Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN HEMODIALISA

Disusun Oleh:

LAILUL MUNA
NIM: 20161257

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

STIKES MUHAMMADIYAH KENDAL

2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan homeostasis
cairan tubuh secara baik. Berbagai fungsi ginjal untuk mempertahankan
homeostatik dengan mengatur volume cairan, keseimbangan osmotik, asam basa,
eksresi metabolisme, sistem pengaturan hormonal dan metabolisme (Syaifudin,
2011). Gangguan pada ginjal salah satunya adalah ChronicKidney Disease
(CKD), dimana ChronicKidney Disease (CKD) menurut Kementrian Kesehatan
RI 2017 merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan prevelens dan
insidens penyakit ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang
tinggi. (Oscar, 2017).
Penatalaksanaan Chronic Kidney Disease (CKD) bisa dilakukan dua
tahap yaitu dengan terapi konservatif dan terapi penganti ginjal (Ika, 2015).
Tujuan terapi konservatif mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif,
meringankan keluhan keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal, dan memelihara keseimbangan cairan elektrolit
(Kirana, 2015). Salah satu terapi konservatif pengganti ginjal adalah
hemodialisis. Tujuan hemodialisis adalah untuk memperbaiki komposisi cairan
sehingga mencapai keseimbangan cairan yang diharapkan untuk mencegah
kekurangan atau kelebihan cairan yang dapat menyebabkan efek yang signifikan
terhadap komplikasi kardiovaskuler dalam jangka panjang (Wilson, 2012).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menggali Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Chronic Kidney Disease.
2. Tujuan Khusus
a. Menggali pengkajian keperawatan pada pasien Chronic Kidney Disease.
b. Menggali diagnosa keperawatan pada pasien Chronic Kidney Disease.
c. Menggali perencanaan keperawatan pada pasien Chronic Kidney Disease.
d. Menggali pelaksanaan keperawatan pada pasien Chronic Kidney Disease.
e. Menggali evaluasi keperawatan pada pasien Chronic Kidney Disease.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Chronic Kidney Disease


1. Pengertian
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penurunan fungsi ginjal
progresif yang ireversibel ketika ginjal tidak mampu mempertahankan
keseimbangan metabolik, cairan, dan elektrolit yang menyebabkan terjadinya
uremia dan azotemia (Bayhakki, 2013).
Chronic Kidney Disease adalah kemunduran fungsi ginjal yang
progresif dan ireversibel dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang
mengakibatkan uremia atau azotemia (Wijaya dan Putri, 2017).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Chronic Kidney Disease adalah suatu keadaan klinis yang terjadi
penurunan fungsi ginjal dengan ditandai terjadinya penurunan GFR selama
>3 bulan yg bersifat progresif dan irreversibel, ginjal tidak dapat
mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan, dan elektrolit yang
menyebabkan terjadinya uremia dan azotemia.

2. Etiologi
a. Gangguan pembuluh darah ginjal : Berbagai jenis lesi vaskular dapat
menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling
sering adalah aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan kontriksi
skleratik progresif pada pembuluh darah hiperplasia fibromuskular pada
satu atau lebih arteri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh
darah nefrosklerosis yaitu saatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi
lama yang tidak diobati, dikarakteristikan oleh penebalan, hilangnya
elastisitas sistem, perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran
darah dan akhirnya gagal ginjal.
b. Gangguan imunologis: Seperti glomerulonefritis & SLE
c. Infeksi : Dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E. Coli
yang berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri
ini mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara
asceden dari traktus urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal sehingga

3
dapat menimbulkan kerusakan irreversibel ginjal yang disebut
plenlonefritis.
d. Gangguan metabolik : seperti DM (Diabetes Melitus) yang menyebabkan
mobilisasi lemak meningkat sehingga terjadi penebalan membran kapiler
dan di ginjal dan berkelanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi
nefripati amiliodosis yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia
abnormal pada dinding pembuluh darah secara serius merusak membran
glomerulus.
e. Gangguan tubulus primer : terjadi nefrotoksis akibat analgesik atau logam
berat.
f. Obstruksi taktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan
kontriksi uretra.
g. Kelainan kongenetal dan herediter: penyakit polikistik = kondisi keturunan
yang dikarakteristik oleh terjadinya kista/kantong berisi cairan di dalam
ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jar. Ginjal yang bersifat
kongenetal (hipoplasia renalis) serta adanya asidosis.

3. Patofisiologi
Fungsi renal menurun, produksi akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia
dan mempengarui setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah maka grjala akan semakin berat. Dan banyak gejala uremia membaik
setelah dialisis (Wijaya dan putri, 2017)
Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit
glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis
interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik
melibatkan 2 mekanisme kerusakan : (1) mekanisme pencetus spesifik yang
mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator
inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit
tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme kerusakan progresif yang
ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa.
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki
kontribusi terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi
seperti yang telah dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki
kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat
yang tersisa ini akan mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi
4
tekanan glomerular, dan akan menyebabkan hipertensi sistemik dalam
glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan 
hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi. Pada tahap ini
akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia
akibat ekskresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus
ini akan menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan
tingkat progresi dari gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial
dapat menyebabkan kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular,
meningkatkan stres oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan
melepaskan faktor kemotaktik yang pada akhirnya akan menyebabkan
inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi
makrofag.

