Infeksi Klamidia Trachomatis Sebagai Salah Satu Penyebab Oklusi Tuba Falopi
Infeksi Klamidia Trachomatis Sebagai Salah Satu Penyebab Oklusi Tuba Falopi
Oleh :
AA NB Lanang Suraharja
Pembimbing :
dr. Anom Suardika, SpOG(K)
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................ i
DAFTAR TABEL ........................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iii
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
BAB II KAJIAN PUSTAKA ....................................................................... 3
II.I Anatomi Tuba ................................................................................ 3
II..II Definisi Klamidia ........................................................................ 4
II.III Prevalensi .................................................................................... 7
II.IV Faktor Risiko.............................................................................. 8
II.V Patofisiologi ................................................................................ 9
II.VI Manifestasi Klinis ....................................................................... 13
II.VII Komplikasi ................................................................................ 15
II.VIII Oklusi Tuba .............................................................................. 18
II.IX Penunjang Diagnosis ................................................................... 20
II.X Pengobatan ................................................................................... 25
II.XI Prognosis .................................................................................... 26
BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 28
ii
DAFTAR TABEL
Halaman
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
iv
DAFTAR SINGKATAN
EB : Badan Elementer
RB : Badan Retikulat
v
BAB I
PENDAHULUAN
vi
1
mengakibatkan penyakit radang panggul seperti infeksi tricomonas vaginalis, N
gonorrhoe, E. coli, bacteroides fragilis dan mycoplassma genitalium, sedangkan
penyebab lain yang lebih jarang terjadi adalah aktonomikosis (infeksi jamur),
skitosomiasis (infeksi parasit), maupun tuberkolosis. Namun pada kesempatan ini
kami bahas mengenai klamidia trachomatis. 2
Infeksi klamidia trachomatis dapat dideteksi dengan pemeriksaan
laboratorium diantaranya biakan, pemeriksaan mikroskopik, deteksi antigen
langsung, tes DNA maupun serologi terhadap antibodi dalam serum baik Ig G
maupun Ig M anti klamidia trachomatis. Cara ini sangat akurat dalam menentukan
adanya infeksi klamidia trachomatis.2
Dengan diketahuinya hubungan langsung antara infeksi klamidia dengan
angka kejadian oklusi tuba, maka pembuktian tersangka oklusi tuba dapat
diperkirakan dari pendeteksian adanya infeksi klamidia melalui pemeriksaan
serologis pada seorang wanita, dimana tindakan ini bukan merupakan tindakan
invasif dengan risiko dan biaya yang lebih rendah.2
Pada penanganan infertilitas yang lebih modern, fokus evaluasi
infertilitas telah bergeser dari penegakan diagnosis secara spesifik menjadi
evaluasi menggunakan metode yang paling efisien dengan biaya yang paling
rendah. Sehingga pemeriksaan terhadap antibodi klamidia trachomatis dapat
digunakan sebagai pemeriksaan awal pada setiap wanita infertil untuk mendeteksi
kemungkinan adanya oklusi tuba.2,3
vii
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
viii
3
Gambar II.1 Gambaran potongan tuba pada wanita dewasa: (A) isthmus,(B)
ampulla, dan (C) infundibulum.3
ix
yang dapat menyebabkan kebutaan), serovars D-K dihubungkan dengan infeksi
saluran genital, dan L1-L2 dihubungkan dengan penyakit Limfogranula venereum
(LGV). 4
x
Gambar II.3. Infeksi Klamidia Trachomatis Pada Jaringan Serviks Dan Tuba4
xi
Gambar II.4 Klamidia trachomatis dalam preparat dengan pewarnaan Giemsa
(kiri); Servisitis dikarenakan infeksi chlamydia (kanan)4
II.III Prevalensi
xii
probe PACE 2. Penelitian Febrianti (2006) mendapatkan prevalensi infeksi
klamidia pada PSK sebesar 44,3% dengan QuickstripeTM dan 43,2% dengan
PCR. Widjaja dkk.(1999) melaporkan prevalensi infeksi Klamidia pada 3 rumah
sakit di Kalimantan Selatan sebesar 9,2% dengan teknik Ligase Chain Reaction
(LCR).1,5
II.V Patofisiologi
Klamidia adalah bakteri intra selular kecil yang membutuhkan sel - sel
yang hidup untuk bermultiplikasi. Kromosom bakteri klamidia terdiri dari kurang
lebih 1 juta pasangan basa dan memiliki kapasitas untuk mengkodekan lebih dari
600 protein. Ada 18 serotipe dari klamidia trakomatis yang teridentifikasi.
Serotipe D - K merupakan penyebab infeksi menular seksual dan infeksi neonatal.
Tidak ditemukan bukti kuat bahwa sindroma genital spesifik atau manifestasi
klinis, seperti PID, disebabkan oleh serotipe yang spesifik. Siklus sel dari
klamidia berbeda dari bakteria yamg lain. Endositosis membuat terjadinya formasi
xiii
inklusi intraselular yang terikat membran. Kemampuan dari klamidia untuk
merubah dari fase istirahat ke fase replikasi, bentuk infeksius dalam sel penjamu
yang meningkatkan kesulitan dalam mengeliminasi mikroba ini. Masih banyak
yang belum dapat dimengerti mengenai mekanisme spesifik kejadian dalam
membran, perlekatan, endositosis, multiplikasi dari organisme dalam sel,
tansformasi dari metabolik inaktif badan retikulat (RB) ke metabolik aktif
replikatif badan elementer (EB), dan ekspresi dari antigen Klamidia yang berbeda
selama siklus sel.6
Klamidia trakomatis memiliki genom yang sangat kecil, tetapi itu bukan
berarti klamidia tidak memiliki siklus perkembangan hidup yang kompleks, siklus
ini terdiri dari dua bentuk: EB, yang di disain untuk dapat bertahan diluar sel
manusia dan untuk menginfeksi sel manusia yang baru, dan RB yang lebih rentan
sebagai bentuk pembelahan diri bakteria ini. Bagian dalam dari sel manusia ini
sangat kaya akan nutrisi, sehingga RB tidak perlu membuat banyak asam amino
dan komponen-komponen lain yang biasanya dibutuhkan sel-sel yang hidup
bebas. Meskipun klamidia trakomatis memiliki gen yang sedikit untuk biosintesis
asam amino, genom-genonmya memiliki gen-gen untuk beberapa jalur
pembangkit energi, termasuk glikolisis, dan jalur pentose phosphate. Pada
awalnya, diyakini bahwa klamidia trakomatis adalah suatu parasit adenosine
triphosphate (ATP) yang tidak memiliki ATP dan harus mendapatkannya dari sel
penjamu. Ternyata hal ini telah diketahui salah, terutama untuk klamidia
trakomatis. Spesies lain dari klamidia mungkin parasit ATP, berdasarkan dari
kurangnya gen untuk biosintesis energi.7
xiv
dinamakan major outer membrane protein (MOMP), polymorphic outer
membrane protein (POMP), dan cysteine-rich proteins (CRP). 6,7
xv
kenapa klamidia trakomatis menjadi persisten. Dibawah ini dijelaskan mengenai
mekanisme evasi imun dari klamidia trakomatis.2,6,7
Infeksi kronik klamidia dapat memicu kerusakan tuba yang dari beberapa
penelitian in vitro diperkirakan dapat diakibatkan oleh: 1. Badan elementer
klamidia trakomatis yang terdapat pada semen pria yang terinfeksi menularkan ke
perempuan pasangan seksualnya.. Pertahanan diluar sel pejamu dengan adanya
protein permukaan seperti MOMP dan protein membran yang bersifat polimorfik,
akan mencegah terjadinya deteksi oleh antibodi. Pertahanan didalam sel pejamu
dengan cara replikasi terjadi pada badan inklusi sehingga membatasi paparan
terhadap antibodi, inhibisi pelepasan sitokrom-C di mitokondria yang dibutuhkan
untuk apoptosis yang dimediasi oleh kaspase 9 sehingga menghambat apoptosis
dari sel pejamu yang terinfeksi. Selain itu adanya tyrosyl radical site pada
ribonukleotida reduktase bakteri kemungkinan berperan pada peningkatan
resistensi terhadap nitric oxide. Sekresi tumor necrosis factor (TNF) oleh
makrofag yang terinfeksi klamidia trakomatis merangsang apoptosis dari sel T
yang teraktivasi. Begitu pula sekresi dari klamidia trakomatis protease di
sitoplasma menghancurkan faktor tanskripsi yang dibutuhkan untuk transkripsi
dari major histocompability complex (MHC) yang menghambat interferon-γ (IFN-
γ) merangsang ekspresi molekul MHC kelas I dan II. Klamidia trakomatis
memiliki kemampuan untuk tetap berada dalam bentuk intaselular, yang dapat
disebabkan akibat pemberian antibiotika, defisiensi nutrisi atau sitokin (seperti
IFN-γ) atau setelah infeksi pada monosit. Adanya ekspresi dari gen yang
mengkode triptofan sintase dan represor, menghambat efek IFN-γ. 2. Klamidia
naik ke traktus reproduksi wanita dan menginfeksi sel epitel pada tuba falopii. 3.
Didalam sel badan elementer berubah menjadi badan retikulat dan mulai untuk
bereplikasi. 4. Jalur apoptosis dihambat, yang menyebabkan sel yang terinfeksi
dapat bertahan. 5. Ketika jumlah badan elementer mencapai tingkat densitas
tertentu, maka badan elementer tersebut akan terlepas dari sel epitel dan
menginfeksi sel disebelahnya. 6. Badan elementer ekstaseluler akan mengaktivasi
sistem imun berupa diproduksinya IFN-γ, TNF-α dan sitokin-sitokin proinflamasi
lainnya. 7. Respon imun akan menurunkan jumlah badan elementer dan
xvi
menghambat replikasi intraseluler dari badan retikulat. 8. Interupsi replikasi badan
retikulat menyebabkan klamidia tetap ada dalam bentuk intaseluler sehingga dapat
menimbulkan respon imun yang bersifat destrruksif. Pada bentuk persisten ini,
potein-60 (CHSP60) dilepaskan, yang dapat menyebabkan respon inflamasi. 9.
Ketika jumlah badan elementer berada di bawah kadar kritis tertentu maka
aktivasi sistem imun berhenti dan replikasi badan retikulat mulai kembali. 10.
Perubahan siklus infeksi badan elementer dengan destruksi dari sel epitel baru dan
persisten dalam intaseluler dengan pelepasan CHSP60 menyebabkan
8
pembentukkan jaringan parut dan merusak patensi tuba falopii.
Klamidia yang menginfeksi makrofag juga merangsang apoptosis dari sel
imun yang tidak terinfeksi seperti sel T yang meningkatkan perkembangan
infeksi persisten. Perfettini, dkk. (2002) menemukan dari penelitian pada tikus
bahwa IFN-γ berperan pada patogenesis infeksi klamidia persisten dengan
mencegah apoptosis dari sel yang terinfeksi. Disamping secara langsung
mencegah apoptosis, IFN-γ juga merangsang adanya efek anti apoptosis. Dean
dan Powers (2001) mengemukakan bahwa inhibisi dari apoptosis sel pejamu
mengakibatkan Klamidia mampu membentuk infeksi persisten dan IFN- γ dan
interleukin-10 (IL-10) membantu perkembangan dari klamidia dengan
peningkatan ekspresi dari CHSP60 yang mendukung proses inflamasi. Perbedaan
ekspresi MOMP dan CHSP60 selama perkembangan klamidia yang normal
maupun yang mengalami perubahan telah diketahui sejak lama, namun makna
sebenarnya dari keseimbangan ini dalam infeksi klamidia persisten tidak
3,8
diketahui.
Transmisi dapat terjadi melalui kontak seksual langsung melalui oral,
vaginal, servikal melalui uretra maupun anus. Bakteri ini dapat menyebar dari
lokasi awalnya dan menyebabkan infeksi uterus, tuba fallopii, ovarium, rongga
abdomen dan kelenjar pada daerah vulva pada wanita dan testis pada pria. Bayi
baru lahir melalui persalinan normal dari ibu yang terinfeksi memiliki risiko yang
1,5
tinggi untuk menderita konjungtivitis klamidia atau pneumonia. Infeksi klamidia
trakomatis biasanya menular melalui aktifitas seksual dan dapat menular secara
vertikal, yang kemudian menyebabkan konjungtivitis dan pneumonia pada bayi
xvii
baru lahir. Jika tidak diobati, penyakit kelamin ini dapat berkembang menjadi
epididimitis pada pria dan penyakit infeksi saluran genital bagian atas pada
wanita. Pria yang terinfeksi memiliki kemungkinan untuk menularkan sekitar 25%
melalui hubungan seksual ke wanita yang sehat. Angka penularan dari ibu yang
terinfeksi ke bayi baru lahir adalah 50% yang mengakibatkan konjungtivitis atau
2,6
pneumonia (l0 - 20%).
xviii
Manifestasi klinik untuk infeksi klamidia pada perempuan dapat berupa
sindroma urethral akut (uretritis), bartolinitis, servisitis, infeksi saluran genital
bagian atas (endometritis, salfingo-oophoritis, atau penyakit radang panggul), dan
perihepatitis (sindroma Fitz-Hugh-Curtis) atau peradangan pada kapsul hati.
Kehamilan ektopik juga dapat terjadi oleh karena infeksi klamidia, yang biasanya
1,5,6
didahului dengan penyakit radang panggul. Gejala tergantung dari lokasi
infeksinya. Infeksi dari urethra dan saluran genital bagian bawah dapat
menyebabkan disuria, duh vagina yang abnormal, atau perdarahan post koital.
Pada saluran genital bagian atas (endometritis, atau salphingitis, kehamilan
ektopik) dapat menimbulkan gejala seperti perdarahan rahim yang tidak teratur
2,8,9
dan abdominal atau pelvic discomfort.
xix
Gambar II.7. Infeksi klamidia trachomatis pada daerah tuba dengan
Laparaskopi10
xx
II.VII Komplikasi
Meskipun umumnya orang yang menderita klamidia tidak menunjukkan
gejala, manifestasi paling sering pada penyakit ini adalah adanya suatu reaksi
lokal peradangan pada mukosa yang dihubungkan dengan keputihan, uretritis
pada pria, vaginitis, servisitis pada wanita. Pada wanita dengan infeksi klamidia
yang tidak diobati dapat menyebabkan penyakit radang panggul, dengan
sequealae termasuk infertilitas, kehamilan ektopik dan radang panggul
1,6,11
kronik.
Klamidia merupakan satu dari beberapa penyebab infeksi radang panggul
dan infertilitas pada wanita. Setiap episode tunggal dari penyakit radang panggul,
risiko untuk terjadinya infertilitas faktor tuba adalah 11%. Setiap episode berikut
akan meningkatkan risiko 2 - 3 kali lipat. Wanita yang memiliki riwayat penyakit
radang panggul mengalami peningkatan risiko untuk terjadinya kehamilan tuba
sebesar 7 - l0 kali lipat. Pada l5% wanita yang menderita infeksi radang panggul,
nyeri abdomen yang kronik merupakan gejala klinik jangka panjang yang banyak
dihubungkan dengan adanya perlekatan pada ovarium dan tuba falopii di rongga
2,3
pelvis. Pada pasangan subfertil, infeksi klamidia bertanggung jawab untuk
terjadinya sekitar 50% infertilitas faktor tuba. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa pada pasien - pasien dengan tes klamidia positif memiliki
risiko untuk terjadinya infertilitas faktor tuba, dan kehamilan ektopik lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien - pasien dengan tes Klamidia negatif.11
Infertilitas merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi akibat
infeksi klamidia, dimana infertilitas adalah ketidak mampuan menghasilkan
pembuahan setelah selama satu tahun melakukan hubungan seksual tanpa
penghalang . Jika sebelumnya tidak pernah ada kehamilan, maka dikategorikan
sebagai infertilitas primer, sedangkan jika sebelumnya telah terjadi kehamilan,
maka dikategorikan sebagai infertilitas sekunder. Bagi pasangan yang mencoba
melalukan pembuahan maka sekitar 50% wanita akan mengalami kehamilan
dalam 3 bulan, dan 75% akan hamil dalam 6 bulan, dan 85% akan hamil dalam
satu tahun.13
Infertilitas merupakan suatu kondisi yang umum terjadi, ini terjadi pada
xxi
sekitar 10-15% pasangan pada usia produktif. Sebagai catatan, meskipun tanpa
terapi apapun, separuh wanita infertil akan mengalami kehamilan pada tahun
kedua. Sehingga banyak pasangan lebih tepat untuk dikategorikan sebagi
subinfertil daripada infertil, dimana dapat terjadi pembuahan secara alamiah,
namun memerlukan waktu yang lebih lama. Namun pada wanita dengan usia
diatas 40 tahun angka kehamilan pada tahun kedua relatif tidak bertambah. Pada
umumnya semua sepakat untuk memulai evaluasi infertilitas setelah satu tahun
pasangan tidak dapat menghasilkan pembuahan.5
xxii
menggunakan laparaskopi didapatkan bahwa risiko terjadinya infertilitas akibat
faktor tuba meningkat sebanding dengan tingkat keparahan dari infeksi pelvis dan
perlengketan yang terjadi, tercatat insidens infertil terjadi pada sekitar 10-12%
setelah satu kali episode infeksi, 23-35% setelah dua episode, dan 54-75% setelah
tiga kali episode infeksi akut PRP. Risiko terjadinya kehamilan ektopik meningkat
6-7 kali setelah terjadinya infeksi pelvis. Meskipun banyak wanita dengan
penyakit tuba atau perlengketan tuba tidak mempunyai riwayat infeksi
sebelumnya, dari hasil penelitian kuat mengindikasikan penyebabnya adalah
infeksi pada organ genitalia bawah yang menjalar hingga organ genitalia atas yang
tidak menimbulkan gejala, dan banyak dari wanita ini diketemukan memiliki hasil
positif pada pemeriksaan antibodi chlamydia akibat dari infeksi sebelumnya.
Faktor tuba lainnya yang menyebabkan infertilitas adalah inflamasi berkaitan
dengan endometriosis, penyakit inflamasi usus besar, trauma pembedahan.11,13,14
Disisi lain, sama halnya dengan infeksi menular seksual lain, infeksi pada
ibu memiliki dampak terhadap janin yang dapat tertular melalui jalan lahir. Pada
infeksi oleh karena klamidia trakomatis, dapat menyebabkan konjungtivitis dan
pneumonia. Pada banyak kasus konjunctivitis yang disebabkan oleh klamidia
merupakan penyakit yang self limiting dan tidak menimbulkan komplikasi jangka
panjang pada mata. Keadaan ini didapatkan pada jenis - jenis klamidia yang ada di
negara - negara maju, sedangkan di negara – Negara berkembang, seperti Nepal,
ada beberapa jenis klamidia yang dapat menyebabkan kebutaan (trakoma).
Pneumonia pada neonatus yang disebabkan klamidia dapat menimbulkan dampak
yang serius. Untungnya bila pneumonia telah terdiagnosis lebih awal, pengobatan
dengan antibiotik efektif untuk mengontrol infeksi. 12,14
xxiii
distal tuba terhalang atau tidak dapat terjadi sama sekali dan ini mengakibatkan
gagalnya pertemuan sperma dengan ovum yang biasanya terjadi di distal tuba
setelah peristiwa ovulasi sehingga pembuahan tidak terjadi. Jika perlengketan
mikrosilia ataupun mukosa terjadi pada dinding tuba distal, maka tuba distal dapat
kehilangan fungsinya untuk menangkap ovum dari ovarium, sehingga tidak ada
ovum yang siap dibuahi oleh sperma pada tuba distal. Dan angka kejadian
terjadinya oklusi tuba baik proksimal maupun distal pada paska infeksi klamidia
trachomatis sangat besar, hal ini dibuktikan baik dengan metode HSG maupun
laparaskopi.8,14
xxiv
menyebabkan munculnya sel imun non spesifik terlebih dahulu, kemudian melalui
sel tersebut, yang terutama diperankan oleh makrofag, bertindak sebagai anti gen
presenting Cell (APC) yang berikatan pada permukaan Pathogen Associated
Molecular Patterns (PAMPs) klamidia trakomatis. Reaksi inflamasi yang terjadi
berhubungan dengan infiltrasi mononuklear yang di dominasi oleh sel limfosit T
CD8. Infeksi klamidia trakomatis berulang menginduksi sintesis mRNA untuk
IFN-γ, IL-2, IL-6, dan IL-10. IFN-γ, IL-2 dihasilkan oleh Th 1, sedangkan IL-6
dan IL-10 dihasilkan oleh Th 1 dan sel Th 2. Sitokin IFN-γ, IL-2 dan IL-6
menimbulkan kerusakan jaringan inflamasi dan fibrosis. Pembentukan jaringan
fibrosa pada proses penyembuhan akibat inflamasi, dapat mengakibatkan
terjadinya sumbatan atau oklusi pada lumen tuba falopi serta adhesi pelvis yang
menetap dan menyeluruh dan pada ahirnya dapat mengganggu transport hasil
konsepsi sehingga sering kali mengakibatkan terjadinya kehamilan ektopik tuba.
Apabila obstruksi terjadi di bagian distal tuba falopi maka dapat terbentuk
hidrosalping, yang menyebabkan tidak bertemunya sel sperma dengan sel telur
saat ovulasi sehingga pembuahan tidak terjadi. 3,10
xxv
II.IX Penunjang Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesa, riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik,
infeksi klamidia sukar dibedakan dengan gonorrhea karena gejala dari kedua
penyakit ini sama dan penyakit ini dapat timbul bersamaan meskipun jarang. Cara
yang paling dipercaya untuk mengetahui infeksi klamidia adalah melalui
12
pemeriksaan laboratorium.
Pada prinsipnya, penegakan diagnosis infeksi klamidia trakomatis sama
seperti infeksi mikroorganisme lainnya, tetapi karena gejala serta gambaran klinis
infeksi ini tidak khas, maka diperlukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tes
yang sekarang tersedia termasuk kultur sel, deteksi antigen, deteksi asam nukleat,
2,9
pemeriksaan serologi.
Baku emas untuk pemeriksaan infeksi klamidia trakomatis adalah kultur
dari swab yang didapat dari endoserviks pada wanita atau uretra pada pria. Ini
merupakan metode tradisional untuk diagnosis laboratorium dan tetap sebagai
metode pilihan untuk spesimen medikolegal dimana sensitifitas diperkirakan 80-
90% dan spesifitasnya 100%, dibiakkan pada sel-sel Mc.coy yaitu sel-sel fibroblas
tikus (L-cel). Tetapi hambatan dari metode pemeriksaan kultur ini adalah waktu
yang dibutuhkan lebih lama, dan berkembangnya tes non cultured based. Namun
tes non cultured - based, termasuk tes deteksi antigen dan nonamplfied nucleic
acid hybridization seperti Direct Fluoresent Antibodi (DFA), dengan tehnik ini
Clamidia bebas ekstra seluler yang disebut badan elementer (BE) dapat
ditemukan. Cara ini tidak dapat membedakan antara organisme mati atau hidup.
Mempunyai kemampuan terbatas karena kegagalan untuk mendeteksi beberapa
bagian penting dari infeksi klamidia, tetapi memiliki keuntungan tidak
membutuhkan biakan sel jaringan dan hasilnya dapat diketahui dalam 30
menit.8,14,15
Pemeriksaan yang lebih baru dan mendeteksi DNA atau RNA spesifik
terhadap klamidia trakomatis (termasuk PCR, ligase chain reaction, dan RNA
transcription - mediated amplification) lebih sensitif daripada generasi pertama
tes non culture based. Sensitifitasnya kurang dibandingkan dengan metode kultur
yaitu 70-80% dan spesifitasnya 99%. Sensitifitas sedikit lebih rendah ketika tes
xxvi
yang baru ini digunakan pada spesimen urin dibandingkan pada specimen
14,15
endoserviks.
Infeksi klamidia trachomatis dapat dideteksi melalui pemeriksaan
laboratorium dengan memeriksa antibodi Ig G anti chlamydia trachomatis dalam
serum secara ELISA. Cara ini memiliki efektifitas yang cukup baik, tidak invasif
dan memerlukan biaya yang lebih sedikit.8,14,15,16
Pemeriksaan serologi untuk mendiagnosa infeksi klamidia sekarang ini
dilakukan secara rutin sebagi alat pendeteksi tidak invasif yang dapat
mengindentifikasi infeksi akut dan kronis. Infeksi awal klamidia terlihat dari
dominasi respon IgM (muncul dalam 2-4 minggu) diikuti IgG dan IgA ( 6-8
minggu). Pada fase akut infeksi chlamydia antibodi IgM biasanya menghilang
dalam 2-6 bulan, diikuti peningkatan antobodi IgG yang naik secara cepat dan
menurun secara lambat ketika antibodi IgA muncul secara cepat. Antibodi IgM
digunakan sebagai indikasi adanya infeksi akut, antibodi IgA sebagai petanda
infeksi kronis, dimana akan menurun ke titer terendah ketika pengobatan adekuat
diberikan. Reinfeksi ditandai dengan peningkatan secara cepat titer antibodi IgG
dan tidak didapatkan IgM. Peningkatan 4 kali dari batas normal nilai antibodi IgG
mengindikasikan pasien infeksi kronis yang berkelanjutan ataupun infeksi
sistemik. Infeksi akut: titer Ig M >1 dan atau peningkatan 4 kali lipat atau
penurunan titer Ig G, Infeksi Kronis : titer Ig G tetap tinggi > 1:256.8,11,14,23,24
Pada laboratorium dengan fasilitas terbatas , sebagai pedoman infeksi
klamidia trakomatis pada pria memberi gejala berupa sekret uretra seropurulen
atau mukopurulen serta ditemukan sel PMN > 5 per lapangan pandang dan tidak
ditemukan diplokokus gram negatif intra atau eksra seluler pada pemeriksaan
hapusan sekret uretra. Sedangkan pada wanita adanya sekret serviks seropurulen
atau mukopurulen dan sel PMN > 30 per lapangan pandang serta tidak ditemukan
kuman diplokokus gram negatif intra ataupun ekstra seluler pada sediaan
hapusan.8,11,14,17
Bila telah dicurigai terjadi oklusi dapat ditegakan melalui pemeriksaan
HSG atau laparoskopi Kedua pemeriksaan ini merupakan dua metode klasik yang
digunakan untuk mengevaluasi kepatenan tuba pada wanita infertil, dan dengan
xxvii
mengabungkan hasil pemeriksaan keduanya akan lebih akurat dibandingkan
dengan pemeriksaan salah satunya. Karena baik HSG maupun laraskopi memiliki
keunggulan dan kelemahannya masing-masing. HSG dapat digunakan untuk
mengambarkan keadaan rongga uterus dan sekaligus memiliki efek terapi dengan
cara membebaskan lubang tuba bagian dalam dari oklusi melalui penyuntikan
kontras. Laparoskopi menggambarkan keadan rongga secara lebih detail dan
mendapatkan gambaran anatomi pinggul dengan lebih menyeluruh, seperti adanya
perlengketan, endometriosis dan kelainan pada ovarium, dimana hal ini tidak
dapat dilakukan dengan HSG. HSG dapat dilakukan pada pasien rawat jalan,
sehingga menghasilkan biaya yang lebih sedikit dibandingkan laparskopi, namun
kurang nyaman dan menimbulkan keram serta nyeri, dan melibatkan paparan
terhadap radiasi, risiko infeksi yang dapat berkomplikasi pada infertilitas yang
lebih lanjut. Laparoskopi merupakan tindakan yang lebih invasif, biasanya
memerlukan bius total, dan tidak dapat mengambarkan bentuk kavum uteri secara
meyeluruh, juga risiko paska pembedahan lainnya. Sonohysterosalpingography
memiliki kesamaan dengan HSG, namun mengunakan USG dan mengunakan
