NIM : 11200934
MANAJEMEN PERSEDIAAN
Tujuan utama setiap perusahaan adalah untuk mengoptimalkan laba perusahaan karena akan
berdampak pada kelangsungan usaha. Salah satu unsur yang paling penting dalam pencapaian
laba perusahaan adalah persediaan. Apa yang dimaksud dengan persediaan dan apa saja yang
termasuk persediaan? Persediaan merupakan aset perusahaan yang dapat berupa persediaan
bahan baku, persediaan barang-barang dalam proses produksi, dan barang jadi yang siap dijual.
Penjualan akan menurun apabila barang/persediaan yang dibutuhkan tidak sesuai dengan
spesifikasi, mutu, dan jumlah yang diminta oleh pelanggan. Begitu pula dengan pembelian, jika
pembelian tidak dilakukan dengan baik akan mengakibatkan meningkatnya biaya-biaya. Karena
pembelian erat kaitannya dengan persediaan. Contohnya seperti biaya pembelian, sewa gudang,
biaya administrasi pergudangan, gaji petugas gudang, biaya pemeliharaan persediaan, dan biaya
kerusakan/kehilangan.
Demikian pula dengan produksi harus melakukan pengendalian persediaan dengan cara
merencanakan jumlah barang yang akan diproduksi sesuai dengan forecast penjualan. Jika
jumlah barang yang diproduksi terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah permintaan
konsumen, maka perusahaan akan kehilangan peluang dalam memenuhi omzet. Namun
sebaliknya, jika jumlah permintaan dari konsumen jauh lebih kecil dari jumlah barang yang
diproduksi, maka perusahaan juga mengalami kerugian karena adanya biaya tambahan dalam
penyimpanan barang. Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan harus
melakukan manajemen persediaan untuk mencapai keseimbangan antara investasi persediaan,
produksi, dan pemenuhan kebutuhan konsumen.
Kemudian apa yang dimaksud dengan manajemen persediaan? Metode apa yang dapat
dilakukan?
Manajemen persediaan adalah pengelolaan fungsi penyimpanan dan penanganan persediaan
untuk mencapai tingkat pelayanan pelanggan yang lebih baik, meningkatkan turnover persediaan
dan keuntungan bagi perusahaan. Metode yang dapat digunakan dalam pengelolaan manajemen
persediaan adalah :
Economic Order Quantity atau EOQ merupakan jumlah pemesanan paling ekonomis dengan
pertimbangan untuk meminimalkan biaya pemeliharaan barang dari gudang dan biaya
pemesanan setiap tahun namun tetap dapat memenuhi kebutuhan penggunaan. Metode ini
berlaku untuk permintaan yang dapat ditentukan secara pasti dan bersifat tetap, item barang yang
dipesan independen dengan item barang yang lain, pesanan dapat diterima dengan segera dan
pasti, jumlah barang keluar tidak terlalu fluktuatif, serta harga barang tersebut bersifat konstan.
Dalam MRP mencakup kebutuhan material yaitu untuk pengendalian persediaan dan
penjadwalan produksi. Tujuan MRP adalah untuk menentukan kebutuhan sekaligus mendukung
jadwal produksi, mengendalikan persediaan, menjadwalkan produksi, menjaga jadwal tetap valid
dan up-to date, serta secara khusus berguna dalam lingkungan manufaktur yang kompleks dan
tidak pasti. Empat tahap dalam proses perencanaan kebutuhan material :
a. Netting, merupakanproses perhitungan kebutuhan bersih yang besarnya merupakan
selisih antara kebutuhan kotor dengan keadaan persediaan.
b. Lotting, merupakanpenentuan besarnya pesanan setiap individu berdasarkan pada
hasil perhitungan netting.
c. Offsetting bertujuan untuk menentukan saat yang tepat untuk melaksanakan rencana
pemesanan dalam memenuhi kebutuhan bersih yang diinginkan.
d. Exploding merupakan proses perhitungan kebutuhan kotor setiap tahapan produksi
disesuaikan dengan rencana pemesanan.
Pengertian Persediaan
Persediaan adalah bahan atau barang yang disimpan yang akan digunakan untuk memenuhi
tujuan tertentu, misalnya untuk digunakan dalam proses produksi atau perakitan, untuk dijual
kembali, atau untuk suku cadang dari peralatan atau mesin. Persediaan dapat berupa bahan
mentah, bahan pembantu, barang dalam proses, barang jadi ataupun suku cadang.
