Anda di halaman 1dari 38

MODUL INTI 4.

RENCANA INTERVENSI DAN MONITORING RESPON GIZI

I. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membahas tentang rencana intervensi
dan monitoring respons gizi.
II. Tujuan Pembelajaran
A. Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini peserta mampu
membuat rencana intervensi dan monitoring respon gizi
B. Indikator Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu:

1. Membuat rencana respon gizi


2. Melakukan Monitoring Respon Gizi

III. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok


A. Pokok Bahasan 1: Rencana Respon gizi
1. Pemberian makan bayi dan anak
2. Pencegahan dan Penanganan Gizi Kurang dan Gizi Buruk
3. Suplementasi gizi
4. Dukungan gizi pada kelompok rentan lainnya
5. Komunikasi Risiko dan Pelibatan masyarakat

B. Pokok Bahasan 2: Monitoring Respon Gizi

1. Indikator monitoring Pemberian makan bayi dan anak


2. Indikator monitoring Pencegahan dan Penanganan Gizi
Kurang dan Gizi Buruk
3. Indikator monitoring Suplementasi gizi
4. Indikator monitoring Dukungan gizi pada kelompok
rentan lainnya
5. Indikator monitoring Komunikasi Risiko dan Pelibatan
masyarakat

IV. Metode
Metode yang digunakan pada materi ini adalah:
1. Ceramah interaktif
2. Curah pendapat
3. Diskusi Kelompok (IHB 1)
4. Simulasi (IHB 1&2)

V. Media dan Alat Bantu


Media yang digunakan pada materi ini adalah:
1. LCD
2. Laptop
3. Layar
4. Flip Chart
5. ATK
6. Metaplan
7. Bahan tayang/video
8. Modul pelatihan
9. Panduan diskusi kelompok
10. Panduan simulasi

VI. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran


A. Langkah 1: Pengkondisian
Langkah kegiatan
a. Fasilitator
b. Fasilitator
c. Fasilitator

B. Langkah 2: Membahas Pokok Bahasan 1 Rencana Respon


Gizi
1. Sub pokok bahasan 1: Pemberian makan bayi dan anak

Langkah kegiatan
a. Fasilitator
b. Fasilitator
c. Fasilitator
2. Sub Pokok bahasan 2: Pencegahan dan penanganan
Gizi Kurang dan Gizi Buruk
Langkah kegiatan
a. Fasilitator
b. Fasilitator
c. Fasilitator
3. Sub Pokok bahasan 3: Suplementasi Gizi
Langkah kegiatan
a. Fasilitator
b. Fasilitator
c. Fasilitator

4. Sub Pokok bahasan 4: Dukungan Gizi pada kelompok


rentan lainnya
Langkah kegiatan
a. Fasilitator
b. Fasilitator
c. Fasilitator

5. Sub Pokok bahasan 5: Komunikasi Risiko dan


pelibatan masyarakat
Langkah kegiatan
a. Fasilitator
b. Fasilitator
c. Fasilitator

C. Langkah 3: Membahas Pokok Bahasan 2 Monitoring Respon


Gizi
1. Sub pokok bahasan 1:Indikator monitoring Pemberian
makan bayi dan anak
Langkah kegiatan
a. Fasilitator
b. Fasilitator
c. Fasilitator
2. Sub Pokok bahasan 2: Indikator monitoring
Pencegahan dan penanganan Gizi Kurang dan Gizi
Buruk
Langkah kegiatan
a. Fasilitator
b. Fasilitator
c. Fasilitator
3. Sub Pokok bahasan 3: Indikator monitoring
Suplementasi Gizi
Langkah kegiatan
a. Fasilitator
b. Fasilitator
c. Fasilitator

4. Sub Pokok bahasan 4: Indikator monitoring Dukungan


Gizi pada kelompok rentan lainnya
Langkah kegiatan
a. Fasilitator
b. Fasilitator
c. Fasilitator

5. Sub Pokok bahasan 5: Indikator monitoring


Komunikasi Risiko dan pelibatan masyarakat
Langkah kegiatan
a. Fasilitator
b. Fasilitator
c. Fasilitator
D. Langkah 4: Penutup
Langkah kegiatan
a. Fasilitator
b. Fasilitator
c. Fasilitator

VII. Uraian Materi


A. Pokok Bahasan 1: Rencana respon gizi
1. Pemberian makan bayi dan anak

Pada saat bencana, standar emas PMBA, yang dimulai,


dari Inisiasi Menyusu Dini dalam satu jam pertama
setelah kelahiran, Pemberian ASI Eksklusif selama enam
bulan pertama, dan pemberian Makanan Pendamping ASI
berkualitas dimulai usia 6 bulan, dan terus memberikan
ASI hingga dua tahun atau lebih, sangat penting untuk
melindungi gizi dan kesehatan ibu, bayi dan anak.
Tujuan dari dukungan kepada kelompok tersebut di atas
adalah untuk memberikan perlindungan dari masalah
kekurangan gizi dan berbagai penyakit lain yang mungkin
timbul sebagai dampak bencana. Alur intervensi PMBA
pada masa tanggap darurat dapat dilihat pada gambar
berikut ini.

a. Mekanisme Pengelolaan Donasi Produk Pengganti ASI,


Botol Dan Dot Bayi Yang Tidak Terkontrol

Penggunaan produk-produk pengganti ASI, botol dan


dot pada situasi bencana dapat meningkatkan risiko
kesakitan dan kematian pada bayi dan anak karena
terbatasnya air bersih serta kondisi lingkungan
yang kotor.

Segera setelah terjadinya bencana, penanggung


jawab program gizi perlu memastikan agar kebijakan
terkait donasi produk pengganti ASI, botol dan dot
bayi untuk di sebarkan kepada Instansi terkait
diantaranya Dinkes, Puskesmas, Klaster
Perlindungan dan Pengungsian (Kemensos/Dinsos),
Klaster Logistik (BPBD), mitra sub klaster gizi
termasuk LSM dan organisasi profesi.

Contoh surat edaran kebijakan donasi susu formula


pada situasi bencana dapat dilihat pada lampiran

Untuk mencegah donasi produk pengganti ASI, botol,


dan dot bayi yang tidak terkontrol, mekanisme
pengelolaan donasi tersebut perlu disepakati
bersama dengan pihak yang terkait termasuk
pengelolaan donasi di tingkat masyarakat, donasi
yang diberikan oleh pemerintah, donasi yang
diberikan oleh publik

Koordinator dan mitra sub klaster gizi memastikan


adanya sosialisasi dan kerjasama dengan instansi/
organisasi sebagai berikut:

1) BPBD & Dinsos untuk bersama-sama melakukan


pengawasan donasi pada alur pasok bantuan.
2) Dinsos, sebagai koordinator perlindungan dan
pengungsian, untuk bersama-sama melakukan
pengawasan donasi di masyarakat/pengungsian.
3) Tagana, sebagai pelaksana dapur umum, untuk
bersama-sama melakukan promosi menyusui dan
pengelolaan donasi melalui dapur umum.

Mekanisme pengelolaan dapat disosialisasikan


melalui berbagai saluran informasi antara lain
pertemuan- pertemuan koordinasi, media masa, serta
penyuluhan di masyarakat.

