Anda di halaman 1dari 129

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN CONGESTIVE HEART

FAILURE PADA Tn. Sg DAN Tn. Sd DENGAN MASALAH


KEPERAWATAN KELEBIHAN VOLUME CAIRAN
DI RUANG MELATI RSUD Dr. HARYOTO
LUMAJANG TAHUN 2018

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh
Cahyo Adi Baskoro
NIM 152303101090

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Laporan Tugas Akhir berjudul “Asuhan Keperawatan Pasien Congestive Heart


Failure Pada Tn. Sg dan Tn. Sd Dengan Masalah Keperawatan Kelebihan Volume
Cairan Di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018” telah
disetujui pada:
Hari, tanggal : Selasa, 24 April 2018
Tempat : Prodi D3 Keperawatan Universitas Jember Kampus Lumajang

Dosen Pembimbing,

Indriana Noor Istiqomah S.Kep., Ners, M.Kep.


NIP. 19720519 199703 2 003

ii
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN CONGESTIVE HEART
FAILURE PADA Tn. Sg DAN Tn. Sd DENGAN MASALAH
KEPERAWATAN KELEBIHAN VOLUME CAIRAN
DI RUANG MELATI RSUD Dr. HARYOTO
LUMAJANGTAHUN 2018

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh :
Cahyo Adi Baskoro
NIM 152303101090

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
iii
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN CONGESTIVE HEART
FAILURE PADA Tn. Sg DAN Tn. Sd DENGAN MASALAH
KEPERAWATAN KELEBIHAN VOLUME CAIRAN
DI RUANG MELATI RSUD Dr. HARYOTO
LUMAJANGTAHUN 2018

LAPORAN TUGAS AKHIR

diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Studi Ilmu Keperawatan (D3)
dan mencapai gelar Ahli Madya Keperawatan

Oleh :
Cahyo Adi Baskoro
NIM 152303101090

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
iv
PERSEMBAHAN

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, Laporan Tugas Akhir ini
penulis persembahkan untuk:
1. Almarhum Bapak Suryadi yang telah menjadi motivator dan panutan bagi
penulis;
2. Ibu Hari Suyanti serta seluruh keluarga yang telah mendoakan, memberikan
motivasi, dan memberikan dana untuk terselesaikannya proposal ini.
3. Mas Erry Dwi Kuncahyo yang telah menjadi seorang motivator dan
memberikan tambahan dana dalam hidup penulis;

v
MOTO

... tidaklah mungkin untuk bisa sampai pada suatu perspektif dunia yang benar
hingga seorang menyadari warna “kacamata” yang dikenakannya. *)

Rasa ingin tahulah yang mengendalikan sebagian besar pikiran kita sehari-hari. **)

___________________
*) Junaedi, M. (2017). Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam. Depok:
Kencana.

**) Turnbull, N. (2005). Bengkel Ilmu Filsafat. Jakarta: Erlangga.

vi
PERNYATAAN

Dengan ini saya,


Nama Mahasiswa : Cahyo Adi Baskoro
NIM : 152303101090
Menyatakan bahwa laporan kasus saya yang berjudul:
“Asuhan Keperawatan Pasien Congestive Heart Failure Pada Tn. Sg dan Tn. Sd
Dengan Masalah Keperawatan Kelebihan Volume Cairan Di Ruang Melati RSUD
Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018”
1. Disusun oleh saya sendiri
2. Tidak menggunakan karya tulis orang lain baik sebagian maupun
keseluruhan, kecuali yang secara tertulis diakui dalam Laporan Tugas Akhir
ini dan disebutkan dalam daftar referensi.
Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari
siapapun. Jika dikemudian hari terbukti adanya pelanggaran atas pernyataan
tersebut diatas, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademis.

Lumajang, 24 April 2018


Yang menyatakan,

Cahyo Adi Baskoro


NIM 152303101090

vii
LAPORAN TUGAS AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN CONGESTIVE HEART


FAILURE PADA Tn. Sg DAN Tn. Sd DENGAN MASALAH
KEPERAWATAN KELEBIHAN VOLUME CAIRAN
DI RUANG MELATI RSUD Dr. HARYOTO
LUMAJANGTAHUN 2018

Oleh

Cahyo Adi Baskoro


NIM 152303101090

Pembimbing:

Dosen Pembimbing : Indriana Noor Istiqomah S.Kep., Ns, M.Kep.

viii
PENGESAHAN

Laporan Tugas Akhir yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pasien Congestive


Heart Failure Pada Tn. Sg dan Tn Sd Dengan Masalah Keperawatan Kelebihan
Volume Cairan Di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018” ini
telah diuji dan disahkan oleh Program Studi D3 Keperawatan Universitas Jember
pada:
Hari : Senin
Tanggal : 04 Juni 2018
Tempat : Program Studi D3 Keperawatan Universitas Jember

Ketua Penguji,

Arista Maisyaroh, S.Kep, Ners, M.Kep


NIP. 19820528 201101 2 013

Anggota I, Anggota II,

Eko Prasetya W.,S.Kep, Ners, M.Kep Indriana Noor I. S.Kep., Ners, M.Kep
NRP. 760017255 NIP. 19720519 199703 2 003

Mengesahkan,
Koordinator Program Studi
D3 Keperawatan Universitas Jember

Nurul Hayati, S.Kep., Ners., MM.


NIP 19650629 198703 2 008

ix
PRAKARTA

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Tugas Akhir yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pasien Congestie
Heart Failure Pada Tn. Sg dan Tn. Sd Dengan Masalah Keperawatan Kelebihan
Volume Cairan Di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018”
Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Drs. Moh. Hasan, M.Sc., Ph.D., selaku rektor Universitas Jember
2. Ns. Lantin Sulistyorini, S.Kep., M.Kes., selaku dekan fakultas keperawatan
Universitas Jember
3. Ibu Nurul Hayati, S.Kep., Ners., MM. selaku Koordinator Program Studi D3
Keperawatan Universitas Jember
4. Ibu Indriana Noor Istiqomah S.Kep., Ns, M.Kep selaku pembimbing tugas
akhir dan Ibu Dwi Ochta P., S.KM selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
5. Ibu Arista Maisyaroh, S.Kep, Ners, M.Kep dan Bapak Eko Prasetya
W.,S.Kep, Ners, M.Kep selaku penguji
6. Kedua orang tua
7. Semua pihak yang telah membantu kelancaran tersusunnya laporan tugas
akhir ini.
Diharapkan laporan tugas akhir ini dapat memberi manfaat. Selain itu,
penulis membutuhkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan
Laporan Tugas Akhir.

Lumajang, 24 April 2018

Penulis

x
RINGKASAN

Asuhan Keperawatan Pasien Congestive Heart Failure Pada Tn. Sg dan Tn.
Sd Dengan Masalah Keperawatan Kelebihan Volume Cairan di Ruang
Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018; Cahyo Adi Baskoro;
152303101090; 2018; xiv+108 halaman; Fakultas Keperawatan Universitas
Jember.

Angka mortalitas akibat Congestive Heart Failure masih cukup tinggi,


kurang lebih 300.000 jiwa setiap tahun. Angka tersebut telah meningkat enam kali
dalam 40 tahun terakhir. Bahkan 30%-40% pasien meninggal dalam waktu satu
tahun setelah didiagnosis dan 60%-70% meninggal dalam waktu lima tahun.
Angka kematian akibat CHF erat kaitannya dengan peningkatan volume cairan
dan dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti edema paru, penyembuhan
luka yang tertunda, kerusakan jaringan, dan gangguan fungsi usus. Diperkirakan
sekitar 90% pasien CHF akan menunjukkan gejala kelebihan volume cairan.
Laporan kasus ini bertujuan untuk mengeksplorasi asuhan keperawatan
Congestive Heart Failure dengan masalah kelebihan volume cairan di Ruang
Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang.
Metode yang digunakan pada penyusunan tugas akhir ini adalah metode
laporan kasus. Pengumpulan data dilakukan terhadap dua orang pasien yang
terdiagnosa Congestive Heart Failure yang memenuhi kriteria partisipan, dengan
teknik wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan studi dokumentasi.
Hasil yang didapatkan penulis setelah melakukan asuhan keperawatan
pasien Congestive Heart Failure dengan masalah keperawatan kelebihan volume
cairan pada pasien, terdapat 13 batasan karakteristik yang muncul diantaranya
yaitu ada bunyi s3 gallop, ansietas, bunyi napas tambahan, dispnea, dispnea
nokturnal paroksimal, distensi vena napas jugularis, edema, gangguan pola napas,
gangguan tekanan darah, hepatomegali, ketidakseimbangan elektrolit, perubahan
hematokrit, dan perubahan hemoglobin. Intervensi dan implementasi yang
dilakukan pada pasien Congestive Heart Failure dengan masalah keperawatan

xi
kelebihan volume cairan ada 18 intervensi dari manajemen cairan dan manajemen
hipervolemia yang dipilih secara umum seperti observasi pola napas, observasi
tekanan darah dan nadi, asukultasi suara paru, observasi JVP, monitor edema kaki
dan pergelangan, monitor hasil laboratorium, pendidikan kesehatan, monitor
output urine, hingga observasi keadaan umum. Intervensi dan implementasi secara
khusus yang dilakukan adalah tindakan keperawatan mandiri Contrast Bath. Hasil
evaluasi selama 5 hari tercapai 6 dari 8 kriteria hasil yaitu tidak ada edema
pergelangan kaki, tidak ada edema kaki, JVP tidak terlihat, tidak ada ronkhi,
tingkat malaise ringan-sedang, tidak ada peningkatan tekanan darah, dan tidak ada
penurunan urin output.
Perawatan pada pasien Congestive Heart Failure dengan masalah
keperawatan kelebihan volume cairan perlu dilakukan tindakan keperawatan lebih
dari 5 hari untuk mencapai 8 kriteria hasil. Dari hasil tersebut juga, diharapkan
tindakan contrast bath sebagai penunjang manajemen utama dapat diterapkan
sebagai intervensi keperawatan pada masalah kelebihan volume cairan. Tindakan
Contast Bath akan menunjukkan hasil lebih optimal ketika kriteria pasien sesuai
dengan kriteria partisipan dan dilakukan peningkatan suhu air hangat dalam setiap
siklusnya pada tiga siklus tindakan. Oleh karena itu, kepada peneliti lebih lanjut
diharapkan memperhatikan kedua hal tersebut pada penelitian selanjutnya.

xii
SUMMARY

Nursing Care for Congestive Heart Failure towards Patient Sg and Patient
Sd with Nursing Problem of Fluid Volume Excess in Melati Ward of RSUD
Dr. Haryoto Lumajang 2018; Cahyo Adi Baskoro; 152303101090; 2018; xiv+
108 pages; Faculty of Nursing University of Jember.

The mortality rate of Congestive Heart Failure is still quite high,


approximately 300,000 people every year. That number has increased six times in
the last 40 years. Even 30% -40% of surferers die within one year after being
diagnosed and 60% -70% die within five years. The mortality rate due to CHF is
closely related to the increase of fluid volume and may cause some complications
such as pulmonary edema, delayed wound healing, tissue damage, and functional
bowel disorders. It is estimated that about 90% of CHF patients will show
symptoms of fluid volume excess. This case report aims to explore the nursing
care for Congestive Heart Failure with the problem of fluid volume excess in
Melati Ward of RSUD Dr. Haryoto Lumajang.
The methodology used in this final project is a case report. Data were
collected for two patients diagnosed with Congestive Heart Failure who met the
participant criteria, with interview technique, observation, physical examination,
and documentation study technique.
The results was obtained by the researcher after performing nursing care
for Congestive Heart Failure patients with nursing problem of fluid volume
excess, there are 13 constraint characteristics that arise such as s3 gallop sound,
anxiety, abnormal breath sounds, dyspnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, jugular
vein distention, edema, respiratory disorders, blood pressure disorders,
hepatomegaly, electrolyte imbalances, changes in hematocrit, and changes in
hemoglobin. Interventions and implementations performed on Congestive Heart
Failure patients with nursing problem of fluid volume excess, there are 18 chosen
interventions of fluid and hypervolemic management such as breathing pattern

xiii
observation, blood pressure and pulse observation, adventitious lung sounds, JVP
observation, swollen feet and wrists monitoring, laboratory monitoring, health
education, urine output monitoring, to general condition observation. Specific
interventions and implementations performed are self-administered of Contrast
Bath nursing actions. There are 6 out of 6 outcome criteria within 5 days of
evaluation that are no edema in ankle, no edema in feet invisible JVP, no rhonchi,
mild-moderate malaise, no high blood pressure, and no decreased output of urine.
The treatment in Congestive Heart Failure patients with nursing problem
of fluid volume excess requires nursing action more than 5 days to achieve 8
outcome criteria. Based on these results, it is expected that contrast bath treatment
as main management support can be applied as nursing intervention on the
problem of fluid volume excess. The Contast Bath action will show more optimal
results when the criteria of the patient fit the participant criteria and a warm water
temperature increases in each cycle in three action cycles. Therefore, to
researchers fellow are expected to pay attention to these two things in the next
study.

xiv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
HALAMAN MOTO .................................................................................. vi
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................... vii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ix
PRAKATA ................................................................................................ x
RINGKASAN/SUMMARY ....................................................................... xi
DAFTAR ISI ............................................................................................. xv
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xviii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xx
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xxi

BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 4
1.3 Tujuan Penulisan................................................................... 4
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................. 4
1.4.1 Bagi Penulis................................................................... 4
1.4.2 Bagi Rumah Sakit .......................................................... 4
1.4.3 Bagi Responden Penelitian ............................................ 4
1.4.4 Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan ......................... 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 6
2.1 Konsep Penyakit .................................................................... 6
2.1.1 Definisi ....................................................................... 6
2.1.2 Etiologi ....................................................................... 8
2.1.3 Patofisiologi................................................................ 7
2.1.4 Manifestasi Klinis ....................................................... 9
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang ............................ 10
2.1.6 Penatalaksanaan .......................................................... 11
2.1.7 Komplikasi ................................................................. 13
2.1.8 Prognosis .................................................................... 13
2.1.9 Alur Klinis .................................................................. 14
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan ............................................... 15
2.2.1 Pengkajian Keperawatan .............................................. 15
2.2.2 Diagnosa Keperawatan ................................................ 22
2.2.3 Intervensi Keperawatan................................................ 26
2.2.4 Implementasi Keperawatan .......................................... 33
2.2.5 Evaluasi Keperawatan .................................................. 34
BAB 3. METODE PENELITIAN............................................................. 35
3.1 Desain Penulisan .................................................................... 35
3.2 Batasan Istilah ....................................................................... 35

xv
3.2.1 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Congestive Heart
Failure ........................................................................ 35
3.2.2 Kelebihan Volume Cairan ............................................ 36
3.3 Partisipan ............................................................................... 36
3.4 Lokasi dan Waktu ................................................................. 37
3.5 Pengumpulan Data ................................................................ 37
3.5.1 Proses Pengambilan Data ............................................. 37
3.5.2 Teknik Pengambilan Data ............................................ 37
3.6 Uji Keabsahan Data............................................................... 38
3.6.1 Kredibilitas Data .......................................................... 38
3.6.2 Transferabilitas Data .................................................... 39
3.6.3 Dependabilitas ............................................................. 39
3.6.4 Konfirmabilitas ............................................................ 40
3.7 Analisa Data........................................................................... 41
3.7.1 Pengumpulan Data ....................................................... 41
3.7.2 Mereduksi Data............................................................ 41
3.7.3 Penyajian Data ............................................................ 41
3.8 Etika Penulisan ...................................................................... 41
3.8.1 Informed Consent........................................................ 41
3.8.2 Anomity (Tanpa Nama) .............................................. 41
3.8.3 Confidentiality ............................................................ 42
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 43
4.1 Gambaran Lokasi Pengambilan Data .................................. 43
4.2 Hasil dan Pembahasan .......................................................... 43
4.2.1 Pengkajian .................................................................. 43
4.2.2 Diagnosa Keperawatan ............................................... 68
4.2.3 Intervensi Keperawatan............................................... 69
4.2.4 Implementasi Keperawatan ......................................... 72
4.2.5 Evaluasi Keperawatan ................................................. 78
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 82
5.1 Kesimpulan ............................................................................ 82
5.1.1 Pengkajian Keperawatan ............................................. 82
5.1.2 Diagnosa Keperawatan ............................................... 82
5.1.3 Intervensi Keperawatan............................................... 82
5.1.4 Implementasi Keperawatan ......................................... 83
5.1.5 Evaluasi Keperawatan ................................................. 83
5.2 Saran ...................................................................................... 83

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 85


LAMPIRAN .............................................................................................. 91

xvi
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Kriteria Framingham ................................................................... 10
Tabel 4.1 Identitas Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto
Lumajang Pada Bulan Februari 2018 .......................................... 43
Tabel 4.2 Identitas Penanggung Jawab Partisipan CHF di Ruang Melati
RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018 ............ 44
Tabel 4.3 Tabel Keluhan Utama Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD
Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018 ....................... 45
Tabel 4.4 Riwayat Penyakit Sekarang Partisipan CHF di Ruang Melati
RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018 ............ 47
Tabel 4.5 Riwayat Penyakit Masa Lalu Partisipan CHF di Ruang Melati
RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018 .......... 49
Tabel 4.6 Riwayat Keluarga Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018 ............................. 50
Tabel 4.7 Pola Persepsi dan Tatalaksana Kesehatan Partisipan CHF di
Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan
Februari 2018.............................................................................. 51
Tabel 4.8 Pola Nutrisi Metabolik Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018 ............................. 52
Tabel 4.9 Pola Eliminasi Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018 ............................. 54
Tabel 4.10 Pola Tidur dan Istirahat Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD
Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018 ....................... 55
Tabel 4.11 Pola Aktivitas dan Kebersihan Diri Partisipan CHF di Ruang
Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari
2018.. .......................................................................................... 56
Tabel 4.12 Pola Sensoris dan Pengetahuan Partisipan CHF di Ruang
Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari
2018.. .......................................................................................... 57
Tabel 4.13 Pola Interpersonal dan Peran Partisipan CHF di Ruang Melati
RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018 ............ 58
Tabel 4.14 Pola Persepsi dan Konsep Diri Partisipan CHF di Ruang Melati
RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018.......... 59

xvii
Tabel 4.15 Pola Fungsi Kesehatan Lain Partisipan CHF di Ruang Melati
RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018.......... 60
Tabel 4.16 Pemeriksaan Fisik Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018 ........................... 61
Tabel 4.17 Pemeriksaan Diagnostik Partisipan CHF di Ruang Melati
RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018 ....... 65
Tabel 4.18 Program dan Rencana Pengobatan Partisipan CHF di Ruang
Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari
2018.. ....................................................................................... 66
Tabel 4.19 Analisa Data Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018 ........................ 67
Tabel 4.20 Analisis data lain yang muncul .................................................. 68
Tabel 4.21Daftar dan Prioritas Diagnosa Keperawatan Masalah Kerusakan
Integritas Kulit Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018 ........................... 68
Tabel 4.22 Intervensi Keperawatan Masalah Kerusakan Integritas Kulit
Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto
Lumajang Pada Bulan Februari 2018 ...................................... 69
Tabel 4.23 Implementasi Keperawatan Masalah Kelebihan Volume Cairan
Pada Pasien 1 ............................................................................ 72
Tabel 4.24 Implementasi Keperawatan Masalah Kelebihan Volume Cairan
Pada Pasien 2 ............................................................................ 74
Tabel 4.25 Evaluasi Keperawatan Masalah Kelebihan Volume Cairan Pada
Pasien 1 ...................................................................................... 78
Tabel 4.26 Evaluasi Keperawatan Masalah Kelebihan Volume Cairan Pada
Pasien 2 ...................................................................................... 79

xviii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2. 1 Alur klinis gagal jantung kongestif ......................................... 14

xix
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 3.1 Jadwal Penulisan ................................................................... 91
Lampiran 3.2 Informed Consent .................................................................. 92
Lampiran 3.3 Surat Pengambilan data ......................................................... 94
Lampiran 4.1 Hasil Pemeriksaan Rontgen ................................................... 95
Lampiran 4.2 Hasil Pemeriksaan EKG ........................................................ 96
Lampiran 4.3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium ........................................... 97
Lampiran 4.4 SAP ...................................................................................... 99
Lampiran 4.5 Leaflet ................................................................................... 108

xx
BAB 1. PENDAHULUAN

Pada bab 1 penulis akan memaparkan mengenai latar belakang, rumusan


masalah, tujuan, dan manfaat penulisan laporan tugas akhir dengan judul “Asuhan
Keperawatan Pasien Congestive Heart Failure pada Tn. Sg dan Tn. Sd dengan
masalah keperawatan kelebihan volume cairan di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Tahun 2018”

1.1 Latar Belakang


Prevalensi Congestive Heart Failure di dunia terus meningkat.
Diperkirakan 1-2% dari populasi dunia atau sekitar 5-10 orang dari 1000
penduduk dunia diprediksi menderita Congestive Heart Failure. Dari tahun 2008-
2010 insidensi rawat inap (hospitalization) di Indonesia sebanyak 610.000 hingga
1 juta jiwa, sedangkan prevalensi Congestive Heart Failure yang menjalani rawat
inap sebanyak 2,4 sampai 3,5 juta jiwa. Angka mortalitas akibat Congestive Heart
Failure juga cukup tinggi, kurang lebih 300.000 jiwa setiap tahun. Angka tersebut
telah meningkat enam kali dalam 40 tahun terakhir (Koto, 2015). Bahkan 30%-
40% pasien meninggal dalam waktu satu tahun setelah didiagnosis dan 60%-70%
meninggal dalam waktu lima tahun (Loscalzo, 2015). Angka kematian akibat
CHF erat kaitannya dengan peningkatan volume cairan dan beberapa komplikasi
akibatnya seperti edema paru, penyembuhan luka yang tertunda, kerusakan
jaringan, dan gangguan fungsi usus (Granado & Mehta, 2016). Diperkirakan
sekitar 90% pasien CHF akan menunjukkan gejala kelebihan volume cairan
(Lloyd et al., 2014:119:e1-161). Studi pendahuluan Purwadi (2015) juga
didapatkan bahwa penderita gagal jantung kongestif yang mengalami edema kaki
yaitu sekitar 72% atau 18 pasien dari 25 pasien gagal jantung kongestif.
Berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter prevalensi penyakit gagal
jantung di indonesia tahun 2013 sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696
orang, sedangkan yang terdiagnosis dokter/gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan
sekitar 530.068 orang. Estimasi jumlah penderita gagal jantung terbanyak kedua
2

setelah Propinsi DI Yogyakarta (0,25%) terdapat di Propinsi Jawa Timur yaitu


sebanyak 54.826 orang (0,19%) (Kemenkes Republik Indonesia, 2014),
sedangkan berdasarkan hasil studi pendahuluan di RSUD Dr. Haryoto Lumajang
menunjukkan angka kejadian gagal jantung yang menjalani rawat inap di ruang
melati pada tahun 2015 sebanyak 54 orang dan mengalami penurunan pada tahun
2016 tercatat sebanyak 38 orang (Data Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto, 2017).
Gagal jantung kongestif dapat berawal dari gagal jantung kiri ataupun
kanan terlebih dahulu. Namun demikian, biasanya gagal jantung kongestif diawali
oleh gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi
karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah
jantung kiri menurun. Bila keadaan ini terus berlanjut maka akan terjadi edema
paru dengan segala keluhan dan tanda-tanda akibat adanya tekanan dalam
sirkulasi yang meninggi (Soeparman, 2000).
Keadaan yang terakhir ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang
menjadi pompa darah untuk sirkuit paru (sirkulasi kecil). Keadaan tersebut dapat
pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan
sehingga isi sekuncup ventrikel kanan menurun tanpa didahului oleh gagal
jantung kiri. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik
yang lebih berat dengan akibat timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan
asites. Kondisi tersebut pada akhirnya terjadi gagal jantung kiri-kanan yang sering
disebut dengan gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failurec
(Soeparman, 2000). Edema tumit atau tungkai bawah, dan sesak pada pasien
Congestive Heart Failure merupakan tanda adanya masalah keperawatan
kelebihan volume cairan. Meskipun diagnosa kelebihan volume cairan bukan
merupakan diagnosa keperawatan prioritas namun diagnosa ini sangat berkaitan
dengan diagnosa keperawatan lainnya yang muncul pada pasien CHF.
Pasien CHF yang mengalami masalah keperawatan kelebihan volume
cairan perlu segera dilakukan intervensi karena jika tidak dilakukan intervensi
maka edema akan bertambah berat sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan
lebih lanjut dan pembengkakan permanen (Terry, O’Brien, & Kerstein, 1998
dalam Carpenito, 2009). Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan
3

berdasarkan NIC yaitu manajemen hipervolemia, manajemen cairan, manajemen


elektrolit: hipernatremia, hiperkalemia, manajemen disritmia dan manajemen
berat badan (Nurjannah & Tumanggor, 2013).
Manajemen hipervolemia bertujuan mengurangi volume cairan
ekstraselular dan/atau intraselular dan pencegahan komplikasi pada pasien yang
mengalami kelebihan cairan, sedangkan manajemen cairan bertujuan
meningkatkan keseimbangan cairan dan mencegah komplikasi akibat kadar cairan
yang abnormal atau diluar harapan (Nurjannah & Tumanggor, 2013). Kedua
manajemen tersebut tidak dapat dipisahkan ataupun salah satu inferior karena
kedua manajemen tersebut saling mendukung. Salah satu intervesinya yaitu
pembatasan cairan dan garam. Menurut hasil penelitian Henry & Schroeder
(2014) pembatasan garam dengan diet sedikitnya 1 gr pada pasien dengan
Congestive Heart Failure dalam 24 jam sudah cukup untuk menyebabkan diuresis
atau penghentian akumulasi edema. Ketika garam sudah dibatasi sebaiknya
asupan cairan tidak perlu terlalu dibatasi, karena diuresis diamati meningkat saat
pasien meminum banyak cairan dan menurun ketika cairan dibatasi. Senada
dengan hal tersebut menurut Bronagh & Kenneth (2007) bahwa pembatasan
cairan tidak memiliki manfaat klinis pada pasien dengan gagal jantung. Intervensi
lainnya yaitu monitor status hemodinamik. Menurut William (2015) penting
dilakukan monitor status hemodinamik karena dapat mengurangi resiko
perburukan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Selain itu untuk menunjang intervensi manajemen hipervolemia tindakan
mandiri keperawatan lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan terapi contrast
bath. Contrast bath merupakan perawatan dengan rendam kaki sebatas betis
secara bergantian dengan menggunakan air hangat dan dilanjutkan dengan air
dingin, dimana suhu dari air hangat antara 36,6 – 43,3°C dan suhu air dingin
antara 10° – 20° C (Sabelman, 2004 dalam Purwadi, 2015). Dengan merendam
kaki yang edema, akan mengurangi tekanan hidrostatik intra vena yang
menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstisium dan cairan
yang berada di interstisium akan kembali ke vena sehingga edema dapat
berkurang (Mc neilus, 2004 dalam Purwadi, 2015).
4

Berdasarkan pertimbangan di atas, penulis tertarik untuk melakukan


Laporan kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan Pasien Congestive Heart
Failure pada Tn. Sg dan Tn. Sd dengan masalah keperawatan kelebihan volume
cairan di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018”.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana asuhan keperawatan pasien Congestive Heart Failure pada Tn.
Sg dan Tn. Sd dengan masalah keperawatan kelebihan volume cairan di Ruang
Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018?

