Anda di halaman 1dari 6

Book Review

DIALOG PARADIGMA
METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL
Methods on Social Research Paradigm Dialogue
Mohammad Teja
Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
Naskah diterima: 24 Juli 2012
Naskah diterbitkan: 22 Desember 2012

Judul buku : Dialog Paradigma Metodologi Penelitian Sosial


Penulis : Prof. Muslim Salam. Ir., M.Ec., Ph.D
Penerbit : Masagena Press
Tahun : 2011, Cetakan I
Tebal : xxii + 244 halaman

Buku ini lahir akibat adanya kegelisahan dan respons terhadap masih kurangnya
literatur berbahasa Indonesia yang mengupas metodologi penelitian sosial kuantitatif,
kualitatif, dan penelitian partisipatoris dari sisi filosofisnya. Selain itu buku ini juga
bertujuan untuk mengisi sisi filsafat metodologi penelitian sosial. Menurut penulis, saat
ini banyak dijual buku-buku karya penulis nasional namun tidak banyak yang mengurai
dimensi teknik-metodik penelitian sosial. Hal ini menyebabkan masih banyak mahasiswa
pascasarjana program-program ilmu sosial kurang memahami filsafat ontologis,
epistemologis, dan aksiologis berbagai metodologi penelitian yang berkembang pada
saat ini.
Oleh karena itu, menurut penulis buku ini lebih banyak menguraikan perbedaan
metodologi penelitian yang digunakan dalam pengumpulan dan analisa data. Saat ini
masih banyak mahasiswa pascasarjana yang memahami penelitian kuantitatif adalah
penelitian yang melibatkan “angka-angka” dan penelitian kualitatif adalah penelitian yang
menggunakan “kata-kata.” Bahkan metode penelitian partisipatoris hanya dianggap sebagai
metode yang mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam pengumpulan data. Penulis
berpendapat bahwa beberapa pemahaman di atas sebagai sebuah “kecelakaan akademik.”
Meskipun tidak salah, tetapi pemahaman seperti itu merupakan simplifikasi masalah yang
bisa menyesatkan.
Buku ini juga memberikan ulasan mengenai pengantar metodologi yang dibagi
menjadi tiga domain yang kemudian diberikan istilah metascientific domain yang terdiri
dari: 1) naturalistic scientific project (naturalistic science), 2) critical scientific project
(critical science), dan 3) interpretative scientific project (interpretative science). Istilah
project yang digunakan oleh Pressler dan Dasilva dalam kaitan ini lebih ditujukan pada
dimensi agenda perjuangan yang diemban para proponennya masing-masing. Hal ini
digunakan untuk meyakinkan masyarakat akademik akan kelebihan/keunggulan masing-

Mohammad Teja, Book Review: Dialog Paradigma | 223


masing domain, serta menunjukkan dengan instrumental reasons, sebagai suatu
kesalahan/keterbatasan berbagai asumsi kapasitas manusia yang digunakan dalam
dasar dari domain lain. Kemudian istilah memanipulasi “sesuatu” dan “proses” untuk
domain dapat diartikan sebagai “cakupan,” kemaslahatan manusia. Ego merupakan
“ruang lingkup,” “kapling,”dan “wilayah perangkat utama dalam naturalistic
kajian.” science yang sangat berperan penting
Sedangkan metascientific domain dalam melakukan disain penelitian. Ego
dapat diartikan sebagai “kapling menentukan apa yang penting, apa yang
scientific” yang lebih bersifat abstrak harus dilakukan, bagaimana melakukannya,
dari berbagai ilmu pengetahuan yang dan bagaimana menginterpretasikan
ada. Domain-domain yang disebutkan hasilnya.
di atas mempunyai akar filsafat masing- Pressler dan Dasilva (1996) kemudian
masing. Dalam ilmu-ilmu sosial, mengatakan dalam kerangka naturalistic
paradigma positivisme berakar dari science, ilmu pengetahuan dipercaya
filsafat positivisme Comte sebagai memperoleh dukungan dari hukum-hukum
turunan filsafat empirisme deduktif yang alam yang bersifat umum dan penjelasan-
dikembangkan dengan menggunakan penjelasan kausalitas. Penelitian yang
logika natural science. Sementara dilakukan dalam bingkai sains ini adalah
paradigma partisipatoris dan naturalisme mencari hukum-hukum alam yang umum,
masing-masing berasal dari filsafat maka strategi penelitian yang dibuatnya
dan ideologi Marxisme dan filsafat berbeda pada tingkatan abstrak dan
empirisme-induktif. didasarkan pada logika. Kemudian, metode
1. Naturalistic Science yang digunakan dalam pengumpulan dan
Menurut Pressler dan Dasilva (1996) analisa data menggunakan tipe kuantitatif
tujuan umum naturalistic science adalah secara konsisten (Pressler dan Dasilva,
meningkatkan adaptasi manusia terhadap 1996:3).
situasi lingkungan yang melingkupi, Dalam dinamikanya proses penelitian
lingkungan alam atau lingkungan sosial. yang menggunakan metode ini pertama
Ciri khasnya adalah objectifying techniques kali harus melakukan formulasi proyek
(teknik objektivitas) dengan melakukan penelitian. Setelah itu penelitian dilakukan
heuristic conversion1 terhadap objek-objek pada lingkungan realitas yang bisa disebut
studi menjadi object of nature. Lebih lanjut eksperimen dan/atau penelitian dalam
menurut Pressler dan Dasilva, naturalistic laboratorium ilmu alam dan penelitian
science didasarkan dan dilakukan sesuai survei dalam ilmu-ilmu sosial. Data yang
terkumpul kemudian disajikan dalam
heuristic conversion dimaksud sebagai sistem
1