larutan salin steril, sehingga tidak mengunakan media kontras, namun cara ini
masih sedikit digunakan dalam evaluasi faktor tuba. Tes antibodi chlamydia
merupakan metode pemeriksaan faktor tuba yang paling tidak invasif dan dengan
biaya yang lebih rendah. Sehingga tes ini banyak digunakan sebagi evaluasi
primer kasus infertil faktor tuba, bagi pasien yang menolak untuk dilakukan
laparoskopi.11,18
Pemeriksaan HSG paling baik dilakukan selama hari ke 2-5 setelah akhir
dari menstruasi, ini dimaksudkan untuk mengurangi resiko infeksi, menghindari
interfensi dari darah dan bekuan darah dari dalam uterus, serta mengurangi
kemungkinan terjadinya kehamilan saat dilakukan HSG. Pada dasarnya HSG
tidak membutuhkan persiapan spesifik, meskipun premedikasi dengan NSAID 30-
60 menit sebelum tindakan dapat membantu mengurangi ketidak nyamanan yang
berhubungan dengan tindakan ini, analgetik yang lebih kuat ataupun sedatif
biasanya tidak diperlukan. Risiko infeksi pada HSG relaif jarang terjadi, bahkan
pada wanita yang berisiko tinggi sekalipun, namun pemberian antibiotik
xxviii
pencegahan dilakukan secara rutin untuk mencegah infeksi paska tindakan. Terapi
pencegahan dengan antibiotika (doksisiklin 100 mg dua kali sehari selama 5
hari,dimulai 1-2 hari sebelum HSG) diberikan pada pasien yang diduga kuat
memiliki infeksi, dan juga pada pasien yang terbukti memilki obstruksi tuba
sehingga dapat mencegah infeksi klinis.6,14,19,20,23,25,26
Rata-rata HSG hanya memerlukan 20-30 detik untuk flouroskopi dan
dengan paparan radiasi minimal. Tambahan gambaran oblik mungkin diperlukan
ketika obstruksi pada uterus maupun tuba tampak tidak normal. Selain indikasi
tersebut tidak diperlukan tambahan gambaran, karena dapat meningkatkan
paparan radiasi dan tidak diikuti dengan bertambahnya informasi yang
didapatkan. Pada masa mendatang dengan semakin berkembangnya teknik
penyuntikan kontras dan pengambilan gambar maka didapatkan waktu
flouroskopi yang lebih singkat, lebih sedikit volume kontras yang digunakan,
lebih sedikit nyeri yang terjadi,dan lebih mudah untuk dilakukan. Penyuntikan
kontras secara perlahan dapat membantu mengurangi nyeri yang berhubungan
dengan HSG.6,14
xxix
Gambar II.11 : Hasil HSG; Kiri (hidroslaping bilateral); Kanan (Tuba paten
bilateral)6
II.X Pengobatan
Pengobatan terhadap infeksi klamidia diberikan ketika infeksi ini telah
terdiagnosis atau dicurigai. Pengobatan juga melibatkan partner seksual pasien.
Pengobatan yang efektif dan murah untuk infeksi genital klamidia telah tersedia
untuk setiap gejala klinis yang umum. Pada suatu penelitian randomized
controlledntrial (RCT), efikasi pengobatan 7 hari dengan doksisiklin adalah sama
xxx
dengan pengobatan dengan azitromisin dosis tunggal. Keduanya memiliki angka
kesembuhan lebih dari 95% pada pria dan wanita yang tidak hamil.14,16,17,20
Pada ibu hamil yang terinfeksi klamidia, dari Chohrane Review pada 11
penelitian mengenai pengobatan infeksi klamidia pada kehamilan, amoksisilin
memiliki efektifitas yang sama dengan eritomisin.16
A. Pada wanita yang tidak hamil
1. Azitomisin 1 gram per oral dalam dosis tunggal (keamanan pada masa
hamil atau menyusui tidak dijamin), atau
2. Doksisiklin 100 mg per oral 2 kali/hari selama 7 hari (di kontraindikasikan
selama kehamilan)
B. Alternatif bagi wanita yang tidak hamil
1. Eritromisin 500 mg per oral 4 kali/hari selama 7 hari, atau
2. Ofloksasin 300 mg per oral 2 kali/hari selama 7 hari (kontra indikasi
selama hamil dan menyusui), atau
3. Levofloksasin 500 mg per oral setiap hari selama 7 hari
C. Untuk wanita hamil
1. Eritromisin 500 mg per oral 4 kali/hari selama 7 hari, atau
2. Amoksisilin 500 mg 3 kali/hari selama 7 hari. 16,18,19
II.XI Prognosis
• Infeksi ulangan dapat terjadi 13- 36%
• Pengobatan dengan antibiotik 95% efektif pada pengobatan pertama kali,
dan prognosa sangat baik bila pengobatan diberikan lebih awal dan
pemberian antibiotik dapat selesai dilakukan. 10,21,22
xxxi
BAB III
KESIMPULAN
xxxii
Daftar 27
Pustaka
xxxiii
Genital Tract 1st. Lippincott Williams&Wilkins.
