 
  
G = anak _ remaja remaja _ remaja ortu _ remaja  =  0.2 1 1.75 
 anak _ ortu remaja _ ortu ortu _ ortu  0.025 0.075 0.10

Dengan beberapa contoh baris kode seperti pada lembaran lampiran L26, maka akan
didapatkan Ro=1.6. Jika pada awalnya (t=0 atau to) hanya terdapat 1 anak, 1 remaja,
dan satu orang tua yang terpapar, maka setelah 7 putaran akan didapatkan sebaran
paparan ”penyakit”: 92 anak, 40 remaja, dan 4 orang tua.

Halaman: 103 349


Gambar 5.2: Jumlah Anak, Remaja, dan Orang Tua yang Terpapar
Contoh Kasus 4
Pada kasus ini, sekedar contoh saja, diasumsikan bahwa sudah terdapat 4 kelompok
yang berperan signifikan dalam penyebaran suatu idiologi yang terlarang; remaja
atau siswa (rem), orang tua (ortu), pengajar (guru), dan media. Adapun (potensi)
dampak relatif suatu parameter (struktur) terhadap yang lain dapat diformulasikan
secara numerik ke dalam bentuk matriks generasi berikutnya (G) seperti berikut.
 rem _ rem ortu _ rem guru _ rem media _ rem 
 rem _ ortu ortu _ ortu guru _ ortu media _ ortu 
G=
 rem _ guru ortu _ guru guru _ guru media _ guru 
 
rem _ media ortu _ media guru _ media media _ media 

1.00 0.35 0.85 1.85 


0.35 0.05 0.15 0.75
G=
0.05 0.05 0.25 0.35
 
0.25 0.10 0.15 0.35
Dengan contoh beberapa baris kode pada halaman lampiran L27 (serupa dengan
yang sebelumnya), maka akan didapatkan Ro=1.64. Jika pada awalnya (t=0 atau to)
hanya terdapat 1 remaja (siswa/mahasiswa), 1 orang tua, 1 pengajar, dan 1 media
yang terpapar, maka setelah 7 putaran akan didapatkan sebaran ”penyakit”: 79
remaja, 27 orang tua, 8 pengajar, dan 18 media.

Halaman: 104 349


Gambar 5.3: Jumlah Siswa, Orang tua, Guru dan Media
Contoh Kasus 5
Pada kasus ini, sebagai misal, diasumsikan terdapat 4 kelompok yang berperan
signifikan dalam penyebaran (kandungan) hoaks113 (berita bohong); media sosial
(medsos), saluran televisi (TV), undang-undang ITE (ite), dan media online. Adapun
pengaruh atau dampak relatif suatu parameter (struktur) terhadap parameter yang
lain diformulasikan secara numerik ke dalam bentuk matriks generasi berikutnya (G)
seperti berikut.
medsos _ medsos tv _ medsos ite _ medsos online _ medsos 
 medsos _ tv tv _ tv ite _ tv online _ tv 
G= 
 medsos _ ite tv _ ite ite _ ite online _ ite 
 
 medsos _ online tv _ online ite _ online online _ online 
1.25 − 0.05 − 2.75 0.15
0.02 0.00 − 0.01 0.07 
G=
0.00 0.00 0.00 0.00 
 
1.05 − 0.02 − 2.25 0.05
Dengan beberapa baris kode yang serupa (dengan mengganti nilai-nilai matriks G
dan Z-nya), maka didapatkan Ro=1.37. Jika pada awalnya (t=0 atau to) terdapat
sumber-sumber: 5 medsos, 5 TV, 1 ITE, dan 25 media online, maka setelah 15
putaran akan didapatkan sebaran hoaks: 540 di medsos, 30 di TV, 0 di ITE, dan 430 di
media online.

113
Penyebaran hoak via medsos, tv, dan media online.

Halaman: 105 349


Gambar 5.4: Medsos, TV, ITE, dan Media Online
Contoh Kasus 6
Pada kasus ini, sebagai contoh, diasumsikan terdapat 4 kelompok yang berperan di
suatu rantai makanan di lingkungan terbatas; elang, kelinci, rumput, dan pupuk
kompos. Adapun pengaruh atau dampak relatif suatu parameter (struktur) terhadap
parameter yang lain dapat diformulasikan secara numerik ke dalam bentuk matriks
generasi berikutnya (G) seperti berikut.
 elang _ elang kelinci _ elang rumput _ elang kompos _ epang 
 elang _ kelinci kelinci _ kelinci rumput _ kelinci kompos _ kelinci 
G= 
 elang _ rumput kelinci _ rumput rumput _ rumput kompos _ rumput 
 
elang _ kompos kelinci _ kompos rumput _ kompos kompos _ kompos 
 0.25 0.35 0.00 0.00
− 0.15 0.35 2.15 0.00
G=
 0.00 − 0.04 0.32 1.55 
 
 0.01 − 0.20 − 0.08 0.00
Dengan beberapa baris kode yang serupa (dengan mengganti nilai-nilai matriks G
dan Z-nya), maka didapatkan Ro=1.083. Jika pada awalnya (t=0 atau to) terdapat 4
elang, 50 kelinci, 10 rumput, dan 1 kompos, maka setelah 7 putaran akan didapatkan
sebaran 17 elang, 37 kelinci, 9 rumput, dan 7 kompos.

Halaman: 106 349


Gambar 5.5: Elang, Kelinci, Rumput, dan Kompos
Contoh Kasus 7
Pada kasus ini, sebagai misal (model SIRS), terdapat struktur populasi epidemik
dengan 3 kelompok; rentan, terinfeksi, dan sembuh. Pada kasus ini, diasumsikan
bahwa yang rentan menjadi terinfeksi adalah 0.30, tetap menjadi rentan 0.70, dan
menjadi sembuh 0. Sementara yang terinfeksi menjadi rentan adalah 0, menjadi
sembuh 0.12, dan tetap terinfeksi adalah 0.88. Sedangkan yang sembuh menjadi
rentan kembali adalah 0.10, tetap sembuh adalah 0.90, dan yang menjadi terinfeksi
kembali adalah 0. Jika nilai-nilai probabilitas ini disajikan dalam matriks generasi
berikutnya, maka bentuknya akan seperti berikut.
S _ S I _S R _ S  0.70 0.00 0.10
G =  S _ I I _I R _ I  = 0.30 0.88 0.00
 S _ R I _R R _ R  0.00 0.12 0.90

Dengan beberapa baris kode seperti sebelumnya (dengan mengganti nilai-nilai


matriks G dan Z-nya), maka didapatkan Ro=1.0114. Jika pada awalnya (t=0 atau to)
hanya terdapat 99 yang rentan anak, 1 terinfeksi, dan 0 yang sembuh, maka sejak
putaran (hitungan) pertama hingga beberapa putaram akan didapatkan gambaran
seperti berikut.

114
Nilai Ro=1 ini didapat dengan metode matriks G di atas hingga menghasilkan ketiga nilai
eigen yang sebenarnya merupakan bilangan kompleks. Jadi, nilai Ro ini bisa jadi berbeda jika
dihitung dengan rumus sederhana α/β sebagaimana model SIRS biasa. Oleh sebab itu,
periksalah terlebih dahulu nilai-nilai matriks G-nya; apakah sudah realistis. Meskipun,
memang menuliskannya secara bebas pun, untuk sekedar menuliskan sebuah ilustrasi, tidak
menjadi masalah.

Halaman: 107 349


Gambar 5.6: Rentan, Terinfeksi, dan Sembuh
Contoh Kasus 8
Pada kasus ini, sekedar contoh saja115, diasumsikan bahwa golongan darah setiap
anak 100% ditentukan oleh golongan darah ibunya, setiap ibu hanya melahirkan
seorang anak saja dengan jenis kelamin perempuan. Oleh sebab itu, pada kondisi ini,
secara umum, di dalam populasinya akan terdapat struktur golongan darah O, A, B,
dan AB. Adapun asumsi mengenai nilai-nilai probabilitas pengaruh golongan darah
seorang ibu terhadap setiap anak perempuannya diformulasikan secara numerik ke
dalam bentuk matriks generasi berikutnya (G) seperti berikut.
 O_O A_O B_O AB _ O  0.70 0.25 0.20 0.10
 O_ A A_ A B_ A 
AB _ A   0.11 0.60 0.11 0.15
G= G=
 O_B A_ B B_B AB _ B  0.15 0.10 0.60 0.15
   
O _ AB A _ AB B _ AB AB _ AB  0.04 0.05 0.09 0.60
Dengan contoh beberapa baris kode yang serupa dengan sebelumnya (dengan hanya
mengganti nilai-nilai matriks G dan Z-nya), maka akan didapatkan Ro=1.0. Jika pada
awalnya (t=0 atau to) ibu-ibu dengan jumlah 5 yang berdarah O, 10 yang A, 30 yang
B, dan 20 yang AB, maka setelah beberapa putaran akan didapatkan hasil seperti
berikut.

115
Ini sekedar contoh saja mengenai aplikasi matriks generasi berikutnya, sebab, pada
kenyataannya, golongan darah setiap anak ditentukan oleh golongan darah ayah dan ibunya.
Selain itu, seorang ibu pun sebenarnya bisa punya anak lebih dari 1 atau tidak sama sekali
(mandul) dan dengan jenis kelamin pria dan wanita. Sedangkan angka-angka probabilitas
pada kasus ini pun merupakan asumsi (bukan yang sebenarnya atau berdasarkan
pengamatan), hanya sekedar ilustrasi saja.

Halaman: 108 349


Gambar 5.7: Golongan Darah O, A, B, dan AB
Sebagai catatan: (kenampakkan) hasil operasi matriks (G-λI) akan berbeda
dengan operasi matriks (λI-G); nilai-nilai elemennya (baik bilangan nyata
maupun simboliknya [dalam bentuk variabel]) akan berbeda. Meskipun
demikian, kedua nilai determinannya, persamaan karakteristik (aλ2+bλ+c),
dan nilai-nilai eigen atau karakteristiknya (λ1, λ2, dan seterusnya) sama.
Contoh-contoh kasus sederhana di atas sebetulnya sangat menarik hingga
perlu dikaji lebih dalam; dapat dilakukan untuk menguji-coba suatu konsep
baru atau sekedar hipotesa awal; terutama jika pola perubahannya
cenderung tetap. Oleh sebab itu, juga diperlukan suatu penelitian untuk
mengenali keberadaan kelompok apa saja yang dapat membentuk suatu
”struktur” (populasi) yang berperan signifikan. Selain itu, perlu dikaji pula
(secara statistik) mengenai nilai-nilai probabilitas atau harapan (rata-rata)
pengaruh (relasi dan korelasi) relatif suatu kelompok (parameter) terhadap
kelompok-kelompok (parameter-parameter) yang lain (yang membentuk
elemen-elemen matriks generasi selanjutnya) yang dapat diasumsikan
memiliki hubungan atau kaitan atas dasar kaidah sebab-akibat (yang
kemudian dimodelkan sebagai angka-angka relatif).
Pemikiran mengenai matriks negerasi berikutnya akan mengarah pada
pemodelan & simulasi sistem dinamis. Oleh sebab itu, banyak bidang atau
kajian yang sebenarnya dapat dibahas. Termasuk bidang-bidang lingkungan
hidup, pendidikan, politik, ekonomi, prilaku, dan sosial yang sarat dengan
masalah, fenomena, atau kasus yang menarik dan segera memerlukan
alternatif solusi yang kreatif.
Berkaitan dengan hal ini, sebetulnya, matriks generasi berikutnya bisa
berperan besar di banyak bidang. Meskipun nampak sederhana, ia bisa
”meramalkan” beberapa hal di masa yang akan datang. Hanya saja,
formulasinya harus tepat. Itulah sebabnya, ia masih memerlukan penelitian
dan sampel data lapangan sebagai pijakan yang kuat.

Halaman: 109 349


5.3.2 Kasus-Kasus Dekomposisi Matriks G
Pada beberapa contoh di atas, kasus-kasus penyebaran ”dampak”, ”pengaruh”, dan
/atau ”penyakit” yang didasarkan pada struktur kelompok usia dan jenis kelamin,
nilai-nilai elemen-elemen matriks generasi berikutnya (G) diasumsikan begitu saja
tanpa penjelasan yang cukup dan memperdulikan dari mana asal-usulnya dan juga
bagaimana model epidemiknya. Meskipun (agak) logis, tentu saja hal ini tidak mudah
untuk diterima begitu saja dan kemudian diaplikasikan. Kecuali jika data, asumsi, dan
uraian mengenai hasil penelitian yang menjadi rujukannya atau tahapan kerjanya
dideskripsikan. Oleh sebab itu, sebagai alternatif, berikut ini adalah contoh-contoh
uraian mengenai penggunaan metode matriks generasi berikutnya ”next generation
matrix” [NGM] (G=-FX-1) atau (dalam beberapa pustaka disebut sebagai) matriks
Jacobian (matriks dX/dt yang didekomposisi menjadi matriks F & V) secara bertahap
dan fleksibel dalam menurunkan rumus umum bagi Ro.
Dengan metode ini, pertama kali, dirumuskan secara umum bahwa:
dX
= F ( x, y ) − V ( x, y ) ............................ (5.4)
dt
Dimana:
a) X adalah kelompok populasi (compartment) yang hanya terkait dengan kasus
terinfeksi saja; sebagai misal adalah exposed (E), infected (I), dan carrier (C).
Jika (model epidemiknya) dituliskan dalam bentuk vektor, tanpa C (yang
memang agak jarang dilibatkan pada model epidemik), maka contoh
vektornya (model-model dasar SEIS, SEIR, SEIRS, dan lain sejenisnya)
E 
adalah X =   (tanpa C).
I 
b) dX/dt merupakan turunan X terhadap waktu (persamaan diferensial); khusus
yang terkait dengan yang terinfeksi saja (pada kasus ini adalah E, I, C).
 dE 
αSI
dX  dt   
− KE 
Contoh: = = N (tanpa C).
dt  dI   KE − β I 
 
 dt 
c) F adalah matriks transmisi penyakit; juga yang terkait dengan yang terinfeksi
saja (pada kasus ini adalah E, I, C).
F1= persamaan diferensial (dE/dt) baris pertama (E) yang hanya berisi (suku)
selain E,I,C; pada kasus ini menjadi hanya ”αSI/N” (karena pada contoh di
atas hanya ada S yang bukan E,I,C). F2= persamaan diferensial (dI/dt) (baris
kedua ) I yang berisi variabel yang bukan E,I,C; pada kasus ini tidak ada; jadi 0
(karena suku ”KE” berisi E dan suku ”βI” berisi I).
 δF1 δF1 
  αS  0 α 
Contoh: F =  δE δI  = 0  , t o ==> S ≈ N ==> F = 
δF δF2  N 
 2  0 0  0 0 
 δE δI 

Halaman: 110 349


d) V adalah matriks transisi; juga hanya yang terkait dengan yang terinfeksi saja
(pada kasus ini adalah E, I, C).
V1= persamaan diferensial baris pertama (E) yang berisi variabel E,I,C (setelah
diambil F1); pada kasus ini hanya ”-KE”. V2= persamaan diferensial I yang
berisi variabel E,I,C (setelah diambil F2); pada kasus ini menjadi ”KE-βI”.
 δV1 δV1 
Sekedar contoh: V =  δE
 δI  = − K 0 
δV δV2   K − β 
 2 
 δE δI 
Determinan (V)=(βK)-(K0)=Kβ.
 1 
− β  − 0 
 0  Adj (V )
Adj (V ) =   , V −1 = = K 
− K − K  Det (V )  − 1 − 1 
 β β 
e) G adalah matriks generasi berikutnya; yang dirumuskan sebagai G=-FV-1.
1 
α  0  α α 
0  K  
Contoh (t=0): G = − FV −1 =    1 1  = β β 
0 0    0 0
 β β  
Keterangan:
G11 (α/β) adalah nilai harapan infeksi sekunder yang dihasilkan oleh
kelompok populasi (compartment) E oleh individu yang telah terinfeksi
sebelumnya di kelompok populasi E. G12 (α/β) adalah nilai harapan infeksi
sekunder yang dihasilkan oleh kelompok populasi E oleh individu yang telah
terinfeksi sebelumnya di kelompok populasi I.
f) Ro.adalah bilangan reproduksi dasar yang dirumuskan sebagai jarak spektral
matriks G atau nilai eigen dominan (maksimum) dari matriks G. Jadi, pada
kasus ini (model-model dasar SEIS, SEIR, SEIRS, dan lain sejenisnya), Ro = α/β.
α α  α α 
  1 0  − λ
G − λI = β β − λ   = β β 
  0 1  
0 0  0 − λ

Persamaan karakteristiknya (α/β-λ).(-λ)-(0).(α/β)=0


α α α α
Jadi, λ2 − λ = λ.(λ − ) = 0 , λ1 = 0, λ2 = , maka Ro =
β β β β
Catatan:
Dengan demikian, nilai Ro seperti ini berlaku untuk model-model epidemik
dasar SEIS, SEIR, SEIRS, dan lain sejenisnya.
Model-Model SIS, SIR, SIRS (dasar); tanpa (C dan E)
dX  αSI   δF  αS
X = [I ] , = − β I  , F= αSI/N F = =
dt  N   δI  N
 δV 
V= -βI V =   = [− β ]
 δI 

Halaman: 111 349


αS 1 αS α α
G = − FV −1 = −[ ].[− ] = , ketika t=0 (to), S≈N G = ==> Ro = ,
N β Nβ β β
atau G-λI=0 α/β-λ[1]=0 λ= α/β Max(λi)=Ro= α/β

Model SIRD
dX αSI   δF  αS
X = [I ] , = − βI − δI  , F1= αSI/N F = = ,
dt  N   δI  N
 δV  1
V= (-βI-δI) V =   = [− β − δ ] , V −1 =
 δI  − (β + δ )
αS 1 αS
G = − FV −1 = −( ).(− )= , ketika t=0 (to), maka S≈N
N (β + δ ) N (β + δ )
α α
G= ==> Ro =
(β + δ ) (β + δ )
Model SEIRD

 E  dX  αSI − KE 
X = , = N  , F1 = αSI , F2 = 0
 I  dt  KE − βI − δI  N

 δF1 δF1 
  αS  0 α 
F =  δE δI  = 0
δF δF2   N , t o ==> S ≈ N ==> F =  
 2  0 0  0 0 
 δE δI 
 δV1 δV1 

V1 = − KE , V2 = KE − βI − δI , V =  δE δI  = − K 0 
δV δV2   K − ( β + δ )
 2 
 δE δI 
Determinan (V)=(-K).(-β-δ)-(K).(0)=K(β+δ)
 1 
− β + δ  − 0 
 ( ) 0  Adj (V ) K
Adj (V ) =   , V −1 = = 1 
 −K − K Det (V )  − 1 − 
 ( β + δ ) ( β + δ ) 
 1 
0 α   − 0   α α 
G = − FV −1 = K  
  1 1   (β + δ ) (β + δ ) 
=
0 0  − −  0 0 
 ( β + δ ) ( β + δ )  
 α α   α α 
1 0 ( − λ) − ( )
G − λI =  ( β + δ ) 
(β + δ ) − λ   = ( β + δ ) ( β + δ )
  0 1   
 0 0   0 −λ 
α α
Persamaan karakteristiknya: ( − λ ).(−λ ) − (0). =0, Jadi,
β +δ (β + δ )

Halaman: 112 349


α α α α
λ2 − λ = λ .(λ − ) = 0 , λ1 = 0, λ2 = , maka Ro =
(β + δ ) (β + δ ) (β + δ ) (β + δ )
Model dengan Dinamika Penduduk (sub-bab 2.10)
dX αSI   δF  αS
X = [I ] , = − βI − MI  , F= αSI/N F= =
dt  N   δI  N
 δV 
V= -βI-MI V =   = [− β − M ]
 δI 
αS 1 αS
G = − FV −1 = −[ ].[− ]= , ketika t=0 =to, S≈N
N (β + M ) N (β + M )
α α
G= ==> Ro =
(β + M ) (β + M )
atau,
dX αSI   δF  αS
X = [I ] , = − βI − MI − δI  , F= αSI/N F= =
dt  N   δI  N
 δV 
V= -βI-MI V =   = [− β − M − δ ]
 δI 
αS 1 αS
G = − FV −1 = −[ ].[− ]= , ketika t=0=to, S≈N
N (β + M + δ ) N (β + M + δ )
α α
G= ==> Ro =
(β + M + δ ) (β + M + δ )
Model MSEIR & MSEIRS (sub-bab 2.11 & 2.12)

 E  dX  αSI − KE − µE  αSI
X =  , = N  , F1 = , F2 = 0
 I  dt  KE − βI − µI  N

 δF1 δF1 
  αS  0 α 
F =  δE δI  = 0 , t o ==> S ≈ N ==> F = 
δF δF2  N 
 2  0 0  0 0 
 δE δI 
 δV1 δV1 

V1 = − KE − µE , V2 = KE − βI − µI , V =  δE δI  = − ( K + µ ) 0 
δV δV2   K − ( β + µ )
 2 
 δE δI 
Determinan (V)=(K+μ).(β+μ)-(K).(0)= μ2+μ(K+β)+Kβ=(K+μ).(β+μ)
− ( β + µ ) 0 
Adj (V ) =  ,
 −K − ( K + µ )
 1 
 − 0 
Adj (V ) (K + µ )
V −1 = = 
Det (V )  − K 1 

 ( K + µ )( β + µ ) ( β + µ ) 

Halaman: 113 349


 1 
 − 0 
0 α  ( K + µ )
G = − FV −1 =    
0 0  − K 1 

 ( K + µ )( β + µ ) ( β + µ ) 
 αK α 
G = ( K + µ )( β + µ ) ( β + µ ) 

 
 0 0 
 αK α   αK α 
1 0   −λ
G − λI =  ( K + µ )( β + µ ) ( β + µ )  − λ  = ( K + µ )( β + µ ) (β + µ ) 
   0 1  
 0 0   0 −λ 
αK α
Persamaan karakteristiknya: ( − λ )(−λ ) − (0) =0
( K + µ )( β + µ ) (β + µ )
λαK αK
λ2 − = λ (λ − ) = 0 Jadi,
( K + µ )( β + µ ) ( K + µ )( β + µ )
αK αK
λ1 = 0, λ2 = , maka Ro =
( K + µ )( β + µ ) ( K + µ )( β + µ )
Model yang Tervaksinasi (sub-bab 2.13)
dX αSI   δF  αS
X = [I ] , = − βI − MI  , F= αSI/N F = =
dt  N   δI  N
 δV 
V= -βI-MI V =   = [− β − M ]
 δI 
αS 1 αS
G = − FV −1 = −( )(− )= , ketika t=0=to, S≈N
N (β + M ) N (β + M )
α α
G= ==> Ro = , atau
(β + M ) (β + M )
dX  αSI (1 − v)   δF  αS
X = [I ] , = − β I  , F= αSI/N F = = (1 − v )
dt  N   δI  N
 δV  αS 1 αS
V= -βI V =   = −[β ] , G = − FV −1 = − (1 − v)(− ) = (1 − v) ,
 δI  N β Nβ
α α
ketika t=0=to, S≈N G= (1 − v) ==> Ro = (1 − v)
β β

5.4 Bilangan Reproduksi Efektif


Sebagai pembanding, selain parameter Ro, juga dikenal bilangan reproduksi efektif116
Re atau Rt. Pengertiannya hampir sama dengan Ro. Hanya saja, pada Rt, tidak dikenal
asumsi sebagaimana pada Ro; kasusnya disebabkan oleh kasus lama pada populasi
yang tidak sepenuhnya rentan. Artinya, pada Rt, jumlah kasus yang terinfeksi
(sekunder) berasal dari populasi yang aktual (bukan di awal sebaran penyakit); oleh

116
Jumlah (rata-rata) individu baru yang terinfeksi (kasus sekunder) atau tertular penyakit
oleh satu (1) orang yang telah terinfeksi sebelumnya (primer).

Halaman: 114 349


sebab itu, bisa jadi terdiri dari individu yang rentan, pernah terpapar, pernah kebal,
pernah tervaksinasi (sudah memiliki imunitas), dan/atau pada kondisi dimana
lingkungannya pernah mengalami intervensi kesehatan masyarakat. Singkatnya, Rt
adalah jumlah individu (di dalam populasi) yang mungkin tertular (kasus baru) oleh
seorang yang sakit di setiap waktunya. Nilai Rt akan berubah sesuai dengan
peningkatan jumlah individu yang mati atau memiliki kekebalan; entah itu karena
kekebalan turunan, menjaga jarak, mengikuti prosedur hidup sehat, atau divaksinasi.
Pada masa awal, penyakitnya dianggap baru dan semua populasi dianggap
rentan. Pada saat itu, t=to=0 S≈N, maka terminologi yang relevan adalah
Ro; bilangan reproduksi dasar yang bersifat konstan. Nilai Ro sewajarnya
lebih besar dari 1, jika tidak, namanya bukan wabah/pandemik (korbannya
tidak makin banyak). Makin besar nilai Ro, makin heboh dan makin
memerlukan perhatian dan tindakan penanganan. Meskipun demikian,
seiring dengan berjalannya waktu sementara penyakitnya belum juga
musnah, dan oleh karena itu sudah ada individu yang pernah sakit tetapi
kemudian sembuh kembali selain juga ada aktivitas intervensi kesehatan
masyarakat (seperti halnya program vaksinasi, pemakaian masker, jaga
jarak, PSBB, dan lain sejenisnya), maka pada saat itu, terminologi yang lebih
relevan adalah Rt (bukan lagi Ro); bilangan reproduksi efektif (aktual).
Bilangan inilah yang nilainya (diharapkan berangsur-angsur) menjadi lebih
kecil dari satu (<1) dan perlu terus dipantau dari waktu-ke-waktu.
Dengan demikian, berdasarkan waktu dan kondisi masyarakatnya, akan
diketahui istilah yang tepat untuknya; Rt atau Ro. Meskipun demikian,
ironisnya, tidak sedikit pihak yang menggunakan istilah yang tidak tepat;
dituliskan Ro meskipun maksudnya (seharusnya) Rt, terutama jika yang
bersangkutan tidak mengikuti perjalanan waktu wabah beserta kondisi
masyarakatnya.
Yang jelas, pada masa awal, yang dikenal memang Ro. Jika pada saat itu
juga nilai Rt–nya ingin diketahui, maka Rt=Ro. Tetapi pada masa-masa
setelahnya, dengan mempertimbangkan perubahan kondisinya, sementara
jumlah total penduduknya juga dianggap tetap (N) dan (sisa) populasi yang
rentan makin berkurang, maka yang relevan adalah Rt; Rt=Ro.c atau
Rt=Ro.St/N; dimana c atau St/N adalah persentase (%) populasi yang
masih benar-benar rentan (pada saat itu) terhadap keseluruhan populasi.

Sehubungan dengan hal di atas, sebagai misal, jika diketahui bahwa nilai Ro=4,
dimana sebenarnya (setelah berjalannya periode waktu tertentu dan kemudian
terjadi perubahan kondisi masyarakatnya karena adanya intervensi) setengah (50%)
dari populasinya sudah menjadi kebal (tetapi dianggap masih rentan), maka nilai Rt-
nya adalah Roc =4x0.5=2. Artinya, penyakitnya masih menyebar atau mewabah di
masyarakat (jumlah kasusnya masih meningkat).
Sejalan dengan perjalanan waktu, maka secara umum, terdapat tiga kondisi untuk
nilai-nilai Rt ini. Jika Rt<1, artinya jumlah kasus barunya sudah menurun, puncaknya
pernah tercapai, dan wabah penyakitnya akan segera berhenti (dies out). Sementara
itu, jika Rt>1, artinya jumlah populasi yang terinfeksi (kasus baru) masih meningkat

Halaman: 115 349


(penyakitnya masih menyebar dan bisa jadi belum mencapai puncaknya); kondisi
”epidemik”. Sedangkan jika Rt=1, artinya penyakitnya sudah stabil, tetap, atau
konstan; kasus terinfeksinya sudah ”stabil”, jumlah kasus barunya 1 untuk setiap
orang yang telah terinfeksi sebelumnya, disebut kasus ”endemik”.

Gambar 5.8: Garis Ro & Kurva Rt; α=0.5, β=1/14, N=100, So=99
Rt memiliki arti yang sangat penting di dalam epidemiologi. Bilangan ini memiliki
beberapa fungsi. Di antaranya adalah: (1) sebagai parameter untuk menilai
keberhasilan penanggulangan wabah penyakit; (2) sebagai bahan evaluasi histori
sebaran wabahnya secara alamiah, terutama jika sama sekali belum dilakukan
intervensi; (3) sebagai alat analisis sejauh mana pengaruh intervensinya (jika
memang intervensinya pernah dilakukan); dan (4) sebagai parameter masukan bagi
penyusunan, perencanaan, dan pengambilan keputusan tindakan (intervensi)
berikutnya: bagaimana jika jika Rt>1, Rt=1, dan Rt<1.
Sedemikian pentingnya nilai reproduksi yang aktual ini hingga pemerintah pun
memakainya untuk menghitung (mengestimasi) laju sebaran wabah Covid-19 dalam
perencanaan penerapan new normal117; tatanan kehidupan (normal baru) dengan
mengikuti protokol kesehatan118. Pemerintah mensyaratkan daerah yang akan
menerapkan new normal agar angka reproduksi ini (Rt) di bawah satu (1)119. Maka
dalam kaitan inilah Joko Widodo juga secara tegas menyatakan bahwa penerapan
new normal baru dilaksanakan jika nilai reproduksi aktual ini sudah rendah120.

117
Detil mengenai protokol new normal dapat dilihat pada surat keputusan menteri
kesehatan RI nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang “Panduan Pencegahan dan
Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Tempat Kerja Perkantoran dan
Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi”.
118
Detil mengenai protokol kesehatan dapat dilihat pada surat edaran menteri kesehatan
nomor RI HK.02.01/MENKES/335/2020 tentang “Protokol Pencegahan Penularan Corona
Virus Disease (Covid-19) di Tempat Kerja Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik) dalam
Mendukung Keberlangsungan Usaha”. Atau surat-surat turunannya yang diterbitkan oleh
masing-masing instansi kerja.
119
Lihat pustaka (Detik, 2020).
120
Dicuplik dari pustaka (Tobing, 2020).

Halaman: 116 349


5.5 Epidemik, Endemik, dan Dies Out
Seperti telah disinggung bahwa sesuai dengan nilai reproduksi efektinya, dikenal tiga
kondisi; epidemik, endemik, dan dies-out (wabahnya mulai surut). Hal ini tentu saja
sangat menarik dan dapat diteliti sejak di persamaan diferensialnya; khususnya yang
terkait dengan perubahan atau laju yang terinfeksi dari waktu-ke-waktu (dI/dt).
Kasus Epidemik
Pada kasus epidemik, maka berlaku rumus umum seperti berikut:
dI αS I αS I αS αS S
> 0 ==> t t − βI t > 0, t t > β I t , > β , t > 1, Ro > 1, Rt > 1 (5.5)
dt N N N βN N
Pada awal simulasi, atau di awal merebaknya kasus epidemi atau bahkan pandemi,
t=to=0, S=So, I=Io, dan R=Ro, dimana nilai S sangat mendekati nilai N, pada beberapa
contoh sebelumnya diberikan N=100, Io=1, Ro=0,dan So=99, atau So=N-Io, maka S≈N
(apalagi jika populasinya cukup besar sebagaimana biasanya asumsi pada model
deterministik makin S≈N). Oleh sebab itu, di awal simulasi (t=to=0), persamaan (5.5)
di atas akan menjadi seperti berikut.
N α
Rt = Ro , Ro > 1, Ro > 1, > 1,α > β (5.6)
N β
Seiring dengan perjalanan waktu, maka nilai St akan mengecil hingga nilai St/N pun
mengecil pula secara proporsional. Sebagai ilustrasi, perhatikan gambar 3.7 di atas.
Pada tabel tersebut nampak bahwa pada hari ke 13, S13=50 dan I13=41. Jadi, pada
hari itu masih berlaku Ro=α/β=0.5*14=7. Sedangkan N/S13=100/50=2. Jadi benar
bahwa pada saat itu (hari ke 13) masih terjadi epidemik karena: Ro>N/St, α/β>N/St,
Ro*St/N>1, 7*50/100>1, R13>1, atau pada hari ke-13 masih terjadi Rt>1.
Kasus Endemik
Sementara itu, pada kasus-kasus endemik (stabil atau tidak bertambah meskipun
hanya sesaat di suatu titik tertentu), pada saat mulai It=It+1 atau dI/dt=0 (tidak di
awal simulasi), maka kondisinya pada saat itu menjadi seperti berikut:
S S α N
Rt = Ro t , jikaRo t = 1, maka = ,αS t = β N (5.7)
N N β St
Sebagai ilustrasi tambahan, perhatikan tabel 3.7 di atas. Pada tabel tersebut nampak
bahwa pada hari ke 17 dan 18, jumlah yang terinfeksi telah mencapai maksimum dan
sama besar, sebelum menurun kembali sejak hari ke 19-nya. Pada hari ke 17, S17=15
dan I17=61, sementara pada hari ke-18, S18=11 dan I18=61, sedangkan pada hari ke-
19, S19=7 dan I19=60. Artinya, dI/dt=0 telah tercapai sejak pada hari ke 17 (t17 atau
t=17). Jadi, pada hari itu, masih berlaku Ro=α/β=0.5*14=7. Sedangkan
N/S17=100/15=6.67≈7. Jadi benar bahwa pada saat itu (meskipun sesaat) terjadi
endemik (puncak atau maksimum jumlah populasi yang terinfeksi): Ro≈N/S17,
α/β≈>N/S17, Ro*St/N≈1, atau R17≈1.

Halaman: 117 349


Kasus Die Out (Hilang/Musnah)
Sedangkan pada saat dies out (penyakitnya mulai menghilang), setelah melewati
S α N
puncak, rumusnya menjadi: Rt < 1, Ro t < 1, < ,αS t < β N (5.8)
N β St
Sebagai ilustrasi tambahan, perhatikan tabel 3.7 di atas. Pada tabel tersebut nampak
bahwa pada hari ke 19, S19=7 dan I19=60. Pada hari itu, masih berlaku Ro= α/β
=0.5*14=7. Sedangkan N/S19=100/7≈14. Jadi benar bahwa pada saat itu sudah terjadi
die out: Ro<N/S19, α/β<N/S19, Ro*S19/N<1, 7/14<1, atau R19<1.

5.6 Rt Dengan Kasus-Kasus Baru


Seperti telah disinggung, pada beberapa literatur, didefinisikan pula bahwa bilangan
reproduksi dasar Ro adalah jumlah kasus yang diharapkan terjadi secara rata-rata
dalam populasi yang homogen sebagai akibat dari satu infeksi individual; ketika
populasinya rentan di awal epidemi, sebelum kekebalan mulai menyebar-luas, dan
sebelum upaya apa pun dilakukan pada saat imunisasi121. Berkaitan dengan hal ini,
maka setelah berjalannya waktu, dengan cara sederhana, praktis, dan to the point
berdasarkan keberadaan data aktualnya di lapangan, tersedia formula untuk
menghitung nilai bilangan reproduksi efektif Rt atau Re seperti berikut:

Rt = Kt/Kt-1 (5.9)
Keterangan:
a) Kt adalah jumlah (terinfeksi) kasus baru atau harian (new cases) pada saat
(hari) ini.
b) Kt-1 adalah jumlah (terinfeksi) kasus baru atau harian sehari sebelumnya
(kemarin).
c) Pada umumnya, data kasus harian untuk Covid-19 sudah tersedia di
beberapa website.
Pada suatu kasus, sebagai misal, pada hari ke-1 (t=1), terdapat 1 kasus dan pada hari
ke-2-nya (t=2) terdapat 2 kasus, sedangkan pada hari ke=3-nya (t=3) terdapat 6
kasus, maka nilai R1=2/1=2 dan R2=6/2=3. Dengan demikian, nilai Rt bersifat dinamis;
setiap perioda waktu (harian) bisa berbeda. Adalah hampir mustahil terjadi dimana
nilai Rt (atau Re) terus sama di sepanjang sumbu waktu sebagaimana pada gambar
5.1 di atas; 1, 2, 4, 8, 16 dan seterusnya hingga nilainya konstan Rt=2. Biasanya, di
dunia nyata, akan ada saja kondisi atau mekanisme yang membuat nilai-nilai Rt
bersifat dinamis.

121
Definisi ini diambil dari pustaka (Aronson, 2020).

Halaman: 118 349


BAB 6: TITIK-TITIK
KESETIMBANGAN
Pada konteks epidemiologi, biasanya, ”kesetimbangan” diartikan sebagai kondisi
dimana (arah kurva) modelnya sudah dianggap tetap atau tidak berubah lagi arahnya
(di ketinggian kontan tertentu) meskipun waktunya masih berjalan. Konsekuensinya
adalah, turunan pertama atau rate (laju) fungsinya terhadap waktu sama dengan nol;
fungsinya konstan. Pada kondisi ini, terdapat dua (2) kesetimbangan yang menjadi
bahasan; yaitu, titik kesetimbangan bebas penyakit (DFE122) dan titik kesetimbangan
endemik (EEP123). Yang pertama adalah titik kesetimbangan dimana pada kondisi
tersebut tidak ada lagi (I=0 dan dI/dt=0) orang yang sakit (terinfeksi); penyakitnya
benar-benar berhenti menyebar. Sedangkan yang kedua adalah kondisi dimana
penyakitnya tinggal atau menetap secara lokal (I≠0 dan dI/dt=0) bersama dengan
populasinya; akan selalu ada saja individu yang terinfeksi oleh penyakitnya.
Pada titik kesetimbangan bebas penyakit, secara umum, berlaku:
dS dI dR
= = = 0 ..... (6.1) dan I = 0 ..... (6.2).
dt dt dt
Matriks Jacob-nya, secara umum, dituliskan dalam bentuk seperti berikut:
 dF1 dF1 dF1 
 dS dI dR 
 dF dF2 dF2 
J = 2  .....(6.3)
 dS dI dR 
 dF3 dF3 dF3 
 dS dI dR 
Model SIR dengan Dinamika Penduduk
Berikut ini adalah contoh tahapan penurunan titik-titik kesetimbangan untuk model
epidemik dengan dinamika penduduk sebagaimana telah dibahas pada sub-bab
2.10. Pada model ini, persamaan diferensialnya dituliskan sebagai berikut:
dS αSI dI αSI dR
F1 = = LN − MS − , F2 = = − βI − MI , F3 = = βI − MR
dt N dt N dt

122
Disease free equilibrium; semua nilai eigen matriks Jacob-nya memiliki nilai real negatif;
kurva (grafiknya) turun terus dan mendekati (asimtot) 0 (nol) atau konstanta tertentu.
123
Endemic equilibrium point.

Halaman: 119 349


dS
Pada kondisi DFE, untuk memenuhi persamaan (6.1), F1 = = 0 hingga kemudian
dt
LN
didapatkan rumus untuk S seperti berikut: S = . Tetapi karena persamaan
αI
(M + )
N
LN
(6.2) juga harus dipenuhi, maka rumusnya menjadi S = . Sementara itu, untuk
M
dR
juga memenuhi persamaan (6.1), maka F3 = =0 hingga didapatkan
dt
βI
rumus R = . Tetapi karena juga harus memenuhi persamaan (6.2) di atas (I=0),
M
maka akhirnya R=0. Dengan demikian, terbentuklah ”koordinat” titik kesetimbangan
LN
bebas penyakit124 di Eo ( S , I , R) = ( ,0,0) untuk kasus model ini. Meskipun
M
demikian, untuk kasus dimana besar angka kematiannya diasumsikan sama dengan
angka kelahirannya (L≈M), maka koordinat titik keseimbangannya berubah menjadi
Eo ( S , I , R ) = ( N ,0,0) .
Sedangkan pada EEP, dimana I≠0125, untuk memenuhi persamaan (6.1) di atas,
dI N (β + M )
maka F2 = = 0 hingga didapatkan S = . Tetapi dengan memasukkan
dt α
α
nilai Ro = (bahasan pada sub-bab 5.3.2 di atas sesuai dengan model SIR
(β + M )
N
dengan dinamika penduduk yang digunakannya), maka akan didapatkan S = .
Ro
Sementara itu, untuk mendapatkan rumus I-nya, digunakan persamaan (6.1)
dS ( LN − MS ) N LN 2 MN
F1 = = 0 hingga didapatkan I = = − . Selanjutnya, dengan
dt αS αS α
mensubstitusikan rumusan variabel S di atas, akan didapatkan formula
L M αL − M ( β + M )
I = N( − )=N . Setelah itu, dengan mengasumsikan
β +M α α (β + M )
bahwa angka kelahiran sama dengan angka kematiannya (L≈M), maka didapatkan
αM − M ( β + M ) M {α − ( β + M )} M α − (β + M )
I=N =N =N { } . Maka dengan
α (β + M ) α (β + M ) α (β + M )
M
menyederhanakan notasi C1 = dan melibatkan Ro, didapatkan I = NC1 ( Ro − 1) .
α
Kemudian, untuk mendapatkan R (yang sembuh), digunakanlah persamaan (6.1)
dR βI
F3 = = 0 hingga diperoleh R = . Dengan mensubstitusikan nilai I, maka akan
dt M
β LN βN
didapatkan rumusan R = − . Dengan mengasumsi-kan bahwa angka
M (β + M ) α

124
Titik Eo ini disebut sebagai kesetimbangan bebas penyakit (DFE) karena nilai-nilai
komponen I dan R-nya sama dengan nol; I=0 dan R=0.
125
Persamaan (6.2) tidak diberlakukan pada saat EEP.

Halaman: 120 349


kelahiran dan angka kematiannya yang sama besar (L≈M), maka diperoleh rumusan
βN βN β β
R= − = N{ − }.
(β + M ) α β +M α
β {α − ( β + M )} β α − (β + M ) β
Atau, R = N { }= N { } . Dengan menotasikan C 2 =
α (β + M ) α (β + M ) α
dan juga melibatkan Ro, maka didapatkan R = NC 2 ( Ro − 1) .
Dengan demikian, akhirnya, terbentuklah koordinat titik kesetimbangan endemik
untuk kasus model SIR dengan dinamika penduduk di ”koordinat” berikut:
N
E * ( S , I , R) = { , NC1 ( Ro − 1), NC 2 ( Ro − 1)} .
Ro
Dengan mempertimbangkan persamaan diferensial model ini, maka matriks Jacob-
nya (persamaan 6.3 di atas) menjadi seperti berikut:
 αI αS 
− (M + N ) −
N
0 
 αI αS 
J = ( −β −M) 0  . Pada kondisi DFE atau Eo(LN/M, 0, 0), atau
 N N 
 0 β −M
 
S=LN/M, I=0, R=0, maka matriks Jacob ini menjadi seperti berikut126:
 αL
− M M
−0 
− M −α 0 
 αL 
J = 0 ( −β −M) 0  , atau J =  0 (α − β − M ) 0  untuk (L≈M).
 M   0
 0 β −M β − M 
 

sementara matriks karakteristiknya menjadi:


 αL 
− M − λ M
−  0
 αL 
J − λI =  0 ( − β − M − λ) 0  = 0 . Atau, untuk (L≈M), maka akan
 M 
 0 β − M − λ
 
− M − λ −α 0 

didapatkan J − λI =  0 (α − β − M − λ ) 0  = 0
 0 β − M − λ 

Dengan demikian, determinan matriks (J-λI)=0 adalah (M+λ)2(αL/M-β-M-λ)=0 hingga


αL
didapatkan akar-akar karakteristiknya127: λ1 = − M , λ2 = − β − M , λ3 = − M . Atau,
M

126
Gantikan variabel-variabel S, I, dan R dengan koordinat S, I, dan R pada saat DFE.

Halaman: 121 349


dengan asumsi seperti di atas (L≈M), maka determinan matriks (J-λI)=0 adalah
(M+λ)2(α-β-M-λ)=0 hingga akhirnya akan didapatkan akar-akar karakteristiknya128:
λ1 = − M , λ2 = α − β − M , λ3 = − M .
Dengan memperhatikan matriks Jacob di atas, pada titik kesetimbangan endemik
N (β + M ) LN MN βLN βN
E*(SIR): S = ,I = ( − ), R = ( − ) , maka matriks J
α β +M α M (β + M ) α
tersebut menjadi seperti berikut.
 αL 
 − β +M − (β + M ) 0 
 
αL
J = −M 0 0  , atau dengan asumsi (L≈M) menjadi
β + M 
 0 β −M
 
 
 − MRo − (β + M ) 0 

J =  M ( Ro − 1) 0 0 
 0 β − M 

dan matriks (J-λI)=0 nya menjadi seperti berikut:


 αL 
− β + M − λ − ( β + M ) 0 
 
 αL
J − λI = −M −λ 0  = 0 . Atau dengan asumsi (L≈M)
 β +M 
 0 β − M − λ
 
 
− MRo − λ − ( β + M ) 0 

menjadi J − λI =  M ( Ro − 1) −λ 0  = 0
 0 β − M − λ 

Dengan demikian, determinan matriks (J-λI)=0 adalah (-M-λ)(-MRo- λ)(0-λ)=0. Atau


dengan asumsi (L≈M), maka akan atkan akar-akar karakteristiknya129:
λ1 = − M , λ2 = . − MRo , λ3 = 0 .
Model Tervaksinasi
Sebagai pembanding, berikut adalah tahapan penurunan titik-titik kesetimbangan
untuk salah satu model yang tervaksinasi sebagaimana telah dibahas pada sub-bab
2.13 di atas. Pada model ini, persamaan diferensialnya dituliskan sebagai berikut:

127
Salinan rumus determinan untuk matriks 2x2 dan 3x3 dapat dilihat pada lembaran
lampiran II.
128
Salinan rumus determinan untuk matriks 2x2 dan 3x3 dapat dilihat pada lembaran
lampiran II.
129
Salinan rumus determinan untuk matriks 2x2 dan 3x3 dapat dilihat pada lembaran
lampiran II.

Halaman: 122 349


dS αSI
F1 = = LN − MS − − vS
dt N
dI αSI dR
F2 = = − βI − MI , F3 = = βI + vS − MR
dt N dt
dS
Pada kondisi DFE, dengan memenuhi persamaan (6.1) F1 = = 0 , akan diperoleh
dt
LN
S= . Tetapi karena persamaan (6.2) di atas (I=0) juga harus dipenuhi,
αI
(M + v + )
N
LN
maka diperoleh rumus S = . Tetapi dengan asumsi bahwa L≈M, maka akan
M +v
NM
didapatkan S = . Sementara itu, karena juga harus memenuhi persamaan
M +v
dR βI + vS
(6.1) F3 = = 0 , maka akan didapatkan rumus R = . Tetapi karena juga
dt M
vS
harus memenuhi persamaan (6.2) di atas (I=0), maka akhirnya R = , atau dengan
M
Nv
memasukkan rumus S di atas diperoleh R = . Dengan demikian, terbentuklah
M +v
MN vN
”koordinat” titik kesetimbangan bebas penyakit130 di Eo ( S , I , R ) = ( ,0, )
M +v M +v
1
untuk kasus model epidemik ini. Atau, dengan menotasikan K1 = , maka
( M + v)
didapat: Eo ( S , I , R) = ( NMK 1 ,0, NvK1 )
Sedangkan pada EEP, dimana I≠0131, untuk memenuhi persamaan (6.1) di atas,
dI N (β + M ) N
maka F2 = = 0 hingga didapatkan S = , atau S = (perhatikan juga
dt α Ro
bahasan sub-bab 5.3.2 untuki model yang tervaksinasi). Sementara itu untuk
dS
mendapatkan I-nya, digunakan persamaan (6.1) F1 = = 0 hingga didapatkan
dt
( LN − MS − vS ) N N LN − MS − vS ) N LN
I= = ( )= { − M − v} .
αS α S α S
N αL α
Atau, I = { − M − v} , untuk (L≈M) dan Ro = , maka
α (β + M ) β +M
N αM M M v M
I= { − M − v} = N {Ro − − } = N {Ro C1 − C1 − C3 ) , dimana C1 =
α (β + M ) α α α α
v
dan C3 = .
α

130
Titik Eo ini disebut sebagai kesetimbangan bebas penyakit (DFE) karena nilai-nilai
komponen I dan R-nya sama dengan nol; I=0 dan R=0.
131
Persamaan (6.2) tidak diberlakukan pada saat EEP.

Halaman: 123 349


dR
Kemudian, untuk mendapatkan R, digunakan persamaan (6.1) F3 = = 0 hingga
dt
βI + vS
didapatkan R = . Maka dengan memasukkan (substitusi) rumus S dan I yang
M
telah didapatkan sebelumnya, akan diperoleh rumus sebagai berikut:
M M v N
βN ( Ro − − ) + v( )
α α α Ro β β v β v N
R= = N ( Ro − − )+
M α α M α M Ro
C4
R = N ( Ro C 2 − C2 − C2C 4 ) + NC 4 / Ro = N {Ro C2 − C 2 − C 2C4 + },
Ro
β v
dimana C 2 = (seperti di atas) dan C 4 = .
α M
Dengan demikian, terbentuklah koordinat titik kesetimbangan endemik untuk kasus
model epidemik ini di:
N C
E * ( S , I , R) = { , N ( Ro C1 − C1 − C3 ), N ( Ro C 2 − C 2 − C 2 C 4 + 4 )} .
Ro Ro
Dengan mempertimbangkan persamaan diferensial model ini, maka matriks Jacob-
nya (persamaan 6.3 di atas) menjadi seperti berikut:
 αI αS 
− ( M + N + v) −( )
N
0 
 αI αS  LN
J = ( ) ( −β −M) 0  . Pada kondisi DFE atau Eo( , 0,
 N N  M +v
 v β −M
 
LN
0), atau S = , I=0, R=0, maka matriks Jacob ini menjadi seperti berikut132:
M +v
 αL   αM 
− ( M + v) −
M +v
0  − ( M + v) −
M +v
0 
 αL   αM 
J = 0 ( −β −M) 0 = 0 ( −β −M) 0 
 M +v   M +v 
 v β −M  v β −M
   

untuk (L≈M). Sementara itu matriks karakteristiknya menjadi:


 αL 
( − M − v − λ ) M +v
0 
 αL 
J − λI =  0 ( − β − M − λ) 0  = 0 . Atau, untuk (L≈M)
 M +v 
 v β − M − λ
 

132
Gantikan variabel-variabel S, I, dan R dengan koordinat S, I, dan R pada saat DFE.

Halaman: 124 349


 αM 
( − M − v − λ ) M +v
0 
 αM 
J − λI =  0 ( − β − M − λ) 0 =0
 M +v 
 v β − M − λ
 

Dengan demikian, didapatkan determinan133 (J=λI)=0=perkalian elemen-elemen


αL
diagonal utamanya λ1 = −( M + v), λ2 = − β − M , λ3 = − M , atau
M +v
αM
λ1 = −( M + v), λ2 = − β − M , λ3 = − M untuk L≈M.
M +v
Dengan memperhatikan matriks Jacob di atas, pada134 titik kesetimbangan endemik
N ( β + M ) LN MN vN β N L M v
E * ( S , I , R) = ( , − − , ( − − ) , maka matriks J
α β +M α α M β +M α α
tersebut menjadi seperti berikut.
 αL   αM 
− β + M − (β + M ) 0  − − (β + M ) 0 
β +M
   
αI αS αI αS
J = ( ) ( −β −M) 0 ≈ ( ) ( −β −M) 0  , (L≈M)
 N N   N N 
 v β −M  v β −M
   
   
dan matriks (J-λI)=0 nya menjadi seperti berikut:
 αL αL 
 − β +M −λ M−
β +M
+v 0 
 
αL
J − λI =  −M −v −λ 0  = 0 . Dengan demikian,
β + M 
 v β − M − λ
 
 
αL
akhirnya didapatkan λ1 = − = − Ro L, λ2 = 0, λ3 = − M
β +M
αM
atau λ1 = − = − Ro M , λ2 = 0, λ3 = − M untuk L≈M.
β +M
Model SIR Dasar
Sebagai tambahan, berikut adalah contoh penurunan titik-titik kesetimbangan untuk
model epidemik dasar (tanpa konstanta-konstanta laju kelahiran [L] dan kematian
[M]) sebagaimana dibahas pada sub-bab 2.3. Pada model epidemik ini, persamaan
diferensialnya dapat dituliskan sebagai berikut:

133
Perhatikan salinan rumus determinan pada lembaran lampiran II.
134
Ganti variabel-variabel S,I,R pada matriks J dengan variabel-variabel S,I,R pada saat
kesetimbangan endemik.

Halaman: 125 349


dS αSI dI αSI dR
F1 = =− , F2 = = − β I , F3 = = βI
dt N dt N dt
dS
Pada kondisi DFE, karena memenuhi persamaan (6.1) F1 = = 0 , maka didapatkan
dt
S=0. Karena persamaan (6.2) juga harus dipenuhi, maka tetap S=0. Sementara itu,
dR
untuk memenuhi persamaan (6.1) F3 = = 0 , didapatkan rumus βI=0 hingga R=0.
dt
Karena juga harus memenuhi persamaan (6.2) di atas (I=0), maka tetap R=0. Dengan
demikian, terbentuklah titik kesetimbangan bebas penyakit135 untuk kasus model
epidemik SIR dasar ini di titik Eo ( S , I , R) = (0,0,0) .
Sedangkan pada kondisi EEP-nya, dimana I≠0136, untuk memenuhi persamaan (6.1),
dI Nβ
maka F2 = = 0 hingga didapatkan S = . Tetapi mengingat pada model SIR
dt α
α
dasar juga berlaku Ro = (perhatikan bahasan mengenai model-model SIR dan SIRS
β
N
dasar pada sub-bab 5.3.2 di atas), maka S = . Sementara itu, untuk mendapatkan
Ro
dS 0( N )
I-nya, digunakan persamaan (6.1) F1 = = 0 hingga didapatkan I = ≈ 0.
dt αS
Selanjutnya, dengan memasukkan variabel S yang terakhir, tetap didapatkan
0( N ) 0
I= ≈ ≈ 0 . Kemudian, untuk mendapatkan R, digunakan persamaan (6.1)
Nβ β
α
α
dR
F3 = = 0 hingga didapatkan R=0. Dengan mensubstitusikan I aktual, maka juga
dt
didapatkan R=0. Dengan demikian, terbentuklah koordinat titik kesetimbangan
endemik untuk model epidemik SIR dasar sebagai berikut:
Nβ N
E * ( S , I , R) = ( ,0,0) , atau E * ( S , I , R ) = ( ,0,0) .
α Ro
Dengan mempertimbangkan persamaan diferensial model ini, maka matriks Jacob-
nya (persamaan 6.3 di atas) menjadi seperti berikut:
 αI αS 
− N −
N
0
 αI αS 
J = − β 0 . Pada kondisi DFE atau Eo(0, 0, 0), atau S=0, I=0, R=0, maka
 N N 
 0 β 0
 
matriks Jacob ini menjadi seperti berikut137:

135
Titik Eo ini disebut sebagai kesetimbangan bebas penyakit (DFE) karena nilai-nilai
komponen I dan R-nya sama dengan nol; I=0 dan R=0.
136
Persamaan (6.2) tidak diberlakukan pada saat EEP.
137
Gantikan variabel-variabel S, I, dan R dengan koordinat S, I, dan R pada saat DFE.

Halaman: 126 349


0 0 0
J = 0 − β 0 , sementara itu matriks karakteristiknya menjadi:
0 β 0

− λ 0 0 
J − λI =  0 −β −λ 0  = 0 . Dengan demikian akan didapatkan determinan138
 0 β − λ 
3 2 2
(J-λI)=0=λ -βλ =λ (λ-β)= (λ-0) (λ-0) (λ-β) λ1 = 0, λ2 = − β , λ3 = 0 .
Dengan memperhatikan matriks Jacob di atas, pada139 titik kesetimbangan endemik
Nβ N
E * ( S , I , R) = ( ,0,0) atau E * ( S , I , R ) = ( ,0,0) , maka matriks J tersebut menjadi
α Ro
seperti berikut.
0 − β 0 − λ − β 0 
J = 0 0 
0 . J − λI =  0 − λ 0  = 0 . Dengan demikian, akhirnya didapat
0 β 0  0 β − λ 
140
determinan (J- λI)=0=-λ 3
λ1 = 0, λ2 = 0, λ3 = 0 .
DFE & EEP Model yang Lain
Uraian di atas, sebagai contoh, telah membahas bagaimana penurunan titik-titik
kesetimbangan bebas penyakit (DFE) dan endemik (EEP) untuk 3 model epidemik
saja. Harapannya, dengan menyimaknya secara cermat, dan dengan menggunakan
analogi yang sama, pembaca dapat menurunkan sendiri titik-titik tersebut untuk
model-model yang lain.
Seperti telah diuraikan bahwa makin banyak konstanta/koefisien laju yang dilibatkan
pada modelnya (sebagai misal adalah angka kelahiran atau L, angka kematian atau
M, dan faktor vaksinasi atau v), maka semakin rumit pula analisis (hitungan simbolik)
variabel-variabel (elemen-elemen) di dalam matriksnya. Jika tidak teliti, bisa jadi,
sebagian dari elemennya tidak tertuliskan dengan benar.
Untuk matriks yang berdimensi dua (2), analisanya cukup mudah (dilakukan secara
manual-visual). Tetapi untuk matriks-matriks yang berdimensi 3, 4, dan seterusnya,
apalagi dengan melibatkan banyak konstanta laju, maka cara analisa manual-visual
seperti ini tentu saja tidak memadai. Otak manusia memiliki keterbatasan memori
dan sering menderita kelelahan. Oleh sebab itu diperlukan software tool yang
mampu memproses elemen-elemen matriks tersebut secara simbolik (dan juga
dengan tampilan yang baik).
Seperti telah dibahas, model yang sederhana (sedikit melibatkan konstanta laju),
seperti halnya pada kasus SIR dasar (sub-bab 2.3), akan membentuk matriks Jacob (J)
yang sederhana pula; banyak elemennya yang bernilai nol. Hal ini berakibat pada

138
Salinan rumus determinan matriks 2x2 dan 3x3 ada pada lembaran lampiran II.
139
Ganti variabel-variabel S,I,R pada matriks J dengan variabel-variabel S,I,R pada saat
kesetimbangan endemik.
140
Salinan rumus determinan matriks 2x2 dan 3x3 ada pada lembaran lampiran II.

Halaman: 127 349


mayoritas komponen S, I, dan R-nya juga yang bernilai nol. Demikian pula halnya
dengan elemen-elemen matriks dan nilai-nilai eigen dari persamaan karakteristiknya;
mayoritas nol (0). Oleh sebab itu, cukup dimengerti jika sebagian dari perancang
menyisipkan beberapa konstanta laju pada modelnya sebagai tambahan agar lebih
representatif dan hitungannya nampak lebih ”wajar”.

Halaman: 128 349


BAB 7: MODEL & DATA
EPIDEMIK
Pada bab-bab sebelumnya telah dibahas beberapa model epidemik, deterministik,
dan stokastik untuk memprediksikan perjalanan wabah penyakit. Prediksi tersebut
mencakup jumlah-jumlah individu yang rentan, terekspos (mengalami inkubasi),
terinfeksi (sakit atau kasus aktif), sembuh (kebal), dan/atau yang meninggal dunia
(mati) dari waktu-ke-waktu. Karena modelnya deterministik, maka kurvanya ”mulus”
dan enak dilihat. Sementara itu, model stokastik memiliki detil yang bersifat acak (di
sekitar pola umum deterministiknya) hingga bentuk kurvanya tidak mulus. Detil-detil
acak inilah yang membedakan keduanya.
Berbeda dengan model-modelnya, data (lapangan/nyata) epidemik sering nampak
”tidak ideal”; tampilan kurva-kurvanya ”tidak semulus” model deterministiknya.
Artinya, terutama dalam jangka panjang, biasanya, ada saja perbedaan (gap) atau
penyimpangan yang signifikan antara data wabah penyakit (yang teramati di
lapangan) dengan hasil prediksinya (kurva mulus deterministik). Selain itu, karena
hambatan tertentu, item data yang teramati di lapangan dan kemudian
dipublikasikan untuk umum sering kali lebih sederhana dari pada apa yang
sebenarnya dapat diberikan oleh asumsi model/prediksinya. Sebagai misal, pada
model tertentu, dengan mudah dapat diasumsikan adanya kelompok-kelompok
individu-individu yang rentan (S), terekspos (E), terinfeksi (I) atau kasus aktif, dan
sudah kebal (R atau sembuh dan mati) secara alami, sedangkan pada kenyataannya,
khususnya pada contoh kasus Covid-19, item datanya relatif sederhana (kurang dari
itu).
Pada kenyataannya, adalah tidak mudah untuk mengidentifikasi (mengamati) mana
saja individu-individu yang sebenarnya sedang rentan (S), terekspos (E), terinfeksi (I)
atau kasus aktif, dan mana pula yang sudah kebal (R/D) secara alamiah. Untuk
mengidentifikasi itu semua diperlukan (metode dan alat) pemeriksaan yang akurat,
kesadaran dan kesediaan masyarakat untuk diperiksa, dan juga jumlah tenaga medis,
fasilitas pendukung kesehatan, biaya, ketekunan (kesabaran), dan waktu yang cukup.
Ironisnya, pada kebanyakan kasus, jumlah individu (siapa saja) yang rentan (S)
diasumsikan (dengan pendekatan jumlah populasi di area atau wilayah yang
bersangkutan141), jumlah yang mati/sembuh/kebal (D/R) cenderung lebih akurat
/mudah didapatkan (sesuai laporan), sementara yang terekspos (E) & yang terinfeksi
(I) akan bergantung pada jumlah sampel yang hadir (datang) berikut metode
pemeriksaannya. Selain dari itu, karena satu dan lain hal, terkadang, sebagian data
yang dilaporkan menunjukkan telah terjadinya keterlambatan (dibahas pada sub-bab
9.6 di bawah); wabahnya sudah berlangsung sekian hari sebelum teridentifikasi dan
141
Meskipun nilainya memang tidak harus sama persis dengan jumlah populasi
penduduknya.

Halaman: 129 349


kemudian tercatat datanya. Hal ini dapat terlihat dari laporan jumlah korban (kasus)
pertamanya (atau juga berdasarkan kasus aktif yang pertamanya) yang biasanya
tidak dimulai dari 1 (infeksi primer) sebagaimana nilai default (asumsi) model
epidemik deterministiknya (rentan=maksimum-1, sakit=1, dan kebal=0). Oleh sebab
itu, adalah hal yang wajar saja jika sebagian dari data epidemik yang terpublikasikan
secara gratis untuk khalayak mengalami ”kehilangan” di periode awalnya.
Sehubungan dengan pentingnya hal ini, maka pada bab ini dibahas analisa terhadap
beberapa contoh data epidemik yang tersedia. Pada dasarnya, meskipun berbasis
hitungan dengan masukan data epidemik, sebagian dari analisa ini juga mencakup
(proses) ”pencocokkan” (memilih) model epidemik deterministik yang paling ”dekat”
(fitting) dengan datanya. Jadi, bahasan bab ini merupakan ”kebalikan” dari bahasan
bab-bab sebelumnya; yaitu, membentuk atau memilih alternatif model epidemik
(deterministik) berdasarkan (analisa pendekatan) datanya.
Sebenarnya, tidak mudah untuk memetakan data epidemik ke suatu model; tidak
mudah memilih (mengasumsikan) model epidemik deterministik yang benar-benar
sesuai (fit) bagi data (riwayat) penyakit menular. Apalagi jika wabahnya belum
berakhir (on going), datanya merupakan rekaman jangka panjang, sajian datanya
terlalu sederhana (item datanya minimalis), dan sebaran penyakitnya sangat
dipengaruhi (dominan) oleh prilaku (pola pergerakan, pergaulannya, intensitas
interaksi sosial, pelanggaran protokol kesehatan) manusianya (secara lokal),
meskipun juga didukung oleh sifat/karakter (varian virus) penyakit beserta faktor-
faktor pendukung lainnya142. Inilah yang menyebabkan banyak pemodelan (biologi,
epidemik, dan/atau matematis) dan prediksi (hasil-hasil penelitian) belum berhasil
merepresentasikannya dengan baik dan akurat (lebih banyak menyimpangnya dalam
jangka menengah dan panjang).
Fenomena yang masih berlangsung tentu saja memiliki beberapa kemungkinan; bisa
meningkat, menurun, konstan (untuk sementara), sejauh mana peningkatan atau
penurunnya, dan bagaimana bentuk pola kurva sisanya. Jadi, berdasarkan fakta ini,
hasil prediksi/model memang tidak pasti dan berpotensi untuk berbeda dengan
kenyataannya. Inilah kelemahan umum hasil-hasil prediksi/ramalan/pemodelan
(ekstra-polasi). Meskipun demikian, memang, berdasarkan catatan (data) di suatu
area selama periode waktu tertentu, siapa pun boleh saja berinisiatif, berdasarkan
penilaian pada bentuk kurva-kurva datanya, untuk memilihkan model epidemik
deterministik yang diasumsikan ”mendasari” fenomenanya (wabah penyakitnya).

7.1 Data Sederhana


Sebagai misal, pada suatu lembaga pendidikan yang berasrama, terdapat 350 siswa.
Ketika masa liburan telah usai dan akhirnya semua siswanya sudah kembali (tiba) ke
asrama, pada awalnya (t=to), didapati seorang (1) siswa yang sakit atau terinfeksi (Io)
suatu penyakit menular. Sementara itu, siswa-siswa sisanya (349), dianggap rentan

142
Sebagian orang yang masih menderita penyakit bawaan tertentu (seperti halnya penyakit
jantung, paru-paru, sesak nafas/asma, dan lain sejenisnya) dan juga berstatus lansia, ketika
terinfeksi Covid-19, berpotensi untuk mengalami penderitaan yang lebih parah dari pada
yang lain; bahkan sebagian dapat menimbulkan resiko meninggal dunia.

Halaman: 130 349


(So) terhadap penyakit tersebut. Akhirnya, karena dirasakan sangat penting, maka
perkembangan penyakit menular (yang menderita sakit atau kasus aktif) ini terus
dipantau setiap hari, dan rekaman datanya (periode pendek) dinyatakan dalam
bentuk tabel seperti berikut (tabel 7.1).
Tabel 7.1: Perkembangan Jumlah (Kasus) Siswa yang Sakit (Kasus Aktif)

Gambar 7.1: Kurva Jumlah Siswa yang Sakit (Kasus Aktif)


7.1.1 Model Kurva-Kurva Gauss
Berdasarkan bentuk kurva datanya (gambar 7.1), pihak perancang model boleh saja
menganggapnya mirip dengan kurva-kurva fungsi gauss. Oleh sebab itu, ia bisa saja
menggunakan salah satu (rumus) gauss peak function G(x) seperti berikut sebagai
pendekatan untuk memprediksikan (memproyeksikan/memetakan) kecenderungan
pertumbuhan penyakit menularnya.
x− p−q 2
G ( x) = Yo + A * Exp(− Ln(2) * ( ) ) ... (7.1a)
l
dimana: Yo adalah nilai Y terendah (offset), jika kurva gauss-nya dimulai dari sumbu x
(default), maka Yo=0; A adalah amplitudo kurva gauss-nya (puncak kurva atau nilai
data yang tertinggi); x (sumbu x) adalah waktu pengamatan (dalam hal ini adalah 0

Halaman: 131 349


hingga 30 dengan satuan hari); p adalah fwhm143 ([urutan] waktu dimana datanya
mencapai nilai puncak kurva); q adalah faktor pergeseran (offset horizontal) kurva
(nilai default-nya144=0, +1 untuk menggeser kurva ke kanan 1 hari, -1 untuk
menggeser kurva ke kiri satu hari, dan seterusnya); dan l (width) adalah setengah
lebar dari kurva gauss-nya (fwhm/2)145.
Berdasarkan rumus (7.1a) di atas, maka pengolahan datanya (dengan menggunakan
contoh baris-baris kode seperti pada Lampiran 1 L.28a ”Gaussian Peak Function”)
akan menghasilkan tabel dan grafik seperti berikut:

Gambar 7.2: Kurva-Kurva Gauss & Data (Kasus Aktif)

143
Full width at at half maximum.
144
Nilai parameter ini secara default adalah nol; hanya optional saja. Parameter ini bisa saja
tidak dilibatkan sama sekali. Jadi, nilai q yang paling “pas” akan ditentukan setelah
perancang melihat tampilan kurva gauss-nya (dengan terlebih dahulu menggunakan nilai
q=0). Nilai q tidak harus bilangan bulat meskipun sebaiknya merupakan bilangan bulat.
145
Half width at half maximum. Untuk memperlebar bentuk kurva, besarkan nilai l-nya,
misalkan jadi l=width=fwhm/0.5 (makin besar nilai width, makin lebar bentuk kurvanya);
meskipun nilai default-nya adalah l=width=fwhm/2, atur-aturlah nilai width ini sesuai
sebaran datanya.

Halaman: 132 349


Gambar 7.3a: Kurva Gauss, q=3.5
Tabel 7.2: Perkembangan Siswa Data & Prediksi Kurva Gauss

Berdasarkan kedekatannya dengan bentuk kurva data di atas, maka rumusan (solusi)
gaussian peak function yang dianggap paling sesuai (dekat) untuk kasus ini adalah:
x − 14 − 3.5 2
G ( x) = 322 * Exp (− Ln(2) * ( ) )
7
Sebagai tambahan, target pemodelan (solusi lain), kita juga dapat menggunakan
fungsi Gauss lain yang sejenis dengan persamaan seperti berikut:

Halaman: 133 349


( x −µ )2
(− ) (x − µ )2
Y = F ( x) = Yo + A.e 2σ 2
= Yo + A.Exp ( − ) ... (7.1b)
2σ 2
Dimana Yo adalah offset sumbu Y, default-nya 0; A adalah tinggi puncak kurva (nilai
maksimum atau amplitudo); x adalah sumbu waktu (dari 0 hingga jumlah data-1); μ
adalah waktu (urutan hari ke) dimana tercapai nilai puncak kurva; dan σ adalah
deviasi standar waktu (fwhm/2). Jika rumus di atas (7.1b) dimasukkan ke dalam
contoh baris kode pada lampiran 1 L.28b (”Gaussian Peak Function”) dan kemudian
dieksekusi, maka akan nampak kurva-kurva seperti berikut.
( x − 17) 2
Y = 322.Exp(− )
2(5.5) 2

Gambar 7.3b: Kurva-Kurva Gauss, Plus Offset-nya


Meskipun demikian, jika pengguna masih penasaran dengan fungsi gauss dengan
tipe yang lain, maka fungsi-fungsi berikut juga dapat digunakan:
A A (x − µ)2
.e ( − ( x − µ )
2
/ 2 w2 )
Y = F ( x) = = . exp(− ) ... (7.1c)
w π /2 w π /2 2w 2
dimana: A adalah luas kurva gauss, w lebar (width) kurva (0.5 fwhm), μ waktu (hari
ke) ketika kurvanya mencapai puncak (cenderung di tengah).
1 1 (x − µ )2
.e ( − ( x − µ ) / 2σ ) =
2 2
Y = F ( x) = exp(− ) ... (7.1d)
σ 2π σ 2π 2σ 2
dimana σ standar deviasi atau fwhm/2, μ adalah waktu (hari ke) ketika kurvanya
mencapai puncak (cenderung di tengah), dan π=3.14.
Untuk mendapatkan best fit secara otomatis (tanpa perlu pertimbangan
secara visual), pada baris-baris kodenya perlu dilibatkan fungsi-fungsi
kuadrat terkecil (akar kuadrat selisih antara ukuran dengan nilai yang
dianggap benarnya minimum) & smoothing. Meskipun demikian, tentu
saja, fungsi-fungsi gauss seperti di atas tidak digunakan untuk memodelkan
penyakit (kasus aktif) yang wabahnya belum mencapai puncaknya (peak);
perhatikan detil rumusnya.

Halaman: 134 349


7.1.2 Model Persamaan Kuadrat
Berdasarkan tampilannya, pihak perancang boleh juga menafsirkan bahwa bentuk
kurva data di atas (gambar 7.1) mirip dengan geometri fungsi parabola. Oleh sebab
itu, ia boleh saja menggunakan fungsi kuadrat (rumus 7.2) untuk memprediksikan
karakter kecenderungan pertumbuhan penyakit menularnya.
F ( x) = y = ax 2 + bx + c ... (7.2)
dimana: a, b, dan c merupakan koefisien persamaan kadrat.
Dengan hanya melibatkan 5 baris persamaan kuadrat sebagai wakil, maka akan
didapatkan persamaan matriks sebagai berikut:
Y1   X 12 X 1 1 1  0 0 1
Y   2  4  1 1 a 
 2  X2 X 2 1  a     1
Y3  =  X 32   1.b 
X 3 1.b  ==> Y = A. X (7.3). Atau,  9  =  4 2
       
 ...   ... ... 1  c   ...   ... ... 1  c 
Yn   X n2 X n 1 49 900 30 1

Dengan menggunakan rumus 7.2 sebagai dasar, dan data tabel di atas (tabel 7.1),
hari sebagai X dan jumlah siswa yang sakit sebagai Y atau F(X), maka nilai-nilai
parameter/koefisien (matriks X) di atas dapat dihitung dengan menggunakan rumus
X=(ATA)-1.(ATY). Setelah itu, dengan menggunakan contoh baris-baris kode yang
terdapat pada lampiran 1 L.29 (fungsi kuadrat), maka akan didapatkan grafik seperti
berikut:

Gambar 7.4: Kurva-Kurva Fungsi Kuadrat & Data (Kasus Aktif)

Halaman: 135 349


Tabel 7.3: Perkembangan Siswa Data (Kasus Aktif) & Prediksi Fungsi Kuadrat

7.1.3 Model Persamaan Polinomial


Berdasarkan tampilannya, pihak perancang model juga boleh menafsirkan bahwa
bentuk kurva datanya (gambar 7.1) mirip dengan kurva polinomial; yang dianggap
sebagian orang lebih fleksibel dari pada kurva gauss dan parabola. Oleh sebab itu, ia
boleh saja menggunakan fungsi polinomial (rumus 7.4) untuk memprediksikan
karakter kecenderungan pertumbuhan penyakit menularnya.
P( x) = y = a0 + a1 x + a2 x 2 + ... + a n−1 x n−1 + an x n ... (7.4)
dimana: a0, a1, a2, an-1, dan an merupakan koefisien persamaan polinomialnya.
Seperti sebelumnya, maka dengan hanya melibatkan sebagian baris datanya sebagai
wakil, akan didapatkan persamaan matriks sebagai berikut:
 y1  1 x1 x12 x13 x14 
y   
 2 1 x2 x22 x23 x24  a0 
1  
 y3  x3 x32 x33 x34   a1 
   
 y 4  = 1 x4 x42 x43 x44  .a2  ==> Y = A. X (7.5).
1  
 y5  x5 x52 x53 x54   a3 
   
 y6  1 x6 x62 x63 x64  a4  X
y   x72 x73 x74  A
 7  Y 1 x7

Seperti sebelumnya, dengan menggunakan rumus 7.4, dan juga data tabel di atas
(tabel 7.1), hari sebagai x dan jumlah siswa yang sakit (kasus aktif) sebagai y atau
F(x), maka nilai-nilai parameternya dapat dihitung dengan rumusan X=(ATA)-1.(ATY).
Meskipun demikian, Octave memiliki fungsi khusus untuk memecahkan persamaan
polinomial hingga penggunanya tidak harus memakai notasi matriks (seperti

Halaman: 136 349


persamaan 7.3 dan 7.5) di dalam kodenya. Oleh sebab itu, dengan contoh kode pada
lampiran 1 L.30 (fungsi polinomial), maka akan didapatkan grafik seperti berikut:

Gambar 7.5: Kurva-Kurva Data & Polinomial

Tabel 7.4: Perkembangan Siswa Data & Prediksi Fungsi Polinom

Berdasarkan tampilan kurvanya, pada kasus ini, makin besar derajat polinomialnya,
maka bentuk kurvanya makin mendekati kurva datanya. Di lain pihak, makin tinggi
derajat polinomialnya146, makin besar pula potensi kemunculan pesan ”matrix
singular to machine precision” (indikasi kesalahan/error dalam hitungan).