konversi yang menggunakan metode trial and error


hasil penelitian dan disebarluaskan ke
(sistem coba-coba) yang memperlakukan manusia berbagai pengguna (masyarakat akademik,
sosial sebagai objek studi sosiologi dan ilmu masyarakat umum, klien, dan lain-lain).
sosial lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Secara ontologis, penganut paradigma
para natural scientists. Kemudian maksud tersirat positivisme mengasumsikan bahwa realitas
naturalistic science ini dalam ilmu-ilmu sosial
sosial adalah suatu struktur objektif yang
(sosiologi) dengan frase objectfying techneques
adalah mengkonversi objek-objek studi (objects of bebas dari subjektivitas manusia. Oleh
study) menjadi objects of nature (objek alam, suatu karena itu, realitas sosial resisten terhadap
benda). perasaan, kemauan, preferensi dan intervensi

224 | Aspirasi Vol. 3No. 2, Desember 2012


manusia. Dari sisi epistemologi, para dan pencerahan yang bisa membuat para
penganjur, penganut, dan pemakai model agent (peneliti, pelaksana pembangunan,
ini, menganggap bahwa peneliti dan realitas dan pihak terkait) sadar akan adanya hidden
sosial adalah dua hal yang terpisah. Tidak coercion (paksaan tersembunyi). Dengan
ada pertukaran pengaruh di antara keduanya, kata lain, agenda perjuangan yang diusung
sehingga mereka tidak saling memengaruhi. sains kritis adalah agenda pembebasan dan
Ini berarti sistem nilai yang dianut keduanya pemberdayaan. Dengan melakukan advokasi
tidak terkontaminasi satu sama lain. Dengan pencerahan dan pemberdayaan diharapkan
demikian secara aksiologis, hasil penelitian masyarakat memiliki kemampuan dalam
yang diungkapkannya bebas nilai, yang menetapkan penentuan pilihan demi masa
secara praktis-metodologis disebut objektif. depan mereka sendiri. Agen-agen dalam
posisi semacam ini bukan lagi sebagai
2. Critical Science inisiator, penyuluh, dan guru, melainkan
Istilah ini terlahir dari tradisi akademik hanya sebagai fasilitator perubahan dan
yang berkembang di Jerman pada awal teman berpikir bagi masyarakat.
abad XX yang pertama kali digulirkan oleh Dalam implementasinya, sains kritis
Institute of Social Researchof University (ego) biasanya melakukan kegiatan dengan
Frankfurt, yang disebut oleh Pressler dan seorang staf dan komunitas yang menjadi
Dasilva sebagai sains kritis. Adalah domain target belajarnya. Selain itu juga menjadi
ilmu yang menjadikan filsafat Maxisme “partner peneliti” dalam memberikan dan
“dialectica materialism” sebagai kerangka mendiskusikan rencana penelitian yang akan
filsafatnya. Filsafat ini menjadi proses didesainnya bersama (Pressler dan Dasilva,
dialektika sebagai wahana perjuangan 1996;5). Menurut Pressler dan Dasilva, pada
kelas. Ruh filsafat Maxisme ini menjadi umumnya anggota komunitas yang berada
acuan dasar bagi Horkheimer et.all dalam dalam wilayah kajian sains kritis adalah
mengembangkan teori kritis Institute of bagian masyarakat yang dimarginalisasi,
Social Research yang didirikannya pada yaitu orang yang tertekan dan tidak
awal tahun 1920-an. mempunyai hak suara layaknya masyarakat
Pressler dan Dasilva menyatakan bahwa umum. Anggota masyarakat seperti ini
tujuan dari sains kritis adalah mendapatkan biasanya di sebut oppressor (kelompok)
pencerahan, yang akan membuka jalan yang lebih sering bersifat mempertahankan
alternatif bagi individu dan komunitas luas status quo. Dalam upaya mengubah status
dalam menyelesaikan persoalan sosial dan mereka perlu dilakukan pemberdayaan
persoalan yang ada. Oleh karena itu, model- melalui bingkai penelitian yang dilakukan
model penelitian yang bernaung dalam payung oleh peneliti penganut sains kritis. Salah
sains kritis melibatkan identifikasi masalah atau satu yang menjadi agenda analisis dari
perilaku yang problematik dan menjelaskan sains kritis adalah analisis distorsi persepsi
strategi penanganannya (mengatasi dan dan pengetahuan, baik pada level individu
mengubahnya) secara jelas dan cermat. Model maupun komunitas.
seperti ini jelas lebih bernuansa politik dan Selanjutnya formulasi hasil temuan
berdimensi transformasi sosial dari kajian sains kritis pada umumnya
Seperti halnya Pressler dan Dasilva, menggunakan proses dialektika. Di sini
Guess mengatakan bahwa teori kritis para peneliti akan mengomunikasikan
bertujuan membangun proses emansipasi hasilnya kepada para rekan sejawatnya

