11 Isi - Arifin Maruf (Uin)
11 Isi - Arifin Maruf (Uin)
Abstract
The right to life is a right guaranteed in the Indonesian constitution, but such
right may be restricted by law instruments, capital punishment is not contrary to the
right to life guaranteed by the 1945 Constitution, this is because the Indonesian
constitution not absolute adheres to the principles of human rights, the death penalty is
the ultimate weapon or end in justice , but in the imposition of capital punishment must
be considered matters relating to the rights of the convict and the execution was carried
out in a way that is proper and humane, the death penalty is an instrument to protect
the public and state in the form of preventive and repressive, existence of the death
penalty in indonesian can also be seen in the Criminal Code, the Law on special crimes
and draft penal Code still includes the presence of the death penalty.
Abstrak
Hak untuk hidup merupakan hak yang dijamin dalam konstitusi Indonesia,
akan tetapi hak tersebut dapat dibatasi dengan instrumen undang-undang, pidana
mati tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, hal
ini dikarenakan konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan hak asasi
manusia, pidana mati itu adalah merupakan senjata pamungkas atau akhir dalam
keadilan, namun dalam penjatuhan pidana mati haruslah diperhatikan hal-hal yang
berkaitan dengan hak-hak si terpidana dan eksekusinya pun dilakukan dengan cara
yang patut dan berprikemanusiaan, pidana mati merupakan sebuah instrumen untuk
melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif maupun represif,
Eksistensi hukuman mati di indonesia dapat kita lihat dalam KUHP, UU tentang
tindak pidana khusus dan rancangan KUHP yang masih mencantumkan adanya
hukuman mati.
Kata Kunci: Hukuman Mati dan HAM.
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail:
arifalbertenstein@ymail.com
A. Pendahuluan
Pemidanaan merupakan salah satu upaya untuk mencegah suatu
kejahatan dan pelanggaran, tujuan pemidanaan menurut konsep KUHP
1991/1992 dinyatakan dalam pasal 51, adalah untuk mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat, namun kemudian dalam melakukan suatu
pemidanaan memanglah harus didasarkan pada aturan hukum yang
berlaku, hal ini yang kemudian telah diamanatkan dalam konstitusi kita
yaitu UUD 1945 pasal 1 ayat 3 setelah perubahan“Negara Indonesia adalah
Negara Hukum” , Sebagai negara hukum maka Indonesia haruslah
menegakkan hukum yang berkeadilan, menjamin adanya kepastian hukum
dan juga mengindahkan nilai-nilai hak asasi manusia, sehingga nantinya
yang menjadi tujuan dari hukum itu sendiri bisa tercapai. Hukum
diciptakan untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berbeda
antara pribadi, masyarakat, dan negara dapat dijamin dan diwujudkan
tanpa merugikan pihak yang lain.1
Konsepsi mengenai negara hukum kemudian sebagai mana
dijelaskan oleh Julius Stahl yang mengemukakan pendapatnya mengenai
negara hukum yang dikenal dengan Rechsstat, dimana negara hukum
memiliki empat elemen penting yaitu:
a. Perlindungan hak asasi manusia;
b. Pembagian kekuasaan;
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
d. Peradilan tata usaha negara.
Abdul Latief juga menjelaskan mengenai negara hukum, pada
prinsipnya negara hukum mengandung beberapa unsur-unsur dan salah
satu unsurnya adalah dalam negara hukum itu hak-hak manusia dihormati
dan diakui oleh penguasa yang bersangkutan.2, Perlindungan mengenai hak
asan yang menjadi tujuan hukum itu sendiri, Karl N. Liewellyn
mengatakan bahwa hukum diciptakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-
tujuan sosial 3 ,hal ini juga sejalan dengan pendapatnya Subekti yang
mengatakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam
pokoknya ialah untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan
1Andi Hamzah,. dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini
4 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka. 1989) hlm. 41.
5 Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum Dan Filsafat Hukum, Studi
Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2011) hlm. 100.
6 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitualisme Indonesia, (Jakarta : Konstitusi Press.
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Selain itu ketentuan tentang pembatasan mengenai hak asasi
manusia juga termuat dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi
manusia, yaitu dalam Bab VI Pembatasan dan Larangan, Pasal 73 : “Hak
dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan
berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan,
ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.” Dari pasal tersebut dapat dipahami
bahwa dalam penerapan Hak asasi manusia memanglah perlu adanya
pembatasan, dan pembatasan tersebut dilaksanakan dalam rangka untuk
melindungi hak asasi manusia dari masyarakat, menurut Jimly Asshiddiqie,
Terhadap hak asasi manusia tersebut, dalam keadaan apapun atau bagai-
manapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak tersebut, akan tetapi
ketentuan tersebut tentu tidak dimaksud dan tidak dapat diartikan atau
digunakan sebagai dasar untuk membebaskan seseorang dari penuntutan
atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut
ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting
untuk memastikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara
semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari
ancaman tuntutan.7
Pidana mati dalam hukum indonesia bukanlah sesuatu yang asing
lagi bagi kita, pidana mati sudah lama diterapkan di negara indonesia,
eksistensi hukuman mati ini bukan karena merupakan suatu konsep dari
barat, namun masyarakat indonesia sendiri telah lama mengenal dan
menerapkan hukuman mati dalam hukum adat mereka, Berdasarkan
sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di
Indonesia. Pidana ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini
dapat dibuktkan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut
7Jimly Asshiddiqie, Makalah yang disampaikan dalam studium general pada acara
The 1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta,
19 Desember 2005.
hukum adat atau hukum para raja dahulu.8 Pidana mati merupakan
hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang
melanggar ketentuan undang-undang, dilaksanakannya hukuman mati
adalah agar masyarakat bisa memperhatikan bahwa pemerintah tidak
menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman serta keamanan
yang ada di suatu negara. Tulisan ini akan menjelaskan tentang eksistensi
pidana mati ditinjau dari konsepsi hak asasi manusia di indonesia,
penulisanya dilatarbelakangi tentang bagaimana pidana mati dalam
kaitanya perlindungan terhadap hak asasi manusia.
B. Pidana Mati sebagai Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia
di Indonesia
HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa
hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia. Hak
tersebut diperoleh bersama dengan kelahirannya atau kehadirannya di
dalam kehidupan masyarakat, Hak asasi manusia merupakan ideologi
universal pertama di dunia, yang merupakan cita-cita agama, politik,
filsafat dan hukum, dan merupakan gagasan yang sekarang ini telah
diterima diseluruh dunia.9
HAM bersifat umum (universal) karena diyakini bahwa beberapa
hak dimiliki tanpa perbedaan atas bangsa, ras, atau jenis kelamin. HAM
juga bersifat supralegal, artinya tidak tergantung pada adanya suatu Negara
atau undang-undang dasar, kekuasaan pemerintah, bahkan memiliki
kewenangan lebih tinggi karena berasal dari sumber yang lebih tinggi
(Tuhan). UU No. 39/1999 tentang HAM mendefinisikan HAM sebagai
seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai
mahkluk Tuhan YME. Dalam pidato presiden tanggal 16 Agustus 1990,
presiden telah menegaskan bahwa Ham adalah kemanusiaan yang adil dan
beradab,10 sehingga dapat kita artikan bahwa sebenarnya adanya
pengaturan tentang ham adalah semata-mata untuk menciptakan keadilan
di dalam masyarakat di indonesia, dan untuk menciptakan rasa keadilan
tersebut harus ada pembatasan-pembatasan Ham.
Sebelum kita lebih jauh membahas tentang pidana mati maka
terlebih dahulu kita bahas tentang teori pemidanaan, dalam hukum pidana
8R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,
(Bogor : Politea, 2001), hlm 14.
9Peter Davies, Hak Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Yayasan
terdapat dua macam teori pidana dan pemidanaan sebagai dasar pembenar
dan tujuan pidana. Pertama, adalah teori absolut atau disebut juga teori
retributif. Menurut teori ini, pemidanaan dilakukan karena semata-mata
seseorang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est)
dan pemidanaan harus ada sebagai akibat mutlak untuk membalaskan
perbuatan jahat seseorang. Dasar pembenar pemidanaannya adalah karena
kejahatan merupakan pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara
yang merupakan wujud dari cita-susil masyarakat. Sedangkan toeri lainya
adalah teori relatif atau sering disebut teori utilitarian, inti dari teori ini
adalah menolak teori absolut, dimana pemidanaan itu bukan untuk
memuaskan keadilan dengan memberi hukuman karena pembalasan
merupakan tujuan yang tidak bernilai. Aliran ini lebih berpendapat bahwa
pemidanaan memiliki nilai untuk melindungi masyarakat karena bertujuan
untuk mengurangi frekuensi kejahatan supaya orang lain jangan melakukan
kejahatan (nepaccetur).11 Lebih lanjut Barda Nawawi Arief dan Muladi
menjelaskan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan
pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan
politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan
untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan.
Barda Nawawi Arief juga menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah :
1. Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang
bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan
dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana
untuk mencapai tujuan;
2. Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan
suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretasinya sengaja
direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan
keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem
pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan;
3. Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai ”fungsi
pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan
filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas
dan terarah.
11Muladi & Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992),
hlm. 10-16.
12Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, (Jakarta : Bumi Aksara, 2005),
hlm. 5-6.
pidana mati masih dianggap sebagai suatu jenis pidana yang masih
diperlukan dan dapat diterapakan di indonesia. Dalam perkembanganya
konsepsi pidana mati dalam rancangan KUHP baru sebagai Jus
Constituendum telah menerapkan beberapa pemikiran tentang bagaimana
pelaksanaan hukuman mati bagi pelaku kejahatan di indonesia diantaranya
adalah :
1. Pidana Mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan menembak
terpidana sampai mati;
2. Pelaksanakan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum;
3. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak di bawah umur delapan
belas tahun;
4. Pelaksanaan Pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit
jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang sakit
jiwa tersebut sembuh;
5. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan
Presiden dan Penolakan Grasi oleh Presiden;
6. Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan
selama sepuluh tahun, jika;
a. Reaksi masyarakat terhadap terpidana mati terlalu besar
b. Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan
untuk memperbaiki
c. Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana
tidak terlalu penting
d. Ada alasan meringankan
7. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan
perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi
pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama dua puluh
tahun dengan keputusan menteri kehakiman.
8. Jika terpidana selam masa percobaan tidak menunjukkan sikap
dan perbuatan yang terpuji tidak ada harapan untuk memperbaiki
maka terpidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa
Agung.
9. Jika setelah permohonan Grasi ditolak, pelaksanaan pidana mati
tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana
melarikan diri maka terpidana mati tersebut dapat diubah
menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri
Kehakiman.
Dari ketentuan dalam Rancangan KUHP sebenarnya telah
memperhatikan dan menyesuaikan dengan kondisi diindonesia, dan
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini,( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal 57.
14Djoko Prakoso, Masalah Pidana Mati, Soal Jawab, ( Jakarta: Bina Aksara, 1987)
hlm. 25-28.
16P.AF. Lamintang & D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het
Nederlanches Strafrecht), (Bandung : Pionir Jaya, 1992), Hlm. 393.
17Makhrus Munajat, Fikih Jinayat, Hukum Pidana Islam, Edisi Revisi, (Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah,. dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa
Lalu, Kini Dan Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993.
Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada
Pemerintahan Daerah, Yogyakarta : UII Press. 2005.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka, 1989.
Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia
: Jakarta, 1984.
_____________, Masalah Pidana Mati (Soal Jawab), Jakarta: Bina Aksara,
1987.
Gunawan Setiardja, Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila,
Yogyakarta : Kanisius, 1993.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitualisme Indonesia, Jakarta : Konstitusi
Press, 2005.
______________, Makalah yang disampaikan dalam studium general pada
acara The 1st National Converence Corporate Forum for
Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005.
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika : Jakarta,
2005.
Makhrus Munajat, Fikih Jinayat, Hukum Pidana Islam, Edisi Revisi,
Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press, 2010.
Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara : Jakarta,
2005.
Muladi & Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni, 1992.
P.AF. Lamintang & D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek
Van Het Nederlanches Strafrecht), Bandung : Pionir Jaya, 1992.
Peter Davies, Hak Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 1994.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.2-3/PUU-V/2007.
Philip Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif, Bandung : Nusamedia,
2007.