Anda di halaman 1dari 42

KAIDAH PRINSIP PENDIDIKAN FORMAL, NON FORMAL

DAN INFORMAL PADA PENDIDIKAN VOKASI

Makalah

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang dibina oleh:
Prof. Dr. Ir. Djoko Kustono, M.Pd.

Oleh:
SULISTIANINGSIH AS., M.Pd. NIM 210551947604
RACHMAT FARICH NIM 210551947603

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S3 PENDIDIKAN KEJURUAN
November 2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI ............................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2. Topik Bahasan ............................................................................................ 2
1.3 Tujuan ......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
2.1. Prinsip Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal .............................. 3
2.2. Pendidikan Formal ..................................................................................... 5
2.2.1 Pendidikan Formal SMK .................................................................. 5
2.2.2 Pendidikan Formal Pendidikan Tinggi Vokasi ................................. 10
2.3. Pendidikan Non Formal .............................................................................. 12
2.3.1 Filsafat dan Teori Pendidikan Non Formal ....................................... 12
2.3.2 Lembaga Kursus dan Pelatihan ......................................................... 19
2.3.3 Balai Latihan Kerja ........................................................................... 21
2.4. Kaidah Prinsip Pendidikan Informal Pada Pendidikan Vokasi .................. 25
2.4.1 Pengertian Pendidikan Informal ........................................................ 25
2.4.2 Pentingnya Pendidikan Informal ....................................................... 26
2.4.3 Fungsi Peranan Pendidikan Informal dan Pendidikan Vokasi .......... 27
2.4.4 Peranan Pendidikan Informal di Keluarga ........................................ 28
2.4.5 Karakteristik Pendidikan Informal .................................................... 30
2.4.6 Jenis dan Contoh Pendidikan Informal ............................................. 30
2.4.7 Perbedaan Antara Pendidikan Informal dan Non Formal ................. 30
2.4.8 Masalah Pendidikan Informal ........................................................... 31
2.4.9 Tantangan Pendidikan Informal di Era Global ................................. 32
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 35
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 35
3.2 Saran ................................................................................................ 35
DAFTAR RUJUKAN ................................................................................................. 36

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kewenangan Penyelenggaraan Program Pendidikan menurut


Jenis Pendidikan ....................................................................................... 11
Gambar 2. Link and Match ......................................................................................... 12

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Contoh Sub Standar Kompetensi Lulusan dan Ruang Lingkup


Materi SMK/MAK ........................................................................................ 6
Tabel 2. Struktur Kurikulum SMK Pusat Keunggulan ............................................... 7
Tabel 3. Daftar Kejuruan dan Sub Kejuruan BLK ...................................................... 23
Tabel 4. Perbedaan pendidikan nonformal dan informal ............................................ 31
Tabel 5. Scope, Content, and Delivery of Education and Training in Traditional
and Lifelong Learning Models ...................................................................... 33

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Teknologi dan dunia kerja terus berubah semakin cepat. Tentu dunia pendidikan juga
harus lentur mengikutinya. Kebijakan Merdeka Belajar adalah respon terhadap tuntutan
perubahan itu. Satuan pendidikan diberi otonomi dan ruang yang lebih luas untuk merancang
layanan pendidikannya agar sesuai dengan potensi dan peluang yang dimiliki serta link and
match dengan dinamika standar kecakapan okupasi (SKO) yang dibutuhkan dunia kerja.
Karena itu, perubahan dan inovasi pembelajaran harus dilahirkan dari bawah (bottom up),
yakni dari setiap satuan pendidikan untuk me-“moncer”-kan ragam keunikannya.
Perkembangan teknologi saat ini menuntut tersedianya tenaga kerja yang kompeten
dan handal di berbagai bidang agar sebuah negara mampu bertahan dan berperan dalam era
yang penuh persaingan dan sekaligus membuka dan memanfaatkan setiap peluang. Untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, strategi yang dianggap efektif adalah
dengan melakukan industrialisasi. Industrialisasi, pada derajat tertentu akan
mengimplikasikan pergeseran proses produksi dari labouring menjadi manufacturing dalam
arti tenaga kerja manusia tergantikan oleh hard technology. Ini berarti industrialisasi
membutuhkan tenaga kerja terampil yang tidak hanya mampu mengoperasikan teknologi
tersebut, melainkan juga memeliharanya. Industrialisasi juga berpotensi menciptakan
pengangguran jika pergeseran proses produksi tersebut tidak dibarengi dengan perubahan
orientasi pendidikan dari akademis menjadi vokasional. Kondisi di atas menuntut dunia
pendidikan dan pasar kerja dirancang secara terintegrasi dengan memperhatikan tujuan dan
kebutuhan dunia kerja. Dengan demikian perlu dirancang salah satu bentuk penyelenggaraan
pendidikan yang berorientasi dunia kerja.
Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional mengatur bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Sebagai bagian
dari sistem pendidikan nasional. “Satuan pendidikan vokasi yang dibutuhkan di masa depan
bukan yang memiliki infrastruktur paling megah, namun yang punya kemerdekaan, kemauan,
dan kemampuan untuk terus lincah belajar beradaptasi (learning school) menghasilkan
inovasi layanan pendidikan dan lulusan yang relevan untuk memenuhi kebutuhan yang selalu
berubah.

1
Berdasarkan PP No.17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan, Pendidikan kejuruan dapat berbentuk formal, non formal, dan informal.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Dalam bentuk pendidikan
formal pendidikan menengah kejuruan dilaksanakan di SMK dan MAK. Dalam bentuk non
formal pendidikan kejuruan dilaksanakan dalam kegiatan kursus-kursus, workshop, atau
pelatihan keterampilan. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Kelompok belajar adalah
satuan pendidikan nonformal yang terdiri atas sekumpulan warga masyarakat yang saling
membelajarkan pengalaman dan kemampuan dalam rangka meningkatkan mutu dan taraf
kehidupannya. Pusat kegiatan belajar masyarakat adalah satuan pendidikan nonformal yang
menyelenggarakan berbagai kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan masyarakat atas dasar
prakarsa dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Secara informal pendidikan kejuruan dapat berlangsung di keluarga dan di
masyarakat. Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat diterima di SMA, MA, SMK,
MAK, atau bentuk lain yang sederajat sejak awal kelas 10 (sepuluh) setelah lulus ujian
kesetaraan Paket B. Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat diterima di SMA, MA,
SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat sesudah awal kelas 10 (sepuluh) setelah: a) lulus
ujian kesetaraan Paket B; dan b) lulus tes kelayakan dan penempatan yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan formal yang bersangkutan.

1.2 Topik Bahasan


Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi topik bahasan sebagai
berikut:
a. Kaidah Prinsip Pendidikan Formal Pada Pendidikan Vokasi
b. Kaidah Prinsip Pendidikan Non Formal Pada Pendidikan Vokasi
c. Kaidah Prinsip Pendidikan Informal Pada Pendidikan Vokasi

1.3 Tujuan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah:
a. Menjelaskan Kaidah Prinsip Pendidikan Formal Pada Pendidikan Vokasi
b. Menjelaskan Kaidah Prinsip Pendidikan Non Formal Pada Pendidikan Vokasi
c. Menjelaskan Kaidah Prinsip Pendidikan Informal Pada Pendidikan Vokasi

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Prinsip Pendidikan Formal, Non-Formal, dan Informal


Pendidikan dipandang sebagai kunci pembangunan berkelanjutan. Perdebatan tentang
pertumbuhan dan daya saing menyoroti peran sentral yang diberikan pada sistem pendidikan
dan pendidikan, pembelajaran formal, non-formal dan informal untuk memastikan jalur
pembangunan ekonomi dan kohesi atau kesesuaian dan ketersambungan sosial yang
berkelanjutan. Pendidikan dituntut untuk mempersiapkan peserta didik untuk berintegrasi
secara efektif dalam lingkungan sosioal-profesional, untuk memiliki delapan kompetensi
utama yang akan meyakinkan dunia usaha atau industri. Menurut pendapat para pakar,
keberhasilan di pasar tenaga kerja, adalah salah satu argumen kunci yang mendukung
pentingnya pembelajaran formal, berkorelasi dengan pembelajaran nonformal dan informal
(Tudor, 2013).
Era keterbukaan dan persaingan bebas ditandai dengan memudarnya sekat-sekat antar
negara termasuk dengan pembentukan berbagai kesepakatan pembukaan pasar regional
dalam berbagai ukuran cakupan kawasan dari sekelompok negara bertetangga, satu benua,
dan lintas benua seperti MEA, AFTA, dan APEC. Pada era tersebut, jenis pekerjaan
seseorang berubah dengan cepat sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan penyediaan tenaga
kerja yang semakin mengglobal serta pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih.
Pekerjaan yang semula dilakukan secara manual dengan mengandalkan tenaga manusia telah
digantikan oleh mesin dan teknologi informasi. Beberapa jenis pekerjaan yang ada saat ini,
perlahan akan hilang pada 10 tahun ke depan. Diperkirakan 35% keterampilan dasar pada
dunia kerja akan berubah pada tahun 2020, dan hampir 2 miliar pekerja berisiko kehilangan
pekerjaan. Karena itu, pendidikan dan pelatihan seharusnya dilakukan dengan memberi
banyak pilihan keterampilan yang sesuai dengan minat peserta didik dan perkembangan
kebutuhan pasar kerja sehingga memungkinkan pembelajaran sepanjang hayat (life-long
learning).
Agar peserta didik mampu bersaing dalam karir pada masa depan dan menjadi aset
pembangunan, pendidikan termasuk pendidikan vokasi formal dan nonformal hendaknya
dikelola dalam konteks pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan dan pelatihan vokasi pada
jenjang pendidikan menengah dan tinggi perlu membekali lulusannya dengan berbagai
kecakapan yang lebih umum, yaitu kecakapan hidup dan berkarier, kecakapan dalam belajar
dan berinovasi, serta kecakapan memanfaatkan informasi, media, dan teknologi. Kecakapan

