Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MENCIPTAKAN SUASANA BELAJAR YANG SEHAT


Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Diagnosis Kesulitan Belajar

pada Prodi Bimbingan dan Konseling Islam

Dosen Pengampu :
ENI AMALIAH, S.AG., SS., M.AG.

Disusun oleh :
Kelompok 1 (BKI C/Semester 7)

Adri Nofrial 18410402


Anggie Anggraeni 1841040230
Ahmad Fhatoni 18410402
Anggun Feransiska 1841040235

BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. yang mana telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kelompok
yang berjudul “Menciptakan Suasana Belajar Yang Sehat” dari Ibu Eni Amaliah,
S.AG., SS., M.AG. Selaku dosen pengampu mata kuliah Diagnosis Kesulitan Belajar
dengan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Kami ucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini karena telah
memberikan tugas yang dapat menambah keterampilan kami sebagai calon konselor.
Dan tidak lupa kami ucapkan kepada orang tua dan juga pihak-pihak terkait yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk melancarkan tugas ini.

Kritik dan saran kami harapkan agar kami dapat menyajikan tugas makalah yang
lebih baik untuk kedepannya. Semoga makalah ini sedikit banyak dapat menambah
wawasan untuk kita semua.

Bandar Lampung, November 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1
C. Tujuan..................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................2
A.Suasana Belajar Koperatif ...................................................................................3
B. Suasana Belajar Kompetitif.................................................................................6
C. Suasana Belajar Individualistik ..........................................................................9
BAB III PENUTUP .............................................................................................13
A. Kesimpulan.......................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belajar merupakan sebuah proses perubahan di dalam kepribadian manusia dan
perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah
laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman,
keterampilan, daya fikir dan kemampuan-kemampuan individu yang lainnya.
Dalam proses pembelajaran, suasana belajar sangat berpengaruh dalam meningkatkan
hasil belajar pada anak. Apabila pembelajaran menyenangkan maka dapat menimbulkan minat
dan motivasi siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Dalam hal ini kemampuan
guru dalam menyampaikan suatu pembelajaran sangat berpengaruh terhadap minat siswa
dalam kegitan belajar. Apabila guru mampu membuat suasana kelas menjadi menyenangkan,
maka siswa dapat termotivasi untuk semangat dalam belajar dan pada akhirnya hasil belajar
pada siswa dapat meningkat. Dalam suasana pembelajaran yang sehat dapat dibagi menjadi
tiga suasana, yaitu suasana belajar kooperatif, suasana belajar kompetitif, dan suasana belajar
individualistik.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana menciptakan lingkungan yang sehat?


2. Bagaimana Suasana Pembelajaran Kooperatif?

3. Bagaimana Suasana Pembelajaran Kompetitif?

4. Bagaimana Suasana Pembelajaran Individualistik?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang menciptakan lingkungan belajar yang sehat?

2. Untuk Mengetahui Suasana Belajar Kooperatif.

3. Untuk Mengetahui Suasana Belajar Kompetitif.

4. Untuk Mengetahui Suasan Belajar Individualistik.

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Menciptakan Suasana Belajar Yang Sehat


Proses pembelajaran merupakan interaksi siswa dengan lingkungannya, sehingga
pada diri siswa terjadi proses pengolaan informasi menjadi pengetahuan, keterampilan
dan sikap sebagai hasil dari proses belajar. Kondisi pembelajaran yang kondusif hanya
dapat dicapai jika interaksi sosial berlangsung secara baik, interaksi sosial yang baik
memungkinkan masing-masing personil menciptakan pola hubungan tanpa adanya
sesuatu yang mengganggu pergaulannya. Lingkungan budaya memberikan suatu kondisi
pola kehidupan yang sesuai dengan pola kehidupan warganya. “lingkungan budaya
diartikan sebagai pola kehidupan yang dijalankan masing-masing personil dalam
kesaharian. Kemudian dalam mendukung proses pembelajaran yang kondusif sarana dan
prasarana adalah hal yang sangat vital dan harus ada. (Supardi, 2003, 207).1
Maka, dengan demikian pembelajaran aktif merupakan salah satu alternatif yang
sejalan dengan paradigma baru proses pembelajaran yang merangsang, menantang dan
mendorong serta memotivasi kreatifitas siswa. Mereka selain mengetahui berbagai
macam teori dan konsep tentang keilmuan, juga dapat mengetahui dan terampil dalam
mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut. Islam sebagai ajaran yang memegang prinsip
saling menghargai, menghormati, kerja sama, tolong menolong, terbuka, dinamis dan
inovatif sangat menganjurkan adanya pembelajaran aktif ini. Namun demikian, Islam
menghendaki dalam aplikasinya tentu harus pula memperhatikan hal-hal tentang
kesopanan dan tata krama pada siswa.
Dari deskripsi di atas bahwa suasana lingkungan sekolah yang kondusif berkaitan
erat dengan kualitas pembelajaran siswa. Disadari bahwa kelas yang kondusif dapat
menghindarkan siswa dari kejenuhan, kebosanan dan kelelahan psikis sedangkan disisi
lain kelas yang kondusif akan dapat menumbuhkan minat, motivasi dan daya tahan

1
Supardi. 2003. Sekolah Efektif Konsep dasar Dan Prinsipnya, Cet.I: Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
2
belajar. Suasana pembelajaran dapat menyenangkan bagi siswa jika guru dapat
menghadirkan dan memanfaatkan humor dengan tepat. Oleh karena itu untuk membantu
guru menciptakan kondisi pembelajaran dan suasana interaksi yang dapat mengundang
dan menantang siswa untuk berkreasi secara aktif, pembelajaran yang kondusif dan
menyenangkan berarti materi yang disampaikan guru dapat diterima dengan mudah oleh
siswa dan siswa akan lebih tertarik mendalami materi yang disampaikan oleh guru.
Agama juga manganjurkan dalam penyampaian ilmu seorang guru harus dengan cara
yang penuh kelembutan (Supardi, 2003:209).
Suasana belajar dapat menyenangkan bagi siswa jika guru dapat menghadirkan
dan memanfaatkan humor yang tepat. Untuk membantu guru menciptakan kondisi
pembelajaran dan suasan interaksi yang dapat mengundang dan menentang siswa untuk
berkreasi secara aktif, pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan berarti materi
yang disampaikan guru dapat diterima dengan mudah oleh sisiwa dan siswa akan lebih
tertarik mendalami materi yang disampaikan oleh guru. Dalam hal ini bahwa
penyampaian ilmu seorang guru harus dengan cara penuh kelembutan dalam menghadapi
siswa dan mudah maafkan selain itu dalam pengambilan keputusan harus dilakukan
musyawara agar tujuan dari sekolah dapat tercapai dengan baik.
Lingkungan yang kondusif harus ditunjang oleh berbagai fasilitas belajar yang
menyenangkan seperti sarana, laboratorium, pengaturan lingkungan, penampilan dan
sikap guru, hubungna yang harmonis antara siswa dengan guru dan diantara para siswa
itu sendiri, serta penataan organisasi dan bahan pelajaran secara tepat, sesuai dengan
kemapuan dan perkembangan siswa. Iklim belajar yang menyenangkan akan
membangkitkan semangat dan menumbuhkan aktifitas serta kreatifitas siswa.2

Dalam suasana pembelajaran yang sehat dan kondusif dapat dibagi menjadi tiga suasana,
yaitu suasana belajar kooperatif, suasana belajar kompetitif, dan suasana belajar
individualistik.
a) Suasana Belajar Koperatif
Masayarakat sudah lama mengenal semboyan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
Semboyan tersebut telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap upaya
2

