BAB INVENTARISASI
GRK
III
Dari aspek meteorologis, perubahan iklim adalah kondisi beberapa unsur iklim
yang magnitude dan/atau intensitasnya cenderung berubah atau menyimpang dari
dinamika dan kondisi rata-rata menuju ke arah tertentu, meningkat atau menurun.
Perubahan iklim terjadi karena proses alam dan/atau akibat kegiatan manusia secara
terus-menerus yang mengubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan yang
menyebabkan pemanasan global. Pemanasan global disebabkan oleh peningkatan emisi
gas rumah kaca yang berlangsung dalam jangka waktu lama.
GRK adalah gas yang terkandung dalam atmosfer, baik alami maupun
antropogenik, yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah. GRK utama
dari pertanian adalah CO2 (karbondioksida), CH4 (metana), dan N2O (dinitrogen
oksida), CFCs (chlorofluorocarbon), dll. Inventory atau Inventarisasi GRK adalah
kegiatan untuk memperoleh data dan informasi mengenai tingkat, status, dan
kecenderungan perubahan emisi GRK secara berkala dari berbagai sumber emisi (source)
dan penyerapnya (sink), termasuk simpanan karbon (carbon stock). Emisi GRK adalah
lepasnya gas rumah kaca ke atmosfer pada area tertentu dalam jangka waktu tertentu.
Data Aktivitas adalah besaran kuantitatif kegiatan atau aktivitas manusia yang dapat
melepaskan dan/atau menyerap GRK. Faktor Emisi adalah besaran emisi GRK yang
dilepaskan ke atmosfer per satuan aktivitas tertentu.
Perubahan iklim menuntut perhatian ekstra umat manusia di muka bumi. Ada dua
kata kunci yang berakitan dengan perubahan iklim, yaitu (1) mitigasi dan (2) adaptasi.
Kedua kata ini sering disebut dalam tulisan tentang perubahan iklim dan di lapangan
adakalanya tidak mudah dibedakan. Mitigasi adalah usaha untuk menurunkan emisi dan
atau meningkatkan penyerapan GRK dari berbagai sumber emisi, dalam upaya
pengendalian atau pengurangan dampak perubahan iklim. Adaptasi adalah kemampuan
manusia, ternak, dan tanaman atau organisme untuk menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungan, baik bersifat mikro maupun makro, baik langsung maupun tidak langsung
akibat perubahan iklim, agar tetap dapat menjalankan fungsi biologisnya secara wajar.
Laporan Akhir
BAB III - 1
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Emisi GRK adalah lepasnya gas-gas yang mempunyai efek rumah kaca pada
suatu area ke atmosfer dalam jangka waktu tertentu, baik yang disebabkan oleh proses
alamiah dan biologi maupun proses kimia dan fisika akibat aktivitas manusia, seperti
pertanian, kehutanan, industri, dan transportasi. Peningkatan emisi GRK secara langsung
akan meningkatkan konsentrasi GRK di atmosfer yang menyebabkan pemanasan global
akibat efek rumah kaca atau terhalangnya panas (heat) atau radiasi gelombang panjang ke
luar atau ke atmosfir oleh GRK.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No 71 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Inventaris Gas Rumah Kaca Nasional, maka inventaris GRK di
Kabupaten Badung dilakukan dengan pemantauan dan pengumpulan data aktivitas
sumber emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon serta penetapan faktor emisi
dan faktor serapan GRK yang dikelompokkan dalam 6 sektor utama yaitu Pertanian dan
Peternakan, Kehutanan, Energi, Industri, Transportasi dan Limbah. Adapun hasil
inventaris GRK di Kabupaten Badung adalah sebagai berikut.
Laporan Akhir
BAB III - 2
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
pemupukan urea, 7) emisi langsung dan tidak langsung N2O dari tanah, dan 8) lahan
sawah irigasi.
Proses enteric fermentation mengemisikan CH4, sedangkan pengelolaan limbah
ternak menghasilkan emisi CH4 dan N2O. Emisi N2O dari lahan pertanian bersumber
dari pupuk N, pengelolaan sisa tanaman, bahan organik, dan konversi lahan yang
menyebabkan mineralisasi bahan organik tanah. Emisi CO2 bersumber dari pengapuran
dan pemupukan urea. Emisi non-CO2 dihasilkan dari pembakaran sisa tanaman seperti
jerami (padi, jagung, tebu) dan dari pembakaran yang dilakukan pada saat konversi lahan.