3
hidup dan berkarier (life and career skills) memiliki komponen, yakni (1) fleksibilitas dan
adaptabilitas, (2) memiliki inisiatif dan dapat mengatur diri sendiri, (3) interaksi sosial dan
antar-budaya, (4) produktivitas dan akuntabilitas mengelola proyek dan menghasilkan
produk, dan (5) kepemimpinan dan tanggung jawab. Selanjutnya, kecakapan dalam belajar
dan berinovasi (learning and innovation skills) memiliki komponen (1) berpikir kritis dan
mengatasi masalah, (2) kecakapan berkomunikasi dan berkolaborasi, dan (3) kreativitas dan
inovasi. Sementara itu, kecakapan media informasi dan teknologi (information media and
technology skills) memiliki komponen (1) literasi informasi, (2) literasi media, dan (3) literasi
TIK. Pembekalan kecakapan semacam ini dikemas dengan istilah Keterampilan Abad XXI
(21st Century Skills).
Pendidikan vokasi merupakan bagian penting dari sistem pendidikan nasional yang
tentu mempunyai posisi strategis untuk mewujudkan tenaga kerja yang berkualitasn dengan
adanya keterlibatan aktif dari DUDI. Pendidikan vokasi harus dapat membangunkan
kesadaran pelaku dunia usaha dan dunia industri untuk turut mengambil tanggung jawab
lebih besar, serta wajib dikembangkan agar dapat mengisi lapangan kerja industri dengan
profil lulusan yang memiliki ketrampilan dan pengetahuan tinggi (high skilled & know how),
sehingga dapat melakukan peningkatan proses produktif serta dapat melakukan perbaikan dan
pengembangan produk di dunia industri. Paradigma lama yang menempatkan industri pada
bagian akhir yang menerima lulusan harus diubah sehinggga industri dapat berperan sejak
perencanaan kompetensi lulusan yang dibutuhkan, turut serta dalam penyelarasan kurikulum,
penguatan pemetaan kebutuhan keahlian, membangun kompetensi SDM melalui proses
edukatif yang produktif, penerapan sistem pembelajaran standar industri, penguatan pelatihan
kecakapan kerja dan kewirausahaan di sekolah, madrasah dan pesantren, pemagangan,
penguatan standar kompetensi, penguatan kelembagaan dan kapasitas pelaksanaan sertifikasi,
dan penyerapan lulusan.
Paradigma pendidikan vokasi sebelum dilakukan revitalisasi, pendidikan vokasi lebih
menekankan pada proses pembelajaran baik di SMK/Kursus/Pelatihan yang kemudian
peserta didik wajib mengikuti uji kompetensi yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi
Kompetensi untuk Lembaga Kursus, atau untuk SMK menggunakan Lembaga Sertifikasi
Profesi (LSP) yang berada di bawah tanggung jawab Badan Nasional Seritifikasi Profesi
(BNSP), yang berujung pada seorang peserta didik telah berhasil mendapatkan sertifikat
kompetensi. Hanya sebagian kecil satuan penddidikan yang mengetahui kebutuhan industri
dan merespon kebutuhan pasar untuk kompetensi yang dibutuhkan.

4
Saat ini paradigma tersebut telah bergeser dengan dilakukan revitalisasi pendidikan
vokasi, yaitu seorang peserta didik baik di SMK/Kursus/ Pelatihan/Perguruan Tinggi Vokasi
mengikuti proses pembelajaran (pola pembelajaran, pengembangan kurikulum, penyediaan
sarana dan prasarana, maupun pengembangan kompetensi SDM (Guru/Instruktur/Dosen)
harus mengikuti kebutuhan dunia industri, dan kemudian wajib mengikuti uji kompetensi
yang telah diakreditasi dan disertifikasi oleh mitra industri yang relevan. Sehingga karena
kompetensinya telah mendapatkan sertifikat/pengakuan dari mitra industrinya, maka peserta
didik maupun guru/instruktur/dosen dapat melakukan pemagangan serta untuk lulusannya
dapat bekerja langsung diterima di industri tersebut.
Selanjutnya pemerintah juga melakukan evaluasi terhadap penyerapan lulusan
pendidkan vokasi di dunia industri yang mendapatkan pekerjaan satu tahun setelah lulus.
Oleh karena halhal tersebut, revitalisasi pendidikan vokasi yang dilakukan harus berbasis
pada kemitraan bersama dunia industri sehingga dapat meniadakan defisit kompetensi dengan
kebutuhan DUDI dan menurunkan pembiayaan pendidikan dalam menghasilkan lulusan
melalui kegiatan produktif di industri.

2.2 Pendidikan Formal


2.2.1 Pendidikan Formal di SMK
Permendikbud 34 tahun 2018 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) SMK/MAK
merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan pada tingkat Sekolah Menengah
Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia agar tercapai kompetensi lulusan sesuai kebutuhan pengguna lulusan. SNP
SMK/MAK terdiri atas: a) standar kompetensi lulusan; b) standar isi; c) standar proses
pembelajaran; d) standar penilaian pendidikan; e) standar pendidik dan tenaga kependidikan;
f) standar sarana dan prasarana; g) standar pengelolaan; dan h) standar biaya operasi.
Standar kompetensi lulusan mencerminkan profil lulusan yang diharapkan dicapai
melalui proses pembelajaran dan aktivitas pada satuan pendidikan. Standar kompetensi
lulusan dapat dikelompokkan menjadi kompetensi umum dan kompetensi kejuruan.
Kompetensi umum terdiri atas area kompetensi: a) keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
yang Maha Esa; b) kebangsaan dan cinta tanah air; c) karakter pribadi dan sosial; d)
kesehatan jasmani dan rohani; e) literasi; f) kreativitas; dan g) estetika. Kompetensi kejuruan
terdiri atas area kompetensi: a) kemampuan teknis (kemampuan dasar; kemampuan spesifik;
dan kemampuan khusus); dan b) kewirausahaan.

5
Standar kompetensi lulusan selanjutnya dijabarkan menjadi sub standar kompetensi
lulusan agar lebih terukur, dan guna mendukung pencapaiannya dirumuskan ruang lingkup
materi untuk masing-masing sub standar kompetensi lulusan tersebut sesuai bidang
keahliannya. Sub standar kompetensi lulusan merupakan kemampuan yang harus dipenuhi
oleh peserta didik, dan dikembangkan berdasarkan kriteria: 1) kemampuan yang diperlukan
untuk menunjang sebuah pekerjaan; 2) deskripsi jenjang KKNI; 3) karakteristik
bidang/program; dan 4) pengelompokan kompetensi.
Ruang lingkup materi pada SMK/MAK terdiri atas kelompok muatan umum, kelompok
muatan adaptif, dan kelompok muatan kejuruan. Muatan umum sama untuk seluruh bidang
keahlian. Muatan adaptif sama untuk semua program keahlian di bidang yang sama. Adapun
muatan kejuruan bersifat spesifik untuk masing-masing program keahlian. Khusus untuk
kelompok muatan kejuruan dicapai melalui satuan kompetensi yang mengacu pada skema
sertifikasi kompetensi sesuai dengan standar kompetensi kerja.
Struktur standar isi terdiri atas area kompetensi, standar kompetensi lulusan, sub
standar kompetensi lulusan, dan ruang lingkup materi. Area kompetensi dan butir standar
kompetensi lulusan merupakan bagian dari standar kompetensi lulusan, sedang sub standar
kompetensi lulusan dan ruang lingkup materi merupakan bagian inti dari standar isi. Standar
isi ini diorganisasikan berdasarkan bidang keahlian dan program keahlian. Secara umum
Standar isi ini terdiri atas bagian umum dan bagian kejuruan. Muatan umum untuk suatu
bidang keahlian tertentu adalah sama, sedangkan muatan kejuruan secara umum bersifat
spesifik untuk masing-masing program keahlian pada bidang keahlian tertentu. Bidang
keahlian dalam standar isi ini meliputi; 1) Teknologi dan rekayasa; 2) Energi dan
pertambangan; 3) Teknologi informasi dan komunikasi; 4) Kesehatan dan pekerjaan sosial; 5)
Agribisnis dan agroteknologi; 6) Kemaritiman; 7) Bisnis dan manajemen; 8) Pariwisata; dan
9) Seni dan industri kreatif.
Tabel 1. Contoh Sub Standar Kompetensi Lulusan dan Ruang Lingkup Materi SMK/MAK

Sumber: Permendikbud 34 Tahun 2018

6
Sub standar kompetensi lulusan dan ruang lingkup materi setiap muatan pembelajaran
untuk setiap kelas pada tingkat dan jenis kompetensi dirumuskan dalam kurikulum
SMK/MAK. Selanjutnya sub standar kompetensi lulusan, ruang lingkup materi dan
kurikulum tersebut dijabarkan ke dalam buku teks pelajaran seperti contoh pada Kompetensi
Keahlian Teknik Geomatika dan Geospasial pada Gambar 1.
Pada pendidikan formal di SMK memiliki struktur yang kurikulum merupakan
pengorganisasian muatan pembelajaran dalam bentuk mata pelajaran dan beban belajar.
Pemerintah mengatur muatan pembelajaran wajib beserta beban belajarnya. Satuan
pendidikan dan/atau pemerintah daerah dapat menambahkan muatan tambahan sesuai
kebutuhan peserta didik, dunia kerja, dan karakteristik satuan pendidikan dan/atau daerah.
Struktur kurikulum berisi mata pelajaran yang mewakili sekumpulan muatan pembelajaran
tertentu baik berdasarkan disiplin ilmu (subject matter) maupun berdasarkan kumpulan tema
dan/atau kompetensi dari berbagai disiplin ilmu yang diintegrasikan (integrated curriculum).
Tabel 2. Struktur Kurikulum SMK Pusat Keunggulan

7
Sumber: Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia
Nomor 165/M/2021

Struktur kurikulum mengatur beban belajar untuk setiap muatan atau mata pelajaran
dalam Jam Pelajaran (JP) tahunan dan/atau per 3 (tiga) tahun atau dikenal dengan sistem
blok. Oleh karena itu, satuan pendidikan dapat mengatur pembelajaran secara fleksibel
dimana alokasi waktu setiap minggunya tidak selalu sama dalam 1 (satu) tahun. Satuan
pendidikan dan/atau pemerintah daerah dapat menambahkan muatan tambahan sesuai
kebutuhan peserta didik, dunia kerja dan karakteristik satuan pendidikan dan/atau daerah
secara fleksibel termasuk kurikulum muatan lokal.
Pendidikan vokasi/kejuruan dalam wadah pendidikan formal ada empat model.
Pertama, pendidikan kejuruan model sekolah yaitu model penyelenggaraan pendidikan