Gambar 2.3 Piramid Iskemik dan Sklerosis Arteri dan Arteriol pada Patogan
lintang Ginjal (McAlexander, 2015)
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan
sintesis matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi
kolagen tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis
tubulointerstitiel, dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang
sehat menjadi berkurang dan akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh
hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan
fungsi ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal.  Kerusakan fungsi
ekskretorik ginjal antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan
reabsorbsi Na pada tubuli, penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi
fosfat, penurunan ekskresi hidrogen.

5
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan
mengubah bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin
(EPO), menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan
sistem imun, dan sistem reproduksi. Angiotensin II memiliki peran penting
dalam pengaturan tekanan intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara
sistemik dan secara lokal di ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang
akan mengatur tekanan intraglomerular dengan cara meningkatkan irama
arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stres oksidatif yang pada
akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan
kemoaktraktan, sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam
patofisiologi CKD.
Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan
karena banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-
dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan
mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca.
Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia dan osteodistrofi.
Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena
hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadapPTH. Kalsium dan
kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia
akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH.
Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu
untuk mengekskresikan zat – zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul
hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor
ini akan menyebabkan inhibisi 1- α  hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam
sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun
akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback
negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi peningkatan hormon
parathormon. Akhirnya akan timbul hiperparatiroidisme sekunder.
Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan depresi pada sumsum tulang
sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoetin yang pada akhirnya
akan menyebabkan anemia. Selain itu hiperparatiroidisme sekunder juga akan
menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic,
osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi. Penurunan
ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya dapat
menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi
terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan
6
ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko
terjadinya kardiak arrest pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi
adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap.  Pada CKD,
ginjal tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal
untuk mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk
ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5.
Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion – anion lain
yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat
menyebabkan gangguan metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic
juga merupakan salah satu faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi
sisa nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal
urea nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta
asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan
dapat mengenai sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom
uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan memperpendek usia sel
darah merah. Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan
terutama pada GIT, dan dapat berkembang menjadi anemia bila
penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di kulit akan menyebabkan
pasien merasa gatal – gatal.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan
produksi lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena
fungsi insulin menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan
produksi lipid akan memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan gagal jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada
hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu
anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat
pengaruh dari sindrom uremia, anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi
(Kirana, 2015)

4. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Penyakitnya


Dibawah ini 5 stadium penyakit Chronic Kidney Disease sebagai berikut :
a. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
7
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
e. Stadium 5, gagal ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin


Test) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

5. Manifestasi Klinik
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi
perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama
jantung dan edema. Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai
hipertensi, mekanisme terjadinya hipertensi pada CKD oleh karena
penimbunan garam dan air, atau sistem renin angiostensin aldosteron
(RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering dijumpai akibat
kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi
perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan
elektrolit.
b. Gangguan pulmoner
Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekles.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, fomitus yang berhubungan dengan
metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal,
ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia. akibat metabolisme
protein yang terganggu oleh bakteri usus sering pula faktor uremikum
akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu sering timbul stomatitis,
cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis erosif hampir
dijumpai pada 90 % kasus CKD, bahkan kemungkinan terjadi ulkus
peptikum dan kolitis uremik.

8
d. Gangguan muskuluskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu
digerakkan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama
ditelapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot
ekstremitas. Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-
gerak (restlesslessleg syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki,
gangguan syaraf dapat pula berupa kelemahan, gangguan tidur, gangguan
konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan kesadaran atau koma.
e. Gangguan integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom. Gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh. Kulit
berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan
gatal akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.
f. Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic
lemak dan vitamin D.
g. Sistem hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum-sum tulang
berkurang, hemodialisi akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosit dan
trombositopeni. selain anemi pada CKD sering disertai pendarahan akibat
gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai trombositopeni. Fungsi
leukosit maupun limposit dapat pula terganggu sehingga pertahanan seluler
terganggu, sehingga pada penderita CKD mudah terinfeksi, oleh karena
imunitas yang menurun.
h. Gangguan lain
Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi,
gangguan elektrolit dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis
metabolik, hiperkalemia, hiperforfatemi, hipokalsemia. (Wijaya dan Putri,
2017)
Pasien dengan stadium I atau II tidak memiliki gejala atau gangguan
metabolik seperti asidosis, anemia, dan penyakit tulang. Selain itu,
pengukuran yang paling umum dari gangguan fungsi ginjal yaitu serum
kreatininmungkin hanya sedikit meningkat pada tahap awal CKD . akibatnya,
9
estimasi GFR sangat penting bagi pengenalan tahap awal CKD. Karena tahap
awal CKD sering tidak terdeteksi, dibutuhkan diagnosis pada pasien dengan
tingkat kecurigaan yang tinggi yaitu yang mengalami kondisi kronis seperti
hipertensi dan diabetes militus.
Tanda dan gejala terkait dengan CKD menjadi lebih umum pada
stage III, IV, V. Anemia, kelainan metabolisme kalsium dan fosfor
(hiperparatiroidisme sekunder), malnutrisi, abnormalitas cairan dan elektrolit
menjadi lebih umum seiring fungsi ginjal memburuk. Umumnya pada pasien
CKD stadium V juga mengalami gagal-gagal, intoleransi dingin, berat badan
menurun, neuropati perifer (Joy et al, 2008).