1.3 Tujuan Penulisan


Mengeksplorasi asuhan keperawatan pasien Congestive Heart Failure
pada Tn. Sg dan Tn. Sd dengan masalah keperawatan kelebihan volume cairan di
Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi Penulis
Memberikan pengalaman praktis Laporan kasus tentang asuhan
keperawatan pasien Congestive Heart Failure pada Tn. Sg dan Tn. Sd dengan
kelebihan volume cairan.
1.4.2 Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan bahan
masukan tentang intervensi keperawatan manajemen hipervolemia ditunjang
dengan terapi contrast bath untuk mengurangi edema pada pasien Congestive
Heart Failure dengan kelebihan volume cairan.
1.4.3 Bagi Responden Penelitian
Tugas akhir ini diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan
responden untuk mencapai kesembuhan serta memberikan masukan dan
pengetahuan serta memberikan masukan dan pengetahuan dalam bentuk
penyuluhan kepada pasien dan keluarga mengenai asuhan keperawatan pada
pasien Congestive Heart Failure.
5

1.4.4 Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan


Penelitian ini diharapkan dapat memerkaya konsep atau teori terkait
dengan Laporan kasus asuhan keperawatan pada pasien Congestive Heart Failure
dengan kelebihan volume cairan.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab 2 ini penulis akan memaparkan konsep teori dari penyakit Heart
Failure mulai dari definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
diagnostik/penunjang, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, dan alur klinis.
Penulis juga akan memaparkan mengenai konsep asuhan keperawatan pada pasien
CHF mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi,
hingga evaluasi.

2.1 Konsep Penyakit


2.1.1 Definisi
Gagal jantung (heart failure) adalah kumpulan sindroma klinis yang
kompleks yang diakibatkan oleh gangguan struktur ataupun fungsi dan
menyebabkan gangguan pengisian ventrikel atau pemompaan jantung (Djausal &
Oktafany, 2016).

2.1.2 Etiologi
a. Faktor predisposisi
1) Penyakit yang menimbulkan penurunan fungsi ventrikel:
a) Penyakit arteri koroner
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai
penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita
(Harbanu & Anwar, 2007).
b) Kardiomiopati
c) Penyakit pembuluh darah
d) Penyakit jantung konginetal (Aspiani, 2014).
2) Keadaan yang membatasi pengisian ventrikel:
a) Stenosis mitral-penyakit perkardial
Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan
stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan
7

beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan


beban tekanan (peningkatan afterload) (Harbanu & Anwar, 2007).
b) Kardiomiopati (Aspiani, 2014).
b. Faktor pencetus
1) Peningkatan asupan garam
2) Ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung
3) Serangan hipertensi
Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri
dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel (Harbanu &
Anwar, 2007).
4) Aritmia akut
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada
penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan (Harbanu & Anwar, 2007).
5) Infeksi atau demam, anemia, emboli paru
6) Tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif (Aspiani, 2014).
c. Faktor risiko
1) Merokok
2) Hiperlipidemia
3) Obesitas
4) Kurang aktivitas fisik
5) Stres emosi
6) Diabetes melitus (Aspiani, 2014).
Selain itu menurut Harbanu & Anwar (2007) faktor risiko lainnya yaitu
alkohol. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati
dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2
–3% dari kasus.
8

2.1.3 Patofisiologi
Beban pengisian (preload) dan beban tekanan (afterload) pada ventrikel
yang mengalami dilatasi atau hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya
kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat.
Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar
katekolamin dalam darah meningkat dan terjadi dapat mengakibatkan curah
jantung menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui
pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokontriksi perifer dengan tujuan untuk
memperbesar aliran balik vena (venous return) ke dalam ventrikel sehingga
meningkatkan tekanan akhir diastolik dan menaikkan kembali curah jantung . Bila
semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut di atas sudah
dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan belum juga terpenuhi,
maka terjadilah keadaan gagal jantung (Soeparman, 2000).
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri
menurun dengan akibat tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume
akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban
atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan
hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena pulmonal. Bila keadaan ini terus
berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam paru-paru dengan akibat
terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda-tanda akibat adanya
tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir ini merupakan
hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk sirkuit paru
(sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan
meransang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan mengalami
hipertropi dan dilatasi sampai batas kemempuannya, dan bila beban tersebut tetap
meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi
akhirnya terjadi gagal jantung kiri-kanan. Gagal jantung kanan dapat pula terjadi
tanpa didahului oleh gagal jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup
ventrikel kanan, tekanan dan volume akhir diastole ventrikel kanan akan
meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel
9

kanan pada waktu diastole. Tekanan dalam atrium kanan akan meninggi yang
menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam vena kava superior dan
inferior ke dalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya
bendungan pada vena-vena sistemik seperti bendungan pada vena jugularis dan
bendungan hepar dengan segala akibatnya tekanan vena jugularis yang meninggi
dan hepatomegali hingga edema tumit/ tungkai bawah dan asites (Rachma, 2014).

2.1.4 Manifestasi Klinis


Menurut Aspiani (2014) manifestasi klinis/tanda gejala dari gagal jantung
dibagi menjadi dua yaitu pada gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan:
a. Gagal jantung kiri
Keluhan berupa perasaan badan lemah, cepat lemah, berdebar-debar, sesak
nafas, batuk, anoreksia, dan keringat dingin, batuk dan/atau batuk berdarah, fungsi
ginjal menurun. Tanda dan gejala kegagalan ventrikel kiri:
1) Kongesti vaskuler pulmonal
2) Dipsnea, nyeri dada dan syok
3) Ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal
4) Batuk iritasi, edema pulmonal akut
5) Penurunan curah jantung
6) Gallop atrial –S4, gallop ventrikel –S1
7) Crackles paru
8) Disritmia pulsus alterans
9) Peningkatan berat badan
10) Pernafasan chyne stokes
11) Bukti radiografi tentang kongesti vaskuler pulmonal.
b. Gagal jantung kanan
Edema, anoreksia, mulas, asites, sakit daerah perut. Tanda dan gejala
kegagalan ventrikel:
1) Curah jantung rendah
2) Distensi vena jugularis
3) Edema
10

4) Disritmia
5) S3 dan S4 ventrikel kanan
6) Hipersonor pada perkusi
7) Imobilisasi diafragma rendah
8) Peningkatan diameter pada antero posterial.
Gagal Jantung kongestif adalah gabungan kedua gambaran tersebut
(Djausal & Oktafany, 2016).
Sedangkan menurut (Storrow, 2007), kriteria Framingham untuk
penegakan diagnosis gagal jantung. Diagnosa dibuat berdasarkan adanya dua atau
satu kriteria mayor dan dua kriteria minor (gejala yang terjadi tidak disebabkan
oleh kondisi lain)
Tabel 2. 1 Kriteria Framingham
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Dispnea nokturnal paroksimal Edema pergelangan kaki
Distensi vena leher Batuk di malam hari
Ronki Hepatomegali
Kardiomegali Efusi pleura
Edema paru akut Kapasitas vital ≤ 120 x/menit
Gallop-S3 Takikardia ≥ 120 x/menit
Peningkatan tekanan vena (> 16 cmH2O) Mayor atau minor
Waktu sirkulasi ≥ 2 detik Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam waktu
sepertiga hari setalah penanganan
Refleks hepatojugularis

Sumber: Storrow, Advances in the diagnosis of chf: new markers: Modern Advances In
Emergency Cardiac Care, p. 38-46, 2007.

2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang


Pemeriksaan diagnostik/penunjang pada pasien dengan gagal jantung
adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan laboratorium
Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada
pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi, meskipun
anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering
dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau
ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor
Blocker), atau antagonis aldosterone (Siswanto, et al., 2015).
11

b. EKG
Dapat ditemukan kelainan primer jantung (iskemik, hipertrofi ventrikel,
gangguan irama) dan tanda-tanda faktor pencetus akut (infark miokard, emboli
paru) (Loscalzo, 2015).
c. Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam melakukan
evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik. Gambaran yang paling sering
ditemukan pada gagal jantung adalah akibat penyakit jantung iskemik,
kardiomiopati dilatasi, dan beberapa katup dilatasi ventrikel kiri yang disertai
hipokinesis seluruh dinding ventrikel (PERKI, 2015).
d. Kateterisasi jantung
Pada gagal jantung kiri didapatkan (VEDP) 10 mmHg atau pulmonary
arterial wedge presslure >12 mmHg dalam keadaan istirahat. Curah jantung
lebih rendah dari 2,71/menit/m2 luas permukaan tubuh (Loscalzo, 2015).
e. Foto Toraks
Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura
dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau
memerberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal
jantung akut dan kronik (Siswanto, et al., 2015).

2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung kongestif dibagi menjadi 2
yaitu farmakologis dan non farmakologis, sebagai berikut:
a. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Menurut Siswanto, dkk (2015) dalam “buku panduan tata laksana penyakit
jantung” ada 7 penatalaksanaan non farmakologis pada pasien dengan gagal
jantung kongestif:
1) Manajemen Perawatan
Mandiri Manajemen perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai
tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari
12

perilaku yang dapat memerburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal


perburukan gagal jantung kongestif.
2) Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada
terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
3) Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter.
4) Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung kongestif dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal
jantung kongestif, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
5) Pendidikan kesehatan yang menyangkut penyakit, prognosis, obat-obatan
serta pencegahan kekambuhan.
b. Penatalaksanaan Farmakologis
1) Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh
sebab itu ACEIhanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan
kadar kalium normal (PERKI, 2015).
2) Penyekat β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan
kelangsungan hidup (PERKI, 2015).
3) Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan
13

gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa


hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup (PERKI, 2015).
4) Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun
sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat
antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran
ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular (PERKI, 2015).

2.1.7 Komplikasi
a. Syok kardiogenik.
b. Episode tromboemboli karena pembentukan pembekuan vena karena statis
darah.
c. Efusi dan tamponade perikardium.
d. Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis (Kasron, 2016).

2.1.8 Prognosis
Meskipun akhir-akhir ini banyak kemajuan dalam hal evaluasi dan
penanganan gagal jantung, terjadinya gagal jantung simtomatis masih membawa
prognosis yang buruk. Studi berbasis komunitas menunjukkan bahwa 30%-40%
pasien meninggal dalam waktu 1 tahun setelah didiagnosis dan 60%-70%
meninggal dalam waktu 5 tahun, terutama akibat perburukan gagal jantung atau
serangan mendadak (kemungkinan akibat aritmia ventrikel) (Loscalzo, 2015).
14

2.1.9 Alur klinis


Diambil dari alur klinis pada Gagal Jantung Kongestif (Aspiani, 2014):

GAGAL JANTUNG

GAGAL JANTUNG KIRI GAGAL JANTUNG KANAN

Gagal Ventrikel kiri Gagal Ventrikel Kanan

Penurunan Curah Penurunan Curah


Jantung Jantung

Peningkatan Tekanan Peningkatan tekanan


Atrium Kiri atrium kanan

Peningkatan tekanan Tekanan Vena


vena pulmonalis Sistemik meningkat:
- Asites
- Hepatomegali
Edema paru terjadi
karena tekana arteri Kelebihan volume
pulmonal meningkat
cairan

Gejala klinis:
Sistolik overload pada - Edema dikedua
ventrikel kanan. Gejala tungkai
klinis: - Asites
- Takikardi - Hepatosplenomegali
- Dispnea (sesak napas) - Peningkatan tekanan
- Sianosis vena jugular
- Penurunan perfusi - Penurunan perfusi
jaringan jaringan

Gambar 2. 1 Alur klinis gagal jantung kongestif (diambil dari Aspiani, Buku Ajar Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskuler: Aplikasi NIC dan NOC,
EGC, 2014)
15

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian Keperawatan
a. Anamnesis
1) Biodata
a) Nama
b) Umur
Gagal jantung biasanya terjadi pada usia diatas 40 tahun. 9,3% pria dan
4,8% wanita di Amerika dalam kelompok usia 60-79 tahun mengalami gagal
jantung (Erb, 2017).
c) Jenis kelamin
Resiko mengalami gagal jantung pada laki-laki dan perempuan adalah 5:1
(Erb, 2017).
2) Keluhan utama
Keluhan yang paling sering menjadi alasan pasien untuk meminta
pertolongan kesehatan, meliputi: dispnea, kelemahan fisik, dan edema sistemik.
a) Dispnea
Keluhan dispnea atau sesak napas merupakan manifestasi kongesti
pulmonalis sekunder dari kegagalan ventrikel kiri dalam melakukan
kontraktilitas sehingga akan mengurangi curah sekuncup. Dengan
meningkatnya LVDEP, maka terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri
(LAP), karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastole.
Peningkatan LAP diteruskan ke belakang masuk ke dalam anyaman vaskular
paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler, dan vena paru-paru (Muttaqin,
2012).
b) Kelemahan fisik
Manifestasi utama dari penurunan curah jantung adalah kelemahan dan
kelelahan dalam melakukan aktivitas (Muttaqin, 2012).
c) Edema sistemik
Tekanan arteri paru dapat meningkatkan sebagai respons terhadap
peningkatan kronis terhadap tekanan vena paru. Hipertensi pulmonar
meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Mekanisme kejadian
16

seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan,
dimana akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema sistemik (Muttaqin,
2012).
3) Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian yang didapat dengan adanya gejala-gejala kongesti vaskular
pulmonal adalah dispnea, ortopnea, dispnea nokturnal paroksimal, batuk, dan
edema pulmonal akut. Pada pengkajian dispnea (dikarakteristikan oleh
pernapasan cepat, dangkal, dan sensasi sulit dalam mendapatkan udara yang
cukup dan menekan pasien) yang mengganggu aktivitas lainnya seperti
keluhan tentang insomnia, gelisah, atau kelemahan yang disebabkan oleh
dispnea (Muttaqin, 2012).
a) Ortopnea
Ortopnea adalah ketidakmampuan untuk berbaring datar karena dispnea,
adalah keluhan umum lain dari gagal ventrikel kiri yang berhubungan dengan
kongesti vaskular pulmonal (Muttaqin, 2012).
b) Dispnea nokturnal paroksimal
Dispnea nokturnal paroksimal diperkirakan disebabkan oleh perpindahan
cairan dari jantung ke dalam kompartemen intravaskular sebagai akibat posisi
terlentang. Selama siang hari, tekanan pada vena tinggi khususnya pada bagian
dependen tubuh. Hal ini terjadi karena gravitasi, peningkatan volume cairan,
dan peningkatan tonus sismpatetik. Dengan peningkatan tekanan hidrostatik
ini, beberapa cairan masuk ke area jaringan. Dengan posisi terlentang, tekanan
pada kapiler-kapiler dependen menurun, dan cairan diserap kembali ke dalam
sirkulasi. Peningkatan volume memerikan jumlah tambahan darah yang
diberikan ke jantung untuk memompa tiap menit (peningkatan preload) dan
memerikan beban tambahan pada dasar vaskular pulmonal yang telah kongesti
(Muttaqin, 2012).
DNP terjadi bukan hanya pada malam hari, tetapi juga pada ada kapan saja
selama perawatan akut di rumah sakit yang memerlukan tirah baring
(Muttaqin, 2012).
c) Keluhan batuk
17

Batuk iritasi adalah salah satu gejala kongesti vaskular pulmonal yang
sering terlewatkan, tetapi dapat merupakan gejala dominan. Batuk ini
produktif, tetapi biasanya kering dan pendek. Gejala ini dihubungkan dengan
kongesti mukosa bronkial dan berhubungan dengan peningkatan produksi
mukus (Muttaqin, 2012).
d) Edema pulmonal
Edema pulmonal akut adalah gambaran klinis paling bervariasi
dihubungkan dengan kongesti vaskular pulmonal. Ini terjadi bila tekanan
kapiler pulmonal melebihi tekanan yang cenderung memertahankan cairan di
dalam saluran vaskular (kurang lebih 30 mmHg). Pada tekanan ini, terdapat
transudasi cairan ke dalam alveoli, yang sebaliknya menurunkan tersedianya
area untuk transpor normal oksigen dab karbondioksida masuk dan ke luar dari
darah ke dalam kapiler pulmonal. Edema pulmonal akut dicirikan oleh dispnea
hebat, batuk, ortopnea, ansietas dalam, sianosis, berkeringat, kelainan bunyi
pernapasan, sangat sering nyeri dada dan sputum berawarna merah muda, dan
berbusa dari mulut. Ini memerlukan kedaruratan medis dan harus ditangani
dengan cepat dan sigap (Muttaqin, 2012).
4) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian RPD mendukung dengan mengkaji apakah sebelumnya pasien
pernah menderita nyeri dada khas infark miokardium, hipertensi, DM, dan
hiperlipidemia. Obat-obat meliputi obat diuretik, nitrat, penghambat beta, serta
obat-obat antihipertensi (Muttaqin, 2012).
5) Riwayat keluarga
Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda
merupakan faktor resiko utama untuk penyakit jantung iskemik pada
keturunannya (Muttaqin, 2012).
6) Psikososial
Kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan,
stres akibat kesakitan bernapas, dan pengetahuan bahwa jantung tidak
berfungsi dengan baik. Penurunan lebih lanjut dari curah jantung dapat disertai
insomnia atau kebingungan.
18

Terdapat perubahan integritas ego didapatkan pasien menyangkal, takut


mati, perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit yang tak perlu, khawatir
dengan keluarga, kerja, dan keuangan. Tanda: menolak, menyangkal, cemas,
kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku menyerang, fokus pada diri
sendiri. Interaksi sosial: stres karena keluarga, pekerjaan, kesulitan biaya
ekonomi, kesulitan koping dengan stresor yang ada (Muttaqin, 2012).
7) Pola fungsi kesehatan (Aspiani, 2014)
a) Pola nutrisi dan metabolik
(1) Hilang nafsu makan, mual, dan muntah.
(2) Edema di ekstremitas bawah, asites .
b) Pola eliminasi
(1) Penurunan volume urine, urine yang pekat.
(2) Nokturia, diare, dan konstipasi
c) Pola aktifitas dan istirahat
(1) Adanya kelelahan, insomnia, letargi, kurang istirahat.
(2) Sakit dada, dispnea pada saat istirahat atau saat beraktivitas .
d) Pola sensori
(1) Pusing, pingsan, kesakitan.
(2) Letargi, bingung, disorientasi, peka.
e) Pola hubungan interpersonal dan peran
Aktivitas sosial berkurang.
f) Pola persepsi dan konsep diri
(1) Cemas, ketakutan, gelisah, marah, dan peka.
(2) Stres berhubungan dengan penyakitnya, sosial, dan finansial.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terdiri dari atas keadaan umum dan pengkajian B1-B6
menurut Muttaqin (2012), yaitu:
1) Keadaan umum
Pada pemeriksaan keadaan umum pasien gagal jantung biasanya
didapatkan kesadaran yang baik atau compos mentis dan akan berubah sesuai
tingkat gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf pusat (Muttaqin, 2012).
19

2) B1 (Breathing)
Pengkajian yang didapat dengan adanya tanda kongesti vaskular pulmonal
adalah dispnea, ortopnea, dispnea nokturnal paroksimal, batuk, dan edema
pulmonal akut. Crakles atau ronki basah halus secara umum terdengar pada
dasar posterior paru. Hal ini dikenali sebagai bukti gagal ventrikel kiri.
Sebelum crackles dianggap sebagai kegagalan pompa, pasien harus
diinstruksikan untuk batuk dalam guna membuka alveoli basilaris yang
mungkin dikompresi dari bawah diafragma (Muttaqin, 2012).
3) B2 (Blood)
Berikut ini akan dijelaskan mengenai pengkajian apa saja yang dilakukan
pada pemeriksaan jantung dan pembuluh darah (Muttaqin, 2012).
a) Inspeksi
Pasien dapat mengeluh lemah, mudah lelah, apatis, letargi, kesulitan,
berkonsentrasi, defisit memori, dan penurunan toleransi latihan. Gejala lain
yaitu Distensi vena jugularis, edema ekstremitas, asites (Muttaqin, 2012).
b) Palpasi
Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung menunjukkan denyut
yang cepat dan lemah. Denyut jantung yang cepat atau takikardia,
mencerminkan respons terhadap perangsangan saraf simpatis. Hipotensi
sistolik ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat (Muttaqin, 2012).
Selain itu, pada gagal jantung kiri yang berat dapat timbul pulsus
alternans (suatu perubahan kekuatan denyut arteri). Pulsus alternans
menunjukkan gangguan fungsi mekanis yang berat dengan berulangnya
variasi denyut ke denyut pada curah sekuncup (Muttaqin, 2012).
c) Auskultasi
Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan isi sekuncup. Tanda
fisik yang berkaitan dengan kegagalan ventrikel kiri dapat dikenali dengan
mudah di bagian yang meliputi: bunyi jantung ketiga dan keempat (S3, S4)
serta crackles pada paru-paru. S4 atau gallop atrium, mengikuti atrium
kontraksi dan terdengar paling baik dengan bel stetoskop yang ditempelkan
dengan tepat pada apeks jantung (Muttaqin, 2012).
20

Posisi lateral kiri mungkin diperlukan untuk mendapatkan bunyi. Ini


terdengar sebelum bunyi jantung pertama (S1) dan tidak selalu tanda pasti
kegagalan kongestif, tetapi dapat menurunkan komplains (peningkatan
kekauan) miokard. Ini mungkin indikasi awal premonitori menuju kegagalan.
Bunyi S4 adalah bunyi yang umum terdengar pada pasien dengan infark
miokardium akut dan mungkin tidak mempunyai prognosis bermakna, tetapi
mungkin menunjukkan kegagalan yang baru terjadi (Muttaqin, 2012).
S3 atau gallop ventrikel adalah tanda penting dari gagal ventrikel kiri dan
pada orang dewasa hampir tidak pernah ada pada adanya penyakit jantung
signifikan. Kebanyakan dokter akan setuju bahwa tindakan terhadap gagal
kongestif diindikasikan dengan adanya tanda ini. S3 terdengar pada awal
diastolik setelah bunyi jantung kedua (S2), dan berkaitan dengan periode
pengisian ventrikel pasif yang cepat. Ini juga dapat didengar baik dengan bel
stetoskop yang dilakukan tepat di apeks, dengan pasien pada posisi lateral kiri
dan pada akhir ekspirasi. Bunyi jantung tambahan akibat kelainan katup
biasanya didapatkan apabila penyebab gagal jantung karena kelainan katup
(Muttaqin, 2012).
d) Perkusi
Batas jantung ada pergeseran yang menandakan adanya hipertrofi
jantung (kardiomegali) (Muttaqin, 2012).
4) B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, didapatkan sianosis perifer apabila
gangguan perfusi jaringan berat. Pengkajian objektif pasien: wajah meringis,
menangis, merintih, meregang, dan menggeliat (Muttaqin, 2012).
5) B4 (Bladder)
Pengukuran volume keluaran urine berhubungan dengan asupan cairan,
karena itu perawat perlu memantau adanya oliguria karena merupakan tanda
awal dari syok kardiogenik. Adanya edema ekstermitas menandakan adanya
retensi cairan yang parah (Muttaqin, 2012).
21

6) B5 (Bowel)
Pasien biasanya didapatkan mual dan muntah, penurunan nafsu makan
akibat pembesaran vena dan statis vena di dalam rongga abdomen, serta
penurunan berat badan. Selain itu terjadi hepatomegali dan nyeri tekan pada
kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena di hepar
merupakan manifestasi dari kegagalan jantung (Muttaqin, 2012).
7) B6 (Bone)
Hal-hal yang biasanya terjadi dan ditemukan pada pengkajian B6 menurut
Muttaqin (2012) adalah sebagai berikut:
a) Kulit dingin
Kulit yang pucat dan dingin diakibatkan oleh vasokonstriksi perifer,
vasokonstriksi kulit menghambat kemampuan tubuh untuk melepaskan panas.
Oleh karena itu, demam ringan dan keringat yang berlebihan dapat ditemukan.
b) Mudah lelah
Mudah lelah terjadi akibat curah jantung yang kurang, sehingga
menghambat jaringan dan sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya
pembuangan sisa hasil katabolisme.

c) Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai
pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi,
meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi
ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan
diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB
(Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone (Siswanto, et al.,
2015).
2) Pemeriksaan Radiologi
a) EKG
22

Dapat ditemukan kelainan primer jantung (eskemik, hipertrofi ventrikel,


gangguan irama) dan tanda-tanda faktor pencetus akut (infark miokard,
emboli paru) (Loscalzo, 2015).
b) Foto Toraks
Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura
dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau
memerberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal
jantung akut dan kronik (Siswanto, et al., 2015).