Sub klaster gizi perlu memastikan agar donasi dan


pemanfaatan produk pengganti ASI termasuk botol
dan dot sesuai indikasi medis diawasi secara ketat
oleh petugas kesehatan, Puskesmas dan Dinas
Kesehatan setempat.
Langkah-langkah pemantauan donasi terdiri dari:

1) Pembentukan gugus tugas pengelolaan donasi


produk pengganti ASI. Gugus tugas yang
berfungsi untuk menangani dan memantau donasi
produk penggati ASI, botol dan dot harus
segera dibentuk di daerah
(provinsi/kabupaten), paling lambat satu
minggu setelah bencana. Gugus tugas
setidaknya terdiri dari sekitar 5-7 anggota
termasuk di antaranya Pemerintah Daerah
(Sekretaris Daerah, Bappeda, Dinas Kesehatan
Provinsi, Dinas Sosial, BPOM dan BPBD), Mitra
Pembangunan dan Lembaga Kemanusiaan (Donor,
PBB, LSM, dsb), Organisasi Profesi (Persagi,
IBI, IDI), dan Akademisi/Perguruan Tinggi.
2) Pembuatan Nota Kesepakatan. Pemerintah Daerah
dan Sub-Klaster gizi yang diwakili oleh Gugus
Tugas bersepakat dan memutuskan perlunya
sebuah tindakan sehubungan dengan adanya
donasi produk pengganti ASI. Kesepakatan
antara lain berisi tindakan untuk
mengumpulkan dan menarik donasi berupa produk
pengganti ASI (penarikan dapat dilakukan
dengan penggunaan produk pengganti ASI dalam
campuran pembuatan produk makanan atau
pemusnahan produk itu sendiri).
3) Rencana Kerja Gugus Tugas. Dalam membuat
rencana kerja, perlu diperhatikan bahwa
penanganan donasi membutuhkan (i) Pendanaan
(ii) keahlian (iii) sumber daya manusia (iv)
waktu (v) peralatan (vi) materi/pedoman (vii)
menentukan opsi tempat pembuangan yang
tersedia.

4) Pembentukan Tim Lapangan. Tim Lapangan


terdiri dari berbagai instansi yang ditunjuk
untuk melakukan pengawasan, mengumpulkan
donasi dan menyimpannya sebelum digunakan
untuk keperluan lain atau dimusnahkan. Tim
Lapangan ini dipimpin Dinas Kesehatan
setempat yang akan menjadi narahubung dan
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa
terdapat pencatatan tentang asal donasi,
jenis, jumlah, dll. Laporan mingguan perlu
dibuat dan disampaikan kepada Gugus Tugas.
5) Pembentukan tim pengawas harian. Tim pengawas
harian adalah tim yang berasal dari petugas/
relawan, tokoh dan masyarakat yang bertugas
atau berada di posko pengungsian. Tim ini
dipimpin oleh koordinator posko yang akan
mengawasi semua bentuk bantuan susu atau
hasil olahannya dan melaporkan ke Tim
Lapangan setiap donasi tersebut yang masuk.
6) Penyortiran. Donasi kemungkinan terdiri dari
berbagai jenis produk pengganti ASI, dengan
beragam tanggal kedaluwarsa. Tim Lapangan
bertugas memisahkan berbagai bantuan produk
pengganti ASI yang telah dikumpulkan, dan
memilah menjadi yang ‘Sesuai’ dan ’Tidak
Sesuai’. Bila ’Sesuai’ berarti bahwa donasi
dapat digunakan sesuai perencanaan dan
kesepakatan awal. Sedangkan untuk donasi yang
‘Tidak Sesuai’ adalah produk dengan tanggal
kedaluwarsa kurang dari 6 bulan ke depan,
produk telah terbuka, atau produk dengan
label tidak menggunakan bahasa Indonesia dan
tidak dimengerti.
7) Penggunaan Kembali/Pemusnahan. Strategi untuk
menggunakan kembali donasi berupa susu
formula dan produk susu yang tidak diinginkan
termasuk: ͸ Mengembalikan ke pemberi
bantuan/donatur (dengan pihak donatur
menanggung biaya pengembalian)  Menggunakan
kembali produk pengganti ASI seperti susu: a)
Sebagai bahan campuran makanan untuk program
pemberian makanan tambahan di posyandu maupun
untuk Pemberian Makanan Tambahan untuk Anak
Sekolah (PMTAS). Produk dapat digunakan
sebagai bahan campuran makanan seperti bubur
kacang hijau, roti, pudding, biskuit dan kue.
b) Pencampuran susu untuk pembuatan makanan
tambahan bayi/anak di atas enam bulan harus
dilakukan di luar tempat pengungsian, jauh
dari lokasi distribusi logistik dan tidak
dilakukan di tingkat rumah tangga (per-
individu). Disalurkan untuk pemenuhan gizi
untuk kelompok lainnya misalnya untuk lansia
atau kelompok rentan lainnya sebagai pasien
rawat inap rumah sakit. Dapat pula digunakan
untuk pakan ternak (namun perlu pula
dikonsultasikan dengan organisasi terkait
kesehatan dan kesejahteraan hewan). Tidak
direkomendasikan untuk produk pengganti ASI
yang disumbangkan untuk dilabel ulang dengan
label generik, dikemas ulang dan
didistribusikan kepada bayi karena sulitnya
pengendalian distribusi tanpa adanya
pengawasan yang ketat.

8) Pemusnahan. Semua produk yang ‘Tidak Sesuai’


perlu dimusnahkan. Hal ini tergantung
kesepakatan awal oleh gugus tugas, tetapi
pemusnahan bahan makanan harus dilakukan
secara sensitif. Produk susu bisa dimusnahkan
dengan dibakar tetapi perlu dikeluarkan dari
kemasan karena akan ada pelepasan bahan kimia
hasil pembakaran. Produk yang telah dibuka
dari kemasannya bisa dibuang ke Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) tetapi perlu
dipastikan bahwa produk tersebut tidak
dikumpulkan dan digunakan ulang. Produk dalam
jumlah yang kecil bisa diencerkan dan disiram
(dibuang) ke saluran pembuangan air. Botol
dan dot tidak dapat didistribusikan sehingga
perlu dikembalikan ke pihak donatur (bila
memungkinkan), atau dihancurkan agar tidak
dapat digunakan lagi, misalnya dengan
melubangi botol, dan/atau memotong bagian
atas dot. Pemusnahan dengan cara pembakaran
tidak disarankan karena dapat melepaskan
bahan kimia yang berbahaya.

Memastikan bahwa donasi produk pengganti ASI yang


dikumpulkan tidak hilang dicuri selama penyortiran
atau diambil dari lokasi TPA (kaleng berisi susu
formula yang belum dibuka tidak boleh dibuang ke
lokasi TPA). Pemusnahan agar barang donasi tidak
digunakan lagi (imobilisasi) misalnya dengan
melubangi botol, atau membuat makanan tidak bisa
digunakan, adalah yang terbaik untuk dilakukan.
Dibutuhkan pengawasan ketat untuk memastikan bahwa
barang yang sudah dibuang tidak dapat digunakan
kembali. Mitra sub klaster gizi yang menemukan
pelanggaran donasi ASI, dot dan botol perlu
melaporkan pelanggaran kepada koordinator sub
klaster gizi. Contoh formulir pelaporan donasi
produk pengganti ASI, botol dan dot dapat dilihat
pada lampiran Koordinator sub klaster gizi atau
staf yang ditunjuk bertugas untuk melaporkan
segera berkala pelanggaran yang ditemukan kepada
Gugus Tugas Pengelolaan Donasi Produk Pengganti
ASI.

b. Penyelenggaraan Dapur Pemberian Makan Bayi dan


Anak (PMBA)

Dapur PMBA merupakan dapur umum yang


diselenggarakan di lokasi bencana yang berfungsi
sebagai berikut:

1) Penyediaan MPASI bagi anak usia 6-23 bulan.


2) Memberikan informasi terkait pemberian makan
bayi dan anak usia 0-23 bulan, termasuk
konseling menyusui.

Pada situasi bencana, ketersediaan MPASI dengan


aneka ragam jenis bahan pangan yang sesuai bagi
bayi dan anak usia 6-23 bulan menjadi sangat
terbatas. Penyelenggaraan Dapur PMBA bertujuan
untuk memastikan agar bayi dan anak, khususnya
yang berusia 6-23 bulan mendapatkan makanan dengan
tekstur dan kecukupan gizi yang sesuai dengan
usia.

