Anda di halaman 1dari 3

Tugas Review Materi Pertemuan 2 Psikologi Sosial II

Identitas personal adalah identitas yang kita bawa sebagai satu individu. Sedangkan
identitas sosial adalah identitas yang melekat pada kita terkait dengan bagaimana kita menjadi
bagian dari interaksi sosial dan kelompok sosial tertentu, baik di saat kita berinteraksi sehari-hari
atau saat menjadi bagian dari kelompok sosial itu.  Teori identitas sosial membahas bagaimana
kita sebetulnya secara sadar atau tidak, merespon segala sesuatu tidak lepas dengan identitas
sosial. Teori ini juga membahas bagaimana kita merespons ketika identitas kelompok kita
unggul. Kita akan cenderung lebih dekat ke orang-orang positif yang memiliki identitas yang
sama dengan kita. Tetapi kita akan menjauh dari anggota-anggota dalam kelompok yang tidak
begitu baik atau akan membuat identitas sosial kita menjadi buruk. Artinya, ketika kita merasa
orang-orang disekitar kita ini positif, kita akan cenderung melebur dan merasa perlu
mengembangkan identitas sosial bersama orang-orang positif tersebut. Tetapi ketika orang-orang
disekitar kita ini, kita anggap akan membuat citra diri kita buruk, maka kita akan cenderung
mengembangkan lebih kuat identitas personal kita atau menjauh dari orang tersebut.
Di sini identitas sosial juga berkaitan dengan budaya, misal orang dari negara-negara
barat biasanya budayanya sangat individualis, otomatis orang barat identitas sosialnya tidak
terlalu kuat. Sedangkan kalau di negara-negara timur, salah satunya Indonesia yang punya
budaya kolektifis, maka identitas sosialnya itu menjadi sangat penting, artinya identitas kita
sebagai bagian dari kelas sosial tertentu menjadi cukup penting dalam kaitanya ketika kita
memandang atau mempresentasikan diri kita.
Bagaimana kita melihat diri sendiri bervariasi dalam kaitannya dengan apakah self
personal atau self sosial yang unggul, apakah perilaku kita didasarkan pada perbandingan
intrakelompok (perbandingan dengan anggota in-group) atau antarkelompok (perbandingan
dengan anggota out-group). Ketika kita memiliki identitas sosial, artinya kita bisa
memperbandingkan antara diri kita sebagai anggota salah satu kelompok sosial dengan orang
lain yang ada di anggota kelompok sosial yang berbeda, jadi ini adalah perbandingan antar
kelompok. Identitasnya menjadi identitas kelompok. Pengalaman self yang muncul ketika kita
memiliki identitas sosial adalah kita ini bagian dari suatu kelompok sosial. Kelompok sosial ada
banyak macamnya di kehidupan sehari-hari, contoh saya memiliki identitas sosial sebagai
mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, tentu saja identitas sosial tersebut dapat dibandingkan jika saya
sedang bersama mahasiswa-mahasiswa dari universitas lain, misal mahasiswa dari UGM, UNY,
dll.
Kita memiliki beberapa identitas sosial, setiap identitas tersebut bisa memiliki implikasi
yang cukup berbeda pada perilaku, bergantung pada identitas mana yang diaktifkan oleh konteks
tertentu. Contoh saya memiliki identitas sosial yang salah satunya adalah menjadi mahasiswa di
UIN Sunan Kalijaga sekaligus menjadi anggota organisasi PMII. Ternyata identitas sosial kita itu
berimplikasi pada bagaimana kita berperilaku, berinteraksi, dan merespon segala sesuatunya di
kehidupan sehari-hari. Saat berinteraksi, kita juga dipengaruhi oleh identitas sosial manakah
yang sedang kita pakai di konteks sosial tertentu. Contoh ketika saya merasa menjadi bagian dari
UIN Sunan Kalijaga sebagai mahasiswa, maka identitas sosial itulah yang saya pakai saat sedang
kuliah dan itu akan mempengaruhi bagaimana saya membawa diri, berinteraksi, dan juga
merespon. Jadi kita harus tahu social group yang kita miliki ini memberi identitas sosial yang
positif atau tidak, positif di sini artinya bisa membuat kita berinteraksi dan merespon secara
positif serta proposional. Jangan sampai ketika kita menjadi bagian dari salah satu
kelompok sosial, justru identitas sosial itu memberi efek kontraproduktif pada diri ketika kita
sedang berinteraksi. Sebaliknya kita juga tidak boleh membuat citra identitas kelompok kita
menjadi buruk karena kita.
