Anda di halaman 1dari 39

CRITICAL BOOK REPORT

KONSELING TRAUMATIK

DOSEN PENGAMPU: Dra. Rahmulyani, M.Pd., Kons

OLEH :

AINNUR FITRIA DARA PUTRI EVA RAHMA IRMA AFRIANI JAEKLIN MEGA HAFNI UMI FADILLAH

(1203351004) (1203351041) (1203351028) (1203351024) (1203351043) (1203351020) (1203351031)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunianya penulis dapat menyelesaikan “ Critical Book Report Konseling Traumatik“
pembuatan makalah ini bertujuan sebagai tugas individu mata kuliah . Penulis mengucapkan
terimakasih kepada Ibu Dra. Rahmulyani, M.Pd., Kons yang telah membimbing penulis
dalam pembuatan makalah ini . Makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kekurangannya seperti pepatah yang mengatakan “tak ada gading yang tak retak “ baik isi
maupun penyusunannya . Atas semua itu dengan rendah hati penulis harapkan kritik dan
saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini . Semoga makalah ini dapat
bermanfaat .

Terimakasih

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

                                                                           

      Medan, 01 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................... 1

A. Latar Belakang.................................................................................................................. 1
B. Tujuan ............................................................................................................................... 1
C. Manfaat ............................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ISI BUKU..................................................................................... 2

A. Ringkasan Isi .................................................................................................................... 3

BAB III PEMBAHASAN...................................................................................................... 37


A. Kelebihan dan Kelemahan Buku....................................................................................... 37

BAB IV PENUTUP............................................................................................................... 38

A. Kesimpulan....................................................................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 39

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Critical book report adalah hasil kritik atau perbandingan dari satu buku ke buku yang
lainnya tentang suatu topik materi yang pada umumnya di perkuliahan. Penulisan critical book
yang penulis lakukan kali ini adalah untuk membandingkan buku Konseling Kelompok dan
buku pembanding mengenai Panduan Praktik Layanan Konseling Kelompok. Setiap buku yang
dibuat dalam buku tertentu pastilah mempunyai kekurangan dan kelebihan masing masing.
Kelayakan suatu buku dapat penulis ketahui jika penulis melakukan resensi terhadap buku itu
dengan perbandingan terhadap buku lainnya. Suatu buku dengan kelebihan yang lebih dominan
dibandingkan dengan kekurangannya artinya buku itu sudah layak untuk dipakai dan dijadikan
sumber referensi bagi masyarakat luas maupun anak sekolah

B. Tujuan Penulisan

1. Untuk memenuhi tugas dari dosen


2. Untuk menambah pemahaman
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan dari buku

C. Manfaat Penulisan

1. Terpenuhinya tugas dari dosen


2. Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari buku
3. Memahami isi buku

2
BAB II

PEMBAHASAN ISI BUKU

A. Ringkasan Isi Buku

BAB 1
PANDEMI CORONA VIRUS DISIEASE (COVID-19) DAN BELAJAR DARI
RUMAH (BDR) DIMASA PANDEMI COVID-19
Setelah mempelajari Bab 1 diharapkan mahasiswa sebagai calon pendamping
konseling traumatik mampu :
1. Menceritakan perkembangan virus covid 19 di dunia
2. Menceritakan perkembangan virus covid 19 di Indonesia
3. Menjelaskan trauma masyarakat terhadap virus covid 19
4. Menyebutkan karakteristik belajar anak Indonesia di masa pandemi
● Perkembangan Virus Covid 19 Di Dunia
Saat ini dunia sedang mengalami suatu permasalahan besar dalam bidang
kesehatan dengan kemunculan Corona Virus Disease (selanjutnya akan
disingkat: Covid-19). Wabah COVID-19 pertama kali dideteksi di Kota Wuhan,
Provinsi Hubei, Tiongkok pada bulan Desember 2019, dan ditetapkan sebagai
pandemi oleh World Health Organization (selanjutnya akan disingkat: WHO)
pada 11 Maret 2020 (WHO Director-General's opening remarks at the media
briefing on COVID-19, 2020). Penyakit Covid-19 paling menular saat orang
yang menderitanya memiliki gejala, meskipun penyebaran mungkin saja terjadi
sebelum gejala muncul (Centers for Disease Control and Prevention, 2020).
Periode waktu antara paparan virus dan munculnya gejala biasanya sekitar lima
hari, tetapi dapat berkisar dari dua hingga empat belas hari. Gejala umum
diantaranya demam, batuk, dan sesak napas.
● Perkembangan Virus Covid 19 Di Indonesia
Di Indonesia sendiri, kasus Covid-19 di Indonesia terungkap usai ada laporan
warga negara Jepang dinyatakan positif. Masalahnya, warga negara Jepang ini
baru saja berkunjung ke Indonesia. Ketika ada informasi bahwa orang Jepang
yang ke Indonesia kemudian tinggal di Malaysia dan dicek di sana positif

3
corona, tim dari Indonesia langsung menelusurinya. Ternyata orang yang
terkena Covid-19 berhubungan dengan 2 orang, Ibu 64 tahun dan putrinya 31
tahun.
Pada tanggal 14 Februari 2020, pasien terinfeksi virus corona berdansa
dengan WNA Jepang. Pasien Berusia 31 tahun ini memang bekerja sebagai guru
dansa dan WNA asal Jepang Ini juga merupakan teman dekatnya. Selang dua
hari, yakni 16 Februari 2020 pasien terkena sakit batuk. Pasien kemudian
melakukan pemeriksaan di rumah sakit terdekat. Namun, saat itu pasien
langsung dibolehkan untuk kembali kerumah atau rawat jalan. Sayang, sakit
yang dideritanya tidak kunjung sembuh. Hingga pada 26 Februari 2020, pasien
dirujuk lagi krumahsakit dan diminta untuk menjalani rawat inap. Pada saat
itulah, batuk yang diderita pasien mulai disertai sesak napas. Pada 28 Februari
2020, pasien mendapatkan telepon dari temannya yang di Malaysia. Dalam
sambungan telepon tersebut, pasien mendapatkan informasi jika WNA Jepang
yang merupakan temannya itu positif terinfeksi virus corona. Hingga saat ini
kasus Covid-19 sudah tercatat di 34 provinsi atau semua provinsi di Indonesia,
dari Aceh hingga Papua.
● Trauma Masyarakat Terhadap Virus Covid-19

BAB 2

BENCANA ALAM

A. Capaian Pembelajaran

Setelah membahas Bab II diharapkan mahasiswa sebagai calon pendamping


konseling traumatikmampu :

1. Menjelaskan pengertian, jenis/bentuk, dampak bencana alam


2. Menyebutkan ciri-ciri individu yang mengalami trauma akibat peristiwa bencana alam
pada usia anak-anak, Remaja, Dewasa dan Lansia.

4
B. Konsep Bencana Alam

1. Pengertian Bencana Alam


Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di cincin api dan pertemuan
antar lempeng dunia sehingga menyebabkan posisinya memiliki potensi yang cukup
besar untuk terjadi bencana alam.Wilayah Indonesia menurut morfologis, geografis dan
seringnya terjadi perubahan iklim dapat menjadi faktor pendukung terjadinya bencana.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007,bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam danmengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik olehfaktor alam atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkantimbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dandampak psikologis.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), definisi bencana adalah
peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi,
kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan
kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar.
Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO (2002) adalah setiap
kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia,
atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala
tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
Menurut Asian Disaster Reduction Center (2003) yang dikutip Wijayanto
(2012), Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap masyarakat yang
menimbulkan kerugian secara meluas dan dirasakan baik oleh masyarakat, berbagai
material dan lingkungan (alam) dimana dampak yang ditimbulkan melebihi
kemampuan manusia guna mengatasinya dengan sumber daya yang ada. Lebih
lanjut, menurut Parker (1992) dalam dikutip Wijayanto (2012), bencana adalah
sebuah kejadian yang tidak biasa terjadi disebabkan oleh alam maupun ulah
manusia, termasuk pula di dalamnya merupakan imbas dari kesalahan teknologi
yang memicu respon dari masyarakat, komunitas, individu maupun lingkungan
untuk memberikan antusiasme yang bersifat luas.

5
Menurut Undang-undang No. 24 Tahun 2007 terdapat tiga jenis bencana, yaitu
bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial. Bencana alam adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaianperistiwa yang disebabkan oleh alam
antara lain berupa gempa bumi, tsunami,gunung meletus, banjir, kekeringan, angin
topan, dan tanah longsor.

C. Jenis/Bentuk Bencana Alam

Menurut UN International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR, 2009)


terdapat tiga jenis bencana yaitu :

1. Bencana hydro-meteorological berupa topan, badai,banjir, kekeringan, topan,


banjir bandang, kebakaran dan tanah longsor.
2. Bencana geologi meliputi proses internal bumi seperti gempa, tsunami, dan
aktifitas vulkanik.
3. Bencana biological berupa wabah penyakit epidemi, penyakit tanaman dan
hewan.

