Anda di halaman 1dari 23

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI PRESEPSI SENSORI DAN GANGGUAN

KONSEP DIRI PADA PASIEN HALUSINASI DAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN


DI DESA SUMBERBENING, KECAMATAN BANTUR

Disusun Oleh:

Anastasya Tuhumury 192102108


Nurul Elizatus Safarida 192102114
Shafa Karenina Sindawati 192102125

INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN MALANG WIDYA CIPTA HUSADA


FAKULTAS KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN
SUB DEPARTEMEN S1 – ILMU KEPERAWATAN
MALANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI PRESEPSI SENSORI DAN GANGGUAN


KONSEP DIRI PADA PASIEN HALUSINASI DAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN DI
DESA SUMBERBENING, KECAMATAN BANTUR

Disusun Oleh:
Anastasya Tuhumury (192102108)
Nurul Elizatus Safarida (192102114)
Shafa Karenina Sindawati (192102125)

Telah diperiksa kelengkapannya pada:


Hari :
Tanggal :
Dan dinyatakan memenuhi kompetensi

Perseptor Klinik Perseptor Akademik

Ns. Soebagijono, S.Kep., Ns. Icca Presilia Anggreyanti,


MMKes S.Kep., M.Kep
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam dan
lingkungan dari luar dirinya, baik itu lingkungan keluarga, kelompok dan komunitas.
Dalam berhubungan dengan lingkungan, manusia harus mengembangkan strategi
koping yang efektif agar dapat beradaptasi. Hubungan interpersonal yang
dikembangkan dapat menghasilkan perubahan individu diantaranya perubahan nilai
budaya, perubahan sistem kemasyarakatan, pekerjaan, serta akibat ketegangan antar
idealisme dan realita yang dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan mental
emosional. Tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dari perubahan tersebut,
akibatnya akan menimbulkan ketegangan atau stress yang berkepanjangan sehingga
dapat menjadi faktor pencetus dari penyebab serta juga mengakibatkan suatu
penyakit. Faktor yang dapat mempengaruhi stress adalah pengaruh genetik,
pengalaman masa lalu dan kondisi saat ini (Suliswati, 2005)
Klien yang dirawat di rumah sakit jiwa atau ruang jiwa umumnya dengan keluhan
tidak dapat diatur di rumah, misalnya amuk, diam saja, tidak mandi, keluyuran,
mengganggu orang lain dan sebagainya. Setelah berada dan dirawat di rumah sakit,
hal yang sama sering terjadi banyak klien diam, menyendiri tanpa ada kegiatan. Hari-
hari perawatan dilalui dengan makan, minum obat dan tidur.

1.2 Tujuan
Tujuan umum TAK membuat tasbih dari manik-manik yaitu peserta dapat
meningkatkan kemauan dalam melakukan aktivitas dan merangsang kembali
kemampuan motoric halus.

1.3 Tujuan Khusus


1. Klien mampu memperkenalkan diri
2. Klien mampu membuat kerajinan dari sedotan
3. Klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAK yang telah
dilakukan
1.4 Manfaat
1. Manfaat Bagi Klien
Sebagai cara untuk meningkatkan kemampuan klien agar mempunyai kemauan
dalam melakukan aktivitas dan merangsang kembali kemampuan klien
2. Manfaat Bagi Terapis
Sebagai upaya untuk memberikan asuhan keperawatan yang holistik
Sebagai terapi modalitas yang dapat dipilih untuk mengoptimalkan strategi
pelaksanaan dalam implementasi rencana tindakan keperawatan klien
3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai informasi untuk pihak akademisi, pengelola dan sebagai bahan
kepustakaan, khususnya bagi mahasiswa ilmu keperawatan sebagai aplikasi
dalam pelayanan Mental Health Nurse yang optimal pada klien
4. Manfaat Bagi Puskesmas Bantur
Sebagai masukan dalam implementasi asuhan keperawatan yang holistik pada
pasien sehingga diharapkan keberhasilan terapi yang optimal
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Halusinasi adalah persepsi klien yang salah terhadap lingkungan tanpa stimulus
yang nyata, memberi persepsi yang salah atau pendapat tentang sesuatu tanpa ada
objek atau rangsangan yang nyata dan hilangnya kemampuan manusia untuk
membedakan rangsangan internal pikiran dan rangsangan eksternal (Trimelia, 2011).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh
pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan, atau penghiduaan tanpa adanya stimulus yang nyata (Keliat,
2014).
Halusinasi adalah gangguan persepsi tentang suatu objek atau gambaran dan
pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi
semua sistem penginderaan (Dalami, Ermawati dkk 2014).

