Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

BIOTEKNOLOGI HEWAN (KLONING)

OLEH :
KELOMPOK 6
AINUN (181621400)
FRISKA ANGRIANI (181611405)
NURFIANTI (181611410)
SRI WULAN OKTAVIA (181621418)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER KOLAKA
KOLAKA
2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 2
BAB I TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 3
1.1 BIOTEKNOLOGI HEWAN ......................................................................................... 3
a. Pengertian Bioteknologi Hewan....................................................................................... 3
b. Manfaat bioteknologi hewan ............................................................................................ 3
c. Kelebihan dan Kelemahan Bioteknologi Hewan ............................................................. 4
1.2 BIOTEKNOLOGI KLONING PADA HEWAN ......................................................... 5
a. Teknik Kloning pada Hewan............................................................................................ 5
b. Proses Kloning pada Hewan ............................................................................................ 8
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Proses Cloning ................................ 11
1.3 APLIKASI BIOTEKNOLOGI KLONING PADA SAPI ......................................... 11
1.4 GAMBARAN BIOTEKNOLOGI KLONING DI NEGARA INDONESIA DAN
NEGARA MAJU.. ....................................................................................................... 14
1.5 BIOETIKA CLONING HEWAN……………………………………………………15

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 BIOTEKNOLOGI HEWAN
a. Pengertian Bioteknologi Hewan
Bioteknologi adalah bidang penerapan biosains dan teknologi yang menyangkut
penerapan praktis organisme hidup atau komponen subsellulernya pada industri jasa dan
manufaktur serta pengelolaan lingkungan. Atau dapat pula di definisikan sebagai
teknologi yang menggunakan sistem hayati (proses-proses biologi) untuk mendapatkan
barang dan jasa yang berguna bagi kesejahteraan manusia.
Pada umumnya bioteknologi dibedakan menjadi bioteknologi tradisional dan
modern. Bioteknologi tradisional adalah bioteknologi yang memanfaatkan mikrobia
(organisme) untuk memodifikasi bahan dan dan lingkungan untuk memperoleh produk
optimal. Misalnya pembuatan tempe, tape, roti, pengomposan sampah. Sedangkan
bioteknologi modern dilakukan melalui pemanfaatan ketrampilan manusia dalam
melakukan manipulasi makhluk hidup agar dapat digunakan untuk menghasilkan produk
sesuai yang diinginkan manusia. Misalnya melalui teknik rekayasa genetik. Rekayasa
genetik merupakan teknik untuk menghasilkan molekul DNA yang berisi gen baru yang
diinginkan atau kombinasi gen-gen baru atau dapat dikatakan sebagai manipulasi
organisme.
Bioteknologi hewan merupakan salah satu penerapan bioteknologi modern.
Bioteknologi Hewan adalah penerapan prinsip-prinsip ilmiah dan rekayasa untuk
memodifikasi makhluk hidup untuk membuat produk, memperbaiki hewan, dan
mengembangkan mikroorganisme untuk penggunaan tertentu (Miguel, 2010).
b. Manfaat bioteknologi hewan
Bioteknologi hewan telah banyak dilakukan dengan tujuan memiliki berbagai
macam manfaat yang bisa diambil, antara lain:
- Bidang Sains dan Kedokteran Hewan yang secara genetika sudah dimodifikasi atau
dikenal dengan istilah Genetically Modified Animal (GMA) seperti pada hewan uji
yakni mencit dapat digunakan untuk penelitian bagaimana fungsi yang ada pada
hewan. Disamping itu juga digunakan untuk penelitian bagaimana fingsi yang ada
pada hewan. Disamping itu juga digunakan untuk memahami dan mengembangkan
perlakuan pada penyakit baik pada manusia maupun hewan.
- Pengobatan Penyakit
Beberapa penelitian telah menggunakan protein pada manusia untuk mengobati
penyakit tertentu dengan cara mentransfer gen manusia ke dalam gen hewan,
misalnya domba atau sapi. Selanjutnya hewan tersebut akan menghasilkan susu yang
memiliki protein dari gen manusia yang akan digunakan untuk penyembuhan pada
manusia
- Modifikasi Hasil Produksi Hewan
Beberapa negara melakukan rekayasa genetik pada hewan ternak yang diharapkan
akan menghasilkan hewan ternak yang cepat pertumbuhanya, tahan terhadap
penyakit, bahkan menghasilkan protein atau susu yang sangat bermanfaat bagi
manusia.
c. Kelebihan dan Kelemahan Bioteknologi Hewan
1. Kelebihan
 Dapat meningkatkan produksi peternakan
 Meningkatkan efisiensi dan kualitas pakan seperti manipulasi mikroba rumen
 Menghasilkan embrio yang banyak dalam satu kali siklus reproduksi
 Dapat menciptakan jenis ternak unggul
2. Kelemahan
 Ada produk hasil rekayasa genetic yang diperingatkan dapat menimbulkan
masalah yang sangat serius, misalnya kematian akibat penggunaaan insulin,
sapi penghasil susu yang disuntik dengan hormone BGH mengandung bahan
kimia yang berbahaya
 Ada dugaan bahwa SARS yang menghebohkan dunia, terduga disebabkan
oleh rekayasa dari genetika virus corona.
1.2 BIOTEKNOLOGI KLONING PADA HEWAN
a. Teknik Kloning pada Hewan
Secara umum, Kloning hewan dapat dilakukan dengan teknik embryo splitting,
blastomere dispersal, dan somatic cell nuclear transfer (SCNT). Teknik SCNT merupakan
teknik yang paling umum digunakan dalam kloning hewan.
a) Embryo splitting
Pada teknik ini, kumpulan totipoten pra embrio sebelum diletakkan ke dalam
resipien, dipilah menjadi dua, yang kemudian menghasilkan dua embrio identik. Cara
ini sering terjadi secara alamiah, yaitu dalam proses yang menghasilkan kembar
identik.
b) Blastomere dispersal
Teknik ini dimulai dengan pemisahan secara mekanik sel-sel individual sebelum
pembentukan blastosit (sel-sel awal membentuk bola yang berisi cairan).
c) Nuclear transfer atau Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT)
Pada teknik ini dibutuhkan dua sel, yaitu sel donor dan sel telur. Teknik ini
melibatkan beberapa tahap penting, termasuk:
1. penyediaan ovum yang sudah matang
2. pengeluaran kromosom yang terdapat dalam ovum (enukleasi)
3. transfer inti sel hewan yang dikloning ke dalam ovum enucleasi
4. aktivasi embrio yang baru terbentuk sehingga menginisiasi perkembangan
embrionik
5. kultur embrio in vitro, dan
6. transfer embrio yang dikloning ke induk resipien (Hine, 2004).