Ramli (2010) bencana alam terjadi hampir sepanjang tahun diberbagai belahan
dunia, termasuk di Indonesia. Jenis bencana alam sangat banyak, diantaranya
sebagai berikut :

1. Gempa Bumi
Gempa bumi merupakan peristiwa alam yang belum dapat diprediksi
terjadinya sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan merenggut
nyawa manusia (Ayub et al., 2020).

6
Gambar 1. Potret Akibat Gempa Bumi di Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat
pada
14 Januari 2021 (Kompas.com).

2. Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa Jepang (tsu = pelabuhan, nami = gelombang)
yang dapat diartikan sebagai gelombang pasang. Umumnya, tsunami
menerjang pantai landai. Tsunami diperkirakan terjadi karena adanya
perpindahan badan air yang disebabkan perubahan muka laut secara
vertical dengan tiba-tiba yang disebabkan oleh berbagai faktor, karena
gempa bumi yang berpusat di bawah laut, longsor bawah laut (Ramli,
2010).

7
Gambar 2. Potret Tsunami Aceh 26 Desember 2004 (Investor.id)

3. Letusan Gunung Api


Letusan terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang didorong
keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Magma adalah cairan pijar yang
terdapat di dalam lapisan bumi dengan suhu yang sangat tinggi, yakni
diperkirakan lebih dari 1.000C.

Gambar 3. Potret Letusan Gunung Merapi 17 Januari 2021 (tirto.id)

4. Banjir
Banjir merupakan bencana alam yang paling dapat diramalkan

8
kedatangannya. Karena berhubungan besar curah hujan. Banjir pada
umumnya terjadi di daratan rendah dan di bagian hilir daerah aliran
sungai. Umumnya berupa delta maupun alluvial. Secara geologis, berupa
lembah atau bentuk cekungan bumi lainnya dengan porositas rendah.
Banjir adalah tanah tergenang akibat luapan sungai, yang disebabkan oleh
hujan deras atau banjir akibat kiriman dari daerah lain yang berada
ditempat yang lebih tinggi (Findayani et al,. 2015).

Gambar 4. Potret Banjir di Kalimantan Selatan pada 14 Januari 2021 (CNN


Indonesia).

5. Longsor
Longsor merupakan gejala alam untuk mencapai kondisi kestabilan
kawasan. Seperti halnya banjir, sebenarnya gerakan tanah merupakan
bencana alam yang dapat diramalkan kedatangannya, karena berhubungan
dengan besar curah hujan (Ramli, 2010).

9
Gambar 5. Potret Tanah Longsor di Kab. Sumedang Jawa Barat Pada 09 Januari
2021 (DARILAUT.ID)

D. Dampak Bencana Alam

Berbagai tempat di Indonesia pemah mengalami bencana alam yang amat


dahsyat.Hal ini tentu saja menimbulkan dampak kerusakan linkungan serta kesedihan
yang mendalam bagi para korban sehingga mempengaruhi fisik serta psikologisnya.
Kehilangan anggota keluarga yang dicintai menyebabkan rasa duka dan sedih yang
mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Begitu juga dengan kerusakan pada harta
benda seperti rumah, sekolah, kendaraan, sawah, dan lainnya yang dapat
menyebabkan aktivitas sehari-hari menjadi terganggu terkait dengan pekerjaan,
sekolah dan ibadah. Kehilangan, kerusakan, perpindahan merupakan pengalaman
tiba-tiba yang menimbulkan syok, tekanan, kecemasan, rasa bersalah bahkan trauma.
Bila trauma ini tidak tertangani dengan baik dapat berujung pada gangguan psikologis
seperti kecemasan, depresi, dan Post Traumatic Disorder (PTSD). Bencana alam
dapat menelan koban ana-anak, remaja, dewa maupun lasia.

Koenctjoro dan Andayani (2007) menjelaskan bahwa beberapa problem


psikologi yang dialami korban pasca benca alam, antara lain :

10
1. Kecemasan. Kecemasan adalah ketakutan dengan objek, sebab dan alasan,
yang tidak jelas.
2. Stres. Stres adalah kondisi yang dirasakan sangat menekan, mendorong dan
menjadi beban hidup maupun psikologis yang sedemikian berat sehlngga
menekan
fungsi keseimbangan psikologis.
3. Trauma. Trauma adalah memarsecara psikologis.

Trauma adalah menghadapi atau merasakan suatu kejadian atau serangkaian


kejadian yang berbahaya baik bagi fisik maupun psikologis seseorang dimana hal
tersebut akan membuat individu tidak lagi merasa aman, menjadikan diri merasa tidak
berdaya (Mendatu, 2010). Weaver, Flanelly dan Preston, 2003 dalam Nirwana
(2012) trauma merupakan suatu kejadian fisik atau emosional yang cukup serius yang
mengakibatkan kerusakan dan ketidakseimbangan secara substansial terhadap fisik
dan psikologis seseorang dalam jangka waktu yang relative lama. Sementara trauma
psikis dalam psikologi diartikan sebagai anxiety/kecemasan hebat dan mendadak
akibat kejadian di lingkungan individu yang melampaui batas kemampuannya untuk
bertahan, mengatasi atau menghindar.

Sejalan dengan dua definisi di atas, Nurrochman (2007) menyatakan bahwa


dalam bidang psikologi, istilah trauma merupakan suatu pengalaman mental yang luar
biasa menyakitkan karena melampaui batas kemampuan seseorang untuk
menanggungnya. Trauma bersumber pada pengalaman traumatik. Secara umum,
pengalaman traumatik memiliki ciri-ciri: terjadi diluar kendali orang yang
mengalaminya, dapat mengancam kehidupan, berakibat ketakutan dan traumatik yang
mendalam.

Secara sederhana, dapat disimpulkan trauma adalah kejadian yang


tidak menyenangkan, baik fisik maupun psikis, yang dialami seseorang.

E. Ciri-ciri Individu Yang Mengalami Trauma Pasca Bencana

11
1. Trauma Pada Anak Usia Dini dan Remaja

Data United Nation International Strategy For Disaster


menyebutkan sebanyak 60 persen anak-anak di dunia merupakan korban bencana
alam (sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id). Pihak yang paling rentan mengalami
trauma akibat bencana adalah anak dan remaja. Hal ini disebabkan karena mereka
belum memiliki kemampuan dalam mengontrol emosi dan menyelesaikan masalah
secara adaptif (Hasiana, 2019). Oleh sebab itulah penanganan trauma pasca benca
alam terhadap anak dan remaja harus lebih difokuskan.

Menurut American Psychological Association, ada beberapa reaksi dan respon


yang muncul saat menghadapi bencana alam, antara lain:

a. Anak merasa gugup, cemas, lebih sensitif dari biasanya


b. Terjadinya perubahan pada pola pikir dan perilaku. Biasanya korban akan
mengingat kembali peristiwa yang telah terjadi meskipun ia tidak
menginginkannya (re-experiencing). Hal ini akan mempengaruhi kondisi
fisiknya seperti berkeringat dingin, meningkatnya detak jantung, sulit
berkonsentrasi sehingga pola tidur dan makan menjadi
terganggu
c. Sensitif terhadap lingkungan sekitar. Suara ribut, getaran atau stimulus
lainnya yang memicu ingatan akan bencana menimbulkan kecemasan serta
rasa takut akan terulangnya bencana
d. Munculnya gejala fisik yang berkaitan dengan stres
psikosomatis) seperti sakit kepala, sakit dada, insomnia dan lainnya
(sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id).

Selanjutnya, Karimah (2015) menjelaskan bahwa pada anak usia 1-5


tahun, gangguan yang menunjukkan tanda-tanda trauma adalah menghisap
jempol, mengompol, kurang dapat mengontrol diri, tidak mengenal waktu, takut
gelap, tidak mau lepas dari pegangan orang tua, kesulitan berbicara, perubahan
selera makan. Adapun trauma yang perlu ditangani oleh tenaga profesional adalah

12
keinginan menyendiri secara berlebihan, tidak ada respon terhadap perhatian
khusus, dan sebagainya.

Trauma pada setiap anak maupun remaja memiliki rentang


waktu pemulihan yang berbeda-beda, tergantung bagaimana lingkungan dapat
berperan aktif dalam membantu anak maupun remaja untuk memahami suatu
peristiwa. Pada proses pemulihan trauma dapat dilakukan melalui kegiatan yang
menyenangkan, menghibur dan menarik perhatian anak maupun remaja sehingga
rasa traumanya akan teralihkan. Penanganan yang salah dapat menyebabkan
trauma pada anak menjadi semakin dalam dan sulit dipulihkan sehingga trauma
yang terjadi akan semakin berat.

