Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEBIDANAN PADA KASUS KOMPLEKS DAN PEREMPUAN PADA

KONDISI RENTAN

“MATERI 12: PROMOSI KENORMALAN PADA IBU DAN ASUHAN PADA


PEREMPUAN BERKEBUTUHAN KHUSUS”

DOSEN :

DR. Maryati, SPd, SST, MARS

KELOMPOK 9 :

Lulu Salsabila 200603179


Nur Bella M 200603213
Nur Mega 200603175
Novy Melyana 200603227
Putri Dewi Sagita 200603230
Rita Nirmalasari 200603177

KELAS B
PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN
STIKES ABDI NUSANTARA JAKARTA
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas Kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu yang berjudul
“Materi 12: Promosi Kenormalan Pada Ibu dan Asuhan Pada Perempuan Berkebutuhan Khusus”.

Harapan kami sebagaimana penyusun yaitu agar pembaca dapat memahami. Kami ingin
mengucapkan rasa terima kasih kami kepada dosen mata kuliah Askeb Pada Kasus Kompleks
dan Perempuan Pada Kondisi Rentan, DR. Maryati Sutarno, SPd, SST, MARS, yang telah
membimbimbing kami dalam menyusun makalah ini menjadi lebih baik.

Kami menyadari sepenuhnya dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, baik dalam sistematika penulisan maupun penggunaan bahasa. Kami berharap
semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah ilmu wawasan kita.

Bekasi, 26 Januari 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut WHO, lebih dari 1 miliar orang atau 15% dari populasi dunia, atau 1 dari
7 orang mengalami kecacatan, yaitu antara 110 juta (2.2) dan 190 juta (3.8%) orang yang
berusia 15 tahun dan lebih tua, mengalami kesulitan dalam fungsi tubuhnya. Selain itu,
diperkirakan bahwa 93 juta anak-anak atau 1 dari 20 anak usia di bawah 15 tahun, hidup
dengan disabilitas meningkat sebagian dikarenakan penuaan usia dan kondisi kesehatan
kronis. Sementara itu berdasarkan hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang
dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, jumlah penyandang disabilitas di
Indonesia sebanyak 6 juta oorang, terdiri dari 30% disabilitas netra, 8% disabilitas rungu-
wicara, 7% disabilitas grahita/intelektual, 10% disabilitas tubuh, 3% disabilitas yang sulit
mengurus diri sendiri, dan sekitar 40% disabilitas ganda.
Penyandang disabilitas umuna memiliki keterbatasan aksen dalam memperoleh
pelayanan kesehatan. Sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam
kondisi rentan, terbelakangan, dan/atau miskin yang disebabkan masih adanya
pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang
disabilitas, prasangka, dan penolakan akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, dan partisipasi dalam masyarakat menyebabkan penyandang disabilitas akan
beresiko hidup dalam kemiskinan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari promosi kesehatan?
2. Apa tujuan dari promosi kesehatan?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Untuk mengetahui pengertian dari promosi kesehatan
2. Untuk mengetahui tujuan dari promosi kesehatan
3. Untuk mengetahui layanan kesehatan bagi perempuan penyandang berkebutuhan
khusus
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan menurut WHO adalah proses untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Promosi kesehatan
merupakan suatu upaya meningkatkan kesehatan melalui berbagai intervensi sosial dan
lingkungan yang berdampak positif terhadap kualitas hidup serta pencegahan penyakit
tanpa harus menggunakan pengobatan dan perawatan terlebih dahulu.

Promosi kesehatan (Health Promotion) ilmu dan seni membantu masyarakat


menjadikan gaya hidup mereka sehat optimal. Kesehatan yang optimal dapat
didefinisikan sebagai keseimbangan kesehatan fisik, emosi, sosial, spiritual dan
intelektual. Promosi kesehatan tidak hanya memberitahu masyarakat mengenai informasi
kesehatan, tetapi lebih dari itu promosi kesehatan melibatkan tiga tindakan, yaitu: (1)
Memberitahu masyarakat bagaimana cara hidup sehat, (2) Mengatasi masalah kesehatan
yang terjadi di masyarakat, (3) Mengutamakan mencegah daripada mengobati.

