Al-Istihsān
“apa yang dipandang oleh musim baik, maka disisi Allah pun dipandang baik”.
Aku beristihsan pada masalah meminum air dati tempai irigasi tanpa menghitung dan
mengganti air yang telah digunakan.
b. Pengertian kedua
Istihsān adalah sesuatu yang dianggap baik oleh seorang mujtahid berdasarkan
akalnya. Ini adaalah pendapat imam Abū Hanīfah. Maksudnya adalah apa yang
dianggap berdasarkan pemahaman akalnya tanpa menyandarkan pada dalil-dalil
syar’I yang disandarkan pada al-kitāb, as-sunnah, ijmā’, qiyās atau dalil lain yang
mu’tamad.
- Apabila Istihsān dalam pengertian kedua ini dijadikan sebagai cara yang
pas untuk menetapkan suatu hukum maka tidak diperlukan dalil-dalil syari,
menjaga, memperhatikan, mempelajari dengan rinci. Dan penadapat
mujtahid yang mengerti dalil dengan orang awam pintar yang tidak
mengetahui dalil dihukumi sama, juga menyebabkan tidak dibutuhkan
syarat ahliyah an-nadhar.
2. Istihsān dengan pengertian kedua bisa dijadikan sebagai hujjah. Ini menurut
Imam Abu Hanifah dan mayoritas pengikutnya. Dengan argumentasi
- Firman Allah
)18 : الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه (الزمر
zumar : 55)
- Hadis nabi
ما رآه املسلمون ححسنا فهو عند هللا حسن
“apa yang dipandang oleh musim baik, maka disisi Allah pun dipandang
baik”.
Wajhu dilalahnya adalah bahwa hadits ini menunjukkan apapun yang
dianggap oleh manusia secara adat dan akal mereka itu baik, maka itu benar.
Karena jika hal itu tidak benar maka tidak akan baik disisi allah. Apapun
yang benar dan baik menurut allah itu bisa dijadikan hujjah. Jika tidak bisa
dijadikan hujjah, pasti tidak akan dianggap baik oleh Allah.
Ketidak adanya perhitungan upah masuk kamar mandi, air, berdiam, juga
mengganti rang yang minum dari irigasi terdapat kemungkinan
1. Ada kemungkinan ini disandarkan pada sunnah nabi at-taqririy bahwa
Nab saat itu melihat sahabat melakukan hal itu dan tidak
mengingkarinya, ini termasuk rukhsah dalam islam. Sebab rukhsah ini
adalah karena adaya kesulitan untuk menakar air, menggantinya.
Maksudnya adalah masing-masing orang akan berbeda dalam menakae
jumlah air yang digunakan, waktu yang digunakan untuk berdiam di
kamar mandi, juga jumlah air yang diminum.
2. Kemungkinan dengan qiyas. Apabila masuk kamar mandinya itu
diperbolehkan. Maka Ketika terjadi suatu keruaskan air kamar mandi
ini, maka wajib membayar sebesar yang ia ruskkan. Hal itu karena ada
indikasi yang menunjukkan adanya permintaan untuk mengganti dari
yang telah dirusakkan secara umum. Hal ini dinilai cukup apabila
mendapat ridha pemiliknya, jika mereka tidak ridha maka wajib
menambahkan berapapun, ini bukan suatu hal baru, tapi pengqiyasan.
Dan qiyas merupakan hujjah.
Begitu juga bagi yang meminum air irigasi. Ketika terjadi seperti itu,
maka wajib mengganti sejumlah yang sama jika mendapat ridha
pemiliknya. Jika tidak, maka ditambah dengan semampunya.
Bahwa ketiadaan menakar air dan upah ini ditetapkan dengan sunnah
atau qiyas. Maka pendapat mereka yang menyatakan bahwa hal ini
ditetapkan secara Istihsān tidak ada dalil secara sharih yang
memperkuatnya.
c. Pegertian ketiga
Istihsan adalah dalil yang dipertimbangkan oleh mujtahid yang sulit untuk
diitibarkan. Ini merupakan pendapat sebagian ulama hanafiyyah al-mutaqaddimin.
