STRUKTUR KETENAGAKERJAAN
4.1. PENDAHULUAN
Permasalahan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan di Indonesia sepertinya
tidak pernah kunjung selesai.Dari mulai sulitnya mencari lapangan kerjayang
banyak menimbulkan pengangguran, disparitas antar wilayah pedesaan dan
perkotaan yang menimbulkan ketidakseimbangan dan menyebabkan terjadinya
arus migrasi tenaga kerja lebih banyak ke wilayah perkotaan, maupun masalah
lain seperti perundang-undangan dan peraturan dibidang ketenagakerjaan.
Tulisan ini akan mencoba menyoroti masalah struktur tenaga kerja di pedesaan
Indonesia, berdasarkan data hasil Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional)
tahun 2004. Fokus pengkajian hanya melibatkan dua variable utama yaitu
struktur umur dan tingkat pendidikan.
Karakteristik struktur umur perlu sekali dipahami, sebab berkaitan erat dengan
produktivitas. Misalnya semakin tinggi proporsi pekerja berusia muda maka
mereka sangat potensial untuk berproduksi, namun pada konteks pengangguran
lebih berkaitan dengan kurangnya pengalaman kerja. Akan tetapi kalau terlalu
muda pun, dapat disebut kurang berkualitas, karena berkaitan dengan
masuknya pekerja berpendidikan rendah ke dunia kerja.
59
Pada saat ini, kondisi ketenagakerjaan dipedesaan mungkin sudah banyak
berubah dari gambaran diatas. Hasil Sakernas 2004 menunjukkan adanya
perubahan-perubahan tersebut. Misalnya, dilihat dari struktur pendidikan,
angkatan kerja pedesaan telah mengalami perbaikan. Akan tetapi, jika
dibandingkan dengan kondisi ketenagakerjaan di daerah perkotaan, terlihat
masih adanya beberapa hal yang perlu dibenahi, baik itu untuk meningkatkan
kualitas tenaga kerjanya maupun memperluas kesempatan kerja. Kebijakan-
kebijakan pembangunan yang diperlukan antara lain, menumbuhkan
kesempatan kerja baru yang sesuai dengan kondisi angkatan kerja serta
menangani semakin derasnya arus pencari kerja pedesaan ke perkotaan.
Data yang tercantum pada Tabel 4.1 memperlihatkan, proporsi tenaga kerja
yang berada dipedesaan, lebih tinggi dibandingkan dengan yang berada
diperkotaan. Hal ini mudah dimengerti, sebab jumlah penduduk pedesaan masih
jauh lebih banyak daripada penduduk perkotaan.
Kecenderungan perkembagan beberapa variable demografi mendukung
argumentasi di atas. Sampai saat ini fertilitas penduduk di wilayah pedesaan
60
masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Walaupun tingkat mortalitas
pedesaan juga lebih tinggi, juga adanya kecenderungan penduduk pedesaan
yang melakukan migrasi keperkotaan lebih banyak daripada yang berasal dari
kota masuk kepedesaan (Saefullah,2002), namun belum berpengaruh signifikan
terhadap penurunan laju pertumbuhan penduduk pedesaan.
Tabel 4.1.
Persentase Tenaga Kerja Menurut Kelompok Umur di Pedesaan dan
Perkotaan Indonesia 2004
Jika mencermati lebih jauh Tabel 4.1 tersebut, nampak bahwa tenaga kerja
berusia15-34 tahun di daerah pedesaan proporsinya lebih sedikit dibandingkan
dengan diperkotaan. Kondisi sebaliknya terlihat pada usia tenaga kerja 35 tahun
ke atas, tenaga kerja pedesaan pada kelompok umur ini ternyata persentasenya
lebih banyak dari diperkotaan.