Hangbao (2004) mengemukakan bahwa sel donor dan sel penerima transfer
nucleus difusikan oleh getaran listrik tunggal secara langsung melalui elektroda tipe
jarum. Teknik-teknik yang diperlukan untuk menyempurnakan tahapan-tahapan ini
agak berbeda antar spesies. Demikian halnya dengan efisiensi setiap tahap juga
bervariasi bagi spesies hewan (Setiawan, 2008).
Teknik SCNT ini merupakan teknik yang paling sering digunakan dalam
penelitian kloning hewan. Aplikasi dari teknik SCNT ini adalah pada penelitian
kloning reproduktif dan kloning terapeutik. Pada kloning reproduktif, setelah sel klon
mengalami pembelahan hingga tahap blastosit, embrio selanjutnya ditransfer ke induk
resipien (surrogate mother) untuk dilahirkan secara normal. Sedangkan pada kloning
terapeutik, setelah embrio mencapai tahapan blastosit, embrio dikultur secara in vitro
dalam medium spesifik untuk dideferensiasikan menjadi berbagai jenis sel untuk
kegunaan terapeutik. Manipulasi kondisi kultur dengan menggunakan medium
selektif merupakan metode standar untuk seleksi organisme (Freshney, 2000).

Pengembangan Teknik SCNT


1. Teknik Roslin
Ian Wilmut dan Keith Campbell menggunakan teknik Roslin ini pada saat
mengkloning domba Dolly. Pada teknik ini, sel donor diseleksi dari sel kelenjar
mammae domba betina berbulu putih (Finn Dorset). Sel tersebut kemudian
dikultur secara in vitro dalam medium yang nutrisinya hanya cukup untuk
mempertahankan kehidupan sel. Hal ini dumaksudkan agar sel menghentikan
seluruh gen yang aktif dan memasuki stadium Gap Zero (G0). Selanjutnya sel
telur dari domba betina Blackface dienukleasi dan diletakkan di sebelah sel donor.
Satu sampai delapan jam setelah pengambilan sel telur, diberikan kejutan listrik
untuk memfusikan kedua sel tersebut. Pada saat yang sama, pertumbuhan embrio
diaktifkan. Jika embrio ini dapat bertahan, embrio tersebut selanjutnya ditransfer
ke dalam uterus induk resipien. Induk resipien tersebut akan mengandung hasil
kloning tersebut hingga siap untuk dilahirkan.
Dari percobaan Ian Wilmut yang menghasilkan domba Doly, ia telah
menggunakan 434 ovum, tapi 257 dari semuanya gagal berfusi dengan sel
donornya. Ia berhasil mengklon 227 dan hanya 29 embrio yang terbentuk,
selanjutnya yang mampu bertahan beberapa saat di dalam rahim hanya 13 ekor.
Dari semua itu hanya 3 yang bertahan sebelum kelahiran dan akhirnya hanya ada
satu yang lahir sebagai individu baru.
2. Teknik Honolulu
Teknik ini terakreditasi atas nama Teruhiko Wakayama dan Ryuzo
Yanagimachi dari Universitas Hawai. Tim ilmuwan dari Universitas Hawai
tersebut menggunakan teknik ini untuk menghasilkan tiga generasi tikus kloning
yang secara genetic identik. Wakayama melakukan pendekatan terhadap masalah
sinkronisasi siklus sel yang berbeda dengan Wilmut. Wakayama awalnya
menggunakan tiga tipe sel, yaitu sel sertoli, sel otak, dan sel cumulus sebagai sel
donor. Sel sertoli dan sel otak berada dalam stadium G0 secara alamiah dan sel
cumulus hampir selalu berada pada stadium G0 ataupun G1. Sementara itu, sel
telur tikus yang tidak dibuahi digunakan sebagai sel resipien. Setelah dienukleasi,
sel telur memiliki inti donor yang dimasukkan ke dalamnya. Nukleus donor
diambil dari sel-sel dalam hitungan menit dari setiap ekstrak sel tikus tersebut.
Setelah satu jam, sel-sel telah menerima nucleus-nukleus yang baru. Sel-sel
tersebut kemudian ditumbuhkan dalam medium kultur yang mengandung
cytochalasin B. Cytochalasin B berfungsi untuk menghentikan pembentukan
badan polar. Sel-sel tersebut dibiarkan berkembang menjadi embrio-embrio.
Embrio-embrio tersebut selanjutnya ditransplantasikan ke induk resipien dan akan
tetap berada di uterus sampai siap dilahirkan. Setelah terbukti bahwa tekniknya
dapat menghasilkan klon yang hidup, Wakayama membuat klon dari klon dan
membiarkan klon yang asli untuk melahirkan secara alamiah untuk membuktikan
bahwa mereka memiliki kemampuan reproduksi secara sempurna (Rusda, 2004).
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1.1 tahapan cloning dalam pembentukan katak