146
Pada umumnya polinom berderajat 11 ke atas.

Halaman: 137 349


7.1.4 Model SIR Dasar & Parameter α dan β
Berdasarkan datanya (tabel 7.1), perancang model tidak mungkin menghitung nilai-
nilai koefisien α & β, meskipun ia telah mengasumsikan bahwa model epidemiknya
adalah SIR dasar, karena ketersediaan item datanya minim (hanya satu variabel yang
diamati) dan juga (pada model SIR) harus ada kelompok individu yang dinyatakan
berstatus sembuh/kebal (hingga mengurangi anggota kelompok yang rentan & sakit
sesuai dengan tabel datanya). Yang tersedia hanyalah data yang sakit dari hari-ke-
hari, sedangkan yang perlu dipecahkan adalah dua parameter; α dan β.
Bagi yang masih mau (memaksa) mencoba, ia dapat mengasumsikan bahwa laju
dI αSI
individu yang sakit pada setiap waktunya adalah ={ − βI } ... (7.6). Jika
dt N
αS I
persamaan ini diintegrasikan, maka diperoleh I i +1 − I i = i i ∆t − βI i ∆t ... (7.7).
N
Tetapi karena pada kasus ini juga berlaku Si=N-Ii (perhatikan situasinya) hingga
α (N − Ii )Ii
persamaan (7.7) akan berubah menjadi: I i +1 − I i = ∆t − βI i ∆t ... (7.8).
N
Dalam bentuk matriks, sebagai contoh dengan hanya melibatkan sebagian dari baris
datanya, persamaan (7.8) di atas dapat dituliskan seperti berikut:
 ( N − I1 ) I1 
 ∆t − I 1 ∆t 
N
 I 2 − I1   (N − I )I 
I − I   2 2
∆t − I 2 ∆t 
  α 
3 2
= N  .  ... (7.9).
I 4 − I 3   ( N − I 3 ) I 3 ∆t 
− I 3 ∆t   β 
 
X ( 2 x1)

 I 5 − I 4  F ( 4 x1  ( N −NI ) I 
 4 4
∆t − I 4 ∆t 
 N  A( 4 x 2 )
Dengan menggunakan rumus umum, akan didapatkan persamaan X=(ATA)-1.ATF.
Meskipun demikian, sayangnya, seperti telah disinggung, berdasarkan beberapa kali
percobaan, dengan cara ini, penulis mendapatkan pesan kesalahan ”Matrix singular
to machine precision” hingga solusi yang didapat tidak stabil (NaN atau Inf). Sebagai
alternatif, jika perancang modelnya masih juga ingin (memaksakan) menggunakan
data yang masih minim item itu untuk mem-fit-kannya dengan model SIR dasar,
maka ia perlu meneliti atau mengasumsikan lebih jauh lagi mengenai karakter
penyakitnya hingga akan didapatkan nilai parameter β-nya (waktu yang diperlukan
untuk sembuh/kebal sendiri, atau tingkat kesembuhan per-harinya); misalkan akan
diasumsikan 1/14 per-harinya (diperlukan waktu 14 hari agar setiap individu dapat
sembuh/kebal dengan sendirinya)147. Dengan asumsi ini, maka persamaan (7.9) akan
menjadi lebih sederhana seperti sebagai berikut.

147
Memang, sajian tabel 7.1 di atas hanya mengasumsikan bahwa yang tidak sakit itu
rentan. Dengan asumsi ini, maka model yang cukup dekat adalah SI atau SIS. Meskipun
demikian, jika pihak pengelolanya mencatat jumlah siswa yang sembuh perharinya, maka
kemungkinannya menjadi lain; dari rumus δR/δt = βI akan didapatkan nilai parameter β
hingga model SIR dan SIRS juga bisa diuji-cobakan. Toh, data ini tidak sulit didapatkan.
Tinggal selangkah lagi. Selain itu, sebenarnya, mengidentifikasi jumlah orang yang sembuh

Halaman: 138 349


 ( N − I1 ) I 1 
 ∆t − β I1∆t 
N
 I 2 − I1   ( N − I )I 
I − I   2 2
∆t − β I 2 ∆t 
 3 2
= N  [α ]X (1x1) ... (7.10a)
I 4 − I 3   ( N − I 3 ) I 3 ∆t − βI ∆t 
   N
3 
 I 5 − I 4  F ( 4 x1)  ( N − I )I 
 4 4
∆t − β I 4 ∆t 
 N  A( 4 x1)
I n+1 − I n + βI n ∆t
αn = ... (7.10.b)
( N − I n ).I n ∆t / N

Dengan melibatkan sebagian dari148 datanya (tabel 7.1), seperti sebelumnya, jumlah
siswa yang sakit sebagai I (infected), maka nilai parameter α (matriks X) di atas dapat
dihitung dengan menggunakan rumusan X=(ATA)-1.(ATF). Setelah itu, dengan
menggunakan baris kode yang terdapat pada lampiran 1 L.31 (SIR Dasar β konstan),
maka akan didapatkan grafik/kurva seperti berikut (hasil hitungan α=0.50608≈0.5).

Gambar 7.6: Kurva-Kurva Data & Model SIR Dasar


Seperti telah diperkirakan sebelumnya bahwa dengan mengasumsikan SIR sebagai
model yang ditargetkan dan parameter β-nya pun (dianggap) diketahui, maka data
(tabel 7.1) itu pun masih tidak memadai; hasilnya tidak representatif. Memang, nilai
parameter β yang diasumsikan bisa jadi sudah benar dan hasil hitungan nilai α–nya
pun mungkin saja benar. Tetapi data dan modelnya memiliki kelompok-kelompok

perharinya itu jauh lebih mudah (clearer) dari pada mengidentifikasi jumlah orang yang sakit
perharinya.
148
Perhatikan baris-baris kodenya (pada pengisian elemen-elemen matriks A dan F); hanya
melibatkan baris (hari) data ke 10 hingga 15.

Halaman: 139 349


epidemik yang berbeda (data: sakit [I]; model SIR dasar: rentan [S], sakit [I], kebal
[R]) hingga jumlah-jumlah kelompok-kelompok populasi (epidemik) ini tidak sama
dan bentuk kurvanya juga tidak akan serupa. Pada kasus ini, datanya (hanya
mencakup yang sakit [kasus aktif], sementara yang rentannya diasumsikan
berdasarkan jumlah populasinya) tidak memadai jika dipetakan menjadi model
epidemik SIR (rentan, sakit, dan kebal). Data tunggal (sederhana) seperti ini (tabel
7.1) nampaknya lebih cocok jika ditafsirkan dengan menggunakan metode curve-
fitting saja dari pada menggunakan pendekatan model epidemik standar. Kunci
pemetaan data ke model epidemik adalah apakah ketersediaan item datanya cukup
atau tidak, sesuai atau tidak; tidak dapat ”dipaksakan” begitu saja.

7.1.5 Eliminasi Data, Curve Fitting, dan Offset


Berdasarkan pengalaman (beberapa kali percobaan) nampak bahwa pada urusan
curve fitting, sebenarnya, kita tidak selalu harus melibatkan semua baris datanya
(hasil pengamatan) ke dalam hitungan. Sebab, ada kalanya, sebagian dari baris data
itu justru tidak akan ”membaikkan” solusinya (nilai parameter yang dicari). Oleh
sebab itu, tidak mengherankan, jika sebagian orang terlebih dahulu mengeliminasi149
(mem-filter) beberapa baris datanya (terlepas dari bagaimana caranya) dan juga
memberikan sedikit offset (horizontal/vertikal) terhadap kurva hasil proses curve-
fitting-nya berdasarkan pertimbangan kenampakkan visualnya (perbandingan kurva-
kurva data dengan kurva-kurva modelnya atau selisih jumlah kelompok-kelompok
rentan, terinfeksi, dan kebal). Dengan demkian, khususnya pada konteks ini,
pemberian offset dan pengeliminasian sebagian datanya tidak lepas dari kebutuhan
curve-fitting data terhadap modelnya.

7.2 Data Sakit & Kebal/Mati


Sebagai tambahan, studi kasus (contoh pemisalan), di suatu area yang berpopulasi
sekitar 400150 jiwa telah berjangkit wabah penyakit menular. Pada awalnya, hanya 1
(Io) saja yang terinfeksi (sakit), tak seorang pun yang kebal (dalam pengertian
sembuh seterusnya atau mati), dan sisanya (399) dianggap rentan (So).
Perkembangan penyakit ini (kasus aktif) terus dipantau setiap hari dan hasil
pengamatannya dinyatakan dalam bentuk tabel sederhana seperti berikut (hari,
jumlah yang sakit/kasus aktif, dan jumlah orang yang kebal).

149
Silahkan putuskan sendiri baris data mana saja yang tidak akan dilibatkan dalam hitungan
matriksnya hingga dimensi matriksnya menjadi berkurang.
150
Data ini secara eksplisit menyatakan jumlah-jumlah individu yang dinyatakan sakit
(infected) dan kebal (recovered) untuk setiap harinya. Sementara itu, jumlah individu yang
rentan (susceptible) dinyatakan secara implisit (dihitung dengan cara mengurangi jumlah
populasi total dengan yang sakit dan kebal).

Halaman: 140 349


Tabel 7.5: Data Perkembangan Jumlah yang Sakit (Kasus Aktif) & Kebal

Jika contoh data (tabel 7.5) ini digambarkan, dan kelompok individu yang rentan-nya
dihitung151 (sebagai populasi total minus yang sakit dan minus yang kebal), maka
kurva-kurvanya akan nampak seperti berikut.

Gambar 7.7: Kurva-Kurva Data yang Sakit & Kebal


7.2.1 Model SIR Dasar α & β
Berdasarkan tabel 7.5 dan gambar 7.7 di atas, pihak perancang model boleh saja
menafsirkan bahwa kurva-kurvanya mirip dengan kurva-kurva milik model SIR. Oleh
sebab itu, ia boleh saja memilih dan kemudian menggunakan model ini sebagai
pendekatan (hipotesa awal).

151
Artinya, pada kasus ini, kelompok yang rentan didapatkan secara implisit (tidak diamati);
juga dengan bantuan asumsi adanya nilai total populasi yang terdapat di dalam area
studinya.

Halaman: 141 349


αSI
Dari sub-bab 2.3 di atas (model SIR dasar) didapatkan bahwa dI = { − βI }.dt dan
N
dR = βI .dt ; dua dari 3 baris persamaan lengkapnya152. Jika diintegralkan, maka
kedua baris persamaan ini akan menghasilkan dua persamaan seperti berikut:
αS I
I i +1 − I i = i i ∆t − βI i ∆t dan Ri +1 − Ri = β I i ∆t . Dengan notasi matriks, maka akan
N
didapatkan persamaan umum seperti berikut.

 I n+1 − I n   ( N − I n− Rn ) I n  α 
 ∆t − I n ∆t 
R − R  = N β  ... (7.11)
 n+1 n  F ( 2 x1)  0 I ∆t   
 n  A( 2 x 2) X ( 2 x1)

Kemudian, dengan menggunakan rumus matriks X=A-1F akan didapatkan nilai-nilai


parameter α & β. Sehubungan dengan hal ini, maka dengan menggunakan contoh
baris kode yang terdapat pada lampiran 1 L.32 (Data Model SIR α, β), akan
didapatkan tabel & grafik seperti di bawah ini.
Tabel 7.6: Hasil Model yang Sakit, Kebal, Rentan, dan Selisihnya

Berdasarkan tampilan gambar-gambar 7.7 & 7.8, nampak bahwa pola kurva hasil
model SIR sudah sangat mirip dengan pola kurva datanya. Artinya, hipotesa awal si
perancang bahwa karakter datanya didasarkan pada model SIR sudah tepat; item
datanya (tabel 7.5) sudah memadai untuk diproyeksikan terhadap model SIR dasar.
Hanya saja, berdasarkan nilai-nilai selisih pada kolom-kolom ”dSa” dan ”dKe”, masih

152
Baris persama, yang berisi suku S (yang rentan), bisa diabaikan untuk sementara karena
beberapa alasan. Yang pertama adalah variabel S bukan merupakan variabel bebas (tidak
diamati secara langsung dan dapat diturunkan berdasarkan rumus N-sakit-kebal). Yang
kedua, untuk memecahkan 2 parameter cukup digunakan 2 baris persamaan saja.

Halaman: 142 349


terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah individu yang sakit dan yang kebal
untuk versi data dan model SIR dasarnya.
Perbedaan nilai-nilai ini bisa jadi karena beberapa sebab, yang antara lain adalah
karena datanya (khususnya yang sakit & kebal) belum benar-benar representatif
(seperti telah disinggung) hingga menghasilkan nilai-nilai parameter α & β yang tidak
akurat, hitungan modelnya menggunakan persamaan diferensial (padahal bisa
menggunakan yang diskrit seperti pada contoh lampiran 1 L.5 ”Model SIR Diskrit”
sebagai alternatif), hitungan parameter alpha dan betha-nya menggunakan seluruh
(rata-rata) baris datanya (beberapa baris awal dan akhir atau ”ekor-ekor” awal dan
akhir kurva datanya mungkin saja perlu dieliminasi untuk menghasilkan nilai-nilai
solusi yang ”lebih baik” dengan memodifikasi baris kodenya tepat di lopping ”for
i=1:jml_data-1-eliminasi”), dan sebab lainnya. Tabel 7.6 juga memperlihatkan
perbedaan nilai-nilai reproduksi efektif jika dihitung dengan rumus yang berbeda.

Gambar 7.8: Kurva-Kurva Hasil Model SIR: Rentan, Sakit, & Kebal
7.2.2 Model SIR Dasar α (β dianggap konstan)
Sebagai alternatif, jika perancang cukup yakin dengan hipotesanya, pada model SIR,
maka seperti sebelumnya, nilai parameter β-nya juga dapat diasumsikan (diketahui
secara pasti) hingga yang akan dihitung hanyalah nilai α-nya saja. Sehubungan
dengan hal ini, dengan data yang sama (tabel 7.5), maka pada sub-bab ini akan
dihitung nilai α-nya dengan asumsi bahwa β=0.125.
Dengan asumsi ini, maka salah satu alternatif penyederhanaan rumusnya (7.11)
adalah sebagai berikut.
I n +1 − I n = ( N − I n − R n ) I n ∆ t / N (α ) − ( 0 .125 ) I n ∆ t ... (7.12)
I n+1 − I n + (0.125).I n ∆t
atau, α n = .N ... (7.13)
( N − I n − Rn ).I n ∆t
Jika rumus (7.13) ini diimplementasikan, dengan data yang sama, dengan baris kode
seperti pada lampiran 1 L.33 (Data Model SIR β konstan), maka akan didapatkan
tabel & grafik seperti berikut.

Halaman: 143 349


Gambar 7.9: Kurva-Kurva Hasil Model SIR: Rentan, Sakit, & Kebal
Tabel 7.7: Hasil Model yang Sakit, Kebal, Rentan, dan Selisihnya

Berdasarkan tampilan gambar-gambar 7.7 dan 7.9, seperti juga kasus sebelumnya,
nampak bahwa pola kurva model SIR sudah sangat mirip dengan pola kurva datanya.
Artinya, hipotesa awal perancang bahwa karakter datanya didasarkan pada model
SIR sudah tepat; item datanya (tabel 7.5) sudah memadai untuk dipetakan pada
model SIR. Hanya saja, berdasarkan nilai-nilai selisih pada kolom-kolom ”dSa” dan
”dKe”, memang masih terdapat perbedaan yang signifikan. Perbedaan nilai-nilai ini
bisa jadi karena beberapa sebab, yang antara lain karena datanya (khususnya yang
sakit) belum benar-benar representatif hingga menghasilkan nilai α yang belum
akurat, modelnya menggunakan persamaan diferensial (padahal bisa menggunakan

Halaman: 144 349


kode yang diskrit seperti pada contoh lampiran 1 L.5 ”Model SIR Diskrit” sebagai
alternatif), hitungan parameter alpha menggunakan seluruh (rata-rata) datanya
(seperti saran sebelumnya, beberapa baris data mungkin saja perlu dieliminasi pada
baris kode tepat di lopping ”for i=1:jml_data-1-eliminasi”) untuk menghasilkan nilai
yang ”lebih baik”), dan oleh sebab-sebab lainnya. Sementara itu, tabel 7.7 juga
memperlihatkan perbedaan nilai-nilai reproduksi efektif jika dihitung dengan rumus
yang berbeda.

7.2.3 Model SIRS


Setelah sukses dengan pembuktian hipotesis awal bahwa datanya (tabel 7.5) sesuai
dengan model SIR, maka muncul pertanyaan lain; “bisakah data yang sama
dipetakan pada model epidemik tipe SIRS?”. Untuk dapat menjawabnya, tentu saja
kita perlu mengevaluasi persamaannya. Sesuai dengan uraian pada sub-bab 2.4,
untuk model SIRS diperlukan 3 baris persamaan diferensial dengan 3 parameternya
(α, β, dan φ). Jika hasil-hasil integrasi persamaan tersebut dituliskan dalam bentuk
matrik, maka akan didapatkan persamaan seperti berikut:
 Sn In 
 − ∆t 0 Rn ∆t 
 S n +1 − S n   S I
N
 α 
I −I  = n n
∆t − I n ∆t 0  . β  ... (7.14)
 n +1 n   N 
 Rn +1 − Rn  F (3 x1)  0 I n ∆t − Rn ∆t   φ  X (3 x1)
 
A ( 3 x 3)

Di lain pihak, item data yang tersedia (tabel 7.5) adalah yang sakit (I) dan yang kebal
(R), sementara kelompok individu yang rentan (S) tidak diamati secara khusus hingga
(seperti biasanya) dijadikan sebagai variabel tidak bebas (merupakan fungsi dari I
dan S); Sn=(N-In-Rn). Dengan demikian, sebenarnya, hanya tersedia 2 item data saja
yang benar-benar merupakan variabel bebas (perhatikan persamaan 7.11 di atas)
untuk memecahkan 3 parameter (α, β, dan φ). Artinya, secara teoritis, sajian data ini
memang tidak memadai untuk dipetakan sebagai model epidemik SIRS. Meskipun
demikian, seperti pada contoh kasus sebelumnya, jika saja perancang modelnya
mengasumsikan (memaksakan diri) bahwa nilai parameter β-nya telah diketahui
(misalkan berdasarkan penelitian telah didapatkan β=0.125), maka hal itu, sebagai
hipotesa awal, secara teoritis matematis, menjadi memungkinkan.
Jika nilai parameter β memang telah diasumsikan, maka persamaan (7.14) di atas
akan menjadi (lebih sederhana) seperti berikut.

 Sn I n 
 − N ∆t 0 Rn ∆t 
 S n+1 − S n   S I  α 
I −I  = n n
∆t − (0.125).I n ∆t 0  . 1  … (7.15)
 n+1 n   N 
 Rn+1 − Rn  F (3 x1)  0 (0.125).I n ∆t − Rn ∆t  φ  X (3 x1)
 
A ( 3 x 3)

Jika rumus (7.15) ini diimplementasikan (kodenya dieksekusi), dengan menggunakan


data yang sama (tabel 7.5) dan dengan baris kode seperti pada lampiran 1 L.34 (Data
Model SIRS β konstan), maka sebagian besar baris datanya menyebabkan matriks A-

Halaman: 145 349


nya menimbulkan peringatan atau pesan kesalahan ”Matrix singular to machine
precision”, sedangkan solusinya (elemen-elemen matriks X yang seharusnya berisi
nilai-nilai parameter α dan φ) menjadi NaN153 (not a number). Artinya, solusinya
(matriks X) tidak didapatkan.
Sementara itu, sebagai alternatif lainnya, rumus (7.15) di atas juga masih dapat lebih
disederhanakan hingga nampak seperti berikut.

 S n+1 − S n   Sn I n  α 
− ∆t Rn ∆t 
 R − R − (0.125).I .dt  = N .  … (7.16)
 n+1 n n  F ( 2 x1)  0 − Rn ∆t  A( 2 x 2) φ  X ( 2 x1)

Jika rumus (7.16) diimplementasikan, dengan data yang sama (tabel 7.5) dan dengan
baris kode seperti pada lampiran 1 L.35 (Data Model SIRS β konstan), maka sebagian
besar datanya juga menyebabkan timbulnya pesan ”Matrix singular to machine
precision”, sedangkan solusinya (matriks X yang seharusnya berisi nilai-nilai α dan φ)
menjadi NaN (not a number) atau Inf (infinity/tak-hingga)154. Artinya, solusinya
(matriks X) juga tidak bisa diperoleh. Dengan demikian, berdasarkan hasil-hasil ini,
maka pada contoh kasus ini, dapat disimpulkan bahwa data di atas (tabel 7.5) masih
tidak memadai untuk dipetakan sebagai model SIRS meskipun nilai parameter β-nya
telah diasumsikan dengan nilai tertentu.

7.3 Data Rentan, Sakit, dan Kebal


Sebagai contoh (pemisalan) kasus tambahan, di suatu area yang berpopulasi 500 jiwa
telah berjangkit suatu wabah. Pada awalnya, hanya seorang yang terinfeksi (kasus
aktif primer), 0 yang kebal; sementara 499 sisanya dianggap rentan. Penyakit ini
dipantau setiap hari dalam bentuk tabel & gambar seperti berikut.
Tabel 7.8: Data Perkembangan Jumlah yang Rentan, Sakit (Kasus Aktif), dan Kebal

153
Akibat suatu operasi matematis yang tidak menghasilkan bilangan numerik yang tidak
terdefinisikan dengan baik.
154
Tipikal nilai hasil operasi pembagian suatu bilangan dengan nol (0).

Halaman: 146 349


Gambar 7.10: Kurva-Kurva Data yang Rentan, Sakit, dan Kebal
7.3.1 Model SIR Dasar α & β
Berdasarkan gambar 7.10, nampak bahwa kurvanya mirip dengan kurva model SIR.
Jadi, perancang boleh menduganya seperti itu sebagai hipotesa awal. Dengan model
SIR (sub-bab 2.3), hasil integrasi persamaan diferensial-nya nampak seperti berikut.
 Sn I n 
 − ∆t 0 
 S n+1 − S n   S I
N

I −I  α 
=  n n
∆ t − I ∆t  .  ... (7.17)
 n+1 n   N
n
 β  X ( 2 x1)
 Rn+1 − Rn  F (3 x1)  
0 I n ∆t 
 
. A( 3 x 2 )
T -1 T
Dengan rumus X=(A A) A F didapatkan α & β. Jadi, dengan seluruh data-nya dan
baris kode seperti pada lampiran 1 L.36 dihasilkan grafik dan tabel seperti berikut.

Gambar 7.11: Kurva-Kurva Model yang Rentan, Sakit, dan Kebal

Halaman: 147 349


Tabel 7.9: Hasil Model SIR: Rentan, Sakit (Kasus Aktif), dan Kebal

Dengan semua baris datanya nampak bahwa hasil modelnya sudah mirip dengan
model SIR; dengan α=0.64, β=0.10, dan Ro=6.18. Artinya, hipotesa awal mengenai
model epidemiknya adalah SIR sudah tepat dan sajian item datanya juga memadai.
Hanya saja, nilai-nilai selisihnya (kolom-kolom ”dSa” & ”dKe”) masih relatif besar.
Meskipun demikian, jika 9 baris data terakhirnya dieliminasi, dengan menggunakan
contoh baris kode yang sama, maka akan didapatkan grafik dan tabel seperti berikut.

Gambar 7.12: Kurva-Kurva Model yang Rentan, Sakit, dan Kebal

Halaman: 148 349


Tabel 7.10: Hasil Model SIR (dengan eliminasi data): Rentan, Sakit, dan Kebal

Dengan mengeliminasi 9 baris data terakhirnya, nampak bahwa kurva-kurva hasil


modelnya sudah menampakkan karakteristik SIR dasar; dengan α=0.81, β=0.11, dan
Ro=7.62. Artinya, selain hipotesa awalnya (SIR) sudah tepat dan sajian item datanya
juga memadai, hasil-hasil modelnya pun sudah lebih dekat lagi terhadap datanya. Hal
ini dibuktikan dengan nilai-nilai selisih jumlah individu-individu yang sakit (dSa) dan
yang kebalnya (dKe) menjadi lebih kecil (bandingkan nilai-nilai pada kolom-kolom
”dSa” & ”dKe” pada tabel-tabel 7.19 dan 7.10). Meskipun demikian, mungkin saja,
kita masih bisa mendapatkan nilai-nilai yang lebih baik atau dekat ke datanya jika
juga mengeliminasi beberapa baris data di awalnya, atau dengan mengganti rumus
hitungannya (pada baris-baris programnya) dengan metode Runge-Kutta orde-4
(lihat sub-bab 2.15).

7.3.2 Model SIR Dasar α (β Konstan)


Dengan data yang sama (tabel 7.8), tetapi dengan asumsi β=0.10 (telah diketahui),
maka alternatif persamaan model SIR-nya adalah sebagai berikut.
 Sn I n 
 − N ∆t 0 
 S n+1 − S n   S I 
I −I  α 
 n+1 n  =  n n ∆t − (0.1) I n ∆t  .  ... (7.18)
 N   1  X ( 2 x1)
 Rn+1 − Rn  F (3 x1)  0 (0.1) I n ∆t 
 
. A( 3 x 2 )

Dengan rumus X=(ATA)-1.ATF, maka nilai α-nya dapat diketahui. Sehubungan dengan
hal ini, maka dengan contoh baris kode yang terdapat pada lampiran 1 L.37 (Data
Model SIR α, β konstan), maka akan didapatkan tabel & grafik seperti di bawah ini.

Halaman: 149 349


Gambar 7.13: Kurva-Kurva Model yang Rentan, Sakit, dan Kebal
Tampilan kurva-kurva hasil pemodelan (dengan nilai β yang diketahui) pada gambar
7.13 lebih dekat lagi (mirip) dengan datanya. Artinya, pada kasus ini, akibat eliminasi
beberapa baris datanya beserta nilai β yang diasumsikan, hasilnya menjadi jauh lebih
baik dari pada jika nilai β-nya dihitung (perhatikan tabel 7.10 & gambar 7.12). Selain
itu, nilai-nilai selisih model dengan datanya (kolom-kolom ”dSa” & ”dKe” pada tabel
7.11) sudah semakin kecil; lebih baik dari pada tabel 7.10.
Tabel 7.11: Hasil Model SIR (dengan eliminasi data): Rentan, Sakit, dan Kebal

7.3.3 Model SIRS


Dengan mempertimbangkan ketersediaan item datanya (tabel 7.8) dan mengingat
kenyataan bahwa sebagian dari individu yang sebelumnya dinyatakan sembuh tetapi
kemudian (bisa) rentan kembali dan terinfeksi (menjadi kasus aktif), maka sebagai
alternatif terhadap model SIR, perancang juga dapat menggunakan model SIRS

Halaman: 150 349


(perhatikan persamaan 7.14) sebagai hipotesa awal. Oleh sebab itu, untuk
membuktikan hipotesa ini, kita perlu mengujinya dengan data yang sama (tabel 7.8)
dan mensimulasikannya dengan contoh baris kode seperti pada lampiran 1 L.38.
Sangat disayangkan, ternyata, baik dengan menggunakan seluruh datanya maupun
sebagian, jika menggunakan rumus matriks X=inv(A'*A)*(A'*F), maka hasilnya adalah
sebagian datanya menghasilkan pesan kesalahan ”Matrix singular to machine
precision” hingga solusinya (parameternya) tidak stabil (minus155 dan NaN). Lebih
parah lagi jika menggunakan rumus X=inv(A)*F; pesan kesalahan yang muncul
(”Matrix singular to machine precision”) lebih banyak lagi sementara solusinya tidak
muncul sama sekali. Dengan kenyataan ini, maka dapat disimpulkan bahwa sajian
data ini (tabel 7.8) sama sekali tidak cocok jika dipetakan sebagai model SIRS.

7.4 Cara-Cara Alternatif


Dalam mencari solusi (terutama pada model SIR) yang lebih dekat dengan datanya,
cara lain yang cukup sederhana dapat ditempuh.

7.4.1 Data Tabel 7.5


Dengan menggunakan contoh data tabel 7.5, contoh program pada lampiran 1 L.39,
dan dengan beberapa asumsi berikut, akan dihasilkan kurva-kurva dan tabel (hasil
model) seperti di bawah ini:
a) Berdasarkan datanya, khususnya kurva yang sakit (kasus aktif), pernah
mencapai puncak; trend kurva yang sakit sudah mulai menurun.
b) Nilai β dihitung dengan data pada saat puncak (plus sebaris data tepat
setelahnya); dengan rumus dR/dt=βI β=[Rimax+1-Rimax]/Iimax).
c) Nilai α dihitung pada saat jumlah individu yang sakit mencapai puncaknya;
(dI/dt=0=[αSI/N-Iβ] α=βN/Simax)

Gambar 7.14: Kurva-Kurva Model yang Rentan, Sakit, dan Kebal

155
Nilai parameter model epidemik adalah positif.

Halaman: 151 349


Berdasarkan bentuk kurvanya, hasil simulasinya mirip dengan pola model SIR. Jadi,
hipotesa awalnya sudah benar. Selain itu, tampilan kurvanya pun lebih baik dari pada
kurva pada gambar 7.8. Demikian pula nilai-nilai selisih model dengan datanya; nilai-
nilai kolom-kolom ”dSa” dan ”dKe” pada tabel 7.12 lebih kecil dari pada nilai-nilai
kolom-kolom yang sama pada tabel 7.6. Artinya, pada kasus ini, cara ini telah
menghasilkan model yang lebih dekat lagi dengan realitasnya (data).
Tabel 7.12: Model yang Sakit, Kebal, Rentan, dan Selisihnya

Gambar 7.15: Kurva-Kurva Rentan Model Vs. Data

Halaman: 152 349


Gambar 7.16: Kurva-Kurva Sakit Model Vs. Data

Gambar 7.17: Kurva-Kurva Kebal Model Vs. Data


Dengan tabel 7.5 (data) & program lampiran 1 L.39, nilai β-nya diketahui156 (0.125),
maka dihasilkan kurva yang sejenis. Nilai-nilai kolom ”dSa” & ”dKe” tabel 7.13 lebih
kecil dari pada tabel 7.7 dan 7.12. Artinya, selain hipotesanya telah terbukti (dapat
dipetakan sebagai SIR), pada kasus ini, cara alternatif ini juga menghasilkan model
yang lebih dekat dengan realitasnya (data tabel 7.5). Meskipun demikian, cara ini
pun masih perlu ditingkatkan karena selisih nilai kedua kolom tersebut masih ada.

156
Anggap saja didapatkan dari literatur dan/atau sebuah penelitian selama wabahnya
berlangsung. Baris kode baru “betha = 0.125” diletakkan tepat setelah baris rumus betha
yang sudah tertera pada lampiran 1 L.39. Jadi, pada kasus ini, yang dihitung hanyalah nilai
parameter alpha-nya saja. Nilai betha yang baru ini akan menggantikan nilai betha hasil
hitungan sebelumnya.

Halaman: 153 349


Tentu saja alternatif ini, beserta contoh programnya, juga dapat diaplikasikan pada
data lain yang sejenis dan berisi item yang lebih lengkap (misalnya tabel 7.8); untuk
membuktikan bahwa datanya dapat dipetakan pada model SIR. Sebab, dengan
metode yang sebelumnya pun, data tabel 7.8 sudah menggambarkan kurva-kurva
yang menjadi ciri khas model SIR.
Tabel 7.13: Model Sakit, Kebal, Rentan, dan Selisihnya

7.4.2 Data Tabel 7.8


Dengan sebagian contoh data tabel 7.8 (khususnya baris data 0 hingga hari ke-12),
contoh baris kode pada lampiran 1 L.40, dan beberapa asumsi berikut, akan
dihasilkan kurva dan tabel (hasil pemodelan/prediksi) seperti berikut:
a) Berdasarkan datanya (tabel dan grafik), jumlah yang sakit (kasus aktif) belum
pernah mencapai titik puncak; trend yang sakit masih menanjak dan
pengamat tidak mengetahui apakah keesokan harinya masih akan naik
(meneruskan kecenderungan kurva eksponensialnya), konstan, atau turun.
b) Nilai β dihitung dengan baris data tepat sebelum yang terakhir (plus sebaris
data setelahnya); dengan rumus dR/dt=βI β=[Rimax-Rimax-1]/Iimax-1).
c) Nilai α dihitung pada saat nilai β dihitung (Iimax-1); (dI/dt=[αSI/N-Iβ] α={(Iimax-
Iimax-1)+∆t.β.Iimax-1}N/{(Simax-1)(Iimax-1)∆t}
d) Nilai-nilai α dan β diberi offset (berdasarkan kenampakkan visual perbedaan
kurva-kurva dan nilai-nilai data dengan modelnya, pilihan offset-offset-nya
dapat diuji-cobakan hingga didapatkan nilai-nilai yang menyebabkan kurva-
kurva modelnya dekat dengan datanya); upaya mem-fit-kan kurva-kurva
model ke kurva-kurva datanya secara manual-interaktif.

Halaman: 154 349


Catatan: penting untuk diingat bahwa ketika digunakan prinsip (saat)
dR/dt=betha*I, dI/dt<>0, dan disisipkan nilai-nilai offset-tidak nolnya di
dalam baris kodenya (bahasan bab ini), untuk menentukan nilai-nilai α & β
berdasarkan sampel data lapangan, maka nilai-nilai α dan β ini tidak (belum
tentu) sama dengan nilai-nilai α dan β (model) yang dimaksud pada
bahasan bab 2 dan bab 3 di atas (hasilnya belum tentu sama dengan
rekonstruksinya dengan menggunakan model SIR pada bab 2 dan 3). Cara
ini (apa pun teknis manipulasi data dan/atau pemberian offset atau fitting
kurva yang dilakukan pada bab ini) hanya digunakan untuk mem-fit-kan
model ke datanya.
Jadi, jika nilai-nilai α dan β ini digunakan (direkonstruksikan) pada, sebagai
misal, program SIR pada bab 2 atau 3 (sebagai misal adalah L4 Model SIR
Kontinyu pada lampiran 1 dan lain sejenisnya), maka akan didapat hasil
yang berbeda. Cara ini digunakan untuk mendapatkan kurva model yang
cukup dengan datanya yang kemudian digunakan untuk memprediksikan
progress wabah selanjutnya; bukan model SIR murni sebagaimana telah
dibahas pada bab 2 dan 3 di atas. Sebab, bab 2 dan 3 membahas koefisien
α dan β yang memang diasumsikan sudah diketahui dengan benar sedari
awal, sementara pada persoalan nyata, kita akan menentukan nilai-nilai α
dan β-nya berdasarkan sampel data lapangan yang belum tentu sama,
konsisten, dan cocok untuk model SIR pada setiap waktu dan tempat.
Dengan demikian, pada persoalannya nyata, beberapa pihak menggunakan
beberapa metode untuk membuat model yang terdekat dengan sampel
datanya tanpa harus selalu terikat (persis sama) dengan konsep nilai-nilai α
dan β sebagaimana telah dibahas pada bab 2 dan bab 3 (model epidemik
konvensional).
Hasil-Hasil Tanpa Offset α dan β (Offset=0)
Tabel 7.14: Model yang Sakit, Kebal, Rentan, dan Selisihnya

Halaman: 155 349


Gambar 7.18: Kurva-Kurva Hasil Model SIR

Gambar 7.19: Kurva-Kurva Rentan Model SIR Vs Data

Gambar 7.20: Kurva-Kurva Sakit Model SIR Vs Data

Halaman: 156 349


Gambar 7.21: Kurva-Kurva Kebal Model SIR Vs Data
Hasil-Hasil dengan Offset_α=0.15 & offset_β=0.0

Tabel 7.15: Model yang Sakit, Kebal, Rentan, dan Selisihnya

Gambar 7.22: Kurva-Kurva Hasil Model SIR dengan Offset Parameter

Halaman: 157 349


Gambar 7.23: Kurva-Kurva Hasil Model SIR dengan Offset Parameter

Gambar 7.24: Kurva-Kurva Hasil Model SIR dengan Offset Parameter

Gambar 7.25: Kurva-Kurva Hasil Model SIR dengan Offset Parameter

Halaman: 158 349


Evaluasi
Hipotesa awal bahwa data ini (sebagian dari tabel 7.8) lebih dekat ke model SIR
sudah tepat. Pola-pola kurvanya sudah sama atau mirip, tampilan kurva-kurva
modelnya makin mendekati datanya, dan nilai-nilai kolom-kolom ”dRe”, ”dSa”, dan
”dKe” pada tabel 7.15 lebih kecil dari pada tabel-tabel 7.14, 7.9, 7.10, dan 7.11. Pada
kasus ini, cara manual-interaktif dalam menentukan offset α & β cukup membantu
hingga akhirnya didapatkan model SIR yang cukup fit dengan datanya. Meskipun
demikian, karena wabahnya masih berlangsung (on-going), maka bisa jadi, begitu
baris data berikutnya (data terbaru) ditambahkan, maka nilai offset α & β-nya perlu
di-update kembali (tanpa merubah kode lainnya) sesuai dengan kesesuaian (fitness)
kurvanya. Inilah kelemahannya.

7.5 Data Covid-19


Setiap peneliti epidemik, untuk mendapatkan pemahaman yang baik dan lengkap, di
samping perlu memperhatikan karakteristik (virus) penyakitnya, juga memerlukan
"data lapangan" yang memadai; yang terekpos (E), sakit (I) atau kasus aktif, rentan
(S), dan sembuh/kebal/mati (R). Kemudian, dengan mempelajari histori jumlah kasus
(aktif) beserta pola sebarannya, maka dapat dievaluasilah alternatif modelnya.
Meskipun demikian, biasanya, para peneliti tidak dapat begitu saja mengamati
semuanya secara langsung seorang-diri (mendapatkan data primer). Oleh sebab itu,
mereka juga perlu mencari data sekundernya yang terjangkau.
Sehubungan dengan hal ini, maka berikut ini adalah beberapa website penyedia data
(sekunder) Covid-19:
a) Github (https://github.com/owid/covid-19-data/tree/master/public/data/).
b) WorldOmeters157 (https://www.worldometers.info/coronavirus/).
c) Portal data uni-eropa (https://data.europa.eu/).
d) WHO (https://covid19.who.int/).
e) Our world in data (https://ourworldindata.org/).
f) Satgas Penanganan Covid-19 (https://covid19.go.id/)
g) Informasi terkini Covid-19 di Indonesia (https://kawalcovid19.id/)158.
h) Pusat informasi dan koordinasi Covid-19 Jabar
(https://pikobar.jabarprov.go.id/).
i) Pusat Informasi Covid-19 Kota Bandung (https://covid19.bandung.go.id/).
j) BNPB Hub InaCovid-19 (https://bnpb-inacovid19.hub.arcgis.com/).
k) The Humanitarian Data Exchange (https://data.humdata.org/).
l) Dan lain sejenisnya159.

157
Untuk mendapatkan informasi grafiknya, klik nama negaranya pada tabel “Report
Coronavirus Cases”.
158
https://docs.google.com/spreadsheets/d/1ma1T9hWbec1pXlwZ89WakRk-
OfVUQZsOCFl4FwZxzVw/edit#gid=387345074
159
Data yang tersedia terkadang berubah-rubah (tempat); dulu tersedia, sekarang tidak
tersedia; dulu tersedia di menu/tab ini, sekarang pindah ke menu/tab itu; dulu tersedia
secara lengkap, sekarang tidak lengkap (item datanya tidak sama) atau dipecah dalam
beberapa file.

Halaman: 159 349


7.5.1 Sampel Data Covid-19
Berikut ini adalah beberapa contoh tampilan data (harian) covid-19 yang dimaksud.

Gambar 7.26: Data Covid-19 Harian, KawalCovid19.Id

Gambar 7.27: Data Covid-19 Harian, Covid19.Go.Id


Dengan jumlah item data Covid-19 seperti ini (bahasan sub-bab 7.5),
maka pemodelan fenomena epidemiknya sebagai SIR nampaknya masih
memungkinkan, meskipun dengan asumsi tertentu (sesuai dengan
populasi yang bersangkutan) bagi jumlah (kelompok) individu yang
rentan. Meskipun demikian, data seperti ini tidak mungkin dimodelkan
sebagai SIRS (item datanya kurang), walaupun sebagian dari fenomena di
dunia nyatanya (tidak sedikit kasus) memang memperlihatkan hal yang
demikian (adanya peristiwa-peristiwa perentanan kembali setelah
sembuh atau divaksin hingga bisa terinfeksi/sakit kembali); perhatikan
vaksinasinya 1, 2, dan booster. Jumlah individu yang menjadi rentan
kembali sebenarnya tidak akan diketahui hingga yang bersangkutan
terbukti terinfeksi (menjadi kasus aktif) kembali.

Halaman: 160 349


Gambar 7.28a: Data Covid-19 Harian, Pikobar.Jabarprov.Go.Id

Gambar 7.28b: Data Covid-19 Harian, https://covid19.bandung.go.id


Keterangan: (1) tabel 7.16 didapat dari siitus https://covid19.bandung.go.id/data
dengan men-select-copy-paste apa saja yang muncul di halaman website-nya; dan (2)
tabel 7.17 didapatkan dengan cara men-download file tabel CSV yang tersedia di
halaman yang bersangkutan.

Halaman: 161 349


Tabel 7.16: Data Covid-19 Bandung (https://covid19.bandung.go.id/data)

Tabel 7.17: Data Covid-19 Dunia (https://covid19.who.int/table)

7.5.2 Kurva/Grafik
Berdasarkan histori data yang tersedia, maka kita dapat menampilkan grafik atau
kurva-kurvanya untuk mendapatkan gambaran visualnya. Oleh sebab itu, sebagai
ilustrasi, berikut ini adalah beberapa contoh tampilan kurva-kurvanya, khususnya
untuk cakupan Indonesia dan Kota Bandung.

Halaman: 162 349


Data Cakupan Indonesia
Berdasarkan data Covid-19 yang tersedia di KawalCovid19 pada saat pengambilan,
periode 02 Maret 2020 hingga 21 Agustus 2021, didapatkan kurva-kurva seperti
berikut (programnya dapat dilihat pada lampiran 1, L.50). Pada periode tersebut,
sumbu x dinyatakan dalam satuan hari (day) dan sumbu y dinyatakan dalam satuan
jiwa (orang). Untuk memperlihatkan perbedaan relatif kurva-kurvanya, gambar 7.33,
digunakan jumlah populasi yang berbeda 7.5, 20, dan 50 juta jiwa.

Gambar 7.31: Kurva-Kurva Kasus Aktif (Total) & Harian (Baru)

Gambar 7.32: Kurva-Kurva Sakit, Sembuh, dan Mati (Total & Harian)

Gambar 7.33: Kurva-Kurva Kasus Aktif, Total Kebal, dan Total Rentan

Halaman: 163 349


Sebagaimana nampak pada gambar 7.31 di atas, terlihat bahwa kurva
jumlah kasus aktif (sakit) memiliki pola atau bentuk yang relatif (hampir)
sama (proporsional) dengan kurva jumlah kasus harian (kasus baru).
Perbedaannya hanya pada skala angkanya saja.
Kurva-kurva data epidemik (kasus aktif dan hariannya) yang telah memasuki tahun
kedua160 ini (gambar 7.31), sudah pernah mencapai puncaknya dua kali (pertama
pada 5 Februari 2021 dengan jumlah kasus aktif 176,672 jiwa, dan kedua pada 24 Juli
2021 dengan jumlah kasus aktif sebanyak 574,135 jiwa). Meskipun demikian, kurva-
kurva yang nampak pada (sisi kiri) gambar 7.32 dan gambar 7.33 (perhatikan kurva
kasus efektif/sakit yang dimunculkan terpisah dan tampilan kurva-kurya rentan,
kasus aktif, dan kebal yang dimunculkan secara bersamaan) memperlihatkan
perbedaan yang sangat signifikan dengan pola umum kurva-kurva model SIR atau
SIRS (gambar-gambar 7.22, 7.18, 7.12, 7.10, dan bahasan pada bab 2 & 3). Selain itu,
pemberian nilai yang berbeda (7.5, 20, dan 50 juta) pada jumlah populasi akan
mempengaruhi bentuk relatif kurva-kurvanya (total rentan, total kebal, dan kasus
aktif). Oleh sebab itu, menurut pendapat penulis, kenampakkan sekilas kurva-kurva
pada gambar 7.32 dan gambar 7.33 ini (sampel data Covid-19 pada periode waktu
tersebut) belum dapat dibandingkan begitu saja secara layak dengan kurva-kurva
model SIR atau SIRS (polanya berbeda signifikan); terlalu dipaksakan.
Data Cakupan Bandung
Berdasarkan histori data yang tersedia di Pusat Informasi Covid-19 Kota Bandung
(https://covid19.bandung.go.id/data), pada periode 17 September 2020 hingga 24
Agustus 2021, didapatkan grafik dengan kurva-kurva seperti berikut (baris-baris kode
programnya dapat dilihat pada lampiran 1, L.43). Pada periode tersebut, sumbu x
juga dinyatakan dalam satuan hari (day) dan sumbu y dinyatakan dalam satuan jiwa
(orang). Untuk memperlihatkan perbedaan relatif kurva-kurvanya (rentan, kebal, dan
kasus aktif) digunakan nilai-nilai jumlah populasi yang berbeda 80,000, 160,000, dan
200,000 jiwa.
Kurva-kurva data epidemik (kasus aktif) yang juga telah memasuki tahun kedua ini
(gambar 7.31), sudah pernah mencapai puncaknya dua kali (pertama pada 29 Januari
2021 dengan jumlah kasus aktif 1,866 jiwa, dan kedua pada 1 Agustus 2021 dengan
jumlah kasus aktif sebanyak 9,118 jiwa). Meskipun demikian, kurva-kurva yang
nampak pada (kanan-atas) gambar 7.34 dan gambar 7.35 (perhatikan kurva kasus
efektif/sakit yang dimunculkan terpisah dan tampilan kurva-kurya rentan, kasus
aktif, dan kebal yang dimunculkan secara bersamaan) memperlihatkan perbedaan
yang sangat signifikan dengan pola umum kurva-kurva model SIR atau SIRS (gambar-
gambar 7.22, 7.18, 7.12, 7.10, dan bahasan pada bab 2 & 3), tetapi uniknya, kurva
kasus efektif (sakit), rentan, dan kebal memiliki pola umum yang sama antara sampel
data cakupan Bandung dan Indonesia. Selain itu, pemberian nilai yang berbeda (80,
160, dan 200 rb jiwa) pada jumlah populasi akan mempengaruhi bentuk relatif kurva-
kurvanya (total rentan, total kebal, dan kasus aktif). Oleh sebab itu, menurut

160
Kita tidak mengetahui kelanjutannya (kasus aktif beserta kasus baru hariannya) apakah
trend-nya akan selesai di gelombang kedua, atau berkemungkinan memiliki gelombang
berikutnya.

Halaman: 164 349


pendapat penulis, kenampakkan sekilas kurva-kurva pada gambar 7.34 dan gambar
7.35 ini belum dapat dibandingkan begitu saja secara layak dengan kurva-kurva
model SIR atau SIRS (polanya berbeda signifikan); juga terlalu dipaksakan.

Gambar 7.34: Kurva-Kurva Sakit/Kasus Aktif, Sembuh, dan Mati (Total)

Gambar 7.35: Kurva-Kurva Sakit/Kasus Aktif, Kebal, dan Rentan


7.5.3 Model-Model SIR & Alternatifnya
SIR adalah model epidemik yang sangat umum, tetapi cukup sederhana dan sangat
mudah untuk dipahami. Berdasarkan ketersediaan item datanya, tentu saja dengan
asumsi tertentu, sebagai pembanding, kita dapat memodelkan data Covid-19 yang
tersedia sebagai SIR. Meskipun demikian, seperti telah disinggung di muka bahwa
karena pada saat ini wabahnya masih berlangsung dan kenampakkan sekilas datanya
(bentuk kurva-kurvanya) memperlihatkan ketidak-sesuaian dengan model SIR, maka
model lain pun sebenarnya patut dicoba sebagai alternatif.

Halaman: 165 349


Dalam hal hitungan (evaluasi) nilai-nilai koefisien α dan β (model epidemik)
berdasarkan sampel data lapangan, perhatikan (box) beberapa catatan
pada sub-bab 7.4.2
Kasus SIR Indonesia
Untuk cakupan Indonesia, dengan sampel data di periode yang sama dengan di atas
(02 Maret 2020 hingga 21 Agustus 2021), maka item data yang kebal dapat diperoleh
dari penjumlahan kolom-kolom total sembuh dan total mati. Sementara item data
yang sakit diperoleh dari kolom kasus aktif. Sedangkan yang rentan, karena memang
tidak pernah diamati (secara langsung), item datanya didapatkan dari (pendekatan)
pengurangan total populasi (N) dengan penjumlahan yang sakit (kasus aktif) dan
kebal. Oleh sebab itu, dengan asumsi dasar bahwa jumlah individu yang pertama kali
terinfeksi (Io) adalah 1 dan yang sembuh (Ro) adalah 0 (default model SIR), kita perlu
mengasumsikan jumlah awal individu yang rentan (So). Inilah masalahnya. Kita perlu
mencarikan nilai So yang di tepat. Pemilihan nilai So, perlu mempertimbangkan data
epidemiknya. Oleh sebab itu, untuk contoh kasus ini, penulis memilih So= 7,499,999
jiwa (dengan memperhatikan nilai-nilai item datanya).
Dengan menggunakan asumsi di atas beserta contoh kode sederhana pada lampiran
1 L.44 ”Kasus SIR Indonesia” akan dihasilkan α= 0.1353, β= 0.0722, dan kurva-kurva
sebagai berikut.

Gambar 7.36: Kurva-Kurva Model & Data


Dengan asumsi yang sama dan baris kode yang sama dengan di atas, jika diberikan
offset untuk beta=-0.0225 dan offset untuk alpha=-0.018 (cara ”cocok-logi”161 secara
visual dengan kurva kasus aktif sebagai referensi untuk mendapatkan kenampakkan
kurva-kurva model yang lebih dekat dengan data epidemiknya), maka dihasilkan
kurva-kurva seperti berikut.

161
Tampilan pertama kali (apa adanya), tanpa offset sama sekali, adalah sangat penting
untuk melihat posisi-posisi kurva-kurva aslinya. Berdasarkan tampilan ini, maka kita dapat
melakukan proses trial and error untuk mendapatkan nilai-nilai offset yang lebih baik;
kedekatan data dengan modelnya.

Halaman: 166 349


Gambar 7.37: Kurva-Kurva Model & Data (plus Offset)
Berdasarkan tampilan gambar-gambar 7.31, 7.32, 7.33, 7.36, dan 7.37 di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa sampel data periode panjang untuk cakupan Indonesia di
atas memperlihatkan ketidak sesuaiannya dengan pola umum model SIR.
Kasus SIR Bandung
Untuk cakupan Bandung, dengan sampel data di periode yang sama dengan di atas
(17 September 2020 hingga 24 Agustus 2021), maka item data yang kebal dapat
diperoleh dari penjumlahan kolom-kolom total sembuh dan total mati. Sementara
item data yang sakit diperoleh dari kolom kasus aktif. Sedangkan yang rentan, karena
memang tidak pernah diamati (secara langsung), item datanya didapatkan dari
(pendekatan) pengurangan total populasi (N) dengan penjumlahan yang sakit (kasus
aktif) dan kebal. Oleh sebab itu, dengan asumsi dasar bahwa jumlah individu yang
pertama kali terinfeksi (Io) adalah 1 dan yang sembuh (Ro) adalah 0 (default model
SIR), kita perlu mengasumsikan jumlah awal individu yang rentan (So). Inilah
masalahnya. Kita perlu mencarikan nilai So yang di tepat. Pemilihan nilai So, perlu
mempertimbangkan data epidemiknya. Oleh sebab itu, untuk contoh kasus ini,
penulis memilih So= 79,999 jiwa (dengan memperhatikan nilai-nilai item datanya).
Dengan menggunakan asumsi di atas beserta contoh kode sederhana pada lampiran
1 L.43 ”Kasus SIR Bandung” akan dihasilkan α=0.071354, β=0.0083569, dan kurva-
kurva sebagai berikut.

Gambar 7.38: Kurva-Kurva Model & Data


Dengan asumsi yang sama dan baris kode yang sama dengan di atas, tetapi jika
diberikan offset untuk beta=0.035 dan offset untuk alpha=-0.06 pada baris kodenya

Halaman: 167 349


(cara ”cocok-logi”162 secara visual dengan kurva kasus aktif sebagai referensi untuk
mendapatkan kenampakkan kurva-kurva model yang lebih dekat dengan data
epidemiknya), maka akan dihasilkan kurva-kurva sebagai berikut.

Gambar 7.39: Kurva-Kurva Model & Data (dengan Offset)


Berdasarkan tampilan gambar-gambar 7.34, 7.35, 7.38 dan 7.39 di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa sampel data periode panjang untuk cakupan Kota Bandung di
atas juga memperlihatkan ketidak-sesuaiannya dengan pola umum model SIR.
Kasus SIR Prancis
Sebagai tambahan, kita juga dapat mengevaluasi sampel data Covid-19 Perancis
pada periode 22 Januari hingga 31 Maret 2020 (70 hari, periode pendek). Sampel
data ini tercantum pada tabel 3 di dalam pustaka (Mou, 2020). Jika sampel data ini
diproses dengan baris-bari kode yang sama dengan lampiran 1 L.47, dengan asumsi
So= 1599999, maka akan mendatangkan hasil-hasil seperti berikut (α=0.212, β=0.060,
bilangan reproduksi = 3.53).

Gambar 7.40a: Data & Model yang Sembuh/Kebal

162
Tampilan pertama kali (apa adanya), tanpa offset sama sekali, adalah sangat penting
untuk melihat posisi-posisi kurva-kurva aslinya. Berdasarkan tampilan ini, maka kita dapat
melakukan proses trial and error untuk mendapatkan nilai-nilai offset yang lebih baik;
kedekatan data dengan modelnya.

Halaman: 168 349


Gambar 7.40b: Data & Model yang Rentan

Gambar 7.40c: Data & Model yang Sakit

Gambar 7.40d: Model SIR Kasus Data Perancis


Sampel data Covid-19 Perancis yang mencakup periode yang sangat pendek ini
(gambar 7.40 a sampai c) nampak masih ”sejalan” dengan pola umum model SIR;
kemungkinan besar karena disebabkan oleh jumlah sampel datanya yang masih
terlalu sedikit hingga akan terlalu dini jika harus disimpulkan pada saat itu juga.
Tetapi ternyata, sesuai dugaan, profil kurva kasus hariannya/baru (yang juga

Halaman: 169 349


mencerminkan kasus aktifnya) setidaknya sudah memiliki empat (4) titik puncak
(gambar 7.40e) berdasarkan sampel data periode panjangnya. Dengan demikian,
sampel data periode panjang Perancis juga memperlihatkan ketidak sesuaiannya
dengan pola umum model SIR.

Gambar 7.40e: Kasus Harian (Baru) Perancis


Kasus SIR Senegal
Sebagai tambahan, berikut ini adalah sampel data Covid-19 Senegal yang mencakup
rekaman 30 hari (2 maret 2020 hingga 30 maret 2020); perioda yang sangat pendek
untuk Covid-19. Data ini tercantum pada tabel 1 pada pustaka (Mou, 2020). Jika
sampel data ini diproses dengan contoh baris kode yang sama dengan lampiran 1
L.47 di atas, dengan asumsi bahwa So=1999163, maka akan mendatangkan hasil-hasil
berikut (α=0.217, β= 0.03, bilangan reproduksi = 7.12).

Gambar 7.41: Kurva-Kurva Data & Model Senegal

163
Nilai ini perlu ditingkatkan sejalan dengan penambahan baris datanya; nilai ini digunakan
untuk mem-fit-kan kurva modelnya terhadap datanya.

Halaman: 170 349


Sampel data Covid-19 Senegal yang mencakup periode pendek ini (gambar 7.41)
nampak masih ”sejalan” (meskipun dengan sedikit penyimpangan yang dapat
dianggap tidak berarti) dengan pola umum model SIR; kemungkinan besar, hal ini
juga disebabkan karena jumlah sampel datanya yang masih terlalu sedikit hingga
masih terlalu dini jika harus disimpulkan pada saat itu juga. Tetapi ternyata, sesuai
dugaan, profil kurva kasus barunya (yang mencerminkan kasus aktifnya) pada sampel
data periode panjangnya setidaknya sudah memiliki tiga (3) titik puncak (gambar
7.42). Dengan demikian, sampel data periode panjang Senegal juga memperlihatkan
ketidak-sesuaiannya dengan pola umum model SIR.

Gambar 7.42: Kasus Harian (Baru) Senegal


Kasus SIR Hubei, Cina
Sebagai tambahan, berikut ini adalah sampel data Hubei (Cina) yang mencakup
rekaman 70 hari (22 Januari 2020 hingga 31 maret 2020). Untuk kasus Covid-19,
jumlah sampel data ini terhitung sangat minim; periode pendek. Data ini tercantum
di tabel 2 pustaka (Mou, 2020). Berdasarkan kurva yang sakitnya, nampak bahwa
wabah ini mulai menurun, pernah mencapai titik puncak. Kemudian, jika data ini
diproses dengan baris-baris kode yang mirip dengan lampiran 1 L.47, dengan asumsi
bahwa So=79999 jiwa164, maka menghasilkan nilai-nilai seperti berikut α=0.3215,
β=0.03601, bilangan reproduksi = 4.2878.
Pada tabel referensi itu nampak bahwa rekaman datanya tidak dari awal (to) hingga
baris pertamanya sudah dimulai dari 399 (sakit), 28 (sembuh), dan 17 (mati). Dengan
demikian, pada kasus seperti ini, tersedia dua pilihan; [1] merekonstruksikan kapan
sebenarnya saat wabahnya bermula (to) dimana diberlakukan (diasumsikan) Io=1,
Ro=0, So=N-1, dan kemudian ”mengisi” (menginterpolasi) nilai-nilai It, Rt, St sebelum
data yang terekam pada tabelnya; atau [2] langsung menggunakan sampel data apa
adanya (Io=399, Ro=28+17, dan nilai So yang diasumsikan). Setelah diproses, nampak
secara umum bahwa sampel datanya tidak fit dengan model SIR. Oleh sebab itu,
dilakukanlah curve-fitting dengan cara trial & error; ”cocok-logi”. Jika digunakan
kurva data sakit sebagai referensi, maka kurva data kebal cenderung melenceng dari
modelnya. Sebaliknya, jika digunakan kurva data kebal sebagai referensi, maka kurva
sakit yang cenderung melenceng dari modelnya.

164
Nilai ini perlu ditingkatkan sejalan dengan penambahan baris datanya; nilai ini digunakan
untuk mem-fit-kan kurva modelnya terhadap datanya.

Halaman: 171 349


Gambar 7.43: Kurva-Kurva Data & Model Hubei (Cina)
Sampel data Covid-19 pada periode pendek ini (gambar 7.43) sudah nampak tidak
”sejalan” dengan pola umum model SIR, tetapi juga terlalu dini jika harus
disimpulkan pada saat itu juga. Meskipun demikian, ternyata, sesuai dugaan,
memang, profil kurva kasus barunya (yang juga mencerminkan kasus aktifnya) yang
dalam jangka panjang pun, secara keseluruhan dalam cakupan negara Cina daratan
(gambar 7.44), memang tidak sejalan dengan pola model SIR.

Gambar 7.44: Kasus Harian (Baru) Cina Daratan


Berdasarkan beberapa kali percobaan di atas (Indonesia, Bandung, Prancis, Senegal,
dan Hubei), nampak ketidak cocokan pola kurva sampel data dengan pola model SIR.
Dalam jangka pendek, hanya sampel data Perancis (gambar-gambar 7.40a hingga
7.40c) dan Senegal (gambar 7.41) yang masih memiliki unsur kesesuaian antara
sampel data dengan modelnya. Sedangkan pada periode panjangnya, sampel
datanya (gambar-gambar 7.31, 7.32, 7.33, 7.34, 7.35, 7.36, 7.38, 7.39, 7.40e, 7.42,
7.43, dan 7.44) sudah tidak sesuai/sejalan dengan model SIR. Jadi, tidak mudah
untuk mem-fit-kan sampel data dengan modelnya konvensionalnya. Hal ini sama
sekali tidak mengherankan karena sudah banyak hasil penelitian (paper) pandemi

Halaman: 172 349


Covid-19 yang menyatakan demikian meskipun dengan narasi-narasi yang berbeda-
beda seperti berikut:
a) ”Why is it difficult to accurately predict the COVID-19 epidemic?”
b) ”It is not easy to have an observed estimated for N, Io, and So to compare
them with the value computed via the SIR model”.
c) ”The results in data of confirmed cases Covid-19 to fluctuate and difficult to
predict”.
d) ”There are major difficulties in predicting the future of an epidemic with the
present or similar models”.
e) ”This makes it more difficult to select appropriate model parameters and
surges where the susceptible population is adjusted”.
f) ”Why covid-19 models don't predict the future”.
g) ”Modelers struggle to predict the future of the COVID-19”.
h) ”No COVID-19 models are perfect, but some are useful”.

Halaman: 173 349


Berdasarkan beberapa kali percobaan di atas165, kenampakkan sampel data
Covid-19 (epidemik) jangka panjangnya jarang yang ”mulus” dan tidak fit
dengan modelnya. Oleh sebab itu, pada taraf tertentu, dibutuhkan offset
(So, α, dan β) agar kurva-kurva modelnya agak dekat (fit) dengan sampel
datanya; praktek ”cocok-logi”. Praktek ini dimulai dengan pemilihan nilai
yang ”pas” bagi So; tidak harus sama dengan jumlah penduduknya tetapi
asumsinya juga tidak boleh melebihi jumlah penduduk yang sebenarnya166.
Lagi pula, sampel data populasi yang rentan (St) tidak akan pernah diamati
atau diukur (diasumsikan).
Pada praktek ”cocok-logi” ini, gunakan nilai-nilai α dan β apa adanya (tanpa
offset), kemudian rubahlah nilai So–nya hingga kurva sampel datanya cukup
dekat (berdasarkan tampilan visualnya) dengan kurva modelnya. Gunakan
kurva yang sakit/kasus aktif (infected) atau kebal (recovered) sebagai
referensi visualnya. Kenaikan nilai So biasanya akan menggeser
kenampakkan kurva model ke kanan (sumbu waktu/x). Kemudian, dengan
referensi kurva yang sama, dekatkan ujung atas (puncak) kurva model ke
kurva sampel datanya dengan merubah nilai α-nya. Kenaikan nilai α
biasanya akan meninggikan (sumbu orang/jiwa/y) kurva model sakit/kasus
aktif, sedangkan penurunan nilai α akan menurunkan tinggi kurva model
sakit. Bersama dengan pengaturan nilai α, dengan referensi visual kurva
yang sama, secara bergantian juga dilakukan pengaturan nilai β hingga
kenampakkan ke-tiga kurva modelnya (SIR) mendekati sampel datanya.
”Pengaturan” nilai-nilai α dan β ini biasanya juga bergantung pada nilai So
yang diberikan.
Berdasarkan kenyataan ini, untuk periode pendek, beberapa sampel data
dapat didekati oleh lebih dari 1 model. Meskipun demikian, sampel data
periode pendek ini masih ”bias”, karena karakter, pola, atau trend aktual
yang mendasarinya secara keseluruhan belum tergambarkan secara
lengkap (belum representatif). Apalagi jika fenomena wabahnya masih
berlangsung (on going) dan sangat dipengaruhi oleh prilaku manusianya
yang ”tidak alami” (intensitas interaksi sosial & ketidak-disiplinan
menjalankan protokol kesehatan), sangat dinamis (baik secara lokal
maupun temporal), dan sulit ditebak. Sementara itu, di lain pihak, contoh
sampel data Covid-19 periode panjang di atas, dari perspektif bahasan bab
2 & 3 (model epidemik), visualisasinya tidak memperlihatkan adanya
hubungan fungsional di antara variabel-variabel St, It, dan Rt–nya;
perhatikan bentuk-bentuk kurvanya yang cukup jauh dari pola model
epidemik konvensional seperti halnya SIR, SIRS, dan lain sejenisnya. Oleh
sebab itu, adalah tidak mengherankan jika banyak hasil penelitian (paper),
terutama di periode awal pandemi, belum berhasil dalam memprediksikan
(memodelkan) sampel data Covid-19 dengan akurat.

165
Ini bukan aturan, hanya sekedar sharing pengalaman pribadi; bisa benar & tidak.
166
Jika nilai So terlalu kecil, nilai α–nya cenderung negatif, jika terlalu besar juga tidak
realistis tidak realistis (jumlah yang rentan melebihi jumlah penduduk yang sebenarnya).

Halaman: 174 349


BAB 8: SIMULASI MODEL
EPIDEMIK DENGAN SISTEM
DINAMIS
Dengan memperhatikan model-model biologi/epidemik “konvensional” yang telah
dibahas, nampak bahwa fenomena ini juga dapat (diasumsikan)167 didasarkan pada
suatu model/sistem dinamis. Keduanya juga dapat memprediksikan perjalanan suatu
fenomena wabah atau pendemi. Bahkan, berdasarkan sajian variabel yang terlibat di
dalamnya beserta relasi-relasi matematisnya (hubungan sebab-akibat) dan potensi
dinamika yang sebenarnya mungkin terjadi, dari perspektif sistem dinamis, maka
simulasi model epidemik nampak lebih sederhana tetapi “transparan”; solusi dengan
pemodelan sistem dinamis berpotensi lebih luas dan representatif.
Berangkat dari asumsi di atas, maka model biologi/epidemik konvensional juga dapat
ditangani dengan mudah oleh simulasi sistem dinamis. Selain itu, dengan paket
perangkat lunak pemodelan sistem dinamis yang sudah banyak beredar di pasaran,
maka model biologi/epidemik ini dapat disimulasikan tanpa syarat/keharusan
pengalaman dan penguasaan pemrograman bahasa komputer. Dengan simulasi
sistem dinamis, pemodelan biologi/epidemik menjadi jauh lebih mudah. Inilah
keuntungannya. Sehubungan dengan hal ini, maka pada bab ini dibahas pembuatan
model biologi/epidemik dengan menggunakan (paket) perangkat lunak pemodelan
sistem dinamis; Vensim.

8.1 Diagram Sebab-Akibat


Berdasarkan pembahasan bab-bab sebelumnya (terutama bab 2 dn 3), maka untuk
memudahkan pemahaman persoalannya secara konseptual, diagram sebab-akibat
model biologi/epidemik SIR (dasar) dan SIR dengan Intervensi168 (yang sebenarnya
sudah cenderung bersifat teknis) dapat digambarkan seperti berikut.

167
Jika datanya memang cukup dekat dengan modelnya.
168
Untuk model yang lain, perbedaannya dengan model SIR dasar dan SIR dengan Intervensi
ini tidak terlalu banyak; pola umumnya sama saja.

Halaman: 175 349


Gambar 8.1: Diagram Sebab-Akibat Model SIR Dasar
Dimana: alpha (α) mewakili nilai contact-rate-nya (1/satuan waktu); dimana 1/α
adalah waktu (rata-rata) yang diperlukan penyakit untuk menyebar (melalui kontak),
dan betha (β) mewakili recovered-rate (1/satuan waktu); dimana 1/β adalah waktu
(rata-rata) yang diperlukan oleh setiap individu untuk bisa recovered (sembuh, kebal,
atau mati) dari penyakit yang bersangkutan.

Gambar 8.2: Diagram Sebab-Akibat Model SIR & Intervensi


Dimana: ”alpha_nol” adalah nilai α tanpa intervensi, ”alpha” adalah nilai α (aktual),
”penggunaan_APD” adalah pengaruh penggunaan APD pada α, ”jaga_jarak” adalah
pengaruh aktivitas jaga jarak pada α, ”klaster_baru” adalah pengaruh adanya klaster
baru pada α, ”betha_nol” adalah nilai β tanpa intervensi, ”betha” adalah nilai β
(aktual), ”vaksinasi” adalah pengaruh aktivitas vaksinasi169 pada nilai β, dan
”kebiasaan_buruk” adalah pengaruh kebiasaan hidup tidak sehat pada nilai β.

169
Biasanya, pengertian vaksinasi berupa suntikan serumhingga yang bersangkutan menjadi
kebal penyakit tertentu. Dengan pengertian ini, maka dalam pemodelannya, intervensi
vaksinasi akan melahirkan kelompok populasi baru; “Tervaksinasi”. Atau, jika tidak
diasumsikan seperti itu, maka keberadaam individu yang tervaksinasi akan mengurangi
jumlah yang rentan karena biasanya semuanya diasumsikan rentan (perhatikan sub-bab
2.13). Selain dari itu, dengan vaksinasi, maka individu-individu yang bersangkutan dianggap
kebal. Artinya, mereka akan langsung dianggap sebagai individu yang sudah kebal sejak di

Halaman: 176 349


Sebenarnya, masih banyak lagi model epidemik yang dapat disebutkan. Apalagi
dengan berbagai variasi detilnya berikut asumsi masing-masing. Pada dasarnya,
model-model ini akan menampilkan variabel-variabel state yang sudah baku (yang
status atau nilai-nilainya ingin dipantau); rentan (S), terekspos (E), sakit (I), kebal (R
atau sembuh/mati), dan lain sejenisnya. Sedangkan sisanya adalah konstanta (alpha,
betha, dan seterusnya). Meskipun demikian, baik secara sengaja maupun tidak,
dengan beberapa intervensi tertentu (seperti halnya asupan gizi yang baik, vaksinasi,
jaga jarak, penggunaan APD, dan lain sejenisnya), nilai konstanta (parameter) ini
secara logis bisa berubah (hingga akhirnya berperan sebagai variabel) sedemikian
rupa hingga menguntungkan manusia; jumlah/kasus yang sakit tidak banyak dan
kondisi wabahnya mereda dalam waktu yang tidak lama.

8.2 Simulasi Model


Untuk mempercepat pemahaman dengan ilustrasi, maka berikut ini diberikan contoh
langkah-langkah pembuatan model-model epidemik SIR dasar (gambar 8.1) & SIR
dan intervensi (gambar 8.2) dengan menggunakan paket perangkat lunak pemodelan
atau simulasi sistem dinamis (diagram Stock & Flow); khususnya Vensim170.

8.2.1 Model SIR Dasar


Dengan asumsi bahwa nilai-nilai So=4999, Io=1, Ro=0, N=So+Io+Ro, α=0.95, dan β=0.18,
maka langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1) Buatlah model baru dengan ketentuan (settings):
a) Nama file ”model_SIR_dasar”.
b) Initial time 0 (awal simulasi)
c) Final time 40 (akhir simulasi)
d) Time step 1 (setiap hari)
e) Units for time ”Day”
f) Integration type ”RK4 Auto” (metode integrasi Runge-Kutta)
2) Masukkan 3 variabel stock ”Rentan”, ”Sakit”, dan ”Kebal”.
3) Masukan 2 variabel rate ”laju inveksi” atau ”infecting” (yang berawal di
”Rentan” dan berakhir di ”Sakit”) dan ”laju kebal” atau ”Recovering” (yang
berawal di ”Sakit” dan berakhir di ”Kebal”).
4) Masukan 3 variabel biasa ”Alpha” (yang terkait dengan variabel ”laju
inveksi”), ”Betha” (yang terkait dengan variabel ”laju kebal”), dan ”Populasi”
(yang terkait dengan variabel ”laju_inveksi”).
5) Nyatakan hubungan (relasi-relasi yang bersimbol garis dengan anak-panah-
nya) antar-variabelnya secara eksplisit di dalam model sesuai dengan

awalnya (tidak pernah rentan dan sakit). Jumlah mereka langsung masuk ke dalam kelompok
yang kebal hingga nilai Ro-nya tidak sama dengan nol (0). Meskipun demikian, khusus pada
bab ini, vaksinasi bermakna sebagai proses pemeliharaan (treatment) kesehatan atau
pengobatan tertentu hingga waktu yang diperlukan untuk sembuh menjadi lebih cepat. Jadi,
khusus pada bab ini, vaksinasi yang dimaksud diasumsikan akan memperbesar nilai betha
(β); mempercepat proses kesembuhan.
170
Bahasan (tutorial) mengenai bagaimana menggunakan perangkat lunak Vensim dapat
dilihat pada bab 6 pustaka (Prahasta, 2018).

Halaman: 177 349


diagram sebab-akibatnya (gambar 8.1) hingga modelnya nampak seperti
berikut.

Gambar 8.3: Diagram Stock & Flow Model SIR Dasar


6) Pada variabel stock ”Rentan” tentukan:
a) Unit ”jiwa”.
b) Initial (So) 4999
c) INTEG (-αSI/N) -laju_inveksi
7) Pada variabel stock ”Sakit” tentukan:
a) Unit ”jiwa”.
b) Initial (Io) 1
c) INTEG (-αSI/N -βI) laju_infeksi-laju_kebal
8) Pada variabel stock ”Kebal” tentukan:
a) Unit ”jiwa”.
b) Initial (Ro) 0
c) INTEG (βI) laju_kebal
9) Pada variabel rate ”laju_inveksi” tentukan:
a) Unit ”jiwa/Day”.
b) Equation (αSI/N) Alpha*Rentan*Sakit/Populasi
10) Pada variabel rate ”laju_kebal” tentukan:
a) Unit ”jiwa/Day”.
b) Equation (βI) Betha*Sakit
11) Pada variabel biasa ”Alpha” tentukan:
a) Unit ”1/Day”.
b) Equation (α) 0.95
12) Pada variabel biasa ”Betha” tentukan:
a) Unit ”1/Day”.
b) Equation (β) 0.18
13) Pada variabel biasa ”Populasi” tentukan:
a) Unit ”jiwa”.
b) Equation (N) 5000

Jika disimulasikan, maka model SIR ini akan menghasilkan tampilan-tampilan dengan
kurva-kurva seperti berikut.

Halaman: 178 349


Gambar 8.4: Kurva-Kurva Model SIR Dasar

8.2.2 Model SIR & Intervensi


Dengan asumsi bahwa nilai-nilai So=4999, Io=1, Ro=0, N=So+Io+Ro, αo=0.95, dan
penggunaan_apd = 0.275, jaga_jarak = 0.225, klaster_baru = RANDOM UNIFORM
(0,29,0)/100, βo = 0.18, vaksinasi = 0.15, kebiasaan_buruk = RANDOM UNIFORM
(0,19,0)/100, maka langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1) Salinlah (copy) file model di atas menjadi ”Model_SIR_intervensi”.
2) Tambahkan enam variabel biasa yang baru; ”aplha_nol” (hubungkan
relasinya ke ”alpha”), ”penggunaan_apd” (hubungkan relasinya ke ”alpha”),
”jaga_jarak” (hubungkan relasinya ke ”alpha”), ”klaster_baru” (hubungkan
relasinya ke ”alpha”), ”betha_nol” (hubungkan relasinya ke ”betha”),
”vaksinasi” (hubungkan relasinya ke ”betha”), dan ”kebiasaan_buruk”
(hubungkan relasinya ke ”betha”).
3) Nyatakan hubungan (relasi-relasi yang bersimbol garis dengan anak-panah-
nya) antar-variabelnya secara eksplisit di dalam model sesuai dengan
diagram sebab-akibatnya (gambar 8.2) hingga modelnya nampak seperti
berikut.

Halaman: 179 349


Gambar 8.5: Diagram Stock & Flow Model SIR & Intervensi
4) Tentukan property variabel ”Alpha” sebagai berikut:
a) Unit ”1/Day”.
b) Equations ” alpha_nol-jaga_jarak-penggunaan_apd+klaster_baru”
5) Tentukan property variabel ”Betha” sebagai berikut:
a) Unit ”1/Day”.
b) Equations ”betha_nol+vaksinasi-kebiasaan_buruk”.
6) Tentukan property variabel ”alpha_nol” sebagai berikut:
a) Unit ”1/Day”.
b) Equations 0.95
7) Tentukan property variabel ”penggunaan_apd” sebagai berikut:
a) Unit ”1/Day”.
b) Equations 0.25
8) Tentukan property variabel ”jaga_jarak” sebagai berikut:
a) Unit ”1/Day”.
b) Equations 0.20
9) Tentukan property variabel ”klaster_baru” sebagai berikut:
a) Unit ”1/Day”.
b) Equations RANDOM UNIFORM(0,29,0)/100
10) Tentukan property variabel ”betha_nol” sebagai berikut:
a) Unit ”1/Day”.
b) Equations 0.18
11) Tentukan property variabel ”vaksinasi” sebagai berikut:
a) Unit ”1/Day”.
b) Equations 0.15
12) Tentukan property variabel ”kebiasaan_buruk” sebagai berikut:
a) Unit ”1/Day”.
b) Equations RANDOM UNIFORM(0,19,0)/100

Jika disimulasikan, maka model SIR dengan intervensi ini akan menghasilkan
tampilan-tampilan dengan kurva-kurva seperti berikut.