2. Trauma Pada Orang Dewasa dan Lansia


Orang dewasa dan lansia juga tidak luput menjadi korban bencana alam.
Akan tetapi mereka diharapakan sudah lebih mampu mengatasi trauma yang
terjadi pada dirinya pasca bencana alam dikarenakan kontrol emosi dan
kemampuan berfikirnya yang sudah lebih baik diandingkan dengan anak-anak dan
remaja. Akan tetapi trauma yang terjadi ini juga tidak bisa dianggap hal yang
sepele. Sebab jika terus terjadi maka akan berdampak buruk pada kehidupan
mereka kedepannya.
Tomoko (2019) menjelaskan gejala psikologis yang terjadi pada individu
pasca bencana dapat diakibatkan oleh kegiatan tertentu dan stress pasca bencana.
Adapun gejala yang terjadi antara lain :
a. Perasaan depresi. Gejala perasaan depresi meliputi mudah menagis, merasa
tidak ada harapan untuk masa depan, merasa galau dan merasa kesepian
b. Minat atau rasa senang yang berkurang. Seperti tidak ada rasa minat
terhadaap segala hal dan hilangnya minat atau kesenangan seksual
c. Nafsu makan rendah, kesulitan untuk tidur atau tetap tidur, merasa kurang
bertenaga dana tau merasa segala sesuatu perlu usaha , menaruh kesalahan
pada diri sendiri untuk segala hal, terlalu khawatir mengenai segala hal atau
merasa tidak berguna bahkan berfikir untuk bunuh diri

13
BAB 3

KonselingTraumatik

A. CapaianPembelajaran

Setelahmembahas Bab III


diharapkanmahasiswasebagaicalonpendampingkonselingtraumatikmampu menjelaskan:

1. PengertianKonselingTraumatik
2. TujuanKonselingTraumatik

B. PengertianKonselingTraumatik

Sepanjangmenjalanikehidupan, individuseringdihadapkanpadapersoalan-
persoalankehidupan yang cukuprumitsepertikonflik, kekerasandanperlakukaan – perlakuan
yang tidakmenyenangkan. Selainitu, problematikailmiahsepertibencanaalam juga
dapatmengguncangkehidupanseorangiindividu. Hal
inimembuatgangguanfisikmaupunpsikologispadadiriindividu yang menjadi korban
darikejadian-kejadiantersebut. Konselingtraumatikmerupakansalahsatucara yang
dapatdilakukanuntukmembantuindividutersebutkeluardarisituasiburuk yang dialaminya.

Konselingadalah proses pemberianbantuan yang


dilakukanmelaluiwawancarakonselingolehseorangahli (disebutkonselor) kepadaindividu
yang sedangmengalamisesuatumasalah (disebutklien) yang bermuarapadateratasinyamasalah
yang dihadapiklien (Prayitno, 2004:105). Franks Parson (dalamPrayitno, 1999)
konselingadalahkegiatanpengungkapanfaktaatau data
tentangsiswasertapengarahankepadasiswauntukdapatmengatasimasalah yang dihadapinya.
SelanjutnyaCarl Rogers,seorangahlipsikologihumanistikterkemuka,
berpendapatbahwakonselingmerupakanhubunganterapiantarakonselordankonseli yang
bertujuanuntukmelakukanperubahandiripadapihakklien.
Konselingmerupakansalahsatuupayamengatasikonflik,

14
hambatandankesulitandalammemenuhikebutuhanseseorang, juga
sebagaiupayameningkatkan mental seseorang (Nurihsan,2009)

Jadi, konselingadalahserangkaianbantuan yang dilakukanolehseseorang yang ahli di


bidangkonseling (disebutkonselor) kepadaseseorang yang sedangmengalamisesuatumasalah
(disebutklien) dengantujuan agar
kliensecaramandiridapatmengembangkansegalapotensipadadirinyauntukdapatmengatasiper
masalahan-permasalahan yang sedangdialaminya.

Trauma
merupakankeadaandimanaseseorangmengalamigangguanbaikfisikmaupunpsikologisakibatke
jadian/pengalamanyang cukupmengerikandanmembuatmereka
tidakberdaya. Trauma juga seringdikaitkandengankondisiseseorang yang
terpurukakibatpengalamanpahit yang menimpanya. Weaver, Flanellydan Preston, 2003
(dalamNirwana,2012) trauma merupakansuatukejadianfisikatauemosional yang cukupserius
yang
mengakibatkankerusakandanketidakseimbangansecarasubstansialterhadapfisikdanpsikologis
seseorangdalamjangkawaktu yang relatiflama. Sementara trauma
psikisdalampsikologidiartikansebagaianxiety/kecemasanhebatdanmendadakakibatkejadian
di lingkunganindividu yang melampauibataskemampuannyauntukbertahan,
mengatasiataumenghindar.

Di sampingitu trauma merupakansuatukondisiemosional yang


terusberlanjutsetelahsuatukejadian trauma yang tidakmenyenangkan, menyedihkan,
menakutkan, mencemaskandanmenjengkelkan. Trauma
psikisterjadiketikaseseorangdihadapkanpadaperistiwayang menekan yang menyebabkan rasa
tidakberdayadandirasakanmengancam. Reaksiumumterhadapkejadiandanpengalamanyang
traumatisadalahberusahamenghilangkannyadarikesadaran,
namunbayangankejadianitutetapberadadalammemori. (PusatKonseling Trauma: 2018).

Dapatdisimpulkan trauma
adalahsuatukeadaandimanaseseorangmengalamigangguanbaikfisikmaupunpsikologisakibatk

15
ejadian/pengalamanyang idakmenyenangkan, menyedihkan, menakutkan,
mencemaskandanmenjengkelkanyang menyebabkan rasa
tidakberdayadandirasakanmengancamdiriindividusecaraterusmenerus.

MenurutFone (Rahmi, 2012) Trauma bersumberpadapengalamantraumatik.


Secaraumum, pengalamantraumatikmemilikiciri-ciri:

1. Terjadidiluarkendali orang yang mengalaminya


2. Dapatmengancamkehidupan
3. Berakibatketakutandantraumatik yang mendalam.

Flanneri juga menambahkangejala yang akanditunjukankarena trauma: “All of


Inividual who are traumatized will create symptoms showing that may include intrusive
recollections of the event, avoidance of situation triggerr a traumatic memory with a
numbing of general responsiveness, and much arousal in psycologica area”. Dari segiklinis,
Goleman (Hatta, 201: 32-35) menyebutkanpenderita trauma menunjukanberubahnyalitar
limbic yang terpusatpadaamigdala, yang mengandungkatekolamin yang
memilikiduareaksikimia: adrenalin dannoradrenalina yang
berfungsisebagaipenggeraktubuhdalammenghadapikecemasanmaupunketakutan.
SehinggaJadipenderita trauma memilikireaksi yang sangatreaktifpadaamigdala yang
memproduksikatekolamin yang terlalubanyaksehinggamemberiresponspadakejadian yang
tidakberbahayadantidakmasukakal. Digambarkanlebihlanjutoleh Scott, &Stredling (2001)
dalam Hatta (2016; 29)

Hipocampusi

Incoming Thalamus Amigdala Emotional


Sensory Response

Gambar 1. Skema proses terjadinya trauma secaraklinis (Scott&Streding, 2001)

16
Proses terjadinya trauma secaraklinisdijelaskandenganterjadisesuatu yang
ditangkapmelaluiindrapadatubuh (Incoming Sensory) yang masukke thalamus yang
bertugassebagaipenafsirataupenerjemahterhadapinformasikemudiandikirimkankehipocampus
idanAmigdalasecarabersamaan. Pada hippocampus merupakanbagian yang
menyimpanmemorijangkapanjangamigdala. Amigdalabertanggungjawabterhadaprespon yang
harusdikeluarkan, selainituamigdala juga
bertanggungjawabterhadapperilakuuntukbertahanhidupindividudanmelindungidirisehinggater
jadigerakanrekfleksterhadaprespon. Selainituamigdala juga
menyimpanresponterhadapmemoritertentusehinggaindividuakanbergerakotomatisterhadapran
gsangan yang sama. Saat orang memilikikririsdan trauma,
hippocampusitidakdapatberperasidenganbenarsehinggatidakdapatsehinggasaatpemprosesanin
formasikepadaamigdala yang salahmengakibatkanamigdalamemicuhormon adrenalin yang
banyakterhadapperistiwa yang tidakmengancamsekalipun.

Olehsebabitulah, trauma bisadialamiolehsiapasajaakibatsuatuperistiwa yang


takpernahdidugasebeumnyadanberlangsung lama jikatidaksegeradihilangkan.