2.2.2 Diagnosis Keperawatan


a. Kelebihan volume cairan (00026)
1) Definisi
Peningkatan retensi cairan isotonik (Wilkinson & Ahern, 2015).
2) Batasan karakteristik
a) Ada bunyi jantung S3
Bunyi jantung ketiga ... terdengar paling baik dengan bel stetoskop yang
ditempelkan dengan tepat pada apeks jantung (Muttaqin, 2012).
b) Anasarka
Dapat dilihat dengan memerhatikan proporsi atau postur tubuhnya apakah
baik, atau gemuk, terdapat edema pada wajah, ekstremitas, sesak napas, dan
juga nyeri dada. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pitting edema dengan
menunjukkan adanya identasi (Sutejo & Purwandhono, 2016).
c) Ansietas
(1) Cemas Ringan: cemas yang normal menjadi bagian sehari-hari dan
menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan
persepsinya.
(2) Cemas Sedang: cemas yang memungkinkan sesorang[sic] untuk memusatkan
pada hal yang penting dan mengesampingkan pertumbuhan dan kreatifitas.
(3) Cemas Berat: cemas ini sangat mengurangi lahan persepsi individu cenderung
untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat
berfikir pada hal yang lain.
23

(4) Panik: tingkat panik dari suatu ansietas berhubungan dengan ketakutan dan
terror, karena mengalami kehilangan kendali
d) Asupan melebihi haluaran
e) Azotemia
Lebih tepatnya azotemia pra-renal. Azotemia pra-renal adalah keadaan
peningkatan kadar ureum yang disebabkan oleh penurunan aliran darah ke
ginjal. Pengukuran kadar ureum juga dapat dilakukan menggunakan
perbandingan ureum/kretinin. Nilai perbandingan normal berkisar antara 10:1
sampai dengan 20:1 (Verdiansah, 2016).
f) Bunyi napas tambahan
Crakles atau ronki basah halus secara umum terdengar pada dasar posterior
paru. Hal ini dikenali sebagai bukti gagal ventrikel kiri. Sebelum crackles
dianggap sebagai kegagalan pompa, pasien harus diinstruksikan untuk batuk
dalam guna membuka alveoli basilaris yang mungkin dikompresi dari bawah
diafragma (Bickley, 2016).
g) Dispnea
Dispnea dikarakteristikan oleh pernapasan cepat, dangkal, dan sensasi sulit
dalam mendapatkan udara yang cukup dan menekan pasien yang
mengganggu aktivitas lainnya seperti keluhan tentang insomnia, gelisah, atau
kelemahan (Bickley, 2016).
h) Dispnea nokturnal paroksimal
DNP terjadi bukan hanya pada malam hari, tetapi juga pada ada kapan saja
selama perawatan akut di rumah sakit yang memerlukan tirah baring
(Muttaqin, 2012).
i) Distensi vena napas [sic!] jugularis
j) Edema
(1) Inspeksi: edema dapat ditemukan pada palpebra dan ekstremitas.
(2) Palpasi: regio tibia bagian anterior diberi tekanan ringan dengan ibu jari
selama kurang lebih 10 detik lalu dilepaskan. Pada pitting edema akan timbul
indentasi kulit yang ditekan dan akan kembali secara perlahan-lahan. Pada
non-pitting edema tidak akan terjadi indentasi.
24

Pada pasien yang sudah berbaring lama maka cairan akan berkumpul di
bagian terendah, biasanya pada daerah punggung dan sakrum. Pasien dapat
dimiringkan, lalu dilakukan penekanan ringan sama seperti pada ekstremitas
Hasil: Derajat 1: kedalaman 1-3 mm dengan waktu kembali 3 detik. Derajat
2: kedalaman 3-5 mm dengan waktu kembali 5 detik. Derajat 3: kedalaman 5-
7 mm dengan waktu kembali 7 detik. Derajat 4: kedalaman 7 mm dengan
waktu kembali 7 detik.
(FK-UNHAS, 2017).
k) Efusi pleura
l) Gangguan pola napas
m) Gangguan tekanan darah
n) Gelisah
o) Hepatomegali
Cara pemeriksaan hepatomegali:
(1) Posisikan pasien dalam keadaan berbaring dan tekuk kedua lutut
(2) Mulai dengan meraba dan melakukan penekanan dengan menggunakan
bagian pinggir dalam palmar dan jari tangan pada abdomen sampai sedalam
4-5cm dari arah kaudal ke kranial di bawah arcus costa kanan
(3) Lakukan penekanan saat pasien melakukan inspirasi, dan berikan penilaian
mengenai ukuran, pinggir, konsistensi, nyeri
(4) Hepatomegali diintepretasikan dengan mengukur pembesaran hepar sampai
sakian sentimeter dibawah arcus costa kanan (Harjanti & Arif, 2015).
p) Ketidakseimbangan elektrolit
q) Kongesti pulmonal
r) Oliguria
Bila volume urine dibawah 400 ml dalam 24 jam.
s) Penambahan berat badan dalam waktu sangat singkat
t) Peningkatan tekanan vena sentral
Cara mengukuran tekanan vena sentral yaitu:
(1) Menentukan titik nol manometer sesuai dengan tinggi atrium kanan yang
diperkirakan. Titik tersebut setinggi area intercostal keempat. Ketinggian ini
25

tepat pada garis midaksila pasien dan dapat ditentukan dengan pengukuran
sekitar 5 cm di bawah sternum.
(2) Memutar triway sehingga cairan infus mengalir ke dalam manometer sampai
batas 20-25 cmH2O.
(3) Memutar triway dan amati fluktuasi cairan yang terdapat dalam manometer
(4) Menentukan besar tekanan vena sentral dimana cairan bergerak stabil
(Hudak & Gallo, 2008).
u) Perubahan hematokrit
v) Penurunan hemoglobin
w) Perubahan berat jenis urine
x) Perubahan status mental
y) Perubahan tekanan arteri pulmonal
z) Refleks hepatojugular positif (Herdman, 2015).
Sesuaikan posisi penderita sehingga batas atas pulsasi vena jugular jelas
terlihat pada bagian bawah leher. Tempatkan telapak tangan anda pada tengah
abdomen dan perlahan tekan ke dalam, dan tahan tekanan ini sampai 30-60
detik. Tangan harus hangat, dan penderita harus santai dan bernafas dengan
mudah. Apabila tangan menekan daerah yang nyeri, geser ke daerah lain.
Amatilah apakah ada kenaikan tekanan vena jugular (TIM PELAKSANA
SKILLS LAB, 2010).
3) Faktor yang berhubungan
a) Gangguan mekanisme regulasi
b) Kelebihan asupan cairan
c) Kelebihan asupan natrium (Herdman, 2015).
Sedangkan menurut Wilkinson & Ahern (2015) yaitu:
a) Peningkatan asupan cairan sekunder akibat hiperglikemia, pengobatan,
dorongan kompulsif untuk minum air, dan aktivitas lainnya
b) Ketidakcukupan protein sekunder akibat penurunan asupan atau peningkatan
kehilangan
c) Disfungsi ginjal, gagal jantung, retensi natrium, imobilitas, dan aktivitas
lainnya.
26

4) Saran penggunaan
Jangan menggunakan diagnosis ini untuk kondisi yang tidak dapat dicegah
atau diatasi (misalnya, jangan gunakan kata Kelebihan volume cairan untuk
menjelaskan gagal ginjal atau edema paru yang merupakan diagnosis medis).
Tipe utama kelebihan volume cairan yang dapat diatasi oleh perawat secara
mandiri adalah edema perifer, edema bagian tubuh yang tergantung, dan dapat
secara simtomatis dihilangkan dengan meninggikan tungkai pasien yang
terkena.
(a) Tidak benar: Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan penurunan
curah jantung.
(b) Benar: Komplikasi Potensial penurunan curah jantung: Kelebihan volume
cairan
(c) Benar: Komplikasi Potensial gagal jantung: Edema paru
(d) Benar: Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan Kelebihan
volume cairan, dimanifestasikan dengan edema generalisata (Wilkinson &
Ahern, 2015).
5) Alternatif Diagnosis yang Disarankan
(a) Curah jantung, penurunan
(b) Ketidakseimbangan volume cairan, risiko
(c) Integritas kulit, risiko kerusakan
(d) Perfusi jaringan, ketidakefektifan
(Wilkinson & Ahern, 2015).

2.2.3 Intervensi keperawatan.


a. Tujuan/Kriteria Evaluasi
1) Menunjukkan penurunan keparahan cairan berlebihan
Penurunan keparahan cairan berlebihan adalah penurunan tanda dan gejala
kelebihan cairan intraselular dan cairan ekstraselular. Yang dibuktikan
dengan (sebutkan 1-5: Berat, Cukup berat, Sedang, Ringan, Tidak ada):
2) Edema periorbital
3) Edema tangan
27

4) Edema pada sakral


5) Edema pergelangan kaki
6) Edema kaki
7) Asites
8) Peningkatan lingkar perut
9) Edema menyeluruh
10) Kongesti vena
11) Rales
12) Malaise
13) Lethargy
14) Sakit kepala
15) Konfusi
16) Kejang
17) Koma
18) Peningkatan tekanan darah
19) Peningkatan berat badan
20) Penurunan urin output
21) Penurunan berat jenis urin secara spesifik
22) Penurunan warna urin
23) Peningkatan serum natrium
b. Aktivitas Keperawatan
1) Manajemen Cairan (4120)
Manajemen cairan adalah meningkatkan keseimbangan cairan dan
pencegahan komplikasi yang dihasilkan dari tingkat cairan tidak normal atau
tidak diinginkan (Nurjannah & Tumanggor, 2013).
a) Diagnostik
(1) Timbang berat badan setiap hari dan monitor status pasien
(2) Hitung atau timbang popok dengan baik
(3) Monitor status hidrasi (misalnya, membran mukosa lembab, denyut nadi
adekuat, dan tekanan darah ortostatik)
28

(4) Monitor hasil laboratorium yang relevan dengan retensi cairan (misalnya,
peningkatan berat jenis, peningkatan BUN, penurunan hematokrit, dan
peningkatan kadar osmolalitas urin)
(5) Monitor status hemodinamik, termasuk CVP, MAP, PAP, dan PCWP, jika
ada
(6) Monitor tanda vital pasien
(7) Monitor indikasi kelebihan cairan/retensi (misalnya, crackles, elevasi CVP
atau tekanan kapiler paru-paru yang terganjal, edema, distensi vena leher, dan
asites)
(8) Monitor perubahan berat badan pasien sebelum dan setelah dialisis
(9) Kaji lokasi dan luasnya edema, jika ada
(10) Monitor makanan/cairan yang dikonsumsi dan hitung asupan kalori harian
(11) Monitor status gizi
(12) Monitor reaksi pasien terhadap terapi elektrolit yang diresepkan (Nurjannah
& Tumanggor, 2013).
b) Terapeutik
(1) Jaga Intake/asupan yang akurat dan catat output pasien
(2) Berikan cairan dengan tepat
(3) Tingkatkan asupan oral (misalnya, memberikan sedotan, menawarkan cairan
di antara waktu makan, mengganti air es secara rutin, menggunakan es untuk
jus favorit anak, menggunakan cangkir obat kecil) yang sesuai
(4) Berikan pengganti nasogastrik yang diresepkan berdasarkan output pasien
(5) Distribusikan asupan cairan selama 24 jam
(6) Batasi asupan air pada kondisi pengenceran hiponatremia dengan serum Na
dibawah 130 mEq per liter (Nurjannah & Tumanggor, 2013).
c) Edukatif
(1) Arahkan pasien mengenai status NPO
(2) Dukung pasien dan keluarga untuk membantu dalam pemberian makan
dengan baik (Nurjannah & Tumanggor, 2013).
29

Sedangkan menurut (Wilkinson & Ahern, 2015), yaitu: Ajarkan pasien


tentang penyebab dan cara mengatasi edema, pembatasan diet, dan pengguanaan
dosis, dan efek samping obat yang diprogramkan.

d) Kolaboratif
(1) Konsultasikan dengan dokter jika tanda-tanda dan gejala kelebihan volume
cairan menetap atau memburuk
(2) Berikan terapi IV, seperti yang ditentukan
(3) Berikan diuretik yang diresepkan
(4) Berikan cairan IV sesuai suhu kamar
(5) Persiapkan pemberian produk-produk darah (misalnya, cek darah dan
memersiapkan pemasangan infus)
(6) Berikan produk-produk darah (misalnya, trombosit dan plasma yang baru)
(Nurjannah & Tumanggor, 2013).
Sedangkan menurut (Wilkinson & Ahern, 2015), yaitu:
(1) Lakukan dialisis, jika diindikasikan
(2) Konsultasikan dengan penyedia layanan kesehatan primer mengenai
penggunaan stoking antiemboli atau balutan Ace
(3) Konsultasikan dengan ahli gizi untuk memberikan diet dengan kandungan
protein yang adekuat dan pembatasan natrium.
2) Manajemen Hipervolemia (4170)
Manajemen hipervolemia adalah Pengurangan volume cairan
ekstraselular dan/atau intraselular dan pencegahan komplikasi pada pasien yang
mengalami kelebihan cairan (Nurjannah & Tumanggor, 2013).
a) Diagnostik
(1) Timbang berat badan tiap hari dengan waktu yang tetap/sama (misalnya,
setelah buang air kecil, sebelum sarapan) dan monitor kecendrungannya
(2) Monitor status hemodinamik, meliputi denyut nadi, tekanan darah, MAP,
CVP, PAP, PCWP, CO, dan CI, jika perlu
(3) Monitor pola pernapasan (misalnya, cemas, sesak nafas, orthopnea,
dyspnea, takipnea, batuk, produksi sputum kental, dan nafas pendek)
30

(4) Monitor suara paru abnormal


(5) Monitor suara jantung abnormal
(6) Monitor distensi vena jugularis
(7) Monitor edema perifer
(8) Monitor data laboratorium yang menandakan adanya hemokonsentrasi
(misalnya, natrium, BUN, hematokrit, gravitasi spesifik urin) jika perlu
(9) Monitor data laboratorium yang menandakan adanya potensi terjadinya
hipervolemia (misalnya, B-type natriuretic peptide untuk gagal jantung;
BUN, kreatinin, dan GFR untuk gagal ginjal) jika tersedia
(10) Monitor intake dan ouput
(11) Monitor tanda berkurangnya preload (misalnya, peningkatan urin output,
perbaikan suara paru abnormal, penurunan tekanan darah, MAP, CVP,
PCWP, CO, CI)
(12) Monitor adanya efek pengobatan yang berlebihan (misalnya, dehidrasi,
hipotensi, takikardia, hypokalemia)
(13) Monitor respon hemodinamik pasien selama dan setelah pada setiap sesi
dialisis
(14) Monitor kembalinya sisa peritoneal sebagai indikasi terjadinya komplikasi
(misalnya, infeksi, perdarahan yang berlebihan, dan gumpalan)
(15) Monitor integritas kulit (misalnya, mencegah gesekan, hindari kelembaban
yang berlebihan, dan berikan nutrisi adekuat) pada pasien yang mengalami
imobilisas dengan edema dependent, sesuai kebutuhan (Nurjannah &
Tumanggor, 2013)
b) Terapeutik
(1) Berikan infus IV (misalnya., cairan, produk darah) secara perlahan untuk
mencegah peningkatan preload yang cepat
(2) Batasi intake cairan bebas pada pasien dengan hyponatremia
(3) Hindari penggunaaan cairan IV hipotonik
(4) Tinggikan kepala tempat tidur untuk memerbaiki ventilasi, sesuai kebutuhan
(5) Fasilitasi intubasi endotrakeal dan inisiasi ventilasi mekanik pada pasien
dengan edema pulmonar berat, sesuai kebutuhan.
31

(6) Pertahankan pengaturan ventilator mekanik yang diperintahkan (misalnya,


FiO2, mode, pengaturan volume atau tekanan, PEEP) sesuai kebutuhan
(7) Gunakan suction sistem tertutup pada pasien dengan edema pulmonar pada
ventilasi mekanik dengan PEEP, sesuai kebutuhan
(8) Siapkan pasien untuk dilakukan dialysis (misalnya, bantu pemasangan
kateter dialysis) sesuai kebutuhan
(9) Pertahankan alat akses vascular dialisis
(10) Tentukan perubahan berat badan pasien sebelum dan sesudah setiap sesi
dialisis
(11) Tentukan volume dialisat dab volume yang kembali setelah pada setiap sesi
dialisis
(12) Reposis pasien dengan edema dependent secara teratur, sesuai kebutuhan
(13) Tingkatkan integritas kulit (misalnya, mencegah gesekan, hindari
kelembaban yang berlebihan, dan berikan nutrisi adekuat) pada pasien yang
mengalami imobilisasi dengan edema dependent, sesuai kebutuhan
(14) Batasi asupan natrium, sesuai indikasi
(15) Tingkatkan citra diri dan harga diri yang positif jika pasien
mengekspresikan kepedulian akibat retensi cairan yang berlebih (Nurjannah
& Tumanggor, 2013).
c) Edukatif
(1) Instruksikan pasien mengenai penggunaan obat untuk mengurangi preload
(2) Instruksikan pasien dan keluarga penggunaan catatan asupan dan output,
sesuai kebutuhan
(3) Instruksikan pasien dan keluarga mengenai intervensi yang direncanakan
untuk menangani hipervolemia (Nurjannah & Tumanggor, 2013).
Sedangkan menurut Wilkinson & Ahern (2015), yaitu ajarkan pasien
tentang penyebab dan cara mengatasi edema; pembatasan diet; dan
pengguanaan, dosis, dan efek samping obat yang diprogramkan.
32

d) Kolaboratif
Berikan obat yang diresepkan untuk mengurangi preload (misalnya,
furosemid, spironolakton, morphine, dan nitrogliserin) (Nurjannah &
Tumanggor, 2013).
Sedangkan menurut Wilkinson & Ahern (2015), yaitu konsultasikan ke
dokter jika tanda dan gejala kelebihan volume cairan menetap atau
memburuk.
Menurut Simatupang (2015) penentuan kebutuhan cairan pada pasien CHF
(Congestive Heart Failure) per hari, yaitu:

BB x 25 ml/kg

Pada keadaan umum, dewasa normal dikalikan dengan 30ml/kg dengan


rentang normal perkalian adalah 25-35 ml/kg. Dalam hal ini, pasien CHF
(Congestive Heart Failure) dikalikan dengan batas bawah dengan tujuan
mencegah peningkatan kadar cairan dalam tubuh (Simatupang, 2015).
Edema pada CHF terjadi karena perluasan cairan di ruang interstina karena
peningkatan penumpukan Na+ dalam tubuhnya. Oleh karena itu, ada baiknya
pasien diberikan terapi dengan cairan hipotonis karena diduga pasien mengalami
Hypernatremia. Untuk mengetahui berapa banyak cairan hipotonis yang akan
diberikan adalah terlebih dahulu harus mengetahui kadar Na+ dalam tubuh pasien
dengan melalui pemeriksaan laboratorium. Setelah itu gunakan rumus:

Na Sekarang x BB
- BB = Jumlah air yang ditambahkan
Na normal

Karena kemungkinan pasien hypernatremia, maka rumus diatas digunakan


untuk mencari jumlah cairan hypotonis yang diperlukan untuk menetralkan kadar
Na. Contoh cairannya dextrose 5% (Simatupang, 2015).
Selain itu juga dapat dilakukan tindakan mandiri perawat lainnya yaitu
contrast bath. Contrast bath merupakan perawatan dengan rendam kaki sebatas
betis secara bergantian dengan menggunakan air hangat dan dilanjutkan dengan
33

air dingin, dimana suhu dari air hangat antara 36,6 – 43,3°C dan suhu air dingin
antara 10 – 20 °C (Sabelman, 2004 dalam Purwadi, 2015). Dengan merendam
kaki yang edema dengan terapi ini akan mengurangi tekanan hidrostatik intra vena
yang menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstisium dan
cairan yang bererada di intertisium akan kembali ke vena sehingga edema dapat
berkurang (Mc neilus, 2004 dalam Purwadi, 2015).
Menurut hasil penelitian Henry & Schroeder (2014) pembatasan garam
dengan diet sedikitnya 1 gr pada pasien dengan congestive heart failure dalam 24
jam sudah cukup untuk menyebabkan diuresis atau penghentian akumulasi edema.
Ketika garam sudah dibatasi sebaiknya asupan cairan tidak perlu terlalu dibatasi,
karena diuresis diamati meningkat saat pasien meminum banyak cairan dan
menurun ketika cairan dibatasi. Senada dengan hal tersebut menurut Bronagh &
Kenneth (2007) bahwa pembatasan cairan tidak memiliki manfaat klinis pada
pasien dengan gagal jantung.
Intervensi monitor status hemodinamik penting dilakukan perawat. Menurut
William (2015) penting dilakukan monitor status hemodinamik karena dapat
mengurangi resiko perburukan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

2.2.4 Implementasi
Implementasi yang akan penulis lakukan adalah manajemen hypervolemia,
manajemen cairan dan terapi contrast bath, yaitu perawatan dengan berendam
kaki sebatas betis secara bergantian dengan menggunakan air hangat dan
dilanjutkan dengan air dingin, dimana suhu dari air hangat antara 36,6 – 43,3°C
dan suhu air dingin antara 10 – 20 °C (Sabelman, 2004 dalam Purwadi, 2015).
Dangan selisih waktu 3 menit di dalam air hangat dan 1 menit di air dalam dingin.
Dilakukan kompres dengan kain handuk untuk bagian-bagian tubuh yang tidak
dapat direndam air dengan mudah (Mcneilus, 2004 dalam Purwadi, 2015).
Menurut Yu Shih et al (2012) dalam Purwadi (2015) akan lebih efek jika
dilakukan terapi selama 12 menit dengan rasio waktu tetap 3:1 dengan manfaat
maksimal dalam fluktuasi setelah menit ketujuh.
34

2.2.5 Evaluasi
a. Menunjukkan penurunan keparahan cairan berlebihan
1) Tidak ada Edema ekstremitas
2) Tidak ada Dispnea, Orthopnea, DNP
3) Suara napas vesikuler
4) Penurunan berat badan
Menurut Elisabet, Carles, Marta, & Mar (2016) penurunan berat badan ≥5%
pada pasien dengan CHF akan meningkatkan harapan hidup pasien lebih lama.
BAB 3. METODE PENULISAN

Pada bab ini diuraikan tentang metode penulisan yang digunakan dalam
menyelesaikan pengambilan data laporan kasus terhadap asuhan keperawatan
pasien Congestive Heart Failure pada Tn. Sg dan Tn. Sd.

3.1 Desain Penulisan


Laporan kasus adalah salah satu pendekatan kualitatif yang memelajari
fenomena khusus yang terjadi saat ini dalam suatu sistem yang terbatasi
(bounded-system) oleh waktu dan tempat, meski batas-batas antara fenomena atau
sistem tersebut tidak sepenuhnya jelas. Jika berupa kasus multipel (banyak),
kasus-kasus tersebut akan dibandingkan satu sama lain (Afiyanti dan Imami,
2014).
Penulis akan mengeksplorasi asuhan keperawatan pasien Congestive Heart
Failure pada Tn. Sg dan Tn. Sd dengan diagnosa keperawatan kelebihan volume
cairan di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang menggunakan intervensi
berdasarkan NOC dan NIC yang ditunjang dengan intervensi keperawatan
contrast bath untuk mengurangi kelebihan volume cairan pada pasien Congestive
Heart Failure.

3.2 Batasan Istilah


Batasan istilah dalam Laporan kasus ini adalah asuhan keperawatan pada
pasien Congestive Heart Failure dengan diagnosa keperawatan kelebihan volume
cairan di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang tahun 2018, yaitu
3.2.1 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Congestive Heart Failure
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Congestive Heart Failure yaitu
menerapkan proses asuhan keperawatan dimulai dari pengkajian hingga evaluasi
pada dua pasien berbeda dengan tertulis diagnosa medis DCFC 1 atau 2/
Decompensasi Cordis/Heart Failure/Gagal Jantung/CHF/Gagal Jantung
Kongestif dalam rekam medik pasien.
36

3.2.3 Kelebihan Volume Cairan


Kelebihan volume cairan yaitu suatu keadaan dimana pasien mengalami
gejala edema dan dispnea atau dengan tambahan batasan karakteristik berikut:
a. Ada bunyi jantung S3
b. Anasarka
c. Dispnea nokturnal paroksimal
d. Distensi vena napas jugularis
e. Hepatomegali
f. Penambahan berat badan dalam waktu sangat singkat
Dengan faktor yang berhubungan yaitu disfungsi gagal jantung.

3.3 Partisipan
Partisipan dalam penyusunan Laporan kasus ini adalah pasien 1 yaitu Tn.
Sg dan Pasien yaitu Tn. Sd yang memenuhi kriteria:
3.3.1 Menjalani rawat inap di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang
3.3.2 Didiagnosa medis DCFC 1 atau 2/Decompensasi Cordis/Heart
Failure/Gagal Jantung/CHF/Gagal Jantung Kongestif dalam rekam medik pasien.
DCFC 1 yaitu timbul gejala sesak napas atau capai pada aktivitas fisik
yang berat. Sedangkan DCFC 2 yaitu timbul gejala sesak napas atau capai pada
aktivitas yang sedang.
3.3.3 Pasien mengalami gejala edema dan dispnea atau dengan tambahan
batasan karakteristik (Ada bunyi jantung S3, anasarka, dispnea nokturnal
paroksimal, distensi vena napas [sic!] jugularis, hepatomegali, dan penambahan
berat badan dalam waktu sangat singkat)
3.3.4 Bersedia menjadi partisipan dengan menandatangani Informed Consent
(Lampiran 3.1).
3.3.5 Pasien dalam kondisi sadar.
3.3.6 Pasien tidak memiliki keganasan lokal, penyakit vaskuler perifer (PVD),
gangguan sensai, perdarahan dan inflamasi akut.
37

3.4 Lokasi dan Waktu


Penyusunan laporan kasus dilakukan pada bulan Januari – Mei 2018.
Pengambilan data laporan kasus ini dilakukan di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang yang dilakukan pada tanggal 14-18 Februari 2018 untuk
pasien 1 dan pada tanggal 19-21 Februari 2018 pada pasien 2 (Lampiran 3.2).

3.5 Pengumpulan Data


Pengumpulan data dalam keperawatan yang digunakan terdiri dari proses
dan teknik sebagai berikut:
3.5.1 Proses Pengambilan Data
Diawali dari permohonan izin pengambilan data penulis kepada
koordinator program studi D3 keperawatan Universitas Jember Kampus
Lumajang untuk dilaksanakan proses pengambilan data. Selanjutnya penulis
melanjutkan mengajukan permintaan izin kepada Bakesbangpol (Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik) kabupaten Lumajang sebagai badan yang bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan pengambilan data laporan kasus di Kabupaten
Lumajang. Izin yang dikeluarkan oleh Bakesbangpol terdiri dari tujuh tebusan
diantaranya yang perlu ditiindak lanjuti adalah kepada direktur RSUD Dr.
Haryoto Lumajang sebagai lokasi pengamblan data laporan kasus penulis. Setelah
itu, kepala bagian pendidikan dan latihan dan penelitian dengan atas nama
direktur RSUD Dr. Haryoto Lumajang mengeluarkan izin pengambilan data yang
ditujukan kepada Kepala ruang Melati sebagai lokasi pengambilan data penulis
(Lampiran 3.3).
3.5.2 Teknik Pengambilan Data
Teknik yang digunakan dalam pengambilan data laporan kasus ini yaitu
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi (Afiyanti & Rachmawati, 2014):
a. Wawancara
Pengumpulan data dengan menanyakan secara langsung kepada pasien dan
keluarga terkait dengan masalah yang dihadapi pasien, biasanya juga disebut
anamnesa. Pada Laporan kasus ini wawancara dilakukan terhadap pasien pada
tahap pengkajian awal (biodata, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
38

riwayat penyakit dahulu, keluarga, psikososial, pola fungsi kesehatan),


implementasi, dan evaluasi dan terhadap keluarga untuk mengklarifikasi data
yang sebelumnya didapat dari pasien.
b. Observasi
Pengumpulan data yang dilakukan dengan mengamati pasien untuk
memeroleh data tentang masalah keperawatan pasien dan sebagai verifikasi
terhadap hasil data wawancara/anamnesa yang telah dilakukan terhadap pasien.
Observasi dilakukan dengan menggunakan inspeksi, palpasi, perkusi, maupun
auskultasi. Pada Laporan kasus ini observasi dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana kelebihan volume cairan yang dialami pasien.
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara langsung dan menyeluruh mulai dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Pada Laporan kasus ini pemeriksaan fisik dilakukan
untuk mendapatkan data keadaan umum pasien serta mendapat data masalah
per-system pasien dengan metode B1-B6 (breath, blood, brain, bladder, bowel,
bone).
d. Studi Dokumentasi
Pengambilan data dimulai dari pasien masuk sampai pasien pulang,
berasal dari dokumen perkembangan pasien atau data yang berasal langsung
dari pasien. Pada Laporan kasus ini studi dokumentasi dilakukan untuk
mendapatkan hasil pemeriksaan laboratorium, EKG, foto dada dan laporan
perawat/tenaga kesehatan lainnya.