Selain menyediakan makanan bayi dan anak,


penyelenggaraan dapur PMBA juga dapat dimanfaatkan
untuk memperluas jangkauan diseminasi informasi
tentang pemberian makan bayi dan anak yang tepat,
termasuk memberikan dukungan/konseling agar ibu
dapat terus menyusui di lokasi bencana.

Penyelenggaraan dapur PMBA pada situasi bencana


adalah bagian dari dapur umum. Logistik pangan dan
bahan bakar/gas dipasok oleh dapur umum yang
menjadi tanggung jawab Kemensos/Dinsos, dengan
terlebih dahulu berkoordinasi dengan Tagana.

Penanggung jawab gizi Dinkes


Provinsi/Kabupaten/Kota perlu berkoordinasi dengan
Dinas Sosial (Tagana), mitra sub klaster gizi,
serta institusi/lembaga yang berkecimpung dalam
dapur umum, untuk menyelenggarakan dapur PMBA di
titik-titik pengungsian.
Nilai kebutuhan gizi, bahan makanan dan standar
porsi makan anak usia 6 - 23 bulan serta contoh
menu dapur PMBA dapat dilihat pada lampiran 5.4.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam


penyelenggaraan dapur PMBA sebagai berikut:

1) Penyimpanan bahan makanan: suhu penyimpanan,


sarana penyimpanan dan cara penyimpanan.
2) Pengolahan bahan makanan: kebersihan tempat
pengolahan dan peralatan. Tempat pengolahan
makanan bayi dan anak perlu terpisah dengan
tempat pengolahan dapur umum.
3) Tenaga pengolah makanan: tenaga terlatih
untuk mengolah makanan bayi dan anak yang
didampingi oleh tenaga gizi/konselor PMBA.
4) Pendistribusian dan penyajian makanan yang
memenuhi prinsip keamanan pangan.
5) Tersedia alat pelindung diri (APD) petugas,
alat masak dan perlengkapannya, alat makan
dan alat distribusi makanan.
6) Memantau dan mengevaluasi cakupan penyediaan
makanan.

c. Dukungan Konseling Menyusui dan PMBA

Terbatasnya pengetahuan tentang pentingnya


menyusui, kondisi stres yang dialami oleh ibu
menyusui serta terbatasnya layanan kesehatan pada
situasi bencana merupakan faktor-faktor bayi dan
anak tidak mendapatkan ASI. Sesuai dengan
kebutuhan, penugasan konselor dilakukan segera
setelah kejadian bencana untuk memberikan dukungan
terhadap ibu menyusui dengan meningkatkan akses
konseling menyusui/PMBA.

Konseling juga bertujuan untuk memberikan


pengetahuan tentang makanan pendamping ASI yang
tepat bagi anak usia 6-23 bulan sehingga anak
tetap mendapatkan asupan gizi yang cukup pada
situasi bencana. Penugasan konselor perlu
dilakukan secara terkoordinir untuk menghindari
tumpang tindih dan meningkatkan akses/cakupan
konseling.

d. Pelaksanaan Orientasi/Pelatihan Konseling


Menyusui/ PMBA
Pelatihan dan orientasi konseling PMBA dan
menyusui bertujuan untuk memastikan ketersediaan
SDM terlatih dalam pelaksanaan konseling PMBA dan
menyusui bagi Ibu hamil dan Ibu menyusui di
wilayah terdampak.

Sasaran pelatihan konseling PMBA adalah tenaga


kesehatan dan non-kesehatan, termasuk kader
masyarakat.

Pelatihan dan orientasi juga bertujuan untuk


memastikan ketersediaan SDM dalam melanjutkan
kegiatan konseling khususnya pada masa
rehabilitasi dan rekonstruksi setelah penugasan
konselor yang berasal dari luar daerah berakhir.

e. Akses Terhadap Ruang Ramah Ibu dan Anak (RRIA)

Ruang Ramah Ibu dan anak adalah bangunan permanen


atau tenda khusus yang memenuhi syarat keamanan,
kesehatan dan kebersihan. RRIA bertujuan untuk
memberikan ruangan yang aman dan nyaman bagi ibu
dan anak untuk beraktivitas sehingga dapat
mengurangi stres yang disebabkan oleh bencana.
RRIA juga dapat digunakan oleh ibu untuk menyusui,
beristirahat, makan, serta mengikuti konseling
PMBA dan menyusui.

Penyediaan RRIA di lokasi bencana merupakan bagian


dari penanganan bencana dari klaster perlindungan
dan pengungsian yang dikoordinir oleh Dinsos.

Peran dari penanggung jawab gizi dan mitra pelaku


gizi adalah untuk memastikan agar RRIA tersedia di
pengungsian-pengungsian dan dapat diakses oleh ibu
hamil dan menyusui agar dapat melakukan praktik
PMBA dengan aman dan nyaman.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam


penyelenggaraan RRIA terkait pelayanan gizi antara
lain :

1) Pastikan lokasi RRIA terletak di lokasi yang


aman dan di daerah yang tenang jauh dari
kebisingan dan bau yang berlebihan, seperti
di dekat pasar, tempat pembuangan sampah dan
jalan utama.
2) Pastikan ukuran ruangan yang sesuai,
berdasarkan perkiraan jumlah ibu di area
tersebut. Jika area yang terkena dampak
situasi darurat besar, perkirakan jumlah
total lokasi yang dibutuhkan sehingga ibu dan
anak hanya perlu berjalan kaki seminimal
mungkin untuk mencapai lokasi RRIA.
3) Pastikan ruangan yang nyaman untuk menyusui,
memiliki ruang bersekat atau tenda individu
untuk menyusui. Sediakan alas atau kursi
untuk ibu yang sedang menyusui. Jika ibu
sedang duduk di alas lantai, sediakan bantal
atau barang lain agar ibu bisa
mengistirahatkan punggungnya agar menyusui
lebih nyaman. Bantal atau kain yang digulung
juga berguna untuk membantu ibu menggendong
bayi agar nyaman saat menyusui.
4) Pastikan para ibu memiliki akses yang mudah
ke air bersih dan makanan selama berada di
RRIA. Dalam keadaan di mana ibu mengalami
malnutrisi dan dehidrasi, pemberian makanan
tambahan bagi ibu menyusui di ruang tersebut
dapat diindikasikan sebagai layanan terpadu
melalui RRIA. Idealnya, jamban dan tempat
cuci tangan mudah dijangkau oleh tenda atau
bagian dari tenda itu sendiri.
5) Libatkan tenaga kesehatan, anggota masyarakat
atau orang lain yang dilatih dalam konseling
menyusui dan PMBA untuk mendukung ibu di
dalam RRIA.
6) Menggunakan RRIA untuk mengidentifikasi dan
merujuk ibu atau bayi dengan gizi buruk
dan/atau masalah PMBA untuk mendapatkan
bantuan segera.
7) Apabila pemberian makanan pengganti ASI
dilakukan di RRIA, pastikan dukungan
disediakan di area tenda yang terpisah dan
berbeda dari area tempat dukungan untuk
menyusui diberikan.
8) Berkoordinasi dengan program lainnya seperti
program dukungan pendidikan anak usai dini
dan dukungan psikososial agar kegiatan yang
dilakukan di RRIA dapat saling melengkapi
serta menyelaraskan jadwal pelaksanaan
kegiatan.

f. Pelaksanaan koordinasi PMBA


Koordinasi lintas sektor yang diperlukan dalam
mendukung kegiatan PMBA antara lain adalah:

1) Koordinasi terkait pemenuhan kebutuhan gizi


melalui dapur umum dengan Dinsos/Klaster
Penanganan Pengungsi,
2) Koordinasi untuk mendukung pengelolaan donasi
produk-produk pengganti ASI, botol dan dot,
serta makanan minuman tidak sehat yang tidak
terkontrol, melalui koordinasi dengan Klaster
Perlindungan dan Pengungsian, Klaster
Kesehatan, Klaster Logistik, Koordinator
Klaster penanggulangan bencana, kelompok
masyarakat dan pemerintah daerah; serta
3) Koordinasi untuk memastikan ketersediaan
Ruang Ramah Ibu dan Anak dengan Dinsos/
Klaster Penanganan Pengungsi.