Maksudnya adalah Istihsān merupakan dalil yang digunakan oleh mujtahid, yaitu
dalil yang dipertimbangkan oleh pemikiran mujtahid yang tidak bisa dijelskan
dengan ungkapan atau kata.
Pengertian seperti ini adalah fasad. Karena dalil yang tidak bisa dijelaskan dan
diungkapkan dengan lafad oleh mujtahid tdak bisa diketahui apakah ini merupakan
prasangka lemah mujtahid yang dijadikan dalil atau bukan. Maka seorang mujtahid
harus menjelaskan dan mengungkapkan dengan lafad yang memahamkan sehingga
kami bisa mengukur dan mempertimbangkan melalui dalil syari lain. Jika ini
dianggap shahih maka bisa dijadikan sebagai I’tibar, akan tetapi jika tidak maka
tidak bisa dijadikan sebagai dalil mu’tabar. Hukum yang tidak bisa dpahami akan
memunculkan sebuah pertanyaan, dari mana bisa diketahui kebolehannya, apakah
sebab kedaruratan akal, pertimbanganya, ada hais mutawatir atau ahad. Walaa
wajha ilkh
Kelompok ulama’ hanafiyyah lain setelah generasi ini, seperti Kamal bin al-Hamām dan Ibn
Abdusyakur meneliti lebih lanjut pengertian dari ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin.
Sebagian dari mereka seperti al kharakhi bersepakat dengan membagi istihsan menjadi dua
: ‘am (umum) dan khas (khusus).
- Istihsān ‘am adalah seluruh dalil dalam qiyas dhahir, kemudian dialihkan dari qiyas ken
as, ijma, dharurat atau lainnya.
- Istihsān khas adalah qiyas khafi dalam qiyas jail
Apabila kita fokus pada pengertian Jumhur tentang istihsan, yakni pengertian pertama
sekaligus pembagiannya atau kita fokus pada pendapat ulama Hanafiyyah Mutaqaddimin,
pengertian, penjelasan dan penafsiran Mutaakhirin. Maka bisa diambil kesimpulan bahwa
penegrtian pertama : pengahlihan hukum suatu masalah kepada dalil khas yang lebih kuat
dibanding yang pertama. Dengan pengertian ini, seluruh ulama : Hanafiyyah, Malikiyyah,
Syafiiyah, dan Hanabillah sepakat menjadikannya hujjah. Kecuali ada ulama hanafiyyah
yang mengungkapkan dengan lafadz yang berbeda secara mayoritas.
Siapapun yang mengikuti dan beristiqra’ terhadap pendapat, pentafsiran dan tingkatan yang
disampaikan oleh ulama hanaiyyah, maka tetap mereka tidak akan mengatakan bahwa
istihasan adalah apa yang dianggap baik oleh mujtahid berdasarkan akalnya. Juga tidak akan
sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa istihsan dalil yang diguakan oleh
Mujtahid yang sulit diungkapkan. Akan tetapi, metreka kan sepakat dengan pengertian
bahwa istihsan adalah pengalihan hukum dari suatu dail ke dalil yang lain yang lebih kuat.
Inilah pengertian yang tidak diingkari oleh mayoriytas, maka sebnarnya perselisihan dalam
istihsan adalah perselisihan secara lafad saja.
Inilah yang dijelaskan oleh Ibn Assam’ani bahwa Istihsān seperti yang telah disebutkan.
Bahwa perselisihan ini hanyaterjadi dalam masalah lafdzi. Keabsahan penjelasan Istihsān
yang sandarkan pada Ulama Hanafiyyah, ditolak. Pengertian yang diterima adalah
pengalihan suatu dalil hukum ke hukum lain yang lebih kuat. Dengan pengertian ini, maka
tidak ada pengingkaran sama sekali.