Anda di halaman 1dari 25

NAMA : MOSES GINTING

NIM : 11200934

MANAJEMEN PERSEDIAAN

Tujuan utama setiap perusahaan adalah untuk mengoptimalkan laba perusahaan karena akan
berdampak pada kelangsungan usaha. Salah satu unsur yang paling penting dalam pencapaian
laba perusahaan adalah persediaan. Apa yang dimaksud dengan persediaan dan apa saja yang
termasuk persediaan? Persediaan merupakan aset perusahaan yang dapat berupa persediaan
bahan baku, persediaan barang-barang dalam proses produksi, dan barang jadi yang siap dijual.

Penjualan akan menurun apabila barang/persediaan yang dibutuhkan tidak sesuai dengan
spesifikasi, mutu, dan jumlah yang diminta oleh pelanggan. Begitu pula dengan pembelian, jika
pembelian tidak dilakukan dengan baik akan mengakibatkan meningkatnya biaya-biaya. Karena
pembelian erat kaitannya dengan persediaan. Contohnya seperti biaya pembelian, sewa gudang,
biaya administrasi pergudangan, gaji petugas gudang, biaya pemeliharaan persediaan, dan biaya
kerusakan/kehilangan.

Demikian pula dengan produksi harus melakukan pengendalian persediaan dengan cara
merencanakan jumlah barang yang akan diproduksi sesuai dengan forecast penjualan. Jika
jumlah barang yang diproduksi terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah permintaan
konsumen, maka perusahaan akan kehilangan peluang dalam memenuhi omzet. Namun
sebaliknya, jika jumlah permintaan dari konsumen jauh lebih kecil dari jumlah barang yang
diproduksi, maka perusahaan juga mengalami kerugian karena adanya biaya tambahan dalam
penyimpanan barang. Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan harus
melakukan manajemen persediaan untuk mencapai keseimbangan antara investasi persediaan,
produksi, dan pemenuhan kebutuhan konsumen.
Kemudian apa yang dimaksud dengan manajemen persediaan? Metode apa yang dapat
dilakukan?
Manajemen persediaan adalah pengelolaan fungsi penyimpanan dan penanganan persediaan
untuk mencapai tingkat pelayanan pelanggan yang lebih baik, meningkatkan turnover persediaan
dan keuntungan bagi perusahaan. Metode yang dapat digunakan dalam pengelolaan manajemen
persediaan adalah :

 METODE EOQ ( Economic Order Quality)

Economic Order Quantity atau EOQ merupakan jumlah pemesanan paling ekonomis dengan
pertimbangan untuk meminimalkan biaya pemeliharaan barang dari gudang dan biaya
pemesanan setiap tahun namun tetap dapat memenuhi kebutuhan penggunaan. Metode ini
berlaku untuk permintaan yang dapat ditentukan secara pasti dan bersifat tetap, item barang yang
dipesan independen dengan item barang yang lain, pesanan dapat diterima dengan segera dan
pasti, jumlah barang keluar tidak terlalu fluktuatif, serta harga barang tersebut bersifat konstan.

 METODE Material Requirement Planning (MRP)

Dalam MRP mencakup kebutuhan material yaitu untuk pengendalian persediaan dan
penjadwalan produksi. Tujuan MRP adalah untuk menentukan kebutuhan sekaligus mendukung
jadwal produksi, mengendalikan persediaan, menjadwalkan produksi, menjaga jadwal tetap valid
dan up-to date, serta secara khusus berguna dalam lingkungan manufaktur yang kompleks dan
tidak pasti. Empat tahap dalam proses perencanaan kebutuhan material :
a. Netting, merupakanproses perhitungan kebutuhan bersih yang besarnya merupakan
selisih antara kebutuhan kotor dengan keadaan persediaan.
b. Lotting, merupakanpenentuan besarnya pesanan setiap individu berdasarkan pada
hasil perhitungan netting.
c. Offsetting bertujuan untuk menentukan saat yang tepat untuk melaksanakan rencana
pemesanan dalam memenuhi kebutuhan bersih yang diinginkan.
d. Exploding merupakan proses perhitungan kebutuhan kotor setiap tahapan produksi
disesuaikan dengan rencana pemesanan.

 Metode Just in Time (JIT)


Metode ini adalah pemecahan masalah yang berkelanjutan sehingga supplier dan komponen-
komponen lain ditarik melalui sistem untuk penunjang saat dibutuhkan. JIT bertolak belakang
dengan pemborosan yang tidak memberi nilai tambah produk dan mampu mencapai produksi
ramping dengan mengurangi persediaan. Ada beberapa pemborosan yang dapat terjadi dalam
proses produksi yang terdiri dari kelebihan produksi, proses yang tidak efisien, persediaan,
gerakan yang tidak perlu dan produk cacat.

