Anda di halaman 1dari 6

Nama: m.

meirizky husada
Kelas : X IA 1

HIKAYAT IBNU HASAN


“IBNU HASAN”
Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan bernama Syekh
Hasan, banyak harta banyak uang terkenal kesetiap negeri merupakan orang terkaya
bertempat tinggal di Negeri Bagdad yang terkenal kemana-mana sebagai kota yang
paling ramai saat itu.

Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi


yang kekurangan, menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh,
diajari ilmu yang baik, walaupun harus mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau
uang, karena itu banyak pengikutnya.

Syekh Hasan saudagar yang kaya raya memiliki seorang anak laki-laki
yang sangat tampan, pendiam, dan baik budi, berusia sekitar tujuh tahun Ibnu Hasan
namanya. Ibnu Hasan sedang lucu-lucuya semua orang senang melihatnya apalagi
orang tuanya namun demikian anak itu tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun
hidupnya dimanjakan, tidak kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka
bersolek karena itulah kedua orang tuanya sangat menyayanginya.

Ayahnya berfikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas,


tanpa pertimbangan, bagaimana kalau akhirnya, dimurkai Allah Yang Agung, aku
pasti durhaka tak dapat mendidik anak mengkaji ilmu yang bermanfaat.”

Dipanggilnya putranya, anak itu segera mendatanginya diusap-usapnya


putranya sambildinasihati bahwa ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku,
sebenarnya aku kuatir tapi pergilah ke Mesir carilah jalan menuju keutamaan. ”Ibnu
Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan
kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan
ku tolak, siang malam hanya perintah ayah ibu yang hamba nantikan.”

Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah


dengan kedua orangtuanya hatinya sangat sedih ibunya tidak tahan menangis terisak-
isak harus berpisah dengan putranya yang masih sangat kecil belum cukup usia.

“Kelak, apabila anaknda sudah sampai ketempat merantau, pandai-


pandailah menjaga diri karena jauh dari orang tua harus tahu ilmunya hidup jangan
keras kepala, angkuh dan menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa
diri orang kaya lalu menghina sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan
senang karena dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau
celaka tidak akan diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan
kesusahan, hati-hatilah menjaga diri jangan menganggap enteng segala hal.” Ibnu
Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan
kucatat dalam hati, doakanlah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh
jalan yang salah, pesan ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”

Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya


sejak kecil, Mairin dan Mairun. Mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul
semua perbekalan dan pakaian, sementara Mairin mengikuti dari belakang sesekali
menggantikan tugas Mairun.

Perasaan sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan yang


makan waktu berhari-hari namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir,
dengan selamat berkat do’a ayah dan ibunda selanjutnya, segera ia menemui seorang
alim ulama, terus berguru padanya.

Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu
seseorang bernama Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda
pulang dari mana?” Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu
Hasan bertanya lagi,” Sekolah itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya
menjawab,”Apakah anda belum tahu?” “sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat
belajar,  berhitung, menulis, mengeja, belajar tatakrama, sopan santun terhadap yang
lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap sesama, harus sesuai dengan aturan.”

Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang


hatinya, dia segera pulang, menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar
disekolah, guna mencari ilmu. Sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya kamu
harapkan.” Kyai berkata demikian, tujuan untuk menguji muridnya, apakah betul-
betul ingin mencari ilmu atau hanya alasan supaya mendapat pujian. Ibnu Hasan
menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa hamba besusah
payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu. Memang sangkaan orang begitu karena
ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang, ternaknya pun banyak, hamba tidak usah
bekerja, karena tidak akan kekurangan. Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan
sangat memalukan seandainya ayah sudah tiada, sudah meninggal dunia, semua
hartanya jatuh ketangan hamba. Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti
akhirnya harta itu habis, bukan bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini
bodoh. Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh.
Begitulah pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.
Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihi orang tua, paling tidak harus
sama dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin,
ibaratnya anak seorang patih.” Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.
UNSUR INTRINSIK
1.          TEMA
 Seorang anak ( Ibnu Hasan ) yang berbakti, menuruti dan mematuhi perkataan orang
tua
 Seorang anak ( Ibnu Hasan ) yang ingin mengkaji ilmu yang bermanfaat

2.          ALUR
Alur yang digunakan dalam hikayat tersebut adalah alur maju

3.          SUDUT PANDANG
Sudut pandangnya adalah sudut pandang orang ketiga

4.          GAYA BAHASA
Gaya bahasa yang digunakan dapat dimengerti dan jelas

5.          LATAR
 LATAR TEMPAT
Negeri Bagdad, Pusat Kota Negara Mesir, Pesantren
 LATAR WAKTU
Syahdan, zaman dahulu kala, saat ba’da zuhur
 LATAR SUASANA
Senang, sedih