8
kejuruan dimana pendidikan dan latihan sepenuhnya dilaksanakan di sekolah. Model ini
berasumsi segala yang terjadi ditempat kerja dapat dididik latihkan di sekolah. Akibatnya,
sekolah harus melengkapi semua jenis peralatan yang diperlukan dalam jumlah yang besar.
Sekolah menjadi sangat mahal karena faktor keusangan peralatan tinggi dan sulit mengikuti
perubahan di dunia usaha dan industri yang jauh lebih mutakhir dan berkualitas. Disamping
itu bahan praktik akan menyedot biaya yang sangat besar. Model sekolah yang mahal
cenderung tidak efisien dan tidak efektif karena peralatan di dunia kerja berubah sedangkan
sekolah tidak langsung bisa mengikuti perubahan di lapangan.
Kedua, pendidikan kejuruan model sistem ganda yaitu model penyelenggaraan
pendidikan dan latihan yang memadukan pemberian pengalaman belajar di sekolah dan
pengalaman kerja sarat nilai di dunia usaha. Model ini sangat baik karena menganggap
pembelajaran di sekolah dan pengalaman kerja di dunia usaha akan saling melengkapi, lebih
bermakna, dan nyata. Kebiasaan kerja di dunia kerja sesungguhnya sulit dibangun di sekolah
karena sekolah cenderung hanya membentuk kebiasaan belajar saja. Disiplin kerja sangat
berbeda dengan desiplin belajar dan berlatih. Kelemahan sistem ganda sangat rentan dengan
perubahan sosial, ekonomi, dan politik. DU-DI di Indonesia masih sulit memberi kepastian-
kepastian terhadap layanan pendidikan karena sistem di Indonesia belum mengakomodasikan
kepentingan Industri bersamaan dengan kepentingan layanan pendidikan.
Ketiga, pendidikan kejuruan dengan model magang adalah model yang menyerahkan
sepenuhnya kegiatan pelatihan kepada industri dan masyarakat tanpa dukungan sekolah.
Sekolah hanya menyelenggarakan pendidikan mata pelajaran normatif, adaptif, dan dasar-
dasar kejuruan. Model ini hanya cocok untuk negara maju yang telah memiliki sistem
pendidikan dan sistem industri yang kuat.
Keempat, pendidikan kejuruan dengan model school-based-enterprise. Model ini
mengembangkan dunia usaha disekolah dengan maksud selain menambah penghasilan
sekolah, juga sepenuhnya memberikan pengalaman kerja yang benar-benar nyata dan sarat
nilai kepada peserta didiknya. Sebagai contoh SMKN 3 Kota Malang mengembangkan
education hotel yang disingkat dengan Edotel di dalam komplek lingkungan sekolah yang
dikelola oleh sekolah dengan melibatkan peserta didik mulai dari urusan house keeping
hingga front office. Model ini sangat baik digunakan untuk mengurangi ketergantungan
sekolah terhadap industri dalam melakukan pelatihan kerja. Di lapangan banyak SMK masih
mengalami masalah penerapan model dalam pelaksanan Praktik Kerja Lapangan (PKL).
Kerancuan penyelenggaraan terjadi diantara model magang dan model sistem ganda. Ada
sekolah yang menerjemahkan PKL dengan istilah magang dan ada yang mengartikan PSG.

9
Kedua-duanya rancu karena sekolah dan industri tidak ada hubungan sama sekali dengan
penetapan perencanaan dan pelaksanaan program pelatihan. Sehingga selama PKL peserta
didik lepas begitu saja mengikuti aliran kegiatan industri seadanya. Tidak ada kurikulum
yang pasti yang dilaksanakan selama PKL. Ke depan SMK harus mendorong kepastian
kompetensi-kompetensi yang harus dilatihkan di DU-DI.

2.2.2 Pendidikan Formal Pendidikan Tinggi Vokasi


UU Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pendidikan Tinggi terdapat 3 (tiga) jenis
pendidikan, yaitu pendidikan akademik, pendidikan vokasi dan pendidikan profesi. Menurut
Pasal 16 ayat (1) UU Dikti, pendidikan vokasi merupakan Pendidikan Tinggi program
diploma yang menyiapkan Mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu
sampai program sarjana terapan. Jenis pendidikan vokasi dapat diselenggarakan melalui 6
(enam) program pendidikan, yaitu Program Diploma Satu, Program Diploma Dua, Program
Diploma Tiga, Program Diploma Empat (Sarjana Terapan), Program Magister Terapan, dan
Program Doktor Terapan.
Berdasarkan Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 UU Dikti, kemampuan lulusan masing-
masing program pendidikan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a) Program Diploma
merupakan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau
sederajat untuk mengembangkan keterampilan dan penalaran dalam penerapan Ilmu
Pengetahuan dan/atau Teknologi; b) Program Magister Terapan merupakan kelanjutan
pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana terapan atau sederajat
untuk mampu mengembangkan dan mengamalkan penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau
Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah; c) Program Doktor Terapan merupakan
kelanjutan bagi lulusan program magister terapan atau sederajat untuk mampu menemukan,
menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi bagi penerapan, pengembangan, serta
pengamalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.
Menurut UU Dikti penyelenggaraan pendidikan vokasi, yang meliputi Program
Diploma, Program Magister Terapan, dan Program Doktor Terapan, dimandatkan kepada
perguruan tinggi yang berbentuk Politeknik, Akademi, atau Akademi Komunitas. Namun,
apabila memenuhi syarat Universitas, Institut dan Sekolah Tinggi dapat menyelenggarakan
Program Diploma Tiga, Program Diploma Empat (Sarjana Terapan), Program Magister
Terapan, Program Doktor Terapan, Program Profesi dan/atau Program Spesialis.

10
Gambar 1. Kewenangan Penyelenggaraan Program Pendidikan menurut Jenis Pendidikan
Sumber: Pedoman Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi
Penyelenggara Pendidikan Vokasi, 2020

SN Dikti telah ditetapkan di dalam Permendikbud No. 3 Tahun 2020 Tentang SN Dikti,
sehingga ketika menetapkan SN Dikti untuk Pendidikan Vokasi, maka semua SN Dikti yang
relevan dengan Pendidikan Vokasi dalam Permendikbud tersebut merupakan standar
minimum dan wajib ditetapkan sebagai SN Dikti untuk Pendidikan Vokasi di perguruan
tinggi yang bersangkutan. SN Dikti untuk Pendidikan Vokasi memiliki struktur yang sama
dengan struktur SN Dikti pada umumnya, sebagai berikut:
a. Kelompok Standar Nasional Pendidikan yang terdiri atas: (1) Standar kompetensi
lulusan; (2) Standar isi pembelajaran; (3) Standar proses pembelajaran; (4) Standar
penilaian pembelajaran; (5) Standar dosen dan tenaga kependidikan; (6) Standar sarana
dan prasarana pembelajaran; (7) Standar pengelolaan pembelajaran; dan (8) Standar
pembiayaan pembelajaran;
b. Kelompok Standar Penelitian yang terdiri atas: (1) Standar hasil penelitian; (2) Standar
isi penelitian; (3) Standar proses penelitian; (4) Standar penilaian penelitian; (5) Standar
peneliti; (6) Standar sarana dan prasarana penelitian; (7) Standar pengelolaan penelitian;
dan (8) Standar pendanaan dan pembiayaan penelitian;
c. Kelompok Standar Pengabdian Kepada Masyarakat yang terdiri atas: (1) Standar hasil
PKM; (2) Standar isi PKM; (3) Standar proses PKM; (4) Standar penilaian PKM; (5)
Standar pelaksana PKM; (6) Standar sarana dan prasarana PKM; (7) Standar pengelolaan
PKM; dan 8) Standar pendanaan dan pembiayaan PKM
Pasal 29 UU Dikti mengatur sebagai berikut: 1) Kerangka Kualifikasi Nasional
merupakan penjenjangan capaian pembelajaran yang menyetarakan luaran bidang pendidikan
formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja dalam rangka pengakuan kompetensi
kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. 2) Kerangka Kualifikasi Nasional

11
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan pokok dalam penetapan kompetensi
lulusan pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi. Pasal tersebut
mengamanatkan bahwa Kompetensi Kerja (tuntutan dunia kerja) harus menjadi acuan dalam
penetapan Kompetensi Lulusan pendidikan vokasi, atau dengan perkataan lain Kompetensi
Lulusan harus link and match dengan Kompetensi Kerja (tuntutan dunia kerja). Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 2 sebagai berikut:

Gambar 2. Link and match


Sumber: Pedoman Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi
Penyelenggara Pendidikan Vokasi, 2020

2.3 Pendidikan Non Formal pada Pendidikan Vokasi


2.3.1 Filsafat dan Teori Pendidikan Nonformal
Berbicara tentang philosophy dan teori pendidikan nonformal, tidak terlepas dari
pemahaman konsep tentang kegiatan belajar yang terjadi di tengah-tengah masyarakat atau
dikenal dengan istilah learning society. Terciptanya masyarakat gemar belajar (learning
society) sebagai wujud nyata model pendidikan sepanjang hayat mendorong terbukanya
kesempatan menuntut setiap orang, masyarakat, organisasi, institusi sosial untuk belajar lebih
luas. Sehingga tumbuh semangat dan motivasi untuk belajar mandiri terutama dalam
memenuhi kebutuhan belajar sepanjang hayat, dan memperkuat keberdayadidikan
(educability) agar mampu mendidik diri dan lingkungannya.
Masyarakat gemar belajar dapat menciptakan peluang pendidikan nonformal di
tempat yang mudah dijangkau dengan cara-cara yang sesuai dengan; potensi, keterampilan
dan kecakapan warga belajar serta sesuai dengan kebutuhan dalam kehidupannya. Meta-
konsep “educability” ini memungkinkan warga belajar “fully able to take advantage of any
available educational opportunities” lebih giat mencari informasi baru yang berkaitan dengan
kepentingan hidupnya melalui media elektronika, media cetak, nara sumber, obyek langsung

12
dan lainnya. Dengan konsep itu, warga belajar dapat menambah pengetahuan dengan
membaca buku, jurnal, surat kabar, majalah, menulis dan menyampaikan informasi mengenai
pengalaman kerjanya serta belajar berkelanjutan untuk memperkaya pengetahuan dan
keterampilan, belajar memecahkan masalah dan meningkatkan kualitas kehidupan diri dan
masyarakatnya.
Konsep belajar sepanjang hayat (lifelong learning) sebagai landasan pendidikan
nonformal telah menjadi suatu kebutuhan vital untuk kelangsungan hidup setiap individu,
masyarakat dan bahkan bangsa. Peran dan tanggung jawab pembelajar, tutor secara gradual
mengalami pergeseran ke warga belajar sehingga warga belajar dapat berperan lebih bebas
dan proaktif serta bertanggungjawab dalam memahami dan mengendalikan diri dan
lingkungannya.
Bagi masyarakat yang tidak sempat mengikuti pendidikan persekolahan atau
pendidikan tambahan lainnya perlu mempelajari cara-cara belajar yang sesuai dengan
kemampuannya. Biarpun memiliki keahlian tertentu, mereka juga tetap perlu belajar terus
dan menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan. Mereka harus memiliki
kecakapan dan kemampuan dalam menunaikan berbagai peran dan fungsi sosial dan
organisasi. Jika tidak, mereka secara pribadi akan frustrasi dan kecewa. Mengingat bahwa
masyarakat pada umumnya bukanlah “students by profession”, tetapi mereka adalah
mayoritas buruh, petani, pengrajin, tukang, nelayan, pengusaha kecil, ibu rumah tangga dan
mayoritas pegawai rendahan yang kurang atau tidak memiliki akses informasi seperti
academic society.
Pendidikan nonformal sebagai modes of learning, memberikan akses pendidikan dan
belajar lebih luas kepada warga belajar. Oleh karena itu warga belajar berpeluang memiliki
daya suai (adaptability), daya-lentur (flexibility), kapasitas inovatif dan “entrepreneurial
attitudes and aptitudes”. Sehingga warga belajar tertantang mencari dan memperkuat “basic
knowledge and competences, curiosity and motivations, critical and creative behaviors”
untuk menciptakan situasi-situasi yang memungkinkan dirinya lebih mapan “to know how to
learn, how to be, and know how to become:
 Belajar berahlak mulia;
 Belajar untuk memahami;
 Belajar berbuat;
 Belajar hidup dalam kebersamaan; dan
 Belajar mewujudkan jati dirinya.
Pada sisi lain, warga belajar diarahkan untuk memiliki:

13
 Kepribadian harmonis, seperti: “positive, self-image, and psychological stability”,
 Kemampuan dasar, seperti mengetahui cara mengamati sesuatu, membaca secara
efisien, dan kemampuan mengungkapkan pendapat,
 Kemampuan kognitif, seperti kemampuan meneliti, menganalisis, mensintesis,
mengambil keputusan secara kritis, dan mengevaluasi diri, serta
 Kemampuan beradaptasi dengan situasi secara fleksibel, memikul fungsi dan
tanggungjawab, semangat, kritis, kreatif, kemandirian, bekerja sama dengan berbagai
pihak, memahami masalah, mampu berkomunikasi, berpartisipasi dalam masyarakat
baik di tingkat lokal, nasional maupun global.