3
pembebasan bangsa indonesia dari belenggu penjajahan. Semboyan semacam itu juga telah
memberikan semangat kerja sama yang luar biasa dalam emmecahkan berbagai masalah
kehidupan dunia pendidikan kita juga sudah lama mengenal semboyan silih asah, silih asih,
silih asuh. Semboyan tut wuri handayani, ing madyo mangun karso, ing ngarso sung tulodo
yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara telah begitu melekat dihati bangsa indonesia.
Pendidikan yang menekankan pada interaksi koopertatif adalah pendidikan yang secara
bersungguh-sungguh berupaya mengaktualisasikan berbagai semboyan tersebut dalam dunia
pendidikan. Dengan demikian, pendidikan yang menekankan pada suasan belajar kooperatif
pada hakikatnya bukan suatu ide baru tetapi hanya merupakan back to basic, kembali keakar
budaya bangsa kita sendiri. Interaksi kooperatif menuntut semua anggota dalam kelompok
belajar dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog tidak hanya
dengan guru tetapi juga sesama mereka.Dalaminteraksitersebut diharapkananak-anakdapat
menjadi sumber belajar bagi sesamanya. Interaksi semacam itu diperlukan karena anak-anak
sering merasa lebih mudah belajar dari sesama dari pada belajar dari guru. Interkasi tatap
muka memungkinkan tersedianya sumber belajar yang berfariasi tatap muka memungkinkan
tersedianya sumber belajar yang bervariasi yang dapat mengoptimalkan pencapaian tujuan
belajar, terutama bagi anak yang tergolong berkesulitan belajar.
Pembelajaran kooperatif menampakan wujudnya dalam belajar kelompok. Dalam
kelompok belajar kooperatif, anak tidak diperkenankan mendominasi atau menggantungkan
diri pada anak lain. dalam kelompok belajar kooperatif ditanamkan norma bahwa sikap
mendominasi orang lain adalah sama buruknya dengan sifat menggantungkan diri pada
orang lain. dalam kelompok belajar kooperatif, tiap anggota kelompok dituntut untuk
memberikan urunan bagi keberhasilan kelompok nilai hasil belajar kelompok ditentukan
oleh rata-rata nilai hasil belajar individual.
Dalam pembelajaran kooperatif, keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan
terhadap teman, mengkritik ide lain orang, berani mempertahankan pikiran yang logis, dan
berbagai keterampilan yang bermanfaat untuk menjalin hubungan interpersonal secara
sengaja diajarkan dan dilatih. Anak yang tidak daat menjalin hubungan antar manusia atau
hubungan interpersonal akan memeproleh teguran tidak hanya dari guru tetapi juga oleh
teman-temannya dalam kelompok.

4
Ada beberapa perbedaan antara kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar
tradisional. Sejumlah perbedaan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Kelompok belajar kooperatif didasarkan atas saling ketergantungan positif yang
menuntut tiap anggota kelompok saling membantu demi keberhasilan kelompok. Dalam
kelompok belajar tradisional sering ada yang mendominasi atau bergantung pada
kelompok atau anggota lain.
2. Kelompok belajar kooperatif menuntut adanya akuntabilitas individual yang mengukur
penguasaan bahan belajar tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi balikan tentang
prestasi belajar anggota-anggotanya sehingga mereka saling mengetahui teman yang
memerlukan bantuan. Dalam kelompok belajar tradisional, akuntabilitas individual sering
diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok
sedangkan anggota yang lain hanya mendompleng keberhasilan (pemborong).
3. Kelompok belajar kooperatif terdiri dari anak-anak yang berkemampuan atau memiliki
karakteristik heterogen sedangkan dalam kelompok belajar tradisional, anggotanya sering
homogen.
4. Dalam kelompok belajar kooperatif pemimpin kelompok dipilih secara demokratis,
sedangkan dalam kelompok belajar tradisonal pemimpin kelompok sering ditenttukan
oleh guru.
5. Dalam kelompok belajar kooperatif semua anggota harus salaing membantu dan saling
memberiakn motifasi sedangkan dalam kelompok belajar tradisional sering tidak
mengharuskan demikian.
6. Dalam kelompok belajar kooperatif, penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tapi
juga pada upaya mempertahankan hubungan interpersonal antar anggota kelompok.
Dalam kelompok belajar tradisonal penekanan sering hanya dalam penyelesaiaan tugas.
7. Dalam kelompok belajar kooperatif keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam kerja
gotong royong seperti kepemimpinan, kemampua berkomuniaksi, mempercayai orang
lain, dan mengelola konflik secara langsug diajarkan. Dalam kelompok belajar tradisonal
keterampilan sosial semacam itu, sering hanya diasumsikan.
8. Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung, guru terus melakukan observasi
terhadap kelompok-kelompok belajar, yang melakukan intervensi jika terjadi masalah