Selanjutnya, menurutNurihsandalamMuthmainnah (2013) seseorang yang


terjebakdalamkondisilingkungan yang rawandanmerugikan,
sepertiberbagaijenisbencanaalam, terkenaledakanbom, terjadibanjirbandang,
musibahkebakaran, mendapatkantekanandaritemanbisamenyebabkankeadaantakut/ tertekan.
Apabilakeadaaniniberlangsungseringterjadiakanberdampakpadapsikologis yang sakit yang
disebutdenganistilah trauma.

Layanankonselingtraumatiksebenarnyadibutuhkanolehindividu yang
pernahmengalamikejadianmenakutkandalamhidupnyadengantujuanuntukmenstabilkanemosi
nya agar bisahidupdengantenang, damaidantentram.
Konselingtraumatikadalahupayakonseloruntukmembantukonseli yang mengalami trauma
melalui proses
hubunganantarpribadisehinggakonselidapatmemahamidirisehubungandenganmasalah trauma

17
yang dialaminyadanberusahauntukmengatasinyajikaterjadiperistiwadikemudianhari
(Nurihsan, 2009).

AdapunkarakteristikkonselingtraumatikmenurutNurihsan (2009) yaitu :

1. Memerlukanwaktu yang lebihpanjangdibandingkankonselingbiasa.


Konselingtraumatikmemerlukanwaktusatusampaiduapuluhsesi.
Namunkonselingbiasasatusampaienamsesi.
2. Konselingtraumatikakanberfokusdengansatumasalah trauma yang dialaminya,
tetapikonselingbiasaakanmenghubungkansatumasalahdengan yang lainnya.
3. Konselingtraumatiklebihbanyakmelibatkan orang lain dalammembantumemulihkan
trauma. Konselorberusahamengarahkan, mensugesti, memberi saran
mencaridukungandarikeluargadantemankonseli,
sertamengusulkanberbagaiperubahanlingkunganuntuksikonseli.
4. Konselingtraumatiklebihmenekankanpadapemulihankembaliterhadapklienpadakeadaann
yasebelumteraumasertamampumenyesuaikandiriterhadaplingkungannnya yang baru.
C. TujuanKonselingTraumatik

Pelaksanaanpendampinganuntuk korban-korban yang mengalami trauma


melaluikonselingtraumatiktentuakansangatmembantudalammenghilangkan trauma yang
dimiliki para korbapasca trauma ini. MurodanKottman(dalamNurihsan, 2009)
menyebutkan, bahwatujuankonselingtraumatikantaralain :

1. Berpikirrealistis, bahwa trauma yang dihadapiklienadalahbagiandarikehidupan


2. Memperolehpemahamantentangperistiwadansituasi yang menimbulkan trauma
3. Memahamidanmenerimaperasaan yang berhubungandengan trauma
4. Belajarketerampilanbaruuntukmengatasi trauma

Dengandemikian, begitupentingnyapelaksanaankonselingtraumatikbagi korban


pasca trauma makapendampinganinihendaknyaperlusegeradilakukanuntukkorba agar
trauma yang dialamibisasegeradiatasidantidakberlangsung lama
sehinggadapatmerugikandirinyadanmengganggukehidupannyasehari-hari,

18
19
BAB 4

Macam-Macam Pendekatan dalam Pendampingan Konseling Traumatik

A. Capaian Pembelajaran

Setelah membahas Bab IV diharapkan mahasiswa sebagai calon pendamping dalam


pendampingan konseling traumatik dapat menyebutkan :

1. Pendekatan - Pendekatan dalam Pendampingan Konseling Traumatik


2. Teknik – Teknik Pendampingan Konseling Traumatik

B. Pendekatan - Pendekatan dalam Pendampingan Konseling Traumatik

Seorang pendamping/ konselor dapat menggunakan layanan bimbingan dan


konseling sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pendampingan konseling traumatic.
Bebarapa layanan itu antara lain :

1. Bimbingan Kelompok

Bimbingan merupakan proses pemberian bantuan yang terus menerus diberikan


dari seorang pembimbing yang telah dipersiapkan kepada individu yang
membutuhkannya dalam rangka mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya
secara optimal dengan menggunakan berbagai macam media dan teknik bimbingan dalam
susunan asuhan yang normatif agar tercapai kemandirian sehingga dapat bermanfaat bagi
dirinya sendiri maupun bagi lingkungannya. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka
pemberian bimbingan harus dilakukan secara terus menerus, terencana dan terarah
kepada tujuan yang akan dicapai (agar tujuan dapat dicapai).

Banyak jenis layanan bimbingan yang dilakukan, salah satunya bimbingan


kelompok. Menurut Tirmizi (2011:140), layanan bimbingan kelompok adalah layanan
yang memungkinkan individu secara bersama-sama melalui dinamika kelompok
memperoleh berbagai bahan dari narasumber tertentu dan membahas secara bersama-
sama, mengemukakan pendapat tentang sesuatu atau membicarakan topik-topik penting,
mengembangkan nilai-nilai yang bersangkut paut (bersangkutan) dengan hal tersebut,
dan mengembangkan langkah-langkah bersama untuk menengahi permasalahan yang
dibahas di dalam kelompok.

20
Banyak ahli yang merumuskan pengertian bimbingan kelompok, diantaranya
sebagai berikut: Menurut Achmad (Winkel 2006: 17) juga menyatakan bahwa
“Bimbingan kelompok merupakan bantuan yang dilaksanakan dalam situasi kelompok”.
Bimbingan kelompok dapat berupa pencapaian informasi ataupun aktivitas kelompok
membahas masalah-masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi dan sosial.

Menurut Achmad (Winkel 2006:17) juga menyatakan bahwa “bimbingan


kelompok dimaksudkan untuk mencegah berkembangnya masalah atau kesulitan pada
diri konseli”. Isi kegiatan bimbingan kelompok ini terdiri dari penyampaian informasi
yang diberikan dalam bimbingan kelompok tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki
dan mengembangkan pemahaman diri dan pemahaman orang lain. Pemberian bimbingan
juga dapat mencegah berkembangnya masalah yang dialami oleh konseli. Jadi sebelum
masalah yang dihadapi konseli berkembang sebaiknya diberikan bimbingan terlebih
dahulu, sehingga bila diberikan bimbingan konseli akan mendapatkan suatu informasi
tentang masalah yang sedang dihadapinya.

Sedangkan menurut Lamuddin (2006:21) layanan bimbingan kelompok


memungkinkan sejumlah individu secara bersama-sama membahas topik tertentu yang
berguna untuk menjalin hubungan yang baik sesama anggota kelompok untuk mampu
berkomunikasi serta mengembangkan kemampuan mengemukakan pendapat melalui
dinamika kelompok yang dituntun (didampingi/diarahkan) oleh pembimbing
(konselor).

Berdasarkan defenisi di atas dapat(dihapus) jika dikaitkan dengan pelaksanaan


pendampingan konseling traumatik maka dapat disimpulkan bahwa Bimbingan
Kelompok adalah proses pemberian bantuan yang memungkinkan individu secara
bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh berbagai bahan dari
pendamping/ konselor dan membahas secara bersama-sama, kemudiuan (kemudian)
mengemukakan pendapat tentang sesuatu, mengembangkan nilai-nilai yang bersangkut
paut (bersangkutan) dengan hal tersebut, dan mengembangkan langkah-langkah
bersama untuk mengatasi dan menghilangkan trauma yang mungkin dialami oleh anggota
kelompok.

2. Konseling Kelompok

Kelompok adalah berkumpulnya sejumlah orang yang saling berkaitan satu sama
lainnya yang terikat oleh tujuan bersama dalam peranan mereka masing-masing atau
mereka senasib-sepenanggungan.

21
Menurut Tohirin (2013:172) “layanan konseling kelompok dapat dimaknai
sebagai upaya pembimbing atau konselor membantu memecahkan masalah-masalah
pribadi yang dialami masing-masing oleh anggota kelompok melalui kegiatan kelompok
agar tercapai perkembangan yang optimal”.Sedangkan konseling kelompok menurut
Prayitno dan Erman Amti (2004:311) adalah “Layanan konseling perorangan yang
dilaksanakan dalam suasana kelompok dalam suasana yang hangat, terbuka, permisif dan
penuh keakraban”.