2.2 Rentang Respon


Menurut (Stuart dalam Ilham, 2017) halusinasi merupakan salah satu respon
maladaptif individu yang berada dalan rentang respon neurobiologis. Ini merupakan
respon persepsi paling maladaptif.
Jika klien sehat, persepsinya akurat mampu mengidentifikasi dan
menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui pancaindra
(pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, peraban), klien dengan halusinasi
mempersepsikan suatu stimulus pancaindra walaupun sebenarnya stimulus tersebut
tidak ada. Rentang respon tersebut dapat digambarkan seperti dibawah ini (Muhith,
2015):
Respon adaptif Respon maladaptif

Gambar 1. Distorsi pikiran 1. Gangguan 1:


1. Pikiran logis
ilusi pikir/delusi
2. Persepsi akurat
2. Reaksi emosi 2. Halusinasi
3. Emosi konsisten
berlebihan 3. Sulit
dengan
3. Perilaku aneh merespon
pengalaman
atau tidak emosi
4. Perilaku sesuai
biasa 4. Perilaku
5. Berhubungan
4. Menarik diri disorganisasi
sosial
5. Isolasi sosial
Rentang respon halusinasi
(Sumber : Muhith dalam Ilham, 2017)
Keterangan:
1. Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu akan dapat memecahkan masalah tersebut.
Respon adaptif meliputi:
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli
d. Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
2. Respon psikososial meliputi:
a. Proses pikir terganggu yang menimbulkan gangguan
b. Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang yang benar-
benar terjadi (objek nyata) karena gangguan panca indra
c. Emosi berlebihan atau kurang
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas untuk
menghindari interaksi dengan orang lain
e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interkasi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain
3. Respon maladaptif adalah respon indikasi dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial dan budaya dan lingkungan, adapun respon
maladaptif ini meliputi:
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
sosial
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal
yang tidak realita atau tidak ada
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati
d. Perilaku tak terorganisir merupakan perilaku yang tidak teratur
e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan
yang negatif mengancam.

2.3 Pohon Masalah


Pohon masalah pada masalah halusinasi dapat diuraikan sebagai berikut (Prabowo
dalam Ilham, 2017)
2.4 Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Menurut Yosep (2010) faktor predisposisi klien dengan halusinasi:
a. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentah terhadap stress.
b. Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
c. Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stres yang
berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat
yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stres berkepanjangan
jangan menyebabkan teraktivitasnya neurotransmitter otak.
d. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
e. Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor Presipitasi
a. Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan
tidak aman, gelisah, bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian, tidak
mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan yang
nyata dan tidak nyata. Mencoba memecahkan masalah halusinasi
berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk
yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spritual. Sehingga
halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu:
a. Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang sama.
b. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi daari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup
lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien
berbuat sesuatu terhadap kekuatan tersebut.
c. Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang
menekan, namun merupakan satu hal yang menimbulkan kewaspadaan
12 yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
d. Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dari fase awal dan comforting
klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata sangat
membahayakan. Klien asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial,
contoh diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung
keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi
dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
e. Dimensi spiritual
Secara spritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas,
tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara
spritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu, karena ia
sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun terasa
hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi
lemah dalam upaya memjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan
orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
2.5 Klasifikasi
Menurut Trimeilia (2011) klasifikasi halusinasi adalah sebagai berikut:
1. Halusinasi pendengaran (auditory)
Mendengar suara yang membicarakan, mengejek, mentertawakan, mengancam,
memerintahkan untuk melakukan sesuatu (kadang-kadang hal yang berbahaya).
Perilaku yang muncul adalah mengarahkan telinga pada sumber suara, bicara
atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, menutup telinga, mulut komat-
kamit, dan ada gerakan tangan.
2. Halusinasi penglihatan (visual)
Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar, orang atau
panorama yang luas dan kompleks, bisa yang menyenangkan atau menakutkan.
Perilaku yang muncul adalah tatapan mata pada tempat tertentu, menunjuk ke
arah tertentu, ketakutan pada objek yang dilihat.
3. Halusinasi penciuman (olfactory)
Tercium bau busuk, amis, dan bau yang menjijikan, seperti bau darah, urine atau
feses atau bau harum seperti parfum. Perilaku yang muncul adalah ekspresi wajah
seperti mencium dengan gerakan cuping hidung, mengarahkan hidung pada
tempat tertentu, menutup hidung.
4. Halusinasi pengecapan (gustatory)
Merasa mengecap sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan, seperti rasa darah,
urine atau feses. Perilaku yang muncul adalah seperti mengecap, mulut seperti
gerakan mengunyah sesuatu, sering meludah, muntah.
5. Halusinasi perabaan (taktil)
Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat, seperti
merasakan sensasi listrik dari tanah, benda mati atau orang. Merasakan ada yang
menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang kecil dan makhluk halus. Perilaku
yang muncul adalah mengusap, menggaruk-garuk atau meraba-raba permukaan
kulit, terlihat menggerakkan badan seperti merasakan sesuatu rabaan.