3.6 Uji Keabsahan Data


3.6.1 Kredibilitas (Keterpercayaan) Data
Kredibilitas data atau ketepatan dan keakuratan suatu data yang dihasilkan
dari studi kualitatif menjelaskan derajat atau nilai kebenaran dari data yang
dihasilkan termasuk proses analisis data tersebut dari laporan kasus yang
dilakukan. Suatu hasil laporan kasus dikatakan memiliki kredibilitas yang tinggi
atau baik ketika hasil-hasil temuan pada laporan kasus tersebut dapat dikenali
dengan baik oleh para partisipannya dalam konteks sosial mereka (Afiyanti dan
Imami, 2014).
39

Pada peneletian ini untuk memastikan bahwa data yang penulis ambil
bersifat kredibel maka penulis akan melakukan konfirmasi kembali kepada pada
pasien terkait temuan-temuan data oleh penulis. Misalnya pada saat pemeriksaan
respirasi didapatkan bahwa RR pasien lebih dari rentang normal yaitu lebih dari
24, penulis menyakan kembali apakah benar bahwa pasien mengalami sesak atau
tidak sehingga data yang diperoleh bisa kredibel.
3.6.2 Transferabilitas atau Keteralihan Data (Applicability, Fittingness)
Seberapa mampu suatu hasil laporan kasus kualitatif dapat diaplikasikan
dan dialihkan pada keadaan atau konteks lain atau kelompok atau partisipan
lainnya merupakan pertanyaan untuk menilai kualitas tingkat transferabilitas.
Istilah transferabilitas dipakai pada laporan kasus kualitatif untuk menggantikan
konsep generalisasi yang digunakan pada laporan kasus kuantitatif (Afiyanti dan
Imami, 2014).
Pada laporan kasus ini penulis untuk memastikan keteralihan data maka
penulis panduan atau pedoman untuk penulis melakukan pengkajian terhadap dua
pasien berbeda. Pada pedoman tersebut penulis sudah masukkan temuan-temuan
abnormal berdasarkan teori-teori yang sudah penulis paparkan pada bab 2,
sehingga pada saat pengakajian penulis langsung fokus ke temua abnormal secara
teori dan apakah memang sama dengan fakta atau tidak.
3.6.3 Dependabilitas (Ketergantungan)
Dependabilitas memertanyakan tentang konsistensi dan reliabilitas suatu
instrumen yang digunakan lebih dari sekali penggunaan. Masalah yang ada pada
studi kualitatif adalah instrumen laporan kasus dan penulis sendiri sebagai
manusia yang memiliki sifat-sifat tidak dapat konsisten dan dapat diulang. Antara
penulis satu dengan penulis lain memiliki fokus penekanan yang berbeda dalam
menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil temuannya (Afiyanti dan Imami,
2014).
Pada peneletian ini karena instrumen laporan kasus kualitatif adalah
penulis sendiri sedangkan pengalaman dan referensi dari penulis sendiri masih
sedikit dan supaya data yang penulis ambil dapat dipercaya oleh pembaca maka
penulis perlu dependabilitas atau ketergantungan. Pada laporan kasus penulis
40

bergantung pada dua hal yaitu yang pertama adalah penulis akan mengumpul
beberapa referensi atau literatur dan dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan
pengkajian terhadap pasien sehingga temuan data abnormal saat pengkajian dari
pasien apakah sesuai dengan literatur atau tidak, dan yang kedua adalah untuk
memastikan bahwa data yang penulis temukan benar-benar abnormal atau maka
disini penulis akan didampingi oleh supervisor atau perawat senior saat pengambil
data terhadap pasien.
3.6.4 Konfirmabilitas
Konfirmabilitas menggantikan aspek objektivitas, pada laporan kasus
kuantitaf, namun tidak persis sama arti keduanya, yaitu kesediaan penulis untuk
mengungkapkan secara terbuka proses dan elemen-elemen laporan kasusnya. Cara
penulis menginterpretasikan, mengimplikasikan, dan menyimpulkan
konfirmabilitas temuannya dapat melalui audit trial dan menggunakan teknik
pengambilan sampel yang ideal. Penulis mengenali pengalamannya dan pengaruh
subjektif dari interpretasi yang telah dibuatnya, sehingga pembaca mengetahui
proses refleksivitas yang dibuat penulis. Selanjutnya, untuk memeroleh hasil
laporan kasus kualitatif yang obejktif, penulis, perlu menggunakan teknik
pengambilan sampel dengan cara memaksimalkan variasi sampelnya, cara ini
dapat mengurangi bias hasil laporan kasus (Afiyanti dan Imami, 2014).
Pada laporan kasus ini penulis menggunakan teknik pengambilan data
dengan format asuhan keperawatan kepada dua pasien yang memiliki kriteria
sesuai dengan batasan karakteristik. Jika salah satu pasien tersebut tidak sesuai
dengan kriteria penulis, maka penulis harus dapat menjelaskan adanya
ketidaksesuaian tersebut dan dihubungkan dengan teori yang sudah ada di bab 2.
Misalnya antara kedua pasien memiliki gejala yang sama yaitu DNP, tetapi yang
membedakan adalah pasien pertama tidak disetai insomnia dan yang kedua
disertai insomnia. Disinilah penulis menggunakan konfirmabilitas dengan
menjelaskan perbedaan kedua pasien tersebut ada karena perbedaan stadium
penyakit CHF yang sudah dijelaskan di bab 2.
41

3.7 Analasi Data


3.7.1 Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari hasil WOD (Wawancara, Observasi, dan
Dokumentasi). Hasil yang didapat ditulis dalam bentuk catatan lapangan,
kemudian disalin dalam bentuk transkrip (catatan terstruktur).
3.7.2 Mereduksi Data
Dari hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan
dijadikan satu dalam bentuk transkrip dan dikelompokkan menjadi data subjektif
dan objektif, dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan diganostik kemudian
dibandingkan dengan nilai normal.
3.7.3 Penyajian Data
Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk tabel, gambar, bagan, dan
teks naratif. Kerahasiaan pasien dijaga dengan cara mengaburkan identitas dari
pasien.

3.8 Etika Penulisan


3.8.1 Informed Consent
Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara penulis dengan
partisipan laporan kasus dengan memerikan lembar persetujuan. Informed
Consent tersebut diberikan sebelum laporan kasus dilakukan dengan memerikan
lembar persetujuan untuk menjadi partisipan. Tujuan Informed Consent adalah
agar subjek mengerti maksud dan tujuan laporan kasus, mengetahui dampaknya.
Jika partisipan bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan.
Jika partisipan tidak bersedia, maka penulis harus menghormati hak pasien
(Hidayat, 2009).
3.8.2 Anomity (Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan, penulis tidak mencantumkan nama partisipan
pada lembar alat ukut. Nama partisipan diganti dengan inisial, nomor atau kode
pada lembar pengumpulan data (Hidayat, 2009).
42

3.8.3 Confidentiality (Kerahasiaan)


Semua informasi maupun masalah-masalah partisipan akan dijamin
kerahasiaannya oleh penulis. Hanya pengelompokkan data tertentu yang akan
disajikan atau dilaporkan pada hasil laporan kasus (Hidayat, 2009).
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab 4 ini penulis akan memaparkan hasil penelitian (kasus) pada 2
orang pasien CHF di ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang yang
ditampilkan sesuai tahapan dalam asuhan keperawatan. Selanjutnya langsung
dilakukan pembahasan pada setiap tahap dengan membandingkan antara fakta
dalam kasus dikaitkan dengan teori yang relevan.

4.1 Gambaran Lokasi Pengambilan Data


Pengambilan data laporan kasus ini dilakukan di Ruang Melati RSUD
Dr.Haryoto Lumajang. Ruangan ini adalah ruangan khusus untuk merawat kasus-
kasus penyakit dalam dengan kapasitas 60 tempat tidur, dengan jumlah perawat
28 orang. Penyakit terbanyak yang dirawat di ruangan ini pada bulan Januari-
April 2018 adalah CVA dengan jumlah 108 sedangkan CHF menempati posisi
keempat terbanyak dengan jumlah 51 pasien. Pengumpulan data dilakukan pada
tanggal 14-18 Februari 2018 untuk pasien 1 dan pada tanggal 19-21 Februari 2018
pada pasien 2.

4.2 Hasil dan Pembahasan


4.2.1 Pengkajian
a. Pengumpulan data
1) Identitas Pasien
Tabel 4.1 Identitas Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang
Pada Bulan Februari 2018
Identitas Pasien Pasien 1 Pasien 2
Nama Tn. Sg Tn.Sd
Umur 66 tahun 61 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki
Alamat Banyuputih Kidul Duren Klakah
Pendidikan SD SD
Pekerjaan Petani Pedagang
Suku Madura Madura
Status Menikah Menikah
Golongan Darah - -
44

Identitas Pasien Pasien 1 Pasien 2


Tanggal MRS 12 Februari 2018/ Pukul 05.00 19 Februari 2018/
WIB Pukul 12.00 WIB
Tanggal Pengkajian 14 Februari 2018/Pukul 15.30 19 Februari 2018/Pukul
WIB 15.00 WIB
Dx Medis CHF+Diare Akut (Resolved) CHF+HT
2) Identitas Penanggung Jawab Pasien
Tabel 4.2 Identitas Penanggung Jawab Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD
Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Identitas Penanggung Jawab Pasien 1 Pasien 2


Inisial informan Ny. Y Ny.S
Hubungan Keluarga Anak Istri
Umur 32 Tahun 58 Tahun
Alamat Banyuputih kidul Duren Klakah
Pendidikan SMP SD
Pekerjaan Pegawai swasta Ibu Rumah Tangga

Dari data Tabel 4.1 diatas, didapatkan persamaan antara fakta dan teori
pada kedua pasien yaitu keduanya memiliki jenis kelamin laki-laki. Lloyd et al.,
(2014:119:e1-161) mengatakan bahwa, “Heart failure is a major cause of illness
in the United States and other Western societies and typically results in reduced
life expectancy ... the lifetime risk of developing heart failure for both men and
women is 1 in 5 ....”. Berdasarkan teori tersebut penyakit gagal jantung kongestif
akan lebih banyak didapatkan pada laki-laki. Hal ini salah satunya bisa
disebabkan oleh kadar hormon estrogen yang rendah pada laki-laki. Sorrel (2017)
mengatakan bahwa, “Oestrogen is the female sex hormone, which is therefore
found in much higher levels in women than in men. He thinks that when oestrogen
levels are low, in men, the heart is more prone to remodel and changes itself in
response to stress. This means it is more likely to start failing ....”. Sehingga
berdasarkan teori tersebut penulis beranggapan bahwa kedua pasien telah sesuai
dengan teori yang ada.
Umur antara pasien 1 dan 2 sesuai dengan teori yaitu diatas 40 tahun.
Menurut Lloyd et al., (2014:119:e1-161.) “ ... 825,000 new cases of heart failure
are diagnosed each year. The chance of developing heart failure increases
sharply with age. At 40 years of age, the lifetime risk of developing heart failure
45

… 9.3% of men and 4.8% of women in the U.S. within the age group 60-79 have
heart failure ....”
Penulis beranggapan meskipun kedua pasien memiliki umur yang berbeda
yaitu pasien 1 berumur 66 tahun dan pasien 2 berumur 61 tahun, namun
berdasarkan teori yang dipaparkan penulis di atas kedua pasien tersebut telah
memasuki umur yang memiliki risiko lebih tinggi terserang penyakit gagal
jantung kongestif yaitu di atas umur 40 tahun. Selain itu, di Amerika berdasarkan
teori tersebut 9,3% pria dan 4,8% wanita di Amerika dalam kelompok usia 60-79
tahun mengalami gagal jantung.
Penulis beranggapan bahwa selain umur dan jenis kelamin yang menjadi
faktor penyebab kedua pasien mengalami CHF yaitu pekerjaan kedua pasien yang
memiliki tingkat distres yang tinggi, dimana pada petani lebih distres pada fisik
sedangkan pedagang lebih distres pada pikiran. Pola hidup kedua pasien
sebagaimana streotip suku madura yang suka makan asin juga terjadi pada kedua
pasien yang diperkuat dalam tabel 4.8, sehingga beberapa faktor tersebut dapat
meningkatkan faktor penyebab terjadi CHF pada kedua pasien dan keduanya telah
membuktikan teori yang ada.

3) Riwayat Keperawatan dan Riwayat Penyakit


a) Keluhan Utama
Tabel 4.3 Tabel Keluhan Utama Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Keluhan Utama
Pasien 1 Pasien 2
Saat MRS: Saat MRS:
Pasien mengatakan saat masuk RS dirinya Pasien mengatakan saat masuk RS dirinya
mengalami mencret sejak malamnya sebelum mengalami sesak sejak dua hari yang lalu,
ke rumah sakit, mencret sekitar 5 sampai 6 dibuat untuk jalan napas ngongsrong.
kali, terdapat ampas pada tinjanya.
Karena sesaknya dirinya sampai tidak bisa
Keluhan Saat ini: tidur selama 2 hari dirumah.
Pasien mengatakan sesak ngongsrong setelah Keluhan Saat ini:
ke kamar mandi, setelah makan sedikit Pasien mengatakan kaki bengkak-
langsung sesak juga. Badan masih terasa bengkak, tangan bengkak namun sedikit.
lemas karena jika banyak gerak-gerak napas
langsung sesak, namun sesaknya tidak terusan
hanya sesekali ketika melakukan kegiatan-
kegiatan tersebut. Namun, Pasien juga
46

Keluhan Utama
Pasien 1 Pasien 2
mengatakan sesak terkadang datang disaat
malam atau tidur.

Dari data Tabel 4.3 Tabel Keluhan Utama di atas, ditemukan persamaan
antara fakta dan teori pada kedua pasien yaitu pasien 1 mengeluhkan dispnea dan
pasien 2 mengeluhkan edema ekstremitas bawah yang terjadi pada dirinya.
Muttaqin (2012) menyatakan bahwa, “Keluhan yang paling sering menjadi alasan
pasien untuk meminta pertolongan kesehatan, meliputi: dispnea, kelemahan fisik,
dan edema sistemik”. Selain itu, teori serupa diungkapkan oleh Bickley (2016)
bahwa, “Gejala umum atau utama pada pasien dengan masalah kardiovaskular
yaitu sesak napas yang meliputi dispnea, orthopnea, atau paroxysmal nocturnal
dyspnea, dan pembengkakan atau edema”.
Meskipun demikian terdapat perbedaan dominan keluhan yang
disampaikan oleh kedua pasien. Pasien 1 lebih mengeluhkan dispnea yang
dirasakan daripada edema yang terjadi pada dirinya. Menurut Muttaqin (2012):
“Keluhan dispnea atau sesak napas merupakan manifestasi kongesti
pulmonalis sekunder dari kegagalan ventrikel kiri dalam melakukan
kontraktilitas sehingga akan mengurangi curah sekuncup. Dengan
meningkatnya LVDEP, maka terjadi pula peningkatan tekanan
atrium kiri (LAP), karena atrium dan ventrikel berhubungan
langsung selama diastole. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang
masuk ke dalam anyaman vaskular paru-paru, meningkatkan tekanan
kapiler, dan vena paru-paru”.

Teori lain yang diungkapkan Bickley (2016) menyimpulkan bahwa “Dispnea atau
paroxysmal nocturnal dyspnea adalah kondisi bernapas yang tidak menyenangkan
yang sering terjadi pada pasien dengan masalah jantung atau paru”. Hal tersebut
diperkuat dengan ditemukannya suara napas ronkhi pada semua lapang paru
pasien 1 sebagaimana termuat dalam Tabel 4.18, sehingga penulis menyimpulkan
bahwa pasien 1 telah membuktikan teori yang ada.
Namun hal berbeda ditunjukkan pada pasien 2 dimana pasien ini lebih
mengeluhkan edema pada dirinya daripada dispnea yang juga masih dikeluhkan
oleh pasien 2. Menurut Muttaqin (2012):
47

“Tekanan arteri paru dapat meningkat sebagai respons terhadap


peningkatan kronis terhadap tekanan vena paru. Hipertensi pulmonal
meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Mekanisme
kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada
jantung kanan, dimana akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan
edema sistemik”.

Teori lain yang diungkapkan Bickley (2016) menyimpulkan bahwa:


“Edema merujuk pada penimbunan berlebihan cairan di ruang
insterstitium ekstrvaskular. Jaringan interstitium dapat menyerap
beberapa liter cairan, membentuk hingga 10% dari penambahan
berat sebelum muncul pitting edema. Edema dependen (kaki dan
tungkai bawah ketika duduk, atau sakrum ketika tirah baring)
penyebabnya dapat gagal jantung, gizi (hipoalbuminemia), atau
posisional”.

Hal tersebut diperkuat dengan ditemukannya perbedaan derajad edema yang


terjadi pada kedua pasien. Pada tabel 4.18 Pemeriksaan Fisik ditemukan derajad
ekstremitas bawah pasien 2 adalah 4/4 sedangkan pasien 1 adalah ¾, sehingga
penulis beranggapan karena perbedaan tersebut menimbulkan pasien 2 lebih
mengeluhkan edema ekstremitas dari pada dispnea yang terjadi. Meskipun
demikian pasien 2 juga telah membuktikan teori yang ada.

b) Riwayat Penyakit Sekarang


Tabel 4.4 Riwayat Penyakit Sekarang Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien 1 Pasien 2
Pasien mengatakan sejak hari minggu tanggal 11 Pasien mengatakan hari sabtu tanggal 17 Februari
Februari 2018 malam sekitar jam 20.00 WIB, 2018 sejak bangun tidur dirinya tiba-tiba merasa
dirinya mengalami mencret dan sering pergi ke agak sesak, kedua kaki bengkak. Hari minggu, 18
kamar mandi. Ketika di kamar mandi pasien Februari 2018 mulai pagi sesak pasien semakin
terpeleset dan jatuh bersenggolan dengan pintu parah dan bengkak bertambah ke betis, hingga
kamar mandi. Pasien mengalami nyeri karena malam hari pasien mengaku serasa ingin mati
terbentur pintu dengan rasa seperti tertusuk-tusuk karena badan terasa panas semua, sesak semakin
pada daerah dada kanan dan perut kanan yang menjadi. Selama dua hari tersebut karena sesak,
dirasakan terus menerus. Pasien mengatakan tidak pasien tidur dengan duduk, dan mengatakan bahwa
langsung membawa ke RS karena sudah terlalu tidurnya tidak nyenyak hingga beranggapan bahwa
malam. Keesokan harinya yaitu senin sekitar jam dirinya tidak tidur. Selama itu pasien mengatakan
05.00 WIB, keluarga membawa pasien ke IGD tidak periksa kemana-mana, dan karena kondisinya
RSUD Dr. Haryoto Lumajang. Di IGD pasien tidak membaik akhirnya hari senin siang keluarga
mendapatkan terapi Ranitidin 50 mg, Ondansentron membawa pasien ke IGD RSUD Dr. Haryoto
4 mg, dan Antrain 1 gr kemudian dipindahkan ke Lumajang. Di IGD pasien mendapatkan terapi Infus
ruang Melati 15A. Pada hari Selasa pasien NS Lifeline dan injeksi Furosemid 2 Ampul dan
mengatakan sudah tidak mengalami mencret namun Ranitidin 1 Ampul. Pasien dipundah ke ruang
48

mengeluhkan sesak. Hingga hari ini (Rabu) sesak Melati 2B jam 15.00 WIB. Pasien mengatakan
seringkali timbul terutama ketika berjalan ke kamar sekarang sesaknya sudah berkurang, namun
mandi dan setelah makan. Selain sesak pasien bengkak pada kedua kaki dan tangan masih tetap
mengatakan kedua kaki dan tangan kiri mengalami seperti di rumah.
bengkak, serta perut terasa kembung.
Dari data tabel 4.4 diatas menunjukkan bahwa pada kedua pasien terjadi
dispnea, DNP, dan edema ekstremitas yang sesuai dengan teori. Menurut
Muttaqin (2012):
“Pengkajian yang didapat dengan adanya gejala-gejala kongesti
vaskular pulmonal adalah dispnea, ortopnea, dispnea nokturnal
paroksimal, batuk, dan edema pulmonal akut. Pada pengkajian
dispnea (dikarakteristikan oleh pernapasan cepat, dangkal, dan
sensasi sulit dalam mendapatkan udara yang cukup dan menekan
pasien) yang mengganggu aktivitas lainnya seperti keluhan tentang
insomnia, gelisah, atau kelemahan yang disebabkan oleh dispnea.”.
Teori serupa diungkapkan oleh Bickley (2016) bahwa gejala umum atau utama
pada pasien dengan masalah kardiovaskular yaitu sesak napas yang meliputi
dispnea, orthopnea, atau paroxysmal nocturnal dyspnea, dan pembengkakan atau
edema.
Pasien 1 mengalami dispnea/DNP namun tidak sampai terjadi insomnia
layaknya pasien 2, seperti termuat dalam tabel 4.10. Penulis beranggapan bahwa
terjadinya perbedaan efek DNP pada kedua pasien terletak pada mudahnya akses
tindakan kesehatan dari kedua pasien. Dalam tabel 4.10 menunjukkan pasien 1
baru mengalami dispnea saat berada di RS tepatnya 3 hari setelah MRS, sehingga
ketika serangan DNP terjadi pada pasien 1 maka tim kesehatan yang ada di RS
segera melakukan tindakan kesehatan salah satunya dengan memberikan terapi
oksigen, sedangkan pasien 2 mengalami DNP saat di rumah sehingga akses untuk
dilakukan terapi oksigen lebih lambat daripada pasien 1. Menurut Rakesh (2015),
“Oxygen therapy is a way to get more oxygen into your lungs and bloodstream. It
is sometimes used for people who have diseases that make it hard to breathe, such
as heart failure. Oxygen therapy can make it easier to breathe. And it can reduce
the heart's workload. Some people need extra oxygen all the time ...”. Sehingga
berdasarkan teori tersebut penulis menyimpulkan bahwa terapi oksigen menjadi
pembeda efek DNP pada kedua pasien. Meskipun demikian kedua pasien telah
membuktikan teori yang ada.
49

c) Riwayat Penyakit Masa Lalu


Tabel 4.5 Riwayat Penyakit Masa Lalu Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD
Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Riwayat Penyakit Masa Lalu


Pasien 1 Pasien 2
Pasien mengatakan bahwa dirinya sekitar 6 bulan Pasien mengatakan bahwa dirinya dulu pernah
yang lalu pernah mengalami sesak dan bengkak- mengalami darah tinggi pernah hingga 200. Pasien
bengkak seperti sekarang namun lebih parah hingga mengatakan dirinya tidak pernah mengalami nyeri
tak sadarkan diri dan di rawat di ICU RSUD Dr. dada seperti terbakar menjalar, tidak pernah
Haryoto kurang lebih selama 2 minggua dan sejak memiliki kencing manis, dan juga jarang kontrol
pulang dari RS dirinya rutin check up ke dokter kolesterol di mana-mana.
spesialis jantung. Selain itu, pasien mengatakan
dahulu pernah merasakan nyeri dada panas. Pasien
mengatakan tidak pernah memiliki riwayat kencing
manis.

Data tabel 4.5 menunjukkan bahwa kedua pasien mengalami nyeri dada
khas infark miokardium, dan hipertensi yang sesuai dengan teori. Menurut
Muttaqin (2012), Pengkajian RPD mendukung dengan mengkaji apakah
sebelumnya pasien pernah menderita nyeri dada khas infark miokardium,
hipertensi, DM, dan hiperlipidemia. Obat-obat meliputi obat diuretik, nitrat,
penghambat beta, serta obat-obat antihipertensi.
Riwayat penyakit pada kedua pasien berbeda. Pasien 1 menunjukkan
riwayat nyeri dada panas yang diindikasikan sebagai STEMI maupun IMA.
Menurut Baransyah, et al., (2014:212):
“Dari 65 orang responden dalam penelitian ini, kejadian gagal
jantung (killip>1) terjadi pada 19 orang (29,23%). Faktor yang
terbukti berpengaruh terhadap kejadian gagal jantung pada pasien
IMA dalam penelitian ini adalah dislipidemia ... yang menunjukkan
korelasi positif antara kadar kolesterol-HDL dengan penurunan
fungsi sistolik ventrikel kiri. Penurunan fungsi sistolik pada ventrikel
kiri ini lama kelamaan dapat berakhir pada kejadian gagal jantung”.

Berdasarkan teori tersebut hasil pemeriksaan laboratorium lipid tidak didapatkan


oleh penulis sehingga penulis beranggapan bahwa hal yang mendasari terjadinya
dislipidemia pada pasien 1 adalah pola makan pasien yang ditunjukkan dalam
Tabel 4.8 Pola Nutrisi Metabolik yaitu pasien mengatakan menyukai makan
gorengan dan jeroan sehingga risiko mengalami dislipidemia pada pasien 1 akan
meningkat. Selain itu berdasarkan penjelasan pada Tabel 4.1 Identitas Pasien yang
50

menunjukkan bahwa pada laki-laki hormon estrogen yang membantu dalam peran
metabolisme lemak memiliki kadar lebih sedikit daripada wanita sehingga risiko
untuk terjadi dislipidemia pada pasien 1 semakin meningkat.
Riwayat penyakit pada pasien 2 yang terdapat pada tabel diatas adalah
riwayat hipertensi. Menurut American Heart Association (2016):
“... Heart failure, a condition where your heart is unable to provide
enough blood to the body, can take years to develop inside your
body. The narrowing and blocking of blood vessels caused by high
blood pressure (HBP or hypertension) increases your risk of
developing heart failure. High blood pressure adds to your heart’s
workload. Narrowed arteries that are less elastic make it more
difficult for the blood to travel smoothly and easily throughout your
body —[sic!] causing your heart to work harder. Over time, a higher
workload leads to an enlarged heart. In order to cope with increased
demands, the heart thickens and becomes larger. While it is still able
to pump blood, it becomes less efficient. The larger the heart
becomes, the harder it works to meet your body's demands for
oxygen and nutrients”.

Berdasarkan teori tersebut penulis beranggapan bahwa gagal jantung yang terjadi
pada pasien 2 terjadi akibat hipertensi, dan menurut penulis yang mendasari
terjadinya hipertensi pada pasien 2 adalah pola makan pasien yang menyukai
makan asin yang tunjukkan pada Tabel 4.8 Pola Nutrisi Metabolik. Menurut
Heart and Vascular Team (2017):
“A recent study suggests that eating a lot of salt every day doubles
your risk of heart failure ... In the study of more than 4,500 Finnish
adults, researchers found that those who ate more than 13.7 grams
of salt daily nearly doubled their risk of heart failure over a 12-year
follow-up period. An increase risk of developing heart failure was
observed in subjects who ate 6.8 grams or salt or greater”.

d) Riwayat Keluarga
Tabel 4.6 Riwayat Keluarga Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto
Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Riwayat Keluarga
Pasien 1 Pasien 2
Pasien mengatakan selain dirinya, kakak nomor 2 Pasien mengatakan dalam keluarga hanya dirinya
dan 3 dirinya (laki-laki) juga pernah mengalami yang mengalami penyakit seperti ini, namun
gejala yang sama seperti dirinya namun tidak kakaknya pernah juga mengalami darah tinggi
sampai dibawa ke rumah sakit. Untuk kedua orang seperti dirinya namun tidak sampai sesak dan
51

tuanya pasien mengatakan tidak pernah sakit bengkak-bengkak seperti dirinya.


apapun hingga meninggal.

Data tabel 4.6 menunjukkan pasien 1 memiliki saudara yang juga


mengalami gejala gagal jantung kongestif yang sesuai dengan teori sedangkan
pasien 2 tidak memiliki saudara yang memiliki gejala serupa sehingga
bertentangan dengan teori.
Kakak dari pasien 1 memiliki penyakit yang sama dengan pasien, yang
menurut asumsi penulis juga mengalami gagal jantung. Harvard Medical School
(2016) menyatakan bahwa, “It may not matter which parent was affected ... There
is some evidence that early maternal heart disease may carry a bit higher risk, but
for the most part ... and then siblings”. Pasien 2 tidak memiliki faktor keturunan
untuk terjadinya penyakit gagal jantung, tetapi riwayat keluarga dengan penyakit
hipertensi terdapat pada pasien 2. Hipertensi merupakan faktor pencetus
terjadinya gagal jantung kongestif. Selain faktor hipertensi, penulis beranggapan
bahwa yang mendasari terjadinya peningkatan risiko pasien 2 mengalami gagal
jantung kongestif yaitu pola hidup pasien 2 sebagaimana termuat dalam tabel 4.8
dan pasien 2 merupakan perokok aktif yang ditunjukkan pada tabel 4.7 sehingga
risiko pasien 2 mengalami penyakit gagal jantung semakin meningkat.

e) Pola Fungsi Kesehatan


(1) Pola Persepsi dan Tatalaksana Kesehatan
Tabel 4.7 Pola Persepsi dan Tatalaksana Kesehatan Partisipan CHF di Ruang
Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Pola Persepsi dan Tatalaksana Kesehatan


Pasien 1 Pasien 2
Pasien mengatakan bahwa 5 tahun yang lalu dirinya Pasien mengatakan dirinya adalah seorang perokok
adalah seorang perokok dan pekerja keras. Sejak 6 aktif, baru berhenti merokok sejak sakit 3 hari yang
bulan yang lalu pasien mengatakan sudah tahu lalu. Pasien tidak mengetahui tentang penyakitnya
mengenai penyakitnya yaitu gagal jantung, karena sebelumnya tidak pernah sakit seperti ini
sehingga pasien mengatakan jika mengalami sakit, sehingga pola makan sehari-hari pasien buruk
dirinya langsung pergi periksa ke RS ataupun seperti makan jeroan, dan makan yang asin.
puskesmas terdekat dengan BPJS, dan juga pasien
mengatakan rutin kontrol dan minum obat jantung.

Data tabel 4.7 menunjukkan bahwa pasien 2 sebelum sakit adalah perokok
aktif yang dapat meningkatkan risiko gagal jantung kongestif yang sesuai teori.
52

Menurut Aspiani (2014), “merokok merupakan faktor risiko dari gagal jantung
kongestif”. Hal ini terjadi karena kandungan nikotin dalam rokok akan
menyebabkan peningkatan pada tekanan darah. Steinbaum (2017) menyatakan,
“... The nicotine in smoke: Reduces how much oxygen your heart gets, Raises your
blood pressure, Speeds up your heart rate, Makes blood clots more likely, which
can lead to heart attacks or strokes, Harms the insides of your blood vessels,
including those in your heart ....”. Penulis beramsumsi bahwa pasien 1 dinyatakan
sudah bersih dari rokok karena sudah berhenti merokok sejak 5 tahun yang lalu
sehingga pasien 1 tidak memiliki risiko gagal jantung yang diakibatkan karena
merokok. Meskipun demikian kedua pasien menunjukkan perubahan positif pada
tatalaksana kesehatan ketika kedua pasien sakit yang ditunjukkan oleh kedua
pasien menyatakan berhenti merokok. Perubahan positif tersebut menjadikan
kedua pasien menunjukkan sikap yang kooperatif terhadap tatalaksana kesehatan
yang diberikan dan mengurangi risiko serangan jantung serta kegagalan jantung
yang lebih parah. Hal ini sesuai dengan teori National Heart, Lung, and Blood
Institute (2013) menyimpulkan bahwa:
“... Quitting smoking will benefit your heart and blood vessels. For
example: Among persons diagnosed with coronary heart disease,
quitting smoking greatly reduces the risk of recurrent heart attack
and cardiovascular death. In many studies, this reduction in risk
has been 50 percent or more. Heart disease risk associated with
smoking begins to decrease soon after you quit, and for many
people it continues to decrease over time ... quitting smoking can
lower your risk of heart disease ...”

(2) Pola Nutrisi Metabolik


Tabel 4.8 Pola Nutrisi Metabolik Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018
Pola Nutrisi Metabolik
Pasien 1 Pasien 2
Sebelum Sakit: Sebelum sakit:
Pasien mengatakan dirinya makan 3 kali dalam Pasien mengatakan dirinya makan 3 kali dalam
sehari, porsi sepiring penuh, dengan lauk terkadang sehari, porsi sepiring penuh, dengan lauk yang asin
ikan asin, jeroan, gorengan, dan jarang sekali dan suka yang pedas-pedas, selain itu karena
makan sayuran. Dengan minum air putih ataupun musim durian dan banyak durian didaerahnya,
teh 1 gelas dengan frekuensi kurang lebih 4x/hari. dirinya suka mengkonkumsi durian sehari sebelum
Pasien suka makanan asin sehingga masakan yang sakit dirinya menghabiskan durian buah sendirian.
dimakan oleh dirinya mayoritas banyak Dengan meminum kopi setiap hari dan jarang
mengandung garam. minum air putih, dengan frekuensi 3x/hari,
perkiraan ±500cc/hari.
53

Pola Nutrisi Metabolik


Pasien 1 Pasien 2
Sata Sakit:
Pasien mengatakan sejak mengalami mencret- Saat Sakit:
mencret dirinya mangalami penurunan nafsu Pasien mengatakan sejak mengalami sesak dan
makan, dirinya selalu makan porsi dari rumah bengkak-bengkak ini dirinya mengatakan tidak
namun dalam satu porsi 2-3 sendok yang masuk nafsu makan, tadi makan setengah porsi makanan
karena dirinya merasa perut seperti penuh dan tidak dari RS karena perut terasa penuh. Dan untuk
dapat masuk asupan makan lagi. Selain itu sesekali minumnya pasien mengatakan bahwa dirinya
pasien makan kue-kue yang dibawakan oleh minum sedikit air putih botol kecil bawa dari rumah
anaknya namun tetap hanya sedikit yang masuk ±50cc.
karena perutnya terasa penuh. Dan untuk minum
pasien mengatakan tidak ada masalah, minum
seperti biasanya yaitu air putih 3-4 x/hari.

Tabel 4.8 di atas menunjukkan bahwa kedua pasien mengalami anoreksia


dan mual. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aspiani (2014), “Pada pola nutrisi dan
metabolik akan terjadi hilang nafsu makan, mual, dan muntah”. Pada kedua pasien
juga menunjukkan gejala yang sama saat makan perut terasa penuh dan tidak
dapat makan lagi. Hal ini terjadi karena terjadi nyeri tekan abdominal yang
diperkuat dalam tabel 4.18 terdapat tanda hepatomegali yaitu pada palpasi terasa
tepi hati turun pada waktu pasien melakukan ekspirasi. European Society of
Cardiology (2017) menyimpulkan bahwa:
“With heart failure, you may experience a loss or change in appetite,
or feelings of nausea. Some people have a feeling of being full or
nauseous even if they have eaten very little. They may also
experience abdominal pain or tenderness. These symptoms are often
due to a build-up of fluid (congestion) around the liver and gut
(intestines) interfering with digestion ... this may be an indication
that your heart failure is getting worse ... Loss of appetite and
nausea are also common side effects of some medicines”.

Selain itu menurut teori lain dapat disebabkan kondisi sistem pencernaan dalam
kondisi kekurangan asupan darah dari jantung. American Heart Association
(2017) menyatakan bahwa, “... the digestive system receives less blood, causing
problems with digestion ....”
54

(3)Pola Eliminasi
Tabel 4.9 Pola Eliminasi Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto
Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Pola Eliminasi
Pasien 1 Pasien 2
Sebelum Sakit: Sebelum Sakit:
BAK: Pasien mengatakan saat di rumah dirinya BAK: pasien mengatakan saat di rumah dirinya
dapat buang air keicl dengan mandiri, ±6x/hari, buang air kecil ±3x/hari, warna kucing pekat, tidak
warna kuning, tidak pernah ada darah, ± pernah ada darah, 50cc/kencing, tidak pernah ada
10cc/kencing, tidak pernah ada keluhan sakit saat keluhan sakit saat kencing.
kencing. BAB: pasien mengatakan biasanya rutin BAB
BAB: pasien mengatakan biasanya rutin BAB ±1x/hari, dengan konsistensi padat berbentuk,
±1x/hari, dengan konsistensi padat berbentuk, warna kuning, tidak ada darah dan lendir.
warna kuning, tidak ada darah dan lendir.

Saat Sakit: Saat Sakit:


BAK: pasien mengatakan kencing lancar seperti BAK: istri pasien mengatakan tempat air
biasanya namun dirinya tidak tahu berapa kali kencingnya sudah dibuang sekitar satu jam yang
kencing sehari karena sekarang sudah memakai lalu (volume sekarang 500cc), dirinya merasakan
popok, tidak ada darah di popok, kencing di popok, geli pada daerah kemaluan karena adanya selang
total ±100cc/ popok. kencing, warna kuning pekat, tidak ada darah pada
selang.
BAB: pasien mengatakan selama di RS dirinya
mengalami mencret-mencret 5-6x/hari, dengan tinja BAB: pasien mengatakan selama di RS dirinya
warna hitam, ada ampasnya namun sekarang sudah BAB 1x, bentuknya padat keras, warna kuning
tidak mencret-mencret lagi. tidak hitam, sudah dirinya tahan sejak di IGD takut
selangnya lepas.

Tabel 4.9 diatas menunjukkan bahwa kedua pasien sesuai dengan teori
yang ditunjukkan dengan pasien 1 mengalami diare sedangkan pasien 2
mengalami konstipasi. Menurut Aspiani (2014), pada pola eliminasi akan terjadi
diare, dan konstipasi.
Terjadi perbedaan yang ditunjukkan oleh kedua pasien yaitu pasien 1
mengalami diare 5-6x/hari, dengan tinja warna hitam, ada ampas, dan dalam tabel
4.18 didapatkan data peristaltik usus 15x/menit. Hal ini terjadi karena pada
lamina propira usus mengalami kongesti. Vetstream (2018) menyimpulkan
bahwa, “Diarrhea due to congestive heart failure ... Cause: due to intestinal
mucosal congestion causing edema in lamina propria ....”
Sedangkan pasien 2 mengalami konstipasi, ditunjukkan dengan pasien 2
mengatakan selama 3 hari baru BAB 1x, berbentuk padat keras, warna kuning
tidak hitam diperkuat juga dalam tabel 4.18 didapatkan data peristaltik usus
3x/menit. Hal ini karena pada gagal jantung akan terjadi imobilitas, penurunan
55

intake cairan, terapi obat, kehilangan nafsu makan, dan penurunan perfusi darah
ke sistem pencernaan. Kerry (2015) menyimpulkan bahwa, “Constipation can be
a problem in people with heart failure due to the following: reduced fluid intake,
reduced mobility (e.g. walking and other physical activities), medications, loss of
appetite (and poor fibre intake), or reduced blood flow to the digestive tract2
[Sic!]”.
Pola eliminasi urine kedua pasien juga sesuai teori yaitu pasien 1
menunjukkan terjadinya penurunan volume urine dan urine yang pekat sedangkan
pasien 2 menunjukkan urine yang pekat namun tidak terjadi penuruanan volume
urine. Menurut Aspiani (2014): “pada pola eliminasi akan terjadi ... penurunan
volume urine, urine yang pekat, dan nokturia”. Penulis berasumsi perbedaan
tersebut terjadi karena pasien 1 mengalami diare sehingga volume cairan dalam
tubuh pasien 1 banyak dikeluarkan bersamaan dengan keluarnya feses cair pasien
1, sedangkan pada pasien 2 terjadi konstipasi sehingga volume cairan tubuh lebih
banyak dikeluarkan oleh tubuh melalui urine. Berdasarkan tabel 4.18 perbedaan
dosis furosemide yang diberikan juga dapat menjadikan perbedaan diuresis yang
dihasilkan pada kedua pasien.

(4) Pola Tidur dan Istirahat


Tabel 4.10 Pola Tidur dan Istirahat Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Pola Tidur dan Istirahat


Pasien 1 Pasien 2
Sebelum sakit: Sebelum sakit:
Pasien mengatakan saat di rumah dirinya tidak
Pasien mengatakan dirinya sebelum sakit
pernah tidur siang dan hanya tidur pada jarang tidur malam karena harus ronda
malam hari ±7-8 jam/hari dari pukul 20.00-
mulai jam 22.00 sampai jam 03.00 WIB.
04.00 WIB.
Di waktu siang dirinya bekerja mulai jam
Saat Sakit: 08.00-17.00, sehingga dirinya hanya tidur
Pasien mengatakan kesulitan tidur karena ±5 jam/hari.
seringkali setelah ke kamar mandi napas
menjadi sesak, perut kembung mengganggu Saat Sakit:
kualitas tidur sehinga tidur ±5-6 jam/malam. Pasien mengatakan di rumah dirinya tidak
Tidur siang juga terganggu karena sesak dan bisa tidur selama 2 hari karena merasakan
perut kembung tadi yang membuat dirinya sesak yaitu sejak hari sabtu, tanggal 17
kesulitan untuk tidur, sekitar ±1 jam/siang. Februari 2018. Dirinya hanya terlelap
sesakali dan jika di jumlah tidurnya hanya
56

±2 jam/hari namun itu juga tidak pernah


nyenyak sama sekali.
Tabel 4.10 diatas menunjukkan kedua pasien mengalami kurang istirahat
dan insomnia yang sesuai dengan teori. Menurut Aspiani (2014), “Pada pola
aktifitas dan istirahat akan terjadi kelelahan, insomnia, letargi, kurang istirahat
....” Penulis berasumsi bahwa yang menjadi penyebab kedua pasien mengalami
kurang istirahat dan insomnia adalah ada kaitannya dengan DNP yang terjadi pada
kedua. Berdasarkan tabel 4.16 yang menunjukkan data bahwa kedua pasien
terdapat ronkhi pada semua lapang paru dan tabel 4.17 menunjukkan data bahwa
pada hasil foto rontgen kedua pasien menunjukkan Congestive Paru sehingga
kedua pasien akan mengalami DNP. Fungsi jantung yang tidak memadai juga
dapat menyebabkan hipoksemia yang dimanifestasikan dengan DNP. DNP
mengakibatkan kedua pasien merasakan ketidaknyamanan sehingga menggangu
pola tidur kedua pasien. Hal ini sesuai dengan teori Hayes (2009) menyatakan
bahwa: “ ... Inadequate cardiac function may lead to hypoxemia ... sleep
disturbances negatively affect ....”
Terdapat perbedaan yang ditunjukkan oleh kedua pasien dalam segi
jumlah jam tidur. Berdasarkan penjelasan penulis dalam tabel 4.4. DNP pasien 1
akan cepat teratasi dan dapat menambah kenyamanan sehingga dapat menambah
jam tidur, namun hal tersebut tidak dapat terjadi pada pasien 2.

(5) Pola Aktivitas dan Kebersihan Diri


Tabel 4.11 Pola Aktivitas dan Kebersihan Diri Partisipan CHF di Ruang Melati
RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Pola Aktivitas dan Kebersihan Diri


Pasien 1 Pasien 2
Sebelum Sakit: Sebelum Sakit:
Pasien mengatakan saat dirinya di rumah dirinya Pasien mengatakan saat di rumah dirinya
beraktivitas ojek becak, keasawah sehingga beraktivitas keluar desa untuk mencari pohon
seharian penuh didedikasikan untuk bekerja pisang yang berbuah untuk dirinya jual lagi di pasar
sehingga istirahat hanya dilakukan pada malam klakah, dirinya bekerja mencari pohon pisang ke
hari. Pasien mengatakan dirinya mampu melakukan luar desa mulai jam 08.00-17.00 baru dirinya
aktivitas seperti mandi, berpakaian, kencing dan kembali ke rumah untuk istirahat, karena pada
berak, makan minum, dengan mandiri. malam harinya dirinya harus ronda di desanya yaitu
Tingkat ketergantung: mnimal. desa duren. Pasien mengatakan dirinya mampu
melakukan aktivitas seperti mandi, berpakaian,
kencing, dan berak, makan minum, dengan mandiri.
Tingkat ketergantungan: minimal.
57

Saat Sakit: Saat Sakit:


Pasien mengatakan saat sakit dirinya dalam Pasien mengatakan saat sakit dirinya tidak dapat
beraktivitas seperti mandi, kencing dan berak, serta melakukan aktivitas seperti biasanya, jangan untuk
berpakaian dirinya harus dibantu oleh anak dan aktivitas untuk gerak saja dirinya merasakan sesak.
saudaranya karena kesulitan tangan di infus juga Namun untuk aktivitas seperti mandi, dan berak,
karena sering kali jika aktivitas sendirian serta berpakaian dirinya harus dibantu oleh istri dan
menimbulkan sesak. anaknya karena kesulitan tangan di infus dan sering
Untuk makan pasien mengatakan dirinya mampu kali jika aktivitas sendirian menimbulkan sesak,
makan dan minum sendiri. selain itu dirinya takut selang kencingnya copot.
Tingkat ketergantungan: Sebagian

Tabel 4.11 diatas menunjukkan bahwa kedua pasien mengalami kelelahan


yang sesuai dengan teori. Menurut Aspiani (2014), “Pada pola aktifitas dan
istirahat adanya kelelahan ... kurang istirahat ... dispnea pada saat istirahat atau
saat beraktivitas”. Hal ini terjadi karena jantung tidak mampu untuk memompa
darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dari jaringan, sehingga tubuh
mengalihkan darah dari organ tidak vital menuju ke jantung dan otak. American
Heart Association (2017) menyimpulkan bahwa, “The heart can't pump enough
blood to meet the needs of body tissues. The body diverts blood away from less
vital organs, particularly muscles in the limbs, and sends it to the heart and
brain”.

(6) Pola Sensoris dan Pengetahuan


Tabel 4.12 Pola Sensoris dan Pengetahuan Partisipan CHF di Ruang Melati
RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Pola Sensoris dan Pengetahuan


Pasien 1 Pasien 2
Sebelum Sakit: Sebelum Sakit:
Pasien mengatakan saat di rumah dapat Pasien mengatakan saat di rumah dapat
berkomunikasi dengan baik, tidak ada kesulitan. berkomunikasi dengan baik, tidak ada kesulitan.
Kemampuan penginderaan seperti melihat, Kemampuan penginderaan seperti melihat,
mendengar, mencium, mengecap, serta meraba mendengar, mencium, mengecap, serta meraba
tidak ada masalah. tidak ada masalah.
Pengetahuan: pasien mengatakan bahwa dirinya Pengetahuan: pasien mengatakan tidak tahu
pernah sakit jantung mengenai penyakitnya, hanya mengetahui bahwa
dirinya mengalami darah tinggi.
Saat Sakit: Saat Sakit:
Pasien mengatakan saat sakit dirinya mengalami Pasien mengatakan saat sakit dirinya mengalami
masalah dalam mengecap makanan karena setiap masalah dalam mengecap makanan karena merasa
makan terasa pahit dan nyeri pada perut, namun makanan dari RS terasa hambar dan cenderung
untuk melihat, mendengar, mencium, serta meraba pahit, namun untuk melihat, mendengar, mencium,
masih tetap tidak ada masalah. serta meraba masih tetap tidak ada masalah.

Tabel 4.12 diatas menunjukkan kedua pasien mengalami gangguan pada


pola sensoris pengecapan yang sesuai dengan teori. European Society of
58

Cardiology (2017) menyimpulkan bahwa, “... Loss of appetite and nausea are
also common side effects of some medicines”. Hal tersebut diperkuat pada tabel
4.19 yang menunjukkan bahwa kedua pasien mendapatkan terapi injeksi
furosemide yang memiliki efek samping yaitu mulut kering dan kehilangan nafsu
makan. Cerner Multum (2018) menyimpulkan bahwa, “Along with its needed
effects furosemide may cause some unwanted effects. Although not all of these
side effects may occur ... dry mouth ... loss of appetite ....”

(7) Pola Interpersonal dan Peran


bel 4.13 Pola Interpersonal dan Peran Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Pola Interpersonal dan Peran


Pasien 1 Pasien 2
Sebelum Sakit: Sebelum Sakit:
Pasien mengatakan saat dirumah dirinya dapat Pasien mengatakan saat dirumah dirinya dapat
berhubungan sosial dengan tetangga rumahnya berhubungan sosial dengan tetangga rumahnya
dengan baik, masih saling menegur dan menyapa dengan baik, masih saling menegur dan menyapa
satu sama lain dengan baik. Namun dalam satu sama lain dengan baik. Namun dalam
melaksanakan perannya sebagai kepala keluarga melaksanakan perannya sebagai kepala keluarga
terganggu sejak dirinya sakit karena aktivitasnya terganggu sejak dirinya sakit karena aktivitasnya,
terbatasi, karena jika terlalu memaksakan maka karena untuk gerak napasnya sesak.
akan timbul sesak.
Saat Sakit: Saat Sakit:
Pasien mengatakan saat di RS dirinya masih tetap Pasien mengatakan saat di RS dirinya masih tetap
dapat berhubungan sosial dengan pasien lain dapat berhubungan sosial dengan pasien
sekamarnya yang ada 4 orang serta keluarga pasien sekamarnya yang kebetulan sama-sama orang
lain namun berkurang karena sesak yang madura dengan dirinya, namun pasien mengakui
dialaminya sehingga hanya sesekali berbincang bahwa hanya berbincang sesekali karena masih
ketika sesak sedang berkurang. terasa sesak.
Perannya dalam keluarga sebagai kepala keluarga Perannya dalam keluarga sebagai kepala keluarga
sementara digantikan oleh anaknya yang paling sementara digantikan oleh anaknya yang kedua,
tua. karena yang pertama sedang berada di penjara
tersangkut kasus narkoba (sabu).

Tabel 4.13 diatas menunjukkan kedua pasien mengalami penurunan


aktivitas sosial yang sesuai dengan teori. Menurut Aspiani (2014), “Pada pola
hubungan interpersonal dan peran akan terjadi aktivitas sosial berkurang”.
Aktivitas sosial kedua pasien berkurang karena kedua pasien fokus terhadap
dirinya sendiri karena mengalami dispnea dan kelelahan sehingga kedua pasien
malas untuk berbincang seperti saat sehat dengan orang lain hal tersebut diperkuat
dalam tabel 4.3 yang menyebutkan bahwa kedua pasien mengalami dispnea dan
tabel 4.11 yang menyebutkan bahwa kedua pasien mengalami kelelahan.
59

(8) Pola Persepsi dan Konsep Diri


Tabel 4.14 Pola Persepsi dan Konsep Diri Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD
Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Pola Persepsi dan Konsep Diri


Pasien 1 Pasien 2
- Gambaran diri: - Gambaran diri:
Pasien mengatakan dirinya berusaha untuk Pasien mengatakan dirinya berusaha untuk
mengurangi penyakitnya menjadi parah seperti mengurangi penyakitnya menjadi parah seperti
berhenti merokok, mengurangi makan yang asin- berhenti merokok dan minum kopi, mengurangi
asin, dan membatasi aktivitasnya, karena takut makan yang asin-asin, dan membatasi
kenapa-kenapa nantinya. aktivitasnya, karena takut kenapa-kenapa
nantinya.
- Harga Diri: - Harga Diri:
Pasien mengatakan dirinya tidak malu dengan Pasien mengatakan dirinya tidak malu dengan
penyakitnya. penyakitnya.
- Peran: - Peran:
Pasien mengatakan dirinya adalah kepala Pasien mengatakan dirinya adalah kepala
keluarga dengan 2 anak dalam serumah. keluarga dengan 2 anak. Perannya mulai
Perannya mulai terganggu sejak sakit yang terganggu sejak sakit yang dialami, karena
dialami, karena dirinya sudah tidak dirinya sudah tidak memungkinkan untuk bekerja
memungkinkan untuk bekerja lagi. lagi.
- Identitas: - Identitas:
Pasien mengatakan dirinya adalah kepala Pasien mengatakan dirinya adalah kepala
keluarga dan seorang ayah untuk anak-anaknya. keluarga dan seorang ayah untuk anak-anaknya.
- Ideal Diri: - Ideal Diri:
Pasien mengatakan bahwa dirinya ingin Pasien mengatakan bahwa dirinya ingin
penyakitnya tidak menjadi parah. penyakitnya segera sembuh.

Tabel 4.14 diatas menunjukkan bahwa kedua pasien mengalami


kecemasan yang sesuai dengan teori. Menurut Aspiani (2014) “pada pola persepsi
dan konsep diri akan menunjukkan gejala cemas, ketakutan, gelisah, marah, dan
peka. Stres berhubungan dengan penyakitnya, sosial, dan finansial”. Hal ini
terjadi karena kedua pasien takut akan prognosis buruk dari penyakitnya setelah
mengetahui bahwa kedua pasien telah didiagnosis gagal jantung kongestif oleh
dokter. Harvard Medical School (2017) menyimpulkan bahwa:
“... About 5% of adult in the general population meet the criteria for
generalized anxiety disorder. But the incidence is higher among
people diagnosed with coronary artery disease (11%) or with heart
failure (13%) ... it’s not completely clear whether anxiety triggers
heart disease or vice versa ... Of course, being diagnosed with heart
disease is also likely to boost your baseline anxiety level ....”
60

(9) Pola Fungsi Kesehatan Lain


Tabel 4.15 Pola Fungsi Kesehatan Lain Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD
Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Pola Fungsi Kesehatan Pasien 1 Pasien 2


Pola Reproduksi dan Pasien mengatakan tidak melakukan Pasien mengatakan tidak melakukan
Seksual aktivitas seksual dikarenakan istrinya aktivitas seksual dikarenakan
sudah meninggal, dan pasien umurnya yang sudah tua, takut
mengatakan dirinya hanya berfokus mempunyai anak lagi.
pada penyakitnya.

Pola Penanggulangan Sebelum Sakit: Sebelum Sakit:


Stres Anak pasien mengatakan bahwa saat di Istri pasien mengatakan bahwa pasien
rumah pasien sebelum sakit ketika ada sejak kejadian penangkapan anak
masalah kecil tidak pernah cerita pertamanya oleh polisi karena
namun ketika menghadapi masalah tersangkut kasus narkoba (sabu),
besar pasien terkadang cerita terhadap pasien sering merasa sedih karena
anggota keluarga. rindu dengan anaknya tersebut.
Namun pasien tidak pernah cerita
apapun kepada dirinya.
Saat Sakit: Saat Sakit:
Anak pasien mengatakan pasien Istri pasien mengatakan bahwa
selama di RS sering membicarakan pasien sempat menangis karena rindu
masalah yang dihadapi pasien. Pasien dengan cucunya yang mana dia
mengatakan bahwa dirinya tidak enak adalah anak dari anak pasien pertama
selalu merepotkan keluarga dengan yang masuk penjara. Namun disini
sakitnya yang dihadapi. pasien mengungkapkan rasa rindunya
kepada dirinya.

