VERNAKULAR
WEEK 4
I Made Iwan Karmawan (2020101008)
Kelas A
The Living House
- Chapter 2
Perceptions of Built Form: Indigenous
and Colonial
Sangat mudah untuk terkesan dengan keanggunan
bentuk arsitektur di Asia Tenggara. Analisis Reid
(1980:237) tentang struktur kota-kota Asia Tenggara
pada abad ke-15-17 menunjukkan dan mencatat bahwa
sejumlah pusat kota (seperti Melaka, Ayutthaya, dan
Demak pada abad ke-16, Aceh, Makassar, Surabaya,
dan Banten pada abad ke-17) memperlihatkan pola
kehidupan 'pedesaan' di kota. Rumah-rumah kayu yang
dibangun dengan setengah tersembunyi di dalam
pekarangan mereka dari kelapa, pisang, dan pohon
buah-buahan lainnya. Banyak sekali rumah yang terbuat
dari tongkat, alang-alang dan kulit kayu. Reid
mengidentifikasi aset terpenting warga di sini sebagai
tanah, rumah, perabotan, pohon buah-buahan, tenaga
kerja, dan barang pusaka. Siapapun dapat
mengumpulkan bahan-bahan dari hutan untuk Tradisi Pindah Rumah
membangun rumahnya sendiri, atau bahkan Suku Bugis
mengangkut rumah dari satu lokasi ke lokasi lain.
Jean Gelman Taylor menganalisis tentang kehidupan sosial orang Eropa dan Eurasia di
Batavia sejak pendiriannya pada awal ke-17. Kebiasaan orang Asia seperti sering mandi
di depan umum (sungai), memakai rambut palsu, pakaian berlapis, jam kerja sore,
minuman keras, berganti-ganti pakaian, beristirahat di siang hari yang panas, dan
membangun rumah yang sejuk dan berventilasi baik. 'Benevolus' berbicara tentang jalan
dan jendela kecil, tempat tinggal yang sempit, dan tempat tidur bertirai tebal yang
menghalangi sirkulasi udara. Ia berpendapat bahwa orang Belanda hanya perlu
mengubah kebiasaan mereka agar Batavia menjadi tempat tinggal yang lebih aman.
Beberapa karakteristik gaya bangunan di pulau Asia Tenggara adalah dominasi atap
yang jauh lebih banyak dibandingkan dinding. Padahal dalam sejarah arsitektur Barat,
dinding merupakan elemen penting dari bentuk bangunan. Banyak bangunan
masyarakat Indonesia yang tidak memiliki dinding sama sekali, tetapi seluruhnya terdiri
dari atap, yang dilingkari dengan platform tiang pancang. Tidak jarang, rumah ini dapat
mencapai ketinggian lebih dari 14 meter. Sebuah elemen yang mengejutkan dari
beberapa struktur ini adalah bahwa eksterior yang mengesankan dan tampaknya besar
tidak selalu mencakup ruang interior yang besar secara proporsional. Rumah dari
Keluarga Sa'dan Toraja aristokrat misalnya, terlihat dengan atap besar yang menyapu
ke atas, namun interiornya terdiri dari tiga kamar yang sangat kecil.
Rumah Toraja
Edwin Loeb (1935:23) mengutip deskripsi
akhir abad ke-19 tentang habitat batak karo
oleh Neumann. Penulis mengalami reaksi
yang sangat ekstrim terhadap arsitektur
karo. Penulis menganggap rumah batak
sangat tidak sesuai untuk dihuni oleh
manusia dengan banyaknya binatang
berkeliaran, tidak menerima sinar matahari,
dan suasana di dalamnya yang menurutnya
tidak layak. Hanya saja orang batak
memang sudah terbiasa dengan
lingkungan mereka yang seperti itu.
Kegelapan interior rumah merupakan salah
satu hal yang sering diperhatikan
(khususnya pengamat asing). Mereka
hanya saja jarang memperhatikan bahwa Rumah Batak Karo
penghuninya menghabiskan sedikit waktu
di dalam rumah pada siang hari.
Dalam kasus di pulau Lanyu
spesifiknya di Yami (sering disapu oleh
topan), arsitektur meresponnya
dengan memendam setengah bagian
rumah ke bawah tanah. rumah-rumah
digali di lereng bukit dan diatapi jerami
yang sangat tebal. Meskipun rumah ini
gelap, tetapi dilengkapi dengan
platform peristirahatan yang disebut
tagakal. Lokasi tagakal berada di
bagian depan rumah dan strukturnya
mampu menyediakan tempat yang
nyaman untuk duduk saat siang hari.
Tagakal ini didirikan di depan rumah
utama dengan ditempatkan diatas
empat tiang dengan ketinggian sekitar
3 meter di atas tanah. Atapnya
menggunakan jerami dan diakses
dengan tangga. Rumah Tradisional Lanyu
Ada tidaknya dan besar kecilnya ukuran jendela
ditentukan oleh perlindungan terhadap cuaca
dingin atau buruk seperti di pegunungan tinggi.
Berbeda halnya dengan pantai yang panas & Rumah Bugis
lembab sehingga ventilasi dan jendela besar
menjadi pertimbangan dominan (seperti pada
rumah tradisional aceh, melayu, atau bugis). Hal
yang berbeda bisa dilihat dengan orang karo
yang mana tinggal di ketinggian 1200 meter yang
cenderung basah dan tersapu angin di ujung
utara danau toba. Karena inilah rumah adat karo Rumah Rumah
mengembangkan gaya arsitektur yang Melayu Lipat
melindungi mereka dari bahaya, salah satunya Kajang
angin. Secara simbolis, interior rumah yang gelap