Anda di halaman 1dari 58

Kaidah Prinsip Bias Gender Dan Orang Berkebutuhan Khusus

Pada Pendidikan Vokasi

Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang dibina oleh:
Prof. Dr. Ir. Djoko Kustono, M.Pd.

Oleh:
Annisa’ Carina 210551947606
Wargijono Utomo 210551947601

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PROGRAM PASCASARJANA – S3
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEJURUAN
Desember 2021
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL .................................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Topik Bahasan ........................................................................................................... 2
C. Tujuan ....................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Bias Gender dalam Pendidikan Vokasi .................................................................... 4
B. Sejarah Pendidikan Berkebutuhan Khusus ............................................................... 11
C. Prinsip Pendidikan Berkebutuhan Khusus ................................................................ 15
D. Pendidikan Vokasi di Sekolah Berkebutuhan Khusus .............................................. 18
E. Strategi Pengajaran untuk Anak Berkebutuhan Khusus ........................................... 25
F. Organisasi sekolah untuk pendidikan khusus inklusif .............................................. 27
G. Bekerja dengan Orang Tua dari Anak dalam Pendidikan Khusus Inklusi ............... 33
H. Keterampilan Berkolaborasi dengan Profesional dan Orang Tua ............................ 37
I. Lanjutan untuk Praktik Profesional dalam Pendidikan Khusus Inklusif .................. 41
J. Mengembangkan Sistem Pendidikan Luar Biasa Inklusif yang Komprehensif ....... 44

BAB III KESIMPULAN


A. Kesimpulan ............................................................................................................... 50
B. Saran ......................................................................................................................... 50

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 52

ii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Sejarah Pendidikan Luar Biasa .............................................................. 13
2. Data Sekolah, Tendik, Robel Dari SLB di Indonesia ............................. 15

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Sistem Pemebelajaran Keterampilan ABK Kategori Ringan ................ 21
2. Sistem Pemebelajaran Keterampilan ABK Kategori Sedang ................ 22
3. Sistem Pemebelajaran Keterampilan ABK Kategori Berat ................... 23
4. Sistem Pemebelajaran Keterampilan ABK Kategori
Belum Pernah Sekolah .......................................................................... 24
5. Komponen Pendidikan Inklusif ............................................................. 28
6. Model keterlibatan orang tua ................................................................. 34
7. Model Stres Management ...................................................................... 43

iv
v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konsep anak berkebutuhan khusus memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan
pengertian anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikan
memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak dikatakan
berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam dirinya. Menurut
Heward, anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan
anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.
Berdasarkan pengertian tersebut anak yang dikategorikan berkebutuhan dalam aspek fisik
meliputi kelainan dalam indra penglihatan (tunanetra) kelainan indra pendengaran (tuna rungu)
kelainan kemampuan berbicara (tuna wicara) dan kelainan fungsi anggota tubuh (tuna daksa).
Anak yang memiliki kebutuhan dalam aspek mental meliputi anak yang memiliki kemampuan
mental lebih (super normal) yang dikenal sebagai anak berbakat atau anak unggul dan yang
memiliki kemampuan mental sangat rendah (abnormal) yang dikenal sebagai tuna grahita. Anak
yang memiliki kelainan dalam aspek sosial adalah anak yang memiliki kesulitan dalam
menyesuaikan perilakunya terhadap lingkungan sekitarnya. Anak yang termasuk dalam kelompok
ini dikenal dengan sebutan tunalaras. Istilah berkebutuhan khusus secara eksplisit ditujukan
kepada anak yang dianggap mempunyai kelainan/penyimpangan dari kondisi rata-rata anak
normal umumnya, dalam hal fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosialnya (Efendi, 2006).
Layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus pada umumnya bertujuan untuk
memaksimalkan kemampuan yang masih dimiliki sehingga dampak dari keterbatasannya dapat
dikurangi. Anak bisa mengembangkan potensi dirinya semaksimal mungkin disesuaikan dengan
kondisi mereka agar tidak menjadi beban dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Memaksimalkan potensi yang masih dapat dikembangkan pada anak, maka sekolah beserta guru
harus memberikan pendidikan yang diperlukan bagi kehidupan anak di masa depan. Pendidikan
yang tepat untuk kehidupan anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan vokasional atau
kecakapan hidup (life skill). Menurut Asnah, 2007, kecakapan hidup didefinisikan sebagai suatu
kemampuan yang terdapat pada diri seseorang untuk dapat hidup secara layak dan bermartabat
dimasyarakat. Pendidikan ini berupa suatu keterampilan. Pembelajaran dalam materi-materi

1
keterampilan bisa membantu anak untuk meningkatkan kreativitas serta mengasah memori
intelegensinya. Keterampilan vokasional yang terdapat didalamnya muatan isi materi keterampilan
yang meliputi tingkat dasar, tingkat terampil dan tingkat mahir. Menurut Indita, 2012,
keterampilan merupakan kegiatan terpadu yang melibatkan aspek kognitif, persepsi dan gerak
dalam suatu aktivitas kerja. Jenis keterampilan yang dikembangkan, dikembalikan pada satuan
pendidikan sesuai dengan minat, potensi, kemampuan dan kebutuhan peserta didik serta kondisi
satuan pendidikan. Pelajaran keterampilan ini adalah membuat karya kerajinan dan kompetensi
dasarnya adalah membuat karya kerajinan sesuai penghasilan daerah setempat, sedangkan
indikatornya disesuaikan dengan jenis kerajinan/ keterampilan yang akan dibuat.
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka pendidikan vokasional di Sekolah
Luar Biasa (SLB) sangat diperlukan. Dengan adanya pendidikan dan pelatihan vokasional yang
diberikan kepada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) sejak usia dini adalah, agar mereka dapat
hidup mandiri di masyarakat dengan keahlian yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam makalah
ini akan dibahas terkait “Kaidah Prinsip Bias Gender Dan Orang Berkebutuhan Khusus Pada
Pendidikan Vokasi”.

B. Topik Bahasan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi topik bahasan sebagai
berikut:
1. Bias Gender dalam Pendidikan Vokasi
2. Sejarah Pendidikan Berkebutuhan Khusus
3. Prinsip Pendidikan Berkebutuhan Khusus
4. Pendidikan Vokasi di Sekolah Berkebutuhan Khusus
5. Strategi Pengajaran untuk Anak Berkebutuhan Khusus
6. Organisasi sekolah untuk pendidikan khusus inklusif
7. Bekerja dengan Orang Tua dari Anak dalam Pendidikan Khusus Inklusi
8. Keterampilan Berkolaborasi dengan Profesional dan Orang Tua
9. Lanjutan untuk Praktik Profesional dalam Pendidikan Khusus Inklusif
10. Mengembangkan Sistem Pendidikan Luar Biasa Inklusif yang Komprehensif

2
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah mengetahui:
11. Bias Gender dalam Pendidikan Vokasi
12. Sejarah Pendidikan Berkebutuhan Khusus
13. Prinsip Pendidikan Berkebutuhan Khusus
14. Pendidikan Vokasi di Sekolah Berkebutuhan Khusus
15. Strategi Pengajaran untuk Anak Berkebutuhan Khusus
16. Organisasi sekolah untuk pendidikan khusus inklusif
17. Bekerja dengan Orang Tua dari Anak dalam Pendidikan Khusus Inklusi
18. Keterampilan Berkolaborasi dengan Profesional dan Orang Tua
19. Lanjutan untuk Praktik Profesional dalam Pendidikan Khusus Inklusif
20. Mengembangkan Sistem Pendidikan Luar Biasa Inklusif yang Komprehensif

3
BAB 1I
PEMBAHASAN

A. Bias Gender dalam Pendidikan Vokasi


1.1 Pengantar
Diskriminasi terhadap perempuan merupakan masalah yang kerapkali terjadi di hampir
seluruh lapisan kelompok masyarakat, bahkan di sebagian besar belahan dunia sekalipun.
Alasannya cukup jelas masyarakat belum mampu melepaskan diri dari budaya patriarkhis yang
selama ribuan tahun menjerat dan memaksa perempuan berada di bawah kekuasaan pria.
Gender menjadi isu yang banyak dibicarakan seirama dengan beragamnya perbedaan peran
antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat. Istilah gender
diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan peran perempuan dan laki-
laki. Perbedaan peran ini bukan merupakan bawaan yang diberikan Tuhan, melainkan bentukan
masyarakat yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini sangat penting, karena
seringkali terjadi pencampuradukkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat
bukan kodrati (gender). Sudah menjadi suratan bahwa perempuanlah yang melahirkan anak,
membesarkan generasi bangsa yang secara alamiah ia memiliki hubungan emosional yang paling
dekat dengan anak. Sesuai dengan harkat, martabat, dan kodratnya, kaum perempuan mempunyai
peran dalam membentuk, menentukan, dan memberi warna terhadap kualitas generasi bangsa.
Namun praktis, ruang gerak perempuan dibatasi karena perspektif yang kurang adil dalam
mendudukkannya sebagaimana mestinya termasuk dalam hal pendidikan.
Ketidaksetaraan jender juga terlihat dari data statistik Sekolah Menengah Kejuruan
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Sekertaris Jenderal Pusat Data dan Teknologi Ifnormasi
Jakarta 2020/2021 di Indonsia baik sekolah negeri maupun swasta dengan jenis kelamin laki-laki
berjumlah 3.046.560, sedangkan perempuan berjumlah 2.212.047 dan masih selisih kurang lebih
25,42%. Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi adanya kesenjangan jender dalam praktek
pendidikan yang relatif tidak berubah sejak awal 1970-an. Salah satu sebab utama adalah faktor-
faktor sosial-budaya yang sangat sulit untuk dirubah dalam waktu yang singkat. Untuk itu
diperlukan studi kebijakan yang bertujuan untuk mengungkapkan terjadinya kesenjangan, dan
merumuskan upaya yang sistematis untuk mengurangi kesenjangan jender yang ada.

4
1.2 Landasan Hukum Gender di Indonesia
Landasan filosofi dalam cita-cita Pancasila, manusia, perempuan, dan laki-laki, diciptakan
oleh Tuhan yang Maha Esa, dan bangsa Indonesia mengarahkaan diri pada kehidupan berbangsa
dan bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, musyawarah dan
mufakat, serta keberadaban. Oleh karena itu, sebagai negara hukum, Indonesia telah menjamin hak
asasi manusia (HAM) dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Negara. HAM adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, perempuan dan laki-laki, sebagai makhluk
bermartabat, yang telah dimiliki sejak lahir hingga akhir hayat. Karenanya HAM wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan setiap orang.
Pembukaan UUD 1945 mengakui bahwa setiap individu atau warga negara adalah manusia
merdeka dan tidak boleh mendapatkan diskriminasi berdasarkan apapun termasuk berdasarkan
perbedaan jenis kelamin. Dengan disahkannya perubahan kedua pada tahun 2000, UUD 1945
memuat ketentuan dasar mengenai HAM dalam Bab XA, Pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J
ayat (2). Selain rumusan tersebut, UUD 1945 kententuan HAM termuat pula dalam Pasal 29 ayat
(2) dan pasal 28 I (2). Perempuan dan laki-laki berhak atas kehidupan dan kemeerdekaan dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Konsepsi HAM ini sejalan dengan hukum HAM Internasional, yang secara khusus
mengadopsi instrument hak asasi perempuan yang komprehensif, yaitu Convention on the
Elimination of All Forms Discrimination Against Women, selanjutnya disebut Konvensi CEDAW,
yang diratifikasi oleh Negara Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi
ini mendasarkan pada tiga prinsip atau asas yaitu: (a) Persamaan substantive; (b) Non
Diskriminasi; dan (c) Kewajiban Negara. Prinsip persamaan substantive mengakui adanya
perbedaan situasi hidup perempuan dan laki-laki, dimana perempuan dapat atau lebih rentan
mengalami diskriminasi yang sering dijustifikasi melalui perbedaan ketubuhannya dibanding laki-
laki, dengan menggunakan tolak ukur kepentingan laki-laki. Diskriminasi dapat dialami langsung
atau merupakan kelanjutan dari berbagai tindakan diskriminatif di waktu lalu. Untuk
menanggulanginya, persamaan substantive menggunakan pendekatan korektif melalui tindakan
khusus sementara (temporary special measures) dan perlindungan maternitas.

5
Instrumen hukum Indonesia yang melandasi perwujudan persamaan dan keadilan untuk
perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. UU No. 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-Hak Politik
Perempuan (Convention of Women’s Political Rights)
3. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all
Forms of Discrimination Against Women)
4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5. UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convenant on Economic, social and
Cultural Rights)
6. UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights)

1.3 Pemahaman Tentang Gender Dan Kesetaraan


Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris “gender”. Dalam kamus bahasa Inggris-
Indonesia, gender berarti “jenis kelamin”.13 Gender adalah perbedaan peran dan tanggung jawab
antara perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat. Gender
merupakan pilihan peran yang dapat dimainkan oleh laki-laki maupun perempuan, yang dapat
dipertukarbalikkan sesuai dengan pilihan masing-masing. Terdapat tiga instrumen dalam
konstruksi gender. Pertama, laki-laki dianggap maskulin, dengan ciri-ciri kemaskulinannya yakni
kuat, perkasa, pemberani, sementara perempuan feminin, dengan ciri-cirinya seperti lemah lembut,
sabar, penyanyang. Kedua, laki-laki menempati ruang publik, sementara perempuan menempati
ruang domestik. Sehingga sering kali laki-laki dianggap lebih layak untuk bekerja di luar,
sementara perempuan lebih pantas sebagai ibu rumah tangga. Ketiga, laki-laki berada pada sektor
produksi sementara perempuan pada reproduksi. Ketiga instrumen inilah yang sering kali
menyebabkan konstruksi gender yang seolah-olah hal tersebut merupakan sebuah kepastian.
Untuk lebih dekat dengan konsep stereotip gender, sebelumnya disarankan untuk merujuk
pada apa yang dipahami oleh jenis kelamin dan gender. Jenis kelamin mengacu pada perbedaan
biologis ketat yang ada antara perempuan dan laki-laki, sedangkan gender mengacu pada

6
karakteristik yang dianggap sesuai secara sosial untuk kedua jenis kelamin di setiap masyarakat
tertentu. Oleh karena itu, gender adalah “representasi budaya, yang berisi gagasan, prasangka,
nilai, interpretasi, norma, tugas, mandat, dan larangan atas kehidupan perempuan dan laki-laki
(Colás & Villaciervos, 2007, hlm. 37). Stereotip gender adalah keyakinan yang diterima secara
sosial tentang fitur karakteristik dan peran kedua jenis kelamin dalam masyarakat (de Lemus,
Castillo, Moya, Padilla, & Ryan, 2008).
Hasil penelitian tentang gender menurut Mosteiro García, M.J. y Porto Castro, A.M.
(2017), “Análisis de los estereotipos de género en alumnado de formación profesional: diferencias
según sex, edad y grado” pada siswa pendidikan kejuruan dan melihat apakah ada perbedaan
menurut jenis kelamin, usia dan pendaftaran kursus pelatihan. Untuk memenuhi tujuan ini studi
deskriptif dibuat dengan sampel 452 siswa yang menghadiri tahun pertama siklus pelatihan
Menengah dan Tinggi di Galicia. Hasilnya, setelah penerapan uji-t dan analisis varians
menunjukkan penolakan kaum muda dan remaja terhadap stereotip gender, menemukan perbedaan
berdasarkan jenis kelamin dan siklus pelatihan. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa meskipun
ada sesuatu yang berubah dalam masyarakat, perlu untuk lebih menyadarkan siswa untuk bergerak
menuju masyarakat yang lebih adil dan egaliter.
Eugenia GANEA, Valentina BODRUG-LUNGU, 2018. “Addressing Inequality in
Vocational/ Technical Education by Eliminating Gender Bias” Hasil: Ditegaskan bahwa guru di
sekolah kejuruan/teknis adalah aktor penting yang mampu mendidik atau mempengaruhi proses
pendidikan dengan mengadopsi praktik dan pendekatan metodologis yang peka gender yang
bertujuan untuk mengurangi ketidaksetaraan dan tantangan yang dihadapi oleh anak perempuan
dalam berbagai keadaan di sekolah kejuruan/teknis . Metode dan praktik pengajaran harus
didasarkan pada teori gender, sementara kebijakan sekolah harus mempromosikan kesempatan
yang sama bagi anak perempuan dan laki-laki, dan menghilangkan bias gender dalam proses
pengajaran dan pendidikan. Analisis unsur makrosistem (kurikulum, materi didaktik, buku teks),
serta analisis mikrosistem pada tingkat satuan pelatihan (pendapat siswa dan siswa, pendapat guru)
merupakan langkah penting untuk memahami disparitas gender dan alasan yang melanggengkan
ketidaksetaraan gender dalam pendidikan, dan kemudian - di tempat kerja dan di masyarakat pada
umumnya.