Sawah irigasi mengemisi CH4 akibat proses an-aerobik yang terjadi pada proses
dekomposisi bahan organik pada tanah sawah yang tergenang dan dilepaskan ke atmosfer
melalui tanaman. Volume gas CH4 dari lahan sawah dipengaruhi oleh masa tanam, jenis
irigasi, pupuk organik dan an-organik, jenis tanah, suhu, dan varietas.
Gambar 3.1.
Proses Pembentukan Dan Pembuangan GRK Dalam Ekosistem Yang Dikelola.
Laporan Akhir
BAB III - 3
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Tabel 3.1. Luas Panen dan Rata-rata Produksi Tanaman Padi Sawah
per Kecamatan Di Kabupaten Badung
Rata-rata
Kecamatan Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)
Produksi (Kw/Ha)
Kuta Selatan
Kuta 62 265 42.80
Kuta Utara 3459 23258 67.23
Mengwi 8941 56411 63.09
Abiansemal 5339 32854 61.54
Petang 2153 11450 53.18
Jumlah 19954 124328 62.26
Sumber : BPS Kabupten Badung dan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung
Gambar 3.2
Lahan Sawah menurut Kecamatan di Kabupaten Badung Tahun 2012
Pupuk urea dan NPK untuk intensifikasi padi di lahan sawah tahun 2012 masing-
masing mencapai 45.074 ton/tahun sedangkan pemakaian pupuk SP.36 mencapai 22.537
ton/tahun, pemakaian terkecil adalah pupuk jenis ZA yang mencapai 11.269 ton/tahun.
Dari keempat jenis pupuk tersebut, petani di Kabupaten Badung telah mulai beralih
menggunakan pupuk organik, dimana hal ini dibuktikan dengan besarnya pemakaian
pupuk organik yang mencapai 67.611 ton/tahun. Adapun detail penggunaan pupuk sampai
akhir tahun 2012 di Kabupaten Badung berdasarkan jenis tanamannya dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 3.2. Penggunaa Pupuk untuk Tanaman Padi dan Palawija
Laporan Akhir
BAB III - 4
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Sedangkan untuk populasi ternak jenis ungags di dominasi oleh jenis ayam dan
itik, adapun populasi sampai akhir tahun 2012 adalah sebagai berikut :
Laporan Akhir
BAB III - 5
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Permasalahan utama yang terjadi di Pulau Bali pada umumnya dan Kabupaten
Badung khususnya yang berdampak pada timbulnya emisi GRK secara garis besar
berkaitan dengan 3 hal, yaitu penataan ruang dan lingkungan hidup, pemanfaatan sumber
daya hutan dan perlindungan sumber daya hayati. Dalam hal penerapan tata ruang di
Kabupaten Badung sampai saat ini menunjukkan adanya indikasi berbagai pelanggaran
dalam pemanfaatan ruang. Pelaksanaan pembangunan di beberapa wilayah atau kawasan
banyak yang dilakukan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah rencana tata ruang, belum
mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta belum
memperhatikan kerentanan suatu wilayah terhadap kemungkinan terjadinya bencana
alam.
Beberapa penyebab terjadinya pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang antara
lain karena rencana tata ruang wilayah belum sepenuhnya dipakai sebagai pedoman
dalam menyusun kebijakan dan rencana program/kegiatan pembangunan daerah serta
pelaksanaan investasi, disamping masih lemahnya penegakan hukum terhadap kasus-
kasus pelanggaran tata ruang.
Kawasan Hutan yang terdapat di
Kabupaten Badung, yaitu kawasan hutan Sangeh
dengan luas 13,97 ha, hutan Mangrove Prapat
Benoa seluas 627 ha dan hutan lindung Pelaga
seluas 1.126,90 ha. Dengan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor: 87/Kpts-II/1993 tanggal 16
Pebruari 1993, status Cagar Alam Hutan Sangeh
diubah menjadi Taman Wisata Alam Sangeh
dengan luas 13, 97 Ha. Tipe ekosistem di kawasan hutan Sangeh termasuk tipe hutan
dataran rendah, yang didominasi oleh jenis pohon Pala (Dipterocarpus trinervis) alam,
suatu tipe ekosistem hutan Diterocarpus trinervis alam yang menempati luasan yang
cukup besar, yang masih tersisa di Bali.