Koordinasi lintas sektor perlu dilakukan


diberbagai tingkatan khususnya di tingkat
kabupaten/kota.

Pokja PMBA merupakan bagian dari sub klaster gizi


yang berfungsi sebagai wadah koordinasi di antara
organisasi yang memiliki intervensi PMBA serta
sektor/ klaster terkait.

Pokja PMBA hanya diaktifkan apabila diperlukan.


Pokja PMBA diaktifkan oleh penanggung jawab
program gizi Kemenkes/Dinkes atau sub klaster gizi
pada masing- masing tingkatan. Aktivasi Pokja PMBA
mencakup penunjukan koordinator, identifikasi
anggota Pokja serta pelaksanaan koordinasi rutin.

Contoh kerangka acuan Pokja PMBA dapat dilihat


pada lampiran.

2. Pencegahan dan Penanganan Gizi Kurang dan Gizi Buruk

Pada saat terjadi bencana, risiko kesakitan dan


kematian pada balita dengan gizi kurang meningkat
secara signifikan. Oleh karena itu, pencegahan dan
penanganan yang dilakukan secara cepat dan tepat akan
menyelamatkan jiwa, dan mencegah terjadinya penurunan
status gizi balita, khususnya balita dengan gizi buruk
atau gizi kurang.

Standar dan indikator kunci penanganan gizi buruk dan


gizi kurang berdasarkan piagam kemanusian (SPHERE
standard) adalah sebagai berikut:

Standar 1: Kasus gizi kurang ditangani:

a. Lebih dari 90 persen dari penduduk sasaran berada


dalam jangkauan/radius sekitar 1 hari perjalanan
(termasuk waktu untuk melakukan pengobatan) dari
lokasi program untuk memudahkan pemberian makanan
siap saji, dan jarak lokasi tidak lebih dari 1 jam
berjalan kaki untuk pemberian makanan tambahan.
b. Cakupan > 50 persen di daerah pedesaan, > 70
persen di daerah perkotaan, dan > 90 persen di
dalam lokasi pengungsian.

Standar 2: Kasus Gizi buruk ditangani:

a. Lebih dari 90 persen dari sasaran penduduk berada


dalam jangkauan tidak lebih dari 1 hari perjalanan
(termasuk waktu untuk melakukan pengobatan) dari
lokasi program.
b. Cakupan > 50 persen di daerah pedesaan, > 70
persen di daerah perkotaan, dan > 90 persen di
tempat pengungsian.

Alur pencegahan dan penanganan gizi kurang dan gizi


buruk dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
a. Mengidentifikasi Fasilitas Kesehatan Rujukan

Berdasarkan ketersediaan dan kapasitas layanan


kesehatan di wilayah bencana atau di wilayah
terdekat (dari hasil kajian), penanggung jawab
gizi mengidentifikasi fasilitas kesehatan
(TFC/Puskesmas rawat inap/Rumah sakit lapangan)
dengan logistik dan kapasitas yang memadai untuk
rujukan kasus gizi buruk yang ditemukan, serta
memastikan fasilitas kesehatan rujukan tersebut
memiliki Tim Asuhan Gizi.

Berdasarkan fasilitas kesehatan yang


diidentifikasi dan memenuhi kriteria, koordinator
sub klaster gizi menyepakati fasilitas dan membuat
alur proses rujukanbalita gizi kurang dan balita
gizi buruk.
b. Tatalaksana Gizi Kurang

Berdasarkan hasil penapisan, balita gizi kurang


ditangani mengacu pada Petunjuk Teknis Pemberian
Makanan Tambahan Berupa Biskuit Bagi Balita Kurus
dan Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK), Kemenkes
2019. Balita gizi kurang usia 6-59 bulan adalah
balita yang memiliki satu atau lebih tanda
berikut: i) BB/TB (BB/PB) berada di antara -3
sampai kurang dari -2 standar deviasi; ii) lingkar
lengan atas (LiLA) kurang dari 12,5 cm sampai 11,5
cm.

c. Tatalaksana Gizi Buruk Rawat Inap dan Rawat Jalan

Berdasarkan hasil penapisan, balita gizi buruk


ditangani mengacu pada Pedoman Pencegahan dan
Tatalaksana Gizi Buruk pada Balita, Kemenkes 2019
dan Buku Saku Pencegahan dan Tatalaksana Gizi
Buruk pada Balita bagi Tenaga Kesehatan, Kemenkes
2020.

Balita gizi buruk adalah balita usia 0-59 bulan


ditandai oleh satu atau lebih tanda berikut: i)
edema, minimal pada kedua punggung kaki; ii) BB/
PB atau BB/TB kurang dari - 3 standar deviasi;
iii) lingkar lengan atas (LiLA) < 11,5 cm.

Tatalaksana gizi buruk terdiri dari rawat jalan


dan rawat inap (Lihat Bagan 8). Khusus bayi gizi
buruk usia 0-6 bulan, harus dilakukan rawat inap
di fasilitas kesehatan.
d. Memastikan Ketersediaan Obat dan Perbekalan
Kesehatan Untuk Tatalaksana Gizi Kurang dan Gizi
Buruk

Berkoordinasi dengan tim logistik sub klaster gizi


untuk memastikan agar obat dan perbekalan
kesehatan yang diperlukan untuk mendukung
pelaksanaan kegiatan dapat tersedia.

e. Penugasan Tim Asuhan Gizi (TAG) Terlatih


Berdasarkan kebutuhan, penugasan TAG terlatih ke
lokasi bencana dilakukan untuk memastikan
ketersediaan SDM dalam menangani balita gizi
kurang dan gizi buruk yang ditemukan. Penugasan
TAG ke lokasi bencana perlu dilakukan secara
terkoordinir.

f. Pelacakan Aktif dan Deteksi Dini Kasus Kekurangan


Gizi pada Balita oleh Masyarakat

Pelibatan masyarakat dalam deteksi dini kasus


kekurangan gizi bertujuan untuk menemukan balita
gizi kurang atau buruk serta yang memiliki potensi
masalah gizi, melalui penapisan masal di lokasi
pengungsian dan daerah terdampak lainnya.
Pelibatan masyarakat untuk deteksi dini perlu
dilakukan segera setelah terjadinya bencana agar
bayi dan balita yang memiliki potensi kurang gizi
dan yang mengalami kurang gizi dapat dirujuk dan
ditangani segera.

g. Koordinasi Pencegahan dan Penanganan Gizi Kurang &


Gizi Buruk

Keluaran yang diharapkan dari koordinasi lintas


program dan lintas sektor terkait pencegahan dan
penanganan gizi kurang dan gizi buruk antara lain:

1) Terlaksananya kerjasama dengan sub klaster


pelayanan kesehatan untuk memastikan rujukan
dan penanganan balita gizi kurang dan gizi
buruk.
2) Terlaksananya Kerjasama dengan sub klaster
kesehatan lingkungan untuk memastikan
berjalannya kegiatan promosi kesehatan dan
tersedianya sarana dan prasarana air bersih
bagi kelompok sasaran.
3) Adanya pelibatan masyarakat untuk deteksi dini
dan pelacakan status gizi melalui penapisan
masal dan mencegah balita yang sama mengalami
gizi buruk kembali (re-lapse/kambuh) dengan
klaster perlindungan dan pengungsian
(Kemensos).
4) Tersedianya dukungan bahan makanan/dana untuk
pemenuhan gizi keluarga dengan balita gizi
buruk melalui program ketahanan pangan dengan
klaster ekonomi (Kementan).
5) Tersedianya alokasi dana pemerintah daerah,
termasuk dana desa, untuk pencegahan dan
penanganan gizi kurang dan gizi buruk.
6) Mitra sub klaster gizi telah menerima informasi
tentang adaptasi penanganan malnutrisi untuk
anak-anak dan perempuan penyandang disabilitas
(misalnya, panduan tentang makanan tambahan
yang sesuai untuk anak-anak dan perempuan
dengan kesulitan makan, pemberian makan
peralatan makan khusus, penggunaan alat bantu).