Halaman: 180 349


Gambar 8.6: Kurva-Kurva Alpha (α) & Betha (β)

Gambar 8.7: Kurva-Kurva laju_inveksi & laju_kebal

Gambar 8.8: Kurva-Kurva SIR Rentan (S), Sakit (I), dan Kebal (R)
Seperti nampak pada gambar-gambar di atas bahwa nilai-nilai alpha (α) dan betha
(β) berfluktuasi; tidak konstan sebagaimana biasanya diasumsikan pada model-
model epidemik deterministik dan stokastik. Meskipun demikian, hal ini lebih dekat
dengan realitasnya; adalah hal yang langka jika justru nilai contact-rate–nya konstan
(homogen) untuk selamanya, karena nilai contact-rate juga akan bergantung pada
situasinya yang dinamis. Selain itu, di lain pihak, sebagaimana terlihat, fluktuasi pada
nilai-nilai alpha dan betha (gambar 8.6) juga menyebabkan fluktuasi (meskipun tidak
pada skala yang sama) pada kurva-kurva model SIR yang terintervensi (gambar 8.8).
Hal ini, terutama, disebabkan oleh adanya lonjakan-lonjakan (nilai-nilai acak) yang
digunakan sebagai model dan juga karena adanya kemunculan klaster-klaster baru.
Dengan demikian, akhirnya, kurva-kurva SIR deterministiknya nampak seperti versi
stokastiknya.

Halaman: 181 349


Sebagai saran, agar lebih fleksibel, setting properties bagi setiap konstanta (dalam
hal ini alpha_nol, penggunaan_apd, jaga_jarak, betha_nol, vaksinasi, dan populasi)
juga disertai dengan nilai-nilai minimum (Min), maksimum (Max), dan pertambahan
nilainya (Incr) hingga pada saat dieksekusi (SyntheSIM) akan nampak slider-slider
untuk mengubah nilai-nilainya secara interaktif.

Gambar 8.9: Diagram Stock & Flow Model SIR & Intervensi Plus Sliders

Gambar 8.10: Kurva-Kurva Sesaat Hasil Pergeseran Sliders


Sebagai tambahan, perancang dapat mengembangkan model sederhana ini hingga
lebih ”membumi” dengan meng-update nilai-nilai variabel/konstanta pada model ini
dan menambahkan variabel-variabel lain beserta setiap relasi dan fungsi matematis
yang realistis (aktual).

Halaman: 182 349


BAB 9: STUDI PUSTAKA &
ANALISIS
Nampaknya, memang tidak banyak banyak fenomena ”alami-prilaku-manusia” yang
modelnya (yang akurat) mudah ditemukan. Faktor prilaku manusialah yang
menjadikannya demikian. Tetapi sekali model itu didapat, rasanya tidak begitu sulit
untuk meramalkan kejadian berikutnya. Berangkat dari hasil prediksi model seperti
ini, berbagai alternatif tindakan intervensi dapat teridentifikasi, dipilih, direncanakan,
dan dilaksanakan sambil memonitor perkembangan aktualnya. Inilah fungsi model
epidemik. Meskipun demikian, mengembangkan model epidemik yang seperti ini
berdasarkan sampel data yang tersedia adalah tidak mudah. Beberapa sampel data
yang telah didapat, ternyata, tidak fit dengan modelnya171. Tentu saja, banyak faktor
penyebabnya. Apalagi jika wabah/pandeminya dianggap baru pertama kali terjadi,
virusnya dapat bermutasi hingga menghasilkan varian-varian baru dengan
karakteristiknya yang lebih membahayakan, peristiwanya masih berlangsung (on
going), dan sebarannya sangat dipengaruhi oleh prilaku manusianya baik secara
lokal, global, maupun temporal; pola/kecenderungannya masih sulit ditebak.
Uraian bab 7 di atas telah menggambarkan sebagian dari kesulitan itu; terjadi
perbedaan yang signifikan antara sampel data dengan modelnya (hasil prediksi).
Adalah tidak mudah untuk membuat model SIR yang “pas” berdasarkan sampel data
Covid-19172; terutama dalam jangka panjangnya. Pergerakan data hariannya masih
sulit ditebak; (dinamika) interaksi sosialnya (secara lokal dan temporal) nampak
dominan hingga tindakan intervensi yang diperlukannya pun cenderung ke arah
pembatasan interaksi sosialnya. Sehubungan dengan hal ini, maka beberapa hasil
kajian173 juga menyatakan hal yang senada; banyak prediksi meleset. Selisih sampel
data dan hasil prediksi modelnya signifikan. Beberapa pihak menduga bahwa hal ini
bersumber dari sampel datanya yang belum representatif atau karena sebab-sebab
lainnya.
Sebenarnya, (sampel) data memang tidak harus sama dengan hasil (prediksi)
modelnya. Sebab, secara konseptual, keduanya merupakan dua hal yang berbeda.
Meskipun demikian, aset yang penting dan sangat berharga di bidang epidemik
adalah (sampel) data yang tidak bias; datanya “jujur” (valid) dan apapun (fakta &
keterangan) yang menyebabkannya (menjadi) demikian telah tercatat dengan baik.
Jadi, yang diharapkan adalah sampel datanya benar-benar mewakili apa yang
sebenarnya terjadi dan tidak ada yang “terlambat”, terlewatkan, dan/atau salah
ketik (blunder).

171
Perhatikan bahasan sub-bab 7.5 d atas.
172
Khususnya ketika penulis melakukan penelitian.
173
Yang disebarkan (dipublikasikan) secara online.

Halaman: 183 349


Justru itulah masalahnya. Biasanya, validitas (sampel) data beserta keterangan
mengenai datanya (metadata) yang menjadi pertanyaan; sering kali tidak tersedia
secara lengkap. Sehubungan dengan hal ini, maka ada banyak hal (diantaranya
adalah kondisi lapangan, penerapan kebijakan terkait, bentuk-bentuk intervensi
[kesehatan] yang telah dilakukan, asumsi jumlah populasi yang rentan, dan lain
sejenisnya) yang dapat dibahas sehubungan dengan potensi-potensi kelemahan/
keterbatasan yang bersumber dari sampel datanya dan/atau faktor-faktor yang
mempengaruhi (profil/kurva) datanya hingga menjadi demikian; yang suatu saat
akan menjadi umpan-balik bagi proses perbaikan penerapan kebijakan/intervensi
kesehatan masyarakat yang telah dilakukan.
Pada saat penulisan buku ini, yang terjadi dan masih melanda dunia adalah
pandemi Covid-19. Sebagian dari sampel data biologi/epidemiknya telah
tersebar luas dan dapat diperoleh. Oleh sebab itu, meskipun jenis/tipe
fenomena epidemik itu luas, maka bahasan pada bab ini mengarah pada
(kasus) sampel data pendemi Covid-19 yang tersedia.

9.1 Items Data & Tipe Model


Sebagaimana telah disinggung bahwa model biologi/epidemik memerlukan asumsi
tertentu. Sebagai misal, sampel data (utama) Covid-19 yang tersebar adalah ”sakit”/
kasus aktif (I), ”sembuh” (R), dan ”mati” (D). Sementara itu, untuk membuat model
SIR saja, diperlukan data rentan (S), sakit (I), dan kebal (R). Dengan demikian, item
rentan (S) tidak tersedia sampel datanya. Item data ini memang tidak diamati. Oleh
sebab itu, pada model epidemik, biasanya, diberikan pendekatan/asumsi jumlah
populasi total (N) yang konstan dan nilai-nilai awal yang ”pas”174 bagi So, Io, dan Ro; So
(yang perlu mempertimbangkan nilai-nilai sampel datanya), dan Io (1 sebagaimana
default-nya).
Pada sampel data tersebut, item yang sakit (kasus aktif) sudah tersedia, sementara
yang kebal diperoleh dari penjumlahan yang sembuh dan yang mati. Belum lagi
terdapat faktor ketidakpastian pada data yang rentan; nampaknya, juga tidak ada
kelompok manusia yang rentan sejati (perhatikan vaksinasi 1, 2, dan booster).
Artinya, sebenarnya, item data yang tersedia hanya dua kolom saja. Meskipun
demikian, seperti telah disinggung, kedua item itu pun masih dapat (diusahakan)
dimodelkan sebagai SIR, dengan asumsi seperti di atas; jumlah yang rentan
diasumsikan (nilainya bergantung pada jumlah populasinya)175.

Pada pandemi Covid-19, diberitakan terjadi banyak kasus (dalam dan luar negeri)
dimana seorang yang dinyatakan sembuh kemudian terinfeksi kembali. Jika fakta ini
benar, maka fenomena Covid-19 pun dapat didasarkan pada model SIRS; memang
fenomenanya demikian. Jadi, sebenarnya, fenomena nyata pandemi Covid-19 jauh
lebih dekat ke model SIRS ketimbang SIR. Tetapi, mengingat model SIRS memiliki 3
paramater (α, β, dan Φ) yang harus dipecahkan, sementara item data epidemik

174
Jika nilai So-nya terlalu kecil (perlu ditingkatkan), maka salah satu indikasinya adalah nilai
alphanya akan negatif dan tampilan kurvanya “tidak wajar”. Inilah yang membuatnya tidak
selalu mudah untuk menentukan nilai pendekatan yang tepat bagi nilai So.
175
Yang dikurangi dengan Io (1) dan Ro (0).

Halaman: 184 349


Covid-19 yang tersedia hanya 2 kolom saja, maka potensi ini menjadi ”buyar”. Inilah
faktor kelemahan besarnya hanya arena ketersediaan sampel datanya. Oleh sebab
itu, tidak mengherankan jika sampel data Covid-19 yang terpublikasikan tidak
memadai jika dimodelkan sebagai SEIS, SEIR, SEIQR176, SEIRS, SEIRD, MSEIR, MSEIRS,
dan lain sejenisnya tanpa tambahan asumsi-asumsi lainnya.

9.2 Satuan Wilayah Epidemik (SWE)


Sebagai fenomena yang bisa saja didasarkan pada suatu model, hampir semua kasus
epidemik memiliki ciri khas. Fenomena epidemik cenderung bersifat unik untuk
dimensi ruang dan waktu; tipe model beserta nilai-nilai parameternya diasumsikan
seragam, sama, atau homogen177 pada waktu dan ruang tertentu (dipengaruhi oleh
keragaman unsur-unsur geografis178 yang berada di sekitarnya yang secara umum
juga akan mempengaruhi prilaku, pola pergerakan, dan/atau interaksi sosial
manusianya). Sedangkan di lain waktu dan tempat, detil fenomenanya sangat
mungkin berbeda. Adapun kemiripan detil fenomena yang terjadi pada ruang dan
waktu yang berbeda (termasuk yang berdekatan) adalah suatu kebetulan.
Sehubungan dengan hal ini, maka (satuan) ruang yang dimaksud adalah satuan
wilayah epidemik (SWE); bukan batas administrasi (yang sering digunakan sebagai
pendekatan). Konsep (adanya) SWE ini, secara tidak langsung, juga didukung oleh
definisi mengenai apa itu nilai/bilangan reproduksi dasar (terkait dengan
homogenitas populasinya) yang dikemukakan oleh Aronson (2020).
Pada SWE (terlepas dari berapa luasnya, dimana lokasi, dan batas-batasnya), asumsi
bahwa prilaku (khususnya yang menentukan pola pergaulan, interaksi sosial, dan
pergerakan) manusia adalah homogen cukup masuk akal/logis. Dengan demikian,
sebagai turunan dari asumsi ini, maka nilai contact rate-nya pun bersifat unik179 di

176
Susceptible exposed infected isolated recovered.
177
Perhatikan pengertian bilangan reproduksi dasar (sub-bab 5.6) versi Aronson (2020) yang
mengatakan bahwa Ro adalah jumlah kasus yang diharapkan terjadi secara rata-rata di dalam
populasi yang homogen sebagai akibat dari satu inveksi individual. Pengertian ini mengarah
pada suatu ruang/“wadah” yang berupa satuan wilayah epidemik/SWE (dibahas pada bab 9);
dan bukan wilayah administrasi. Jadi, Ro secara tidak langsung merujuk pada SWE; bukan
wilayah administrasi. Dengan demikian, bilangan reproduksi dasar adalah properties SWE.
178
Unsur-unsur geografis adalah kondisi/kenampakkan alam atau permukaan bumi yang
membentuk lingkungan hidup manusia. Unsur-unsur ini secara umum terdiri dari dua hal;
unsur-unsur fisik dan non-fisik. Yang fisik mencakup letak/luas/batas geografis,
relief/kontur/DAS, cuaca dan iklim, flora dan fauna, tanah (soils), sumber daya alam (laut,
sungai, hutan, dan lainnya), dan lain sejenisnya yang mencakup benda-benda buatan (hasil
rekayasa) manusia seperti halnya bangunan (gedung, sekolah/kampus, pasar, mall, super
market, pasar tradisional), jalan, jembatan, bendungan, danau, bandara, pelabuhan, jalan
KA, kebun, sawah, batas administrasi, dan lain sejenisnya. Sedangkan yang non-fisik
mencakup kondisi beserta aktivitas masyarakat yang bersangkutan (populasi, budaya,
keyakinan, adat-istiadat, prilaku sosial, dan lain sejenisnya). Sehubungan dengan hal ini,
maka unsur-unsur geografis yang tergolong fisik dapat dilihat secara langsung di lapangan
atau dari peta-peta dengan berbagai skalanya.
179
Memang tidak benar-benar unik; masih saja ada unsur-unsur rata-ratanya karena di
dalam satuan wilayah pun terdapat struktur-struktur yang memungkinkan prilaku

Halaman: 185 349


setiap SWE. Contact rate yang seperti ini kemudian menghasilkan (nilai) kecepatan
sebaran (α) penyakit yang representatif di setiap SWE-nya. Sedangkan contact rate
yang tidak homogen, jelas, tidak akan menghasilkan (nilai) kecepatan sebaran
penyakit yang (mendekati) unik, melainkan bervariasi, setidaknya merupakan hasil
”pukul-rata”, atau dianggap (agak memaksa) rata-rata; ”bias” jika nilai itu dianggap
sebagai nilai tunggal dan solid (benar-benar homogen). Inilah urgensi keberadaan
suatu SWE pada model-model epidemik.
Untuk mudahnya, sebagai ilustrasi, kita dapat memahami perbedaan antara pola
prilaku, pergerakan, atau interaksi sosial manusianya di beberapa tempat dan kondisi
yang berlainan: (1) yang tinggal di negara barat dengan yang tinggal di negara timur,
(2) yang tinggal di negara daratan luas (mainland) dengan yang tinggal di negara
kepulauan (dimana unsur-unsur geografis laut dan sungai akan memisahkan/
sedikitnya menghambat pertemuan dan interaksi antar kelompok manusia untuk
sementara waktu) [perhatikan ilustrasi pada gambar 9.1], dan (3) yang tinggal di kota
besar yang padat dengan yang tinggal di desa yang permukaan tanahnya relatif
datar, berpegunungan, atau di pinggir pantai (wilayah pesisir) yang masih jarang
penduduknya [perhatikan ilustrasi pada gambar 9.2].

Gambar 9.1: Negara Daratan & Kepulauan

Gambar 9.2: Situasi Perkotaan & Pedesaan


Gambaran mengenai satuan-satuan wilayah ini tentu saja, meskipun masih bersifat
umum, dapat memberikan ilustrasi mengenai potensi perbedaan atau keragaman
(pola) prilaku, pergerakan, dan interaksi sosial manusianya, contact rate, dan
akhirnya (nilai) kecepatan sebaran (α) wabah penyakitnya; masing-masing cenderung

manusianya 100% homogen. Sebagai misal, dengan adanya struktur-struktur (pola-pola)


usia, profesi, dan status sosial yang berbeda, maka hal ini memungkinkan prilaku, pergaulan,
dan/atau pergerakan mereka menjadi bervariasi; tidak benar-benar unik.

Halaman: 186 349


bersifat unik. Oleh sebab itu, dengan (tipe) wabah (penyakit) yang sama pun,
beberapa SWE yang bersebelahan dan pada perioda waktu yang (hampir) bersamaan
pun, dapat mengalami fenomena epidemik (detil) yang berbeda. Sebagai misal, bisa
jadi, pada SWE 1 terjadi wabah yang fit dengan model SIR (α=0.80), sementara pada
SWE 2 terjadi wabah yang fit dengan model SIR (α=0.55), sedangkan pada SWE 3
yang letaknya juga bersebelahan terjadi wabah yang sama dengan fenomena yang fit
dengan model dasar SIRS (α=0.65).

Gambar 9.3: Agregasi Satuan-Satuan Wilayah ke Suatu Model


Seperti nampak pada gambar 9.1 (kanan), secara umum, wilayah Indonesia terdiri
dari banyak pulau. Dengan demikian, pada awalnya, jika suatu wabah bermula di
suatu pulau, maka penyebarannya akan terintangi (dengan bobot tertentu) oleh
unsur-unsur geografis laut/batas-batas pulau dan sungainya. Meskipun demikian,
seiring dengan perjalanan waktu, memang, rintangan alamiah ini pun tidak kuasa
menahan pergerakan manusia. Akhirnya ”jebol” juga; seluruh penduduknya bisa
terkena sebaran penyakit ini; pulau-demi-pulau. Hanya masalah waktu saja.
Ironisnya, ketika terjadi suatu wabah, maka unsur-unsur geografis yang sama juga
dapat menjadi rintangan (dengan bobot tertentu) dalam usaha penanggulangannya
secara keseluruhan. Penanggulangannya juga dilakukan pulau-demi-pulau.
Sehubungan dengan keberadaan unsur-unsur geografis180, maka kecenderungannya
adalah, makin mudah suatu area terinfeksi wabah, maka makin mudah pula (potensi)
mitigasinya. Sebaliknya, makin sulit suatu area terinfeksi wabah, maka makin sulit
pula (potensi) penanggulangannya (jika telah terinfeksi); first in, first out. Dengan
prinsip ini, jika tidak ada sebab lain (yang tak terduga), maka adalah tidak
mengherankan jika negara (wilayah) pertama yang mengalami suatu wabah juga
akan menjadi negara (wilayah) pertama yang terbebas dari wabahnya.

9.3 Generalisasi SWE


Pada suatu kasus, sebagai misal, karena sebab-sebab keterbatasan dana, fasilitas
kesehatan (faskes), sumber-daya manusia (nakes), kemampuan akses terhadap
setiap SWE, dan/atau kewenangan administrasi, maka bisa saja dua atau lebih SWE
yang lokasinya tepat bersebelahan tergabung (teragregasikan) ke dalam suatu
wilayah administrasi (yang lebih luas tetapi sebenarnya sangat tidak homogen).
Tentu saja, generalisasi lebih dari satu SWE (ke dalam suatu wilayah administrasi)
juga menyebabkan terjadinya generalisasi pada tipe modelnya (tidak sekedar nilai-

180
Meskipun bukan faktor penentu satu-satunya.

Halaman: 187 349


nilai parameternya) ke dalam sebuah tipe ”model umum” (”pukul-rata”) yang
diproyeksikan. Inilah yang nampaknya sering terjadi.
Secara praktis, pada kondisi ini, data mengenai jumlah-jumlah individu yang rentan,
sakit (kasus aktif), dan sembuh/mati (per-hari maupun akumulasinya) akan
teragregasikan menjadi satu (bercampur) di dalam wilayah administrasi dengan
karakteristik epidemik yang sebenarnya kemungkinan besar tidak homogen. Padahal,
SWE dan wilayah administrasi adalah dua hal yang berbeda; baik secara konseptual
maupun fisikal. Selain itu, pada kondisi itu, kerugiannya adalah, informasi mengenai
setiap SWE (fenomena epidemik) beserta karakteristik unik tipe modelnya menjadi
”kabur”/buram (tidak akan pernah terungkap); terkubur selamanya. Yang diperoleh
hanyalah generalisasinya di tingkat wilayah administrasi; hasil ”pukul-rata”.
Tabel 9.1: Contoh Data Simulasi Epidemik 3 SWE dan Agregasinya

Pada contoh kasus di atas (gambar 9.3), telah disebutkan bahwa pada SWE1 terjadi
fenomena yang sesuai dengan model SIR (α=0.80), pada SWE2 juga terjadi fenomena
yang sesuai dengan SIR (α=0.55), sedangkan pada SWE3 terjadi fenomena yang
sesuai dengan SIRS (α=0.65). Jika ketiga contoh kasus SWE ini diagregasikan, dan
kemudian dipetakan pada salah satu model (SIR atau SIRS), maka akan terjadi
generalisasi tipe model beserta nilai-nilai parameternya. Inilah bentuk biasnya
(kerugian besar di bidang epidemik). Pada kondisi ini, yang ”dipukul-rata” tidak
sekedar nilai-nilai α & β-nya, tetapi lebih mendasar lagi; yaitu, asumsi mengenai tipe
modelnya. Masalahnya adalah apakah tipe model yang menjadi pilihan beserta nilai-
nilai parameternya sudah pantas mendasari fenomena epidemiknya. Jika tidak, maka
adalah hal yang sangat wajar jika terjadi perbedaan yang signifikan antara sampel
data dengan (hasil prediksi) modelnya.
Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah contoh sampel data buatan181 (tabel 9.1) bagi
simulasi epidemik (dengan wabah penyakit yang sama dan dengan asumsi β=1/14)
yang berasal dari 3 SWE yang berbeda tetapi tepat bersebelahan. Tetapi karena satu

181
Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran III di bawah.

Halaman: 188 349


dan lain hal, ketiga SWE ini akhirnya teragregasikan ke dalam suatu wilayah
administrasi. Pada kasus ini, diasumsikan bahwa SWE1 fit dengan model SIR (α=0.80,
So=399, Io=1, dan Ro=0), SWE 2 fit dengan model SIR & (α=0.55, So=349, Io=1, dan
Ro=0), dan SWE3 fit dengan model SIRS (α=0.65, φ=1/21, So=399, Io=1, dan Ro=0).
Jika sampel data buatan ini di-plot, maka dihasilkan kurva-kurva sebagai berikut.

Gambar 9.4: Kurva-Kurva 3 SWE & Agregasinya


Berdasarkan hitungan, didapatkan bilangan reproduksi dasar (Ro): SWE 1 11.2, SWE
2 7.7, dan SWE 3 9.1. Dengan sampel datanya diambil pada saat mencapai titik
puncak (dI/dt=0), dan jika agregasi data ketiga SWE ini diproyeksikan sebagai model
SIR, maka akan didapatkan α=0.625 hingga didapatkan bilangan reproduksi dasarnya
8.75. Tetapi jika data ini diproyeksikan sebagai model SIRS, maka selain didapatkan
nilai-nilai α182 dan β (dengan asumsi di atas) yang masih sama, juga akan didapatkan
rata-rata φ = 0.01785.
Jika nilai-nilai α & φ hasil hitungan agregasi data ketiga SWE-nya, bersama dengan β
yang diasumsikan, digunakan untuk merekonstruksikan model-model SIR & SIRS
yang diproyeksikan, maka akan didapatkan kurva-kurva berikut (gambar 9.5 & 9.6).
Dari tampilannya, nampak bahwa, pada contoh ini, meskipun kedua hasilnya mirip,
hasil rekonstruksi kurva-kurvanya model SIRS lebih mirip (dekat) dengan agregasi
data ke-3 SWE-nya.

182
Dengan menggunakan data dan rumus yang sama untuk menghitung alpha (α) pada saat
mencapai puncak kurvanya.

Halaman: 189 349


Gambar 9.5: 3 Kurva Agregasi dan Rekonstruksi Model SIR & SIRS

Gambar 9.6: Kurva Sakit Agregasi dan Rekonstruksi Model SIR & SIRS
Gambar 9.6a adalah contoh tampilan kurva-kurva yang sakit (kasus aktif) dengan
model yang sama tetapi dengan nilai-nilai parameter (to, Io, α, dan β) yang berbeda.
Agregasi ke-3 model ini dapat menghasilkan sebuah kurva dengan 3 puncak.
Berdasarkan kenampakkan 3 model ini, adalah tidak sulit untuk memahami bahwa
kurva hasil agregasi data bisa saja memiliki lebih dari 1 puncak, tidak semulus model
deterministik tunggal, tidak teratur, dan tidak mudah ditebak.
Jika hasil tracing-nya akurat, direkam dengan baik, dan dianalisis dengan
benar, maka gambaran (perhatikan contoh kasus gambar 9.28) mengenai
kronologis beserta sebaran penyakitnya berpotensi untuk menjadi lebih
jelas (clear tanpa perdebatan); berasal dari mana sebenarnya (asal-usul),
berapa jumlah infeksi primernya (Io pada saat to), dan berikut jumlah-
jumlah infeksi sekunder (It) yang diakibatkannya pada periode awalnya.

Dengan perspektif model epidemik (bab 2), karena sebarannya bersifat


global dan dianggap dimulai dari 1 orang yang terinfeksi primer (di Wuhan),
maka dunia boleh dianggap sebagai sebuah sistem. Tetapi asumsi ini juga
tidak tepat karna suatu model hanya untuk 1 SWE saja dan homogen pula,
sementara dunia ini tidak homogen dan akhirnya terbagi ke dalam banyak
wilayah administrasi yang juga tidak homogen. Akhirnya, diasumsikanlah
negara, provinsi, atau yang di bawahnya sebagai ”sistem”. Tetapi tidak
sesuai juga dengan asumsi pemodelan epidemik karena wilayah-wilayah ini
tidak homogen sebagaimana halnya SWE sementara jumlah infeksi
primernya pun (berdasarkan catatan) hampir semua tidak dimulai dari 1
orang. Itulah sebabnya, nampaknya, tidak mudah untuk menerapkan
model epidemik (konvensional) pada kasus (sampel data) Covid-19.

Halaman: 190 349


Gambar 9.6a: Potensi Kenampakkan (Kasaran) Kurva Agregasi Model
Pada konteks SWE, pada model deterministik, nilai parameter modelnya
dianggap konstan, fenomenanya terjadi di suatu SWE, pada periode
tertentu, dan tanpa (dinamika) intervensi183. Hal ini juga didukung oleh
definisi oleh Aronson (2020) mengenai bilangan reproduksi dasar (”..as a
result of infection by a single individual, when the population is susceptible
at the start of an epidemic..”). Jadi, pada saat to, modelnya hanya memiliki
satu variabel Io dan dengan nilai 1; perhatikan gambar 5.1 di atas.
Jika terdapat ”Io” yang lain (bersamaan), maka terdapat individu lain yang
ter-inject184 (lebih dari satu to), infeksi primer, hingga menghasilkan infeksi-
infeksi baru yang lain (sekunder), data tercampur, maka model biologi-
epidemik tunggalnya menjadi rancu (perhatikan gambar 9.6a). Inilah yang
mungkin terjadi jika dilakukan agregasi (data dari) beberapa SWE dan
kemunculan satu atau lebih klaster baru. Kenyataan ini menjadi aneh jika
dikaitkan dengan asumsi dasar pada model-model epidemik (tunggal) yang
menjadi bahasan (bab 2 dan 3); mungkinkah infeksi primernya (Io) lebih dari
satu? Akhirnya, untuk mendekati sampel datanya yang kemungkinan besar
telah ”tercampur”, maka dilakukanlah curve-fitting plus pemberian offset-
offset-nya; teknik ”cocok-logi”. Itupun tidak menjamin akan mendatangkan
model yang ”pas”.

183
Intervensi kesehatan mungkin pernah atau akan terjadi sebelum atau setelah siklus
wabahnya terjadi; pada kasus ini tidak terjadi intervensi di dalam siklus modelnya.
184
Sebagai misal, 1 orang yang terinfeksi masuk ke wilayah A dan menularkan ke sejumlah
orang. Tiga hari kemudian, datanglah 2 orang lain yang juga terinfeksi ke wilayah A dan juga
menularkan penyakitnya ke beberapa orang yang berbeda.

Halaman: 191 349


9.4 Klaster Baru & Gelombang Berikutnya
Belum selesai dengan isu mengenai ketidak-homogenan pada wilayah administrasi,
muncullah isu mengenai klaster baru beserta akibatnya; baik di dalam suatu SWE
maupun di wilayah administrasi. Klaster (cluster) adalah sekelompok orang yang
berkumpul (kerumuman dengan jumlah yang bervariasi) karena adanya kepentingan
/aktivitas185 di suatu area pada waktu tertentu. Sifatnya bisa spontan atau terencana.
Kerumunan ini, pada umumnya, cukup efektif hingga cenderung meningkatkan
intensitas interaksi sosial atau (akhirnya menjadi nilai) contact rate di area yang
bersangkutan sebelum mereka berpencar satu sama lainnya. Pada skala yang lebih
besar, satu atau lebih klaster baru dan kemunculan variaan virus yang baru & ganas
(daya sebarnya lebih tinggi) dapat menyebabkan lonjakan jumlah kasus atif, kasus
harian, dan kemunculan gelombang-gelombang kedua dan berikutnya. Oleh sebab
itu, di masa wabah, segala bentuk klaster baru perlu dicegah.
Klaster Baru
Sebagian cluster, akhirnya, menyebabkan kasus-kasus baru di lain tempat. Ini semua
akan teragregasikan ke dalam SWE atau wilayah administrasi. Artinya, homogenitas
dan nilai contact-rate SWE/wilayah administrasi yang bersangkutan akan berubah
karenanya. Inilah salah satu penyebab hadirnya bias; model epidemiknya seolah/
menjadi tidak tunggal; (seolah) terdapat Io lain pada waktu to. Adanya lonjakan-
lonjakan (yang terinfeksi) di waktu dan tempat tertentu yang menjadikan (profil
/kurva) datanya tidak mudah untuk direpresentasikan oleh sebuah model saja
(tunggal); bisa jadi, kurva datanya memiliki tonjolan kecil di beberapa tempat.
Sampel datanya tidak mudah didekati oleh model tunggalnya; setidaknya, model
deterministik tunggalnya menjadi ”rancu”.

Gambar 9.7: Clusters di dalam SWE & Wilayah Administrasi

185
Aktivitas-aktivitas yang berpotensi untuk menimbulkan claster baru antara lain adalah
pertunjukkan/konser musik, fashion show, acara hiburan, club-malam, kafe, restoran,
tempat wisata, seminar, perkuliahan/sekolah tatap muka, (menonton) pertandingan olah-
raga di stadion atau ruang tertentu, jual-beli/bisnis di pasar atau pertokoan (gedung),
kepengurusan pajak, keuangan, dan kesehatan di kantor pemerintahan, bank, dan rumah
sakit, peringatan/perayaan dan/atau libur (mudik) hari besar agama, resepsi pernikahan,
pengambilan suara (terutama pilkada & pilpres) di TPS, dan lain sejenisnya.

Halaman: 192 349


Gambar 9.8: Model (Utama) & Klaster-Klaster Baru
Meskipun mudah dipahami bahwa adanya cluster baru akan merubah homogenitas,
nilai, dan juga bentuk kurvanya, seperti telah disinggung, dampaknya secara nyata
(secara kuantitatif) terhadap contact-rate masih sulit terukur (secara eksak). Sebab,
meskipun kita telah sepakat bahwa perubahannya mungkin saja signifikan, tetapi
nampaknya, belum ada yang mengamatinya secara tuntas (satu siklus epidemik
secara penuh) dan kemudian mempublikasikan detil sampel datanya hingga ke
angka-angka untuk sebuah kasus cluster baru.
Siapapun yang menjadi pengamat cluster suatu wabah perlu menelusuri (men-trace)
dan merekam data setiap orang yang terlibat di dalam kasusnya dan kemudian
mengamati perkembangan epidemiknya untuk selang waktu tertentu. Kemudian,
berdasarkan rekaman data ini dan dengan bantuan aplikasi social network analysis,
para praktisi epidemik dapat memperoleh gambaran/visual mengenai ”kronologis”
beserta distribusi sebaran penyakitnya (tidak sekedar catatan, teks, kata-kata, dan
angka) sebagai akibat adanya klaster baru (perhatikan ilustrasinya pada gambar 9.28
di bawah). Dengan gambaran ini, maka para praktisi epidemik dan pihak yang
berwenang memiliki lebih wawasan dan pertimbangan tambahan mengenai tindakan
atau intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalahnya.
Tracing dan Social Network
Tentu saja tracing mengenai asal-usul/potensi sebaran penyakit (fisik & non-fisik)
sangat diperlukan ketika muncul klaster baru/temuan kasus baru. Berdasarkan
informasi dari yang bersangkutan, tracing juga perlu dilakukan terhadap jaringan
sosial/pertemanan (social network), ketetanggaan, dan hubungan kekeluargaan yang
berimplikasi pada pertemuan secara fisik beberapa hari (minggu) sebelumnya. Inilah
kaitan antara social network dan fenomena epidemik (wabah/pandemi); penyakit
(fisik & non-fisik) bisa menyebar melalui (infrastruktur) social network–nya. Dengan
demikian, sebagian dari aspek biologi-epidemik (wabah) juga boleh dibahas melalui
sudut pandang/kajian social network (analysis); social network analysis memberikan
pertimbangan bagi tindakan-tindakan intervensi yang bertujuan untuk memutuskan
atau menghambat penyebaran penyakit dan mengkarantina (mengisolasi) agen-agen
yang diwaspadai berpenyakit. Inilah yang tidak dibahas pada model-model epidemik
konvensional yang dimuat pada bab 2 & 3. Sebaran penyakit itu tidak ”buta” 100%,
tetapi (bisa jadi) ada polanya (meskipun tidak terlalu jelas); terutapa pola prilaku
manusianya (perhatikan kurva-kurva sampel datanya).

Halaman: 193 349


Faktor Keterbatasan Fasilitas & Tenaga Kesehatan
Berdasarkan perkembangan (trend) data lapangan, kapasitas fasilitas kesehatan
(faskes), dan jumlah tenaga kesehatannya (nakes), maka bisa jadi, pihak berwenang
perlu (bersiap) memiliki kemampuan untuk menambah faskes dan nakesnya dengan
cepat; khususnya pada kondisi dimana nilai bed occupancy rate-nya (BOR) tinggi.
Sebab, pada kondisi jumlah pasiennya terus melonjak (karena satu dan lain hal),
maka potensi kenaikan kasus hariannya justru semakin besar karena adanya antrian
pengunjung di sekitar faskes, dan jumlah individu yang sedang menjalani isoman di
lingkungan masing-masing juga akan meningkat. Kedua faktor ini sangat berpotensi
untuk membentuk klaster baru secara tidak terduga. Apalagi jika mereka tidak
disiplin dalam menjalankan protokol kesehatannya. Dengan demikian, (kondisi)
keterbatasan fasilitas kesehatan dan ketersediaan tenaga kesehatan juga dapat
membentuk klaster baru yang potensial jika tidak ditindak-lanjuti (diintervensi)
dengan baik dan segera.

Gambar 9.8a: Sebab-Akibat Keterbatasan Fasilitas & Tenaga Kesehatan


Gelombang Kedua dan Berikutnya
Mungkin saja, belum tersedia definisi formal mengenai apa itu ”gelombang kedua”
(second wave) dan gelombang-gelombang berikutnya. Meskipun demikian, secara
umum, pada konteks covid-19, istilah ini dapat dimaknai sebagai kondisi dimana
setelah (jumlah) kasus hariannya pernah mencapai puncak (untuk pertama kalinya)
dan kemudian terus menurun (dan diperkirakan akan berhenti di suatu saat yang
terprediksi), ternyata (di luar dugaan), beberapa saat kemudian, terutama karena
sebab-sebab intensitas interaksi sosial yang tinggi, terdapat kerumunan (klaster
baru), dan juga terjadi pelanggaran terhadap protokol kesehatan, maka justru
(jumlah) kasus (baru) harian ini terus meningkat; trend kurvanya cenderung akan
membentuk puncak (jumlah kasus harian) yang baru [kedua, ketiga, dan seterusnya]
(perhatikan gambar 9.8b). Dengan demikian, berdasarkan kecenderungan tampilan
grafik jumlah kasus hariannya dan juga dengan mempertimbangkan skalanya186,

186
Perhatikan nilai-nilai yang terdapat pada sumbu Y-nya (“skala” jumlah kasus hariannya).
Dengan memperhatikan skala-skalanya, sebenarnya, kenampakkan bentuk “gelombang

Halaman: 194 349


maka kita dapat melihat adanya indikasi apakah suatu negara (wilayah) mengalami
gelombang pertama, kedua, dan seterusnya untuk suatu kasus wabah (pandemi).

Gambar 9.8b: Rata-Rata Kasus Baru India, Indonesia, dan Afrika Selatan
Gelombang kedua (dan seterusnya) sangat dikhawatirkan. Menurut informasi,
efeknya lebih dahsyat dari pada gelombang pertama. Kejadian ini pernah dialami
oleh beberapa negara di dunia. Amerika Serikat, Argentina, Brasil, Jerman, Prancis,
Itali, Bangladesh, Filipina, India, Turki, Iran, dan lain sebagainya adalah sebagian dari
negara-negara yang dimaksud. Dari negara-negara tersebut, nampaknya, kondisi
India yang dianggap terparah (khususnya pada bulan April 2021).
Sebagai ilustrasi187, gambar 9.8b memperlihatkan perbandingan jumlah rata-rata
kasus baru per-harinya antara India, Indonesia, dan Afrika Selatan. Berdasarkan data
tersebut, India mulai mengalami gelombang kedua sejak pertengahan bulan Februari
2021. Sedangkan Indonesia memperlihatkan trend penurunan rata-rata kasus (masih
gelombang pertama) sejak awal Februari 2021. Baik kurva kasus aktif (yang sedang
terinfeksi, sakit, atau dalam perawatan/isoman) maupun kurva kasus hariannya
memperlihatkan bahwa Indonesia sudah mengalami penurunan jumlah kasus pada

kedua” (dan seterusnya) bisa bersifat relatif; jika bentuknya relatif kecil (jumlah kasusnya
relatif kecil), maka itu cenderung merupakan “riak-riak” atau tonjolan karena adanya klaster.
Sebagai contoh, perhatikan gambar 9.8b yang memperlihatkan fenomena riak-riak kecil
(bukan gelombang kedua dan seterusnya) yang pernah terjadi di Brunei Darrusalam. Jika
bentuknya memang besar (jumlah kasusnya relatif besar), maka itu dapat dianggap sebagai
gelombang kedua, dan seterusnya.
187
Gambar-gambar seperti ini dapat diperoleh dari pencarian di situs Google
https://www.google.co.id dengan kata kunci “corona new cases”.

Halaman: 195 349


gelombang keduanya; perhatikan gambar-gambar 7.31, 7.32, 7.36, 7.37, dan 9.8b di
atas. Kurva-kurva tersebut nampak berpola sama/mirip meskipun berbeda skala.

Gambar 9.8c: Rata-Rata Kasus Baru Arab Saudi, Korea Selatan, Brunei
Sehubungan dengan kasus ”gelombang kedua” di India, WHO188 menyatakan bahwa
kombinasi dari pertemuan masal189, rendahnya tingkat vaksinasi, dan keberadaan
varian-varian baru (terutama yang lebih ganas) telah menyebabkan190 kasus Covid-19
melonjak parah. Pada gelombang kedua ini, India benar-benar mengalami badai yang
mematikan. Kepanikan masal, kerusuhan atau kekacauan di rumah sakit (faskes),
angka kematian meningkat tajam, dan gangguan di sektor ekonomi adalah sebagian
dari akibatnya. Oleh sebab itu, karena resikonya yang sangat parah, sebagian media
menyebut kejadian di India ini sebagai ”tsunami covid-19”. Peristiwa ini tentu saja
menjadi pelajaran penting bagi negara-negara lainnya untuk selalu mewaspadai dan
mencegah terjadinya gelombang kedua dan seterusnya di negara masing-masing.

9.5 Parameter Epidemik


Pemodelan epidemik dilakukan untuk memilih model yang ”terdekat” dengan
sampel datanya. Dengan pemodelan, prediksi-prediksi mengenai yang jumlah
188
Dicuplik dari pustaka (Kompas, 2021b).
189
Pertemuan masal ini (sebagai salah satu penyebab “tsunami covid-19” di India)
merupakan bentuk klaster-klaster baru yang berukuran (cukup) besar.
190
Di samping tentu saja duga disebabkan oleh aspek-aspek ketersediaan fasilitas kesehatan
dan disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan (yang juga merupakan faktor-faktor
kunci yang harus diperhatikan).

Halaman: 196 349


terinfeksi (kasus aktif), kapan wabahnya berakhir, dan pemilihan tindakan yang perlu
dilakukan (intervensi) untuk meminimalisir (mitigasi) akibatnya menjadi lebih mudah.
Jadi, karakteristik data akan menentukan bagaimana modelnya. Oleh sebab itu,
urutannya menjadi: data menentukan (pilihan mengenai) modelnya, modelnya
menentukan (apa saja) parameternya (data menentukan nilai-nilai parameternya),
parameter (dan data) menghasilkan prediksi & mencerminkan (potensi) tindakan
intervensinya, intervensi yang dilakukan akan mempengaruhi dinamika datanya (on-
going), dan kembali ke tahap awal dimana (monitoring dan review atas) datanya
akan menentukan (update) model beserta nilai-nilai parameternya.

9.5.0 Asumsi Nilai Rentan (So atau N)


Sebelum benar-benar masuk ke bahasan model epidemik secara keseluruhan,
penentuan (secara tidak langsung) bagi nilai-nilai parameter St atau So (jumlah yang
rentan) adalah sangat krusial. Sebab, secara umum, nilai parameter ini tidak akan
pernah dan juga memang tidak mungkin diukur, diamati, atau diperiksa secara
langsung (terhadap semua anggota populasinya); inilah kelemahan utamanya. Jadi,
sebenarnya, penentuan mengenai seberapa besar (jumlah) populasi yang rentan
memang tidak memiliki dasar yang sangat kuat; pada awalnya, semua anggota
populasinya diasumsikan rentan (kecuali yang sudah terinfeksi primer [1] dan yang
sudah ter-recover [0]). Sampel data sejati mengenai jumlah individu yang rentan dari
waktu-ke-waktu (St) tidak akan pernah ada. Akhirnya, karena kondisinya memang
demikian, maka nilai parameter ini diasumsikan (dengan segala konsekuensinya)
dengan pendekatan nilai (jumlah) populasi (N) yang terdapat di SWE, wilayah studi,
desa/kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, propinsi, atau negaranya (wilayah
administrasi yang berada di atasnya) dikurangi dengan nilai Io(1) atau It ketika
waktunya sudah berjalan.
Kenyataan ini akan membedakaan status ketiga parameter (inti) model epidemik;
parameter It (jumlah kasus aktif) dan Rt (jumlah yang sembuh dan mati) memang
diamati (variabel bebas), sedangkan parameter St diasumsikan (berarti merupakan
variabel tidak bebas). Jadi, sebenarnya, status ketiganya tidak sama meskipun
mereka sama-sama dinyatakan sebagai parameter model epidemik. Oleh sebab itu,
sebenarnya, perbedaan status ini akan menyebabkan perbedaan perlakukan
matematis (meskipun, memang, model epidemik mendefiniskannya sederajat atau
sama); perhatikan persamaan matriks parameter191 (sebagai misal rumus-rumus 7.9,
7.10a, 7.10b, 7.11, 7.12, 7.13) dimana yang rentan (S) sama sekali tidak dilibatkan
dalam hitungan nilai-nilai parameter α dan β (kecuali sampel datanya merupakan
simulasi/buatan).
Dengan nilai-nilai So (atau N) yang berbeda192, pada model SIR, dan sampel data (It
dan Rt) yang sama, maka dapat diperoleh kurva-kurva (terutama It dan Rt beserta
nilai parameter α dan Ro-nya)193 yang berbeda194. Inilah kelemahannya. Jika saja St-
nya merupakan sampel data (hasil pemeriksaan) tentu saja hal ini tidak terjadi. Oleh

191
Sebagai salah satu cara yang mudah untuk mendapatkan solusi.
192
Menggunakan nilai populasi area-area yang berbeda tingkatan.
193
Nilai parameter β-nya dianggap sama; penyakit dan kesembuhannya dianggap sama.
194
Angka-angkanya dapat dimunculkan jika memang diperlukan.

Halaman: 197 349


sebab itu, untuk menggambarkan perbedaan ini, contoh baris-baris kode pada
lampiran 1 L.49 dapat digunakan hingga hasilnya nampak seperti berikut.
Tabel 9.1a: Data & Simulasi Perbedaan Asumsi So Apa Adanya
Data It & Rt Asumsi So Offset Offset α β Ro
α β
Sama 79,000 0.0 0.0 0.112 0.0260 4.288
Sama 100,000 0.0 0.0 0.139 0.0260 5.354
Sama 140,000 0.0 0.0 0.195 0.0260 7.486

Gambar 9.8d: Kurva-Kurva Rentan, Sakit, dan Kebal (Apa Adanya)


Meskipun demikian, jika nilai-nilai parameter α dan β-nya diberi offset tertentu
(pengguna dapat menentukan berdasarkan tampilan visualnya [”cocok-logi”]), maka
pada contoh kasus ini akan diperoleh hasil-hasil seperti berikut.
Tabel 9.1b: Data & Simulasi Perbedaan Asumsi So dengan Offset α & β
Data Asumsi Offset Offset α β Ro
It & Rt So α β
Sama 79,000 0.21 0.01 0.322 0.036 8.929
Sama 100,000 0.21 0.01 0.349 0.036 9.699
Sama 140,000 0.21 0.01 0.405 0.036 11.239

Berdasarkan tabel-tabel 9.1a & 9.1b dan gambar 9.8d dan 9.8e, seperti disinggung,
meskipun dengan menggunakan sampel data (It & Rt) yang sama, nampak bahwa
perbedaan asumsi bagi nilai-nilai (pendekatan) So akan menyebabkan perbedaan

Halaman: 198 349


nilai-nilai pada α dan Ro; perubahan bentuk kurva. Dengan demikian, pemilihan nilai
bagi So juga perlu ”tepat”.

Gambar 9.8e: Kurva-Kurva Rentan, Sakit, dan Kebal (Offset)

9.5.1 Alpha (α)


Alpha (α), seperti telah disinggung, adalah koefisien atau parameter yang (nilainya)
mewakili besarnya contact-rate, kecepatan transmisi, sebaran, atau penularan
penyakit pada suatu model epidemik; dengan kondisi kontak sosial yang homogen di
suatu SWE pada kurun/periode waktu tertentu. Makin besar nilainya (α), makin
cepat pula penyebaran wabahnya. Sebaliknya, makin kecil nilainya, makin lambat
pula penularan penyakitnya.
Pada model-model epidemik konvensional, selama satu (1) siklus wabahnya, nilai-
nilai parameter [termasuk alpha (α)] diasumsikan konstan (tidak berubah). Meskipun
demikian, di dunia nyata, fenomenanya tidak demikian. Nilai-nilai parameter model
bisa saja berubah selama siklusnya berlangsung. Artinya, nilai-nilai parameter model
bersifat dinamis, terlepas dari pada ada-tidaknya dan apa pun bentuk tindakan
intervensinya. Sub-bab 8.2.2 telah memberikan gambaran mengenai hal ini; simulasi
dengan parameter alpha (α) yang konstan dan yang bersifat dinamis karena adanya
pengaruh intervensi baik yang disengaja maupun yang tidak.
Pada dasarnya, nilai koefisien ini bergantung pada beberapa faktor seperti berikut195:

195
Tentu saja pengelolaan faktor-faktor di atas cenderung akan menekan (mengurangi) nilai
alpha ini hingga kecepatan sebaran penyakit menjadi lebih kecil, ketimbang sekedar
berharap pada kondisi kontak sosial apa adanya. Oleh sebab itu, faktor-faktor ini sering

Halaman: 199 349


a) Kondisi (unsur-unsur) geografis yang akhirnya mempengaruhi pola dasar
pergaulan atau hubungan sosial yang ada di masyarakatnya; yang akhirnya
menghasilkan nilai contact-rate.
b) Karakteristik jenis penyakit itu sendiri; waktu (durasi) yang diperlukan oleh
suatu penyakit untuk menginfeksi (ke manusia) dan sembuh darinya belum
tentu sama dengan yang diperlukan oleh penyakit-penyakit yang lain.
Demikian pula halnya dengan penderitaan beserta gejala yang
ditimbulkannya (karena terinfeksi) oleh setiap penyakit; belum tentu sama.
c) Kebiasaan (budaya) hidup sehat yang dijalankan oleh masyarakat beserta
aspek konsistensinya (kedisiplinan).
d) Bentuk kebijakan/intervensi yang ada dan terkait dengan aspek kesehatan
masyarakat yang telah dilakukan: isolasi, karantina, kekebalan alami, terapi
plasma konvalesen, vaksinasi, PSBB, herd immunity, protokol kesehatan, dan
lain sejenisnya (implementasi payung dan kebijakan pemerintah terkait
Covid-19 sebagaimana dibahas pada sub-bab 9.13).
e) Ketersediaan dan kualitas fasilitas kesehatan (faskes), tenaga kesehatan
(nakes), dan pendukung lainnya; rumah sakit, puskesmas, balai kesehatan,
tenaga medis, alat-alat kedokteran & pendukung pemeriksaan kesehatan,
alat pelindung diri/APD196 (masker, sarung tangan kesehatan, cairan sanitizer,
pakaian, dan lain sejenisnya) bagi publik dan tenaga medis.
Sekalipun sudah dianggap rasional, adalah tidak mudah (secara matematis) untuk
menentukan nilai alpha/α (konseptual) berdasarkan masukan faktor-faktor di atas
(aktual). Inilah tantangannya bagi para epidemiolog. Di lain pihak, seperti telah
disinggung, resiko bias model akan didapatkan jika datanya teragregasi. Pada kondisi
ini, nilai alpha-nya cenderung merupakan hasil ”pukul rata”. Masalahnya adalah
apakah nilai ini pantas mendasari fenomena biologi-epidemiknya. Jika tidak, maka
adalah hal yang sangat wajar jika terjadi perbedaan yang signifikan antara sampel
data yang terkumpul dengan hasil prediksi modelnya.
Seperti telah disinggung bahwa makin besar nilai α, maka makin cepat pula
penyebarannya. Sebaliknya, makin kecil nilainya, makin lambat pula penularannya.
Dengan prinsip ini, maka dapat dipahami bahwa akan muncul perbedaan fenomena
berdasarkan (bentuk/tipe) intervensi yang dilakukan. Sebagai misal, di suatu SWE
yang tidak memiliki persiapan (intervensi) apa pun, bisa jadi wabahnya (dengan
karakteristik kurva sakit/kasus aktif) yang cepat menanjak. Sementara itu, di SWE
lain yang kondisinya kurang-lebih sama tetapi penduduknya telah mempersiapkan
segala sesuatunya (bentuk intervensi) akan mendapatkan nilai alpha (α) yang lebih
rendah (dengan asumsi nilai β-nya sama); kurva yang sakitnya (kasus aktif) lebih
landai197. Jika kondisi ini digambarkan, maka contoh tampilan simulasi kurva sakitnya

digunakan sebagai bagian dari strategi kebijakan penurunan, pengendalian, atau


pencegahan sebaran penyakit.
196
Detil (items) dari APD dapat dilihat pada dokumen yang dibuat oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; lihat pustaka (Kemenkes, 2020).
197
Beberapa pihak menyebutkan garis (lurus) horizontal yang menyentuh puncak kurva sakit
(terinfeksi) yang lebih rendah (melaindai) karena adanya intervensi kesehatan sebagai
“kapasitas sistem perawatan kesehatan” (health care system capacity); kemampuan sistem
atau kondisi (fasilitas) yang bersangkutan dalam mengintervensi kondisi epidemiknya.

Halaman: 200 349


(kasus aktif) akan nampak seperti berikut (perhatikan gambar 9.9). Berdasarkan
gambar 9.9, dengan α=0.8, nampak bahwa kurva (hasil prediksi) sakitnya (kasus aktif)
akan mencapai puncak (6956) pada hari ke 14, kemudian turun terus hingga akhirnya
mendekati 0 (minimum) pada hari ke 88. Sedangkan dengan α=0.25, maka nampak
bahwa kurva (hasil prediksinya) sakitnya (kasus aktif) akan mencapai puncak (3567)
pada hari ke 45, kemudian turun terus hingga akhirnya mendekati 0 (minimum) pada
hari ke 131.
SWE yang pertama (kurva merah pada gambar 9.9) sangat mengkhawatirkan, dalam
waktu yang singkat, telah jatuh banyak korban. Tentu saja kondisi ini cenderung
menyebabkan penduduknya berduka dan panik. Selain itu, efek samping dari
kepanikkan ini bisa berkonsekuensi sangat luas. Sementara itu, pada SWE yang
kedua (kurva biru pada gambar 9.9), dengan persiapan dan fasilitas kesehatan yang
memadai (intervensi), jumlah korbannya jauh lebih kecil (sekitar 50%) dan terjadi
pada saat yang tidak terlalu dekat dari awalnya. Pada SWE yang kedua ini, meskipun
penduduknya juga berduka, mereka memiliki waktu ”yang lebih banyak” dan sudah
lebih siap mentalnya hingga tidak terlalu panik, dan biaya perawatan kesehatan yang
diperlukan selama wabahnya berlangsung pun tidak sebesar pada SWE pertama.
Inilah makna penting dari ”tindakan pencegahan jauh lebih baik dari pengobatan”.

Gambar 9.9: Efek Perbedaan Nilai α pada Kurva Sakit

9.5.2 Betha (β)


Betha (β) adalah koefisien yang mewakili kecepatan (proses) penyembuhan,
pemulihan, dan/atau kekebalan (plus kematian) dari suatu penyakit198 di suatu SWE
pada kurun waktu tertentu. Makin besar nilainya, maka makin cepat pula proses
penyembuhannya. Sebaliknya, makin kecil nilainya, maka makin lama pula proses
penyembuhannya. Meskipun demikian, pada dasarnya, secara ”alamiah”, koefisien
ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti berikut199:

198
Tentu saja, tidak semua penyakit yang akan sembuh (dalam pengertian kebal atau
meninggal dunia) dengan sendirinya.
199
Parameter-parameter inilah yang dapat digunakan sebagai bagian dari strategi untuk
meningkatkan nilai betha yang pada gilirannya akan mempercepat proses kesembuhan para
penderita penyakit (infected).

Halaman: 201 349


a) Karakteristik jenis penyakit itu sendiri (unik); waktu yang diperlukan untuk
sembuh/kebal (dan mati) dari suatu penyakit belum tentu sama dengan yang
diperlukan oleh penyakit-penyakit yang lain.
b) Daya tahan (kekuatan fisik/tubuh) individu (populasi di suatu SWE pada
kurun waktu tertentu).
c) Kekuatan mental individu (yang terinfeksi); kemauan, semangat, dan
keyakinan untuk sehat kembali.
d) Kekebalan (imunitas bawaan).
e) Kedisiplinan individu (yang terinfeksi) dalam upaya mempercepat proses
kesembuhan.
Jika kondisinya sudah tidak lagi ”alamiah”, maka nilai koefisien ini juga dipengaruhi
oleh beberapa faktor tambahan seperti berikut:
a) Kebijakan/intervensi (kesehatan masyarakat) yang telah dilakukan.
b) Ketersediaan dan kualitas obat-obatan, plasma darah (donor), dan vaksin.
c) Ketersediaan dan kualitas tenaga medis beserta alat pelindung dirinya/
APD200 (masker, sarung tangan kesehatan, cairan sanitizer, pakaian, dan lain
sejenisnya).
d) Sikap (disiplin) orang sakit dalam menjalani pengobatan.
e) Sikap (disiplin) orang sakit; sejauh mana menjalani perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) dan melaksanakan protokol kesehatan hingga tidak turut dalam
penyebaran penyakitnya lebih lanjut kepada orang lain.
f) Jumlah (persediaan) dan kualitas fasilitas kesehatan yang diperlukan untuk
menangani pasien-pasien yang telah terinfeksi; rumah sakit, kamar rawat
inap, tempat tidur, dokter spesialis, perawat, dan lain sejenisnya.
g) Penyakit penyerta (tekanan darah tinggi, diabetes, paru-paru [PPOK, asma,
dan TBC], Jantung, dan DBD)201 yang juga dideritanya; pada kasus Covid-19,
tidak sedikit penderita yang mati karena yang bersangkutan juga mengidap
salah satu penyakit penyerta. Artinya, nilai β bisa naik karena adanya
penyakit penyerta; bukan hanya karena wabah penyakitnya.
Meskipun sebagian besar faktor penentunya telah teridentifikasi, adalah masih tidak
mudah untuk menentukan besaran nilai betha (β) ini berdasarkan faktor-faktor
tersebut. Inilah tantangan bagi para epidemiolog. Selain itu, sesuai dengan faktor-
faktor penentunya, diketahui bahwa nilai betha ini cenderung bersifat individual.
Artinya, setiap individu bisa jadi memiliki nilai β yang berbeda (unik), sedangkan
pada modelnya digunakan nilai β yang tunggal (dianggap sama). Dengan demikian,
pada modelnya digunakan nilai β hasil ”pukul rata”. Masalahnya adalah apakah nilai
hasil ”pukul rata” ini pantas mendasari fenomena biologi-epidemiknya. Jika tidak,
maka adalah wajar jika terjadi perbedaan yang signifikan antara sampel data yang
terkumpul dengan hasil prediksi modelnya.
Tentu saja, tindakan intervensi yang dilakukan, pada tingkatan tertentu, tidak
sekedar dapat menurunkan nilai alphanya (α), tetapi juga dapat meningkatkan nilai

200
Detil (items) dari APD dapat dilihat pada dokumen yang dibuat oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; lihat pustaka (Kemenkes, 2020).
201
Salah salah satu rujukan yang menerangkan hal ini adalah pustaka (CNN, 2020).

Halaman: 202 349


betanya (β). Sebagian dari tindakan intervensi, seperti halnya penyediaan obat-
obatan, tenaga medis, alat pelindung diri, peningkatan jumlah dan kualitas fasilitas
kesehatan, pengkarantinaan, pengisolasian, dan peningkatan disiplin diri, pada
dasarnya, pada taraf tertentu, juga akan meningkatkan nilai bethanya (β). Berikut ini,
sebagai ilustrasi, adalah simulasi di suatu SWE (dengan α=0.80, β=1/14) dan di SWE
lainnya yang kondisinya kurang-lebih sama (tetapi dengan α=0.25 β=1/9).
Berdasarkan gambar 9.10, di SWE pertama (dengan α=0.8 & β=1/14), maka kurva
model sakitnya (kasus aktif) mencapai titik puncak di 6956 jiwa pada hari ke-14,
kemudian turun terus hingga akhirnya mendekati 0 (minimum) pada hari ke 88.
Sedangkan pada SWE kedua (dengan α=0.25 & β=1/9), kurva model sakitnya (kasus
aktif) mencapai titik puncak di 1958 jiwa di hari ke 52, kemudian turun terus hingga
akhirnya mendekati 0 (minimum) pada hari ke 176. Artinya, kurva sakit (terinfeksi)
pada SWE yang kedua lebih landai dari yang pertama; dengan tinggi garis kapasistas
sistem perawatan kesehatan (garis horizontal yang berimpit dengan puncak kurva)
tertentu.

Gambar 9.10: Efek Perbedaan Nilai-Nilai α & β pada Kurva Sakit


Seperti pada kasus sebelumnya, kondisi SWE yang pertama lebih mengkhawatirkan;
dalam waktu singkat, jatuh korban lebih banyak. Kondisi ini menyebabkan
populasinya panik dan berduka. Efek sampingnya bisa saja berkonsekuensi luas.
Sementara itu, pada SWE yang kedua, dengan persiapan dan fasilitas yang lebih
memadai, hingga nilai α-nya bisa menurun sedangkan β-nya meningkat, maka jumlah
korbannya jauh lebih kecil (sekitar 28%) dan terjadi pada saat yang makin jauh dari
awalnya. Pada SWE yang kedua ini, meskipun penduduknya juga berduka, mereka
memiliki waktu ”yang lebih banyak” hingga tidak terlalu panik, dan biaya perawatan
kesehatan yang diperlukan selama wabahnya pun tidak sebesar pada SWE pertama.
Inilah makna penting dari ”tindakan pencegahan yang jauh lebih baik dari
pengobatan”.

Halaman: 203 349


Penerapan kebijakan (intervensi), pada kasus ini, cenderung menurunkan
nilai α; mengurangi dampak. Artinya, dengan perspektif pemodelan, kita
dapat memilih bentuk/tipe intervensi untuk mentransformasikan perkiraan
dampak default ke dampak yang dianggap lebih ringan. Mencegah dampak
hingga 100% (tanpa korban dan/atau kerugian sama sekali) adalah (hampir)
mustahil. Manusia pada umumnya tidak mengetahui apa yang akan terjadi
hingga hampir tidak pernah ada persiapan yang sempurna dalam
menghadapi suatu wabah/bencana. Oleh sebab itu, kebanyakan manusia
melakukan tindakan intervensi kesehatan ketika wabahnya baru saja
dimulai dan/atau sedang berjalan hingga nilai-nilai parameter α & β-nya
secara logis terus berubah (secara dinamis); tidak konstan sedai awal
sebagaimana asumsi model epidemik. Inilah yang juga menyebabkan
perbedaan antara kurva model dengan sampel datanya.

9.5.3 Phi (φ)


Phi (terutama pada model SIRS) adalah koefisien yang mewakili kecepatan (proses)
menjadi rentan kembali (suspectible atau S) setelah sebelumnya pernah dianggap
sembuh (recovered R) dari suatu penyakit202 di suatu area (SWE) dan kurun waktu
tertentu. Keberadaan koefisien ini sangat logis mengingat kenyataan bahwa sudah
cukup banyak orang (lokal & global) yang mengalami sakit (berstatus kasus aktif)
kembali setelah pernah dinyatakan sembuh. Makin kecil nilai phi (φ), makin baik pula
kondisinya. Meskipun demikian, pada dasarnya, nilai koefisien ini juga bergantung203
pada beberapa faktor berikut (gaya hidup sehat)204:
a) Pola hidup sehat; cukup makan, minum, dan beristirahat secara teratur pada
waktu normal.
b) Berolahraga secukupnya secara teratur.
c) Rajin membersihkan tubuh.
d) Mengkonsumsi vitamin secukupnya.
e) Tidak merokok, miras, narkoba, dan begadang.
f) Tinggal di lingkungan fisik yang sehat dan segar (cukup udara bersih); tidak
kotor, kumuh, dan berpolusi.
g) Bergaul dengan orang yang baik (menyenangkan dan menentramkan) dan
juga tinggal di lingkungan mental yang sehat; tidak bising, sering terjadi
keributan, dan penuh konflik & ketegangan.
h) Tetap menjaga jarak dan/atau menggunakan masker (APD) ketika terkait
dengan orang yang terinfeksi (sakit).

202
Tentu saja, ada jenis/tipe penyakit yang memungkinkan seseorang menjadi rentan
kembali setelah sebelumnya dinyatakan sembuh.
203
Hampir semua manusia cenderung akan lebih tetap sehat/sembuh/kebal (recovered) jika
yang bersangkutan menempuh cara cara hidup sehat (menggunakan parameter-parameter
tersebut) ketimbang sekedar membiarkan apa adanya.
204
Parameter-parameter inilah yang dapat digunakan sebagai bagian dari strategi untuk
menurunkan nilai phi yang mempertahankan kualitas kesehatan populasi (dalam kondisi
sembuh, kebal, atau tetap recovered).

Halaman: 204 349


Meskipun sudah rasional, adalah masih tidak mudah untuk menentukan fungsi
(matematis) nilai phi (konseptual) berdasarkan faktor-faktor di atas (aktual); masih
bersifat kompleks. Inilah tantangannya; menentukan sejauh mana pengaruh faktor-
faktor latent ini terhadap nilai phi. Meskipun demikian, adalah kewajiban setiap
individu untuk berusaha menurunkan nilai phi dengan mendaya-gunakan faktor-
faktor di atas.

9.5.4 Delta (δ)


Delta (terutama pada model SIRD) adalah koefisien yang mewakili kecepatan/rate
(proses) populasi yang terinfeksi (infected I) menjadi populasi yang mati (dead D) di
suatu SWE dan kurun waktu tertentu. Makin kecil nilai deltanya (δ), tentu saja makin
baik kondisinya. Pada kasus Covid-19, nilai delta (δ) juga bergantung pada penyakit
penyerta (komorbid) yang masih diderita oleh pasien. Keberadaan penyakit penyerta
akan meningkatkan nilai delta (δ). Meskipun demikian, pada dasarnya, secara logis,
nilai koefisien ini juga bergantung pada tindakan yang diperlukan untuk
meningkatkan nilai β-nya sebagaimana telah dibahas205. Artinya, usaha yang
dilakukan untuk meningkatkan nilai β juga akan berdampak pada penurunan nilai
delta (δ). Jadi, parameter δ juga berkorelasi dengan β; yang terinfeksi (kasus aktif)
ekivalen dengan yang sembuh dan yang meninggal (I≈β+δ). Dari sinilah nampak
bahwa sebenarnya, untuk penyakit tertentu, model SIRD lebih realistis dari pada SIR
(yang mengasumsikan adanya kekebalan dan tidak memiliki resiko kematian).

9.5.5 Bilangan Reproduksi Efektif


Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Ro (bilangan reproduksi dasar),
atau lebih tepatnya Rt atau Re (bilangan reproduksi efektif), merupakan indikator
yang penting di dalam urusan fenomena biologi/epidemik. Nilai bilangan ini biasanya
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan penting. Jika Rt<1, maka jumlah
yang terinfeksi (kasus baru/harian) sudah menurun; kondisinya membaik atau
situasinya sudah dianggap mulai terkendali. Artinya, usaha yang dilakukannya
(tindakan intervensi kesehatan) sudah berakibat baik (benar). Sebaliknya, jika Rt≥1,
maka jumlah yang terinfeksi (kasus aktif dan pertambahannya [kasus baru/harian])
masih terus meningkat (kondisinya masih waspada). Artinya, penyakitnya masih
menyebar-luas dan berpotensi menjadi suatu wabah atau bahkan pandemi hingga
diperlukan (pengetatan) tindakan intervensi (yang lebih efektif).
Berdasarkan formulanya, Ro=α/β (keluarga model SIR), untuk menurunkan nilai Ro,
maka nilai α-nya perlu diturunkan (kecepatan transmisi penyakitnya dihambat) dan
nilai β-nya ditingkatkan (waktu/proses recovery penyakitnya dipercepat). Meskipun
demikian, sebagaimana pada umumnya diasumsikan pada model epidemiknya
(konvensional dan deterministik), nilai-nilai α & β sudah ditetapkan (sebagai
konstanta) sedari awal hingga tidak memungkinkan terjadinya suatu perubahan nilai
Ro di dalam siklus modelnya; Ro, α, dan β adalah konstanta; yang mungkin berubah
itu adalah nilai Rt (Re).

205
Faktor-faktor inilah yang juga dapat digunakan untuk menurunkan nilai delta.

Halaman: 205 349


Berdasarkan formulanya, bilangan reproduksi efektif, Rt=Ro.St/N=α/β.St/N, atau Rt=
Kt/Kt-1, untuk menurunkan nilai Rt, karena nilai N dianggap konstan, maka hanya nilai
St-nya yang perlu diturunkan; hingga akan meningkatkan jumlah individu yang kebal.
Mengingat bahwa St pun (berdasarkan rumusnya) dipengaruhi oleh α, maka untuk
menurunkan Rt digunakan mekanisme penurunan nilai α; dan juga kenaikan nilai β
jika dikaitkan dengan Ro. Karena pada konsep Rt nilainya bisa berubah, maka untuk
menurunkan Rt hingga ke suatu batas yang dianggap aman (Rt<1), dapat dilakukan
perubahan pada faktor-faktor (termasuk tindakan intervensi) yang dibahas pada sub-
bab 9.5.1 dan 9.5.2.
Secara praktis, biasanya, pada suatu fenomena wabah/pandemi, pada data biologi
/epidemik tercantum sampel data kasus baru/harian beserta kasus aktifnya (yang
masih dirawat dan isoman). Oleh sebab itu, pada kasus wabah yang nyata seperti ini,
untuk menghitung nilai Rt dapat digunakan rumus praktis Rt=Kt/Kt-1 (fungsi dari data
kasus baru/harian). Oleh sebab itu, sebagai ilustrasi, berikut ini adalah contoh
tampilan tabel sampel data Covid-19206 yang mencakup items kasus (inveksi)
baru/harian (new cases), kasus aktif (active cases), dan bilangan reproduksi efektif
(RE)207 pada periode 21 Juli 2021 hingga 21 Agustus 2021.
Tabel 9.1c: Sampel Data Covid-19 (KawalCovid19)

206
Yang didapat dari website KawalCovid19. Meskipun demikian, untuk kemudahan
tampilan, maka yang dimunculkan pada halaman ini hanya sebagian, sementara itu sisanya
dicantumkan pada lampiran IV di bawah. Tabel ini cukup terbatas agar dapat dimunculkan 1
halaman dan grafik/kurvanya pun mudah dimunculkan.
207
Kolom ini (bilangan reproduksi efektif) dihitung secara sederhana dengan menggunakan
perangkat lunak Ms. Excel berdasarkan masukkan kolom kasus harian/baru dengan rumus
sederhana RE= Kt/Kt-1.

Halaman: 206 349


Jika digambarkan208, maka kurva-kurva biologi/epidemik pada periode waktu
tersebut akan nampak sebagai berikut.

Gambar 9.10a: Kasus Aktif Vs. Kasus Baru

Gambar 9.10b: Bilangan Reproduksi Efektif Harian & Garis Trend-nya


Berdasarkan tampilan kolom RE (Rt) di atas (tabel 9.1c) dan gambar 9.10b, nampak
bahwa trend (nilai-nilainya cenderung mengecil [lebih kecil dari 1.0] dan garisnya
[warna biru] cenderung mengarah ke bawah/turun semakin ke kanan) jumlah kasus
barunya, untuk wilayah Indonesia, sudah menurun pada periode waktu itu;
kondisinya sudah membaik atau situasinya mulai terkendali. Sehubungan dengan hal
ini, maka nilai Rt digunakan sebagai indikator keberhasilan tindakan intervensi
kesehatannya. Jika kondisinya membaik (Rt<1 & aktivitas/tingkat ekonominya masih
tergolong rendah) selama sekian waktu, maka tindakan intervensinya dapat
dilonggarkan seperlunya untuk meningkatkan aktivitas ekonomi, bisnis, pendidikan,
transportasi, dan lain sejenisnya. Sebaliknya, jika kondisinya masih belum membaik

208
Contoh baris-baris kode yang digunakan untuk menampilkan kurva-kurva ini dapat dilihat
pada lampiran I, L.51 “Bilangan Reproduksi Efektif”.

Halaman: 207 349


(Rt>1 dan aktivitas/tingkat ekonominya pun belum terlalu parah), maka tindakan
intervensinya perlu diteruskan (diperketat) seperlunya (hingga berakibat pada
pengetatan atau penurunan aktivitas ekonomi dan lain sejenisnya). Oleh sebab itu,
tindakan intervensi yang dilakukan akan bersifat dinamis atau ”tarik-ulur”, sesuai
dengan perkembangan nilai-nilai kasus harian atau RE (Rt) ini, meskipun, memang
sebagian pihak/orang/kelompok yang tidak memahami hal ini akan melihatnya
sebagai suatu perbuatan atau keputusan yang tidak konsisten209.
Yang paling penting, untuk memperpendek siklus wabahnya (mengurangi korban
jiwa) sekaligus meningkatkan aktivitas ekonomi dan mengurangi potensi kerugian
lainnya, pihak pengambil keputusan harus mampu menentukan kapan saat yang
tepat (akurat) untuk melonggarkan dan kapan pula waktunya untuk memperketat
tindakan intervensinya di wilayah yang menjadi kewenangannya210. Pada saat yang
sama, mereka juga perlu memahami dengan baik dan peka terhadap situasi-situasi
epidemik dan ekonomi yang terdapat di wilayah kerjanya. Tetapi justru itulah
masalahnya; selalu saja terdapat jeda waktu yang bervariasi dan dinamika (dan itu
sulit ditebak) antara tindakan intervensi dengan akibatnya (kondisi epidemik dan
ekonomi). Ketergesaan dan/atau keterlambatan dalam melakukan intervensi
(termasuk melonggarkan & memperketatnya) cenderung merugikan; jumlah korban
makin banyak, aktivitas/perolehan ekonomi menurun drastis, kebutuhan dana makin
besar, siklus wabah bertambah panjang, dan tingkat frustasi masyarakat meningkat.

Fakta-fakta di atas, terutama berdasarkan tampilan kurva-kurva beberapa


sampel datanya (bahasan sub-bab 7.5, gambar 9.8b, gambar 9.8c, dan
grafik/kurva pada website WorldOmeters211), akhirnya, menggiring pada
pemahaman bahwa belum ada model (konvensional) yang “sempurna”
untuk Covid-19 (akurat siap pakai). Selisih bentuk (kenampakkan) sampel
data dengan model-model konvensional-nya masih signifikan. Model-
model konvensional ini, memang, sangat bermanfaat dalam usaha untuk
memahami bagaimana fenomena biologi-epidemiknya; konsepnya masih
dijadikan sebagai dasar pemikiran/evaluasi terhadap suatu wabah. Tetapi
yang juga sangat diperlukan adalah pencatatan mengenai sampel data &
faktanya yang benar beserta tindakan penanganannya (termasuk bentuk
intervensi) yang tepat dan segera.

209
Perbuatan yang nampak secara sekilas tidak konsisten seperti inilah yang sering menjadi
bahan “serangan” kepada pemerintah oleh pihak “oposisi”.
210
Mengingat bahwa kondisi (kasus baru/harian, kasus aktif, dan nilai bilangan reproduksi
efektif) di suatu area (SWE atau batas administrasi) bisa jadi berbeda dengan area-area yang
terdapat di sekitarnya, maka keputusan kapan saat memperlonggar dan/atau kapan pula
waktunya untuk memperketat suatu pelaksanaan kebijakan (tindakan intervensi kesehatan)
bisa jadi juga berbeda. Tetapi, dengan adanya potensi perbedaan ini, yang perlu
dipertimbangkan adalah “harmonisasinya” (tenggang-rasa) sehingga tindakan pelonggaran
atau pengetatan yang dilakukan terhadap suatu tindakan intervensi kesehatan di suatu area
tidak “mengganggu” (merugikan aspek-aspek ekonomi dan epidemik) area-area yang berada
di sekitarnya. Pada kondisi tertentu, juga diperlukan penyelarasan dengan area-area
sekitarnya.
211
https://www.worldometers.info/coronavirus/country/.

Halaman: 208 349


9.6 Prosedur Pelaporan, Duplikasi,
Keterlambatan, dan Blunder
Karena satu dan lain hal, bisa saja terjadi ketidak-akuratan pada sampel data
epidemiknya (Covid-19); sebagai misal, suatu pihak terlambat (beberapa hari) dalam
melaporankan kasusnya pada petugas, dan informasi mengenai waktu kapan saat
mulai terinfeksi (peristiwa epidemiknya) yang dilaporkannya pun ternyata terlambat
(bergeser waktunya); delay.
Keterlambatan
Sebagai misal, di suatu pinggiran Kota, pada tanggal 1 Januari terdapat 1 orang yang
sebenarnya mulai terinfeksi (kasus aktif). Tetapi karena tidak benar-benar
memahami kondisi kesehatannya, ia baru menyadari telah terinfeksi Covid-19 ketika
gejalanya sudah benar-benar terasa (suhu tubuh meningkat, demam, pilek, batuk,
kemampuan penciuman berkurang) dan waktu telah berjalan selama 5 hari (6
Januari). Karena lokasinya yang jauh dan sarana transportasi yang buruk, maka
akhisnya data ini baru sampai ke petugas kesehatan sehari kemudian (7 Januari).
Ketika ditanya (oleh petugas) sejak kapan ia merasa sakit (terinfeksi), maka yang
bersangkutan menjawab (mengira-ngira sambil berspekulasi) tanggal 5 Januari.
Artinya, pada kasus ini, telah terjadi keterlambatan pelaporan (6 hari) dan (waktu)
data kasus itu sendiri (4 hari). Oleh sebab itu, data Covid-19 tanggal 5 Januari (baru
dilaporkan) akan terbebani (kelebihan) oleh 1 data kasus (1 Januari) sedangkan data
1 Januari kehilangan (sudah terlanjur dilaporkan) 1 kasus (tertulis 5 Januari);
perekaman waktu dan jumlah kasus hariannya menjadi tidak akurat.
Contoh lain dimana terjadi keterlambatan adalah mirip dengan tipe keterlambatan di
atas, tetapi pada kasus ini, si pasien212 diperintahkan untuk menjalani isolasi mandiri
(isoman) selama menunggu jadwal pemeriksaan (PCR/Swab) dan pengobatan dari
pihak puskesmasnya (pada kasus jumlah pasien sangat banyak, puskesmas sangat
sibuk dan persediaan obat-obatan menjadi sangat minim hingga dibuatlah jadwal
pemeriksaan dan si pasien harus membeli sendiri obatnya). Selama masa isoman ini,
si pasien dan anggota keluarga yang tinggal serumah tidak boleh ke luar rumah. Nah,
selama masa isoman inilah terjadi penularan yang potensial oleh si pasien ke
anggota keluarganya. Dan jika penularan itu memang benar terjadi, maka berapa
anggota keluarga yang tertular (kasus baru harian) dan pengidentifikasian kapan saja
waktunya peristiwa itu sebenarnya terjadi cenderung bias (tidak akurat), apalagi saat
pemeriksaan dan proses pengobatannya (menunggu jadwalnya) juga tidak jelas. Jika
mereka tidak melapor (baik karena sembuh sendiri dalam waktu singkat maupun
karena memang enggan melapor), maka peristiwa yang sesungguhnya tidak akan
pernah tercatat (fakta terkubur selamanya). Peristiwa ini menyebabkan sampel data
epidemik sangat mungkin untuk tidak akurat dan pelaporannya terlambat.