 Metode Analisis ABC


Analisis ABC adalah metode manajemen persediaan untuk mengendalikan sejumlah kecil
barang, tetapi mempunyai nilai investasi yang tinggi. Analisis ABC ini menggolongkan barang
berdasarkan peringkat nilai dari nilai tertinggi hingga terendah dan kemudian dibagi menjadi
kelas-kelas besar terprioritas sesuai dengan jenis dan fungsi masing-masing barang.
Dalam menunjang jalannya manajemen persediaan dengan menggunakan metode-metode diatas,
perlu dilakukan pemantauan terhadap pengendalian persediaan mengingat persediaan sangat
rentan terhadap kerusakan maupun tindakan penyimpangan lainnya. Pemantauan terhadap
pengendalian internal dapat dilaksanakan seefektif mungkin dalam suatu perusahaan untuk
mencegah dan menghindari terjadinya kesalahan, kecurangan dan penyelewengan.
Dalam skala perusahaan kecil, pengendalian persediaan dapat dilakukan oleh pimpinan
perusahaan. Namun untuk skala perusahaan besar, dimana tugas-tugas per masing-masing bagian
sangat kompleks menyebabkan pimpinan tidak mungkin lagi ambil bagian secara langsung
dalam pemantauan ini. Oleh sebab itu, diperlukan pengawasan dari masing-masing pihak yang
bertugas dan memberikan pertanggungjawabannya kepada pimpinan. Pemeriksaan pencatatan
persediaan dengan perhitungan fisik harus dapat dilakukan setiap bulan. Sehingga dengan adanya
pengawasan disertai dengan manajamen persediaan dapat mengontrol persediaan barang secara
maksimal.

Pengertian Persediaan

Persediaan adalah bahan atau barang yang disimpan yang akan digunakan untuk memenuhi
tujuan tertentu, misalnya untuk digunakan dalam proses produksi atau perakitan, untuk dijual
kembali, atau untuk suku cadang dari peralatan atau mesin. Persediaan dapat berupa bahan
mentah, bahan pembantu, barang dalam proses, barang jadi ataupun suku cadang.
Sebagai salah satu asset penting dalam perusahaan – karena biasanya mempunyai nilai yang
cukup besar serta mempunyai pengaruh terhadap besar kecilnya biaya operasi – perencanaan dan
pengendalian persediaan merupakan salah satu kegiatan penting untuk mendapat perhatian
khusus dari manajemen perusahaan.

I. JENIS-JENIS PERSEDIAAN

Persediaan/ Inventori (Inventory) adalah persediaan atau stok berbagai item atau sumber-sumber
yang digunakan dalam organisasi. Sistim Inventori adalah seperangkat kebijakan dan
pengendalian yang memantau tingkat persediaan dan menentukan berapa tingkat persediaan yang
harus dijaga, kapan persediaan harus ditambah, dan seberapa besar pesanan harus dibuat.

Persediaan didefinisikan sebagai barang, bahan-bahan, atau asset yang dimiliki oleh perusahaan
untuk digunakan di masa yang akan datang. Kebijakan di bidang persediaan dapat dipandang
sebagai masalah taktis (tactical problem), sehingga perencanaan kebutuhan persediaan
direncanakan dalam kontek jangka waktu menengah selaras dengan keseluruhan rencana
produksi, strategi pemasaran dan distribusi.
Secara  konvensional, inventori perusahaan manufaktur menunjuk pada item-item yang menjadi
bagian dari produk akhir perusahaan. Persediaan dalam manufaktur diklasifikasikan menjadi
persediaan bahan baku (raw materials), produk jadi (finished products), komponen (component
parts), bahan penolong (supplies) dan barang dalam proses ( work in process). Pada perusahaan
jasa, inventori  menunjuk pada barang-barang tangible yang dijual dan bahan penolong yang
diperlukan untuk menyajikan jasa. Dalam kebanyakan text book, pembahasan inventori
senantiasa difokuskan pada persediaan bahan baku di perusahaan manufaktur.

1. JENIS-JENIS PERSEDIAAN

Ada beberapa jenis persediaan antara lain:

1. Persediaan bahan mentah dan bagian-bagiannya.


2. Persediaan komponen
3. Persediaan barang dalam proses
4. Persediaan barang jadi
5. Persediaan supplies

2. Tujuan Persediaan/ Inventori

Semua perusahaan termasuk juga  yang operasinya menganut konsep JIT menjaga ketersediaan
inventori dengan alasan sebagai berikut:

1) Menjaga independensi operasi. Dengan adanya ketersediaan bahan baku pada


pusat kerja memungkinkan fleksibilitas operasi dari pusat tersebut, sehingga
mengurangi biaya set-up setiap dilakukan set-up produksi yang baru.
2) Untuk menjaga variasi/fluktuasi permintaan produk. Oleh karena, dalam banyak
hal, permintaan tidak dapat diperkiraan dengan sangat tepat, maka untuk dapat
mengantisipasinya diperlukan adanya persediaan pengamanan (safety/buffer
stock).
3) Memungkinkan fleksibilitas dalam pembuatan skedul  produksi. Dengan adanya
persediaan perusahaan dapat menentukan jadual produksi sesuai permintaan
sekalipun lead time bahan lama.
4) Memberikan kemanan terhadap variasi waktu pengantaran bahan. Waktu
datangnya pesanan bisa saja tertunda yang penyebabnya banyak misalnya adanya
kecelakaan, kemacetan lalu lintas, pemogokan atau bencana alam dll. Dengan
adanya persediaan perusahaan dapat meminimalisasi pengaruh keterlambatan
tersebut terhadap kelancaran operasi.
5) Mendapatkan keuntungan ekonomis dari jumlah pembelian yang lebih besar.
Misalnya adnya diskon/potongan harga untuk pembelian dengan jumlah besar
tertentu.
3. Alasan Perlunya Penyelenggaraan Persediaan/ Inventori

Setidaknya ada empat alasan mengapa perusahaan memerlukan persediaan, yakni:

1) Kesulitan memprediksi tingkat penjualan dan waktu produksi secara akurat


(fluctuation inventory).
2) Beberapa item barang memiliki permintaan yang bersifat seasonal (anticipation
inventory)
3) Mendapatkan manfaat dari economic of scale dalam produksi dan pembelian (lot
size inventory).
4) Jarak dan waktu yang diperlukan untuk pengadaan barang sehubungan dengan 
proses transit dalam sistem logistik. untuk sejumlah besar persediaan (pipe-line
inventory).
5) Keterlambatan kedatangan bahan baku yang dipesan dapat mengakibatkan
terhentinya pelaksanaan produksi. 

