Anda di halaman 1dari 24

PEMBERANTASAN KORUPSI DI ASIA

1. PENDAHULUAN

Pembahasan mengenai korupsi telah lama muncul dan menjadi sebuah


pembahasan yang penting dalam sistem tata negara sebuah bangsa. Hal ini
menjadi sedemikian penting dikarenakan, praktik korupsi bukanlah barang baru
yang didapati pada sebuah negara, melainkan telah menjadi momok yang
menakutkan bagi keberlangsungan sistem ketatanegaraan negara yang
berdaulat.
Sejarah telah membuktikan bahwa praktik korupsi telah jauh terjadi
semenjak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma hingga saat ini. Tidak hanya
terjadi pada negara-negara miskin maupun berkembang, di mana sistem
politiknya belum mapan, namun negara maju dengan segudang prestasi
terutama kemajuan dalam sistem pemerintahan tidak lepas dari wujudnya
korupsi di lembaga-lembaga negaranya.
Kekalnya praktik korupsi di sebagian besar negara, wilayah maupun
daerah tentunya memberikan dampak yang sangat signifikan dalam
pembangunan. Secara sosiologis, korupsi berasal dari masing-masing diri
individu yang memiliki niat, peluang dan kesempatan untuk mengambil yang
bukan haknya guna memenuhi nafsu semata.
Pelbagai macam bentuk korupsi yang terjadi saat ini bukan hanya
dilakukan oleh segelintir orang maupun kelompok tertentu, tetapi korupsi
dewasa ini telah menjelma sebagai sebuah hal yang wajar bagi sebagian besar
individu maupun kelompok. Pelbagai profesi dalam dunia kerja saat ini tidak
terlepas dari bayang-bayang korupsi terutama lembaga-lembaga profesi basah
seperti di bidang ekonomi dan juga politik.
Praktik korupsi tidak terlepas dari meningkatnya kebutuhan hidup
terutama dalam pemenuhan gaya hidup sebagian besar individu atau kelompok.
Bahkan, bagi sebagian besar masyarakat di wilayah Asia telah menjadikan
korupsi sebagai budaya, yang artinya korupsi merupakan hal yang wajar bagi
mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau hanya sekedar sebagai
pemuas nafsu mereka, hal ini jelas seperti yang terlihat dari korupsi yang
dilakukan oleh Imelda Marcos yang saat itu merupakan istri dari Presiden
Filipina yaitu Ferdinand Marcos yang melakukan korupsi hanya untuk
memuaskan nafsunya dalam berbelanja.
Pola-pola yang berbeda antara satu masa dengan masa lainnya telah
membentuk pelbagai ragam model korupsi yang berbeda. Hal ini tentu tidak
terlepas dari faktor utama pelaku korupsi yaitu manusia yang cenderung
memiliki akal pikiran yang terus berkembang, sehingga menyebabkan korupsi
yang sebelumnya telah dianggap sebagai sebuah budaya menjadi semakin kuat
dikarenakan telah menjelma dalam setiap sektor kehidupan masyarakat.
Bukti semakin kuatnya praktik korupsi dalam kehidupan bermasyarakat
ditandai dengan munculnya beragam tipe-tipe korupsi yang saat ini dikenal dan
terdapat di banyak negara. Adapun macam-macam korupsi seperti korupsi
besar, korupsi kecil, korupsi birokrasi, korupsi politik, dan lain-lain. Hal ini
menunjukkan bahwa individu atau kelompok memainkan peran penting dalam
terwujudnya pelbagai macam bentuk korupsi di dunia.
Keadaan tersebut terus berlanjut hingga kini, di mana semakin
menguatnya praktik korupsi di pelbagai belahan dunia tidak terlepas dari
perilaku yang terdapat pada setiap individu maupun kelompok sosial yang
memiliki keinginan ataupun kesempatan untuk melakukan korupsi. Oleh
karena itu, kajian korupsi dari segi sosiologis sangatlah penting untuk dibahas
lebih mendalam dengan tujuan untuk menemukan jalan keluar dari persoalan
pemenuhan kebutuhan hidup yang dewasa ini memang menjadi tuntutan
masyarakat luas terutama dalam era globalisasi.

2. SEKILAS TENTANG KORUPSI

Kajian mengenai permasalahan korupsi telah banyak dilakukan oleh


para sarjana, baik di Indonesia maupun sarjana luar. Persoalan korupsi yang
melanda hampir seluruh negara di dunia menjadikan kajian mengenai korupsi
selalu menarik untuk dikaji lebih jauh lagi.
Kajian mengenai korupsi telah lama dilakukan oleh para sarjana, seperti
kajian yang dilakukan oleh Robert Klitgaard dengan judul Controlling
Corruption yang dipublikasikan pada tahun 1988 oleh The Regent of the
University of California. Kajian Klitgaard mengenai korupsi banyak berfokus
kepada praktik korupsi yang marak terjadi di negara-negara Asia seperti
Philipina, Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan. Selain itu, Klitgaard juga
fokus membahas mengenai upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisir
praktik korupsi pada sebuah negara.
Kajian mengenai permasalahan korupsi telah banyak dilakukan oleh
para sarjana, baik di Indonesia maupun sarjana luar. Persoalan korupsi yang
melanda hampir seluruh negara di dunia menjadikan kajian mengenai korupsi
selalu menarik untuk dikaji lebih jauh lagi.
Kajian mengenai korupsi telah lama dilakukan oleh para sarjana, seperti
kajian yang dilakukan oleh Robert Klitgaard dengan judul Controlling
Corruption yang dipublikasikan pada tahun 1988 oleh The Regent of the
University of California. Kajian Klitgaard mengenai korupsi banyak berfokus
kepada praktik korupsi yang marak terjadi di negara-negara Asia seperti
Philipina, Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan. Selain itu, Klitgaard juga
fokus membahas mengenai upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisir
praktik korupsi pada sebuah negara.
Klitgaard menekankan kepada penentuan sasaran-sasaran yang
melakukan korupsi yang dibagi kedalam dua kategori yaitu korupsi eksternal
dan korupsi internal. Penting ditekankan oleh Klitgaard untuk membasi korupsi
maka langkah awal yang perlu dilakukan ialah menilai jenis korupsi, kemudian
membuat analisa mengenai kerugian dan akibat yang ditimbulkan dari praktik
korupsi yang terjadi pada sebuah negara.
Pemetaan terhadap jenis korupsi yang sedang terjadi memberikan
kemudahan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan yang tepat guna
memberantas korupsi. Adapun kebijakan umum yang diuraikan oleh Klitgaard
untuk membasmi korupsi ialah memilih pegawai, mengubah sistem reward and
punishment, mengumpulkan informasi berkaitan dengan hubungan kerja antara
atasan dan pegawai, mengatur ulang hubungan atasan dan pegawai melalui
sistem rotasi kerja, dan mengubah pandangan serta sikap pegawai terhadap
korupsi.
Kebijakan terhadap pemberantasan maupun pengendalian korupsi harus
diikuti dengan kebijakan untuk melawan korupsi itu sendiri mellaui
pembentukan sebuah lembaga atau komisi serta penguatan peran aparatur sipil
dalam memberantas korupsi. Keberhasilan dalam pemberantasan korupsi
seringkali melibatkan peran polisi yang juga dibantu dengan badan antikorupsi,
namun begitu timbulnya pro-kontra terhadap peran kedua-dua lembaga tersebut
menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi negara untuk menegaskan kembali
peran kedua-dua lembaga dalam pemberantasan korupsi sehingga tidak terjadi
dualisme kekuasaan dalam penanganan terhadap pelaku korupsi.
Jon S.T. Quah dalam karyanya yang berjudul Curbing Corruption in
Asian Countries: An Impossible Dream pada tahun 2013 mengkaji mengenai
pelbagai permasalahan korupsi yang terjadi di negara-negara Asia meliputi
Jepang, India, Philipina, Taiwan Singapura, Hong Kong, Thailand, Korea
Selatan, Indonesia, dan Mongolia fokus kepada upaya untuk menganalisis
penyebab, konsekuensi, pola kontrol korupsi dan kemungkinan untuk
membatasi tindakan korupsi pada negara-negara tersebut.
Korupsi pada negara-negara di wilayah Asia merupakan masalah yang
serius dimana skandal korupsi menjadi trending topik dalam setiap pemberitaan
di media massa. Quah mendefinisikan korupsi dengan mengambil pendapat
dari Arnold J. Heidenheimer yang mengklasifikasikan korupsi ke dalam tiga
bentuk yaitu public-office-centered, market-cetered, and public-interest-
centered.
Public-office-centered mendefinisikan korupsi berfokus kepada keadaan
dimana penyimpangan dari norma yang mengikat kewajibannya. Korupsi
market-centered diartikan sebagai pergeseran penekanan dari kantor publik ke
pasar, sedangkan korupsi public-interest-centered diartikan sebagai sebuah
erosi dalam kepentingan publik.
Quah selanjutnya mengklasifikasikan penyebab terjadinya korupsi ke
dalam beberapa kategori.
1.Gaji yang rendah atau gaji yang tidak memadai. Hal ini diperkuat
dengan pendapat Palmier yang berhasil mengidentifikasi bahwa
rendahnya gaji pegawai merupakan penyebab penting terjadinya
praktik korupsi.
Rendahnya tingkat gaji yang menyebabkan terjadinya praktik korupsi
terlihat dari kasus yang terjadi di Mongolia, dimana banyak dijumpai
pegawai negeri dan pemimpin politik melakukan korupsi. Hal ini
ditunjukkan melalui data mengenai jumlah pendapatan yang diterima,
seperti pendapatan bulanan presiden sebesar US$71 pada tahun 1998
menjadi US$761 pada tahun 2010, namun jumlah tersebut masih jauh
di bawah standar gaji internasional seorang presiden. Gaji yang
diterima oleh pegawai publik di Mongolia merupakan gaji di bawah
standar internasional yang bahkan tidak mampu untuk memenuhi
kenaikan biaya hidup di Mongolia.

2. Penyebab korupsi yang kedua ialah adanya kesempatan untuk


melakukan korupsi dan Red Tape. Korupsi dalam hal ini berkaitan
dengan sektor administrasi publik yang didalamnya terdapat birokrasi
yang cenderung korup dikarenakan adanya sistem administrasi yang
kurang bijaksana sehingga menciptakan regulasi terhadap akses
barang dan jasa seringkali dieksploitasi bagi kepentingan individu
maupun kelompok melalui prakting rent-seeking.
Di Indonesia, kajian yang dilakukan oleh Donald P. Warwick
menemukan hal menarik yang dilekatkan kepada pegawai negeri sipil
(PNS) yang dibagi kedalam lembaga “basah” dan lembaga “kering”.
Yang dimaksud sebagailembaga “basah” ialah agensi-agensi
pemerintahan yang memiliki peluang terkorup karena besarnya
peluang terjadi korupsi dalam agensi tersebut seperti di sektor pajak,
imigrasi, pendapatan internal, dan kepolisian. Sedangkan yang
dimaksud dengan lembaga “kering” meliputi agensi-agensi
pemerintahan yang intensitas interaksi dengan publik cenderung
sedikit yaitu seperti di sektor penelitian dan departemen administrasi.
3. Penyebab ketiga terjadinya korupsi ialah rendahnya risiko pendeteksian
dan hukuman bagi mereka yang melakukan korupsi. Hal ini terjadi
karena sebagain besar negara-negara Asia menganggap bahwa korupsi
adalah perbuatan yang ilegal namun berbanding terbalik dengan sikap
mereka terhadap praktik korupsi yang terkesan dibiarkan melalui
regulasi hukuman yang cenderung tidak sesuai dengan perbuatan
korupsi yang menyebabkan kerugian besar pada keuangan negara.

4. Penyebab korupsi selanjutnya di negara-negara Asia ialah karena faktor


kebudayaan orang Asia yang cenderung melihat korupsi sebagai sebuah
kebudayaan yang dianggap wajar terjadi.Di Thailand, pemberian hadia
kepada pegawai publik tidak dianggap sebagai korupsi melainkan
dikenal dengan istilah sin nam jai atau pemberian hadiah sebagai niat
baik, selain itu masyarakat Thai juga mengklaim bahwa selama tidak
menyakiti orang lain itu bukanlah bentuk dari praktik korupsi sehingga
penerimaan masyarakat Thai terhadap toleransi dalam pemberian hadiah
yang sebenarnya termasuk kategori korupsi menjadikan praktik korupsi
di kalangan pegawai publik, pemimpin militer, dan politisi merupakan
hal yang wajar.

5. penyebab terkahir terjadinya korupsi menurut Quah ialah kurangnya niat


politik yang baik untuk membatasi terjadinya praktik korupsi. Dalam
mengurangi tingkat korupsi sebuah negara maka komitmen pemerintah
terhadap pemberantasan korupsi harus serius baik melalui pembentukan
lembaga antikorupsi maupun melalui regulasi yang berat terhadap
pelaku korupsi.

Konsekuensi dari terjadinya praktik korupsi menurut para pakar sangat


beraneka ragam, hal itu dapat terlihat dari tabel di bawah ini.

Tabel 1.
Konsekuensi Korupsi menurut Ahli

Ahli Konsekuensi
Nathaniel H. Leff Korupsi birokrasi memberikan dampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi, memberikan insentif untuk
memobilisasi birokrasi, meningkatkan investasi asing,
menstimulasi inovasi ekonomi, dan meningkatkan kompetisi
diantara pengusaha.

Mark Bannister Korupsi adalah virus pembunuh karena korupsi membunuh


potensi bagi pembangunan dengan cara menakut-nakuti
investor, menyebabkan marginalisasi internasional,
membatasi
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan biaya transaksi
ekonomi, penyalahgunaan dana publik, merongrong
kebijakan
publik dan melemahkan pemerintahan.

Mansoor Ahmad Korupsi akan memakan semua dana pembangunan

William K. Black Korupsi menyebabkan jutaan kematian yang sia-sia, padahal


uang yang dikorupsi dapat digunakan untuk menjaga dan
mengelola negara-negara miskin yang tidak berkompeten
dalam bidang pembangunan.

Barry Bearak Korupsi menyebabkan angka kematian wanita dan anak-anak


di negara miskin meningkat karena munculnya wabah
kelaparan, penutupan pusat pendidikan dan kesehatan
terutama meningkatnya wabah penyakit mematikan di
negara
miskin yang diakibatkan dari penyalahgunaan dana publik

Penyebab korupsi pada dasarnya menimbulkan efek negatif terhadap


pembangunan sebuah negara, oleh karena itu banyak negara yang mulai fokus
untuk memberantas korupsi melalui penerapan pola-pola yang dianggap efektif
bagi memerangi praktik korupsi di negara mereka.

Tabel 2.
Pola Pengendalian Korupsi di beberapa Negara

Pola Negara Metode


I Jepang Penetapan undang-undang
dan membentuk tim
pemberantasan korupsi dari
tubuh lembaga-lembaga
publik yang sifatnya
independen.

II India, Philipina dan Penetapan undang-undang


Taiwan dan membentuk lembaga
anti korupsi yang
independen serta
pembentukan sebuah
lembaga khusus yang
menangani sistem
pelayanan publik seperti
Ombudsman.

Singapura bergantun
III , Hong Kong, Sangat g kepada
Thailand
, Korea Selatan, undang-undang
Indonesia, dan Mongolia pemberantasan korupsi dan
melalui undang-undang
tersebu
t dibentuklah
lembaga-lembaga anti
korupsi untuk
mengimplementasikan
amanat dari undang-
undang pemberantasan
korupsi

3. KORUPSI DI BEBERAPA NEGARA ASIA

Korupsi di pelbagai negara memiliki konsep dan arti yang secara umum sama,
namun seringkali praktik korupsi ditangani atau dipandang berbeda antara satu
negara dengan negara lainnya. Hal inilah yang kemudian menciptakan sudut
pandang dan dampak yang berbeda antar negara, terutama sangat jelas terlihat
dari kemunculan praktik korupsi di negara maju dan negara berkembang,
sehingga untuk memudahkan analisa terhadap hal tersebut penulis akan
mengambil negara Singapura yang mewakili negara maju dengan negara
Philipina yang mewakili negara berkembang sebagai unit kajian untuk
memperjelas perbedaan praktik korupsi di negara maju dan berkembang.
a.Singapura
Singapura merupakan negara yang terletak di ujung selatan
Semenanjung Malaya tepatnya di Asia Tenggara. Di wilayah Asia Tenggara
sendiri, Singapura merupakan satu-satunya negara maju yang ditandai sebagai
salah satu negara yang menjadi pusat keuangan terdepan di dunia dan
merupakan negara kosmopolitan yang sangat sibuk dengan kehidupan
perdagangan dan transaksi keuangan internasional.
Singapura merupakan negara Republik Parlementer dengan sistem
pemerintahan Parlementer Unikameral Westminster. Sejak 1959 Singapura
dipimpin oleh Perdana Menteri Lee Kuan Yew yang dikenal sangat tegas
dalam memberantas praktik korupsi di Singapura, sehingga walaupun
Singapura merupakan negara kecil di wilayah Asia Tenggara namun berkat
kepemimpinan yang cenderung otoritatif dari Lee Kuan Yew mampu
mengantarkan Singapura menjadi salah satu negara yang disegani di dunia.
Korupsi di Singapura telah terjadi semenjak pemerintahan kolonial
Inggris, namun hal ini tidak terekspos secara luas ke permukaan umum
dikarenakan kebijakan untuk memindahkan bahkan memecat pegawai yang
terbukti melakukan korupsi. Korupsi pada masa ini terjadi diakibatkan
demoralisasi pegawai negara yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan,
secara khusus penyebab munculnya korupsi di Singapura dikarenakan adanya
perjudian terlarang yang tumbuh subur di sektor kepolisian dan adanya asumsi
yang menyatakan suap menyuap adalah hal yang wajar.
Praktik korupsi semakin subur di Singapura karena munculnya pelbagai
persoalan, yaitu rendahnya gaji pegawai negeri menyebabkan meningkatnya
angka korupsi, munculnya peluang bagi terlaksananya praktik korupsi,
rendahnya risiko deteksi dan hukuman dari perbuatan korupsi, faktor kultural
yang menganggap suap menyuap adalah hal yang wajar, dan kurangnya niat
politik untuk memberantas korupsi. Hal ini terus berlanjut paska pemerintahan
kolonialisme Inggris berakhir di Singapura.
Semakin meningkatnya praktik korupsi di Singapura paska
pemerintahan kolonialisme Inggris semakin menggerogoti sistem pemerintahan
Singapura masa kini, dibarengi dengan upaya Lee Kuan Yew untuk
menjadikan Singapura sebagai negara maju maka kebijakan utama yang
dikeluarkan oleh Lee Kuan Yew adalah memberantas bersih praktik korupsi
yang dapat menganggu cita-cita kemapanan negara Singapura.
Tercapainya sistem perekonomian yang maju dan mapan tidak terlepas
dari keberhasilan untuk menjadikan warga negara Singapura dan pemimpinnya
sebagai sosok yang taat hukum sehingga pembagian hak dan kewajiban dapat
dilaksanakan sesuai dengan tempatnya. Diawali dengan membentuk lembaga
antikorupsi di tubuh kepolisian yang ternyata tidak mampu untuk memerangi
korupsi karena rendahnya gaji polisi menyebabkan mereka juga cenderung
terseret praktik korupsi, hingga akhirnya lahirlah sebuah lembaga antikorupsi
yang sangat independen dan telah terbukti kinerjanya dalam memberantas
korupsi yaitu Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB).
CPIB berdiri sekitar tahun 1950-an sebagai sebuah lembaga antikorupsi
yang sangat kuat karena lahirnya CPIB dilatarbelakangi oleh kehadiran
Undang-undang Pencegahan Korupsi yaitu Prevention of Corruption Act
(PCA). Keberadaan CPIB semakin populer, dikarenakan selain menangani
kasus-kasus korupsi besar ditubuh pemerintahan, CPIB juga menangani kasus
korupsi kecil serta kasus korupsi di sektor swasta sehingga mendapatkan
apresisasi yang positif dikalangan masyarakat Singapura.
CPIB Singapura berfungsi sebagai lembaga antikorupsi yang menerima
dan berwenang melakukan investigasi terhadap praktik korupsi yang terjadi di
sektor publik maupun swasta. Pejabat-pejabat pemerintahan yang terindikasi
melakukan korupsi akan ditindak secara tegas oleh CPIB, hal ini dapat terjadi
karena semenjak pemerintahan Lee Kuan Yew, political will yang tinggi untuk
memberantas korupsi di Singapura benar-benar dijalankan dan diberlakukan
secara efektif tanpa memandang bulu.
Independensi CPIB terpelihara dengan sangat baik melalui PCA,
sehingga pemberantasan korupsi dari level rendah hingga tinggi, dari jumlah
yang minim hingga jumlah yang fantastis kesemuanya merupakan wewenang
dari CPIB untuk menindaknya. Hal tersebut dapat terjadi juga dikarenakan
adanya sistem informasi mengenai harta kekayaan penduduk Singapura yang
dapat di akses dengan mudah oleh CPIB dan hal tersebut adalah hal yang legal.
Mengimplementasikan kebijakan-kebijakan untuk memberantas
korupsi, Singapura mengaplikasikan langkah-langkah yang diuraikan oleh
Klitgaard. Yaitu pertama mengubah sistem reward and punishment, dengan
cara memberikan surat pujian dan kenaikan pangkat kepada pegawai negara
yang berprestasi sedangkan segi hukuman yang diterapkan yaitu pemberian
sanksi administratif yang berkaitan dengan masa depan dan karir jabatan
seorang pegawai.
Pengumpulan informasi menjadi langkah kedua yang diterapkan
Singapura untuk menangani kebijakan pemberantasan korupsi dengan cara
mengumpulkan informasi selengkap dan seakurat mungkin informasi tentang
jumlah kekayaan yang dimiliki oleh seorang warga negara Singapura.
Informasi yang terkumpul kemudian dijadikan sebagai bahan untuk memanggil
warga bersangkutan sehingga dapat memberikan klarifikasi mengenai
informasi kekayaan tersebut.
Langkah kebijakan yang ketiga ialah menyusun kembali hubungan
patron-client antara pegawai dan atasan. Penyusunan kembali hubungan atasan
dan bawahan dilakukan dengan cara merotasi karyawan atau atasan dalam
sebuah divisi ke divisi lain secara berkala, sehingga hubungan kerja yang akan
tercipta cenderung selalu diperbaharui dengan hubungan kerja yang baru dan
lebih kondusif hal ini meminimalisir peluang terjadinya praktik korupsi.
Langkah kebijakan keempat yang dilakukan oleh Singapura untuk
mengurangi dan memberantas praktik korupsi ialah dengan mengubah sikap
pandangan masyarakat mengenai praktik korupsi. Hal ini dilakukan dengan
cara memberikan dan mengeluarkan pesan-pesan moral kepada
lembaga/instansi pemerintahan, perusahaan, organisasi, dan masyarakat umum
mengenai himbauan terhadap bahaya korupsi.
Singapura sebagai negara kecil dengan perekonomian yang belum
kondusif pada awalnya telah melakukan upaya-upaya konkrit untuk
memberantas korupsi sebagai solusi untuk menciptakan negara Singapura yang
maju dan mapan seperti sekarang ini. Keberhasilan Singapura sangat
ditentukan dengan keseriusan pemerintah dan warga negara Singapura untuk
memberantas korupsi melalui upaya keterbukaan informasi mengenai jumlah
harta kekayaan yang dapat diakses secara luas oleh khalayak ramai terutama
CPIB.