Belajar sepanjang hayat (lifelong learning) sebagai core pembuka akses bagi
pendidikan nonformal adalah kunci memasuki abad baru bagi warga belajar. Dengan
pendidikan nonformal warga belajar di dorong belajar menguasai kompetensi tertentu supaya
dapat hidup dalam situasi yang berubah-ubah dan belajar untuk hidup lebih mandiri dan
bertanggung jawab baik kepada diri pribadinya maupun kepada masyarakatnya. Di samping
itu pula melalui pendidikan nonformal warga belajar mampu belajar untuk hidup bersama
orang lain terutama dalam membangun rasa kebersamaan dan saling ketergantungan serta
kemampuan dalam menganalisis resiko dan menganalisis tantangan masa depan dengan cara
cerdas dan damai.
Perubahan teknologi baik teknologi informasi maupun teknologi komunikasi yang
lebih luas memacu terjadinya pergeseran masyarakat dari masyarakat agraris, ke masyarakat
industri dan terus ke masyarakat informasi. Oleh karena perubahanperubahan tersebut, warga
belajar dituntut untuk belajar mengenal perubahan dan perkembangan itu serta sekaligus
dapat membuka peluang terciptanya konsepsi belajar yang berdasar pada “learning how to
learn, learning how to think, learning to be and to become and learning revolution”.
Munculnya gagasan inovatif dan kritis tentang konsep-konsep tersebut memberi
“perspectives dan horrizons” lebih luas kepada warga belajar untuk terus belajar sepanjang
hayat. Hakekat keilmuan dalam proses pembelajaran pendidikan nonformal adalah
mempelajari proses pembentukan kepribadian manusia dan kegiatan belajar yang dirancang
secara sadar dan sistematis dalam interaksi antara tutor/sumber belajar dan warga belajar.
Kepribadian adalah kondisi dinamis yang merupakan keterpaduan antara pola berpikir, sikap,
dan pola tingkah laku warga belajar dan sumber belajar.
Pembentukan kepribadian dapat mencakup proses transfer dan transformasi
pengetahuan, sikap dan perilaku mengenai aspek logika, etika dan estetika yang masing-

14
masing mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam mengkaji objek tersebut di
atas, pendidikan nonformal sebagai suatu ilmu menyusun batang tubuh pengetahuan teoritis
berdasarkan epistimologi keilmuan secara logis, analisis, dan teruji dengan mengembangkan
postulat, asumsi, prinsip, dan konsep yang berdasar pada ilmu pendidikan itu sendiri dengan
dibantu oleh teori-teori keilmuan di luar bidang pendidikan. Teori pendidikan sebagai bahan
acuan keilmuan pendidikan nonformal terutama bersumber dari filsafat, psikologi, sosiologi
dan antropologi, serta menjelaskan realitas pendidikan (educational reality) dari
pengalaman pendidikan (educational experience) dan objektifitasnya (objectification) sebagai
phenomenon bene fundamentation, yaitu dasar suatu teori. Jadi ilmu pendidikan nonformal
tidak dapat dipahami dari pengalaman individual semata, melainkan harus melalui analisis
anatominya yang sistematis. Seperti dikemukakan Trisnamansyah (1995); Ilmu pendidikan
nonformal dapat diartikan sebagai ilmu yang secara sistemik mempelajari interaksi sosial-
budaya antara warga belajar sebagai objek dengan sumber belajar dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan, dengan menekankan pada pembentukan
kemandirian, dalam rangka belajar sepanjang hayat.
Konsep keilmuan pendidikan nonformal pada prinsipnya menunjukkan sifat reflektif
studi aktivitas kemanusiaan yang terjadi di dalamnya. Subyeknya, yaitu manusia pengamat
dan obyeknya yaitu manusia yang bertindak, oleh karenanya komponen utama ini tidak dapat
dipisahkan satu dari yang lainnya. Dengan demikian teori dan realitas dalam keilmuan
pendidikan nonformal adalah suatu kesatuan yang satu sama lain saling mencampuri
(interfere). Maka keilmuan pendidian luar sekolah adalah suatu kesatuan disiplin ilmu
(multireferential discipline) yang membangun sistem teori yang bersifat khusus dengan
memiliki ciri khas sebagai realita dari ilmu pendidikan itu sendiri sebagai acuan utamanya
bagi pengembangan keilmuan pendidikan nonformal.
Dari bahasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan nonformal
sebagai suatu ilmu memiliki fundamen dasar sebagai suatu multireferential discipline yang
dibangun dari sistem teori yang khas dan memiliki kekhususan yang berkenaan dengan ciri
khas realita dari pendidikan nonformal. Fundamen dasar yang dibangun pendidikan
nonformal memiliki objek dan subjek, sehingga pendidikan nonformal disusun berdasarkan
atas batang tubuh pengetahuan teoritis dengan argumen dasar epistimologi keilmuan secara
logis, analisis, sistematis, dan teruji dengan pengembangan postulat, asumsi, prinsip, dan
konsep pendidikan nonformal dengan tidak melewatkan bantuan dari teori-teori keilmuan di
luar bidang pendidikan nonformal. Di luar itu pendidikan nonformal dalam konsep

15
keilmuannya memiliki ciri khas di bandingkan dengan teori ilmu pendidikan formal. Karena
batasan ilmu pendidikan nonformal memiliki cakupan yang sangat kaya dan luas.
Pendidikan nonformal selalu terkait dengan norma tertentu, fakta empiris pendidikan
nonformal selalu sarat nilai dalam arti bahwa setiap fakta selalu ditafsirkan dengan mengacu
pada norma tertentu serta dalam konteks tujuan tertentu. Sehubungan dengan hal itu
Trisnamansyah (1995) menyimpulkan bahwa:
1. Interaksi sosial budaya antara warga belajar dan sumber belajar mengandung arti,
proses pendidikan itu berlangsung secara sadar, dengan diwujudkan melalui media
tertentu dan situasi lingkungan tertentu, dapat ditinjau dari aspek mikro dan aspek
makro, sarat makna dan nilai serta terarah pada pengembangan kemandirian melalui
proses belajar sepanjang hayat.
2. Tujuan pendidikan nonformal yang ingin dicapai melalui interaksi tersebut
terkandung makna pengembangan manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Secara lebih khusus tujuan itu juga mencakup; Pelayanan terhadap warga belajar,
pembinaan warga belajar, dan memenuhi kebutuhan warga belajar dan masyarakat yang tidak
terpenuhi melalui jalur formal (sekolah). (Trisnamansyah, 1995) Sebagai suatu ilmu
pendidikan nonformal memiliki sifat ilmu yang berdasarkan pada otonomi disiplin ilmunya
tersendiri. Karena pendidikan nonformal mampu memberikan argumen dasar struktur ilmu
yang jelas baik struktur ilmu yang bersifat internal maupun eksternal. Dengan jelasnya
struktur dan otonominya ilmu pendidikan nonformal mampu mengkaji dan menghasilkan
generalisasi-generalisasi, serta konsep, teori tentang belajar dalam rangka mewujudkan
kemandirian, baik itu melalui magang (learning by doing) atau pemberdayaan (empowering
process).
Hakekat keilmuan pendidikan nonformal, baik sebagai teori maupun sebagai
pengembangan program, secara lebih jelas dapat dilihat dari berbagai definisi yang
berhubungan dengan konsep keilmuan pendidikan nonformal, seperti diuraikan berikut ini.
Ilmu pendidikan nonformal memiliki landasan filosofis. Landasan filosofis pendidikan
nonformal merupakan dasar tempat berpijak, mengkaji dan menelaah kegiatan pendidikan
nonformal. Kata filosofis, dari kata filsafat, berarti cenderung ke arah filsafat. Kemudian
filsafat sendiri dapat diartikan sebagai suatu metode berfikir, cara memandang atau melihat
sesuatu secara komprehensif. Sebagai suatu metode, filsafat merupakan cara berfikir

16
menganalisis dan mengutak-atik pendidikan nonformal secara mendalam sehingga kehadiran
pendidikan nonformal pada dunia pendidikan khususnya dan kehidupan manusia pada
umumnya dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai suatu cara pandang, filsafat diharapkan dapat memberi suatu nilai dan
pemikiran mengenai eksistensi, landasan dan pedoman pendidikan nonformal sehingga dapat
memberi nilai tambah dan kontribusi terhadap individu atau masyarakat dalam menyikapi
hidup dan kehidupannya. Landasan filosofis pendidikan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh
landasan ideologi yang dianut oleh bangsa itu sendiri. Landasan filosofis Bangsa Indonesia
berbeda dengan landasan filosofis pendidikan bangsa lainnya. Pancasila sebagai landasan
idiologi bangsa, merupakan landasan pembangunan dan pengembangan pendidikan, baik
pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Melalui program pembelajaran dalam
pendidikan nonformal diharapkan dapat membantu warga belajar memilih dan
mengembangkan wawasan keTuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakansanaan dalam
permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial. (Sudjana, 1989).
Mengacu pada landasan idiologi bangsa, maka falsafah pendidikan yang dijadikan
dasar atau landasan fundasional pendidikan nonformal, mempunyai sifat spekulatif,
preskriptif, dan analitik. Sifat spekulatif ini muncul tatkala falsafah pendidikan menelusuri
teori-teori yang berhubungan dengan hakekat manusia, masyarakat, dan dunia. Penelusuran
teori-teori ini dilakukan melalui pengkajian hasilhasil penelitian dan berbagai ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan perilaku manusia (behavioral sciences). Sifat preskriptif
timbul ketika falsafah pendidikan merinci tujuan-tujuan pendidikan yang harus dicapai dan
strategi yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Sifat analitik muncul pada waktu
falsafah pendidikan menguji dasar-dasar pikiran yang digunakan dalam rumusan tentang
gagasan-gagasan pendidikan. Konsistensi antara gagasan pendidikan dengan gagasan-
gagasan lain, dan metode-metode yang digunakan pengujian gagasan-gagasan itu sendiri.
Sifat analitik diterapkan ketika menguji secara logis semua konsep yang berkaitan dan
berkenaan dengan kenyataan atau realitas yang dihadapi. Dengan demikian spekulatif,
preskriptif, dan analitik saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Ada dua kategori yang perlu diperhatikan dalam menganalisis pokok-pokok utama
filsafat pendidikan yang dipandang melandasi eksistensi dan pentingnya pendidikan
nonformal sesuai dengan sifat tersebut di atas; 1) filsafat sebagai suatu metoda dan filsafat
sebagai suatu pandangan. Sebagai suatu metoda filsafat dapat ditelusuri dari cara berfikir dan
cara menganalisis Pendidikan nonformal yang dapat dipertanggung-jawabkan; 2) filsafat