6.          PENOKOHAN
  BERDASARKAN SIFAT
Syekh Hasan                      : Protagonis
Ibnu Hasan                         : Protagonis
Ibu Ibnu Hasan                   : Protagonis
Mairun                                : Protagonis
Mairin                                 : Protagonis
Saleh                                   : Protagonis
Guru Kyai                          : Protagonis
  METODE PENOKOHAN ( METODE ANALITIK DAN DRAMATIK )
Hasan               : Sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan,
menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang
baik, walaupun harus mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu
banyak pengikutnya, seorang hartawan ( banyak harta dan uang ).
asan                   : Tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun hidupnya dimanjakan, tidak
kekurangan sandang, suka bersolek
Ibu Ibnu Hasan           : Baik, penyanyang
Mairun                        : Baik
Mairin                         : Baik
Saleh                           : Baik, pintar
Guru Kyai                   : Baik

7.    AMANAT
Janganlah menjadi orang yang sombong, angkuh dan menghina orang lain hanya
karena kita banyak harta dan tidak kekurangan sandang pangan serta jadilah anak
yang selalu berbakti kepada orang tua.

8.    KONFLIK
Karena Ibnu Hasan diperintah ayahnya untuk mengkaji ilmu yang bermanfaat ke
Negara Mesir sehingga ibunya tidak tahan melihatnya pergi dan menangis terisak-
isak.

UNSUR EKSTRINSIK
1)   NILAI AGAMA
(“……..dengan selamat berkat do’a ayah dan ibunda selanjutnya, segera ia menemui
seorang alim ulama, terus berguru padanya.”) Dan (“Syekh Hasan sangat bijaksana,
mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan, menasehati yang berikiran
sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik, walaupun harus
mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.”)

Nilai agama yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah berkat doa orang tua
kepada anaknya maka selamatlah anaknya sampai tujuan serta sebagai umat yang
beragama kita selalu berdoa kepada Tuhan Yang maha Esa agar selalu diberikan
keselamatan dan juga kita selalu menyanyangi orang yang tidak mampu.

2)   NILAI SOSIAL
“Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil,
Mairin dan Mairun. Mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua
perbekalan dan pakaian, sementara Mairin mengikuti dari belakang sesekali
menggantikan tugas Mairun.”

Nilai sosial yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa kita sesame
manusia harus saling tolong menolong dan saling melindungi satu sama lain.

3)   NILAI BUDAYA
“Dipanggilnya putranya, anak itu segera mendatanginya diusap-usapnya putranya
sambil dinasihati bahwa ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku,
sebenarnya aku kuatir tapi pergilah ke Mesir carilah jalan menuju keutamaan. ”Ibnu
Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan
kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan
ku tolak, siang malam hanya perintah ayah ibu yang hamba nantikan.”

Nilai budaya yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa kita sebagai
seorang anak akan selalu mematuhi perkataan orang tua kita namun perintah yang
positif.

4)   NILAI ADAT ISTIADAT/ETIKA


“Kelak, apabila anaknda sudah sampai ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga
diri karena jauh dari orang tua harus tahu ilmunya hidup jangan keras kepala, angkuh
dan menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu
menghina sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan senang karena
dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan
diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-
hatilah menjaga diri jangan menganggap enteng segala hal.” Ibnu Hasan menjawab
dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan kucatat dalam hati,
doakanlah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan yang salah,
pesan ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”

Nilai etika dari penggalan hikayat tersebut adalah jangan merasa sombong dan saling
tolong menolonglah terhadap sesama karena setiap orang akan saling membutuhkan
( makhluk sosial ).

5)   NILAI EKONOMI
Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan bernama Syekh Hasan,
banyak harta banyak uang terkenal kesetiap negeri merupakan orang terkaya
bertempat tinggal di Negeri Bagdad yang terkenal kemana-mana sebagai kota yang
paling ramai saat itu.

Nilai ekonomi yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa orang
tersebut merupakan orang yang banyak harta dan uang serta terkenal kemana-mana.

6)   NILAI PENDIDIKAN
Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang
bernama Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang
dari mana?” Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan
bertanya lagi,” Sekolah itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya
menjawab,”Apakah anda belum tahu?” “sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat
belajar,  berhitung, menulis, mengeja, belajar tatakrama, sopan santun terhadap yang
lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap sesama, harus sesuai dengan aturan.”
Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, dia segera
pulang, menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna mencari
ilmu. Sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.” Kyai berkata
demikian, tujuan untuk menguji muridnya, apakah betul-betul ingin mencari ilmu atau
hanya alasan supaya mendapat pujian. Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak
malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa hamba besusah payah tanpa mengenal
lelah, mencari ilmu. Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak
kekurangan uang, ternaknya pun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan
kekurangan. Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan
seandainya ayah sudah tiada, sudah meninggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan
hamba. Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis,
bukan bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini bodoh. Bukan bertambah
mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah pendapat saya
karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan. Pangkat anakpun begitu
pula, walaupun tidak melebihi orang tua, paling tidak harus sama dengan orang tua,
dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin, ibaratnya anak seorang patih.”
Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.

Nilai pendidikan yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa kita
menuntut ilmu bukan untuk mendapat pujian melainkan untuk mendapatkan imu yang
bermanfaat untuk masa depan yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai