EMBRIOLOGI VETERINER
MALFORMASI KONGENITAL
Oleh:
Nama : Ni Made Dia Widiantari Putri
NIM : 215130107111031
Kelas : 2021B
Kelompok : B9
Nama Asisten : Nabilla Rizky Mahalita
“Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa Laporan yang berjudul
Malformasi Kongenital 1 ini adalah hasil kerja saya sendiri dan tidak mengandung unsur
plagiarism. Pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan”
1.2. Tujuan
- Mengetahui berbagai macam abnormalitas yang bisa terjadi pada fase perkembangan
embrio
BAB II
METODOLOGI
Embrio
Hasil
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
3.2. Pembahasan
3.2.1. Analisa Hasil
3.2.1.1. Congenital duplication
Congenital duplication adalah kelainan kongenital dimana pasien
memiliki 2 kepala. Contohnya pada sapi yang baru lahir. Salami, et al
(2011) menyebutkan congenital merupakan kelainan struktur dan
fungsional sejak lahir sehingga dapat mempengaruhi organ, bagian dari
sistem hingga seluruh sistem. Duplikasi pada cranial adalah bentuk
kongenital yang mempengaruhi struktur tengkorak dan struktur dari
wajah. Duplikasi pada kranial tersebut dikenal sebagai diprosopus.
3.2.1.2. No external acoustic meatus
No external acoustic meatus adalah kelainan pada bayi yang lahir
tanpa memiliki lubang atau saluran telinga yang menghubungkan
bagian eksternal dengan internal dan medial telinga. Yudhiono dan
Boesoerie (2018) kelainan ini tidak memiliki lubang telinga dan bisa
dalam bentuk ringan hingga berat. Kelainan ini dapat menyebabkan
tekanan, kekhawatiran hingga rendahnya rasa percaya diri terhadap
pasien.
3.2.1.3. Polidaktili
Ponlidaktili adalah kondisi dimana memiliki penambahan jumlah
jari sehingga tidak seperti jumlah jari pada umumnya. Menurut Nabila,
et al (2017) polidaktili merupakan kelainan kongenital kedua tersering
pada tangan setelah sindaktili. Polidaktili adalah kelainan pada jari
sehingga jumlah jari lebih dari lima. Penderita polidaktili memiliki jari
tambahan yang kadang tidak berfungsi karena tidak memiliki tendon.
3.2.1.4. Sindaktili
Sindaktili adalah kondisi dimana terdapatnya pelekatan antara jari
satu dengan yang lainnya. Nabila, et al (2017) menyatakan sindaktili
adalah keadaan dimana jari-jari menyatu diakibatkan oleh tidak terjadi
pemisahan jari di bagian distal sendi metacarpophalangeal. Penyatuan
dapat terjadi hanya pada dua jari atau lebih. Hubungan antarjari dapat
hanya berupa kulit dan jaringan lunak saja, tetapi dapat pula berupa
hubungan tulang dengan tulang. Sindaktili timbul pada minggu ke-5
hingga minggu ke-6 gestasi yang disebabkan oleh gagalnya apoptosis
yang memungkinkan terbentuknya komisura dan gagalnya proses
pemisahan jari pada saat proses pembentukan tangan.
3.2.1.5. Achondroplasia
Achondroplasia merupakan gangguan pertumbuhan tulang yang
ditandai dengan tubuh kerdil dan tidak proporsional. Menurut Ornitz
dan Mallet (2017) achondroplasia adalah bentuk paling umum dari
dwarfisme pada manusia. Hal tersebut terjadi dengan frekuensi 1 dari
15-25.000 dan 80% kasus bersifat sporadis. Achondroplasia merupakan
penyakit genetik autosomal dominan yang memiliki penetrasi 100%.
Penderita achondroplasia memiliki perawakan yang pendek, terutama
pemendekan pada anggota badan dengan segmen proksimal
terpengaruh secara tidak proporsional, kepala yang besar dengan frontal
bossing dan midface hipoplastic merupakan akibat cacatnya
pertumbuhan pada tulang rawan di dasar tengkorak.
3.2.1.6. Malformed auricle
Malformed auricle merupakan malformasi kongenital yang terjadi
karena adanya bagian tambahan di bagian telinga luar yang bentuknya
mirip seperti daging yang tumbuh di luar telinga. Yudhanto (2017)
menyatakan bahwa aurikula merupakan kelainan akibat tidak
sempurnanya perkembangan arkus brankial pertama dan kedua yang
membentuk telinga luar dan telinga tengah, berupa kista atau fistula
yang terjadi pada jaringan lunak preaurikular.