212
Sebelumnya, karena merasakan beberapa gejalanya, pasien berinisiatif memeriksanya
(rapid test atau antigen) di lab. kesehatan komersial (yang buka kapan saja) dengan biaya
sendiri.

Halaman: 209 349


Pada skala yang lebih besar, selama masa wabah/pandemi, di setiap harinya,
mungkin saja sejumlah orang mengalami infeksi/sakit (kasus baru)213, sembuh, atau
mati. Tetapi, seperti sebelumnya, karena suatu sebab, peristiwa-peristiwa epidemik
ini bisa saja baru dilaporkan dan kemudian dicatat oleh petugas beberapa hari
kemudian (sesuai dengan tanggal pelaporan). Biasanya, pada beberapa kasus, hal ini
juga dapat dilihat dari tabel/data kasusnya yang pada saat awal (to) kasusnya bernilai
0 atau langsung lebih dari 1 (sebagai misal, pada tabel 9.2, pada hari pertama yang
dianggap [tercatat] sakit atau kasus aktif adalah 0 atau 13). Artinya, peristiwa kasus
aktif yang pertama/primer (dimana model epidemik yang dibahas mengasumsikan
bahwa jumlah kasus aktif pada saat to adalah 1) dan yang berikutnya (sekunder) tidak
diketahui kapan saatnya secara tepat. Demikian pula halnya, apakah yang kedua ini
(secara langsung berjumlah 13 jiwa pada tabel 9.2) merupakan kejadian yang
bersamaan atau ada yang tertular dari sebagiannya (terjadi keterlambatan).
Keterlambatan, Duplikasi Data, dan Blunder
Seperti telah disinggung, keterlambatan (baik sengaja atau pun tidak) pelaporan dan
pencatatan yang dimaksud, secara umum mencakup dua tipe. Yang pertama adalah
keterlambatan waktu pelaporan/pencatatan kapan saat mulai terinfeksi dan sudah
mampu menularkan penyakitnya (berstatus kasus aktif), dan yang kedua adalah
keterlambatan catatan waktu ketika yang bersangkutan sudah benar-benar sembuh
/mati (mundur dari yang sebenarnya). Contoh keterlambatan tipe kedua ini adalah
jika, sebagai misal, pada tanggal 1 Januari terdapat 5 orang yang sudah sembuh
/mati, tetapi karena satu dan lain hal, catatannya bergeser hingga peristiwa ini baru
dinyatakan tanggal 5 Januari. Oleh sebab itu, selama 4 hari itu, telah terjadi duplikasi
data kasus aktif (terinfeksi) sebanyak 5 orang (sudah sembuh/mati tetapi masih
dinyatakan kasus aktif). Salah satu indikasi adanya keterlambatan pelaporan kasus
seperti ini dapat disimak di pustaka (CNN, 2021a).
Upaya-upaya elemen-elemen pemerintah beserta masyarakat (kita semua)
yang bersifat terus-menerus, cukup lama (menuntut kesabaran), dan relatif
mahal ini setidaknya memiliki dua tujuan utama: (1) mengatasi masalah
pandemi Covid-19 itu sendiri {di Indonesia} (agar penduduknya tidak terlalu
banyak menderita/parah {segera pulih dari penyakit} Covid-19 dengan
melaksanakan protokol kesehatan, program vaksinasi, karantina wilayah,
dan kebijakan lain yang sejenisnya; dan (2) memulihkan {dan kemudian
secara bertahap meningkatkan} perekonomian Indonesia.
Itulah sebabnya, meskipun mahal dan tidak mudah, upaya-upaya tersebut
(penanganan pandemi Covid-19) memang sangat diperlukan sebagai syarat
(mutlak) bagi upaya pemulihan ekonomi Indonesia. Mau-tidak-mau, harus
dilakukan.

213
Kemungkinan besar, yang sering mengalami keterlambatan pelaporan dan pencatatan
adalah yang terinfeksi/sakit (apalagi yang terekspos) karena lebih sulit untuk mengenali
orang yang mulai terinfeksi (dan yang terekspos) dari pada mengenali orang yang sembuh
dan mati. Selain itu, keterbatasan tenaga medis, alat medis, fasilitas medis, inisiatif
warga/keluarga yang bersangkutan, dan lain sejenisnya, juga bisa menyebabkan
keterlambatan pelaporan dan pencatatan peristiwa epidemik.

Halaman: 210 349


Tabel 9.2: Contoh Sampel Data yang Berisi Keterlambatan Pelaporan & Blunder

Kedua tipe keterlambahan ini menyebabkan (kemungkinan) adanya duplikasi data


pada jumlah kasus aktifnya. Artinya, catatan jumlah kasusnya berpotensi menjadi
lebih besar dari pada yang sebenarnya dan hal ini akan membebani data hariannya
dengan jumlah-jumlah dan urutan kejadian yang tidak semestinya. Belum lagi jika
muncul kesalahan pengetikkan (blunder)214 pada jumlah dan waktu kejadiannya.
Dengan demikian, akan ada saja kemungkinan terjadi kesalahan mengenai jumlah
dan waktu kejadiannya. Inilah potensi bias pada sampel data kasus epidemik. Bias
semacam ini, akhirnya, tentu saja dapat meningkatkan level kewaspadaannya, dan
jika dimodelkan, maka hal ini akan mempengaruhi nilai-nilai parameter model
beserta hasil plot sampel datanya (kurva-kurva rentan, terekspos, terinfeksi, kebal
/sembuh, dan yang mati). Meskipun demikian, sayangnya, potensi bias ini tidak
terdeteksi hanya berdasarkan tampilan kurva-kurvanya.
Contoh Kurva-Kurva karena Keterlambatan Tipe Pertama & Blunder
Sebagai ilustrasi, pada tabel 9.2, kolom ke-1 merupakan tanggal (waktu) atau urutan
kejadian (hari), kolom ke-2 merupakan jumlah sebenarnya orang yang terinfeksi
(jumlah kasus aktif yang sebenarnya), kolom ke-3 adalah jumlah orang yang tercatat
telah terinfeksi (jumlah kasus aktif yang tercatat dan kemungkinan mengalami
keterlambatan waktu dan/atau salah ketik), dan kolom ke-4 adalah catatan
mengenai (sebab) perbedaan nilai-nilai yang sebenarnya terinfeksi (kasus aktif)
dengan yang tercatat. Secara keseluruhan, jika tidak terdapat blunder (meskipun
masih terdapat unsur keterlambatan), maka jumlah totalnya masih akan sama besar
(total kolom ke-2 sama dengan total kolom ke-3), tetapi jika di-plot, tampilan
214
Blunder atau salah ketik akan menyebabkan perbedaan jumlah yang sebenarnya
terinfeksi dan yang tercatat, sedangkan keterlambatan pencatatan tidak akan menyebabkan
perbedaan jumlah. Meskipun demikian, keduanya akan merubah profil sampel data
epidemiknya.

Halaman: 211 349


kurvanya menjadi tidak sama. Inilah urgensi akibat kehadiran blunder dan
keterlambatan di dalam sampel data epidemik.

Gambar 9.11: Perbedaan Kurva yang Terinfeksi & yang Tercatat


Jadi, dengan adanya unsur-unsur keterlambatan pelaporan dan pencatatan
waktunya, maka sampel data epidemik sangat berpotensi untuk mengalami
kesalahan (tidak akurat atau bahkan tidak valid); setidaknya dipertanyakan. Oleh
karena itu, untuk meminimalisir dampak unsur-unsur keterlambatan pelaporan &
pencatatan waktunya, diusulkan:
a) Penderita (atau keluarga/tetangga) segera (tidak terlambat) melaporkan
pada gugus tugas Covid-19 yang terdekat jika sudah merasa atau mengalami
gejala Covid-19. Penderita atau anggota keluarga perlu mengingat-ingat
kembali kapan saatnya (waktu) mulai terinfeksi, sembuh, atau mati (yang
akan dilaporkan).
b) Gugus tugas Covid-19 di lingkungan RT/RW (kantor, sekolah, dan lain nya)
perlu memonitor kondisi kesehatan orang di wilayah kewenangannya.
c) Petugas pencatat kejadian kasus Covid-19 perlu mengkonfirmasikan kembali
(menanyakan lebih lanjut mengenai) jumlah dan waktu kejadian yang
sebenarnya; termasuk riwayat (tracing) kejadiannya.
d) Perlu dibuatkan prosedur/mekanisme pelaporan & pencatatan kasus Covid-
19 (terutama yang terinfeksi, sembuh, dan mati) sedemikian rupa hingga
terpusat (ada mekanisme konfirmasi), cepat, dan benar (datanya uptodate,
tidak berisi unsur keterlambatan dan juga tidak berisi duplikasi data).
Tanggal-Tanggal Pertama Terinfeksi Covid-19
Sebagai ilustrasi, berikut adalah daftar215 (sebagian) negara (batas administrasi) yang
tercatat untuk pertama kalinya terinfeksi (jumlah kasus) oleh Covid-19.

215
Daftar ini (sebagian negara) diperoleh dengan cara mengevaluasi data harian total jumlah
penderita Covid-19 (jumlah kasus terinfeksi/kasus aktif, sembuh, mati) yang dapat diperoleh
secara gratis di website internasional yang telah disebutkan pada bab 7; khususnya
https://covid19.who.int/table. Memang, di beberapa hari awal bulan Maret 2020, nampak
ada sedikit perbedaan antara data yang bersumber dari website WHO ini dengan
https://data.humdata.org. Sebagai misal, pada data WHO, pada hari pertama terinfeksi (2
Maret 2020), Indonesia terdeteksi 6 orang sedangkan pada data Humdata terdeteksi 2 orang
saja. Meskipun demikian, keduanya menyatakan hal yang sama bahwa sejak hari itu, jumlah
yang terinfeksi sudah ada dan lebih dari 1; yaitu 2 atau 6 orang.

Halaman: 212 349


Tabel 9.3: Daftar Negara & Waktu Terkena Covid-19 Pertama Kali

Jika data ini benar/akurat, nampak bahwa secara kronologis, negara yang pertama
kali terinfeksi (kasus aktif) adalah China (4 Januari 2020) kemudian disusul Jepang (14
Januari 2020) dan Singapura (23 Januari 2020). Menurut catatan ini, di China
terdapat seorang yang terinfeksi di hari pertama; masuk akal dan sesuai dengan
asumsi model epidemik (pada saat to, Io=1). Demikian pula halnya dengan Jepang,
Jerman, Finlandia, Polandia, dan Libya. Meskipun demikian, berdasarkan data pada
tabel ini pula, kebanyakan negara telah terinfeksi oleh lebih dari satu orang sejak
hari pertamanya. Artinya, kelompok negara yang kedua ini berpotensi mengalami
ketidak-cermatan dalam mengidentifikasi jumlah individu yang terinfeksi atau
setidaknya keterlambahan pelaporannya. Sebenarnya, jika sampel datanya lebih
detil (misalkan per-kota di dunia), akan ada banyak (item) hasil analisis yang dapat
diperoleh berdasarkan catatan krolologis, letak geografis, dan pola pergerakan
(terutama melalui moda-moda transportasi darat dan udara) orang-orang yang telah
terinfeksi.
Sampel data ini (tabel 9.3) berbasis wilayah administrasi yang sangat luas (negara),
bukan per-kota atau bahkan per-SWE yang sempit dan homogen. Dengan demikian,
sampel datanya masih bersifat umum hingga hasil analisisnya tidak detil. Pada
kondisi ini, jika diasumsikan bahwa sumber penyakitnya sama (1 model saja), infeksi
primernya sama dengan satu, adalah tidak mudah untuk menjawab beberapa
pertanyaan seperti halnya: (1) ”mengapa setelah China, yang terinfeksi adalah
Jepang (bukannya negara yang tepat bersebelahan atau lebih dekat dengan China)?”,
dan (2) ”mengapa perlu waktu hingga 10 hari untuk sampai ke Jepang?” Selain itu,
dengan asumsi yang sama pula (semua individu yang terinfeksi seharusnya dapat
dirunut hingga ke peristiwa yang pertama di China), nampak bahwa pola sebaran
Covid-19 tidak seperti yang dideskripsikan oleh gambar 5.1 di atas (sebaran virus
bermula dan menyebar dari yang paling dekat). Lain halnya jika asumsinya berbeda.

9.7 Metode yang Tidak Matang


Metode, termasuk alat ukur yang terdapat di dalamnya, juga dapat mempengaruhi
sampel data epidemik. Untuk menentukan jumlah (kasus) kematian per-hari akibat
wabah, tentu saja tidak terlalu sulit; dapat dilihat secara langsung. Tanpa metode

Halaman: 213 349


dan alat bantu khusus pun, kebanyakan orang pun dapat melakukannya (meskipun
memang dokter yang menjadi pihak yang berwenang dalam hal ini). Demikian pula
halnya dengan menentukan jumlah orang yang benar-benar sembuh (recovered) per-
harinya; tidak terlalu sulit216 bagi para praktisi & akhli medis (berdasarkan hasil
pemeriksaan dan hilangnya gejala-gejalanya), meskipun tidak semudah menentukan
jumlah kasus yang mati. Meskipun demikian, menentukan sejak kapan tepatnya
(tanggal berapa dan jam berapa) seseorang mulai terinfeksi (E atau I) atau menjadi
kasus aktif adalah tantangan yang sangat tidak mudah217 (diperlukan saat dan
pemeriksaan yang tepat & akurat), apalagi jika sampel data kasusnya (akumulasinya)
akan dipublikasikan untuk umum. Oleh sebab itu, secara logis, item data jumlah
individu yang mati dan yang sembuh cenderung tidak terlalu sering mengalami
kesalahan (identifikasi) dan juga tidak begitu sensitif dari sisi penganalisis data,
kecuali unsur keterlambatan atau salah ketik (blunder) sebagaimana telah dibahas
pada sub-bab 9.6. Oleh sebab itu, yang nampak berpotensi untuk lebih sering
mengalami ”kesalahan” (identifikasi), adalah jumlah kasus yang terinfeksi/kasus aktif
(E atau I).
Jadi, untuk mengidentifikasi mana saja individu yang terinfeksi (terutama E) secara
akurat, tepatnya sejak kapan (hari) ia terinfeksi (kasus aktif), tidak selalu mudah.
Apalagi jika model epidemik yang diproyeksikannya adalah SEIR, SEIRS, dan lain
sejenisnya dimana si pengamat dituntut untuk mengidentifikasinya secara cermat
sejak kapan sebenarnya si pasien mulai terekspos/E (sudah terinfeksi, tetapi belum
bergejala, dan belum mampu menularkan penyakitnya kepada orang lain) dan
kemudian sejak kapan pula ia benar-benar sakit [I] (sudah terinfeksi, bergejala, dan
sudah mampu menularkan penyakitnya). Pada kasus ini, seharusnya, digunakan
metode/tes (pemeriksaan) yang sudah benar-benar ”matang”, berakurasi tinggi, dan
bisa dipertanggung-jawabkan. Dari sisi analisis data, kebenaran mengenai data kasus
aktif (E/I) lebih sensitif (sering menjadi bahan pertanyaan).
Jika (seandainya) digunakan metode/tes yang kasaran, tidak konsisten, masih
eksperimental, belum matang, atau yang kehandalannya masih dipertanyakan (tidak
akurat, pengambilan sampelnya berbeda-beda, hasil analisanya sering berbeda
antara lembaga uji satu dengan yang lain), dan kemudian datanya dimasukkan ke
dalam laporan (kasus) hariannya, bahaya. Sebab, hal ini dapat membingungkan si
pasien (plus keluarga dan pihak-pihak terkait) dan cenderung menyebabkan angka
(jumlah kasus aktif) yang dilaporkan lebih besar dari pada yang sebenarnya; item
data ini (E atau I) menjadi ”bias”. Selain itu, terutama pada awal-awal masa pandemi
dimana tidak sedikit orang yang bersikap paranoid, status ”reaktif” (karena sebab
selain Covid-19) saja (terkadang) sudah dianggap atau dipastikan (oleh sebagian
pihak) sebagai kasus aktif (terinfeksi) Covid-19 hingga berdampak pada ”sangsi
sosial” plus isolasi mandiri (”terkurung” di rumah selama 14 hari atau lebih) bagi
yang bersangkutan. Mending jika hal itu benar adanya (memang terinfeksi Covid-19,
untuk melindungi diri sendiri dan orang-orang yang berada di sekitarnya), tetapi jika

216
Jika yang bersangkutan berada dalam perawatan/pengawasan para praktisi/akhli medis.
217
Karena yang bersangkutan tidak selalu memahami kondisi kesehatannya bahwa dirinya
mulai terinfeksi, dan jika ia memang memahami bahwa dirinya terinfeksi pun, yang
bersangkutan belum tentu akan segera datang ke fasilitas kesehatan untuk memeriksakan
diri untuk mendapatkan kepastian statusnya; sudah terinfeksi atau tidak.

Halaman: 214 349


tidak, siapa yang akan bertanggung-jawab dan menanggung resikonya kekeliruan ini?
Sebaliknya, juga di periode awal pandemi, pernah terjadi seorang meninggal dunia
(kemudian di antarkan ke kuburan beramai-ramai seperti biasanya) dengan gejala
sebelumnya demam berat dan (setelah diperiksa) paru-parunya penuh dengan
bercak putih218. Dokter mendiagnosanya karena sebab penyakit TBC. Tetapi
kemudian, orang-orang di sekitarnya menyadari bahwa itu akibat dari Covid-19.
Artinya, pada kasus seperti ini pun masih memungkinkan terjadi kesalahan
identifikasi; jenis penyakitnya masih baru dan metodenya pun tidak berhasil
mengidentifikasinya secara tepat/benar219.
Oleh sebab itu, saran untuk masalah ini adalah digunakannya metode yang akurat,
matang, dan terstandarisasi; di samping (jika memungkinkan) melibatkan alat bantu
produk dalam negeri. Berkaitan dengan hal ini, telah muncul dan digunakannya alat
tes ”GeNose” yang pada uji klinis tahap pertamanya (di rumah sakit di Yogyakarta)
sudah menunjukkan akurasinya yang baik (97%, atau lebih tinggi dari Swab-PCR),
cepat prosesnya (hasilnya keluar setelah 2 hingga 3 menit), dan biayanya yang jauh
lebih murah220. Jadi, jika memungkinkan, tingkatkan kualitas dan luaskanlah
penggunaan alat deteksi ini di pintu-pintu masuk & keluar wilayah dan pada moda
transportasi antar-wilayah (terutama bus, travel, kereta api, pesawat terbang, kapal
laut, dan lain sejenisnya).

Gambar 9.12: Diagram Sebab-Akibat Peningkatan Kasus

9.8 Sifat & Sikap Masyarakat


Pada masyarakat yang heterogen, kurang kompak, susah diatur, egois (semau gue),
cerewet, tidak sabaran, non-literat, kurang taat hukum (di negerinya sendiri),

218
Setahu penulis, di luar periode awal pandemi pun (awal Agustus 2021), terdapat kasus
(kerabat penulis) dimana terjadi kematian dengan hasil pemeriksaan paru-paru yang bercak
putih tetapi hasil tes SWAB Covid-19-nya (sebelum yang bersangkutan meningal dunia)
negatif hingga kemudian dimakamkan secara normal; pasien non-Covid-19.
219
Kasus seperti ini juga dapat disimak dari percakapan antara Prof. Rhenald Kasali dengan
Deddy Corbuzier yang videonya telah di-upload ke situs Youtube pada Mei 2020.
220
Informasi ini dicuplik dari pustaka (Sumantri, 2020).

Halaman: 215 349


pendapatannya berbasis aktivitas harian221, tidak disiplin, dan para elitnya terpecah
belah (kurang menyadari kepentingan bersama dengan melupakan segala perbedaan
untuk sementara), suatu masalah/wabah/pandemi bisa jadi berlangsung lebih lama
dan menelan korban yang lebih besar. Jika wabahnya belum juga mereda, sementara
(sebagai pembanding) pada masyarakat (provinsi, negara, regional) lain (yang
kondisinya tidak jauh berbeda) wabahnya sudah mereda, maka kontribusi dari
kondisi, kebiasaan, budaya, sikap, sifat, karakter, atau disiplin masyarakat yang
bersangkutan perlu segera diteliti. Sebab, bisa jadi, faktor/unsur tersebut merupakan
bagian dari penyebabnya.
Lalai, Tidak Waspada, Berprasangka Baik Tidak pada Tempatnya
Beberapa bulan di awal pandemi (sebelum Maret 2020), ketika di Indonesia belum
ditemukan kasus aktif Covid-19, sementara di negara lain sudah banyak ditemukan
kasusnya (positif), maka berita mengenai dahsyatnya Covid-19 telah tersebar luas
melalui berbagai media: media sosial, online/internet, saluran TV, dan lain sejenisnya
setiap hari secara masif. Sehubungan dengan hal ini, pada saat itu, sebagian dari
masyarakat dan segelintir para elitnya ”berprasangka baik”, merasa bangga, dan
optimis dengan berpendapat bahwa orang Indonesia kebal terhadap Covid-19222.
Mungkin saja pada saat ini, sebagian orang telah melupakan hal ini aib ini. Prasangka
baik ini tentu saja banyak mempengaruhi opini publik di Indonesia. Akibat (opini)
prasangka baik ini223, sayangnya, banyak orang lalai/tidak waspada hingga kemudian
terbukti/ditemukan kasus pertamanya di awal Maret 2020. Inilah pelajaran
pentingnya. Merasa bangga dan berprasangka baik pada kasus seperti ini adalah
tidak wajar dan tidak pada tempat & waktunya; mengurangi kewaspadaan dan
meminimkan (meniadakan) kesiapan (mental dan lainnya) dalam menghadapi suatu
bahaya, bencana, wabah, atau pandemi. Pada saat itu, banyak orang yang lupa pada
risk management.
Panik, Stres, dan Akibatnya
Masifnya berita pandemi dan ketidak-siapan tentu saja menyebabkan banyak orang
panik, stres, dan kawatir secara berlebihan. Kondisi ini dapat (dalam porsi tertentu)
melemahkan imunitas tubuh hingga membuatnya rentan. Selain itu, yang tidak kalah
penting akibatnya adalah, pada kondisi ini, kemampuan berlogikanya bisa melemah.
Selain itu, pada kondisi ini pula, terkadang, kepemilikan ilmu, pengetahuan,
pemahaman, atau pengalaman tidak banyak membantu; keputusan atau tindakan
yang diambil bisa jadi tergesa, terlambat, atau emosional (tidak optimal).
Sebagian anggota masyarakat yang panik dan stres, tetapi memiliki cukup uang224,
mengalami panic buying karena melihat sesamanya memborong bahan makanan,

221
Untuk point ini solusinya juga memerlukan keterlibatan/peran/dukungan pemerintah
selain kerja keras dan kreativitas yang bersangkutan.
222
Banyak sumber berita yang mengungkapkan hal ini. Tetapi sebagai ilustrasi saja, penulis
hanya memberikan dua sumber yang memberitakan hal itu; yaitu pustaka (Suara, 2020) dan
(Liputan6, 2020).
223
Nampaknya, hal ini tidak didasarkan pada argumen yang masuk akal, hasil penelitian yang
terbukti benar, dan sikap kehati-hatian yang memadai.
224
Bagi yang tidak memiliki uang yang cukup tentu saja menyisakan masalah tersendiri;
akibatnya bisa besar, bisa kecil.

Halaman: 216 349


obat, dan masker. Akhirnya, mereka pun turut membeli barang-barang ini (makanan,
minuman/susu beruang, APD/masker) secara berlebihan. Kondisi ini kemudian
diperparah lagi oleh sebagian pebisnis yang juga memborong/menimbun barang
pada skala yang lebih besar hingga akhirnya terjadi kelangkaan barang, kenaikan
harga & nilai tukar mata uang asing, dan kepanikan lanjutan. Mungkin, peristiwa aib
ini pun sudah terlupangan pada saat ini. Kepanikan/stres akibat wabah pun dapat
menelan banyak korban waktu, tenaga, jiwa, dan harta (ekonomi).

Gambar 9.13: Panik & Panic Buying


Under/Over-Estimate & ”Orang Aneh”
Anggota masyarakat yang tidak sensitif, terlalu pede, lebai, dan menganggap remeh
(under-estimate), hal ini tercermin dari celotehan-nya (”santai sajalah, toh Belanda
masih jauh” atau ”santai aja bos, Covid-19-nya masih di luar negeri kok”), cenderung
tidak siap menghadapi masalah. Akibatnya, jika suatu saat mengalaminya, mereka
panik. Kepanikan ini tentu saja dapat berkonsekuensi luas. Jika kondisinya membaik,
mereka terlalu optimis (over-estimate) & lebai tanpa waspada bahwa wabahnya
belum berakhir. Sementara itu, ”orang-orang aneh”225 tipe kedua berpendapat
bahwa Covid-19 adalah azab226, atau sebaliknya, mereka justru tidak percaya sama
sekali227 dengan berpendapat bahwa ”Covid-19 itu tidak pernah ada, dan isu
mengenai Covid-19 itu hanya rekayasa atau konspirasi yang dibuat untuk menakut-
nakuti manusia”. Kondisi ini kemudian diperparah lagi dengan adanya demo yang

225
Sebagian dari orang yang nyeleneh ini bahkan sampai tega menyalahkan pemerintahnya
yang sebenarnya sudah berusaha untuk menanggulangi pandemi Covid-19 dan
mengingatkan warganya agar mentaati protokol kesehatan.
226
Segelintir orang, di periode awalnya, menganggap (berprasangka) bahwa pandemi Covid-
19 adalah suatu azab bagi suatu negeri; hingga yang bersangkutan tidak waspada. Tetapi
ketika negerinya juga ternyata terkena pandemi yang sama beberapa bulan kemudian,
mereka baru menyadari kekeliruan ini; prasangka/pendapat buruk yang tak berdasar dan
terlalu dini pula. Terkait dengan hal ini, maka untuk meredam perkembangan anggapan yang
keliru itu dan juga tidak memperbaiki keadaan (tidak menyelesaikan masalah), maka imam
besar Istiqlal sampai perlu meminta agar tidak ada pihak yang menganggap virus corona ini
sebagai azab. Detil mengenai keterangan ini dapat dilihat pada pustaka (CNN, 2020a).
227
Ketua Satgas Penanganan Covid-19, Doni Monardo, menyebut ada 17 persen masyarakat
Indonesia yang masih tak percaya Covid-19, padahal sudah banyak korban jiwa [lihat pustaka
(detik, 2021a)]. Bahkan, segelintir orang (oknum) yang tidak percaya ini justru berasal dari
kalangan yang sebenarnya memahami kesehatan dan penyakit/tenaga medis [lihat pustaka
(Kompas, 2021e)].

Halaman: 217 349


menentang (penerapan) kebijakan terkait(sebagai misal PPKM dengan beberapa
tingkatannya). Beberapa tipe aib ”orang-orang aneh” (yang mungkin saja sudah
terlupakan pada saat ini) seperti ini tidak menyelesaikan masalah (tidak memberikan
solusi), tetapi justru memperluas masalahnya (dengan provokasinya dan segala
konsekuensinya) dan membentuk kerumunan. Singkat cerita, karena terjadi
kerumunan dan sebagian dari mereka tidak menerapkan protokol kesehatan &
menolak vaksin, maka tidak mengherankan jika sebagian dari mereka juga terkena
Covid-19. Sikap/sifat ”orang-orang aneh” ini cenderung menambah korban sekaligus
memperpanjang siklus Covid-19.
Kurang/Tidak Disiplin
Masyarakat yang tidak disiplin (khususnya) dalam melaksanakan protokol kesehatan
(prokes) dan mengisolasi diri pada saat terkena Covid-19 menyebabkan kasus aktif
hariannya tinggi dan durasi wabahnya lebih lama.
Kurang Kepedulian & Egois
Setiap orang memilik kebutuhan yang bisa jadi akan menyebabkan banyak orang
berkumpul di suatu tempat. Tentu saja kebutuhan ini tidak dapat ditolak. Resepsi
pernikahan, undangan, ulang tahun, syukuran kenaikan pangkat, dan perayaan hari
jadi adalah sebagian dari kebutuhan yang dimaksud. Pada kondisi ini, jika diijinkan
dengan batasan jumlah yang hadir, pembagian jadwal kedatangan para tamu, dan
pemisahan ruang, maka perlu dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan.
Meskipun demikian, karena kekurang-pedulian terhadap lingkungan & sifat egonya,
maka tidak jarang pihak tuan-rumah melaksanakan events yang menyebabkan
berkumpulnya ratusan atau ribuan orang tanpa jaminan (usaha yang memadai)
bahwa mereka menerapkan protokol kesehatan. Kondisi ini menyebabkan
munculnya klaster baru; kemunculan kasus-kasus baru. Pada beberapa kasus,
ironisnya, karena kekurang-pedulian pihak penyelenggara, maka pihak keamanan
merasa perlu membagikan masker kepada tamu undangan karena melihat mereka
berkumpul tanpa melaksanakan protokol kesehatan.
Kejujuran & Tanggung-jawab
Segelintir orang menganggap bahwa terkena Covid-19 adalah aib228 (pada saat itu
kemungkinan dikucilkan), menghebohkan, sekaligus akan menghambat aktivitas

228
Ada suatu kejadian dimana seseorang yang sebenarnya sudah merasa terkena Covid-19
(karena teman-teman dekat di tempat kerjanya pun sudah di-test dan terbukti hasilnya
positif), sengaja merahasiakannya dan tidak segera memeriksakan diri dengan pertimbangan
bahwa ia tinggal di sekitar perkampungan dan memiliki orang tua tunggal yang sudah sepuh
dan tinggal terpisah tidak jauh dari rumahnya. Jadi, pertimbangannya, jika ia di-tes dan
kemudian terbukti hasilnya positif, maka orang sekampung akan mengetahuinya hinga ia
dikarantina di rumah (isoman); tidak bisa kemana-mana. Jika dikarantina, ia pikir, siapa yang
akan mengurus (memberi makan dan memperhatikan kehidupan sehari-hari) orang tua
tunggalnya. Pertimbangan ini tentu saja berisi unsur kebenaran sekaligus kelemahan.
Kelemahannya, ia menilai kondisi kesehatannya tanpa bukti/data/dasar yang kuat/valid
(belum dites). Jika ternyata ia (sebenarnya) terinfeksi, selama di dalam dan ke luar rumah
(untuk belanja dan mengurusi orang tua tunggalnya), maka potensi penularan kepada anak-
istri beserta anggota masyarakat yang berada di sekitarnya akan terus berlangsung. Belum
lagi jika anak-istrinya pun bergaul dengan anggota masyarakat yang lain. Dan mereka

Halaman: 218 349


sehari-harinya. Oleh sebab itu, meskipun telah terinfeksi (ketika ia mulai
menyadarinya berdasarkan gejala yang dirasakannya, paling tidak pada saat itu
sudah berstatus ”positif”, atau ”reaktif” setelah diperiksa) tetapi karena hasil tesnya
atau gejalanya belum terlihat oleh orang lain229, maka sebagian dari tipe orang ini
masih beraktivitas dan bergaul seperti biasanya (seolah masih sehat); tanpa
melakukan isolasi mandiri. Mereka sama sekali tidak menyadari akibatnya (kurang
bertanggung-jawab) pada orang lain. Pada kondisi inilah potensi penularan secara
masif akan terjadi, termasuk kepada anggota keluarga, tetangga, rekan-kerja, dan
juga tim kesehatan karena mereka tidak berkata jujur mengenai kondisi
kesehatannya. Akibatnya, pada awalnya, jika suatu saat diketahui, dicatat, dan
kemudian dirawat, maka catatan kejadian infeksinya (kasus aktif) akan terlambat
(mundur). Meskipun demikian, pengaruh sebelum dirawat oleh petugas inilah yang
menjadi pertanyaan besar. Orang ini sudah (berhasil) menginfeksi kepada siapa &
dimana saja? Pengaruh sifat yang kurang baik ini, pada profil data epidemik harian
Covid-19, tentu saja ada, tetapi memang tidak mudah diketahui secara pasti. Salah
satu kasus nyata dan unik yang mengindikasikan adanya faktor ini (kejujuran &
tanggung-jawab) di masa pandemi dapat dilihat pada pustaka (CNN, 2021a).
Penderita yang Tidak Terperiksa
Pada kelompok masyarakat tertentu, seperti telah disinggung, mengidap (terinfeksi)
penyakit menular juga berarti aib (mengingat potensi sangsi sosial dan biaya
perawatannya). Dengan demikian, jika masih memungkinkan, sebagian dari mereka
bisa jadi akan ”bersembunyi”, enggan, atau tidak melaporkan kondisinya; mulai dari
saat terinfeksi hingga akhirnya mati/sembuh dengan sendirinya. Oleh sebab itu,
sebagian dari peristiwa ini tidak pernah terungkap (tidak tercatat di dalam data
epidemik). Apalagi jika jumlah faskes dan nakesnya sangat terbatas, lokasi
pemeriksaannya jauh, kondisi jalannya rusak parah dan berliku, aparat setempat
(RT/RW) kurang peduli pada warganya, dan satgasnya belum terbentuk (tidak ada
tracing). Pada kondisi ini, nakes hanya akan memeriksa orang yang datang dan tidak
mendatangi setiap orang satu-per-satu. Kondisi seperti ini cenderung mengurangi
jumlah kasus/data yang terinfeksi (kasus aktif); laporan mengenai jumlah yang
terinfeksi (kasus aktif) lebih rendah dari pada yang sebenarnya, sementara catatan
waktu kejadiannya cenderung mundur (terlambat).
Pasien yang Ter-covid-kan
Pada suatu kasus, meskipun sangat jarang, bisa saja terjadi perdebatan antara
anggota keluarga pasien dengan tim kesehatan yang memeriksanya. Masalah itu

akhirnya tidak akan mengetahui dengan pasti kapan (subjektivitas) saatnya mereka
sebenarnya masih terinfeksi (dapat menularkan) dan kapan pula saatnya sudah sembuh
(untuk bisa bergaul dan beraktivitas seperti biasanya). Artinya, dengan contoh kejadian
seperti ini saja (secara umum karena sebab sifat/sikap masyarakatnya), bisa jadi, potensi
jumlah manusia yang terinfeksi oleh pandemi Covid-19 (atau yang lain) akan jauh lebih besar
dari pada yang tercatat; mirip dengan fenomena gunung ES.
229
Mungkin, sebagian anggota keluarganya juga mengetahui hal ini tetapi karena merasa
segan akhirnya tidak melaporkan kondisi yang sebenarnya. Sementara itu, karena banyak
keterbatasan, memang, tidak akan ada petugas yang akan mendatangi dan menanyai
pasiennya satu-per-satu di rumah masing-masing.

Halaman: 219 349


bermula ketika pihak keluarga menyatakan bahwa sebelumnya si pasien sama sekali
tidak memiliki riwayat Covid-19. Hasil tes antigen ketika yang bersangkutan masuk
rumah sakit pun menyatakan demikian; negatif. Si penderita masuk ke rumah sakit
dengan keluhan penyakit selain Covid-19. Kemudian, selama perawatan di rumah
sakit, pasien ini pun tidak diperlakukan secara khusus sebagai pasien Covid-19; hanya
dikenakan protokol kesehatan sebagaimana pada umumnya (di masa pandemi).
Tetapi pada akhirnya, sayangnya, ketika terjadi kematiannya, tim kesehatan
menyimpulkan bahwa si penderita mati karena sebab Covid-19.
Meskipun pada awalnya terjadi perdebatan, akhirnya pihak keluarga ”mengalah” dan
membiarkan petugas menanganinya hingga tuntas; membawa jenasah yang tervonis
covid-19 besar resikonya. Oleh sebab itu, akhirnya, pasien dikuburkan (oleh petugas
di malam hari) di pekuburan khusus Covid-19. Karena itulah, keluarga almarhum dan
tetangganya (masyarakat awam) merasa kecewa, menganggap bahwa almarhum
telah ter-covid-kan; terlepas dari benar atau salahnya anggapan mereka.
Tipikal kasus kedua ”yang ter-covid-kan” juga dapat terjadi ketika terdapat seorang
tanpa gejala, dan hasil tes antigen terakhirnya pun negatif, tetapi tidak lama
kemudian yang bersangkutan merasa sesak nafas hebat (ada kasus komorbid dan
ada pula kasus tanpa komorbid) hingga dibawa ke rumah sakit. Tidak lama
kemudian, beliau meninggal dunia. Vonis akhir menyatakan bahwa beliau meninggal
dunia karena sebab Covid-19, meskipun sebelumnya tidak pernah tercatat sebagai
penderita Covid-19. Inilah kontroversialnya. Fenomena ”ter-covid-kannya” sebagian
pasien juga akan meningkatkan item data jumlah (kasus) yang mati karena sebab
Covid-19, tetapi belum tentu akan meningkatkan jumlah kasus yang terinfeksi (kasus
aktif). Untungnya, peristiwa semacam ini tidak sering terjadi.

Gambar 9.14a: Diagram Sebab-Akibat Peningkatan Kasus


Fenomena Melepas Masker (APD)
Sebagaimana telah disinggung, di awalnya, fenomena Covid-19 banyak diduga akan
menyisakan budaya baru pada masa mendatang; new normal. Salah satunya adalah
penggunaan masker. Meskipun demikian, belum lama ini (paling tidak sejak
pertengahan atau akhir Mei 2021), masih di masa pandemi ini saja, sebagian
masyarakat (terutama penduduk di beberapa negara asing) telah meninggalkan

Halaman: 220 349


(melonggarkan) kebiasaan ini dengan alasan: mereka telah divaksin, jumlah yang
divaksin sudah banyak (target herd-immunity telah atau hampir tercapai), jumlah
kasusnya sudah rendah (menurun), kapasitas fasilitas kesehatan masih banyak (nilai
BOR rendah), pandeminya dianggap telah terkendali, dan sudah merasa tidak
nyaman (jenuh) dengan masker. Fenomena melepas masker ini banyak ditemui di
lapangan (stadion) sepakbola, pantai, dan tempat wisata/kuliner. Adapun negara-
negara yang mengijinkan masyarakatnya melepas masker sejak saat itu adalah
Selandia Baru, China, Israel, Amerika Serikat, Italia, Bhutan, Korela Selatan,
Hunggaria, Australia, dan lain sejenisnya. Berita ini tentu saja telah tersebar luas di
saluran TV dan media berbasis elektronik/internet.
Bagaimana di Indonesia? Justru itu. Pada saat (bulan-bulan) yang sama, Indonesia
sedang mengalami kenaikan yang tajam (gelombang kedua) karena masuknya varian
baru yang ganas, intensitas interaksi sosial yang tinggi, dan ketidak-disiplinan dalam
menjalani protokol kesehatan. Jadi, pada kondisi ini, jika masyarakat kita merasa iri
dengan negara-negara tersebut tanpa memandang kondisi objektif di Indonesia dan
terlalu dini membuka maskernya (tidak menjalankan protokol kesehatan), maka
akibatnya bisa lebih parah lagi; berkubang di lumpur pandemi Covid-19 lebih lama
lagi. Untuk itu, kita perlu bersyabar, disiplin, dan berusaha lebih keras lagi untuk
segera pulih dan hidup normal kembali. Meskipun demikian, fenomena ”membuka
masker” telah membuka wawasan bahwa salah satu dari unsur new normal (yang
diprediksikan oleh banyak orang itu) mungkin saja terjadi tetapi tidak akan selama
dan seperti (persis sama dengan) yang diperkirakan sebelumnya; eksistensinya mulai
dipertanyakan (skenarionya bisa saja berubah/dinamis).

Gambar 9.14b: Fenomena Gunung ES Potensi (Laten) Jumlah yang


Terinfeksi Wabah Penyakit (Karena Sebab Sifat/Sikap Masyarakat)

Halaman: 221 349


Sikap masyarakat seperti ini, termasuk mudah mengeluh & tergelitik untuk
berkomentar pada hal-hal yang sebenarnya bukan urusannya/akhlinya
(divaksin salah, tidak divaksin mengeluh, dibatasi aktivitasnya salah, tidak
dibatasi kegiatannya mengeluh, tidak diberi bansos salah, tidak ”di-
lockdown” mengeluh, dan lainnya yang pada dasarnya menggambarkan
kondisi yang ”serba-salah”), menyebabkan terjadinya banyak perdebatan
dan kekisruhan hingga banyak waktu, energi, dan biaya yang terkuras tanpa
perbaikan kondisi secara signifikan; dan hal itu cukup memusingkan banyak
orang beserta pihak yang berwenang.

9.9 Vaksinasi, Imunisasi, Varian Baru


Pada umumnya, sebagai bentuk (tindakan) intervensi, dilaksanakanlah vaksinasi.
Program ini bertujuan untuk memberikan fungsi kekebalan230; jumlah populasi yang
rentan ditekan, sementara populasi yang kebal ditingkatkan.
Vaksinasi & Imunisasi
Vaksinasi adalah pemberian vaksin231, yang dilakukan dengan suntikan (kepada
masyarakat) untuk menangkal penyakit. Selain vaksinasi, juga dikenal imunisasi;
proses pembentukkan sistem imun (kekebalan terhadap suatu penyakit) di dalam
tubuh. Imunisasi terbagi ke dalam dua kelompok; aktif dan pasif. Imunisasi aktif
adalah tindakan untuk merangsang sistem imunitas tubuh (untuk membentuk
antibodi) agar menjadi kebal terhadap suatu penyakit. Contoh imunisasi aktif adalah
vaksinasi. Sedangkan imunisasi pasif adalah tindakan pemberian antibodinya secara
langsung (tidak lagi perlu dibentuk) ke dalam tubuh. Contoh imunisasi pasif adalah
pemberian air susu ibu/ASI (yang berisi antibodi) kepada bayinya.

230
Tentu saja fungsi kekebalan ini bersifat sementara waktu; sebab, belum diketahui bahwa
terdapat fungsi kekebalan (berasal dari vaksin) yang bersifat permanen. Hal ini memang
sudah terbukti; beberapa orang yang telah divaksinasi pun masih bisa terkena kembali oleh
penyakit yang sama. Sifat kekebalan (“pemberian” vaksin) ini memiliki rentang waktu yang
cukup bervariasi; tentu saja secara detil masih akan bergantung pada kondisi tubuh yang
bersangkutan, kualitas vaksinnya, dan juga pergaulan/mobilitas yang bersangkutan. Sebagai
ilustrasi, khusus untuk kasus Covid-19, laporan yang dimuat di surat kabar di New England
Journal of Medicine, berdasarkan pantauan para dokter terhadap 34 (sampel) pasien
pertama yang menerima vaksin Moderna, menyatakan bahwa vaksin ini dapat melindungi
tubuh dari virus yang bersangkutan (secara efektif) selama sekitar 119 hari (sekitar 3 bulan).
Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada pustaka (Kompas, 2020h). Sifat kekebalan yang
sementara ini, karena vaksin, tentu saja perlu dimasukkan ke dalam model epidemiknya
hingga aspek/faktor vaksinasi (di dalam modelnya) hanya efektif untuk simulasi model yang
berjalan tidak lebih lama dari masa efektif vaksinnya.
231
Vaksin adalah zat, senyawa, atau “virus” yang telah dilemahkan atau “dimatikan” (sudah
tidak lagi mampu menyebarkan penyakitnya) dan kemudian disuntikkan ke dalam tubuh
hingga mendapatkan respon dari tubuh dengan meningkatkan produksi antibodinya
(merangsang pembentukkan kekebalan tubuh) yang akan menangkal benda asing yang
masuk tersebut (virus penyakit yang telah dilemahkan).

Halaman: 222 349


Untuk Covid-19, karena wabahnya belum pernah terjadi (sebelum akhir 2019 atau di
awal 2020), maka virus beserta varian-variannya dianggap sama sekali baru. Oleh
sebab itu, karakteristiknya masih perlu dipelajari, dianalisa, dibuatkan vaksinnya, dan
vaksinnya diuji-cobakan. Hasil-hasilnya (efektivitasnya) pun, belum teridentifikasi
sepenuhnya. Keseluruhan rangkaian proses ini masih memerlukan waktu walaupun
sudah ada beberapa perusahaan yang telah memulai prosesnya tidak lama setelah
virusnya menyebar. Program vaksinasi dan/atau imunisasi secara teoritis juga akan
menekan jumlah kasus yang terinfeksi.

Gambar 9.15: Vaksin & Vaksinasi Covid-19232


Berkaitan dengan hal ini, beberapa perusahaan telah menawarkan vaksinnya kepada
dunia. Vaksin-vaksin ini mulai tersebar di akhir tahun 2020 atau setidaknya di awal
tahun 2021. Meskipun demikian, sebelum masyarakat mendapatkan vaksin, covid-19
sudah banyak menelan korban. Setelah divaksin pun, ternyata, tidak berarti bahwa
kita akan 100% akan aman karena virusnya (secara otomatis) akan musnah seketika;
perhatikan pula kondisi mental dan fisik (kuat, lemah, kelelahan, panik, stres, dan
lain sejenisnya) individunya, cara kerja vaksin (kelengkapan dosis dan pembentukkan
anti-bodi), dan efektivitas vaksinnya (yang memang tidak 100%). Selain itu, juga
masih diperlukan waktu untuk mencapai herd immunity dengan bantuan vaksin.
Cara Kerja Vaksin
Seorang epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, penyatakan bahwa
kita masih bisa tertular virus Covid-19 jika tidak menjalankan protokol kesehatan
(mengenakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak usai disuntik vaksinnya)233. Hal
ini disebabkan bukan karena efikasi vaksinnya yang rendah, tetapi karena prilaku
(terutama terkait intensitas interaksi sosial) dan pemahaman masyarakat yang masih
keliru terhadap cara kerja vaksinnya. Vaksin tidak akan serta merta bekerja untuk
menstimulus munculnya antibodi secara instan begitu disuntikkan ke tubuh manusia.
Vaksin masih memerlukan waktu 7 hingga 14 hari untuk menstimulus kemunculan
antibodi. Karena itulah, orang-orang yang saat ini disuntik vaksin Covid-19 dan
kemudian esoknya langsung beraktivitas seperti biasanya di ruang publik tanpa
menjalankan protokol kesehatan tetap dapat tertular Covid-19 lantaran antibodinya
belum terbentuk.

232
Sumber: https://www.dreamstime.com
233
Dicuplik dari pustaka (Hakim, 2021).

Halaman: 223 349


Sebagian (tipe) vaksin memerlukan lebih dari satu tahap penyuntikkan dengan jeda
waktu sekitar 14 hari; penyuntikkan berikutnya (yang kedua) berselang 2 minggu
setelah yang pertama. Artinya, pada kasus penyuntikkan vaksin yang bertahap ini,
antibodinya baru benar-benar terbentuk setelah 7 hingga 14 hari dari saat
penyuntikkan yang terakhir (penyuntikan yang kedua). Selain itu, sebagai tambahan
untuk pengembalian imunitas tubuh sebagian orang telah melakukan (sejak Januari
2022) vaksinasi booster (vaksinasi ketiga yang jenisnya bisa berbeda dengan yang
pertama dan kedua). Tetapi di lain pihak, sebagaimana telah disinggung, setiap
vaksin memiliki efektivitas tersendiri dan sifat kekebalan yang diberikan oleh vaksin
(tentu saja termasuk vaksinasi booster) tentu saja tidak permanen. Sebagai misal,
suatu hasil penelitian234 pada (salah satu) Vaksin235Covid-19 menyatakan bahwa
vaksin dapat melindungi tubuh dari Covid-19 selama 119 hari (sekitar 3 bulan),
sementara penelitian yang lain menyebutkan setahun atau lebih236. Setelah ”masa
perlindungan” itu berlalu, maka si pasien mungkin saja tertular atau terinfeksi
kembai (re-infection); fenomena epidemik model SIRS.
Beberapa contoh untuk kasus ini237 (masih juga terpapar Covid-19 meskipun telah
divaksin) adalah Fadli Zon238 (yang terpapar pada 30 Mei 2021 padahal telah
divaksinasi pada Maret 2021) dan beberapa rekan penulis (yang juga terkena Covid
[karena tertular istrinya yang sebenarnya juga telah divaksinasi] di pertengahan Juni
2021 padahal telah menerima vaksin kedua sebulan sebelumnya). Sementara itu,
menurut sumber lain, Terry Putri (pertengahan Mei 2021), Nova Iriansyah239 (31 Mei
2021), Sri Purnomo240 (pertengahan Januari 2021), Daffa Wardhana (awal Mei 2021),
dan Fauzi Bowo241 (1 Juli 2021) juga terpapar Covid-19 meskipun telah divaksin.
Varian Baru
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa proses penemuan, analisa, penelitian,
dan penguji-cobaan vaksin Covid-19 terhadap manusia masih terus berlangsung.
Kemudian, parahnya lagi, pada kondisi ini, diketahui bahwa di beberapa negara242
(termasuk Indonesia) telah ditemukan varian baru yang lebih ganas. Sebagian dari
varian tersebut antara lain adalah243:
a) D614G. Menurut WHO, varian ini mengkodekan spike protein pada akhir
Januari atau awal Februari 2020. Virus ini telah bermutasi dan menggantikan

234
Perhatikan pustaka (Kompas, 2020h).
235
Untuk tipe vaksi lain tentu saja bisa memiliki waktu yang berbeda.
236
Lihat pustaka (Kompas, 2021d).
237
Lihat pustaka (Beritasatu, 2021).
238
Politisi.
239
Pada saat itu tengah menjabat sebagai Gubernur Aceh.
240
Pada saat itu tengah menjabat sebagai Bupati Sleman.
241
Mantan Gubernur DKI.
242
Setidaknya di Inggris, Lebanon, Korea Selatan, India, Singapura, Jepang, dan Malaysia
telah ditemukan varian baru virus korona (Kompas, 2020c). Dengan memperhatikan nama-
nama negara tersebut, dekat Indonesia, maka adalah tidak mengherankan jika tidak dalam
waktu yang terlalu lama di Indonesia pun dapat ditemukan varian baru. Dan memang
terbukti.
243
Dicuplik dari pustaka (Sarah, 2021).

Halaman: 224 349


jenis Covid-19 yang pertama kali muncul di Wuhan (China) di akhir 2019/awal
2020. Varian baru ini dapat meningkatkan infeksi dan penularan.
b) Cluster 5. Varian yang ditemukan di peternakan Cerpelai di Denmark pada
Agustus hingga September 2020 ini, menurut WHO, dapat menyebabkan
”pengurangan netralisasi virus pada manusia yang dapat menurunkan tingkat
dan durasi perlindungan kekebalan setelah infeksi atau vaksinasi alami”.
c) VOC 202012/01. Varian dengan mutasi N501Y yang ditemukan di Inggris
pada 1 Desember 2020 dan di 31 negara ini lebih cepat menular 70% dari
pada hasil mutasi lainnya.
d) 501Y.V2. Varian mutasi 501Y.V2 yang pertama kali ditemukan pada tanggal
18 Desember 2020 di Afrika Selatan ini memiliki viral load yang lebih tinggi
hingga dapat meningkatkan penularan virusnya.
e) Varian-varian lainnya; B117 (alpha) dari Inggris (September 2020), B1351
(beta) dari Afrika Selatan (Mei 2020), P1 (gamma) dari Brazil (November
2020), B1617.2 (delta) dari India (Oktober 2020), C.37 (lambda) dari Peru
(Desember 2020), 1617.2(kappa) dari India (Oktober 2020), B1525 (eta) dari
Inggris Raya, Nigeria, dan Afrika Barat (Desember 2020), B1525 (iota) dari
New York (November 2020), B1621 (Mu) dari Kolombia (Januari 2021),
B11529 (Omicron) dari Afrika Selatan (November 2021), dan lain sejenisnya
(sesuai dengan temuan terbaru).
Pada kasus Covid-19, untuk mengatasi varian-variannya, diperlukan banyak waktu,
biaya, dan energi; mulai dari mengidentifikasi varian, membuat dan menguji vaksin,
dan seterusnya. Inilah yang bisa jadi menyebabkan pandemi ini tidak sependek
dugaan semula. Meskipun demikian, vaksinasi Covid-19 beserta booster-nya
(termasuk vaksin Nusantara, merah-putih) sudah tepat (mengurangi jumlah yang
rentan).
Efikasi & Efektivitas Vaksin-Vaksin Covid-19
Terkait sejauh mana pengaruh vaksinnya, terdapat dua istilah; efikasi dan efektivitas.
Efikasi244 adalah persentase penurunan kasus pada kelompok individu tervaksinasi.
Penurunan ini dibandingkan dengan yang tidak divaksinasi. Sebagai misal, jika vaksin
memiliki efikasi 90%, maka artinya, kasusnya akan menurun hingga 90% pada uji
klinis245 fase III jika dibandingkan dengan relawan yang menerima plasebo246. Efikasi
menunjukkan kemampuan vaksin dalam konteks penelitian (di lab.). Sementara itu,
efektivitas vaksin adalah kemampuan vaksin dalam menurunkan kejadian penyakit
dalam konteks dunia nyata (bukan di lab.).
Baik efikasi maupun efektivitas merupakan indikator dalam uji klinis. Meskipun
demikian, nilai efikasi yang kecil belum tentu menunjukkan bahwa vaksinnya tidak
berkualitas. Demikian pula sebaliknya. Pengamatan efikasi merupakan salah satu

244
Dikutip dari pernyataan dr. Sepriani Timurtini Limbong di pustaka (Maharani, 2020).
245
Uji klinis adalah pengujian obat/vaksin baru pada manusia; sebelumnya diawali oleh
pengujian terhadap hewan (uji pra-klinis). Pada dasarnya, uji klinis bertujuan untuk
mengevaluasi efektivitas, keamanan, dan memberikan gambaran mengenai efek samping
yang mungkin muncul pada manusia sebagai akibat mengkonsumsi obat/vaksin barunya.
246
Plasebo adalah perawatan yang terlihat seperti obat atau vaksin tetapi tidak
menggunakan bahan aktif yang telah terbukti dapat melindungi atau menyembuhkan.

Halaman: 225 349


tahap dalam uji klinis. Efektivitas vaksin nampak setelah semua fase uji klinisnya
selesai dan kemudian diberikan pada masyarakat. Setelah itu akan teridentifikasi
apakah antibodinya mampu memberikan efek proteksi atau tidak, dan apakah dapat
menurunkan jumlah kasusnya atau tidak.
Sebagai ilustrasi, karena nilai efektivitasnya belum lengkap247, berikut adalah nilai
(persentase) efikasi248 untuk beberapa vaksin Covid-19 yang telah terpublikasikan249:
a) Moderna (Amerika Serikat) 95%
b) Pfizer (Amerika Serikat) BioNTech (Jerman) 95%
c) AstraZeneca250 (Inggris) Oxford University (Inggris) 62% dan 90%
d) Gamaleya/(Sputnik V (Rusia) 92%
e) Sinovac Biotech (China): Turki251 melaporkan 91.25%, Brazil melaporkan di
atas 50% (50%-90%)252.
f) Novavax (Kanada) belum ada laporan.
g) Sinopharm (China) 86%.
h) CanSino (CanSino Biologics, China) 65% hingga 69%.
i) Nusantara253.
j) Merah-putih254.

247
Pada saat tulisan ini dibuat, nilai efektivitas vaksin Covid-19 belum lengkap; memerlukan
waktu untuk menentukannya dan terkadang memiliki nilai yang tidak sama dan berupa
kisaran (bukan nilai tunggal) untuk wilayah (dan sumber berita) yang berbeda.
248
WHO merekomendasikan efikasi yang baik adalah di atas 50% hasil uji klinis fase 3. Di lain
pihak, nilai efikasi suatu vaksin bisa berbeda-beda untuk jumlah sampel, waktu, dan tempat
pengujian yang berbeda pula.
249
Berdasarkan pustaka (Maharani, 2020).
250
Vaksin ini telah dilaporkan mengalami sejumlah masalah keamanan. Terkait hal ini, pihak
regulator Eropa mengatakan bahwa mereka telah menemukan kasus pembekuan darah
pada beberapa penerima vaksin ini di usia dewasa (Tribun, 2021).
251
Dikutip dari pustaka (Kompas, 2020d)
252
Diambil dari (Kompas, 2020e).
253
Pembuatan vaksin ini diprakarsai oleh Terawan Agus Putranto (mantan menteri
kesehatan RI) di RSPAD Gatot Subroto (Jakarta). Pengembangannya melibatkan Universitas
Diponegoro, RS. Kariadi (Semarang), dan Avita Biomedical Corporation (Amerika Serikat).
Vaksin ini merupakan vaksin personal yang berbasiskan sel dendritik; menggunakan bahan
serum darah pasiennya. Vaksin ini tidak memerlukan alat penyimpanan (cooler box) dengan
suhu minus 80 derajat celcius yang mahal itu. Vaksin ini telah menyelesaikan (akhir Januari
2021) uji klinis fase I-nya yang melibatkan 27 relawan dan dilaporkan tidak ada efek-samping
serius. Pada saat tulisan (paragraf) ini dibuat, uji klinis fase II-nya masih direncanakan
dengan melibatkan 180 relawan. Hingga Juni 2021, vaksin ini belum mendapatkan ijin dari
badan pengawas obat dan makanan (BPOM). Meskipun demikian, sejumlah tokoh nasional
dan anggota DPR telah menjadi relawan bagi vaksin ini. Mereka mengaku tidak mengalami
efek-samping karena vaksin ini. (informasi ini disarikan dari berbagai sumber pustaka online).
254
Vaksin yang dikembangkan bersama oleh lembaga biologi molekuler Eijkman
(pengembangan skala laboratorium/RND), Universitas Airlangga, PT. Kalbe Farma, dan PT.
Biofarma (skala industri). Diperkirakan, vaksin ini baru menyelesaikan tahap uji klinisnya
beserta produksinya di akhir tahun 2021 hingga 2022. (informasi ini disarikan dari berbagai
sumber pustaka online).

Halaman: 226 349


Orang yang Tidak Divaksinasi
Meskipun tujuan vaksinasi baik dan memang diperlukan, berdasarkan pertimbangan
kondisi kesehatan setiap individu, bisa jadi, sebagian orang akhirnya (sama sekali)
tidak (atau ditunda) divaksin Covid-19. Ketentuan mengenai hal ini di antaranya
adalah255:
a) Pernah terkonfirmasi menderita Covid-19.
b) Ibu hamil atau menyusui.
c) Mengalami ISPA seperti batuk, pilek, atau sesak nafas dalam 7 hari terakhir.
d) Memiliki anggota keluarga serumah yang kontak erat, suspek, terkonfirmasi,
atau sedang dalam perawatan karena Covid-19.
e) Memiliki riwayat alergi berat atau mengalami gejala sesak nafas, bengkak,
dan kemerahan setelah divaksinasi Covid-19 sebelumnya.
f) Sedang mendapatkan terapi aktif jangka panjang penyakit kelainan darah.
g) Menderita penyakit jantung seperti halnya gagal jantung dan koroner.
h) Menderita penyakit autoimun sistemik seperti halnya SLE, lupus, sjogren,
vaskulitis, dan lain yang sejenis.
i) Menderita penyakit ginjal; ginjal kronis, sedang menjalani hemodialisis,
transplantasi ginjal, dan sindroma nefrotik dengan kortikosteroid.
j) Menderita rematik autoimun atau rhematoid arthritis.
k) Menderita penyakit saluran pencernaan kronis.
l) Menderita penyakit hipertiroid atau hipotiroid karena autoimun.
m) Menderita penyakit kanker, kelainan darah, imunokompromais atau
defisiensi imun, dan penerima produk darah atau transfusi.
n) Menderita penyakit diabetes melitus.
o) Menderita HIV.
p) Memiliki riwayat penyakit paru seperti halnya asma, PPOK, dan TBC.
Dengan demikian, (progres) jumlah dan individu kelompok ini juga perlu dicatat.
Respon (Pro & Kontra) Terhadap Program Vaksinasi Covid-19
Pro dan kontra terhadap suatu isu adalah biasa; termasuk pada program vaksinasi
dan terapi plasma konvalesen. Meskipun telah dijelaskan, tetapi karena perbedaan

255
(Butir-butir) ketentuan ini dikutip dari pustaka (Okezone, 2021), meskipun demikian, ada
kemungkinan beberapa perbedaan detil jika dibandingkan dengan butir-butir pada pustaka-
pustaka yang lain. Apalagi jika waktunya jika berbeda. Selain itu, pada saat tulisan sub-bab
ini dibuat, pandemi masih berlangsung dan program vaksinasi di Indonesia belum lama
dimulainya. Dengan demikian, berdasarkan perkembangan dan pertimbangan situasinya,
pada akhirnya, terdapat perbedaan detil antara butir-butir ketentuan ini dengan prakteknya
di lapangan. Dan memang, ketentuan mengenai hal ini, pada prakteknya, tidak seketat butir-
butir di atas. Pada prakteknya, disediakan waktu untuk berkonsultasi (dan konfirmasi) antara
pasien dengan dokternya sebelum benar-benar divaksinasi. Dalam beberapa kasus, ternyata
ada toleransi tertentu. Sesuai dengan surat edaran nomor HK.02.02/II/368/2021, tertanggal
11 Februari 2021, tentang “pelaksanaan vaksinasi Covid-19 pada kelompok sasaran lansia,
komorbid, penyintas covid-19, serta sasaran tunda”, ternyata, ibu menyusui, penderita
Covid-19 (yang sudah sembuh lebih dari 3 bulan), dan penderita diabetes (yang belum akut
dan terkontrol) juga dapat divaksinasi. Aturan mengenai pelaksanaan vaksinasi Covid-19 di
Indonesia adalah surat edaran ini.

Halaman: 227 349


kondisi fisik/kesehatan setiap individu, bahwa ada beberapa kelompok yang
sebaiknya tidak divaksinasi, dan selalu saja ada yang setuju dan (secara fanatik) tidak
setuju terhadap program vaksinasi; terutama di awal-awal masa pandemi. Meskipun
demikian, secara tak terduga, respon masyarakat terhadap isu ini terbagi menjadi
dua kelompok; rasional dan emosional (non-rasional).
Pada kelompok yang rasional, mereka terlebih dahulu bertanya, memperhatikan,
dan akhirnya mempertimbangkan keterangan (jawaban) dari para akhli dan otoritas
terkait; akhli256 vaksin (mengenai hasil pengujian, keamanan dan efikasi/efektivitas
vaksin), BPOM257 (mengenai keamanan, khasiat, mutu, dan ijin mengedarkan vaksin),
dan MUI258 (mengenai kehalalannya). Dengan demikian, mereka akan memperoleh
gambaran yang baik dan benar. Sedangkan pada kelompok yang emosional dan
fanatik, mereka cenderung bertanya (dan mendapatkan keterangan) bukan pada
akhlinya; politisi, ”orang pintar”, senior/”guru”, isu yang beredar di media sosial,
atau berita hoaks (online dan offline). Oleh sebab itu, kelompok yang kedua ini bisa
jadi mendapatkan gambaran yang tidak benar dan juga tidak lengkap mengenai
vaksin Covid-19.

Gambar 9.16a: Pro & Kontra Vaksinasi Covid-19259


Tentu saja respon-respon yang berseberangan ini menentukan keberhasilan program
vaksinasi secara keseluruhan. Yang jelas, yang kontra sangat memungkinkan
terjadinya peningkatan jumlah kasus. Mereka tidak menyadari bahwa apa pun
alasannya, mereka tidak berkontribusi pada pencapaian ”herd immunity” yang
diperlukan. Sedangkan kelompok yang pro justru sebaliknya. Meskipun demikian,
sejauh mana pengaruh sebenarnya pada profil data epidemik real-nya masih sulit
diketahui; perlu ada pengamatan khusus dan detil. Meskipun demikian, ada indikasi
umum mengenai hal ini.

256
Tidak semua dokter, praktisi medis, dan/atau petugas medis pun mendalami atau
menguasai ilmu dan praktis pervaksinan.
257
Badan pengawas obat dan makanan.
258
Majelis ulama Indonesia.
259
Sumber: https://dailyprogress.com

Halaman: 228 349


Gambar 9.16b: Hasil Survei Tingkat Penerimaan Program Vaksinasi260
Pada tanggal 9 hingga 30 September 2020 yang lalu, Kementerian Kesehatan RI
bersama dengan Unicef dan WHO telah menyelenggarakan survei online tentang
persepsi (tingkat penerimaan) masyarakat mengenai program vaksin Covid-19 di
Indonesia. Berdasarkan 112.888 responden yang masuk, didapatkan fakta bahwa
yang tertinggi tingkat penerimaan masyarakatnya adalah Provinsi Papua Barat (74%)
dan yang terendah adalah Provinsi Aceh (46%). Tentu saja hasil survei ini sangat
bermanfaat karena dapat memberikan indikasi (gambaran) awal mengenai tingkat
keberhasilan program vaksinasi nasional yang mulai dilaksanakan pada awal 2021.
Dinamika Vaksinasi
Sebagaimana terlihat dari bahasan sub-bab 2.13, bahwa nilai (sebab) faktor vaksinasi
pada model-model epidemik konvensional telah ditentukan (diasumsikan) konstan
sedari awal. Artinya, dengan asumsi itu, (karakter) virusnya sudah teridentifikasi
dengan baik, akurat, dan vaksin yang dibuat juga dianggap sesuai dengan (varian)
penyakitnya (virusnya); efektivitas vaksinnya diketahui dengan baik. Inilah yang
(kemungkinan besar) terjadi pada penyakit (varian-varian virus) yang pernah terjadi
dan diteliti. Sebaliknya, pada kasus Covid-19, karena ia merupakan virus baru yang
mampu bervarian dan wabahnya pun masih berlangsung (hingga saat buku ini
ditulis), secara logis, maka pada periode awalnya tidak ada seorang pun yang
tervaksinasi. Setelah beberapa bulan berlalu, baru didapatkan vaksin (yang dianggap
sesuai), program vaksinasi segera dimulai secara bertahap, fungsi kekebalan pun
mulai terbentuk, dan akhirnya, beberapa bulan/tahun kemudian sebagian dari
mereka yang telah tervaksin pun sangat mungkin untuk menjadi rentan kembali261.

260
Dicuplik dari (sumber) pustaka (Dinkes, 2020).
261
Mengingat bahwa sifat kekebalan yang diberikan oleh vaksin tidak bersifat permanen dan
juga memiliki nilai efektivitas tertentu. Menurut pustaka (Kompas, 2020h), sebagai ilustrasi
saja, vaksin Moderna ditaksir dapat memberikan kekebalan terhadap Covid-19 selama
sekitar 3 bulan.

Halaman: 229 349


Tentu saja, cara kerja vaksin (belum termasuk booster-nya) memerlukan waktu
(untuk membentuk antibodi), sementara untuk merampungkan (program) vaksinasi
(non-booster) di Indonesia262 saja (tentatif) diperlukan waktu 15 bulan263, sedangkan
untuk dunia diperlukan waktu 3.5 tahun264, sementara itu sebagian orang memang
sudah tidak setuju (rasional vs. emosional) atau setidaknya tidak antusias dengan
program vaksinasi Covid-19 (terutama di periode awal pandemi). Belum lagi jika
terdapat faktor-faktor keterlambataan265 dan hambatan266 dalam pelaksanaanya di
lapangan. Oleh sebab itu, kemungkinan besar, mereka (penduduk Indonesia dan juga
dunia) terlebih dahulu berhadapan dengan kondisi kekebalan alami dan herd
immunity (sebelum divaksinasi).
Jadi, vaksinasi Covid-19 dilakukan secara on the fly; dilakukan pada periode dimana
wabahnya sudah dimulai hingga masih berjangkit (belum berakhir), sementara yang
telah divaksin pun masih mungkin tertular kembali267. Oleh sebab itu, pengaruhnya
tidak bersifat konstan (seperti pada umumnya asumsi awal model-model epidemik
kokvensional), melainkan bersifat dinamis; beberapa bulan di awal bernilai nol (0),
beberapa hari setelah divaksinasi pun masih nol268, kemudian berubah, dan berubah
lagi sekian dengan mempertimbangkan efektivitas269 vaksin, progres program
vaksinasi non-booster-nya (Indonesia membutuhkan 15 bulan sedangkan dunia 3.5
tahun), jumlah varian virus Covid-19 yang terus berkembang, asumsi jumlah individu

262
Menurut surat edaran (kementerian kesehatan RI) nomor HK.02.02/II/368/2021 tentang
“pelaksanaan vaksinasi covid-19…”, pelaksanaan vaksinasi covid-19 telah dilakukan (di
Indonesia) sejak 13 Januari 2021, dilakukan secara bertahap dengan target sasaran 181,5
juta orang.
263
Perhatikan pustaka (Kompas, 2021)
264
Dicuplik dari (Detik, 2021).
265
Sebagai contoh kasus, WHO (badan kesehatan dunia) mengungkapkan bahwa kemajuan
program vaksinasi bagi para lansia di provinsi-provinsi Aceh dan Sumatera Barat berjalan
lambat. Hingga berita ini dicuplik (15 September 2021), di kedua provinsi ini, lebih dari 90%
lansia masih belum tervaksinasi sama sekali; di Sumbar yang tersisa (belum tervaksinasi)
92.78% dan di Aceh tersisa 92.64%. Padahal program vaksinasinya telah berjalan mulai dari
bulan Februari 2021. Informasi lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat pada pustaka
(CNN, 2021c).
266
Sebagai contoh kasus, Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Dinas
Kesehatan provinsi Aceh (Kab. Aceh Tenggara) mengatakan bahwa banyak vaksin yang
terbuang karena pada awal program vaksinasi banyak anggota masyarakat yang takut atau
tidak antusias untuk divaksin. Saat program vaksinasi digelar, jumlah anggota masyarakat
yang datang masih jauh dari targetnya. Terkadang, yang datang hanya 6 orang. Padahal,
vaksin yang dikirim dari pusat berbentuk kemasan dimana satu vial dapat digunakan untuk
memvaksinasi 10 orang; hingga cukuk banyak yangt tak terpakai. Akhirnya, sebanyak 1.921
dosis vaksin Sinovac rusak dan terbuang sia-sia di Kab. Aceh Tenggara saja. Informasi lebih
detil mengenai hal ini dapat dilihat di pustaka (Kompas, 2021h).
267
Perhatikan pernyataan Epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, di dalam
pustaka (Hakim, 2021).
268
Perhatikan cara kerja vaksin.
269
Karena pada saat tulisan (bab) ini dibuat nilai-nilai efektivitas vaksin-vaksin Covid-19
belum diketahui, belum semua informasi mengenai vaksin Covid-19 terpublikasikan, belum
diketahui apakah Indonesia menggunakan yang mana, dan juga program vaksinasinya belum
dimulai, maka pada kondisi (sementara) ini nilai efektivitasnya nol (0).

Halaman: 230 349


yang rentan (dan menjadi rentan kembali setelah masa perlindungan vaksinnya telah
berakhir), dan dinamika penduduknya. Keseluruhan dinamika ini tentu saja,
kemungkinan besar, membuat profil sampel datanya menjadi tidak seperti kurva-
kurva epidemik konvensional deterministik yang mulus dan dengan bentuk yang
khas. Oleh sebab itu, jumlah & orang (siapa saja) yang telah tervaksinasi dan
terinfeksi kembali berikut waktunya perlu diidentifikasi dan dicatat dengan benar.
Meskipun pada periode awalnya mengalami hambatan (pro & kontra),
vaksinasi di Indonesia secara perlahan dapat diterima masyarakat
hingga secara keseluruhan programnya terbilang sukses. Hingga 31
Agustus 2021 saja, dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta dan
dengan kondisi geografis yang cukup menantang, Indonesia telah
dihabiskan 100 juta dosis vaksin Covid-19. Berkaitan dengan hal ini
maka Indonesia bersama dengan 6 negara lainnya dianggap telah
berprestasi dan mendapat pujian dari Bank Dunia270.

9.10 Kekebalan Alami & Herd Immunity


Cara ampuh lainnya untuk mengatasi Covid-19, pada konteks intervensi kesehatan
masyarakat, selain dengan program vaksinasi dan terapi plasme konvalesen, adalah
kekebalan alami dan herd immunity (kekebalan pada kelompok atau komunitas).
Kekebalan Alami
Kekebalan alami271 terjadi ketika antibodi yang terbentuk (sebagai reaksi atau respon
terhadap masuknya virus, kuman, atau ”benda asing” lainnya) dapat memenangkan
”pertempurannya”. Artinya, pada kekebalan alami, pada awalnya, tubuh seolah-olah
”dibiarkan” terinfeksi hingga secara otomatis akan terbentuk antibodi yang
kemudian akan membangun imunitas tubuh dengan sendirinya. Di lain pihak, pada
umumnya, vaksin datang terlambat (apalagi jika virusnya dianggap baru), karena satu
dan lain hal sebagian orang tidak divaksin, dan keberadaan vaksin pun tidak
menjamin 100% akan bebas dari infeksi virus Covid-19272. Sehubungan dengan hal
ini, maka laporan awal menunjukkan bahwa salah satu strategi pemerintah Inggris273
dalam mengatasi Covid-19 adalah dengan membiarkan virus-virus ini menyebar
(tetapi terkendali) dengan harapan faktor kekebalan alami akan berkembang di
tengah masyarakatnya.
Tentu saja, cara ini (kekebalan alami semata) memiliki kelemahan atau bahkan
sangat beresiko, dan akibatnya bisa fatal; khususnya pada orang-orang yang
sebelumnya tidak memiliki imunitas yang cukup baik (terutama bagi yang rentan,
lansia, usia non-produktif, memiliki penyakit bawaan/penyerta, dan lain sejenisnya).
Oleh sebab itu, secara keseluruhan, akhirnya, program herd immunity juga
mencakup program vaksinasi, terapi plasma konvalesen, dan kekebalan alami itu
sendiri.

270
Keterangan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat pada pustaka (Merdeka, 2021).
271
Sebenarnya hal ini masih menyisakan pertanyaan apakah seseorang yang telah kebal
secara alami juga akan kebal terhadap virus Covid-19 dengan varian yang lain (berbeda).
272
Perhatikan pernyataan pakar epidemilog pada pustaka (Hakim, 2021).
273
Dikutip dari pustaka (Aronson, 2020).