Laporan Akhir
BAB III - 6
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Laporan Akhir
BAB III - 7
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
buyuk/nipah (Nypa fruticans), dan sentigi pasir (Pempis acidula) berlimpah pada
sumstrat berpasir; serta jenis assosiasi di antaranya : Nyamplung (Calophyllum
inophyllum), Tangi (Pongamia pinnata), Biduri (Calotropis gigantea), Ketapang
(Terminalia catappa), dan waru lot (Thespesia populnea yang dijumpai secara sporadis di
kawasan tersebut.
Sebagai ilustrasi kondisi tegakan hutan mangrove di Kabupaten Badung diambil
dari hasil analisis komunitas mangrove di wilayah Pantai Barat Bualu- Tanjung Benoa
seperti disajikan pada Tabel Kumpulan data LH.
1) Dominansi Jenis
Hasil analisis vegetasi mangrove di wilayah studi didapatkan gambaran dominansi
jenis pada kelompok pohon didominansi oleh jenis Prapat (Sonneratia alba), yang
ditunjukkan oleh nilai dominansi relatif sebesar 100 % dan INP sebesar 300 %
untuk tingkat pohon. Sedangkan pada tingkat tiang ditempati jenis bakau merah
(Rhizophora apiculata), Bakau kurap (Rhizophora stylosa) dan Lindur (Bruguiera
gumnorrhiza). Sedangkan untuk tingkat pancang dan anakan didominansi oleh jenis
Bakau (Rhizophora apiculata dan R. stylosa), Lindur (Bruguiera gumnorrhiza), dan
(dengan nilai INP sebesar 300 %.
2) Keanekaragaman Jenis
Keragaman jenis vegetasi hutan mangrove di wilayah studi tergolong rendah untuk
semua tingkat pertumbuhan mangrove. Untuk tingkat pohon terjadi dominansi
mutlat (100 %) oleh jenis Prapat (Sonneratia alba). Pada tingkat tiang, pancang dan
keragaman jenis sangat kecil yaitu antara 0,00 – 1,087.
3) Penyebaran Jenis
Pengamatan di plot I dan II menunjukan jenis Prapat (Sonneratia alba) memiliki
nilai frekuensi relatif tertinggi pada tingkat pertumbuhan pohon (100 %) dan tingkat
tiang merata di antara tiga jenis (31,24 – 34,33 %). Sedangkan pada tingkat pancang
dan anakan ditemukan tiga jenis yaitu
Bakau (Rhizophora apiculata dan R. stylosa) dan Aegiceras corniculatum yang
penyebarannya merata.
Berdasarkan evaluasi kualitatif
kondisi hutan mangrove di Kabupaten
Badung dalam tahun 2007-2008 berjalan,
tidak banyak mengalami perubahan; baik
yang bersifat positif maupun yang negatif.
Laporan Akhir
BAB III - 8
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Laporan Akhir
BAB III - 9
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Laporan Akhir
BAB III - 10
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Lahan kritis di luar kawasan hutan penyebarannya dibedakan pada dua lokasi,
yaitu pada kawasan lindung di luar kawasan hutan dan pada kawasan budidaya pertanian.
Lahan kritis pada kawasan lindung di luar kawasan hutan terdapat pada 2 kecamatan. Di
Kecamatan Petang seluas 141 ha (agak kritis) dan di Kecamatan Abiansemal 136 ha (agak
kritis). Sedangkan lahan kritis pada kawasan budidaya tersebar pada 3 kecamatan, yaitu
di Kecamatan Petang seluas 7.846 ha (2.091 ha agak kritis, 5.755 ha potensial kritis). Di
kecamatan Abiansemal terdapat 1.062 ha (potensial kritis), sedangkan di Kecamatan Kuta
Selatan seluas 8.020 ha (2.211 ha kritis, 4.056 ha agak kritis dan 1.483 ha potensial kritis.
Lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai pengatur media
pengatur tata air, unsur produksi pertanian, maupun unsur perlindungan alam dan
lingkungannya. Lahan kritis merupakan suatu lahan yang kondisi tanahnya telah
mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia atau biologi yang akhirnya
membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan
sosial ekonomi di sekitar daerah pengaruhnya.
Tabel 3.5. Luas Lahan Kritis
No. Kecamatan/Kabupaten/Kota Luas (Ha)
1 Kecamatan Kuta Selatan 8.020
2 Kecamatan Kuta 0
3 Kecamatan Kuta Utara 0
4 Kecamatan Mengwi 0
5 Kecamatan Abiansemal 1.198
6 Kecamatan Petang 9.397
Total 18.610
Sumber : Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung 2012
Sektor energi merupakan salah satu sumber emisi yang berkontribusi terhadap
pemanasan global. Ekstraksi dan pembakaran minyak bumi disebut sebagai penyebab
utama terjadinya pemanasan global. Sebagai salah satu penghasil emisi terbesar di dunia,
Indonesia menempatkan sektor energi sebagai sumber emisi gas rumah kaca (GRK)
terbesar kedua setelah sektor berbasis lahan (pertanian, kehutanan dan lahan gambut).