17
sebagai suatu pandangan memberikan suatu nilai serta pemikiran mengenai persepsi,
landasan dan pedoman tingkah laku seseorang (individidu) atau masyarakat dalam seluruh
kehidupan dan citacitanya.
Sebagai suatu metoda filsafat penting dalam menganalisis Pendidikan Nonformal:
1) Pendidikan nonformal dalam konteks pengembangan programnya seringkali berhubungan
dengan pemecahan masalah yang dialami manusia, terutama masalah yang berkaitan dengan
pengembangan kemampuan, keterampilan dan keahlian khusus yang tidak dapat ditemukan
dalam konteks pendidikan persekolahan; 2) Dalam penyelenggaraan program pendidikan
nonformal memiliki karakteristik sasaran didik tersendiri, yang secara filosofis karakteristik
tersebut memiliki kesamaan dan perbedaan dengan sasaran didik pendidikan formal;
3) Mengembangkan satu bentuk program pendidikan nonformal diperlukan adanya
idealisme bagi tercapainya keberhasilan program tersebut; 4) Dalam pengembangan program
pendidikan nonformal penelusuran minat, bakat dan kebutuhan adalah merupakan daya
dukung tersendiri bagi pencapaian tujuan program secara utuh dan dapat diterapkan dalam
kehidupannya (learning to be).
Mengacu pada keempat dasar analisis kajian tersebut di atas, beberapa ahli
memberikan gambaran bagi landasan fundasional pendidikan nonformal, seperti Darkenwald,
(1982), Sahakian (1972), Beder (1972), Craver (1981), Sudjana (1991),
Merriam (1980). Pada intinya anggapan-anggapan para ahli tersebut mengisyaratkan
bahwa eksistensi dan pentingnya pendidikan nonformal secara fundasional memiliki
konsep dasar yang mengacu pada filsafat pendidikan, atau aliran filsafat lainnya.
Konsekwensi tersebut memberikan isyarat bahwa mengapa pendidikan nonformal
penting, karena konsekwensi filosofis pendidikan nonformal secara fundamental tidak
bertentangan dengan atribut yang diinginkan oleh aliran dan filsafat pendidikan.
Disamping itu pula pendidikan nonformal sebagai salah satu bentuk dari pendidikan
senantiasa memiliki sumber nilai yang didasarkan pada konsep-konsep yang berlaku
dan relevan bagi proses dan perkembangannya.
Pendidikan nonformal baik sebagai praktek maupun sebagai teori, akan dilakukan
atas dasar kerangka-kerangka kerja tertentu. Dengan kata lain kerangka-kerangka
tersebut bersumber dari filsafat. Salah satu pengujian filosofis pendidikan nonformal
adalah ditujukan pada hubungan antara filsafat yang mendasarinya dengan kegiatannya
(antara teori dan praktek) Sehingga kekuatan filosofis yang mendasari pendidikan
nonformal tergantung pada kemampuannya membuat warga belajar (individu,
masyarakat) dapat memahami dan mengekpresikan aktivitasnya sehari-sehari dengan

18
cara-cara yang lebih baik. Pengujian filosofis pendidikan nonformal perlu didasarkan
pada faktor-faktor berikut :
1. Hakekat kehidupan yang baik menjadi tujuan pendidikan nonformal. Kehidupan yang
baik itu menyangkut norma dan nilai-nilai kehidupan yang ideal yang harus dapat
dicapai oleh manusia melalui pendidikan, khususnya pendidikan nonformal.
2. Hakekat masyarakat itu sendiri sehubungan dengan pendidikan nonformal sebagai
proses yang terjadi di tengah-tengah masyarakat luas di luar persekolahan.
Masyarakat senantiasa berubah sesuai dengan ruang dan waktu.
3. Hakekat manusia yang menjadi warga belajar pendidikan nonformal. Warga belajar
sebagai mahluk individual, religius, sosial dan unik memiliki kesamaan dan
perbedaan. Persamaannya ialah individu memiliki potensi untuk berkembang, dan
perkembangan itu akan mantap apabila melalui pendidikan, keterbatasan jangkauan
pendidikan formal memberikan tendensi bagi berlakunya pendidikan nonformal untuk
berkiprah di dalamnya secara lebih luas.
4. Hakekat kebenaran yang menjadi kajian berbagai ilmu pengetahuan, termasuk di
dalamnya pendidikan nonformal. Kebenaran itu berkaitan dengan kebenaran yang
disepakati (agreement reality) dan kebenaran yang dialami (experiential reality).

Secara lebih khusus fiilsafat pendidikan nonformal dapat dikaji dari cabang filsafat
ontologi, menyangkut objek materi keilmuan pendidikan nonformal itu, epistimologi
bertalian cara pemerolehan dan pembelajaran keilmuan pendidikan nonformal dan aksiologi
yang berhubungan dengan kegunaan keilmuan pendidikan nonformal bagi kehidupan warga
belajar yang lebih luas. Cabang-cabang filsafat tersebut dikaji secara integratif sehingga
memperoleh konsep yang jelas dan dapat dijadikan pedoman untuk menyusun kebijakan,
menetapkan visi, misi serta menetapkan tujuan pendidikan nonformal yang lebih jelas.

2.3.2 Lembaga Kursus dan Pelatihan


Fokus dunia pendidikan saat ini adalah untuk memberikan keterampilan kerja bagi
generasi muda, khususnya dalam menyambut bonus demografi dan persaingan yang semakin
ketat. Pendidikan dan pelatihan vokasi akan semakin diperkuat seiring bergesernya strategi
pembangunan dari pembangunan infrastruktur fisik, menjadi pembangunan manusia. Kursus
dan Pelatihan merupakan bagian dari pendidikan nonformal, dimana dalam Pasal 26 ayat (5)
UU Sisdiknas dinyatakan bahwa “kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat
yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk

19
mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan atau melanjutkan
ke jenjang yang lebih tinggi”.
Dengan demikian kursus dan pelatihan memiliki peran dan fungsi strategis dalam
peningkatan sumberdaya manusia melalui kecakapan hidup (life skill education). Muara dari
program kursus dan pelatihan adalah peningkatan kompetensi seseorang yang meliputi aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap di bidang profesinya masing-masing yang ditandai
dengan kepemilikan sertifikat pada setiap lulusannya. Program kursus dan pelatihan vokasi
harus dikembangkan sesuai tuntutan pasar kerja dan kebutuhan industri (Jokowi, 2019).
Dengan demikian dunia industri akan mendapatkan keuntungan langsung ketika
menggunakan pekerja yang kompeten dari program kursus dan pelatihan vokasi, serta tidak
perlu mengeluarkan biaya lebih untuk memberikan pelatihan selanjutnya, sehingga sudah
selayaknya jika indusri memiliki tanggung jawab untuk peduli, dan ikut bertanggung jawab
dalam melakukan pengembangan khususnya lembaga-lembaga kursus dan pelatihan vokasi
(Renstra Ditsuslat, 2020).
Program Pendidikan Nonformal yang selanjutnya disebut Program PNF adalah layanan
pendidikan yang diselenggarakan untuk memberdayakan masyarakat melalui pendidikan
kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan
pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan
kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik (Permendikbud Nomor 4 Tahun 2016). Satuan PNF dapat didirikan
oleh: a) orang perseorangan; b) kelompok orang; dan/atau c) badan hukum. Satuan PNF,
terdiri atas: a. Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) ; b. Kelompok Belajar; c. Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat; d. Majelis Taklim; dan e. Satuan PNF sejenis. LKP yang
didirikan dapat menyelenggarakan program: a) pendidikan kecakapan hidup; b) pelatihan
kepemudaan; c) pendidikan pemberdayaan perempuan; d) pendidikan keterampilan kerja; e)
bimbingan belajar; dan/atau f) pendidikan nonformal lain yang diperlukan masyarakat
(Permendikbud Nomor 81 Tahun 2013).
Dalam rangka pengembangan kursus dan pelatihan, rekruitmen peserta didik dilakukan
sesuai dengan kemauan dan potensi masing-masing dan syarat peserta didiknya adalah anak
usia sekolah tidak sekolah yang berusia di bawah 21 tahun, anak usia sekolah yang belajar di
Paket B atau C dan perlu diberikan keterampilan. Sedangkan untuk proses pelaksanaan
kursus dan pelatihan dibagi menjadi dua yaitu 1) Pendidikan Kecakapan Kerja (PKK) yang
kurikulumnya berbasis kompetensi dan harus bekerjasama dengan DUDI; 2) Pendidikan
Kecakapan Wirausaha (PKW) yang kurikulumnya sesuai kebutuhan usaha dan manajemen

20
usaha kecil bekerjasama dengan UMKM. Pada tahun 2014, program PKK dan PKW
merupakan bagian dari program Pendidikan Kecakapan Kerja yang untuk saat ini sudah
dilakukan berbagai inovasi, diantaranya mempercepat proses pengajuan bantuan melalui e-
proposal, pembelajaran menggunakan sistem Massive Open Online Course dan Blended
Learning System, bahan ajar menggunakan digital (e-book), jenis-jenis keterampilan yang
diajarkan mengangkat potensi/kearifan lokal dan menambahkan materi digital marketing
pada pembelajaran untuk mendukung industri 4.0.
Standar kompetensi lulusan (SKL) kursus digunakan sebagai pedoman penilaian dan
penentuan peserta didik pada lembaga kursus dan pelatihan mencakup sikap, pengetahuan,
dan keterampilan. Standar kompetensi lulusan kursus dan pelatihan terdiri atas: 1) SKL
Perpajakan; 2) SKL Mekanik Sepeda Motor; 3) SKL Teknisi Akuntansi; 4) SKL Pijat
Pengobatan Refleksi; 5) SKL Sinshe; 6) SKL Penyiar Televisi; 7) SKL Video Editing; 8)
SKL Seni Merangkai Bunga dan Desain Floral; 9) SKL Baby Sitter; 10) SKL Bunga Kering
dan Bunga Buatan; 11) SKL Tata Busana; l2) SKL Sekretaris; 13) SKL Bordir dan Sulam;
14) SKL Piano Pop dan Jazz; 15) SKL Master of Ceremony; 16) SKL Hantaran; 17) SKL
Mengemudi Kendaraan Bermotor; 18) SKL Senam; 19) SKL Akupunktur Level III; 20) SKL
Kamerawan TV Level III; 21) SKL Tata Rias Penganten Level I dan II; 22) SKL Spa Level
II, III, dan IV; 23) SKL Perhotelan Bidang Housekeeping Level II; 24) SKL Jasa Usaha
Makanan Level II, III, IV, dan V; 25) SKL Ekspor Impor Level II, III, IV, V, VI, dan VII;
26) SKL Tata Kecantikan Kulit; 27) SKL Tata Kecantikan Rambut; dan 28) SKL Instruktur
Bahasa Jepang Level III (Permendikbud 131 Tahun 2014).