Fenomena di atas dapat diterangkan sebagai berikut. Pada waktu masih muda
penduduk pedesaan cenderung lebih banyak yang bermigrasi keluar
wilayahnya. Penduduk usia muda yang masih dalam masa sekolah memilih
melanjutkan sekolah di daerah lain terutama di kota untuk menggapai pendidikan
yang lebih tinggi. Mereka yang terjun ke dunia kerja, lebih senang mengadu
nasib untuk mencari pekerjaan dan bekerja di kota, dengan harapan akan
mendpat kehidupan yang lebih baik. Namun ada kecenderungan pula, semakin
bertambah usia mereka, sesudah tidak bisa terlalu produktif bekerja dikota,
mereka kembali ke desanya masing-masing (Setiawan, 1998).
Makna umum yang tercermin dari data yangterdapat pada Tabel 4.1 adalah,
bahwa potensi produktivitas sumber daya manusia dipedasaan jika dilihat dari
aspek produktivitas ternyata tidak lebih baik dibandingkan dengan di perkotaan.
Proporsi tenaga kerja yang berusia lebih tua dipedesaan mengindikasikan hal di
atas. Akan tetapi, perlu dikaji lebih jauh, bagaimana struktur angkatan kerjanya,
sebab tidak semua tenaga kerja memasuki dunia kerja. Berkaitan dengan
61
struktur angkatan kerja akan dibahas pada bab selanjutnya.
Selain umur, variable yang juga penting untuk dikaji dalam ketenagakerjaan
adalah pendidikan.Tingkat pendidikan merupakan salah satu factor yang
menentukan kualitas tenaga kerja. Idealnya, tenaga kerja yang tersedia disuatu
negara memiliki pendidikan yang memadai sesuai dengan kesempatan kerja
yang tersedia, namun di negara-negara yang dalam kondisi masih sedang
berkembang biasanya sering terjadi mismatch antara pendidikan dan pekerjaan
yang ditekuninya.
Pendidikan tenaga kerja, sering diukur dengan proporsi tenaga kerja
berdasarkan pendidikan yang ditamatkan. Data yang tersaji dalam Tabel 4.2.
merupakan struktur tingkat pendidikan tenaga kerja yang dibedakan berdasarkan
daerah pedesaan dan perkotaan.
Tabel 4.2
Persentase Tenaga Kerja Menurut Tingkat Pendidikan di Pedesaan dan
Perkotaan Indonesia 2004
Tingkat. Pendidikan Tenaga Kerja
Sum
Pedesaan Perkotaan
ber:B TdkSekolah 10,8 4,6 PS(2
005), TTSD 19,3 9,6 hasil
Sake SD 42,5 25,5 rnas
2004 SLTP 17,3 23,5 ,diola
hulan SLTA Umum 5,5 19,5 gpen
ulis. SLTAKej. 3,2 10,3
Dip/Akd 0,8 3,1
D 0,6 3,9 ari
Univ
T abel
4 Jumlah 100,0 100,0 .2
(%baris) (55,3) (44,7) namp
a k,
tenaga kerja pedesaan lebih banyak didominasi oleh mereka yang tidak pernah
mengenyam pendidikan formal atau tidak sekolah, yang tidak tamat SD, dan
mereka yang hanya mengantongi ijazah SD. Sementara tenaga kerja yang
berpendidikan SLTP keatas proporsinya lebih banyak berdomisili diperkotaan.
Hal ini, barangkali banyak berkaitan dengan lebih banyaknya fasilitaspendidikan
formal dikota dibandingkan dengan dipedesaan.
Selain itu, bisa juga karena masyarakat pedesaan belum begitu mamahami arti
penting pendidikan bagi masa depan anak-anaknya. Faktorlain, dan ini mungkin
factor yang paling menentukan, karena biaya untuk meraih pendidikan yang
lebih tinggi relative mahal,sementara sebagian besar masyarakat di pedesaan
masih banyak yang tergolong miskin (BPS, 2003).