Pola Tata Nilai dan Sebelum Sakit: Sebelum Sakit:


Kepercayaan Pasien mengatakan saat dirumah Pasien mengatakan saat di rumah
dirinya biasanya sholat lima waktu. dirinya biasanya sholat lima waktu
rutin.
Saat Sakit:
Pasien mengatakan selama di RS Saat Sakit:
dirinya tidak mampu melakukan Pasien mengatakan selama di RS
sholat karena dirinya beranggapan dirinya tidak mampu melakukan
bahwa badannya najis karena selain sholat karena dirinya diinfus, tidak
pakai popok juga baju tidak pernah memakai baju, serta kemaluannya
ganti, selain itu dirinya beranggapan yang dikasih selang kencing takut
bahwa dirinya takut tidak mampu lepas.
melaksanakan sholat (jika
dipaksakan) dengan sempurna.

Pada tabel 4.15 menunjukkan bahwa pada kedua pasien telah sesuai
dengan teori yaitu tidak terdapat perubahan pada pola reproduksi seksual,
penanggulangan stres, serta pola tata nilai dan kepercayaan.
61

2) Pemeriksaan Fisik
Tabel 4.16 Pemeriksaan Fisik Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Pemeriksaan Fisik Pasien 1 Pasien 2


Keadaan Umum Pasien Kesadaran Compos Mentis, GCS Kesadaran Compos Mentis, GCS
E4V5M6 E4V5M6
Terpasang infus pada tangan kanan Terpasang infus pada tangan kanan
dengan cairan Futrolit 500cc. dengan cairan RL 1500cc.
Terpasang masker oksigen 6 lpm Terpasang Selang DC dengan 500cc
Pasien tampak lemah urine.
Terpasang masker oksigen 8 lpm.
Pasien tampak lemah.
Tanda-Tanda Vital HR: 110 x/menit (Reguler, +2). HR: 102 x/menit (Reguler, +3).
S: 36,7 oC (Aksilla) S: 36,4 oC (Aksilla)
TD: 120/70 mmHg TD: 170/130 mmHg
RR: 24 x/menit RR: 30 x/menit
Spo2: 97% Spo2: 97%
TB/BB: 160 cm/45 kg TB/BB: 165 cm//50 kg
Pemeriksaan Fisik Kepala: simetris, tidak ada lesi Kepala: simetris, tidak ada lesi
(Kepala, Rambut, Rambut: ramput pendek, beruban. Rambut: ramput pendek, masih
Wajah) Wajah: tidak terdapat lesi, tampak hitamm tidak beruban.
meringis Wajah: tidak terdapat lesi, tampak
meringis

Sistem penglihatan Konjungtiva tidak anemis, sklera Konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterus, pupil isokor, pelpebra tidak ikterus, pupil isokor, pelpebra
tampak lebih hitam. tampak lebih hitam.

Wicara dan Telinga - Wicara: pasien tidak mengalami - Wicara: pasien tidak mengalami
Hidung Tenggorokan kesulitan berbicara kesulitan berbicara walaupun
- THT: distensi vena jugular terlihat, beberapa kali memakai O2 masker
Tonsil T1/T1, tidak ditemukan deviasi - THT: terlihat distensi vena jugular,
trakhea. Tonsil T1/T1, tidak ditemukan deviasi
trakhea.
Sistem Pencernaan - I: Mulut dan gigi bersih, lidah bersih, - I: Mulut dan gigi kotor, lidah kotor,
bibir lebab abdomen tegang (keras) bibir kering abdomen tegang (keras)
- P: Ditemukan hepatomegali, abdomen - P: Ditemukan hepatomegali, abdomen
keras (asites) keras (asites)
4 3
Nyeri tekan + - Nyeri tekan + -
- - - -
- P: Redup - P: Redup
-A: BU terdengar, BU: 15x/ menit. - A: BU terdengar, BU: 3x/ menit
Sistem Pernapasan - I: bentuk dada normochest, tidak ada - I: bentuk dada normochest, tidak ada
lesi, fase inspirasi memanjang, lesi, terlihat ada peningkatan usaha
terlihat ada peningkatan usaha penggunaan otot bantu napas yaitu
penggunaan otot bantu napas dengan retraksi fosa supraklafikularis, duduk
meninggikan kepala dengan bantal posisi tripod, posisi pasien high
tumpuk 2, retraksi fosa fowler.
supraklafikularis, melebarkan
hidung, tidur posisi semi fowler. -P: taktil fremitus kiri lebih terasa dari
kanan, pada bagian kiri makin
-P: tidak dilakukan taktil fremitus. kebawah makin kuat, pada bagian
kanan makin kebawah makin redup
-P : Sonor dilapang paru kanan redup getaranya
pada ICS 2 dextra, redup pada paru
kiri (ICS 1 s/d ICS 2 bunyi Sonor, -P : Sonor dilapang paru kanan redup
62

Pemeriksaan Fisik Pasien 1 Pasien 2


ICS 3 median s/d ICS 6 bunyi redup) pada ICS 2 dextra, redup pada paru
kiri (ICS 1 s/d ICS 2 bunyi Sonor,
ICS 3 median s/d ICS 6 bunyi redup)
-A: Wheezing tidak ada
-A: Wheezing tidak ada
Ronkhi + +
+ + +
+ + Ronkhi +
+ +
Sistem Kardiovaskular -I: Ictus Cordis terlihat di ICS 6 MCL -I: Ictus Cordis terlihat di ICS 6 MCL
Sinistra, Thrill tidak terlihat, JVP Sinistra, Thrill tidak terlihat, JVP
terlihat terlihat
-P: Ictus Cordis teraba pada ICS 6 -P: Ictus Cordis teraba pada ICS 6
MCL Sinitra, Thrill tidak teraba MCL Sinitra, Thrill tidak teraba
-P: -P:
Batas Atas Kanan: ICS 2 Batas Atas Kanan: ICS 2
Parasternalis Dextra Parasternalis Dextra
Batas Atas Kiri: ICS 2 Parasternalis Batas Atas Kiri: ICS 2 Parasternalis
Sinistra Sinistra
Batas Bawah: ICS 6 MCL Sinistra 6 Batas Bawah: ICS 6 MCL Sinistra 6
cm ke Medial cm ke Medial
-A: -A:
A: Gallop S3, tidak ada murmur A: Gallop S3, tidak ada murmur
P: Gallop S3, tidak ada murmur P: Gallop S3, tidak ada murmur
T: Gallop S3, tidak ada murmur T: Gallop S3, tidak ada murmur
M: Gallop S3, tidak ada murmur M: Gallop S3, tidak ada murmur
.
Sistem Persarafan GCS: 456 GCS: 456
Orientasi: Waktu dan tempat baik Orientasi: Waktu dan tempat cukup
ditandai pasien dapat menyebutkan baik ditandai pasien dapat
nama hari saat pengkajian dan pasien menyebutkan jika dibawa ke RS
mengetahui jika dibawa ke RS Memori:berfungsi dengan baik,
Memori:berfungsi dengan baik, pasien dapat mengingat tentang
pasien dapat mengingat tentang kronologis penyakitnya sejak 1
kronologis penyakitnya sejak 2 tahun minggu lalu dengan cukup baik.
lalu dengan baik. Nervus Cranialis I-XII:
Nervus Cranialis I-XII: Berfungsi dengan baik tidak ada
Berfungsi dengan baik tidak ada gangguan.
gangguan.

Sistem Endokrin Tidak ditemukan pembesaran kelenjar Tidak ditemukan pembesaran kelenjar
tyroid, tidak ditemukan palpitasi dan tyroid, tidak ditemukan palpitasi dan
exolthalmus. exolthalmus.

Sistem Genitourinari Tidak ada nyeri tekan suprapubic, Tidak ada nyeri tekan suprapubic,
tidak dilakukan pengkajain genetalia. tidak dilakukan pengkajain genetalia.

Sistem Muskoskeletal Pasien tidak mengalami perubahan Pasien tidak mengalami perubahan
bentuk tulang. Kekuatan otot +4, bentuk tulang. Kekuatan otot +4,
+4/+4, +4 +4/+4, +4

Edema
- +3 Edema - +3
3 + +4 4 + +4

Sistem Integumen Warna kulit coklat, Warna kulit coklat,

Palpasi: turgor kulit buruk, akral Palpasi: turgor kulit buruk, akral
hangat, kering, merah, tidak ada nyeri hangat, kering, merah, tidak ada nyeri
tekan, tidak ditemukan clubbing tekan, tidak ditemukan clubbing
fingers. fingers.
63

Pemeriksaan Fisik Pasien 1 Pasien 2


Edema Edema
- +3 - +3
3 + +4 4 + +4

Tabel 4.16 di atas menunjukkan keadaan umum kedua pasien


composmentis yang sesuai dengan teori. Muttaqin (2012) menyimpulkan bahwa,
“pada pemeriksaan keadaan umum pasien gagal jantung biasanya didapatkan
kesadaran yang baik atau compos mentis dan akan berubah sesuai tingkat
gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf pusat”.
Pemeriksaan B1 (Breathing) menunjukkan kedua pasien mengalami tanda
kongesti vaskular pulmonal seperti dispnea, orthopnea, dan dispnea nokturnal
paroksismal yang ditemukan pada pemeriksaan inspeksi, palpasi, dan perkusi
serta diperkuat dengan ditemukannya ronkhi pada semua lobus paru pada
pemeriksaan auskultasi. Hal tersebut juga termuat dalam tabel 4.3 yang
menunjukkan bahwa keluhan utama kedua pasien adalah dispnea. Muttaqin
(2012) menyatakan bahwa, “Pengkajian yang didapat dengan adanya tanda
kongesti vaskular pulmonal adalah dispnea, ortopnea, dispnea nokturnal
paroksimal, batuk, dan edema pulmonal akut. Crakles atau ronki basah halus
secara umum terdengar pada dasar posterior paru. Hal ini dikenali sebagai bukti
gagal ventrikel kiri ....”
Pemeriksaan B2 (Blood) Inspeksi menunjukkan kedua pasien mengalami
kelemahan, dan penuruanan kekuatan otot. Hal ini juga diperkuat dengan data
pada tabel 4.11 yang menunjukkan bahwa kedua pasien mengalami kelelahan.
Kedua pasien juga menunjukkan adanya edema ekstremitas dengan perbedaan
derajad pada kaki kanan kedua pasien yaitu pasien 1 derajad 3 dan pasien 2
derajad 4. Muttaqin (2012) menyatakan bahwa, “Pasien dapat mengeluh lemah,
mudah lelah, apatis, letargi, kesulitan, berkonsentrasi, defisit memori, dan
penurunan toleransi latihan. Gejala lain yaitu distensi vena jugularis, edema
ekstremitas, asites”. Hasil palpasi pemeriksaan B2 menunjukkan denyut arteri
kedua pasien cepat dan lemah, dengan perbedaan pasien 1: 110 x/menit (reguler
+2) dan pasien 2: 102 x/menit (reguler +3). Muttaqin (2012) menyatakan bahwa:
64

“Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung menunjukkan denyut yang cepat
dan lemah. Denyut jantung yang cepat atau takikardia, mencerminkan respons
terhadap perangsangan saraf simpatis ....”. Hasil auskultasi pemeriksaan B2
menunjukkan kedua pasien hipotensi (pasien 1), dan gallop S3. Muttaqin (2012)
menyatakan:
“Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan isi sekuncup.
Tanda fisik yang berkaitan dengan kegagalan ventrikel kiri dapat
dikenali dengan mudah di bagian yang meliputi: bunyi jantung
ketiga dan keempat (S3, S4) ... S3 atau gallop ventrikel adalah tanda
penting dari gagal ventrikel kiri dan pada orang dewasa hampir tidak
pernah ada pada adanya penyakit jantung signifikan. Kebanyakan
dokter akan setuju bahwa tindakan terhadap gagal kongestif
diindikasikan dengan adanya tanda ini. S3 terdengar pada awal
diastolik setelah bunyi jantung kedua (S2), dan berkaitan dengan
periode pengisian ventrikel pasif yang cepat. Ini juga dapat didengar
baik dengan bel stetoskop yang dilakukan tepat di apeks, dengan
pasien pada posisi lateral kiri dan pada akhir ekspirasi...”
Pasien 2 menunjukkan peningkatan tekanan darah yang berbeda dengan teori
diatas. Hal ini terjadi karena berdasarkan pembahasan tabel 4.5 yaitu hipertensi
dapat mengakibatkan gagal jantung, dan diagnosis CHF pasien 2 tergolong baru,
sehingga riwayat pasien 2 yang memiliki hipertensi masih ada walau sudah
terdiagnosa gagal jantung. Hasil perkusi pemeriksaan B2 menunjukkan kedua
pasien mengalami pergerseran batas jantung yang ditunjang dengan data tabel
4.17 yang menunjukkan kedua pasien mengalami cardiomegali. Muttaqin (2012)
menyatakan bahwa, ”Batas jantung ada pergeseran yang menandakan adanya
hipertrofi jantung (kardiomegali)” .
Pemeriksaan B3 (Brain) menunjukkan kedua pasien mengalami kesadaran
composmentis, dan wajah tampak meringis yang sesuai dengan teori. Muttaqin
(2012) menyatakan bawha, “Kesadaran biasanya compos mentis, didapatkan
sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pengkajian objektif
pasien: wajah meringis, menangis, merintih, meregang, dan menggeliat”.
Pemeriksaan B4 (Bladder) menunjukkan kedua pasien mengalami edema
esktremitas yang sesuai teori. Muttaqin (2012) menyatakan ”... Adanya edema
ekstermitas menandakan adanya retensi cairan yang parah”. Derajad edema kedua
pasien berbeda. Pasien 1 mengalami edema ekstremitas bawah dextra 3+ dan
65

sisnitra 4+ sedangkan pasien 2 mengalami edema ekstremitas bawah dextra 4+


dan sinistra 4+. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat resistensi cairan pada
pasien 2 lebih parah daripada pasien 1.
Pemeriksaan B5 (Bowel) menunjukkan kedua pasien mengalami
hepatomegali dan nyeri tekan kuadran kanan atas. Muttaqin (2012) menyatakan
”...terjadi hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi
akibat pembesaran vena di hepar merupakan manifestasi dari kegagalan jantung”.
Pemeriksaan B6 (Bone) menunjukkan kedua pasien mengalami kulit
dingin dan mudah lelah yang sesuai dengan teori. Muttaqin (2012) menyatakan,
“... kulit yang pucat dan dingin diakibatkan oleh vasokonstriksi perifer,
vasokonstriksi kulit menghambat kemampuan tubuh untuk melepaskan panas...
mudah lelah terjadi akibat curah jantung yang kurang, sehingga menghambat
jaringan dan sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa
hasil katabolisme.”

3) Hasil Pemeriksaan Diagnostik


Tabel 4.17 Pemeriksaan Diagnostik Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Pemeriksaan Pasien 1 Pasien 2


Pemeriksaan Laboratorium Na: 149 mMol//l BUN: 36,38
Hb: 10,5 g/dL Serum Creatinin: 2,38
Hct: 32% Hb: 12,8g/dL
Hct: 37%
Pemeriksaan lain
1) EKG 1) Tidak dilakukan pengkajian 1) Infark (T Inversi) Lateral
menggunakan EKG dengan Sinus Rhytm
2) Foto Dada 2) Cardiomegali (CTR 67%) + 2) Cardiomegali (CTR 68%)
Congestive Paru + Congestive Paru

Tabel 4.17 diatas menunjukkan kedua pasien mengalami hipernatremia


dan penurunan fungsi ginjal pada pemeriksaan laboratorium dan pada
pemeriksaan lain yaitu EKG terjadi Infark/iskemik pasien 2 serta Rontgen terjadi
cardiomegali + congestive paru yang sesuai dengan teori. Siswanto, et al. (2015)
menyimpulkan bahwa:
“... gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang
dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang
belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia
dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai pada pasien ... Rontgen
66

toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura


dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan
atau memerberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan
pada gagal jantung akut dan kronik”.

Selain itu Loscalzo (2015) menyatakan bahwa pada pasien dapat ditemukan
kelainan primer jantung (iskemik, hipertrofi ventrikel, gangguan irama) dan
tanda-tanda faktor pencetus akut (infark miokard, emboli paru).

4) Program dan Rencana Pengobatan


Tabel 4.18 Program dan Rencana Pengobatan Partisipan CHF di Ruang Melati
RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan Februari 2018
Pasien 1 Pasien 2
Futrolit 500 cc/jam NS lifeline
Ranitidin 2x 50 mg Furosemide 3x 20 mg
Ondansentron 2x 4 mg Ranitidin 2x 50 mg
Antrain 2x 1 gr Ondansentron 2x 4 mg
Furosemide 10 mg – 10 mg - 0
Tabel 4.18 diatas menunjukkan bahwa terapi farmakologis pada kedua
pasien berbeda. Pasien 1 mendapatkan terapi antrain sedangkan pasien 2 tidak
mendapatkan terapi antrain. Penulis berasumsi berdasarkan tabel 4.4 pasien
mengalami trauma pada daerah dada kanan dan perut kanan yang mengakibatkan
pasien 1 mengeluhkan nyeri, sedangkan pada pasien 2 tidak mengeluhkan nyeri.
Antrain sebagai analgesik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri tersebut.
Pasien 2 mendapatkan dosis furosemide 3x20 mg sedangkan pada pasien 1 hanya
mendapatkan dosis furosemide 2x10 mg. Penulis beramsumsi bahwa perbedaan
dosis tersebut terjadi karena berdasarkan tabel 4.16 pada pasien 2 memiliki
hipertensi sedangkan pada pasien 1 memiliki tekanan darah normal dan cenderung
dibawah normal sehingga pemberian dosis furosemide 3x20 mg pada pasien 1
akan mengakibatkan kondisi hipotensi pada pasien 1, karena fungsi furosemide
selain mengurangi edema juga akan menurunkan tekanan darah sehingga dosis
furosemide pada kedua pasien berbeda. Selain itu, derajad oedem pada pasien 2
juga lebih berat dibanding pasien 1.
67

b. Analisa Data
Tabel 4.19 Analisa Data Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto
Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Analisis Pasien 1 Pasien 2


Data Data Subyektif: Data Subyektif:
Pasien mengatakan sesak ngongsrong Pasien mengatakan saat masuk RS dirinya
setelah ke kamar mandi, setelah makan mengalami sesak sejak dua hari yang lalu,
sedikit langsung sesak juga. dibuat untuk jalan napas ngongsrong.
Data Obyektif: Data Obyektif:
1. RR 24x/menit 1. RR 30x/menit
2. TD: 120/70 mmHg 2. TD: 170/130 mmHg
3. Gallop S3 3. Gallop S3
+ + + +
4. Ronkhi + 4. Ronkhi +
+ +
+ +
5. Terdapat distensi vena jugularis 5. Terdapat distensi vena jugularis
6. Hepatomegali (Nyeri tekan) 6. Hepatomegali (Nyeri tekan)
7. Ansietas 7. Ansietas
8. Cardiomegali 8. Cardiomegali
9. Congestive paru 9. Congestive paru
10. Hipernatremia 10. Penurunan Hb (12,8g/dL)
11. Penurunan Hb (10,5g/dL) 11. Penurunan Ht (37%)
12. Penuruanan Ht (32%) - +3
13. Edema - 3 12. Edema
+ 4 + +4
3+ +4

Ka Ki Ka Ki

Etiologi Gagal Jantung Gagal Jantung


Problem Kelebihan Volume Cairan Kelebihan Volume Cairan

Tabel 4.19 diatas menunjukkan dari 26 batasan karakteristik menurut


NANDA terdapat 13 batasan karakteristik yang muncul pada pasien 1 dan 12
batasan karakteristik yang muncul pada pasien 2. 13 batasan karakteristrik
menurut NANDA yang tidak muncul pada kedua pasien yaitu anasarka, asupan
melebihi haluaran, azotemia, efusi pleura, oliguria, penambahan berat badan,
tekanan vena sentral, perubahan berat jenis urine, perubahan status mental, dan
refleks hepatojugular. Hal ini disebabkan keterbatasan tindakan pemeriksaan
yang dilakukan kepada pasien seperti tekanan vena sentral, berat jenis urine,
refleks hepatojugular, dan efusi pleura yang tidak ditemukan pada hasil
68

pemeriksaan radiologi. Anasarka, penambahan berat badan, dan azotemia pada


pengkajian penulis tidak menemukan pada kedua pasien.

Tabel 4.20 Analisis data lain yang muncul

Analisis Pasien 1 Pasien 2


Data Data Subyektif: Data Subyektif:
Pasien juga mengatakan sesak terkadang Pasien mengatakan karena sesaknya dirinya
datang disaat malam atau tidur. sampai tidak bisa tidur selama 2 hari
Data Obyektif: dirumah.
1. RR: 24 x/menit Data Obyektif:
2. Terpasang masker oksigen 6 lpm 1. RR: 30x/menit
3. Otot bantu napas (retraksi fosa 2. Terpasang masker oksigen 8 lpm.
supraklafikularis) 3. Otot bantu napas (retraksi fosa
4. Posisi Semifowler supraklafikularis)
5. Tidak ada cuping hidung 4. Posisi Highfowler
+ + +
6. Ronkhi + 5. Ronkhi + +
+ + + +

7. Congestive paru 6. Congestive paru

Etiologi Hiperventilasi Hiperventilasi


Problem Ketidakefektikan Pola Napas Ketidakefektikan Pola Napas
Data Data Subyektif: Data Subyektif:
P: Pasien mengatakan mengalami nyeri Pasien mengatakan tidak mengetahui
karena terbentur benda tumpul tentang penyakitnya karena sebelumnya
Q: tertusuk-tusuk tidak pernah sakit seperti ini sehingga pola
R: Pada daerah dada kanan dan perut kanan makan sehari-hari pasien buruk seperti
S: Skala 3-4 kozier makan jeroan, dan makan yang asin
T: Terus menerus. Data Obyektif:
Data Obyektif: Pendidikan SD
Wajah tampak menyeringai
Tanda-tanda vital:
1. HR: 110 x/menit
2. TD: 120/70 mmHg
3. RR: 24 x/menit
4. Spo2: 97%
5. TB/BB: 160 cm/45 kg
Terdapat diaforesis.
Etiologi Agens cidera fisik (trauma benda Kurang informasi
tumpul/pintu)
Problem Nyeri akut Defisiensi pengetahuan

4.2.2 Daftar dan Prioritas Diagnosa Keperawatan


Tabel 4.21 Daftar dan Prioritas Diagnosa Keperawatan Masalah Kerusakan
Integritas Kulit Partisipan CHF di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto
Lumajang Pada Bulan Februari 2018

Pasien Diagnosa Keperawatan


1 1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gagal jantung yang ditandai dengan
suara gallop s3, dispnea, peningkatan rr, ronkhi (+ semua lapang paru) peningkatan
JVP, hepatomegali, nyeri tekan, ansietas, cardiomegali, congestive paru,
hipernatremia, penurunan Hb, penurunan hematokrit, edema (atas -/+3, bawah
+3/+4).
69

2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi yang ditandai


dengan peningkatan rr, terpasang masker oksigen 6 lpm, retraksi fosa
supraklafikularis, posisi semifowler, ronkhi (+ semua lapang paru), dan congestive
paru.
3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cidera fisik (trauma benda tumpul/pintu) yang
ditandai dengan keluhan nyeri, kualitas seperti tertusuk-tusuk, pada daerah trauma
(dada kanan dan perut kanan), skala 3-4 kozier, dengan waktu nyeri terus-menerus,
wajah tampak menyeringai, dan terdapat diaforesis.
2 1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gagal jantung yang ditandai dengan
dispnea, peningkatan rr, peningkatan tekanan darah, gallop s3, ronkhi (+ pada semua
lapang paru), peningkatan JVP, hepatomegali, ansietas, cardiomegali, congestive
paru, penurunan Hb, penurunan hematokrit, edema (atas -/+3, bawah +4/+4).
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi yang ditandai
dengan dispnea, peningkatan rr, terpasang masker oksigen 8 lpm, retraksi fosa
supraklafikularis, posisi highfowler, ronkhi (+ pada semua lapang paru), dan
congestive paru.
3. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi yang ditandai dengan
pernyataan ketidaktahuan dari pasien, perilaku yang tidak tepat (makan jeroan,
makan yang asin), dan pendidikan SD.