Pemahaman diri adalah bagaimana kita mencirikan diri kita dapat berbeda bergantung
pada identitas apa yang menonjol dalam suatu kesempatan atau identitas apa yang ingin kita
tonjolkan pada suatu kesempatan. Dalam berinteraksi, individu bergantung pada konteks sosial
di mana interaksi itu terjadi dan identitas sosial yang diaktifkan. Konteks yang kita anggap sesuai
dengan diri kita dapat mengubah aspek self. Artinya konteks sosial juga mempengaruhi diri dan
presentasi kita ketika berinteraksi dengan orang-orang di konteks sosial tersebut. Tentunya kita
tahu bahwa ketika kita menampilkan diri sendiri dirumah dengan di kampus itu ada sedikit
perbedaan, meski tidak kontras sekali. Karena yang namanya kepribadian itu laten, artinya tidak
gampang berubah. Cuma perilaku atau respon yang kita tampilkan itu bisa berubah tergantung
dengan konteks sosial. Jadi persentasi diri ketika berinteraksi secara langsung dengan orang lain
itu juga bergantung pada konteks sosial dan secara sadar atau tidak kita sedang mengaktifkan
identitas sosial pada konteks sosial di mana kita sedang berinteraksi.
Perbandingan sosial adalah suatu adaptasi sosial kognitif yang dilakukan seseorang
dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain. Proses social comparison melibatkan
orang-orang yang mengenal diri mereka sendiri dengan mengevaluasi perilaku, kemampuan, dan
sifatnya dengan orang lain. Kita biasanya membandingkan diri sendiri dengan kelompok teman
sebaya atau dengan orang yang serupa dengan diri kita. Social comparison sering terjadi secara
sadar atau bahkan tidak sadar, namun ini adalah hal yang alami. Terjadinya disebabkan seiring
berkembangnya pengetahuan atau wawasan sosial, pengalaman, dan interaksi sosial yang
dilakukan. Alasanya karena setiap individu pada hakekatnya memiliki dorongan atau
kecenderungan alami untuk melakukan evaluasi internal atas diri sendiri dan individu kerap
melakukan evaluasi tersebut dengan melakukan perbandingan kepada orang lain. Festinger
menyatakan bahwa orang membandingkan diri mereka dengan orang lain karena di berbagai
domain dan atribut, tidak terdapat patokan yang objektif untuk mengevaluasi diri kita, dan
karenanya orang lain sangat informatif.
Upward social comparison terjadi ketika seorang individu membandingkan kemampuan,
pendapat atau cara pandang, maupun sifatnya dengan orang lain yang dinilai lebih baik dari
dirinya sendiri. Hal ini fokus pada adanya keinginan atau tujuan baru yang muncul dalam diri
kita untuk senantiasa meningkatkan, mengasah, atau memperbaiki sebuah aspek dalam diri kita
yang tengah kita bandingkan dengan orang lain yang lebih baik atau handal dalam aspek
tersebut. Upward social comparison merujuk pada contoh di mana kita membandingkan diri
dengan seseorang yang melampaui kinerja kita di area-area utama diri kita. Keinginan dan tujuan
baru tersebut dapat berujung menjadi dua cabang, positif maupun negatif. Orang sering kali
membandingkan kemampuan mereka dengan orang lain yang serupa dengan mereka dalam hal
kategori sosial yang luas seperti gender, ras, atau pengalaman akan tugas tertentu. Hasil upward
social comparison yang positif tentunya akan membuahkan motivasi, rasa ingin belajar dan
mencari tahu. Namun sebaliknya, hasil dari upward social comparison juga dapat berbuah negatif
apabila upward social comparison dilakukan secara berlebihan dan dipandang dengan pola pikir
yang kurang baik, yaitu dimana perbandingan yang dilakukan oleh diri sendiri tersebut justru
membuat kita merasa atau memandang diri sendiri secara inferior. Pandangan itu dapat
meningkatkan kemungkinan munculnya emosi-emosi negatif yang dapat memicu depresi karena
tekanan yang tercipta dari perbandingan tersebut, seperti merasa kurang baik atau kurang bagus,
merasa gagal, dan sejenisnya.