Sebagai salah satu asset penting dalam perusahaan – karena biasanya mempunyai nilai yang
cukup besar serta mempunyai pengaruh terhadap besar kecilnya biaya operasi – perencanaan dan
pengendalian persediaan merupakan salah satu kegiatan penting untuk mendapat perhatian
khusus dari manajemen perusahaan.
I. JENIS-JENIS PERSEDIAAN
Persediaan/ Inventori (Inventory) adalah persediaan atau stok berbagai item atau sumber-sumber
yang digunakan dalam organisasi. Sistim Inventori adalah seperangkat kebijakan dan
pengendalian yang memantau tingkat persediaan dan menentukan berapa tingkat persediaan yang
harus dijaga, kapan persediaan harus ditambah, dan seberapa besar pesanan harus dibuat.
Persediaan didefinisikan sebagai barang, bahan-bahan, atau asset yang dimiliki oleh perusahaan
untuk digunakan di masa yang akan datang. Kebijakan di bidang persediaan dapat dipandang
sebagai masalah taktis (tactical problem), sehingga perencanaan kebutuhan persediaan
direncanakan dalam kontek jangka waktu menengah selaras dengan keseluruhan rencana
produksi, strategi pemasaran dan distribusi.
Secara konvensional, inventori perusahaan manufaktur menunjuk pada item-item yang menjadi
bagian dari produk akhir perusahaan. Persediaan dalam manufaktur diklasifikasikan menjadi
persediaan bahan baku (raw materials), produk jadi (finished products), komponen (component
parts), bahan penolong (supplies) dan barang dalam proses ( work in process). Pada perusahaan
jasa, inventori menunjuk pada barang-barang tangible yang dijual dan bahan penolong yang
diperlukan untuk menyajikan jasa. Dalam kebanyakan text book, pembahasan inventori
senantiasa difokuskan pada persediaan bahan baku di perusahaan manufaktur.
1. JENIS-JENIS PERSEDIAAN
Semua perusahaan termasuk juga yang operasinya menganut konsep JIT menjaga ketersediaan
inventori dengan alasan sebagai berikut:
Perusahaan dapat saja menyelenggarakan persediaan dalam jumlah yang besar, namun demikian
persediaan yang besar tidak selalu menguntungkan perusahaan. Beberapa kerugian sehubungan
dengan penyelenggaraan persediaan dalam jumlah besar antara lain:
Untuk menghindari penyelenggaraan persediaan yang terlalu besar maupun yang terlalu kecil,
berikut ini beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam
menyelenggarakan persediaan :
Terdapat beberapa macam faktor yang mempengaruhi persediaan bahan baku. Adapun beberapa
faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Penjelasan:
1) Independent Demand adalah permintaan yang tidak dipengaruhi oleh operasi
perusahaan melainkan dipengaruhi oleh pasar
2) Dependent Demand adalah permintaan yang terkait dengan permintaan item
lain.
3) Deterministic Demand adalah permintaan yang relatif tidak berfluktuasi
sehingga dapat diramalkan secara akurat.
4) Stochastic Demand adalah permintaan yang fluktuasi dan variabilitasnya sangat
tinggi sehingga sulit diramalkan.
5) Static demand adalah permintaan yang tidak berfluktuasi dari waktu ke waktu.
6) Dynamic Demand adalah jumlah permintaan yang senantiasa bervariasi dari
waktu ke waktu.
7) Lead Time adalah jangka waktu antara saat pemesanan dengan saat barang
datang dan diterima.
8) Stock-out adalah kehabisan persediaan
II. Fungsi-fungsi persediaan
Beberapa fungsi penting persediaan dalam memenuhi kebutuhan perusahaan, yaitu :
1) Menghilangkan resiko keterlambatan pengiriman bahan baku atau barang yang
dibutuhkan perusahaan.
2) Menghilangkan resiko jika material yang dipesan tidak baik sehingga harus
dikembalikan.
3) Menghilangkan resiko terhadap kenaikan harga barang secara musiman atau
inflasi
4) Untuk menyimpan bahan baku yang dihasilkan secara musiman sehingga
perusahaan tidak akan kesulitan jika bahan itu tidak tersedia di pasaran.
III. Biaya persediaan
1) Purchasing cost of item. merupakan biaya yang timbul dari pembelian persediaan
2) Ordering- cost (preparation set-up cost). Biaya pesan merupakan biaya yang
terjadi karena adanya kegiatan pemesanan kepada vendor hingga barang sampai
di gudang atau pengorganisasian untuk memulai produksi di dalam pabrik. Biaya
klerikal dan manajerial untuk menyiapkan pembelian atau pemesanan. Misalnya
biaya telpon, pencatatan.