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Urine
1) Volume : < 400 ml/24 jam(oliguria)/anuria
2) Warna : urin keruh
3) Berat jenis < 1, 015
4) Osmolalitas< 350 m osm/ kg
5) Klirens kreatinin : turun
6) Na++ > 40 mEq/lt
7) Protein : proteinuria (3-4+)
b. Darah
1) BUN/Kreatinin : >0,6-1,2 mg/dL(untuk laki-laki), >0,5-1,1 mg/dL
(wanita)
2) Ureum : 5-25 mg/dL
3) Hitung darah lengkap : Ht turun, Hb < 7-8 gr%
4) Eritrosit : waktu hidup menurun
5) GDA, Ph menurun : asidosis metabolik
6) Na ++ serum : menurun
7) K+ : meningkat
8) Mg +/ fosfat : meningkat
9) Protein (khusus albumin) : menurun
c. Osmolalitas serum > 285 m osm/kg
d. KUB foto : ukuran ginjal / ureter/KK dan obstruksi ( batas)
e. Pielogram retrograd : identifikasi ekstravaskuler, massa.
f. Sistouretrogram berkemih : ukuran KK, refluks kedalaman ureter, retensi.
g. Ultrasono ginjal : sel. Jaringan untuk diagnosis histologist.
10
h. Endoskopi ginjal, nefroskopi : batu, hematuria, tumor
i. EKG : ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
j. Foto kaki, tengkorak, kulomna spinal (Wijaya dan Putri, 2017)

7. Penatalaksanaan
a. Pengaturan minum : pemberian cairan
b. Pengendalian hipertensi=<intake garam
c. Pengendalian K+ darah
d. Penanggualan anemia: transfusi
e. Penanggualan asidosis
f. Pengobatan dan pencegahan infeksi
g. Pengaturan protein dalam makan
h. Pengobatan neuropati
i. Dialisis
j. Tlansplatasi ginjal (Wijaya dan Putri, 2017)

B. Konsep Hemodialisis
Hemodialisa di indonesia dimulai pada tahun 1970, dan sampai
sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan, umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompertemen darahnya adalah kapiler-kapiler
selaput semipermeabel (hallow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh
cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala
yang ada adalah biaya yang mahal (Sudoyo et al. 2009)
1. Definisi
Hemodialisis adalah proses pembuangan zat zat sisa metabolisme, zat
toksik lainnya melalui membran 2semi permeabel sebagai pemisah antara
darah dan cairan diaksat yang sengaja dibuat dalam dializer (Wijaya dan Putri,
2017)
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek
(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal
stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi
jangka panjang atau permanen (Suharyanto dan Madjid, 2009).
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hemodialisa
adalah suatu tindakan yang digunakan pada klien gagal ginjal untuk proses
pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat toksik dan untuk memperbaiki
11
ketidakseimbangan elektrolit lainnya melalui membran 2semi permeabel
sebagai pemisah antara darah dan cairan diaksat yang sengaja dibuat dalam
dializer.

2. Tujuan
Hemodialisa bertujuan Membuang sisa produk metabolisme protein :
urea kreatinin dan asam urat, Membuang kelebihan cairan dengan
mempengaruhi tekanan banding antara darah dan bagian cairan,
Mempertahankan atau mengembanlikan sistem buffer tubuh,
Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh. (Wijaya dan
Putri, 2017)
Hemodialisa menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi
(membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan
sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan
cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat,
meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal
serta menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang
lain (Suharyanto dan Madjid, 2009).

12
3. Indikasi
a. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien gagal ginjal kronik dan
gagal ginjal akut untuk sementara samapai fungsi ginjal pulih (laju filtrasi
glomerulus <5 ml).
b. Pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat
indikasi: Hiperkalemia (K+ darah>6 meq/l), Asidosis, Kegagalan terapi
konservatif, Kadar ureum /kreatinin tinggi dalam darah (ureum>200mg%,
kreatinin serum>6mEq/l, Kelebihan cairan, Mual dan muntah yang hebat
c. Intoksikasi obat dan zat kimia
d. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat
e. Sindrom hepatorenal dengan kriteria : K+pH darah <7,10 asidosis,
Oliguria/an uria >5 hari, GFR <5ml/i pada CKD, ureum darah >200mg/dl
(Wijaya dan Putri, 2017)
Pada umumnya indikasi dialisis pada CKD adalah bila laju filtrasi
glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mL/menit, yang di dalam praktek
dianggap demikian bila (TKK)<5mL/menit. Keadaan pasien yang hanya
mempunyai TKK <5mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap
baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah :
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
b. K serum >6 mEq/L
c. Ureum darah 200mg/dl
d. pH darah <7,1
e. Anuria berkepanjangan (>5 hari)
f. Fluid overloaded (Sudoyo et al. (2010)