Perusahaan dapat saja menyelenggarakan persediaan dalam jumlah yang besar, namun demikian
persediaan yang besar tidak selalu menguntungkan perusahaan. Beberapa kerugian sehubungan
dengan penyelenggaraan persediaan dalam jumlah besar antara lain:

1) Biaya penyimpanan yang menjadi tanggungan perusahaan akan besar.


2) Perusahaan harus mempersiapkan dana yang cukup besar untuk mengadakan
pembelian bahan.
3) Tingginya biaya simpan dan investasi dalam persediaan akan mengakibatkan
berkurangnya dana untuk pembiayaan dan investasi di bidang lain.
4) Perusahaan menanggung kemungkinan yang cukup besar risiko kerusakan
persediaan akibat perubahan kimiawi atau sebab lain.
5) Bila terjadi penurunan harga bahan baku, maka perusahaan akan menderita
kerugian yang cukup besar pula. Di sisi lain, bila perusahaan menyelenggarakan
persediaan dalam jumlah yang relatif terlalu kecil, maka beberapa kelemahan dari
kebijakan tersebut antara lain:
6) Adanya kemungkinan kehabisan bahan karena persediaan habis sebelum
waktunya.
7) Akibat sering kehabisan bahan, maka proses produksi menjadi tidak lancar.
8) Persediaan yang terlalu kecil akan meningkatkan frekuensi pembelian, sehingga
biaya pesannya pun akan meningkat selaras dengan peningkatan frekuensi
pembelian.

Untuk menghindari penyelenggaraan persediaan yang terlalu besar maupun yang terlalu kecil,
berikut ini beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam
menyelenggarakan persediaan :

1) Berapa besarnya jumlah unit persediaan bahan yang diselenggarakan perusahaan.


2) Kapan dan berapa jumlah unit bahan akan dibeli oleh perusahaan.
3) Kapan perusahaan yang bersangkutan akan mengadakan pembelian kembali.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persediaan

Terdapat beberapa macam faktor yang mempengaruhi persediaan bahan baku. Adapun beberapa
faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1) Perkiraan pemakaian bahan baku.


2) Harga bahan baku
3) Biaya persediaan
4) Kebijakan pembelanjaan
5) Pemakaian bahan
6) Waktu tunggu
7) Model pembelian bahan
8) Persediaan pengaman
9) Pembelian kembali

5. Karakteristik Persediaan/ Inventori :Independent Demand dan Dependent Demand


Dalam mengelola inventori, perlu dipahami tentang perbedaan antara permintaan
independen dan dependen. Secara singkat, perbedaan antara permintaan independen dan
dependen yaitu kalau permintaan independen merupakan permintaan yang hanya terkait dengan
barang itu sendiri, atau suatu permintaan terhadap berbagai item barang yang tidak ada kaitannya
antara satu dengan yang lain. Misalnya, suatu departemen atau divisi menghasilkan berbagai
barang/komponen yang tidak saling terkait yang semata-mata untuk memenuhi permintaan
eksternal. Misalnya permintaan roti, sepeda, mobil, obat-obatan. Sedangkan permintaan
dependen adalah permintaan terhadap suatu barang/komponen sehubungan dengan adanya
kebutuhan akan barang/komponen lain yang tersusun dari berbagai komponen. Misalnya
permintaan akan ban sepeda divisi ban sepeda muncul karena adanya permintaan akan sepeda
pada bagian assembling sepeda.  Permintaan ban sepeda pada divisi ban merupakan permintaan
dependen dari divisi lain dalam satu organisasi.

6. Klasifikasi Masalah Persediaan/ Inventori  

Langkah awal dalam menganalisis masalah persediaan dilakukan dengan


menggambarkan karakteristik pokok dari lingkungan dan sistim persediaan  Berikut
karakteristik, atribut, dan persoalan dalam persediaan :

Chataeristic Atribute Problems


Number od Item One or Many Model – model pengendalian persediaan
umumnya mengasumsikan bahwa jumlah
item persediaan hanya satu macam
Nature of Independent or Perbedaan sifat permintaan
Demand Dependent, membutuhkan pelaku yang berbeda pula
Deterministic or
Stochastic, Static or
Dinamic
Number of One or Many Adanya item – item persediaan yang
Time Periode in tidak dapat disimpan dalam waktu jangka
Planing Horizon yang lama
Lead Time Deterministic or Perbedaan sifat lead time akan
Stochastic mempengaruhi analisis persediaan yang
dilakukan
Stock Out Back Order or Lost Sejauh mana akibat yang ditimbulkan
Order oleh kehabisan persediaan akan
memutuskan kebijakan persediaan yang
diambil