B. Peran Bidan Dalam Promosi Kesehatan


1. Peran bidan sebagai advokator
Advokasi adalah suatu pendekatan kepada seseorang atau badan organisasi yang
diduga mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu program atau kelancaran
suatu kegiatan.
Bentuk kegiatannya:
a) Seminar
b) Bidan menyajikan masalah kesehatan di wilayah kerjanya
c) Bidan menyampaikan masalah kesehatan menggunakan media dalam bentuk
lisan, artikel, berita, diskusi, penyampaian pendapat untuk membentuk opini
publik.
2. Peran bidan sebagai edukator
Memberikan pendidikan kesehatan dan konseling dalam asuhan dan pelayanan
kebidanan di setiap tatanan pelayanan kesehatan agar mereka mampu memelihara dan
meningkatkan kesehatan mereka.
Fungsi bidan sebagai edukator:
a) Melaksanakan pendidikan kesehatan dan konseling dalam asuhan dan pelayanan
kebidanan
b) Membina kader dan kelompok masyarakat
c) Mentorship dan preseptorship bagi calon tenaga kesehatan dan bidan baru
3. Peran bidan sebagai fasilitator
Bidan mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan, mengkondisikan iklim
kelompok yang harmonis, serta memfasilitasi terjadinya proses saling belajar dalam
kelompok.
4. Peran bidan sebagai motivator
Upaya bidan yang dilakukan sebagai pendamping adalah menyadarkan dan
mendorong kelompok untuk mengenali potensi dan masalah serta dapat
mengembangkan potensinya dalam memecahkan masalah tersebut.

Dalam melaksanakan profesinya, bidan memiliki peran sebagai pelaksana, pengelola,


pendidik dan peneliti.

1. Peran bidan sebagai pelaksana


Tugas mandiri bidan yaitu:
a) Menetapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan yang diberikan
b) Memberikan pelayanan dasar pra nikah pada anak remaja dan dengan melibatkan
mereka sebagai klien
c) Memberikan asuhan kebidana kepada klien selama kehamilan normal
d) Memberikan asuhan kebidana kepada klien dalam masa persalinan dengan
melibatkan klien/keluarga
e) Memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir
f) Memberikan asuhan kebidanan kepada klien dalam masa nifas dengan melibatkan
klien/keluarga
g) Memberikan asuhan kebidanan pada wanita usia subur yang membutuhkan
pelayanan keluarga berencana
2. Peran bidan sebagai pengelola
Bidan sebgai pengelola memiliki 2 tugas, yaitu:
a) Mengembangkan pelayanan dasar kesehatan
Bidan bertugas mengembangkan pelayanan dasar kesehatan, terutama
pelayanan kebidanan untuk indiviu, keluarga, kelompok khusus dan masyarakat
di wilayah kerja dengan melibatkan masyarakat atau klien.
b) Berpartisipasi dalam tim
Bidan berpartisipasi dalam tim untuk melaksanakan program kesehatan dan sektor
lain di wilayah kerjanya melalui peningkatan kemampuan dukun bayi, kader
kesehatan serta tenaga kesehatan lain yang berada di bawah bimbingan dalam
wilayah kerjanya
3. Peran bidan sebagai pendidik
Bidan sebagai pendidik memiliki 2 tugas yaitu:
a) Memberikan pendidikan kesehatan dan penyuluhan kepada klien
b) Melatih dan membimbing kader
4. Peran bidan sebagai peneliti/Invertigator
a) Mengidentifikasi kebutuhan invetigasi yang akan dilakukan
b) Menyusun rencana kerja pelatihan
c) Melaksanakan invertigasi sesuai dengan rencana
d) Mengolah dan menginterpretasikan data hasil investigasi
e) Menyusun laporan hasil investigasi dan tindak lanjut
f) Memanfaatkan hasil investigasi untuk meningkatkan dan mengembangkan
program kerja atau pelayanan kesehatan

C. Fungsi Bidan Dalam Promosi Kesehatan


1. Fungsi pelaksana
a) Melakukan bimbingan dan penyuluhan kepada individu, keluarga serta
masyarakat (khususnya remaja) pada masa pra nikah
b) Melakukan asuhan kebidanan untuk proses kehamilan normal, kehamilan dengan
kasus patologis tertentu dan kehamilan dengan resiko timggi
c) Menolong persalinan normal dan kasus persalinan patologis tertentu
d) Merawat bayi segera setelah lahir normal dan bayi dengan resiko tinggi
e) Melakukan asuhan kebidanan pada ibu nifas
f) Memelihara kesehatan ibu dalam masa menyusui
g) Melakukan kesehatan pada anak balita dan pra sekolah
h) Memberi pelayanan kekuarga berencana sesuai dengan wewenangnya
i) Memberi bimbingan dan pelayanan kesehatan untuk kasus sistem gangguan
reproduksi, termasuk wanita pada masa klimakterium internal dan menopause
sesuai dengan wewenangnya.