3) Inventory-holding cost, biaya simpan mencakup semua biaya yang terjadi karena
penyimpanan persediaan.. Yang termasuk golongan biaya ini misalnya biaya
fasilitas penggudangan, penanganan, asuransi, kerusakan, kedaluwarsaan,
depresiasi, pajak dan opportunity cost of capital.
4) Shortage cost (good-will cost), biaya yang timbul karena adanya permintaan yang
tak terlayani sehubungan dengan kehabisan persediaan atau biaya yang timbul
akibat kehabisan bahan dan pemesanan masih menunggu waktu.
5) Setup (production change) cost. Biaya yang timbul sehubungan dengan
pembuatan produk yang berbeda yang memerlukan perubahan bahan, penyusunan
spesifikasi mesin, dll.
Dari keempat jenis biaya persediaan tersebut di atas, yang digunakan dalam perhitungan biaya
persediaan (Total Inventory Cost disingkat TIC) adalah Ordering Cost (Co) dan Holding Cost
(Ch). Selanjutnya TIC secara matematis dinyatakan sebagai berikut :
Dimana :
TIC : Total Inventory Cost
Biaya simpan per unit barang per satu satuan waktu memiliki hubungan yang positif terhadap
jumlah barang yang dipesan. Artinya, semakin banyak barang yang dipesan dalam setiap kali
pesan, semakin banyak barang yang disimpan, semakin besar pula biaya simpan yang
ditanggung. Sebaliknya biaya pemesanan setiap kali pesan memiliki hubungan yang negatif
terhadap jumlah barang yang dipesan. Artinya, semakin banyak barang yang dipesan dalam
setiap kali pesan, semakin kecil frekuensi pembelian, semakin rendah pula biaya pemesanan
yang harus ditanggung perusahaan. Dengan kata lain bahwa biaya pesan memiliki hubungan
yang positif terhadap frekuensi pemesanan. Berikut ini gambaran secara grafis yang
menunjukkan hubungan antara biaya simpan, biaya pesan dan jumlah barang yang dipesan dalam
setiap kali pesan.
TIC minimum akan terjadi pada tingkat jumlah pembelian yang paling ekonomis atau disebut
Economic Order Quantity. Sedang untuk menghitung Total Biaya Anual (TAC( sering juga
disingkat TC adalah sebagai berikut:
Dimana :
Bahan mentah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Oleh karena itu,
penyediaan bahan mentah yang tepat, baik dalam arti jumlah maupun waktu, akan sangat
mendukung kelancaran proses produksi. Persediaan bahan yang minim memungkinkan
terjadinya kekurangan bahan. Kekurangan bahan mentah yang tersedia (stock-out) dapat
berakibat terhentinya proses produksi karena kehabisan bahan untuk diproses. Namun, dilihat
dari sisi positif, jumlah persediaan bahan yang rendah dapat menghemat biaya-biaya yang timbul
sehubungan dengan adanya persediaan dan dapat mengurangi risiko kerusakan bahan akibat
terlalu lama disimpan. Di sisi lain, persediaan bahan mentah yang terlalu besar jumlahnya (over-
stock) memang dapat menjamin kelancaran proses produksi karena bahan senantiasa tersedia
dalam jumlah yang cukup, namun bila dilihat dari segi finansial, persediaan bahan yang terlalu
besar akan meningkatkan biaya persediaan dan risiko kerusakan.
Persoalan dalam pengaturan persediaan bahan mentah adalah bagaimana berusaha menyediakan
bahan mentah yang diperlukan untuk proses produksi sehingga proses produksi dapat berjalan
lancar dengan biaya persediaan yang minimal. Tujuan pengawasan persediaan bahan mentah
adalah untuk menjawab persoalan tersebut baik dalam artian jumlah, kualitas maupun waktu.
Jumlah bahan mentah yang dibutuhkan di dalam berproduksi selama satu tahun dapat
diperhitungkan dari rencana hasil produksi yang akan dihasilkan dengan kebutuhan bahan
mentah untuk satu satuan barang jadi. Setelah diketahui jumlah kebutuhan bahan mentah, maka
perlu direncanakan juga mengenai cara pembeliannya atau cara penyediaannya. Dalam hal cara
penyediaan/pembelian pada garis besarnya terdapat dua alternatif yaitu :
Dari dua cara ekstrim tersebut, manajemen berusaha untuk menentukan kebijaksanaan
penyediaan bahan baku yang optimal dalam arti dapat menjamin kelancaran proses produksi dan
biaya yang ditanggung ada pada tingkat minimal. Untuk keperluan tersebut biasanya digunakan
metode yang disebut metode Economic Order Quantity (EOQ).
Pengertian EOQ adalah volume pembelian yang paling ekonomis untuk dilaksanakan pada setiap
kali pembelian. Secara matemastis dinyatakan sebagai berikut:
Dimana :
§ Seluruh jumlah bahan mentah yang dipesan datang pada satu titik waktu tertentu.
1) Penggunaan bahan dalam proses produksi lebih besar dari yang diperkirakan
sebelumnya sehubungan dengan sifat permintaan yang stochastic, sehingga
persediaan telah habis sebelum pembelian atau pesanan yang berikutnya datang.
2) Pesanan/pembelian bahan tidak datang tepat pada waktunya atau lead time
ternyata tidak tetap.
Untuk mengantisipasi dua keadaan di atas sehingga terhindar dari stock-out, perusahaan perlu
mengadakan persediaan besi (safety stock), yang akan dekat kaitannya dengan Re-Order Point.
Menentukan Re-order Point yang telah mempertimbangkan safety stock memerlukan data
distribusi probabilitas dari lead time yang diperoleh dari hasil analisis data historis. Dari
probabilitas lead time itu pula dapat diketahui mengenai probabilitas terjadinya stock out.
Asumsinya adalah bahwa distribusi probabilitas dari lead time merupakan disribusi normal.
Kemudian, ditentukan Service Level, yang menunjukkan probabilitas yang diharap bahwa
perusahaan tidak akan mengalami stock-out selama lead time. Sebagai contoh, service level 95%
artinya bahwa probabilitas tidak terjadi kekurangan persediaan sampai datangnya pesanan
sebesar 95%. Dengan kata lain, bahwa kemungkinan terjadinya stockout atau stockout yang
ditolerir adalah sebesar 5%. Selanjutnya dengan menggunakan data-data statistik ditentukan Re-
Order Point sebagai berikut :
Keterangan :
Rho : Angka standar deviasi dimana probabilitas stock out dapat diterima
Dengan adanya safety stock sebesar z.*, besarnya TIC menjadi : Total Biaya pesan + Total Biaya
simpan persediaan normal + Total biaya simpan safety stock
Contoh:
Manajemen sebuah perusahaan menginginkan service level 95%, atau probabilitas 5% untuk
terjadinya stockout selama lead time. Dari tabel Z diperoleh angka 1,645 standar deviasi di atas
rata-rata. Dengan asumsi distibusi normal, kebutuhan bahan selama lead time, rata-rata 577 unit
dan standard deviasi 100 unit, dapatlah ditentukan Re-Order Point :
Dalam praktek sehari-hari, situasi kehabisan persediaan sering ditemukan mana kala nilai per
unit persediaan sangat tinggi, dan karenanya biaya simpan juga tinggi, misalnya persediaan
dealer mobil-mobil baru. Bukan hal yang mengherankan bila sebuah dealer ternyata tidak
memiliki persediaan mobil tertentu yang diinginkan oleh seorang pembeli.
Berkaitan dengan situasi kehabisan bahan, ada suatu model yang dikembangkan untuk
menganalisis situasi tersebut, yang dikenal dengan nama Back-Order. Model Backorder ini
dikembangkan dengan asumsi :
Pada model persediaan untuk situasi stockout, biaya yang dipertimbangkan tidak hanya
biaya pesan dan biaya simpan saja. Namun masih ditambah biaya yang disebut Backorder Cost
atau Stockout Cost. Biaya yang termasuk kategori Backorder cost atau stockout Cost antar lain
biaya tenaga kerja dan pengantaran khusus yang terkait secara langsung dengan penanganan
backorder, a loss of goodwill dalam bentuk waktu pelanggan menunggu.
VI. Analisis persediaan ABC
Konsep ABC Inventory Analysis pertama kali dikenalkan oleh H.F. Dickie di General Electric
pada awal tahun 1950-an. Teknik ABC ini merupakan salah satu alat manajemen yang sangat
berharga untuk mengidentifikasi dan mengendalikan item-item persediaan yang penting. Konsep
ABC membagi atau mengelompokkan item-item persediaan menjadi tiga kelompok :
1) Kelompok A
Item-item persediaan yang dikelompokkan ke dalam kelompok A ini adalah item-
item persediaan yang bernilai besar namun merupakan bagian kecil dari
keseluruhan item persediaan yang ada. Ciri khusus dari kelompok ini antara lain
memiliki nilai berkisar antara 70% - 80% dari seluruh nilai persediaan yang ada,
dan kuantitasnya berkisar antara 15% - 30% dari seluruh jumlah persediaan.
2) Kelompok C
Item-item persediaan yang masuk kategori C adalah item-item persediaan yang
memiliki nilai rendah, namun merupakan bagian terbesar dari seluruh persediaan.
Nilai persediaan kelompok ini berkisar antara 5% - 15% dari seluruh nilai
persediaan, dan jumlahnya berkisar 50% dari seluruh jumlah persediaan.
3) Kelompok B
suatu item persediaan akan dikategorikan dalam kelompok B bila memiliki
karakteristik antara A dan C.
Perlu diketahui bahwa angka-angka prosentase yang diberikan dalam penjelasan bukanlah harga
mati, angka-angka tersebut hanyalah guidelines saja. Sebenarnya, tidak ada aturan yang spesifik
berkaitan dengan batasan antara kelompok A, kelompok B, dan kelompok C.
Jika pengelompokkan persediaan tersebut digambarkan secara grafis dimana sumbu vertikal
menunjukkan prosentase nilai persediaan dan sumbu horisontal menunjukkan prosentase jumlah
persediaan, maka akan terlihat seperti kurva dan disebut kurva ABC.
Dari analisis persediaan ABC, manajemen memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk
mengendalikan persediaan. Misalnya, persediaan yang masuk kelompok A menggambarkan
investasi persediaan yang bersifat substansial sehingga persediaan tersebut memerlukan
pengawasan dan pengendalian yang ketat yang meliputi pencatatan yang lebih akurat dan
komplit, pengawasan dan inspeksi tingkat persediaan yang terus menerus, perhitungan yang
tepat, menempati posisi prioritas utama dan diberi perhatian yang maksimum berkaitan dengan
jumlah dan frekuensi pemesanan.
Sebaliknya, untuk persediaan yang masuk kategori C, relatif kurang membutuhkan perhatian
atau pengendalian yang seketat kelompok A maupun B. Jumlah yang besar sering memberikan
keuntungan dalam hal pengurangan biaya pengangkutan, dan tingkat prsediaan dapat diawasi
secara periodik tanpa membutuhkan catatan-catatan formal. Sementara, persediaan kategori B
yang merupakan persediaan dengan nilai dan jumlah yang berada di tengah-tengah antara A dan
C, memerlukan pengendalian dan pengawasan yang lebih dari C, namun tidak seketat
pengendalian dan pengawasan untuk persediaan kategori A.
Kurva ABC Inventory Analysis
80 –
70 –
A Items
60 –
50 –
Percentage of annual dollar usage
40 –
30 –
20 -
10 –
0 –
B Items C Items
||||||||||
102030405060708090100
Menurut metode LIFO (Last In First Out) atau MTKP (Masuk Terakhir Keluar Pertama), barang
yang terakhir masuk dianggap barang yang lebih dulu keluar. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa nilai persediaan akhir merupakan nilai pada pembelian awal.
Metode yang didasarkan pada anggapan bahwa biaya persediaan yang paling akhir yang akan
terlebih dahulu dibebankan sebagai harga pokok penjualan. Jadi metode LIFO adalah kebalikan
dari metode FIFO.
Misalnya, penjualan 30 unit @ Rp. 40.000,- maka dapat dibuat perbandingan berikut di bawah :
Rerata
Keterangan FIFO LIFO
Tertimbang
Penjualan 30 unit @ Rp Rp 1.200.000,00 Rp 1.200.000,00 Rp 1.200.000,00
40.000 per Unit
HP barang yang dapat Rp 750.000,00 Rp 750.000,00 Rp 750.000,00
dijual
(Persd.Awal + Pembelian)
Persediaan akhir 10 unit Rp 250.000,00 Rp 100.000,00 Rp 187.500,00
(rumus dari metode
masing-masing)
Harga Pokok Penjualan/ Rp 500.000,00 Rp 650.000,00 Rp 562.500,00
HPP
(HP barang yang dapat
dijual- Persd. Akhir)
Laba kotor Rp 700.000,00 Rp 550.000,00 Rp 637.500,00
(Penjualan-HPP)
Ringkasan pengaruh Perpersediaan - Persediaan akhir Hasil berada
ketiga metode akhir tertinggi terendah diantara hasil
HPP terendah - HPP tertinggi FIFO dan LIFO
Laba Kotor - Laba Kotor
terendah
Untuk keperluan pembukuan perusahaan, pemilihan antara metode FIFO, LIFO dan Rata-rata
tertimbang tergantung pada kebijakan manajemen. Peraturan perpajakan di Indonesia hanya
membolehkan metode FIFO atau rata-rata tertimbang.