2.3.3 Balai Latihan Kerja (BLK)


Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan
etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan
kualifikasi jabatan atau pekerjaan (PP Nomor 31 Tahun 2006). Sistem Pelatihan Kerja
Nasional (Sislatkernas) adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai komponen pelatihan
kerja untuk mencapai tujuan pelatihan kerja nasional yang bertujuan untuk : a) mewujudkan
pelatihan kerja nasional yang efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan kualitas tenaga
kerja; b) memberikan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan, pembinaan, dan
pengendalian pelatihan kerja; c) mengoptimalkan pendayagunaan dan pemberdayaan seluruh
sumber daya pelatihan kerja. Prinsip dasar pelatihan kerja adalah: a) berorientasi pada
kebutuhan pasar kerja dan pengembangan SDM; b) berbasis pada kompetensi kerja; c)

21
tanggung jawab bersama antara dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat; d) bagian dari
pengembangan profesionalisme sepanjang hayat; dan e) diselenggarakan secara berkeadilan
dan tidak diskriminatif.
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan, di pasal (9) menyatakan
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan. Pasal (11) Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau
meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya melalui pelatihan kerja, dan di pasal (13) ayat (1) Pelatihan kerja
diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja
swasta. Balai Latihan Kerja (BLK) adalah tempat diselenggarakannya proses pelatihan kerja
bagi peserta pelatihan sehingga mampu dan menguasai suatu jenis dan tingkat kompetensi
kerja tertentu untuk membekali dirinya dalam memasuki pasar kerja dan/atau usaha mandiri
maupun sebagai tempat pelatihan untuk meningkatkan produktivitas kerjanya sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraannya (Pemenaker Nomor 8 Tahun 2017).
Persyaratan pendirian BLK harus memiliki: a) lahan; b) studi kelayakan; c) dokumen
analisa lingkungan hidup; d) struktur organisasi; e) Program Pelatihan Kerja; f) Instruktur dan
Tenaga Pelatihan; dan g) Sarana dan Prasarana. Pelatihan Kerja yang diselenggarakan di
BLK berbasis kompetensi dan disusun berdasarkan SKKNI, Standar Kompetensi Kerja
Khusus dan/atau Standar Kompetensi Kerja Internasional. Instruktur BLK harus memiliki
kompetensi metodolog dan kompetensi teknis yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi
(Pemenaker Nomor 8 Tahun 2017).
Standar Sarana BLK untuk masing-masing kejuruan meliputi: a) mesin/peralatan; b)
alat perkakas tangan; c) alat Kesehatan Keselamatan Kerja (K3); dan/atau d) perlengkapan
pendukung. Standar Prasarana BLK meliputi: a) gedung kantor; b) ruang teori; c) ruang
praktek (workshop/bengkel); dan d) prasarana pendukung lainnya. Prasarana pendukung
terdiri atas: a) toilet umum/kamar kecil; b) ruang ibadah; c) lahan parkir; d) perpustakaan; e)
gudang bahan pelatihan; f) ruang makan/kantin; g) pos keamanan; h) ruang arsip; i)
lobi/fasilitas lain; j) ruang pelayanan; k) sarana olah raga; dan/atau l) gedung asrama. Standar
Prasarana BLK dan Prasarana pendukung harus memperhatikan kebutuhan peserta Pelatihan
Kerja disabilitas (Pemenaker Nomor 8 Tahun 2017).

22
Tabel 3 menjelaskan Daftar Kejuruan dan Sub Kejuruan yang menjadi menu paket
pelatihan kerja di BLK
Tabel 3. Daftar Kejuruan dan Sub Kejuruan BLK

23
Sumber: Permenaker No. 8 Tahun 2017

24
2.4 Pendidikan Informal pada Pendidikan Vokasi
2.4.1 Pengertian Pendidikan Informal
Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang dengan pengalaman
sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar, sejak lahir sampai mati di dalam
keluarga/pergaulannya sehari-hari (Isakandar, 1996). Pendidikan informal ini meliputi
pendidikan secara langsung yang berkaitan dengan pribadi anak itu sendiri dengan
pergaulannya, baik di lingkungannya maupun lingkungan terbuka atau lingkungan luar.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan informal adalah jalur
pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Sementara menurut Axin (Suprijanto, 2009), pendidikan informal adalah pendidikan dimana
warga belajar tidak sengaja belajar dan pembelajaran tidak sengaja untuk membantu warga
belajar. Pengaruh lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga,
hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan
media massa. Pendidikan informal adalah pendidikan yang bisa terjadi dimana pun dan
proses berlangsung tidak sengaja. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat simpulkan
bahwa pendidikan informal adalah suatu jalur pendidikan keluarga atau lingkungan yang
berupa kegiatan belajar yang dilakukan secara mandiri dan dikerjakan secara sadar dan
bertanggung jawab.
Livingstone (2006) mendefinisikan pendidikan informal adalah setiap aktifitas yang
melibatkan pursuit pemahaman, pengetahuan, atau kecakapan yang terjadi diluar kurikulum
lembaga yang disediakan oleh program pendidikan, kursus atau lokakarya. Pembelajaran
informal bisa terjadi di setiap konteks diluar kurikulum lembaga. Hal ini dibedakan dari
persepsi harian dan sosialisasi umum dengan identifikasi kesadaran diri individu tentang
aktifitas sebagai pembelajaran bermakna. Hal mendasar dari pendidikan informal (tujuan, isi,
cara dan proses pemerolehan, lamanya, evaluasi hasil dan aplikasi) ditentukan oleh individu
dan kelompok yang memilih terlibat didalamnya, tanpa kehadiran seorang instruktur yang
memiliki otoritas secara melembaga. Menurut para Ahli, pendidikan informal adalah:
 Menurut Mooridjan
Seorang pengamat pendidikan, dalam uraian Ki Hadjar Dewantara tentang tri pusat
sistem pendidikan, dikatakan bahwa pusat pendidikan terutama untuk anak adalah didalam
rumah tangga dengan ibu dan bapak sebagai pendidik. Selain waktu terbanyak dari seorang
anak itu memang dalam rumah, juga sebenarnya hubungan emosional yang dapat
membangun sikap, sifat dan watak seorang anak dimulai sejak lahir, dalam rumah.

25
 Menurut UU Sisdiknas
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan
pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar
secara mandiri. Hasil pendidikan diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal
setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional.
 Menurut Coombs
Pendidikan informal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis di luar
persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari
kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di
dalam mencapai tujuan belajarnya. Pendidikan informal yang mana sangat dipengaruhi oleh
keluarga dan lingkungan masyarakat sangat berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan
perilaku seorang anak. Disini anak mengenal bahasa yang pertama, serta kebiasaan-kebiasaan
yang dihilangkan hingga dewasa, sehingga pendidikan ini akan mempengaruhi jiwa seorang
anak.

2.4.2 Pentingnya Pendidikan Informal


Menurut Sudiapermana (2009) Pendidikan informal merupakan penidikan pemula,
sebelum melangkah kepada pendidikan formal. Berhasil atau tidaknya pendidikan formal
atau pendidikan sekolah bergantung pada dan dipengaruhi oleh pendidikan di dalam keluarga.
Pendidikan ini adalah pundamen atau dasar bagi pendidikan selanjutnya. Hasil-hasil
pendidikan yang diperoleh anak dalam keluarga menentukan pendidikan anak selanjutnya,
baik disekolah maupun dalam masyarakat.
Hal yang dikemukakan tadi tidak bisa disangkal lagi betapa pentingnya pendidikan
dalam lingkungan keluarga bagi perkembangan anak-anak menjadi manusia yang berpribadi
dan berguna bagi masyarakat. Tentang pentingnya pendidikan dalam lingkungan keluarga itu
telah dinyatakan oleh banyak ahli didik dari zaman yag telah lampau. Comenius, seorang ahli
didaktik yang terbesar, dalam bukunya Didaktica Magna, disamping mengemukakan azas-
azas didaktiknya yang samapai sekarang masih dipertahankan kebenarannya, juga
menekankan betapa pentingnya pendidikan keluarga itu bagi anak-anak yang sedang
berkembang.
Di dalam uraiannya tentang tingkatan-tingkatan sekolah yang dilalui oleh anak sampai
mencapai tingkat kedewasaan, ia menegaskan behwa tingkatan permulaan bagi pendidikan
anak-anak dilakukan di dalam keluarga yang disebut scola-materna (sekolah ibu). Untuk
tingkatan ini ditulisnya sebuah buku penuntun, yaitu informatorium. Di dalamnya diutarakan

26
bagaimana orang tua harus mendidik anak-anaknya dengan bijaksana, untuk memuliakan
Tuhan dan untuk keselamatan jiwa anak-anaknya.
J.J, Rouseatu, sebagai salah satu pelopor ilmu jiwa anak mengutarakan pula betapa
pentingnya pendidikan keluarga itu. Ia menganjurkan agar pendidikan anak-anak disesuaikan
dengan tiap-tiap masa perkembangannya sedari kecilnya, dijelaskannya pendidikan-
pendidikan manakah yang perlu diberikan kepada anak-anak mengigat msa-masa
perkembangan anak itu.