Penjelasan:
1) Independent Demand adalah permintaan yang tidak dipengaruhi oleh operasi
perusahaan melainkan dipengaruhi oleh pasar
2) Dependent Demand adalah permintaan yang terkait dengan permintaan item
lain.
3) Deterministic Demand adalah permintaan yang relatif tidak berfluktuasi
sehingga dapat diramalkan secara akurat.
4) Stochastic Demand adalah permintaan yang fluktuasi dan variabilitasnya sangat
tinggi sehingga sulit diramalkan.
5) Static demand adalah permintaan yang tidak berfluktuasi dari waktu ke waktu.
6) Dynamic Demand adalah jumlah permintaan yang senantiasa bervariasi dari
waktu ke waktu.
7) Lead Time adalah jangka waktu antara saat pemesanan dengan saat barang
datang dan diterima.
8) Stock-out adalah kehabisan persediaan
II. Fungsi-fungsi persediaan
Beberapa fungsi penting persediaan dalam memenuhi kebutuhan perusahaan, yaitu :
1) Menghilangkan resiko keterlambatan pengiriman bahan baku atau barang yang
dibutuhkan perusahaan.
2) Menghilangkan resiko jika material yang dipesan tidak baik sehingga harus
dikembalikan.
3) Menghilangkan resiko terhadap kenaikan harga barang secara musiman atau
inflasi
4) Untuk menyimpan bahan baku yang dihasilkan secara musiman sehingga
perusahaan tidak akan kesulitan jika bahan itu tidak tersedia di pasaran.
III. Biaya persediaan

Biaya Persediaan (Inventory)


Dalam membuat keputusan terhadap besarnya inventori, beberapa item biaya berikut perlu
dipertimbangkan :

1) Purchasing cost of item. merupakan biaya yang timbul dari pembelian persediaan
2) Ordering- cost (preparation set-up cost). Biaya pesan merupakan biaya yang
terjadi karena adanya kegiatan pemesanan kepada vendor hingga barang sampai
di gudang atau pengorganisasian untuk memulai produksi di dalam pabrik. Biaya
klerikal dan manajerial untuk menyiapkan pembelian atau pemesanan. Misalnya
biaya telpon, pencatatan.
3) Inventory-holding cost, biaya simpan mencakup semua biaya yang terjadi karena
penyimpanan persediaan.. Yang termasuk golongan biaya ini misalnya biaya
fasilitas penggudangan, penanganan, asuransi, kerusakan, kedaluwarsaan,
depresiasi, pajak dan opportunity cost of capital.
4) Shortage cost (good-will cost), biaya yang timbul karena adanya permintaan yang
tak terlayani sehubungan dengan kehabisan persediaan atau biaya yang timbul
akibat kehabisan bahan dan pemesanan masih menunggu waktu.
5) Setup (production change) cost. Biaya yang timbul sehubungan dengan
pembuatan produk yang berbeda yang memerlukan perubahan bahan, penyusunan
spesifikasi mesin, dll.

Dari keempat jenis biaya persediaan tersebut di atas, yang digunakan dalam perhitungan biaya
persediaan (Total Inventory Cost disingkat TIC) adalah Ordering Cost (Co) dan Holding Cost
(Ch). Selanjutnya TIC secara matematis dinyatakan sebagai berikut :

Dimana :
TIC : Total Inventory Cost

Q/2 : Persediaan rata-rata

R/Q : Frekuensi pemesanan

Ch = H : Biaya penyimpanan per unit barang per satu satuan waktu

Co = Cs = S : Biaya pemesanan setiap kali pesan

Biaya simpan per unit barang per satu satuan waktu memiliki hubungan yang positif terhadap
jumlah barang yang dipesan. Artinya, semakin banyak barang yang dipesan dalam setiap kali
pesan, semakin banyak barang yang disimpan, semakin besar pula biaya simpan yang
ditanggung. Sebaliknya biaya pemesanan setiap kali pesan memiliki hubungan yang negatif
terhadap jumlah barang yang dipesan. Artinya, semakin banyak barang yang dipesan dalam
setiap kali pesan, semakin kecil frekuensi pembelian, semakin rendah pula biaya pemesanan
yang harus ditanggung perusahaan. Dengan kata lain bahwa biaya pesan memiliki hubungan
yang positif terhadap frekuensi pemesanan. Berikut ini gambaran secara grafis yang
menunjukkan hubungan antara biaya simpan, biaya pesan dan jumlah barang yang dipesan dalam
setiap kali pesan.

