Anda di halaman 1dari 4

BUNGA KERTAS

Kami bertemu pertama kali dibawah pohon itu ketika aku kelas satu SMA. Mendongak
keatas. Sama-sama tertarik pada bunganya yang berkerumun. Menikmati keindahan
bunganya yang berwarna merah jambu. Diawal pertemuan itu dia mengatakan bahwa pipiku
seperti bunga kertas. Merah jambu. Cantik sekali katanya. Aku menunduk karena malu. Lalu
pertemuan kamipun menjadi lebih intens. Setiap kali senja menyapa ketika kami pulang
sekolah.

Lima tahun berlalu. Aku berdiri dibawah pohon yang sama. Sendirian. Mengingat kejadian
saat itu. Banyak hal yg kami bicarakan. Cuaca. Politik. Suku. Ras. Agama. Pernah sekali dia
membicarakan masa depan. Seperti apa laki-laki impianku. Aku hanya tersenyum tak berani
menjawab. Dan dia mencubit pipiku gemas.

"Kau akan kemana setelah lulus SMA?" tanyanya sambil memandang kumpulan bunga kertas
diatas kami sehari setelah hari kelulusan. Lima tahun yang lalu.

"Entah. Mungkin bekerja atau kuliah. Atau kuliah sambil bekerja. Kau?" tanyaku balik
sambil memandang wajahnya.

"Ayah ingin aku kuliah diluar kota," jawabnya sambil menoleh padaku. Dia mengerutkan
kening ketika melihat ekspresi tak senang terpampang diwajahku. "Kenapa?" tanyanya.

"Tidak. Hanya saja..."

"Apa?"

"Entah. Luar kota. Kita tak akan bertemu."

"Benar. Akan susah."

Aku diam mematung. Menatap wajahnya lekat. Memperhatikan setiap lekuk wajahnya dan
menyimpannya diingatanku dengan baik.

"Seperti apa laki-laki impianmu?" tanyanya tiba-tiba. Aku tersenyum. Dan dia mencubit
pipiku dengan gemas. "Merah jambu lagi. Ini," katanya mengusap pipiku dengan jari
telunjuknya.

Itu pertemuan terakhir kami dibawah pohon bunga kertas. Esoknya dia pergi keluar kota.
Memenuhi keinginan dan impian Ayahnya. Aku? Masih tinggal dikota ini. Berhasil
menyelesaikan pendidikanku dan bekerja dibidang yang bagus dan baik. Dan berharap ada
kabar darinya walau hanya satu kata "Hai".
Lima tahun berlalu. Harapanku terkabul. Ada pesan darinya. Mengajakku bertemu sore nanti
dibawah pohon seperti dulu. Aku setuju. Sepulang dari pekerjaan aku bergegas kesana.

Dia disana. Berdiri memandang bunga-bunga itu seperti dulu. Lekuk wajahnya masih sama
seperti dulu. Sesuai dengan yang kusimpan diingatanku. Hanya bertambah dewasa dan ada
sedikit rambut menghiasi rahang. Itupun tak memudarkan pesonanya.

Sepertinya dia tak terganggu dengan kedatanganku. Bahkan ketika aku berdiri disampingnya
dia masih memandang bunga itu. Kumanfaatkan keadaan ini dengan memandang wajahnya
hingga puas. Sejenak rinduku terobati dengan hanya memandangnya.

"5 tahun," kataku tiba-tiba. Dia tersentak dari keasyikannya dan menoleh kepadaku. "Lama
sekali."

"Benar. Bahkan Presiden saja sudah ganti."

Kami tertawa bersama. Lalu mendongak lagi memandang bunga-bunga merah jambu itu
sebelum dia membawaku untuk duduk dibawahnya.

"Ibu sakit."

"Sakit?" Kaget sekali aku mendengar ini. Teringat Ibunya dulu begitu baik selalu memberiku
roti coklat hangat.

"Ya. Cukup parah. Tapi sekarang sudah membaik. Aku kuliah, bekerja dan merintis usaha
dengan keras. Tak memikirkan hal lain selain kesibukanku dan juga Ibu. Aku lupa waktu.
Dan juga lupa padamu" katanya sambil memandang mataku lekat. Hal yang sebelumnya tak
pernah dia lakukan. "Lalu aku teringat padamu ketika Ayah mengatakan ingin membuka
cabang dikota ini. Bagaimana kabarmu? Kau terlihat semakin cantik dengan setelan ini."

"Kebiasaanmu yang banyak bicara tidak berubah," kataku.