4.2.3 Intervensi Keperawatan Masalah Kelebihan Volume Cairan


Tabel 4.22 Intervensi Keperawatan Masalah Kerusakan Integritas Kulit Partisipan
CHF di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Pada Bulan
Februari 2018

Pasien 1 Pasien 2
Tanggal 14 Februari 2018 Tanggal 19 Februari 2018
Tujuan: Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan pasien menunjukkan 3x24 jam diharapkan pasien menunjukkan
penurunan keparahan cairan berlebihan penurunan keparahan cairan berlebihan

Kriteria Hasil: Kriteria Hasil:


a. Edema pergelangan kaki (derajad 1-tidak a. Edema pergelangan kaki (derajad 1-tidak
ada). ada).
b. Edema Kaki (derajad 1-tidak ada). b. Edema Kaki (derajad 1-tidak ada).
c. Kongesti Vena/JVP tidak terlihat. c. Kongesti Vena/JVP tidak terlihat
d. DNP (tidak ada) d. DNP (tidak ada)
e. Ronkhi (tidak ada). e. Ronkhi (tidak ada).
f. Malaise (sedang-ringan). f. Malaise (sedang-ringan).
g. Peningkatan tekanan darah (tidak ada). g. Peningkatan tekanan darah (tidak ada).
h. Penurunan urin output (tidak ada). h. Penurunan urin output (tidak ada).
Intervensi Intervensi
1. Manajemen Hipervolemia (4170) 1. Manajemen Hipervolemia (4170)
a. Diagnostik a. Diagnostik
1) Timbang berat badan tiap hari 1) Timbang berat badan tiap hari
dengan waktu yang tetap/sama dengan waktu yang tetap/sama
(misalnya, setelah buang air kecil, (misalnya, setelah buang air kecil,
sebelum sarapan) dan monitor sebelum sarapan) dan monitor
kecendrungannya kecendrungannya
2) Monitor status hemodinamik (Nadi, 2) Monitor status hemodinamik (Nadi,
Tekanan darah) Tekanan darah)
3) Monitor pola pernapasan (cemas, 3) Monitor pola pernapasan (cemas,
orthopnea, dyspnea, takipnea, batuk, orthopnea, dyspnea, takipnea, batuk,
dan nafas pendek) dan nafas pendek)
4) Monitor suara paru abnormal 4) Monitor suara paru abnormal
5) Monitor suara jantung abnormal 5) Monitor suara jantung abnormal
70

Pasien 1 Pasien 2
Tanggal 14 Februari 2018 Tanggal 19 Februari 2018
6) Monitor distensi vena jugularis 6) Monitor distensi vena jugularis
7) Monitor edema perifer 7) Monitor edema perifer
8) Monitor intake dan ouput 8) Monitor intake dan ouput
9) Monitor integritas kulit (misalnya, 9) Monitor integritas kulit (misalnya,
mencegah gesekan, hindari mencegah gesekan, hindari
kelembaban yang berlebihan, dan kelembaban yang berlebihan, dan
berikan nutrisi adekuat) pada pasien berikan nutrisi adekuat) pada pasien
yang mengalami imobilisas dengan yang mengalami imobilisas dengan
edema dependent, sesuai kebutuhan edema dependent, sesuai kebutuhan
b. Terapeutik b. Terapeutik
1) Berikan infus IV (Futrolit 500cc) 1) Berikan infus IV (lifeline) secara
secara perlahan untuk mencegah perlahan untuk mencegah
peningkatan preload yang cepat peningkatan preload yang cepat
2) Batasi asupan natrium 2) Batasi asupan natrium
3) Lakukan tindakan Contrast Bath 3) Lakukan tindakan Contrast Bath
c. Edukatif c. Edukatif
1) Ajarkan pasien tentang penyebab 1) Ajarkan pasien tentang penyebab dan
dan cara mengatasi edema; cara mengatasi edema; pembatasan
pembatasan diet; dan pengguanaan, diet; dan pengguanaan, dosis, dan
dosis, dan efek samping obat yang efek samping obat yang
diprogramkan. diprogramkan.
2) Berikan leaflet yang mudah 1) Berikan leaflet yang mudah
dipahami pasien dan keluarga. dipahami pasien dan keluarga.
d. Kolaboratif d. Kolaboratif
1) Injeksi: Ranitidin 2x50 mg 1) Injeksi: Ranitidin 2x50 mg
Ondansentron 2x4 mg Furosemid 3x 20 mg
Antrain 2x1 gr 2. Manajemen Cairan (4120)
Furosemid 10 mg – 10 mg - a. Diagnostik
0 1) Hitung atau timbang popok dengan
2. Manajemen Cairan (4120) baik
a. Diagnostik 2) Monitor tanda vital pasien
1) Hitung atau timbang popok dengan b. Edukatif
baik 1) Dukung pasien dan keluarga untuk
2) Kaji lokasi dan luasnya edema membantu dalam pemberian makan
b. Edukatif dengan baik
1) Dukung pasien dan keluarga untuk c. Kolaboratif
membantu dalam pemberian makan 1) Diet Jantung
dengan baik
c. Kolaboratif
1) Diet Jantung

Tabel 2.22 menunjukkan bahwa dari 27 intervensi diagnostik NIC


manajemen hipervolemia (4170) dan manajemen cairan (4120) disusun 11
intervensi diagnostik oleh penulis. 16 intervensi diagnostik yang tidak disusun
penulis yaitu monitor status hemodinamik seperti CVP, MAP, PAP, dan PCWP,
monitor reaksi terhadap terapi elektrolit, dan monitor kembali sisa peritoneal. 16
intervensi diagnostik manajemen hipervolemia dan cairan tersebut tidak disusun
oleh penulis karena penulis menyesuaikan dengan kondisi pasien dan ketersediaan
sarana dan prasarana penunjang untuk dilakukannya intervensi tersebut sehingga
71

penulis hanya menyusun 11 dari 27. 3 dari 21 intervensi terapeutik manajemen


hipervolemia dan cairan disusun oleh penulis. 18 intervensi yang tidak disusun
oleh penulis karena intervensi tersebut berhubungan dengan ventilator, sedangkan
pasien tidak ada indikasi dilakukan tindakan pemasangan ventilator sehingga
beberapa tindakan yang berhubungan dengan ventilator tidak disusun oleh
penulis, Tindakan terapeutik seperti pemberian cairan melalui nasogastrik juga
tidak disusun oleh penulis karena pada pasien tidak ada indikasi pemasangan
NGT. 1 dari 5 intervensi edukatif dari manajemen hipervolemia dan cairan
disusun oleh penulis. Intervensi “...Instruksikan pasien dan keluarga penggunaan
catatan asupan dan output, sesuai kebutuhan....” (Nurjannah & Tumanggor, 2013)
tidak disusun penulis karena pasien tidak ada indikasi obat per oral hanya
dilakukan per injeksi. Semua intervensi kolaboratif disusun oleh penulis karena
dapat dilakukan terhadap pasien.
72

4.2.4 Implementasi Keperawatan Masalah Kelebihan Volume Cairan


Tabel 4.23 Implementasi Keperawatan Masalah Kelebihan Volume Cairan Pada Pasien 1

Hari 1 (14 Februari 2018) Hari 2 (14 Februari 2018) Hari 3 (14 Februari 2018) Hari 4 (14 Februari 2018)
Jam Impementasi Jam Impementasi Jam Impementasi Jam Impementasi
15.45 1. Melakukan observasi tekanan 16.00 1. Melakukan observasi tekanan 07.30 1. Melakukan observasi tekanan 13.00 1. Melakukan observasi tekanan
darah, nadi darah, nadi darah, nadi darah, nadi
Hasil: Tekanan darah 120/70 Hasil: Tekanan darah 110/70 Hasil: Tekanan darah 120/70 Hasil: Tekanan darah 140/90
Nadi 76 x/menit Nadi 74 x/menit Nadi 78 x/menit Nadi 74 x/menit
15.48 2. Melakukan observasi pola 16.05 2. Melakukan observasi pola 07.34 2. Melakukan observasi pola 13.04 2. Melakukan observasi pola
pernapasan pernapasan pernapasan pernapasan
Hasil: Cepat, penggunaan otot Hasil: RR: 20 x/m Hasil: RR: 24 x/m Hasil: RR: 28x/m
bantu napas, RR: 26 x/m 16.03 3. Melakukan auskultasi suara 07.36 3. Melakukan auskultasi suara paru 13.06 3. Melakukan auskultasi suara paru
15.50 3. Melakukan auskultasi suara paru paru - - Hasil: Ronkhi - - Hasil: Ronkhi - -
+ + + - -
+ + + +
Hasil: Ronkhi Hasil: Ronkhi
+ + +
+
+ suara
15.51 4. Melakukan auskultasi 16.05 4. Melakukan auskultasi suara 07.38 4. Melakukan auskultasi suara 13.08 4. Melakukan auskultasi suara
jantung jantung jantung jantung
Hasil: Gallop S3 APTM Hasil: Gallop S3 Hasil: Gallop S3 Hasil: Gallop S3
15.52 5. Melakukan observasi JVP 16.07 5. Melakukan observasi JVP 07.39 5. Melakukan observasi JVP 13.09 5. Melakukan observasi JVP
Hasil: JVP terlihat Hasil: JVP masih terlihat Hasil: JVP terlihat Hasil: JVP terlihat
15.53 6. Melakukan monitor edema kaki 16.08 6. Melakukan monitor edema 07.40 6. Melakukan monitor edema kaki 13.10 6. Melakukan monitor edema kaki
Hasil: Edema kaki +4 kaka +3 kaki Hasil: Edema kaki +2 kaka +1 Hasil: Edema kaki +0 kaka +0
15.55 7. Melakukan monitor hasil Hasil: Edema kaki +4 kaka +2 07.41 7. Melakukan persiapan tindakan 13.20 9. Melakukan persiapan tindakan
laboratorium 17.30 7. Melakukan persiapan tindakan Contrast Bath Contrast Bath
Hasil: Hipernatremia (Na 149 Contrast Bath 07.42 8. Melakukan pengukuran suhu air 10. Melakukan pengukuran suhu air
mMol//l) 17.34 8. Melakukan pengukuran suhu hangat dan suhu air dingin 13.40 hangat dan suhu air dingin
Hb (10,5 g/dL) air hangat dan suhu air dingin Hasil: Suhu air hangat: 40° C Hasil: Suhu air hangat: 42° C
Ht (32%) Hasil: Suhu air hangat: 43° C Suhu air dingi: 12° C Suhu air dingi: 12° C
17.00 8. Melakukan persiapan tindakan Suhu air dingin: 12° C 07.43 9. Meremdam kaki ke dalam air 11. Meremdam kaki ke dalam air
Contrast Bath 17.36 9. Meremdam kaki ke dalam air hangat hangat
17.05 9. Melakukan pengukuran suhu air hangat 07.46 10. Merendam kaki ke dalam air 12. Merendam kaki ke dalam air
panas dan suhu air dingin 17.39 10. Merendam kaki ke dalam air dingin dingin
Hasil: Suhu air hangat: 43° C dingin 07.49 11. Meremdam kaki ke dalam air 13. Meremdam kaki ke dalam air
Suhu air dingin: 15°C 17.40 11. Meremdam kaki ke dalam air hangat hangat
17.52 10. Meremdam kaki ke dalam air hangat 07.50 12. Meremdam kaki ke dalam air 14. Meremdam kaki ke dalam air
hangat 17.03 12. Meremdam kaki ke dalam air dingin dingin
17.55 11. Merendam kaki ke dalam air dingin 07.51 13. Meremdam kaki ke dalam air 15. Meremdam kaki ke dalam air
dingin 17.04 13. Meremdam kaki ke dalam air hangat hangat
17.56 12. Meremdam kaki ke dalam air hangat 07.54 14. Meremdam kaki ke dalam air 16. Meremdam kaki ke dalam air

72
73

Hari 1 (14 Februari 2018) Hari 2 (14 Februari 2018) Hari 3 (14 Februari 2018) Hari 4 (14 Februari 2018)
Jam Impementasi Jam Impementasi Jam Impementasi Jam Impementasi
hangat 17.07 14. Meremdam kaki ke dalam air dingin dingin
17.59 13. Meremdam kaki ke dalam air dingin 07.55 15. Lap dan keringkan kaki 17. Lap dan keringkan kaki
dingin 17.08 15. Lap dan keringkan kaki menggunakan handuk menggunakan handuk
18.00 14. Meremdam kaki ke dalam air menggunakan handuk Hasil: kaki kering Hasil: kaki kering
hangat Hasil: kaki kering 07.58 16. Kaji edema 18. Kaji edema
18.03 15. Meremdam kaki ke dalam air 17.11 16. Kaji edema Hasil: Edema kaki +0 kaka +0 Hasil: Edema kaki +0 kaka +0
dingin Hasil: Edema kaki +2 kaka +1 08.00 17. Melakukan injeksi Furosemide 19. Menghitung output urine di
18.04 16. Lap dan keringkan kaki 18.00 17. Menghitung output urine di 10 mg popok
menggunakan handuk popok 08.10 18. Menghitung output urine di Hasil: ± 100 cc
Hasil: kaki kering Hasil: ± 100 cc popok 20. Mengobservasi keadaan umum
18.07 17. Kaji edema 18.20 18. Mengobservasi keadaan umum Hasil: ± 120 cc setelah tindakan
Hasil: Edema kaki +3 kaka +2 setelah tindakan 08.30 19. Mengobservasi keadaan umum Hasil: Malaise: Sedang
18.10 18. Memberikan pendidikan Hasil: Malaise: Sedang setelah tindakan
kesehatan pada pasien dan Hasil: Malaise: Sedang
keluarga 20. Melakukan injeksi Furosemid 10
a. Jelaskan penyebab CHF mg dan Antrain 1 gr
b. Cara mengatasi edema
c. Penganjuran pembatasan
natrium
d. Memberikan leaflet
19.00 19. Menghitung output urine di
popok
Hasil: ± 150 cc
19.20 20. Mengobservasi keadaan umum
setelah tindakan
Hasil: Malaise: Sedang

Hari 5 (18 Februari 2018)


Jam Impementasi Jam Impementasi Jam Impementasi
07.30 1. Melakukan observasi tekanan 07.38 4. Melakukan auskultasi suara 08.10 8. Menghitung output urine di
darah, nadi jantung popok
Hasil: Tekanan darah 120/60 Hasil: Gallop S3 08.30 Hasil: ± 120 cc
Nadi 75 x/menit 07.40 5. Melakukan observasi JVP 9. Mengobservasi keadaan umum
07.32 2. Melakukan observasi pola Hasil: JVP terlihat setelah tindakan
pernapasan 07.42 6. Melakukan monitor edema Hasil: Malaise: Sedang
Hasil: RR:22 x/m kaki
07.35 3. Melakukan auskultasi suara paru Hasil: Edema kaki +0 kaka +0
Hasil: Ronkhi 08.00 7. Melakukan injeksi Furosemide
- -
- 10 mg
+ -

73
74

Tabel 4.24 Implementasi Keperawatan Masalah Kelebihan Volume Cairan Pada Pasien 2

Hari 1 (19 Februari 2018) Hari 2 (20 Februari 2018) Hari 3 (21 Februari 2018)
Jam Impementasi Jam Impementasi Jam Impementasi
16.00 1. Melakukan observasi tekanan darah, nadi 15.45 1. Melakukan observasi tekanan darah, nadi 16.00 1. Melakukan observasi tekanan darah, nadi
Hasil: Tekanan darah 180/130 Hasil: Tekanan darah 160/120 Hasil: Tekanan darah 140/80
Nadi 100 x/menit Nadi 100 x/menit Nadi 86 x/menit
16.05 2. Melakukan observasi pola pernapasan 15.47 2. Melakukan observasi pola pernapasan 16.04 2. Melakukan observasi pola pernapasan
Hasil: Cepat, penggunaan otot bantu napas, Hasil: penggunaan otot bantu napas, RR: Hasil: RR: 21x/m
RR: 28x/m 24x/m 16.08 3. Melakukan auskultasi suara paru
16.08 3. Melakukan auskultasi suara paru 15.49 3. Melakukan auskultasi suara paru Hasil: Ronkhi - -
Hasil: Ronkhi + Hasil: Ronkhi - - -
+ + - - -
+ + + + 16.12 4. Melakukan auskultasi suara jantung
16.10 4. Melakukan auskultasi suara jantung 15.52 4. Melakukan auskultasi suara jantung Hasil: Gallop S3
Hasil: Gallop S3 Hasil: Gallop S3 16.14 5. Melakukan observasi JVP
16.13 5. Melakukan observasi JVP 15.55 5. Melakukan observasi JVP Hasil: JVP terlihat
Hasil: JVP terlihat Hasil: JVP terlihat 16.17 6. Melakukan monitor edema kaki
16.15 6. Melakukan monitor edema kaki 15.59 6. Mengobservasi hasil Foto Rontgen Hasil: Edema kaki +1 kaka +1
Hasil: Edema kaki +4 kaka +4 Hasil: Edema kaki +3 kaka +3 16.22 7. Melakukan persiapan tindakan Contrast Bath
17.00 7. Melakukan monitor hasil laboratorium 16.20 7. Melakukan persiapan tindakan Contrast 8. Melakukan pengukuran suhu air hangat dan
Hasil: BUN 36,38 Bath 16.23 suhu air dingin
Serum Creatinin 2,38 16.22 8. Melakukan pengukuran suhu air hangat Hasil: Suhu air hangat: 42° C
Hb (12,8g/dL) dan suhu air dingin Suhu air dingin: 13°C
Ht (37%) Hasil: Suhu air hangat: 41° C 9. Meremdam kaki ke dalam air hangat
18.00 8. Melakukan persiapan tindakan Contrast Suhu air dingin: 12°C 16.25 10. Merendam kaki ke dalam air dingin
Bath 16.24 9. Meremdam kaki ke dalam air hangat 16.28 11. Meremdam kaki ke dalam air hangat
18.03 9. Melakukan pengukuran suhu air hangat 16.27 10. Merendam kaki ke dalam air dingin 16.29 12. Meremdam kaki ke dalam air dingin
dan suhu air dingin 16.28 11. Meremdam kaki ke dalam air hangat 16.32 13. Meremdam kaki ke dalam air hangat
Hasil: Suhu air hangat: 39° C 16.31 12. Meremdam kaki ke dalam air dingin 16.33 14. Meremdam kaki ke dalam air dingin
Suhu air dingin: 14°C 16.32 13. Meremdam kaki ke dalam air hangat 16.36 15. Lap dan keringkan kaki menggunakan
18.05 10. Meremdam kaki ke dalam air hangat 16.35 14. Meremdam kaki ke dalam air dingin 16.37 handuk
18.08 11. Merendam kaki ke dalam air dingin 16.36 15. Lap dan keringkan kaki menggunakan Hasil: kaki kering
18.09 12. Meremdam kaki ke dalam air hangat handuk 16. Kaji edema
18.12 13. Meremdam kaki ke dalam air dingin Hasil: kaki kering 16.41 Hasil: Edema kaki +0 kaka +0
18.13 14. Meremdam kaki ke dalam air hangat 16.38 16. Kaji edema 17. Melakukan injeksi
18.16 15. Meremdam kaki ke dalam air dingin Hasil: Edema kaki +2 kaka +2 21.00 18.

74
75

Hari 1 (19 Februari 2018) Hari 2 (20 Februari 2018) Hari 3 (21 Februari 2018)
Jam Impementasi Jam Impementasi Jam Impementasi
18.17 16. Lap dan keringkan kaki menggunakan 21.00 17. Melakukan injeksi a. Ranitidin 50 mg
handuk a. Ranitidin b. Ondansentron 4 mg
Hasil: kaki kering b. Ondansentron c. Furosemide 20mg
18.19 17. Kaji edema c. Furosemide 21.10 18. Menghitung output urine
Hasil: Edema kaki +4 kaka +4 21.10 18. Menghitung output urine Hasil: ± 1000 cc
18.24 18. Memberikan pendidikan kesehatan pada Hasil: ± 1000 cc 21.30 19. Mengobservasi keadaan umum setelah
pasien dan keluarga 21.30 19. Mengobservasi keadaan umum setelah tindakan
a. Jelaskan penyebab CHF tindakan Hasil: Malaise: ringan
b. Cara mengatasi edema Hasil: Malaise: ringan
c. Penganjuran pembatasan natrium
19.00 19. Menghitung output urine
Hasil: ± 800 cc
19.20 20. Mengobservasi keadaan umum setelah
tindakan
Hasil: Malaise: Sedang

75
76

Tabel 4.23 dan 4.24 diatas menunjukkan dari 18 intervensi yang disusun
hanya 12 intervensi yang diimplementasikan. Beberapa intervensi tidak dapat
diimplementasikan kepada kedua pasien seperti mengukur berat badan setiap hari,
penulis hanya mengukur output namun tidak mengukur intake, monitor status gizi,
serta membagikan leaflet pada intervensi edukatif hanya pada pasien 1 karena
keluarga pasien 2 tidak mampu untuk membaca sehingga penulis beramsumsi
bahwa dengan membagikan leaflet tersebut akan menjadi tidak efektif sehingga
untuk menyiasati hal tersebut, pada saat penulis melakukan tindakan contrast bath
terhadap pasien 2 penulis juga mengajarkan kepada keluarga tentang konsep
tindakan contast bath yaitu air yang digunakan air hangat dan air dingin, lama
waktu tindakan, dan kapan waktu dilakukan tindakan contrast bath yang efektif
yaitu pagi dan sore hari sehingga keluarga dan pasien dapat melakukan secara
mandiri saat di rumah. Penulis fokus mengimplementasikan tindakan contrash
bath setiap hari pada kedua pasien sampai derajad edema pada kedua kaki +0
atau tidak ada edema. Penulis mengimplementasikan tindakan contrash bath
dengan suhu rata-rata air hangat diatas 40°C dan suhu air dingin rata-rata dibawah
15°C yang dilakukan selama 3 siklus dengan satu siklus yaitu rendam air hangat 3
menit dan rendam air dingin 1 menit dengan tidak ada jeda perpindahan siklus.
Purwadi (2015) menyimpulkan bahwa:
“... Terapi contrast bath adalah Perawatan dengan berendam kaki
sebatas betis secara bergantian dengan menggunakan air hangat dan
dilanjutkan dengan air dingin, dimana suhu dari air hangat antara
36,6 – 43,3°C dan suhu air dingin antara 10 – 20 °C ... Dangan[sic!]
selisih waktu 3 menit di dalam air hangat dan 1 menit di air dalam
dingin. Dilakukan kompres dengan kain handuk untuk bagian-bagian
tubuh yang tidak dapat direndam air dengan mudah, yang membuat
pembuluh - pembuluh darah mengembang atau menyempit
bersamaan dengan panas dan dingin yang meningkatkan sirkulasi
darah ke bagian tubuh yang dirawat ... dengan rasio waktu tetap 3 :
1 disebabkan fluktuasi disebabkan[sic!] kecepatan darah arteri
melalui intervensi selama 12 menit ... dalam siklus kedua
menghasilkan fluktuasi yang cukup dalam kecepatan darah arteri ...
mencapai manfaat maksimal dalam fluktuasi setelah menit ketujuh.”

Penulis mengimplementasikan tindakan contrast bath tersebut dalam 3 hari pada


kedua pasien. Pada pasien 1 setelah dilakukan tindakan contrast bath pada hari
77

ke-4 sudah tidak ada indikasi dilakukan tindakan karena derajad edema pada
kedua kaki pasien 1 adalah 0 atau tidak edema. Pada pasien 2 juga menunjukkan
hal serupa yaitu setelah tindakan contrast bath hari ke 3 derajad edema pada
kedua kaki pasien 2 adalah 0 atau tidak ada edema.
Tindakan contrast bath tidak dapat berdiri sendiri sehingga manajemen
hipervolemia dan cairan yang disusun oleh tetap perlu diimplementasikan guna
tercipta tindakan keperawatan yang komprehensif. Monitor tanda vital seperti
tekanan darah dan nadi pada kedua pasien dilakukan selama pasien rawat inap di
ruang melati karena penting bagi penulis untuk mengetahui fluktuasi keadaan vital
pasien. Monitor pola napas, auskultasi suara paru: ronkhi, dan monitor keadaan
umum juga diimplemenetasikan penulis selama kedua pasien rawat inap. Monitor
output urine kedua pasien berbeda dimana penulis menghitung output urine pasien
1 yaitu dengan mengintepretasi urine di popok sedangkan pasien 2 lebih mudah
karena sudah terpasang dower cateter. Karena keterbatasan pengimpelementasian
penulis sehingga monitor intake pasien tidak dilakukan dan balance cairan pada
kedua pasien tidak dapat dinilai/disimpulkan. Akan lebih efektif ketika dilakukan
monitor intake cairan dan dapat disimpulkan balance cairan kedua pasien.
78

4.2.5 Evaluasi Keperawatan Masalah Kelebihan Volume Cairan


Tabel 4.25 Evaluasi Keperawatan Masalah Kelebihan Volume Cairan Pada Pasien 1

Evaluasi (SOAP)
Hari 1 (14 Februari 2018) Hari 2 (15 Februari 2018) Hari 3 (16 Februari 2018) Hari 4 (17 Februari 2018) Hari 5 (18 Februari 2018)
S: Pasien mengatakan masih S: Pasien mengatakan masih S: Pasien mengatakan tidak sesak S: Pasien mengatakan sesak S: Pasien mengatakan masih
sesak sesak O: Edema Kaki +0 Kaka +0 lagi sesak
O: Edema Kaki +3 Kaka +2 O: Edema Kaki +2 Kaka +1 Edema pergelangan kaki +0 O: Edema Kaki +0 Kaka +0 O: Edema Kaki +0 Kaka +0
Edema pergelangan kaki +2 Edema pergelangan kaki - - Edema pergelangan kaki +0 Edema pergelangan kaki +0
+ + +1 Ronkhi - - - - -
Ronkhi + - - + + Ronkhi - Ronkhi -
+ + Ronkhi + TD: 120/70 mmHg + + + -
TD: 120/70 mmHg + + TD: 140/90 mmHg TD: 120/70 mmHg
JVP terlihat TD: 110/70 mmHg JVP terlihat JVP terlihat JVP terlihat
Outpu urine: ± 150 cc JVP terlihat Outpu urine: ± 120 cc Outpu urine: ± 100 cc Outpu urine: ± 120 cc
Malaise: sedang Outpu urine: ± 100 cc Malaise: sedang Malaise: sedang Malaise: sedang
A: Masalah belum teratasi Malaise: sedang A: Masalah teratasi sebagian A: Masalah teratasi sebagian A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi A: Masalah belum teratasi P: Check suhu air panas dan P: Lanjutkan intervensi P: Lanjutkan intervensi di rumah
P: Lanjutkan intervensi tingkatkan suhu air hangat
diatas 41°C
I: Melakukan pengecekan suhu
air hangat dan meningkatkan
suhu air hangat menjadi 42°C
- -
E: Ronkhi -
+ +
Suhu air hangat 37°C
R: Tingkatkan suhu air hangat
menjadi diatas 41°C

78
79

Tabel 4.26 Evaluasi Keperawatan Masalah Kelebihan Volume Cairan Pada Pasien 2

Evaluasi (SOAP)
Hari 1 (19 Februari 2018) Hari 2 (20 Februari 2018) Hari 3 (21 Februari 2018)
S: Pasien mengatakan masih sesak S: Pasien mengatakan masih sesak S: Pasien mengatakan masih sesak
O: Edema Kaki +4 Kaka +4 O: Edema Kaki +2 Kaka +2 O: Edema Kaki +0 Kaka +0
Edema pergelangan kaki +3 Edema pergelangan kaki +1 Edema pergelangan kaki +0
+ + - - - -
Ronkhi + Ronkhi - Ronkhi -
+ + + + - -
TD: 180/130 mmHg TD: 160/120 mmHg TD: 140/80 mmHg
JVP terlihat JVP terlihat JVP terlihat
Outpu urine: ± 800 cc Outpu urine: ± 1000 cc Outpu urine: ± 1000 cc
Malaise: sedang Malaise: ringan Malaise: ringan
A: Masalah belum teratasi A: Masalah teratasi sebagian A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi P: Lanjutkan intervensi P: Lanjutkan intervensi di rumah

79
80

Tabel 4.25 dan 4.26 di atas menunjukkan perbedaan respons terhadap


tindakan kedua pasien. Pada hari pertama tindakan manajemen hipervolemia dan
cairan yang ditunjang tindakan contrast bath pasien 1 langsung menunjukkan
penurunan derajad edema pada kedua kaki pasien 1, namun hal berbeda
ditunjukkan oleh pasien 2 yaitu setelah dilakukan tindakan contrast bath pada hari
pertama tidak menunjukkan perubahan derajad edema pada kedua kaki pasien 2.
Penulis berasumsi bahwa hal tersebut terjadi karena suhu air hangat yang
dilakukan pada pasien 2 ini adalah 39°C meskipun sesuai dengan teori namun
keefektifitasan tindakan contrast bath menjadi menurun, karena dilakukan selama
3 siklus sehingga tentunya suhu pada air hangat menurun seiring dengan lama
tindakan tersebut.
Pada akhir hari ke-3 pada pasien 1 dan 2, edema kaki pada kedua klien
sudah tidak terjadi. Hasil ini menguatkan hasil penelitian Purwadi (2015) yang
menyimpulkan bahwa, “... ada perbedaan edema kaki pretest dan postest ... maka
dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan terapi contrast bath
terhadap edema kaki pada pasien penderita penyakit gagal jantung kongestif ....“.
Kriteria hasil yang tercapai kedua pasien 6 dari 8 kriteria hasil pada hari ketiga
diantaranya yaitu edema kaki tidak ada, edema pergelangan kaki tidak ada, JVP
tidak terlihat, tingkat malaise ringan, tidak ada peningkatan tekanan darah, dan
tidak ada penurunan urin output, namun terjadi perbedaan pada kriteria hasil DNP
dan suara ronkhi dimana pada pasien 1 tidak tercapai dan pasien 2 tercapai
sehingga pada hari ketiga evaluasi pada pasien 1 perlu dilakukakn SOAPIER.
Penulis beramsumsi hal tersebut terjadi selain karena tingkat keparahan diagnosis
CHF dan penyakit penyerta kedua pasien juga karena perbedaan aktivitas pada
kedua pasien dimana pasien 2 bedrest total dan pasien 1 bedrest partial karena
pasien 1 masih perlu ke kamar mandi untuk mengganti popok yang sudah kotor,
sehingga kerja jantung pasien 1 masih lebih berat karena masih ada aktivitas
daripada pasien 2 yang bedrest total yang mengakibatkan progres yang lebih baik
ditunjukkan oleh pasien 2.
Dari hasil kedua pasien penulis juga berasumsi sebaiknya untuk penentuan
jumlah pencapaian hasil tindakan dilakukan selama 5x24 jam sehingga asuhan
81

keperawatan yang diberikan lebih komprehensif dan sesuai dengan tenggang


waktu yang sudah disusun.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah menguraikan dan membahas asuhan keperawatan pasien


Congestive Heart Failure pada Tn. Sg dan Tn. Sd dengan kelebihan volume
cairan di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang, maka pada bab ini penulis
akan menyimpulkan dan menyampaikan saran untuk perbaikan asuhan
keperawatan di masa yang akan datang.