TIC minimum akan terjadi pada tingkat jumlah pembelian yang paling ekonomis atau disebut
Economic Order Quantity. Sedang untuk menghitung Total Biaya Anual (TAC( sering juga
disingkat TC adalah sebagai berikut:

Dimana :

D = R = Kebutuhan satu tahun

C=P = Harga perolehan barang

S= Cs = Co = Biaya Pesan per pesanan


H = Ch = Biaya Simpan per unit

IV. Model Economic Order Quantity


 Economic Order Quantity (EOQ)

Bahan mentah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Oleh karena itu,
penyediaan bahan mentah yang tepat, baik dalam arti jumlah maupun waktu, akan sangat
mendukung kelancaran proses produksi. Persediaan bahan yang minim memungkinkan
terjadinya kekurangan bahan. Kekurangan bahan mentah yang tersedia (stock-out) dapat
berakibat terhentinya proses produksi karena kehabisan bahan untuk diproses. Namun, dilihat
dari sisi positif, jumlah persediaan bahan yang rendah dapat menghemat biaya-biaya yang timbul
sehubungan dengan adanya persediaan dan dapat mengurangi risiko kerusakan bahan akibat
terlalu lama disimpan. Di sisi lain, persediaan bahan mentah yang terlalu besar jumlahnya (over-
stock) memang dapat menjamin kelancaran proses produksi karena bahan senantiasa tersedia
dalam jumlah yang cukup, namun bila dilihat dari segi finansial, persediaan bahan yang terlalu
besar akan meningkatkan biaya persediaan dan risiko kerusakan.

Persoalan dalam pengaturan persediaan bahan mentah adalah bagaimana berusaha menyediakan
bahan mentah yang diperlukan untuk proses produksi sehingga proses produksi dapat berjalan
lancar dengan biaya persediaan yang minimal. Tujuan pengawasan persediaan bahan mentah
adalah untuk menjawab persoalan tersebut baik dalam artian jumlah, kualitas maupun waktu.

Jumlah bahan mentah yang dibutuhkan di dalam berproduksi selama satu tahun dapat
diperhitungkan dari rencana hasil produksi yang akan dihasilkan dengan kebutuhan bahan
mentah untuk satu satuan barang jadi. Setelah diketahui jumlah kebutuhan bahan mentah, maka
perlu direncanakan juga mengenai cara pembeliannya atau cara penyediaannya. Dalam hal cara
penyediaan/pembelian pada garis besarnya terdapat dua alternatif yaitu :

1) Dibeli sekaligus jumlah seluruh kebutuhan, dan kemudian disimpan di gudang,


sehingga setiap kali ada kebutuhan tinggal mengambil di gudang. Cara ini lebih
menjamin kelancaran proses produksi, dalam artian bahwa bahan mentah untuk
keperluan proses produksi telah tersedia dalam jumlah besar. Namun demikian, di
sisi lain, cara ini membawa konsekuensi bahwa perusahaan harus menanggung
biaya persediaan atau paling tidak biaya penyimpanan yang tinggi.
2) Alternatif yang kedua ialah berusaha memenuhi kebutuhan bahan mentah untuk
keperluan proses produksi dengan membeli dalam jumlah yang relatif kecil dalam
setiap kali pembelian dengan frekuensi pembelian yang lebih sering. Cara ini akan
membawa kemungkinan terlambatnya bahan mentah. Apabila keterlambatan
penyediaan bahan mentah terjadi, maka proses produksi dapat terganggu.
Sedangkan keuntungan dari cara kedua ini ialah bahwa perusahaan tidak perlu
menanggung biaya penyimpanan bahan mentah yang terlalu besar. Dalam hal ini
biaya penyimpanan dibebankan pada leveransir bahan mentah.

Dari dua cara ekstrim tersebut, manajemen berusaha untuk menentukan kebijaksanaan
penyediaan bahan baku yang optimal dalam arti dapat menjamin kelancaran proses produksi dan
biaya yang ditanggung ada pada tingkat minimal. Untuk keperluan tersebut biasanya digunakan
metode yang disebut metode Economic Order Quantity (EOQ).
Pengertian EOQ adalah volume pembelian yang paling ekonomis untuk dilaksanakan pada setiap
kali pembelian. Secara matemastis dinyatakan sebagai berikut:
Dimana :

R : Kebutuhan bahan mentah satu tahun

Co = Cs = S : Ordering Cost setiap kali pesan

Ch = H : Holding Cost per unit per satu satuan waktu

Model EOQ di atas dikembangkan dengan asumsi :

§ Hanya ada satu jenis/item persediaan yang hendak direview.

§ Seluruh jumlah bahan mentah yang dipesan datang pada satu titik waktu tertentu.

§ Permintaan akan bahan bersifat konstan atau mendekati tingkat konstan.


§ Lead time konstan.

§ Holding cost didasarkan pada rata-rata persediaan

§ Ordering atau setup cost konstan

§ Tidak terjadi kehabisan bahan.

§ Tidak ada pengembalian barang yang sudah dipesan

V. Model persediaan stokastik

Menentukan Tingkat Safety Stock

Dengan ditemukannya EOQ, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk terjadi


kekurangan persediaan (stock-out) di dalam proses produksi. Pada kondisi permintaan stochastic,
sangat tidak realistis bila seorang manajer mengatakan bahwa ia tidak akan mentolerir terjadinya
kekurangan persediaan. Kemungkinan kekurangan persediaan tetap ada dan timbul karena :

1) Penggunaan bahan dalam proses produksi lebih besar dari yang diperkirakan
sebelumnya sehubungan dengan sifat permintaan yang stochastic, sehingga
persediaan telah habis sebelum pembelian atau pesanan yang berikutnya datang.
2) Pesanan/pembelian bahan tidak datang tepat pada waktunya atau lead time
ternyata tidak tetap.

Untuk mengantisipasi dua keadaan di atas sehingga terhindar dari stock-out, perusahaan perlu
mengadakan persediaan besi (safety stock), yang akan dekat kaitannya dengan Re-Order Point.
Menentukan Re-order Point yang telah mempertimbangkan safety stock memerlukan data
distribusi probabilitas dari lead time yang diperoleh dari hasil analisis data historis. Dari
probabilitas lead time itu pula dapat diketahui mengenai probabilitas terjadinya stock out.
Asumsinya adalah bahwa distribusi probabilitas dari lead time merupakan disribusi normal.
Kemudian, ditentukan Service Level, yang menunjukkan probabilitas yang diharap bahwa
perusahaan tidak akan mengalami stock-out selama lead time. Sebagai contoh, service level 95%
artinya bahwa probabilitas tidak terjadi kekurangan persediaan sampai datangnya pesanan
sebesar 95%. Dengan kata lain, bahwa kemungkinan terjadinya stockout atau stockout yang
ditolerir adalah sebesar 5%. Selanjutnya dengan menggunakan data-data statistik ditentukan Re-
Order Point sebagai berikut :
Keterangan :

ROP : Reorder Point

u (Miu)* : Kebutuhan bahan yang diharap selama lead time

z.* : Kafety stock

Rho : Angka standar deviasi dimana probabilitas stock out dapat diterima

Dengan adanya safety stock sebesar z.*, besarnya TIC menjadi : Total Biaya pesan + Total Biaya
simpan persediaan normal + Total biaya simpan safety stock

Contoh:

Manajemen sebuah perusahaan menginginkan service level 95%, atau probabilitas 5% untuk
terjadinya stockout selama lead time. Dari tabel Z diperoleh angka 1,645 standar deviasi di atas
rata-rata. Dengan asumsi distibusi normal, kebutuhan bahan selama lead time, rata-rata 577 unit
dan standard deviasi 100 unit, dapatlah ditentukan Re-Order Point :

ROP = 577 + 1,645(100) = 742 unit

Pemesanan kembali dilakukan bila persediaan di gudang tersisa 742 unit.

Model Persediaan Dengan Shortage/ Stockout (Kehabisan Bahan)


Pada beberapa situasi tertentu, bukan tidak mungkin terjadi kehabisan persediaan (shortages/
stockout), artinya kemungkinan terjadinya bahwa permintaan tidak dapat dipenuhi dengan
persediaan atau produksi yang ada. Hal demikian sering merupakan sesuatu yang tidak
dikehendaki sehingga harus diantisipasi dan sejauh mungkin dihindari. Namun demikian, tidak
semua kasus kehabisan persediaan merupakan sesuatu yang tidak diinginkan, ada kalanya situasi
tersebut memang dikehendaki dilihat dari sudut ekonomi.

Dalam praktek sehari-hari, situasi kehabisan persediaan sering ditemukan mana kala nilai per
unit persediaan sangat tinggi, dan karenanya biaya simpan juga tinggi, misalnya persediaan
dealer mobil-mobil baru. Bukan hal yang mengherankan bila sebuah dealer ternyata tidak
memiliki persediaan mobil tertentu yang diinginkan oleh seorang pembeli.

Berkaitan dengan situasi kehabisan bahan, ada suatu model yang dikembangkan untuk
menganalisis situasi tersebut, yang dikenal dengan nama Back-Order. Model Backorder ini
dikembangkan dengan asumsi :

1) Ketika pelanggan memesan barang, perusahaan tidak dapat memenuhi karena


kehabisan persediaan.
2) Pelanggan tidak membatalkan pesanannya dan bersedia menunggu barang
datang.
3) Waktu tunggu backorder relatif pendek.
4) Perusahaan memberikan jaminan bahwa pelanggan yang telah menunggu
menjadi prioritas utama.

Pada model persediaan untuk situasi stockout, biaya yang dipertimbangkan tidak hanya
biaya pesan dan biaya simpan saja. Namun masih ditambah biaya yang disebut Backorder Cost
atau Stockout Cost. Biaya yang termasuk kategori Backorder cost atau stockout Cost antar lain
biaya tenaga kerja dan pengantaran khusus yang terkait secara langsung dengan penanganan
backorder, a loss of goodwill dalam bentuk waktu pelanggan menunggu.
VI. Analisis persediaan ABC

Analisis Persediaan Metode ABC

Konsep ABC Inventory Analysis pertama kali dikenalkan oleh H.F. Dickie di General Electric
pada awal tahun 1950-an. Teknik ABC ini merupakan salah satu alat manajemen yang sangat
berharga untuk mengidentifikasi dan mengendalikan item-item persediaan yang penting. Konsep
ABC membagi atau mengelompokkan item-item persediaan menjadi tiga kelompok :