4. Kontra indikasi
a. Hipertensi berat (TD >200/100mmHg)
b. Hipotensi (TD <100mmHg)
c. Adanya perdarahan hebat
d. Demam tinggi (Wijaya dan Putri, 2017)

5. Prinsip Hemodialisa
Prinsip hemodialisa dengan cara difusi dihubungkan dengan
pergeseran partikel-partikel dari daerah konsentrasi tinggi ke konsentrasi
rendah oleh tenaga yang ditimbulkan oleh perbedahan konsentrasi zat-zat
13
terlarut di kedua sisi membran dialisis, difusi menyebabkan pergeseran urea
kreatinin dan asam urat dari darah ke larutan dialisat.
Osmosa adalah Mengangkut pergeseran cairan lewat membran semi
permiabel dari daerah yang kadar partikel partikel rendah ke daerah partikel
lebih tinggi, osmosa bertanggung jawab atas pergeseran cairan dari klien
terutama pada pada.
Ultrafiltrasi Terdiri dari pergeseran cairan lewat membran semi
periabel dampak dari bertambahnya tekanan yang dideviasikan secara buatan,
Hemo:darah, dialisis memisahkan dari yang lain (Sudoyo et al, 2009)

6. Akses Sirkulasi Darah


a. Kateter dialisis perkutan yaitu pada vena pulmoralis atau vena subklavikula
b. Cimino : dengan membuat fistula interna arteriovenosa~ operasi
(LA.Radialis dan V. Sefalika pergelangan tangan) pada tangan non
dominan. Darah dipirau dari A ke V sehingga vena membesar hubungan ke
sistim dialisi dengan 1 jarum di distal (garis arteri) dan diproksimal (garis
vena), lama pemakaian -+ 4 tahun, masalah yang mungkin timbul: Nyeri
pada punksi vena,trombosis, Aneurisme, kesulitan hemostatik post dialisa,
Iskemia tangan. Kontra indikasi : Penyakit perdarahan, Kerusakan prosedur
sebelumnya, Ukuran pembuluh darah klien/halus.
c. AV Graft : tabung plastik dilingkarkan yang menghubungkan arteri ke
vena.. operasi graf seperti operasi fastula AV, digunakan 2-3 minggu
setelah operasi(Wijaya dan Putri, 2017)

Gambar 2.4 Akses Pembuluh Darah (https://www.sahabatginjal.com/penting-


bagi-anda/hemodialisis)

7. Prosedur pelaksanaan HD

14
Gambar 2.5 Prosedur Hemodialisa (http://4.bp.blogspot.com/)
Hemodialisa dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu
tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompertemen yang
terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen yang dibatasi
oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan komposisi elektrolit
mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan
dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi
karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang
rendah, sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi).
Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke
konpartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik
negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut
ultrafiltrasi.
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat pelarut
yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi
lebih lambat dibanding molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat
pelarut tersebut makin tinggi bila konsentrasi di kedua kompartemen makin
besar, diberikan tekanan hidrolik dikompartemen darah, dan bila tekanan
osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini
mengalir berlawaan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi.
Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian
melambat sampai konsentrasinya sama dikedua kompartemen. (Pudji et al,
2009).

15
8. Penatalakasanaan Pasien yang Menjalani Hemodialisis
Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup
agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang
penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis.
Status cairan menentukan kecukupan cairan dan terapi cairan
selanjutnya. Status cairan pada pasien CKD dapat dimanifestasikan dengan
pemeriksaan edema, tekanan darah, kekuatan otot, lingkar lengan atas, nilai
IDWG dan biochemical marker yang meliputi natrium, kalium, kalsium,
magnesium, florida, bikarbonat dan fosfat.
Asupan protein diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri
atas asupan protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-
70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan
tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan untuk
dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang
ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 mEq.hari
guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan
menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum.
Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan
terjadi kenaikan berat badan yang besar (wijaya dan putri, 2017)
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian
melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida
jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat
untuk memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Resiko timbulnya efek
toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Hudak & Gallo, 2010).

9. Komplikasi
Wijaya dan Putri (2017) menjabarkan komplikasi hemodialisa sebagai
berikut :
1. Hipotensi
Merupakan komplikasi akut yang sering terjadi, dimana insiden 15-30%.
Dapat disebabkan oleh karena penurunan volume plasma, disfungsi
otonom, vasodilatasi karena energy panas dan obat anti hipertensi.
2. Kram otot

16
Terjadi 20 % pasien yang menjalankan hemodialisa, dimana penyebab
idiopatik, namun diduga karena kontraksi akut yang dipacu oleh
peningkatan volume ekstrasluler.

C. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Data Biografi :identitas pasien, nama, umur, jenis kelamin, agama, status
perkawinan, pendidikan, suku/bangsa, pekerjaan, alamat, ruang,
identitas penaggung jawab, hubungan dengan pasien, no telepon,
asuransi kesehatan (jika ada).
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama/alasan masuk Rumah sakit
2) Riwayat kesehatan sekarang : dimulai dri akhir masa sehat, ditulis
dengan kronologis sesuai urutan waktu, dicatat perkembangan dan
perjalanan penyakitnya seperti : faktor pencetus, sifat keluhan
(mendadak/berlahan-lahan/terus menerus/hilang timbul atau
berhubungan dengan waktu, lokalisasi dan sifarnya ( menjalar
/menyebar/berpindah/menetap), bearat ringannya keluhan
(menetap/cenderung bertambah atau berkurang), lamanya keluhan,
upaya yang dilakukan untuk mengatasi, keluhan saat pengkajian,
diagnosa medik
3) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang pernah dialami (jenis penyakit, lama dan upaya untuk
mengatasi, riwayat masuk RS), Alergi, Obat-obatan yang pernah
digunakan.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit menular/tidak menular/keturunan dalam keluarga, disertai
genogram.
5) Pengkajian lingkungan
Pengkajian lingkungan rumah, lingkungan klien bekerja, fokus pada
upaya keamanan klien, informasi tentang lingkungan rumah dan
tempat bekerja meliputi:tata ruang, kebersihan, resiko cidera,
paparan polusi, pencahayaan, susasana rumah,

17
c. Pola fungsional gordon
1) Pola management kesehatan/persepsi kesehatan
Persepsi terhadap penyakit yang dialaminya, Riwayat
penggunaan tembakau, alkohol, alergi (obat-obatan, makanan,
reaksi alergi), mengatur dan menjaga kesehatannya, pengetahuan
dan praktik pencegahan penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolik
Kebiasaan klien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi
sebelum dan sesudah sakit meliputi : jenis makanan dan minuman
yang dikonsumsi, frekuensi makan dan minum, porsi makan,
makanan yang disukai, nafsu makan (normal,meningkat, menurun),
pantangan atau alergi, penurunan sensasi kecap, mual-muntah,
stomatitis, kesulitan menelan (disfagia). riwayat masalah
kulit/penyembuhan (ruam, kering, keringat berlebihan,
penyembuhan abnormal, jumlah minum/24 jam dan jenis (kehausan
yang sangat), mengkaji ABCD yaitu :A (Antropometri) : BB, TB,
sebelum dan sesudah sakit fluktuasi BB 6 bulan terakhir
(naik/turun), B (Biocemicle): Hemoglobin, Leukosit, Trombosit,
Hematoktit (cairan), Albumin edema, C (Clinicel) : turgor kulit,
konjungtiva, CRT, D (Diet) : diet/suplment khusus, Instruksi diet
sebelumnya.
3) Pola eliminasi
Buang air besar (BAB) : Frekuensi, waktu, Warna, konsistensi,
Kesulitan (diare, konstipasi, inkontinensia), Buang Air Kecil (BAK)
: Frekuensi, Kesulitan/keluhan (disuria, noktiria, hematuria,
retensia, inkontinensia).
4) Pola aktivitas dan kebersihan diri kemampuan perawatan diri
0 : Mandiri
1: dengan alat bantu
2: dibantu orang lain
3: dibantu orang lain dan peralatan
4: ketergantian / ketidakmampuan
5) Pola istirahat dan tidur
Lama tidur : (jam/malam, tidur siang , tidur sore), waktu
kebiasaan menjelang tidur, masalah tidur (insomnia, terbangun

18
dini, mimpi buruk), perasaan setelah bangun (merasa segar / tidak
setelah tidur).
6) Pola kognitif dan Persepsi sensori
Status mental (sadar / tidak, orientasi baik atau tidak ), bicara:
normal, genap, aphasia ekspresif, kemampuan berkomunikasi,
kemampuan memahami, tingkat ansietas , Pendengaran: DBN,
Tuli, tinitis, alat bantu dengar, Penglihatan (DBN, Buta, katarak,
kacamata, lensa kontak, dll), vertigo, ketidaknyamanan/nyeri
/akut/ kronis, penatalaksaan nyeri
7) Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan klien tentang dirinya, gambar dirinya, ideal dieinya,
harga dirinya, peran dirinya, ideal dirinya.
8) Pola hubungan peran
Pekerjaan, sistem pendukung : (pasangan, tetangga, keluarga
serumah, keluarga tinggal berjauhan, maslah keluarga berkenaan
dengan perawatan RS, kegiatan sosial : bagaimana hubungan
dengan masyarakat.
9) Pola seksual dan reproduksi
Tanggal Menstruasi Terakhir (TMA), masalah-masalah dalam
pola reproduksi, Pap smear terakhir, kepuasan dan tidak puasan
klien dalam pola seksualitas, kesulitan dalam pola seksualitas,
masalah seksual B. D penyakit
10) Pola koping dan toleransi stres
Perawat mengkaji kemampuan klien dalam mengelola stess,
Kehilangan/perubahan besar dimasa lalu, Hal yang dilakukan saat
ada masalah, Pengguanaan obat saat menghilangkan stres,
Keadaan emosi dalam sehari-hari (santai/tegang), keefektifan
dalam mengelola stress.
11) Pola nilai dan Keyakinan
Keyakinan Agama, budaya, Pengaruh agama dalam kehidupan.
d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum: Kesadaran, Klien tampak sehat/ sakit/sakit berat
2) Tanda –tanda vital : TD, ND, RR, S
3) Kulit : Warna kulit (sianosis, ikterus, pucat eritema), Kelembaban,
Turgor kulit, Ada/tidaknya edema
4) Kepala/rambut : Inspeksi, Palpasi
19
5) Mata : Fungsi penglihatan, Ukuran pupil, Konjungtiva, Lensa/iris,
Odema palpebra, Palpebra, Sklera
6) Telinga : Fungsi pendengaran, Kebersihan, Daun telinga, Fungsi
keseimbangan, Sekret, Mastoid
7) Hidung dan sinus : Inspeksi, Fungsi penciuman, Pembengkakan,
Kebersihan, Pendarahan, Sekret
8) Mulut dan tenggorokan : Membran mukosa, Keadaan gigi, Tanda
radang (gigi,lidah,gusi), Trismus, Kesulitan menelan, Kebersihan
mulut
9) Leher : Trakea simetris atau tidak, Kartoid bruid, JVP, Kelenjar
limfe, Kelenjar tiroid, Kaku kuduk
10) Thorak atau paru : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
11) Jantung : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
12) Abdomen : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
13) Ekstremitas : Vaskuler perifer, Capilari refil, Clubbing, Perubahan
warna
14) Neurologis : Status mental/GCS, Motorik, Sensori, Tanda
rangsangan meningkat, Saraf kranial, Reflek spikologis, Reflek
patologis
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko Ketidak efektifan perfusi jaringan ginjal (00203)
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme regulasi
(00026)
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan metabolisme
(00046)
d. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor bologis (00002)
e. Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen (00092)
f. Pola nafas tidak efektif berhubungan hiperventilasi (00032)(Heardman
et al, 2015)