2. Fungsi pengelola
a) Mengembangkan konsep kegiatan pelayanan kebidanan bagi individu, keluarga,
kelompok masyarakat, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat
yang didukung oleh partisipasi masyarakat
b) Menyusun rencana pelaksanaan pelayanan kebidanan di lingkungan kerjanya
c) Memimpin koordinasi kegiatan pelayanan kebidanan
d) Melakukan kerja sama serta komunikasi inter dan antar sektor yang terkait dengan
pelayanan kebidanan
e) Memimpin evaluasi hadil kegiatan tim atau unit pelayanan kebidanan

3. Fungsi pendidik
a) Memberi penyuluhan kepada individu, keluarga dan kelompok masyarakat terkait
dengan pelayanan kebidanan dalam lingkup kesehatan serta keluarga berencana
b) Membimbing dan melatih dukun bayi serta kader kesehatan sesuai dengan bidang
tanggung jawab bidan
c) Memberi bimbingan kepada para peserta didik bidan dalam kegiatan praktik di
klinik dan di masyarakat
d) Mendidik peserta didik bidan atau tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan bidang
keahliannya

4. Fungsi peneliti
a) Melakukan evaluasi, pengkajian, survey, dan penelitian yang dilakukan sendiri
atau berkelompok dalam lingkup pelayanan kebidanan
b) Melakukan penelitian kesehatan keluarga dan keluarga berencana

D. Pengertian Asuhan Kebidanan


Asuhan kebidanan adalah penerapan fungsi, kegiatan dan tanggung jawab bidan
dalam memberikan pelayanan kepada klien, yang mempunyai kebutuhan dan/atau
masalah kebidanan meliputi kehamilan, persalinan, nifas, bayi dan keluarga berencana
termasuk kesehatan reproduksi perempuan serta pelayanan kesehatan masyarakat
(Asrinah, dkk, 2017).

Asuhan kebidanan adalah rangkaian kegiatan yang didasarkan pada proses


pengambilan keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh Bidan sesuai dengan
wewenang dan ruang lingkup praktiknya berdasarkan ilmu dan kiat kebidanan (UU No. 4
Tahun 2019).

E. Perempuan Penyandang Berkebutuhan Khusus (Disabilitas)


Menurut UU No. 8 Tahun 2016, Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu
yang lama dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak.

Penyandang disabilitas merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang


mempunyai kedudukan, hak, kewajiban serta peran yang sama dengan masyarakat
Indonesia lainnya dalam kehidupan dan penghidupannya. Oleh karena itu, diperlukan
adanya kebijakan pemerintah yang memperhatikan dan mewadahi mengenai hak
penyandang disabilitas dalam kegiatan kehidupannya dalam masyarakat.

Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 mengatakan bahwa jumlah
penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta atau sekitar 5%. Catatan WHO
melaporkan bahwa rata-rata 10% dari jumlah penduduk di negara berkembang termasuk
Indonesia mengalami disabilitas. Apabila mengacu pada perbandingan laki-laki dan
perempuan (1:3) maka kira-kira akan terdapat angka 13,7 juta orang perempuan yang
mengalami disabilitas (Roosmawati, 2012).

Wanita penyandang disabilitas memiliki risiko lebih tinggi terhadap perawatan


prenatal yang tidak memadai, rawat inap di rumah sakit selama kehamilan, persalinan
sesar, persalinan prematur pada bayi dengan berat lahir rendah. Mengenai interaksi pada
tenaga kesehatan, mereka mengalami ketidakpekaan, kurangnya pengetahuan mengenai
disabilitas, informasi dan dukungan yang terbatas atau tidak memadai dan praktik
diskriminatif. Sementara pada survei mengungkapkan bahwa departemen kebidanan
sebagian besar sesuai dengan persyaratan peraturan bangunan yang berbeda, langkah-
langkah tambahan atau adaptasi dari inventaris untuk perempuan penyandang cacat fisik
tidak dilaksanakan secara nasional.