Yudhanto (2017) juga menyebutkan arkus brankialis adalah
struktur mesoderm yang dibungkus oleh ektoderm dan mengelilingi
endoderm. Arkus-arkus ini terpisah satu dengan lainnya oleh celah
brankial ektoderm ke arah luar dan oleh kantong faringeal endoderm ke
arah dalam. Arkus brankial 1 dan 2 masing-masing membentuk 3
tonjolan (hillocks). Struktur ini disebut Hillocks of His. Tiga hillocks
muncul dari tepi bawah arkus brankial 1 dan 3 dari batas atas arkus
brankial kedua. Hillocks ini seharusnya bergabung selama beberapa
minggu kemudian pada masa embriogenesis.
3.2.1.7. Sindrom Turner
Sindrom turner adalah kelainan genetik akibat hilangnya
kromosom X pada perempuan sehingga menyebabkan penderita
bertubuh pendek. Menurut Aditiawati, et al (2017) sindrom Turner
merupakan salah satu kelainan kromosom yang paling sering terjadi
pada manusia, dengan insidens sekitar 1:2000 kelahiran hidup anak
perempuan, tanpa memandang latar belakang etnisnya. Anak
perempuan yang menderita sindrom Turner mengalami kehilangan atau
abnormalitas struktur pada salah satu kromosom X. Ciri-ciri sindrom
turner adalah perawakan pendek, disgenesis gonad, wajah dismorfik,
limfedema dan masalah lainnya.
Tjahjani (2013) menyatakan janin yang mengalami sindrom Tuner
akan abortus spontan di awal kehamilan lebih dari 95% kasus,
sedangkan janin yang dapat bertahan sampai trimester kedua janin
dapat dideteksi dengan Ultrasonografi biasanya mengalami masalah
kesehatan yang serius, seperti Higroma sistik, ascites, dan hidrosefalus.
3.2.1.8. Rudimenter auricle
Rudimenter auricle adalah kondisi auricle mengalami penyusutan
sehingga tidak terbentuk telinga seperti kondisi bayi pada umumnya.
Menurut Yudhiono dan Boesoerie (2018) rudimenter auricle
merupakan malformasi daun telinga yang memperlihatkan kelainan
bentuk ringan sampai berat, dengan ukuran kecil sampai tidak terbentuk
sama sekali (anotia). Kelainan kongenital ini terjadi akibat cacat
pertumbuhan tulang rawan Meckel dari arkus brankialis I yang
menyebabkan gangguan pertumbuhan pina. Kelainan ini sering kali
diikuti dengan gangguan pertumbuhan telinga bagian tengah dengan
akibat tuli konduksi.
3.2.1.9. Cranioschisis or acrania
Cranioschisis atau acrania adalah kondisi terkait tempurung kepala
janin belum lengkap. Menurut Nonato, et al (2019) cranioschisis
merupakan deformitas genetik dimana kurangnya produksi tulang pada
garis tengah tengkorak, yang mengarah pada pembukaan,
memperlihatkan meningeal. Cranioschisis memiliki berupa defek
secara komplit atau sebagian dari tulang kranium fetus, sehingga
menyebabkan jaringan otak fetus terekspos.
3.2.1.10. Microcephalus
Microcephalus merupakan kondisi dimana tulang tengkorak tidak
tumbuh sebesar tengkorak pada umumnya. Menurut Utami (2017),
mikcrocephalus merupakan malformasi congenital pada otak yang
paling sering terjadi. Microcephalus memiliki otak yang relatif amat
kecil, arena pertumbuhannya terhenti sehingga ukuran tengkorak
sebagai wadahnya pun juga kecil. Perbandingan berat otak terhadap
badan yang normal adalah 1 : 30, namun pada mikrosefalus,
perbandingannya dapat menjadi 1 : 100. Bila penderita hidup sampai
usia dewasa, biasanya berat otaknya hanya kurang dari 900 gram
bahkan ada yang hanya 300 gram.
3.2.1.11. Macro of hydrocephalus
Macro of hydrocephalus adalah kondisi adanya penambahan cairan
di area kepala sehingga bentuk kepala terlihat besar dan tidak normal.