5.1 Kesimpulan
5.1.1 Pengkajian
Dalam pengkajian keperawatan didapatkan kedua pasien terdapat 13
batasan karakteristik diagnosa keperawatan kelebihan volume cairan yang muncul
diantaranya yaitu ada bunyi s3 gallop, ansietas, bunyi napas tambahan, dispnea,
dispnea nokturnal paroksimal, distensi vena napas jugularis, edema, gangguan
pola napas, gangguan tekanan darah, hepatomegali, ketidakseimbangan elektrolit,
perubahan hematokrit, dan perubahan hemoglobin.
5.1.2 Diagnosa Keperawatan
Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan didapatkan kedua pasien
terdapat 3 diagnosa keperawatan yang muncul dengan prioritas diagnosa
keperawatan yaitu kelebihan volume cairan dengan etiologi yang sama yaitu gagal
jantung. Diagnosa keperawatan lain yang muncul namun berbeda pada pasien
adalah terdapat diagnosa keperawaran nyeri akut dan defisiensi pengetahuan.
5.1.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi yang dilakukan pada pasien Congestive Heart Failure dengan
masalah keperawatan kelebihan volume cairan ada 18 intervensi dari manajemen
cairan dan manajemen hipervolemia yang dipilih secara umum seperti observasi
pola napas, observasi tekanan darah dan nadi, asukultasi suara paru, observasi
JVP, monitor edema kaki dan pergelangan, monitor hasil laboratorium,
pendidikan kesehatan, monitor output urine, hingga observasi keadaan umum.
Intervensi secara khusus yang dilakukan berdasarkan saran penggunaan diagnosa
keperawatan bahwa kelebihan volume cairan yang dimaksudkan adalah edema
83

perifer sehingga tindakan keperawatan mandiri yang dapat dilakukan adalah


Contrast Bath.
5.1.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada kedua pasien Congestive
Heart Failure dengan masalah keperawatan kelebihan volume cairan berdasarkan
pada intervensi keperawatan manajemen hipervolemia dan manajemen cairan
yang telah direncanakan yaitu monitor tanda vital, monitor pola napas, auskultasi
suara paru: ronkhi, monitor keadaan umum, dan monitor output urine selain itu
juga dilakukan tindakan contrast bath sebagai penunjang manajemen utama.
5.1.5 Evaluasi Keperawatan
Dalam mengevaluasi dari pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan
kriteria standart yang telah ditetapkan pada intervensi keperawatan masalah
kelebihan volume cairan. Hasil evaluasi selama 5 hari tercapai 6 dari 8 kriteria
hasil yaitu tidak ada edema pergelangan kaki, tidak ada edema kaki, JVP tidak
terlihat, tidak ada ronkhi, tingkat malaise ringan-sedang, tidak ada peningkatan
tekanan darah, dan tidak ada penurunan urin output. Tidak tercapainya semua
kriteria hasil diakibatkan karena perbedaan penyakit lain penyerta dan perbedaan
tingkat aktivitas pada pasien.

5.2 Saran
5.2.1 Congestive Heart Failure merupakan sebuah kumpulan gejala dari
kegagalan jantung dalam melakukan tugasnya dengan manifestasi yang khas yaitu
edema ekstremitas. Edem ekstremitas dapat segera dilakukan tindakan untuk
menghindari adanya komplikasi dan salah satu caranya adalah dengan tindakan
manajemen hipervolemia yang dapat ditunjang dengan tindakan lainnya yaitu
contrast bath. Contrast bath akan memberikan efek yang signifikan dalam
menghilangkan maupun mengurangi tingkat edema ekstremitas, namun perlu
diketahui terlebih dahulu apakah ada penyakit penyerta seperti Gagal Ginjal,
Diabetes Mellitus tipe 2 atau tidak karena jika ada maka contrast bath tidak akan
memberikan efek yang signifikan bahkan dapat memperparah penyakit pasien.
84

5.2.2 Untuk dapat mengeksplorasi asuhan keperawatan secara optimal maka


diperlukan tindakan keperawatan dengan penyusunan diagnosa yang sesuai dan
penyusunan intervensi tepat pula sehingga implementasi yang dilakukan tepat.
Ketelitian perawat dalam mengkaji pasien dengan Congestive Heart Failure perlu
diperhatikan untuk menunjang hal tersebut.

5.2.3 Untuk memperoleh hasil tindakan keperawatan contrat bath yang lebih
maksimal penulis menyarankan suhu air hangat dalam setiap siklus suhunya
dinaikkan, misal siklus pertama suhu air hangat adalah 40°C maka untuk siklus
selanjutnya penulis menyarankan untuk menaikkan suhu air hangat di atas 40°C
yaitu 41°C maupun diatasnya dan seterusnya. Hal tersebut disaranakan oleh
penulis karena dalam pelaksanaan dalam tiga siklus tentunya suhu air hangat akan
menurun seiring dengan waktu yang diperlukan sehingga hasil yang diharapkan
tidak akan maksimal. Perlu dilakukan monitor intake sehingga kombinasi
keduanya semakin meningkatkan hasil yang diharapkan.

5.2.4 Pasien maupun keluarga Congestive Heart Failure dengan masalah


keperawatan kelebihan volume cairan dapat disarankan untuk melakukan tindakan
contast bath secara mandiri ketika terjadi edema esktremitas sewaktu-waktu saat
di rumah sehingga dapat tertangani dengan segera selain itu tindakan contast bath
juga merupakan tindakan yang mudah dan efisien, namun perlu ditekankan bahwa
tindakan ini akan efektif jika tidak ada penyakit penyerta seperti gagal ginjal dan
diabetes mellitus tipe 2 pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Afiyanti, Y. & Imami, N. R., 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Riset
Keperawatan. Jakarta: Rajawali Pers.

American Heart Association, 2016. How High Blood Pressure Can Lead to Heart
Failure. [Online]
Available at:
www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HighBloodPressure/LearnHowBP
HarmsYourHealth/How-Blood-Pressure-Can-Lead-to-Heart-
Failure_UCM_490534_Article.jsp#mainContent
[Diakses 28 Februari 2018].

American Heart Association, 2017. Warning Signs of Heart Failure. [Online]


Available at:
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/WarningSignsf
orHeartFailure/Warning-Signs-for-Heart-
Failure_UCM_002045_Article.jsp#.Wq-OiNRubDc
[Diakses 9 Maret 2018].

Aspiani, R. Y., 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan


Kardiovaskuler: Aplikasi NIC dan NOC. Jakarta: EGC.

Baransyah, L., Rohman, M. S. & Suharsono, T., 2014. Faktor-faktor yang


Berpengaruh terhadap Kejadian Gagal Jantung pada Pasien Infark Miokard
Akut di Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang. Majalah Kesehatan FKUB,
Volume 1, p. 212.

Bickley, L. S., 2016. Bates Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat
kesehatan/penulis Lynn S. Bickley: alih bahasa, Brahm U.. Jakarta: EGC.

Bronagh, T. R. & Kenneth, M. M., 2007. Fluid Restriction in the Management of


Decompensated Heart Failure: No Impact on Time to Clinical Stability.
Jornal of Cardiac Failure, pp. 128-132.

Carpenito, L. J., 2009. Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Praktik Klinik.


Jakarta: EGC.
86

Cerner Multum, 2018. Furosemide Side Effects. [Online]


Available at: https://www.drugs.com/sfx/furosemide-side-effects..html
[Diakses 31 Maret 2018].

Djausal, A. N. & Oktafany, 2016. Gagal Jantung Kongestif. Jurnal Medula Unila,
p. 10.

Elisabet, Z., Carles, D.-l. J. L., Marta, d. A. & Mar, D., 2016. Weight Loss in
Obese Patients With Heart Failure. Journal of the American Heart
Association.

European Society of Cardiology, 2017. Heartfailurematters.org: Loss Of


Appetite/Nausea. [Online]
Available at: www.heartfailurematters.org/en_GB/Warning-signs/Loss-of-
appetite-nausea
[Diakses 9 Maret 2018].

FK-UNHAS, 2017. PENUNTUN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN KLINIK


SISTEM UROGENITAL. Makasar: FAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS.

Granado, R. C.-. D. & Mehta, R. L., 2016. Fluid overload in the ICU: evaluation
and management. US National Library of Medicine, p. 17:109.

Harbanu, H. & Anwar, S., 2007. SMF Ilmu Penyakit Dalam Gagal Jantung
Volume 3. Jakarta: FK Unud.

Harjanti, T. & Arif, M., 2015. BUKU PANDUAN KERJA MANUAL CSL 1
KETERAMPILAN KLINIK SISTEM HEMATOLOGI. Makasar: FK-
UNHAS.
Harvard Medical School, 2016. Heart disease: All in the family history. [Online]
Available at: https://www.health.harvard.edu/heart-health/heart-disease-all-
in-the-family-history
[Diakses 30 Maret 2018].

Harvard Medical School, 2017. Anxiety and heart disease: A complex connection.
[Online]
Available at: https://www.health.edu/heart-health/anxiety-and-heart-disease-
a-complex-connection
[Diakses 2 April 2018].
87

Hayes, D. J., 2009. Insomnia and chronic heart failure. Hear Fail Rev., 14
September, pp. 82-171.

Healthwise Staff Rakesh K. Pai, 2015. WebMD. [Online]


Available at: https://www.webmd.com/heart-failure/oxygen-therapy-for-
heart-failure
[Diakses 28 Februari 2018].

Heart and Vascular Team, 2017. Looking at the Link Between Salt and Heart
Failure. [Online]
Available at: https://health.clevelandclinic.org/looking-at-the-link-between-
salt-and-heart-failure/
[Diakses 17 Maret 2018].

Henry, A. & Schroeder, M., 2014. Studies on congestive heart failure: The
Important of restrcition of salt as compared to water. American Heart
Journal, pp. 141-153.

Herdman, T. H., 2015. NANDA International Inc. Diagnosis Keperawatan:


Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.

Hidayat, A. A. A., 2009. Metode Peneliti dan Teknik Analisa Data. Jakarta :
Salemba Medika.

Hudak, C. & Gallo, B., 2008. Pendekatan Holistik Vol. 1 Editor: Monika Ester.
Jakarta: EGC.

Kasron, 2016. Buku Ajar Keperawatan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: TIM.

Kemenkes Republik Indonesia, 2014. Info Datin Situasi Kesehatan Jantung.


Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Kerry, P., 2015. Continence Nurse Consultant: Chronic Heart Failure Issues.
[Online]
Available at: https://www.continence.org.nz/pages/Chronic-Heart-Failure-
Issues/126/
[Diakses 9 Maret 2018].
88

Koto, Y., 2015. Hubungan Kepatuhan Minum Obat Anti Diuretic dan Ace
Inhibitor Pada Pasien Congestive Heart Failure. Jurnal Ilmu Keperawatan
Indonesia, p. 30.

LeMone, P., 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Lloyd, Jones & Det, 2014. AHA Statistics Committee and Stroke Statistics
Subcommittee., 119:e1-161.: Circulation.

Loscalzo, J., 2015. Harrison Kardiologi dan Pembuluh Darah. Jakarta: EGC.

Muttaqin, A., 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Kardiovaskuler dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, A., 2012. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.

National Heart, Lung, and Blood Institute, 2013. Smoking and Your Heart.
[Online]
Available at: https://www.nhlbi.nih.gov/health-topics/smoking-and-your-
heart
[Diakses 4 April 2018].

Notoatmodjo, S., 2007. Kesehatan Masyarakar: ilmu dan seni. Jakarta: Rineka
Cipta.

Nurjannah, I. & Tumanggor, R. D., 2013. Nursing Interventions Classification


(NIC) Edisi Bahasa Indonesia. 6th penyunt. s.l.:Elsevier mocomedia.

Nurjannah, I. & Tumanggor, R. D., 2013. Nursing Outcomes Classification


(NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi Bahasa Indonesia. 5th
penyunt. s.l.:Elsevier mocomedia.

PERKI, 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Indonesia Heart


Association.

Purwadi, I. K. A. H., 2015. Pengatuh Terapi Contrast Bath (Rendam Air Hangat
Dan Air Dingin) Terhadap Edema Kaki Pada Pasien Gagal Jantung
Kongestif di RSUD Ungaran, RSUD Ambarawa, RSUD Kota Salatiga, dan
89

RSUD Tugurejo Propinvi Jawa Tengah, Ungaran: STIKES Ngudi Waluyo


Ungaran.

Rachma, L. N., 2014. PATOMEKANISME PENYAKIT GAGAL JANTUNG


KONGESTIF. El-Hayah Vol.4, pp. 83-84.

Rohmah, N. & Walid, S., 2014. Proses Keperawatan: Teori & Aplikasi. Jakarta:
Salemba Medika.

Simatupang, L. L. W., 2015. DOCSLIDE. [Online]


Available at: https://dokumen.tips/download/link/penentuan-kebutuhan-
cairan-pada-klienichfdoc
[Diakses 27 September 2017].

Siswanto, B. B. et al., 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta:


Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.

Soeparman, 2000. ILMU PENYAKIT DALAM Jilid 1. 2nd penyunt. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Steinbaum, S. R., 2017. Smoking and Heart Disease. [Online]


Available at: https://www.webmd.com/smoking-cessation/quit-smoking-
heart
[Diakses 1 Maret 2018].

Storrow, A., 2007. Advances in the diagnosis of chf: new makers. Modern
Advances In Emergency Cardiac Care, pp. 38-46.

Tarowoto, W., 2011. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.


Jakarta: Salemba Medika.

Udjianti, W. J., 2013. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.

Vetstream, 2018. Diarrhea: chronic-due to congestive heart failure. [Online]


Available at: https://www.vetstream.com/treat/canis/diseases/diarrhea-
chronic-due-to-congestive-heart-failure
[Diakses 9 Maret 2018].
90

Wilkinson, J. M. & Ahern, N. R., 2015. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.


Jakarta: EGC.

William, T., 2015. The Role of Implantable Hemodynamic Monitors to Manage


Heart Failure. Heart Failure Clinics, pp. 183-18
91

Lampiran 3.1
92
Lampiran 3.2
JADWAL PENYELENGGARAAN PROPOSAL DAN TUGAS AKHIR: LAPORAN KASUS

TAHUN 2017 TAHUN 2018


MAR-
KETERANGAN FEB MAR-NOV DES JAN FEB MEI JUNI
APRIL
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Informasi
Penelitian
Konfirmasi
Penelitian
Konfirmasi Judul
Penyusunan
Proposal Laporan
kasus
Sidang Proposal
Revisi
Pengumpulan
Data
Konsul
Penyusunan Data
Ujian Sidang
Revisi
Pengumpulan
Laporan kasus

93
94

Lampiran 3.3
95

Lampiran 4.1
HASIL PEMERIKSAAN RONTGEN

Foto Rontgen Pasien 1

Foto Rontgen Pasien 2


Lampiran 4.2 96
96
97

Lampiran 4.3
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM PASIEN 1
98

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM PASIEN 2


99

Lampiran 4.4
SATUAN ACARA PENYULUHAN
PENANGANAN PADA GAGAL JANTUNG

Disusun Oleh:
Cahyo Adi Baskoro
NIM 152303101090

D3 KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER


KAMPUS LUMAJANG
2018
100

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)


PENANGANAN PADA GAGAL JANTUNG

TOPIK : Cara penanganan pada penderita gagal jantung


HARI / TANGGAL : 14 dan 19 Februari 2018
WAKTU : 10 Menit
TEMPAT : Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang
SASARAN : Tn. Sg, Tn. Sd

A. Analisa Situasi
1) Audience
· Jumlah Pengunjung ± 2-3 orang.
· Minat dan perhatian dalam menerima materi penyuluhan cukup baik.
2) Penyuluh
· Mahasiswa D3 Keperawatan Universitas Jember Kampus Lumajang
Semester 6.
· Mampu mengkomunikasikan kegiatan penyuluhan tentang Cara penanganan
pada penderita gagal jantung dengan baik dan mudah dipahami oleh peserta
penyuluhan.
3) Ruangan
· Bertempat di Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang
· Penerangan dan ventilasi cukup memadai untuk kelangsungan kegiatan
penyuluhan.

B. Tujuan Umum
Setelah dilakukan penyuluhan tentang cara penanganan pada penderita gagal
jantung diharapkan Tn. Sg dan Tn. Sd mampu memahami cara penanganan pada
penderita gagal jantung dalam kehidupan sehari-hari.

C. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan penyuluhan diharapkan Tn. T mampu:
101

1) Menyebutkan definisi gagal jantung


2) Menyebutkan penyebab gagal jantung
3) Menyebutkan gejala pada penderita gagal jantung
4) Menyebutkan cara penanganan pada penderita gagal jantung
Pokok Materi
1) Definisi gagal jantung
2) Penyebab gagal jantung
3) Gejala pada penderita gagal jantung
4) Cara penganan gagal jantung
Metode
1) Ceramah
2) Tanya Jawab

D. Media
1) Leaflet

E. Kegiatan Penyuluhan
Tahap
Kegiatan Penyuluh Kegiatan Peserta Metode Waktu
Kegiatan
Pembukaan 1. Salam 1. Menjawab / Ceramah 1 menit
pembukaan merespon
2. Perkenalan 2. Memperhati
3. Apersepsi kan
tentang gagal
jantung
4. Relevansi
5. Kontrak waktu
Penyajian Penyampaian 1. Mendengar 1. Ceramah 5 menit
materi: kan 2. Demonst
1. Menjelaskan 2. Memperhati rasi
102

definisi gagal kan 3. Tanya


jantung 3. Mencatat jawab
2. Menyebutkan
penyebab gagal
jantung
3. Menyebutkan
gejala pada
penderita gagal
jantung
4. Menjelaskan
cara penanganan
gagal jantung
Penutup 1. Mengevaluasi Menjawab Tanya jawab 4 menit
pengetahuan Tn. T
dengan memberi
pertanyaan
2. Menyimpulkan
isi materi
3. Tindak lanjut
4. Salam penutup

F. Materi
(Terlampir)

G. Pertanyaan Evaluasi
1) Jelaskan definisi Gagal Jantung?
2) Sebutkan penyebab Gagal Jantung?
3) Sebutkan gejala Gagal Jantung?
4) Sebutkan cara penanganan Gagal Jantung?

H. Daftar Pustaka
103

(Terlampir)

LAMPIRAN
GAGAL JANTUNG

1. Definisi Gagal Jantung


Gagal jantung kongestif adalah keadaan ketika jantung tidak mampu lagi
memompakan darah secukupnya dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh
untuk keperluan metabolisme jaringan tubuh pada kondisi tertentu, sedangkan
tekanan pengisian ke dalam jantung masih cukup tinggi (Aspiani, 2014).
2. Penyebab Gagal Jantung
2.1 Faktor predisposisi
2.1.1 Penyakit yang menimbulkan penurunan fungsi ventrikel.
1) Penyakit arteri koroner
2) Kardiomiopati
3) Penyakit pembuluh darah
4) Penyakit jantung konginetal (Aspiani, 2014).
2.1.2 Keadaan yang membatasi pengisian ventrikel
1) Stenosis mitral-penyakit perkardial
2) Kardiomiopati (Aspiani, 2014).
2.2 Faktor pencetus
2.2.1 Peningkatan asupan garam
2.2.2 Ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung
2.2.3 Serangan hipertensi
2.2.4 Aritmia akut
2.2.5 Infeksi atau demam, anemia, emboli paru
2.2.6 Tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif (Aspiani, 2014).
2.3 Faktor risiko
2.3.1 Merokok
2.3.2 Hipertensi
2.3.3 Hiperlipidemia
104

2.3.4 Obesitas
2.3.5 Kurang aktivitas fisik
2.3.6 Stres emosi
2.3.7 Diabetes melitus (Aspiani, 2014).
3. Gejala Gagal Jantung
3.1 Gagal jantung kiri
Keluhan berupa perasaan badan lemah, cepat lemah, berdebar-debar, sesak
nafas, batuk, anoreksia, dan keringat dingin, batuk dan/atau batuk berdarah, fungsi
ginjal menurun. Tanda dan gejala kegagalan ventrikel kiri:
3.1.1 Kongesti vaskuler pulmonal
3.1.2 Dipsnea, nyeri dada dan syok
3.1.3 Ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal
3.1.4 Batuk iritasi, edema pulmonal akut
3.1.5 Penurunan curah jantung
3.1.6 Gallop atrial –S4, gallop ventrikel –S1
3.1.7 Crackles paru
3.1.8 Disritmia pulsus alterans
3.1.9 Peningkatan berat badan
3.1.10 Pernafasan chyne stokes
3.1.11 Bukti radiografi tentang kongesti vaskuler pulmonal.
3.2 Gagal jantung kanan
3.2.1 Edema, anoreksia, mulas, asites, sakit daerah perut. Tanda dan gejala
kegagalan ventrikel.
3.2.2 Curah jantung rendah
3.2.3 Distensi vena jugularis
3.2.4 Edema
3.2.5 Disritmia
3.2.6 S3 dan S4 ventrikel kanan
3.2.7 Hipersonor pada perkusi
3.2.8 Imobilisasi diafragma rendah
3.2.9 Peningkatan diameter pada antero posterial.
105

Gagal Jantung kongestif adalah gabungan kedua gambaran tersebut


(Muttaqin, 2012).
4. Cara Penanganan Penderita Gagal Jantung
4.1 Penatalaksanaan Non Farmakologis
Menurut Siswanto, dkk (2015) dalam “buku panduan tata laksana penyakit
jantung” ada 7 penatalaksanaan non farmakologis pada pasien dengan gagal
jantung:
4.1.1 Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-
tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang
dapat memerburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung
kongestif.
4.1.2 Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi.
4.1.3 Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter.
4.1.4 Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung kongestif dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal
jantung kongestif, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
4.1.5 Pendidikan kesehatan yang menyangkut penyakit, prognosis, obat-obatan
serta pencegahan kekambuhan (Aspiani, 2014)
4.2 Penatalaksanaan Farmakologis
Penatalaksanaan gagal jantung bertujuan untuk menurunkan kerja jantung,
meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas miokard, dan menurunkan retensi
garam dan air. Penatalaksanaan, meliputi (Aspiani, 2014):
4.2.1 Pemberian deuretik
106

Akan menurunkan preload dan kerja jantung.


4.2.2 Pemberian morfin
Untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodilatasi periver, menurunkan
aliran balik vena dan kerja jantung, menghilangkan ansietas karena dispnea berat.
4.2.3 Reduksi volume darah sirkulasi
Dengan metode plebotomi, yaitu suatu prosedur yang bermanfaat pada
pasien dengan edema pulmonal akut karena tindakan ini dengan segera
mamindahkan volume darah dari sirkulasi sentral, menurunkan aliran balik vena
dan tekanan pengisian serta sebaliknya menciptakan masalah hemodinamik
segera.
4.2.4 Terapi nitrit
Untuk vasodilatasi perifer guna menurunkan afterload.
4.2.5 Terapi digitalis
Obat untuk meningkatkan kontraktilitas (inotropik), memerlambat frekuensi
ventrikel, peningkatan efisiensi jantung
4.2.6 Inotropik positif
1) Dopamin
Pada dosis kecil 2,5-5 mg/kg akan merangsang alfa-adrenergik dan beta-
adrenegik. Reseptor dopamin ini mengakibatkan keluarnya katekolamin dari
sisi penyimpana syaraf. Memerbaiki kontraktilitas curah jantung isi sekuncup.
Dilatasi ginjal-serebral dan pembuluh koroner. Pada dosis maksimal 10-20
mg/kg BB akan menyebabkan vasokontriksi dan meningkatkan beban kerja
jantung (Aspiani, 2014).
2) Dobutamin
Merangsang hanya beta-adrenergik, dosis mirip dopamin memerbaiki isi
sekuncup, curah jantung dengan sedikit vaso kontriksi dan takikardia (Aspiani,
2014).
107

DAFTAR PUSTAKA
Aspiani, R. Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Kardiovaskuler: Aplikasi NIC dan NOC. Jakarta: EGC.

Muttaqin, A. (2012). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.

Siswanto, B. B., Hersunanti, N., Erwinanto, Rossana, B., Pratito, R., Nauli, S., et
al. (2015). Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
Lampiran 4.5
Cara Penanganan Gagal Apa itu Gagal Jantung ? Penyebabnya Apa?

Jantung
Suatu keadaan ketika 1. Faktor Predisposisi (langsung)
ü Penyakit arteri koroner
jantung tidak mampu lagi ü Kardiomiopati
ü Penyakit pembuluh darah
memompakan darah secukupnya ü Penyakit jantung konginetal
dalam memenuhi kebutuhan (bawaan lahir)
2. Faktor Pencetus
sirkulasi tubuh untuk keperluan ü Peningkatan asupan garam
ü Serangan hipertensi
metabolisme jaringan tubuh pada
ü Infeksi atau demam, anemia
kondisi tertentu, sedangkan tekanan 3. Faktor Resiko
ü Merokok
pengisian ke dalam jantung ü Hipertensi
masih cukup tinggi. ü Hiperlipidemia/ banyak lemak
(gemuk)
Oleh
ü Kurang aktivitas fisik/ aktvitas
Cahyo Adi Baskoro berlebih
ü Stres emosi
NIM 152303101090 ü Diabetes mellitus/kencing
manis

D3 KEPERAWATAN UNIVERSITAS
JEMBER – KAMPUS LUMAJANG
2017

108
INGAT…! Bagaimana Cara Tanda Gejalanya Apa?

“GAGAL JANTUNG Penanganannya?


1. Gagal Jatung Kiri
BUKANLAH AKHIR DARI
Keluhan berupa perasaan
1. Taat minum obat (diuretic,
SEGALANYA” badan lemah, cepat lemah,
digitalis, nitrat, trombolitik)
Segera berdebar-debar, sesak nafas,
2. Sering periksa
batuk, anoreksia/nafsu makan
3. Sering pantau berat badan
“LAKUKAN PENANGANAN turun, dan keringat dingin, batuk
4. Pengurangan Berat Badan
dan/atau batuk berdarah, fungsi
YG TEPAT” (jika gemuk/obesitas)
ginjal menurun.
5. Kurangi Aktivitas
6. Jangan mengejan saat BAB 2. Gagal Jantung Kanan
ü Edema/bengkak,
ü Anoreksia/ Nafsu makan
turun,
ü Mulas
ü Asites/ perut bengkak

109

Anda mungkin juga menyukai