b. Philipina
Philipina merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara yang terletak
di Lingkar Pasifik Barat bersebelahan dengan Indonesia dan Malaysia.
Philipina juga dikenal sebagai salah satu negara penghasil padi terbesar di
dunia selain Thailand dan Indonesia, namun begitu perekonomian Philipina
termasuk sangat rendah dan lemah dikarenakan meluasnya praktik korupsi di
sana.
Permasalahan korupsi yang melibatkan birokrasi di Philipina telah
menjadi persoalan yang sangat serius semenjak tahun 1950-an. Korupsi di
Philipina telah merasuki segala lapisan birokrasi, mulai dari pegawai level
rendah hingga level presiden, hal ini disebabkan oleh rendahnya gaji pegawai
serta perilaku korupsi yang dianggap sebagai hal yang wajar.
Penyebab terjadinya korupsi di Philipna didorong oleh beberapa faktor,
pertama rendahnya gaji pegawai dan pemimpin politik. Rendahnya tingkat gaji
para pegawai, menyebabkan pegawai publik di Philipina cenderung melakukan
praktik korupsi kecil seperti melakukan pungutan liar, bahkan pada sebagian
profesi seperti tenaga kesehatan yang mempertimbangkan kecilnya gaji di
Philipina lebih memilih bekerja di luar negeri, hal ini menyebabkan pada
daerah-daerah pinggiran Philipina sangat kekurangan tenaga medis.
Penyebab kedua meningkatnya korupsi di Philipina dikarekan sistem
Red Tape yang menyebabkan tidak efisiennya kinerja pegawai publik sehingga
meningkatkan peluang terjadinya praktik korupsi. Birokrasi di Philipina
cenderung berbelit-belit atau harus melalui prosedur yang sangat panjang, hal
ini pula yang kemudian menyuburkan praktik rent-seeking di kalangan birokrat
dan pengusaha.
Rendahnya risiko deteksi dan hukuman dari praktik korupsi menjadi
penyebab suburnya korupsi di Philipna. Hal ini jelas terlihat pada kasus korupsi
yang dilakukan oleh keluarga Presiden Marcos, di mana hukuman yang
diberikan kepada Marcos dan istrinya dinilai oleh sebagian besar publik
sebagai hukuman yang ringan hal ini berbanding terbalik dengan kerugian
besar yang ditimbulkan oleh keluarga tersebut terhadap pendapatan negara
pada masa tersebut.
Faktor kultural selanjutnya menjadi penyebab kelima suburnya praktik
korupsi di Philipina. Pemberian hadiah di Philipina dianggap sebagai nilai
kelompok yang dianggap sebagai kewajaran dan diterima sebagai sebuah
kebudayaan turun temurun oleh warga Philipina, selanjutnya nepotisme di
kalangan birokrasi Philipina juga turut subur karena adanya praktik merit.
Penyebab selanjutnya ialah kurangnya political will di kalangan
pemimpin negara Philipina, bahkan presiden pun terjerat oleh kasus korupsi.
Hal ini menandakan seriusnya permasalahan korupsi yang menggerogoti
kedaulatan di negara Philipina. Rendahnya political will di Philipina
dikarenakan tidak adanya monitoring terhadap desentralisasi kekuasaan,
ketidakmampuan pejabat dan pegawai publik dalam menangani konflik
kebutuhan barang dengan jumlah masyarakat yang memerlukan kebutuhan
tersebut, tidak adanya hukuman yang setimpal terhadap kegagalan sistem
birokrasi, hukum yang tidak adil, dan ketiadaan sosok yang mampu menjadi
panutan untuk memberantas korupsi.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk memberantas korupsi di Philipna
telah lama dilakukan namun tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Pembentukan pelbagai regulasi dan lembaga antikorupsi di Philipina telah ada
sejak tahun 1950 hingga 2001 silam, segala upaya tersebut masih
meninggalkan pekerjaan rumah yang sangat panjang bagi pemerintahan
Philipina masa kini.
Tabel 3.
Lembaga Pemberantasan Korupsi di Philipina