3. Suplementasi gizi

Pada situasi bencana, pemenuhan zat gizi mikro pada


anak balita, ibu hamil dan ibu nifas, serta balita
dengan penyakit infeksi tertentu, berperan penting
untuk melindungi gizi dan kesehatan ibu, bayi dan anak.
Tujuan dari dukungan kepada kelompok tersebut adalah
untuk memberikan perlindungan dari berbagai masalah
kekurangan zat gizi mikro yang mungkin timbul sebagai
dampak bencana.

Alur intervensi dan kegiatan kunci suplementasi gizi


pada situasi bencana dapat dilihat pada gambar berikut
ini.
a. Penyediaan Makanan Tambahan (MT) Ibu Hamil dan
Balita

Distribusi MT berupa makanan pabrikan dilakukan


sebagai salah satu upaya respon cepat untuk
menyediakan asupan gizi bagi Ibu hamil dan balita
usia 6-59 bulan. Hal tersebut dilakukan karena dalam
situasi bencana makanan sangat terbatas sementara
layanan dapur umum belum tersedia.

Estimasi kebutuhan MT dilakukan berdasarkan Petunjuk


Teknis Pemberian Makanan Tambahan Berupa Biskuit
Bagi Balita Kurus dan Ibu Hamil Kurang Energi Kronis
(KEK). Estimasi kebutuhan dapat dilakukan
berdasarkan data pra-bencana berdasarkan jumlah ibu
hamil dan balita 6-59 bulan di wilayah terdampak
ditambah dengan 10% cadangan dari estimasi
kebutuhan. Semakin besar dampak bencana, semakin
besar cadangan yang perlu disiapkan. Estimasi
kemudian diperbaharui setelah kajian dampak bencana
dan pendataan pengungsi tersedia.

Pada kondisi darurat, MT dapat diberikan kepada


seluruh populasi terdampak apabila stok tersedia.
Pemenuhan persediaan stok MT di wilayah rawan
bencana mulai dilakukan pada masa kesiapsiagaan
bencana untuk mempercepat mobilisasi dan distribusi
kepada kelompok rentan.

Apabila memungkinkan, penyediaan stok MT ke gudang-


gudang terdekat dapat dilakukan pada fase siaga
darurat untuk mempercepat distribusi ke masyarakat.
Permintaan tambahan stok MT dilakukan secara
berjenjang melalui Dinkes Kabupaten/Kota kepada
Dinkes Provinsi untuk diteruskan ke Kemenkes
berdasarkan ketersediaan stok dan penilaian estimasi
kebutuhan MT pada wilayah terdampak.

Distribusi MT Ibu Hamil dan Balita pada tiga hari


pertama kejadian bencana diberikan secara
menyeluruh, yaitu kepada seluruh balita 6-59 bulan
dan seluruh Ibu Hamil. Setelah itu, diharapkan
pemenuhan kebutuhan ibu hamil dan baduta dapat
dipenuhi dari olahan pangan lokal melalui dapur umum
dan dapur PMBA.

Distribusi MT Ibu Hamil dan Balita pada sasaran


prioritas dilakukan setelah dapur umum dan dapur
PMBA berjalan. Pemberian MT diberikan sesuai dengan
indikasi status gizi sasaran yang diperoleh melalui
penapisan: Pada Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (LiLA
< 23,5 cm) dan pada balita gizi kurang usia 6-59
bulan (LiLA antara11,5 cm - < 12,5 cm).

b. Suplementasi Vitamin A pada Bayi, Balita dan Ibu


Nifas

Sasaran pemberian vitamin A adalah bayi (6-11


bulan), balita (12-59 bulan) dan ibu nifas untuk
mencegah kekurangan vitamin A dan untuk meningkatkan
daya tahan tubuh bayi dan balita terhadap infeksi,
serta mencegah Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan
diare.
Bayi usia 6-11 bulan diberikan vitamin A dosis
100.000 IU (kapsul biru), dan anak usia 12-59 bulan
diberikan vitamin A dosis 200.000 IU (kapsul merah).
Bila kejadian bencana terjadi dalam waktu kurang
dari 30 hari setelah pemberian kapsul vitamin A
yaitu pada bulan kapsul vitamin A (Februari dan
Agustus) maka balita tidak perlu diberikan kapsul
vitamin A.

Ibu nifas (0-40 hari) diberikan 2 kapsul vitamin A


dosis 200.000 IU. Kapsul pertama diberikan pada hari
pertama setelah persalinan sedangkan kapsul
berikutnya diberikan pada hari berikutnya dengan
selang waktu minimal 24 jam.

c. Suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) Bagi Ibu


Hamil dan Remaja Putri

Sasaran pemberian TTD adalah seluruh ibu hamil dan


remaja putri untuk mencegah anemia dan meningkatkan
daya tahan tubuh terhadap infeksi. Ibu hamil perlu
diberikan 1 TTD setiap hari selama minimum 90 hari
(90 tablet) selama masa kehamilan sedangkan Remaja
putri perlu diberikan 1 TTD setiap minggu sepanjang
tahun (52 tablet). Pemberian TTD pada ibu hamil di
daerah endemis malaria perlu berkoordinasi dengan
penanggung jawab program Pencegahan Penanggulangan
Penyakit.

d. Koordinasi Suplementasi Gizi

Berkoordinasi dengan program Pelayanan Kesehatan


untuk memastikan agar suplementasi zinc untuk terapi
diare pada balita tanpa gizi buruk serta pemberian
obat cacing kepada sasaran.
4. Dukungan gizi pada kelompok rentan lainnya

Dukungan gizi bagi kelompok rentan yaitu ibu hamil, ibu


menyusui, lansia dan penyandang disabilitas dilakukan
dengan memastikan agar kebutuhan gizi kelompok rentan
tersebut dapat dipenuhi melalui dapur umum yang
dilakukan oleh Kemensos/Dinsos serta
instansi/organisasi lain yang memiliki intervensi dapur
umum pada situasi bencana.

Melibatkan anak penyandang disabilitas dalam upaya


kesiapsiagaan sangat penting untuk mengurangi risiko
dan membangun ketangguhan pada anak penyandang
disabilitas dan keluarganya dalam menghadapi bencana,
tetapi juga untuk membangun kapasitas, sumber daya dan
kemampuan respon dan pemulihan bencana yang inklusif.
Oleh karena itu, sangat penting untuk melibatkan anak-
anak dan remaja, termasuk penyandang disabilitas dalam
setiap tahapan penanggulangan bencana. Apabila mereka
belum dilibatkan pada masa kesiapsiagaan, maka mereka
perlu dilibatkan di dalam setiap tahapan respon.