Walaupun struktur pendidikan tenaga kerja pedesaan ini nampak sudah mulai
membaik, namun jika melihat mereka yang berkualifikasi pendidikan SLTA,
baik itu umum maupun kejuruan, tingkat diploma atau dahulu sama dengan
tingkat akademi, serta mereka yang telah meraih pendidikan sarjana, angkanya
masih terlihat jomplang dibandingkan terhadap tenaga kerja yang ada di
perkotaan. Misalnya tenaga kerja pedesaan yang berpendidikan SLTA umum
proporsinya hanya sekitar sepertiga dari tenaga kerja berpendidikan sama di
perkotaan. Apalagi mereka yang memiliki tingkat pendidikan sarjana, proporsi
tenaga kerja pedesaan hanya sekitar 15 persen dibandingkan dengan mereka
yangada di perkotaan.
Selain itu, jika menghitung persentase tenaga kerja pedesaan yang
bependidikan SD ke bawah, maka jumlahnya masih sangat tinggi yaitu 76,6
persen, sedangkan di perkotaan tingggal 39,7 persen. Semuanya itu
megisyaratkan, walaupun telah adaperbaikan strukturpendidikan
tenagakerjapedesaan, akan tetapi masih perlu upaya-upaya untuk lebih
meningkatkan kualitas pendidikannya. Mengingat umumnya masyarakat
pedesaan masih terjerat kemiskinan, maka kebijakan pendidikan gratis,atau
paling tidak kebijakan pendidikan yang murah tapi berkualitas, serta dapat
terjangkau oleh hampir semua lapisan masyarakat di pedesaan sangat perlu
untuk segera diupayakan.
Pada tulisan ini, definisi angkatan kerja yang digunakan mengacu pada Labour
Force Concept yang direkomendasikan oleh International Labour Organization.
Telah dibahas pada bab 1, mengenai tenaga kerja yaitu penduduk yang
berusia15 tahun ke atas. Tenaga kerja tersebut bias dikelompokan lagi menjadi :
(1) bukan angkatan kerja, dan (2) angkatan kerja.
Termasuk bukan angkatan kerja antara lain tenaga kerja yang sebagian besar
waktunya digunakan untuk mengurus rumah tangga, sekolah, serta para
pensiunan dan orang yang cacat fisik sehingga tidak dapat melakukan suatu
pekerjaan. Sementara yang termasuk angkatan kerja adalah tenaga kerja yang
sedang bekerja atau sedang berusaha mencari pekerjaan.
63
Tabel 4.3 memberikan gambaran mengenai struktur umur angkatan kerja
Indonesia di daerah pedesaan maupun perkotaan. Secara umum, proporsi
angkatan kerja pedesaan lebih banyak dari pada angkatan kerja perkotaan.
Keadaan seperti ini sejalan dengan struktur tenaga kerja, hanya saja rasio
angkatan kerja pedesaan terhadap perkotaan angkanya lebih tinggi
dibandingkan dengan rasio tenaga kerja pedesaan. Fenomena ini
mengindikasikan, bahwa secara umum tenaga kerja yang tinggal di pedesaan
lebih banyak yang memasuki aktivitas ekonomi (angkatan kerja) dibandingkan
dengan di daerah perkotaan.
Tabel 4.3
Persentase Angkatan Kerja Menurut Kelompok Umur di Pedesaan dan
Perkotaan Indonesia, 2004
Dilihat dari strukturumur, angkatan kerja pedesaan usia muda hingga 34 tahun,
ternyata proporsinya lebih rendah dibandingkan dengan di perkotaan, kecuali
pada kelompok umur 15-19 tahun. Hal ini memperkuat dugaan, bahwa tenaga
kerja yang tergolong angkatan kerja banyak yang mencoba mengadu nasib
untuk mendapatkan pekerjaan di perkotaan. Sementara itu, angkatan kerja 15-
19 tahun yang proporsinya lebih banyak di pedesaan, kemungkinan agak
enggan pergi ke kota sehubungan pendidikan mereka yang kurang memadai,
dan sudah memperhitungkan tidak akan kuat bersaing untuk mendapatkan
pekerjaan di kota.