6. Halusinasi sinestetik
Merasakan fungsi tubuh, seperti darah mengalir melalui vena dan arteri, makanan
dicerna atau pembentukan urine, perasaan tubuhnya melayang di atas permukaan
bumi. Perilaku yang muncul adalah klien terlihat menatap tubuhnya sendiri dan
terlihat seperti merasakan sesuatu yang aneh tentang tubuhnya.

2.6 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala gangguan persepsi sensori halusinasi yang dapat teramati sebagai
berikut (Dalami dalam Ilham, 2017):
1. Halusinasi penglihatan
a. Melirikkan mata ke kiri dan ke kanan seperti mencari siapa atau apa saja yang
sedang dibicarakan
b. Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang sedang tidak
berbicara atau pada benda seperti mebel
c. Terlihat percakapan dengan benda mati atau dengan seseorang yang tidak
tampak
d. Menggerakan-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau sedang menjawab
suara.
2. Halusinasi pendengaran
Adapun perilaku yang dapat teramati
a. Tiba-tiba tampak tanggap, ketakutan atau ditakutkan oleh orang lain, benda
mati atau stimulus yang tidak tampak
b. Tiba-tiba berlari keruangan lain
3. Halusinasi penciuman
Perilaku yang dapat teramati pada klien gangguan halusinasi penciuman adalah:
a. Hidung yang dikerutkan seperti mencium bau yang tidak enak
b. Mencium bau tubuh
c. Mencium bau udara ketika sedang berjalan ke arah orang lain
d. Merespon terhadap bau dengan panik seperti mencium bau api atau darah.
e. Melempar selimut atau menuang air pada orang lain seakan sedang
memadamkan api.
4. Halusinasi pengecapan
Adapun perilaku yang terlihat pada klien yang mengalami gangguan halusinasi
pengecapan adalah:
a. Meludahkan makanan atau minuman
b. Menolak untuk makan, minum dan minum obat.
c. Tiba-tiba meninggalkan meja makan.
5. Halusinasi perabaan
Perilaku yang tampak pada klien yang mengalami halusinasi perabaan adalah:
a. Tampak menggaruk-garuk permukaan kulit
Menurut (Pusdiklatnakes dalam Ilham, 2017), tanda dan gejala halusinasi
dinilai dari hasil observasi terhadap klien serta ungkapan klien. Adapun tanda
dan gejala klien halusinasi adalah sebagai berikut:
1) Data Subjektif
Klien mengatakan:
a) Mendengar suara-suara atau kegaduhan
b) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
c) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
d) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat
hantu dan monster
e) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang
bau itu menyenangkan
f) Merasakan rasa seperti darah, urin dan feses
g) Merasa takutan atau senang dengan halusinasinya

2) Data Objektif
a) Bicara atau tertawa sendiri
b) Marah marah tanpa sebab
c) Mengarahkan telinga kearah tertentu
d) Menutup telinga
e) Menunjuk kearah tertentu
f) Ketakutan kepada sesuatu yang tidak jelas
g) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu
h) Menutup hidung
i) Sering meludah
j) Menggaruk garuk permukaan kulit