1) Kelompok A
Item-item persediaan yang dikelompokkan ke dalam kelompok A ini adalah item-
item persediaan yang bernilai besar namun merupakan bagian kecil dari
keseluruhan item persediaan yang ada. Ciri khusus dari kelompok ini antara lain
memiliki nilai berkisar antara 70% - 80% dari seluruh nilai persediaan yang ada,
dan kuantitasnya berkisar antara 15% - 30% dari seluruh jumlah persediaan.
2) Kelompok C
Item-item persediaan yang masuk kategori C adalah item-item persediaan yang
memiliki nilai rendah, namun merupakan bagian terbesar dari seluruh persediaan.
Nilai persediaan kelompok ini berkisar antara 5% - 15% dari seluruh nilai
persediaan, dan jumlahnya berkisar 50% dari seluruh jumlah persediaan.
3) Kelompok B
suatu item persediaan akan dikategorikan dalam kelompok B bila memiliki
karakteristik antara A dan C.
Perlu diketahui bahwa angka-angka prosentase yang diberikan dalam penjelasan bukanlah harga
mati, angka-angka tersebut hanyalah guidelines saja. Sebenarnya, tidak ada aturan yang spesifik
berkaitan dengan batasan antara kelompok A, kelompok B, dan kelompok C.
Jika pengelompokkan persediaan tersebut digambarkan secara grafis dimana sumbu vertikal
menunjukkan prosentase nilai persediaan dan sumbu horisontal menunjukkan prosentase jumlah
persediaan, maka akan terlihat seperti kurva dan disebut kurva ABC.
Dari analisis persediaan ABC, manajemen memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk
mengendalikan persediaan. Misalnya, persediaan yang masuk kelompok A menggambarkan
investasi persediaan yang bersifat substansial sehingga persediaan tersebut memerlukan
pengawasan dan pengendalian yang ketat yang meliputi pencatatan yang lebih akurat dan
komplit, pengawasan dan inspeksi tingkat persediaan yang terus menerus, perhitungan yang
tepat, menempati posisi prioritas utama dan diberi perhatian yang maksimum berkaitan dengan
jumlah dan frekuensi pemesanan.
Sebaliknya, untuk persediaan yang masuk kategori C, relatif kurang membutuhkan perhatian
atau pengendalian yang seketat kelompok A maupun B. Jumlah yang besar sering memberikan
keuntungan dalam hal pengurangan biaya pengangkutan, dan tingkat prsediaan dapat diawasi
secara periodik tanpa membutuhkan catatan-catatan formal. Sementara, persediaan kategori B
yang merupakan persediaan dengan nilai dan jumlah yang berada di tengah-tengah antara A dan
C, memerlukan pengendalian dan pengawasan yang lebih dari C, namun tidak seketat
pengendalian dan pengawasan untuk persediaan kategori A.
Kurva ABC Inventory Analysis

80 –
70 –
A Items
60 –
50 –
Percentage of annual dollar usage

40 –
30 –

20 -
10 –
0 –

B Items C Items

||||||||||
102030405060708090100

Percentage of inventory items


VII. Metode Penentuan nilai persediaan (LIFO, FIFO, Average)
Dalam pencatatan sistem fisik, nilai persediaan barang akhir periode diketahui setelah kuantitas
barang yang tersedia dihitung secara fisik kemudian dikalikan dengan harga satuan. Harga satuan
barang yang digunakan sebagai dasar penilaian persediaan bergantung kepada metode penilaian
yang digunakan.
Dalam penentuan nilai persediaan dapat digunakan beberapa metode, yaitu :

1. Metode Harga Pokok Spesifik


Metode ini digunakan untuk persediaan yang dapat diidentifikasikan secara individu dan dapat
ditentukan asal pembeliannya serta harga pokoknya sesuai dengan harga beli yang
sesungguhnya. Metode ini seringkali digunakan oleh perusahaan yang menjual barang dengan
harga mahal dan setiap barang memiliki identitas, seperti mobil.

Ilustrasi 1 :  Menentukan nilai persediaan dengan metode harga pokok spesifik.

Mobil A Mobil B Mobil C


Pembelian Rp 40.000 Rp 50.000 Rp 180.000
Penjualan Rp 45.000 - -

1) Jurnal untuk mencatat pembelian:


Pembelian (Mobil A) Rp 40.000,00
Pembelian (Mobil B) Rp 50.000,00
Pembelian (Mobil C) Rp 180.000,00
Kas ( Hutang)              Rp 270.000,00

2) Jurnal untuk mencatat penjualan:


Kas ( Piutang ) Rp 45.000,00
Penjualan         Rp 45.000,00
3) Menentukan persediaan akhir:
Mobil yang belum terjual adalah mobil B dan Mobil C yang nilai belinya
Adalah : Rp. 50.000,00 + Rp. 180.000,00 = Rp. 230.000,00

4) Melaporan Persediaan dalam neraca akhir:

Neraca akhir periode :


Persediaan (D)                                              Rp. 230.000,00

2. Metode First In First Out (FIFO)/Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP)


Menurut metode FIFO (First In Frist Out) atau MPKP (Masuk Pertama Keluar Pertama), barang
yang lebih dulu masuk dianggap barang yang lebih dulu keluar. Tetapi hal ini tidak pada keadaan
sebenarnya, anggapan tersebut hanya digunakan untuk perhitungan (penggunaan bukti transaksi).
Ketika masuk pertama keluar pertama, berati dapat disimpulkan bahwa persediaan akhir terdiri
dari pembelian pada saat-saat terakhir.
Di dalam metode ini biaya persediaan yang paling awal yang ada terlebih dahulu dibebankan
sebagai harga pokok penjualan. Dengan demikian barang yang ada dalam persediaan dianggap
berasal dari pembelian - pembelian sebelumnya dianggap telah dijual atau dikeluarkan.

Ilustrasi 2 : Menentukan nilai persediaan dengan metode FIFO/MPKP.

Transaksi perdagangan PT. TATA, Jakarta dalam bulan Januari 2002:


01/1 Saldo                   10 unit   @ Rp 10.000,00
10/1 Pembelian            25 unit  @ Rp 20.000,00
20/1 Pembelian              5 unit  @ Rp 30.000,00
   Total                     40 unit
25/1 Penjualan             30 unit
31/1 Sisa di gudang    10 unit (dihitung secara fisik di gudang).