Emisi dihasilkan dari pembakaran minyak bumi. Kilang minyak dan pembangkit listrik
memroses minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan energi. Listrik dan minyak bumi
yang telah diproses selanjutnya akan digunakan oleh sektor transportasi, industri, rumah
tangga dan jasa. Sektor transportasi merupakan pengguna minyak bumi yang telah
Laporan Akhir
BAB III - 11
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
diproses sedangkan sektor industri, rumah tangga dan jasa mengonsumsi baik listrik
maupun minyak bumi yang telah diproses.
Pemanfaatan energi di Kabupaten Badung digunakan untuk berbagai aktivitas
yang secara garis besar terbagi menjadi konsumsi energi untuk rumah tangga,
transportasi, industri dan lainnya. Kebutuhan listrik di Kabupaten Badung mengalami
pertumbuhan rata-rata 18.83 % dalam kurun watu tahun 2007 - 2011 dimana penjualan
tertinggi adalah pada akhir tahun (Bulan Desember) yang disebabkan oleh banyaknya
wisatawan yang dating ke Bali khususnya ke Kuta untuk merayakan akhir tahun. Adapun
detail jumlah penjualan listrik perbulan oleh PT. PLN untuk tahun 2011 dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 3.6. Jumlah Kapasitas dan Pemakaian Tenaga Listrik PT. PLN (Persero)
Rayon Kuta dan Mengwi
Laporan Akhir
BAB III - 12
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Tabel 3.7. Jumlah Pelanggan Pemakai Listrik pada PT. PLN (Persero)
Rayon Kuta dan Mengwi
Laporan Akhir
BAB III - 13
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
industri IKAHH yang terdaftar sebanyak 47 unit usaha dan jumlah tenaga kerja yang
terserap 343 orang, besarnya investasi yang dilakukan Rp. 3.753.889.000 serta kapasitas
produksi sebesar Rp. 41.072.938.000, sedangkan industri ILMEA yang terdaftar sebanyak
7 unit usaha dengan jumlah kerja yang terserap 123 orang, besarnya investasi yang
dilakukan Rp. 945. 853.000 dan kapasitas produksi sebesar Rp. 4.167.032.000.
Laporan Akhir
BAB III - 14
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
barang dari logam, dan industri galian mengingat usaha inudustri ini juga menggunakan
senyawa-senyawa tertentu yang limbahnya mempunyai kandungan logam-logam berat.
Jenis industri lainnya yang berpotensi menimbulkan limbah yang berbahaya bagi
lingkungan yaitu industri industri tekstil, industri kulit dan barang dari kulit, industri
barang dari logam, industri minuman, industri galian dan beberapa industri pengolahan
makanan lainnya.
Beban pencemaran air limbah berupa beban BOD, COD, TSS dan parameter
lainnya belum dapat dihitung besarnya karena belum tersedia data mengenai volume
limbah yang dihasilkan oleh masing-maing industri dan nilai BOD, COD, TSS dan
parameter lainnya pada air limbah menurut jenis industri tersebut. Hal ini perlu menjadi
perhatian dan dapat ditindaklanjuti dalam upaya pengendalian pencemaran lingkungan
dari sektor industri.
Laporan Akhir
BAB III - 15
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Laporan Akhir
BAB III - 16
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Tabel 3.10. Jumlah Kendaraan Bermotor menurut Jenis Kendaraan dan Bahan bakar
yang Digunakan di Kabupaten Badung Tahun 2012
Laporan Akhir
BAB III - 17
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Jumlah Kendaraan
No. Jenis Kendaraan
Premium Solar Jumlah
1 Barang 7.178 756 7.933
2 Penumpang pribadi 45.493 - 45.493
3 Penumpang umum 4.743 464 5.207
4 Bus besar pribadi - 43 43
5 Bus besar umum - 282 282
6 Bus kecil pribadi - 24 24
7 Bus kecil umum - 328 328
8 Truk besar - 2.433 2.433
9 Truk kecil - 867 867
10 Roda tiga - - -
11 Roda dua 342.373 - 342.373
Sumber : Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Badung 2012
Laporan Akhir
BAB III - 18
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Laporan Akhir
BAB III - 19
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Selain jaringan jalan, sistem transportasi darat juga didukung oleh keberadaan
terminal. Terminal adalah titik simpul dari prasarana transportasi jalan untuk keperluan
memuat dan menurunkan orang dan atau barang serta mengatur keberangkatan dan
kedatangan kendaraan umum. Sebagai tempat terputusnya dan awal suatu pergerakan
penumpang dan kendaraan, daya dukung terminal dicerminkan dari karakteristik
terminal itu sendiri, yaitu dari titik lokasi, luas dan kapasitas, serta tingkat pertumbuhan
kedatangan kendaraan dan penumpang seperti disajikan pada Tabel 3.13.