Perempuan difabel dapat dikatakan sebagai kelompok penyandang disabilitas


yang mempunyai hambatan berlapis-lapis dibanding dengan laki-laki penyandang
disabilitas. Kebanyakan perempuan lainnya, ia mengalami diskriminasi dan stereotipe
perempuan pada umumnya. Misalnya dengan anggapan tidak berdaya, selalu
tergantung pada orang lain, dan tidak bisa membuat keputusan. Perempuan dengan
disabilitas bahkan dipandang tidak mampu menjadi istri dan ibu bagi anaknya. Hasil
Survei yang dilakukan oleh Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) selama
pandemic menunjukkan dari 55 responden, terdapat sebanyak 80% yang mengalami
kekerasan berbasis gender. Bentuk kekerasan yang dialami berupa diskriminasi,
pelecehan seksual dan kekerasan psikis.

F. Asuhan Pada Perempuan Berkebutuhan Khusus


1. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
a. Pelayanan kesehatan reproduksi sebelum hamil bagi WUS dan catin
 Promotif
Asuhan yang dilakukan bidan dengan melakukan pemberian materi
komunikasi, informasi, dan edukasi untuk catin dan pasangan usia subur
pra nikah disesuaikan dengan kondisi disabilitas dan kebutuhannya,
meliputi:
1) Informasi pra nikah: kesehatan reproduksi dan pendekatan siklus
hidup, hak reproduksi, persiapan yang perlu dilakukan dalam
persiapan pra nikah dan informasi lain yang diperlukan.
2) Informasi tentang keadilan dan kesetaraan gender dalam pra nikah
termasuk peran laki-laki dalam kesehatan.
 Preventif
1) Persiapan pra nikah seperti persiapan fisik, persiapan gizi, status
imunisasi tetanus dan menjaga kesehatan reproduksi.
2) Konseling perencanaan kehamilan dan KB
 Kuratif-rehabilitatif
1) Diagnosis
Pemeriksaan bagi catin penyandang disabilitas, meliputi:
a) Anamnesis:
- Pemeriksaan TTV yang dilakukan melalui pengukuran suhu
tubuh ketiak, tekanan darah, denyut nadi, pernapasan serta
auskultasi jantung dan paru. Serta pemeriksaan TB dan BB.
Pemeriksaan dapat dilakukan seperti:
1. Penyandang disabilitas fisik yang tidak mempunyai tungkai
atau tungkainya mengalami atrofi, pengukuran TB dapat
dilakukan dengan mengukur panjang tungkai, panjang depa
(arm span), tinggi lutut atau tinggi duduk, rentang satu
lengan dan rentang dua lengan. Untuk yang tidak dapat
berdiri, pengukuran TB diganti dengan pengukuran panjang
badan.
2. Penyandang disabilitas fisik yang tidak mempunyai lengan
dan/atau tungkai, pengukuran BB dapat dilakukan dengan
koreksi pada alat gerak yang hilang atau dengan
menghitung selisih BB pendamping/care giver dengan
penyandang disabilitas.
3. Disabilitas fisik yang tidak mempunyai lengan, pengukuran
tekanan darah dapat dilakukan pada paha. Sedangkan bagi
disabilitas fisik yang tidak memiliki kedua lengan dan
tungkai sekaligus, pemeriksaan tekanan darah dapat
dilakukan dengan menggali dan mengkaji keluhan dan
faktor resiko klien.
4. Jika tidak memungkinkan mengukur nadi di pergelangan
tangan maka pengukuran dapat dilakukan di leher.
5. Jika pengukuran suhu pada bagian lipatan ketiak tidak
memungkinkan, maka pengukuran suhu dapat dilakukan
dengan thermometer elektrik yang ditempatkan pada
telinga, bawah lidah atau dahi.
- Pemeriksaan status gizi dilakukan melalui pemeriksaan kadar
HB serta pengukuran antropometri menggunakan LILA dan
IMT. Penentuan status gizi penyandang disabilitas fisik
dilakukan dengan penentuan IMT yang bersumber dari data
berat badan dan tinggi badan. Sementara untuk penyandang
disabilitas fisik yang sedang hamil namun tidak memiliki
lengan atau lengan mengalami atrofi, penentuan status gizi
tidak dapat dilakukan melalui penentuan IMT ataupun
pengukuran LILA. Penentuan status gizi dapat dilakukan
dengan pengukuran lingkar pinggang, lingkar pinggul, lingkar
paha, lingkar betis atau pengukuran tebal lemak menggunakan
skin fold caliper.
- Pemeriksaan fisik lengkap pada catin penyandang disabilitas
dilakukan untuk mengetahui status kesehatan catin tersebut.
Pemeriksaan harus dilakukan dengan lengkap sesuai indikasi
medis.
b) Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan darah (HB, golongan darah dan rhesus)
- Pemeriksaan urin rutin
- Pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan penunjang lain
atas indikasi
- IVA atau pap smear bagi catin yang sebelumnya sudah pernah
menikah
- Tes kehamilan

Pada penyandang disabilitas fisik yang tidak mempunyai


lengan dan tungkai, pengambilan specimen darah kapiler dapat
dilakukan pada cuping telinga. Sedangkan pengambilan specimen
darah vena dapat dilakukan pada vena femoralis.

2) Tatalaksana:
a) Komunikasi, informasi dan edukasi/konseling
b) Pelayanan gizi
c) Skrining dan imunisasi TT
d) Pengobatan/terapi dan rujukan

b. Pelayanan kesehatan masa hamil


1) Pelayanan antenatal terpadu
Pemberian pelayanan antenatal pada penyandang disabilitas tidak berbeda
dengan non disabilitas.
 Promotif
a) Peningkatan pemahaman bagi penyandang disabilitas, keluarga atau
pendamping tentang kehamilan (tanda bahaya kehamilan), persalinan,
keluarga berencana pasca persalinan (KBPP), dan manajemen laktasi.
b) Dukungan dan pendampingan dari keluarga atau masyarakat bagi ibu
hamil penyandang disabilitas sehingga dapat menjalani kehamilannya
dengan selamat.
c) Pengenalan dan pemanfaatan buku KIA
d) Pelaksanaan kelas ibu hamil
e) Melakukan stimulasi janin dalam kehamilan
f) Skrining kelainan kongenital
 Preventif
a) Pemberian PMT bagi ibu hamil KEK
b) Konseling kesehatan ibu dan anak
 Tatalaksana
a) Mendapatkan pelayanan ANC standar yang diberikan kepada ibu
hamil minimal 4 kali selama kehamilan.
b) Pemeriksaan dalam ANC meliputi berbagai jenis pemeriksaan
termasuk menilai keadaan umum (fisik) dan psikologis penyandang
disabilitas hamil.
c) Standar pelayanan ANC yang dilakukan kepada ibu hamil memenuhi
kriteria 10 T.
Pemberian asuhan antenatal bagi ibu berkebutuhan khusus memiliki
tantangan tersendiri, seperti pemeriksaan antropometri dan tekanan darah pada
disabilitas fisik yang tidak memiliki ekstremitas atau pemberian temu
wicara/konseling pada disabilitas intelektual dan disabilitas rungu-wicara yang
membutuhkan pendamping saat konseling.

c. Asuhan persalinan
 Promotif
a) Peningkatan pemahaman bagi penyandang disabilitas dan keluarga
atau pendamping tentang kehamilan, persalinan, nifas, KBPP dan
manajemen laktasi.
b) Memberikan konseling persalinan kepada pemdamping maupun
penyandang disabilitas bahwa harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
dan di fasilitas pelayanan kesehatan.
c) Pengenalan dan pemanfaatan buku KIA
 Preventif
a) Persalinan pada penyandang disabilitas dilaksanakan sesuai keadaan
klinis pasien atau sesuai hasil pemeriksaan pada saat masa kehamilan.
b) Konseling kesehatan ibu dan anak
c) Mengenai tanda awal persalinan
 Tatalaksana
a) Mendapatkan pelayanan persalinan sesuai standar. Pelayanan
dilakukan minimal oleh bidan yang memiliki STR dan sesuai
kewenangannya.
b) Pelayanan dimulai dari Kala I sampai dengan Kala IV persalinan.
Diberikan sesuai dengan pedoman asuhan persalinan normal.
c) Penyandang disabilitas dapat melakukan persalinan normal jika
dipastikan keadaan ibu dan bayi tidak ada komplikasi atau masalah.
Untuk disabilitas intelektual atau fisik perlu pendampingan keluarga
atau orang terdekat untuk mendukung ibu saat melahirkan.
d. Asuhan masa nifas
 Promotif
a) Pelayanan masa nifas pada penyandang disabilitas dilaksanakan
dengan melibatkan keluarga atau pendamping, setelah sebelumnya
dilakukan konseling oleh petugas kesehatan
b) Peningkatan pemahaman bagi penyandang disabilitas dan pendamping
mengenai pentingnya ASI Eksklusif bagi bayi dan anjuran untuk
menyusui sampai usia 2 tahun.
c) Pengenalan dan pemanfaatan buku KIA
 Preventif
a) Fasilitasi manajemen laktasi bagi penyandang disabilitas untuk
memerah, meinyimpan dan pengiriman ASI (apabila bayi dititipkan ke
keluarga), melalui penyediaan fasilitas alat perah (breast pump), botol
ASI, kulkas dan lain sebagainya.
b) Konseling kesehatan ibu dan anak
 Tatalaksana
a) Pelayanan pasca persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki STR dan kompeten
b) Pelayanan masa nifas dilakukan minimal 4 kali dengan waktu
kunjungan ibu dan bayi baru lahir bersamaan

2. Pelayanan Keluarga Berencana


Bagi penyandang disabilitas, penggunaan kontrasepsi dilaksanakan melalui
pemilihan metode kontrasepsi sesuai plihan pasangan suami istri, sesuai indikasi dan
tidak mempengaruhi produksi ASI.
 Promotif
a) KIE tentang metode kontrasepsi
b) Peningkatan pemahaman tentang KB dan perencanaan kehamilan baik
kepada penyandang disabilitas maupun keluarganya
c) Pemberian atau pemasangan kontrasepsi kepada penyandang
disabilitas harus didahului dengan konseling dan persetujuan.
 Preventif
Kontrasepsi darurat disertai konseling dapat diberikan kepada
penyandang disabilitas yang mengalami perkosaan atau kekerasan seksual
untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan.
 Pelayanan kontrasepsi
a) Pelayanan kontrasepsi pasca persalinan
b) Pelayanan kontrasepsi interval (masa diantara dua kehamilan)
c) Pelayanan kontrasepsi darurat
d) Tatalaksana efek samping dan komplikasi penggunaan kontrasepsi
sesuai standar

Metode kontrasepsi penyandang disabilitas sama dengan non disabilitas, meliputi:

a) MKJP
1. IUD/AKDR
2. Implant. Bagi penyandang disabilitas yang tidak memiliki lengan, KB
implant dapat dipasang di bawah kulit perut
3. MOW/Tubektomi
4. MOP/Vasektomi
b) Non MKJP
1. Suntik. Bagi penyandang disabilitas yang tidak memiliki lengan, suntik
KB dapat diberikan secara IM di bokong atau tungkai.
2. Pil
3. Kondom

Pemberian pelayanan kontrasepsi pada penyandang disabilitas harus


disesuaikan dengan kondisi klien. Misalnya pemberian konseling pada disabilitas
sensorik, fisik, intelektual dan mental akan berbeda satu sama lain. Pemasangan
dan pemilihan kontrasepsi disesuaikan dengan status kesehatan klien sehingga
penyandang disabilitas dapat menggunakan kontrasepsi yang aman dan tepat.
Bagi penyandang disabilitas intelektual, konseling dapat dilakukan dengan
keluarga atau pendamping.
G. Penyediaan Layanan Kesehatan Bagi Perempuan Disabilitas/Berkebutuhan Khusus
Penyandang disabilitas merupakan kelompok yang memiliki risiko lebih tinggi
terhadap masalah kesehatan reproduksi, misalnya kekerasan seksual, kehamilan tidak
diinginkan/tidak direncanakan dan kekerasan dalam rumah tangga. Kelompok ini perlu
mendapatkan perhatian khusus karena sangat rentan mengalami berbagai bentuk
kekerasan dan diskriminasi terutama yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.

