Anda di halaman 1dari 6

Randa/Memahami Paradigma 5

Pendekatan interpretive memandang realitas sebagai suatu yang bersifat


subyektif, diciptakan/ditemukan dan ditafsirkan. Paradigma ini memahami
hakikat manusia sebagai pencipta dunianya, dan pencipta makna. Ilmu
pengetahuan yang dibangun dengan paradigma ini sifatnya common sense,
induktif, ideografis, menekankan pada pemaknaan dan tidak bebas nilai.
Paradigma ini bertujuan untuk menginterpretasi (to interpret) dan memahami
(to understand) dari fenomena sosial (Sarantakos, 1993).
Paradigma Interpretive kemudian dipandang juga tidak dapat
memberikan solusi atas persoalan utama realitas sosial karena paradigma
interpretive terlalu fokus pada aktor peneliti dan aktor informan yang cenderung
hanya memaknakan masalah sosial secara subjektif dan mengabaikan konflik
utama dalam masyarakat sosial. Kemudian muncul paradigma kritis yang
menncoba melakukan telaah kritis dan berusaha merekonstruksi suatu keadaan
sosial ke arah pemecahan masalah.
Peradigma kristis memandang realitas sosial dengan cara yang berbeda
dengan pradigma interpretive. Realitas dibangun atas dasar alamiah tetapi
diciptakan oleh manusia. Dengan demikian realitas bukan karena dibuat-buat
tetapi karena ada konflik, tujuan dan kontradiksi dengan hasil yang ingin
merubah dunia (Sarantakos, 1993). Paradigma ini memahami hakikat manusia
sebagai sesuatu yang dinamis, mandiri, karena adanya unsur eksploitasi dan
tekanan dari pihak lain. Dengan demikian ilmu pengetahuaan yang dibangun
berada diantara positivist dan interpretive yang senantiasa membuka diri untuk
perubahan, membebaskan dan memperdayakan serta tidak bebas nilai. Tujuan
penelitian dari paradigma kritis adalah mengungkap hubungan nyata (real
relation) yang ada dipermukaan, mengungkap mitos dan ilusi, meghilangkan
kepercayaan yang salah serta berusaha untuk membebaskan dari belenggu
situasional yang ada.

Jurnal Sistem Informasi, Manajemen dan Akuntansi Vol 6 No 2 Oktober 2008 1-10
Fakultas Ekonomi UAJ Makassar
Randa/Memahami Paradigma 6

Selain ketiga bentuk paradigma di atas, saat ini juga berkembang


paradigma Posmodern. Paradigma ini dikembangkan dari aliran filsafat
postmodern yang dipelopori oleh Fucoult, Derida dan lain-lain. Meskipun
batasan antara paradigma kritis dan paradigma postmodern agak sulit
dibedakan, namun para penganut paradigma postmodern dalam berbagai ilmu
pengetahuan telah mengklain diri sebagai pengikut postmodern. Paradigma
postmodern memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang terus berkembang
sehingga dibutuhkan dekonstruksi atas suatu tatanan sosial yang telah mapan
menjadi sesuatu yang betul-betul baru.

3. Paradigma Penelitian dalam Riset Akuntansi


Memahami paradigma penelitian dalam penelitian akuntansi juga
penting untuk dapat menjadikan akuntansi sebagai bidang ilmu yang dinamis
dan berkembang. Para peneliti akuntasi telah mengembangkan ilmu akuntansi
tidak terbatas pada paradigma positivistik saja tetapi masuk dalam rana
paradigma yang lain. Chua (1986) mencoba memetakan paradigma penelitian
akuntansi dengan konsep perkembangan filsafat ilmu dengan membagi
paradigma atas paradigma manstrim, paradigma interpretive dan paradigma
kritis.
Paradigma Manstrim (positivistic) telah mendominasi penelitian
akuntansi selama beberapa tahun yang ditandai dengan adanya dominasi
paradigma manstrin dalam publikasi jurnal akuntansi. Disamping itu,
paradigma ini juga telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi ilmu
akuntansi dengan kehadiran teori akuntansi positif (positivistic accounting
theory =PAT) yang disusun secara baik oleh Watt and Zibermen (1978). Teori
tersebut antara lain memuat teori kontingensi (Govindarajan, 1972), Teori
pasar efisen pasar modal (Gonedes, 1974), teori agensi (Jansen Macling, 1975)
dan teori-teori lain sebagai hasil pengembangannya.

Jurnal Sistem Informasi, Manajemen dan Akuntansi Vol 6 No 2 Oktober 2008 1-10
Fakultas Ekonomi UAJ Makassar
Randa/Memahami Paradigma 7

Sejalan dengan perkembangan paradigma ilmu pengetahuan yang


ditandai dengan munculnya paradigma interpretive, riset akuntansi dengan
pendekatan paradigma ini juga mulai dilakukan meskipun tidak sebanyak
dengan paradigma positivistik. Hasil riset akuntansi dengan paradigma
interpretive antara lain dilakukan oleh Demski dan Feltham (1978), Hopwood
(1982), Boland & Pondy (1983), Berry (1995), dan Laughlin (1990).
Paradigma kritis juga telah masuk dalam riset akuntansi. Paradigma
kritis dalam riset akuntansi dikenal dalam bentuk PEA(Political Economic
accounting). Riset PEA mencoba mengkaji pengaruh politik dan ekonomi
terhadap eksistensi akuntansi. Riset akuntansi paradigma kristis antara lain
dilakukan oleh Tinker, Merino & Neimark (1982), Lehman & Tinker (1985),
dan Iryanto(2004)
Demikian juga dengan paradigma postmodern, paradigma ini lahir
dengan ungkapan yang serba penuh reaksiner seperti dekonstruksisme, nihilism,
lokalisme dan spiritualisme juga telah merambah ilmu akuntansi yang mencoba
mengkaji akuntansi dari perspektif geneologi histori, holistic, religi dan budaya.
Riset akuntansi postmodern antara lain dilakukan oleh Gafikin, Sukoharsono
dan Triyuwuno(1995).
Dalam konteks riset akuntansi di Indonesia nampak bahwa paradigma
positivistik telah menguasai paradigma riset akuntansi dalam dekade
sebelumnya. Buku-buku penelitian yang ditulis oleh para ahli di bidang
akuntansi dominan menggunakan pendekatan positivistik sehingga riset-risert
akuntansi hanya berputar pada poros paradigma positivistik. Hal ini mungkin
juga disebabkan karena adanya kecenderungan Perguruan Tinggi di Indonesia
memperkenalkan riset akuntansi hanya dengan paradigma positivistik kepada
mahasiswa selama menempuh pendidikan baik pada strata sarjana, maupun
Pasca Sarjana. Mulyana (2006) mengatakan bahwa ibarat kereta kuda begitu
masuk di Pergururan Tinggi mahasiswa langsung dipasangi kacamata kuda
Jurnal Sistem Informasi, Manajemen dan Akuntansi Vol 6 No 2 Oktober 2008 1-10
Fakultas Ekonomi UAJ Makassar
Randa/Memahami Paradigma 8

sehingga hanya mengenal paradigma positivistik. Selain kondisi pada


Perguruan Tinggi, paradigma ini juga menguasai penelitian karena pendekatan
positivistik baik pada tingkat teori maupun praktik, sangat formal dan
terstruktur sehingga akuntansi dipraktekkan atas dasar prosedur dan aturan yang
ketat, yang menciptakan universalitas akuntansi yang mendukung penyebaran
praktek akuntansi (Triyuwono, 2006)
Kekuatan paradima postivistik dalam riset akuntansi juga dapat dilihat
dari hasil-hasil riset akuntansi pada tingkat nasional. Dalam simposium
Akuntansi Nasional sebagai ajang penyampaian hasil riset akuntansi, sejak
simposium pertama sampai dengan simposium kesepuluh, riset akuntansi
paradigma positif masih sangat dominan bahkan menjadi satu-satunya padigma
yang digunakan. Hal itu disebabkan karena riset akuntansi non positivistik
belum banyak dilakukan, namun juga terdapat dugaan bahwa jika riset non
positivistik diusulkan dalam SNA, para reviewer kurang tertarik dengan riset
tersebut karena sebagian besar reviewer membangun ilmu mereka atas dasar
paradigma positivistik. Dengan demikian riset non postivisme belum menjadi
bagian dari riset yang diterima dalam ajang SNA.
Dengan adanya kondisi demikian, mungkinkah riset akuntansi dengan
paradigma non positivistik dapat diterima baik dalam kalangan ilmuwan
akuntansi? Salah satu Perguruan Tinggi yang secara tegas menerima paradigma
non positivistik dalam kurikulum pengajaran adalah jurusan akuntansi
Univesitas Brawijaya baik pada tingkat sarjana, magister maupun PDIA
(Program Doktor Ilmu Akuntasi). Setiap mahasiswa diberi kebebasan dalam
menentukan topik penelitian dalam bingkai keempat paradigma yaitu
paradigma positif, interpretif, kritis dan postmodern. Pada PDIA Brawijaya
meskipun alumni belum banyak, namun dengan adanya komitmen yang kuat
untuk mengembangkan multiparadigma, maka akan menjadi motor penggerak
riset akuntansi non postivistik di masa akan datang.
Jurnal Sistem Informasi, Manajemen dan Akuntansi Vol 6 No 2 Oktober 2008 1-10
Fakultas Ekonomi UAJ Makassar
Randa/Memahami Paradigma 9

Di samping itu dengan kembalinya para dosen dari luar negeri yang
melakukan riset non positivistik ke kampus masing-masing di Indonesia, maka
riset paradigma non postivistik mulai menggeliat muncul kepermukaan. Hal itu
dapat dilihat dari simposium akuntansi kesebelas dan seterusnya dimana riset
akuntansi non positivistik mulai masuk dalam daftar riset yang diunggulkan.