Dukungan gizi bagi pengungsi penderita penyakit kronis


dilakukan melalui kerjasama dengan program/sub klaster
pelayanan kesehatan untuk memastikan agar penderita
penyakit mendapatkan asupan gizi sesuai kebutuhannya.
Alur intervensi dan kegiatan kunci dukungan gizi pada
kelompok rentan lainnya dapat dilihat pada gambar
dibawah ini
a. Orientasi Dan Pendampingan Pemenuhan Gizi Melalui
Dapur Umum

Dapur umum menyiapkan makanan banyak (bagi lebih


dari 50 porsi) untuk memenuhi kebutuhan gizi
pengungsi dan kelompok rentan. Penyelenggaraan dapur
umum merupakan tanggung jawab Kemensos/Dinsos/Tagana
(Klaster Perlindungan dan Pengungsian). Dapur umum
bertujuan untuk menyediakan makanan sesuai kebutuhan
gizi yang higienis, aman dan dapat didistribusikan
secara cepat.

Sub Klaster Gizi Bekerjasama dengan Kemensos/


Dinsos/Tagana, dan BPBD, serta instansi yang
memiliki kapasitas pelaksanaan dapur umum untuk
melakukan orientasi tentang penyusunan menu,
termasuk menu untuk ibu hamil dan menyusui, bayi,
anak, dan lansia.

Berdasarkan penyusunan menu bagi kelompok rentan,


sub klaster gizi dan mitra memastikan agar dapur
umum dapat menyiapkan makanan yang sesuai AKG serta
memperhatikan lima kunci keamanan makanan, yaitu:
1) Terjaga kebersihannya (cuci tangan pakai sabun
dan air mengalir, peralatan makan sebelum
digunakan disiram menggunakan air panas);
2) Pisahkan makanan mentah dan makanan yang sudah
dimasak;
3) Gunakan makanan segar dan masak sampai matang
(daging, ayam, telur dan ikan);
4) Simpan makanan dalam suhu yang tepat sesuai
dengan jenis makanannya; dan
5) Gunakan air bersih yang aman.

Memastikan agar kelompok disabilitas dan kelompok


rentan lainnya memiliki akses terhadap makanan yang
disediakan oleh dapur umum. Apabila bantuan khusus
diperlukan bagi korban bencana dengan disabilitas,
sampaikan informasi tersebut kepada Klaster
Perlindungan dan Pengungsian/Dinsos setempat.

b. Memastikan Asupan Gizi Yang Sesuai Bagi Penderita


Penyakit Kronik

Penderita penyakit kronik memiliki kebutuhan asupan


gizi khusus. Koordinator sub klaster gizi dan mitra
sub klaster bekerjasama dengan program/sub klaster
pelayanan kesehatan perlu memastikan agar penderita
penyakit kronik dapat dirujuk untuk mendapatkan
layanan kesehatan yang tepat dan asupan gizi yang
sesuai. Berdasarkan data penderita penyakit (dari
hasil RHA/ pendataan pengungsi terpadu) koordinator
sub klaster gizi berkoordinasi dengan sub klaster
pelayanan kesehatan untuk menentukan asupan gizi
yang sesuai bagi pada penderita penyakit.

c. Pengawasan Bantuan Bahan Makanan Dan Minuman

Pengawasan bantuan makanan bertujuan untuk


melindungi korban bencana dan kelompok rentan dari
risiko diare, infeksi, keracunan dan lain sebagainya
akibat konsumsi bahan makanan yang tidak sesuai
dengan syarat kesehatan.

Pengawasan bantuan makanan dan minuman dilakukan di


jalur pasok bantuan berkerja sama dengan klaster
logistik (BNPB/BPBD) mencakup:
1) Pemisahan tempat penyimpanan bantuan bahan
makanan antara bahan makanan umum dan makanan
khusus bayi dan anak;
2) Jenis-jenis bahan makanan yang diwaspadai
termasuk makanan dalam kemasan, produk pengganti
ASI, botol dan dot bayi serta makanan kemasan;
dan
3) Bantuan makanan produk dalam negeri dan luar
negeri harus diteliti nomor registrasi (MD/ML),
tanggal kadaluarsa, sertifikasi halal, aturan
cara penyiapan dan target penerima manfaat.

Bekerjasama dengan sektor perlindungan dan


pengungsian (Dinsos/Kemensos) dan instansi/lembaga
terkait lainnya untuk melakukan pengawasan bantuan
bahan makanan dan minuman di pengungsian dan lokasi-
lokasi distribusi bantuan. Apabila ditemukan bantuan
makanan dan minuman yang tidak sesuai syarat di
atas, petugas harus segera melaporkannya kepada
koordinator sub klaster gizi untuk diteruskan kepada
klaster kesehatan/kepala Dinkes setempat.

5. Komunikasi Risiko dan Pelibatan masyarakat

Komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat merupakan


komponen respon gizi yang tidak dapat dipisahkan.
Komunikasi risiko pada situasi bencana bertujuan untuk
memberikan informasi tepat bagi masyarakat agar dapat
mengambil tindakan yang efektif dan efisien dalam
menghadapi risiko-risiko yang timbul pada situasi
bencana. Komunikasi yang efektif tentang risiko bencana
yang mungkin timbul, serta cara mendapatkan bantuan,
bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat
dalam respon bencana.

Pelibatan masyarakat merupakan menjadi bagian integral


dari setiap respon sejak awal bencana untuk memastikan
kualitas, efektivitas dan ketepatan waktu respon gizi
melalui keterlibatan dari masyarakat. Alur komunikasi
risiko dan pelibatan masyarakat dapat dilihat pada
gambar berikut.
a. Kaji Cepat Komunikasi Risiko

Penanggung jawab program gizi/koordinator sub


klaster gizi bertugas untuk memastikan agar kaji
cepat komunikasi risiko gizi dilakukan pada fase
siaga darurat atau segera setelah bencana.

Kaji cepat risiko dapat dilakukan secara


terkoordinir bersama dengan klaster kesehatan
maupun secara terintegrasi dengan klaster lainnya
seperti klaster perlindungan dan pengungsian.

Kaji cepat komunikasi risiko bertujuan untuk


mengidentifikasi saluran komunikasi yang sesuai
serta informasi yang dibutuhkan oleh populasi
terdampak khususnya kelompok sasaran gizi. Aspek-
aspek yang perlu dikaji adalah:

1) Kanal informasi yang paling tepat dan tersedia


untuk menyampaikan pesan kepada kelompok sasaran
gizi (radio, TV, kegiatan sosial, dll);
2) Persepsi audiens terhadap pesan yang ingin
disampaikan, misalnya persepsi Ibu hamil dan
menyusui terhadap praktik pemberian ASI dan
perilaku hidup bersih dan sehat; dan
3) Kelompok/orang yang berpengaruh di masyarakat
seperti misalnya tokoh agama, tokoh masyarakat
maupun organisasi masyarakat yang memiliki
perhatian khusus pada isu gizi untuk dapat
dilibatkan dalam diseminasi pesan kunci.

b. Diseminasi Pesan Kunci

Penanggung jawab program gizi/koordinator sub


klaster bersama dengan mitra sub klaster perlu
memastikan agar pesan-pesan kunci terkait risiko
gizi masyarakat dalam situasi bencana perlu
dikembangkan sesegera mungkin sejak fase siaga
darurat. Apabila pesan kunci telah dikembangkan
sebelum bencana (di masa kesiapsiagaan), pesan-
pesan tersebut perlu diulas sebelum
didiseminasikan untuk memastikan kesesuaian pesan
dengan konteks dan situasi sosial budaya di lokasi
bencana.

Koordinator sub klaster gizi dan mitra perlu


memastikan agar pesan komunikasi risko disebarkan
melalui kanal informasi yang ramah bagi penyandang
disabilitas, setidaknya dalam dua format berbeda
(misalnya, brosur, audio pengumuman). Material
komunikasi, informasi dan edukasi yang
dikembangkan juga perlu memberikan gambaran
positif tentang anak-anak dan perempuan penyandang
disabilitas pada kelompok sasaran gizi (misalnya,
Ibu hamil penyandang disabilitas atau penyandang
disabilitas Ibu menyusui).

Pesan-pesan yang perlu dikembangkan dan


disampaikan kepada populasi terdampak mencakup
informasi terkait risiko terkait gizi yang mungkin
timbul akibat bencana serta informasi terkait
akses terhadap bantuan. Beberapa pesan kunci yang
perlu dikembangkan dan disampaikan antara lain
adalah :

Pesan Kunci Terkait PMBA & Menyusui:

1) Risiko meningkatnya angka kesakitan pada baduta


akibat tidak menyusu;
2) Risiko meningkatnya angka kesakitan pada anak
akibat pemberian susu formula botol, dot bayi
dan produk-produk pengganti ASI yang tidak
tepat pada situasi bencana;
3) Pentingnya pemberian MPASI yang tepat; dan
4) Prosedur pengelolaan donasi produk pengganti
ASI, botol dan dot, serta makanan dan minuman
bayi dan anak.

Pesan Kunci Terkait Pencegahan dan Penanganan Gizi


Kurang dan Gizi Buruk pada Balita:

1) Identifikasi balita gizi buruk;


2) Risiko menurunnya status gizi masyarakat pada
situasi bencana;
3) Risiko meningkatnya angka kesakitan dan
kematian pada balita pada situasi bencana
akibat gizi kurang dan gizi buruk;
4) Akses kelompok rentan terhadap bantuan pangan
yang bergizi dan sesuai usia;
5) Informasi terkait alur penanganan dan rujukan
balita dengan gizi kurang dan gizi buruk serta
mekanisme pendanaannya;
6) Pentingnya keterlibatan masyarakat untuk
deteksi dini dan penanganan anak gizi kurang
dan gizi buruk; dan
7) Akses kelompok sasaran gizi terhadap bantuan
tunai dan non-tunai untuk meningkatkan akses
terhadap makanan yang bergizi.

Pesan Kunci Terkait suplementasi gizi:

1) Risiko kekurangan zat gizi mikro; dan


2) Cara mendapatkan akses terhadap suplemen gizi.

c. Pelibatan Masyarakat

Koordinator sub klaster gizi memastikan agar


pelibatan masyarakat dilakukan pada setiap tahapan
respon gizi yang relevan misalnya dalam kajian
dampak dan analisis kebutuhan gizi, penapisan,
pelaksanaan kegiatan dan pemantauan. Mitra sub
klaster gizi berperan untuk memastikan agar
pelibatan masyarakat dapat dilaksanakan secara
optimal pada kegiatan dukungan gizi yangdilakukan
oleh masing- masing organisasi.

Koordinator sub klaster gizi dan mitra bersama-


sama memastikan agar mekanisme umpan balik dan
pemberian saran terkait respon gizi dapat
tersedia. Antara lain dengan menyepakati
narahubung untuk program gizi di masing-masing
wilayah kerja/di pengungsian, membuat kotak saran,
memberikan nomor telepon pengaduan untuk
memudahkan penerima manfaat yang ingin memberikan
umpan balik terhadap dukungan gizi.

Koordinator sub klaster gizi dan mitra memastikan


agar kelompok rentan dilibatkan di dalam
perencanaan kegiatan serta melibatkan perwakilan
dari masing-masing kelompok, baik laki-laki maupun
perempuan. Perwakilan dari sub klaster gizi untuk
terlibat di dalam kelompok kerja pelibatan
masyarakat (apabila dibentuk) di masing-masing
wilayah untuk memastikan agar pelibatan masyarakat
dilakukan secara terkoordinir dan terstruktur
bersama dengan organisasi dan instansi yang
terlibat di dalam penanggulangan bencana.

B. Pokok Bahasan 2: Monitoring respon gizi

Pemantauan dan evaluasi dilakukan berdasarkan kemajuan dari


pelaksanaan rencana respon/intervensi yang telah
disusun.Pemantauan dan evaluasi bertujuan untuk memberikan
rekomendasi dan langkah-langkah penyesuaian yang diperlukan
untuk pemenuhan kebutuhan gizi korban bencana. Pemantauan dan
evaluasi respon gizi dilakukan berdasarkan indikator pada
masing-masing intervensi

1. Indikator monitoring Pemberian makan bayi dan anak


Keluaran Intervensi PMBA:
Melindungi bayi, dan anak mempromosikan praktik PMBA melalui penyediaan akses terhadap dukungan
PMBA
Indikator keluaran:
% Cakupan IMD
% Cakupan ASI Ekslusif < 6 bulan, Menyusui usia 1 dan 2 tahun
% Cakupan Minimum Acceptable Diet
Keluaran Jangka Pendek 1:
Adanya mekanisme pengelolaan donasi produk pengganti ASI, botol dan dot bayi untuk bayi yang tidak di
susui
Kegiatan Kunci Indikator
1.1. Diseminasi surat edaran kebijakan pemberian Surat edaran telah di keluarkan dan diedarkan kepada
susu formula bagi bayi dan anak korban dinas dan instansi terkait
bencana kepada instansi dan sektor terkait

1.2. Sosialisasi mekanisme monitoring dan jumlah kegiatan orientasi yang sudah dilakukan
pelaporan
donasi produk pengganti ASI, botol dan dot bayi jumlah peserta orientasi
yang tidak terkontrol
Jumlah dan lokasi pelaksanaan pemantauan

1.4. Pelaksanaan pemantauan dan pelaporan donasi


produk pengganti ASI,
Jumlah pelanggaran yang dilaporkan
botol dan dot bayi yang tidak terkontrol

Jumlah pelaporan yang ditindaklanjuti

Keluaran Jangka Pendek 2:


Adanya akses terhadap makanan bergizi bagi kelompok bayi dan anak usia 6-23 bulan

Kegiatan Kunci Indikator

% anak usia 6-23 bulan yang memiliki akses terhadap


1.1. Penyelenggaraan Dapur PMBA
dapur PMBA/makanan pendamping ASI

Jumlah orientasi dan pendampingan dapur umum


1.2. Orientasi dan pendampingan pemenuhan gizi
yang sudah dilakukan
melalui dapur umum
Keluaran Jangka Pendek 3:
Tersedianya Akses Terhadap Konseling PMBA dan Menyusui
Kegiatan Kunci Indikator

1.1 Konseling PMBA dan menyusui di lokasi Jumlah Ibu/pengasuh yang menerima konseling
pengungsian menyusui dan atau PMBA

Jumlah konselor PMBA dan menyusui yang


1.2 Mobilisasi Konselor PMBA dan menyusui dimobilisasi

Jumlah peserta pelatihan konselor PMBA dan


1.3 Pelatihan konselor PMBA dan menyusui menyusui

Keluaran Jangka Pendek 4:


Tersedianya akses terhadap Ruang Ramah Ibu dan Anak
Kegiatan Kunci Indikator

.1 Memastikan ketersediaan Ruang Ramah Ibu Jumlah koordinasi yang dilakukan dengan pihak terkait
dan Anak untuk mendorong ketersediaan RRIA
Keluaran Jangka Pendek 5:
Adanya dukungan dari sektor terkait serta pelaksanaan intervensi PMBA yang terkoordinir
Kegiatan Kunci Indikator

jumlah dukungan/kerjasama lintas sektor yang telah


1.1. Koordinasi lintas sektor untuk mendukung
dilakukan
PMBA

Terbentuknya Pokja PMBA


1.2. Pembentukan Pokja PMBA
Jumlah pertemuan koordinasi Pokja PMBA yang
1.3. Pertemuan Koordinasi Pokja PMBA dilaksanakan

2. Indikator monitoring Pencegahan dan Penanganan Gizi


Kurang dan Gizi Buruk

Keluaran Intervensi Pencegahan dan Penanganan Gizi Kurang dan Gizi Buruk:
Perlindungan Jiwa melalui pencegahan dan tatalaksana balita gizi kurang dan gizi buruk
yang berkualitas

Indikator Keluaran:
 Cakupan Balita Gizi Kurang

 Cakupan Balita Gizi Buruk

Keluaran Jangka Pendek 1:


Terlaksananya Pencegahan dan Tatalaksana Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk

Kegiatan Kunci Indikator

% dan jumlah Balita Gizi Buruk yang ditangani


1.1 Tatalaksana Balita Gizi Kurang & Gizi
Buruk
% dan jumlah Balita Gizi Buruk yang ditangani
dan sembuh
% dan jumlah balita gizi buruk yang ditangani dan
meninggal
% dan jumlah balita gizi buruk yang ditangani dan
re-lapse
% dan jumlah Balita Gizi Kurang yang
ditangani/mendapat PMT dan konseling gizi
% dan jumlah Balita Gizi Kurang yang
ditangani/mendapat PMT, konseling gizi dan
sembuh
Jumlah fasilitas kesehatan rujukan yang
diidentifikasi mampu melaksanakan tata laksana
gizi buruk

1.2 Pelacakan aktif dan deteksi dini kasus


kekurangan gizi pada balita oleh Jumlah pelaksanaan penapisan massal yang telah
masyarakat dilakukan

1.3 Penugasan TAG Terlatih Jumlah TAG yang ditugaskan ke lokasi bencana

Keluaran Jangka Pendek 2:


Pelaksanaan intervensi pencegahan dan tatalaksana balita gizi kurang dan gizi buruk
secara terkoordinir serta adanya dukungan dari program/sektor/klaster terkait
Kegiatan Kunci Indikator

2.1 Koordinasi lintas sektor untuk


Jumlah dukungan/kerjasama lintas sektor yang
mendukung intervensi Pencegahan dan
telah dilakukan
Penanganan Gizi Kurang & Gizi Buruk
2.2 Pembentukan Pokja Pencegahan dan Terbentuknya Pokja Pencegahan dan Penanganan
Penanganan Gizi Kurang & Gizi Buruk Gizi Kurang & Gizi Buruk
2.3 Pertemuan Koordinasi Pokja
Jumlah pertemuan koordinasi Pokja Pencegahan
Pencegahan dan Penanganan Gizi Kurang &
dan Penanganan Gizi Kurang & Gizi Buruk yang
Gizi Buruk
dilaksanakan

3. Indikator monitoring Suplementasi gizi

Keluaran Intervensi Suplementasi Gizi:


Perlindungan status gizi melalui pencegahan kekurangan zat gizi mikro
Indikator keluaran
 Cakupan Makanan Tambahan Pada Ibu Hamil
 Cakupan Makanan Tambahan Pada Balita
 Cakupan Vitamin A pada Bayi
 Cakupan Vitamin A pada Balita
 Cakupan Vitamin A pada Ibu Nifas
 Cakupan TTD pada Ibu Hamil
 Cakupan TTD pada remaja putri
Keluaran Jangka Pendek 1:
Terlaksananya Pemberian MT Ibu Hamil , dan Balita.

Kegiatan kunci: Indikator


Jumlah Ibu Hamil yang diberikan MT
1.1. Distribusi menyeluruh MT Ibu
Hamil, dan Balita Jumlah Balita 6-59 bulan yang diberikan MT

Jumlah Ibu Hamil KEK yang diberikan MT


(LiLA <23,5 cm)
1.2 Distribusi MT Ibu Hamil dan Balita
pada sasaran prioritas Jumlah Balita gizi kurang yang diberikan MT
(LiLA <12,5 cm)
Keluaran Jangka Pendek 2:
Terlaksananya Pemberian Vitamin A pada Bayi, Balita dan Ibu Nifas

Kegiatan Kunci Indikator

1.1 Pemberian Vitamin A pada Balita Jumlah Bayi (6-11 bulan), Balita (12-59
dan Ibu Nifas untuk peningkatan daya bulan) yang diberikan Vitamin A
tahan tubuh serta pencegahan campak
dan diare Jumlah Ibu Nifas yang mendapatkan Vitamin
A
Keluaran Jangka Pendek 3:
Terlaksananya Pemberian TTD Pada Ibu Hamil dan Remaja Putri

Kegiatan Kunci Indikator

3.1 Pemberian TTD pada Ibu Hamil dan Jumlah Ibu Hamil yang menerima TTD sesuai
remaja putri standar

Jumlah remaja putri yang menerima TTD


sesuai standar
Keluaran Jangka Pendek 4:
Terlaksananya Pemberian Obat Cacing dan Zinc pada balita untuk terapi diare

Kegiatan Kunci Indikator


Jumlah koordinasi yang dilakukan dengan
4.1 Koordinasi dengan program/sub klaster
program/sub klaster pelayanan kesehatan
pelayanan kesehatan untuk pemberian obat
untuk pemberian obat cacing dan zinc untuk
cacing dan zinc pada sasaran
terapi diare pada sasaran

4. Indikator monitoring Dukungan gizi pada kelompok rentan


lainnya

Keluaran Intervensi Dukungan Gizi Pada Kelompok Rentan Lainnya:


Perlindungan status gizi kelompok rentan lansia, penderita penyakit dan penyandang
disabilitas

Indikator Keluaran:
 Jumlah kegiatan Kerjasama, koordinasi yang dilakukan untuk mendukung

pemenuhan gizi lansia, penderita penyakit dan penyandang disabilitas

Keluaran Jangka Pendek 1:


Pemenuhan Gizi Pengungsi dan kelompok rentan melalui dapur umum
Kegiatan Kunci Indkator
Jumlah orientasi pemenuhan gizi yang
dilakukan bagi penyelenggara dapur umum
1.1. Orientasi dan Pendampingan
Pemenuhan Gizi melalui dapur umum Jumlah pendampingan yang dilakukan
terhadap penyelenggaraan dapur umum

Keluaran Jangka Pendek 2:


Korban bencana penderita penyakit mendapatkan asupan gizi yang sesuai
Kegiatan Kunci Indikator

Jumlah kerjasama yang dilakukan bersama


2.1. Merujuk penderita penyakit kronik ke
dengan program/sub klaster layanan
dietisien di pelayanan kesehatan
kesehatan untuk memastikan korban bencana
penderita penyakit mendapatkan asupan yang
sesuai
Keluaran Jangka Pendek 3:
Terlaksananya pengawasan bantuan makanan dan minuman

Kegiatan kunci Indikator

Jumlah kerjasama yang dilakukan dengan


sektor/klaster/instansi terkait dalam
3.1. Pengawasan bantuan makanan dan
pengawasan bantuan bahan makanan dan
minuman
minuman di jalur pasok bantuan termasuk di
masyarakat

5. Indikator monitoring Komunikasi Risiko dan Pelibatan


masyarakat

Keluaran Intervensi

Indikator Keluaran:

Keluaran Jangka Pendek 1:

Kegiatan Kunci Indkator

Keluaran Jangka Pendek 2:

Kegiatan Kunci Indikator


Keluaran Jangka Pendek 3:

Kegiatan kunci Indikator

VIII. Rangkuman

IX. Referensi
1. Pedoman Pelaksanaan Respon Gizi Pada Masa Tanggap Darurat,
Direktorat Gizi, Kementrian Kesehatan RI: 2020
2. Pedoman Penanganan Gizi dalam Penanggulangan Bencana,
Direktorat Gizi, Kementrian Kesehatan RI: 2018
3. SNI 7937:2013. Layanan Kemanusiaan dalam bencana

X. Lampiran
A. Lembar Kerja
B. Informasi lain

Anda mungkin juga menyukai