Laporan Akhir
BAB III - 20
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Kabupaten Badung tidak memiliki pelabuhan laut, dan danau. Perairan pantai di
Kabupaten Badung secara oseanografi tidak mendukung dibangunnya pelabuhan karena
umumnya memiliki gelombang yang tinggi. Sementara itu, Kabupaten Badung tidak
memiliki danau.
Jenis Penerbangan
Bulan Domestik Internasional
Datang Berangkat Datang Berangkat
Januari 2591 2623 1608 1611
Februari 2228 2237 1453 1457
Maret 2458 2483 1499 1501
April 2544 2544 1599 1609
Mei 2704 2705 1646 1652
Juni 2764 2776 1606 1611
Juli 2889 2896 1771 1763
Agustus 2610 2608 1720 1928
September 2779 2784 1674 3348
Oktober 2827 2838 1711 1721
November 2766 2759 1686 1682
Desember 2928 2921 1767 1760
2011 32088 32174 19740 21443
2010 24863 24934 17606 17603
2009 22712 22727 15665 16785
2008 22361 22370 11915 11888
2007 21152 21161 9491 9608
Sumber : PT (Persero) Angkasa Pura I Kantor Cabang Bandar Udara Ngurah Rai
Laporan Akhir
BAB III - 21
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Selain data bayaknya pesawat dating yang dating dan berangkat, data lebih detail
dapat disajikan dan dirinci berdasarkan lalu lintas penumpang dan barang seperti yang
tersaji pada tabel berikut :
Domestik Internasional
Bulan Transi
Datang Berangkat Transit Datang Berangkat t
Januari 241418 266312 7926 226831 250698 3735
Februari 228452 222564 8279 215312 216479 6644
Maret 232021 229500 6713 218465 220898 3195
April 244608 242178 7269 241684 231727 2714
Mei 262609 261806 7923 237268 247117 2454
Juni 298581 280570 9164 269969 263129 4083
Juli 312529 322004 9837 304275 291237 3471
Agustus 255878 241207 8427 276359 302213 3351
September 283522 299221 8503 272539 263715 3585
Oktober 285235 287050 9162 268770 289824 2617
November 291316 288037 8165 248169 253909 2779
Desember 317942 300026 9076 274798 248499 4532
2011 3254111 3240475 100444 3054439 3079445 43160
2010 2668245 2951874 64129 2823940 2838113 53826
2009 2300136 2344616 87599 2473648 2507031 41398
2008 2079815 2036432 89331 2100290 2091381 33726
2007 1956394 1938197 58130 1803112 1797482 26643
Sumber : PT (Persero) Angkasa Pura I Kantor Cabang Bandar Udara Ngurah Rai
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri
maupun domestik (rumah tangga). Dimana masyarakat bermukim, disanalah berbagai
jenis limbah akan dihasilkan. Ada sampah, ada air kakus (black water), dan ada air
buangan dari berbagai aktivitas domestik lainnya (grey water).
Laporan Akhir
BAB III - 22
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Limbah padat lebih dikenal sebagai sampah, yang seringkali tidak dikehendaki
kehadirannya karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah
ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi
dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan
terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah.
Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan
karakteristik limbah.
3.6.1. Sampah
Sampah adalah benda padat yang timbul dari kegiatan manusia yang dibuang
karena tidak dipergunakan lagi oleh pemiliknya. Munculnya permasalahan sampah
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi,
kesejahteraan penduduk, pola konsumsi masyarakat dan perilaku penduduk, aktivitas
fungsi kota, kepadatan penduduk dan bangunan serta kompleksitas problem transportasi.
Faktor-faktor tersebut disamping mempengaruhi jumlah timbulan sampah juga
berpengaruh terhadap komposisi sampah.