20
3. Intervensi

No. DX Tujuan & KH Intervensi Keperawatan Rasional


1. Tujuan : Circulatory Care
Setelah dilakukan 1. Lakukan penilaian 1. Sebagai data dasar
tindakan keperawatan secara komprehensif untuk menentukan
selama 3x24 jam fungsi sirkulasi perifer. intervensi selanjutnya
resiko ketidak efektifan (cek nadi
perfusi ginjal adekuat. priper,oedema, kapiler
refil, temperatur
Kriteria Hasil: ekstremitas).
Circulation Status 2. Kaji nyeri 2. Mengetahui persepsi
1. Membran mukosa dan tingkatan nyeri
merah muda yang dirasakan klien
2. Conjunctiva tidak 3. Inspeksi kulit dan 3. Mengetahui adanya
anemis Palpasi anggota badan edema ekstremitas
3. Akral hangat 4. Atur posisi pasien, 4. Posisi tersebut dapat
4. TTV dalam batas ekstremitas bawah memperbaiki sirkulasi
normal. lebih rendah untuk
5. Tidak ada edema memperbaiki sirkulasi.
5. Monitor status cairan 5. Mengetahui balance
intake dan output cairan
6. Evaluasi nadi, oedema 6. Mengetahui tingkatan
edema pada klien dan
kondisi klien
7. Berikan therapi 7. Terapi antikoagulan
antikoagulan. dapat mencegah
terjadinya
penggumpalan darah
klien.

2. Tujuan: Fluid Management


Setelah dilakukan 1. Kaji status cairan : 1. Mengetahui adanya
asuhan keperawatan timbang berat kelebihan volume cairan
selama 3x24 jam badan,keseimbangan pada klien
volume cairan masukan dan haluaran,
seimbang. turgor kulit dan adanya
edema
Kriteria Hasil: 2. Timbang 2. Mengetahui output cairan
Fluid Balance popok/pembalut jika klien
1. Terbebas dari diperlukan
edema, efusi, 3. Pertahankan catatan 3. Mengetahui status balance
anasarka intake dan output yang cairan klien
2. Bunyi nafas akurat 4. Mencegah adanya edema
bersih,tidak adanya 4. Batasi masukan cairan 5. Pemasangan kateter dapat
dipsnea 5. Pasang urin kateter melancarkan output urine
3. Memilihara jika diperlukan klien
tekanan vena 6. Monitor hasil lab yang 6. Hasil lab
sentral, tekanan sesuai dengan retensi menginterpretasikan status
kapiler paru, output cairan (BUN , cairan dan elektrolit klien
jantung dan vital Hematokrit,
sign normal. osmolalitas urin  )
4. Pasien dapat 7. Monitor vital sign 7. Mengetahui kondisi umum
menjelaskan 8. Monitor indikasi klien
indikator kelebihan retensi / kelebihan 8. Indikasi retensi/kelebihan
cairan cairan (kreacles, CVP , cairan dapat menentukan
edema, distensi vena intervensi yang tepat bagi
leher, asietes) klien
9. Kaji lokasi dan drajat 9. Lokasi dan derajat edema
edema dapat menentukan seberapa
berat kelebihan volume
cairan klien