2.4.3 Fungsi Dan Peranan Pendidikan Informal dalam Pendidikan Vokasi


Mengacu pada pengertian pendidikan informal diatas, fungsi dan peranan utama
dalam pendidikan ialah untuk membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Adapun
beberapa fungsi dan peranannya ialah sebagai berikut:
 Membantu meningkatkan hasil belajar anak, baik pendidikan formal maupun non
formal.
 Mengontrol dan memotivasi anak agar lebih giat belajar.
 Membantu pertumbuhan fisik dan mental anak, baik dari dalam keluarga maupun
lingkungan.
 Membentuk kepribadian anak dengan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan,
kemampuan dan perkembangan anak.
 Memotivasi anak agar mampu mengembangkan potensi atau bakat yang dimilikinya.
 Membantu anak didik agar lebih mandiri dan mampu memecahkan masalah yang
dihadapinya.
Dari penjelasan tersebut, kita menyadari bahwa peran keluarga, khususnya orang tua,
sangan besar terhadap pertumbuhan seorang anak. Artinya orang tua akan selalu terlibat
dalam proses pembelajaran seorang anak sepanjang hidupnya. Pendidikan informal dalam
keluarga berperan sebagai support sistem pada peserta didik, khususnya dalam bidang vokasi.
Munculnya kenakalan remaja dikarenakan oleh minimnya support dari lingkup pendidikan
informal yang dalam hal ini adalah keluarga.Berikut ialah fungsi dan peranan orang tua
dalam proses belajar yang efektif dan bermakna:
 Orang tua sebagai pendidik.
 Orang tua sebagai pembimbing.
 Orang tua sebagai teladan.
 Orang tua sebagai pengontrol
 Orang tua sebagai fasilitator

27
 Orang tua sebagai motivator
 Orang tua sebagai inovator

2.4.4 Peranan Pendidikan Informal di Keluarga


1. Pengalaman Pertama Masa Kanak-Kanak ini merupakan faktor yang sangat penting
bagi perkembangan berikutnya, khususnya dalam perkembangan pribadinya.
Kehidupan keluarga sangat penting, sebab pengalaman masa kanak-kanak akan
memberi warna pada perkembangan selanjutnya. Dalam pendidikan vokasi,
kesusksesan karir seorang peserta didik juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman
kanak-kanak dalam lingkungan keluarganya.
2. Membentuk Kehidupan Emosional Anak, dan 3 hal yang menjadi pokok dalam
pembentukan emosional anak, adalah :
o Pemberian perhatian yang tinggi terhadap anak, misalnya dengan menuruti
kemauannya, mengontrol kelakuannya, dan memberikan rasa perhatian yang
lebih.
o Pencurahan rasa cinta dan kasih sayang, yaitu dengan berucap lemah lembut,
berbuat yang menyenangkan dan selalu berusaha menyelipkan nilai
pendidikan pada semua tingkah laku kita.
o Memberikan contoh kebiasaan hidup yang bermanfaat bagi anak, yang
diharapkan akan menumbuhkan sikap kemandirian anak dalam melaksanakan
aktifitasnya sehari-hari.
3. Menanamkan Dasar Pendidikan Moral Seperti pepatah “Buah jatuh tak jauh dari
pohonnya”. Anak akan selalu berusaha menirukan dan mencontoh perbuatan orang
tuanya. Karenanya, orang tua harus mampu menjadi suri tauladan yang baik.
Misalnya dengan dengan mengajarkan tutur kata dan perilaku yang baik bagi anak-
anaknya.
4. Memberikan Dasar Pendidikan Sosial Keluarga sebagai komunitas terkecil dalam
kehidupan sosial merupakan satu tempat awal bagi anak dalam mengenal nilai-nilai
sosial. Di dalam keluarga, akan terjadi contoh kecil pendidikan sosial bagi anak.
Orang tua sebagai teladan, sudah semestinya memberikan contoh yang baik bagi
anak-anak. Misalnya memberikan pertolongan bagi anggota keluarga yang lain,
menjaga kebersihan dan keindahan dalam lingkungan sekitar.
5. Peletakkan Dasar-dasar Keagamaan Masa kanak-kanak adalah masa paling baik
dalam usaha menanamkan nilai dasar keagamaan. Kehidupan keluarga yang penuh

28
dengan suasana keagamaan akan memberikan pengaruh besar kepada anak. Kebiasaan
orang tua mengucapkan salam ketika akan masuk rumah merupakan contoh langkah
bijaksana dalam upaya penanaman dasar religius anak.

Dalam pendidikan informal, ada beberapa Tanggung Jawab yang harus dipenuhi oleh
keluarga agar anak/peserta didik sukses dalam kehidupannya dalam pendidikan formal
maupun nonformal, khususnya bidang vokasi, yaitu:
 Adanya motivasi atau dorongan cinta kasih yang menjiwai hubungan orang tua dan
anak. Hubungan yang tidak didasari cinta kasih akan menimbulkan beberapa sifat
negatif bagi perkembangan anak.
 Begitu pula, tidak cukupnya kebutuhan anak akan kasih sayang akan membuat anak
selalu merasa tertekan dan ragu dalam menjalani kehidupan selanjutnya.
 Pemberian motivasi kewajiban moral sebagai konsekuensi kedudukan orang tua
terhadap keturunannya. Usia anak yang masih dini akan cukup membantu orang tua
dalam penanaman sikap-sikap hidup. Rasa ingin tahu anak akan menghasilkan
pengetahuan yang asli dan berakar bagi anak. Keluarga harus mampu menggunakan
masa ini untuk betul-betul membentuk kepribadian awal anak sebagai anggota
keluarga.
 Tanggung jawab sosial adalah bagian dari keluarga pada gilirannya akan menjadi
tanggung jawab masyarakat, bangsa dan negara. Masyarakat yang sejahtera dibentuk
dari keluarga-keluarga yang sejahtera pula. Keluarga merupakan awal perubahan
dalam kehidupan bermasyarakat, karena itu keluarga mempunyai tanggung jawab
membentuk masyarakat yang sejahtera.
 Memelihara dan membesarkan anaknya. Ikatan darah dan batin antara orang tua dan
anak akan memberikan dorongan alami bagi orang tua untuk betul-betul mendidik
anak menjadi apa yang mereka inginkan.
 Memberikan pendidikan dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
berguna bagi kehidupan anak kelak, sehingga bila ia telah dewasa akan mampu
mandiri.

2.4.5 Karakteristik Pendidikan Informal


Suatu jalur pendidikan dapat kita kenali dengan memperhatikan karakteristiknya,
adapun ciri-ciri pendidikan informal ialah sebagai berikut:
 Tidak terdapat persyaratan khusus yang harus dilengkapi.
 Peserta didik tidak perlu mengikuti ujian tertentu.

29
 Proses pendidikan dilakukan oleh keluarga dan lingkungan.
 Tidak terdapat kurikulum tertentu yang harus dijalankan.
 Tidak terdapat jenjang dalam proses pendidikannya.
 Proses pendidikan dilakukan secara terus menerus tanpa mengenal ruang dan waktu.
 Orang tua merupakan guru bagi anak didik.
 Tidak terdapat manajemen yang jelas dalam proses pembelajaran.

2.4.6 Jenis dan Contoh Pendidikan Informal


1. Agama
2. Budi pekerti
3. Etika
4. Sopansantun
5. Moral
6. Sosialisasi
Seperti yang disebutkan pada penjelasan diatas, bahwa proses penyelenggaraan
pendidikan ini dilakukan oleh keluarga dan lingkungan. Adapun beberapa contoh jalur
pendidikan ini ialah sebagai berikut:
 Pendidikan budi pekerti
 Pendidikan agama
 Pendidikan etika
 Pendidikan sopan santun
 Pendidikan moral
 Sosialisasi dengan lingkungan

2.4.7 Perbedaan Antara Pendidikan Informal Dan Nonformal


Terdapat beberapa perbedaan antara pendidikan informal dan pendidikan nonformal.
Pada prinsipnya, perbedaanya terletak pada maksud penyelenggaraannya. Pada pendidikan
informal, tidak dimaksudkan khusus untuk pendidikan, pendidikan tersebut hanya diperoleh
dari pengalaman, baik dikeluarga maupun diluar keluarga.Sedangkan pada pendidikan
nonformal,memang sengaja dimaksudkan untuk pendidikan. Untuk mengetahui lebih jelas
perbedaan kedua jenis pendidikan tersebut, perhatikan tabel berikut.

30
Tabel 4. Perbedaan pendidikan nonformal dan informal

Sumber: Sudiapermana (2009)

2.4.8 Masalah Pendidikan Informal


Pendidikan informal berada dalam lingkungan keluarga. Baik buruknya pendidikan
keluarga ditentukan oleh kepala keluarga masing-masing dalam memanajemen keluarganya.
Masalah yang sering adalah kurangnya perhatian keluarga kepada anak, minimnya keadaan
keuangan keluarga sehingga banyak anak-anak mereka yang tidak mampu mengenyam
pendidikan tinggi (Shochib, 1998). Begitu kaya dan potensial pendidikan dan pembelajaran
informal yang dilakukan dalam keluarga dan lingkungan masyarakat. Begitu dahsyat
pendidikan dan pembelajaran informal bermakna untuk merubah kehidupan (khususnya
perkembangan anak-anak). Haruskah kita kehilangan itu semua untuk mencapai hasil
pendidikan yang kita harapkan, demi karena semuanya harus formal. Tidak kah sebaiknya
kita memeras pikiran untuk melahirkan indikator-indikator yang dapat mengapresiasi karya-
karya pendidikan dan pembelajaran informal, ketimbang hanya menyudutkan sesuatu yang
informal seolah-olah sebagai sesuatu yang tidak jelas dan bukan urusan publik. Reposisi
pemikiran untuk membangun kebijakan dan program pendidikan sangat diperlukan, agar
dikemudian hari pengakuan dan penghargaan terhadap pendidikan dan pembelajaran informal
menjadi lebih nyata.

31
2.4.9 Tantangan Pendidikan Informal di Era Global
Charles L. Harper (1989) mengemukakan dua perspektif dalam melihat proses
perubahan dunia global, yakni: 1) perspektif sistem dalam memandang dunia dan
masalahnya, 2) perspektif ekologis tentang hubungan antara aktifitas sosial manusia dan
kapasitas planet bumi dalam mendorong kehidupan. Dalam sudut pandang sistem, masalah
yang akan dihadapi adalah saling kebergantungan ekonomi, politik, ideologi dan budaya.
Bahkan sistem dunia akan menjadi sangat kompleks, tidak teratur dan tidak stabil (berubah
terus menerus). Sedangkan dalam sudut pandang ekologis, persoalannya adalah sejauhmana
lingkungan fisik dan sumberdayanya dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia yang
populasinya makin tinggi dengan tetap menjamin berlangsungnya pembangunan
berkelanjutan. Apapun yang menjadi perspektif dalam melihat perkembangan kehidupan
dunia, globalisasi telah menjadikan dunia menjadi ruang terbuka bagi interaksi dan saling
pengaruh antar pihak (orang, kelompok, negara, dll). Oleh karena itu, adanya berbagai
fenomena dan kesepakatan negara-negara di dunia terkait dengan peningkatan kualitas
manusia sebagai subyek sekaligus obyek dalam berbagai aktifitas yang berpengaruh terhadap
perubahan-perubahan, merupakan hal yang perlu mendapat perhatian dunia pendidikan.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memfasilitasi hubungan
antar pihak (orang, kelompok, negara, dll) dari suatu daerah ke daerah lain, yang mungkin
tidak banyak orang menyangka sebelumnya itu bisa terjadi. Kemajuan TIK telah menjadikan
dunia kehidupan sehari-hari banjir informasi melaliui berbagai bentuk media, informasi yang
paling terkini sekalipun. Kemampuan daya beli masyarakat hampir tidak menjadi ukuran
apakah seseorang dapat atau tidak dapat mengakses informasi, karena dengan TIK informasi
menjadi sangat murah untuk diperoleh. Apa yang terjadi di lingkungan pendidikan? Jika dulu
sumber informasi paling canggih adalah guru sebagai seorang yang dipersiapkan menguasai
mata pelajaran tertentu, bukan mustahil sekarang ini banyak murid yang sudah mendahului
atau lebih luas/ banyak menguasai informasi pengetahuan mata pelajaran dibanding dengan
guru kelasnya. Jika dulu orang tua dan guru sebagai panutan atau teladan (role model) bagi
anak-anak, sekarang sudah banyak fakta anak-anak lebih menirukan figur favorit-nya dari
media TV, jaringan internet, dan media lainnya. Jika dulu anak yang pintar adalah mereka
yang taat mengikuti pelajaran di ruang kelas, banyak terjadi anak merasa bosan, kemudidan
„nakal‟, bahkan drop-out dari sekolah karena merasa „lebih pintar‟ dari guru kelasnya.
Para pendidik dan pimpinan sekolah yang sadar akan kemajuan kehidupan dengan
cerdas akan membawa murid-muridnya ke luar ruang kelas bahkan ke luar lingkungan
sekolah. Di kelas pun mendiskusikan informasi-informasi yang aktual dan secara arif

32
menempatkan anak murid sebagai orang berpengetahuan dan berpengalaman yang diperoleh
melalui pengalaman belajar di luar sistem sekolah (dalam hal ini pendidikan nonformal
maupun informal). Fenomena belajar mandiri dengan akses terhadap sumber-sumber
informasi yang tersedia menjadi hal tidak aneh dalam kehidupan global yang banjir
informasi. Perubahan-perubahan itulah yang diharapkan melalui penerapan prinsip
pendidikan/pembelajaran sepanjajng hayat, sebagaimana diringkaskan dalam tabel 3 berikut.