5
dalamkerja sama antar anggota kelompok. Observasi dan intervensi, semacam itu sering
tidak dilakukan oleh guru dalam kelompok belajar tradisonal.
9. Dalam kelompk belajar kooperatif, guru memperhatikan efektfitas proses kelompok
belajar sedangkangkan dalam kelompok belajar tradisonal guru sering kurang perduli,
apakah kelompok belajar berjalan dengan baik atau tidak.
Tujuan dari pembelajaran kooperatif, antara lain:
1) Hasil Belajar Akadmeik
Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa untuk
memahami konsep-konsep sulit para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa
model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa dalam
belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar,
pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungangan baik pada siswa kelompok
bawah maupun kelompok atas yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2) Penerapan terhadap perbedaan idividu
Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang
dn kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan
melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
3) Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan ini adalah untuk mengajarkan keterampilan, bekerja sama, dan
kolaborasi.3
b) Suasana Belajar Kompetitif
Alasan utama seorang guru memilih suasana kompetitif umumnya untuk
membangkitkan motivasi belajar. Alasan tersebut tidak keliru karena manusia pada
hakikatnya memiliki needs for achievenemt dan need for power yang biasanya dapat
dipenuhi melalui kompetisi. Tetapi, guru sering juga bahwa kompetisi antar individu atau
antarkelompok yang tidak seimbang dapat menimbulkan keputusasaan bagi yang lemah dan
menimbulkan kebosanan bagi yang kuat. Di samping itu, kompetisi didalam kelas yang
tidak sehat dapat dibawa keluar kelas dalam bentuk permusuhan. Dengandemikian, seorang

3
Kiromim Baroroh, “Efektifitas Pembelajaran Kooperatif Dalam Meningkatkan Efektifitas Dan Presasi Belajar Mahasiswa”, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), 2009), Jurnal

Ekonomi dan Pendidikan, Volume 6 Nomer 2, hal. 135-136 .


6
guru sangat perluhati-hati dalam menciptakan suasana belajar yang kompetitif dalam
suatukegiatan pembelajaran.4
1. Strategi Pembelajaran Kompetitif
Manusia berkompetisi dengan sesmanya karena ada dorongan untuk berprestasi.
Kebutuhan untuk berprestasi adalah dorongan dari dalam diri individu untuk melakukan
segala sesuatu dengan baik, yaitu sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat
manusia.Penciptaan suasan belajar kompetitif perlu dikaitkan dengan tujuan belajar yang
ingin dicapai. Tidak semua tujuan belajar yang efektif dicapai dngan pembelajara
kompetitif. Pembelajaran kompetitif hendaknya digunakan untuk mencapai tujuan belajar
kognitif taraf rendah atau yang bersifat hafalan, yang sangat diperlukan dari kehidupan.
Misalnya, menghafal perkalian 1-10, urutan abjad, nama hari, dan anama bulan. Suasana
belajar kompetitif ini juga efektif mencapai tujuan belajar yang berkenaan dengan
keterampilan mototrik seperti berlari, berenang, ataupun dalam olahraga bela diri. Jadi
pemebalajaran kompetitif hendaknya yang digunakan untuk bersenang-senang atau untuk
pembelajaran yang membosankan dan tidak mendominasi kegiatan pembelajaran, namun
pemebalajaran ini sagat penting dalam kehidupan sehari-hari.5
2. Prinsip belajar kompetitif
Ada dua prinsip yang sangat perlu diperhatikan oleh guru dalam menggunakan
interaksi pembelajaran kompetitif, antara lain yaitu:
a) Kompetitif harus antarindividu atau antarkelompok yang berkemampuan
seimbang,
b) Kompetitif hanya dilakukan untuk selingan yang menyenangkan, bukan
kompetisi perjuangan hidup-mati.6Jika seorangguru ingin menciptakan
suatukompetisi antarindividu maka individu yang saling berkompetisi harus
sama-samamemiliki peluang untuk kalah atau menang. Begitu pula jika
kompetisi tersebut antarkelompok.