Murtini (2021) menyebutkan hydrocephalus adalah kelainan pada otak
sehingga bertambahnya cairan serebrospinal dengan tekanan
intrakranial yang meninggi bisa disebabkan gangguan LCS (Liquor
Cerebrospinals) atau diakibatkan oleh obstruksi aliran LCS melalui
ventrikel dan masuk ke dalam rongga subaraknoid (hidrosefalus non
komunikans). Adanya peninggian tekanan intracranial sehingga dapat
menimbulkan efek berupa iritabilitas, muntah, kehilangan nafsu makan,
gangguan melirik ke atas, gangguan pergerakan bola mata, hipertonia
ekstrimitas bawah, dan hiperefleksia.
3.2.1.12. Meningoencephalocoele
Meningoencephalocoele adalah keadaan abnormal yang terjadi di
bagian otak. Menurut Alwahab, et al (2017) meningoencephalocele
merupakan kebocoran abnormal cerebrospinal (CSF) dan herniasi dari
otak dan membran meningeal, sehingga menyebabkan kecacatan pada
tulang tengkorak.
3.2.1.13. Cyclopia and proboscis-like nose
Cyclopia and proboscis-like nose merupakan abnormalitas yang
terjadi pada mata dan hidung. Sharma, et al (2014) cyclopia merupakan
bentuk holoprosencephaly yang langka dan termasuk kelainan bawaan
yang ditandai dengan kegagalan prosencephalon embrionik untuk
membagi orbit mata dengan benar menjadi dua rongga. Biasanya,
hidung hilang atau diganti dengan hidung yang tidak berfungsi dalam
bentuk belalai. Sebagian besar embrio dengan kelainan ini diaborsi
secara alami atau lahir mati saat melahirkan.
3.2.1.14. Anophtalmia
Anophtalmia adalah kelainan pada bayi tidak memiliki kantung
mata sehingga mata tidak dapat terbentuk. Menurut Aggarwal, et al
(2015), anophtalmia adalah kelainan dengan tidak adanya mata sama
sekali karena kurangnya pembentukan vesikel optik primer selama fase
awal kehamilan. Umumnya, anoftalmia menghasilkan hipoplasia tulang
orbita, mikroblefaron, dan asimetri wajah akibat mikrosomia
hemifasial. Dengan konsep “terapi ekspansi” prostetik konservatif
dengan konformer berperan penting dalam merehabilitasi pasien secara
non-bedah.
3.2.1.15. Coloboma of the iris
Coloboma of the iris adalah kondisi dimana memiliki iris mata
lebih dari dan saling menyatu. Bhattacharjee, et al (2013) menyebutkan
polycoria merupakan kelainan kongenital terisolasi dan bisa disebut
pseudo-polycoria. Ditandai dengan adanya otot sfingter utuh yang
mengelilingi bukaan pupil aksesoris yang terletak agak jauh dari pupil
utama, segregasi abnormal dari sebagian margin pupil, penutupan
sebagian koloboma oleh jembatan jaringan yang mengandung
ektoderm dan mesoektoderm, diferensiasi neuroektoderm pluripoten
menjadi serat otot, dan pemisahan lensa dan kornea yang rusak selama
perkembangan bilik mata depan.
3.2.1.16. Cleft nose
Cleft nose adalah kondisi dimana terjadi abnormalitas sehingga
mengakibatkan terbaginya bagian hidung hingga ke bibir bagian atas.
Menurut Kaufman, et al (2012) cleft nose atau yang disebut juga
dengan cleft nassal merupakan kelainan yang melibatkan kulit, tulang
rawan, mukosa, dan bentuk kerangka struktural hidung serta selubung
jaringan lunak.
4.1. Kesimpulan
Malformasi kongenital adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat
disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Terologi sudah banyak dipelajari
dan berkembang pada penelitian medis untuk pencegahan cacat pada janin saat lahir.
Berikut beberapa contoh malformasi kongenital, antara lain: Spina bifida, hidrosefalus,
cleft lip, dll.
4.2. Saran
Dalam praktikum ini untuk keseluruhan sudah bagus dan mudah dipahami. Semoga
kedepannya lebih baik dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Asmara, R., et al. 2018. Relasi Bahasa Indonesia Penderita Bibir Sumbing: Sebuah Studi
Kasus. LITERA. 17(3): 396-412.
Aggarwal, H, et al. 2015. Prosthetic Management of Congenital Anophthalmia-
Microphthalmia Patient. Archives of Medicine and Health Sciences. 3: 117-120.