Tabel 5. Scope, Content, and Delivery of Education and Training in Traditional


and Lifelong Learning Models
Dimension Traditional model Lifelong learning model
Scope Formal schooling from Lifelong learning model
primary to higher education
Content • Acquisition and repetition  Creation, acquisition, and application of
of knowledge knowledge
 Curriculum driven  Diverse sources of knowledge
 Empowerment of learners
 Competency driven
Delivery  Limited learning options  Multitude of learning options, settings, and
and modalities modalities
 Formal institutions  New pedagogical approaches
 Uniform centralized  Technology-supported delivery
control  Pluralistic, flexible decentralized system
 Supply driven  Learner driven
Sumber : Sudiapermana (2009)

Tantangan-tantangan pendidikan di Indonesia akan menjadi makin besar berkaitan


dengan gagasan-gagasan pergeseran paradigma pendidikan yang seharusnya dirubah
sebagaimana dikemukakan Makagiansar sbb:
1. pergeseran paradigma dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat.
2. pergeseran paradigma dari belajar berfokus ke penguasaan pengetahuan ke belajar holistik.
3. pergeseran paradigma dari citra hubungan guru-siswa yang bersifat konfrontatif ke citra
hubungan guru-siswa yang bersifat kemitraan.
4. pergeseran paradigma dari pengajaran yang menakankan kepada penguasaan pengetahuan
skolastik atau akademik ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai.
5. pergeseran paradigma dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye memperkuat
literasi (keterbacaan) teknologi, budaya, dan komputer.
6. pergeseran paradigma dari penampilan soliter (terisolasi) ke penampilan dalam kerja tim
(teamwork).
7. pergeseran paradigma dari konsentrasi ekslusif pada kompetisi ke orientasi kooperatif
(kerjasama).

33
Secara konseptual, menghadapi tantangan-tantangan abad ke-21, Delors (1998)
mengemukakan ada empat pilar pembelajaran, yaitu: learning to know, learning to do,
learning to live together, dan learning to be. Sedangkan (Rose & Nicholl, 1997) berpendapat
bahwa hal penting dalam pendidikan menghadapi abad ke-21 adalah bagaimana
membelajarkan learning how to learn dan learning how to think.

34
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Pendidikan dipandang sebagai kunci pembangunan berkelanjutan. Era keterbukaan
dan persaingan bebas ditandai dengan memudarnya sekat-sekat antar negara termasuk dengan
pembentukan berbagai kesepakatan pembukaan pasar regional dalam berbagai ukuran
cakupan kawasan dari sekelompok negara bertetangga, satu benua, dan lintas benua seperti
MEA, AFTA, dan APEC. Pendidikan vokasi merupakan bagian penting dari sistem
pendidikan nasional yang tentu mempunyai posisi strategis untuk mewujudkan tenaga kerja
yang berkualitas. Pendidikan vokasi tercakup ke dalam jenis pendidikan formal, non-formal
dan informal. Pendidikan dituntut untuk mempersiapkan peserta didik untuk berintegrasi
secara efektif dalam lingkungan sosioal-profesional, untuk memiliki delapan kompetensi
utama yang akan meyakinkan dunia usaha atau industri. Menurut pendapat para pakar,
keberhasilan di pasar tenaga kerja, adalah salah satu argumen kunci yang mendukung
pentingnya pembelajaran formal adalah berkorelasi dengan pembelajaran nonformal dan
informal. Pendidikan formal meliputi pendidikan jenjang SMK dan pendidikan tinggi vokasi,
pendidikan nonformal meliputi lembaga kurusus dan pelatihan, sedangkan pendidikan
informal meliputi pendidikan keluarga dan lingkungan.

3.2 SARAN
Pendidikan vokasi membutuhkan peran lembaga nonformal dan informal untuk
mendukung keberlangsungan pembelajaran di bidang vokasi formal. Keterlibatan keluarga
sangat penting dalam membentuk karakter peserta didik. Pengaruh lingkungan juga akan
memberikan warna dalam kepribadian peserta didik. Oleh karena itu kerjasama antara semua
pihak sangat dibutuhkan agar terwujud sumber daya manusia yang berakhlak mulia dan
berkompeten. Sehingga generasi penerus bangsa tidak akan tergerus oleh derasnya arus
persaingan global.

35
DAFTAR PUSTAKA

Coombs, P. H. (1973). New paths to learning for rural children and youth (No. 04; LC146,
C66.).
Cristopher Jencks, et.al. (1972). Inequality: A Reassesment of the effectof Family and
Schooling in America. New York: Harper & Rpws Publishers
Delors, J. (1998). Learning: The treasure within. Unesco.
Diane Scott-Jones and Wilma Peebles-Wilkins. (1986). Sex Equity in Parenting and Parent
Education. Theory into Practice, No.4, Vol.XXV. Autumn
Gonzales, MCT and Pijano, MCV. (1997). Non Formal Education in the Philippines: A
Fundamental Step Towards Lifelong Learning. ed. Hatton. MJ. Lifelong Learning.
Paris: UNESCO Publication
Harbinson. (1979). A Human resources Approach to the Development of Africa Nations and
Education Sector Planning for development of Nationwide Learning System.
Washington: OLCACE
Isakandar, A. (1996). Pendidikan Luar Sekolah dalam Pelita VII, Prakiraan berpegang pada
25 tahun Pendidi kan Sekolah. Makalah (Seminar HAI XXXI di Bogor)
Joseph H. Stevens, Jr., Ruth A. Hough, Joanne R. Nurss. (1993). The Influence of Pa-rents on
Children’s Development and Education”, ed. Bernard Spodek, Handbook of Research
on the Education of Young Children. New York: Macmillan Publishing Company
Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia
Nomor 165/M/2021 Tentang Program Sekolah Menengah Kejuruan Pusat
Keunggulan
Lengrand, P. (1984). Pendidikan Sepanjang Hayat Terjemahan Lembaga Studi Ilmu-ilmu
Kemasyarakatan. Jakarta: Gunung Agung
Livingstone, D. W. (2006). Informal learning: Conceptual distinctions and preliminary
findings. Counterpoints, 249, 203-227.
Marcia J. Carlson and Mary E. Corcoran. Family Structure and Children’s Behavioral and
Cognitive Outcomes. Tersedia: http://.ncfr.alle…/?request=get-abstract&issn=0022-
2445&volume=063& issue=03&page=077
Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor: 07/D.D5/Kk/2018 Tentang Struktur Kurikulum Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK)

36
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2017 Tentang
Standar Balai Latihan Kerja
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2013
Tentang Pendirian Satuan Pendidikan Nonformal
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 2014
Tentang Standar Kompetensi Lulusan Kursus dan Pelatihan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016
Tentang Alih Fungsi Sanggar Kegiatan Belajar Menjadi Satuan Pendidikan Non
formal Sejenis
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2018
Tentang Standar Nasional Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah
Kejuruan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020
Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2020
Tentang Praktik Kerja Lapangan Bagi Peserta Didik
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 Tentang Sistem Pelatihan
Kerja Nasional
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional
Pendidikan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2019 Tentang Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Philip H. Coombs dan Manzoor Ahmed. (1984). Memerangi Kemiskinan di Perdesaan
melalui Pendidikan Non Formal. Jakarta: Rajawali
Pribadi, S. (1980). Landasan Pendidikan. Bandung: FIP IKIP.
Pribadi, S. (1981). Filsafat Kehidupan Keluarga. ed. Sikun dan Subowo, Menuju Keluarga
Bijaksana. Banding: Yayasan Sekolah Isteri Bijaksana.
R. Gary Bridge; Charles M. Judd; Peter R. Moock. (1979). The Determinant of Educa-tional
Outcomes: The Impact of Families, Peers, Teachers, and School. Cambridge:
Ballinger Publishing Company

37
Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan
dan Penyelenggaraan Pendidikan
Rose, C. P., & Nicholl, M. J. (1997). Accelerated learning for the 21st century: The six-step
plan to unlock your master-mind. Dell.
Shochib, M. (1998). Pola Asuh Orang Tua: Dalam membantu Anak Mengembangan Disiplin
Diri. Jakarta: Rineka Cipta
Soedijarto. (1997). Memantapkan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam Menyiap-kan
Manusia Indonesia Memasuki Abad ke-21. Jakarta:Balai Pustaka
Soejono, A. (1979). Aliran baru dalam pendidikan. CV Ilmu.
Soelaeman, MI. (1985). Suatu Upaya Pendekatan Fenomenologis terhadap Situasi Kehidupan
dan Pendidikan dalam Keluarga dan Sekolah. Disertasi, Bandung: FPs IKIP Bandung
Sudiapermana, E. (2009). Pendidikan Informal. Jurnal Pendidikan Luar Sekolah, 4(2).
Sunaryo. (1983). Iklim Kehidupan Keluarga. Tesis. Bandung: FPS IKIP
Sutanto, I., Suprijanto, S., Manoempil, P., & Baird, J. K. (2009). Resistance to chloroquine
by Plasmodium vivax at Alor in the Lesser Sundas Archipelago in eastern Indonesia
Ulwan, A. N., Hakim, K. A. M., & Muhajir, A. (1992). Pendidikan anak menurut Islam:
Kaidah-kaidah dasar. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wuraji. (1997). Peranan Pendidikan Luar Sekolah dalam Membangun Masyarakat Gemar
belajar. Makalah disampaikan pada Konvensi ISPPSI di Surabaya

38

Anda mungkin juga menyukai