4
Mulyono Abdurrahman, “ Anak Berkesulitan Belajar (Teori,Diagnosis, Dan Remediasinya)”,hal.97.

5
Laili S. Cahya, “Adakah ABK Dikelasku?”, (Yogyakarta: Familia, 2013), hal. 77.

6
Mulyono Abdurrahman, “Anak Berkesulitan Belajar (Teori, Diagnosis, dan Remediasinya), hal.97.

7
3. Jenis-jenis belajar kompettif
Ada empat jenis interaksi kompetitif yang efektif untuk mecapai tujuan belajar, antara
lain yaitu :
 Kompetisi antar individu atau antar anak yang berkemampuan seimbang
Suatu kompetisi menarik bagi anak jika anak satu dengan anak lain memiliki
peluang untuk kalah dan menang secara sama atau seimbang . jika lawan terlalu
lemah, anak tidak bersemangat untuk belajar dan jika lawan terlalu kuat anak
bisa kalah sebelum bertanding.
 Kompetisi antarkelompok yang berkekuatan relatif sama atau seimbang Prinsip
kompetisi yangs ehat adalah adanya peluang untuk kalah dan memang sama
antar kelompok berkekuatan seimabng, yang pada hakikatnya merupakan
perpaduan antara suasan kooperatif dan kompetitif. Anak-anak haus salaing
membantu dan mendorong antara sesamanya dalam kelompok agar dapat
mengalahkan kelompok lain.
 Kompetisi dengan standar nilai minimum, Nilai minimum yang dimaksud
adalah nilai 6. Anak yang memperoleh nilai 6 biasanya dinyatakan sebagai anak
yang mencapai tingkat keberhasilan sedang atau tidak tinggi dan tidak rendah.
Kompetisi ini mempersonifikasikan angka 6 sebagai lawan yang harus
dikalahkan. Artinya semua anak harus mencapai angka minumin 6. Anak
memeperoleh nilai 6 atau lebih dianggap menang. Oleh karena itu anak itu
berhak mendapatkan hadiah.
 Kompetisi dengan diri sendiri, Dengan kompetisi ini membiasakan anak untuk
emmiliki mental bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok
harus lebih baik dari pada hari ini. Untuk menciptakan prestasi semacam ini,
guru hendaknya memiliki daftar nilai harian untuk mata pelajaran tertentu dari
awal hingga akhir semester. Anak yang meraih nilai tinggi daripada nilai
sebelumnya diberikan hadiah atau tanda bintang, berapapun nilai yang beerhasil
mereka tingkatkan.Kompetisi antarindividu atau antarkelompok yang
berkemampuan seimbang sangat sulit dilaksanakan sesungguhnya tidak
mungkin benar-benar terwujud. Kompetisi dengan standar nilai minimum

8
didasarkan atas alasan bahwa untuk naik kelas anak harus mencapai prestasi
minimum tertentu, misalnya skor rata-rata enam. Kompetisi dengan diri sendiri
didasarkan atas semboyan “hari ini harus lebih baik dari pada hari kemarin, dan
hari esok harus lebih baik daripada hari ini”.7
c) Suasana Belajar Individualistik
Perlu diketahui bahwa teknik modifikasi perilaku (behavior modification) tidak hanya
dapat digunakan dalam pembelajaran individualistik tetapi juga dapat digunakan dalam
pembelajaran kelompok. Modifikasi perilaku merupakan suatu bentuk strategi pembelajaran
yang bertolakbelakang dari pendekatan behavioral (behavioral approach) yang menerapkan
suatuprinsip-prinsip operant conditioning.
1. Ada empat karakteristik utama dalam pendekatan behavioral, antara lain:
a. Terfokus dalam perilaku yang dapat diamati,
b. Asesme yang cermat terhadap perilaku yang akan diubah atau dikembangkan,
c. Evaluasi terhadap pengaruh program pengubahan perilaku, dan
d. Menekankan pada perubahan perilaku sosial yang bermakna.
2. Ada enam prinsip operant conditioning yang mendasari strategi motifikasi perilaku,
yaitu:
a.Memberikan ulangan pengetahuan (Reinforcement)
Prinsip memberikan ulangan pengetahuan menunjukan pada suatu peningkatan
frekuensi respons jika respons tersebut diikuti dengan konsepkuensi tertentu.
Konsepkuensi yang mengikuti perilaku atau respons harus merupakan satu kesatuan
dengan perilaku tersebut.konsepkuensi yang dapat meningkatkan frekuensi perilaku
disebut reinforcer ada dua macam reinforcer, yaitu positive reinforcer dan negative
reinforcer. Positive reinforcer adalah peristiwa yang muncul setelah suatu respons yang
diharapkan. Negative reinforcer adalah peristiwa hilangnya suatu yang tidak
menyenagkan setelah respons duharapkan ditampilkan.
Ulangan pengutan positif (positive reinfoncerment) menunjukan pada suatu
peningkatan frekuensi dari suatu respons yang diikuti oleh peristiwa yang
menyenangkan (positive reinforcer). Dalam kehidupan sehari-hari positive reinforcer
7
Laili S. Cahya, “Adakah ABK Dikelasku?”, hal. 79-82.