Mohammad Teja, Book Review: Dialog Paradigma | 225


(yang tertarik dan/atau berafiliasi dengan Secara ontologis, sains interpretatif
topik kajian yang dimaksud). Aktivitas berbeda dengan naturalistic dan sains kritis.
tersebut dikenal dengan nama peer review Sains interpretatif memandang pengetahuan
yang bertujuan untuk memperoleh umpan dan kebenaran adalah hasil interpretasi. Bagi
balik mengenai substansi kajian. Hal ini para penganut sains interpretatif, kebenaran
relatif tidak berkaitan dengan metode hakiki ada dan berasal dari anggota sistem
penelitian seperti yang banyak ditemukan sosial yang sedang dikaji dalam individu.
dalam naturalistic model. Realitas sosial adalah hasil interaksi “kita” dan
dikonstruksi oleh manusia, bukan hasil dari
3. Interpretative Science proses instrumentasi dan manipulasi statistik
Sering juga di sebut interpretative seperti yang dilakukan oleh naturalistic
science berbeda dengan naturalistic science science. Para ahli sains interpretatif percaya
dan juga sains kritis. Tujuan yang ingin bahwa realitas (termasuk realitas sosial)
di capai dalam tradisi investigasi sains melekat dalam diri seseorang dan sistem
interpretatif adalah pengertian inter-subjektif sosialnya.
dari sistem simbol dan turunannya seperti Realitas sosial tidak diatur melalui
teks-teks khusus (Pressler dan Dasilva, mekanisme hukum-hukum alam layaknya
1996:5). Ego (peneliti) terlibat dalam hukum alam terhadap benda mati, melainkan
proses interpretasi secara langsung bersama in the minds of people. Dalam aplikasinya,
dengan masyarakat yang menjadi target sains interpretatif tidak mengenal pemisahan
penelitiannya. Dengan demikian, peneliti antara peneliti dan objek. Peneliti harus larut
dan anggota sistem sosial yang secara aktif dalam kajiannya. Mereka bekerjasama untuk
melakukan interpretasi terhadap apa yang melakukan klarifikasi arti dan interpretasi
dilakukan masyarakat dalam sistem sosial terhadap masalah yang sedang dikaji dengan
tersebut. Dalam konteks ini, posisi peneliti pendekatan dialogis yang interaktif. Dengan
dan anggota masyarakat sederajat. Kecuali demikian hasil interpretasi dari sains
para peneliti bertujuan menguraikan arti interpretatif secara aksiologis tidak bebas
atau makna suatu peristiwa secara jelas, nilai; tergantung dari mereka yang terlibat
khususnya ketika masalah itu menjadi rumit dalam proses interpretasi.
atau ide yang berkembang masih prematur. Menurut penulis dalam buku setebal
Pada domain sains interpretatif, peneliti 244 halaman ini, diperlukan persamaan
tidak memandang dirinya sebagai bagian persepsi tentang pengertian istilah
yang terpisahkan dengan sistem sosial, “metodologi penelitian” dan perbedaannya
di mana mereka melakukan penelitian dengan istilah “metode penelitian.”
sosial. Peneliti dalam posisi bukan seorang Secara tegas dan jelas batasan terhadap
ahli, melainkan seorang pembelajar (lihat kedua istilah tersebut diuraikan bahwa
Pressler dan Dasilva, 1996:6). Selanjutnya metodologi penelitian membahas tentang
sains interpretatif ini menjadi payung bagi konsep teoretik berbagai metode penelitian
metode-metode investigasi dan teori-teori dengan kelebihan dan kekurangannya
sosial interpretatif yang berkembang dari masing-masing. Sementara, metode
tradisi hermeneutika di Jerman abad XIX penelitian mengulas secara teknis tentang
seperti fenomenologi, ethnometodologi, metode-metode yang digunakan dalam
interaksi simbolik, dan social action suatu penelitian. Dalam bahasa yang lain,
(Brewer, 2003c:210). metodologi lebih berdimensi science of