2.7 Patofisiologi
Menurut (Yosep dalam Setyani, 2019) tahapan halusinasi ada lima fase yaitu:
1. Stage I (Sleep Disorder)
Fase awal seorang sebelum muncul halusinasi. Karakteristik:
Klien merasa banyak masalah, ingin mengindar dari lingkungan, takut diketahui
orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karena
berbagai stressor terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terliat narkoba, dikhianati
kekasih, masalah dikampus, di drop out. Masalah terasa menekan karena
terakumulasi sedangkan support system kurang dan persepsi terhadap masalah
sangat buruk. Sulit tidur berlangsung terus-menerus sehingga terbiasa menghayal.
Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.
2. Stage II (Comforming Moderate Level Of Anxiety )
Halusinasi secara umum ia terima sebagai sesuatu yang alami. Karakteristik:
Klien mengalami emosi yang berlanjut, seperti adanya perasaan cemas, kesepian,
perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba untuk memusatkan pemikiran pada
timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya
dapat ia kontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahapan ini ada kecenderungan
klien merasa nyaman dengan halusinasinya. Perilaku yang muncul biasanya dalah
menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibirnya tanpa
menimbulkan suara, gerakan mata cepat, respon verbal lamban, diam dan
dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikkan.
3. Stage III (Condemning Severe Level of Anxiety)
Secara umum halusinasi sering mendatangi klien. Karakteristik:
Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami bias. Klien mulai
merasa tidak mampu mengontrolnya dan mulai berupaya untuk menjaga jarak
antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan klien. Klien mungkin merasa malu
karena pengalaman sensorinya tersebut dan menarik diri dari orang lain dengan
intensitas watu yang lama. Perilaku yang muncul adalah terjadinya peningkatan
sistem syaraf otonom yang menunjukkan ansietas atau kecemasan, seperti:
pernafasan meningkat, tekanan darah dan denyut nadi menurun, konsentrasi
menurun.
4. Stage IV (Controling Severe Level of Anxiety )
Fungsi sensori menjadi tidak relevan dengan kenyataan. Karakteristik:
Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang datang. Klien
individu cenderung mengikuti petunjuk sesuai isi halusinasi, kesulitan
berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian hanya beberapa detik/menit.
5. Stage V (Concuering Panic Level of Anxiety )
Klien mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya. Karakteristik:
Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai terasa terancam dengan
datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman atau
perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama
minimal empat jam atau seharian bila klien tidak mendapatkan komunikasi
terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat. Perilaku yang muncul adalah perilaku
menyerang, risiko bunuh diri atau membunuh, dan kegiatan fisik yang
merefleksikan isi halusinasi (amuk, agitasi, menarik diri).

2.8 Mekanisme Koping


Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologi termasuk (Dalami, dkk, 2014):
1. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali
seperti pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah
proses informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas.
2. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada orang
lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya untuk
menjelaskan keracunan persepsi).
3. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis,
reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stressor, misalnya
menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain, sedangkan reaksi
psikologis individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat,
sering disertai rasa takut dan bermusuhan.

2.9 Penatalaksanaan
Menurut (Marasmis dalam Ilham, 2017) Pengobatan harus secepat mungkin diberikan,
disini peran keluarga sangat penting karena setelah mendapatkan perawatan di RSJ
klien dinyatakan boleh pulang sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat
penting didalam hal merawat klien, menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif
dan sebagai pengawas minum obat (Prabowo, 2014).
1. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Struat dalam Ilham, 2017) Penatalaksanaan klien skizofrenia yang
mengalami halusinasi adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain
(Muhith, 2015).
a. Psikofarmakologis, obat yang lazim digunakan pada gejala halusinasi
pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada klien skizofrenia adalah
obat anti psikosis. Adapun kelompok yang umum digunakan adalah:

Kelas kimia Nama generik (dagang) Dosis harian

Fenotiazin Tiodazin (Mellaril) 2-40 mg

Tioksanten Kloprotiksen (Tarctan) 75-600 mg


Tiotiksen (Navane) 8-30 mg

Butirofenon Haloperidol (Haldol ) 1-100 mg

Dibenzodiasepin Klozapin (Clorazil) 300-900


b. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grandmall
secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang
dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan
pada skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau
injeksi dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.

2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Penerapan Strategi Pelaksanaan
Menurut (Keliat dalam Setyani, 2019) tindakan keperawatan yang dilakukan:
1) Melatih klien mengontrol halusinasi:
a) Strategi Pelaksanaan 1: menghardik halusinasi
b) Strategi Pelaksanaan 2: menggunakan obat secara teratur
c) Strategi Pelaksanaan 3: bercakap-cakap dengan orang lain
d) Strategi Pelaksanaan 4: melakukan aktivitas yang terjadwal
2) Menurut Pusdiklatnakes (2012) tindakan keperawatan tidak hanya
ditujukan untuk klien tetapi juga diberikan kepada keluarga, sehingga
keluarga mampu mengarahkan klien dalam mengontrol halusinasi.
a) Strategi Pelaksanaan 1 keluarga: mengenal masalah dalam merawat
klien halusinasi dan melatih mengontrol halusinasi klien dengan
menghardik
b) Strategi Pelaksanaan 2 keluarga: melatih keluarga merawat klien
halusinasi dengan enam benar minum obat
c) Strategi Pelaksanaan 3 keluarga: melatih keluarga merawat klien
halusinasi dengan bercakap-cakap dan melakukan kegiatan.
d) Strategi Pelaksanaan 4 keluarga: melatih keluarag memnafaatkan
fasilitas kesehatan untuk follow up klien halusinasi
b. Psikoterapi dan rehabilitasi
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena klien
kembali ke masyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk mendorong
klien bergaul dengan orang lain, klien lain, perawat dan dokter. Maksudnya
supaya klien tidak mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan
yang kurang baik, dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan
bersama, seperti terapi modalitas yang terdiri dari:
1) Terapi aktivitas
Meliputi: terapi musik, terapi seni, terapi menari, terapi relaksasi, terapi
sosial, terapi kelompok, terapi lingkungan.
BAB III
PELAKSANAAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK GANGGUAN PERSEPSI SENSORI

3.1 Karakteristik Klien dan Proses Seleksi


Karakteristik klien:
1. Klien yang tidak memiliki gangguan fisik
2. Klien yang mudah mendengarkan dan mepraktekkannya
3. Klien dengan halusinasi
4. Klien yang mudah diajak berinteraksi

Proses Seleksi:
1. Mengobservasi klien dengan riwayat halusinasi
2. Mengumpalkan keluarga klien yang termasuk dari karakteristik masalah halusinasi
untuk mengikuti TAK

3.2 Tugas dan Wewenang


1. Tugas Leader dan Co-Leadar
a. Memimpin acara: menjelaskan tujuan dari hasil yang diharapkan
b. Menjelaskan peraturan dan membuat kontrak dengan klien
c. Memberikan motivasi pada klien
d. Mengarahkan acara dalam pencapaian tujuan
e. Memberikan reinforcement positif terhadap klien
2. Tugas Fasilitator
a. Ikut serta dalam kegiatan kelompok
b. Memastikan lingkungan dan situasi aman dan kondusif bagi klien
c. Menghindarkan klien dari distraksi selama kegiatan berlangsung
d. Memberikan stimulus/motivasi pada klien lain untuk berpartisipasi aktif
e. Memberikan reinforcement positif terhadap keberhasilan klien lainnya
f. Membantu melakukan evaluasi hasil
3. Tugas Klien
a. Mengikuti seluruh kegiatan
b. Berperan aktif dalam kegiatan
c. Mengikuti proses evaluasi

3.3 Peraturan Kegiatan


1. Klien diharapkan mengikuti seluruh acara dari awal hingga akhir
2. Klien dilarang meninggalkan ruangan bila acara belum selesai dilaksanakan
3. Klien yang tidak mematuhi peraturan akan diberi sanksi berupa peringatan lisan

3.4 Teknik Pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok Gangguan Persepsi Sensori

Sesi 1: Membuat kerajinan dari sedotan


Tema : Terapi Aktivitas Kelompok Gangguan Persepsi Sensori
Sasaran : Pasien dengan Halusinasi
Hari/Tanggal : Jumat, 17 Desember 2021
Waktu : 45 Menit
Tempat : Balai Desa Sumberbening
Terapis :
1. Leader : Anastasya Tuhumury
2. Fasilitator : Shafa Karenina Sindawati
3. Observer : Nurul Elizatus Safarida
A. Tujuan
- Klien dapat membuat kerajinan dari sedotan
- Klien dapat memberikan tanggapan terhadap pendapat klien lain
B. Sasaran
- Kooperatif
- Tidak terpasang restrain
C. Nama Klien
- Tn. W
- Tn. A
- Tn. S
- Tn. A
- Tn. A
- Ny. S
D. Setting
- Terapis dank lien duduk bersama dalam satu lingkaran
- Ruangan nyaman dan tenang
E. Map