3. Teknik Lainnya
Hine (2004) mengemukakan bahwa metode terbaru yang lebih efisien
untuk kloning mencit telah dilakukan oleh Baguisi dan Overstrom (2000) dengan
menggunakan metode enuklease kimiawi yang dikombinasikan dengan injeksi
langsung inti donor untuk menghasilkan anak yang hidup. Namun, metode baru
ini masih memerlukan percobaan tambahan pada spesies lain untuk menentukan
efektivitasnya.
b. Proses Kloning pada Hewan
Kloning hewan adalah suatu proses dimana keseluruhan organisme hewan
dibentuk dari satu sel yang diambil dari organisme induknya dan secara genetika
membentuk individu baru yang identik sama. Artinya, hewan cloning ini adalah duplikat
yang persis sama baik dari segi sifat dan penampilannya seperti induknya, dikarenakan
adanya kesamaan DNA.
1. Kloning sapi
Jumlah laboratorium yang bekerja pada kloning embrio sapi di seluruh dunia
lebih banyak dibandingkan dengan pada spesies lainnya. Keberhasilan sejumlah
laboratorium untuk mengkloning sapi disebabkan karena banyaknya program
penelitian yang difokuskan pada transfer inti sapi. Maturasi oosit in vitro, fertilisasi in
vitro, dan kultur embrio in vitro, telah terlaksana dengan baik pada ternak sapi, dan
setiap kegiatan tersebut merupakan tahapan penting dalam proses kloning. Dengan
adanya berbagai tahapan kegiatan tersebut menyebabkan sejumlah besar oosit dari
rumah potong hewan dapat diakses untuk digunakan dalam penelitian dengan biaya
yang relatif rendah. Dan dengan demikian, memberikan cukup percobaan dan cukup
embrio yang ditransfer untuk memproduksi kloning pada ternak sapi. Bervariasinya
efisiensi kloning sapi lewat transplantasi inti mungkin disebabkan oleh terbatasnya
jumlah eksperimen yang terkontrol, sehingga sulit untuk menentukan penyebab dari
variasi yang timbul dan analisis interaksi antara variabel sulit ditentukan. Beberapa
penyebab variasi yang mungkin mempengaruhi keberhasilan transplantasi inti adalah
genotip, tipe sel donor inti yang digunakan, perlakuan sel donor sebelum transfer inti,
sumber ova resipien, teknik-teknik yang dikerjakan, dan laboratorium yang
melaksanakan pekerjaan tersebut. Persentase embrio transfer inti yang berkembang
menjadi stadium kompak morula atau blastosis sangat bervariasi yakni berkisar antara
< 5% hingga > 65%. Tingkat kelahiran hidup per embrio yang ditransfer juga sangat
bervariasi yakni berkisar antara 0% hingga 83%, sedangkan tingkat kematian anak
berkisar antara 0% - 100% yang terjadi pada minggu pertama setelah lahir (Hill et al.,
2000; Wells et al., 1998; Kubota et al., 2000). Kloning pada ternak sapi juga telah
dilakukan oleh Westhusin et al. (2001) dengan menggunakan seekor sapi Brahman
jantan yang bernama Chance, yang berumur sekitar 21 tahun. Fibroblast diambil dari
biopsy kulit, dikultur dengan metode standar kultur jaringan, kemudian dibekukan
dan disimpan dalam nitrogen cair. Ketika transfer inti dilakukan dengan
menggunakan sel-sel fibroblast Chance, 28 % dari untaian fusi (53 dari 190) yang
dikultur, berkembang menjadi blastosis. 26 blastosis ditransfer ke 11 ekor sapi betina
resipien dan menghasilkan 6 kebuntingan, 3 diantaranya mengalami kematian embrio
pada hari ke-90 kebuntingan dan hanya 1 ekor yang lahir hidup dan telah bertumbuh
menjadi sapi dewasa. Yang menjadi catatan penting bahwa selama minggu pertama
setelah lahir, anak sapi tersebut memerlukan monitoring dan terapi yang intensif
untuk mengobati lung dysmaturity dan pulmonary hypertension, termasuk pemberian
type 1 insulin-dependent diabetes. Percobaan kedua dan ketiga menggunakan
fibroblast dari biopsy kulit dua ekor sapi betina berumur sedang, satu ekor sapi
Brangus dan satu ekor sapi Charolais yang diseleksi berdasarkan performans terbaik.
Setelah transfer inti dan kultur, jumlah embrio yang berkembang hingga stadium
blastosis adalah 16%. 37 blastosis Charolais ditransfer ke 13 resipien. Lewat
pemeriksaan kebuntingan pada hari ke-30 ternyata 6 diantaranya dinyatakan bunting,
tetapi hanya 4 ekor yang dapat mempertahankan kebuntingannya hingga hari ke-60.
Dari keempat ekor induk sapi tersebut, salah satu diantaranya mengalami keguguran,
dua ekor digunakan untuk
tujuan penelitian (fetusnya dikeluarkan) dan satu ekor menghasilkan anak betina
kembar dua yang kemudian keduanya mati setelah berumur 7 sampai 10 hari. 43
blastosis yang berasal dari sapi Brangus ditransfer ke 14 resipien dan menghasilkan 3
kebuntingan, tetapi tidak ada yang bertahan hidup melewati hari ke-90 kebuntingan
(Westhusin et al., 2001). Pada percobaan lain, Feng et al. (1996) menggunakan
fibroblast sapi Black Angus jantan yang secara genetik resistant terhadap brucellosis.
Sapi tersebut mati dan tidak ada semen beku yang tersedia untuk menghasilkan
keturunan baru. Dari pasangan oositfibroblast yang berdifusi dan dikultur, 44%
berkembang menjadi blastosis. 39 blastosis ditransfer ke 20 resipien dan
menghasilkan 10 kebuntingan ketika dilakukan pemeriksaan pada hari ke-35,
ke dua
diantaranya bertahan hingga hari ke
ke-130 dan ke-250 kebuntingan.
2. Cloning katak
a) Sepotong jaringan kulit diambil dari seekor katak
b) Sel-sel jaringan itu dibiakkan
c) Inti salah satu itu ditransplantasikan kesel telur penerima (inti sel telur
tel ini sudah
dikeluarkan).
d) Telur itu berkembang menjadi embrio.
e) Sel-sel embrio dipisah
dipisah-pisahkan
f) Inti sebuah sel embrio ditransplantasikan kedalam sel telur penerima lainnya.
Telur itu berkembang menjadi suatu klon katak semula.
3. Cloning domba
a) Mengambil inti sel somatic dari objek biologis yang sudah dewasa.
b) Menanamkan dalam sel telur yang sudah dibuang inti selnya.
c) Ditumbuhkan dalam sebuah medium dibantu dengan aliran listrik untuk
merangsang pertumbuhan sel itu.
d) Embrio dimasukkan kedalam rahim betina ya
yang
ng sudah dipersiapkan secara
biologis untuk dapat menerima dan mengembangkan embrio kloning tersebut
sebagaimana kehamilan biasa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar
berikut:

Gambar 1.2 Tahapan kloning dalam pembentukan domba Dolly


c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Proses Cloning
Ada beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat keberhasilan kloning
diantaranya adalah :
1. Spesies
2. tipe sel donor inti
3. modifikasi genetic
4. ovum resipien
5. perlakuan terhadap sel donor sebelum transfer inti
6. teknik transfer inti.
Menurut Setiawan (2008), penyebab timbulnya berbagai masalah dalam kloning
hewan adalah adanya kesalahan saat pemrograman material genetik (reprogramming)
dari sel donor. Sedangkan menurut HangBao (2004) faktor penyebab ketidakefisiensian
kloning, yaitu tahapan siklus sel donor, ketidaklengkapan pemprograman ulang nukleus,
dan tipe sel donor yang digunakan. Banyak tipe sel yang telah digunakan untuk transfer
inti, diantaranya adalah sel-sel cumulus dan mural granulose. Walaupun demikian, ada
suatu indikasi bahwa tipe sel dan stadium siklus sel saat transfer inti dapat mempengaruhi
efisiensi kloning. Selain itu, apabila salah satu tahap kloning kurang optimal, maka akan
berpengaruh pada produksi embrio atau transfer embrio. Hal lain yang mungkin menjadi
penyebab kegagalan kloning adalah adanya penolakan immunologis uterus induk
terhadap janin transfer dan perubahan halus dalam struktur kromatin dan/atau ekspresi
gen.

1.3 APLIKASI BIOTEKNOLOGI KLONING PADA SAPI


Salah satu penerapan bioteknologi dalam proses cloning sapi adalah salah satunya
melalui Transfer Embrio. Transfer embrio tidak hanya potensi dari jantan saja yang
dioptimalkan, melainkan potensi betina berkualitas unggul juga dapat dimanfaatkan secara
optimal. Teknik TE ini, betina unggul tidak perlu bunting tetapi hanya berfungsi
menghasilkan embrio yang untuk selanjutnya bisa ditransfer pada induk titipan dengan
kualitas yang tidak perlu bagus tetapi memiliki kemampuan untuk bunting. Embrio yang
didapat dapat langsung di transfer ke dalam sapi resipien atau dibekukan untuk disimpan dan
di transfer pada waktu lain.
Penerapan bioteknologi cloning pada sapi cukup menjanjikan untuk diaplikasikan dengan
skala luas. Hal ini didasarkan fakta bahwa embrio klon dapat diproduksi dengan efisien dan
angka kebuntingan hasil kloning juga relatif tinggi. Pemeliharaan kebuntingan dan harapan
hidup anak yang rendah menjadi kendala utama untuk menyebarluaskan aplikasi teknologi
ini pada sapi. Permintaan pasar untuk sapi kloning adalah sapi yang mempunyai nilai genetik
dan nilai jual yang tinggi diantaranya sapi pejantan yang mempunyai nilai jual potensial yang
tinggi dan induk betina yang menghasilkan pendapatan signifikan dari produksi embrio
Kloning sel somatik dalam usaha pembibitan komersial dapat menjamin kualitas produk,
keseragaman, dan konsistensi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan efisiensi yang lebih tinggi dan biaya yang
lebih rendah pada proses produksi kloning. Sebagian upaya kloning difokuskan pada ternak
sapi transgenik dengan memanfaatkan genotip-genotip yang sudah diketahui melalui
modifikasi genetik (Brink et al, 2000; Murray, 1999). Genotipe superior dapat diperbanyak
menggunakan teknik kloning dan digabungkan dengan transgenesis untuk
mengintroduksikan sifat-sifat yang terkait karakteristik sekunder seperti resistensi terhadap
penyakit dan fertilitas. Sifat-sifat ini belum dipertimbangkan dalam skema seleksi
konvensional tetapi sekarang mendapat perhatian lebih intens, salah satu alasannya adalah
untuk kesejahteraan ternak yang telah berkembang menjadi isu penting dalam segala aspek
pemanfaatan hewan untuk keperluan manusia.
a) Sapi transgenic
Transfer materi genetik dengan teknologi rekombinan DNA merupakan suatu
metode penemuan baru untuk menghasilkan ternak transgenik. Ternak transgenic
memperlihatkan bermacam-macam fenotipe baru melalui ekspresi molekul DNA
eksogen. Ternak transgenik dihasilkan dengan injeksimikro gen ke dalam pronukleus
sesaat setelah fertilisasi dan sebelum terjadi pembelahan pertama zigot, selanjutnya
ditanam di dalam rahim induk pengganti.
Transfer gen (transgenik) artinya penyatuan stabil dari suatu gen dari spesies lain
atau bangsa ternak lain dalam satu spesies, sehingga gen itu berfungsi pada ternak
penerima dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ternak transgenic
adalah seekor ternak yang DNA keturunannya telah ditingkatkan melalui penambahan
atau penggantian DNA dari sumber lain melalui rekombinan DNA. Para ilmuwan telah
menggunakan teknologi tersebut untuk mengembangkan ternak transgenik misalnya sapi
transgenik yang mempunyai laju pertumbuhan yang tinggi dan kualitas daging yang baik
Produksi sapi transgenik sangat tergantung pada kualitas embrio satu sel yang
akan di injeksi. Bila embrio diperoleh secara in vitro maka prosedur diawali dengan
superovulasi ternak donor (untuk mendapatkan banyak embrio), koleksi zigot (embrio
satu sel), mikro injeksi DNA pada embrio, kultur embrio sampai fase blastosis, ditransfer
pada induk resipien dan diperoleh sapi transgenik (Bondioli et.al., 1991).
b) Embryo splitting
Dengan menggunakan teknik ini embrio sapi yang berumur 7 hari dibelah menjadi 2
bagian dengan menggunakan pisau pembelah mikroskopik untuk menembus zona
pelucida. Separuh dari hasil belahan itu kemudian dibungkus kembali dengan
pembungkus alam yang terpisah. Pembungkus yang kuat namun lentur (zona pelucida)
yang menyelimuti bola sel, memungkinkan penempatan embrio di dalam uterus induk
lain untuk dititipkan selama jangka waktu bunting. Embrio yang telah dibelah dapat
dibekukan dan bila ditransfer pada waktu yang berbeda akan menghasilkan kembar
identik yang berbeda umurnya.
Pembelahan embrio secara fisik telah berhasil menghasilkan kembar identik pada
domba, sapi, babi dan kuda. Walaupun secara teoritis pembelahan dapat dilakukan
beberapa kali, tetapi sampai saat ini tingkat keberhasilannya masih sangat rendah. Embrio
sapi pada stadium akhir dan blastosist dapat dibelah menjadi dua bagian, setengahnya
dapat dikembalikan langsung kedalam uterus dan sebahagian sisanya dapat segera
ditransfer ke resipien. Teknik Splitting ini dimasa depan mempunyai prospek yang sangat
bagus, terutama pada ternak yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (sapi perah). Akan
tetapi penyempurnaan agar tingkat keberhasilannya lebih baik lagi dan aplikasinya lebih
mudah dan murah perlu terus dilakukan (Situmorang dan Endang, 2004). Teknologi
Splitting embrio diharapkan dapat menjadi alternatif untuk optimalisasi penambahan
jumlah embrio yang dapat ditransfer ke resipien per embrio utuh.
Splitting embrio dapat dilakukan pada embrio beku yang memiliki kriteria tertentu
dengan kualitas hasil setara dengan embrio segar (Imron et al., 2007). Imron et al. (2007)
menyatakan embrio yang dapat digunakan untuk Splitting yaitu:
1. Embrio sapi in vitro segar
2. Embrio in vitro beku yang telah dicairkan, dikultur selama 24 jam. Splitting
embrio dilakukan sesuai dengan metode yang telah dilaporkan oleh boediono

Gambar 1.3 Tahapan proses Splitting embrio. a) Goresan kecil pada dasar cawan petri (tanda panah); b)
Splitting embrio; c) Demi embrio sesaat setelah splitting.

Spliting embrio merupakan metode alternatif yang dapat dilakukan untuk


memperbanyak jumlah embrio yang dapat ditransfer. Embrio beku memiliki potensi dan
kualitas yang sebanding dengan embrio segar untuk dilakuan Splitting jika telah dikultur
dan diseleksi secara morfologi.

1.4 GAMBARAN BIOTEKNOLOGI KLONING DI NEGARA INDONESIA DAN


NEGARA MAJU
Sekarang bioteknologi berkembang sangat pesat, terutama di Negara-negara maju.
Kemajuan ini ditandai dengan ditemukannya berbagai macam teknologi misalnya : rekayasa
genetika, cloning dan lain-lain. Teknologi dalam bidang reproduksi juga telah banyak
dikembangkan seperti :
- Transfer Embrio berupa teknik multiple ovulation and embrio Transfer (MOET).
Teknik ini telah diaplikasikan secara luas di eropa, jepang, AS, dan Australia dalam
dua dasawarsa terakhir untuk menghasilkan anak (embrio)yang banyak dalam satu
kali siklus reproduksi.
- Cloning telah dimulai sejak 1980-an pada domba, saat ini pembelahan embrio secara
fisik (embryo splitting) mampu menghasilkan kembar identik pada domba, sapi, babi
dan kuda
Di Indonesia transfer embrio mulai dilakukan pada tahun 1987. Dengan teknik ini
seekor sapi betina, mampu menghasilkan 20-30 ekor anak sapi (pedet) pertahun. Penelitian
terakhir membuktikan bahwa, menciptakan jenis ternak unggul sudah bukan masalah lagi
dengan teknologi transgenic, yakni dengan jalan mengisolasi gen unggul, memanipulasi dan
kemudian memindahkan gen tersebut dari satu organism ke organism lain, maka ternak
unggul yang di inginkan dapat diperoleh.
Selain itu, babi transgenic di Princeton Amerika Serikat, kini sudah berhasil
memproduksi hemoglobin manusia sebanyak 10-15% dari total hemoglobin manusia, bahkan
laporan terakhir mencatat adanya peningkatan persentasi hemoglobin manusia yang dapat
dihasilkan oleh babi transgenic ini.
Minimnya dana penelitian menjadi fakor penyebab ketertinggalan Indonesia dalam
mengembangkan bioteknologi. Anggaran riset Indonesia merupakan anggaran terendah di
Asia tenggara yaitu 0.2% atau 17 triliun, sedangkan Singapura dan Thailand telah
menganggarkan dana riset sebesar 2.5%, sementara Malaysia menganggarkan 1.8% (LIPI,
2016). Dana riset sendiri 76% bersumber dari anggaran APBN dan sisanya dari pihak
swasta. Berbeda halnya dengan negara Asia yang lain seperti Singapura yang 80% dana riset
berasal dari pihak swasta atau industri sedangkan Korea selatan hanya sekitar 16% dana yang
berasal dari pemerintah dan sisanya dari pihak swasta dan industri (Antara News, 2019).
Keterlambatan perkembangan bioteknologi telah dibahas dalam Seminar Nasional
Bioteknologi III UGM, dan dalam kesempatan tersebut Prof. Dr. Ir. Siti Subandiyah,
M.Agr.Sc selaku ketua Pusat Studi Bioteknologi UGM menyatakan bahwa perkembangan
bioteknologi di dunia internasional telah menggunakan teknologi modern sedangkan
perkembangannya di Indonesia memprihatinkan karena keterbatasan fasilitas dan bahan-
bahan yang masih harus diimpor (UGM, 2015).
Indonesia merupakan negara yang telah memanfaatkan produk bioteknologi terutama
produk makanan dan obat-obatan. Pemanfaatan produk rekayasa di Indonesia telah diatur dan
harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terdapat 7 peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang perdagangan produk rekayasa genetika yaitu :
1. UU No. 7/1996 tentang pangan
2. UU No. 21/2004 tentang Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on
Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi
Keanekaragaman Hayati)
3. PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan
4. PP No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
5. PP No. 21/2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika
6. SKB 4 Menteri Th. 1999
7. Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor: HK. 00.05.23.3541 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetik.