7
1.4 Perkembangan Gender Dalam Pendididkan Vokasi Di Berbagai Negara
Sifat gender dari sistem VET Jerman tercermin dalam distribusi gender yang tidak setara
antara sektor ganda dan berbasis sekolah: sektor berbasis sekolah memiliki lebih dari 70 persen
keterwakilan perempuan dibandingkan dengan 41 persen dalam sistem ganda (Hall, 2012).
Selanjutnya, domain profesional terkait dilambangkan 'semi-profesional', yang telah menghasilkan
pemahaman stereotip perempuan yang spesifik tentang vokasional. Sementara perluasan negara
kesejahteraan dan sektor publik antara tahun 1960-an dan 1990-an sangat mendorong integrasi
perempuan ke dalam pasar tenaga kerja, hal itu juga berkontribusi pada feminisasi sektor tersebut
(Esping-Andersen et al., 2002). Partisipasi angkatan kerja perempuan di Jerman telah meningkat
secara signifikan, dari 57 persen pada tahun 1991 menjadi 72 persen pada tahun 2018 (Stattisches
Bundesamt, 2019).
Menurut UNESCO, banyak orang ter-utama perempuan yang tidak mendapatkan akses ke
program pengem-bangan ketrampilan dan pekerjaan yang layak. Program pendidikan vokasi yang
ditawarkan juga banyak yang bias gender dimana mengarahkan pe-rempuan untuk melakukan
pekerjaan yang dianggap ‘sesuai’ bagi perem-puan (UNESCO, 2016) seperti ‘childcare’ dan
‘creative and performing arts’ sedangkan program yang didominasi oleh laki-laki adalah jurusan
teknik. Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh institusi WISE (Women in Science,
Technology, Engineering and Mathematics), untuk program ‘apprenticeship’, jika dibandingkan
dengan tahun 2011/2012, memang ada kenaikan jumlah perempuan yang menyelesaikan program
apprenticeship di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika) di tahun 2013/ 2014
sebanyak 7.2% (WISE, 2015:13). Kenaikan ini juga tergolong cukup tinggi jika dibandingkan
dengan laki-laki yang hanya naik 0.9%. Akan tetapi jika dibuat perbandingan antara laki-laki dan
perempuan, jumlah perempu-an yang menyelesaikan program apprenticeship di bidang STEM, di
tahun 2013/2014, laki-laki masih mendominasi dengan 91.1% dan perempuan hanya 8.9% (WISE,
2015:13).
Di inggris pemilihan bidang studi yang dihiasi dengan bias gender ini tentunya akan
mempengaruhi prospek karir dan kesempatan bekerja di kemudian hari. Jika melihat persentase
gender yang memperoleh kualifikasi vokasi untuk tingkat pendidikan Further & Higher Education
di tahun 2012/ 2013, misalnya, untuk bidang sains dan matematika lumayan berimbang, dengan
laki-laki 51% dan perempuan 49% dan untuk bidang IT dan telekomunikasi laki-laki 60% dan
perempuan 40% (WISE, 2015:14). Perbedaan paling besar ada di bidang teknik dan manufaktur

8
juga konstruksi dengan jumlah laki-laki 90.3% dan 97.4% sedangkan untuk perempuan 9.7% dan
2.6% (WISE, 2015:14). Pemilihan bidang studi yang dihiasi dengan bias gender ini tentunya akan
mempengaruhi prospek karir dan kesempatan bekerja di kemudian hari. Jika melihat persentase
gender yang memperoleh kualifikasi vokasi untuk tingkat pendidikan Further & Higher Education
di tahun 2012/ 2013, misalnya, untuk bidang sains dan matematika lumayan berimbang, dengan
laki-laki 51% dan perempuan 49% dan untuk bidang IT dan telekomunikasi laki-laki 60% dan
perempuan 40% (WISE, 2015:14). Perbedaan paling besar ada di bidang teknik dan manufaktur
juga konstruksi dengan jumlah laki-laki 90.3% dan 97.4% sedangkan untuk perempuan 9.7% dan
2.6% (WISE, 2015:14).

1.5 Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan


1. Bias Gender Dalam Pendididkan
Bias gender berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di
sekolah dan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang
selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan
tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Lebih jauh, dalam dunia pembelajaran di sekolah seperti buku ajar misalnya, banyak ditemukan
gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar
seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan
yang hanya dimiliki oleh laki laki.
Tidak sedikit perempuan yang masih berusia sekolah terpaksa harus bekerja, baik itu
sebagai pelayan toko maupun buruh pabrik. Dengan alasan kondisi ekonomi yang tidak
memungkinkan, memaksa orang tua menyuruh anak prempuannya bekerja untuk menambah
ekonomi keluarga. Dalam keadaan demikian, pihak orang tua lebih rela mengorbankan anak
perempuannya untuk bekerja membantu orang tua, sedangkan anak laki-lakinya tetap melanjutkan
sekolah. Laki-laki dipandang lebih penting dalam mencari ilmu, sebab kelak kaum laki-laki yang
akan menafkahi keluarga, sedangkan perempuan tetap akan menjadi ibu rumah tangga. Dari
anggapan ini, pendidikan tinggi dirasa kurang begitu perlu bagi kaum perempuan. Pandangan
seperti inilah yang terlihat tidak adil bagi salah satu pihak, khusunya pihak perempuan. Mereka
mengalami diskriminasi dalam hal memperoleh kesempatan pendidikan. Di samping itu mereka

9
dieksploitasi untuk bekerja membantu orang tua, padahal seumuran mereka seharusnya masih
menikmati masa anak-anak atau masa remaja mereka.

2. Diskriminasi dalam Kesempatan Memperoleh Pendidikan


Seringkali perempuan dinomorduakan dalam keluarga, misalnya dalam hal pendidikan.
Bagi keluarga yang ekonominya lemah, tentu akan berdampak pada nasib perempuan. Ketika
kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan, pihak orang tua akan lebih mendahulukan anak
laki-lakinya untuk melanjutkan sekolah daripada anak perempuannya. Kaum laki-laki dianggap
kelak akan menjadi kepala rumah tangga dan bertanggung jawab untuk menafkahi keluarganya,
sehingga pendidikan lebih diutamakan untuk mendukung perannya. Sedangkan perempuan
dianggap hanya akan menjadi ibu rumah tangga yang bekerja di dalam rumah untuk mengurus
anak, suami, dan rumahnya.

3. Legitimasi Agama
Persoalan ketidakadilan gender ini terkadang dilegitimasi oleh agama. Pemahaman yang
tidak secara menyeluruh dari sebagian besar masyarakat, mengakibatkan seolah agama
memberikan legitimasi mengenai peran dan posisi perempuan yang inferior. Misalnya bahwa
perempuan tidak boleh menjadi imam dalam sholat, perempuan lebih dianjurkan sholat di rumah
ketimbang di masjid, istri dilarang keluar rumah dengan bebas ketika tidak ada suami, dan lain
sebagainya. Dari alasan ini, dinilai perempuan memang inferior dan tempatnya di ranah privat.
Islam tidak membenarkan berbagai bentuk penindasan. Begitupun hubungan antara laki-laki
dengan perempuan. Islam mengajarkan kepada kaum laki-laki untuk memperlakukan perempuan
dengan baik. Islam menetapkan agar laki-laki menyangga tugas mencari nafkah, melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga.
Sedangkan perempuan berperan sebagai penenang suami, bersama-sama suami sebagai pengasuh
dan pendidik anak-anak serta membina etika keluarga.

4. Perlu Pendidikan Alternatif


Ada tiga alasan perlunya pendidikan alternatif bagi perempuan. Pertama Akses perempuan
ke dalam dunia pendidikan sangat rendah. Lihat saja data tingkat perempuan yang buta huruf di
berbagai wilayah di Indonesia, selalu lebih tinggi dari laki-laki. Disisi lain, jumlah perempuan

10
yang masuk ke setiap level pendidikan di Indonesia, justru selalu lebih rendah dari laki-laki.
Kedua, pendidikan alternatif penting dikarenakan kurikulum di Indonesia hingga kini masih bias
gender. Akibatnya perempuan kian dirugikan dengan gambaran-gambaran yang stereotip tersebut.
Ketiga, pendidikan formal di Indonesia belum dapat menjawab kebutuhan spesifik perempuan.
Negara menjamin bahwa setiap warga negara (perempuan dan laki-laki) mempunyai
kesamaan hak dan kewajiban yang sama untuk memperoleh pendidikan, yang dituangkan dalam
Pasal 31 UndangUndang Dasar (UUD) 1945. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, melalui Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1984 dan Permendiknas Nomor 84 Tahun 2008 sebagai bentuk komitmen negara
terhadap berbagai bentuk diskriminasi yang dialami perempuan dalam berbagai bidang kehidupan,
termasuk pendidikan.

5. Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan


Kebijakan Nasional menyangkut pendidikan dapat ditelusuri misalnya Pada UU No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa kesempatan pendidikan
pada setiap satuan pendidikan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan
sosial, tingkat kemampuan ekonomi dan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan.
Namun kenyataannya terjadi ketimpangan dalam praktek dunia pendidikan. Faktor penyebabnya
antara lain : akses, kontrol, partisipasi dan benefit. Faktor akses terlihat pada proses penyusunan
kurikulum dan proses pembelajaran yang banyak didominasi oleh laki-laki. Penulis buku dan
tenaga pengajar banyak dikuasai oleh laki-laki, kontrol kebijakan pun banyak di kuasai oleh laki-
laki terutama pada jabatan struktural dari Pusat sampai ke Daerah.

B. Sejarah Pendidikan Berkebutuhan Khusus


Menurut Suparno (2007:97) pendidikan luar biasa atau Sekolah Luar Biasa (SLB)
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental sosial, tetapi memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa. Dengan kata lain, pendidikan luar biasa berarti pembelajaran yang dirancang
secara khusus untuk memenuhi kebutuhan yang unik dari anak kelainan fisik.
Ketika seorang anak diidentifikasi mempunyai kelainan, pendidikan luar biasa sewaktu-
waktu diperlukan. Hal ini dikarenakan siswa berkebutuhan pendidikan khusus tidak secara

11
otomatis memerlukan pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa akan sesuai hanya apabila
kebutuhan siswa tidak dapat diakomodasi dalam program pendidikan umum. Dengan kata lain,
pendidikan luar biasa adalah program pembelajaran yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan
unik dari individu siswa. Mungkin mereka memerlukan penggunaan bahan-bahan, peralatan,
layanan, dan/atau strategi mengajar yang khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang kurang lihat
memerlukan buku yang hurufnya diperbesar, seorang siswa dengan kelainan fisik mungkin
memerlukan kursi dan meja belajar yang dirancang khusus, seorang siswa dengan kesulitan belajar
mungkin memerlukan waktu tambahan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Contoh yang lain,
seorang siswa dengan kelainan pada aspek kognitifnya mungkin akan memperoleh keuntungan
dari pembelajaran kooperatif yang diberikan oleh satu atau beberapa guru umum bersama-sama
dengan guru pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa merupakan salah satu komponen dalam
salah satu sistem pemberian layanan yang kompleks dalam membantu individu untuk mencapai
potensinya secara maksimal.
Pendidikan luar biasa tidak dibatasi oleh tempat khusus. Pemikiran modern menyarankan
bahwa layanan sebaiknya diberikan di lingkungan yang lebih alamiah dan normal yang sesuai
dengan kebutuhan anak. Seting seperti itu bisa dilakukan dalam bentuk program layanan di rumah
bagi anak-anak berkebutuhan pendidikan khusus prasekolah, kelas khusus di sekolah umum, atau
sekolah khusus untuk siswa-siswa yang memiliki keberbakatan. Pendidikan luar biasa bisa
diberikan di kelas-kelas pendidikan umum. Individu-individu berkebutuhan pendidikan khusus
hendaknya dipandang sebagai individu yang sama bukannya berbeda dari teman-teman sebaya
lainnya. Seperti yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 yaitu seluruh warga negara tanpa
terkecuali apakah mempunyai kelainan atau tidak, mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan.
Adapun jenis-jenis Sekolah Luar Biasa (SLB) menurut Pratiwi (2013:7) adalah sekolah
yang diperuntukkan untuk anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat
disandingkan dengan anak-anak lainnya. Sekolah Luar Biasa (SLB) terdiri dari beberapa jenis atau
macam, yaitu SLB A khusus penderita tunanetra, SLB B khusus penderita tunarungu, SLB C
khusus penderita tunagrahita, SLB D khusus penderita tunandaksa, SLB E khusus penderita
tunalaras, SLB G khusus penderita tunaganda.
Salah satu dokumen yang pertama kali mencoba menggambarkan pendidikan luar biasa
adalah upaya yang dilakukan oleh seorang dokter Perancis bernama Jean Marc-Gaspard Itard

12
(1775-1838) dengan mendidik Victor anak berusia 12 tahun, yang selanjutnya disebut "anak liar
dari Aveyron". Dia mencoba mengajar Victor melalui program latihan sensori dan apa yang
sekarang ini disebut modifikasi perilaku. Karena kedewasaannya tersebut Itard tidak berhasil
mengembangkan bahasa secara utuh setelah lima tahun dedikasinya dan seluruh pembelajarannya,
dan hanya terbiasa dengan keterampilan dasar sosial dan menolong diri. Itard menganggap
usahanya tersebut gagal. Tetapi kemudian dia mampu menunjukkan bahwa belajar masih
memungkinkan bagi individu yang digambarkan tidak mempunyai harapan dan idiot. Gelar
"Bapak Pendidikan Luar Biasa" tepat diberikan kepada Itard karena inovasi pekerjaanya pada 200
tahun yang lalu.
Di Indonesia, sejarah perkembangan pendidikan luar biasa dimulai ketika Belanda masuk
ke Indonesia (1596-1942), mereka memperkenalkan sistem persekolahan dengan orientasi Barat.
Untuk pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan pendidikan khusus dibuka lembagalembaga
khusus. Lembaga pertama untuk pendidikan anak tunanetra dibuka pada tahun 1901, untuk anak
tunagrahita tahun 1927, dan untuk anak tunarungu tahun 1930, ketiganya di Bandung.
Perkembangan pendidikan berkebutuhan khusus di Indonesia dapat diklasifikasi menjadi
masa sebelum merdeka, masa sampai dengan tahun 1984, dan masa sejak tahun 1984. Klasifikasi
ini berdasarkan kenyataan bahwa sistem pendidikan nasional baru dikenal pada tahun 1945,
meskipun sebelumnya telah ada upaya untuk mendidik anak luar biasa. Bentuk layanan PLB
mengalami perubahan yang berarti pada tahun 1984, dengan dicanangkannya wajib belajar enam
tahun. Sedangkan sejarah pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus disebut Pendidikan Luar
biasa, selama beberapa dekade telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu dipengaruhi
oleh sikap dan kesadaran masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus dan pendidikanya,
metodologi dan perubahan konsep yang digunakan. Sejarah layanan pendidikan terhadap anak
berkebutuhan khusus dapat dibagi menjadi tiga masa atau periode.
Tabel 2. Sejarah Pendidikan Luar Biasa
Masa Peradaban Kuno Masa Abad Pertengahan Masa Abad ke-18 sampai
Abad 20
 Penyandang cacat  Pada masa ini mulai ada  Pada masa ini terjadi
dianggap sebagai upaya memperbaiki perluasan sosial
penjahat, dan banyak kehidupan para penyandang cacat dari
juga penyandang cacat penyandang cacat pada upaya perawatan menjadi
mental yang dijadikan akhir abad pertengahan. layanan pendidikan,
hiburan/pelawak pada  Pada tahun 1620 Juan yaitu: pendidikan bagi
keluarga kaya yang Bonet menerbitkan buku anak tunga rungu,

13
dianggap sebagai pelopor pertama tentang pendidikan bagi anak
pelayanan sosial bagi pendidikan bagi anak tuna netra, pendidikan
penyandang cacat adalah tulangrungu bagi anak tuna grahita,
sistem bentuan sosial di  Fransesco membuat pendidikan bagi anak
Athena yang huruf untuk para tuna tuna laras, pendidikan
diberlakukan oleh tokoh netra menggunakan lilin bagi anak tuna daksa.
pembaharu, Solon, yang atau mengganti alfabet
hidup antara 639-559 dengan titik dan sudut
SM.
*Sumber Modul Belajar Mandiri Calon Guru Bidang Studi Pendidikan Luar Biasa.

Bentuk satuan pendidikan segregasi bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia adalah
Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB tersebut pada awalnya didirikan oleh masyarakat hanya
menampung dan melayani pendidikan untuk satu jenis ketunaan, misalnya Tunanetra saja,
Tunarungu saja, dan seterusnya, namun dalam perkembangannya sekarang SLB-SLB tersebut
sudah banyak yang menampung dan melayani berbagai anak berkebutuhan khusus dari beberapa
jenis ketunaan. Adapun jenis-jenis SLB berdasarkan jenis ketunaan ABK adalah sebagai berikut.
1. SLB untuk peserta didik Tunanetra
2. SLB untuk peserta didik Tunarungu
3. SLB untuk peserta didik Tunagrahita
4. SLB untuk peserta didik Tunadaksa
5. SLB untuk peserta didik Tunalaras
6. SLB untuk peserta didik Autistik
7. SLB untuk peserta didik Berkelainan Ganda
8. SLB untuk peserta didik dari beberapa jenis ketunaan
Dilihat dari jenjang pendidikannya, SLB – SLB tersebut ada yang mengelola satu jenjang
dan ada yang lebih dari satu jenjang pendidikan di tingkat dasar dan menengah.
1. TKLB
2. SDLB
3. SMPLB
4. SMALB

Sebagian besar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia mendapatkan layanan


pendidikan melalui system segregasi dalam bentuk SLB. Berdasarkan data rekapitulasi Pendidikan

14
Nasional tahun 2019 sampai dengan jumlah satuan pendidikan segregasi (SLB) jalur formal di
Indonesia mencapai 2246 sekolah. Berikut adalah data lengkap tentang sekolah, tendik, robel dari
SLB di Indonesia.
Tabel 3. Data Sekolah, Tendik, Robel Dari SLB di Indonesia

*Sumber Modul Belajar Mandiri Calon Guru Bidang Studi Pendidikan Luar Biasa.

Jumlah sekolah luar biasa yang tertera di atas, meliputi jenjang SDLB, SMPLB, dan
SMALB yang menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Muatan isi mata pelajaran SMALB A, B,
D, E bidang akademik mengalami modifikasi dan penyusaian dari SMA umum sehingga menjadi
sekitar 40% - 50% bidang akademik, dan sekitar 60% - 50% bidang keterampilan vokasional.
Sedangkan prinsip pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi
peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Selain itu, kurikulum
dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah
untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.

C. Prinsip Pendidikan Berkebutuhan Khusus


1.1 Prinsip-prinsip Pendidikan Segregasi
Penyelenggaraan pendidikan segregasi menganut prinsip-prinsip antara lain sebagai
berikut :
1. Prinsip Individualisasi
Prinsip ini meyakini bahwa ABK memiliki kondisi dan kebutuhan yang berbeda-beda
sehingga tidak dapat disatukan dengan peserta didik pada umumnya. Oleh karena itu
pendidikan bagi ABK harus bersifat individual disesuaikan dengan potensi, bakat dan
minat serta hambatan yang dialami individu anak.
2. Prinsip Fungsionalisasi
Prinsip ini meyakini bahwa sebagian besar ABK tidak mampu mengikuti tuntutan
kurikulum sekolah regular pada umumnya, karena itu perlu diberikan kurikulum
khusus yang lebih fungsional dengan menekankan pada aspek-aspek pengetahuan dan

15
keterampilan hidup yang kelak dibutuhkan untuk memenuhi kemandirian ABK.
Prinsip ini menekankan bahwa pendidikan bagi ABK lebih mengutamakan pada
pengetahuan, sikap dan keterampilan fungsiona l untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan kemandiriannya.
3. Prinsip Fleksibilitas
Prinsip ini menekankan bahwa kurikulum yang digunak an bagi PDBK harus bersifat
fleksibel yang sewaktu-waktu dapat diubah dan disesuaikan dengan perkembangan
dan kebutuhan PDBK.
1.2 Landasan Filosofis/religi:
Sebagai wujud keberagaman manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang dicirikan
dengan keberagaman ras, agama, budaya, Bahasa, kemampuan dan sebagainya. Keberadaan
individu berkebutuhan khusus/disabilitas adalah wujud dari keberagaman di bidang intelektual,
fisik, sosial, emosional.
1. Landasan Yuridis :
a. UUD tahun 1945 Pasal 31 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 2
b. UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
c. PP No. 72 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa
d. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
e. PP No, 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
f. Permendiknas No. 32 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
kompetensi Guru Pendidikan Khusus.
g. Permendiknas No. 33 tahun 2008 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa
(SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB)
h. PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
i. Perdirjendikdasmen No. 10 tahun 2017 tentang Struktur Kurikulum, Kompetensi
Inti, Kompetensi Dasar dan Pedoman Implementasi Kurikulum 2013 Pendidikan
Khusus.
j. Permendikbud RI No. 15 tahun 2018 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru,
Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah.

16
2. Landasan Psikologis:
Individu yang memiliki hambatan intelektuan, fiksik, motoric, sosial dan emosi secara
signifikan jika dibandingkan dengan individu pada umumnya (normal) memiliki
perbedaan yang sangat beragam, oleh sebab itu perlu dikalsifikasikan.

3. Landasan Pedagogis:
Individu dengan hambatan intelektual, fisik, motorik, sosial dan emosi membutuhkan
dukungan dan/atau bantuan dari pihak lain agar dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal. Untuk itu kepada mereka perlu diberikan pendidikan secara khusus yang
berbeda dari anak-anak pada umumnya sebagai bentuk dukungan dan bantuan.
Kemampuan mereka secara signifikan berada di bawah rata-rata sangat beragam, oleh
karena itu memerlukan layanan pendidikan khusus dengan layanan program
pendidikan yang terpisah dengan anak pada umumnya.

1.3 Pelaksanaan Pendidikan Segregasi di Indonesia


Pelaksanaan layanan pendidikan segregasi yang disebut sekolah luar biasa atau sekolah
khusus, pada dasarnya dikembangkan berdasarkan pada Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) No.2 tahun 1989. Bentuk pelaksanaannya diatur melalui pasal-pasal dari
Peraturan Pemerintah (PP) No. 72/91. Pasal 4 menyebutkan bahwa Satuan. Pendidikan Dasar
berupa: Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa
(SLTPLB), serta Satuan Pendidikan Menengah adalah Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB).
Berkaitan dengan lamanya pendidikan dari tiap-tiap satuan pendidikan luar biasa sesuai dengan
PP No. 72 tahun 1991 pasal 5 dan pasal 6, dijelaskan bahwa TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB
terdiri dari berbagai jenis sesuai dengan hambatan atau kelainan masing-masng. Hal ini diperlukan
untuk memudahkan program pembelajaran.
Adapun banyaknya siswa dalam satu kelas dibatasi antara 5 sampai 10 siswa. Kelas yang
kecil jumlahnya dikarenakan setiap siswa memerlukan program perorangan selain program
bersama. Mengacu pada bentuk-bentuk layanan pendidikan khusus, ada dua jenis pelaksanaan
pendidikan segregasi di Indonesia yaitu Sekolah Khusus Harian (Special Day School) dan Sekolah
Khusus Berasrama (Residential School) Berdasarkan PP no. 72 tahun 1991, jenjang dan lama
pendidikan dalam satuan PLB sama dengan sekolah biasa. Kurikulum yang dipakai adalah

17
kurikulum pendidikan khusus 2013, dan juga kurikulum biasa dengan penyesuaian hambatan yang
dimiliki peserta didik dengan kebtuhan khusus.
Perubahan kurikulum telah terjadi beberapa kali yang akhirnya memunculkan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang
tersebut Pasal 2 dan pasal 4 dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik, emosional, mental, social, dan atau memililk potensi kecerdasan dan bakat
istimewa. Adapun tujuan pendidika khusus mengacu pada pada tujuan pendidikan nasional yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Implementasi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dijelaskan dalam sejumlah peraturan antara lain PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional pendidikan. Peraturan Pemerintah (PP) ini memberikan arahan tentang perlunya disusun
dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

D. Pendidikan Vokasi di Sekolah Berkebutuhan Khusus


Pendidikan keterampilan merupakan merupakan program pilihan yang dapat diberikan
kepada peserta didik yang diarahkan kepada penguasaan satu jenis keterampilan atau lebih yang
dapat menjadi bekal hidup masyarakat. Pendidikan keterampilan menurut Sudirman (1987)
merupakan pendidikan yang bertujuan untuk memperoleh kecakapan dan keterampilan tertentu
yang diperlukan anak didik sebagai bekal hidupnya di masyarakat. Sejalan dengan pengertian
diatas, Chaniago dan Sirodjudin (1981) mengemukakan, bahwa keterampilan merupakan
kemampuan khusus untuk memanipulasi (memanfaatkan alat, ide, serta keinginan daiam
melakukan sesuatu kegiatan yang berguna bagi dirinya sendiri dan banyak orang/masyarakat).
Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan keterampilan merupakan
kemampuan khusus yang diselenggarakan agar anak didik memiliki kecakapan (keahlian) yang
berguna bagi dirinya sendiri sebagai bekal hidupnya di masyarakat.
Munurut Ishartiwi (2017) kecakapan hidup diperlukan oleh setiap individu dalam upaya
kelangsungan hidupnya. Kecakapan hidup tidak muncul dengan sendirinya tetapi sebagai salah
satu keterampilan yang dikembangkan melalui belajar. Konsep life skillsm dalam sistem

18
persekolahan, menurut Ditjen Pendidikan Umum, 2002 (Anwar, 2004) mengelompokan menjadi
dua, yaitu: (1) General Life Skills/GLS (kecakapan generik) yang mencakup: kecakapan personal
(kecakapan mengenal diri/self awareness, kecakapan berpikir rasional/thinking skills), kecakapan
sosial; dan (2) Spesific Life Skills/ SLS (kecakapan spesifik) meliputi: kecakapan akademik dan
kecakapan vokasional. Selanjutnya Anwar (2004) menjelaskan bahwa pendidkan life skills dalam
jalur persekolah formal dibedakan berdasarkan jenjang. Untuk TK/RA, SD/MI, SLTP/MTs
ditekankan untuk pengembangan GLS, sedangkan kecakapan SLS sebatas tahap pengenalan. Pada
jenjang menengah umum (SMA/K) ditekankan pada pemantapan GLS dan pengembangan SLS
untuk bekal melanjutkan pendidikan tinggi dan atau masuk ke sektor kerja. Konsep pendidikan
life skills tersebut sama dengan pendidikan ABK yang dijelaskan oleh Hallahan dan Kauffman
(1991) bahwa bagi ABK di kelas dasar dan menengah ( usia 9-13 tahun) memerlukan fokus
pembelajaran keterampilan kematangan menolong diri atau keterampilan hidup sehari-hari dan
akademik fungsional (seperti membaca koran, membaca label barang, menghitung uang belanja,
mengisi formulir). Untuk ABK usia dewasa dan remaja pembelajaran di SLB lebih menekankan
pengembangan aspek latihan kemampuan kejuruan dan tanggungjawab sosial.
Menurut Beirne, Ittenback Patton (2002) Skill kerja bagi ABK dengan hambatan mental
termasuk kecakapan perilaku adaptif yang mencakup: kebiasaan dan sikap kerja, skill pencarian
kerja, pelaksanaan kerja, behaviour kerja sosial dan keamanan kerja. Berdasarkan konsep life skills
tersebut menunjukkan bahwa kemandirian ABK dapat dicapai apabila memiliki keterampilan
menolong diri sendiri, keterampilan akademik dan atau akademik fungsional serta keterampilan
vokasional. Kemandirian sebagai hasil belajar yang tingkatan pencapaiannya dipengaruhi
modalitas belajar yang mencakup seluruh fungsi indera dimiliki (Dryden & Vos, 1999). Modalitas
belajar ini yang mendasari jenis keterampilan yang diperlukan oleh ABK. Hal ini sesuai dengan
empat persyaratan dasar dalam pengembangan life skills menurut Direktorat Kepemudaan Dirjen
PLSP, tahun 2003 (dalam Anwar, 2004): (1) keterampilan yang dikembangkan berdasarkan minat
dan kebutuhan individu; (2) terkait dengan karakteristik potensi wilayah setempat, sumber daya
alam dan sosial budaya; (3) dikembangkan secara nyata sebagai sektor usaha kecil atau industri
rumah tangga; (4) berorientasikepada peningkatan kompetensi keterampilan untuk bekerja secara
aplikatif operasional.
Kebutuhan dan masalah belajar ABK sangat bervariasi. Dengan demikian layanan
pendidikan keterampilan tidak dapat diseragamkan baik dari segi jenis keterampilan, bahan ajar,

19
waktu belajar, penataan lingkungan belajar (setting kelas), dan strategi pembelajaran.
Pengelompokan ABK berdasar perannya sebagai subyek intervensi program layanan juga
mendasari penetapan arah pendidikan keterampalan ABK. Dalam hal ini Ishartiwi (2017)
mengelompokan ABK meliputi: ABK usia balita, ABK usia anak, ABK usia remaja, ABK pasca
remaja dan kelompok kebutuhan khusus lansia. Adapun prinsip penerapan Model Arah
Pembelajaran Keterampilan bagi ABK:
1. Jenis keterampilan disesuaikan dengan kondisi dan keterbatasannya;
2. Materi pendidikan keterampilan disesuaikan dengan lingkungan ABK hidup pasca
sekolah;
3. Proses pembelajaran dengan sistem kontrak, sekolah, keluarga, balai latihan kerja,
pusat latihan kerja, atau penampung tenaga kerja;
4. Cakupan pembelajaran meliputi: kecakapan hidup umum (general life skills),
ketrampilan kerja;
5. Pembelajaran tidak semata-mata untuk pemenuhan kurikulum sekolah tetapi
berorientasi kemandirian awal;
6. Pembelajaran tingkat trampil dan mahir dilakukan pasca sekolah dengan lembaga
blb/dunia usaha masyarakat;
7. Sekolah berfungsi sebagai unit rehabilitasi sosial abk dan memberikan ketrampilan
dasar pra vokasional;
8. Pembelajaran vokasional fleksibel, berkelanjutan, langsung praktik (kehidupan nyata)
dan berulang-ulang;
9. Pengalaman pencapaian kompetensi vokasional dengan sertifikat (lisensi
ketenagakerjaan) = bisa melalui “organisasi tenaga kerja ABK”;
10. Ada komitmen pemerintah dan masyarakat terhadap tenaga kerja ABK.

Berdasarkan arah pembelajarannya, maka sistem pembelajaran untuk ABK dibagi dalam
beberapa kategori, yaitu:
1. Arah Pembelajaran Keterampilan untuk ABK dengan Ketagori Ringan, menurut
Ishartiwi, 2017:

20
Gambar 1. Sistem Pemebelajaran Keterampilan ABK Kategori Ringan
Kreteria kondisi ABK ringan dalam paparan ini dijelaskan dengan kondisi: (1) ABK tidak
memiliki kompleksitas kekhususan yang sandang; (2) kecerdasan ABK normal; (3) ABK mudah
melakukan adaptasi dilingkungannya; (4) ABK tidak memiliki banyak hambatan untuk
beraktivitas dalam kehidupan. Program pembelajaran keterampilan bagi ABK ringan dapat
disamakan dengan anak normal di sekolah reguler dengan penyesuaian cara penyajian dan isi
bahan ajar berdasar kebutuhan ABK. Arah pembelajaran mencakup dua tujuaan, yaitu: (1) arah
pembelajaran untuk persiapan melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih, sehingga lebih berfokus
keterampilan akademik dan personal social dan (2) untuk mempersiapkan ABK memasuki dunia
kerja. Dalam hal ini ABK dapat belajar semua jenis keterampilan. Selanjutnya ABK pasca lulus
sekolah baik untuk jenjang sekolah menengah maupun pendidikan tinggi wajib mengikuti
pendidikan di lembaga asosiasi/organisasi Tenaga kerja ABK. Lembaga ini berfungsi sebagai
masa transisi dari lemabaga persekolah ke dunia kerja. Peran yang dilkukan lembaga ini
memberikan bekal pendidikan kerja bagi ABK untuk mendapatkan sertifikat kompetensi tingkat
ABK Ringan Proses Pendidikan jenjang TK-SMA/K (Sekolah Umum) Melanjutkan Studi Jenjang
Pendidikan Tertinggi Lulus/Pasca Sekolah Bekerja di lingkungan Masyarakat/Perusahaan Masuk
Organisasi/Asosiasi Tenaga Kerja ABK Kurikulum untuk mengembangkan kemampuan akademik
adaptasi dan ketrampilan hidup mahir jenis pekerjaan tertentu dan melkukan uji latih kerja mandiri
melalui magang di tempat kerja. Berdasarkan kompetensi ini ABK ditempatkan dalam lembaga
kerja yang sesuai.

21
2. Arah Pembelajaran Keterampilan untuk ABK dengan Ketagori Sedang

Diagram 2. Sistem Pembelajaran Keterampilan ABK Kategori Sedang

Kreteria kondisi ABK sedang diindikasikan dengan kondisi: (1) ABK memiliki
kompleksitas kekhususan ; (2) kecerdasan ABK di bawah rata-rata normal; (3) ABK mengalami
hambatan untuk melakukan adaptasi dilingkungannya; (4) ABK memerlukan alat khusus untuk
beraktivitas dalam kehidupan. Program pembelajaran keterampilan bagi ABK kategori sedang
difokuskan untuk mengembangakan kemampuan akademik dan lebih tepat di sekolah segregasi
atau sekolah khusus/SLB. Melalui program intervensi di sekolah segregasi ABK kategori sedang
mendapatkan layanan sesuai kebutuhan individual. Tujuan program pembelajaran keterampilan
bagi ABK kategori sedang untuk persiapan masuk dunia kerja. Bahan ajar ditekankan untuk
mencapai pengembangan keterampilan akademik funsional, keterampilan adaptasi dan salah satu
jenis keterampilan kerja yang sesuai kemampuan ABK. Proses pembelajaran keterampilan
dilaksanakan oleh sekolah melalui magang pada tempat kerja sesuai jenis program pembelajaran
keterampilan yang dipelajaran.
Proses magang lansung ini dilakukan mengingat kemampuan kocerdasan ABK kategori
sedang terbatas sehingga mereka memerlukan situasi nyata dalam ABK Sedang Proses Pendidikan
Vakasional Lulus/Pasca Sekolah Magang/Bekerja Dimasyarakat/perusahaan Masuk organisasi/
Asosiasi Tenaga Kerja ABK Bekerja Di masyarakat/ Kurikulum memberi bekal Perusahaan
akademik fungsional, adaptasi dan pemilikan ketrampilan kerja ABK Bekerja Di masyarakat/
Kurikulum memberi bekal Perusahaan akademik fungsional, adaptasi dan pemilikan ketrampilan
kerja ABK Sedang pembalajaran atau melakukan lansung dalam lingkungan karja sebenarnya.
Kemudian pasca lulus sekolah wajib mengikuti pendidikan di lembaga asosiasi/ organisasi Tenaga

22
kerja ABK. Lembaga ini berfungsi sebagai masa transisi dari lemabga persekolah ke dunia kerja.
Peran yang dilakukan lembaga ini memperdalam pembelajaran keterampilan kerja bagi ABK
sehingga memiliki kemampuan tingkat mahir (tingkat kemampuan kerja sesuai kebutuhan temapat
bekerja ABK pasca sekolah). Selain itu untuk mendapatkan sertifikat kompetensi tingkat mahir
jenis pekerjaan tertentu melaui uji latih mandiri. Berdasarkan kompetensi ini ABK ditempatkan
dalam lembaga kerja yang sesuai.

3. Arah Pembelajaran Keterampilan untuk ABK dengan Ketagori Berat

Gambar 3. Sistem Pembelajaran keterampilan ABK Kategori Berat

Kreteria kondisi ABK berat minimal mencakup: (1) ABK menyandang variasi kekhususan
yang sangat menghambat perkembangan dan kemampuan dalam hidup (2) kecerdasan ABK sangat
rendah atau tercakup di dalam kategori grade palinga bawah; (3) ABK mengalami banyak
hambatan untuk melakukan adaptasi dilingkungannya; (4) ABK memerlukan alat dan bimbingaan
khusus secara terus menerus untuk melakukan kegiatan dalam kehidupan. Program pembelajaran
keterampilan bagi ABK kategori berat ditekankan untuk mencapai kemampuan menolong diri
sendiri bagi yang mampu. Namun bagi ABK yang tkondisinya sangat berat program ditekankan
agar mereka dapat melakukan gerakan fisik meskipun sangat terbatas. Bahan ajar pembelajaran
mencakup kegiatan menolong diri sndiri dalam kehidupan sehari-hari. ABK berat yang memiliki
kemampuan bekerja meskipun sangat terbatas (mampu ABK Berat Penanganan Lembaga Khusus
(Segregasi Berasrama) Pasca Sekolah Mampu Mengurus Diri Sendiri Kemasyarakatan Keluarga
dengan santunan Kurikulum perbaikan kemampuan menolong diri, meminimalkan bantuan orang
lain menyelesaikan bagian atau sub-sub bagian salah satau jenis pekerjaan) perlu dilatih untuk

23
kemempuan kerja disektor kerja rumah tangga. Hasil kerja tersebut minimal untuk memenuhi
sebagaian kebutuan diri ABK. Arah pembelajaran keterampilan bertujuan agar ABK dapat
mengurangi bantuan orang lain dalam memenuhi kegiatan hidup sehari-hari. Dengan demikian isi
materi pembelajaran dan penyajian serta tolok ukur hasil belajar dikembangkan sesuai kebutuhan
individual. Dalam hal ini ABK dapat belajar kegiatan yang bersifat praktis. Pelaksanaan
pembelajaran dalam sekolah segregasi berasrama atau bahkan dibelari layanan pendidikan di
dalam keluarga. Pembelajaran deilakukan dalam ruanglingkup tempat tinggal ABK. Waktu belajar
sangat fleksibel, artinya sesuai kemampuan anak mencapai hasil balajar berupa kinarja yang
membentuk kebiasaan (habit). Selanjutnya pasca sekolah (setelah ABK mengusai kemampuan
yang dipelajari secara maksimal) tetap dibimbing hidup bermasyarakat. Dalam hal ini masyarakat
di sekitar ABK kategori berat perlu berperan serta secara aktif memberikan pembimbingan agar
ABK ketegori berat dalam hidup di lingkungannya. Dengan demikian pembelajaran keterampilan
ABK kategori berat berlangsung terus menerus sepanjang ABK hidup.

4. Arah Pembelajaran Keterampilan untuk ABK dengan Ketagori Belum Pernah Sekolah

Gambar 4. Sistem Pendidikan Vokasional ABK Kategori Belum Pernah Sekolah

Sekolah Kriteria kondisi ABK belum pernah sekolah dibedakan menjadi dua yaitu ABK
belum pernah sekolah tetapi masih termasuk usia sekolah dan ABK belum pernah sekolah usia
dewasa. Kondisi ABK ini mencakup ketegori ringan, sedang dan berat. Program pembelajaran
keterampilan bagi ABK kategori belum pernah sekolah dimulai dengan intervensi dlam lembaga

24
rehabilitasi. Rehabilitasi dimaksudkan untuk memberikan program transisi untuk persiapan
memasuki program pembelajran keterampilan. Intervensi dalam lembaga rehabilitasi ditekankan
program khusus atau pengembangan program prasyarat belajar dan persiapan fisik dan mental
untuk pembelajaran keterampilan. Langkah berikutnya ABK diberi intervensi sesuai
kelompoknya, yaitu : ABK belum pernah sekolah usia sekoilah pelaksanaan pembelajaran
keterampilan memilih model Arah Pembelajaran Keterampilan dalam diagram 1, 2, 3dan 4
disesuai dengan tingkat usia dan kondisi kekhususan ABK. Bagi ABK belum pernah sekolah
kelompok usia dewasa diberikan program pembelajaran keterampilan melalui magang dalam
dunia usaha yang sesuai dengan jenis pekerjaan sebagai vokasi pasaca pendidikan. Pasca pelatihan
tingat dasar dan tingkat terampilan dilanjutkan magang secara khusus organisasai/asosiasi tenaga
kerja ABK untuk melakukan uji latih kerja mandiri dan ABK Belum pernah sekolah Usia Sekolah
Selanjutnya seperti Tipe I,II,III Usia Dewasa Pendidikan Vakasional Di Masyarakat Pasca
Pendidikan Lembaga rehabilitasi ABK Bekerja Di Masyarakat Masuk organisasi/ Asosiasi Tenaga
Kerja ABK Kurikulum diarahkan untuk peningkatan motivasi diri, kemampuan beradaptasi dan
ketrampilan kerja mendapatkan sertifikat kompetensi. Arah pembelajaran keterampilan untuk
ABK kelompok ini bertujuan untuk membekali keterampilan salah satu jenis kerja yang menjadi
minat ABK. Berdasarkan kompetensi ini ABK ditempatkan dalam lembaga kerja yang sesuai
tempat kerja.

E. Strategi Pengajaran untuk Anak Berkebutuhan Khusus


Dalam menyusun strategi, perlu adanya konsep dasar sebagai haluan untuk menciptakan
strategi yang tepat. Newman and Logan sebagaimana dikutip Mufarrokah (2009) menyebutkan
konsep strategi dasar dari setiap saha meliputi 4 hal sebagai berikut:
1. Pengidentifikasian dan penetapan spesifikasi dan kualifikasi tujuan yang harus dicapai
dengan memperhatikan dan mempertimbangkan aspirasi rakyat yang memerlukannya.
2. Pertimbangan dan pemilihan cara pendekatan utama yang dianggap ampuh untuk
mencapai sasaran.
3. Pertimbangan dan penetapan langkah-langkah yang ditempuh sejak titik awal
pelaksanaan sampai titik akhir dimana sasaran tercapai.
4. Pertimbangan dan penetapan tolak ukur dan ukuran baku yang digunakan dalam
mengukur taraf keberhasilan usaha.