21
10. Berikan diuretik sesuai 10. Diuretic dapat meningkatkan
interuksi output cairan klien
11. Kolaborasi dokter jika 11. Dapat dilakukan terapi yang
tanda cairan berlebih tepat pada klien
muncul memburuk
12. Jelaskan pada pasien 12. Mencegah klien dari
dan keluarga rasional kelebihan cairan dan
pembatasan cairan keluarga dapat memantau
asupan cairan klien
13. Menjelaskan cara diit 13. Klien dapat mengetahui diit
pasien yang tepat untuk menjaga
kondisinya
14. Kolaborasi pemberian 14. Pemberian cairan yang tepat
cairan sesuai terapi. dapat mencegah klien dari
kelebihan cairan

Fluid Monitoring
1. Tentukan riwayat 1. Sebagai data dasar dalam
jumlah dan tipe intake menentukan intervensi
cairan dan eliminasi selanjutnya
2. Tentukan 2. Untuk mengetahui tindakan
kemungkinan faktor yang tepat untuk mengatasi
resiko dari ketidak masalah
seimbangan cairan
(hipertermia, terapi
diuretik, kelainan
renal, gagal jantung,
diaporesis, disfungsi
hati, dll )
3. Monitor berat badan 3. Mengetahui adakah
keleibihan volume cairan
4. Monitor serum dan 4. Mengetahui kadar cairan dan
elektrolit urine elektrolit
5. Monitor adanya 5. Mengetahui adanya
distensi leher, rinchi, kelebihan volume cairan
eodem perifer dan
penambahan BB
6. Monitor tanda dan 6. Edema dapat menjadi tanda
gejala dari odema kelebiihan cairan
Hemodialysis therapy
1. Bekerja secara 1. Terapi hemodialisa sesuai
kolaboratif dengan prosedur dapat mengurangi
pasien untuk kelebihan cairan dan sisa
menyesuaikan metabolism di tubuh
panjang dialisis,
peraturan diet,
keterbatasan cairan
dan obat-obatan untuk
mengatur cairan dan
elektrolit pergeseran
antara pengobatan.
3. Tujuan : Pressure management
Setelah dilakukan 1. Monitor kulit akan 1. Kemerahan dapat
asuhan keperawatan adanya kemerahan menjadi tanda
selama 3x24 jam kerusakan integritas
diharapkan gangguan kulit.
integritas kulit teratasi 2. Monitor tanda dan 2. Infeksi dapat
dengan gejala infeksi pada menjadikan integritas
area insisi kulit menjadi rusak
Kriteria Hasil: 3. Anjurkan pasien 3. Pakaian yang longgar
1. Tidak ada tanda – menggunakan pakaian dapat mengurangi rasa
tanda infeksi yang longgar nyeri pada kulit yang
2. Ketebalan dan rusak
teksture jaringan
22
normal 4. Hindari kerutan pada 4. Kerutan di tempat tidur
3. Menunjukan tempat tidur dapat menyebabkan
pemahaman dalam nyeri pada kulit yang
proses perbaikan rusak
kulit dan mencegah 5. Jaga kebersihan kulit 5. Menjaga integritas kulit
terjadinya cidera agar tetap bersih dan agar tetap bagus
berulang kering
4. Menunjukan 6. Mobilisasi pasien 6. Mobilidsasi rutin dapat
terjadinya proses (ubah posisi pasien mencegah dekubitus
penyembuhan luka setiap dua jam sekali)
7. Oleskan lotion atau 7. Lotion dapat
minyak baby oil pada melembabkan kulit
daerah yang tertekan.
4. Tujuan : Nutritional Management
Setelah dilakukan 1. Monitor adanya mual 1. Mual dan muntah dapat
asuhan keperawatan dan muntah menjadi data untuk
selama 3x24 jam menentukan status
nutrisi seimbang dan nutrisi
adekuat. 2. Monitor status nutrisi. 2. Mengetahui adanya
gangguan nutrisi pada
Kriteria Hasil: klien
Nutritional Status 3. Monitor adanya 3. Sebagai data penguat
1. Nafsu makan kehilangan berat badan untuk mengetahui
meningkat dan perubahan status adanya gangguan nutrisi
2. Tidak terjadi nutrisi. 4. Hasil lab dapat menjadi
penurunan BB 4. Monitor albumin, total data pendukung
3. Masukan nutrisi protein, hemoglobin, menentukan intervensi
adekuat dan hematocrit level
4. Menghabiskan yang menindikasikan
porsi makan status nutrisi dan untuk
5. Hasil lab normal perencanaan treatment
(albumin, kalium) selanjutnya.
5. Monitor intake nutrisi 5. Intake nutrisi yang
dan kalori klien. adekuat dapat
meningkatkan status
nutrisi
6. Berikan makanan 6. Makanan sedikit tapi
sedikit tapi sering sering dapat
meningkatkan nafsu
makan klien
7. Berikan perawatan 7. Perawatan mulut dapat
mulut sering meningkatkan nafsu
klien
8. Kolaborasi dengan ahli 8. Diet yang sesuai dapat
gizi dalam pemberian menyeimbangkan status
diet sesuai terapi nutrisi klien
9. Monitor masukan 9. Masukan makanan yang
makanan / cairan dan adekuat dapat
hitung intake kalori meningkatkan status
harian nutrisi klien