64
dengan bekerja banting tulang di kota, dan setelah tua tinggal menikmati remitan
di desa yang mereka tabungkan sebelumnya, agar dapat dinikmati pada masa
tuanya.
4.5. Struktur Pendidikan dan AngkatanKerja
Data yang tersaji dalam Tabel 4.4 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
angkatan kerja di pedesaan nampak lebih rendah dibandingkan dengan di
perkotaan. Di pedesaan ada kecenderungan mengelompok pada tingkat
pendidikan tidak tamat SD, berijazah SD, serta SLTP. Sementara itu di daerah
perkotaan terdiri atas angkatan kerja berpendidikan tamat SD, SLTP, dan SLTA.
Kalau diamati secara parsial, struktur pendidikan di pedesaan, paling banyak
berada pada jenjang pendidikan SD, demikian pula halnya di daerah perkotaan.
Hanya saja, jumlah angkatan kerja yang berpendidikan SD di daerah pedesaan
lebih dari empat puluh persen, sedangkan di perkotaan hanya sekitar
seperempat dari total angkatan kerja.
Tabel 4.4
Persentase Angkatan Kerja Menurut Tingkat Pendidikan di Pedesaan dan
Perkotaan Indonesia, 2004
Tingkat. Pendidikan AngkatanKerja
Pedesaan Perkotaan Sumb
er : TdkSekolah 9,7 3,4
BPS( TTSD 20,1 9,5 2005)
, hasil SD 43,4 25,7
Saker SLTP 15,5 19,3 nas
2004, SLTA Umum 5,8 19,9
diolah SLTAKej. 3,7 12,6 ulang
penuli 1,1 4,0 s.
Dip/Akd
Univ 0,7 5,6
Di
Jumlah 100,0 100,0 pede
sa (%baris) (59,0) (41,0) an,
yang perlu juga memperoleh perhatian adalah angaktan kerja yang pernah
bersekolah akan tetapi tidak sampai tamat SD, dengan jumlah mencapai
seperlima bagian dari seluruh angkatan kerja. Padahal kalau dibandingkan
dengan di perkotaan, jumlah yang tidak tamat SD ini hanya kurang dari 10
persen. Keadaan ini akan menjadi persoalan, manakala sektor pekerjaan
pertanian di pedesaan makin berkurang, sementara sektor pekerjaan pertanian
lainnya belum bias berkembang (Manning, 1987;Hayami, 1988).
65
pendidikannya. Fenomenamismatch antara lapangan pekerjaan dengan
kualifikasi pendidikan, merupakan hal yang lumrah ditemukan di perkotaan.
66
4.7. STATUS PEKERJAAN UTAMA
Status pekerjaan utama adalah kedudukan seseorang dalam unit usaha/kegiatan
dalam melakukan pekerjaan. Sedangkan yang dimaksud dengan pekerja
menurut Sakernas 2008 adalah buruh/pekerja/karyawati,pekerja bebas
dipertanian dan pekerja bebas di non pertanian. Buruh/karyawa/pegawai adalah
seseorang yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan secara
tetap dengan menerima gaji/upah baik berupa uang ataupun barang. Buruh yang
tidak memiliki majikan tetap tidak digolongkan sebagai buruh/karyawan/pekerja,
tetapi sebagai pekerja bebas.
Pekerjaan bebas dipertanian adalah seseorang yang bekerja pada orang
lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari 1 majikan dalam sebulan terakhir)
diusaha pertanian baik berupa usaha rumah tangga atas dasar balas jasa
dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang, dan baik
dengan system pembayaran harian maupun borongan.Usaha pertanian meliputi
pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan, termasuk
jasa pertanian.