"Benar, hahaha. Jadi? Bagaimana kabarmu?".

"Aku baik. Dan sukses,"

"Wah, wah, wah. Wanita idaman kau ini."

"Aku bekerja disana. Posisiku bagus dan pendapatanku juga besar untuk ukuran seorang
wanita."
"Sombongmu tidak pernah berubah, ya, anak pintar, hahahha. Sudah kuduga. Dengan otak
sepertimu dan kegigihanmu yang luar biasa kau pasti akan sukses," ucapnya sambil
mengusap pipiku dengan jari telunjuknya. "Merah jambu lagi?!" ucapnya sambil tertawa.
"Tidak berubah."

"Tentu saja aku tidak berubah," ucapku sambil melipat tangan.

"Seperti apa laki-laki idamanmu?" tanyanya tiba-tiba. "Oh, jangan tersenyum lagi!"

"Menurutmu seperti apa?"

"Tidak tahu. Kau misterius tentang ini."

Aku terdiam. Memandang kedepan kepada kucing liar oranye yang sedang bunting.
Berbaring menunggu ada orang yang melempar sisa makanan.

"Selain untuk membuka cabang usaha, aku juga ingin memberikan ini padamu."

Dia memberikan selembar kertas terbungkus plastik. Ada namaku tertulis rapi disudut bawah
kertas itu. Kertas undangan pernikahan.

"Satu minggu lagi. Kuharap kau bisa da..."

"Siapa?"

"Apa?"

"Kau mau menikah?"

"Ya. Minggu depan. Kuharap..."

"Dengan siapa?" Lagi-lagi kupotong ucapannya.

"Oh. Temanku diluar kota. Kami bertemu saat kuliah. Dia juga yang membantuku ketika
merintis usaha. Kau bisa datang, kan?"

Kupandang matanya. Berharap menemukan kebohongan disana. Tapi tak ada. Mata itu jujur.
Dia jujur. Dia akan menikah.

"Lima tahun tak ada kabar lalu pulang-pulang kau memberiku ini? Jahat sekali kau."
Kuusahakan bibirku untuk tersenyum ketika mengucapkan itu. "Selamat atas pernikahanmu.
Akan kuusahakan datang nanti." Dia tersenyum. Masih sambil memegang kertas undangan
yang tak kunjung ku ambil.

"Jadi, seperti apa laki-laki impianmu?" Dia bertanya lagi. Dan lagi-lagi aku hanya tersenyum.
Dan terpejam menikmati sentuhan ujung jarimu dipipi merah jambuku. Untuk terakhir
kalinya.

Satu minggu berlalu. Aku berjalan kaki dengan pelan setelah menghadiri pernikahannya.
Pernikahan yang meriah. Danar dan Luna. Pasangan yang serasi sekali kulihat. Tampan dan
cantik. Benar-benar membuat tamu undangan berdecak kagum. Begitupun aku. Kagum dan
iri.

Aku berhenti ketika tiba dibawah pohon. Mendongak keatas. Kulihat satu bunga kertas
terlepas dari tangkainya. Kuulurkan tangan untuk meraih bunga itu sebelum menyentuh
tanah.

Belum pernah. Belum pernah selama delapan tahun kulihat bunga ini jatuh. Memang kulihat
ada bunga yang rontok dibawah. Tapi langsung melihatnya lepas dari tangkainya? Belum
pernah.

Kupandangi bunga ditanganku. Tiba-tiba sesak menyerang. Dan kakiku sakit karena terlalu
jauh berjalan. Kuputuskan duduk dibawah pohon. Mengingat kejadian yang lalu. Kucing
oranye bunting yang minggu lalu kulihat datang menghampiri. Menggesekkan kepalanya
dengan mesra kebetisku. Dia duduk lalu menatapku.

"Seperti apa laki-laki impianku?" Kuajukan pertanyaan pada kucing itu seolah-olah dia akan
paham. Si kucing mengeong pelan.

"Ya. Benar. Dia. Dia laki-laki impianku. Dia Danar." Si kucing mengeong lagi. Matanya
menatapku penuh harap.

"Kau boleh ikut," kataku. Entah kucing itu paham atau tidak. Tapi ketika aku berdiri dan
berjalan pulang, dia mengikutiku. Aku tersenyum. Kuputuskan akan merawatnya.

Kupandangi pohon itu. Mungkin untuk yang terakhir kalinya. Bunga kertas merah jambu
dalam genggaman itu kubuang.

Jagara, 12 Juli 2020


Oleh Sari Yuningsih

Anda mungkin juga menyukai