Anda di halaman 1dari 2

Macam-macam Istishhab

Istishhab terdiri atas beberapa macam seperti berikut.


1. Istishhab hukm al-ibahah al-ashliyyah (tetap berlakunya hukum mubah yang dasar)
Yang dimaksud dengan istishhab bentuk pertama ini adalah, setelah datangnya Islam, pada
dasarnya seseorang boleh melakukan atau menggunakan segala sesuatu yang bermanfaat, selama
tidak ada dalil syara' yang menegaskan hukum tertentu terhadapnya. Ketentuan istishhab bentuk
pertama ini hanya berlaku di bidang muamalah.
Ketentuan istishhab bentuk pertama ini didasarkan pada ayat-ayat Qur'an antara lain:
"Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu." (Al-Baqarah: 29)
"Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya
untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?"
Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia,
khusus (untuk mereka saja) pada hari kiamat". Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi
orang-orang yang mengetahui." (Al-A'raf: 32)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah
halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas." (Al-Maidah: 87)
Akan tetapi, ketentuan yang sebaliknya yaitu, pada dasarnya segala sesuatu yang menimbulkan
mudharat atau bahaya adalah haram, meskipun tidak ada dalil khusus yang menegaskannya. Hal
ini didasarkan sabda Rasulullah yang berbunyi:
"Tidak boleh berbuat mudharat & hal yang menimbulkan madlarat." (HR. Ibnu Majah: 2332)
Hadis ini mengandung pengertian umum, yaitu melarang segala macam bentuk yang
membahayakan. Bagian pertama hadis tersebut mengamdung makna menafikkan segala sesuatu
yang membahayakan dan merugikan orang lain yang bersumber dari seseorang secara sepihak,
sedangkan bagian yang kedua menafikkan segala yang membahayakan dan merugikan yang
ditimbulkan oleh masing-masing dari kedua belah pihak.
Sebagian ulama mengistilahkan istishhab ini dengan istishhab al-bara'ah al-ashliyyah (tetap
berlakunya ketentuan sama sekali bebas dari kewajiban) atau bara'ah al-'adam al-ashliyyah
(tetapnya ketentuan sama sekali tidak ada kewajiban). Penggunaan istilah ini karena melihat dari
segi tidak adanya kewajiban syara' bagi seseorang, sampai ada dalil yang menunjukkan adanya
kewajiban terhadap dirinya.
2. Istishhab ma dalla asy-syar'aw al-'aql'ala wujudih (istishhab terhadap sesuatu yang menurut akal
atau syara' diakui keberadaannya)
Yang dimaksud istishhab bentuk kedua adalah tetap berlakunya hukum sesuatu, baik
keberlakuannya ditinjau dari syara' maupun dari logika, sampai ada alasan atau dalil lain yang
mengubah keberlakuan hukum tersebut.
3. Istishhab al-'umum ila an yarid at-takhshish (menetapkan hukum berlaku umum sampai ada yang
mengkhususkannya)
Sebagian ulama lainnya menambahkan nama lain, yaitu: istishhab an-nash ila an yarid an-naskh
(tetapnya hukum sesuatu yang didasarkan oleh suatu nash, sampai ada yang menashkannya.
Pada dasarnya semua ulama juga sepakat dengan istishhab bentuk ketiga ini, karena konteks
pembicaraan pada bentuk yang ketiga ini berkaitan dengan waktu setelah datangnya syari'at
sampai berhentinya wahyu karena wafatnya Rasulullah. Persoalan yang timbul hanya berkaitan
dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kriteria yang harus dipenuhi untuk
menyatakan suatu nash bersifat 'amm atau khashsh. Demikian juga perbedaan seputar apakah
suatu nash dipandang tetap berlaku atau sudah dinashkan oleh dalil lain.
4. Istishhab al-khashsh bi al-washf (tetapnya suatu hukum yang secara khusus berlainan dengan
sifat)
Para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan bentuk istishhab yang keempat sebagai dalil
syara'. Dalam hal ini, ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah secara mutlak menerimanya sebagai dalil
syara'. Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyyah berpendapat istishhab bentuk ini hanya
dapat menjadi dalil untuk menolak ketentuan hukum yang baru, tetapi tidak dapat menjadikan
dalil untuk menetapkan hukum yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai