Rencana pemindahan ibukota negara Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur yang digaungkan sejak tahun 2019 lalu rupanya masih menjadi polemik di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Jakarta. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga sudah mencanangkan undang- undang pemindahan ibukota untuk disetujui oleh DPR. Maksud dan tujuan pemerintah memindahkan ibukota pasti memiliki esensi yang baik dan sudah melalui tahap pemikiran yang matang. Pemilihan Kalimantan Timur sebagai ibukota negara yang baru bisa dinilai tepat karena wilayah itu sangat potensial dan memiliki banyak keunggulan. Potensi yang dimaksud adalah ketersediaan lahan yang luas, rendah akan kemungkinan konflik, lokasi strategis, minim potensi bencana, sumber air yang cukup dan memenuhi parameter hankam. Namun, setiap wilayah tentunya tidak bisa terlepas dari permasalahan, termasuk Kalimantan Timur. Apakah pemerintah sudah melakukan riset mendalam tentang hal ini? Pastinya ini sangat penting dilakukan mengingat ibukota negara menjadi titik tumpu bagi berdirinya sebuah negara. Pemindahan ibukota negara diyakini bisa berdampak positif untuk mengurangi kesenjangan sosial. Masalahnya, apakah ketika Kalimantan Timur sudah resmi menjadi ibukota Indonesia akan langsung bisa memperbaiki masalah kesenjangan, sementara tatanannya saja masih baru terbentuk. Jika dilihat ke belakang, sejarah kesenjangan sosial di Indonesia masih berstatus hitam alias belum sepenuhnya terpecahkan dan yang menjadi pertanyaan, apa rencana pemerintah kedepannya untuk mengatasi masalah kesenjangan sosial ini? Atau malah hal ini justru menimbulkan kesenjangan- kesenjangan sosial yang lain. Sebagai ibukota, tentunya juga diperlukan kesiapan infrastruktur dan aparat untuk menunjang kehidupan per ibukotaan di sana. Hal ini tentunya berdampak baik terhadap wilayah tersebut yang artinya akan terjadi progres bagi wilayah beserta penduduknya. Rencana pemerintah yang akan memindahkan aparat-aparat pemerintahan dari ibukota lama ke ibukota baru sebenarnya kurang tepat mengingat kehidupan di ibukota lama pasti akan tetap berjalan yang dikhawatirkan akan berdampak pada stabilitas pemerintahan dan keamanan di masa mendatang. Bagaimana nasib Jakarta setelahnya? Jakarta yang sudah terbentuk dan tertata sebagai ibukota dengan segala permasalahannya akan terlihat berbeda ketika ibukota sudah resmi dipindahkan. Nasib masyarakat yang mengadu nasib ke Jakarta sebenarnya juga layak diperhitungkan karena belum bisa diprediksi untuk kedepannya apakah lapangan pekerjaan akan tetap tersedia ataukah berkurang bahkan hilang. Jika Jakarta ditinggalkan dalam kondisi yang masih status quo tanpa adanya perbaikan terlebih dahulu, malah akan menimbulkan masalah baru bagi negara Indonesia. Masyarakat yang berbondong-bondong datang ke Jakarta memandang bahwa sebagai ibukota, Jakarta pasti memiliki ketersediaan lapangan pekerjaan yang melimpah. Maka dari itu, jika ibukota dipindahkan, akan menjadi suatu polemik khususnya bagi masyarakat pendatang di Jakarta. Mayoritas dari mereka pasti akan berpikir bagaimana cara untuk memenuhi kebutuhan hidup jika semisal di Jakarta sudah tidak memadai lagi lapangan pekerjaannya. Salah satu kemungkinan yang akan terjadi adalah ikut berpindahnya masyarakat Jakarta ke ibukota baru di Kalimantan Timur. Sebab, mereka memiliki pemikiran bahwa Jakarta tidak lagi layak digunakan sebagai tempat hidup sehingga pemerintahnya saja ingin sesegera mungkin menonaktifkannya sebagai ibukota negara. Melihat kemungkinan kondisi di atas, pemerintah seharusnya menyeimbangkan antara Jakarta dan calon ibukota baru supaya tidak berat sebelah. Cara yang bisa dilakukan adalah memperbaiki terlebih dahulu tatanan kehidupan di Jakarta dengan sebaik-baiknya serta menyejahterakan masyarakat dengan sebaik mungkin, termasuk bagi masyarakat pendatang yang sudah berharap besar dengan Jakarta. Dengan demikian, Jakarta bisa ditinggal dengan lega dan pembangunan di calon ibukota baru bisa segera dilaksanakan dengan lega pula.