12. Linda O. Eckert Gretchen M. Lentz. Infections of the Upper Genital Tract
: Endometritis, Acute and Chronic Salpingitis. Comprehensive
Gynecology, 5th ed. Mosby, Elsevier. 2010.
13. Bakken, I.J., Ghaderi, S, “Incidence of Pelvic Inflammatory Disease in a
Large Cohort of Women Tasted for Chlamydia Trachomatis: a Historical
follow up Study”, BMC Infectious Diseases, 9:130 doi: 10.1186/147-2334-9-
130. 2009.
14. Bottcher, M. (2003), “Chlamydia Trachomatis, Information, and Notes on
Diagnosis”, available at www.medac.de/medac_international/.../102789152.
15. Joseph Debattis, M.sc, Peter Timmas, Ph.D, “Immunopathogenesis of
chlamydia tracomatis infections in women” . American society for
reproductive medicinne. 2003.
16. Chow, J.M., Yonekura, M.L., Richwald, G.A., Greenland, S., Sweet, R.L.,
Schacter, J, “The association Between Chlamydia Trachomatis and Ectopic
Pregnancy”, JAMA, vol.263, no.23, pp. 3164-3167.1990.
17. Hartog, J.E., Morre, S.A., Land, J.A, “Chlamydia Trachomatis-Associated
Tubal Factor Subfertility: Immunogenetic Aspects and Serological
Screening”, Human Reproduction Update, vol. 12, no.6, pp. 719-730.2006.
18. Paavonen, J., Kruse, W.E, “Chlamydia Trachomatis: Impact on Human
Reproduction”, Human Reproduction Update, vol. 5, no.5, pp. 433-447.1999.
19. Pal, S., Hui, W., Peterson, E.M., Maza, L.M.D, “Factor s Influencing the
Induction of Infertility in a Mouse Model of Chlamydia Trachomatis
.Ascending Genital Tract Infection”, J.Med. Microbiol, vol. 47, pp. 599-
605.1998.
20. Tanikawa, M., Harada, T., Katagiri, C., Onohara, Y., Yoshida, S., Terakawa,
N, “Chlamydia Trachomatis Antibody Titres by Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay are Useful in Predicting Severity of Adnexal
Adhesion”, Human Reproduction, vol. 11, no. 11, pp. 2418-2421.1996.
xxxiv
21. Valkengoed, I.G.M. Morre, S.A., Brule, A.J.V., Meijer, C.J.L.M,
“Overestimation of Complication Rates in Evaluations of Chlamydia
Trachomatis Screening Programmes-Implications for Cost-Effectiveness
Analyses”, International Journal of Epidemiology, vol.33., pp. 416-425.2004.
22. Stamm WE: Chlamydia Trachomatis Infection in the Adult. In : Holmes KK
et all Sexually Transmited Disease 3 rd ed . Mc Graw Hill 1999: 407-22
23. Ahmed Khairy Makled et all. Relationship Betwen Serum Chlamidia
Tracomatis Antibidy titer and Tubal Block in Infertil Egyptian women.
Middle Eas Fertility society. 2012.
24. Douglas M.Molina, Sukurmar Pal,et all. Identification of Imunodominan
Antigen of Clamidia Trachomatis using Proteum Microarrays. Science Direct.
2009.
25. Ruijin Shao et all. From Mice to Women and Back Again: Causalities and
clue for Chlamydia- Induced Tubal Ectopic Pregnancy. vol 98 no V. 2012
26. K.A Broeze et all. Integration of Patient Caracteristic and the Result of
Chlamidia Antibodi Testing and Histerosalfingografi in the Diagnosis of
Tuba patologi an Individual Patient data Metaanalisis. Human
Reproductition. Vol 27 no 10. 2012
xxxv