25
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan
anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik.
Strategi pengajaran anak berkebutuhan khusus di kelas inklusif bertujuan untuk membantu peserta
didik agar bisa belajar dengan baik di kelas umum. Dalam mengajar anak berkebutuhan khusus
perlu adanya pemahaman, memahami peserta didik dengan kebutuhan-kebutuhan khusus
memerlukan suatu analisis. Peserta didik berbeda dalam sifat dan kebutuhannya. Sehingga
memberi pengajaran peserta didik seperti ini, merupakan suatu proses pengkategorian silang.
Strategi pengajaran yang terbukti efektif pada satu jenis tantangan pembelajaran akan potensial.
dalam memberikan pengajaran pada peserta didik dengan kebutuhan atau hambatan khusus lainnya
(Smith, 2006).
1. Strategi pengajaran untuk anak dengan masalah perhatian (konsentrasi)
a. Mengubah cara mengajar dan jumlah materi baru yang akan diajarkan. Siswa yang
mengalami masalah perhatian dapat ketinggalan jika materi yang diberikan terlalu
cepat atau jika beban menumpuk dengan materi yang kompleks. Hal ini berguna
untuk memperlambat laju presentasi materi, menjaga agar peserta didik tetap
terlibat dengan memberi pertanyaan pada saat materi diberikan, untuk menjamin
agar tiap langkah atau bagian dapat dipahami.
b. Mengadakan pertemuan dengan peserta didik. Hal ini dilakukan untuk memberikan
perhatian yang lebih kepada peserta didik. Perhatian yang diberikan dilakukan
dengan tanpa hukuman (nonpunitive) dan tanpa ancaman (nonthreatening).
c. Membimbing siswa lebih dekat ke proses pengajaran dengan sikap dan tindakan
yang lembut.
d. Memberikan dorongan secara langsung dan berulang-ulang.
e. Utamakan ketekunan perhatian daripada kecepatan menyelesaikan tugas.
f. Ajarkan self-monitoring of attention. Peserta didik dapat dilatih untuk memonitor
perhatian mereka sendiri dengan timer atau alarm jam.
2. Strategi pengajaran untuk anak dengan masalah daya ingat (memori)
a. Mengajar dengan menggunakan penanda berupa garis bawah atau highlighting
untuk memancing ingatan siswa.
b. Perbolehkan menggunakan alat bantu memori, bisa berupa kalkulator untuk
mengingat perkalian atau daftar ejaan untuk membantu mengingat.

26
c. Biarkan peserta didik yang mengalami masalah sulit mengingat untuk mengambil
tahapan yang lebih kecil dalam pengajaran.
d. Ajarkan peserta didik yang bermasalah dengan daya ingat untuk berlatih mengulang
dan mengingat.
3. Strategi pengajaran untuk anak dengan masalah kognisi
a. Berikan materi yang dipelajari dalam konteks “high meaning” penegasan
pengertian, hal ini dapat dilakukan dengan memberikan contoh, analogi atau
kontras. Siswa berkesulitan belajar mungkin tidak memiliki dasar pengetahuan
seluas teman lainnya. Informasi baru yang bisa dimengerti oleh kebanyakan siswa
mungkin tidak dapat diserap bagi siswa berkesulitan belajar. Oleh karena itu,
penting untuk menentukan apakah siswa memahami arti bacaan mereka, atau arti
suatu pertanyaan mengenai materi baru.
b. Menunda ujian akhir dan penilaian sampai peserta didik mampu mengusai
sepenuhnya materi yang dipelajari.
c. Tempatkan peserta didik dalam konteks dalam pembelajaran yang “tidak pernah
gagal”.
4. Strategi pengajaran untuk anak dengan masalah sosial dan emosional
a. Buatlah sistem penghargaan kelas yang dapat diterima dan dapat diakses, agar
peserta didik merasa ikut serta dalam kegiatan pembelajaran dan dapat berprestasi.
b. Membentuk kesadaran tentang diri dan orang lain. Cara ini untuk membantu peserta
didik menjadi lebih mengenal sikap mereka sendiri dan dampaknya bagi orang lain
c. Mengajarkan sikap positif

F. Organisasi sekolah untuk pendidikan khusus inklusif


1.1 Memberikan Pendidikan Terbaik untuk Semua Anak dengan ABK
Untuk memberikan pendidikan terbaik bagi semua anak dengan special educational needs
and disabilities (SEND/ABK), perlu adanya kebijakan dan prosedur di semua aspek yang relevan
dari sistem pendidikan. Pertama dan terpenting, untuk memiliki kebijakan nasional, regional, dan
lokal yang jelas dan spesifik tentang pendidikan anak-anak dengan ABK. Oleh karena itu, perlu
ada undang-undang nasional yang secara jelas menetapkan hak anak-anak dengan ABK dan
keluarganya, serta pedoman undang-undang untuk sekolah yang disediakan oleh kementerian

27
pendidikan nasional, atau yang setara, di setiap negara. Dari analisis ini, dianggap bahwa untuk
menerapkan pendidikan khusus inklusif yang efektif, masing-masing komponen berikut perlu ada.

Gambar 5. Komponen Pendidikan Inklusif

1.2 Kebijakan yang Koheren Tentang Pendidikan Inklusif


Setiap negara perlu memiliki kebijakan koherennya sendiri tentang pendidikan khusus
inklusif. Kebijakan perlu mencerminkan prioritas nasional dan fitur utama sistem pendidikan
nasional. Misalnya, di Finlandia, otoritas pendidikan berfokus pada persiapan guru untuk ABK,
kolaborasi antara guru mainstream dan spesialis, intervensi dini untuk anak-anak dengan kesulitan
belajar, kelas khusus di sekolah umum, dan kurikulum yang luas untuk anak-anak dengan ABK
(Mitchell 2014). Selain kebijakan nasional tentang pendidikan khusus inklusif, perlu ada kebijakan
daerah yang disesuaikan dengan komunitas atau distrik sekolah yang berbeda.

1. Undang-undang Pendidikan Khusus untuk Anak-anak dengan ABK


Perlu ada undang-undang pendidikan khusus mengenai anak-anak dengan ABK
apakah mereka bersekolah di sekolah umum, sekolah khusus, atau kelas khusus. Ini

28
mungkin mirip dengan Undang-Undang Pendidikan Individu dengan Disabilitas
(IDEA) di AS.
2. Persyaratan Memiliki SENCO atau Komite SEN
Pembentukan Koordinator Kebutuhan Pendidikan Khusus (SENCO) atau komite SEN
di fasilitas pendidikan arus utama dari anak usia dini sampai sekolah menengah,
dengan alokasi waktu yang cukup untuk SENCO atau anggota komite SEN kunci
untuk melaksanakan peran ini secara efektif, sangat penting untuk keberhasilan
pendidikan khusus inklusif .
3. Persyaratan Pelatihan SENCO
Pelatihan khusus untuk mengajar anak-anak dengan ABK perlu diamanatkan untuk
SENCO atau anggota kunci komite SEN. Harus ada pelatihan baik sebelum mereka
mengambil peran dan sebagai bagian dari pengembangan profesional berkelanjutan
untuk staf SEN kunci yang bekerja di sekolah.
4. Persyaratan untuk Perencanaan Pendidikan Individu
Sekolah harus diberi mandat untuk menerapkan sistem pengorganisasian IEP, atau
rencana pembelajaran siswa individu, dan tinjauan kemajuan untuk semua anak ABK
yang signifikan. Panduan komprehensif tentang pelaksanaan rencana perlu diberikan
ke sekolah, dan panduan khusus untuk melibatkan orang tua secara efektif harus
dirinci.

1.3 Pelatihan Wajib untuk Guru Arus Utama di SEND


Institusi yang menyediakan pendidikan guru harus diberi mandat untuk memasukkan
pelatihan khusus tentang pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk mengajar siswa dengan ABK
secara efektif di semua program dari anak usia dini hingga guru sekolah menengah.
Ini harus diajarkan oleh pendidik guru yang berpengalaman di bidang ABK yang juga bertugas
untuk mendukung rekan-rekan mereka untuk memastikan bahwa strategi mengajar anak-anak
dengan ABK termasuk dalam semua kursus yang diambil oleh guru magang.
Pelatihan untuk Guru Spesialis
Setiap negara perlu memastikan bahwa program pelatihan komprehensif tersedia untuk
guru anak-anak dengan berbagai jenis ABK, termasuk anak-anak dengan kesulitan belajar dan

29
perilaku ringan hingga sedang, kesulitan penglihatan dan pendengaran, autisme, dan kesulitan
belajar yang parah dan ganda.

Keterlibatan Psikolog/Spesialis
Psikolog dan masukan spesialis lainnya, seperti dari terapis fisik atau okupasi, harus
diamanatkan dalam penilaian dan perencanaan program, termasuk pertemuan IEP, untuk anak-
anak yang diidentifikasi memiliki ABK. Sekolah memerlukan keahlian spesialis seperti psikolog
pendidikan dan terapis wicara/bahasa untuk memastikan bahwa kebutuhan anak-anak dengan
ABK dinilai secara komprehensif dan program yang sesuai dikembangkan untuk memenuhi
kebutuhan ini.

Konselor Sekolah atau Pekerja Sosial Tersedia di Semua Sekolah


Sekolah perlu memiliki konselor atau pekerja sosial yang berbasis di sekolah atau mudah
diakses melalui beberapa sekolah, untuk menangani masalah kesehatan mental atau perawatan
anak. Masalah kesehatan mental biasanya muncul selama masa kanak-kanak, atau selama tahun-
tahun sekolah dasar dan menengah, dan jika tidak ditangani maka dapat menjadi jauh lebih serius
dan sulit untuk dikelola di tingkat sekolah menengah (Atkinson dan Hornby 2002). Oleh karena
itu, akses ke konselor dan pekerja sosial diperlukan di semua tingkat sekolah dari anak usia dini
hingga sekolah menengah.

Layanan Kemitraan Orang Tua


Sistem sekolah membutuhkan layanan kemitraan orang tua atau koordinator keterlibatan
orang tua untuk memberikan informasi, saran, dan dukungan kepada orang tua dan pengasuh yang
memiliki anak atau remaja dengan ABK.

Pedoman Wajib Sekolah di ABK


Perlu ada pedoman undang-undang untuk sekolah mengenai anak-anak dengan ABK yang
harus diikuti sekolah, serupa dengan pedoman undang-undang terperinci untuk sekolah yang
disediakan dalam Kode Praktik untuk SEN (DfES 2001) di Inggris. Ini menetapkan pedoman rinci
untuk prosedur yang harus diikuti dan sumber daya yang harus disediakan untuk anak-anak dengan
SEND dan keluarganya.

30
Masalah Utama dalam Organisasi Sekolah untuk ABK
Sekolah perlu memiliki kebijakan dan praktik untuk memastikan bahwa persyaratan
undang-undang nasional dan pedoman undang-undang diimplementasikan. Kebijakan dan
prosedur perlu diterapkan di seluruh sistem pendidikan sejak anak usia dini pusat melalui sekolah
menengah, di daerah pedesaan dan perkotaan, di semua sekolah yang terlibat dalam menyediakan
pendidikan khusus inklusif. Yang penting di antara kebijakan dan praktik ini adalah etos sekolah,
identifikasi dan penilaian, pengelompokan kemampuan, rencana pendidikan individual,
perencanaan transisi, kurikulum yang sesuai, dan peran orang tua.

Etos Sekolah
Pertama dan terpenting, sekolah harus memiliki etos positif terhadap anak-anak dengan
SEND. Mereka harus melihat anak-anak seperti itu tidak hanya sebagai tanggung jawab mereka
untuk menafkahi secara efektif tetapi juga menganggap bahwa anak-anak ini adalah aset bagi
sekolah. Sebagai contoh, Siswa dari kelas diikutsertakan dalam kegiatan sekolah sedapat mungkin
dan siswa memperoleh pujian karena membantu di kelas. Prestasi siswa kelas khusus ini dirayakan
bersama dengan siswa di majelis sekolah dan buletin kepada orang tua. Dengan cara ini,
pendekatan positif untuk mendidik dan merawat semua siswa, termasuk mereka yang memiliki
SEND, merupakan bagian penting dari etos sekolah secara keseluruhan.

Identifikasi dan Penilaian


Sekolah harus memiliki prosedur untuk mengidentifikasi dan menilai anak-anak dengan
ABK dan untuk memberikan intervensi yang tepat. Prosedur ini harus dilaksanakan oleh staf yang
telah mengikuti pelatihan dalam mengajar anak-anak dengan ABK, seperti SENCO atau staf kunci
di komite SEN. Setelah anak-anak diidentifikasi dengan ABK, maka data yang dikumpulkan dari
penilaian harus digunakan untuk melacak dan mengevaluasi kemajuan mereka dan menentukan
apakah perubahan pada program mereka perlu dilakukan. Oleh karena itu, sekolah perlu memiliki
kebijakan dan sistem untuk mengumpulkan data tentang kemajuan siswa di seluruh kurikulum dan
menganalisisnya sehingga mereka dapat menentukan siswa mana yang kurang berprestasi di
bidang mata pelajaran mana (NCSE 2010).

31
Pengelompokan Kemampuan
Masalah utama bagi sekolah adalah pengelompokan kemampuan siswa. Hal ini terutama
mempengaruhi anak-anak dengan ABK karena mereka cenderung ditempatkan di kelas atau
sekolah berkemampuan rendah. Banyak negara di seluruh dunia terus menggunakan berbagai
bentuk pengelompokan kemampuan, di dalam sistem pendidikan, di dalam sekolah, dan di dalam
kelas. Ini berlanjut meskipun bukti penelitian ekstensif yang menunjukkan bahwa pengelompokan
kemampuan seperti itu paling tidak efektif dan paling buruk berbahaya bagi anak-anak (Slavin
1987, 1990, 1996).

Rencana Pendidikan Individu


Rencana Pendidikan Individu (Individual Educational Plans-IEPs) pertama kali
diperkenalkan oleh Education of All Handicapped Children Act (1975) di Amerika Serikat. IEP
menyediakan sarana untuk memastikan bahwa program sesuai dan dievaluasi secara teratur untuk
memenuhi kebutuhan siswa dengan ABK (Bateman 2011). Keterlibatan orang tua dalam proses
perencanaan menjadi wajib untuk meningkatkan masukan orang tua pada keputusan tentang
pendidikan anak mereka. Ini karena bukti ekstensif untuk efektivitas keterlibatan aktif orang tua
dalam meningkatkan hasil akademik dan sosial anak-anak (Strickland dan Turnbull 1993).

Perencanaan Transisi
Sekarang diakui bahwa Rencana Transisi Individu mempersiapkan kaum muda dengan
SEND untuk kehidupan pasca sekolah harus dimasukkan sebagai bagian dari IEP siswa saat
mereka mencapai Perencanaan Transisi Sekarang diakui bahwa Rencana Transisi Individu
mempersiapkan kaum muda dengan ABK untuk kehidupan pasca sekolah harus dimasukkan
sebagai bagian dari IEP siswa saat mereka mencapai masa remaja (Dee 2006). Kebutuhan akan
perencanaan transisi semacam itu muncul pada tahun 1930-an, dan pada akhir abad ini, model
untuk pendidikan yang berfokus pada transisi secara konsisten menyoroti lima komponen penting:
perencanaan yang berfokus pada siswa, pengembangan siswa, keterlibatan keluarga, kolaborasi
antar lembaga, dan struktur program (Blackorby dan Wagner 1996; Karan dkk. 2010; Mazzotti
dkk. 2013).

32
Kurikulum yang Sesuai
Memutuskan apa yang merupakan kurikulum yang tepat untuk anak-anak dengan berbagai
jenis dan tingkat keparahan ABK pada usia dan tahap perkembangan yang berbeda bukanlah
masalah yang sederhana. Hal ini paling baik ditentukan melalui penilaian komprehensif fungsi
anak dan diskusi dengan orang-orang kunci dalam kehidupan anak-anak, termasuk guru, spesialis,
dan orang tua atau pengasuh. Ini dapat dilakukan sebagai bagian dari tinjauan IEP.

Keterlibatan orang tua


Sangat penting bahwa sekolah memiliki prosedur yang efektif untuk mengoptimalkan
keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anak mereka. Meskipun hal ini diakui secara luas
dalam teori, dalam praktiknya biasanya ada kesenjangan antara retorika dan realitas keterlibatan
orang tua di sekolah umum (Hornby dan Lafaele 2011; Hornby dan Witte 2010a, b, c, d). Sekolah
yang melibatkan orang tua sangat penting ketika anak-anak memiliki ABK (Hornby 1995), jadi
penting bahwa sekolah memiliki kebijakan dan praktik untuk memastikan keterlibatan efektif
orang tua dari anak-anak dengan ABK.

Strategi Seluruh Sekolah untuk Mengajar Anak-anak dengan ABK


Sangat penting bagi sekolah yang menerapkan pendidikan khusus inklusif untuk
memastikan bahwa praktik di seluruh sekolah didasarkan pada bukti penelitian tentang efektivitas
dalam memfasilitasi perkembangan akademik dan sosial anak-anak dengan ABK. Strategi kunci
di seluruh sekolah yang memiliki dasar kuat dari bukti penelitian untuk efektivitasnya. ketika
membahas efektif strategi untuk guru, selain memiliki dasar bukti penelitian yang kuat, strategi
intervensi di seluruh sekolah juga harus dapat diterapkan dalam konteks budaya dan realitas praktis
sekolah. Intervensi harus sesuai secara budaya dan sesuai dengan pengetahuan, keterampilan, dan
pengalaman guru, serta nilai-nilai orang tua, keluarga, dan masyarakat (Cook and Cook 2011;
Habib et al. 2013).

G. Bekerja dengan Orang Tua dari Anak dalam Pendidikan Khusus Inklusi
1.1 Model Keterlibatan Orang Tua
Untuk memastikan keterlibatan optimal orang tua dalam pendidikan anak-anak mereka
dengan ABK, akan sangat membantu bagi sekolah untuk memiliki model keterlibatan orang tua

33
dan pedoman pelaksanaannya, yang merupakan fokus utama dari bab ini. Model teoritis untuk
keterlibatan orang tua yang diilustrasikan pada Gambar 6 dan dijelaskan di bawah ini diadaptasi
dari Hornby (2011). Model ini terdiri dari dua komponen, satu berfokus pada kebutuhan orang tua
akan dukungan, yang lainnya berfokus pada kontribusi potensial mereka. Masing-masing
komponen model sekarang akan diuraikan dan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan
oleh guru untuk memfasilitasi keterlibatan efektif orang tua dalam pendidikan khusus inklusif akan
diidentifikasi.

Gambar 6. Model keterlibatan orang tua

1.2 Kontribusi oleh Orang Tua


1. Information (Informasi). Semua orang tua dapat menyumbangkan informasi berharga
tentang anak-anak mereka dan akan memiliki kontak berkelanjutan dengan para
profesional untuk menilai dan merencanakan pemenuhan kebutuhan anak-anak
mereka. Informasi mengenai Anak-anak ABK, kekuatan, dan kelemahan, bersama
dengan rincian medis yang relevan, dapat dikumpulkan oleh guru di pertemuan orang
tua-guru. Memanfaatkan sepenuhnya pengetahuan orang tua tentang anak-anak
mereka tidak hanya mengarah pada praktik profesional yang lebih efektif, tetapi juga
membuat orang tua merasa bahwa mereka telah didengarkan dan bahwa minat aktif
telah diambil pada anak-anak mereka.
2. Collaboration (Kolaborasi). Kebanyakan orang tua dari anak-anak dengan ABK
bersedia dan mampu berkontribusi lebih dari sekedar informasi. Mereka mampu

34
berkolaborasi dengan guru dengan memperkuat program kelas di rumah, seperti
program membaca di rumah-sekolah. Namun, beberapa orang tua terkadang tidak
dapat melakukan pekerjaan di rumah bersama anak-anak mereka karena sumber daya
mereka sudah berkomitmen penuh dalam menghadapi anak-anak mereka. Jadi,
sementara keterlibatan dalam program home-school, atau permintaan lain kepada
orang tua untuk melakukan pekerjaan dengan anak-anak mereka di rumah, harus selalu
ditawarkan kepada semua orang tua, diharapkan beberapa orang tua tidak akan
berpartisipasi.
3. Resource (Sumber). Beberapa orang tua dari anak-anak dengan ABK dapat bertindak
sebagai asisten guru sukarela, baik membantu di kelas, atau dalam persiapan materi,
atau dalam penggalangan dana. Orang lain mungkin memiliki keterampilan khusus
yang dapat mereka sumbangkan seperti membantu menyiapkan buletin, kegiatan
kerajinan, atau bidang kurikulum di mana mereka memiliki bakat khusus.
4. Policy (kebijakan). Beberapa orang tua dari anak-anak dengan ABK dapat
menyumbangkan keahlian mereka melalui keanggotaan orang tua atau organisasi
profesional. Ini termasuk menjadi gubernur sekolah, menjadi anggota asosiasi orang
tua-guru, atau terlibat dalam dukungan orang tua atau kelompok advokasi. Yang lain
dapat memberikan pelatihan dalam jabatan dengan berbicara di konferensi atau
lokakarya atau dengan menulis tentang pengalaman mereka.

1.3 Kebutuhan Dukungan Orang Tua


1. Communication (Komunikasi). Penting bagi semua orang tua dari anak-anak dengan
SEND untuk memiliki saluran komunikasi yang efektif dengan guru anak-anak mereka
untuk mengetahui kapan anak-anak mereka mengalami kesulitan dan apa yang akan
dilakukan sekolah untuk mengatasinya. Sekolah dapat memberi tahu orang tua tentang
hak dan tanggung jawab mereka dengan menyediakan buku pegangan dan buletin yang
ditulis khusus untuk orang tua.
2. Liaison (Hubungan). Orang tua dari anak-anak dengan ABK ingin tahu bagaimana
perkembangan anak-anak mereka di sekolah. Mereka ingin mengetahui apa yang telah
dicapai anak-anak mereka dan apakah mereka mengalami kesulitan. Mereka

35
menganggap guru sebagai sumber informasi utama tentang kinerja anak-anak mereka
di sekolah dan oleh karena itu perlu memiliki kemitraan kerja dengan mereka.
3. Education (Pendidikan). Banyak orang tua dari anak-anak dengan ABK tertarik untuk
berpartisipasi dalam program pendidikan orang tua yang bertujuan untuk
mempromosikan kemajuan anak-anak mereka atau mengelola perilaku mereka.
Pendidikan orang tua dapat dilakukan secara individu atau dalam kelompok orang tua
atau lokakarya.
4. Support (Mendukung). Beberapa orang tua dari anak-anak dengan ABK akan, pada
waktu yang berbeda, membutuhkan konseling yang mendukung, meskipun mereka
mungkin tidak benar-benar memintanya. Sedangkan kebanyakan orang tua enggan
untuk mencari bantuan konselor profesional, mereka akan mendekati guru anak-anak
mereka untuk mencari bimbingan untuk masalah yang menyangkut mereka.

1.4 Menggunakan Model untuk Memandu Praktik Keterlibatan Orang Tua


Dengan menggunakan model yang dijelaskan di atas, kerangka komprehensif untuk
melibatkan orang tua dapat dirancang agar sesuai dengan masing-masing sekolah yang
melaksanakan pendidikan khusus inklusif. Model tersebut dapat digunakan untuk menghasilkan
daftar periksa yang dirancang untuk memastikan bahwa prosedur tersedia untuk memenuhi
kebutuhan dukungan orang tua dan untuk memastikan bahwa potensi kontribusi mereka
dimanfaatkan sepenuhnya. Daftar periksa berikut ini memberikan contoh jenis pertanyaan yang
perlu diajukan guru saat meninjau kebijakan dan praktik sekolah mereka terkait keterlibatan orang
tua. Setiap tingkat model sekarang akan dipertimbangkan secara bergantian dan pertanyaan sampel
diidentifikasi. Untuk lebih serangkaian pertanyaan yang komprehensif, Hornby (2011).
1. Kebijakan: Apakah sekolah memiliki kebijakan tertulis yang terpisah tentang
keterlibatan orang tua? Apakah kebijakan tersebut secara jelas menetapkan hak dan
tanggung jawab orang tua dan apakah itu termasuk dalam materi yang dibagikan
kepada semua orang tua dan guru? Bagaimana kebijakan itu diberlakukan?
2. Sumber: Dalam kegiatan apa sekolah menerima bantuan dari orang tua? Apakah orang
tua terbiasa mendengarkan anak membaca atau membantu mengajar atau menyiapkan
materi kelas?

36
3. Kolaborasi: Bagaimana orang tua dari anak-anak dengan ABK terlibat dalam
mengembangkan Rencana Pendidikan Individu anak mereka? Misalnya, apakah
mereka menghadiri semua pertemuan dan memiliki kesempatan untuk mendiskusikan
anak mereka dengan spesialis luar yang terlibat, seperti guru spesialis, psikolog
pendidikan, atau terapis wicara?
4. Informasi: Bagaimana informasi tentang kebutuhan khusus anak, kondisi medis, dan
keadaan keluarga yang relevan dikumpulkan dari orang tua? Apakah kunjungan rumah
digunakan selain pertemuan orang tua-guru di sekolah?
5. Komunikasi: Apa saluran komunikasi yang ada antara orang tua dan guru? Artinya,
dapatkah orang tua memilih untuk menelepon, menulis catatan, mengirim pesan teks
atau email, atau menelepon ke sekolah jika diperlukan?
6. Penghubung: Apa frekuensi dan tujuan pertemuan orang tua-guru? Misalnya, apakah
orang tua diundang untuk menghadiri pertemuan berkala atau tahunan untuk meninjau
kemajuan anak-anak mereka?
7. Pendidikan: Kapan guru tersedia untuk memberikan bimbingan kepada orang tua?
Apakah guru melakukan kunjungan rumah dalam rangka memberikan bimbingan
kepada orang tua atau hanya terjadi pada pertemuan orang tua-guru di sekolah?
8. Dukungan: Apakah orang tua didorong untuk menghubungi kelompok pendukung
dan organisasi induk untuk ABK? Misalnya, apakah orang tua diperkenalkan kepada
orang tua lain yang memiliki anak dengan kesulitan serupa? Apakah mereka diberi
kesempatan untuk menghadiri lokakarya pendidikan orang tua?

H. Keterampilan Berkolaborasi dengan Profesional dan Orang Tua


1. Listening Skills (Keterampilan Mendengarkan)
Keterampilan yang dibutuhkan untuk mendengarkan secara efektif diuraikan di bawah
ini dan dibahas secara lebih rinci di tempat lain (lihat Hornby et al. 2003).
Keterampilan ini didukung oleh karya Carl Rogers yang menekankan pentingnya
pemahaman empatik, keaslian, dan rasa hormat dalam mengembangkan hubungan
fasilitatif dengan orang lain (Rogers 1980).
2. Attentiveness (Perhatian)

37
Mendengarkan secara efektif membutuhkan tingkat perhatian yang tinggi. Ini
melibatkan pemusatan perhatian fisik seseorang pada orang yang sedang didengarkan
dan mencakup beberapa komponen, yang diuraikan di bawah ini.
3. Eye Contact (Kontak mata)
Pentingnya bagi pendengar untuk mempertahankan kontak mata yang baik selama
wawancara tidak dapat terlalu ditekankan. Untuk situasi di mana pendengar merasa
tidak nyaman dengan kontak mata langsung, biasanya cukup memuaskan bagi mereka
untuk melihat mulut pembicara atau ujung hidung mereka.
4. Facing Squarely (Menghadapi Persegi)
Untuk mengomunikasikan perhatian, penting bagi pendengar untuk menghadap lawan
bicara secara tepat atau sedikit miring. Membalikkan tubuh seseorang dari orang lain
menunjukkan bahwa Anda tidak sepenuhnya memperhatikan mereka.
5. Leaning Forward (condong ke depan)
Mencondongkan tubuh sedikit ke depan, ke arah orang yang didengarkan,
mengomunikasikan perhatian. Atau, bersandar ke belakang memberi kesan bahwa
Anda tidak mendengarkan, jadi harus dihindari.
6. Open Posture (Postur Terbuka)
Menyilangkan kaki, atau lebih parah lagi menyilangkan tangan, saat mendengarkan
memberikan kesan kurangnya keterbukaan, seolah-olah ada pembatas antara
pendengar dan orang yang berbicara. Oleh karena itu, perhatian paling baik
dikomunikasikan oleh adopsi postur terbuka dengan kedua tangan dan kaki tidak
disilangkan.
7. Remaining Relaxed (Tetap Santai)
Sangat penting untuk bersikap santai saat mengadopsi postur penuh perhatian karena
jika postur yang diadopsi tidak nyaman, sulit untuk berkonsentrasi penuh pada apa
yang dikatakan. Oleh karena itu, penting untuk mengambil posisi penuh perhatian di
mana seseorang merasa santai, bahkan jika ini tidak benar-benar mengikuti panduan
yang dibahas di atas.
8. Appropriate Body Motion(Gerakan Tubuh yang Tepat)
Penting untuk menghindari gerakan yang mengganggu seperti melihat jam, mengutak-
atik pena, atau terus-menerus mengubah posisi. Selain itu, akan sangat membantu

38
untuk bergerak dengan tepat sebagai respons terhadap pembicara karena pendengar
yang duduk diam dengan sempurna bisa sangat mengganggu dan mengomunikasikan
kurangnya perhatian.
9. Non-distracting Environment (Lingkungan yang tidak mengganggu)
Ruangan yang digunakan harus setenang mungkin dengan pintu tetap tertutup untuk
menghindari gangguan. Panggilan telepon dapat ditunda dan tanda "rapat sedang
berlangsung" digantung di pintu. Di dalam ruangan, kursi yang digunakan harus
nyaman tanpa hambatan fisik, seperti meja atau meja, antara pembicara dan
profesional yang mendengarkan.
10. Distance (Jarak)
Perlu ada jarak yang sesuai antara pembicara dan pendengar. Jika jaraknya terlalu
besar atau terlalu kecil, maka pembicara akan merasa tidak nyaman dan ini akan
menghambat komunikasi. Jarak sekitar 3 kaki biasanya disarankan, tetapi ini dapat
bervariasi antar budaya, jadi yang terbaik adalah selalu mencari tanda-tanda
ketidaknyamanan atau kecemasan pada pembicara dan sesuaikan jaraknya.
11. Passive Listening (Mendengarkan Pasif)
Mendengarkan secara pasif melibatkan penggunaan tingkat perhatian yang tinggi yang
dikombinasikan dengan keterampilan lain. Ini adalah undangan untuk berbicara,
petunjuk nonverbal, pertanyaan terbuka, keheningan yang penuh perhatian,
menghindari hambatan komunikasi, dan meminimalkan mendengarkan diri sendiri.
12. Invitations to Talk (Undangan untuk Bicara)
Sebelum para profesional mulai mendengarkan, mereka perlu menyampaikan
undangan kepada orang tua atau praktisi untuk membicarakan keprihatinan mereka.
Misalnya, "Bagaimana saya bisa membantu Anda?" atau “Kamu tampak kesal.
Apakah Anda ingin membicarakannya?” Kata-kata khusus dari undangan perlu
disesuaikan dengan situasi dan orang-orang yang terlibat.
13. Nonverbal Clues (Petunjuk Nonverbal)
Ada berbagai suara atau kata-kata pendek yang sering dikenal sebagai "petunjuk
nonverbal", karena mereka memberi tahu pembicara bahwa Anda memperhatikannya
tanpa mengganggu alurnya. Misalnya, “Lanjutkan”, “benar”, “Huh Huh”, “Mm Mm”.
Sangat penting untuk menggunakan ini saat mendengarkan seseorang di telepon