Sebagai lawan dari upward, downward social comparison tentunya terjadi ketika seorang
individu membandingkan kemampuan, pendapat atau cara pandang, maupun sifatnya dengan
orang lain yang dinilai tidak lebih baik dari dirinya. Perbandingan diri sendiri dengan orang lain
yang dirasa atau dinilai tidak lebih baik dari dirinya pada hakekatnya dilakukan untuk membuat
dirinya merasa cukup, merasa baik, atau cara pengekspresian dari bentuk rasa syukur atas apa
yang ia miliki, keadaan yang tengah ia rasakan atau alami, ketimbang orang yang ia bandingkan.
Hasil dari downward social comparison dapat beragam. Apabila ditanggapi dengan bijaksana dan
dengan pola pikir positif, perbandingan jenis ini dapat membuat individu senang dan
memunculkan emosi-emosi positif yang memberikan keadaan psikologis yang positif pula,
sekaligus meningkatkan self-esteem atau rasa percaya diri. Kemudian downward comparison
juga dalam beberapa setting dapat memunculkan rasa empatik pada posisi dan keadaan orang
lain. Namun apabila perbandingan ditanggapi dengan buruk dan berlebihan, dapat menyebabkan
ego menjadi terlalu tinggi dan rasa berbangga diri yang melewati batas.
Teori perbandingan sosial melahirkan dua sudut pandang terhadap konsekuensi dari
perbandingan sosial negatif bagi diri sendiri yaitu, teori identitas sosial yang menyatakan ketika
kita dikategorikan pada tataran individu, kita memberi jarak dengan orang lain yang berkinerja
lebih baik, tetapi ketika kita dikategorikan pada tataran identitas sosial, kita memberi jarak
dengan orang lain yang berkinerja lebih buruk. Sedangkan model pemeliharaan evaluasi diri
adalah sudut pandang yang menyatakan bahwa untuk mempertahankan persepsi positif tentang
diri sendiri, kita memberi jarak dari orang lain yang berkinerja lebih baik dalam dimensi-dimensi
yang dinilai dan mendekati orang lain yang berkinerja lebih buruk daripada kita. Sudut pandang
ini menyatakan bahwa bertindak demikian akan melindungi harga diri kita.
Social comparison tidak hanya berperan dalam membuat penilaian terhadap diri sendiri
dengan berpatokan orang lain, namun juga dapat mempengaruhi bagaimana seorang individu
mengambil keputusan atau bertindak dan bersikap terhadap perbandingan yang ia lakukan
sebagai bentuk dari responnya. Baik upward maupun downward social comparison dapat
mempengaruhi rasa percaya diri, motivasi dalam diri, dan sikap seorang individu, baik menuju
kearah positif maupun negatif. Maka dari itu, proses 'perbandingan' yang kita lakukan harus
diperhatikan dan dikontrol dengan baik pula, agar membuahkan hasil positif bagi psikologis diri
sendiri.
Sebagian besar orang menunjukkan optimisme yang tidak realistis dalam hal hasil yang
mereka dapatkan dibandingkan dengan orang lain. Ilusi positif seperti itu dihubungkan dengan
berbagai hasil adaptif. Hal ini dapat disebut sebagai efek di atas rata-rata. Efek di atas rata-rata
adalah kecenderungan bagi seseorang untuk menilai diri mereka sebagai di atas rata-rata pada
banyak atribut sosial positif.

Anda mungkin juga menyukai