226 | Aspirasi Vol. 3No. 2, Desember 2012


method, yang sejajar dengan istilah biologi, menggunakan penalaran induktif, dimana
arkeologi, sosiologi, lain-lain. Sedangkan simpulan yang bersifat umum diturunkan
istilah metode penelitian merujuk kepada dari observasi-observasi individu
research tools; hanya sekadar prosedur (Theodorson & Theodorson, 1969:199).
belaka yang bisa dipertukarkan dengan Dalam ilmu-ilmu sosial, model penelitian
kata teknik, cara, prosedur, dan tatacara. kualitatif menggunakan penalaran induktif
Penulis buku “Dialog dan Paradigma sebagai jalan penyusunan sebuah hipotesis
Metodologi Penelitian Sosial” juga dan membangun teori.
memberikan pemaparan mengenai metode Penalaran deduktif adalah kebalikan
berpikir ilmiah. Penalaran induktif dan dari penalaran induktif. Kata deduksi
deduktif menjadi salah satu subbab pada (deduction) yang berasal dari kata Latin
buku ini. Dalam upaya mencapai kebenaran deducere (de yang berarti “dari” dan kata
ilmiah, seseorang harus melalui proses ducere yang berarti “menghantar”, atau
penalaran yang terdiri atas suatu mata rantai “memimpin”(Keraf, 1985:42-43). Dengan
evidensi dan simpulan-simpulan, yang demikian, kata “deduksi” berarti menghantar
begitu rumit dan kompleks dari suatu hal ke hal lain, sebagai suatu istilah
Penalaran induktif adalah proses berpikir dalam penalaran ilmiah. Penalaran deduktif
yang bertolak dari suatu atau sejumlah merupakan suatu proses berpikir (penalaran)
fenomena dari individual untuk menurunkan yang bertolak dari suatu proposisi yang
suatu inferensi (Kerlinger & Lee, 2000:17, sudah ada, menuju kepada suatu proposisi
Keraf, 1985:42-43, Theodorson & baru yang berbentuk suatu simpulan (Keraf,
Theodorson, 1969:199). Proses penalaran ini 1985:42-43). Penalaran deduktif adalah
mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi proses berpikir yang bergerak dari sesuatu
fenomena-fenomena yang ada (Keraf, yang bersifat umum (misalnya teori) ke
1985:42-43). Fenomena harus diteliti dan sesuatu yang lebih spesifik (Kerlinger &
dievaluasi terlebih dulu sebelum melangkah Lee, 2000:17). Dalam penelitian deduktif,
lebih jauh ke proses penalaran induktif, maka untuk menurunkan suatu simpulan, seorang
proses penalaran ini juga disebut sebagai penulis/peneliti harus mengumpulkan
suatu corak berpikir ilmiah. Induksi sendiri bahan-bahan atau fakta-fakta terlebih
tidak akan banyak manfaatnya, jika tidak dahulu. Semakin banyak fakta yang
diikuti proses berpikir yang kedua, yaitu dikumpulkan dan semakin baik ciri kualitas
deduksi (Keraf, 1985:42-43). fakta-faktanya itu, maka akan semakin
Fenomena individu sebagai landasan objektif pula simpulan yang dikumpulkan.
penalaran induktif pertama harus sebagai Dalam penalaran deduktif, penulis/peneliti
data-data dan pernyataan-pernyataan yang tidak perlu mengumpulkan fakta-fakta itu.
bersifat faktual, sehingga induksi dapat juga Yang perlu baginya adalah suatu proposisi
bertolak dari fenomena-fenomena yang umum dan suatu proposisi yang bersifat
berbentuk pada fakta-fakta atau proposisi- mengidentifikasi suatu peristiwa khusus
proposisi. Oleh karena itu, dalam metode yang bertalian dengan proposisi umum tadi.
penalaran induktif, seorang individu Dalam membandingkan penalaran
cenderung mencari data yang mendukung induktif dan deduktif, maka simpulan yang
suatu fenomena, daripada menolak suatu ditarik dalam penalaran induktif mengandung
fakta (lihat Kerlinger & Lee, 2000:17). “kemungkinan kebenaran”. Benar tidaknya
Metode eksperimen pada dasarnya proposisi dan proses penalaran induktif

Mohammad Teja, Book Review: Dialog Paradigma | 227


tergantung dari kebenaran dan sifat-sifat data
yang dipergunakan. Sebaliknya, simpulan
dalan sebuah penalaran deduktif “dapat
dipastikan sebagai simpulan yang benar”,
jika proposisi yang digunakan mengandung
kebenaran.

228 | Aspirasi Vol. 3No. 2, Desember 2012

Anda mungkin juga menyukai