Sedangkan pekerja bebasdi non pertanian adalah sesorang yang bekerja pada
orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari 1 majikan dalam sebulan
terakhir) diusaha non pertanian dengan menerima Upah atau imbalan baik
berupa uang maupun barang, dan baik dengan sistem pembayaran harian
maupun borongan. Usaha non pertanian meliputi: usaha di sektor pertambangan,
sektor industri, sektor listrik, gas, dan air, sektor konstruksi/bangunan, sektor
perdagangan, sektor angkutan, pergudangan dan komunikasi, sektor keuangan,
asuransi, kemasyarakatan, sosial dan perorangan (BPS,2008).
Pekerja tidak dibayar adalah seseorang yang bekerja membantu usaha untuk
memperoleh penghasilan/keuntungan yang dilakukan yang dilakukan oleh
seseorang anggota rumah tangga atau bukan anggota rumah tangga tanpa
mendapat upah/gaji. Mencermati Tabel 8.2, terlihat bahwa status pekerjaan
pekerjaan utama yang dapat menyerap tenaga kerja terbesar selama 2005-
2007 adalah status buruh/karyawan/pegawai. Tahun 2005 sebesar 25.741.089
orang, kemudian naik cukup signifikan sebesar 4,20 % di tahun 2006 menjadi
sebesar 26.821.889 orang., dan naik sebesar 4,55% di tahun 2007 menjadi
sebesar 28.042.390 orang. Hal ini dimungkinkan karena status
buruh/karyawan/pegawai cukup membanggakan pekerja sehingga animo untuk
masuk ke status ini cukup tinggi dibandingkan pekerjaan utama lainnya.
Sedangkan pekerjaan bebas non pertanian selama tahun 2005-2007
menunjukkan jumlah status pekerja terendah di bandingkan pekerjaan utama
lainnya. Tahun 2005 jumlah pekerja dengan status ini sebesar 4.057.924 orang,
naik sedikit sebesar 13,81% menjadi 4.618.280 orang di tahun 2006, tetapi
kemudian turun cukup drastis menjadi 4.458.772 orang di tahun 2007.
67
Pada tahun 2011 dan tahun 2012 status pekerjaan utama yang dapat menyerap
pekerja terbesar masih tetap pada status buruh/karyawan/pegawai dengan
jumlah 37.771.890 orang di tahun 2011 dan naik menjadi sebanyak 40.291.853
orang di tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa status buruh/karyawan/pegawai
masih tetap status yang paling membanggakan bagi pekerja sehingga animo
angkatan kerja untuk masuk ke status ini cukup tinggi dibandingkan status
pekerjaan utama lainnya. Image bahwa buruh/karyawan/pegawai masih memiliki
tingkat kesejahteraan yang tinggi, kondisi yang relatif lebih baik dibanding status
pekerja lainnya serta status pekerja yang memiliki perhatian yang tinggi dari
Serikat Kerja atau pemerintah membuat status ini paling dicari oleh angkatan
kerja di Indonesia.
4.8. JUMLAH JAM KERJA
Jam kerja yang dilakukan oleh pekerja pada lapangan pekerjaan utama di tahun
2007 (BPS Indonesia), jika dilihat dari lapangan pekerjaan utama maka jam kerja
tertinggi dilakukan di sektor Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Perikanan
dengan jumlah jam kerja sebesar 41.206.474 jam, jauh meninggalkan sektor-
sektor lainnya. Sedangkan sektor pekerjaan utama yang menggunakan jam kerja
terendah dijumpai disektor listrik, gas, dan air yang hanya memilikijam kerja
sebesar 17.884 jam saja.