Halaman: 231 349


Kekebalan alami memang akan terjadi; cepat atau lambat. Sebab, program vaksinasi,
di samping karena hampir selalu terlambat, tidak murah, pengadaannya memerlukan
proses dan waktu (termasuk antrian pemesanan dan pengirimannya), dan progres
programnya di Indonesia saja diperkirakan memerlukan waktu 15 bulan274, memang
tidak akan mampu menjangkau semua individu yang ada275. Demikian pula halnya
dengan terapi plasma konvalesen; yang dapat dilakukan setelah terdapat individu-
individu yang telah sembuh/kebal dan bersedia mendonorkan plasma darahnya.
Oleh sebab itu, pasti ada saja orang-orang yang terlewatkan dari program vaksinasi;
baik secara sengaja maupun tidak. Di samping itu, memang, ada sebagian individu
yang sedari awal sudah menolak untuk (karena perbedaan pendapat) atau tidak
(karena termasuk kelompok yang beresiko) divaksinasi.
Parahnya lagi, selain karena sebab-sebab yang telah disebutkan, juga terdapat orang
yang kurang jujur pada kondisi kesehatannya, sulit diatur, atau tidak disiplin dalam
melaksanakan protokol kesehatan. Mereka, sebagian, berasal dari golongan ekonomi
menengah ke bawah, bekerja di sektor non-formal dengan transaksi harian, atau
yang terpaksa harus beraktivitas di luar rumah dan berhubungan dengan orang
banyak (karena terdesak), setelah sekian lama terkungkung di rumahnya, tidak lagi
peduli dengan resiko (terinfeksi). Mereka cenderung sulit dikendalikan dan lebih
peduli dengan resiko ekonomi yang segera menimpanya. Bagi mereka, ”mati” secara
perlahan oleh desakan faktor ekonomi jauh lebih menyakitkan dari pada resiko
terkena Covid-19. Mereka tidak memiliki banyak pilihan. Pada kelompok masyarakat
seperti inilah kemungkinan besar terjadi kekebalan alami untuk pertama kalinya.
Herd Immunity
Herd immunity merupakan proteksi tidak langsung yang dapat diperoleh suatu
kelompok (komunitas) yang rentan karena proporsi (jumlah) individu-individu yang
telah sembuh/kebal (orang yang pernah terinfeksi, kemudian sembuh, dan akhirnya
menjadi kebal secara alamiah, tervaksinasi, atau yang pernah mengalami terapi
plasma konvalesen) sudah cukup banyak (besar) di dalam populasinya276. Oleh sebab
itu, pada saat (kondisi) herd immunity telah tercapai, maka individu-individu yang
terinfeksi sudah (dianggap atau diyakini) tidak akan menyebabkan munculnya wabah
/pendemi (penyebaran penyakitnya terhambat atau terhalang oleh individu-individu
yang sudah kebal); karena sudah berkurangnya jumlah orang yang masih rentan277.
Inilah salah satu solusi (potensi) bagi (masalah) wabah atau pandemi Covid-19.

274
Dikutip dari pustaka (Kompas, 2021) dan (Detik, 2021).
275
Perhatikan pula beberapa kelompok orang yang sebaiknya tidak (atau paling tidak
ditunda) disuntik vaksinnya, belum lagi terdapat sekelompok orang yang memang sejak awal
sudah menolak vaksinasi Covid-19.
276
Disarikan dari pustaka (Ariyani, 2020).
277
Penyakit, termasuk Covid-19, diasumsikan akan menyebar hanya pada orang-orang yang
masih rentan. Jadi, jika sudah tidak ada lagi orang yang rentan, maka penyakitnya akan
berhenti pada orang-orang yang terakhir terinfeksi (menunggu kesembuhan secara
keseluruhan). Atau, jika penyakitnya “masuk” ke orang-orang telah sembuh atau kebal
(dengan asumsi bahwa masuknya penyakit ini tidak akan berpengaruh), maka orang-orang
yang masih rentan dan berada di balik orang-orang yang kebal akan terlindungi; orang-orang
yang rentan tidak berhubungan langsung dengan orang-orang yang terinfeksi. Dengan

Halaman: 232 349


Batas Herd Immunity
Untuk mencapai herd immunity, herd immunity threshold–nya harus dicapai. Batas
ini merupakan porsi atau jumlah individu yang sudah kebal. Dengan demikian, jika
porsi ini melebihi batasnya, maka wabahnya dianggap akan berhenti dengan
sendirinya278. Besar nilai ini, diyakini, bergantung pada bilangan reproduksi dasarnya
(Ro); yaitu 1-1/Ro. Oleh sebab itu, sebagai contoh, jika pada wabahnya berlaku Ro=4,
maka batasnya=1-1/4=0.75=75%. Jadi, pada contoh ini, diasumsikan bahwa herd
immunity akan tercapai jika sudah lebih dari 75% populasinya telah sembuh/kebal
(divaksin). Oleh sebab itu, besaran persentase populasi inilah yang menjadi target
program vaksinasi279. Itulah sebabnya mengapa kita perlu memperhatikan progres
program vaksinasinya hingga dihasilkan catatan mengenai jumlah individu yang
tervaksinasi, terapi plasma konvalesen, dan yang telah sembuh secara alami untuk
memprediksi kapan saat herd immunity akan tercapai.

Pemikiran mengenai herd immunity ini, sebetulnya, bisa saja tercederai jika
ternyata: (1) terjadi reinfection (karena varian virus yang sama atau yang
berbeda); (2) terjadi mutasi hingga muncul varian-varian virus baru dan
lebih ganas; (3) vaksin hanya dapat mengatasi varian virus tertentu saja; (4)
banyak individu yang tidak disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan;
dan (5) terjadi banyak kerumunan (interaksi sosial yang masih tinggi).

Gambar 9.17: Herd Immunity280

demikian, orang-orang yang sudah kebal merupakan “tameng” (perisai) bagi orang-orang
yang masih rentan.
278
Dengan memperhatikan gambar 9.17, nampak bahwa untuk mencapai herd immunity,
tidak sekedar nilai batasnya (HIT) yang harus terlampaui. Lokasi atau posisi manusianya pun
perlu dipertimbangkan; individu-individu yang dianggap sudah kebal (tervaksinasi) harus
menjadi “batas” atau “penghalang” di antara yang rentan dan yang terinfeksi.
279
Sehubungan dengan hal ini, di dalam pustaka (PR, 2021a), mantan menteri kesehatan Siti
Fadilah mengatakan bahwa upaya pemerintah dengan memberikan vaksin Covid-19 tidak
akan merubah resiko penyebaran virus karena efektivitas yang tidak maksimal. “Harapan
pemerintah dengan 70% divaksin, 70% juga terjadi imunitas, padahal itu tidak mungkin
karena efektivitasnya tidak ada yang 100%”.
280
Sumber: https://www.nursingcenter.com

Halaman: 233 349


Indonesia diprediksi perlu waktu 15 bulan281 untuk menuntaskan program
vaksinasi. Sementara itu, penelitian Bloomberg282, menyatakan bahwa
Indonesia memerlukan lebih dari 10 tahun untuk program vaksinasinya
(mencapai batas herd immunity-nya dengan target memvaksinasi 75% dari
keseluruhan populasinya)283. Meskipun demikian, dengan dinamika yang
ada, waktu pula yang akan menjawab dengan tepat kapan sebenarnya
Indonesia akan mencapai target program vaksinasinya.
Pengaruh Terhadap Data Epidemik
Tentu saja kekebalan alami dan herd immunity, di luar vaksinasi dan terapi plasma
konvalesen, secara teoritis, juga berpengaruh pada keseluruhan data epidemik.
Fakta ini tidak terpungkiri karena proses-proses infeksi dan kesembuhan dari Covid-
19 telah dan masih berlangsung pada sebagian orang. Selain itu, sudah banyak
peristiwa infeksi yang telah terjadi sebelum vaksinasi Covid-19 dan terapi plasma
konvalesen dilakukan. Hanya saja, pada wabah yang masih berlangsung, besaran
pengaruhnya cenderung tidak mudah diidentifikasi, apalagi jika mempertimbangkan
aspek dinamika jumlah-jumlah individu yang rentan, terinfeksi (kasus aktif), sembuh,
dan mati. Kekebalan alami dan herd immunity, sebagaimana juga pengaruh vaksinasi
dan terapi plasma konvalesen adalah faktor-faktor yang bersifat dinamis. Meskipun
demikian, jumlah dan siapa saja individu yang sembuh/kebal secara alami juga perlu
diidentifikasi dan kemudian diperhitungkan di dalam model epidemiknya.

9.11 Terapi Plasma Konvalesen & Vaksin


Nusantara
Selain kekebalan alami dan vaksinasi, cara lain yang dapat ditempuh untuk
mencegah penyebaran (memperpendek siklus wabah) virus Covid-19 adalah terapi
plasma konvalesen dan vaksin Nusantara284. Keduanya, menurut sebagian orang,
lebih cepat kerjanya, lebih murah harganya, tetapi sangat efektif dalam menghadapi
Covid-19. Sudah banyak figur publik & petinggi negeri ini yang yakin dan
menggunakan terapi plasma konvalesen dan vaksin nusantara; permintaan
masyarakat makin meningkat hingga kebutuhan plasma dari para donornya pun
bertambah285. Oleh sebab itu, keduanya perlu dipromosikan secara luas kepada
masyarakat sebagai komplemen yang jitu bagi program vaksinasi konvensional.
Setelah diberikan gambaran yang lengkap, maka biarkan siapa pun untuk mengambil
pilihannya; dengan kesadarannya sendiri.

281
Perhasikan pustaka-pustaka (Kompas, 2021) dan (Detik, 2021).
282
Bloomberg adalah perusahaan media masa (layanan berita global, televisi, radio, internet,
dan publikasi cetak) besar dan multi-nasional di Amerika Serikat.
283
Informasi ini dicuplik dari pustaka (CNN, 2021).
284
Sebagian orang menganggap bahwa vaksin nusantara (yang buatan anak bangsa ini)
adalah bagian dari terapi plasma konvalesen, tetapi sebagian yang lain mengatakan bahwa
ada perbedaan mendasar di antara keduanya.
285
Perhatikan informasi ini pad pustaka (Kompas, 2021c).

Halaman: 234 349


Terapi plasma konvalesen lebih cenderung sebagai upaya pengobatan286 dari pada
pencegahan, sedangkan vaksin Nusantara dapat digunakan untuk mencegah Covid-
19287; inilah bedanya. Pada yang sembuh (penyintas atau survivor) telah terbentuk
antibodi yang tersimpan di plasma darahnya. Dengan demikian, jika ada yang
terinfeksi, sementara yang bersangkutan belum memiliki antibodinya, maka orang ini
dapat diberi plasma darah (yang berisi antibodi) atau vaksin Nusantara dari orang
yang telah sembuh untuk melawan infeksi virus yang sedang berjalan.
Jadi, pada dasarnya, terapi plasma konvalesen dan vaksin Nusantara merupakan
transfer antibodi dari orang yang telah sembuh/kebal (donor) kepada orang yang
sedang terinfeksi (sakit); imunisasi pasif288. Pada konteks pemodelan epidemik, tentu
saja, siapa saja yang telah sembuh dan yang menerima terapi plasma konvalesen dan
vaksin Nusantara ini juga perlu diidentifikasi untuk diperhitungkan dalam modelnya
(bersama dengan yang telah divaksinasi [konvensional] dan yang memiliki kekebalan
alami). Orang-orang yang telah sembuh/kebal dari Covid-19 merupakan sumber daya
yang potensial bagi terapi plasma konvalesen dan vaksin Nusantara.

9.12 Re-Infection
Berdasarkan beberapa sumber, pengalaman nyata, meskipun belum terlalu sering
terjadi, pada kasus Covid-19, individu yang pernah dinyatakan sembuh pun, ternyata,
bisa kembali terinfeksi (bukti bahwa Covid-19 lebih dekat ke model SIRS ketimbang
SIR). Demikian pula halnya dengan sebagian akhli/praktisi medis yang mengakui
bahwa hal ini memang bisa dan pernah terjadi:
a) Bukti pertama289 bahwa individu dapat kembali terinfeksi Covid-19 terjadi
pada Februari 2020 ketika otoritas di Jepang melaporkan bahwa seorang
wanita yang berusia 40-an dites positif karena (varian) virus yang sama tiga
minggu setelah pernah dinyatakan sembuh.
b) Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Hongkong membuktikan adanya
peristiwa infeksi-ulang terhadap pasien Covid-19. Seorang pasien pria yang
berumur 33 tahun pernah dinyatakan bebas Covid-19 dan keluar dari rumah
sakit pada April 2020, tetapi kemudian dinyatakan positif kembali setelah
kembali dari Spanyol pada Agustus 2020. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kedua (varian) virus Covid-19 (April & Agustus) yang pernah diidap
oleh pria ini tidak sama290.
c) Kejadian serupa juga pernah terjadi di Belanda dan Belgia. Mereka terinfeksi
kembali setelah beberapa bulan sembuh. Hasil penelitian mengatakan bahwa
pasien lansia ini memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah dan antibodi

286
Dicuplik dari pustaka (Anastasia, 2020).
287
Perhatikan pernyataan Kolone Jonny (seorang peneliti vaksin Nusantara) pada pustaka
(Suara, 2021).
288
Sebenarnya hal ini, sebagaimana juga vaksin dan kekebalan alami, masih menyisakan
pertanyaan apakah antibodi yang berasal dari seseorang (donor) juga dapat menyembuhkan
orang lain yang terinfeksi virus Covid-19 tetapi dengan varian virus yang berbeda.
289
Dicuplik dari pustaka (Gatra, 2020).
290
Keterangan ini dicuplik dari pustaka (Orami, 2020).

Halaman: 235 349


yang dikembangkan tubuhnya selama paparan yang pertama tidak cukup
kuat untuk mencegah kasus infeksi yang kedua dengan (varian) virus Covid-
19 yang berbeda291.
d) Kejadian yang sama juga terjadi di China dimana 116 mantan penderita
Covid-19 mengalami positif kembali beberapa saat setelah dinyatakan
sembuh292.
e) Satgas percepatan penanganan Covid-19 Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
(Babel) menginformasikan bahwa pasien yang sudah sembuh dari Covid-19
berpeluang kambuh kembali. Dari pantauan mereka, telah ditemukan lima
kasus kambuhan293. Demikian pula halnya dengan pasien-pasien dari
Sumatera Utara/Aceh, Jakarta294, Blitar295, dan mantan puteri pariwisata
yang pernah terinfeksi kembali oleh Covid-19. Mereka diduga terkena
(varian) virus Covid-19 yang berbeda.
f) Musisi Maia Estianty yang pernah dinyatakan positif Covid-19 pada 20
Desember 2020 dan kemudian berhasil sembuh (negatif), ternyata, pada
akhir maret 2021 terkena (positif) kembali (re-infection) oleh virus yang sama
tetapi dengan gejala-gejala yang berbeda (agak ringan dan/atau OTG) dari
pada semula296. Menurut sumber lainnya, selain Maia, di Indonesia saja, yang
pernah terpapar Covid-19 lebih dari satu kali adalah Ananda Omesh, Kiky
Saputri, Dewi Persik, Khofifah Indar Parawansa, dan Paula Verhoven.
g) Epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, menyatakan bahwa
seseorang tetap bisa tertular Covid-19 jika tidak menjalankan protokol
kesehatan seperti mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak
usai disuntik vaksin. Hal ini bukan disebabkan karena rendahnya efikasi
vaksin, tetapi karena prilaku dan pemahaman masyarakat yang masih keliru
terhadap cara kerja vaksin297; masih diperlukan waktu 7 hingga 14 hari
(setelah suntikan yang terakhir) untuk membentuk antibodi.
h) Ketua satgas Covid-19 PB IDI, Prof. Zubairi Djoerban Sp.PD-KHOM298,
menjelaskan bahwa ada 3 kemungkinan yang terjadi pada pasien kambuhan
Covid-19: (1) sebenarnya belum sembuh (total) karena yang bersangkutan
hanya diperiksa sekali saja, tetapi diperbolehkan pulang. Menurutnya,
pemeriksaan harus dilakukan 2 kali dalam jarak waktu 24 jam. Kondisi ini
kerap terjadi pada pasien dalam pemantauan yang belum jelas statusnya;
jadi bisa saja pasien positif yang dipulangkan tanpa 2 kali pemeriksaan; (2)
virusnya aktif kembali (setelah tidur dan kemudian bangkit ketika imunitas
yang bersangkutan lemah); dan (3) orang yang pernah terinfeksi Covid-19
memang benar bisa terinfeksi kembali. Sehubungan dengan hal ini WHO

291
Keterangan ini dikutip dari pustaka (Harini, 2020).
292
Keterangan ini didapat dari pustaka (Tinta, 2020).
293
Informasi ini didapat dari pustaka (Media, 2020).
294
Informasi ini dapat dilihat pada pustaka (Haibunda, 2020).
295
Dicuplik dari pustaka (Anjar, 2020).
296
Dicuplik dari pustaka (CNN, 2021b).
297
Dicuplik dari pustaka (Hakim, 2021).
298
Keterangan mengenai hal ini dapat dilihat pada pustaka (Lilis, 2020).

Halaman: 236 349


pernah menyatakan bahwa belum terdapat bukti ilmiah yang menyatakan
bahwa pasien yang sembuh akan menjadi kebal terhadap Covid-19.
i) Juru bicara Satgas Covid-19 RS UNS yang juga merupakan akhli patologi klinis,
dr. Tonang Dwi Ardyanto, mengungkapkan299 bahwa setelah sembuh pun,
orang yang (pernah) terinfeksi Covid-19 masih beresiko dapat menularkan
penyakitnya pada orang lain. Pada pasien yang telah sembuh, 90% hingga
98%-nya akan membentuk antibodi. Meskipun telah memiliki antibodi, yang
bersangkutan masih bisa terinfeksi oleh sejumlah virus yang masuk dengan
jumlah yang lebih sedikit dan memang cepat teratasi. Jadi, selama virusnya
masih ada dan belum terbersihkan seluruhnya, maka potensi menularkannya
pada orang lain masih ada. Oleh sebab itu, mereka yang telah dinyatakan
sembuh pun tetap harus disiplin menggunakan masker, jaga jarak aman, dan
rajin membersifkan anggota badan.
j) Prof. Heymann300, yang memimpin kelompok penasihat strategis dan teknis
untuk bayaha infeksi WHO, mengatakan bahwa ”Mungkin virus corona tidak
dapat dihilangkan dari tubuh. Kemungkinannya adalah bahwa Covid-19 dapat
bertahan lebih lama dari yang kita harapkan, dan itu mungkin saja bertahan
tanpa batas”. Hal senada juga dinyatakan oleh Jan Albert (prof. Pengendali
penyakit menular di Institute Karolinska Swedia).

Gambar 9.18: Diagram Sebab-Akibat Peningkatan Kasus


Jika fakta-fakta beserta pernyataan di atas benar, maka tentu saja ada beberapa
konsekuensinya. Sebagian dari potensi konsekuensi tersebut adalah301:

299
Keterangan ini didapat dari pustaka (Kontan, 2020a).
300
Dikutip dari pustaka (Gatra, 2020).
301
Ini pendapat/pandangan pribadi penulis.

Halaman: 237 349


a) Berdasarkan pendapat beberapa pakar di atas, maka adanya status OTG atau
orang tanpa gejala, baik yang baru pertama kali maupun yang sebelumnya
pernah dinyatakan sembuh, adalah masuk akal; yang bersangkutan tidak
menampakkan gejala Covid-19 (hingga tidak diketahui dan tidak dihindari
oleh orang lain) tetapi sudah mampu menularkan penyakitnya tanpa
disadari. Sehubungan dengan hal ini, maka pakar epidemiologi Universitas
Indonesia, Pandu Riono302, mengatakan bahwa sekitar 86% masyarakat yang
terinfeksi virus Covid-19 tidak menunjukkan gejala yang spesifik.
b) Keberadaan vaksin, dengan memperhatikan adanya varian virusnya, cara
kerjanya, dan durasi keseluruhan program vaksinasinya, tidak menjamin
100% manusia (populasinya) terbebas dari infeksi virus Covid-19.
c) Berdasarkan keterangan di atas, pengaruh re-infection memang ada (pada
profil data epidemik). Dengan demikian, yang pernah sembuh pun bisa
rentan kembali. Artinya, orang yang sama pun bisa jadi tercatat (kasusnya)
lebih dari satu kali di dalam keseluruhan sampel data epidemiknya. Meskipun
kasusnya masih sedikit, hal ini perlu diteliti; seberapa besar peluangnya,
bagaimana kondisi yang memungkinkannya, dan seberapa besar porsinya di
dalam keseluruhan sampel data epidemiknya.
d) Selain SIR, berdasarkan fakta adanya fenomena re-infection, sebenarnya,
fenomena epidemik Covid-19 juga layak didasarkan pada model-model SIRS
dan SIRS/tervaksinasi yang dimodifikasi (sedikit berbeda dengan yang telah
dibahas pada bab 2). Meskipun demikian, untuk model SIRS, item data
epidemiknya perlu lebih lengkap dari pada umumnya data Covid-19 yang
tersedia untuk publik (perhatikan bab 7.5 dan sub-bab 9.5.3).
e) Adalah belum clear apakah peristiwa kambuh kembalinya (re-infection)
penyakit Covid-19 disebabkan oleh varian yang sama, berbeda, atau bahkan
keduanya, dan seberapa besar peluang (probabilitas) keterjadian masing-
masing di lapangan.
f) Pada sebagian kasus di atas dijelaskan bahwa mereka terkena Covid-19
dengan varian yang berbeda dari sebelumnya. Fakta-fakta re-infection di atas
bisa ”mengikis” (sebagian dari) efek herd immunity (dan kekebalan alami).
Pertanyaan yang sama pun ditujukan pada individu yang telah tervaksinasi
dan yang telah menjalani terapi plasma konvalesen. Apakah mereka masih
mungkin terkena Covid-19 oleh varian virus yang sama dan/atau yang
berbeda. Jika masih mungkin dengan varian yang sama, maka efektivitas
vaksinasinya masih dipertanyakan. Tetapi jika hanya mungkin dengan varian
virus yang berbeda, maka perlu dilakukan vaksinasi ulang dengan vaksin
untuk varian-varian yang telah ada; tentu saja menjadi merepotkan dan
mahal. Fakta-fakta mengenai re-infection ini juga bisa ”mengikis” efek
vaksinasi dan terapi convalesen jika yang telah tervaksinasi atau menjalani
terapi ternyata juga masih mungkin mengidap Covid-19 kembali.
Jumlah dan status terakhir orang-orang yang mengalami re-infection Covid-19 perlu
diidentifikasi dan diteliti lebih lanjut.

302
Dikutip dari pustaka (Wahyudi, 2020).

Halaman: 238 349


9.13 Payung Hukum & Kebijakan
Wabah penyakit tentu saja sangat membahayakan masyarakat, oleh sebab itu perlu
dihindari. Sehubungan dengan hal ini, maka telah hadir undang-undang RI no 6
tahun 2018 tentang ”Kekarantinaan Kesehatan” yang secara umum menjadi payung
hukum bagi upaya-upaya pencegahan dan penangkalan keluar/masuknya penyakit
dan/atau faktor resiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan
kedaruratan kesehatan masyarakat303. Meskipun masih bersifat umum, payung
hukum ini sudah menyebutkan beberapa istilah penting; yaitu karantina, karantina
wilayah, isolasi, dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Ketika terjadi pandemi Covid-19, untuk meminimalisir dampaknya dan melengkapi
payung hukum yang masih bersifat umum, maka dibuatkanlah peraturan pemerintah
RI nomor 21 tahun 2020 tentang ”pembatasan sosial berskala besar dalam rangka
percepatan penanganan corona virus disease 2019 (Covid-19)” dan peraturan
menteri kesehatan RI no. 9 tahun 2020 tentang ”pedoman pembatasan sosial
berskala besar dalam rangka percepatan penanganan corona virus disease 2019
(covid-19)”. Dan ketika wabahnya masih juga berlangsung, sedangkan masyarakat
berniat untuk tetap beraktivitas seperti biasanya, kondisi ”new normal”, maka
ditetapkanlah kebijakan yang dituangkan dalam keputusan menteri kesehatan RI
nomor HK.01.07/menkes/382/2020 tentang ”protokol kesehatan bagi masyarakat di
tempat dan fasilitas umum dalam rangka pencegahan dan pengendalian corona virus
disease 2019 (Covid-19)”. Kemudian, ketika sebaran virusnya masih saja meningkat
hingga menimbulkan banyak korban jiwa, kerugian harta, dan berimplikasi pada
aspek-aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat, maka ditetapkanlah
surat keputusan presiden RI no. 7 tahun 2020 tentang ”gugus tugas percepatan
penanganan corona virus disease 2019 (Covid-19)”.
Karantina
Karantina adalah tindakan pemisahan (kelompok) individu yang sehat, setidaknya
belum menampakkan gejala penyakitnya, atau belum dinyatakan terinfeksi, tetapi
(melalui proses tracing) diketahui memiliki riwayat kontak dengan individu yang
terkonfirmasi Covid-19 atau pernah tinggal/bepergian di/ke wilayah yang sedang
mengalami wabah304. Karantina bertujuan untuk mendeteksi secara dini dan
mengurangi resiko penularan penyakit dari orang-orang yang tanpa gejala. Biasanya,
masa karantina ini berjalan selama 14 hari dan di bawah pengawasan satuan gugus
tugas Covid-19 di tingkat RT/RW/Kelurahan dan kemudian dirujuk ke fasilitas
kesehatan (faskes) yang terdekat setelah hasil ujinya menunjukkan gejala Covid-19.

303
Kedaruratan kesehatan masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat
luar biasa dengan ditandai oleh penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang
disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bio-terorisme, dan
pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau
lintas negara (UU RI no. 6 tahun 2018 pasal 1 ayat 2).
304
Perhatikan pula definisi karantina sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 1 ayat 6
UU RI Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Undang-undang ini masih
bersifat umum (kekarantinaan kesehatan); tidak dikhususkan hanya untuk Covid-19 dan
dibuat sebelum munculnya pandemi Covid-19.

Halaman: 239 349


Tetapi jika hasilnya negatif, maka yang bersangkutan diperbolehkan untuk kembali
beraktivitas seperti biasanya dengan tetap mengikuti protokol kesehatan.

Gambar 9.19: Karantina di Rumah


Isolasi
Isolasi adalah upaya pemisahan bagi (kelompok) individu yang telah mendapatkan
rekomendasi (dari petugas kesehatan untuk melakukan isolasi) atau yang sudah jelas
terinfeksi (baik yang terkonfirmasi melalui uji laboratorium maupun yang telah
memperlihatkan gejalanya) dari orang (dan hewan305) yang masih rentan/sehat dan
berada di sekitarnya dengan tujuan agar mereka tidak turut terinfeksi (tertular)306.
Upaya yang bertujuan untuk mengurangi resiko penularan ini bisasanya dilakukan
dengan bantuan tenaga medis di tempat yang dikelola oleh pemerintah (rumah sakit,
balai kesehatan, puskesmas, klinik, dan lain sejenisnya) hingga akhirnya sembuh dan
kembali ke rumah masing-masing. Oleh sebab itu, masa isolasi terus berjalan hingga
yang bersangkutan benar-benar sembuh (dibuktikan dengan hasil uji lab. kesehatan).
Pada saat isolasi, pengawasan dilakukan oleh satuan gugus tugas Covid-19 di tingkat
RT/RW/Kelurahan, sementara pemeriksaan rutin/hariannya dilakukan oleh petugas
kesehatan yang ditunjuk. Jika kondisinya memberat, maka yang bersangkutan akan
dirujuk ke fasilitas kesehatan yang dikelola oleh pemerintah. Meskipun demikian,
terutama jika jumlah yang terinfeksi melebihi kapasitas tempat yang dikelola oleh
pemerintah, tenaga medisnya full-booked, dan kondisi pasiennya pun dipandang
tidak berat, maka upaya ini pun dapat dilakukan secara mandiri; dilakukan di rumah
masing-masing. Yang terakhir ini dikenal sebagai isolasi mandiri (isoman). Ketika
akhirnya dinyatakan sembuh (sesuai hasil tes antigen atau PCR/Swab yang terakhir),
maka masa isolasinya dapat dinyatakan berakhir hingga yang bersangkutan
diperbolehkan untuk kembali beraktivitas seperti biasanya dengan tetap mengikuti

305
Beberapa jenis hewan (gorila, singa, harimau, anjing, kucing, cerpelai, kelelawar),
menurut beberapa sumber pustaka, juga dapat tertular virus Covid-19 akibat berinteraksi
dengan manusia.
306
Pengertian ini sedikit berbeda dengan istilah yang sama sebagaimana telah disebutkan di
dalam pasal 1 ayat 7 UU RI Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Halaman: 240 349


protokol kesehatan. Oleh sebab itu, biasanya, puskesmas-nya memberikan ”surat
keterangan selesai isolasi mandiri”.

Gambar 9.20: Isolasi di Rumah Sakit


Keterangan mengenai karantina dan isolasi juga dapat dilihat di dokumen
”Protokol Penyiapan Fasilitas Shelter untuk Karantina dan Isolasi Mandiri
Berbasis Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19” yang dikeluarkan oleh
Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Juni 2020.
Karantina Wilayah
Pasal 1 ayat 10 UU RI nomor 6 thn 2018 tentang ”Kekarantinaan Kesehatan”
mendefinisikan ”karantina wilayah” sebagai ”pembatasan penduduk dalam suatu
wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit
dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan
penyebaran penyakit atau kontaminasi”. Berdasarkan definisi ini beserta rinciannya
yang terdapat pada UU yang sama (pasal-pasal 14, 49, 53, 54, 55, dan 60), jajaran
pemerintah dapat melaksanakan karantina wilayah (menjadi wewenang pemerintah
pusat307); tidak dikenal istilah lockdown308.
Karantina wilayah merupakan bagian dari respon terhadap kedaruratan kesehatan
masyarakat dan dilaksanakan oleh masyarakat jika hasil uji-nya mengkonfirmasikan
bahwa telah terjadi sebaran penyakit (transmisi lokal)309 di wilayahnya. Meskipun
demikian, sebelum melaksanakan karantina wilayah, pejabat karantina kesehatan
wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat, wilayah yang dikarantina diberi
garis karantina, dan dijaga oleh pejabat karantina kesehatan dan kepolisian negara RI
yang berada di luar wilayah karantina310.

307
Perhatikan tingkatan UU yang menjadi dasarnya dan juga pustaka (Kompas, 2020f) yang
menjadi dasar bahwa karantina wilayah adalah wewenang pemerintah pusat. Meskipun
demikian, pernah terjadi beberapa kasus dimana pemerintah daerah memutuskan
berlakunya karantina wilayah beserta pencabutannya; memberlakukan karantina wilayah
tanpa terlebih dahulu meminta arahan atau persetujuan dari pemerintah pusat.
308
Pemerintah (Presiden) melarang lockdown; perhatikan pustaka (Kompas, 2020f).
309
Pasal 53 UU RI no 6 tahun 2018.
310
Pasal 54 UU RI no 6 tahun 2018.

Halaman: 241 349


Gambar 9.21: Karantina Wilayah karena Covid-19311
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
PSBB adalah ”pembatasan kegiatan penduduk suatu wilayah yang diduga terinfeksi
penyakit atau terkontaminasi untuk mencegah kemungkinan sebaran penyakit atau
kontaminasinya”312. Atau, dalam kaitan Covid-19, PSBB adalah pembatasan kegiatan
penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 untuk mencegah
kemungkinan sebaran corona virus disease 2019313.
Kebijakan penerapan PSBB dapat dilakukan jika memenuhi kriteria umum bahwa
terdapat bukti transmisi lokal (penularan), kasus yang terinfeksi meningkat secara
signifikan & menyebar ke beberapa wilayah, dan kasus kematiannya pun meningkat
secara signifikan (sebagaimana tercantum di dalam pasal 2 dan 4 pada peraturan
menteri kesehatan RI no 9 tahun 2020). Penetapan kebijakan ini merupakan
kewenangan menteri kesehatan berdasarkan permohonan dari kepala daerah
(gubernur, bupati, atau walikota)314.
Adapun pelaksanaan PSBB meliputi315:
a) Peliburan sekolah dan tempat kerja.
b) Pembatasan kegiatan keagamaan.
c) Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
d) Pembatasan kegiatan sosial dan budaya.
e) Pembatasan moda transportasi.
f) Pembatasan kegiatan lainnya; khususnya yang terkait dengan aspek
pertahanan dan keamanan.

311
Sumber: https://www.alamy.com
312
Perhatikan ayat 1 pasal 11 UU no 6 tahun 2018 tentang “Kekarantinaan Kesehatan”.
313
Perhatikan ayat 1 pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan RI no 9 tahun 2020 tentang
“pedoman pembatasan sosial berskala besar dalam rangka percepatan penanganan corona
virus disease 2019 (Covid-19)”.
314
Perhatikan pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan RI no 9 tahun 2020.
315
Perhatikan pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan RI no 9 tahun 2020 dan pasal 4
peraturan pemerintah RI nomor 21 tahun 2020.

Halaman: 242 349


Gambar 9.22: Pembatasan Sosial Berskala Besar316
Detil & operasional pedoman penerapan kebijakan PSBB berada di dalam peraturan
gubernur untuk setiap provinsi (wilayah). Dengan demikian, sebagai misal, muncul
Peraturan Gubernur Jawa Barat no. 46 tahun 2020 tentang ”pedoman pembatasan
sosial berskala besar secara proporsional sesuai level kewaspadaan daerah kota
/kabupaten sebagai persiapan pelaksanaan adaptasi kebiasaan baru untuk
pencegahan & pengendalian corona virus disease 2019 (Covid-19)”, atau untuk DKI,
muncul Peraturan Gubernur DKI Jakarta no. 33 tahun 2020 tentang ”pelaksanaan
pembatasan sosial berskala besar dalam penanganan corona virus disease 2019
(Covid-19) di Provinsi DKI Jakarta”. Dengan demikian, detil penerapan PSBB untuk
setiap wilayah bisa (sedikit) berbeda.
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)
Dalam rangka pengendalian Covid-19 lebih lanjut dan mencapai keselamatan rakyat
pada kondisi tren peningkatan kasus Covid-19 masih terjadi di beberapa provinsi
/kabupaten/kota, maka pemerintah menambahkan kebijakan baru; pemberlakukan
pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) bagi beberapa provinsi/kabupaten/kota di
Jawa/Bali yang dimulai dari 11 hingga 25 Januari 2021 dan kemudian diperpanjang
dari 26 Janurari hingga 8 Februari 2021. Kebijakan baru ini tertuang dalam Instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 2021 tentang ”pemberlakukan pembatasan
kegiatan untuk pengendalian penyebaran corona virus disease 2019 (Covid-19)”.
Butir-butir pembatasan kegiatan (PPKM) yang dimaksud oleh intruksi ini adalah317:
a) Membatasi tempat kerja/perkantoran dengan menerapkan work from home
(WFH) 75% & work from office (WFO) 25% dengan memberlakukan protokol
kesehatan lebih ketat.
b) Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara daring (online).

316
Sumber: https://setkab.go.id
317
Perhatikan isi butir-butir pada diktum kedua instruksi menteri dalam negeri nomor 1
tahun 2021.

Halaman: 243 349


c) Untuk sektor esensial yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat,
tetap dapat beroperasi 100% dengan pengaturan jam operasional, kapasitas,
dan penerapan protokol kesehatan lebih ketat.
d) Melakukan pengaturan pemberlakuan pembatasan:
• Kegiatan restoran (makan/minum di tempat sebesar 25%) dan layanan
makanan melalui pesan-antar/dibawa pulang tetap diijinkan sesuai jam
operasionalnya.
• Pembatasan jam operasional untuk pusat perbelanjaan/mall hingga pukul
19.00 WIB.
e) Mengijinkan kegiatan konstruksi beroperasi 100% dg. protokol kesehatan
yang lebih ketat.
f) Mengijinkan tempat ibadah untuk dilaksanakan dengan pengaturan
pembatasan kapasitas sebesar 50% dengan penerapan protokol kesehatan
yang lebih ketat.
Ternyata, sebelum masa perpanjangan PPKM berakhir (8 Februari 2021), penerapan
PPKM dinilai kurang efektif, mobilitas masyarakat masih tinggi318. Oleh sebab itu,
berdasarkan arahan presiden, maka pada 5 Februari 2021 diputuskan PPKM berskala
mikro berdasarkan instruksi menteri dalam negeri RI nomor 3 tahun 2021 tentang
”pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat berbasis mikro dan pembentukkan
posko penanganan corona virus disease 2019 di tingkat desa dan kelurahan untuk
pengendalian penyebaran corona virus disease 2019” yang mulai berlaku di pulau
Jawa & Bali pada tanggal 9 hingga 22 Februari 2021. PPKM mikro ini kemudian
diperpanjang hingga 8 Maret 2021 melalui instruksi menteri dalam negeri nomor 4
tahun 2021, dan diperpanjang kembali hingga 22 Maret 2021 (plus luar Jawa-Bali)
dengan instruksi menteri dalam negeri nomor 5 tahun 2021.
Adapun kriteria wilayah mana saja (Jawa-Bali) yang melaksanakan PPKM dan PPKM
berskala mikro, pada dasarnya masih sama, yaitu319:
1) Tingkat kematian di atas rata-rata tingkat kematian nasional.
2) Tingkat kesembuhan di bawah rata-rata tingkat kesembuhan nasional.
3) Tingkat kasus aktif di atas rata-rata tingkat kasus aktif nasional.
4) Tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit (bed occupancy ratio) untuk ICU
(intensive care unit) dan ruang isolasi di atas 70%.
Meskipun demikian, pada dasarnya, PPKM berbasis mikro juga mempertimbangkan
kriteria zonasi pengendalian hingga ke tingkat RT320:
1) Zona hijau jika tidak ditemukan satu kasus pun; 0 kasus.
2) Zona kuning jika ditemukan 1-5 rumah dengan kasus yang terkonfirmasi
positif dalam kurun waktu 7 hari terakhir.

318
Dicuplik dari pustaka (PR, 2021).
319
Perhatikan isi butir-butir pada diktum ketiga pada dokumen instrukri menteri dalam
negeri nomor 1 tahun 2021.
320
Diktum kedua mengenai kriteria zonasi pengendalian wilayah hingga tingkat RT.
Sementara itu, detil (deskripsi) mengenai skenario sebagai konsekuensi dari zonasi ini dapat
dilihat pada diktum kedua dokumen instruksi menteri dalam negeri no. 3 tahun 2021.

Halaman: 244 349


3) Zona oranye jika ditemukan 6-10 rumah dengan kasus yang terkonfirmasi
positif dalam kurun waktu 7 hari terakhir.
4) Zona merah jika ditemukan lebih dari 10 rumah dengan kasus yang
terkonfirmasi positif dalam kurun waktu 7 hari terakhir.
Setelah (ketika itu) menyadari bahwa kasus hariannya masih menanjak (menuju
gelombang kedua), sementara negara lain sudah mengalami penurunan, dan
mendapatkan masukan dari menteri kesehatan dan beberapa kepala daerah, maka
presiden memberikan arahan mengenai pelaksanaan PPKM darurat (diterapkan sejak
tanggal 3 hingga 20 Juli 2021) yang kemudian disusul oleh PPKM Level 4 untuk pulau
Jawa & Bali (dan perpanjangannya). Kebijakan PPKM darurat ini tertuang di dalam
instruksi menteri dalam negeri nomor 15 tahun 2021 tentang ”pemberlakukan
pembatasan kegiatan masyarakat darurat corona virus disease 2019 di wilayah Jawa
dan Bali”.
Pada diktum ketiga instruksi menteri di atas dinyatakan ketentuan mengenai
pelaksanaan kegiatan untuk beberapa sektor sebagai berikut:
a) Belajar-mengajar secara online/daring.
b) Non-esensial 100% WFH.
c) Esensial keuangan dan perbankan dan lain sejenisnya diberlakukan 50% WFO
dengan protokol kesehatan yang ketat.
d) Sensial pemerintahan pelayanan publik diberlakukan maksimum 25% WFO
dengan protokol kesehatan yang ketat.
e) Kritikal di bidang energi, kesehatan, industri pemenuhan kebutuhan pokok,
dan lain sejenisnya 100% WFO dengan protokol kesehatan yang ketat.
f) Jam kerja (operasional) supermarket, pasar tradisional, toko kelontong dan
lain sejenisnya dibatasi hingga jam 20.00 dengan kapasitas pengunjung 50%.
g) Toko obat dan apotik boleh buka 24 jam.
h) Tempat ibadah ditutup untuk sementara.
i) Dan lain sebagainya.
Kehadiran (kebijakan) PPKM tentu saja banyak mengundang pertanyaan; ”apa sih
bedanya dengan PSBB (yang lebih dulu hadir)?”. PSBB adalah pembatasan kegiatan
tertentu pada suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 untuk mencegah
penyebarannya lebih lanjut. Payung hukum PSBB adalah UU dan peraturan menteri
kesehatan; lingkupnya nasional (yang memenuhi kriteria). Adapun kriteria PSBB
adalah (pasal 2 Permenkes No. 9 tahun 2020): a) jumlah kasus dan/atau jumlah
kematian akibat Covid-19 meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat di
beberapa wilayah; b) terdapat kaitan epidemik dengan kejadian serupa di wilayah
/negara lain. Sedangkan PPKM adalah pembatasan yang mengatur sejumlah
kegiatan; mulai dari perkantoran, pendidikan, perekonomian, seni, dan budaya
hingga peribadatan. Payung hukum PPKM adalah instruksi menteri dalam negeri;
lingkupnya adalah beberapa provinsi/kabupaten/kota yang namanya jelas-jelas
disebutkan. Pelaksanaan PPKM terdapat pada diktum ketiga pada instruksi menteri
dalam negeri yang bersangkutan. Sebagai ilustrasi, beberapa perbedaan mengenai
batasan/ketentuan antara PPKM (diktum ke-2 instruksi menteri dalam negeri nomor
1 thn 2021) dan PPKM berskala mikro (diktum ke-9 instruksi menteri dalam negeri
nomor 9 thn 2021) adalah sebagai berikut:

Halaman: 245 349


1) PPKM menetapkan WFH/WIO dengan porsi 75/25, sedangkan PPKM berskala
mikro 50/50.
2) PPKM menetapkan kegiatan restoran dengan porsi 25%, sedangkan PPKM
berskala mikro 50%.
3) PPKM menetapkan pembatasan jam operasional pusat perbelanjaan/mall
hingga jam 19.00, sedangkan PPKM berskala mikro hingga jam 21.00.
Karena terdapat perubahan kebijakan pembatasan selama pandemi, maka istilah
PPKM darurat juga berubah menjadi PPKM Level 4 melalui instruksi menteri dalam
negeri nomor 22 tahun 2021 tentang ”pemberlakukan pembatasan kegiatan
masyarakat level 4 corona virus disease 2019 di wilayah Jawa dan Bali” yang
ditandatangani pada 20 Juli 2021. Intruksi ini mulai berlaku 21 Juli hingga 25 Juli 2021
(sebagai perpanjangan PPKM darurat). Adapun ketentuan pelaksanaannya terdapat
pada diktum ketiganya yang antara lain mencakup:
a) Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring/online.
b) Pelaksanaan kegiatan pada sektor non-esensial diberlakukan 100% WFH.
c) Dan lain sebagainya (perhatikan butir-butir pada diktum ketiga).
Protokol Kesehatan Covid-19
Pada saat pandemi Covid-19 berlangsung, sementara masyarakat dengan terpaksa
masih beraktivitas dan/atau berproduksi untuk mempertahankan eksistensinya
(memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti biasanya), maka kondisi ini disebut sebagai
”new normal”321. Kondisi ini pasti akan terjadi dan tidak akan terbendung. Oleh
sebab itu, untuk tetap menjaga keamanan/kesehatan pada saat beraktivitas, maka
kondisi new normal ini perlu disertai dengan protokol kesehatan (pada konteks
Covid-19).
Tujuan protokol ini adalah untuk meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian
Covid-19 bagi masyarakat di tempat dan fasilitas umum; dalam rangka mencegah
terjadinya episenter/klaster baru selama masa pandemi. Adapun ruang lingkup
protokol ini adalah meliputi upaya pencegahan dan pengendalian Covid-19 di tempat
dan fasilitas umum dengan memperhatikan aspek perlindungan kesehatan individu
dan titik-titik kritis dalam perlindungan kesehatan masyarakat, yang melibatkan
pengelola, penyelenggara, atau penanggung-jawab tempat dan fasilitas umum serta
masyarakat pengguna.
Detil mengenai pedoman prilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), yang
merupakan salah satu butir dari protokol kesehatan Covid-19, secara
umum (tidak khusus untuk Covid-19), telah diuraikan dalam peraturan
menteri kesehatan RI no. 2269/menkes/per/xi/2011 tentang ”pedoman
pembinaan perilaku hidup bersih sehat (PHBS)”. Sedangkan yang terkait
dengan Covid-19, dokumen-dokumen (pustaka) Kemensos (2020) dan
Kemenkes (2020a) juga dapat dirujuk.

321
Kondisi dimana masyarakat tetap beraktivitas “seperti biasanya” dalam kondisi wabah,
pandemi, “perang”, atau yang sejenisnya (kondisi yang tidak seperti biasanya).

Halaman: 246 349


Gambar 9.23: Protokol Kesehatan (Individu)322
Sesuai dengan keputusan menteri kesehatan RI nomor hk.01.07/menkes/382/2020,
maka protokol kesehatan mencakup:
1) Perlindungan kesehatan individu:
a) Menggunakan alat pelindung diri (masker).
b) Membersihkan tangan dengan cairan antiseptik (hand-sanitizer).
c) Menjaga jarak dengan orang lain, minimal 1 meter.
d) Meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS); gizi seimbang, cukup istirahat dan aktivitas fisik,
dan menghindari faktor resiko penyakit.
2) Perlindungan kesehatan masyarakat:
a) Sosialisasi protokol kesehatan.
b) Penyediaan sarana cuci tangan.
c) Pemantauan kondisi kesehatan (panas, demam, batuk, pilek, nyeri
tenggorokan, dan sesak nafas) terhadap orang-orang yang terdapat di
tempat dan fasilitas umum.
d) Koordinasi dengan dinas kesehatan setempat.
e) Mencegah penyebaran penyakit yang lebih luas dengan: melakukan
pelacakan kontak erat, pemeriksaan rapid-test atau realtime polymerase
chain reaction (RT-PCR), dan penanganan bagi yang sakit atau meninggal
di tempat/fasilitas umum.
Jika diringkas, protokol kesehatan (yang bertujuan untuk memutus rantai
penyebaran Covid-19) dapat dituliskan sebagai 3M (menjaga jarak, memakai masker,
dan mencuci tangan) dan 3T (testing, tracing, dan treatment). Meskipun demikian,
khususnya yang ditujukan bagi perlindungan kesehatan individu, kebijakan tersebut
akhirnya berubah menjadi 5M; menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan,

322
Sumber: https://heloborneo.com

Halaman: 247 349


menjauhi kerumunan (di luar rumah), dan mengurangi mobilitas (jika tidak memiliki
keperluan yang mendesak tetaplah berada di rumah).
Sementara itu, untuk ruang-lingkup di luar tempat dan fasilitas umum, seperti halnya
perkantoran, pasar, sekolah, kampus, dan lain sejenisnya, biasanya, institusi yang
bersangkutan secara khusus, melalui surat edarannya, menetapkan protokol
kesehatan tersendiri yang juga merujuk pada protokol kesehatan (versi) keputusan
menteri kesehatan tersebut di atas.
Gugus Tugas Covid-19
Karena penyebaran Covid-19 masih meningkat, menimbulkan korban yang besar,
berimplikasi pada aspek-aspek sosial, ekonomi, kesejahteraan masyarakat, maka
WHO menyatakannya sebagai pandemik, penanganan Covid-19 perlu langkah-
langkah yang cepat, terfokus, terpadu, dan sinergis antar kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah hingga diperlukan adanya suatu gugus tugas. Akhirnya, gugus
tugas yang terdiri dari pengarah dan pelaksana ini ditetapkan melalui surat
keputusan presiden RI no. 7 tahun 2020 tentang ”gugus tugas percepatan
penanganan corona virus disease 2019 (Covid-19)” dan perubahannya (keppres no 9
tahun 2020). Gugus tugas ini memiliki tujuan323: a) meningkatkan ketahanan nasional
di bidang kesehatan; b) mempercepat penanganan Covid-19 melalui sinergi antar
kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah; c) meningkatkan antisipasi
perkembangan eskalasi penyebaran Covid-19; d) meningkarkan sinergi pengambilan
kebijakan operasional; dan e) meningkatkan kesiapan dan kemampuan dalam
mendeteksi, merespon, dan mencegah Covid-19.
Tugas pengarah gugus tersebut adalah: memberikan arahan kepada pelaksana dalam
melaksanakan dan melakukan pemantauan & evaluasi pelaksanaan percepatan
penanganan Covid-19. Sedangkan tugas pelaksana adalah: menetapkan dan
melaksanakan rencana operasional, mengkoordinasikan dan mengendalikan
pelaksanaan kegiatan, melakukan pengawasan pelaksanaan, mengerahkan sumber
daya untuk pelaksanaan kegiatan dan melaporkan pelaksanaan percepatan
penanganan Covid-19 kepada presiden dan pengarah. Meskipun demikian, untuk
meningkatkan efektivitas pelaksanaan gugus tugas Covid-19, maka gubernur, bupati,
dan walikota juga diminta untuk membentuk gugus tugas di lingkup masing-masing.
Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya, pelaksana gugus tugas ini dapat melibatkan
dan/atau berkoordinasi dengan kementerian, lembaga non kementerian, instansi
pemerintah (pusat/daerah), swasta, serta pihak lain yang dianggap perlu.
Payung Hukum & Kebijakan Terkait Covid-19
Berdasarkan uraian di atas, dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan meminimalisir
dampaknya, ringkasnya, telah ditempuh beberapa kebijakan seperti berikut:
a) Karantina kesehatan yang mencakup (UU RI no. 6 thn 2018 pasal 15 ayat 2):
• Karantina, isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, disinfeksi,
dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi.

323
Pasal 3 Keppres nomor 7 tahun 2020.

Halaman: 248 349


• Pembatasan sosial berskala besar/PSBB (UU RI no. 6 tahun 2018,
Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 9 tahun 2020, dan Peraturan
Gubernur masing-masing provinsi tentang pendoman PSBB).
• Disinfeksi, dekontamisasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap alat
angkut dan barang.
• Penyehatan, pengamanan dan pengendalian terhadap media lingkungan.
b) Pemberlakukan protokol kesehatan Covid-19 (keputusan menteri kesehatan
RI nomor hk.01.07/menkes/382/2020).
c) Pembentukkan satuan gugus tugas Covid-19 (keputusan presiden RI no. 7
tahun 2020, keputusan presiden no. 9 tahun 2020 tentang perubahan
keputusan presiden no. 7 tahun 2020, dan peraturan gubernur yang
mencakup ketentuan mengenai gugus tugas percepatan penanggulangan
Covid-19 di provinsi masing-masing).
d) Peraturan Gubernur (pergub) yang mengatur pedoman pembatasan sosial
beskala besar (PSBB) di daerah masing-masing.
e) PPKM (Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 2021).
f) PPKM mikro dan perpanjangannya (Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 3, 4,
dan 5 tahun 2021).
g) PPKM darurat (Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 15 tahun 2021).
h) PPKM dengan beberapa levelnya; di antaranya adalah level 4 (Instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 22 tahun 2021).
i) Ditetapkannya peraturan pengganti undang-undang (perpu) RI nomor 1
tahun 2020 tentang ”kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem
keuangan untuk penanganan pandemi corona virus disease 2019 (covid-19)
dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan
perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan”.
j) Ditetapkannya peraturan menteri keuangan RI no. 38/PMK.02/2020 tentang
”pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi corona
virus disease 2019 (Covid-19) dan/atau menghadapi ancaman yang
membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan”.
k) Ditetapkannya peraturan menteri keuangan RI no. 43/PMK.05/2020 tentang
”mekanisme pelaksanaan anggaran belanja atas beban anggaran pendapatan
dan belanja negara dalam penanganan pandemi corona virus disease 2019”.
Hasil Pelaksanaan Payung Hukum & Kebijakan
Payung hukum beserta berbagai kebijakan (dengan tingkatan dan lingkupnya) yang
telah disebutkan tentu saja sudah benar, baik, dan memang sangat diperlukan.
Meskipun demikian, dengan mempertimbangkan sebagian dari hasilnya, khususnya
yang tidak terkait dengan anggaran, belanja, atau keuangan, terdapat beberapa
catatan yang perlu diperhatikan. Catatan tersebut antara lain adalah:
a) Kebijakan-kebijakan ini, dikawal petugas untuk dilaksanakan oleh masyarakat
secara umum dengan benar (sesuai dengan pedoman masing-masing).
b) Mengingat kebijakan di atas dibuat atas dasar pertimbangan yang penting,
yaitu faktor-faktor kesehatan masyarakat & ekonomi, maka pelaksanaannya
bersifat ”tarik-ulur”; dapat dikendurkan seperlunya ketika jumlah kasus
aktif/hariannya menurun dan sudah dianggap aman untuk meningkatkan

Halaman: 249 349


(aktivitas/tingkat) ekonominya, dan bisa diperketat kembali seperlunya
ketika jumlah kasus aktif/hariannya meningkat dan kondisinya dianggap
makin membahayakan324.
c) Dengan munculnya kebijakan PPKM (plus mikro, darurat, dan beberapa
levelnya), apalagi masa berlakunya (pernah) diperpanjang beberapa kali,
demikian pula halnya dengan PSBB yang pernah berlaku dan kemudian
diperpanjang di beberapa wilayah (pelakasanaan kebijakan-kebijakan ini
cenderung makin diperketat), maka pada saat itu artinya kasus hariannya
masih meningkat.
d) Dengan mempertimbangkan butir-butir catatan a), b), dan c), maka secara
implisit diketahui bahwa, pada saat itu, dengan sudut pandang tertentu,
sebagian pihak/orang dapat menilai bahwa pelaksanaan kebijakan-kebijakan
di atas belum cukup efektif untuk menurunkan jumlah kasusnya. Artinya,
meskipun pelaksanaannya masih ”dikawal” oleh para petugas, tetapi hasilnya
belum sesuai dengan harapan; masih bermasalah. Jika diperhatikan lebih
jauh, maka masalah utamanya325, selain karena program vaksinasi belum
atau baru saja/mulai berjalan, masih bermuara pada: (1) masih tingginya
tingkat mobilitas masyarakat, (2) kurangnya disiplin dan sulitnya diaturnya
sebagian dari anggota masyarakat (secara individual), dan (3) tidak
mudahnya (lambat) lembaga atau institusi (kantor, industri, pasar, pabrik,
toko, dan lain sejenisnya)326 (secara organisasional) dalam menjalankan
kebijakan terkait covid-19 (WFH, WFO, dan lainnya). Padahal, keberhasilan
pelaksanaan kebijakan Covid-19 sangat bergantung pada niat, kesungguhan,
dan konsistensi (kedisiplinan) seluruh komponen masyarakat.
e) Dengan mempertimbangkan butir d), maka perlu dilakukan sosialisasi
(sampai ke ”akar-rumput”) mengenai maksud dan tujuan kebijakan terkait
Covid-19, dibuatkan dan dilaksanakan kebijakan tentang pembinaan atau
edukasi (mental)327 seluruh elemen masyarakat agar mereka menjadi lebih

324
Memang, di satu sisi, bagi pihak yang tidak memahami masalahnya, kondisi “tarik-ulur”
ini dapat dipahami sebagai sebuah tindakan yang tidak konsisten.
325
Perhatikan kembali bahasan sub-bab 9.8 yang menjelaskan beberapa sifat dan sikap
anggota masyarakat terkait pandemi Covid-19.
326
Agar fasilitasnya (ruang) tetap terpakai meskipun tidak ditambah lagi (karena sudah
terbatas), aktivitas kerja masih berjalan seperti biasa, bisnisnya tidak terlalu rugi, masih ada
pendapatan, atau proyeknya tidak terlalu terbengkalai, sebagai misal, maka: (1) pelaksanaan
ketentuan PPKM di sebagian lembaga tidak sesuai ketentuan (sebagai contoh menjadi 25%
WFH dan 75% WFO); (2) pelaksanaan PSBB di sebagian lembaga di bawah ketentuan level
kewaspadaannya (perhatikan kenyataan yang terjadi dengan ketentuan yang ada pada
pergub yang bersangkutan), jaga jarak fisik baik dalam suatu antrian pelayanan maupun
lokasi-lokasi duduk/menunggu tidak sesuai dengan level kewaspadaannya (ruangnya tidak
ditambah atau pesertanya tidak dikurangi), pengurangan jam operasional/kerja tidak sesuai
dengan level kewaspadaannya, pembatasan jumlah pengunjung belum sesuai dengan level
kewaspadaannya, dan lain sejenisnya.
327
Bisa jadi, wajib militer, pendidikan dasar militer, pecinta alam, latihan bela negara, olah-
raga bela diri, ninja warior, dan bentuk-bentuk kedisiplinan lainnya akan banyak membantu;
hingga perlu segera diterapkan. Masyarakat harus lebih dikompakkan dan didisiplinkan

Halaman: 250 349


taat hukum, tertib-aturan, dan disiplin terhadap pelaksanaan kebijakan
pemerintah demi kepentingan bersama dalam jangka pendek maupun jangka
panjang; terlepas dari apapun masalahnya; tidak sekedar pandemi Covid-19.

Tidak mudah bagi setiap badan usaha untuk selalu mengikuti dinamika level
kewaspadaan yang ada di wilayahnya dan kemudian memasukkan points
kebijakan tersebut kedalam peraturan internalnya328 (persentase WFH,
WFO, jumlah kedatangan, aktivitas pelacakan kontak & test, pemberlakuan
kasus-kasus karantina, isolasi mandiri, dll.) sesuai dengan pedoman level
kewaspadaan yang tercantum pada pergub-nya (PSBB) atau instruksi
menteri dalam negeri (PPKM/PPKM mikro, darurat, dan level-nya).
Kecepatan perubahan (aturan internal berikut penerapannya) mereka,
biasanya, di bawah dinamika level kewaspadaan kasus Covid-19. Selain itu,
mereka juga belum tentu memiliki personel yang secara khusus mengurusi
hal itu.
Demikian pula halnya dengan sebagian dari anggota masyarakat. Sebagian
dari mereka kurang memperhatikan level kewaspadaan dan juga kurang
peduli dengan konsekuensinya (termasuk perlunya mengurangi interaksi
sosial dan menerapkan protokol kesehatan secara ketat). Oleh sebab itu,
tidak mengherankan jika banyak korban yang berjatuhan di Indonesia; 26
Januari 2021 mencapai 1 juta jiwa, dan Senin 21 Juni 2021 mencapai 2 juta
jiwa (total terkonfirmasi). Negara mana pun, yang kondisi masyarakatnya
seperti ini, tidak layak menerapkan lockdown; percuma saja jika prilakunya
belum berubah (interaksi sosialnya tinggi dan sering terjadi pelanggaran
protokol kesehatan). Jika dipaksakan, maka jumlah kasusnya cenderung
tetap tidak segera turun, kasusnya terus berlanjut, sementara pengorbanan
dan biayanya sudah sangat besar.
Untuk mendapatkan (sampel) data Covid-19 yang akurat, hingga
mencerminkan level kewaspadaan yang sebenarnya, perlu dibuatkan
prosedur pelaporan dan pencatatan jumlah kasusnya secara terpusat,
tanpa duplikasi (data kasus), efisien, dan terkonfirmasi (uptodate).
Diperlukan kesabaran petugas/satgas/gugus tugas dalam mengawal dan
memonitor mereka selama menerapkan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, dalam mengatasi masalah Covid-19
ini diperlukan pengertian & kerjasama yang sangat baik di antara seluruh
komponen masyarakat dengan pemerintah.

dengan pendidikan (fisik & mental) yang agak ketat agar di masa yang akan datang tidak
repot dalam menghadapi tantangan yang lebih berat.
328
Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa teman yang bekerja di lembaga/kantor
yang berbeda, didapatkan keterangan bahwa beberapa instansi tidak/belum menerapkan
aturan internalnya (khususnya WFH, WFO) sesuai dengan level kewaspadaan yang aktual.

Halaman: 251 349


Gambar 9.24: Sebab-Akibat Penurunan Efektivitas PSBB & PPKM
Pada kondisi di atas, untuk meningkatkan efektivitas (penerapan) kebijakan PSBB &
PPKM (jika masih akan dipertahankan), beberapa variabel baru (sebagai solusi) perlu
ditambahkan. Sehubungan dengan hal ini, berikut ini adalah salah satu alternatif
diagram sebab-akibat yang sudah melibatkan beberapa variabel baru (termasuk
sebagai tindakan intervensi) yang dimaksud.

Halaman: 252 349


Gambar 9.25: Contoh Solusi untuk Penurunan Efektivitas PSBB & PPKM

9.14 Lockdown
Pada kondisi pandemi Covid-19, dalam usaha untuk menurunkan jumlah kasus aktif
(plus hariannya/baru) dan membendung menyebarannya yang cepat dan masif,
maka beberapa negara pernah menerapkan kebijakan darurat lockdown; baik secara
harfiah (apa adanya) maupun maknawi (dengan batasan/ketentuan tertentu).
Meskipun demikian, bahasan pada sub-bab ini lebih cenderung pada implementasi
makna lockdown secara harfiah.
Lockdown
Pada kondisi lockdown, sederhananya (secara harfiah), wilayah yang terdampak
wabah/pandemi akan ditutup secara total dari akses ke luar dan masuknya; tidak ada
(orang dan kendaraan) yang boleh keluar dan masuk (kecuali yang berwajib, petugas,
dan/atau satgas terkait). Dengan demikian, anggota masyarakat yang berada di
wilayah lockdown tidak boleh (sangat dibatasi/tidak disarankan untuk) keluar rumah
dan berkumpul sesamanya di luar rumah dan/atau di tempat umum; masyarakat
diperintahkan untuk ”mengurung diri” (tinggal) di dalam rumah masing-masing
untuk sementara waktu329. Oleh sebab itu, pada kondisi ini, pemerintah akan
memenuhi semua kebutuhan sehari-hari makanan, minuman, dan obat-obatan bagi
masyarakatnya selain juga menyediakan petugas yang berpatroli.

329
Sebenarnya, dengan pengertian seperti ini, pada dasarnya (kurang-lebih) lockdown juga
berarti karantina wilayah. Oleh sebab itu, sebagian orang/pihak menyamakan lockdown
dengan “karantina wilayah”.

Halaman: 253 349


Gambar 9.26: Lockdown Karena Sebab Covid-19330
Pada kondisi lockdown, aktivitas-aktivitas ekonomi, perdagangan, pendidikan,
transportasi, peribadahan, dan lain sejenisnya yang dilakukan di luar rumah (kantor,
toko, pasar, sekolah, kampus, dan lain sebagainya) akan sangat dibatasi atau bahkan
(hingga) di-non-aktifkan. Meskipun demikian, pengertian, pemahaman, dan/atau
pelaksanan yang terkait dengan lockdown tidak dibakukan begitu saja hingga
penerapannya di lapangan (berbagai wiayah/negara) sangat mungkin untuk berbeda
satu sama lainnya; ada yang masih memperbolehkan warganya keluar rumah untuk
berbelanja kebutuhan sehari-hari dan obat-obatan (pasar, bank, dan rumah sakit
masih dibuka meskipun terbatas), sementara ada pula yang tidak mengijinkannya.
Potensi Keuntungan & Kerugian Lockdown
Sebenarnya, penerapan kebijakan yang telah ada pun (karantina wilayah, PSBB,
PPKM, dan peraturan yang menjadi turunannya) memiliki keuntungan & kerugian
(relatif) tersendiri. Demikian pula halnya jika kebijakan lockdown331 benar-benar
diterapkan secara total (dimana anggota masyarakatnya tidak diperbolehkan untuk
beraktivitas di luar rumah), maka butir-butir (potensi) kerugian dan keuntungan
relatifnya pun kira-kira sama, hanya saja akibatnya cenderung lebih ekstrim/masif
seperti berikut (apalagi dalam jangka panjang)332:

330
Sumber: https://www.thenationalnews.com
331
Ketika paragraf ini dituliskan, setidaknyanya pandemi Covid-19 sudah berjalan sekitar
setahun lebih dan masih belum juga mereda. Apakah ada negara yang dapat bertahan
dengan kebijakan lockdown total selama setahun lebih?
332
Dengan mempertimbangkan kemungkinan perbedaan penerapannya di setiap wilayah
atau negara, tentu saja akan ada variasi pada potensi-potensi keuntungan dan kerugian
pelaksanaan kebijakan lockdown di setiap wilayah/negara. Selain itu, karena sebab satu dan
lain hal, penerapan kebijakan lockdown tidak menjamin kasusnya (yang terinfeksinya) akan
berhenti 100% . Oleh sebab itu, efek lockdown di setiap negara bisa berbeda-beda; secara
umum bergantung pada kesiapan, kesabaran, kedisiplinan, dan kemampuan (khususnya
cadangan atau sumber-daya makanan, uang, dan devisa) masing-masing negara. Sebagai
catatan, butir-butir potensi-potensi keuntungan dan kerugian yang dituliskan oleh penulis ini
(pendapat pribadi) cenderung ditujukan pada negara-negara yang berpenduduk banyak dan
tidak kaya. Sebagai tambahan, karena memang ada unsur overlap-nya, maka ada sebagian

Halaman: 254 349


Potensi keuntungan:
a) Secara logis/teoritis, jumlah kasus-kasus aktif dan baru/hariannya akan
menurun dalam waktu yang singkat (hingga akhirnya masyarakatnya dapat
beraktivitas seperti biasa/normal). Tetapi (khususnya di Indonesia) hal ini,
jika dipaksakan, tanpa jaminan dan juga tidak pasti (hanya hipotesa) 333.
b) Volume transaksi online meningkat drastis:
• Work from home (WFH) menjadi sangat lazim.
• Peluang (volume transaksi) bisnis (jasa) pengiriman barang makin besar.
• Peluang (volume transaksi) bisnis yang berbasis rumahan (produk barang
& jasa) meningkat (fleksibel).
• Aplikasi dan jasa-jasa periklanan, pemasaran, jual-beli, keuangan, dan
pembayaran yang berbasis online makin luas.
• Sistem pengajaran jarak jauh (online) menjadi umum/biasa.
c) Secara umum, tingkat polusi (darat, laut, dan udara) cenderung menurun.
Oleh sebab itu, pada periode itu, bumi cenderung lebih sehat, bersih, dan
segar, meskipun volume sampah rumah tangga berpotensi untuk
bertambah334. Sementara itu, di hutan, danau, sungai, dan laut, potensi
perkembangan flora dan fauna menjadi lebih baik335.
Potensi kerugian:
a) Kebutuhan sehari-hari masyarakat seperti halnya makanan, minuman, obat-
obatan, vitamin, dan lainnya menjadi tanggungan (beban) pemerintah. Inilah
hal yang paling berat; pada saat ini, jumlah penduduk Indonesia sudah
mencapai ratusan juta jiwa sementara Indonesia tidak termasuk sebagai
negara yang kaya (makmur).
b) Prosedur pemeriksaan/penanganan kesehatan (pada orang-orang yang baru
sakit atau masih dalam perawatan) menjadi tidak sederhana:

kesamaan butir-butir potensi kerugian/keuntungan penerapan lockdown dengan butir-butir


potensi dampak-dampak Covid-19 (sub-bab 9.16 di bawah).
333
Masih sangat bergantung pada prilaku masyarakatnya; baik secara individu maupun
kelompok. Sebab, jika ternyata mereka tidak disiplin (sulit diatur) untuk tinggal di rumah
(sebagaimana keharusan di dalam kebijakan lockdown), maka intensitas interaksi sosialnya
tetap tinggi dan pelanggaran pelaksanaan protokol kesehatan pun terjadi hingga jumlah
kasus barunya tetap naik. Kuncinya ada pada prilaku masyarakatnya; jika masyarakatnya
disiplin, taat aturan, tidak banyak “orang aneh” di dalamnya, dan para elitnya kompak, maka
solusi lockdown patut dipertimbangkan.
334
Karena hampir semua anggota masyarakat tinggal lebih lama di rumah masing-masing,
maka produksi sampah rumah tangga menjadi maksimal sementara armada angkutan
sampah belum tentu secara rutin mengangkut dan mendistribusikannya ke tempat
pembuangan akhirnya (karena sebagian karyawan tidak bekerja, PHK, atau WFH).
335
Meskipun demikian, di beberapa tempat seperti halnya kebun binatang, karena terkait
dengan sektor pariwisata yang “redup” oleh pandemi Covid-19, taman safari, taman
laut/bahari, dan lokasi wisata di dunia lainnya, beberapa jenis tanaman dan hewan tertentu
bisa jadi kurang atau tidak terurus hingga menyebabkan mereka menjadi tidak sehat atau
bahkan mati karena kurang atau tidak ada dana yang masuk untuk memenuhi kebutuhan
mereka.

Halaman: 255 349


• Sumber-daya (yang terkait dengan) medis/kesehatan terkonsentrasi pada
penanganan Covid-19; yang lain menjadi prioritas berikutnya.
• Penanganan penyakit aktual (selain Covid-19) cenderung tertunda oleh
prosedur penanganan Covid-19; kematian (penderitaan) akibat penyakit
non-Covid-19 (termasuk yang memiliki penyakit penyerta) cenderung
meningkat.
• Negara sangat banyak menghabiskan sumber-daya, waktu, dan
dananya336 (menanggung biaya makan, minum, pembentukan satgas,
bantuan sosial, biaya tes rapid/PCR/Swab, APD, fasilitas perawatan, obat-
obatan, vaksin, dan lain sejenisnya) untuk segera meredakan dampak
pandemi Covid-19.
c) Hampir semua proses pembelajaran, perkuliahan, komunikasi & transaksi
bisnis, dan rapat di perkantoran menjadi berbasis aplikasi online:
• Perlu kesiapan (pembiasaan) mental dan pengadaan pelatihan: guru,
murid, mahasiswa, karyawan, pegawai pemerintah, dan lain sejenisnya.
• Perlu pengadaan, pemasangan, dan pembiasaan sarana komunikasi
online (komputer, laptop, tablet, telepon genggam, fasilitas jaringan
internet, provider internet, uang pulsanya, dan aplikasinya: google meet,
zoom, dan lain sejenisnya).
• Kualitas (hasil) pendidikan/pengajaran cenderung turun337.
d) Anak-anak dan remaja (anak sekolah dan mahasiswa) tidak dapat bermain
dan bergaul (beraktivitas dan berinteraksi) di luar rumah seperti biasanya;
kemungkinan berefek psikologis hingga sebagian memerlukan penanganan.
e) Tempat atau sarana kerja (sawah, ladang, kebun, kolam, kantor, toko, pabrik,
gudang, bengkel, rumah sakit, klinik, dan lain sejenisnya), alat bantu kerja/
produksi barang dan jasa (alat berat, mesin, komputer, instalasi listrik,
peralatan elektronik, dan sebagainya yang terletak di luar rumah penduduk),
dan infrastruktur (jalan, jembatan, pelabuhan, saluran, dan lain sejenisnya)
cenderung tidak/kurang terawat dan/atau rusak.
f) Aktivitas ekonomi segera lumpuh.
• Di periode awalnya, sebagian masyarakat tergoda untuk panic buying;
terjadi kelangkaan dan naiknya harga barang (bahasan sebelumnya).

336
Sebagian diperoleh dengan cara berhutang; perhatikan uraian pada pustaka (Kompas,
2021f).
337
Memang, dengan kebiasaan baru dalam proses belajar-mengajar via online, baik guru dan
murid akan mendapatkan pengalaman baru dengan teknologi yang pada awalnya
menyenangkan. Meskipun demikian, jika hal ini terus berlangsung sekian lama, hal ini bisa
jadi akan memunculkan rasa kebosanan. Bagaimana pun juga, manusia perlu bersosialisasi
dan berkomunikasi secara langsung dan tatap-muka hingga dapat mengekspresikan apa
yang benar-benar diperlukannya; sosialisasi dan komunikasi tatap-muka antara guru dan
murid dan antara seorang murid dengan sesama murid yang lain. Mereka merindukan
suasana sekolah/kampus. Efek jangka panjangnya cukup jelas, kualitas pendidikan menurun,
meskipun memang hal ini belum diketahui seberapa jauh. Selain itu, jika kebiasaan ini terus
berlangsung, kebiasaan anak untuk bersosialisasi (budaya bergaul, bermain, dan saling
peduli/empati) dengan sesamanya tidak dapat berjalan semestinya.

Halaman: 256 349


• Terjadi PHK, peluang usaha & kerja menyempit, terjadi pengangguran
besar-besaran, tenaga kerja tak memiliki pekerjaan dan penghasilan.
• Masyarakat (terutama kelas menengah ke bawah) yang berbasis ekonomi
transaksi harian, mingguan, atau UMKM (buruh, pedagang kaki lima,
asongan, warung, dan lain sejenisnya) tidak akan memiliki pendapatan.
• Produksi barang & jasa menurun, nilai import meningkat, sementara nilai
eksport menurun drastis.
• Pendapatan negara berkurang, sementara cadangan devisa menurun.
• Harga barang (termasuk BBM) naik, nilai mata uang anjlok, dan daya beli
masyarakat merosot tajam.
• Aktivitas pembangunan cenderung terhenti atau melambat sementara
hutang luar negeri meningkat.
g) Angka/tingkat kemiskinan masyarakat meningkat.
h) Terjadi kondisi ketidak-pastian, jumlah penduduk miskin melonjak, sebagian
besar anggota masyarakat kelaparan, kesal, frustasi, emosi, marah, terjadi
gejolak, kekacauan, penjarahan, dan kerusuhan.
i) Negara terancam bubar (dalam jangka panjang).
Mengapa Sebagian Negara Tidak Menerapkan Lockdown
Meskipun (nampaknya) efektif dalam menurunkan jumlah kasusnya dalam waktu
yang singkat, ternyata justru banyak negara tidak menerapkan kebijakan lockdown338
di negerinya dalam menghadapi pendemi Covid-19. Sebagian dari alasannya adalah
karena negara yang bersangkutan339:
1) Belum/tidak memiliki payung hukum yang khusus membahas (terminologi,
persiapan, dan pedoman penerapan) ”Lockdown”.
2) Tidak memiliki sumber daya dan/atau dana (cadangan) yang cukup untuk
menanggung (konsekuensi logis) seluruh kebutuhan hidup masyarakatnya
selama masa lockdown yang direncanakan.
3) Menyadari bahwa – berdasarkan pemahaman terhadap konsepnya, sifat/
karakter rakyatnya, alternatif penerapannya, dan pengalaman beberapa
negara yang pernah menerapkannya (bahkan hingga beberapa kali) –
(penerapan) kebijakan lockdown bukan solusi yang tepat baginya. Mereka
berfikir bahwa tidak ada jaminan (100%) atau kepastian bahwa pada akhirnya
penerapan lockdown akan menurunkan jumlah kasusnya dan segera
menghentikan penyebaran virus, sementara itu resiko kelumpuhan ekonomi
sudah pasti. Lockdown sebagai solusi adalah sebuah hipotesa.
4) Menyadari bahwa penerapan lockdown sangat beresiko; menyebabkan
kelumpuhan ekonomi dalam waktu singkat, sementara proses pemulihannya
memerlukan waktu yang panjang, mekanisme pemulihannya tidak mudah
(harus kerja dengan keras), mental yang kuat, dan modal yang cukup besar.

338
Beberapa (oknum) politikus menyarankan untuk segera menerapkan kebijakan lockdown.
339
Ini pendapat pribadi penulis. Sebagian negara bisa jadi telah dan/atau pernah melakukan
lockdown secara maknawi dengan batasan/lingkup tertentu dan dengan menggunakan
istilah yang berbeda.

Halaman: 257 349


5) Menyadari bahwa penerapan lockdown cenderung menyebabkan (sebagai
efek samping) anggota masyarakatnya (anak-anak, remaja, dan dewasa)
merasa bosan, murung, harus beradaptasi terhadap kondisi baru, frustasi,
dan tekanan mental lainnya, selain juga mengalami kehilangan pekerjaan
(PHK), dan peningkatan angka kemiskinan (yang semuanya memerlukan
penanganan khusus meskipun sebagian di antaranya tidak secara langsung
muncul di permukaan).
6) Menyadari bahwa sebagian masyarakatnya bersifat cepat bosan, sulit diatur,
kurang disiplin, memiliki intensitas interaksi sosial yang tinggi, dan tidak
betah tinggal di rumah dalam jangka panjang (permasalahan yang telah
disinggung pada sub-bab 9.8 [sifat & sikap masyarakat] di atas) hingga jika
kebijakan lockdown dipaksakan, maka kelumpuhan ekonomi pasti akan
terjadi, sementara penurunan jumlah kasusnya (yang menjadi tujuan
lockdown) mungkin saja tidak akan terjadi; kerugian yang sangat besar.
7) Menyadari bahwa wilayah negaranya cukup luas, berbatasan dengan banyak
negara, dan memiliki banyak unsur geografis (tertentu) yang menyebabkan
banyaknya pintu masuk/keluar (buatan dan alami) yang tidak mudah untuk
diawasi untuk setiap saatnya tanpa dana dan sumber-daya (petugas) yang
memadai. Pada kondisi ini, dampak penerapan lockdown akan merugikan,
apalagi jika anggota masyarakatnya sudah merasa jenuh, bosan, frustasi, sulit
diatur, cerewet, tidak tegas, dan kurang disiplin; penurunan kasusnya bisa
saja tidak tercapai, sementara kelumpuhan ekonominya sudah pasti akan
terjadi (kerugian yang sangat besar).
8) Mengingat sifat masyarakatnya ”ada yang aneh” (bahasan sub-bab 9.8 [sifat
& sikap masyarakat]) dan juga terjadi butir 6) dan 7) di atas, maka
perdebatan, kritikan, dan kegaduhan di masyarakat terkait kebijakan yang
diambil (lockdown) akan selalu ada (tetap memusingkan pihak pengambil
keputusan). Boro-boro lockdown, PPKM aja didemo oleh sebagian (kecil)
orang/pihak.