9
dibedakan dari rewaid, jika peristiwa yang menyertai perilaku itu menyebabkan
meningkatnya frekuensi perilaku yang diharapkan, maka peristiwa tersebut dinamai
positve reinforcer. Sebaliknya, suatu reward belum tentu dapat meningkatkan frekuensi
perilaku yang diharpkan. Dengan kata lain, positev reifoncer adalah reward yang dapat
menngkatkan frekuensi perilaku yang diharapkan.
Ada dua macam positive reinforcer, yaitu:
(1) primary or unconditioned reinforcer dan
(2) secondary or conditionedreinforcer.
Contohdariprimary reinforcer adalah makanan bagi orang yang lapar, sedangkan
contoh dari secondary reinforcer adalah angka 100 bagi anak yang menyelesaikan tugas
secara sempurna. Negative reinforcerment menuju pada peningkatan frekuensi respons
melalui penyingkiran peristiwa yang tidak menyenangkan segera setelah respons yang
diharapkan diperlihatkan. Suatu peristiwa dapat dikatakandengannegative reinforcer jika
penghilangannya munculsetelah respons yang dikehendaki meningkatkan frekuensi
penampilan darirespons tersebut. Contoh dari negative reinforcer adalah bunyinya tanda
peringatan pada saat mobil berjalan melampaui batas kecepatan yang dapat
membahayakan.
Ada dua macam negative reinforcer, yaitu
(1) primary negative reinforcer dan
(2) sencondary negative reinforcer.
Contoh dari primary negative reinforcer adalah stimulus yang kuat seperti suara
keras yang mengenai indra kita. Contoh dari sencondary negative reinforcer adalah
ekspresi wajah yang tidak menyetujui atau ucapan kata “tidak”.
b. Memberikan Hukuman (Punishment)
Prinsip punishment adalah kehadiran suatu peristiwa yang tidak menyenangkan atau
penghilangan peristiwa yang menyenangkan yang mengikuti suatu respons yang dapat
menghilangkan atau mengurangi frekuensi respons tersebut. Ada beberapa perbedaan
antara funishment dengan negative reinforcerment. Funishment ditunjukan untuk
menghilangkan respons sedangkan negative (juga positive) reinforcerment ditunjukan
untuk meningkatkan respons. Dalam funishment suatu keadaan yang tidak menyenangkan

10
merupakan akibat yang mengikuti respons, sedangkan dalam negative reinforcement,
keadaan yang tidak menyenangkan dihilangkan suatu respons yang diharapkan muncul.
c. Menghapus (extinction)
Prinsip operant conditioning lain yang penting adalah extinction adalah penghentian
reinforcement dari suatu respons. Prinsip ini didasarkan atas amsumsi bahwa non-
reinforcement dari suatu respons dapat menurunkan atau menghilangkan respons tersebut.
Ada perbedaan antara extinction dengan mengabaikan rengengkan anaknya. Seorang
dokter mengabaikan keluhan fisik dari pasien hipokondria. Seorang guru mungkin
mengabaikan siswa yang berbicara tanpa mengangkat tangan terlebih dahulu. Dalam
kehidupan sehari-hari orang tua atau guru sering mengabaikan prilaku anak yang baik
(extinction)dan menegur perilaku yang tidak baik (reinforcement).
d.Membentuk Dan Merangkaikan (Shaping And Chaining)
Prinsip operant conditioning berikutnya adalah Shaping And Chaining. Perilaku yang
diharapkan mungkin terlalu kompleks sehingga anak tidak dapat melakukannya. Untuk
menguasai perilaku semacam itu mungkin perlu dipecah-pecah terlebih dahulu menjadi
bagian-bagian kecil yang dapat dilakukan oleh orang setahap demi setahap. Dalam
shaping, perilaku akhir yang diharapkan dicapai melalui pemberian rainforcement
terdapat setiap langkah menuju renspon akhir.
e. Menganjurkan dan memudarkan (Promting and Fading)
Pengembangan perilaku sering dipermudah oleh penggunaan isyarat (Cues), perintah
(Intruction), gerak-isyarat (Gesture), pengarahan (Direction), pemberian contoh
(examples), dan model untuk memulai suatu respon. Suatu peristiwa yang membantu anak
melakukan suatu respons disebut prompts.Prompts mendahului suatu respons. Jika
prompts menghasilkan repons, respons tersebut dapat diikuti dengan reinforcement.
f. Deskriminasi dan control rangsangan (Distrimination and Stimulus control)
Operant Behafior dipengaruhi oleh konsekunsi yang mengikuti perilaku. Bagaimanapun
juga, peristiwa yang mendahului juga mengontrol perilaku. Macam-macam prompt seperti
intruction, physical guidence, models, dan verbal cues, merupakan peristiwa yang dapat
mengontrol perilaku. Tetapi, stimulus yang mendahului tersebut merupakan kontrol yang
memaksa dalam munculnya perilaku.