Jika digunakan indikator jam kerja minimal seminggu adalah 35 jam sesuai
ketentuan pemerintah maka pekerja yang bekerja di bawah 35 jam berjumlah
33.425.311. orang (underemployment) dan yang sementara tidak bekerja
sebesar 2.349.579 orang. Pekerja yang memiliki jam di atas 35 jam seminggu
berjumlah 64.155.327 orang. Tiga besar kelompok jam kerja yang memiliki yang
besar adalah pekerja yang bekerja selama 35-44 jam dalam seminggu yaitu
berjumlah 24.388.883 orang, kemudian disusl oleh kelompok pekerja yang
bekerja selama 45-54 jam yaitu sebanyak 21.010.981 orang. Dan kemudian
kelompok jam kerja 25-34 jam sebanyak 15.486.223 orang.
Tahun 2012 telah terjadi perubahan yang signifikan pada jumlah orang yang
bekerja di masing-masing lapangan kerja dibandingkan data tahun 2007. Tetapi
selam 5 tahun berjalan dari tahun 2007 jam kerja yang dilalukan oleh pekerja
pada lapangan pekerjaan utama di Indonesia menunjukkan bahwa pekerja yang
bekerja dengan jumlah jam kerja tertinggi yaitu di atas 75 jam pada tahun 2012
masih menunjukkan urutan yang relatif sama dengan tahun 2007 yaitu ada di
lapangan usaha perdagangan besar, eceran rumah makan dan hotel; kemudian
disusul Jasa Kemasyarakatan; Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi;
Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Perikanan; dan Industri Pengolahan.
Jika digunakan indikator jam kerja minimal seminggu adalah 35 jam sesuai
ketentan pemerintah maka pada tahun 2012 pekerja yang bekerja di bawah 35
jam berjumlah 37.867.423 orang (Undere employment) dan yang sementara tidak
bekerja sebesar 3.016.163 orang. Pekerja yang memiliki jam kerja diatas 35 jam
seminggu berjumlah 69.924.568 orang.
68
4.9. TRANSFORMASI STRUKTURAL EKONOMI INDONESIA
Indonesia telah mengalami perubahan struktural ekonomi dari dominasi Sektor
Pertanian dalam PDB Indonesia menjadi dominasi Sektor Industri. Berdasarkan
data BPS menunjukkan bahwa peran sektor pertanian dari tahun 2008 sampai
2012 meskipun mengalami fluktuasi tetapi cenderung menurun. Tahun 2008
konstribusi Sektor Pertanian sebesar 14,48% menjadi hanya 14,44% di tahun
2012. Sedangkan Sektor Industri justru semakin dominan dalam memberikan
kontribusinya dalam PDB Indonesia.
Tahun 2008 sektor industry memberikan kontribusi 27.81% tetapi kemudian
menurun menjadi sebesar 23.94% di tahun 2012. Sektor industry tetap dominan
kontribusinya dalam PDB Indonesia di banding sektor-sektor lainnya. Urutan
sektor-sektor ekonomi dilihat dari kontribusinya dalam PDB Indonesia selama
2008-2012 pada urutan pertama dan selanjutnya sampai urutan terakhir adalah
sektor industry pengolahan, sektor pertanian, sektor Hotel dan Restoran, Sektor
pertambangan dan Penggalaian, Sektor Jasa-Jasa, Sektor Konstruksi, Sektor
Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan, Sektor Pengangkutan dan
komunikasi dan terakhir Sektor Listrik, Gas dan Air bersih.
Dilihat dari kemampuan sektor-sektor ekonomi di dalam menyerap tenaga kerja
(bekerja). Selama tahun 2008 – 2012 Sektor Pertanian, Kehutanan, Perkebunan,
dan Perikanan menjadi sektor yang paling besar dalam menyerap tenaga kerja
dengan persentase antara 35,09% sampai 40,30%. Meskipun mengalami
kecenderungan menurun setiap tahunnya tetapi Sektor Pertanian masih dominan
dibanding sektor – sektor lainnya.Padahal sektor ini bukan sektor terbesar dalam
kontribusinya di dalam PDB Indonesia, hanya menduduki rangking kedua.