Harga Pokok Penjualan untuk 30 unit yang terjual adalah :


10 unit @ Rp. 10.000,00 + 20 unit @ Rp. 20.000,00
Maka nilai persediaan atas dasar metode FIFO
adalah:
5 unit @ Rp. 20.000,00 = Rp. 100.000,00
5 unit @ Rp. 30.000,00 = Rp. 150.000,00
        Rp. 250.000,00

3. Metode Last In First Out (LIFO)/Masuk Terakhir Keluar Pertama (MTKP)

Menurut metode LIFO (Last In First Out) atau MTKP (Masuk Terakhir Keluar Pertama), barang
yang terakhir masuk dianggap barang yang lebih dulu keluar. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa nilai persediaan akhir merupakan nilai pada pembelian awal.
Metode yang didasarkan pada anggapan bahwa biaya persediaan yang paling akhir yang akan
terlebih dahulu dibebankan sebagai harga pokok penjualan. Jadi metode LIFO adalah kebalikan
dari metode FIFO.

Ilustrasi 3: Menentukan nilai persediaan dengan metode LIFO/MTKP.

Transaksi perdagangan PT. TATA, Jakarta dalam bulan Januari 2002:


01/1 Saldo                   10 unit @ Rp 10.000,00
10/1 Pembelian            25 unit @ Rp 20.000,00
20/1 Pembelian              5 unit @ Rp 30.000,00
          Total                     40 unit
25/1 Penjualan             30 unit
31/1 Sisa di gudang    10 unit (dihitung secara fisik di gudang)
Harga Pokok Penjualan untuk 30 unit yang terjual adalah :
5 unit @ Rp. 30.000,00 + 25 unit @ Rp. 20.000,00

Maka nilai persediaan atas dasar metode LIFO adalah:


10    unit @ Rp. 10.000,00 =               Rp. 100.000,00

4. Metode Rata-rata atau Rata-rata Tertimbang


Penerapan metode rata-rata dalam sistem pencatatan perpetual, disebut metode rata-rata bergerak
(Moving Average Method). Disebut demikian, karena tiap terjadi transaksi pembelian, harga rata-
rata per satuan barang harus dihitung, sehingga rata-rata per satuan akan berubah-ubah. Harga
pokok satuan barang yang dijual adalah harga pokok rata-rata yang berlaku pada saat terjadi
transaksi penjualan.
Dalam metode rata-rata tertimbang, biaya rata-rata barang ditentukan dengan cara membagi
jumlah harga barang yang tersedia untuk dijual total kuantitasnya, atau dengan rumus :

Ilustrasi 4: Menentukan nilai persediaan dengan metode Rata-rata Tertimbang.

Transaksi perdagangan PT. TATA, Jakarta bulan Januari 2000:


01/1 Saldo                   10 unit @ Rp 10.000,00         = Rp. 100.000,00
10/1 Pembelian            25 unit @ Rp 20.000,00         = Rp. 500.000,00
20/1 Pembelian             5 unit  @ Rp 30.000,00         = Rp. 150.000,00
   Total                    40 unit                                      = Rp. 750.000,00

Harga Rata-rata Tertimbang = Rp. 750.000,00 = Rp. 18.750,00


                                                                  40

25/1 Penjualan 30 unit @ Rp. 18.750,00


31/1 Sisa di gudang 10 unit (dihitung secara phisik di gudang)
Maka nilai persediaan atas dasar metode Rata-rata Tertimbang adalah :
10 unit @ Rp. 18.750,00 = Rp. 187.500,00

Pengaruh metode FIFO, LIFO, Rata-rata Tertimbang terhadap laba.

Misalnya, penjualan 30 unit @ Rp. 40.000,- maka dapat dibuat perbandingan berikut di bawah :

Rerata
Keterangan FIFO LIFO
Tertimbang
Penjualan 30 unit @ Rp Rp 1.200.000,00 Rp 1.200.000,00 Rp 1.200.000,00
40.000 per Unit
HP barang yang dapat Rp 750.000,00 Rp 750.000,00 Rp 750.000,00
dijual
(Persd.Awal + Pembelian)
Persediaan akhir 10 unit Rp 250.000,00 Rp 100.000,00 Rp 187.500,00
(rumus dari metode
masing-masing)
Harga Pokok Penjualan/ Rp 500.000,00 Rp 650.000,00 Rp 562.500,00
HPP
(HP barang yang dapat
dijual- Persd. Akhir)
Laba kotor Rp 700.000,00 Rp 550.000,00 Rp 637.500,00
(Penjualan-HPP)
Ringkasan pengaruh Perpersediaan - Persediaan akhir Hasil berada
ketiga metode akhir tertinggi terendah diantara hasil
HPP terendah - HPP tertinggi FIFO dan LIFO
Laba Kotor - Laba Kotor
   terendah
Untuk keperluan pembukuan perusahaan, pemilihan antara metode FIFO, LIFO dan Rata-rata
tertimbang tergantung pada kebijakan manajemen. Peraturan perpajakan di Indonesia hanya
membolehkan metode FIFO atau rata-rata tertimbang.

Anda mungkin juga menyukai