39
karena pembicara tidak dapat mengukur perhatian pendengar melalui petunjuk visual
yang biasa.
14. Open Questions (Pertanyaan-pertanyaan terbuka)
Pertanyaan terbuka digunakan untuk klarifikasi atau untuk mendorong pembicara
melanjutkan. Misalnya, “Apa maksudmu?” atau “Apa yang terjadi kemudian?”
Pertanyaan tertutup, yang biasanya membutuhkan jawaban yang sangat singkat seperti
“ya” atau “tidak” dan memungkinkan pendengar untuk mengatur agenda, harus
dihindari.
15. Attentive Silence (Diam Penuh Perhatian)
Pendengar harus berhenti selama beberapa detik setelah setiap hal yang dikatakan
untuk memberi orang tua atau praktisi kesempatan untuk mengatakan lebih banyak
jika mereka mau. Selama keheningan, orang sering mengklarifikasi pikiran dan
perasaan mereka. Oleh karena itu, menggunakan keheningan yang penuh perhatian
adalah cara yang sangat efektif untuk mendorong orang untuk membuka diri dan terus
mengeksplorasi keprihatinan mereka.
16. Avoiding Communication Blocks (Menghindari Blok Komunikasi)
Jenis komentar tertentu cenderung menghambat proses komunikasi dan oleh karena
itu harus dihindari (Gordon 1970). Ketika digunakan mereka menghentikan orang dari
mengeksplorasi keprihatinan dan ide-ide mereka. Contoh umum adalah jaminan,
seperti mengatakan "Jangan khawatir, itu akan baik-baik saja." Jenis hambatan lain
yang sangat mengganggu orang tua adalah penyangkalan atau pengakuan yang salah
tentang perasaan, seperti menyarankan orang tua untuk “Melihat sisi baiknya” atau
memberi tahu mereka “Saya tahu persis bagaimana perasaan Anda.” Penghalang
komunikasi yang lebih mencolok adalah kritik, sarkasme, dan pemberian nasihat.
17. Avoiding Self-Listening (Menghindari Mendengarkan Sendiri)
Mendengarkan diri sendiri terjadi ketika orang tenggelam dalam pikiran mereka
sendiri daripada mendengarkan apa yang dikatakan orang lain. Ketika seorang
profesional mendengarkan orang tua atau guru dan mulai mendengarkan sendiri, ada
kemungkinan aspek penting dari apa yang dikatakan akan terlewatkan. Pendengar
mungkin kemudian menjadi bingung dan akan menjadi tidak dapat merespons secara
efektif kepada orang tersebut, yang karenanya akan menyadari ketidakmampuan

40
mendengarkan dan cenderung menutup mulut. Inilah sebabnya mengapa sangat
penting bahwa, ketika para profesional mendengarkan orang tua atau praktisi lain,
mereka dapat mengurangi mendengarkan diri sendiri seminimal mungkin.

I. Keterampilan Lanjutan untuk Praktik Profesional dalam Pendidikan Khusus Inklusif


1. Facilitating Skills (Keterampilan Memfasilitasi)
Profesional, seperti guru spesialis dan psikolog, yang bekerja di bidang pendidikan
khusus inklusif yang menantang harus menjadi individu fasilitatif yang mampu
bergerak lebih dari sekadar membantu orang tua dan profesional lainnya untuk
mengatasi kesulitan yang mereka hadapi dalam mendidik anak-anak dengan SEND.
Mereka harus mampu memfasilitasi perkembangan orang tua dan kolega sebagai
manusia, untuk membantu mereka, tidak hanya untuk memenuhi peran pengasuhan
atau profesional mereka secara efektif, tetapi juga untuk memenuhi potensi pribadi
mereka semaksimal mungkin.
2. Being an Effective Person (Menjadi Orang yang Efektif)
Agar berfungsi secara efektif, profesional harus memiliki enam komponen kesehatan
psikologis tingkat tinggi yang disarankan oleh Cole (1982). Pertama, mereka harus
memiliki harga diri yang tinggi. Artinya, mereka harus memiliki keyakinan pada
kemampuan mereka sendiri dan fokus pada kekuatan mereka sambil menerima
kebutuhan untuk mengatasi kelemahan mereka. Kedua, mereka perlu memiliki
seperangkat nilai yang jelas yang mencakup panduan filosofis atau spiritual untuk
perilaku mereka. Ketiga, mereka harus memiliki keterampilan manajemen diri yang
baik sehingga mereka dapat merencanakan tindakan, memilih dari berbagai pilihan,
dan cukup fleksibel untuk beradaptasi dengan keadaan yang berubah dengan cepat.
Keempat, mereka harus mampu menerima tanggung jawab pribadi atas tindakan
mereka dan tidak berusaha menyalahkan orang lain atas kesalahan mereka. Kelima,
mereka perlu mengembangkan kompetensi tingkat tinggi dalam berbagai keterampilan
hidup termasuk keterampilan pribadi, interpersonal, sosial, dan kejuruan.
3. Habits of Highly Effective People (Kebiasaan Orang yang Sangat Efektif)
Covey (2004) telah mengusulkan bahwa ada delapan kebiasaan utama yang menjadi
ciri orang yang sangat efektif dan oleh karena itu perlu dikembangkan agar kita

41
menjadi lebih efektif dalam kehidupan pribadi dan profesional kita. Ini secara singkat
diuraikan di bawah ini. Jadilah Proaktif (Be Proactive), Mulailah dengan Akhir dalam
Pikiran (Begin with the End in Mind), Utamakan Yang Utama (Put First Things First),
Berfikir saling menguntungkan (Think Win-Win), Berusaha Memahami, Kemudian
Dipahami (Seek to Understand, Then to Be Understood), Memfasilitasi Kerjasama
Kreatif (Facilitate Creative Cooperation), Pertajam diri pada mental, fisik, sosial,
emosional dan spiritual (Sharpen the Saw), Menemukan jati diri dan menginspirasi
orang lain (Finding Your Voice).
4. Mentoring, Empowering, and Facilitating Skills (Keterampilan Mentoring,
Memberdayakan, dan Memfasilitasi)
Profesional yang berfungsi pada tingkat kesehatan psikologis dan aktualisasi diri yang
tinggi dan orang yang sangat efektif mampu bertindak sebagai mentor bagi orang lain
dan bekerja dengan mereka dengan cara yang memberdayakan dan memfasilitasi.
5. Stress Management Skills (Keterampilan Manajemen Stres)
a. The Need for Managing Stress (Kebutuhan untuk Mengelola Stres)
Tujuan dari bagian ini adalah untuk membantu para profesional yang bekerja di
pendidikan khusus inklusif untuk mengelola stres secara lebih efektif dan dengan
demikian menghindari “kelelahan”. Seperti yang disarankan Covey (2004), penting
untuk terus mengisi ulang baterai kita jika kemampuan kita untuk memberi diri
tidak berkurang. Selain itu, jika para profesional mengembangkan keterampilan
manajemen stres dan mampu mengelola stres mereka sendiri dengan baik, mereka
juga akan dapat mengajarkan teknik manajemen stres kepada rekan kerja mereka
dan kepada orang tua dari anak-anak penderita ABK yang bekerja dengan mereka.
b. Effects of Stress (Efek Stres)
Stres dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai cara. Ketika orang-orang
berada di bawah tekanan yang parah, itu cenderung pertama-tama mempengaruhi
area kelemahan fisik atau psikologis yang dimiliki seseorang. Misalnya, tanda
pertama yang saya rasakan bahwa stres semakin parah adalah ketika saya mulai
mengalami kegagapan ringan yang saya alami sebagai seorang anak. Dengan orang
lain, tanda-tanda terlalu banyak stres mungkin masalah perut atau kesulitan tidur di
malam hari. Beberapa orang mengalami gejala fisik yang tidak biasa dan terkadang

42
menakutkan seperti mati rasa pada anggota badan atau sensasi yang tiba-tiba
menjadi lebih berat dan lebih gemuk.
c. Model Manajemen Stres
Orang-orang sangat berbeda dalam cara mereka mengatasi tingkat stres yang tinggi.
Apa yang berhasil untuk beberapa orang tidak bekerja untuk orang lain. Oleh karena
itu, model untuk manajemen stres, yang disajikan pada Gambar 7 dan dibahas di
bawah, menguraikan berbagai strategi untuk mengatasi stres dari mana orang dapat
memilih teknik khusus yang paling cocok untuk diri mereka sendiri.

Gambar 7. Model Stres Management

1. Interpersonal Responses (Respons Antarpribadi); Bagi kebanyakan orang, sebagian besar


stres yang mereka alami berasal dari hubungan mereka dengan orang lain, terutama rekan
kerja dan anggota keluarga. Bagi orang tua dari anak-anak dengan ABK, para profesional
yang harus berinteraksi dengan mereka untuk mendapatkan layanan terbaik bagi anak-anak
mereka juga dapat menjadi sumber utama stres.
2. Emotional Responses (Respons Emosional); Keterampilan yang berguna untuk mengatasi
stres adalah keterampilan yang didasarkan pada teknik pemusatan, pernapasan, dan
relaksasi. Hipnotisme, pijat, dan berbagai bentuk meditasi melibatkan kombinasi dari
ketiga jenis teknik ini dan telah digunakan selama berabad-abad untuk membantu orang
mengatasi stres.
3. Cognitive Responses (Tanggapan Kognitif); Telah ditunjukkan bahwa reaksi emosional
dan fisiologis kita terhadap peristiwa dipengaruhi oleh cara kita memandang peristiwa ini

43
(Hornby 1990). Lebih khusus lagi, hal-hal yang kita katakan pada diri sendiri tentang cara
kita dan orang lain harus bertindaklah yang sering menimbulkan stres yang tidak perlu.
4. Physical Responses (Respon Fisik); Merawat diri sendiri secara fisik adalah aspek penting
dari manajemen stres. Mendapatkan tidur dan istirahat yang cukup sangat penting. Saya
telah memperhatikan bahwa ketika saya tidak mendapatkan setengah jam istirahat pada
waktu makan siang, saya lebih mungkin untuk membuat kesalahan di sore hari dan
biasanya hancur pada akhir hari. Memiliki pola makan yang sehat, makan teratur, dan
menghindari penyalahgunaan obat-obatan seperti alkohol, tembakau, teh, dan kopi adalah
aspek penting lain dari manajemen stres yang efektif.
5. Task-Related Responses (Respons Terkait Tugas); Komponen kunci untuk mengatasi stres
bagi orang sibuk adalah mengatur waktu seefisien mungkin. Elemen penting dari
manajemen waktu adalah menetapkan prioritas dan merencanakan penggunaan waktu
Anda dengan cermat. Covey (2004) telah menghasilkan lembar kerja mingguan yang
berguna untuk melakukan hal ini.
6. Organizational Responses (Respons Organisasi); Sebagian besar stres yang dialami para
profesional disebabkan oleh faktor organisasi di tempat kerja mereka, seperti komunikasi
yang buruk antara administrator dan staf, intimidasi yang dilembagakan, atau kepala
departemen yang tidak kompeten. Tentu saja, strategi jangka panjang yang paling efektif
untuk mengatasi kesulitan seperti itu adalah dengan membawa perubahan konstruktif
dengan melibatkan diri sebanyak mungkin dalam pengelolaan tempat kerja Anda.

J. Mengembangkan Sistem Pendidikan Luar Biasa Inklusif yang Komprehensif


1.1 Introduction (pengantar)
a. Definitions (definisi)
Pendidikan luar biasa inklusif terdiri dari sintesis filosofi dan praktik pendidikan luar
biasa dan pendidikan inklusif. Ini melibatkan mendidik anak-anak dengan SEND dalam
pengaturan paling inklusif di mana kebutuhan pendidikan khusus mereka dapat dipenuhi
secara efektif, dengan tujuan menyeluruh untuk memfasilitasi tingkat inklusi tertinggi
dalam masyarakat pasca sekolah untuk semua anak muda dengan ABK. Pendidikan khusus
inklusif juga mencakup proses pengorganisasian dan pengembangan seluruh sekolah yang
sedang berlangsung untuk membantu sekolah-sekolah umum untuk secara efektif mendidik

44
sebanyak mungkin anak dengan ABK. Ini termasuk memastikan bahwa sekolah luar biasa,
ruang sumber, dan guru kelas khusus dapat membantu sekolah umum dalam menerapkan
pendidikan yang efektif untuk anak-anak dengan ABK.
b. Rights (hak)
Meskipun jelas bahwa hak asasi mereka memungkinkan anak-anak dengan ABK
dididik bersama teman sebayanya, bagi sebagian dari mereka, ini mungkin bukan pilihan
terbaik. Oleh karena itu, pendidikan khusus inklusif mempertimbangkan hak atas
pendidikan yang layak yang memenuhi kebutuhan khusus anak sebagai prioritas. Ini
dianggap lebih penting daripada hak untuk dididik bersama rekan-rekan arus utama
mereka, yang harus diperhitungkan, tetapi dalam analisis akhir harus digantikan oleh hak
untuk menerima pendidikan yang layak.
c. Labeling/Identification (Pelabelan/Identifikasi)
Pendidikan khusus inklusif (Inclusive special education) menganggap identifikasi
SEND dan pengaturan prosedur seperti IEP dan rencana transisi sebagai komponen penting
dalam menyediakan pendidikan yang efektif untuk anak-anak dengan ABK. Oleh karena
itu, ini adalah fitur utama dari pendidikan khusus inklusif.
d. Peers (teman sebaya)
Pendidikan khusus inklusif mengakui bahwa banyak anak dengan ABK yang lebih
parah lebih nyaman dengan teman sebayanya yang memiliki minat, kesulitan, kemampuan,
dan kecacatan yang sama dengan dirinya sendiri, sehingga hal ini harus diperhitungkan saat
mempertimbangkan penempatan pendidikan. Dengan cara ini, rasa memiliki dan
diikutsertakan dalam komunitas belajar ditekankan, baik anak-anak dengan ABK dididik
di kelas khusus, ruang sumber, sekolah khusus, atau kelas umum.
e. Etiology (etiologi)
Pendidikan khusus inklusif mengakui peran faktor fisiologis, psikologis, dan sosial
dalam etiologi ABK. Model psikososial yang melibatkan pandangan ekologis tentang
etiologi ABK dan intervensi yang diperlukan untuk mengatasi hal ini merupakan
komponen penting dari pendidikan khusus inklusif.

1.2 Intervention Models (model intervensi)

45
Pendidikan khusus inklusif mempromosikan penggunaan intervensi pendidikan khusus
yang telah dipengaruhi oleh berbagai model perawatan medis, psikologis, dan lainnya. Fokus pada
praktik berbasis bukti merupakan aspek penting dari pendidikan khusus inklusif. Ini melibatkan
pemilihan dan penggunaan intervensi yang efektivitasnya didukung oleh basis bukti penelitian
yang kuat.
a. Goals (sasaran)
Kejelasan tentang tujuan pendidikan merupakan bagian penting dari pendidikan khusus
inklusif. Fokus pendidikan khusus inklusif adalah pada tujuan pendidikan yang lebih luas,
seperti yang berkaitan dengan pengembangan kecakapan hidup, keterampilan vokasional, dan
keterampilan sosial, di samping keterampilan akademik seperti literasi dan numerasi. Tujuan
utama pendidikan untuk anak-anak dengan ABK, seperti halnya semua anak, adalah untuk
menghasilkan warga negara yang bahagia dan produktif yang termasuk dalam komunitas
mereka sebanyak mungkin dan memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi
tuntutan sosial dan komunikasi serta harapan kehidupan dewasa.
b. Curricula (kurikulum)
Pendidikan khusus inklusif menganggap bahwa prioritas bagi anak-anak dengan SEND harus
memiliki akses ke kurikulum yang sesuai untuk mereka selama pendidikan mereka. Isu penting
dalam pendidikan khusus inklusif adalah kapan harus memindahkan anak dari kurikulum
akademik dan perkembangan, yang berfokus pada kebutuhan sebagian besar anak, ke
kurikulum fungsional yang membahas kebutuhan pendidikan khusus anak-anak dengan SEND.
c. Reality (realitas)
Pendidikan luar biasa inklusif mengakui kenyataan saat ini di sekolah umum, bahwa banyak
guru merasa tidak kompeten untuk mengajar anak-anak dengan ABK karena masukan yang
tidak memadai untuk mengajar anak-anak dengan ABK dan materi dan sumber daya manusia
yang tidak memadai, khususnya staf pendukung spesialis. Oleh karena itu, komponen kunci
dari pendidikan khusus inklusif adalah penyediaan pelatihan yang efektif dan dukungan untuk
guru kelas utama.
d. Finance (keuangan)
Fokus pendidikan khusus inklusi adalah untuk membekali kaum muda yang memiliki ABK
dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang mereka butuhkan untuk mencapai
kemandirian dan kesuksesan sebanyak mungkin setelah mereka meninggalkan sekolah. Oleh

46
karena itu, fokusnya adalah pada penyediaan dana untuk memastikan bahwa semua anak
dengan ABK, apa pun jenis dan tingkat keparahannya, memiliki penyediaan pendidikan yang
didanai secara memadai untuk memastikan perkembangannya yang optimal.
e. Means and Ends (sarana dan tujuan)
Pendidikan khusus inklusif mengakui bahwa inklusi dalam masyarakat setelah meninggalkan
sekolah adalah tujuan terpenting yang harus dicari oleh para pendidik. Sedangkan inklusi di
ruang kelas sekolah umum akan mengarah pada tujuan ini untuk beberapa anak dengan ABK,
untuk yang lain penempatan di ruang sumber, kelas khusus, atau sekolah luar biasa mungkin
merupakan cara terbaik untuk mengakhiri inklusi di masyarakat ketika mereka meninggalkan
sekolah.
f. Research Evidence (bukti penelitian)
Pendidikan luar biasa inklusif mendukung perlunya penelitian intensif untuk memberikan bukti
mengenai kebijakan dan praktik pendidikan khusus inklusif. Penelitian tersebut perlu fokus
pada evaluasi efektivitas intervensi, program, dan penempatan pendidikan. Penelitian juga perlu
dilakukan pada pasca-sekolah dan tindak lanjut jangka panjang dari hasil untuk anak-anak
dengan ABK yang mengalami sekolah umum atau sekolah khusus atau kombinasi keduanya
selama waktu mereka di sekolah.

1.3 Rationale for Inclusive Special Education (Dasar Pemikiran Pendidikan Khusus Inklusif)
Sebuah teori pendidikan khusus inklusi yang terdiri dari sintesis filosofi dan nilai-nilai
pendidikan inklusi beserta strategi dan intervensi yang digunakan dalam pendidikan luar biasa
telah telah disajikan. Pendekatan baru pendidikan khusus inklusif memberikan pedoman untuk
kebijakan, prosedur, dan strategi pengajaran berbasis bukti yang akan mendukung penyampaian
pendidikan yang efektif untuk semua anak dengan ABK. Tujuan dari pendekatan baru ini adalah
untuk memastikan bahwa semua anak dengan ABK dididik secara efektif di fasilitas khusus atau
umum, di mana pun yang paling sesuai, dari anak usia dini hingga pendidikan sekolah menengah.

1.4 Implementing Best Practices from Inclusive Education (Menerapkan Praktik Terbaik dari
Pendidikan Inklusi)
Pendidikan khusus inklusif melibatkan penerapan praktik yang telah membentuk basis
bukti penelitian yang kuat untuk mendukung pendidikan inklusif yang efektif dan oleh karena itu

47
berfokus pada mendorong penerimaan keragaman dan penggunaan pendekatan berbasis kekuatan.
Strategi penilaian dan IEP digunakan untuk fokus pada kekuatan siswa dan menginformasikan
pengajaran. Sistem yang mapan termasuk Respon terhadap Intervensi, Desain Universal untuk
Pembelajaran, dan Intervensi dan Dukungan Perilaku Positif digunakan untuk mengelola perilaku
dan memfasilitasi pembelajaran. Intervensi yang melibatkan teknologi bantu dan instruksional,
tutor sebaya, pembelajaran kooperatif, dan pengajaran strategi metakognitif digunakan.

1.5 Continuum of Placement Options from Mainstream Classes to Special Schools (Pilihan
Penempatan berkelanjutan dari Kelas utama ke Sekolah Luar Biasa)
Pendidikan khusus inklusif mengakui bahwa meskipun mayoritas anak dengan SEND
dapat dididik secara efektif di kelas umum, ada sebagian kecil anak dengan tingkat SEND yang
lebih tinggi yang mendapat manfaat lebih banyak dari dididik di ruang sumber, kelas khusus, atau
sekolah khusus. Oleh karena itu, perlu adanya pilihan penempatan kontinum, dari kelas umum
hingga sekolah luar biasa, tersedia. Kesinambungan seperti itu, sering disebut sebagai cascades of
services, telah menjadi kenyataan dari penyediaan pendidikan khusus di sebagian besar negara
selama bertahun-tahun.

1.6 Focus on Effectively Including As Many Children As Possible in Mainstream Schools


(Fokus untuk Secara Efektif Memasukkan Anak Sebanyak Mungkin di Sekolah Umum)
Dalam pendidikan khusus inklusif, ada fokus utama untuk mendidik sebanyak mungkin
anak secara efektif di sekolah umum. Untuk mencapai hal ini, penting bagi guru sekolah umum
untuk memiliki pengetahuan yang baik tentang berbagai jenis ABK dan strategi pengajaran praktis
yang diperlukan untuk mengajar mereka secara efektif di kelas umum.

1.7 Close Collaboration Between Mainstream and Special Schools and Classes (Kolaborasi
yang erat antara Sekolah dan Kelas Utama dan Luar Biasa)
Dalam pendidikan luar biasa inklusif, ada dua peran sekolah luar biasa. Pertama, mereka
dapat memberikan pendidikan khusus untuk anak-anak yang memiliki tingkat ABK yang lebih
parah yang kebutuhannya tidak dapat dipenuhi secara efektif di sekolah umum. Kedua, mereka
dapat memberikan bimbingan dan dukungan untuk membantu sekolah umum dalam mendidik
anak-anak dengan tingkat SEND yang lebih moderat secara efektif. Sekolah luar biasa ditempatkan

48
dengan baik untuk memenuhi aspek kedua dari peran mereka karena mereka memiliki staf spesialis
yang memiliki keahlian dalam menangani tingkat ABK yang lebih tinggi yang biasanya tidak
dimiliki sekolah umum.

1.8 Education in the Most Appropriate Setting, Through All Stages of a Child’s Education
(Pendidikan di Tempat yang Paling Tepat, Melalui Semua Tahapan Pendidikan Anak)
Konsekuensi penting dari adanya rangkaian pilihan penempatan dari kelas umum ke
sekolah luar biasa adalah bahwa dapat terjadi perpindahan di antara berbagai penempatan untuk
memastikan bahwa pendidikan dalam pengaturan yang paling tepat dapat diberikan di semua tahap
sekolah anak. Anak-anak harus dapat berpindah di antara opsi penempatan saat ini diperlukan
untuk memastikan bahwa mereka memiliki program yang sesuai sepanjang waktu mereka dalam
pendidikan.

49
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan masalah dan Study Literatur, maka penulis dapat menyimpulkan
sebagai berikut :
Keseteraan gender bukan berarti mempertentangkan antara laki-laki dan perempuan. Akan
tetapi lebih dimaknai pada upaya membangun relasi dan kesempatan yang sama antara laki-laki
dan perempuan. Jalur pendidikan melalui kurikulum berbasis gender adalah upaya untuk
mewujudkan hal dimaksud. Kurikulum dimaksud hanya dapat terlaksana dengan dukungan
kebijakan yang dapat diimplementasikan dalam bentuk praktis agar peserta didik dapat memahami
secara mendalam tentang pentingnya kesetaraan gender.
Secara signifikan mengalami penyimpangan baik fisik, mental, intelektual, sosial,
emosional dibandingkan dengan anak lain seusianya sehingga memerlukan pendidikan khusus;
Pendidikan inklusif adalah layanan pendidikan yangmengupayakan semua Anak berkebutuhan
khusus adalah anak yang dalam proses perkembangannya anak termasuk anak berkebutuhan
khusus dilayani sesuai dengan kemampuan dankebutuhannya di sekolah terdekat dalam kelas biasa
bersama teman sebayanya dengan memperhatikan perbedaannya; Ciri-ciri sekolah inklusif:
Karena di dalamnya terdiri dari bermacam ragam anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, maka
sekolah harus memperhatikan aksesibilitasfisik dan aksesibilitas nonfisik supaya layanan terhadap
semua anak dapat maksimal; Dalam pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus di kelas
inklusif, guru harus memperhatikan prinsip-prinsip umum pembelajaran dan juga prinsip-prinsip
khusus pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus yang sesuai dengan kelainan anak;

B. Saran
Mengingat bahwa ujung tombak pelaksanaan pendidikan adalah guru yang terlibat
langsung dalam upaya pembelajaran anak didik, maka berikut ini penulis menyampaikan beberapa
masukan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus di sekolah inklusif.
1. Guru reguler di sekolah inklusif diharapkan betul-betul memahami karakteristik dari masing-
masing anak, termasuk anak berkebutuhan khusus; dan disarankan agar mereka meningkatkan

50
kemampuan dalam mendidik anak berkebutuhan khusus sebagai bagian dari kelas inklusif,
misalnya dengan membaca buku, penataran, pelatihan, dsb.
2. Guru pembimbing khusus diharapkan dapat memberikan bantuan, bimbingan atau sharing
pengalaman kepada guru- guru reguler tentang bagaimana cara memberikan layanan
pendidikan.
3. Agar sekolah dapat diakses dengan mudah oleh semua siswa, sekolah hendaknya
memperhatikan aksesibilitas fisik dan aksesibilitas nonfisik.

51
DAFTAR PUSTAKA

Anja Heikkinen, 2000. Gender Bias in Nordic Vocational Education, Schweizerische Zeitschrift
für Bildungswissenschaften 2/2000.

Anwar. 2004. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education). Alfabeta, Bandung.

Asnah, M. I. B. 2007. Kecakapan Hidup bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan.

Beirne-Smith, Ittenbach & Patton. 2002. Mental Retardation, Sixth Edition. New Jersey: Pearson
Education, Inc.
Chaniago dan Sirodjudin. 1981. Pendidikan Keterampilan Bagi Anak Tunagrahita. Diambil dari :
http://wwwpapahmamah.com/showthread.php?t.
Dryden & Vos. 1999. Revolusi Cara Belajar (bagian I). Bandung: Kaifa.

Efendi, M. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.


Eugenia GANEA, Valentina BODRUG-LUNGU, 2018. Addressing Inequality in Vocational/
Technical Education by Eliminating Gender Bias, Revista Românească pentru Educaţie
Multidimensională Volume 10, Issue 4, pages: 136-155.

Gargiulo, R.M. 2006. Special Education In Contemporary Society, An Introduction to


Exceptionality, second condition. Singapore: Thomson Wadsworth.
Hallahan dan Kauffman. 1991. Exceptional Children. Boston: Allyn and Bacon.
Helen Colley , David James , Kim Diment & Michael Tedder (2003) Learning as becoming in
vocational education and training: class, gender and the role of vocational habitus, Journal
of Vocational Education and Training, 55:4, 471-498, DOI: 10.1080/13636820300200240.
https://www.scn-crest.org/id/news/latest-news/112-mengapa-indonesia-membutuhkan-undang-
undang-kesetaraan-dan-keadilan-gender.html.

Indita, K. 2012. Pelaksanaan Pembelajaran Ketrampilan Memasak Bagi Anak Tunagrahita


MampuDidik SLB-C Dharma Rena Ring Putra II. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.

Ishartiwi. 2017. Pengembangan Media Pembelajaran Mobile Learning Berbasis Android Mata
Pelajaran IPA untuk Siswa SMP”. Jurnal Refleksi Edukatika, Vol. 8(1), pp. 80– 88.

52
J David Smith. 2006. Inklusi Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung: Penerbit Nuansa
Maria Jacinta Arquisolaa, Iseu Adywianti Muanarb,2019. Role of family influence, gender, and
entrepreneurial education on Indonesian vocational students becoming entrepreneurs, IJRBS
VOL 8 NO 5 ISSN: 2147-4478.
Melina Heiniger, Christian Imdorf, 2018. The role of vocational education in the transmission
of gender segregation from education to employment: Switzerland and Bulgaria compared,
Journal for Labour Market Research 52:15 https://doi.org/10.1186/s12651-018-0248-6.

Modul Belajar Mandiri Bidang Pendidikan Luar Biasa. TIM GTK DIKDAS 2021.
Mosteiro García, M.J. y Porto Castro, A.M. (2017). Análisis de los estereotipos de género en
alumnado de formación profesional: diferencias según sex, edad y grado. Revista de
Investigación Educativa, 35(1), 151-165 DOI: http://dx.doi.org/10.6018/rie.35.1.257191.

Mufarrokah, Anisatul. 2009. Strategi Belajar Mengajar. Yogyakarta: Penerbit Teras.


Ninik Rahayu, 2012. Kesetaraan Gender Dalam Aturan Hukum Dan Implementasinya di
Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 1

Pratiwi, Ratih P. 2013. Kiat Sukses Mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Ar-Rizz
Media.
Simone R Haasler, 2020. The German system of vocational education and training: challenges of
gender, academisation and the integration of low-achieving youth. Transfer, Vol. 26(1) 57–
71.

Sudirman, N. dan Tabrani, A. 1987. Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Karya

Suparno. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.

53

Anda mungkin juga menyukai