Berdasarkan sumbernya, sampah dapat dibedakan atas sampah domestik (rumah
tangga), sampah institusional (sekolah, kantor, dll), sampah komersial (pasar, toko, dll),
sampah industri, sampah aktivitas perkotaan (penyapuan jalan, lapangan, dll), sampah
rumah sakit, sampah pertanian dan peternakan, sampah konstruksi dan lain sebagainya.
Sedangkan komposisi sampah secara umum meliputi sampah organik, kertas, logam,
kaca, tekstil, plastic/karet dan lain-lain.
Penanganan sampah khususnya di kota-kota besar di Indonesia merupakan salah
satu permasalahan perkotaan yang sampai saat ini merupakan tantangan bagi pengelola
kota. Pertambahan penduduk dan peningkatan aktivitas yang demikian pesat di kota-kota
besar, telah mengakibatkan meningkatnya jumlah sampah disertai permasalahannya.
Diprakirakan paling banyak hanya sekitar 60% - 70 % yang dapat terangkut ke Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) oleh institusi yang bertanggung jawab atas masalah sampah
dan kebersihan, seperti Dinas Kebersihan. Bagian sampah yang tidak terangkut tersebut
ditangani oleh masyarakat secara swadaya, atau tercecer dan secara sistematis terbuang
ke mana saja.
Tambah banyak sampah yang dapat diangkut ke TPA bukan pula jaminan bahwa
kota akan menjadi makin bersih. Kualitas kebersihan suatu kota, lebih tergantung pada
peran serta masyarakatnya untuk menjaga kebersihan kota tersebut. Kebersihan suatu
kota biasanya tercermin dari penanganan sampah di tempat-tempat umum seperti di pasar
Laporan Akhir
BAB III - 23
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
dan sebagainya. Oleh karenanya, pengertian masyarakat bukan hanya terbatas pada
penduduk di permukiman-permukiman, tetapi seluruh penghasil sampah, seperti
pedagang di pasar, pedagang kaki lima, pejalan kaki, pengusaha hotel dan restoran,
pengendara kendaraan, atau karyawan/pegawai di kantor-kantor pemerintah atau swasta,
dan sebagainya.
Aktivitas utama pemusnahan sampah di TPA adalah dengan landfilling. Beragam
tingkat teknologi landfilling, diantaranya yang paling sering disebut adalah sanitary
landfill yang sebetulnya di negara industri dianggap paling sederhana. Dapat dipastikan
bahwa yang digunakan di Indonesia adalah bukan landfilling yang baik, karena hampir
seluruh TPA di kota-kota di Indonesia hanya menerapkan apa yang dikenal sebagai open-
dumping, yang sebetulnya tidak layak disebut sebagai sebuah cara yang sistematis, dan
sama sekali sulit pula disebut sebagai sebuah bentuk teknologi penanganan sampah.
Permasalahan sampah tidak hanya terkait dengan semakin meningkatnya
timbulan sampah tetapi juga sangat terkait dengan kesadaran dan partisipasi masyarakat
dalam mengelola sampah dan kemampuan Pemerintah Daerah dalam memfasilitasi
pengelolaan sampah, seperti menyediakan sarana pengelolaan sampah untuk mengurangi
timbulan sampah, banyaknya volume produksi sampah yang sudah dan belum ditangani
dapat dilihat pada Tabel 3.16.
Tabel 3.16.
Volume produksi sampah yang sudah dan belum ditangani
di Kabupaten Badung
No Uraian m3/hari
1 Produksi Sampah di Kabupaten Badung 1.378
a. Kecamatan Kuta Selatan 275
b. Kecamatan Kuta 296
c. Kecamatan Kuta Utara 241
d. Kecamatan Mengwi 286
e. Kecamatan Abiansemal 211
f. Kecamatan Petang 69
2. Volume Sampah yang Dapat Ditangani 994
a. Kecamatan Kuta Selatan, Kuta, dan Kuta Utara 728
b. Kecamatan Mengwi 154
c. Kecamatan Abiansemal dan Petang 26
d. Sampah yang di musnahkan dengan Incenerator 72
e. Sampah Trass Rack 14
3. Volume Sampah yang Belum Tertangani dan 384
Dibuang Ke Pekarangan Masyarakat
Laporan Akhir
BAB III - 24
Inventarisasi dan Monitoring Sumber Pencemar Gas Rumah Kaca (GRK) di
Kabupaten Badung 2013
Laporan Akhir
BAB III - 25