Presiden Lembaga Antikorupsi Periode

Quirino Integrity Board May-November 1950

Presidentia Complaint
Magsaysay l s and Action Desember 1953-Juli 1958
Committ
ee

Presidentia
Garcia l Committee on Juli 1958-desember 1961
Administrative Performance
Efficiency

Presidential Anti-Graft
Committee Februari 1960-Desember
1961

Presidential Anti-Graft
Macapagal Committee Januari 1962-Januari 1966

Presidential Agency on Reforms


Marcos and Januari-September 1966
Government
Operations
Presidentia Complaint
l s and Action September 1966-Oktober
Office 1967

Presidential Agency on Reforms


and Oktober 1967-Februari
Government
Operations 1970

Complaints and Investigations


Office Februari 1970-Februari
1986

Cabin
Special et Committee in Oktober 1973-Februari
Backsliding 1986

Tanodbaya
n (Office of the Juli 1979-April 1988
Ombudsma
n)

Tanodbaya
Aquino n (Office of the Mei 1988
Ombudsma
n)

Presidentia Commissio o
l n n Good Februari 1986-sekarang
Governmen
t

Presidential Committee on Ethics


and Februari 1986-1988
Accountability

Presidential Commission Against


Ramos Graft Februari 1994-Juni 2000
and Corruption

Inter-Agency Anti-Graft
Estrada Coordinating Agustus 1999- sekarang
Council

Presidential Committee on
Effective Oktober 1999- sekarang
Governance

National Anti-Corruption
Commission Juli 2000-April 2001

April 2001-November
Arroyo Presidential Anti-Graft Committee 2010
Governance Advisory Council Juli 2001-sekarang

Sumber: Jon S.T. Quah. 2013.

Pelbagai upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah


Philipina terus dikembangkan dan revisi baik dari segi regulasi maupun
praktiknya hingga kini. Hal ini bertujuan untuk menjadikan Philipina sebagai
negara yang bebas korupsi, pada tahun 2010 di bawah kepemimpinan Arroyo,
ia terus fokus dan berkomitmen untuk menghapuskan korupsi di Philipina.

c. Beberapa Negara Lain


Berdasarkan amandemen dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia atau disingkat Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999
juncto Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, bahwa dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipertegas dalam Pasal 2, dengan
Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). KPK diharapakan menjadi trigger mechanism, yakni sebagai
pendorong agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga lain
diluar KPK menjadi lebih efektif dan efisien.
Menurut lembaga Transparency International (TI) indek persepsi
korupsi Corruption Perseptions Index (CPI) setiap tahun mengeluarkan laporan
korupsi global. Dari 28 negara di kawasan Asia Pasifik, sebagian besarnya
mendapat peringkat yang buruk. Delapan belas negara mendapat skor dibawah
40 dari seluruhnya 100 skor. Nol (0) berarti terkorup dan 100 berarti paling
bersih. Diketahui bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun
2015, Indonesia menempati peringkat ke-88 dengan skor CPI 36. Skor tersebut
meningkat dua poin dari tahun 2014 yang berada di peringkat ke 107. Skor
ratarata tahun 2015 adalah 43. Artinya skor Indonesia masih di bawah rata-rata
skor persepsi dunia. Di Asia Tenggara, Indonesia ada dibawah Singapura,
Malaysia, dan Thailand berdasarkan survei Transparency International (TI)
tahun 2016.
Hasil survei Transparency International (TI) menunjukan bahwa
Indonesia masih banyak terjadi tindak pidana korupsi dibandingkan dengan
negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Perlunya ada aturan
hukum yang kuat untuk mengatasinya, salah satunya adalah aturan mengenai
tugas dan wewenang dari lembaga anti korupsi itu sendiri. Tugas dan
wewenang dari lembaga anti korupsi menunjukkan kekuatan dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi yang mana jika tugas dan wewenang dari
lembaga sendiri kuat dan independent maka lembaga tersebut tidak akan
kesulitan dalam menindak pelaku-pelaku korupsi. Untuk itu Indonesia perlu
mencontoh negara-negara lain yang sukses dalam menghadapi permasalahan
terkait dengan tindak pidana korupsi. Salah satu negara yang sukses dalam
melakukan penanganan korupsi adalah Hongkong.