Halaman: 258 349


Gambar 9.27: Sebab-Akibat Penerapan Lockdown
Penolakan Elemen Masyarakat di Beberapa Negara Terhadap Lockdown
Sebagian elemen masyarakat, karena beberapa alasan, memang sudah menolak
penerapan lockdown sedari awal. Demikian pula halnya dengan sebagian masyarakat
di beberapa negara yang pernah menerapkan kebijakan lockdown. Setelah pandemi
Covid-19340 berjalan sekitar setahunan, mereka merasakan kerugian ekonomi dan
kejenuhan yang ditimbulkannya; mereka menolak untuk menerapkannya kembali.
Sebagian dari masyarakat tersebut adalah Libanon, Perancis, Belanda, dan Jerman.
a) Libanon diselimuti ketegangan setelah unjuk rasa untuk menolak penerapan
kebijakan lockdown memasuksi hari ketiga. Unjuk rasa yang dilakukan pada
Rabu 27 Januari 2021 itu berujung ricuh; sampai terjadi penembakan peluru
karet, pelemparan bata, bom molotov, pembakaran kendaraan, dan
menimbulkan puluhan korban luka-luka341.
b) Di Perancis, di Paris & Marseille dan beberapa kota lainnya, pada Selasa 26
Januari 2021, guru dan mahasiswa melakukan aksi mogok sebagai bentuk

340
Covid-19, nampaknya, tidak seperti wabah “alami” yang biasa seperti halnya DB, tipus,
flue, cacar air, dan lain sejenisnya. Ia memiliki “daya dorong”dan kemampuan untuk
“menakut-nakuti” yang luar biasa besar selain juga berefek pada fisik (sakit dan kematian),
psikologis, ekonomi, sistem keuangan, perlunya kebijakan pemerintah, dan potensi
keributan (gesekan) di tengah masyarakat (terkait penerapan kebijakan tertentu yang
dibuat).
341
Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada pustaka (Tempo, 2021).

Halaman: 259 349


protes untuk menuntut perlindungan yang lebih baik terhadap bahaya Covid-
19. Mereka sudah merasa bosan menggunakan aplikasi zoom sebagai fasilitas
pembelajaran online. Mereka ingin datang langsung ke kampus/sekolah;
tidak menginginkan lockdown lebih lama lagi342.
c) Di Belanda, khususnya di lebih dari 10 kotanya, pihak kepolisian telah
menahan ratusan demonstran pada Senin sore 25 Januari 2021. Unjuk rasa
ketiga yang menentang jam malam dan kebijakan lockdown ini menjadi
kerusuhan nasional yang terburuk di Belanda dalam 40 tahun terakhir ini343.
d) Kepolisian Jerman mengerahkan meriam air dan penyemprot merica kepada
sekitar 20 ribu demonstran yang menolak kebijakan lockdown dan aturan
virus corona. Langkah ini dilakukan setelah unjuk rasa ini berubah menjadi
aksi kekerasan344.

9.15 Data Vs. Model Epidemik


Berdasarkan pembahasan dan tampilan sampel data (grafik/kurva) yang muncul di
sub-bab 7.5.2 beserta pengamatan grafik/kurva pada website WorldOmeters345,
apalagi jika dibuatkan kurva-kurva trend-nya, maka nampak bahwa grafik/kurva
kasus aktif346 dan kasus (inveksi) harian/baru347 memiliki bentuk atau pola umum
(garis trend) yang mirip, serupa atau bersesuaian; perbedaannya (yang mencolok)
hanya pada skala angkanya (ukurannya) saja. Dengan demikian, pola/bentuk kurva
kasus aktif sampel data Covid-19 dapat diprediksikan melalui kurva sampel data
kasus hariannya. Dan, jika diamati lebih jauh lagi, maka nampak bahwa pola kurva
kasus aktif di setiap negara cukup bervariasi (masing-masing memiliki keunikan
tersendiri), tidak sama (signifikan) dengan pola kurva sakit/terinfeksi (I) yang dimiliki
oleh model-model epidemik (konvensional) SIR, SIRS, dan lainnya. Konsekuensinya,
jika analisis ini benar, maka sampel data Covid-19 menjadi tidak sesuai/cocok (terlalu
dipaksakan) jika didasarkan pada model epidemik konvensional SIR, SIRS, dan lain
sejenisnya. Meskipun demikian, sifatnya yang memungkinkan untuk tertular dan
atau rentan kembali membuktikan bahwa fenomena Covid-19 lebih dekat ke model
SIRS ketimbang SIR. Hanya saja data Covid-19 yang terpublikasikan tidak memadai
jika dimodelkan sebagai SIRS. Tetapi jika dimodekan sebagai SIR (karena datanya ada
meskipun plus asumsi), maka berarti peracang modelnya menafikan kenyataan
bahwa pada fenomena Covid-19 telah terjadi peristiwa-peristiwa perentanan (SIRS)
dan penularan (re-infection) kembali.
Seperti nampak pada sebagian hasil simulasi pada bab-bab sebelumnya (terutama
sub-bab 7.5), terdapat perbedaan yang signifikan antara kurva hasil plot model SIR
dengan data real epidemiknya; makin lama makin melenceng. Berdasarkan gambar-
gambar pada sub-bab 7.5, terutama untuk jangka waktu menengah dan panjang,

342
ibid.
343
ibid.
344
Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada pustaka (Tempo, 2021a).
345
https://www.worldometers.info/coronavirus/country/.
346
Perhatikan juga grafik-grafik “Active cases” (number of invected people) pada website
WorldOmeters.
347
Perhatikan juga grafik-grafik “Daily new cases” pada website WorldOmeters.

Halaman: 260 349


apalagi telah mencapai gelombang kedua dan berikutnya, maka dapat disimpulkan
bahwa data Covid-19 tidak/belum sesuai jika di-fit-kan dengan model-model biologi/
epidemik konvensional sebagaimana dibahas pada bab 2 & 3. Model epidemik
konvensional bersifat konsisten (berpola khas), sedangkan sampel data epidemik
Covid-19 (real) cenderung bersifat kasustis; kapan dan di negara mana saja sangat
mungkin berbeda; setiap negara memiliki kurva yang berbeda. Prilaku manusianya
(dan kondisi sosialnya) sangat berpengaruh (lokal dan temporal).
Jadi, memang tidak mudah untuk mem-fit-kan sampel data Covid-19 dengan model.
Secara konseptual, keduanya memang berbeda. Sampel data epidemik adalah
rekaman/catatan yang sakit (kasus aktif, terinfeksi, atau dirawat), sembuh/kebal,
mati, dan lainnya, sementara model konvensional (prediksi) merupakan hasil
komputasi yang melibatkan rumus-rumus matematis dengan asumsi tertentu. Oleh
sebab itu, adalah wajar jika keduanya berbeda. Kesamaan atau kedekatan keduanya
adalah kebetulan yang sangat langka. Nilai keduanya memang tidak diharuskan sama
meskipun, terkadang, memang, manusia menginginkannya demikian demi ”rasa
kepuasan”.
Jika sampel datanya cukup fit dengan model konvensionalnya, maka modelnya dapat
memprediksikan sampel datanya dengan baik. Meskipun demikian, sebenarnya, yang
lebih penting itu adalah mempersiapkan (cara/prosedur) pengumpulan sampel
datanya hingga yang diperoleh benar-benar representatif (kesalahannya dianggap
kecil) dan mendapatkan fakta di lapangan yang menjadikan kita semua (pengguna
data) mengerti betul kondisi atau hal yang menyebabkan datanya menjadi seperti itu
(apa yang tersedia). Sehubungan dengan hal ini, tabel 9.2 di atas memperlihatkan
contoh sederhana mengenai rekaman item data yang dianggap benar, item yang
tercatat, dan item catatan mengenai kondisi, fakta, atau hal yang menyebabkan
sampel datanya menjadi demikian. Dengan memahami fakta, hal, atau kondisi yang
mempengaruhi sampel datanya, sebagai umpan-balik, maka akan tersedia potensi
(proses) perbaikan yang dapat dilakukan pada masa yang akan datang. Jadi,
meskipun bermanfaat untuk menghasilkan (nilai-nilai & kurva) prediksi, nampaknya,
kedekatan antara sampel data dengan prediksi modelnya tidak selalu menjadi tujuan
utama.
Untuk mendapatkan keterangan, fakta mengenai kondisi348, atau hal yang dimaksud
di atas, maka yang juga perlu dilakukan di (antaranya) adalah:
1) Periksalah, sejauh mana pelaporan dan pencatatan kasusnya, apakah masih
memungkinkan terjadinya suatu keterlambatan dan duplikasi data.
2) Periksalah, sejauh mana kemungkinan terjadi duplikasi data yang disebabkan
oleh keterlambahan.

348
Keterangan, deskripsi, fakta, atau pemahaman mengenai kondisi/hal yang menyebabkan
datanya menjadi seperti itu (baik secara langsung maupun tidak langsung) adalah sangat
berharga. Catatan ini hendaknya dibuat pada waktunya, jika terlambat, sebagian dari
detilnya yang penting bisa jadi terlupakan. Negara (juga kita semua) memerlukan catatan-
catatan ini sebagai bahan pembelajaran. Suatu sampel data (termasuk epidemik), yang tidak
dilengkapi dengan pemahaman atau keterangan seperti ini bisa jadi akan kehilangan makna.
Keterangan beserta pemahaman seperti ini lebih berharga dari pada kedekatan suatu
sampel data terhadap modelnya.

Halaman: 261 349


3) Periksalah, sejauh mana terjadi kesalahan ketik (blunder).
4) Perhatikan, sejauh mana masyarakat menerapkan protokol kesehatan (3M
atau 5M).
5) Perhatikan, sejauh mana terjadinya kasus klaster baru; apa sebabnya,
bagaimana hasil tracing-nya, bagaimana perkembangan kasusnya, dan sejauh
mana kontribusinya pada data kasus harian Covid-19.
6) Perhatikanlah, sejauh mana lembaga, kantor, industri, pasar, toko, dan lain
sejenisnya menerapkan butir-butir ketentuan protokol kesehatan, karantina
wilayah, PSBB, dan PPKM (persentase WFH, WFO, isolasi, karantina, jumlah
kedatangan, dan lain sejenisnya) pada aturan internalnya sebagaimana telah
ditetapkan (sesuai dengan level kewaspadaannya).
7) Perhatikan, sejauh mana pengaruh karantina wilayah, PSBB, dan/atau PPKM
per wilayah pada penurunan jumlah kasus dan (tingkat/aktivitas) ekonomi.
8) Perhatikan, sejauh mana pengaruh sosialisasi kebijakan terkait Covid-19
(apakah telah dilakukan dengan baik?). Sejauh mana pemahaman
masyarakat terhadap sosialisasi tersebut?
9) Perhatikan, sejauh mana efektivitas penerapan kebijakan yang telah dibuat.
Apakah kebijakannya perlu ditambah, atau sudah cukup; hanya efektivitas
penerapannya saja yang perlu ditingkatkan.
10) Perhatikan, sejauh mana individu-individu yang telah memiliki kekebalan
alami, tervaksinasi, dan/atau pernah mengalami terapi plasma konvalesen
dapat terinfeksi kembali oleh varian virus yang sama atau berbeda.
11) Perhatikan, sejauh mana efektivitas (dan efikasi) vaksin-vaksin yang beredar.
12) Perhatikan sejauh mana sikap masyarakat terhadap pandemi Covid-19 baik
dalam jangka pendek maupun panjang; panik & stres, under/over-estimate &
orang aneh, kurang disiplin, kurang peduli/ego, kejujuran & tanggung-jawab,
yang tidak terperiksa, dan yang ter-covid-kan.

9.16 Dampak-Dampak Covid-19


Secara umum, Covid-19 tentu saja berdampak negatif; sangat merugikan. Bukti nyata
(kecemasan, kesulitan, penderitaan, kematian, kerugian ekonomi, dan biaya-biaya
yang telah dikeluarkan) dan pendapat semua orang juga menyatakan demikian.
Artinya, kehadiran pandemi Covid-19 memang berdampak negatif (sangat merugikan
manusia). Meskipun demikian, walaupun tidak semua orang sepakat, jika secara
sengaja dicari-cari, dan juga digunakan kacamata positif (objektif) dalam pengertian
bahwa si pengamat atau pemerhati mau menerima dan mensyukuri apa pun yang
terjadi dan kehidupan ini masih akan terus berlanjut (baik dengan atau tanpa
dirinya), maka bisa jadi, kehadiran pandemi Covid-19 pun memiliki beberapa dampak
(hikmah349) positif (ada sisi baiknya cepat atau lambat) meskipun kenampakannya
sangat pahit; catatan sejarah, pengalaman, dan pelajaran yang menjadi warisan
berharga akan menguatkan mental generasi berikutnya untuk tetap survive dengan

349
Sebagai contoh hikmah, perhatikan bencana lumpur Lapindo (di Sidoarjo Provinsi Jawa
Timur) yang terjadi beberapa tahun yang lalu dan sangat menyesakkan masyarakat lokal dan
pemerintah. Tetapi baru-baru ini para peneliti menemukan banyak kandungan
mineral/logam yang sangat berharga di wilayah itu; rare earth (logam tanah jarang),

Halaman: 262 349


”kondisi lingkungan dan kebiasaan yang bisa jadi bersifat baru” (new normal dalam
pengertian yang luas).

9.16.1 Dampak Negatif


Ada pun dampak negatif350 pandemi Covid-19 bagi masyarakat adalah:
a) Terutama di periode awal, sebagian orang terinfeksi (dengan beberapa gejala
yang berkadar ringan hingga berat) dan bahkan sebagian meninggal dunia
(murni karena sebab Covid-19, karena kombinasi penyakit penyerta & Covid-
19, dan karena sebab-sebab lainnya).
b) Karena penularan Covid-19 pada umumnya melalui (media) tetesan, droplet,
dan/atau udara yang dihasilkan ketika batuk, bersin, atau berbicara, maka:
• Penyebaran Covid-19 sangat efektif dan cepat; terutama antar-manusia
ketika mereka sedang berinteraksi sosial (tatap-muka) secara langsung.
• Gejala-gejala batuk, pilek, dan bersin (meskipun sesekali dan disebabkan
oleh faktor-faktor lain seperti halnya alergi) pada seseorang cenderung
menyebabkan: (1) tetangga, anggota keluarga, teman, atau rekan kerja
curiga, dan menjauh (hubungan sesama manusia menjadi renggang); dan
(2) tenaga kesehatan menjadi lebih waspada (prosedur pemeriksaan
penyakit menjadi lebih panjang)351.
• Karena cara yang paling efektif untuk menghindarinya adalah dengan
mencegah/mengurangi interaksi/kontak langsung, dan tatap-muka (yang
tanpa APD), maka cara ini pula yang secara efektif akan menyebabkan
kebutuhan dan kebiasaan komunikasi langsung, interaksi sosial,
pertemanan & pergaulan, dan aktivitas penting (ekonomi, bisnis, jual-beli,
pendidikan, ibadah bersama, dan lain sejenisnya) menjadi tidak berjalan
semestinya.
c) Terutama di awal352 periode pandemi hingga beberapa bulan kemudian,
materi atau isi berita dari (hampir) semua media masa cetak, online, dan TV

350
Nilai total dari butir-butir dampak negatif (baik secara mikro maupun makro) dari Covid-
19 ini tentu saja sulit diukur secara eksak (terutama yang dikeluarkan oleh elemen-elemen
masyarakat dan badan usaha milik non-pemerintah karena laporannya tidak tersedia). Selain
itu, sebagian butir dampak merupakan pengaruh atau efek-samping dari butir-butir dampak
yang lain. Relasi timbal-balik antar-butir dampak ini tidak mudah untuk dinarasikan dengan
kata-kata semata. Apalagi, relasi ini bersifat dinamis. Oleh sebab itu, biasanya, deskripsi
mengenai butir-butir dampak ini disertai dengan diagram sebab-akibat yang sebagian di
antaranya bisa jadi dapat dimodelkan dengan menggunakan simulasi model sistem dinamis
(dengan pendekatan dan asumsi tertentu).
351
Prosedur pemeriksaan Covid-19 didahulukan sementara yang lain dilakukan setelahnya.
Kondisi ini membuat sebagian pasien penyakit non-Covid-19 menunda jadwal
pemeriksaannya dan/atau enggan untuk memeriksakan diri/kontrol kesehatan.
352
Tetapi sejak di awal 2022 pemberitaan mengenai Covid-19 sudah cukup mereda,
masyarakat nampak sudah tidak begitu terganggu dengan berita-berita mengenai Covid-19,
dan kehidupan nampak mulai normal seperti sebelum pandemi.

Halaman: 263 349


didominasi oleh dampak-dampak negatif pandemi Covid-19 yang dahsyat
dan mengerikan (baik di dalam maupun luar negeri)353.
d) Terutama di periode awal pandemi hingga beberapa bulan kemudian, akibat
butir-butir a), b), dan penerapan kebijakan, aktivitas-aktivitas terkait
kesehatan, kedokteran, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan, dan lain
sejenisnya sangat terkonsentrasi pada dampak/penanggulangan Covid-19:
• Pengadaan obat, vitamin, vaksin, APD, tenaga medis (nakes), fasilitas
pelayanan kesehatan, manajemen urusan Covid-19, dan lain sejenisnya.
• Terjadi (beberapa kasus) penimbunan APD dan pemborongan obat dan
barang (terutama sembako) oleh (oknum) anggota masyarakat (yang
panik). Meskipun hanya berlangsung beberapa saat saja, hal ini pernah
menyebabkan APD (terutama masker) dan obat/vitamin tertentu menjadi
langka dan mahal, demikian pula halnya dengan barang tertentu.
• Fasilitas pelayanan kesehatan (faskes) kebanjiran pasien Covid-19 dan
jumlah tenaga kesehatan (nakes) makin terbatas; persentase bed
occupancy ratio (BOR) cenderung tinggi (faskes penuh oleh pasien Covid-
19); menyisakan sedikit tempat untuk penderita penyakit yang lain.
Karena kondisi ini, sebagai efek samping, muncullah klaster baru secara
tak terduga.
• SDM kesehatan (nakes), prosedur deteksi, pemeriksaan, dan pelayanan/
fasilitas (faskes) bagi Covid-19 didahulukan (prioritas), sementara yang
lain dilakukan setelahnya (bukan prioritas). Untuk pasien non-Covid-19
pun pemeriksaannya diawali dengan tes Covid-19 demi keamanan. Oleh
sebab itu, (tidak sedikit calon) pasien (selain Covid-19) yang enggan atau
setidaknya menunda (jadwal) pemeriksaan penyakitnya; muncul resiko
penderitaan dan/atau kematian karena sebab non-Covid-19.
• Diberlakukannya (diwajibkan) test atau syarat (surat) bebas (negatif)
Covid-19 bagi orang yang akan bepergian (menggunakan moda
transportasi tertentu) ke luar kota, luar negeri, atau berkunjung ke
institusi tertentu (dengan masa berlaku tertentu). Selain itu, pengeluaran
rutin untuk pembelian APD (terutama masker) untuk memenuhi syarat
protokol kesehatan juga menjadi tanggungan masyarakat. Dan, pada
beberapa kasus dimana terdapat anggota keluarga yang terkena Covid-
19, sebagian dari pengeluarannya untuk tes antigen/swab/PCR (mandiri),
membeli obat & vitamin, dan lain sejenisnya juga menjadi tanggungan
masyarakat. Tentu saja hal ini menjadi beban354 bagi masyarakat.

353
Pemberitaan yang heboh & masif dapat bisa berdampak negatif (di luar isi/materi
pemberitaannya itu sendiri); menyisakan sifat/kondisi kepanikan masal, pesimisme, atau
cara pandang yang negatif. Di lain pihak, lama-ke-lamaan, bisa jadi, karena rasa kebosanan
atau kejenuhan, maka suatu saat berita-berita dari media mengenai (bahaya dan korban-
korban) Covid-19 akan surut atau mereda juga dengan sendirinya dan oleh karenanya
banyak orang yang lalai terhadap bahaya virus ini, sementara virus ini masih mengancam
(bergentayangan); suatu saat banyak orang sudah tidak peduli lagi.
354
Memang, sebagian dari pengeluaran ini juga ditanggung oleh pemerintah (instansi
pemerintah dimana kepala rumah tangganya bekerja dan/atau puskesmas dimana mereka
berada) pada beberapa kondisi atau event tertentu. Tetapi di luar itu, pengeluarannya harus

Halaman: 264 349


• Hasil analisa/test (terutama ”reaktif” & ”non-reaktif”) antara lab. satu
dengan yang lain masih memungkinkan berbeda hingga membingungkan
masyarakat. Status ”reaktif”, yang dalam beberapa kasus ternyata tidak
terbukti positif, terkadang sudahdianggap bermasalah (sebagian orang
telah menerima ”sangsi sosial”) karena ketidak-tahuan masyarakat.
e) Butir a) c) dan d) menyebabkan pengeluaran biaya yang sangat besar (bagi
masyarakat dan pemerintah).
f) Sangat banyak aktivitas luar rumah (ke kantor, bekerja, berjualan, berbisnis,
sekolah, kuliah, beribadah, seminar, perayaan, resepsi, tontonan olah-raga,
dan lain sejenisnya) yang terhenti (dilarang untuk sementara waktu) akibat
penerapan beberapa kebijakan355: karantina wilayah, PSBB, PPKM, PPKM
mikro, PPKM darurat, dan/atau turunannya (kebiasaan bermasker, jaga jarak,
peliburan, work from home, sekolah/kuliah online, pembatasan jam kerja/
pelayanan, protokol kesehatan, dan lain sejenisnya).
g) Kemunculan sifat/sikap negatif (cenderung ekstrims, frustasi, marah, aneh,
kurang realistis, atau bahkan tidak proporsional) sebagian masyarakat secara
langsung atau tidak langsung telah meningkatkan jumlah kasus infeksi
(berkontribusi pada butir-butir a dan c) dan/atau memerlukan penanganan:
• Di periode awal pandemi, muncul sifat under-estimate, over-estimate,
paranoid, kepanikan, stress, kegelisahan, putus asa, dan lain sejenisnya.
• Di periode menengah hingga akhir pandemi, muncul kecenderungan sifat
bosan, terbebani, jenuh, gelisah, frustasi, dan lain sejenisnya yang dapat
menyebabkan penurunan kedisiplinan (tidak peduli) dalam menjalankan
protokol kesehatan dan kebiasaan hidup sehat.
h) Akibat butir e) di periode awal hingga menengah:
• Banyak aktivitas ekonomi/bisnis/perdagangan terhenti, tutup, tiarap atau
setidaknya berjalan tersendat dan merugi.
• Hutang pribadi, perusahaan, dan negara bertambah356.
• Banyak proyek/pembangunan macet atau ”mangkrak” untuk sementara.
• Penurunan supply barang dan jasa.
• Kecenderungan kenaikan357 harga (atau penurunan kualitas/ukuran)
barang dan jasa.
i) Akibat butir g):
• Pendapatan pribadi, masyarakat, dan perusahaan358 (pemerintah, swasta,
wira-swasta, dan individual) menurun drastis.

ditanggung oleh yang bersangkutan atau lembaga (swasta) dimana yang bersangkutan
bekerja.
355
Kebijakan-kebijakan ini dibuat (karena jumlah kasusnya masih meningkat) untuk
menurunkan jumlah kasusnya atau menghentikan sebaran Covid-19.
356
Perhatikan pustaka (Kompas, 2021f).
357
Tetapi karena juga ada penurunan demand yang disebabkan oleh sikap hati-hati, “tiarap”,
dan penurunan daya-beli masyarakat, maka juga terdapat beberapa penurunan harga pada
beberapa tipe barang; terutama barang-barang yang berharga tinggi, mahal, atau mewah.
358
Hasil survey kementerian ketenaga-kerjaan memperlihatkan bahwa sekitar 88%
perusahaan terdampak pendemi Covid-19 selama 6 bulan terakhir, pada umumnya dalam

Halaman: 265 349


• Lebih banyak lagi hutang-piutang (pemerintah, swasta, wira-swasta, dan
pribadi) yang macet atau belum terselesaikan (terutama membesarnya
tunggakan dan cicilan hutang beserta segala akibatnya)359.
• Meredupnya (sebagian dari itu bahkan mati)360, terutama di awal hingga
menengah periode pandemi, beberapa bidang usaha/bisnis (mall/super-
market361, bimbingan belajar/lembaga kursus (offile), perhotelan,
parawisata, event/wedding organizer, airliner, agen travel dan perjalanan
umroh/haji, produksi video/film, restoran besar, bar, salon, pijat/SPA,
cukur, bioskop, penyewaan gedung [untuk konser musik, olah-raga,
pameran, dan resepsi], hiburan malam, pertunjukkan musik/sirkus
/teater, jual-beli mata valas, pusat kebugaran/fitness, properti, otomotif,
show-room, bisnis retail/toko eceran besar, dan lainnya).
j) Akibat butir-butir g) dan h):
• Banyak karyawan mengalami work from home.
• Sebagian karyawan mengalami penundaan pembayaran gaji, ”potong-
gaji”, ”dirumahkan”, hingga PHK.
• Angka (tingkat) pengangguran meningkat.
• Pendapatan masyarakat dan pemerintah menurun drastis.
• Munculnya orang miskin baru dan meningkatkan angka kemiskinan.
• Perlu penanganan bagi korban PHK.
k) Akibat butir i):
• Belanja (daya beli dan demand) masyarakat turun drastis.
• Banyak hutang-piutang yang belum terselesaikan.
• Pertumbuhan ekonomi turun drastis.
• Kegelisahan masyarakat meningkat.
l) Akibat g), h), i), dan j), kebutuhan (demand) mengenai produk-produk yang
tergolong sekunder dan tersier (apalagi tergolong mahal/tinggi harganya)
cenderung meredup; industrinya juga turut menyurut.
m) Akibat butir-butir e), f), g), h), i), dan j), jika jumlah kasus hariannya (baru)
dan dianggap aman, maka penerapan kebijakannya (intervensi) dapat
diperlonggar seperlunya (mengurangi pengaruh butir e) untuk meningkatkan
ekonomi.

kondisi merugi. Bahkan, disebutkan bahwa 9 dari 10 perusahaan di Indonesia terdampak


langsung pendemi Covid-19. (Kemnaker, 2020).
359
Perhatikan juga pustaka (Kompas, 2021f).
360
Sebagian kasus juga disebabkan oleh karena meningkatnya jumlah penawaran barang
secara online (baik secara langsung maupun yang melalui situs-situs belanja online) yang
lebih murah, biaya operasional toko retail/eceran yang cukup besar, dan bergesernya
(berkembangnya) populasi penduduk ke pinggir kota (yang diikuti dengan pendirian toko-
toko retail kecil di sekelilingnya [marts]). Kombinasi faktor-faktor ini dengan pandemi Covid-
19 cenderung “menekan” keberadaan toko-toko retail/eceran yang berukuran relatif besar
(karena tidak didukung oleh jumlah pembeli yang cukup untuk membiayai bisnisnya).
361
PT. Hero Supermarket Tbk resmi menutup seluruh gerai supermarket Giant miliknya sejak
bulan Juli 2021.

Halaman: 266 349


n) Akibat butir-butir e) dan i); berakibat pada learning loss362:
• Para orang tua harus menyediakan fasilitas (jaringan internet, komputer,
”pulsa”, dan lain sejenisnya) belajar online bagi anak-anaknya. Perlu biaya
tambahan di sektor pendidikan.
• Para pelajar kurang bersosialisasi, tidak belajar bersama, kekurangan jam
praktek atau kerja lab. dan lapangan. Singkatnya, mutu (hasil) pendidikan
pada periode pandemi Covid-19 cenderung menurun.
• Khusus yang memiliki anak-anak usia SD, para orang tua (wali) terbebani
untuk mengajari sendiri anak-anaknya di rumah.
• Berkumpulnya para pelajar dan mahasiswa di rumah (bersama keluarga)
dan lingkungan dalam waktu yang relatif lama memerlukan penanganan
dan ”biaya” (tambahan) tersendiri.
o) Akibat dari butir-butir e), g), h), i), dan j), pada sebagian kasus, beberapa
pelajar putus sekolah, berusaha bekerja (tanpa keterampilan yang memadai),
dan/atau (terpaksa) melakukan pernikahan dini.
p) Akibat butir e), intensitas kunjungan profesional (terkait pekerjaan),
pertemuan keluarga (silaturahmi), dan ibadah bersama (berjamaan) jauh
menurun.
q) Akibat butir e), sebagian orang (anak-anak hingga dewasa) mengalami rasa
kejenuhan, kurang/malas gerak/olah-raga, dan mengalami kenaikan berat
badan (obesitas).
r) Akibat butir-butir e), h), i), j), dan m), terutama di periode awal hingga
menengah, beberapa fasilitas umum, taman wisata, dan kebun binatang
tidak terurus; sebagian tumbuhan & hewan bahkan mati.
s) Diperlukan dana yang sangat besar untuk penelitian virus, produksi &
pembelian vaksin, dan penanganan Covid-19 secara keseluruhan yang
berakibat pada penambahan anggaran363 khusus, penghematan anggaran,
dan pemotongan anggaran di beberapa sektor; sebagian dari aktivitas terkait
terganggu, tertunda, atau bahkan tidak dapat terlaksana sama sekali.

362
Meskipun memang pandemi Covid-19 berkemungkinan besar menyebabkan terjadinya
learning loss, tetapi pandemi ini (yang menyebabkan tercegahnya sekolah/kuliah tatap-
muka) bukanlah sebab satu-satunya yang menjadi penyebab learning loss. Komunikasi yang
tidak berjalan dengan baik antara guru dan murid atau komunikasi yang berjalan searah pun
dapat menyebabkan learning loss.
363
Perhatikan pula uraian yang terdapat pada pustaka (Kompas, 2021f).

Halaman: 267 349


Learning loss adalah istilah yang merujuk pada hilangnya pengetahuan
dan keterampilan (baik secara umum mapun spesifik) atau kemunduran
proses akademik karena kondisi tertentu364. Sehubungan dengan hal ini,
maka Bank Dunia mengungkapkan hasil temuannya yang menyebutkan
bahwa siswa Indonesia telah kehilangan 0.9 tahun (sekitar 10 bulan)
masa pembelajaran di sekolah akibat pandemi Covid-19 sejak awal tahun
2020 yang lalu. Peneliti Bank Dunia, Rythia Afkar, menyebutkan bahwa
masa learning loss itu bisa lebih tinggi lagi, bergantung pada sejumlah
variabel lain seperti halnya efektivitas selama pembelajaran jarak jauh
hingga jumlah sekolah yang telah dibuka365. Selain learning loss, pandemi
ini juga tentu saja menimbulkan working loss dan economic loss yang
lebih jelas terlihat sejak di awalnya.

9.16.2 Dampak Positif


Ada pun sebagian dampak (yang dianggap) positif adalah sebagai berikut:
a) Makin luas dan masifnya perkembangan (development) dan penggunaan
(aplikasi) teknologi online (berbasis jaringan internet)366:
• Kemudahan (praktis & cepat) transaksi bisnis dan pembayaran secara
online (transfer antar-bank untuk pembelian, pembayaran, pemberian,
penggajian, penarikan uang di bank dan di ATM, penggunaan kartu kredit
/debet, dan lain sejenisnya).
• Kemudahan pembayaran non-tunai367 (dengan kartu elektronik, kartu
kredit, dan e-money): pengisian dan penggunaan kartu tol, kartu parkir,
dan lain sejenisnya untuk berlangganan layanan produk tertentu.
• Penggunaan aplikasi-aplikasi komunikasi sosial dan rapat/meeting online
(zoom, skype, google meet, whatsapp, dan lain sejenisnya); baik untuk
memenuhi kebutuhan bisnis, pendidikan (pelajar & mahasiswa), maupun
komunikasi/media sosial.
• Maraknya transaksi di situs-situs belanja online: bukalapak, shopee,
tokopedia, lazada, blibli, olx, dan lain sejenisnya.
• Makin larisnya layanan/provider jaringan-jaringan internet dan perangkat
pendukung transaksi dan belajar/belanja online; komputer, laptop, tablet,
telepon genggam (HP), gadget, dan lain sejenisnya.
• Maraknya transaksi pemesanan dan pengiriman barang, makanan, dan
jasa transportasi melalui aplikasi-aplikasi yang berbasis perangkat hand-
phone plus jaringan internetnya (Gojek, Grab, Uber, GoFood, GrabFood,
dan lain sejenisnya).

364
Pengertian ini dicuplik dari pustaka (Antara, 2021).
365
Informasi ini didapatkan dari pustaka (CNN, 2021d).
366
Meskipun demikian, dengan sudut pandang atau konteks tertentu, butir-butir yang pada
saat ini dipandang sebagai dampak positif, pada suatu saat, sebagai efek-samping, bisa jadi
akan menyebabkan munculnya dampak negatif.
367
Pada umumnya didominasi oleh kartu-kartu yang dikeluarkan oleh Bank dan layanan
sambungan telepon seluler.

Halaman: 268 349


• Makin terbukanya peluang bisnis online sendiri (pribadi); menawarkan
(menjual) produk milik sendiri tanpa perantara (secara langsung ke calon
pembeli) atau melalui situs-situs belanja online yang sudah ada.
b) Kecenderungan berkurangnya tingkat polusi lingkungan lingkungan (darat,
laut, dan udara) di dunia (terutama di periode awal pandemi).
c) Meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai kebiasaan hidup sehat dan
pentingnya menjalankan protokol kesehatan.
d) Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berolah-raga (terutama yang
outdor) (tetapi yang tidak mengharuskan berkumpul dengan orang banyak)
demi menjaga kesehatan dan meningkatkan daya-tahan tubuh.
e) Meningkatnya kesadaran dan kewaspadaan masyarakat mengenai bahaya
penyebaran bakteri dan/atau virus penyakit dan potensi terulangnya wabah
sejenis (”senjata” biologi dan kimia) pada masa yang akan datang.
f) Makin terpicu dan terpacunya para ilmuan untuk368:
• Menganalisa bakteri dan virus beserta perkembangan varian-variannya.
• Merancang mekanisme pencegahan dan pengobatan: membuat obat,
vitamin, vaksin, dan/atau terapi yang tepat.
• Menciptakan alat-alat pelindung diri dan pendukung protokol kesehatan;
menumbuh-kembangkan industri (termasuk di bidang kesehatan dan
pertanian369) dan memperlebar peluang kerja/usaha.
• Menciptakan alat/detector penyakit (akibat virus/bakteri) yang praktis,
mudah, dan murah tetapi analisanya akurat dan cepat; menumbuhkan
industri baru, memperl luas bidang usaha, dan menyerap tenaga kerja.
• Mengumpulkan data epidemik yang valid (aktual dan tidak bias) hingga
mengembangkan model epidemik untuk memprediksi perkembangan
wabahnya (jumlah kasus harian beserta zonasi tingkat kewaspadaannya)
secara akurat akan mempengaruhi kebijakan atau intervensi
kesehatan yang akan dibuat dan diterapkan pada masyarakat.
g) Membuka wawasan secara luas bahwa dari rumah pun (work from home),
sebenarnya – dengan persiapan yang matang, kesungguhan, kreativitas, dan
kerja keras – setiap orang dapat berkarya/bekerja (hingga mendatangkan
pendapatan) untuk dapat hidup. Konsekuensi positifnya adalah:
• Banyak bermunculan usaha kecil-menengah yang mandiri370; makin
banyak masyarakat yang bekerja di sektor wiraswasta (usaha sendiri).
• Bermunculan model bisnis baru yang fleksibel; tidak memerlukan
karyawan tetap dan juga (sewa) kantor yang tetap.

368
Sebagian dari butir-butir ini cenderung akan mengurangi pengeluaran dan menambah
(meningkatkan) pendapatan (devisa) nasional.
369
Sektor-sektor usaha (yang produknya bisa diproduksi oleh UMKM dan kemudian
diekspor) yang nampaknya tidak terlalu terganggu atau justru mendukung perbaikan pada
kondisi pandemi ini.
370
Sebagian dari hal ini juga disebabkan oleh karena meredupnya atau matinya beberapa
bidang usaha atau bisnis yang berukuran relatif besar (operasionalnya sangat mahal),
sementara demand-nya tetap ada.

Halaman: 269 349


• Menjadi terbiasanya (normal dan fleksibel) anggota masyarakat berganti
pekerjaan (profesi), mengalami putus kontrak/kerja (PHK), dan memiliki
beberapa pekerjaan (proyek) sekaligus.
• Masyarakat menjadi lebih tangguh dalam menghadapi tantangan hidup.
h) Terjadinya persaingan (seleksi alamiah) bisnis/usaha yang makin ketat.
i) Menyadari bahwa faktor-faktor (variabel) yang menjadi penyebab ketidak-
pastian pada masa yang akan datang cenderung semakin banyak dan nyata;
faktor resiko pada perencanaan jangka panjang makin besar; asumsi-asumsi
yang dibuat perlu serealistis mungkin, kemungkinan diperlukan lebih dari
satu skenario (sebagai alternatif), dan diperlukan strategi yang lentur tetapi
efektif.
j) Manusia menyadari bahwa, yang pertama, dalam kondisi normal, ”dunia” ini
semakin terintegrasi. Logika untaian sebab-akibatnya makin transparan;
suatu peristiwa/intervensi di suatu negara dapat menyebabkan terjadinya
peristiwa yang sama, sejenis, atau berbeda di negara yang lain. Yang kedua,
karena pendemi yang dahsyat ini, hingga mampu memutuskan (atau
merenggangkan) sebagian dari koneksi/interaksi fisik & non-fisik yang telah
ada, maka untuk sementara (pada saat itu) terjadi kecenderungan de-
globalisasi (entah sampai kapan dan di lingkup mana saja371). Beberapa event
(pandemi ini sebagai misal) dapat menyebabkan de-globalisasi (mengurangi
globalisasi untuk lingkup dan periode waktu tertentu). Oleh sebab itu,
dengan alasan yang sangat wajar (de-globalisasi), tanpa harus memberikan
penjelasan yang rinci kepada pihak mana pun, pada saat itu, setiap negara
memiliki kesempatan untuk mengurangi relasi yang berefek-buruk/merusak
dan menggantinya dengan yang lebih baik (masyarakat, nasional, atau negara
perlu ”menata diri”, membuat solusi atas masalah yang sedang berjalan,
sekaligus mempersiapkan kehidupan yang akan datang tanpa banyak
dipengaruhi oleh pihak lain); timeout dari globalisasi.
k) Manusia makin sadar bahwa sebagian dari masalah yang hadir pada saat ini
merupakan dampak atau efek-samping dari prilaku (penerapan kebijakan,
peraturan, tindakan, solusi atas suatu masalah, interaksi sosial, dan lain
sejenisnya) pada masa yang lalu (yang salah atau setidaknya masih perlu
disesuaikan [dimodifikasi] dengan dinamika yang sedang berjalan); solusi
jangka pendek dan pangjang perlu terus dimodifikasi atau diperbaharui.
l) Manusia cenderung makin waspada terhadap segala sesuatunya, dan bisa
jadi, sebagian orang/pihak akan ”melejit” karena dapat menjawab tantangan
ini (tekait pandemi Covid-19) secara tepat.
m) Segelintir orang/pihak bisa saja mendapatkan keuntungan karena ”posisi”
atau bidang usahanya tepat/sesuai dengan kondisinya (pendemi Covid-19).
n) Pemerintah berikut jajarannya (hingga struktur ke bawah mulai dari pusat,
daerah, hingga satuan tugas terkait) mulai peka, lebih terlatih/lancar, dan

371
Oleh sebab itu, kesempatan ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan tepat dan
cepat (tidak membuang waktu dan kesempatan).

Halaman: 270 349


kompak (bekerja-sama) dalam membuat, menurunkan, dan melaksanakan
kebijakan yang tepat bagi masalah bersama372 dan kemudian melakukan
penerapan (mitigasi) berikut pengawasannya di lapangan.

Setiap butir dampak di atas tentu memiliki bobot-bobot relatif (signifikansi


/magnitude) yang bervariasi; (1) besar, (2) sedang, (3) kecil, dan (4) sangat
kecil. Sebab, bisa saja, sebagian orang menganggap suatu butir akan
berdampak besar sementara pihak lain merasakannya tidak begitu besar
(tidak signifikan).
Selain itu, butir-butir dampak itu juga memiliki dinamika bobot (hingga
tidak konstan/tetap) yang sejalan dengan perubahan waktu, ruang, sudut
pandang (kejelian) pihak penganalisisnya, dan faktor sebab-akibatnya.
Demikian pula halnya dengan durasi (life-time) dari setiap butir dampak
tersebut, selama pandemi, juga bisa bervariasi: (1) panjang (semua orang
merasakan dan selalu mengingatnya), (2) menengah (hampir semua orang
merasakan dan masih mengingatnya), (3) pendek (sebagian orang
merasakan dan masih mengingatnya), dan (4) sangat pendek (sebagian
kecil yang masih merasakan dan kebanyakan orang sudah melupakannya).
Mengingat terdapat potensi perbedaan pada penafsiran bobot, dinamika,
dan durasi setiap butir dampak, maka adalah tidak mengherankan jika
terdapat perbedaan mengenai keberadaan butir-butir dampak itu sendiri
bagi setiap orang/individu yang memandangnya (menganalisanya).

9.16.3 Kebijakan Sistem Keuangan Dampak Covid-19


Dampak Covid-19 (sebagian telah disebutkan) ternyata sangat dahsyat (tidak sekedar
bencana kesehatan); pada saat itu dan setelahnya, banyak aktivitas penting yang
terhenti, daya beli masyarakat turun drastis, angka pengangguran meningkat, jumlah
penduduk miskin melonjak, pertumbuhan ekonomi nasional melambat, penerimaan
negara menurun, dan belanja negara & pembiayaan terkait meningkat. Singkatnya,
penanganan dampak Covid-19 beserta turunannya memerlukan biaya (anggaran dan
belanja) yang sangat besar; digunakan untuk menyelamatkan sektor kesehatan dan
perekonomian nasional dengan tugas fokus utama373: (a) belanja untuk kesehatan,
(b) jaring pengaman sosial, (c) dan pemulihan ekonomi (termasuk dunia usaha dan
masyarakat yang terdampak). Oleh sebab itu, konsekuensi logisnya, ditetapkanlah
beberapa kebijakan (peraturan terkait biaya, anggaran, dan belanja) seperti
berikut374:
a) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang RI (perpu) nomor 1 tahun
2020 tentang ”kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan
untuk penanganan pandemi corona virus disease 2019 (covid-19) dan/atau

372
Sebab, tidak mustahil akan terjadi lagi “musibah masal” pada masa yang akan datang.
373
Perhatikan butir-butir yang menjadi pertimbangan atau “menimbang” (khususnya butir b)
pada Perpu nomor 1 tahun 2020 ini.
374
Penulis hanya menuliskan sebagian saja dari points yang terdapat pada kebijakan atau
peraturan yang bersangkutan.

Halaman: 271 349


dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian
nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan” (31 Maret 2020).
• APBN dalam rangka penanganan Covid-19 dan menghadapi ancaman
yang membahayakan ekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem
keuangan (pasal 1 ayat 3).
• Penetapan batasan defisit anggaran (melampaui 3% produk domestik
bruto selama masa penanganan Covid-19 dan menghadapi ancaman yang
membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan
hingga akhir tahun anggaran 2022, dan akan kembali ke paling besar 3%
dari PDB pada tahun anggaran 2023), penyesuaian besaran belanja wajib,
pergeseran anggaran antar unit organisasi dan antar fungsi/program, dan
menerbitkan surat hutang negara dan/atau surat berharga syariah negara
(pasal 2 ayat 1).
b) Peraturan menteri (permen) keuangan RI nomor 38/PMK.02/2020 tentang
”pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi corona
virus disease 2019 (covid-19) dan/atau menghadapi ancaman yang
membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem
keuangan” (20 April 2020).
• Menteri keuangan dapat melakukan penambahan alokasi anggaran yang
digunakan untuk tambahan belanja dan pembiayaan anggaran yang
diarahkan untuk penanganan pandemi Covid-19. Tambahan alokasi
anggaran yang dimaksud digunakan untuk intervensi penanggulangan
pandemi Covid-19, jaringan pengaman sosial, dukungan industri, dan
dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19
dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi nasional
dan/atau stabilitas sistem keuangan (pasal 7).
• Intervensi penanggulangan yang dimaksud di atas adalah untuk: bantuan
iuran kelompok pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja sesuai
peraturan, insentif tenaga kesehatan dan non-kesehatan yang terlibat
dalam penanganan pandemi Covid-19, santunan kematian untuk tenaga
kesehatan Covid-19, biaya penggantian penanganan pasien Covid-19, dan
belanja penanganan kesehatan lainnya [alat-alat kesehatan, sarana dan
prasarana kesehatan, dan dukungan sumber daya manusia] (pasal 8).
• Jaring pengaman sosial di atas digunakan untuk: tambahan jaring
pengaman sosial, cadangan pemenuhan kebutuhan pokok, operasi pasar,
dan penyesuaian anggaran pendidikan untuk penanganan Covid-19.
sedangkan tambahan jaring pengamanan sosial digunakan untuk:
penambahan penyaluran program keluarga harapan untuk keluarga
penerima manfaat, tambahan sembako untuk keluarga penerima
manfaat, tambahan kartu pra kerja, pembebasan tarif listrik R1-450 dan
diskon 50% R1-900, dan tambahan insentif perumahan bagi masyarakat
berpenghasilan rendah (pasal 9).
c) Peraturan menteri (permen) keuangan RI nomor 43/PMK.05/2020 tentang
”mekanisme pelaksanaan anggaran belanja atas beban anggaran pendapatan
dan belanja negara dalam penanganan pandemi corona virus disease 2019”
(27 April 2020).

Halaman: 272 349


• Permen ini mengatur mekanisme pelaksanaan anggaran belanja atas
beban APBN dalam penanganan Covid-19, alokasi dana penanganan
pandemi Covid-19 dikelompokkan dalam DIPA (daftar isian pelaksanaan
anggaran) kementerian negara/lembaga, alokasi dana penanganan Covid-
19 dikelompokkan dalam klasifikasi akun khusus Covid-19 (pasal 2).
• Kegiatan penanganan pandemi Covid-19 dilakukan berdasarkan alokasi
dana dalam DIPA, ketika kondisi mendesak (pada penanganan Covid-19)
pejabat perbendaharaan dapat melakukan tindakan yang berakibat
pengeluaran atas beban APBN yang dananya tidak tersedia (tidak cukup)
dalam DIPA (pasal 3).
d) Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 2020 tentang penetapan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2020 di atas sebagai
undang-undang” (16 Mei 2020).
• Peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2020
tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk
penanganan pandemi corona virus disease 2019 dan/atau dalam rangka
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional
dan/atau stabilitas sistem keuangan (lembaran negara RI nomor 87 tahun
2020, tambahan lembaran negara RI nomor 6485) ditetapkan menjadi
undang-undang dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari undang-undang ini (pasal 1).
• Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan (pasal 2).
Dengan memperhatikan dampaknya secara keseluruhan (kesehatan, sosial, dan
ekonomi), maka pemerintah telah mengambil langkah-langkah sebagai respon untuk
memitigasi dampak Covid-19. Langkah-langkah ini terbagi ke dalam 4 tahapan375: (1)
memperkuat sektor kesehatan; (2) melindungi kelompok masyarakat dan dunia
usaha; (3) mengurangi tekanan terhadap sektor keuangan; dan (4) memulihkan
ketahanan ekonomi dan kehidupan masyarakat menuju ke tatanan kenormalan baru.
Tahap pertama hingga ke tiga telah dilaksanakan dengan: (1) pembentukkan gugus
tugas percepatan penanganan Covid-19 melalui melalui keputusan presiden no. 7
tahun 2020; (2) perubahan keputusan presiden no. 7 tahun 2020 oleh keputusan
presiden nomor 9 tahun 2020; (3) dikeluarkannya instruksi presiden no. 4 tahun
2020 tentang refocusing kegiatan, realokasi anggaran, serta pengadaan barang dan
jasa dalam rangka percepatan penanganan Covid-19; (4) diterbitkannya Peraturan
pemerintah pengganti undang-undang RI (perpu) nomor 1 tahun 2020 tentang
”kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan
pandemi corona virus disease 2019 (covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi
ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem
keuangan”; dan (5) ditetapkannya undang-undang RI Nomor 2 tahun 2020 tentang
penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2020 di
atas sebagai undang-undang”.

375
Keterangan lebih lanjut dan detil mengenai hal ini dapat dilihat pada (dokumen) lembar
lampiran pidato presiden RI pada sidang tahunan MPR, DPR, dan DPRD (14 Agustus 2020)
dalam rangka HUT ke-75 proklamasi kemerdekaan RI.

Halaman: 273 349


Ketiga fokus utama dalam rangka penyelamatan negara dari pandemi
Covid-19 di atas menyebabkan adanya kebutuhan tambahan anggaran
sebesar Rp. 405.1 triliun, dan anggaran tersebut belum tersedia dalam
APBN tahun 2020: (1) Rp. 75 T untuk intervensi penanggulangan Covid-19
berupa tambahan belanja kesehatan, insentif tenaga kesehatan, dan
pemberian alat kesehatan/APD bagi 132 rumah sakit rujukan; (2) Rp. 110 T
untuk memperkuat jaring pengaman sosial; (3) Rp. 70.1 untuk dukungan
insentif dan relaksasi perpajakan di sektor usaha yang terdampak; dan (4)
Rp. 150 T untuk dukungan pembiayaan anggaran penanganan Covid-19
dalam rangka program pemulihan ekonomi nasional376.
Untuk memvaksinasi 185377 juta penduduk Indonesia saja, demi mencapai
kondisi herd immunity, negara memerlukan anggaran sebesar 58 triliun
rupiah378.

9.17 Saran
Sehubungan dengan bahasan di atas (khususnya bab 9) berikut analisisnya, maka
sebagai bentuk resume, berikut ini adalah beberapa saran yang dapat diberikan:
1) Sebaiknya, pandemi Covid-19 juga dibahas (dianalisis) dalam perspektif
sebab-akibat379 dengan beberapa konteksnya (biologi-epidemik, pendidikan,
sosial, politik, kemanusiaan, pendidikan, ekonomi/bisnis/perdagangan,
budaya, dan lainnya) sehingga: (1) permasalahannya dapat teruraikan secara
luas & lengkap, terpahami dengan baik dan logis, dapat dikoreksi, dan mudah
dikomunikasikan lebih luas; (2) potensi solusinya dapat tergambarkan dan
dipilih sesuai prioritas; dan (3) masalahnya dapat diselesaikan tahap-demi-
tahap, paralel, dan menyeluruh.
2) Social network terkait juga perlu dipertimbangkan untuk menganalisa,
memilih (memutuskan), dan melakukan (potensi) intervensi kesehatan
masyarakat (karantina, isolasi, & penghentian sebaran penyakit).
3) Model epidemik yang dibahas (bab 2 & 3), dari sudut pandang Covid-19, bisa
saja dianggap terlalu sederhana karena hanya “membungkus” karakteristik
wabah & prilaku masyarakat sekaligus sebagai koefisien α, β, dan lainnya.
Pada kenyataannya, pada kasus Covid-19 di Indonesia saja, prilaku (intensitas
interaksi sosial & pelanggaran prokes) masyarakat nampak “dominan”380 dari
pada karakteristik Covid-19 itu sendiri. Kurva harian/kasus baru (dan kasus
aktifnya pun) untuk setiap negara pun bervariasi (tidak sama). Model biologi-

376
Disarikan dari pustaka (Kompas, 2020g) dan beberapa pustaka online lainnya.
377
Menurut surat edaran menteri kesehatan nomor HK.02.02./II/368/2021 jumlahnya
adalah 181.5 juta jiwa.
378
Keterangan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat pada pustaka (Kompas, 2021a).
379
Jangan seperti pendapat (sifat/sikap) “orang aneh” (bahasan sub-bab 9.8).
380
Sebaran Covid-19 sangat banyak didukung oleh (pola) mobilitas/pergerakan dan ketidak-
patuhan individu-individu terhadap prilaku hidup bersih & sehat (PHBS) dan protokol
kesehatan 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan
mengurangi mobilitas).

Halaman: 274 349


epidemik (konvensional), sebagaimana telah dibahas, tidak memadai untuk
mewakili fenomena pandemi Covid-19. Meskipun demikian, nampaknya, kita
tetap perlu memahami model-model konvensional ini sebagai konsep dasar
sebelum beranjak kepada fenomena epidemik yang sebenarnya terjadi di
dunia nyata. Setelah itu, kita perlu mengembangkan model alternatif yang
mengakomodasikan faktor prilaku manusianya secara proporsional, plus
mengakomodasikan kemungkinan adanya infeksi primer lebih dari satu (ada
beberapa Io pada saat to) dan gelombang yang juga lebih dari satu (jika
mungkin). Tidak mudah untuk membuat model yang bersifat umum dan
dapat mengakomodasikan sampel data Covid-19 untuk semua area (SWE,
kota, provinsi, negara) sekaligus. Meskipun demikian, di lain pihak, ironisnya,
pada pemodelan lebih dari satu gelombang bagi wabah yang sedang
berjalan, kelemahannya adalah, perlu terlebih dahulu diasumsikan berapa
(prediksi) jumlah gelombangnya, berapa tinggi-tinggi puncaknya, dan berapa
pula lebar masing-masing gelombang. Tentu saja asumsi ini tidak mudah
diwujudkan. Dengan demikian, pemodelan bagi lebih dari satu gelombang
dapat dilakukan jika wabahnya sudah selesai. Tetapi jika hal ini yang terjadi,
maka itu berarti menghilangkan urgensi prediksinya; sekedar fitting kurva
saja. Jadi, cara ini tidak dapat digunakan untuk memprediksikan kapan
wabahnya selesai. “Kontradiksi” pada usulan prediksi fenomena wabah
dengan lebih dari satu gelombang pada wabah yang sedang berjalan.
4) Fakta memperlihatkan bahwa semakin tinggi peran pemerintah (intervensi
kesehatan yang cepat/nyata) dan disiplin masyarakatnya (dalam menerapkan
protokol kesehatan), semakin baik kondisinya (Covid-19 cepat mereda).
Dengan demikian, skenario umum bagi program penuntasan Covid-19 perlu
melibatkan peran sentral pemerintah, kekompakkan para elitnya, partisipasi
(kekompakkan) masyarakatnya (usaha pemerintah & jajarannya yang
berkelanjutan, dan dukungan masyarakat terhadap pemerintahnya)381, selain
tetap menjalin kerja sama global (dalam penelitian virus, pengadaan vaksin,
dan pencegahan penyebaran Covid-19).
5) Karena hitungan jumlah kasusnya (terinfeksi, sembuh, dan mati) tidak
berbasis SWE, agar sampel datanya cukup akurat, jika memungkinkan, maka
gunakanlah satuan wilayah administrasi yang tidak terlalu luas; misalkan
Desa atau Kecamatan. Dengan demikian, sejak di tingkat wilayah administrasi
tersebut, dana, fasilitas, tenaga kesehatannya, dan sistem pencatatannya
(yang berjenjang hingga ke pusat) sudah harus dipersiapkan (memadai).
6) Perangkat/aparat pencatatan kasus (pada tingkatan wilayah administrasi
yang dimaksud butir 5) perlu memeriksa dan mengkonfirmasikan kembali
setiap laporan (data) kasus (harian) untuk mendapatkan sampel data yang
tidak bias (sebelum dilaporkan ke tingkatan yang lebih tinggi).
7) Setiap institusi yang berwenang agar memeriksa (mendeteksi) indikasi-
indikasi terinfeksi (kasus baru/harian) Covid-19 dengan menggunakan alat
dan/atau metode yang telah tertandarisasi (secara matang, akurat, dan/atau
objektif).

381
Implementasi point ini yang tidak mudah.

Halaman: 275 349


8) Sampel data (siapa, kapan, dimana, dan bagaimana) mengenai individu-
individu yang memiliki kekebalan bawaan, sembuh, tervaksinasi,
mendapatkan terapi konvalesen, dan yang terkena kembali/re-infection (baik
yang sebelumnya tidak tervaksinasi maupun yang sudah) perlu dicatat.
9) Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan luas pengenai sebaran
virusnya382, sebagai alternatif, maka data mengenai tracing (asal-usul dan
urutan) lokasi dan nama-nama orang yang terdampak positif (terinfeksi),
termasuk kasus klaster-klaster baru, juga perlu direkam dan dianalisis dengan
bantuan perangkat social network analysis. Berdasarkan analisis dan
visualisasi alat bantu ini, maka yang berwenang memiliki pertimbang yang
lebih baik untuk memilih dan memutuskan tindakan intervensi/strategi yang
diperlukan untuk mengatasi masalah.
10) Perlunya diterapkan (oleh pihak yang berwenang) prinsip-prinsip manajemen
resiko (beserta monitoring dan review-nya per-periode tertentu) beserta
mitigasinya di dalam tahapan-tahapan usaha penanggulangan pandemi
Covid-19; juga sebagai pembelajaran bagi kita semua.
11) Yang berwenang perlu selalu memantau perkembangan Covid-19, khususnya
ketika kebutuhan-kebutuhan vaksin, oksigen, dan BOR-nya [faskes] mulai
mendekati batas kapasitasnya dan jumlah nakes-nya mulai terbatas. Sebab,
salah satu akibatnya adalah munculnya “antrian” (kerumunan) yang
membentuk klaster baru, dan meningkatkan intensitas interaksi sosial berikut
jumlah kasus hariannya (perhatikan bahasan sub-bab 9.4 dan gambar 9.8a).
Sementara itu, kekurangan persediaan oksigen juga dapat menyebabkan
faskes-nya tidak merima (membatasi) pasien dengan keluhan sesak nafas383;
cenderung meningkatkan kematian (harian) secara tidak langsung. Oleh
sebab itu, pihak yang berwenang perlu memonitor dan memiliki kesiapan
dana dan sumber-daya lain/cadangan (dengan segera) untuk menghadapi
kemungkinan terjadinya hal ini; implementasi manajemen resiko.
12) Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa ternyata pandemi Covid-19 juga
menimbulkan learning loss yang tak terhindarkan. Oleh sebab itu, sarannya
adalah: (1) berikan pengarahan pada orang tua/wali/siswa mengenai
rencana384 pelaksanaan (implementasi) proses belajar-mengajar pada masa
pandemi; (2) selalu mengusahakan komunikasi dua arah dalam proses
belajar-mengajar yang maksimal antara guru dan siswa; (3) berikan dukungan
(oleh pemerintah) untuk menyediakan perangkat belajar online beserta
jaringan internetnya (wifi/pulsa) bagi siswa yang tidak mampu; dan (4) bekali

382
Sebagai contoh, gambar 9.28 di bawah ini memberikan ilustrasi mengenai hasil visualisasi
(yang bisa dianalisis) produk alat bantu analisis jaringan sosial yang diaplikasikan pada data
transmisi Covid-19 untuk kasus Karnataka (India) sebagaimana telah diulas pada pustaka
(Saraswathi et al, 2020).
383
Perhatikan berita yang ada pada pustaka (Kompas, 2021g) dan (Tribun, 2021a).
384
Termasuk konsekuensinya dengan menyediakan segala fasilitas untuk belajar online bagi
anak-anaknya sekaligus membimbingnya selama belajar online tersebut (plus tugas-tugas
yang menyertainya); terutama bagis siswa yang belum dewasa (setingkat SD hingga SMP).

Halaman: 276 349


siswa-siswanya385 dengan bahan-bahan (file atau link ke situs) bacaan
(literatur) yang relevan dan mudah dimengerti, berikan tugas-tugas
membaca, membuat resume, dan mempresentasikannya (melalui aplikasi
meeting online atau dengan mengirimkan file video/audio).
13) Sebenarnya, secara nalar, seri kebijakan (dan turunan atau perpanjangannya)
yang dibuat sudah baik, rapi, sistematis, masif, dan ketat; mulai dari
karantina wilayah, PSBB, PPKM, PPKM mikro, PPKM darurat, PPKM level 4,
dan variasinya. Tidak terbayangkan jika ini semua terus ditambah lagi dengan
kebijakan yang lebih ketat lagi ketika kasus hariannya/baru meningkat.
Meskipun demikian, ironisnya, menginjak pertengahan/akhir Mei 2021, di
era masa perpanjangan PPKM mikro, kita justru mulai memasuki gelombang
kedua (puncak kasus barunya terjadi di pertengahan Juli 2021) hingga
muncullah kebijakan PPKM darurat yang kemudian disusul oleh PPKM level 4
di beberapa area. Pada kondisi ini, dalam pandangan segelintir orang/pihak,
nampak bahwa seri kebijakan yang dibuat belum cukup efektif; juga karena
faktor manusianya. Indikatornya adalah kasus hariannya (baru) masih tinggi,
dana yang dikeluarkan sudah semakin besar, kebutuhan masyarakat makin
mendesak, masyarakat tidak dapat dibendung lagi (untuk beraktivitas
normal), dan resistansi masyarakat (protes/demo) makin besar. Pada kondisi
ini, jika dibuat kebijakan yang lebih ketat lagi, dan hal ini tidak mudah,
potensi bahayanya besar; kasus hariannya belum tentu mengecil, tetapi
resistansi (terhadap kebijakan) dan penderitaan masyarakat makin besar
(kesabaran masyarakat habis). Berdasarkan analisa, hal ini, kemungkinan,
disebabkan karena pengaturan “tempo” dimana pengambil keputusan agak
tergesa386 (segera melanjutkan kebijakan lama dengan kebijakan terusannya)
untuk mengejar target (pandemi cepat selesai, masyarakat segera dapat
beraktivitas secara normal, dan ketertinggalan ekonomi segera tergantikan)
tanpa cukup waktu untuk memperhatikan faktor-faktor kondisi bahwa
masyarakatnya: (1) belum memiliki bekal & kesabaran yang cukup, (2) tidak
mudah diatur, (3) sudah merasa bosan/jenuh, dan (4) kurang disiplin. Dengan
demikian, bisa jadi, suatu penerapan (pemberlakuan) kebijakan memerlukan
waktu yang lebih lama sebelum (dibuatkan dan) diterapkan kebijakan
berikutnya (baru) yang lebih ketat. Jadi, sarannya, pertimbangkanlah
(aturlah) durasi atau “tempo” yang tepat/cukup bagi (pemberlakukan) suatu
kebijakan sambil memperhatikan kondisi aktual masyarakatnya secara
akurat; tarik-ulur suatu kebijakan pada saat yang tepat. Dengan demikian,
juga diperlukan suatu “sinkronisasi” yang baik antara kebijakan yang dibuat
dengan kondisi (prilaku/kesadaran) masyarakatnya. Efektivitas kebijakan juga
dapat dilihat atau dievaluasi berdasarkan (respon) prilaku/kesadaran (aktual)
masyarakat dan target kebijakan itu sendiri. Selain itu, sebagian masyarakat
akan bingung dengan banyaknya (seri) kebijakan yang silih berganti. Mereka

385
Terutama bagi para siswa yang sudah dewasa (setingkat SMP, SMA/SMK, dan mahasiswa)
dan peralatannya (sistemnya) sudah memadai (siswa dan guru memiliki sistem komputernya
dan jaringan internetnya sudah tersedia).
386
Juga merupakan cerminan prilaku masyarakatnya yang kurang sabar/tergesa.

Halaman: 277 349


cenderung bingung dan tidak paham mengenai detil (uraian), makna,
perbedaan, dan konsekuensi dari kebijakan-kebijakan tersebut.
14) Karena sebab butir 13) dan prilaku387 masyarakatnya yang tidak mudah
dikendalikan388 (intensitas interaksi sosial yang masif dan sering terjadi
pelanggaran prokes), dan juga karena pertimbangan yang telah dibahas,
maka jelas bahwa (secara umum) Indonesia cenderung (masih) tidak/belum
siap389 dalam menghadapi bencana390; apalagi bencana yang agak aneh dan
unik ini391. Oleh sebab itu, untuk mengatasi segala bentuk bencana,
diperlukan edukasi, pengarahan, dan/atau pembinaan yang terstruktur,
sistematis, dan masif dalam jangka panjang, selain juga persiapan terkait
ketahanan nasional (ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, energi,
pertahanan, dan pangan):
• Pentingnya para elit (politik, sosial, ekonomi, kesehatan, budaya, ilmuan,
pendidik) bersatu dan memberikan keteladanan (dengan memberikan
contoh yang terbaik dan melupakan segala perselisihan yang ada) untuk
merancang dan menempuh solusi bersama beserta perlunya masyarakat
patuh (taat, kompak) pada (aturan/kebijakan/himbauan) pemerintah
beserta jajarannya demi kebaikan, soliditas, solidaritas, melindungi
kepentingan bersama, dan menjadi contoh bagi generasi berikutnya.
• Edukasi pentingnya bersikap waspada392 terhadap wabah, musibah,
ancaman, dan bahaya yang pernah, sedang, dan mungkin terjadi kembali.
Jangan berprasangka baik yang tidak pada tempat dan waktunya; lalai.
• Edukasi pada masyarakat bahwa kita semua perlu memiliki kesepahaman
bersama, “berkomitmen” dan konsisten, bekerja sama (gotong-royong),

387
Sering terjadi di beberapa negara berkembang dan yang berpenduduk relatif besar/
padat. Prilaku seperti ini bisa berkembang menjadi masalah besar dengan pemicu apa pun.
Oleh sebab itu, hal ini perlu segera dibenahi.
388
Sebagian orang menolak PSBB & PPKM karena kesulitan mencari nafkah.
389
Dalam beberapa contoh kasus, Indonesia pernah mengalami krisis yang serupa (dengan
negara-negara yang lain) tetapi akibatnya lebih parah dan pulih tidak lebih cepat seperti
halnya negara yang lain. Pandemi Covid-19 ini (global) dan krisis moneter 1998 (regional) itu
sekedar contoh kasus (pelajaran). Oleh sebab itu, kita perlu introspeksi, tidak lalai, dan
segera mengatasi akar penyebabnya sebelum (potensi) bencala lain (berikutnya)
berdatangan. Paling tidak, dari bencana ini, manusia Indonesia seharusnya sudah lebih
waspada dan siap secara mental untuk menghadapi potensi bencana; apa pun bentuknya.
390
Covid-19 hanya sebuah kasus, tetapi nampaknya kita memang cenderung tidak siap
dalam menghadapi bencana. Oleh sebab itu, kita tetap perlu waspada, tidak lalai, dan tidak
berprasangka baik yang tidak pada tempatnya & waktunya agar dapat mengurangi potensi
dampak dan kerugian totalnya beserta memudahkan mitigasinya.
391
Pada pustaka (PR, 2021b), pakar wabah dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa
pandemi Covid-19 ini merupakan simulasi perang biologis. Sementara itu, di lain pihak, pada
pustaka (PR, 2021c), mantan Menkes RI Siti Fadilah Supari meyakini bahwa Amerika & China
merupakan korban Covid-19.
392
Fakta menunjukkan bahwa tidak sedikit orang yang sering melupakan “sejarah” hingga
mereka beberapa kali “jatuh ke lubang yang sama”. Setelah pandemi Covid-19 ini berjalan
lebih dari satu setengah tahun, sebagian orang beraktivitas seperti biasanya hingga
berkerumun tanpa bermasker. Mereka cenderung melupakan atau tidak ingat lagi pada
masa-masa sulitnya ketika di awal-awal periode pandemi Covid-19.

Halaman: 278 349


dan mengambil peran yang signifikan dalam mencegah/mengurangi
resiko bahaya (termasuk pandemi Covid-19).
• Pengarahan bagi masyarakat bahwa untuk mengurangi nilai α dan
meningkatkan β (dalam konteks model biologi-epidemik) dapat dilakukan
dengan pembiasaan yang cukup mudah, praktis, murah, dan sederhana
dengan prilaku hidup bersih sehat (PHBS) dan menjalankan protokol
kesehatan 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak,
menjauhi kerumunan, dan membatasi interaksi/ mobilisasi).
• Pembinaan masyarakat untuk menyadari bahwa pandemi Covid-19 itu
juga akan berpulang kepada prilaku diri sendiri, dan oleh sebab itu, kita
perlu meredam (mengendalikan) sifat/sikap diri yang dapat menambah
kasus (tidak rasional/”aneh”, tidak jujur, susah diatur, tidak disiplin dalam
PHBS dan menjalankan protokol kesehatan, menolak vaksinasi tanpa
alasan yang rasional, dan lain sejenisnya). Perhatikan gambar 9.31.
• Edukasi mengenai perlunya selalu bersikap waspada karena dampak
pandemi ini sangat besar, luas, dan cukup lama (sudah lebih dari satu
setengah tahun sejak kemunculan pertama kalinya di China); terutama
pada aspek-aspek kemanusian dan ekonomi, termasuk menjadikan
kehidupan masa depan yang semakin tidak pasti.
• Edukasi mengenai pentingnya berproses (perlu waktu & usaha keras)
untuk mengatasi masalah; terkadang bahkan diperlukan proses “tarik-
ulur” & harmonisasi pada penerapan suatu aturan/kebijakan (intervensi)
untuk mencegah dan menanggulangi masalahnya (bencana) dengan
mempertimbangkan berbagai kondisi/kepentingan (terutama
kemanusian, epidemik, dan ekonomi sekaligus).
• Edukasi bahwa pandemi ini – mengingat dampaknya yang luas, besar, dan
lama, disadari atau tidak – juga dapat dipandang sebagai suatu bentuk
“intervensi” yang sangat mungkin menyebabkan suatu transformasi
(perubahan yang dipercepat) pada aspek-aspek kemanusian, sosial,
politik, ekonomi, budaya, sistem keuangan393 (mata uang dijital,
pembayaran non-tunai, dsb.), lingkungan, dan lain sejenisnya.
• Edukasi bahwa unsur-unsur geografis kepulauan pun dapat dijadikan
sebagai sekat alami hingga suatu sebaran (penetrasi) ”penyakit” pun
sebenarnya tidak dapat melaju begitu saja. Dengan demikian, pada
konteks yang tepat, libatkanlah unsur-unsur ini pada strategi pertahanan,
pencegahan, dan penanggulangan/mitigasi bencana (pandemi).

393
Di Indonesia saja, hal ini dapat dilihat dengan terbitnya: (1) peraturan pemerintah
pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2020 tentang “kebijakan keuangan negara dan
stabilitas sistem keuangan untuk pandemi corona virus 2019 dan/atau dalam rangka
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas
sistem keuangan”; (2) peraturan menteri keuangan nomor 38/PMK.02/2020 tentang
“pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi corona virus disease
dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau
sistem keuangan”; dan (3) peraturan menteri keuangan nomor 43/PMK.05/2020 tentang
“mekanisme pelaksanaan anggaran belanja atas beban anggaran pendapatan dan belanja
negara dalam penanganan pandemi corona virus disease 2019”.

Halaman: 279 349


Ketika pandemi Covid-19 nampak mulai surut, paling tidak di sekitar Agustus atau
September 2021, muncullah isu-isu mengenai krisis energi yang tengah melanda
beberapa negara di dunia. Negara-negara yang banyak disebut mulai kekurangan
energi adalah China, India, Korea Selatan, Jepang, Singapura394, Inggris395, dan
beberapa negara Eropa lainnya. Harapannya, krisis ini396 tidak berkembang lebih
lebih jauh lagi atau membesar (dapat dipadamkan) hingga tidak menambah
jumlah masalah (menjadi komplikasi) global yang sudah ada.

Gambar 9.28: Analisis Jaringan Berdasarkan Sumber Infeksi (Kasus India)

394
Singapura sempat mengalami krisis (kekurangan) energi karena pasokan gas alam dari
Indonesia yang dialirkan melalui pipa West Natuna mengalami gangguan sejak Juli 2021.
395
Inggris mengalami krisis energi akibat persediaan gas bumi yang menipis, kenaikan harga
/tarif listrik, dan kelangkaan BBM.
396
China mengalami kekurangan suplai batubara sebagai pemasok energi listriknya;
terutama bagi sebagian besar industri dan rumah tangganya. Karena pasokannya yang mulai
berkurang (dorongan untuk mengurangi emisi karbon, tutupnya/berkurangnya tambang
batubara, dan berkurangnya investasi di bidang oil & gas), harganya melonjak, permintannya
(konsumsinya) meningkat, sementara pasokan energi listrik dari sumber-sumber yang
terbarukan (sinar matahari, angin, dan lain sejenisnya) masih belum memadai, maka krisis ini
menyebabkan gangguan pada produksi industri (barang & jasa) dan memberatkan pengguna
rumah tangga (terutama di musim dingin). India, Inggris, dan beberapa negara Eropa lainnya
pun secara umum demikian; tidak jauh berbeda, apalagi untuk mempersiapkan musim
dingin (energi listrik sebagai sumber pemanas).

Halaman: 280 349


Gambar 9.29: Sebab-Akibat Penerapan Kebijakan Pembatasan Aktivitas

Gambar 9.30: Sebab-Akibat Jumlah Kasus & Penerapan Kebijakan

Halaman: 281 349


Gambar 9.31: Covid-19 & Sifat/Prilaku Masyarakatnya

Halaman: 282 349


Terlepas dari apakah Covid-19 ini bersifat alami atau hasil rekayasa
manusia, pandeminya adalah ujian yang sangat besar. Bisa jadi, pada
masa yang akan datang pun ada hal yang semisal atau bahkan lebih
berat darinya. Siapa tahu. Ujian ini sangat merepotkan siapa saja dan
juga dapat mencerai-beraikan masyarakat. Pemerintah mana pun akan
tidak mudah untuk mengatasi masalah besar seperti ini.
Sejak pandemi ini, adanya dinamika dan faktor ketidak-pastian menjadi
semakin jelas. Nampaknya, pada saat ini, tidak selalu mudah untuk
membuat (menyepakati) suatu perencanaan atau bahkan perjanjian
bisnis dalam jangka panjang yang benar-benar akurat. Faktor-faktor
resiko dinamika, ketidak-pastian, dan potensi kejadian suatu bencana
benar-benar perlu dianalisis atau diperhitungkan.
Pada konteks pandemi Covid-19, nampaknya, model biologi-epidemik
di atas (konvensional) tidak applicable. Meskipun demikan, konsepnya
sudah sangat baik, dan tetap perlu dipahami. Setelah itu, yang paling
berharga dari pandemi ini adalah rekaman fakta-faktanya (sampel
datanya, segala pengalaman atau usaha yang telah dilakukan, histori,
dan lainnya) dan pelajarannya (hikmah mengenai bagaimana kita
semua harus bersikap). Kita harus menjadi manusia yang lebih baik dan
tidak lalai setelahnya. Selain itu, kita juga harus mampu merancang
sendiri hingga memiliki perencanaan yang matang bagi masa depan
dengan (tetap) memperhitungkan potensi resiko bencana beserta
konsekuensinya. Jika hal ini tidak diperoleh, maka rugi besarlah kita;
pelajaran pahit tidak berhasi mendewasakan kita.
Bagaimana pun parahnya kondisi akibat musibah besar, harapan dan
peluang usaha, dan kehidupan yang lebih baik di masa depan akan
selalu ada (terbuka). Sebagian dari itu memang telah terbukti. Sebagai
misal, perhatikan sektor-sektor bisnis/perdagangan online, kelapa sawit
(CPO), mineral, pertambangan, dan energi beserta beberapa smelter-
nya yang banyak menyerap SDM nasional dan menghasilkan devisa
negara yang banyak bermunculan (mulai nampak) ketika Covid-19
mulai mereda. Meskipun demikian, untuk memperolehnya diperlukan
prasangka baik, rasa syukur & kesabaran, kekompakkan, tetap berkerja-
keras, konsistensi, kreativitas, kewaspadaan, dukungan pemerintah,
dan juga kejelian dalam melihat peluang itu sendiri.

Halaman: 283 349


LEMBAR CATATAN
Alhamdulillah hirobbil a’lamiin, buku ini telah selesai ditulis. Terlepas dari segala
kekurangan & kelebihannya (tiada gading yang tak retak), penulis mencukupkan
materinya sampai di sini. Sebab, jika diteruskan, sesuai dengan perjalanan aktual
wabah/pendemi yang dibahasnya, maka kapan saat berakhirnya penulisan (buku ini)
tidak akan pernah diketahui, sementara itu kebutuhan content-nya sudah mendesak
sejak tahun yang lalu (awal tahun 2020), dan di lain pihak, banyak aktivitas yang
perlu dilakukan oleh penulis. Berkenaan dengan hal ini, maka secara umum, karya
tulis tidak akan pernah (selalu) uptodate, lengkap, dan sempurna karena setidaknya
akan ada saja hal-hal yang membuatnya menjadi usang; karena tertinggal data
/fakta/informasi yang terbaru beserta metode atau teknologi yang menyertainya.

Sehubungan dengan pentingnya materi yang dibahas dan juga agar segera tersebar
dengan mudah dan cepat ke pada para pembacanya, maka buku ini dituliskan dalam
bentuk softcopy (file format PDF). Buku ini merupakan pendapat dan tulisan pribadi
penulis (yang bisa salah bisa juga benar); jadi gratis. Meskipun demikian, bagi
orang/pihak yang ingin menyalurkan infaknya terkait dengan kemanfaatan buku ini,
silahkan kirimkan ke rekening Bank Mandiri di nomor 132-00-0119076-9 atas
nama penulis.

Halaman: 284 349


LAMPIRAN I

L.1 Model SI Kontinyu, α=0.25


clc;
function xdot = si_model(x,t)
alpha = 0.25; s = x(1); i = x(2);
ds =-alpha*s*i/100; di = alpha*s*i/100; xdot = [ds, di];
endfunction
simulasi_awal = 0; simulasi_ahir = 40;
So = 99; Io = 1; N = So+Io;
t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir);
xo = [So, Io]; x = lsode ("si_model", xo, t);
hasil =[transpose(t),x];
nama_file = "si_lsode.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S I " );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%5.2f %3i %3i \n", \
hasil(j,1), round(hasil(j,2)), round(hasil(j,3)));
endfor
fclose(id_file);
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir])
title ("Dinamika Rentan(S) Vs. Terinfeksi(I)")
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid on
legend('Rentan (S)', 'Infeksi (I)', 'location', 'north');

L.2 Model SI Diskrit, α=0.67


clc; S=[]; I=[]; waktu=[]; So=99; Io=1; alpha=0.67;
dt=1; N=So+Io; akhir_simulasi=17;
for t = 1 : akhir_simulasi
ds = -alpha*dt*So*Io/N; S(t)= So + ds;
di = alpha*dt*So*Io/N; I(t)= Io + di;
So=S(t); Io=I(t); waktu(t)=t;
endfor
nama_file = "si_diskrit.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S I" );
for j = 1:akhir_simulasi

Halaman: 285 349


fprintf (id_file, "%2i %3i %3i \n", \
j, round(S(j)), round(I(j)));
endfor
fclose(id_file);
figure(1, 'name', 'Model Epidemik SI');
plot (waktu, S, 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
waktu, I, 'color', 'red', 'linewidth', 3);
title ("Dinamika Rentan(S) Vs. Terinfeksi(I)");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Individ"); grid minor on;
legend('Rentan(S)', 'Terinfeksi(I)', 'location', 'north');

L.3 Model SIS Kontinyu


clc; clear all; global alpha=0.5; global betha=1/14;
global N; So=99; Io=1; N=So+Io;
%
function xdot = sis_model(x,t,alpha, betha, N)
global alpha; global betha; global N;
s = x(1); i = x(2); ds = -alpha*s*i/N + betha*i;
di = alpha*s*i/N - betha*i; xdot = [ds, di];
endfunction
%
simulasi_awal = 0; simulasi_ahir = 40;
t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir+1);
xo = [So, Io]; x = lsode ("sis_model", xo, t);
hasil =[transpose(t),x];
nama_file = "sis_ode.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S I" );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i \n", \
hasil(j,1), round(hasil(j,2)), round(hasil(j,3)));
endfor
fclose(id_file);
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir])
title ("Rentan(S) Vs Terinfeksi(I)");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid minor on;
legend('Rentan', 'Terinfeksi', 'location', 'north');

L.4 Model SIR Kontinyu


clc; clear all;
global alpha=0.5; global betha=1/14; global N;
So=99; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;

Halaman: 286 349


function xdot = sir_model(x,t)
global alpha; global betha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i; xdot = [ds, di, dr];
endfunction
simulasi_awal=0; simulasi_ahir=100;
t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir+1);
xo = [So, Io, Ro]; x = lsode ("sir_model", xo, t);
hasil =[transpose(t),x];
nama_file = "sir_ode.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S I R" );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%5.2f %3i %3i %3i\n", \
hasil(j,1), round(hasil(j,2)),\
round(hasil(j,3)), round(hasil(j,4)));
endfor
fclose(id_file);
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x(:,3), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir])
title ("Rentan(S), Terinfeksi(I), dan Sembuh(R)");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid minor on;
legend('Rentan', 'Terinfeksi', 'Sembuh','location', 'north');

L.5 Model SIR Diskrit


clc; clear all; close all; alpha=0.5; betha=1/14; tmax=100;
S=zeros(1,tmax); I=zeros(1,tmax); R=zeros(1,tmax);
S0=99; I0=1; R0=0; S(1)=S0; I(1)=I0; R(1)=R0; N=S0+I0+R0; T(1)=0;
for t=1:tmax
T(t+1) = t; ds = -alpha*S(t)*I(t)/N; S(t+1) = S(t) + ds;
di = alpha*S(t)*I(t)/N - betha*I(t); I(t+1) = I(t) + di;
dr = betha*I(t); R(t+1) = R(t) + dr;
endfor
plot(T,S, 'linewidth', 3, T,I, 'linewidth', 3, T,R, 'linewidth', 3);
title('Model Epedemik SIR'); legend('S(t)','I(t)','R(t)');
xlabel('waktu, t'); ylabel('Populasi'); grid on;
nama_file = "sir_diskrit.txt"; id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf(id_file, "%3s %5s %5s %5s \n\n", "(t)", "S(t)", "I(t)", "R(t)");
for t = 1:tmax
fprintf(id_file,"%2i %3i %3i %3i \n", t,round(S(t)),round(I(t)), round(R(t)));
endfor
fclose(id_file);

Halaman: 287 349


L.6 Model SIRS Kontinyu
clc; clear all; close all;
global alpha=0.5; global betha=1/14; global tetha=1/18; global N;
So=99; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
function xdot = sirs_model(x,t)
global alpha; global betha; global tetha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N + tetha*r;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i - tetha*r;
xdot = [ds, di, dr];
endfunction
simulasi_awal=0; simulasi_ahir=50;
t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir+1);
xo = [So, Io, Ro]; x = lsode ("sirs_model", xo, t);
hasil =[transpose(t),x];
nama_file = "sirs_ode.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S I R" );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%5.2f %3i %3i %3i\n", hasil(j,1), round(hasil(j,2)), \
round(hasil(j,3)), round(hasil(j,4)));
endfor
fclose(id_file);
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x(:,3), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir])
title ("Rentan(S), Terinfeksi(I), dan Sembuh(R)");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid on;
legend('Rentan', 'Terinfeksi', 'Sembuh','location', 'north');

L.7 Model SIRS Diskrit


clc; clear all; close all; alpha=0.5; betha=1/14; tetha=1/18;
tmax=100; S=zeros(1,tmax); I=zeros(1,tmax); R=zeros(1,tmax);
S0=99; I0=1; R0=0; S(1)=S0; I(1)=I0; R(1)=R0; N=S0+I0+R0; T(1)=0;
for t=1:tmax
T(t+1) = t; ds =-alpha*S(t)*I(t)/N+tetha*R(t); S(t+1) = S(t)+ds;
Di = alpha*S(t)*I(t)/N-betha*I(t); I(t+1) = I(t)+di;
dr = betha*I(t)-tetha*R(t); R(t+1) = R(t) + dr;
endfor
plot(T,S, 'linewidth', 3, T,I, 'linewidth', 3, T,R, 'linewidth', 3);
title('Model Epedemik SIRS Diskrit'); legend('S(t)','I(t)','R(t)');
xlabel('waktu, t'); ylabel('Populasi'); grid on;
nama_file = "sirs_diskrit.txt"; id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf(id_file, "%3s %5s %5s %5s \n\n", "(t)", "S(t)", "I(t)", "R(t)");

Halaman: 288 349


for t = 1:tmax
fprintf(id_file, "%2i %3i %3i %3i \n", \
t, round(S(t)), round(I(t)), round(R(t)));
endfor
fclose(id_file);

L.8 Model SIRD Kontinyu


clc; clear all; close all; global N;
global alpha=0.5; global betha=1/6; global delta=1/14;
So=99; Io=1; Ro=0; D0=0; N=So+Io+Ro+D0;
function xdot = sird_model(x,t)
global alpha; global betha; global delta; global N;
s=x(1); i=x(2); r=x(3); d=x(4); ds =-alpha*s*i/N;
di = alpha*s*i/N-betha*i-delta*i; dr = betha*i;
dd = delta*i; xdot = [ds, di, dr, dd];
endfunction
simulasi_awal=0; simulasi_ahir=100;
t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir+1);
xo = [So, Io, Ro, D0]; x = lsode ("sird_model", xo, t);
hasil =[transpose(t),x];
nama_file = "sird_ode.txt"; id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S I R D" );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%3i %3i %3i %3i %3i\n", \
hasil(j,1), round(hasil(j,2)),\
round(hasil(j,3)), round(hasil(j,4)), round(hasil(j,5)));
endfor
fclose(id_file);
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x(:,3), 'color', 'green', 'linewidth', 3, \
t, x(:,4), 'color', 'black', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir])
title ("Rentan(S), Terinfeksi(I), dan Sembuh(R)");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid on;
legend('Rentan', 'Terinfeksi', 'Sembuh','location', 'north');

L.9 Model SEIS Kontinyu


clc; clear all; close all; So=99; Eo=0; Io=1; N=So+Eo+Io;
global alpha=0.5; global K=0.4; global betha=1/10; global N;
function xdot = seis(x,t)
global alpha; global betha; global K; global N;
s = x(1); e = x(2); i = x(3); ds = -alpha*s*i/N + betha*i;
de = alpha*s*i/N - K*e; di = K*e - betha*i; xdot = [ds, de, di];

Halaman: 289 349


endfunction
simulasi_awal=0; simulasi_ahir=100;
t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir+1);
xo = [So, Eo, Io]; x = lsode ("seis", xo, t); hasil =[transpose(t),x];
nama_file = "seis_ode.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S E I" );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %3i\n", \
hasil(j,1), round(hasil(j,2)), round(hasil(j,3)), round(hasil(j,4)));
endfor
fclose(id_file);
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x(:,3), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir]); title ("(S), (E), (I)");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid on;
legend('S', 'E', 'I','location', 'north');

L.10 Model SEIR Kontinyu


clc; clear all; close all; So=99; Eo=0; Io=1; Ro=0; N=So+Eo+Io+Ro;
global alpha=0.5; global K=0.15; global betha=1/14; global N;
function xdot = seir(x,t)
global alpha; global betha; global K; global N;
s = x(1); e=x(2); i=x(3); r=x(4); ds = -alpha*s*i/N;
de = alpha*s*i/N - K*e; di = K*e - betha*i;
dr = betha*i; xdot = [ds, de, di, dr];
endfunction
simulasi_awal=0; simulasi_ahir=100;
t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir+1);
xo = [So, Eo, Io, Ro]; x = lsode ("seir", xo, t); hasil =[transpose(t),x];
nama_file = "seir_ode.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S E I R" );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %3i %3i\n", \
hasil(j,1), round(hasil(j,2)),\
round(hasil(j,3)), round(hasil(j,4)), round(hasil(j,5)));
endfor
fclose(id_file);
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x(:,3), 'color', 'black', 'linewidth', 3, \
t, x(:,4), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir]); title ("(S), (E), (I) , (R)");

Halaman: 290 349


xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid on;
legend('S', 'E', 'I', 'R', 'location', 'north');

L.11 Model SEIRS Kontinyu


clc; clear all; close all; So=99; Eo=0; Io=1; Ro=0; N=So+Eo+Io+Ro;
global alpha=0.6; global K=0.4; global betha=1/10;
global N; global tetha=1/14;
function xdot = seirs(x,t)
global alpha; global betha; global K; global tetha; global N;
s = x(1); e=x(2); i=x(3); r=x(4); ds = -alpha*s*i/N + tetha*r;
de = alpha*s*i/N - K*e; di = K*e - betha*i;
dr = betha*i - tetha*r; xdot = [ds, de, di, dr];
endfunction
simulasi_awal=0; simulasi_ahir=50;
t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir+1);
xo=[So,Eo,Io,Ro]; x=lsode("seirs",xo,t); hasil =[transpose(t),x];
nama_file = "seirs_ode.txt"; id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S E I R" );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %3i %3i\n", \
hasil(j,1), round(hasil(j,2)),\
round(hasil(j,3)), round(hasil(j,4)), round(hasil(j,5)));
endfor
fclose(id_file);
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x(:,3), 'color', 'black', 'linewidth', 3, \
t, x(:,4), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir]); title ("(S), (E), (I) , (R)");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid on;
legend('S', 'E', 'I', 'R', 'location', 'north');

L.12 Model SEIRD Kontinyu


clc; clear all; close all; global N; global delta=0.02;
global alpha=0.75; global K=0.5; global betha=1/10;
So=99; Eo=0; Io=1; Ro=0; D0=0; N=So+Eo+Io+Ro+D0;
function xdot = seird(x,t)
global alpha; global betha; global K; global delta; global N;
s = x(1); e=x(2); i=x(3); r=x(4); d=x(5);
ds = -alpha*s*i/N; de = alpha*s*i/N - K*e;
di = K*e - betha*i - delta*i; dr = betha*i;
dd = delta*i; xdot = [ds, de, di, dr, dd];
endfunction
simulasi_awal=0; simulasi_ahir=50;

Halaman: 291 349


t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir+1);
xo=[So,Eo,Io,Ro,D0]; x=lsode ("seird", xo, t); hasil =[transpose(t),x];
nama_file = "seird_ode.txt"; id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S E I R D" );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %3i %3i %3i\n", \
hasil(j,1), round(hasil(j,2)), round(hasil(j,3)), round(hasil(j,4)),
round(hasil(j,5)), round(hasil(j,6)));
endfor
fclose(id_file);
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x(:,3), 'color', 'black', 'linewidth', 3, \
t, x(:,4), 'color', 'cyan', 'linewidth', 3, \
t, x(:,5), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir]); title ("(S), (E), (I), (R), (D)");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid on;
legend('S', 'E', 'I', 'R', 'D','location', 'north');

L.13 Model SIR Dinamika Populasi


clc; clear all; close all; global alpha=0.5; global betha=1/14; global N;
global L = 0.0000685; global M = 0.0000171;
So=99; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
function xdot = sir_din(x,t)
global alpha; global betha; global N; global L; global M;
s=x(1); i=x(2); r=x(3); ds=L*N-M*s-alpha*s*i/N;
di=alpha*s*i/N-betha*i-M*i; dr=betha*i-M*r; xdot=[ds, di, dr];
endfunction
simulasi_awal=0; simulasi_ahir=100;
t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir+1);
xo = [So, Io, Ro]; x = lsode ("sir_din", xo, t); hasil =[transpose(t),x];
nama_file = "sir_din_ode.txt"; id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S I R" );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%5.2f %3i %3i %3i\n", \
hasil(j,1), round(hasil(j,2)), round(hasil(j,3)), round(hasil(j,4)));
endfor
fclose(id_file);
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x(:,3), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir])
title ("Rentan(S), Terinfeksi(I), dan Sembuh(R)");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid minor on;
legend('Rentan', 'Terinfeksi', 'Sembuh','location', 'north');

Halaman: 292 349


L.14 Model MSEIR Kontinyu
clc; clear all; close all; global alpha=0.25; global betha=1/14; global N;
global L = 0.0000685; global u = 0.0000685; global K = 0.7; global E = 0.1;
Mo=75; So=24; Eo=0; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro+Mo+Eo;
function xdot = mseir(x,t)
global alpha; global betha; global N; global L; global u; global K; global E;
m=x(1); s=x(2); e=x(3); i=x(4); r=x(5); dm = L*(N-s) - u*m - E*m;
ds = L*s + E*m - u*s - alpha*s*i/N; de = alpha*s*i/N - K*e -u*e;
di = K*e - betha*i - u*i; dr = betha*i - u*r; xdot = [dm, ds, de, di, dr];
endfunction
simulasi_awal=0; simulasi_ahir=100;
t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir+1);
xo = [Mo, So, Eo, Io, Ro]; x = lsode ("mseir", xo, t); hasil =[transpose(t),x];
nama_file = "mseir_ode.txt"; id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) M S E I R" );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%5.2f %3i %3i %3i %3i %3i\n", \
hasil(j,1), round(hasil(j,2)), round(hasil(j,3)), round(hasil(j,4)), \
round(hasil(j,5)), round(hasil(j,6)));
endfor
fclose(id_file);
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x(:,3), 'color', 'black', 'linewidth', 3, \
t, x(:,4), 'color', 'cyan', 'linewidth', 3, \
t, x(:,5), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir])
title ("M, S, E, I, R");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid minor on;
legend('M', 'S', 'E', ’I’, ’R’, 'location', 'north');

L.15 Model MSEIRS Kontinyu


clc; clear all; close all; global alpha=0.25; global betha=1/14; global N;
global L = 0.0000685; global u = 0.0000685; global psi = 0.25;
global K = 0.7; global E = 0.1; Mo=75; So=24; Eo=0; Io=1;
Ro=0; N=So+Io+Ro+Mo+Eo;
function xdot = mseirs(x,t)
global alpha; global betha; global N; global L; global u; global K;
global E; global psi;
m=x(1); s=x(2); e=x(3); i=x(4); r=x(5); dm = L*(N-s) - u*m - E*m;
ds= L*s+E*m+psi*r-u*s-alpha*s*i/N; de=alpha*s*i/N-K*e-u*e;
di= K*e-betha*i-u*i; dr=betha*i-psi*r-u*r; xdot=[dm, ds, de, di, dr];
endfunction

Halaman: 293 349


simulasi_awal=0; simulasi_ahir=100;
t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir+1);
xo = [Mo, So, Eo, Io, Ro]; x = lsode ("mseirs", xo, t); hasil =[transpose(t),x];
nama_file = "mseirs_ode.txt"; id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) M S E I R" );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%5.2f %3i %3i %3i %3i %3i\n", \
hasil(j,1), round(hasil(j,2)), round(hasil(j,3)), round(hasil(j,4)), \
round(hasil(j,5)),round(hasil(j,6)));
endfor
fclose(id_file);
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x(:,3), 'color', 'cyan', 'linewidth', 3, \
t, x(:,4), 'color', 'black', 'linewidth', 3, \
t, x(:,5), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir])
title ("M S E I R"); xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid minor on;
legend ('M', 'S', 'E', 'I', 'R','location', 'north');

L.16 Model SIRV Kontinyu


clc; clear all; close all; global alpha=0.5; global betha = 1/14;
global P=0.75; global L=0.0000685; global M=0.0000171;
simulasi_awal=0; simulasi_ahir=90; So=99; Io=1; Ro=0; Vo=0;
global N=So+Io+Ro+Vo;
function xdot = sirv(x,t)
global alpha; global betha; global N; global P; global L; global M;
s=x(1); i=x(2); r=x(3); v=x(4); ds=L*N*(1-P)-M*s-alpha*s*i/N;
di=alpha*s*i/N-betha*i-M*i; dr=betha*i-M*r;
dv=L*N*P-M*v; xdot=[ds, di, dr, dv];
endfunction
t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir+1);
xo=[So, Io, Ro, Vo]; x=lsode ("sirv",xo,t); hasil=[transpose(t),x];
nama_file = "sirv_ode2.txt"; id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S I R V" );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%3i %3i %3i %3i %3i\n", \
hasil(j,1), round(hasil(j,2)),\
round(hasil(j,3)), round(hasil(j,4)), round(hasil(j,5)));
endfor
fclose(id_file);
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x(:,3), 'color', 'green', 'linewidth', 3, \
t, x(:,4), 'color', 'magenta', 'linewidth', 3);

Halaman: 294 349


xlim([simulasi_awal simulasi_ahir])
title ("Rentan(S), Infeksi(I), Sembuh(R), Vaksin(V)");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid minor on;
legend('Rentan', 'Infeksi', 'Sembuh','Vaksin','location', 'north');

L.17 DDE SIRS 1


function main
global alpha; global betha; global gamma;
global N; global tau;global So; global Io; global Ro;
clc; close all; alpha=0.5; betha=1/10; gamma=1/15;
tau=1.0; delays=[tau];
awal=0; akhir=50; interval_waktu= [awal akhir];
So=99; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
solusi = dde23(@fungsi_turunan, delays,…
@histori, interval_waktu);
figure; plot(solusi.x, solusi.y, 'LineWidth', 2);
xlabel ('t(hari)'); ylabel('jiwa');
legend ('S','I','R'); grid on;
end

function dydt = fungsi_turunan (t,y,Z)


global alpha, global betha; global gamma; global N;
S=y(1); I=y(2); R=y(3); ylags = Z(:,1);
% lag-nya(3) karena delay untuk R
dsdt = -alpha*S*I/N + gamma*ylags(3);
didt = alpha*S*I/N - betha*I;
drdt = betha*I - gamma*ylags(3);
dydt = [dsdt; didt; drdt];
end

function yo = histori(t)
global So; global Io; global Ro;
yo = [So, Io, Ro];
end

L.18 DDE SIRS 2


function main
global alpha; global betha; global gamma;
global N; global tau1; global tau2;
global So; global Io; global Ro;clc; close all;
alpha=0.5; betha=1/10; gamma=1/15;
tau1=0.5; tau2=0.25; delays=[tau1; tau2];
awal=0; akhir=30; interval_waktu= [awal akhir];
So=99; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
solusi = dde23(@fungsi_turunan, delays, …
@histori, interval_waktu);
figure;
plot(solusi.x, solusi.y, 'LineWidth', 2);
xlabel ('t(hari)'); ylabel('jiwa');
legend ('S','I','R'); grid on;
end

function dydt = fungsi_turunan (t,y,Z)


global alpha, global betha; global gamma;

Halaman: 295 349


global N; S=y(1); I=y(2); R=y(3);
ylag1=Z(:,1); ylag2=Z(:,2);
% urutan ke1 ylag1, (3) untuk R
% urutan ke2 ylag2, (2) untuk I
dsdt = -alpha*S*ylag2(2)/N + gamma*ylag1(3);
didt = alpha*S*ylag2(2)/N - betha*I;
drdt = betha*I - gamma*ylag1(3);
dydt = [dsdt; didt; drdt];
end

function yo = histori(t)
global So; global Io; global Ro;
yo = [So, Io, Ro];
end

L.19 DDE SIRS 1, NILAI BERBEDA


function main
global alpha; global betha; global gamma;
global N; global So; global Io; global Ro;
clc; close all;
alpha=0.5; betha=1/14; gamma=1/18;
awal=0; akhir=100; interval_waktu= [awal akhir];
So=99; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
s1 = dde23(@fungsi_s1, 0.01, @h1, interval_waktu);
s2 = dde23(@fungsi_s2, 7, @h2, interval_waktu);
s3 = dde23(@fungsi_s3, 16, @h3, interval_waktu);
figure;
plot(s1.x,s1.y(1,:),s2.x,s2.y(1,:),s3.x,s3.y(1,:),…
'LineWidth', 3);
xlabel ('t(hari)'); ylabel('Rentan');
legend ('T=0.01','T=7','T=16'); grid on;
figure;
plot(s1.x,s1.y(2,:),s2.x,s2.y(2,:),s3.x,s3.y(2,:),…
'LineWidth', 3);
xlabel ('t(hari)'); ylabel('Terinfeksi');
legend ('T=0.01','T=7','T=16'); grid on;
figure;
plot(s1.x,s1.y(3,:),s2.x,s2.y(3,:),s3.x,s3.y(3,:),…
'LineWidth', 3);
xlabel ('t(hari)'); ylabel('Kebal Sementara');
legend ('T=0.01','T=7','T=16'); grid on;
end

function dydt = fungsi_s1 (t,y,Z)


global alpha, global betha; global gamma; global N;
S=y(1); I=y(2); R=y(3); ylags = Z(:,1);
dsdt = -alpha*S*I/N + gamma*ylags(3);
didt = alpha*S*I/N - betha*I;
drdt = betha*I - gamma*ylags(3);
dydt = [dsdt; didt; drdt];
end

function dydt = fungsi_s2 (t,y,Z)


global alpha, global betha; global gamma; global N;
S=y(1); I=y(2); R=y(3); ylags = Z(:,1);
dsdt = -alpha*S*I/N + gamma*ylags(3);
didt = alpha*S*I/N - betha*I;
drdt = betha*I - gamma*ylags(3);

Halaman: 296 349


dydt = [dsdt; didt; drdt];
end

function dydt = fungsi_s3 (t,y,Z)


global alpha, global betha; global gamma; global N;
S=y(1); I=y(2); R=y(3); ylags = Z(:,1);
dsdt = -alpha*S*I/N + gamma*ylags(3);
didt = alpha*S*I/N - betha*I;
drdt = betha*I - gamma*ylags(3);
dydt = [dsdt; didt; drdt];
end

function yo = h1(t)
global So; global Io; global Ro;
yo = [So, Io, Ro];
end

function yo = h2(t)
global So; global Io; global Ro;
yo = [So, Io, Ro];
end

function yo = h3(t)
global So; global Io; global Ro;
yo = [So, Io, Ro];
end

L.20 DDE SIRS 2, 2 DELAY BERBEDA


function main
global alpha; global betha; global gamma;
global N; global So; global Io; global Ro;
clc; close all;
%
alpha=0.5; betha=1/10; gamma=1/15;
delay1=[2;1]; delay2=[2;5]; delay3=[2;14];
awal=0; akhir=70; interval_waktu= [awal akhir];
So=99; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
%
s1 = dde23(@fungsi_turunan, delay1, @histori, …
interval_waktu);
s2 = dde23(@fungsi_turunan, delay2, @histori, …
interval_waktu);
s3 = dde23(@fungsi_turunan, delay3, @histori, …
interval_waktu);
figure;
plot(s1.x,s1.y(1,:),s2.x,s2.y(1,:),s3.x,s3.y(1,:),…
'LineWidth', 3);
xlabel ('t(hari)'); ylabel('Rentan');
legend ('[T1=2,T2=1]','[T1=2,T2=5]','[T1=2,T2=14]');
grid on;
%
i1 = dde23(@fungsi_turunan, delay1, @histori,…
interval_waktu);
i2 = dde23(@fungsi_turunan, delay2, @histori,…
interval_waktu);
i3 = dde23(@fungsi_turunan, delay3, @histori,…
interval_waktu);

Halaman: 297 349


figure;
plot(i1.x,i1.y(2,:),i2.x,i2.y(2,:),i3.x,i3.y(2,:),…
'LineWidth', 3);
xlabel ('t(hari)'); ylabel('Infeksi');
legend ('[T1=2,T2=1]','[T1=2,T2=5]','[T1=2,T2=14]');
grid on;
%
r1 = dde23(@fungsi_turunan, delay1, @histori, …
interval_waktu);
r2 = dde23(@fungsi_turunan, delay2, @histori,…
interval_waktu);
r3 = dde23(@fungsi_turunan, delay3, @histori,…
interval_waktu);
figure;
plot(r1.x,r1.y(3,:),r2.x,r2.y(3,:),r3.x,r3.y(3,:),…
'LineWidth', 3);
xlabel ('t(hari)'); ylabel('Kebal');
legend ('[T1=2,T2=1]','[T1=2,T2=5]','[T1=2,T2=14]');
grid on;
end

function dydt = fungsi_turunan (t,y,Z)


global alpha, global betha; global gamma; global N;
S=y(1); I=y(2); R=y(3); ylag1=Z(:,1); ylag2=Z(:,2);
dsdt = -alpha*S*ylag2(2)/N + gamma*ylag1(3);
didt = alpha*S*ylag2(2)/N - betha*I;
drdt = betha*I - gamma*ylag1(3);
dydt = [dsdt; didt; drdt];
% ylag1 merujuk delay=2 di atas, (3) merujuk suku R
% ylag2 merujuk delay=1,5,14 di atas, (2) merujuk suku I
end

function yo = histori(t)
global So; global Io; global Ro;
yo = [So, Io, Ro];
end

L.21 Generator Sampel Acak


clc; waktu_total = 30; % 30 hari
jml_sampling_waktu = 30; % 30 data
dt = waktu_total / jml_sampling_waktu; % per-hari
sampel_acak1 = zeros (1, jml_sampling_waktu);
sampel_acak2 = zeros (1, jml_sampling_waktu);
sampel_acak3 = zeros (1, jml_sampling_waktu);
for i = 1:jml_sampling_waktu
% pendekatan transformasi box-muller
r1=randn; r2=randn; sigma=1; rata2=0;
s = (-2*log(r1))^0.5 * cos(2*pi*r2);
sampel_acak1(i) = s*sigma + rata2;
% pendekatan fungsi simulasi acak wiener
temps = wienrnd (1, 1, 1);
sampel_acak2(i) = temps (1,2);
% pendekatan proses wiener diskrit

Halaman: 298 349


sampel_acak3(i) = randn * sqrt(dt);
endfor
figure(1, 'name', '3 Contoh Tipe Sampel Acak');
plot ([0:dt:waktu_total], [0, sampel_acak1], 'color', 'blue', 'linewidth', 2, \
[0:dt:waktu_total], [0, sampel_acak2], 'color', 'red', 'linewidth', 2, \
[0:dt:waktu_total], [0, sampel_acak3], 'color', 'black', 'linewidth', 2);
title ("Contoh 3 Tipe Sampel Acak")
xlabel ("Waktu(hari)"); ylabel ("Sampel Acak"); grid minor on
legend('Box-Muller', 'Simulasi Wiener', 'Wiener Diskrit');

L.22 Model SIR Stokastik


clc;
function sampel_acak = sampel_acak_box_muller
r1=randn; r2=randn; sigma=1; rata2=0;
s = (-2*log(r1))^0.5 * cos(2*pi*r2);
x = s*sigma + rata2; sampel_acak = x;
endfunction
%
function sampel_acak = sampel_acak_wiener
waktu=1; dimensi=1; jumlah=1;
temps = wienrnd(waktu, dimensi, jumlah);
sampel_acak = temps (1,2);
endfunction
%
rentan=[]; infeksi=[]; sembuh=[]; % stokastik
rentani=[]; infeksii=[]; sembuhi=[]; % dasar
waktu = [];akhir_simulasi = 50; % hari
So=99; Io=1; Ro=0; % stokastik
Soi=So; Ioi=Io; Roi=Ro; % dasar
N=So+Io+Ro; alpha=0.5; betha=1/14; dt=1;
%
for t = 1 : akhir_simulasi
% rumus-rumus model SIR stokastik
w1 = sampel_acak_box_muller;
w2 = sampel_acak_box_muller;
S(t) = So - alpha*Io*So/N*dt - sqrt(alpha*Io*So/N)*w1*dt;
I(t) = Io + (alpha*So*Io/N - betha*Io)*dt + \
sqrt(alpha*Io*So/N)*w1*dt - \
sqrt(betha*Io)*w2*dt;
R(t) = Ro + betha*Io*dt + sqrt(betha*Io)*w2*dt;
% rumus-rumus model SIR dasar/biasa
Si(t) = Soi - alpha*Ioi*Soi/N*dt;
Ii(t) = Ioi + (alpha*Soi*Ioi/N - betha*Ioi)*dt;
Ri(t) = Roi + betha*Ioi*dt;
rentan(t)=So; infeksi(t)=Io; sembuh(t)=Ro; % stokastik

Halaman: 299 349


rentani(t)=Soi; infeksii(t)=Ioi; sembuhi(t)=Roi; % dasar
waktu(t) = t-1;
So=S(t); Io=I(t); Ro=R(t); % stokastik
Soi=Si(t); Ioi=Ii(t); Roi=Ri(t); % dasar
endfor
%
figure(1, 'name', 'Model Epidemik SIR Stokastik');
plot (waktu, rentan, 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
waktu, infeksi, 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
waktu, sembuh, 'color', 'green', 'linewidth', 3);
title ("Rentan(S), Terinfeksi(I), dan Sembuh(R)")
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid minor on
legend('Rentan(S)', 'Terinfeksi(I)', 'Sembuh(R)', 'location', 'north');
%
figure(2, 'name', 'Kurva Rentan(S) Stokastik & Dasar');
plot (waktu, rentan, 'color', 'blue', 'linewidth', 2, \
waktu, rentani, 'color', 'black', 'linewidth', 2);
title ("Rentan Stokastik Vs. Dasar"); xlabel ("Hari");
ylabel ("Jiwa"); grid minor on
legend('Stokastik', 'Dasar', 'location', 'north');
%
figure(3, 'name', 'Kurva Terinfeksi(I) Stokastik & Dasar');
plot (waktu, infeksi, 'color', 'red', 'linewidth', 2, \
waktu, infeksii, 'color', 'black', 'linewidth', 2);
title ("Terinfeksi Stokastik Vs Dasar"); xlabel ("Hari");
ylabel ("Jiwa"); grid minor on
legend('Stokastik', 'Dasar', 'location', 'north');
%
figure(4, 'name', 'Kurva Sembuh(R) Stokastik & Dasar');
plot (waktu, sembuh, 'color', 'green', 'linewidth', 2, \
waktu, sembuhi, 'color', 'black', 'linewidth', 2);
title ("Sembuh Stokastik Vs. Dasar"); xlabel ("Hari");
ylabel ("Jiwa"); grid minor on
legend('Stokastik', 'Dasar', 'location', 'north');
%
nama_file = "c:/sir_stokas.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf(id_file, "%s %5s %5s %5s \n\n", "(t)", \
"Rentan", "Infeksi", "Sembuh");
for j = 1:akhir_simulasi
fprintf(id_file, "%2i %5.1f %5.1f %5.1f \n", \
waktu(j), rentan(j), infeksi(j), sembuh(j));
endfor
fclose(id_file);

Halaman: 300 349


L.23 Algoritma Gillespie
clc;
rentan=[]; infeksi=[]; sembuh=[]; waktu=[]; indeks=1; N=100;
rentan(indeks) = 99; infeksi(indeks) = 1; sembuh(indeks) = 0;
waktu (indeks) = 0; alpha=0.5; betha=1/14; hari_simulasi=100; t=0;
while (t < hari_simulasi)
S = rentan(indeks); I = infeksi(indeks); R = sembuh(indeks);
if (I==0)
break;
endif
r1 = alpha*S*I/N; r2 = betha*I; r = r1+r2; acak = rand();
t = t-log(acak)/r;
if (acak < r1/r)
S = S-1; I = I+1;
else
I=I-1; R=R+1;
endif
indeks=indeks+1; rentan(indeks) = S; infeksi(indeks) = I;
sembuh(indeks) = R; waktu(indeks)=t;
endwhile
%
figure(1, 'name', 'Model Epidemik SIR Stokastik');
plot (waktu, rentan, 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
waktu, infeksi, 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
waktu, sembuh, 'color', 'green', 'linewidth', 3);
title ("Rentan(S), Terinfeksi(I), dan Sembuh(R)")
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid minor on
legend('Rentan(S)', 'Terinfeksi(I)', 'Sembuh(R)', 'location', 'north');
%
nama_file = "c:/sir_stokastik_gillpie.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf(id_file, "%s %5s %5s %5s \n\n", "(t)", \
"Rentan", "Infeksi", "Sembuh");
for i = 1:indeks
fprintf(id_file, "%5.2f %3i %3i %3i \n", \
waktu(i), rentan(i), infeksi(i), sembuh(i));
endfor
fclose(id_file);

L.24 Rantai Markov 1


clc; jml_simulasi=90; alpha=0.2; betha=0.05;
So=99; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
rentan=[jml_simulasi]; infeksi=[jml_simulasi];
sembuh=[jml_simulasi]; waktu=[jml_simulasi];

Halaman: 301 349


rentan(1)=So; infeksi(1)=Io; sembuh(1)=0; waktu(1)=0;
masukan = [So; Io; Ro]; hasil = [0; 0; 0];
p = [1-alpha, 0, 0; alpha, 1-betha, 0; 0, betha, 1];
for i = 2:jml_simulasi
hasil = p*masukan; waktu(i) = i-1;
rentan(i)= hasil(1); infeksi(i)= hasil(2); sembuh(i)= hasil(3);
masukan = hasil(); % untuk iterasi berikutnya
endfor
figure(1, 'name', 'Rantai Markov Model Epidemik SIS');
plot (waktu, rentan, 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
waktu, infeksi, 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
waktu, sembuh, 'color', 'green', 'linewidth', 3);
title ("Rentan(S), Terinfeksi(I), dan Sembuh(R)")
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid minor on;
legend('Rentan(S)', 'Infeksi(I)', 'Sembuh(R)', 'location', 'north');
nama_file = "c:/sir_model_markov.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S I R" );
for j = 1:jml_simulasi
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %3i\n", waktu(j), \
round (rentan(j)), round(infeksi(j)), round(sembuh(j)));
endfor % j
fclose(id_file);

L.25 Rantai Markov 2


clc; jml_simulasi=100; alpha=0.5; betha=1/14;
So=99; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro; To=0;
rentan=[]; infeksi=[]; sembuh=[]; waktu=[];
% vektor 3x1 input & output
hasil = [0; 0; 0];
% matriks transisi model SIR 3x3
for i = 1:jml_simulasi
rentan(i)=So; infeksi(i)=Io; sembuh(i)=Ro; waktu(i)=To;
masukan = [So; Io; Ro];
p = [1-alpha*rentan(i)*infeksi(i)/N/N, 0, 0; \
alpha*rentan(i)*infeksi(i)/N/N, 1-betha*infeksi(i)/N, 0; \
0, betha*infeksi(i)/N, 1];
hasil = p*masukan;
To=To+1; So=hasil(1); Io=hasil(2); Ro=hasil(3);
endfor
%
figure(1, 'name', 'Rantai Markov Model Epidemik SIS');
plot (waktu, rentan, 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
waktu, infeksi, 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
waktu, sembuh, 'color', 'green', 'linewidth', 3);

Halaman: 302 349


title ("Rentan(S), Terinfeksi(I), dan Sembuh(R)");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid minor on;
legend('Rentan(S)', 'Infeksi(I)', 'Sembuh(R)', 'location', 'north');
%
gabung = [waktu; rentan; infeksi; sembuh];
gabung = gabung'; % ditranspose
%
nama_file = "c:/sir_model_markov.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "Hari Rentan Terinfeksi Sembuh" );
for j = 1:jml_simulasi
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %3i\n", \
gabung(j,1), round(gabung(j,2)),\
round(gabung(j,3)), round(gabung(j,4)));
endfor % j
fclose(id_file);

L.26 Next Generation Matrix


clc; G = [1, 1.25, 1.5; 0.2, 1, 1.75; 0.025, 0.075, 0.1];
determinan = det(G); nilai_eigen = eig(G);
Ro = max(nilai_eigen)
Z = [1; 1; 1]; % anak, remaja, ortu awal
anak=[]; remaja=[]; ortu=[]; waktu=[]; putaran = 15;
for i=1:putaran
x = G*Z; anak(i)=x(1); remaja(i)=x(2); ortu(i)=x(3); waktu(i)=i;
Z = x;
endfor
figure(1, 'name', 'Penyebaran Penyakit');
plot (waktu, anak, 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
waktu, remaja, 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
waktu, ortu, 'color', 'black', 'linewidth', 3);
title ("Anak-anak, Remaja, Orang tua");
xlabel ("Waktu"); ylabel ("Jiwa"); grid on;
legend('Anak-anak', 'Remaja', 'Orang tua', 'location', 'north');
%
nama_file = "c:/next_generation.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) Anak Remaja Ortu" );
for i=1:putaran
fprintf (id_file, "%2i %5.0f %5.0f %5.0f \n", \
i, anak(i), remaja(i), ortu(i));
endfor
fclose(id_file);

Halaman: 303 349


L.27 Next Generation Matrix
clc; G = [ 1.00, 0.35, 0.85, 1.85; \
0.35, 0.05, 0.15, 0.75; \
0.05, 0.05, 0.25, 0.35; \
0.25, 0.10, 0.15, 0.35;];
Z = [1; 1; 1; 1]; % remaja, ortu, guru, media
determinan = det(G); nilai_eigen = eig(G); Ro = max(nilai_eigen)
remaja=[]; ortu=[]; guru=[]; media=[]; waktu=[]; putaran = 15;
for i=1:putaran
x = G*Z; remaja(i)=x(1); ortu(i)=x(2); guru(i)=x(3);
media(i)=x(4); waktu(i)=i; Z = x;
endfor
figure(1, 'name', 'Penyebaran Penyakit');
plot (waktu, remaja, 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
waktu, ortu, 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
waktu, guru, 'color', 'green', 'linewidth', 3, \
waktu, media, 'color', 'black', 'linewidth', 3);
title ("Remaja, Ortu, Guru, Media");
xlabel ("Waktu"); ylabel ("Jiwa"); grid on;
legend('Remaja', 'Orang tua', 'Guru', 'Media', 'location', 'north');
%
nama_file = "c:/next_generation.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) Remaja Ortu Guru Media" );
for i=1:putaran
fprintf (id_file, "%2i %5.0f %5.0f %5.0f %5.0f\n", \
i, remaja(i), ortu(i), guru(i), media(i));
endfor
fclose(id_file);

L.28a Gaussian Peak Function


% Gaussian Peak Function
clc; close all; clear all; clf;
% data jumlah korban penyakit per-harinya
sakit = [1, 4, 9, 14, 21, 31, 44, 59, 79, 104, \
135, 170, 207, 240, 272, 312, 322, 313, 300, 289, \
284, 270, 252, 221, 197, 147, 135, 93, 82, 61, 49];
waktu = 0:1:30; jml_data = length (sakit);
%
y_max = max(sakit);
x_y_max = 0;
for i=1:jml_data
if (sakit(i)==y_max)
x_y_max = i;

Halaman: 304 349


break; % keluar loop
end
endfor
fwhm = jml_data-x_y_max; width = fwhm/2;
% Fungsi Puncak Gauss; g1(waktu), g3(waktu), g3(waktu)
q = 0; g1 = y_max*exp(-log(2)*((waktu-fwhm-q)/width).^2);
q = 3.5; g2 = y_max*exp(-log(2)*((waktu-fwhm-q)/width).^2);
q = -3.5; g3 = y_max*exp(-log(2)*((waktu-fwhm-q)/width).^2);
%
figure(1); % plot grafik 4 kurva
plot (waktu, sakit, 'linewidth', 2, 'color', 'black',
waktu, sakit, 'o', 'markersize', 10, 'color', 'black',
waktu, g1, 'linewidth', 1, 'color', 'blue',
waktu, g2, 'linewidth', 1, 'color', 'red',
waktu, g3, 'linewidth', 1, 'color', 'magenta');
grid minor on; xlabel ("Hari"); ylabel ('Jml Siswa Sakit');
legend ('Kurva Data', 'Data', 'Model Gauss q=0', \
'Model Gauss q=3.5', 'Model Gauss q=-3.5');
%
% Re = bilangan reproduksi efektif (Re atau Rt) kasus baru
nama_file = "c:/gauss.txt"; Re = [];
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s %4.0f \n", "Data Max: ", y_max);
fprintf (id_file, "%s %4.0f \n", "Waktu Data Max: ", x_y_max);
fprintf (id_file, "%s %4.0f \n", "FWHM: ", fwhm);
fprintf (id_file, "%s \n", "Hari, Data, Gauss, Re(t)");
for j = 1:jml_data
if (j==1)
Re(j)=0;
else
Re(j)= sakit(j)/sakit(j-1);
endif
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %4.2f\n", j, sakit(j), \
round(g2(j)), Re(j));
endfor % j
fclose(id_file);
% untuk prediksi beberapa hari ke depan
t = 0:1:40; % plus tambahan waktu
q = 3.5; g4 = y_max*exp(-log(2)*((t-fwhm-q)/width).^2);
figure(2); % plot grafik 1 kurva
plot (t, g4, 'linewidth', 2, 'color', 'red');
grid minor on; xlabel ("Hari"); ylabel ('Jml Siswa Sakit');
title ('Model Gauss dari Data');
%
gauss_max = max(g4); x_gauss_max = 0;
for i=1:t
if (g4(i)==gauss_max)

Halaman: 305 349


x_gauss_max = i;
break; % keluar loop
end
endfor
nama_file = "c:/gauss_prediksi.txt"; Re = [];
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "Hasil Prediksi Model Kurva Gauss");
fprintf (id_file, "%s %6.3f \n", "Gauss Max: ", gauss_max);
fprintf (id_file, "%s \n", "Hari, Jml Sakit, Re(t)");
for j = 1:length(t)
if (j==1)
Re(j)=0;
else
Re(j)= g4(j)/g4(j-1);
endif
fprintf (id_file, "%2i %3i %6.3f \n", j, round(g4(j)), Re(j));
endfor % j
fclose(id_file);

L.28b Gaussian Peak Function


clc; close all; clear; clf;
% data jumlah korban penyakit per-harinya
sakit = [1, 4, 9, 14, 21, 31, 44, 59, 79, 104, \
135, 170, 207, 240, 272, 312, 322, 313, 300, 289, \
284, 270, 252, 221, 197, 147, 135, 93, 82, 61, 49];
jml_data = length (sakit); waktu = 0:1:jml_data-1;
sakit_max = max(sakit); x_sakit_max = 0; Yo = 0;
for i=1:jml_data
if (sakit(i)==sakit_max)
x_sakit_max = i; % mu
break; % keluar loop
end
endfor
offset_x = [-1, 0, 1, 2, 3, 4, 5];
for i = 1:length (offset_x)
W(i) = jml_data - x_sakit_max-offset_x(i); % FWHM
stdv(i) = W(i)/2; % sigma
for j = 1:jml_data
atas = (waktu(j)-x_sakit_max).^2;
bawah = 2*stdv(i).^2;
model_sakit(i,j) = Yo + sakit_max*exp(-atas/bawah);
endfor
endfor
sakit_max
x_sakit_max

Halaman: 306 349


stdv(5)
figure(1);
plot (waktu, sakit, 'o', 'markersize', 10, 'color', 'blue', \
waktu, model_sakit(1,:), 'linewidth', 1, 'color', 'green', \
waktu, model_sakit(2,:), 'linewidth', 1, 'color', 'green', \
waktu, model_sakit(3,:), 'linewidth', 1, 'color', 'blue', \
waktu, model_sakit(4,:), 'linewidth', 1, 'color', 'green', \
waktu, model_sakit(5,:), 'linewidth', 1, 'color', 'red', \
waktu, model_sakit(6,:), 'linewidth', 1, 'color', 'magenta',
waktu, model_sakit(7,:), 'linewidth', 1, 'color', 'black');
grid on;

L.29 Fungsi Kuadrat


% Fungsi kuadrat y = ax^2 + bx + c
%
clc; close all; clear all; clf;
% data jumlah korban penyakit per-harinya
sakit = [1, 4, 9, 14, 21, 31, 44, 59, 79, 104, \
135, 170, 207, 240, 272, 312, 322, 313, 300, 289, \
284, 270, 252, 221, 197, 147, 135, 93, 82, 61, 49];
waktu = 0:1:30; jml_data = length (sakit);
xdata = waktu; ydata = sakit; jml_parameter = 3; % a, b, c
A = ones (jml_data, jml_parameter);
A(:,1) = xdata.^2; A(:,2) = xdata;
AtA = A'*A; inv_AtA = inv(AtA); F = ydata;
X = inv_AtA*(A'*F'); a=X(1); b=X(2); c=X(3);
x = waktu; y = a*x.^2 + b*x + c;
fx = a*x.^2 + b*x + c + 65; % dengan tambahan offset 65
plot (xdata, ydata, 'linewidth', 2); grid minor on; hold on;
plot (x, y, 'linewidth', 2); grid minor on; hold on;
plot (x, fx, 'linewidth', 2); grid minor on;
% menuliskan teks angka di grafik
jml_data = length (waktu);
for i=1:jml_data
text (waktu(i), sakit(i), num2str(sakit(i)));
end
% Re = bilangan reproduksi efektif (Rt) berdasar kasus baru
nama_file = "c:/kuadrat.txt"; Re = [];
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "a: %6.2f b: %6.2f c: %6.2f \n", X(1), X(2), X(3));
fprintf (id_file, "Hari, Data, Re(t), Kuadrat1, Kuadrat2 \n");
for j = 1:jml_data
if (j==1)
Re(j)=0;
else

Halaman: 307 349


Re(j)= sakit(j)/sakit(j-1);
endif
fprintf (id_file, "%2i %3i %4.2f %7.2f %7.2f \n", j, sakit(j), \
Re(j), y(j), fx(j));
endfor % j
fclose(id_file);

L.30 Fungsi Polinomial


pkg load statistics;
clc; close all; clear all; clf;
% data jumlah korban penyakit per-harinya
waktu = 0:1:30;
sakit = [1, 4, 9, 14, 21, 31, 44, 59, 79, 104, \
135, 170, 207, 240, 272, 312, 322, 313, 300, 289, \
284, 270, 252, 221, 197, 147, 135, 93, 82, 61, 49];
% Polinomial y = ao + a1x + a2x^2 + a3x^3+ + anx^n
x = waktu; y = sakit;
px = polyfit (x, y, 3); yx = polyval (px, x);
px1 = polyfit (x, y, 5); yx1 = polyval (px1, x);
px2 = polyfit (x, y, 10); yx2 = polyval (px2, x);
plot (x, y, 'o', 'markersize', 5, 'color', 'black', \
x, yx, 'color', 'black', 'linewidth', 2, \
x, yx1, 'color', 'blue', 'linewidth', 2, \
x, yx2, 'color', 'red', 'linewidth', 2);
grid on; xlabel ('Hari'); ylabel ('Jiwa');
legend ('data', 'der 3', 'der 5', 'der 10');
% Re = bilangan reproduksi efektif (Rt) berdasar kasus baru
nama_file = "c:/polinom.txt"; Re = [];
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "Hari Data Re(t) Der 3 Der 5 Der 10 \n");
jml_data = length(x);
for j = 1:jml_data
if (j==1)
Re(j)=0;
else
Re(j)= sakit(j)/sakit(j-1);
endif
fprintf (id_file,"%2i %3i %4.2f %7.2f %7.2f %7.2f \n",j,y(j), \
Re(j), yx(j), yx1(j), yx2(j));
endfor % j
fclose(id_file);

L.31 SIR Dasar β Konstan


clc; clf; clear;

Halaman: 308 349


% definisi data jml terinfeksi selama 31 hari
sakit = [1, 4, 9, 14, 21, 31, 44, 59, 79, 104, \
135, 170, 207, 240, 272, 312, 322, 313, 300, 289, \
284, 270, 252, 221, 197, 147, 135, 93, 82, 61, 49];
jml_populasi = 350; waktu = 0:1:30;
jml_data = length(waktu); rentan = []; dt=1;
global N = jml_populasi; global alpha; global betha;
%
function xdot = sir_model(x,t)
global alpha; global betha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i; xdot = [ds, di, dr];
endfunction
betha = 1/14; % asumsi atau hasil penelitian
% mengisi data rentan sesuai tabel data
for i=1:jml_data
rentan(i) = N-sakit(i);
end
% hitungan matriks F, A, X (alpha)
alpha_m = [];
for i=1:6-1 % hanya menggunakan sebagian data
j = i+6;
si = sakit(j); sii = sakit(j-1);
F(i) = si - sii + betha*sii*dt; A(i) = (N-sii)*sii*dt/N;
alpha_m (i) = F(i)/A(i) ;
end
alpha = mean (alpha_m)
Io = 1; So = N-Io; Ro = 0; % menghitung S, I, R kontinyu
xo = [So, Io, Ro]; x = lsode ("sir_model", xo, waktu);
hasil =[transpose(waktu), x];
%
figure(1);
plot(waktu, sakit, 'marker', 'o', 'color', 'red', 'markersize', 8,
waktu, sakit, 'linewidth', 2, 'color', 'black', \
waktu, rentan, 'linewidth', 1, 'color', 'blue', \
waktu, x(:,1), 'linewidth', 1, 'color', 'blue', \
waktu, x(:,2), 'linewidth', 3, 'color', 'black', \
waktu, x(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'red');
title('Data Jumlah Penderita Penyakit');
xlabel('Hari'); ylabel('Populasi'); grid on;
% menuliskan teks angka di grafik
jml_data = length (waktu);
for i=1:jml_data
text (waktu(i), sakit(i), num2str(sakit(i)));
end

Halaman: 309 349


L.32 Data Model SIR α, β
% Model SIR
clc; close all; clear all; clf;
% data jumlah korban penyakit per-harinya
global N = 400; global alpha; global betha;
waktu = 0:1:49; t = waktu; dt = 1; % perhari
sakit = [1, 1, 2, 3, 4, 6, 9, 13, 19, 26, 36, 49, 64, 82, 102, \
120, 137, 150, 158, 161, 161, 156, 149, 141, 132, \
122, 112, 102, 93, 85, 76, 69, 62, 56, 50, 45, 40, \
36, 32, 29, 26, 23, 21, 19, 17, 15, 13, 12, 11, 9];
kebal = [0, 0, 0, 1, 1, 2, 3, 4, 6, 9, 13, 18, 25, 34, 46, 60, \
76, 94, 113, 133, 153, 173, 192, 210, 227, 243, \
258, 271, 283, 294, 305, 314, 322, 329, 336, \
342, 347, 352, 356, 360, 363, 367, 369, 372, \
374, 376, 378, 379, 381, 382];
jml_data = length (waktu);
for i = 1:jml_data
rentan(i) = N-sakit(i)-kebal(i);
endfor
figure(1);
plot (t, sakit, 'linewidth', 2, 'color', 'red', \
t, kebal, 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
t, rentan, 'linewidth', 2, 'color', 'black');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
%legend ('Sakit','Kebal', 'Rentan');
% hitungan matriks F, A, X (alpha & betha)
alpha_m = []; betha_m = [];
for i=1:jml_data-1
ke = kebal(i); kee = kebal(i+1); si = sakit(i); sii = sakit(i+1);
F(1) = sii - si; F(2) = kee - ke;
A(1,1) = (N-si-ke)*si*dt/N; A(1,2) = -si*dt;
A(2,1) = 0; A(2,2) = si*dt;
X = inv(A)*F'; % exact fit: 2 pers 2 para
alpha_m(i) = X(1); betha_m(i) = X(2);
end
alpha = mean(alpha_m); betha = mean(betha_m);
Ro = alpha/betha;
%
% rekonstruksi model
function xdot = sir_model(x,t)
global alpha; global betha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i; xdot = [ds, di, dr];
endfunction
I0 = 1; S0 = N-I0; R0 = 0; xo = [S0, I0, R0];
x = lsode ("sir_model", xo, waktu); hasil =[transpose(waktu), x];

Halaman: 310 349


%
figure(2);
plot (t, x(:,1), 'linewidth', 2, 'color', 'black', \
t, x(:,2), 'linewidth', 2, 'color', 'red', \
t, x(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'blue');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
%legend ('Rentan','Sakit', 'Kebal');
ren = x(:,1); sak = x(:,2); sem = x(:,3);
% Re = bilangan reproduksi efektif, kasus baru. Rt = Ro.St/N
nama_file = "c:/sir_out.txt"; Re = []; Rt = [];
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "Alpha: %6.2f Betha: %6.2f Ro: %6.2f \n", \
alpha, betha, Ro);
fprintf (id_file, "Hari, Rentan, Sakit, Kebal, dSa, dKe, Re, Rt \n");
for j = 1:jml_data
d_sak(j) = sakit(j)-sak(j); d_sem(j) = kebal(j)-sem(j);
if (j==1)
Re(j)=Ro; Rt(j)=Ro;
else
Re(j) = sakit(j)/sakit(j-1); Rt(j) = Ro*rentan(j)/N;
endif
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %3i %3i %3i %5.2f %5.2f \n", \
j, round(ren(j)), round(sak(j)), round(sem(j)), \
round(d_sak(j)), round(d_sem(j)), Re(j), Rt(j));
endfor % j
fclose(id_file);

L.33 Data Model SIR β Konstan


% Model SIR
clc; close all; clear all; clf;
% data jumlah korban penyakit per-harinya
global N = 400; global alpha; global betha = 0.125;
waktu = 0:1:49; t = waktu; dt = 1; % perhari
sakit = [1, 1, 2, 3, 4, 6, 9, 13, 19, 26, 36, 49, 64, 82, 102, \
120, 137, 150, 158, 161, 161, 156, 149, 141, 132, \
122, 112, 102, 93, 85, 76, 69, 62, 56, 50, 45, 40, \
36, 32, 29, 26, 23, 21, 19, 17, 15, 13, 12, 11, 9];
kebal = [0, 0, 0, 1, 1, 2, 3, 4, 6, 9, 13, 18, 25, 34, 46, 60, \
76, 94, 113, 133, 153, 173, 192, 210, 227, 243, \
258, 271, 283, 294, 305, 314, 322, 329, 336, \
342, 347, 352, 356, 360, 363, 367, 369, 372, \
374, 376, 378, 379, 381, 382];
jml_data = length (waktu);
for i = 1:jml_data
rentan(i) = N-sakit(i)-kebal(i);

Halaman: 311 349


endfor
figure(1);
plot (t, sakit, 'linewidth', 2, 'color', 'red', \
t, kebal, 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
t, rentan, 'linewidth', 2, 'color', 'black');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
%legend ('Sakit','Kebal', 'Rentan');
% hitungan matriks F, A, X (alpha)
alpha_m = [];
for i=1:jml_data-1
ke = kebal(i); si = sakit(i); sii = sakit(i+1); F = sii - si;
alpha_m(i) = (F+betha*si*dt)/((N-si-ke)*si*dt/N);
end
alpha = mean(alpha_m); Ro = alpha/betha;
%
% rekonstruksi model
function xdot = sir_model(x,t)
global alpha; global betha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i; xdot = [ds, di, dr];
endfunction
I0 = 1; S0 = N-I0; R0 = 0; xo = [S0, I0, R0];
x = lsode ("sir_model", xo, waktu); hasil =[transpose(waktu), x];
%
figure(2);
plot (t, x(:,1), 'linewidth', 2, 'color', 'black', \
t, x(:,2), 'linewidth', 2, 'color', 'red', \
t, x(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'blue');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
%legend ('Rentan','Sakit', 'Kebal');
ren = x(:,1); sak = x(:,2); sem = x(:,3);
% Re = bilangan reproduksi efektif, kasus baru. Rt = Ro.St/N
nama_file = "c:/sir_out.txt"; Re = []; Rt = [];
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "Alpha: %6.3f Betha: %6.3f Ro: %6.2f \n", \
alpha, betha, Ro);
fprintf (id_file, "Hari, Rentan, Sakit, Kebal, dSa, dKe, Re, Rt \n");
for j = 1:jml_data
d_sak(j) = sakit(j)-sak(j); d_sem(j) = kebal(j)-sem(j);
if (j==1)
Re(j)=Ro; Rt(j)=Ro;
else
Re(j) = sakit(j)/sakit(j-1); Rt(j) = Ro*rentan(j)/N;
endif
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %3i %3i %3i %5.2f %5.2f \n", \
j, round(ren(j)), round(sak(j)), round(sem(j)), \
round(d_sak(j)), round(d_sem(j)), Re(j), Rt(j));

Halaman: 312 349


endfor % j
fclose(id_file);

L.34 Data Model SIRS, β Konstan


clc; close all; clear;
% data jumlah korban penyakit per-harinya
global N = 400; global alpha; global betha = 0.125;
waktu = 0:1:49; t = waktu; dt = 1; % perhari
sakit = [1, 1, 2, 3, 4, 6, 9, 13, 19, 26, 36, 49, 64, 82, 102, \
120, 137, 150, 158, 161, 161, 156, 149, 141, 132, \
122, 112, 102, 93, 85, 76, 69, 62, 56, 50, 45, 40, \
36, 32, 29, 26, 23, 21, 19, 17, 15, 13, 12, 11, 9];
kebal = [0, 0, 0, 1, 1, 2, 3, 4, 6, 9, 13, 18, 25, 34, 46, 60, \
76, 94, 113, 133, 153, 173, 192, 210, 227, 243, \
258, 271, 283, 294, 305, 314, 322, 329, 336, \
342, 347, 352, 356, 360, 363, 367, 369, 372, \
374, 376, 378, 379, 381, 382];
jml_data = length (waktu);
for i = 1:jml_data
rentan(i) = N-sakit(i)-kebal(i);
endfor
for i=1:jml_data-1
si = rentan(i); sii = rentan(i+1); ii = sakit(i); iii = sakit(i+1);
ri = kebal(i); rii = kebal(i+1);
F(1)=sii-si; F(2)=iii-ii; F(3)=rii-ri;
A(1,1) = -si*ii*dt/N; A(1,2) = 0; A(1,3) = ri*dt;
A(2,1) = si*ii*dt/N; A(2,2) = -0.125*ii*dt; A(2,3) = 0;
A(3,1) = 0; A(3,2) = 0.125*ii*dt; A(3,3) = -ri*dt;
F
A
X = inv(A)*F'
end

L.35 Data Model SIRS, β Konstan


clc; close all; clear;
global N = 400; global alpha; global betha=0.125;
waktu = 0:1:49; t = waktu; dt = 1; % perhari
sakit = [1, 1, 2, 3, 4, 6, 9, 13, 19, 26, 36, 49, 64, 82, 102, \
120, 137, 150, 158, 161, 161, 156, 149, 141, 132, \
122, 112, 102, 93, 85, 76, 69, 62, 56, 50, 45, 40, \
36, 32, 29, 26, 23, 21, 19, 17, 15, 13, 12, 11, 9];
kebal = [0, 0, 0, 1, 1, 2, 3, 4, 6, 9, 13, 18, 25, 34, 46, 60, \
76, 94, 113, 133, 153, 173, 192, 210, 227, 243, \
258, 271, 283, 294, 305, 314, 322, 329, 336, \

Halaman: 313 349


342, 347, 352, 356, 360, 363, 367, 369, 372, \
374, 376, 378, 379, 381, 382];
jml_data = length (waktu);
for i = 1:jml_data
rentan(i) = N-sakit(i)-kebal(i);
endfor
for i=1:jml_data-1
si = rentan(i); sii = rentan(i+1); ii = sakit(i); iii = sakit(i+1);
ri = kebal(i); rii = kebal(i+1);
F(1) = sii - si; F(2) = rii - ri - betha*ii*dt;
A(1,1) = -si*ii*dt/N; A(1,2) = ri*dt;
A(2,1) = 0; A(2,2) = -ri*dt;
F
A
X = inv(A)*F'
end

L.36 Data Model SIR α & β


clc; close all; clear;
global N; global alpha; global betha;
waktu = 0:1:29; t = waktu; dt = 1; % perhari
rentan = [499, 498, 496, 491, 482, 465, 434, 384, 313, \
231, 156, 98, 60, 37, 23, 15, 10, 7, 5, 4, \
3, 2, 2, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1];
sakit = [1, 2, 4, 8, 16, 31, 57, 99, 158, 221, 272, 300, \
308, 300, 285, 266, 245, 225, 205, 187, 170, 154, \
140, 127, 115, 104, 95, 86, 78, 70];
kebal = [0, 0, 0, 1, 2, 4, 9, 16, 29, 48, 73, 102, 132, \
163, 192, 219, 245, 269, 290, 310, 327, 344, 358, \
372, 384, 395, 405, 414, 422, 429];
So=499; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
%
plot (waktu, rentan, 'color', 'black', 'linewidth', 2, \
waktu, sakit, 'color', 'red', 'linewidth', 2, \
waktu, kebal, 'color', 'blue', 'linewidth', 2);
title (" Data Tabel Rentan, Terinfeksi, dan Sembuh");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid on;
legend('Rentan', 'Terinfeksi', 'Sembuh','location', 'north');
%
jml_data = length (waktu); idx=0; eliminasi=9;
alpha_m=[]; betha_m=[]; F=[]; A=[]; X=[];
for j=1:jml_data-1-eliminasi % 9 data terakhir dieliminasi
idx=idx+1;
si = rentan(j); sii = rentan(j+1);
ii = sakit(j); iii = sakit(j+1);

Halaman: 314 349


ri = kebal(j); rii = kebal(j+1);
F(1) = sii - si; F(2) = iii - ii; F(3) = rii - ri;
A(1,1) = -si*ii*dt/N; A(1,2) = 0;
A(2,1) = si*ii*dt/N; A(2,2) = -ii*dt;
A(3,1) = 0; A(3,2) = ii*dt;
X = inv(A'*A)*(A'*F'); alpha_m(j)=X(1); betha_m(j)=X(2);
end
alpha = sum(alpha_m)/idx; betha = sum(betha_m)/idx
Roo = alpha/betha
% & hitung & plot model
function xdot = sir_model(x,t)
global alpha; global betha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i; xdot = [ds, di, dr];
endfunction
I0 = 1; S0 = N-I0; R0 = 0;
xo = [S0, I0, R0]; x = lsode ("sir_model", xo, waktu);
hasil =[transpose(waktu), x];
%
figure(2);
plot (waktu, x(:,1), 'linewidth', 2, 'color', 'black', \
waktu, x(:,2), 'linewidth', 2, 'color', 'red', \
waktu, x(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'blue');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
legend ('Rentan','Sakit', 'Kebal');
ren = x(:,1); sak = x(:,2); sem = x(:,3);
% Re = bilangan reproduksi efektif, kasus baru
% Rt = Ro.St/N
nama_file = "c:/sir_out.txt"; Re = []; Rt = [];
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "Alpha: %6.2f Betha: %6.2f Ro: %6.2f \n", \
alpha, betha, Roo);
fprintf (id_file, "Hari, Rentan, Sakit, Kebal, dSa, dKe, Re, Rt \n");
for j = 1:jml_data
d_sak(j) = sakit(j)-sak(j); d_sem(j) = kebal(j)-sem(j);
if (j==1)
Re(j)=Roo; Rt(j)=Roo;
else
Re(j) = sakit(j)/sakit(j-1); Rt(j) = Roo*rentan(j)/N;
endif
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %3i %3i %3i %5.2f %5.2f \n", \
j, round(ren(j)), round(sak(j)), round(sem(j)), \
round(d_sak(j)), round(d_sem(j)), Re(j), Rt(j));
endfor % j
fclose(id_file);

Halaman: 315 349


L.37 Data Model SIR α & β Konstan
clc; close all; clear;
global N; global alpha; global betha=0.10;
waktu = 0:1:29; t = waktu; dt = 1; % perhari
rentan = [499, 498, 496, 491, 482, 465, 434, 384, 313, \
231, 156, 98, 60, 37, 23, 15, 10, 7, 5, 4, \
3, 2, 2, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1];
sakit = [1, 2, 4, 8, 16, 31, 57, 99, 158, 221, 272, 300, \
308, 300, 285, 266, 245, 225, 205, 187, 170, 154, \
140, 127, 115, 104, 95, 86, 78, 70];
kebal = [0, 0, 0, 1, 2, 4, 9, 16, 29, 48, 73, 102, 132, \
163, 192, 219, 245, 269, 290, 310, 327, 344, 358, \
372, 384, 395, 405, 414, 422, 429];
So=499; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
%
plot (waktu, rentan, 'color', 'black', 'linewidth', 2, \
waktu, sakit, 'color', 'red', 'linewidth', 2, \
waktu, kebal, 'color', 'blue', 'linewidth', 2);
title (" Data Tabel Rentan, Terinfeksi, dan Sembuh");
xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid on;
legend('Rentan', 'Terinfeksi', 'Sembuh','location', 'north');
%
jml_data = length (waktu); idx=0; eliminasi=9;
alpha_m=[]; betha_m=[]; F=[]; A=[]; X=[];
for j=1:jml_data-1-eliminasi % 9 data terakhir dieliminasi
idx=idx+1; si = rentan(j); sii = rentan(j+1);
ii = sakit(j); iii = sakit(j+1); ri = kebal(j); rii = kebal(j+1);
F(1) = sii - si; F(2) = iii - ii; F(3) = rii - ri;
A(1,1) = -si*ii*dt/N; A(1,2) = 0;
A(2,1) = si*ii*dt/N; A(2,2) = -(0.10)*ii*dt;
A(3,1) = 0; A(3,2) = (0.10)*ii*dt;
X = inv(A'*A)*(A'*F'); alpha_m(j)=X(1); X(2)
end
alpha = sum(alpha_m)/idx
Roo = alpha/betha
% & hitung & plot model
function xdot = sir_model(x,t)
global alpha; global betha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i; xdot = [ds, di, dr];
endfunction
I0 = 1; S0 = N-I0; R0 = 0;
xo = [S0, I0, R0]; x = lsode ("sir_model", xo, waktu);
hasil =[transpose(waktu), x];
%
figure(2);

Halaman: 316 349


plot (waktu, x(:,1), 'linewidth', 2, 'color', 'black', \
waktu, x(:,2), 'linewidth', 2, 'color', 'red', \
waktu, x(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'blue');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
legend ('Rentan','Sakit', 'Kebal');
ren = x(:,1); sak = x(:,2); sem = x(:,3);
% Re = bilangan reproduksi efektif, kasus baru
% Rt = Ro.St/N
nama_file = "c:/sir_out.txt"; Re = []; Rt = [];
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "Alpha: %6.2f Betha: %6.2f Ro: %6.2f \n", \
alpha, betha, Roo);
fprintf (id_file, "Hari, Rentan, Sakit, Kebal, dSa, dKe, Re, Rt \n");
for j = 1:jml_data
d_sak(j) = sakit(j)-sak(j); d_sem(j) = kebal(j)-sem(j);
if (j==1)
Re(j)=Roo; Rt(j)=Roo;
else
Re(j) = sakit(j)/sakit(j-1); Rt(j) = Roo*rentan(j)/N;
endif
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %3i %3i %3i %5.2f %5.2f \n", \
j, round(ren(j)), round(sak(j)), round(sem(j)), \
round(d_sak(j)), round(d_sem(j)), Re(j), Rt(j));
endfor % j
fclose(id_file);

L.38 Uji Data Model SIRS


clc; close all; clear;
global N; global alpha; global betha;
waktu = 0:1:29; t = waktu; dt = 1; % perhari
rentan = [499, 498, 496, 491, 482, 465, 434, 384, 313, \
231, 156, 98, 60, 37, 23, 15, 10, 7, 5, 4, \
3, 2, 2, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1];
sakit = [1, 2, 4, 8, 16, 31, 57, 99, 158, 221, 272, 300, \
308, 300, 285, 266, 245, 225, 205, 187, 170, 154, \
140, 127, 115, 104, 95, 86, 78, 70];
kebal = [0, 0, 0, 1, 2, 4, 9, 16, 29, 48, 73, 102, 132, \
163, 192, 219, 245, 269, 290, 310, 327, 344, 358, \
372, 384, 395, 405, 414, 422, 429];
So=499; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
%
plot (waktu, rentan, 'color', 'black', 'linewidth', 2, \
waktu, sakit, 'color', 'red', 'linewidth', 2, \
waktu, kebal, 'color', 'blue', 'linewidth', 2);
title (" Data Tabel Rentan, Terinfeksi, dan Sembuh");

Halaman: 317 349


xlabel ("Hari"); ylabel ("Jiwa"); grid on;
legend('Rentan', 'Terinfeksi', 'Sembuh','location', 'north');
%
jml_data = length (waktu); idx=0; eliminasi=12;
alpha_m=[]; betha_m=[]; tetha_m=[]; F=[]; A=[]; X=[];
for j=9:jml_data-1-eliminasi % 12 data terakhir dieliminasi
idx=idx+1; si = rentan(j); sii = rentan(j+1); ii = sakit(j);
iii = sakit(j+1); ri = kebal(j); rii = kebal(j+1);
F(1) = sii - si; F(2) = iii - ii; F(3) = rii - ri;
A(1,1) = -si*ii*dt/N; A(1,2) = 0; A(1,3) = ri*dt;
A(2,1) = si*ii*dt/N; A(2,2) = -ii*dt; A(2,3) = 0;
A(3,1) = 0; A(3,2) = ii*dt; A(3,3) = -ri*dt;
F
A
X = inv(A'*A)*(A'*F') %X = inv(A)*F';
end

L.39 SIR di Titik Maksimum


clc; close all; clear all;
% data jumlah korban penyakit per-harinya
global N = 400; global alpha; global betha;
waktu = 0:1:49; t = waktu; dt = 1; % perhari
sakit = [1, 1, 2, 3, 4, 6, 9, 13, 19, 26, 36, 49, 64, 82, 102, \
120, 137, 150, 158, 161, 161, 156, 149, 141, 132, \
122, 112, 102, 93, 85, 76, 69, 62, 56, 50, 45, 40, \
36, 32, 29, 26, 23, 21, 19, 17, 15, 13, 12, 11, 9];
kebal = [0, 0, 0, 1, 1, 2, 3, 4, 6, 9, 13, 18, 25, 34, 46, 60, \
76, 94, 113, 133, 153, 173, 192, 210, 227, 243, \
258, 271, 283, 294, 305, 314, 322, 329, 336, \
342, 347, 352, 356, 360, 363, 367, 369, 372, \
374, 376, 378, 379, 381, 382];
sakit_maks = 0; sakit_maks_idx = 0; jml_data = length (waktu);
for i = 1:jml_data
rentan(i) = N-sakit(i)-kebal(i);
if (sakit_maks < sakit(i))
sakit_maks = sakit(i); sakit_maks_idx = i;
endif
endfor
if (sakit_maks == sakit(sakit_maks_idx+1))
dawal = abs(sakit_maks-sakit(sakit_maks_idx-1));
dahir = abs(sakit(sakit_maks_idx+1)-sakit(sakit_maks_idx+2));
if (dahir<dawal)
sakit_maks_idx = sakit_maks_idx+1;
endif
endif

Halaman: 318 349


% dR/dt = betha * I, dI/dt = 0
betha = (kebal(sakit_maks_idx+1) – \
kebal(sakit_maks_idx))/sakit_maks;
alpha = betha * N / rentan (sakit_maks_idx); Ro = alpha/betha;
%
% rekonstruksi model
function xdot = sir_model(x,t)
global alpha; global betha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i; xdot = [ds, di, dr];
endfunction
I0 = 1; S0 = N-I0; R0 = 0; xo = [S0, I0, R0];
x = lsode ("sir_model", xo, waktu); hasil =[transpose(waktu), x];
%
figure(1);
plot (t, x(:,1), 'linewidth', 2, 'color', 'black', \
t, x(:,2), 'linewidth', 2, 'color', 'red', \
t, x(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'blue');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
legend ('Rentan','Sakit', 'Kebal', 'location', 'north');
%
figure(2);
plot (t, x(:,1), 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
t, rentan, 'o', 'markersize', 5,'color', 'red');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
legend ('Model Rentan','Data Rentan', 'location', 'north');
%
figure(3);
plot (t, x(:,2), 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
t, sakit, 'o', 'markersize', 5,'color', 'red');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
legend ('Model Sakit','Data Sakit', 'location', 'north');
%
figure(4);
plot (t, x(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
t, kebal, 'o', 'markersize', 5,'color', 'red');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
legend ('Model Sakit','Data Sakit', 'location', 'east');
%
ren = x(:,1); sak = x(:,2); sem = x(:,3);
% Re = bilangan reproduksi efektif, kasus baru. Rt = Ro.St/N
nama_file = "c:/sir_out.txt"; Re = []; Rt = [];
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "Alpha: %6.2f Betha: %6.3f Ro: %6.3f \n", \
alpha, betha, Ro);
fprintf (id_file, "Hari, Rentan, Sakit, Kebal, dSa, dKe, Re, Rt \n");
for j = 1:jml_data