Sedangkan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran menduduki rangking kedua
dalam kemampuan menyerap tenaga kerja dengan persentase antara 20,69%
sampai 20,93. Padahal sektor ini hanya menduduki rangking kedua dalam
kemampuan menyerap tenaga kerja dengan persentase antara 20,69% sampai
20,93%. Padahal sektor ini hanya menduduki rangking ketiga dalam memberikan
ketiga dalam memberikan kontribusi di dalam PDB Indonesia.
Sektor yang menduduki rangking ketiga dalam menyerap tenaga kerja adalah
sektor jasa-jasa dengan persentase antara 12,77% sampai 15,43%. Sektor ini
hanya menduduki rangking kelima dalam memberikan kontribusinya di dalam
PDB Indonesia. Sedangkan Sektor Industri Pengolahan menduduki rangking
keempat dalam menyerap tenaga kerja dengan persentase antara 12,24%
sampai 13,87%. Padahal sektor ini adalah sektor yang menduduki rangking
pertama (tertinggi) dalam kemampuannya memberikan kontribusi di dalam PDB
Indonesia.
Melihat penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat ketidakserasian
antara kemampuan memberikan kontribusi di dalam PDRB Indonesia dengan
kemampuan menyerap tenaga kerja. Transformasi sektoral dilihat dari PDB dapat
69
dikatakan sukses, tetapi dilihat dari ketenagakerjaan mengalami kegagalan
karena sektor pertanian tertinggi dalam menyerap tenaga kerja.
Fenomena menarik dapat dilihat dari keterkaitan antara laju pertumbuhan
ekonomi (laju pertumbuhan PDB) dengan laju penyerapan tenaga kerja (bekerja)
di disektor-sektor ekonomi Indonesia selama tahun 2008 sampai 2012. Secara
teoritik, hubungan antara laju pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga
kerja adalah ketika terjadi pertumbuhan ekonomi akan dapat membuka lapangan
kerja baru sehingga akan terjadi penyerapan tenaga kerja.
Selama tahun 2008 sampai 2012 dengan mendasari pada keterkaitan antara laju
pertumbuhan ekonomi dan laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja (bekerja)
maka terdapat 4 (empat) kelompok kejadian pada sektor ekonomi di Indonesia
yaitu :
1. Anomali adalah kejadian ketika laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi
dampak yang terjadi justru laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja
negative. Hal ini terjadi pada Sektor Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan
Perikanan ; serta Sektor Transportasi, Penyimpanan dan Komunikasi. Pada
kejadian ini pertumbuhan ekonomi telah gagal menjalankan fungsinya sebagai
pendorong kenaikan penyerapan tenaga kerja, bahkan lebih ironis lagi
pertumbuhan ekonomi yang tinggi di sektor-sektor tersebut justru berdampak
negative pada laju penyerapan tenaga kerja. Penyebab kejadian ini adalah
adanya pergeseran tenaga kerja dari labour intensif menjadi capital intensif di
sektor-sektor tersebut.
2. Progresif adalah kejadian ketika laju pertumbuhan ekonomi lebih rendah
dibandingkan dampaknya pada laju penyerapan tenaga kerjanya. Hal ini
terjadi pada Sektor Pertambangan dan Penggalian;serta Sektor Keuangan ,
Asuransi , Real estate , dan Pelayanan Bisnis.
3. Regresif adalah kejadian ketika laju pertumbuhan ekonomi lebih tinggi
dibandingkan dampaknya pada laju penyerapan tenaga kerjanya. Hal ini
terjadi pada Sektor Konstruksi , serta Sektor Perdagangan , Hotel, dan
Restoran.
4. Proposional adalah kejadian ketika laju petumbuhan ekonomi relative
berimbang dengan dampak pada laju penyerapan tenaga kerjanya .hal ini
terjadi pada Sektor Maufaktur; Sektor Listrik, Gas, dan Air Minum; serta Sektor
Jasa-jasa.
RANGKUMAN
71