11
Stimulus kontrol juga merupakan fakta dalam seleksi dan konsumsi maaknan.
Contohnya, buah masak misalnya apel merah. Dikaitkan dengan rasa manis, sedangkan
apel hijau (buah warna yang berwarna hijau umumnya belum masak) dikaitkan dengan
rasa asam. Rasa manis dari buah masak memperkuat seleksi dan konsumsi apel merah.
Warna buaha dalah stimulus yang mengontrol kemungkinan yang akan datang untuk
memakan buah tersebut.
g.Generalisai (Generalizaton)
Stimulus generalization, menunjuk pada generalisasi atau transfe dari suatu respon pada
situasi-situasi lain di luar tempat latihan. Generalization merupakan lawan dari
Discrimination. Derajat dari stimulus generalization merupakan suatu fungsi dari
kesamaan stimulus atau situasi baru dengan stimulus yang berkaitan dengan respon yang
dilatihkan.8

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
8
Mulyono Abdurrahman, “Anak Berkesulitan Belajar (Teori, Diagnosis, dan Remediasinya),Hal.98-104

12
Pendidikan yang menekankan pada interaksi koopertatif adalah pendidikan yang secara
bersungguh-sungguh berupaya mengaktualisasikan berbagai semboyan tersebut dalam
dunia pendidikan. Dengan demikian, pendidikan yang menekankan pada suasan belajar
kooperatif pada hakikatnya bukan suatu ide baru tetapi hanya merupakan back to basic,
kembali keakar budaya bangsa kita sendiri. Interaksi kooperatif menuntut semua anggota
dalam kelompok belajar dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan
dialog tidak hanya dengan guru tetapi juga sesama mereka.
Sedangkan Alasan utama seorang guru memilih suasana kompetitif umumnya untuk
membangkitkan motivasi belajar. Alasan tersebut tidak keliru karena manusia pada
hakikatnya memiliki needs for achievenemt dan need for poweryang biasanya dapat
dipenuhi melalui kompetisi. Tetapi, guru sering juga bahwa kompetisi antar individu atau
antarkelompok yang tidak seimbang dapat menimbulkan keputusasaan bagi yang lemah dan
menimbulkan kebosanan bagi yang kuat.
Teknik modifikasi perilaku (behavior modification) tidak hanya dapat digunakan
dalam pembelajaran individualistik tetapi juga dapat digunakan dalam pembelajaran
kelompok.

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Laili S. Cahya, “Adakah ABK Dikelasku?”, (Yogyakarta: Familia, 2013), hal. 77.

13
Kiromim Baroroh, “Efektifitas Pembelajaran Kooperatif Dalam Meningkatkan Efektifitas Dan
Presasi Belajar Mahasiswa”, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), 2009), Jurnal
Ekonomi dan Pendidikan, Volume 6 Nomer 2, hal. 135-136.

Mulyono Abdurrahman, “Anak Berkesulitan Belajar (Teori,Diagnosis, Dan


Remediasinya)”,hal.97.

http://pratiwilailiputridewi.blogspot.com/2018/11/makalah-menciptakan-suasana-belajar.html?
m=1

Supardi. 2003. Sekolah Efektif Konsep dasar Dan Prinsipnya, Cet.I: Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

14

Anda mungkin juga menyukai