d. Hongkong
Hongkong adalah satu dari sedikit wilayah di Asia yang masuk kategori
bebas korupsi. Sejarah mulanya dibentuk ICAC Hongkong tidak dapat
dilepaskan dari masalah candu atau opium atau istilah yang sangat popular saat
ini narkotika. Abad ke-19 kekaisaran Cina memerintahkan untuk menyita
opium yang dimiliki oleh orang lain yang berada didaratan Cina. Hal ini telah
menimbulkan ketegangan-ketegangan dengan orang lain dan pada akhirnya
pecah perang antara Cina dengan Inggris yang sangat terkenal dengan sebutan
perang candu pada tahun 1839-1842.
Kekaisaran Cina mengalami kekalahan dalam perang candu dan dipaksa
untuk menandatanganai Konvensi Chuenpi pada tanggal 20 Januari 1841 yang
isinya adalah penyerahan pulau dan pelabuhan Hongkong kepada Inggris.
Permasalahan korupsi yang sangat meluas di Hongkong, terutama pada tahun
60-an san 70-an tidak terlepas dari masalah narkotika, karena Hongkong tetap
menjadi transit para pengedar narkotika yang berkolusi dengan pihak kepolisan
Hongkong, yang pada pucak pimpinannya masih dijabat oleh orang-orang
Inggris. Selain berkolusi dengan sindikat narkotika, polisi Hongkong juga
menjadi the god father tempat perjudian dan pelacuran. (Robert Klitgaard, 1988
:131). Pada tahun 1972 dibentuk ACO (Anti Corruption Office) yang
merupakan Bagian Anti Korupsi di kepolisian Hongkong.
Berlakunya undang-undang pemberantasan korupsi, maka banyak
penegak hukum yang lari ke luar negeri. Kasus yang terkenal adalah kasus
kolonel polisi Peter Godber. Hasil penyelidikan selama dua tahun, Peter
Godber memiliki kekayaan 4,3 juta dollar Hongkong di berbagai bank di enam
negara. Jumlah tersebut adalah sama dengan enam kali gajinya selama 26 tahun
berdinas dikepolisian Hongkong. Peter Godber dikejar oleh ICAC Hongkong di
bawah pemimpinnya Cater dan berhasil ditangkap dan diserahkan oleh Inggris
ke Hongkong dan dipidana penjara selama 4 (empat) tahun. Instrumen
perundangan di Hongkong yang berhubungan dengan strategi pemberantasan
korupsi di Hongkong, adalah:
a) The Independent Commission Against Corruption Ordinance ;
b) The Prevention of Bribery Ordinance ;
c) The Elections (Corrupt and Illegal Conduct) Ordinance.
Tugas Independent Commisstion Againt Corruption Hongkong
Tugas Commissioner diatur dalam Pasal 12 Ordinance Chapter 204, yang meliputi hal-
hal sebagai berikut:
1. Menerima dan mempertimbangkan pengaduan terjadinya praktik korupsidan menyelidiki
setiap pengaduan yang dianggap layak;
2. Penyidikan;
3. Menyelidiki setiap perbuatan pegawai pemerintah menurut pendapat Commissioner,
berkaitan atau mendorong praktik korupsi dan melaporkannya kepada Chief Executive;
4. Memeriksa praktik dan prosedur masing-masing departemen dari pemerintah dan badan
hukum, guna mempermudah pengungkapan praktik korupsi serta menjamin revisi
metode kerja dan prosedur yang menuntut pendapat Commissioner dapat mendorong
praktik korupsi;
5. Menginstruksikan, menasehati, dan mendorong setiap orang atas permintaannya,
mengenai bagaimana cara praktik korupsi dapat ditiadakan oleh orang bersangkutan;
6. Memberi saran kepada departemen dari pemerintah atau badan umum mengenai
perubahan dalam praktik dan prosedur yang sesuai dengan pelaksanaan yang efektif dari
tugas masing-masing departemen atau badan umum bersangkutan yang dianggap perlu
oleh Commissioner, guna mengurangi kemungkinan terjadinya praktik lorupsi;
7. Mendidik publik untuk melawan seluruh aspek jahat korupsi;
8. Mengumpulkan dan memupuk dukungan publik dalam memerangi korupsi.

Struktur Organisasi ICAC Hongkong


Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) di ICAC juga dapat dikatakan yang terbaik.
Pola karir dan rekrutmen didasarkan pada kompetensi dan kinerja (merit system) sehingga
mampu mendorong performa yang tinggi dari setiap staf. Remunerasi yang diterapkan juga
sangat memadai. Turnover pegawai ICAC dapat dikatakan rendah. Selain karena penghasilan
yang diperoleh cukup memadai juga disebabkan oleh aturan yang mempersyaratkan bagi staf
ICAC yang berasal lingkungan birokrasi tidak diperbolehkan untuk bekerja kembali di
instansi pemerintah atau lembaga yang terindikasi terjadi kasus korupsi selama 2 (dua) tahun
setelah keluar dari ICAC. Dalam rangka pengayaan, ICAC juga mengirimkan para tenaga
SDM-nya ke berbagai seminar dan pelatihan lainnya baik di dalam maupun luar negeri. Dari
aspek organisasi, ICAC memiliki 3 (tiga) departemen yaitu Investigasi, Pencegahan, dan
Hubungan Masyarakat. Departemen Investigasi (Operasional) merupakan departemen
terbesar di ICAC.

Strategi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi oleh Independent Commisstion Againt


Corruption Hongkong
Strategi pemberantasan korupsi yang dimiliki Hongkong memiliki tiga pendekatan utama
yaitu: prevention; investigation; dan education. Masing-masing pendekatan memiliki tujuan
dan sasaran yang berbeda. Pendekatan pertama yaitu pencegahan dilakukan melalui legalisasi
dan prosedur yang mengatur secara detil mengenai definisi dan sanksi korupsi. Selanjutnya,
pendekatan penyelidikan merupakan langkah-langkah penindakan untuk memberikan efek
jera bagi para pelaku korupsi. Kemudian pendekatan pendidikan dimaksudkan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat akan haknya sebagai warga negara dan kesadaran akan
dampak negatif korupsi bagi kelangsungan pembangunan.
e. Indonesia

Strategi Penaggulangan Tindak Pidana Korupsi KPK Indonesia


Indonesia menempuh strategi pemberantasan korupsi melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu:
sistem; regulasi; dan institusional. Pendekatan tersebut didasarkan pada keterkaitan antara
elemen-elemen (pelaku) dalam pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia. Pendekatan
sistem yang ditempuh Pemerintah Indonesia mencakup: pencegahan; penegakan hukum; dan
kerjasama. Pendekatan Regulasi dalam memberantas korupsi meliputi: pengesahan Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor); Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK); penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor;
dan ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Tugas dan Wewenang KPK Indonesia


Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya sudah ada
sejak lama, yaitu sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Pidana (Wetboek van Strafrecht) 1
Januari 1918. Beberapa
peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut : Masa
Pengaturan Penguasa Militer, Masa Undang-Undang RI Nomor 24/Prp/Tahun 1960, Masa
Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19;TNLRI 2958) tentang
Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi, Masa Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999
(LNRI 1999-40; TNLRI 387 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi kemudian diubah
dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134;TNLRI 4150) tentang
tindak pidana korupsi.

Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia


Bedasarkan Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002, Komisi
Pemberantasan Korupsi bertugas :
6. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
7. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
8. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
9. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
10. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan Pemerintah Negara.

Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia


Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang :
1. Pasal 7 huruf a-e melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi Berwenang;
2. Pasal 8 angka (1) menjelaskan bahwa dalam menentukan tugas supervisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan
pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instamsi
yang dalam melaksanakan pelayanan publik;
3. Pasal 8 angka (2) menjelaskan bahwa dalam melaksanakan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih
penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang
dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan;
4. Pasal 8 angka (3) menjelaskan bahwa dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi
mengambil alih penyidikan atau penuntuan, kepolisian atau kejaksaan wajib
menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara berserta alat bukti dan dokumen lain
yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak
tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi;
5. Pasal 8 angka (4) menjelaskan bahwa penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga
segala tugas dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut
beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi;
6. Pasal 9 menjelaskan bahwa pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi;
7. Pasal 10 menjelaskan bahwa dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut
umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang ditangani;
8. Pasal 11 huruf a-c menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan tindak pidana korupsi yang;
9. Pasal 12 huruf a-i menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c ;
10. Pasal 12 huruf g menjelaskan bahwa menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,
transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan,
lisensi serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang
diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana
korupsi yang sedang diperiksa;
11. Pasal 12 huruf h menjelaskan bahwa meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi
penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan
barang bukti di luar negeri;
12. Pasal 12 huruf i menjelaskan bahwa meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang
terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam
perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani;
13. Melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan;
14. Melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e (Ermansjah
Djaja, 2013 : 260-266).

Struktur Organisasi KPK Indonesia


Berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi No. PER-
08/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK. Untuk
lebih jelasnya mengenai struktur organisasi KPK dapat dilihat pada gambar berikut :

Tabel 1
Struktur Organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi

Sumber: https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi

Perbedaan dan Persamaan Tugas dan Wewenang Lembaga Anti Korupsi ICAC
Hongkong dan KPK Indonesia
Tabel
Perbedaan Tugas dan Wewenang

Indikator No ICAC KPK


Pasal 6 huruf a Undang-Undang RI
Tugas 1 Cap. 204 Pasal 12 Ordinance Nomor
tidak terdapat ketentuan 30 Tahun 2002 menyebutkan tugas
mengenai koordinasi dengan KPK salah satunya yaitu “melakukan
instansi lain yang berwenang koordinasi dengan instansi yang
melakukan tindak pidana berwenang melakukan
korupsi pemberantasan
tindak pidana korupsi
2 Cap. 204 Pasal 12 Ordinance Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun
2002 tidak terdapat ketentuan
terdapat tugas yaitu menerima mengenai
dan mempertimbangk
an pengaduan terjadinya praktik korupsi
pengaduan terjadinya praktik
korupsi dan menyelidiki
setiap
pengaduan yang dianggap
layak
3 ICAC tidak memiliki tugas Pasal 6 huruf b Undang-Undang RI
Nomor 30 tahun 2002 tentang
supervisi Komisi
Pemberantasan Korupsi memiliki
tugas
melakukan supervisi
4 Cap. 204 Pasal 12 huruf a, Pasal 6 huruf c Undang-Undang RI
ICAC Hongkong memiliki Nomor 30 tahun 2002 tentang
tugas Komisi
Pemberantasan Korupsi memiliki
penyelidikan dan penyidikan tugas
penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan.
5 Cap. 204 Pasal 12 huruf d, Pasal 6 huruf e Undang-Undang RI
ICAC Hongkong memiki Nomor 30 tahun 2002, KPK
tugas mempunyai
memeriksa praktik dan tugas monitor terhadap
prosedur penyelenggaraan
masing-masing departemen pemerintah;
dari pemerintah dan badan
hukum, guna mempermudah
pengungkapan praktik korupsi
Cap. 204 Pasal 12 huruf g,
6 ICAC Pasal 6 huruf d Undang-Undang RI
Nomor 30 tahun 2002, KPK memiliki
Hongkong tugas
memiliki tugas mendidik pencegahan
publik
untuk melawan seluruh aspek
jahat korupsi
7 Cap. 204 Pasal 12 huruf h, Pasal 6 huruf d Undang-Undang RI
ICAC Hongkong memiliki Nomor 30 tahun 2002, KPK memiliki
tugas tugas
mengumpulkan dan memupuk pencegahan
dukungan publik dal
am
memerangi korupsi
Pasal 7 huruf a Undang-Undang
Wewenang 1 Wewenang Commissioner Nomor
dalam Chapter 201 Part III
ICAC 30 Tahun 2002, KPK berwenang
Hongkong tidak mengatur mengkoordinasi penyelidikan,
tentang penyidikan,
dan penuntutan tindak pidana korupsi
menjalankan tugas koordinasi ;
Wewenang Commissioner KPK tidak memiliki wewenang
2 dalam istimewa
Chapter 201 Part III ICAC
ayat untuk investigasi
13 mengatur tentang
wewenang
istimewa untuk investigasi
dengan
surat perintah Commissioner
3 Wewenang Commissioner Pasal 8 angka (1) Undang-Undang RI
dalam Chapter 201 Part III Nomor 30 Tahun 2002, KPK
ICAC berwenang
Hongkong tidak ada
wewenang melakukan pengawasan, penelitian,
atau penelaahan terhadap instansi
tugas supervisi; yang
menjalakan tugas dan wewenangnya
berkaitan dengan pemberantasan
korupsi dan instansi yang
melaksanakan
pelayanan publik;
Wewenang Commissioner Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun
4 dalam 2002
tentang Komisi Pemberantasan
Chapter 201 Part III ayat (13) Korupsi
C melarang mengumumkan tidak mengatur
informasi yang diperoleh,
sehingga penyidikan dapat
dilakukan dengan maksimal
meminimalisir informasi yang
bocor ke publik.
5 Wewenang Commissioner Wewenang KPK tidak mengatur jika
dalam
memberikan informasi palsu dapat
Chapter 201 Part III ayat (14) denda
mengatur mengenai
wewenang dan penjara;
ICAC untuk memperol
eh
informasi. Akan tetapi, jika
seseorang memberi informasi
palsu dapat didenda dengan
HK
$20.000 dan penjara satu
tahun
Wewenang Commissioner
6 dalam wewenang KPK tidak mengatur
Chapter 201 Part III ayat (14)
A-B
mengatur mengenai
pencabutan
Undang-Undang
Pada wewenang KPK tidak memiliki wewenang
7 Commissioner tersebut.
Pasal Chapter 201 Part III
ayat
(16) ICAC memiliki
wewenang
untuk mendapatkan bantuan
dan mengajukan petunjuk
kepada pegawai pemerintah.
Jika pegawai pemerintah
yang dimintai bantuan tidak
memberikan bantuan dapat
didenda HK$20.000 dan
penjara
satu
tahun.
Chapter 201 Part III ayat 13,
8 ICAC KPK tidak mempunyai wewenang
mempunyai wewenang
istimewa istimewa untuk investigasi
untuk investigasi dengan surat
perintah Commissioner
Pasal 7 huruf a Undang-Undang
9 Chapter 201 Part III ayat 17,
Nomor 30
Tahun 2002, KPK berwenang
ICAC mempunyai wewenang melakukan
koordinasi penyelidikan, penyidikan
untuk penyelidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi
Persamaan ICAC Hongkong dan KPK Indonesia
Tabel
Persamaan Tugas dan Wewenang
ICA
No. Indikator C KPK
Pasal 12 B-C Pasal 6 huruf c Undang-
1 Tugas penyelidikan Ordinance Undang
Chapter 204 RI Nomor 30 tahun 2002
Pasal 6 huruf d Undang-
2 Tugas pencegahan praktik Pasal 12 G Ordinance Undang
korupsi Chapter 204 RI Nomor 30 tahun 2002
Wewenang meminta Pasal 7 huruf c Undang-
3 informasi Chapter 201 Part III Undang
tentang pemberantasan
korupsi ayat 13B RI Nomor 30 Tahun 2002
Wewenang melarang Pasal 12 huruf b Undang-
4 seseorang Chapter 201 Part III Undang
berpergian ke luar negeri ayat 17 A RI Nomor 30 Tahun 2002