F K K
K
L
K
O K K

Keterangan:
L: Leadar
O: Obsever
F: Fasilitator
K: Klien

F. Alat
1. Gunting
2. Lem
3. Sedotan

G. Metode
1. Dinamika kelompok
2. Diskusi dan tanya jawab

H. Langkah-Langkah Kegiatan
1. Persiapan
a. Membuat kontrak dengan anggota kelompok
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuaan
2. Orientasi
a. Salam teraupetik Salam dari leader kepada klien. Leader/Co Leader
memperkenalkan diri dan tim terapis lainnya.
b. Evaluasi/Vasilidasi Leader menanyakan perasaan dan keadaan klien
saat ini
c. Kontrak
1) Menjelaskan tujuan kegiatan
2) Menjelaskan aturan main yaitu:
a) Berkenalan dengan anggota kelompok
b) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus minta
izin pada pemimpin TAK
c) Lama Kegiatan 45 menit
d) Setiap pasien mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
3. Tahap Kerja
a. Seluruh klien dibuat berbentuk lingkaran
b. Hidupkan music dan edarkan kotak korek api sesuai dengan arah jarum jam
c. Pada saat musik berhenti, anggota kelompok yang memegang kotak korek
api, mendapat giliran untuk perkenalan dengan anggota kelompok yang ada
di sebelah kanan dengan cara:
1) Memberi salam
2) Menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobby. 3
3) Menanyakan nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobby
4) Dimulai oleh terapis sebagai contoh.
d. Setelah memperkenalkan diri klien menebak gambar dan SP yang terdapat
pada gambar tersebut. Klien akan bercerita sesuai gambar yang dipilih dan
setelah itu memperagakan SP yang tyerdapat pada gambar tersebut.
e. Ulangi musik kembali, dan klien kembali mengoper kotak korek api, ketika
musik berhenti, klien yang memegan kotak korek api, kembali
memperagakan point c dan d
4. Tahap Terminasi
1) Leader atau Co.Leader memberikan pujian atas keberhasilan dan
kerjasama kelompok
2) Leader atau Co.Leader menanyakan perasaan Pasien setelah mengikuti
kegiatan TAK
3) Fasilitator membagikan Snack
4) Leader atau Co.Leader menganjurkan Pasien untuk sering bersosialisasi,
selalu bekerjasama, dan memasukkan kegiatan mengontrol Risiko Perilaku
Kekerasan ke dalam kegiatan harian sebanyak 2x1.
5) Observer mengumumkan pemenang
6) Fasilitator membagikan hadiah kepada pemenang
5. Evaluasi
1) Pasien mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir kegiatan
2) Kerja sama Pasien dalam kegiatan
3) Pasien merasa senang selama mengikuti kegiatan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi adalah terapi yang
menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dan atau
kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa
kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah. Dalam terapi aktivitas
kelompok stimulasi persepsi aktivitas yang digunakan adalah aktivitas
mempersepsikan stimulus tidak nyata dan respon yang dialami dalam kehidupan,
khususnya untuk klien mengalami halusinasi. Aktivitas dibagi dalam beberapa sesi
yang tidak dapat dipisahkan yaitu, terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
mengenal halusinasi, terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi mengusir
atau menghardik halusinasi, terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi mengontrol
halusinasi dengan melakukan kegiatan, terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
mengontrol halusinasi dengan bercakap – cakap dan terapi aktivitas kelompok
stimulasi perepsi mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat (Putri, 2017).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dapat
membantu membangun hubungan dengan orang lain, dengan terapi aktifitas
kelompok, pasien dapat bersosialisasi, mengetahui koteks realitas, menyalurkan
energi, meningkatkan harga diri (Pardede & Ramadia, 2021).

4.2 Saran
Diharapkan bagi tenaga kesehatan menjadikan Terapi Aktivitas Kelompok stimulasi
persepsi sebagai tindakan keperawatan untuk setiap pasien dengan masalah
gangguan jiwa khusunya pasien Halusianasi karena menurut penelitian
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Dalami E, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa . Jakarta: CV.
Trans Info Media.
Ernawati, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Cetakan Kedua.
Jakarta Timur: CV. Trans Info Media
Ilham, T. V. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Klien Halusinasi Di Kelurahan Surau
Gafang Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Kota Padang. Jurnal Keperawatan.
Program Studi D-III Keperawatan. Poltekkes Kemenkes Padang .
Keliat, Budi Ana. 2014. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa . Jakarta: EGC
Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Penerbit ANDI
Pusdiklatnakes. 2012. Modul Pelatihan Keperawatan Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta:
Badan PPSDM Kesehatan.
Setyani, S. D. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Halusinasi Pendengaran
Terintegrasi Dengan Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Juanda Samarinda.
Karya Tulis Ilmiah. Jurusan Keperawatan Prodi D-III Keperawatan. Politeknik
Kesehatan Kementrian Kesehatan Samarinda.
Trimeilia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Jakarta Timur: CV. Trans Info
Media

Anda mungkin juga menyukai