Selanjutnya W.S Winkel dan Sri Hastuti (2004:589) menambahkan bahwa


“Konseling kelompok merupakan bentuk khusus dari layanan konseling, yaitu wawancara
konseling antara konselor professional dengan beberapa orang sekaligus yang tergabung
dalam suatu kelompok kecil”. Sedangkan menurut Murad (2009) “Konseling kelompok
adalah suatu prosedur membantu yang dimulai dengan anggota kelompok mengeksplorasi
dunia mereka sendiri bertujuan mengidentifikasi, pikiran, perasaan dan melakukan proses
yang ada dalam suatu cara self- defeating”. Anggota menentukan dan mendeklarasikan
pada kelompok apa tingkah laku mereka yang kurang produktif dan memutuskan untuk
memilih bersama-sama anggota kelompok lain tingkah laku apa yang akan dibahas,
diperbaiki.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Konseling kelompok adalah


proses konseling yang dilakukkan (dilakukan) dalam situasi kelompok, dimana konselor
berinteraksi dengan konseli dalam bentuk kelompok yang dinamis untuk memfasilitasi
perkembangan individu dan atau membantu individu dalam mengatasi masalah yang
dihadapinya secara bersama-sama.
Konseling kelompok mengemban tanggung jawab untuk membantu individu
mampu menyesuaikan diri terhadap dinamika dan perubahan kehidupan sosial yang
dilakukan oleh seorang konselor sebagai bentuk upaya pendidikan, karena kegiatan
konseling selalu terkait dengan pendidikan dan keberadaan konseling kelompok dalam
pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan defenisi konseling kelompok dari para ahli di atas, jika dikaitkan
dengan pelaksanaan pendampingan konseling traumatik maka dapat disimpulkan bahwa

22
konseling kelompok merupakan bantuan yang diberikan oleh seorang pendamping atau
konselor kepada anggota kelompok (klien/korban trauma) yang memanfaatkan dinamika
kelompok untuk membantu individu meningkatakan pemahaman individu tentang diri
sendiri dan hubungannya dengan orang lain (berusaha untuk menghasilkan perubahan-
perubahan dalam diri sendiri, tentang sikap dan prilaku berkaitan dengan trauma yang
mungkin sedang dialami oleh anggota kelompok).

3. Konseling Individual

Konseling individu merupakan layanan konseling yang diselenggarakanoleh


konselor terhadap konseli untuk mengentaskan suatu masalah yang dihadapi konseli.
Dewa Ketut Sukardi dan Nila Kusmawati (2008) mendefinisikan konseling
individu/perorangan adalah layanan bimbingan dan konseling yang
memungkinkan klien mendapatkan layanan langsung secara tatap muka dengan
konselor dalam rangka pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi yang
dideritanya.

Prayitno dan Erman Amti (2015) mengatakan konseling individu adalah


sebagai pelayanan khusus dalam hubungan langsung tatap muka antara
konselor dan klien. Dalam hubungan itu dicermati dan diupayakan pengentasan
masalahnya, semampu dengan kekuatan klien itu sendiri. Dalam kaitan itu, konseling
dianggap sebagai upaya layanan yang paling utama dalam pelaksanaan fungsi
pengentasan masalah klien. Bahkan dikatakan bahwa konseling merupakan “jantung
hatinya” pelayanan bimbingan secara menyeluruh. Apabila layanan konseling telah
memberikan jasanya, maka masalah klien akan teratasi secara efektif dan upaya-upaya
bimbingan lainnya tinggal mengikuti atau berperan sebagai pendamping.

Dalam perkembangannya, saat ini layanan konseling individual tidak harus


diselenggarakan secara tatap muka melainkan dapat dilakukan secara online.
Sebagaimana dijelaskan oleh Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan
perkembangan teknologi komputer, interaksi antara konselor dengan klien tidak hanya
dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan
secara virtual (maya) diganti jadi (online) melalui internet dalam bentuk
cybercounseling.

Teknik cybercounseling merupakan satu inovasi dari beberapa penggunaan


teknologi informasi dalam bimbingan dan konseling. Menurut Cybercounseling or
Webcounseling, as it is called by the NationalBoard of Certified Counselors (NBCC), is

23
defined by NBCC as ‘thepractice of proffesional counseling and information delivery that
occurswhen client and counselor are in separate or remote locations and utilize
electronic means to communicate over the internet.’ This definition would
seem to include Web pages, email, and chat rooms but not telephones and
faxes (Rosemarie S. Hughes, 2000).

Dapat diartikan bahwa Cybercounseling atau Webcounseling, adalah sebuah


praktik konseling profesional dan merupakan sebuah proses pengiriman pesan yang
terjadi ketika klien dan konselor pada tempat yang terpisah atau dengan jarak yang
berjauhan dan menggunakan media elektronik untuk berkomunikasi melalui internet.

Jadi dapat disimpulkan bahwa konseling individu merupakan suatu layanan


konseling yang diselenggarakan oleh konselor terhadap konseli untuk mengentaskan
suatu masalah yang dihadapi konseli. Berdasarkan defenisi konseling individu dari para
ahli di atas, jika dikaitkan dengan pelaksanaan pendampingan konseling traumatikmaka
dapat disimpulkanbahwakonseling individu adalah proses pemberian bantuan oleh
konselor/pendampingterhadap konseli/ korban trauma untuk membantu memandirikan
konseli/ korban trauma agar terbebas dari masalah trauma yang dialaminya sehingga
dapat menjalani kehidupan yang efektif sehari-hari.

4. Layanan Informasi

. Menurut Prayitno &Erman Amti (2004) layanan informasi adalah kegiatan


memberikan pemahaman kepada individu-individu yang berkepentingan tentang berbagai
hal yang diperlukan untuk menjalani suatu tugas atau kegiatan, atau untuk menentukan
arah suatu tujuan atau rencana yang dikehendaki. Dengan demikian, layanan informasi
itu pertama-tama merupakan perwujudan dari fungsi pemahaman dalam bimbingan dan
konseling.Sedangkan menurut Nurihsan (2014) berpendapat bahwa “layanan informasi
merupakan layanan memberi informasi yang dibutuhkan oleh individu”. 

Selanjutnya Ifdil (2008) menjelaskan bahwa tujuan layanan informasi ada dua
macam yaitu secara umum dan khusus.Secara umum adalah agar terkuasainya informasi
tertentu sedangkan secara khusus terkait dengan fungsi pemahaman (paham terhadap
informasi yang diberikan) dan memanfaatkan informasi dalam penyelesaian masalahnya.
Layanan informasi menjadikan individu mandiri yaitu memahami dan menerima diri dan
lingkungan secara positif, objektif dan dinamis, mampu mengambil keputusan, mampu
mengarahkan diri sesuai dengan kebutuhannya tersebut dan akhirnya dapat
mengaktualisasikan dirinya.

Berdasarkan pendapat di atas, jika dikaitkan dengan pelaksanaan pendampingan


konseling traumatik maka dapat disimpulkan bahwa layanan informasi adalah suatu

24
kegiatan atau usaha untuk membekali konseli/ korban trauma tentang berbagai macam
pengetahuan atau informasi yang relevan supaya mereka mampu mengambil keputusan
secara tepat dalam kehidupannya untuk pencapaian pengembangan diri secara optimal
guna mencapai kualitas hidup yang lebih baik dengan terbebas dari masalah trauma yang
mungkin dialaminya.

C. Teknik – Teknik dalam Pendampingan Konseling Traumatik

1. Emotional Freedom Technique (EFT)

Konseling berguna untuk memunculkan insight yang seharusnya ditindak


lanjuti dengan perilaku coping permasalahannya trauma jika klien berhasil
melakukannya namun hal ini membutuhkan beberapa sesi dan kemauan klien untuk
mengungkapkan apa yang dirasakan sehingga ketika menghadapi trauma dengan
perasaan emosionalnya maka perlu tahap relaksasi dan pada program ini menggunakan
teknik khusus yang disebut EFT. EFT merupakan teknik akupuntur versi emosional.
Berbeda dengan teknik akupuntur pada umumnya yang menggunakan jarum, EFT
menggunakan tapping (ketukan ringan) dengan jari di 18 titik meredian tubuh untuk
mengatasi hampir semua hambatan emosi dan fisik. Delapan belas saja? Ya, memang
hanya ada 18 titik yang perlu pelajari dalam EFT. Anda tidak perlu mempelajari 300
titik akupuntur yang menggunakan jarum. Teknik ini sangat mudah dipelajari dan
dapat diterapkan di mana saja, untuk siapa saja.

Ketika seseorang mengalami hambatan emosional seperti marah, kecewa,


sedih, cemas, stress, trauma dsb., aliran energi di dalam tubuh yang melalui titik
meredian tubuh akan terganggu. Dan untuk menghilangkan hambatan-hambatan emosi
di atas, kita perlu memperbaiki gangguan aliran di titik meredian dengan cara
mengetukkan jari dengan cara tertentu sesuai teknik EFT.

Untuk melakukan ketukan pada 18 titik meredian tubuh hanya memerlukan 4


prosedur yang sederhana dan mudah diingat, yang dinamakan resep dasar (basic
recipe). Prosedur ini dapat digunakan untuk mengatasi hampir semua masalah emosi
negatif dan fisik. Menurut psikolog Charles Figley, Ph.D., pendiri Green Cross pada
tahun 1995 dan juga tokoh ternama dalam bidang terapi trauma, mengatakan “Energy
Psychology” semakin terbukti sebagai salah satu intervensi psikologis yang terampuh
bagi para tenaga ahli yang membantu korban bencana, maupun bagi tenaga ahli itu
sendiri.” Begitu emosi negatif sudah dapat dihilangkan dengan EFT, maka masalah-
masalah fisik mulai hilang dengan sendirinya seperti amnesia disosiatif, dan imsonia
yang mengiringi stress traumatik.

25
2. Cognitive Behavior Therapy(CBT)

CBT digunakan ketika ada distorsi kognitif dan perilaku penghindaran. CBT
dilakukan denganrestrukturisasi kognitif dan exposure. Klien dengan stress trauma yang
memiliki keyakinan negative menggunakan Eye Movement Desensitization and
Reprocessing (EMDR). Selanjutnya setelah secara kognitif tidak ada lagi distorsi kognitif
dilanjutkan dengan exposure. Dalam hal ini melibatkan dukungan sosialnya yaitu teman
atau relasi terdekat untuk mendampinginya selama proses tersebut.

Cognitive-Behavior Therapy (CBT) merupakan pendekatan konseling yang


didasarkan atas konseptualisasi atau pemahaman pada setiap konseli, yaitu pada
keyakinan khusus konseli dan pola perilaku konseli. Proses konseling dengan cara
memahami konseli didasarkan pada restrukturisasi kognitif yang menyimpang, keyakinan
konseli untuk membawa perubahan emosi dan strategi perilaku ke arah yang lebih baik.
Oleh sebab itu CBT merupakan salah satu pendekatan yang lebih integratif dalam
konseling

Matson & Ollendick mengungkapkan bahwasanya CBT merupakan perpaduan


pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Sehingga
langkah-langkah yang dilakukan oleh cognitive therapy dan behavior therapy ada dalam
konseling yang dilakukan oleh CBT. Karakteristik CBT yang tidak hanya menekankan
pada perubahan pemahaman konseli darisisi kognitif namun memberikan konseling pada
perilaku ke arah yang lebih baik dianggap sebagai pendekatan konseling yang tepat untuk
diterapkan di Indonesia.

3. Telenursing

Setelah EFT dan rangkaian konseling telah dilakukan, maka masuk pada reentry
phase untuk mengetahui keberhasilan penanganan dengan melihat proses kognitif,
emosional dan kemampuan untuk membuat keputusan sendiri, bertumbuh, berubah dan
memiliki arahan-arahan baru dalam hidupnya. Maka dibutuhkan suatu media untuk
proses penanganan aspek psikologis traumatic yang tidak singkat melainkan merupakan
proses yang relatif panjang. Sehingga perlu dirancang sebuah strategi penanganan
traumatik untuk mengatasi masalah psikologis yang berkelanjutan dengan menggunakan
suatu sistem teknologi modern.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat dalam


bidang pendidikan dan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan telah mendorong
terciptanya suatu model pelayanan keperawatan jarak jauh yang lebih dikenal dengan

26
nama telenursing. Telenursing berarti pemberian perawatan secara berkelajutan untuk
klien dan biasanya pada mereka dalam kondisi kronik (Hardin, 2001). Telenursing
meliputi pengumpulan data klinik pasien dan penggunaan video-imaging untuk
memberikan perawatan berkelanjutan dan edukasi pada klien.

Sistem ini memungkinkan perawat memberikan informasi dan waktu secara


akurat dan dukungan secara online. Perawatan yang berkelanjutan dapat ditingkatkan
dengan memberikan harapan melalui kontak dengan frekuensi yang sering antara pemberi
asuhan perawatan dengan klien.

Menurut penelitian yang dilakukan Bohnenkam, et al (2002), bahwa pasien yang


menerima perawatan dengan menggunakan telenursing mengatakan bahwa pengetahuan
mereka meningkat dan merasa lebih nyaman dengan yang disarankan oleh perawat.
Selain itu pengunaan system ini lebih mudah di akses dan mereka umumnya lebih
menyukai telenursing daripada harus menunggu untuk kunjungan face to face. Tetapi
mereka masih percaya bahwa face to face adalah yang terbaik.

4. Rational Emotive Behavior Theraphy (REBT)

Merupakan pendekatan yang lebih menekankan kepada bagaimana pentingnya


peran pikiran padatingkah laku (Dryden & Bernard, 2019). Pendekatan ini lebih melihat
bahwa individu merupakan bagian yang didominasi oleh sistem berfikir dan sistem
perasaan yang berkaitan dengan system psikis didalam dirinya. Salah satu pemikiran yang
dikemukan oleh ahli bahwa individu memiliki karakteristik yang mempunyai pikiran
irasional yang berasal dari proses belajar yang ia dapatkan dari orangtuanya maupun
lingkungannya. Albert Ellis juga mengemukakan bahwa ketidakbahgiaan seseorang
seseorang merupakan salah satu hasil dari peristiwa ekternal yang tidak didapat dikontrol
didalam diri individu itu sendiri. Tidak hanya dalam hal itu, Ellis juga mengemukakan
bahwa masa lalu dapat menentukan tingkah laku saat ini dan tidak bisa diubah.

Pandangan REBT menyatakan bahwa seseroang individu dapat menyakiti dirinya


sendiri dengan pikiran yang tidak logis dan tidak ilmiah atau mengembangakan
kebahagiaan hidup dengan berfikir rasional berdasarkan bukti maupun fakta yang ada.

Berfikir irasional dapat menjadi masalah bagi individu karena menyalahkan


kenyataan dan mengandung cara-cara yang tidak wajar atau tidak logis dalam
mengiontropeksi dirinya (Trower & Jones, 2019). Pendekatan REBT berpadangan bahwa
seseorang mengalahkan dirinya dengan berbagai cara, yaitu dengan memperkuat
keyakinana irasional tentang emosi dan kenyamana fisik.

27
28
Bab 5
Etika Menjadi Pendamping dalamPendampingan Konseling Traumatik

A. Capaian Pembelajaran
Setelah membahas BAB V diharapkan mahasiswa sebagai calon pendamping dalam
Pelaksanaan Konseling Traumatik dapat menjelaskan :
1. Pengertian etika
2. Etika pendamping dalam pelaksanaan konseling traumatik

B. Pengertian Etika

Pelaksanaan konseling atau pendampingan konseling traumatik akan berjalan dengan


baik, apabila antara konselor/pendamping dengan klien/korban terjalin hubungan yang
harmonis. Hal ini juga dipengaruhi oleh etika konselor/pendamping selama pelaksanaan
konseling traumatik. Gladding (2012) mendefinisikan etik (etika) sebagai suatu filsafat
mengenai tingkah laku dalam pengambilan keputusan moral, yang bersifat normatif dan
berfokus pada prinsip serta kaidah standar yang mengatur hubungan antar individu.
Langkah, ucap, dan pikir manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah terlepas dari aturan-
aturan normatif yang megikat(mengikat) dan telah disepakati bersama sebagai nilai yang
harus dijinjung(dijunjung) tinggi dalam kehidupan bermasyarakat.

Sedangkan Donald H. Blocher (1996) mendefiniskan etika sebagai prinsip-prinsip


atau standar perilaku yang didasarkan pada kaidah umum yang dapat diterima atau
disepakati bersama. Karena etika bersifat normatif, maka jika seseorang tidak
mengindahkan kesepakatan aturan tersebut maka niscaya keberadaan orang tersebut akan
diasingkan atau bahkan dikeluarkan dalam suatu sistem komunitas.

Standar etika itu muncul dari pengakuan individu yang mewakili profesi dan
melakukan upaya-upaya sebagai bentuk penghormatan para anggota profesi tersebut melalui
asosiasi yang menaunginya. Komunikasi serta kinerja yang ada di dalam tubuh organisasi
profesi dikawal dan dipandu oleh standar (kode etik) yang bertindak untuk meminimalkan
atau mencegah hal-hal yang merugikan organisasi profesi itu sendiri, para praktisi profesi,
akademisi atau ilmuwan, serta individu yang dilayani profesi tersebut. Sebuah profesi tanpa
standar etika justru perlu dipertanyakan kredibilitasnya.

Oleh karena itu, konselor harus peka terhadap isu-isu yang berkembang dari ranah
politik dan birokrasi yang mengatur profesionalisasi dalam konseling. Konselor perlu
menaruh kepedulian lebih terhadap standar etika profesional. Konselor perlu dididik seperti
apa praktik yang dianggap diterima dan kompeten dalam bidang konseling secara umum,
maupun praktik konseling secara khusus. Konselor harus tahu kapan dilema etika timbul

29
sehingga mereka dapat membuat keputusan dan etis dalam praktek konseling tersebut. Hal
ini berarti seorang konselor harus sejak awal mengenali kode etik dalam bertindak
agarmelahirkan perilaku yang etis pula dalam setiap pengambilan keputusan. Sehingga mutu
pelayanan bimbingan dan konseling porofesional bisa diwujudkan.

Dapat disimpulkan etika adalah prinsip-prinsip atau aturan mengenai tingkah laku
yang didasarkan pada kaidah standar yang mengatur hubungan antar individu.

C. Etika Pendamping Dalam Pendampingan Konseling Traumatik

Seorang pendamping dalam pelaksanaan konseling traumatik yaitu orang yang


mendampingi para korban-korban bencana atau suatu peristiwa yang menimbulkan trauma
pada dirinya agar mereka dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki sehingga
mampu mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik. Pendampingan yang dalam hal ini
bisa dilakukan oleh konselor berupa pelaksanaan konseling traumatik perlu memiliki sikap
dan perilaku yang baik selama pendampingan. Hal ini bisa diwujudkan melalui etika yang
baik dari pendamping/konselor saat melakukan pendampingan/konseling traumatik kepada
korban-korban yang mengalami trauma.

Keefektifan konselor berhubungan dengan pengetahuan etik dan tingkah laku mereka
(Welfel dalam Gladding, 2012). Kinerja konselor tercermin pada seberapa besar konselor
tersebut mengamalkan pemahaman etik yang mereka miliki. Seringkali konselor
dihadapkan dengan dilema etis, kontraversi yang muncul akibat perbedaan pemahaman
mengenai standar moralitas seringkali mewarnai praktik konseling. Konselor perlu menaruh
kepedulian lebih terhadap standar etika profesional. Konselor perlu dididik seperti apa
praktik yang dianggap diterima dan kompeten dalam bidang konseling secara umum,
maupun praktik konseling secara khusus. Konselor harus tahu kapan dilema etika timbul
sehingga mereka dapat membuat keputusan dan etis dalam praktek konseling tersebut, hal
ini berarti seorang konselor harus sejak awal mengenali kode etik dalam bertindak sehingga
melahirkan perilaku yang etis pula dalam setiap pengambilan keputusan.

Dengan paham atas sekat pembeda dari pengertian-pengertian di atas, maka


diharapkan konselor mampu mencitrakan dirinya sebagai insan teladan yang senantiasa
berpedoman pada nilai-nilai etik hingga menunjukan kualitas moral yang baik. Harapan
selanjutnya adalah konteks serta ekspektasi kerja konselor yang senantiasa terbingkai
dalam proteksi legalitas di bawah asosiasi yang menangani ataupun pemerintah selaku
pembuat kebijakan

30
Etika Pendamping adalah tata krama untuk bersikap dan berperilaku bagi fasilitator
yang dilandasi nilai-nilai universal ”.

Contoh Etika Yang Baik selama berada di lokasi bencana adalah :


1. Tidak memakai kaca mata hitam
2. Tidak memakai baju yg berwarna terang
3. Tidak memakai baju seperti ke tempat pesta
4. Tidak memakai sepatu yang hak tinggi
5. Tidak memakai perhiasan
6. Tidak berdandan seperti ke tempat pesta
7. Tidak memakai pakaian yang tipis/transparan
8. Tidak tertawa berlebihan/ lepas
9. Tidak berphoto photo /berselfie dengan bebas
10. Jika ingin berphoto untuk dokumen penting minta izin kepada korban bencana

Selanjutnya, dalam bekerja dengan anak-anak, relawan dan organisasi tempat relawan
berafiliasi terikat pada pedoman atau kode etik berperilaku. Beberapa hal yang perlu
dilakukan oleh pendamping dalam konseling traumatik sebagai berikut :

a. Perlakukan setiap anak dengan hormat, sabar, sopan, bermartabat, berintegritas, dan
penuh pertimbangan.
b. Siapkanlah sebuah tempat yang aman untuk berkegiatan dengan anak-anak, seperti
“ruang ramah anak” sesegera mungkin dan lakukan kegiatan yang dapat menormalkan
kehidupan anakanak untuk memberikan mereka rasa aman, terstruktur dan dapat
diprediksi. Sebisa mungkin memberikan kegiatan untuk membantu kembali normal.
c. Lakukan aktivitas yang memberikan kesempatan pada anak untuk mengekspresikan
perasaan atau pengalaman mereka sebanyak mungkin jika anak sudah siap.
d. Hormati budaya dan kebiasaan setempat.
e. Dengarkan anak dan orang dewasa sebelum bertindak. Pastikan kegiatan dilakukan
berdasarkan hasil konsultasi dengan komunitas yang terdampak bencana.
f. Lakukan intervensi yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak.
g. Memaksa anak untuk menggambar, bermain, atau mengekspresikan perasaan mereka
terkait peristiwa traumatis bencana yang mereka alami. Memunculkan aspek emosi yang
terlalu dini dapat menimbulkan stres yang bisa membuat kondisi anak bertambah buruk.
Selain itu, melakukan permainan yang terlalu diarahkan atau tidak memberikan ruang
bebas berekspresi, dapat mengurangi kapasitas kontrol/ otonomi yang diperlukan anak
untuk proses pemulihan.

31
h. Menyentuh atau berbicara dengan anak dengan cara yang bernuansa seksual atau tidak
pantas.
i. Memukul, menampar, atau menarik anak untuk mengkontrol atau menghukumnya. j.
Mempermalukan, merendahkan, mengejek, atau mengancam anak.
j. Menerima atau memberikan hadiah dari/kepada anak tanpa sepengetahuan orang tua atau
wali mereka.
k. Merokok ketika berkegiatan dengan anak.
l. Mengkonsumsi alkohol atau berada dibawah pengaruh NAPZA ketika berkegiatan
dengan anak.

Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan jika seseorang menjadi seorang
pendamping dalam pelaksanaan Konseling Traumatik :

a. Pertama, kaunselor harus memiliki padangan yang realistis terhadap peran


mereka dalam membantu dan menolong orang trauma, karena dengan demikian
mereka dapat melihat kelemahan dan keterbatasannya dalam sesi pertolongan
seperti kurang memiliki data yang lengkap tentang kelemahan diri klien sebelum
menderita trauma, dan juga tidak dapat mengontrol pemicu trauma, karena
pemicu trauma itu. Muhibbin Syah (2006) Psikologi Pendidikan Dengan
Pendekatan Baru, Bandung: PT Remaja Rodakarya, Reber, Athur S (1988) The
Penguin Dictionary of Psychology. Ringwood Victoria: Penguin books Australia
Ltd. Trauma dan Pemulihannya adalah peristiwa objektif yang sudah dialami
klien, dan juga kaunselor tidak dapat mengontrol reaksi keluarga dan rakan klien
pada saat ia mengalami trauma.
b. Kedua, orientasi yang holistik artinya kaunselor dalam melakukan kaunseling
tidaklah mesti berlebihan dan arogansi tetapi kauselor harus menerima berbagai
bantuan lain demi kesembuhan klien, bila klien lebih tepat dirujuk ke psikiatrik
untuk penyembuhan secara medik, atau klien lebih cocok dirujuk ke-ulama (alhi
agama) untuk memenuhi aspek spritualnya atau ke profesional lainnya untuk
kesembuhan klien, hal itu harus dilakukan oleh kaunselor.
c. Ketiga fleksibelitas, artinya karena keterbatasan keterbatasan yang ada
kaunseling traumatik lebih fleksibel dalam pelaksanaannya dan di dalam
kaunseling kadang-kadang banyak melibatkan orang-orang seperti melibatkan
keluarga. Selain daripada itu dalam sesi kaunseling traumatik kaunselor tidak
memiliki banyak waktu untuk melakukan konfrontasi karena dia memang harus
bertindak cepat dan tepat.
d. Keempat keseimbangan antara empati dan ketegasan, karena peran kaunselor
disini harus jelas kapan harus tegas dan kapan dia harus empati, karena bila

32
kaunselor hanyut dalam suasana klien akan sulit memerankan kaunselor yang
profesional, begitu juga bila tidak tepat waktu memberikan arahan ketegasan
maka kaunseling akan tidak efektif. Karena empati ini adalah kemampuan
kaunselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien. Ketika seseorang merasa
dirinya hampa, sedih dan tidak tahu harus melakukan apa, maka dukungan orangorang
dan empati itu datang dari professional merupakan hal yang sangat penting.

Rasa percaya menjadi modal awal untuk melakukan proses pendampingan pemberian
dukungan psikososial. Hubungan awal yang terjalin dengan baik akan menjamin
adanya keterbukaan antara anak dan relawan pendamping. Keterbukaan ini akan
membantu relawan menfasilitasi anak dalam mengatasi masalahya atau memenuhi
kebutuhannya. Relawan bisa melakukan beberapa hal dibawah ini untuk membangun
kedekatan dengan anak:

a. Menyiapkan diri dengan pengetahuan dan keterampilan dasar berkaitan dengan


pendampingan anak
b. Menunjukkan keramahan kepada anak, menyayangi anak dengan tulus, jujur, serta
tidak dibuat-buat dan tetap menghormati anak
c. Membuka diri pada anak sehingga anak pun akan melakukan hal serupa. Tidak
canggung/malu saat beraktivitas dengan anak
d. Memberikan penghargaan, kesempatan anak untuk berpartisipasi, serta tanggung
jawab tertentu pada anak yang dianggap mampu
e. Mengenal perilaku anak sehari-hari (kebiasaan, rutinitas, pergaulan anak)
f. Peka pada kondisi, kebutuhan dan permasalahan anak (memahamai pikiran,
perasaan dan sudut pandang anak)
g. Menjadi contoh (role model) bagi anak dalam bersikap dan bertingkah laku
Membuat aturan bersama perlu dilakukan sebelum berkegiatan dengan anak. Hal ini
memastikan kegiatan dapat berjalan dengan kondusif. Konsekuensi saat melanggar
aturan yang ada juga perlu untuk didiskusikan dengan peserta yang lain. Konsekuensi
hanya sebagai pengingat mengenai aturan yang perlu ditaati oleh seluruh anggota
bukan hukuman bagi individu/anak yang melanggar aturan. Pendamping perlu
memastikan konsekuensi yang diberikan tidak mempermalukan atau membuat anak
merasa tidak nyaman.

33
Bab 7
Persiapan Pendamping dalam Pendampingan KonselingTraumatik

A. CapaianPembelajaran

Setelah membahas BAB VII diharapkan mahasiswa sebagai calon pendamping


dalam Pelaksanaan Konseling Traumatik dapat menjelaskan :

1. Pengertian Persiapan Pendampingan


2. Persiapan Pendampingan KonselingTraumatik

B. Pengertian Persiapan Pendampingan

Persiapan pendampingan merupakan segala sesuatu yang disiapkan saat akan


melakukan pendampingan seperti kesiapan konselor dalam menyediakan waktu dan
materi, kemudianbilik yang akan digunakan untuk melakukan proses pendampingan. Saat
melakukan persiapan pendampingan, yang dilakukan konselor yaitu meyiapkan
pertanyaan dan menyiapkan bahan untuk menggambar dasar (tesgrafis), gambar itu
digunakan untuk mengetahui kondisi psikologis klien.

Persiapan tersebut perlu dilakukan oleh konselor agar ketika melakukan


pendampingan konseling traumatik nantinya tidak mengalami kendala atau hambatan
yang dapat mengganggu jalannya kegiatan pendampingan konseling traumatik.Oleh
sebab itulah segala persiapan tersebut harus matang dan sempurna sebelum kegiatan
dilaksanakan kepada klien/korban trauma yang membutuhkan bantuan konselor.

C. Persiapan Pendampingan Konseling Traumatik

Layanan PFA (Psychological First Aid) merupakan serangkaian tindakan yang


diberikan guna membantu menguatkan mental seseorang yang mengalami krisis (WHO,
2009), seperti trauma akibat suatu kejadian yang menimpanya. Adapun langkah persiapan
pendamping dengan layanan PFAmeliputi:

a. Fasilitasi Rasa Aman

Lakukan segala sesuatu yang bisa membuat orang yang mengalami situasi sulit
atau terkenabencana agar dapat merasa aman.

Caranya:

34
Pastikan orang yang memerlukan dukungan dengan membawanya ke tempat yang aman,
halini akan meningkatakan kondisi fisik maupun emosionalnya. Adapun tindakan yang
bisadilakukan adalah sebagai berikut:

1) Carilah tempat aman dan nyaman yang dapat digunakan


2) Tanyakan kebutuhan dasar orang yang memerlukan dukungan yang bisa
dipenuhi.Sebagai contoh, kita bisa menawarkan air putih kepada orang yang
memerlukandukungan.
3) Tanyakan apakah ada diantara orang yang memerlukan dukungan yang
memerlukanpertolongan medis atau pengobatan
4) Identifikasi orang yang memerlukan dukungan yang memiliki kebutuhan khusus.

Sediakan informasi tentang kegiatan layanan yang tersedia dan bisa diakses.
Informasi yang terpercaya akan menghindarkan orang yang memerlukan dukungan akan
paparan informasi yang menyesatkan atau akan menyebabkan orang yang memerlukan
dukungan merasa sedih yang berlebihan. Informasi ini dapat berupa:

1) Kegiatan dan rencana apa saja yang akan dilakukan oleh pihak-pihak penyedialayanan.
Hal ini akan memberikan dampak positif kepada para orang yangmemerlukan dukungan
karena mereka tidak akan merasa sendiri di situasi yang sulit
2) Layanan-layanan apa yangtersedia dan dapat diakses oleh orang yang
memerlukandukungan. Reaksi-reaksi psikologis setelah mengalami situasi sulit atau
bencana.Tekankan bahwa yang mereka alami merupakan reaksi yang sewajarnya dalam
situasiyang luar biasa (bencana). Dengan memahami reaksi-reaksi ini para orang
yangmemerlukan dukungan tidak akan merasa aneh atau hanya dirilah yang
merasakansituasi sulit ini.
3) Informasi tentang cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasinya

Ada beberapa kalimat yang perlu dihindari para penyedia layanan PFA saat
menjalinkomunikasi dengan orang yang memerlukan dukungan:

1) Saya tahu bagaimana mana perasanmu


2) Mungkin inilah yang terbaik untuk anda semua.
3) Kamu menjadi lebih baik sekarang
4) Inilah cara yang terbaik untuk dia (istri/suami/anak) untuk pergi.
5) Kamu harus bisa bangkit dengan cepat.
6) Kamu tidak perlu bersedih lagi.

35
b. Fasilitasi Keberfungsian

Dorong orang untuk berfungsi kembali, dalam artian dia bisa berpikir dengan relative
lebih jernih memahami situasi yang terjadi dan apa saja yang dapat dia lakukan untuk
mengatasi masalah yang ada. Cara yang bisa dilakukan untuk memfasilitasi keberfungsian
antara lain:

1) Berikan perhatian melalui kata-kata dan perbuatan yang tidak menyakiti


ataumenyinggung perasaan orang yang ingin kita bantu.
a) Berbicara jelas dan bisa dimengerti oleh penyintas.
b) Tidak berusaha menasehati atau memberikan memberikan pendapat pribadi.
c) Merespon terhadap kemarahan penyintas dengan tenang, tidak denganmembela diri,
marah atau sakit hati.
d) Hindari memotong atau menyela pembicaraan penyintas.
e) Hindari kata-kata atau bahasa tubuh yang mengancam, menyalahkan.
2) Jaga keluarga mereka agar tetap bersama dan berhubungan satu sama lain.
3) Tanyakan pada mereka adakah pihak lain yang ingin diberitahu sehubungan
denganbencana yang baru saja terjadi.

c. Fasilitasi Proses Pemulihan dan Rencana Tindak Lanjut

Setelah bencana terjadi, hal yang ingin kita lakukan adalah kembali 'Normal'.
Kembali normal bukan sekedar berarti kembali ke kondisi yang samaseperti sebelumnya,
tetapi juga kembali dapat menjalani kehidupan sebagai pribadi yang utuh.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam rangka menfasilitasi proses pemulihan,
antaralain adalah:

1) Mendorong orang yang memerlukan dukungan untuk kembali pada rutinitasnya


2) Libatkan orang yang memerlukan dukungan secara aktif dalam tugas-tugasPemulihan.

Adapun tahapan-tahapan yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Identifikasi kebutuhan yang mendesak. Jika orang yang memerlukan


dukunganmenyebutkan banyak daftar kebutuhan, perlu dilakukan penentuan skala.
2) Prioritas berdasarkan ketersedian sumber daya dan mana yang paling perlu untuksegera
dipenuhi
3) Klarifikasi kebutuhan tersebut

36
4) Mendiskusikan rencana tindak lanjut
5) Fasilitasi rencana tindak lanjut tersebut.

Perlu disadari bahwa PFA adalah layanan awal dimana tidak semua masalah bisa
diselesaikanoleh seorang penyedia layanan.Oleh karena itu menjadi penting untuk
menghubungkannya ke dalam layanan yang Iebih kolaboratif. Layanan-layanan lain yang
diperlukan antara Iain:

1) Layanan medis
2) Layanan kesehatan mental.

37

Anda mungkin juga menyukai