5 Tujuan: Activity Therapy


Setelah dilakukan 1. Bantu klien untuk 1. Mengetahui tingkat
tindakan keperawata mengidentifikasi aktivitas yang mampu
selema 2x24 jam aktivitas yang mampu dilakukan klien
pasien diharapkan dilakukan.
masalah intoleransi 2. Bantu untuk 2. Alat bantu dapat
aktivitas dapat teratasi mendapatkan alat membantu aktivitas
dengan bantuan aktivitas klien
seperti kursi roda,
Kriteria Hasil : krek.
1. Mampu 3. Bantu pasien dan 3. Kekurangan aktivitas
melakukan keluarga untuk klien dapat menjadi data
23
aktivitas sehari mengidentivikasi untuk menentukan
hari (ADLS) kekurangan dalam intervensi yang tepat
secara mandiri beraktivitas
2. Berpartipasi 4. Bantu klien untuk 4. Motivasi diri dapat
dalam aktivitas mengembangkan meningkatkan
fisik tampa motivasi diri dan kepercayaan diri klien
disertai penguat
peningkatan 5. Kolaborasikan dengan 5. Terapi yang tepat dapat
tekanan darah, tenaga medik dalam meningkatkan kondisi
nadi dan RR merencanakan klien
3. Status respirasi : program terapi yang
pertukaran gan tepat.
dan ventilasi
adekuat
4. Mampu berpindah
: dengan atau
tampa bantuan
alat

6. Tujuan : Respiratory Monitoring


Setelah dilakukan 1. Monitor rata – rata, 1. Menjadi data dasar
asuhan keperawatan kedalaman, irama dan dalam menentukan
selama 1x24 jam pola usaha respirasi intervensi yang tepat
nafas adekuat. 2. Catat pergerakan 2. Mengetahui adanya
dada,amati gangguan pola nafas
Kriteria Hasil: kesimetrisan, klien
Respiratory Status penggunaan otot
1. Peningkatan tambahan, retraksi otot
ventilasi dan supraclavicular dan
oksigenasi yang intercostal
adekuat 3. Monitor pola nafas : 3. Mengetahui adanya
2. Bebas dari tanda bradipena, takipenia, gangguan pernafasan
tanda distress kussmaul, pada klien
pernafasan hiperventilasi,
3. Suara nafas yang 4. Auskultasi suara nafas, 4. Mengetahui adanya
bersih, tidak ada catat area penurunan / suara nafas tambahan
sianosis dan tidak adanya ventilasi
dyspneu (mampu dan suara tambahan
mengeluarkan
sputum, mampu Oxygen Therapy
bernafas dengan 1. Auskultasi bunyi 1. Mengetahui adanya
mudah, tidak ada nafas, catat adanya gangguan pola nafas
pursed lips) crakles klien
4. Tanda tanda vital 2. Ajarkan pasien nafas 2. Nafas dalam dapat
dalam rentang dalam meningkatkan
normal oksigenasi klien

3. Atur posisi senyaman 3. Memberikan rasa


mungkin nyaman dan rileks
4. Batasi untuk 4. Aktivitas yang
beraktivitas berlebihan dapat
menyebabkan pasien
kelelahan dan dispnea
5. Kolaborasi pemberian 5. Pemberian oksigen
oksigen dapat meningkatkan
oksigenasi klien
Tabel 2.5 NIC (Gloria et al, 2015), NOC (Moorhead, 2016)

24
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Akses Pembuluh Darah, diakses tanggal 20 juni 2018,melalui


<https://www.sahabatginjal.com/penting-bagi-anda/hemodialisis>
Bayhakki. 2013. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: EGC
Heardman. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017. EGC:
Jakarta
Huddak and Gallo 2010, Fahmi 2016. Pengaruh Self Management Dietary
Counseling Terhadap Self Care Dan Status Cairan Pada Pasien
Hemodialisa, Tesis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Ika 2015.Laporan Pendahuluan “Chronic Kidney Disease (CKD)”dilihat 4 Mei
2018, melalui <http://repository.lppm.unila.ac.id/1391/1/49-54-IKA-
A.pdf>
Joy et al (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishig
Kirana 2015. Laporan pendahuluan Asuhan Keperawatan pada pasien Chronic
Kidney Disease diakses pada tanggal 4 mei 2018 melalui
<https://www.academia.edu/31553378/CHRONIC_KIDNEY_DEASES
McAlexcander 2016,Faruq 2017, Upaya Penurunan Volume Cairan Pada Pasien
Gagal Ginjal Kronis, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Oscar 2017,Situasi Penyakit Ginjal Kronikdiakses pada tanggal 25 Mei 2018,
melalui<http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/
infodatin/infodatin%20ginjal%202017.pd>
Sudoyo et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna
Publishing
Suharyanto, T. Madjid A, 2009.Asuhan Keperewatan Pada Klien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan . Jakarta: Penerbit Trans Info Media
Syaifudin. 2011. Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk
Keparawatan & Kebidanan Ed 4 Jakarta: EGC
Wijaya dan Putri. 2017. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Teori dan
Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika
Wilson 2012, Fahmi 2016. Pengaruh Self Management Dietary Counseling
Terhadap Self Care Dan Status Cairan Pada Pasien Hemodialisa, Tesis,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

25

Anda mungkin juga menyukai