Adisthanaya, S. 2017. Gambaran Karakteristik Sifilis di Poliklinik Kulit dan Kelamin Sub
Divisi Infeksi Menular Seksual RSUP Sanglah Denpasar/FK Unud. E-Jurnal
Medika. 6(11): 123-126.
Aditiawati, et al. 2017. PNPK Sindrom Turner. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
Alwahab, A., et al. 2017. Occipital Meningoencephalocele case report and review of current
literature. Chinese Neurosurgical Journal. 3: 40.
Bhattacharjee, H., et al. 2013. Congenital Polycoria, Trichomegaly, and Hereditary
Congenital Cataract. Journal of AAPOSI. 17(6): 619-620.
Kaufman, Y., et al. 2012. Cleft Nasal Deformity and Rhinoplasty. NCBI. 25(4): 184-190.
Mawardi, M., et al. 2011. Kolestasis Ektrahepatik Et Causa Atresia Bilier Pada Seorang
Bayi. Jurnal Biomedik. 3(2): 123-128.
Murtini, N. K. A. 2021. Gambaran Karakteristik Ibu dengan Bayi Yang Mengalami
Kelainan Kongenital [SKRIPSI]. Jurusan Kebidanan. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Denpasar.
Matthew, F., et al. 2021. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Kelainan
Bawaan pada Neonatus. E-CliniC. 9(1): 192-197.
Nabila, E., et al. 2017. Faktor Risiko Sindaktili dan Polidaktili pada Pasien Rawat Inap dan
Rawat Jalan di Instalasi Bedah RSUP Dr. Mohammad Hoesin dan RSAD Dr. A. K.
Gani Periode 1 Januari 2013- 30 Juni 2017. Jurnal Kedokteran Sriwijaya. 3.
Nasrulloh, M. H., et al. 2019. Hypertrophic Pyloric Stenosis. Jurnal Kesehatan Andalas,
8(4).
Nonato, I. A., et al. 2019. Cranioschisis and Anencephaly in a Dog - Challenging Etiology.
Acta Scientiae Veterinariae. 47(1): 449.
Ornitz, D. M., dan Mallet, L. L. 2017. Achondroplasia: Development, Pathogenesis, and
Therapy. NCBI. 246(4): 291-309.
Pandey, S., et al. 2018. Complete Situs Inversus: A Variation in Left-Right Asymmetry
During Embryogenesis. IJAE. 123(3): 263-276.
Rusjdi, S. R. 2020. Respon Imun Terhadap Infeksi Toxoplasma Gondii. Jurnal Kesehatan
Andalas. 9(1):100-107.
Rezvani, M., et al. 2017. Heterotopic Pancreas: Histopathologic Features, Imaging Findings,
and Complications. Radio Graphics. 37(2).
Suhatri, et al. 2014. Uji Efek Teratogen Ekstrak Etanol Daun Patikan Kebo (Euphorbia hirta
L.) Terhadap Fetus Mencit Putih. Jurnal Farmasi Higea. 6(1): 59-67.
Sharma, D., et al (2014). Cyclopia Syndrome. BMJ Case Rep.
Sunarya, U., et al. 2017. Angka Mortalitas dan Faktor yang Memengaruhi pada Pasien
Trakeoesofageal Fistula (TEF) yang Menjalani Operasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung Tahun 2010–2015. Jurnal Anestesi Perioperatif. 5(2): 113.
Salami, O. S., et al. 2011. A case of diprosopus monauchenos in a day old calf (White Fulani
× Friesian cross) in an integrated dairy farm. International Journal of Livestock
Production. 2(5): 55-58.
Tjahjani, N. P. 2013. Kelainan Genetik Klasik: Tinjauan Penciptaan Manusia dalam
Perspektif Al-Qur’an. Jurnal Kajian Pendidikan Islam. 5(2): 222-250.
Utami, O. R. T. 2017. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Cerebral Palsy Spastic Quadriplegi
Et Causa Microcephalus di Griya Fisio Bunda Novy Yogyakarta [SKRIPSI].
Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wahyutomo, R. 2011. Cytomegalovirus Katarak Kongenital. Jurnal Universitas Islam
Sultan Agung. 3(1): 84-88.
Yudhiono, F., dan Boesoerie, S. F. 2018. Aurikuloplasti (Serial Kasus) pada Mikrotia Post
Graft dan Rekonstruksi Tahap 1. JSK. 4(1): 36-41.
LAMPIRAN