1.5 BIOETIKA CLONING HEWAN


Berbagai keberhasilan dalam teknologi kloning menunjukkan semakin
memungkinkannya terciptanya klon manusia. Hal ini memicu tanggapan keras dari kaum
moralis dan menjadi bahan perdebatan para pakar yuridis, politikus, agamawan, tenaga
medis, masyarakat, dan para pakar bioteknologi itu sendiri. Perdebatan tentang kloning ini
terus terjadi, baik dalam hal kloning binatang maupun kloning manusia. Kelompok kontra
berpendapat bahwa kloning akan memberi dampak buruk bagi kehidupan. Sementara itu,
kelompok yang mendukung kloning berpendapat bahwa kloning sangat dibutuhkan oleh
manusia sebab cloning ini dapat digunakan untuk memproduksi organ-organ tubuh
pengganti organ yang rusak. Hal ini sangat bermanfaat dalam bidang kesehatan. Selain itu,
kloning juga diharapkan dapat menjadi alternatif untuk melestarikan hewan langka.
Pada dasarnya, penerapan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai sebuah
pertimbangan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berfungsi untuk mengembangkan nilai-nilai
kemanusiaan dan bukan untuk menghancurkan nilai-nilai tersebut. Satu hal yang paling
esensi untuk setiap karya cipta adalah apapun bentuk teknologinya, manfaat yang diperoleh
harus lebih besar dari dampak yang ditimbulkannya (Budidaryono, 2009). Oleh karena itu,
penerapan teknologi kloning harus mempertimbangkan faktor bioetika, sosial, kultural,
yuridis, moral, dan masalah keamanan.
Apabila ditinjau dari masalah keamanan, teknik kloning SCNT masih menimbulkan
masalah genetis serius. Sebagian besar hewan hasil kloning mengalami cacat genetis dan
pertumbuhan abnormal. Selain itu, beberapa penelitiann menunjukkan bahwa masalah
pembiakan sel secara in vitro yang dilangsungkan dalam waktu yang cukup lama akan
menyebabkan sel-sel tersebut mengalami transformasi kromosomal, sehingga
memungkinkan sel-sel tersebut menjadi sel-sel tumor atau kanker. Oleh karena itu, penelitian
lebih lanjut masih harus terus dilakukan untuk mengurangi resiko cacat genetis dan
keabnormalan tersebut. Paling sedikit ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam penerapan
teknologi kloning, yaitu sebagai berikut:
a) Prosedur untuk kloning reproduktif hewan harus diperbaiki sedemikian rupa sehingga
tingkat abnormalitas yang terjadi pada hewan yang diklon
b) Metode baru harus dikembangkan untuk menunjukkan bahwa embrio manusia
preimplantasi yang dihasilkan harus normal dalam hal imprinting dan reprogramming.
c) Metode monitoring harus dikembangkan untuk mendeteksi secara efektif dan
komprehensif dampak efek terkait pada kloning embrio preimplantasi dan janin.