4. KESIMPULAN
Strategi pemberantasan korupsi harus juga bersifat menyeluruh dan seimbang. Ini
berarti bahwa strategi pemberantasan yang parsial dan tidak komprehensif tidak dapat
menyelesaikan masalah secara tuntas.
Berkenaan dengan hal itu maka, strategi pemberantasan korupsi harus dilakukan
secara adil, dan tidak ada istilah “tebang pilih” dalam memberantas korupsi. Di samping
itu penekanan pada aspek pencegahan korupsi perlu lebih difokuskan dibandingkan aspek
penindakan. Upaya pencegahan (ex ante) korupsi dapat dilakukan, antara lain melalui:
 Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai dampak
destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS.
 Pendidikan anti korupsi
 Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik
 Perbaikan remunerasi PNS
Adapun upaya penindakan (ex post facto) korupsi harus memberikan efek jera,
baik secara hukum, maupun sosial. Selama ini pelaku korupsi, walaupun dapat dijerat
dengan hukum dan dipidana penjara ataupun denda, namun tidak pernah mendapatkan
sanksi sosial.
 Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan.
 Pengembalian hasil korupsi kepada negara.
 Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada keluarga atau
kerabat pelaku korupsi.
Strategi pemberantasan korupsi harus sesuai kebutuhan, target, dan
berkesinambungan. Strategi yang berlebihan akan menghadirkan inefisiensi sistem dan
pemborosan sumber daya. Dengan penetapan target, maka strategi pemberantasan korupsi
akan lebih terarah, dan dapat dijaga kesinambungannya. Dalam hal ini perlu adanya
komisi anti korupsi di daerah (misalnya KPK berdasarkan wilayah) yang independen dan
permanen (bukan ad hoc).
Selain itu strategi pemberantasan korupsi haruslah berdasarkan sumber daya dan
kapasitas. Dengan mengabaikan sumber daya dan kapasitas yang tersedia, maka strategi
ini akan sulit untuk diimplementasikan, karena daya dukung yang tidak seimbang. Dalam
hal ini kualitas SDM dan kapasitasnya harus dapat ditingkatkan, terutama di bidang
penegakan hukum dalam hal penanganan korupsi. Peningkatan kapasitas ini juga
dilakukan melalui jalan membuka kerjasama internasional.
Keterukuran strategi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan. Salah satu
caranya yaitu membuat mekanisme pengawasan dan evaluasi atas setiap tahapan
pemberantasan korupsi dalam periode waktu tertentu secara berkala. Selain itu juga, dalam
rangka penyusunan strategi yang terukur, perlu untuk melakukan survei mengenai
kepuasan masyarakat atas usaha pemberantasan korupsi yang telah dilakukan
pemerintahan.
Terakhir adalah bahwa sebuah strategi pemberantasan memerlukan prinsip
transparan dan bebas konflik kepentingan. Transparansi ini untuk membuka akses publik
terhadap sistem yang berlaku, sehingga terjadi mekanisme penyeimbang. Warga
masyarakat mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi bagian dari strategi
pemberantasan korupsi. Saat ini optimalisasi penggunaan teknologi informasi di sektor
pemerintah dapat membantu untuk memfasilitasinya. Strategi pemberantasan juga harus
bebas kepentingan golongan maupun individu, sehingga pada prosesnya tidak ada
keberpihakan yang tidak seimbang. Semua strategi berjalan sesuai dengan aturan yang
berlaku dan objektif.
Instrumen strategi pemberantasan lain yang menjadi bagian dari elemen
masyarakat adalah pers. Transparansi dapat difasilitasi dengan baik dengan adanya
dukungan media massa yang memainkan peranannya secara kuat. Dengan adanya
kebebasan pers, maka kontrol masyarakat dapat semakin ditingkatkan lagi.
5. DAFTAR PUSTAKA

AanRukmana. 2010. Korupsi di Indonesia dalam lintas sejarah. Dlm. Ridwan


Zachrie dan Wijayanto (pnyt.). Korupsi mengorupsi di Indonesia: sebab,
akibat dan prospek pemberantasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Adnan TopanHusodo. 2011. Evaluasidan roadmap penegakanhukum 2012-2015.


Jakarta: Indonesia Corruption Watch.

Boni Hargens & Max Regus. 2013. Bosisme politik: memahami kebuntuan
demokratisasi lokal di Indonesia. t.tp. t.pt.

HerdiSahrasad. 2009. Century gate: refleksi ekonomi-politik skandal bank century.


Jakarta: Freedom Faoundation, Yayasan Indonesia Baru dan LSIKJon S. T.
Quah. 2013. Curbing Corruption in Asian Countries: An Impossible Dream.
Singapore: Fabulous Printers Pte Ltd.

KuskridhoAmbardi. 2008. The making of the Indonesian multyparty system: A


cartelized party system and its origin. The Ohio State University: dissertation

Melnyk, Mykola. 2009. Political corruption: essence, factors, countermeasures.


National
security and defence journal Nuber 7: 67-72.

Robert Klitgaard. 2005. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


Saldi Isra & Edd O.S. Hiariej. 2009. Perspektif pemberantasan korupsi di
Indonesia. Dlm. Ridwan Zachrie dan Wijayanto (pnyt.). Korupsi
mengorupsi di Indonesia: sebab, akibat dan prospek pemberantasan,
hlm. 553-603. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sarifuddin Sudding. 2014. Perselingkuhan Hukum dan Politik dalam Negara


Demokrasi.
Yogyakarta: Rangkang Education.

Slater, Dan. 2004. Indonesia’s accountability trap: party cartels and presidential power
after democratic transition. Research library No. 78: 61.

Slater, Dan. 2006. The ironies of instability in Indonesia. Berghahn Journal


Volume 50, issue 1: 208-213.

Anda mungkin juga menyukai