4. Perbedaan antara Riset Positivistic dan Non Positivistic


Dengan memahami jenis-jenis paradigma di atas, maka secara umum
penelitan dapat dikelompokkan atas dua yaitu penelitian positivistic dan non
postivististic. Istilah ini untuk membedakan secara tegas bahwa penelitian
positivistic secara ontotologi, espistimologi dan metodologi berbeda dengan
penelitan non positivistic. Secara ontologi penelitan positivistic memandang
adanya realitas diluar dirinya sedang non positivistic memandang realitas
sebagai bagian dari dirinya. Pada tataran epistimologi sebagai cara untuk
mendapatkan ilmu, maka penelitan positivistic menggunakan pendekatan pure
science yang pada intinya ilmu dibangun dari verifikasi dan falsifikasi yang
terukur, obyektif yang tinggi serta bebas nilai. Sedang penelitan non positivistic
dibangun dengan menjadi bagian dari realitas yang diteliti bukan diluar.
Peneliti ini mengedepankan subyektivitas peneiti dan serta tidak bebas nilai.
Demikian juga pada metodologi yang digunakan, penelitan positivistic yang
cenderung monothetic (tunggal) sehingga terikat dengan pakem yang ada
dengan melakukan kuantifikasi sehingga peralatan statistik sangat dibutuhkan
dalam menguji hipotesis yang dibagnun sebelumnya. Sedang pada penelitan
non positivistis yang cenderung ideografic yang hanya dapat dilakukan secara
natural apa adanya oleh sang peneliti yang sering mengedepankan unsur
subyektivitas dan tidak bebas nilai.
Perbedaan kedua jenis penelitian ini sering juga dibedakan dengan
istilah penelitan metode ilmiah untuk peenlitan positivistic dan penelitian
Jurnal Sistem Informasi, Manajemen dan Akuntansi Vol 6 No 2 Oktober 2008 1-10
Fakultas Ekonomi UAJ Makassar
Randa/Memahami Paradigma 10

naturalistic untuk penelitian non positivistic ( Jogianto , 2007) dan yang lain
menyebutnya penelitan kwantitatif untuk positivistic dan kualitatif untuk
penelitian non positivistic. Untuk itu peneliti seharusnya tidak terpaku pada
nama yang diberikan tetapi lebih dari itu memahami dari sudut keilmuan baik
secara ontology, epistimologi maupun metodologi. Hal ini penting karena
nama yang dilekatkan sebagai atribut dapat menyesatkan jika kita tidak
memehami dasar yang membedakan suatu penelitan.
5. Penutup
Dengan memahami bentuk-bentuk paradigma dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan yang berkembang sejalan dengan perkembangan filsaat ilmu,
maka akuntansi selayaknya juga dikembangkan sejalan dengan perkembangan
paradigma ilmu pengetahaun. Di samping itu dengan memahami paradigma
yang lain, mind set tentang pengembangan ilmu akuntansi tidak mendewakan
suatu paradigma yang dianut tetapi menerima paradigma lain yang digunakan
orang lain. Dengan demikian riset akuntansi ke depan menjadi riset yang
dinamis dan sejalan dengan perkembangan paradigma ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA
Basrowi & Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Insan
Cendekia. Surabaya
Burrell,G. & Gareth M. 1979. Sosiological Paradigms and Organisational
analysis, Elements of the sociology of corporate life. Athenaeum press.
Newcastle
Chalmers A.F. 1983. What is this Thing called Science?:Apa Itu yang
Dinamakan Ilmu: Suatu Penilaian tentang Watak dan Status Ilmu serta
Metodenya. Hasta Mitra. Jakarta
Chua, Wai Fong. 1986. Radical developments in accounting thought. The
Accounting Review LXI (4): 601-32.
Held, David. 1980. Introduction to Critical Theory: Horkheimer to Habermas.
Berkeley: University of California Press.

Jurnal Sistem Informasi, Manajemen dan Akuntansi Vol 6 No 2 Oktober 2008 1-10
Fakultas Ekonomi UAJ Makassar

Anda mungkin juga menyukai