Selain itu, setiap proyek kloning hendaknya didahului oleh suatu taksiran yang cermat
terhadap bahaya-bahaya yang mungkin terjadi di dalamnya dan dibandingkan dengan
manfaat yang diperoleh. Sampai saat ini, teknologi kloning reproduktif pada hewan dengan
tujuan meningkatkan mutu pangan dan kualitas daging serta sebagai upaya untuk
melestarikan hewan langka jelas diperbolehkan. Tetapi kloning reproduktif yang
menghasilkan manusia duplikat atau kembaran identik yang berasal dari sel induk dengan
cara implantasi inti sel tidak dapat dibenarkan. Sedangkan kloning manusia untuk tujuan
terapi (kloning terapeutik) dianggap etis (Rusda, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Antara News. (2019). Menristek Menjawab mengapa dana riset Indonesia rendah.
https//m.antaranews.com/berita/800767//menristek-menjawab-mengapa-dana-riset-
indonesia-rendah. [diakses 16 oktober 2020].

Arnold, P. 2009. Big Moments in Cloning History.


www.brighthub.com/science/genetics/articles/13494.aspx#ixzz0YPv2YQ7H.
Diakses pada tanggal 16 Oktober 2020.

Baguisi, A., E. Behboodi, D.T. Melican, J.S. Pollock, M.M. Destrempes, C. Commuso,
J.Jl. Williams, S.D. Nims, C.A. Porter, P. Midura, M.J. Palacios, S.L. Ayres, R.S.
Denniston, M.L. Hayes, C.A. Ziomek, H.M. Meade, R.A. Godke, W.G. Gavin, E.W.
Overstrom, and Y. Echelard. 1999. Production of goats by somatic cell nuclear
transfer. Nat Biotechnology, 17 : 456 – 461.

Bondioli,K.R, Biery, KA., Hill, KG., Jones, KB. and De Mayo, F.G., 1991. Production of
Transgenic Cattle by Pronuklear Injection in "Transgenic Animals. pp. 265 -273.

Budidaryono. 2009. Dilema di Balik Upaya Kloning Pada Manusia.


http://budidaryono.blog.ugm.ac.id/2009/10/08/dilema-di-balik-upayakloning-pada
manusia/. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2020.

Feng, J., Y. Li, M. Hashad, E. Schurr, P. Gross, L.J. Adams, and J.W. Templeton. 1996.
Bovine natural desease resitance associated macrophage protein (NRAMP1) gene.
Genome Research, 6 : 956 -964.

Freshney, RI. 2000. Culture of Animal Cells: A Manual of Basic Technique. Canada:
Wiley-Liss.

Hangbao Ma. 2004. Technique of Animal Clone. Journal Nature and Science, 2(1), 2004:
29-34.

Hill, J.R., Q.A. Winger, C.R. long, C.R. Looney, J.A. Thompson, M.E. Westhusin. 2000.
Development rates of male bovine nuclear transfer embryos derived from adult and
fetal cells. Biology of Reproduction, 62 : 1135 – 1140.

Hine, T. M. 2004. Kloning untuk Menghasilkan Hewan dengan Genotip yang


Diinginkan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Imron. M, A. Boediono, I. Supriatna. 2007. Viabilitas Demi Embrio Sapi In Vitro Hasil
Splitting Embrio Segar dan Beku. JITV 12 (2) : 118
Kubota, C., H. Yamakuchi, J. Todoroki, K. Mizoshita, N. Tabara, M. Barber, and X.
Yang. 2000. Six cloned calves produced from adult fibroblast cell after long-term
culture. PNAS, 97 : 990 – 995.

Miguel, A., Sosa, G., Gasperi, R.D., Elder, G.A. 2010. Animal transgenesis: an overview.
Brain struct. Funct. 214: 91-109.

Rusda, M. 2004. Kloning. Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera


Utara

Setiawan, M., Sardjono, CT., Sandra, F. 2008. Menuju Kloning Terapeutik dengan
Teknik SCNT. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran, 161/ Vol. 35 No. 2 Maret-April
2008: 72-76.

Situmorang, P dan Endang, T. 2004. aplikasi dan inovasi teknologi transfer embrio (TE)
untuk pengembangan sapi potong. Bogor: Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004.

UGM. (2015). Perkembangan Bioteknologi di Indonesia Memprihatinkan.


https://ugm.ac.id/id/berita/10614-perkembangan-bioteknologi-di-indonesia [diakses
16 Oktober 2020]

Wells, D.,T. Misica T. Misica, A.Day, and R. Tervit. 1998. Production of cloned calves
following nuclear transfer with cultured adult mural granulose cells. Bio of Reprod,
60 : 996 -1005.

Westhusin, M.E., C.R. Long, T. Shin, J.R. Hill, C.R. looney, J.H. Pryor, and J.A.
Piedrahita. 2001. Kloning to reproduce desired genotypes. Theriogenology, 55 : 35 –
49.

Anda mungkin juga menyukai