Halaman: 319 349


d_sak(j) = sakit(j)-sak(j); d_sem(j) = kebal(j)-sem(j);
if (j==1)
Re(j)=Ro; Rt(j)=Ro;
else
Re(j) = sakit(j)/sakit(j-1); Rt(j) = Ro*rentan(j)/N;
endif
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %3i %3i %3i %5.2f %5.2f \n", \
j, round(ren(j)), round(sak(j)), round(sem(j)), \
round(d_sak(j)), round(d_sem(j)), Re(j), Rt(j));
endfor % j
fclose(id_file);

L.40 Model SIR dengan Offset


clc; close all; clear;
global N; global alpha; global betha;
waktu = 0:1:12; simu = 0:1:40; t = waktu; dt = 1; % perhari
offset_betha = 0; offset_alpha = 0.15;
rentan = [499, 498, 496, 491, 482, 465, 434, 384, 313, \
231, 156, 98, 60];
sakit = [1, 2, 4, 8, 16, 31, 57, 99, 158, 221, 272, 300, 308];
kebal = [0, 0, 0, 1, 2, 4, 9, 16, 29, 48, 73, 102, 132];
So=499; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
sakit_maks = 0; sakit_maks_idx = 0; jml_data = length (waktu);
for i = 1:jml_data
if (sakit_maks < sakit(i))
sakit_maks = sakit(i); sakit_maks_idx = i;
endif
endfor
% dR/dt=betha*I, dI/dt<>0
betha = (kebal(sakit_maks_idx) - \
kebal(sakit_maks_idx-1)) / sakit(sakit_maks_idx-1)
betha = betha + offset_betha
alpha = (sakit(sakit_maks_idx) - \
sakit(sakit_maks_idx-1) + betha * \
sakit(sakit_maks_idx-1)*dt)*N/ \
(rentan(sakit_maks_idx-1) *sakit(sakit_maks_idx-1)*dt)
alpha = alpha + offset_alpha
Ro = alpha/betha
%
% rekonstruksi model
function xdot = sir_model(x,t)
global alpha; global betha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i; xdot = [ds, di, dr];
endfunction

Halaman: 320 349


I0 = 1; S0 = N-I0; R0 = 0; xo = [S0, I0, R0];
x = lsode ("sir_model", xo, simu); hasil =[transpose(simu), x];
%
figure(1);
plot (simu, x(:,1), 'linewidth', 2, 'color', 'black', \
simu, x(:,2), 'linewidth', 2, 'color', 'red', \
simu, x(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'blue');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
%legend ('Rentan','Sakit', 'Kebal', 'location', 'east');
%
figure(2);
plot (simu, x(:,1), 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
t, rentan, 'o', 'markersize', 5,'color', 'red', \
t, rentan, 'linewidth', 1,'color', 'black');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
%legend ('Model Rentan','Data Rentan', 'location', 'north');
%
figure(3);
plot (simu, x(:,2), 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
t, sakit, 'o', 'markersize', 5,'color', 'red', \
t, sakit, 'linewidth', 1,'color', 'black');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
%legend ('Model Sakit','Data Sakit', 'location', 'north');
%
figure(4);
plot (simu, x(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
t, kebal, 'o', 'markersize', 5,'color', 'red', \
t, kebal, 'linewidth', 1,'color', 'black');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
%legend ('Model Kebal','Data Kebal', 'location', 'north');
%
ren = x(:,1); sak = x(:,2); sem = x(:,3);
% Re = bilangan reproduksi efektif, kasus baru. Rt = Ro.St/N
nama_file = "c:/sir_out.txt"; Re = []; Rt = [];
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "Alpha: %6.3f Betha: %6.3f Ro: %6.3f \n", \
alpha, betha, Ro);
fprintf (id_file, "Hari, Rentan, Sakit, Kebal, \
dRe, dSa, dKe, Re, Rt \n");
for j = 1:jml_data
d_sak(j) = sakit(j)-sak(j); d_sem(j) = kebal(j)-sem(j);
d_ren(j) = rentan(j)-ren(j);
if (j==1)
Re(j)=Ro; Rt(j)=Ro;
else
Re(j) = sakit(j)/sakit(j-1); Rt(j) = Ro*rentan(j)/N;
endif

Halaman: 321 349


fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %3i %3i %3i %3i %5.2f %5.2f \n", \
j, round(ren(j)), round(sak(j)), round(sem(j)), \
round(d_ren(j)), round(d_sak(j)), round(d_sem(j)), \
Re(j), Rt(j));
endfor % j
fclose(id_file);

L.41 Kasus Itali


pkg load io; clc; clf; clear;
nama_file = 'd:\pribadi\00_model_virus\teks\01_itali.xlsx';
nama_sheet = 'itali';
% membaca string menjadi array angka
batas1 = 'F2:F300';
[sakit, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas1);
jml_baris_data = length(sakit);
batas2 = 'H2:H300';
[mati, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas2);
% buat array data tanggal, dengan dimensi hari
for i=1:jml_baris_data
waktu(i) = i-1;
endfor
%
figure(1)
plot (waktu, sakit, 'color', 'red', 'linewidth', 2)
title ("Grafik Pertumbuhan Kasus Covid-19 Itali"); grid on;
%
figure(2)
plot (waktu, mati, 'color', 'blue', 'linewidth', 2)
title ("Grafik Kematian Kasus Covid-19 Itali"); grid on;

L.42 Kasus Indonesia


pkg load io; clc; clf; clear;
nama_file = 'd:\pribadi\00_model_virus\teks\01_indonesia.xlsx';
nama_sheet = 'indonesia';
% membaca string menjadi array angka
batas1 = 'F4:F259';
[sakit, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas1);
jml_baris_data = length(sakit);
batas2 = 'E4:E259';
[mati, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas2);
batas3 = 'D4:D259';
[sembuh, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas3);
% buat array data tanggal, dengan dimensi hari
for i=1:jml_baris_data

Halaman: 322 349


waktu(i) = i-1;
endfor
%
figure(1); plot (waktu, sakit, 'color', 'red', 'linewidth', 2); grid on;
figure(2); plot (waktu, mati, 'color', 'blue', 'linewidth', 2); grid on;
figure(3); plot (waktu, sembuh, 'color', 'black', 'linewidth', 2); grid on;
figure(4)
plot (waktu, sakit, 'color', 'red', 'linewidth', 2, \
waktu, mati, 'color', 'blue', 'linewidth', 2, \
waktu, sembuh, 'color', 'black', 'linewidth', 2); grid on;

L.43 Kasus SIR Bandung


pkg load io; clc; clf; close all;
nama_file = 'e:\bandung_24082021.xlsx';
nama_sheet = 'bandung';
% membaca data dari file XLSX
batas1 = 'H5:H346';
[sakit, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas1);
jml_baris_data = length(sakit);
batas2 = 'J5:J346';
[mati, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas2);
batas3 = 'I5:I346';
[sembuh, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas3);
% buat array data tanggal, dengan dimensi hari, plus isi recovered
global N; global alpha; global betha;
akhir_simulasi = 345; simu = 0:1:akhir_simulasi;
waktu = 0:1:jml_baris_data-1; dt=1; % perhari
offset_betha = 0; offset_alpha = 0;
Io=1; Ro=0; So=79999; N=So+Io+Ro; kebal = []; rentan = [];
for i=1:jml_baris_data
waktu(i) = i;
kebal(i) = sembuh(i)+ mati(i); rentan(i) = N - kebal(i) - sakit(i);
endfor
%
sakit_maks = 0; sakit_maks_idx = 0; jml_data = jml_baris_data;
for i = 1:jml_data
if (sakit_maks < sakit(i))
sakit_maks = sakit(i);
sakit_maks_idx = i;
endif
endfor
% dR/dt=betha*I, dI/dt<>0
betha = (kebal(sakit_maks_idx)-kebal(sakit_maks_idx-1)) \
/sakit(sakit_maks_idx-1);
betha = betha + offset_betha

Halaman: 323 349


alpha = (sakit(sakit_maks_idx)-sakit(sakit_maks_idx-1) + betha * \
sakit(sakit_maks_idx-1)*dt)*N / (rentan(sakit_maks_idx-1) * \
sakit(sakit_maks_idx-1)*dt);
alpha = alpha + offset_alpha
Ro = abs(alpha/betha)
%
% rekonstruksi model
function xdot = sir_model(x,t)
global alpha; global betha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i; xdot = [ds, di, dr];
endfunction
I0 = 1; S0 = N-I0; R0 = 0; xo = [S0, I0, R0];
x = lsode ("sir_model", xo, simu); hasil =[transpose(simu), x];
%
figure(1) % 1 rentan, 2 sakit, 3 kebal
plot (simu, x(:,1), 'linewidth', 1, 'color', 'blue', \
simu, x(:,2), 'linewidth', 1, 'color', 'red', \
simu, x(:,3), 'linewidth', 1, 'color', 'black', \
waktu, sakit, 'linewidth', 2,'color', 'red', \
waktu, rentan, 'linewidth', 2,'color', 'blue',
waktu, kebal, 'linewidth', 2,'color', 'black'); grid on;
figure(2)
plot (simu, x(:,2), 'linewidth', 1, 'color', 'blue', \
waktu, sakit, 'linewidth', 2,'color', 'red'); grid on;

L.44 Kasus SIR Indonesia


pkg load io; clc; clf; close all;
nama_file = 'e:\covid_indonesia_lengkap.xlsx';
nama_sheet = 'covid_indonesia';
% membaca data dari file XLSX
batas1 = 'F17:F553';
[sakit, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas1);
jml_baris_data = length(sakit);
batas2 = 'M17:M553';
[mati, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas2);
batas3 = 'I17:I553';
[sembuh, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas3);
% buat array data tanggal, dengan dimensi hari, plus isi recovered
global N; global alpha; global betha;
akhir_simulasi = 537; simu = 0:1:akhir_simulasi;
waktu = 0:1:jml_baris_data-1; dt=1; % perhari
offset_betha = 0; offset_alpha = 0;
Io=1; Ro=0; So=7499999; N=So+Io+Ro; kebal = []; rentan = [];
for i=1:jml_baris_data

Halaman: 324 349


waktu(i) = i;
kebal(i) = sembuh(i)+ mati(i);
rentan(i) = N - kebal(i) - sakit(i);
endfor
%
sakit_maks = 0; sakit_maks_idx = 0; jml_data = jml_baris_data;
for i = 1:jml_data
if (sakit_maks < sakit(i))
sakit_maks = sakit(i);
sakit_maks_idx = i;
endif
endfor
% dR/dt=betha*I, dI/dt<>0
betha = (kebal(sakit_maks_idx)-kebal(sakit_maks_idx-1)) \
/sakit(sakit_maks_idx-1);
betha = betha + offset_betha
alpha = (sakit(sakit_maks_idx)-sakit(sakit_maks_idx-1) + betha * \
sakit(sakit_maks_idx-1)*dt)*N / (rentan(sakit_maks_idx-1) * \
sakit(sakit_maks_idx-1)*dt);
alpha = alpha + offset_alpha
Ro = abs(alpha/betha)
%
% rekonstruksi model
function xdot = sir_model(x,t)
global alpha; global betha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i; xdot = [ds, di, dr];
endfunction
I0 = 1; S0 = N-I0; R0 = 0; xo = [S0, I0, R0];
x = lsode ("sir_model", xo, simu); hasil =[transpose(simu), x];
%
figure(1) % 1 rentan, 2 sakit, 3 kebal
plot (simu, x(:,1), 'linewidth', 1, 'color', 'blue', \
simu, x(:,2), 'linewidth', 1, 'color', 'red', \
simu, x(:,3), 'linewidth', 1, 'color', 'black', \
waktu, sakit, 'o', 'markersize', 5,'color', 'red', \
waktu, rentan, '+', 'markersize', 5,'color', 'blue',
waktu, kebal, '*', 'markersize', 5,'color', 'black'); grid on;
figure(2)
plot (simu, x(:,2), 'linewidth', 1, 'color', 'blue', \
waktu, sakit, 'o', 'markersize', 2,'color', 'red'); grid on;

L.45 Kasus (Sakit) Gauss Indonesia


% Gaussian Peak Function
pkg load io; clc; clf; clear; close all;

Halaman: 325 349


nama_file = 'e:\01_indonesia.xlsx'; nama_sheet = 'indonesia';
batas1 = 'F4:F259';
[sakit, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas1);
jml_data = length(sakit); waktu = 0:1:jml_data-1;
akhir_simulasi = 500; simu = 0:1:akhir_simulasi;
%
y_max = max(sakit); x_y_max = 0;
for i=1:jml_data
if (sakit(i)==y_max)
x_y_max = i; break; % keluar loop
end
endfor
%
fwhm = jml_data-x_y_max; width = fwhm/2;
q = 0; g1 = y_max*exp(-log(2)*((simu-fwhm-q)/width).^2);
width = fwhm/0.75;
q = 100; g2 = y_max*exp(-log(2)*((simu-fwhm-q)/width).^2);
width = fwhm/0.34;
q = 195; g3 = y_max*exp(-log(2)*((simu-fwhm-q)/width).^2);
%
figure(1); % plot grafik 4 kurva
plot (simu, g1, 'linewidth', 1, 'color', 'blue', \
simu, g2, 'linewidth', 1, 'color', 'magenta', \
simu, g3, 'linewidth', 3, 'color', 'black', \
waktu, sakit, 'o', 'markersize', 6, 'color', 'red');
grid on;
%
% Re = bilangan reproduksi efektif (Re atau Rt) kasus baru
nama_file = "c:/gauss.txt"; Re = [];
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s %4.0f \n", "Data Max: ", y_max);
fprintf (id_file, "%s %4.0f \n", "Waktu Data Max: ", x_y_max);
fprintf (id_file, "%s %4.0f \n", "FWHM: ", fwhm);
fprintf (id_file, "%s \n", "Hari, Data, Gauss, Re(t)");
for j = 1:jml_data
if (j==1)
Re(j)=0;
else
Re(j)= sakit(j)/sakit(j-1);
endif
fprintf (id_file, "%2i %3i %3i %4.2f\n", j, sakit(j), \
round(g3(j)), Re(j));
endfor % j
fclose(id_file);

Halaman: 326 349


L.46 Regresi Linier
pkg load io; clc; clf; clear; close all;
nama_file = 'e:\01_bandung.xlsx'; nama_sheet = 'bandung';
% membaca data dari file XLSX
batas1 = 'H4:H67';
[sakit, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas1);
N = length(sakit);
batas2 = 'J4:J67';
[mati, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas2);
batas3 = 'I4:I67';
[sembuh, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet,
batas3);
waktu = 0:1:N-1; x = waktu; y = sakit;
s_xx = 0; s_yy = 0; s_xy = 0;
for i = 1:N
s_xx = s_xx + x(i)*x(i); s_yy = s_yy + y(i)*y(i); s_xy = s_xy + x(i)*y(i);
endfor
s_y = sum(y); s_x = sum(x);
a = (s_y*s_xx-s_x*s_xy) / (N*s_xx-s_x*s_x)
b = (N*s_xy-s_x*s_y) / (N*s_xx-s_x*s_x)
Y = a + b*x;
figure(1)
plot (x, y, 'o', 'markersize', 5,'color', 'red', \
x, Y, 'linewidth', 2, 'color', 'blue'); grid on;
%
y = mati;
s_xx = 0; s_yy = 0; s_xy = 0;
for i = 1:N
s_xx = s_xx + x(i)*x(i); s_yy = s_yy + y(i)*y(i); s_xy = s_xy + x(i)*y(i);
endfor
s_y = sum(y); s_x = sum(x);
a = (s_y*s_xx-s_x*s_xy) / (N*s_xx-s_x*s_x)
b = (N*s_xy-s_x*s_y) / (N*s_xx-s_x*s_x)
Y = a + b*x;
figure(2)
plot (x, y, 'o', 'markersize', 5,'color', 'red', \
x, Y, 'linewidth', 2, 'color', 'blue'); grid on;
%
y = sembuh;
s_xx = 0; s_yy = 0; s_xy = 0;
for i = 1:N
s_xx = s_xx + x(i)*x(i); s_yy = s_yy + y(i)*y(i); s_xy = s_xy + x(i)*y(i);
endfor
s_y = sum(y); s_x = sum(x);
a = (s_y*s_xx-s_x*s_xy) / (N*s_xx-s_x*s_x)
b = (N*s_xy-s_x*s_y) / (N*s_xx-s_x*s_x)

Halaman: 327 349


Y = a + b*x;
figure(3)
plot (x, y, 'o', 'markersize', 5,'color', 'red', \
x, Y, 'linewidth', 2, 'color', 'blue'); grid on;

L.47 SIR Perancis


clc; close all; clear;
global N; global alpha; global betha;
sakit = [0 0, 2, 3, 3, 3, 4, 5, 5, 5, 6, 6, 6, 6, 6, 6, 6, 11, \
11, 11, 11, 9, 9, 9, 7, 7, 7, 7, 7, 7, 7, 7, 7, 7, 2, \
5, 25, 44, 86, 116, 176, 188, 269, 359, 632, 926, 1095, \
1178, 1739, 2221, 2221, 3570, 4366, 4396, 6473, \
7492, 8883, 10616, 12150, 13708, 13144, 16796, \
17923, 20002, 22511, 25269, 29561, 30366, 33599, 39161];
sembuh = [0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, \
0, 0, 0, 2, 2, 2, 4, 4, 4, 4, 4, 4, 4, 4, 4, 4, 11, \
11, 11, 11, 12, 12, 12, 12, 12, 12, 12, 12, 12, 12, 12, 12, \
12, 12, 12, 12, 12, 12, 12, 12, 12, 12, 2200, 2200, \
3281, 3900, 4948, 5700, 5700, 7202, 7927, 9444];
mati = [0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, \
0, 0, 0, 0, 0, 0, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, \
2, 2, 2, 2, 2, 3, 4, 4, 6, 9, 11, 19, 19, 33, 48, 48, 79, \
91, 91, 148, 148, 148, 243, 450, 562, 674, 860, 1100, 1331, \
1696, 1995, 2314, 2606, 3024, 3523];
jml_data = length(sakit); kebal=[]; rentan=[];
waktu = 0:1:jml_data-1; simu = 0:1:jml_data+125;
So=1599999; t = waktu; dt = 1; % perhari
offset_betha = 0.00; offset_alpha = -0.02;
Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
for i = 1:jml_data
kebal(i) = mati(i) + sembuh(i); rentan(i)= N - sakit(i) - kebal(i);
endfor
%
sakit_maks = 0; sakit_maks_idx = 0;
for i = 1:jml_data
if (sakit_maks < sakit(i))
sakit_maks = sakit(i); sakit_maks_idx = i;
endif
endfor
% dR/dt=betha*I, dI/dt<>0
betha = (kebal(sakit_maks_idx) - \
kebal(sakit_maks_idx-1)) / sakit(sakit_maks_idx-1);
betha = betha + offset_betha
alpha = (sakit(sakit_maks_idx) - \
sakit(sakit_maks_idx-1) + betha * \

Halaman: 328 349


sakit(sakit_maks_idx-1)*dt)*N/ \
(rentan(sakit_maks_idx-1) *sakit(sakit_maks_idx-1)*dt);
alpha = alpha + offset_alpha
Ro = alpha/betha
%
% rekonstruksi model
function xdot = sir_model(x,t)
global alpha; global betha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i; xdot = [ds, di, dr];
endfunction
I0 = 1; S0 = N-I0; R0 = 0; xo = [S0, I0, R0];
x = lsode ("sir_model", xo, simu); hasil =[transpose(simu), x];
%
figure(1);
plot (simu, x(:,1), 'linewidth', 2, 'color', 'black', \
simu, x(:,2), 'linewidth', 2, 'color', 'red', \
simu, x(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'blue');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
%legend ('Rentan','Sakit', 'Kebal', 'location', 'east');
%
figure(2);
plot (simu, x(:,1), 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
t, rentan, 'o', 'markersize', 5,'color', 'red', \
t, rentan, 'linewidth', 1,'color', 'black');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
%legend ('Model Rentan','Data Rentan', 'location', 'north');
%
figure(3);
plot (simu, x(:,2), 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
t, sakit, 'o', 'markersize', 5,'color', 'red', \
t, sakit, 'linewidth', 1,'color', 'black');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');
%legend ('Model Sakit','Data Sakit', 'location', 'north');
%
figure(4);
plot (simu, x(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
t, kebal, 'o', 'markersize', 5,'color', 'red', \
t, kebal, 'linewidth', 1,'color', 'black');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa');

L.48 Analisa
clc; clear; close all; global alpha; global betha; global tetha; global N;
simulasi_awal=0; simulasi_ahir=50;
alpha=0.8; betha=1/14; So=299; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;

Halaman: 329 349


%
function xdot = sir_model(x,t)
global alpha; global betha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i; xdot = [ds, di, dr];
endfunction
%
function xdot = sirs_model(x,t)
global alpha; global betha; global tetha; global N;
s = x(1); i = x(2); r = x(3); ds =-alpha*s*i/N + tetha*r;
di = alpha*s*i/N-betha*i; dr = betha*i - tetha*r; xdot = [ds, di, dr];
endfunction
%
t = linspace(simulasi_awal, simulasi_ahir, simulasi_ahir+1);
xo = [So, Io, Ro]; x = lsode ("sir_model", xo, t);
hasil =[transpose(t),x]; Roo = alpha/betha
figure(1)
plot (t, x(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x(:,3), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir]); grid on;
%
alpha=0.55; betha=1/14; So=349; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
xo = [So, Io, Ro]; x1 = lsode ("sir_model", xo, t);
hasil1 =[transpose(t),x1]; Roo = alpha/betha
figure(2)
plot (t, x1(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x1(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x1(:,3), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir]); grid on;
%
alpha=0.65; betha=1/14; tetha=1/21;
So=399; Io=1; Ro=0; N=So+Io+Ro;
xo = [So, Io, Ro]; x2 = lsode ("sirs_model", xo, t);
hasil2 =[transpose(t),x2]; Roo = alpha/betha
figure(3)
plot (t, x2(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x2(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x2(:,3), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir]); grid on;
%
rentan = []; sakit = []; kebal = [];
for j = 1:simulasi_ahir+1
rentan(j) = round(hasil(j,2)) + round(hasil1(j,2)) + round(hasil2(j,2));
sakit(j) = round(hasil(j,3)) + round(hasil1(j,3)) + round(hasil2(j,3));
kebal(j) = round(hasil(j,4)) + round(hasil1(j,4)) + round(hasil2(j,4));
endfor

Halaman: 330 349


%
figure(4)
plot (t, rentan, 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, sakit, 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, kebal, 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir]); grid on;
%
% memilih data puncak, karena sudah dipastikan pernah
sakit_max=0; sakit_max_idx=0;
for j = 1:simulasi_ahir+1
if (sakit(j)>sakit_max)
sakit_max = sakit(j);
sakit_max_idx = j;
end ;
endfor
sakit_max
sakit_max_idx
% alpha di puncak, dI/dt=0 --> alpha=betha*N/S
% menggunakan 3 sampel data sekitar puncak sakit
N = 1050; Io = 3; So = 1047; Ro = 0;
alpha1 = betha * N / rentan(sakit_max_idx)
alpha2 = betha * N / rentan(sakit_max_idx-1)
alpha3 = betha * N / rentan(sakit_max_idx+1)
alpha = (alpha1+alpha2+alpha3)/3
xo = [So, Io, Ro];
% targetnya model SIR
x4 = lsode ("sir_model", xo, t);
hasil4 =[transpose(t),x4]; Roo = alpha/betha
figure(5)
plot (t, x4(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x4(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \
t, x4(:,3), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir]); grid on;
%
% targetnya model SIRS
tetha1 = (betha*sakit(sakit_max_idx)+ kebal(sakit_max_idx)- \
kebal(sakit_max_idx+1)) / kebal(sakit_max_idx)
tetha2 = (betha*sakit(sakit_max_idx-1)+ kebal(sakit_max_idx-1)- \
kebal(sakit_max_idx)) / kebal(sakit_max_idx-1)
tetha3 = (betha*sakit(sakit_max_idx+1)+ kebal(sakit_max_idx+1)- \
kebal(sakit_max_idx+2)) / kebal(sakit_max_idx+1)
tetha = (tetha1 + tetha2 + tetha3) / 3
x5 = lsode ("sirs_model", xo, t);
hasil5 =[transpose(t),x5]; Roo = alpha/betha
figure(6)
plot (t, x5(:,1), 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x5(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3, \

Halaman: 331 349


t, x5(:,3), 'color', 'green', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir]); grid on;
%
% plot sakit agregasi data Vs. sakit target SIR agregasi
figure(7)
plot (t, sakit, 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x4(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir]); grid minor on;
%
% plot sakit agregasi data Vs. sakit target SIRS agregasi
figure(8)
plot (t, sakit, 'color', 'blue', 'linewidth', 3, \
t, x5(:,2), 'color', 'red', 'linewidth', 3);
xlim([simulasi_awal simulasi_ahir]); grid minor on;
%
nama_file = "c:/sir_sirs.txt";
id_file = fopen(nama_file, 'w');
fprintf (id_file, "%s \n", "(t) S I R" );
for j = 1:simulasi_ahir
fprintf (id_file, "%5.2f %3i %3i %3i %3i %3i %3i %3i %3i %3i %4i %3i %3i \n", \
hasil(j,1), round(hasil(j,2)), round(hasil(j,3)), round(hasil(j,4)), \
round(hasil1(j,2)), round(hasil1(j,3)), round(hasil1(j,4)), \
round(hasil2(j,2)), round(hasil2(j,3)), round(hasil2(j,4)), \
rentan(j), sakit(j), kebal(j));
endfor
fclose(id_file);

L.49 Analisa Nilai-Nilai So yang Berbeda


clc; close all; clear;
global N N1 N2; global alpha alpha1 alpha2; global betha;
sakit = [399, 399, 494, 689, 964, 1302, 3349, 3341, 4651, 5461, 6736, \
10532, 12722, 15677, 18483, 20677, 23139, 24881, 26965, 28532, \
29659, 29612, 43437, 48175, 49030, 49847, 50338, 50633, 49665, \
48510, 48637, 46439, 46395, 45044, 43252, 41603, 39572, 36829, \
34617, 32610, 30366, 28174, 25904, 23972, 22628, 21207, 19486, \
18247, 16993, 15593, 14407, 13171, 11755, 10421, 9557, 8685, \
7751, 6988, 6285, 5715, 5223, 4765, 4317, 3827, 3431, 2895, \
2526, 2049, 1726, 1461];
sembuh = [28, 28, 31, 32, 42, 45, 80, 88, 90, 141, 168, 295, 386, 522, \
633, 817, 1115, 1439, 1795, 2222, 2639, 2686, 3459, 4774, 5623, \
6639, 7862, 9128, 10337, 11788, 11881, 15299, 15343, 16748, 18971, \
20969, 23383, 26403, 28993, 31536, 33934, 36208, 38557, 40592, \
42033, 43500, 45235, 46488, 47743, 49134, 50318, 51553, 52960, \
54288, 55142, 56003, 56927, 57682, 58382, 58946, 59433, 59882, \
60324, 60811, 61201, 61732, 62098, 62570, 62889, 63153];

Halaman: 332 349


mati = [17, 17, 24, 40, 52, 76, 125, 125, 162, 204, 249, 350, 414, 479, \
549, 618, 699, 780, 871, 974, 1068, 1068, 1310, 1457, 1596, 1696, \
1789, 1921, 2029, 2144, 2144, 2346, 2346, 2495, 2563, 2615, 2641, \
2682, 2727, 2761, 2803, 2835, 2871, 2902, 2931, 2959, 2986, 3008, \
3024, 3046, 3056, 3062, 3075, 3085, 3099, 3111, 3122, 3130, 3133, \
3139, 3144, 3153, 3160, 3163, 3169, 3174, 3177, 3182, 3186, 3187];
jml_data = length(sakit); kebal=[]; rentan=[];rentan1=[];rentan2=[];
waktu = 0:1:jml_data-1; simu = 0:1:jml_data+40;
simu1 = 0:1:jml_data+40; simu2 = 0:1:jml_data+40;
So=79999; So1=100000; So2=140000;
offset_betha = 0.01; offset_alpha = 0.21; % ref puncak sakit
Io = sakit(1); Roo = sembuh(1)+ mati(1);
N=So+Io+Roo; N1=So1+Io+Roo; N2=So2+Io+Roo;
t = waktu; dt = 1; % perhari
for i = 1:jml_data
kebal(i) = mati(i) + sembuh(i); rentan(i)= N - sakit(i) - kebal(i);
rentan1(i)= N1 - sakit(i) - kebal(i); rentan2(i)= N2 - sakit(i) - kebal(i);
endfor
%
sakit_maks = 0; sakit_maks_idx = 0.0;
for i = 1:jml_data
if (sakit_maks < sakit(i))
sakit_maks = sakit(i); sakit_maks_idx = i;
endif
endfor
%
if (sakit_maks == sakit(sakit_maks_idx+1))
dawal = abs(sakit_maks-sakit(sakit_maks_idx-1));
dahir = abs(sakit(sakit_maks_idx+1)-sakit(sakit_maks_idx+2));
if (dahir<dawal)
sakit_maks_idx = sakit_maks_idx+1;
endif
endif
% dR/dt=betha*I, dI/dt=0, pernah di puncak
betha = (kebal(sakit_maks_idx+1) - \
kebal(sakit_maks_idx))/sakit_maks
betha = abs(betha);
alpha = betha * N / rentan (sakit_maks_idx)
alpha1 = betha * N1 / rentan (sakit_maks_idx)
alpha2 = betha * N2 / rentan (sakit_maks_idx)
Ro = alpha/betha; Ro1 = alpha1/betha; Ro2 = alpha2/betha;
%alpha = alpha + offset_alpha
%1/alpha
%betha = betha + offset_betha
%1/betha
Ro
Ro1

Halaman: 333 349


Ro2
% rekonstruksi model
function xdot = sir_model(x,t)
global alpha; global betha; global N;
s=x(1); i=x(2); r=x(3); ds=-alpha*s*i/N;
di=alpha*s*i/N-betha*i; dr=betha*i; xdot=[ds, di, dr];
endfunction
%
function xdot = sir_model1(x,t)
global alpha1; global betha; global N1;
s=x(1); i=x(2); r=x(3); ds=-alpha1*s*i/N1;
di=alpha1*s*i/N1-betha*i; dr=betha*i; xdot=[ds, di, dr];
endfunction
%
function xdot = sir_model2(x,t)
global alpha2; global betha; global N2;
s=x(1); i=x(2); r=x(3); ds=-alpha2*s*i/N2;
di=alpha2*s*i/N2-betha*i; dr=betha*i; xdot=[ds, di, dr];
endfunction
%
xo=[So,Io,Roo] ; x=lsode("sir_model", xo, simu);
xo1=[So1,Io,Roo]; x1=lsode("sir_model1", xo1, simu1);
xo2=[So2,Io,Roo]; x2=lsode("sir_model2", xo2, simu2);
%
figure(1);
plot (simu, x(:,2), 'linewidth', 2, 'color', 'black', \
simu1, x1(:,2), 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
simu2, x2(:,2), 'linewidth', 2, 'color', 'green', \
t, sakit, 'o', 'markersize', 7,'color', 'red', \
t, sakit, 'linewidth', 1,'color', 'black');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa'); title ('Kurva Sakit');
legend ('So=79999', 'So=100000', 'So=140000','Data', 'location', 'north');
%
figure(2);
plot (simu, x(:,1), 'linewidth', 2, 'color', 'black', \
simu1, x1(:,1), 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
simu2, x2(:,1), 'linewidth', 2, 'color', 'green', \
t, rentan, 'o', 'markersize', 7,'color', 'red', \
t, rentan, 'linewidth', 1,'color', 'black');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa'); title ('Kurva Rentan');
legend ('So=79999', 'So=100000', 'So=140000', 'Data', 'location', 'north');
%
figure(3);
plot (simu, x(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'black', \
simu1, x1(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'blue', \
simu2, x2(:,3), 'linewidth', 2, 'color', 'green', \
t, kebal, 'o', 'markersize', 7,'color', 'red', \

Halaman: 334 349


t, kebal, 'linewidth', 1,'color', 'black');
grid on; xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa'); title ('Kurva Kebal');
legend ('So=79999', 'So=100000', 'So=140000', 'Data', 'location', 'north');

L.50 Data Indonesia


pkg load io; clc; clf;
nama_file = 'e:\covid_indonesia_lengkap.xlsx';
nama_sheet = 'covid_indonesia';
#
waktu = []; kebal = []; rentan = [];
populasi = 7500000; # asumsi 7.5 juta
#
% membaca string menjadi array angka
batas1 = 'D17:D553'; % kasus harian
[inveksi_harian, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas1);
baris_data = length(inveksi_harian);
#
batas2 = 'E17:E553'; % total kasus
[total_kasus, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas2);
batas3 = 'F17:F553'; % kasus aktif
[kasus_aktif, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas3);
batas4 = 'H17:H553'; % sembuh harian
[sembuh_harian, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas4);
batas5 = 'I17:I553'; % total sembuh
[total_sembuh, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas5);
batas6 = 'L17:L553'; % mati harian
[mati_harian, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas6);
batas7 = 'M17:M553'; % total mati
[total_mati, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas7);
kebal = total_sembuh + total_mati;
#
for i=1:baris_data
waktu(i) = i;
rentan (i) = populasi - total_kasus(i) - kebal(i);
endfor
%
figure(1); plot (waktu, inveksi_harian, 'color', 'red', 'linewidth', 2);
grid on; title ("Inveksi Harian");
#
figure(2); plot (waktu, total_kasus, 'color', 'blue', 'linewidth', 2);
grid on; title ("Total Kasus");
figure(3); plot (waktu, kasus_aktif, 'color', 'red', 'linewidth', 2);
grid on; title ("Kasus Aktif");
figure(4); plot (waktu, sembuh_harian, 'color', 'black', 'linewidth', 2);
grid on; title ("Sembuh Harian");

Halaman: 335 349


figure(5); plot (waktu, total_sembuh, 'color', 'black', 'linewidth', 2);
grid on; title ("Total Sembuh");
figure(6); plot (waktu, mati_harian, 'color', 'black', 'linewidth', 2);
grid on; title ("Mati Harian");
figure(7); plot (waktu, total_mati, 'color', 'black', 'linewidth', 2);
grid on; title ("Total Mati");
figure(8); plot (waktu, kebal, 'color', 'black', 'linewidth', 2);
grid on; title ("Kebal (Recovered)");
#
figure(9)
plot (waktu, kasus_aktif, 'color', 'red', 'linewidth', 1, \
waktu, kebal, 'color', 'black', 'linewidth', 1, \
waktu, rentan, 'color', 'blue', 'linewidth', 1);
grid on;
xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa'); title ('Kurva Data');
#
figure(10)
plot (waktu, inveksi_harian, 'color', 'red', 'linewidth', 1, \
waktu, sembuh_harian, 'color', 'blue', 'linewidth', 1, \
waktu, mati_harian, 'color', 'black', 'linewidth', 1);
grid on;
xlabel('Hari'); ylabel('Jiwa'); title ('Kurva Data');

L.51 Bilangan Produksi Efektif


pkg load io; clc; clear; clf; nama_file = 'e:\data.xlsx';
nama_sheet = 'sheet1'; re = [];
#
% membaca string menjadi array angka
batas1 = 'E5:E36'; % 21 Juli 2020 --> 21 Agustus 2021, 32 baris data
[kasus_aktif, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas1);
baris = length(kasus_aktif);
batas2 = 'D5:D36';
[kasus_baru, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas2);
batas3 = 'F6:F36';
[re, teks, data_asli] = xlsread (nama_file, nama_sheet, batas3);
waktu = 1:baris; waktos = 1:baris-1;
re = re'; % ditranspose-kan
px = polyfit (waktos, re, 1)
yx = polyval (px, waktos);
figure(1); plot (waktu, kasus_aktif, 'color', 'red', 'linewidth', 2); grid on;
figure(2); plot (waktu, kasus_baru, 'color', 'blue', 'linewidth', 2); grid on;
figure(3); plot (waktos, re, 'color', 'red', 'linewidth', 1, \
waktos, yx, 'color', 'blue', 'linewidth', 2); grid on;
px = polyfit (waktos, re, 2)
yx = polyval (px, waktos);

Halaman: 336 349


figure(4); plot (waktos, re, 'color', 'red', 'linewidth', 1, \
waktos, yx, 'color', 'blue', 'linewidth', 2); grid on;
px = polyfit (waktos, re, 3)
yx = polyval (px, waktos);
figure(5); plot (waktos, re, 'color', 'red', 'linewidth', 1, \
waktos, yx, 'color', 'blue', 'linewidth', 2); grid on;
% keterangan (vektor) px adalah koefisien polinomial:
% derajat 1: koefisien x dan konstanta
% derajat 2: koefisien x^2, X, dan konstanta
% derajat 3: koefisien X^3, X^2, X, dan konstanta

Halaman: 337 349


LAMPIRAN II
Matriks 2x2
a a12 
X =  11 ,
a21 a22 
T a a 21  a − a12 
X i, j = X j ,i =  11  , adj ( X ) = det( X ).invers ( X ) =  22 ,
a12 a 22  − a21 a11 
1
det( X ) = a a − a a , invers( X ) = X 1 = * adj ( X )
11 22 12 21 det( X )

Contoh 1:
3 2 3 1   4 − 2
X =  , XT =  , adj ( X ) =  ,
1 4  2 4 − 1 3 
 4 2
−1 1  4 − 2  10 − 10 
X = =
(3.4) − (1.2) − 1 3  − 1 3 

 10 10 

Contoh 2:
 2 5  2 1  3 − 5
X =  , XT =   , adj ( X ) =  ,
1 3 5 3 − 1 2 
1  3 − 5  3 − 5
X −1 = =
(2.3) − (1.5) − 1 2  − 1 2 

Baris Kode Octave:


x = [2, 5; 1, 3]
x_trs = x'
x_adj = det(x)*inv(x)
x_det = det(x)
x_inv = inv(x)

Matriks 3x3
 a11 a12 a13   a11 a21 a31 
X = a21 a22 a23  , X i , j = X j ,i = a12 a22 a32  ,
  T

a31 a32 a33  a13 a23 a33 


adj ( X ) = det( X ).invers ( X )
det( X ) = (a11a22 a33 + a12 a23 a31 + a13 a21a32 ) − (a13 a22 a31 + a11a23 a32 + a12 a21a33 )
1
invers( X ) = X 1 = * adj ( X )
det( X )

Halaman: 338 349


Contoh 3:
4 2 8 
X = 2 1 5
3 2 4
det( X ) = (4.1.4 + 2.5.3 + 8.2.2) − (8.1.3 + 4.5.2 + 2.2.4) =16+30+32-24-40-16= -2.

Contoh 4:
1 2 3
X = 2 1 4
3 1 2
det( X ) = (1.1.2 + 2.4.3 + 3.2.1) − (3.1.3 + 1.4.1 + 2.2.2) =2+24+6-9-4-8= 11.

Persamaan Kuadrat
− b + b 2 − 4ac − b − b 2 − 4ac
aX 2 + bX + c = 0 X1 = , X2 =
2a 2a

− 1 + 12 − 4.1.(−2)
Contoh 5: X 2 + X − 2 = 0 a=1, b=1, c=-2 X1 = = 1,
2.1
− 1 − 12 − 4.1.(−2)
X2 = = − 2.
2.1

Halaman: 339 349


LAMPIRAN III
0 299 1 0 349 1 0 399 1 0 1047 3 0
1 298 2 0 348 2 0 398 2 0 1044 6 0
2 295 4 0 347 3 0 397 3 0 1039 10 0
3 291 9 1 345 4 0 394 6 1 1030 19 2
4 281 17 2 343 7 1 389 10 1 1013 34 4
5 263 33 3 338 11 1 381 17 2 982 61 6
6 233 60 7 331 17 2 367 29 3 931 106 12
7 189 99 12 320 26 4 345 49 6 854 174 22
8 137 142 21 304 39 6 312 78 10 753 259 37
9 89 178 32 282 58 10 268 116 16 639 352 58
10 54 200 46 253 83 15 215 160 25 522 443 86
11 31 208 61 217 111 22 161 202 37 409 521 120
12 18 207 76 178 141 31 115 235 50 311 583 157
13 10 200 90 140 169 42 79 256 65 229 625 197
14 6 190 104 105 190 55 55 265 80 166 645 239
15 4 179 117 77 204 69 39 266 95 120 649 281
16 2 168 130 56 211 84 29 262 109 87 641 323
17 2 157 141 40 212 99 24 254 122 66 623 362
18 1 147 152 29 208 114 21 245 134 51 600 400
19 1 137 162 21 201 128 20 236 144 42 574 434
20 0 128 172 15 192 142 19 227 154 34 547 468
21 0 119 180 11 183 156 20 218 162 31 520 498
22 0 111 189 9 173 168 21 210 170 30 494 527
23 0 103 196 7 163 180 22 202 176 29 468 552
24 0 96 203 5 153 192 23 195 182 28 444 577
25 0 90 210 4 144 202 24 189 187 28 423 599
26 0 84 216 3 134 212 26 183 191 29 401 619
27 0 78 222 3 126 222 27 178 195 30 382 639
28 0 72 227 2 118 230 29 174 198 31 364 655
29 0 68 232 2 110 238 30 169 201 32 347 671
30 0 63 237 2 103 246 31 166 203 33 332 686
31 0 59 241 1 96 253 32 163 205 33 318 699
32 0 55 245 1 89 260 34 160 207 35 304 712
33 0 51 249 1 83 266 35 157 208 36 291 723
34 0 47 253 1 78 272 36 155 209 37 280 734
35 0 44 256 1 72 277 37 153 210 38 269 743
36 0 41 259 1 67 282 38 151 211 39 259 752
37 0 38 262 1 63 287 38 150 212 39 251 761
38 0 36 264 1 59 291 39 149 212 40 244 767
39 0 33 267 1 55 295 40 147 213 41 235 775
40 0 31 269 0 51 299 40 147 213 40 229 781
41 0 29 271 0 47 302 41 146 213 41 222 786
42 0 27 273 0 44 305 41 145 214 41 216 792
43 0 25 275 0 41 308 42 144 214 42 210 797
44 0 23 277 0 38 311 42 144 214 42 205 802
45 0 22 278 0 36 314 42 144 214 42 202 806
46 0 20 280 0 33 316 43 143 214 43 196 810
47 0 19 281 0 31 319 43 143 214 43 193 814
48 0 17 283 0 29 321 43 143 214 43 189 818
49 0 16 284 0 27 323 43 143 214 43 186 821

Halaman: 340 349


LAMPIRAN IV
Data Covid-19 Indonesia Periode 21 Juli 21 Agustus 2021

Halaman: 341 349


DAFTAR PUSTAKA
(Anastasia, 2020) Anastasia Tamara, “Syarat Terapi Plasma Konvalesen untuk
Pengobatan Covid-19”, https://www.klikdokter.com/info-
sehat/read/3638412/syarat-terapi-plasma-konvalesen-untuk-
pengobatan-covid-19, 30 Desember 2020.
(Andrea, 2020) Andrea Doeschl & Wilson, “Modelling Epidemics, Lecture 7:
Stochastic & Individual Based Epidemiological Models”, Roslin,
di-download 15 Mei 2020.
(Anjar, 2020) Anjar Mahardhika, “3 Kasus Positif LagiSetelah Sembuh dari
Corona di Indonesia”, https://health.detik.com/berita-
detikhealth/d-5005143/3-kasus-positif-lagi-setelah-sembuh-
dari-corona-di-indonesia, 6 Mei 2020.
(Antara, 2021) Antara, “Penyebab Learning Loss dan Kiat Menyisasatinya”,
https://www.antaranews.com/berita/2372646/penyebab-
learning-loss-dan-kiat-menyiasatinya, AntaraNews, Minggu, 5
September 2021.
(Ariyani, 2020) Ariyani Queen Sugih, “Memahami Herd Immunity Dalam
Pendemi Covid-19”, Desember 2020.
(Aronson, 2020) Aronson J.K., Brassey J, Mahtani K.R., “When will it be over?: An
Introduction to Viral Reproduction Numbers, Ro and Re”, Oxford
COVID-19 Evidence Srvice, https://www.cebm.net/covid-19/
when-will-it-be-over-an-introduction-to-viral-reproduction-
numbers-r0-and-re/, 2020.
(Bastin, 2018) Bastin G., “Lectures on Mathematical Modeling of Biological
Systems”, GBIO 2060, 22 Agustus 2019.
(Beritasatu, 2021) Beritasatu, “Fadli Zon Positif Covid-19, Banyak Warganet Belum
Paham Vaksinasi”, https://www.beritasatu.com/kesehatan/
780771/fadli-zon-positif-covid19-banyak-warganet-belum-
paham-vaksinasi, Harian Online Beritasatu, Senin 31 Mei 2021.
(Bertram, 2020) Bertram Richard, “Delay Differential Equations”, Departmen of
Mathematics and Programs in Neuroscience and Molecular
Biophysic, Florida State University, Florida 32306, 2020.
(Bjornstad, 2018) Bjornstad O.N., “Epidemics Models and Data Using R”, Springer
Nature, Switzerland, 2018.
(Braurer, 2012) Brauer Fred, Carlos Castillo, and Chavez, “Mathematical Models
in Population Biology and Epidemiology”, second edition,
Springer, 2012.
(CNBC, 2020) CNBC, “Ada Corona, 80% Pemesanan Perjalanan Wisata di RI
Batal”, https://www.cnbcindonesia.com/news/
20200303210455-4-142287/ada-corona-80-pemesanan-
perjalanan-wisata-di-ri-batal, CNBC Indonesia, 3 Maret 2020.
(CNBC, 2020a) CNBC, “5 Negara Super Tajir yang Terpaksa Ngutang Akibat
Covid-19”, https://www.cnbcindonesia.com/news/
20201202125208-4-206282/5-negara-super-tajir-yang-
terpaksa-ngutang-akibat-covid-19/2, CNBC Indonesia, 2
Desember 2020.

Halaman: 342 349


(CNN, 2020) CNN Indonesia, ”5 Penyakit Penyerta Penyebab Kematian
Pasien Covid-19”, https://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20200415143127-255-493794/5-penyakit-penyerta-
penyebab-kematian-pasien-covid-19, Tim CNN Indonesia, Rabu,
15 April, 2020.
(CNN, 2020a) CNN Indonesia, ”Imam Besar Istiqlal: Jangan Anggap Corona
Azab”, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/
20201209103046-532-579810/tumpukan-utang-negara-buat-
lawan-corona, CNN Indonesia, Rabu, 23 Desember, 2020.
(CNN, 2020b) CNN Indonesia, ”Tumpukan Hutang Negara Buat Lawan
Corona”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/
20200313110956-20-483102/imam-besar-istiqlal-jangan-
anggap-corona-azab, CNN Indonesia, Jumat, 13 Maret, 2020.
(CNN, 2021) CNN Indonesia, ”RI Diprediksi Butuh 10 Tahun untuk Tuntaskan
Vaksinasi Corona”, https://www.cnnindonesia.com/
internasional /20210207134422-106-603303/ri-diprediksi-
butuh-10-tahun-untuk-tuntaskan-vaksinasi-corona, Tim CNN
Indonesia, Minggu, 07 Februari, 2021.
(CNN, 2021a) CNN Indonesia, ”Dirut RS Ummi Didakwa Sebarkan Berita
Bohong Soal Swab Rizieq”, https://www.cnnindonesia.com/
nasional/20210316185734-12-618273/dirut-rs-ummi-didakwa-
sebarkan-berita-bohong-soal-swab-rizieq, CNN Indonesia,
Selasa, 16 Maret 2021.
(CNN, 2021b) CNN Indonesia, ”Maia Estianty Positif Covid-19 Kedua Kali
Karena Pelukan”, https://www.cnnindonesia.com/hiburan/
20210410101300-234-628188/maia-estianty-positif-covid-19-
kedua-kali-karena-pelukan, CNN Indonesia, Sabtu, 10 April
2021.
(CNN, 2021c) CNN Indonesia, ”WHO Ungkap Kemajuan Vaksinasi Lansia Aceh
dan Sumbar Lambat”, https://www.cnnindonesia.com/
nasional/20210916091050-20-695082/who-ungkap-kemajuan-
vaksinasi-lansia-aceh-dan-sumbar-lambat, CNN Indonesia,
Jumat, 17 September 2021.
(CNN, 2021d) CNN Indonesia, ”Bank Dunia Soroti Learning Loss RI Akibat
Pandemi”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/
20210917131430-20-695727/bank-dunia-soroti-learning-loss-
ri-akibat-pandemi, CNN Indonesia, Sabtu, 18 September 2021.
(Depkes, 2006) ____, “Glosarium Data & Informasi Kesehatan, Pusat Data &
Informasi, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006.
(Detik, 2020) _____, “New Normal Dibatalkan Jika Terjadi Gelombang Kedua
Serangan Corona”, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-
bisnis/d-5035788/new-normal-dibatalkan-jika-terjadi-
gelombang-kedua-serangan-corona,1 Juni 2020.
(Detik, 2021) Detik, “Menkes: Butuh 3.5 Tahun Rampungkan Vaksinasi Covid-
19 di Dunia”, https://news.detik.com/berita/d-5318320/
menkes-butuh-35-tahun-rampungkan-vaksinasi-covid-19-di-
dunia, 2 Januari 2021.
(Detik, 2021a) Detik, “Doni Monardo Geram Masih Ada 17 Persen Warga yang
Tak Percaya Corona”,https://health.detik.com/berita-
detikhealth/d-5486777/doni-monardo-geram-masih-ada-17-
persen-warga-yang-tak-percaya-corona, Selasa, 9 Maret 2021.

Halaman: 343 349


(Dinkes, 2020) _____, “Penolakan Vaksin Covid-19 Masyarakat Papua Barat
Terendah di Indonesia”, Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi
Papua Barat, https://dinkes.papuabaratprov.go.id/artikel/
penolakan-vaksin-covid-19-masyarakat-papua-barat-terendah-
di-indonesia, 31 Desember 2020.
(Driessche, 2017) Driessche VD., “Reproduction Numbers of Infectious Disease
Models”, Department of Mathematics and Statistics, University
of Victoria, BC, Canada, V8W 2Y2, pvdd@math.uvic.ca, 26 Juni
2017.
(DTTC, 2020) DTTC, “Kadin: 6,4 Juta Pekerja Dirumahkan atau Di-PHK Akibat
Corona”, https://news.ddtc.co.id/kadin-64-juta-pekerja-
dirumahkan-atau-di-phk-akibat-corona-24551, Rabu, 7 Oktober
2020.
(Dwipra, 2020) Dwiprahasto Iwan, “Epidemiologi”, Clinical Epidemiology &
Biostatistics Unit/Bg. Farmakologi FK UGM, di-download 1 April
2020.
(EID, 2019) ___, “Complexity of the Basic Reproduction Number Ro”,
Centers for Disease Control and Prevention, Emerging
Infectious Diseases Journal, Vol. 25, Number 1, January 2019.
(Epirecip, 2020) ___, “SIR Model Using Octave and LSODE”, dilihat Maret 2020.
(Gatra, 2020) Gatra, “Hati-Hati, Sembuh dari Covid-19 Bisa Kambuh Lagi”,
https://www.gatra.com/detail/news/475468/kesehatan/hati-
hati-sembuh-dari-covid-19-bisa-kambuh-lagi, 14 April 2020.
(Guan, 2016) Guan Xiyang & Nonthakorn O., “Biological Models with Time
Delay”, project number :MA-RYL-2016, Worchester Polytechnic
Institute, 28 Juni 2016.
(Haibunda, 2020) Haibunda, “Viral Curhat Pasien Covid-19, Kambuh Lagi di Hari
ke-21: Sakit Banget”, https://www.haibunda.com/trending/
20200924222116-93-163683/viral-curhat-pasien-covid-19-
kambuh-lagi-di-hari-ke-21-sakit-banget, 27 September 2020.
(Hakim, 2021) Hakim, Rakhmat Nur, “Orang yang Sudah Divaksin Bisa Tertular
Covid-19, Ini Penjelasan Epidemiolog”,
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/07/08192441/ora
ng-yang-sudah-divaksin-bisa-tertular-covid-19-ini-penjelasan-
epidemiolog, Kompas, 7 Januari, 2021.
(Harini, 2020) Harini Soesanti, “Sudah Sembuh, Pasien di Belgia dan Belanda
Kambuh Lagi Covid-19”, https://health.grid.id/read/352306892
/sudah-sembuh-pasien-di-belgia-dan-belanda-kambuh-lagi-
covid-19?page=all, 26 Agustus 2020.
(Hossain, 2017) Hossain Tereque, Miah Musa, “Numerical Study of Kermack-
McKendrik SIR Model to Predict the Outbreak of Ebola Visurs
Diseases UsingEuler and Fourth Order Runge-Kutta Methods”,
American Scientific Research Journal for Engineering,
Technology, and Sciences, October 2017.
(Huntington S.P., Huntington S.P., “The Class of Civilizationsand the Remaking of
2012) the World Order”, 1996, yang diterjemahkan menjadi
“Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia”,
Cetakan ke-12, Penerbit Qalam, Jakarta, 2012.
(Idntimes, 2020) ____, “Inilah 10 Penyakit Paling Mematikan di Dunia
Berdasarkan Data WHO”, IDN Times,
https://www.idntimes.com/health/medical/izza-namira-

Halaman: 344 349


1/penyakit-paling-mematikan-di-dunia-berdasarkan-data-
who/10, 28 Februari, 2020.
(IVM, 2019) IVM, “SI and SIS Models”, https://idmod.org/docs/malaria/
model-si.html, Intellectual Ventures Management (IVM), 2019.
(Jones, 2007) Jones J.H., “Notes on Ro”, Department of Anthropological
Sciences, Standford University, https://web.stanford.edu
/~jhj1/teachingdocs/Jones-on-R0.pdf, 1 Mei 2007.
(Jones, 2008) Jones J.H., “Models of Infectious Disease”, Formal Demography,
Standford Spring Workshop in Formal Demography,
Department of Anthropology, Standford University, 3 Mei 2008.
(Kemenkes, 2020) Kemenkes, “Standar Alat Pelindung Diri (APD): Dalam
Manajemen Penanganan Cocid-19”, Direktorat Jenderal
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, April 2020.
(Kemenkes, 2020a) Kemenkes, “Panduan Pencegahan Penularan Covid-19 untuk
Masyarakat” atau “Apa yang Harus Dilakukan Masyarakat untuk
Mecegah Penularan covid-19?”, dokumen PDF (brosur),
Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Promosi Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat,
https://promkes.kemkes.go.id/panduan-pencegahan-
penularan-covid-19-untuk-masyarakat, 2020.
(Kemenkes, 2020b) Kemenkes, “Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona
Virus Disease (Covid-19)”, revisi ke-5, dokumen PDF (brosur),
Kementerian Kesehatan RI, 13 Juli 2020
(Kemensos, 2020) Kemensos, “Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS): Penguatan
Kapabilitas Anak dan Keluarga”, Direktorat Rehabilitasi Sosial
Anak, Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial
Repubika Indonesia, 2020.
(Kemnaker, 2020) Kemnaker, “Survei Kemnaker: 88 Persen Perusahaan
Terdampak Pandemi Covid-19”, https://kemnaker.go.id, Selasa,
24 November 2020.
(Kompas, 2020) Kompas, “Wabah Penyakit Menular Terjadi Setiap 100 Tahun”,
https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/24/124434465/
wabah-penyakit-menular-terjadi-setiap-100-tahun, 24 Maret
2020.
(Kompas, 2020a) Kompas, “Update Virus Corona di Dunia 5 April: 1,19 Juta Orang
Terinfeksi, 246.110 Sembuh, 64.580 Meninggal Dunia”,
https://www.kompas.com, 5 April 2020.
(Kompas, 2020b) Kompas, “WHO Umumkan Virus Corona sebagai Pandemi
Global”, https://www.kompas.com/global/read/
2020/03/12/001124570/who-umumkan-virus-corona-sebagai-
pandemi-global, 12 Maret 2020.
(Kompas, 2020c) Kompas, “6 Negara di Asia yang Laporkan Varian Baru Virus
Corona Inggris”, https://www.kompas.com/tren/read/
2020/12/30/062900865/6-negara-di-asia-yang-laporkan-kasus-
varian-baru-virus-corona-inggris?page=2, 30 Desember 2020.
(Kompas, 2020d) Kompas, “Kemanjuran Vaksin Sinovac Berbeda di Beberapa
Negara, Bagaimana Bisa”, https://www.kompas.com/tren/read
/2020/12/27/160600465/kemanjuran-vaksin-sinovac-berbeda-
di-beberapa-negara-bagaimana-bisa-?page=all, 27 Desember
2020.

Halaman: 345 349


(Kompas, 2020e) Kompas, “Para Akhli Soroti Data Vaksin Covid-19 Buatan
Sinovac, Ini Alasannya”, https://www.kompas.com/tren/read
/2020/12/29/123400965/para-ahli-soroti-data-vaksin-covid-19-
buatan-sinovac-ini-alasannya?page=all, 29 Desember 2020.
(Kompas, 2020f) Kompas, “Presiden Jokowi Kembali Tegaskan Karantina Wilayah
Wewenang Pusat”, https://nasional.kompas.com/read/
2020/03/30/15063361/presiden-jokowi-kembali-tegaskan-
karantina-wilayah-wewenang-pusat, 30 Maret 2020.
(Kompas, 2020g) Kompas, “Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tak Membuat
Penyelenggara Negara Kebal Hukum”,
https://money.kompas.com/read/2020/04/13/060600326/per
ppu-nomor-1-tahun-2020-tak-membuat-penyelenggara-negara-
kebal-hukum?page=all, Harian Kompas Online, 13 April 2020.
(Kompas, 2020h) Kompas, “Berapa Lama Vaksin Covid-19 Melindungi Tubuh?”,
https://lifestyle.kompas.com/read/2020/12/17/074410120/ber
apa-lama-vaksin-covid-19-melindungi-tubuh, Harion Kompas
Online, 17 Desember 2020.
(Kompas, 2021) Kompas, “Jubir: Bukan 3.5 Tahun, RI Butuh 15 Bulan Tuntaskan
Vaksinasi Covid-19”, https://nasional.kompas.com/read/2021
/01/03/14300361/jubir-bukan-35-tahun-ri-butuh-15-bulan-
tuntaskan-vaksinasi-covid-19?page=all, 3 Januari 2021.
(Kompas, 2021a) Kompas, “Negara Butuh Rp. 58 Triliun untuk Vaksinasi, Rakyat
Diminta Patuh Bayar Pajak”, https://money.kompas.com/read/
2021/03/22/155642826/negara-butuh-rp-58-triliun-untuk-
vaksinasi-rakyat-diminta-patuh-bayar-pajak, harian kompas
online, Senin, 22 Maret 2021.
(Kompas, 2021b) Kompas, “Covid-19 di India Melonjak Parah, WHO Sebut ini
Penyebabnya”, https://www.kompas.com/global/read
/2021/04/28/054322070/covid-19-di-india-melonjak-parah-
who-sebut-ini-penyebabnya, harian kompas online, Rabu, 28
April 2021.
(Kompas, 2021c) Kompas, “Permintaan Terapi Plasma Konvalesen Meningkat,
RSLI Surabaya Ajak Penyintas Covid-19 Jadi Donor”,
https://regional.kompas.com/read/2021/06/29/063843078/pe
rmintaan-terapi-plasma-konvalesen-meningkat-rsli-surabaya-
ajak-penyintas, harian kompas online, Selasa, 29 Juni 2021.
(Kompas, 2021d) Kompas, “Kekebalan Terhadap Covid-19 Disebutkan Bertahan
Bertahun-Tahun, Benarkah?”, https://www.kompas.com/
tren/read/2021/06/04/070500965/kekebalan-terhadap-covid-
19-disebutkan-bertahan-bertahun-tahun-benarkah-, harian
kompas online, 4 Juni 2021.
(Kompas, 2021e) Kompas, “Dokter Lois Sesumbar Tak Percaya Covid-19, IDI:
Keanggotaannya Sudah Lama Kadaluarsa”,
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/07/11/18403551/
dokter-lois-sesumbar-tak-percaya-covid-19-idi-keanggotaannya
-sudah-lama, harian kompas online, 11 Juli 2021.
(Kompas, 2021f) Kompas, “Sri Mulyani Putar Otak Buat Bayar Utang Akibat
Pandemi Covid-19”, https://money.kompas.com/read/
2021/09/03/190400226/sri-mulyani-putar-otak-buat-bayar-
utang-akibat-pandemi-covid-19, harian kompas online, 03
September 2021.

Halaman: 346 349


(Kompas, 2021g) Kompas, “RS Al-Islam Bandung Sementara Tak Terima Pasien
Keluhan Sesak Nafas, Ini Alasannya”,
https://regional.kompas.com/read/2021/07/05/114110878/rs-
al-islam-bandung-sementara-tak-terima-pasien-keluhan-sesak-
napas-ini?page=all, harian kompas online, 05 Juli 2021.
(Kompas, 2021h) Kompas, “1.921 Dosis Vaksin Sinovac Terbuang di Aceh,
padahal di Daerah lain Warga Berebut sampai antre dari
Subuh”, https://regional.kompas.com/read/2021/09/13
/114827978/1921-dosis-vaksin-sinovac-terbuang-di-aceh-
padahal-di-daerah-lain-warga?page=all, harian kompas online,
13 September 2021.
(Kontan, 2020) Kontan, “Ini Daftar Orang yang tidak bisa Divaksin Covid-19”,
https://kesehatan.kontan.co.id/news/ini-daftar-orang-yang-
tidak-bisa-divaksin-covid-19?page=all, 19 Desember 2020.
(Kontan, 2020a) Kontan, “Usai Sembuh dari Covid-19, Apakah masih Bisa
menularkan Virus Corona?”, https://kesehatan.kontan.co.id
/news/usai-sembuh-dari-covid-19-apakah-masih-bisa-
menularkan-virus-corona?page=all, 3 Oktober 2020.
(Kontan, 2021) Kontan, “Banyak Proyek Swasta Tertunda, PTPP Punya Kontrak
Carry Over Rp. 69 Triliun pada 2021”, https://amp.kontan.co.id
/news/banyak-proyek-swasta-tertunda-ptpp-punya-kontrak-
carry-over-rp-69-triliun-pada-2021, 30 Maret 2021.
(Kusdian, 2005) Kusdian R.D, Ridwan A.S., Tamin O.Z., dan Syafruddin A.,
“Penggunaan Distribusi Normal dalam Memodelkan Sebaran
Persepsi Biaya Perjalanan dan Transfortasi Box-Muller…”, Jurnal
Transportasi, Vol. 5, No. 2, halaman 125-136, Desember 2005.
(Lilis, 2020) Lilis K., “Pasien Sembuh Corona Bisa Kambuh, Cek Faktanya”,
https://www.viva.co.id/ragam/cek-fakta/1275727-pasien-
sembuh-corona-bisa-kambuh-cek-faktanya, 12 Mei 2020.
(Liputan6, 2020) Liputan6, “Menkes Ungkap Alasan Orang Indonesia Kebal Virus
Corona”, https://www.liputan6.com/news/read/4179878/
menkes-ungkap-alasan-orang-indonesia-kebal-virus-corona, 15
Februari 2020.
(Liputan6, 2021) Liputan6, “Akibat Covid-19, Utang Negara di Dunia Tembus 100
Persen dari PDB”, https://www.liputan6.com/bisnis/read/
4450642/akibat-covid-19-utang-negara-di-dunia-tembus-100-
persen-dari-pdb, 6 Januari 2021.
(Maharani, 2020) Maharani Ayu, “Efikasi dan Efektivitas Vaksin Covid-19, Ini
Bedanya”, https://www.klikdokter.com/info-
sehat/read/3646208/efikasi-dan-efektivitas-vaksin-covid-19-ini-
bedanya, 15 Desember 2020.
(Marchuk, 1997) Marchuk GI, “Mathematical Modelling”, of Immune Response
in Infection Diseases”, Springer-Science+Business Media B.V.,
Moscow, Rusia, 1997.
(Mario et al, 2021) Mario M.A, Everardo G.G, Grissel T.S. “Modeling Covid-19
Epidemics in an Excel Sphreadsheet to Enable First-Hand
Accurate Predictions of the Pandemic Evolution in Urban Area”,
Scientific Report, 11:4327, 2021,
https://www.nature.com/articles/s41598-021-83697-w.pdf.
(Media, 2020) Media Indonesia, “Sudah Dinyatakan Sembuh, 5 Pasien Covid-
19 di Babel Positif Lagi”, https://mediaindonesia.com/

Halaman: 347 349


nusantara /344769/sudah-dinyatakan-sembuh-5-pasien-covid-
19-di-babel-positif-lagi, 14 September 2020.
(Merdeka, 2021) ______, “Vaksinasi Covid-19 Capai 100 Juta Dosis, Indonesia
Tuai Pujian Bank Dunia”, Merdeka News,
https://www.merdeka.com/peristiwa/vaksinasi-covid-19-capai-
100-juta-dosis-indonesia-tuai-pujian-bank-dunia.html, Senin, 20
September 2021.
(Mojeeb, 2019) Mojeeb Al-Rahman Nor-Osman, Appiayei Ebenezer, and Isaac
Kwasi Adu, “Simple MSEIR Model for Measles Transmission”,
Asian Research Journal of Mathematics, 12(3):1-11, 2019;
Article No. ARJOM.43960, ISSN: 2456-477X, 06 Maret 2019.
(Mou, 2020) Mouhamadou AMT Balde, “Fitting SIR Model to Covid-19
Pandemic Data and Comparative Forecasting with Machine
Learning”, University of Cheikh Anta Diop, Dakar, Senegal, 1
Mei 2020.
(Murti, 1997) Murti Bhisma, “Prinsip dan Metode Riset Apidemiologi”,
Cetakan Pertama, Gajah Mada University Press, April 1997.
(Nyabadza, 2007) Nyabadza F, et all, “Lecture Notes: Mathematical
Epidemiology”, Department of Mathematics, University of
Botswana, February 2007.
(Natalia M., 2021) Natalia Michelle, “Bahlil Ungkap Peran UMKM yang Jadi
Penyelamat Saat Ibu Pertiwi Sakit”, SindoNews,
https://ekbis.sindonews.com/read/553880/34/bahlil-ungkap-
peran-umkm-yang-jadi-penyelamat-saat-ibu-pertiwi-sakit-
1632859775, Rabu, 29 September 2021.
(Okezone, 2021) Okezone, “Daftar 16 Golongan Orang yang Tak Bisa Terima
Vaksin Covid-19”, https://lifestyle.okezone.com/read/
2021/01/09/481/2341388/daftar-16-golongan-orang-yang-tak-
bisa-terima-vaksin-covid-19, 9 Januari 2021.
(Orami, 2020) Orami, “Virus Corona Bisa Kambuh Kembali, Ketahui 3
Faktanya”, https://www.orami.co.id/magazine/virus-corona-
bisa-kambuh-kembali-ketahui-3-faktanya/, 28 Agustus 2020.
(PR, 2021) PR, “Jokowi Kecewa PPKM Jawa dan Bali Tak Efektif, Ganjar
Pranowo Beri Usulan”, Harian Pikiran Rakyat, Online,
https://www.pikiran-rakyat.com, 1 Februari 2021.
(PR, 2021a) PR, “Eks Menkes Siti Fadilah Supari: Divaksin atau Tidak,
Risikonya untuk Kena Covid Itu Sama”, Harian Pikiran Rakyat,
Online, https://www.pikiran-rakyat.com, 21 Juni 2021.
(PR, 2021b) PR, “Pandemi Covid-19 Itu Simulasi Perang Biologis”,
https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-
012379826/pakar-wabah-ui-ke-prabowo-subianto-pandemi-
covid-19-itu-simulasi-perang-biologis, 12 Agustus, 2021.
(PR, 2021c) PR, “Bongkar Dalang di Balik Covid-19, Eks Menkes Siti Fadilah
Supari: AS dan China Itu Korban”, https://www.pikiran-
rakyat.com/nasional/pr-012245483/bongkar-dalang-di-balik-
covid-19-eks-menkes-siti-fadilah-supari-as-dan-china-itu-
korban, 19 Juli, 2021.
(Prahasta, 2018) Prahasta, Eddy, “Systems Thinking & Pemodelan Sistem
Dinamis”, Cetakan Pertama, Penerbit Informatika Bandung,
Agustus, 2018.
(Regoes, 2020) Regues R.R., “Stochastic Simulation of a Simple Epidemic”,

Halaman: 348 349


http://www.biosym.uzh.ch/modules/models/ETHZ/StochasticSi
mulation/sir_stoch.xhtml, di-download 15 April 2020.
(Sarah, 2021) Sarah Octaviani Alam, “Penjelasan WHO Soal 4 Varian Baru
Corona yang Menyebar ke Seluruh Dunia”,
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-
5319778/penjelasan-who-soal-4-varian-baru-corona-yang-
menyebar-ke-seluruh-dunia, 4 Januari 2021.
(Saraswathi et al, Saraswathi S., Mukhopadhyay A., Ranganath T.S., “Social
2020) Network Analysis of Covid-19 Transmission in Karnataka, India”,
https://www.researchgate.net/publication/343671900_Social_
Network_Analysis_of_COVID-
19_Transmission_in_Karnataka_India, 14 Agustus 2020.
(Sciml, 2020) ____, “Delay Differential Equation”,
https://diffeq.sciml.ai/stable/tutorials/dde_example/, 2020.
(Serhii, et al, 2020) Serhii O.S., Mohamad S.H., Iryna V.D., dkk, “A Simple Epidemic
Model of Covid-19 and It’s Application to Ukrainian, Indonesian,
and the Global Data”, Journal of the Medical Sciences (Berkala
Ilmu Kedokteran), Volume 52, Nomor 3 (SI), 1-10 Juli, 2020.
(Shampine, 2000) Shampine L.F. & Thompson S., “Solving Delay Differential
Equations with DDE23”, Mathematics Department Southern
Methodist University, Dallas, TX 75275., 23 Maret 2000.
(Sholarpedia, 2020) ____, “Delay Differential Equation”,
http://www.scholarpedia.org/article/Delay-
differential_equations, 2020.
(Solopos, 2021) Solopos, “Ini Loh Beda PSBB dan PPKM”,
https://www.solopos.com/ini-loh-beda-psbb-dan-ppkm-
1100981, Kamis, 7 Januari, 2021.
(Song, 2016) Song Baojun, “Compute Ro Using Next Generation Operator”,
Department of Mathematical Sciences Montclair State
University, June 20, 2016.
(Suara, 2020) Suara, “3 Alasan Indonesia ‘Kebal’ Virus Corona Covid-19, Benar
Karena Doa”, https://www.suara.com/health/2020/02/18
/081000/3-alasan-indonesia-kebal-virus-corona-covid-19-
benar-karena-doa?page=all, Selasa, 18 Februari 2020.
(Suara, 2021) Suara, “Peneliti Tak Ingin Vaksin Nusantara Dianggap Asal-
Asalan, Ini Alasannya”, https://www.suara.com/health/2021/
04/14/170811/peneliti-tak-ingin-vaksin-nusantara-dianggap-
asal-asalan-ini-alasannya?page=all, Rabu, 14 April 2021.
(Sumantri, 2020) Sumantri, Arga, “Menristek: GeNose UGM Lebih Akurat
Ketimbang Tes Swab PCR”, https://www.medcom.id/
pendidikan/riset-penelitian/3NOqZ2Wk-menristek-genose-
ugm-lebih-akurat-ketimbang-tes-swab-pcr, 12 Oktober 2020.
(Sutton, 2014) Sutton K.M, “Discretizing The SI Epidemic Model”, Rose-Hulman
Undergraduate Mathematics Journal, Volume 15, No. 1, Spring,
2014.
(Tempo, 2020) Tempo, “Corona Meluas, Pembatalan Perjalanan Naik Empat
Kali Lipat”, https://bisnis.tempo.co/read/1324785/corona-
meluas-pembatalan-perjalanan-naik-empat-kali-lipat, 27 Maret
2020.
(Tempo, 2021) Tempo, “3 Unjuk Rasa di Eropa Menolak Aturan Lockdown”,
https://dunia.tempo.co/read/1427472/3-unjuk-rasa-di-eropa-

Halaman: 349 349


menolak-aturan-lockdown/full&view=ok ,Kamis, 28 Januari
2021.
(Tempo, 2021a) Tempo, “Unjuk Menolak Lockdown di Jerman Berujung Ricuh”,
https://dunia.tempo.co/read/1444329/unjuk-menolak-
lockdown-di-jerman-berujung-ricuh/full&view=ok, Minggu, 21
Maret 2021.
(Tinta, 2020) Tinta Hijau, “Kasus Pertama di Indonesia, Setelah Sembuh dari
Corona Kemudian Kambuh Lagi”, http://www.tintahijau.com
/megapolitan/peristiwa/20200-kasus-pertama-di-indonesia,-
setelah-sembuh-dari-corona-kemudian-kambuh-lagi, 6 Mei
2020.
(Tobing, 2020) Tobing S., “Rumus Ro dan Rt yang Jadi Acuan Jokowi untuk
Masuki Fase New Normal”, https://katadata.co.id/berita/
2020/05/28/rumus-r0-dan-rt-yang-jadi-acuan-jokowi-untuk-
masuki-fase-new-normal, 28 Mei 2020.
(Tony, 2016) Tony Humphries, “Delay Differential Equations”, NZMRI
Summer School Continuation in Dynamical Systems, Raglan,
New Zealand, 15 January, 2016.
(Torres et al, 2021) Torres C., McCormick L.C., Benhamou M., Pogkas D.,”The Covid-
19 Pandemic Has Added $19.5 Trillion to Global Debt: Here Are
Reasons to be Grateful – and Worried”,
https://www.bloomberg.com/graphics/2021-coronavirus-
global-debt/, Bloomberg, 27 Januari 2021.
(Tribun, 2021) _____, “Vaksin Covid-19 AstraZeneca Bermasalah, Eropa
Temukan Kasus Pembekuan Darah”,
https://www.tribunnews.com/corona/2021/04/09/vaksin-
covid-19-astrazeneca-bermasalah-eropa-temukan-kasus-
pembekuan-darah, TribunNews, Jum’at, 9 April, 2021.
(Tribun, 2021a) TribunNews, “Headline Tribun Jabar, Pasien Sesak Napas
Ditolak di IGD, Rumah Sakit Kekurangn Oksigen”,
https://jabar.tribunnews.com/2021/07/06/headline-tribun-
jabar-pasien-sesak-napas-ditolak-di-igd-rumah-sakit-
kekurangan-oksigen, TribunNews, Selasa, 6 Juli 2021
(Wahyudi, 2020) Wahyudi Nyoman Ary, “Pakar Epidemiologi Sebut Tak Ada
Gunanya Lagi Pemeriksaan Suhu Tubuh”,
https://kabar24.bisnis.com/read/20200504/15/1235908/pakar-
epidemiologi-sebut-tak-ada-gunanya-lagi-pemeriksaan-suhu-
tubuh, 4 Mei 2020.
(Wikipedia, 2020) _____, “Mathematical Modelling of Infectious Disease”,
https://en.wikipedia.org/wiki/Mathematical_modelling_of_infe
ctious_disease, Wikipedia, dilihat bulan April 2020.
(Wikipedia, 2020) ____, “Delay Differential Equation”, https://en.wikipedia.org
/wiki/Delay_differential_equation, 2020.
(Wikipedia, 2020a) _____, “Compartmental Models in Epidemiology”,
https://en.wikipedia.org/wiki/Compartmental_models_in_epid
emiology, Wikipedia, dilihat bulan April 2020.
(Wilson, 2020) Wilson & Doeschl A., “Modelling Epidemics: Deterministic
Compartmental Epidemiological Models in Homogeneous
Populations”, di-download 20 April 2020.
(Wolfram, 2020) ____, “Delay Differential Equation”,
https://reference.wolfram.com/language/tutorial/NDSolveDela

Halaman: 350 349


yDifferentialEquations.html, 2020.
(Yan, 2005) Yan Ping & Liu Shengqiang, “SEIR Epidemic Model with Delay”,
https://www.cambridge.org/core, 5 Oktober 2005.
(Yong, 2018) Yong Shi, Haohuan Fu, dkk, Computational Science – ICCI 2018,
Procedings Part 3, 18th International Conference Wuxi, China,
June 11-13, 2018. Judul asli papernya adalah “A Stochastic
Model to Simulate the Spread of Leprosy in Juiz de Fora”.

Halaman: 351 349

Anda mungkin juga menyukai