1. Penyandang disabilitas sensorik


Penyandang disabilitas sensorik mengalami kesulitan dalam mengakses informasi
dan edukasi kesehatan reproduksi karena:
 Terbatasnya media KIE kesehatan reproduksi dalam bentuk audio-visual, baik
di fasilitas pelayanan kesehatan atau fasilitas publik lainnya
 Media KIE yang tersedia umumnya berbentuk tulisan atau gambar dua
dimensi (poster, leaflet, dll) sehingga pesan tidak dapat ditangkap oleh
penyandang disabilitas netra tanpa bantuan orang lain
 Media KIE dalam bentuk audio-visual (video, iklan, layanan masyarakat, dll)
masih sangat terbatas dan umumnya belum dilengkapi dengan teks narasi atau
peraga bahasa isyarat sehingga menyulitkan bagi penyandang disabilitas
rungu-wicara.

Untuk itu, perlu dipastikan penyediaan media KIE kesehatan yang ramah
terhadap disabilitas sensorik melalui:

 Penyediaan media KIE dalam bentuk audio-visual lengkap dengan teks


narasi dan/atau peraga bahasa isyarat
 Pemberian KIE bagi klien dengan disabilitas netra sebaiknya
menggunakan alat peraga untuk membantu dalam memvisualisasi
informasi yang diberikan
 Pemberian KIE bagi klien dengan disabilitas rungu-wicara dilakukan
dengan artikulasi/gerak bibir yang jelas, dengan ritme bicara tidak terlalu
cepat, dan tanpa menggunakan masker/penutup mulut. Apabila hal ini
tidak memungkinkan maka pemberian KIE dapat dilakukan kepada
keluarga atau pendamping klien untuk selanjutnya disampaikan kepada
klien.
 Bagi klien penyandang disabilitas netra, pemberian informasi harus
dilakukan setiap kali petugas kesehatan akan melakukan pemeriksaan atau
tindakan yang berkontak langsung dengan tubuh klien. Sebelum
melakukan pemeriksaan dan tindakan, petugas kesehatan menjelaskan
dengan detail mengenai langkah-langkah dan proses pemeriksaan dan
tindakan yang akan dilakukan.
2. Penyandang disabilitas fisik
Penyandang disabilitas fisik rentan terhadap tidak diberikannya pelayanan
kesehatan sesuai standar, khususnya pengukuran, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang melibatkan anggota gerak (lengan dan tungkai). Selain itu, kondisi
infrastruktur (jalan, transportasi publik, tata ruang fasilitas pelayanan kesehatan) yang
tidak sesuai standar dapat menyulitkan penyandang disabilitas fisik yang bergantung
pada alat bantu gerak (kursi roda, tongkat, prosthesis).
Pelayanan kesehatan reproduksi yang ramah terhadap penyandang disabilitas
fisik, melalui:
a. Keterbatasan penyandang disabilitas fisik dalam menjangkau fasilitas
pelayanan kesehatan dapat dilakukan solusi berupa alternative kunjungan
rumah oleh petugas ke penyandang disabilitas untuk menyampaikan KIE
kepada ibu disabilitas serta keluarga/pendamping.
b. Penyediaan infrastrukut fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah diakses
oleh ibu disabilitas, termasuk oleh ibu disabilitas fisik yang bergantung pada
alat bantu, seperti penyediaan ram, penyediaan pegangan rambat (hand rail),
pintu utama memiliki lebar minimal 80-90 cm dan penyediaan toilet dengan
kloset duduk dan shower.
c. Penyediaan berbagai alat kesehatan yang dapat digunakan oleh tenaga
kesehatan untuk melakukan pengukuran atau pemeriksaan kesehatan bagi ibu
berkebutuhan khusus fisik, seperti timbangan berat badan untuk pengguna
kursi roda, thermometer elektrik yang ditempel telinga-dahi, cuff tensimeter
ukuran besar.
d. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam memahami dan melakukan
pengukuran/pemeriksaan kesehatan bagi penyandang disabiltas fisik,
mengingat terdapat beberapa alternative pengukuran atau pemeriksaan yang
berbeda. Misalnya pengukuran antropometri dan pengambilan specimen darah
untuk pemeriksaan penunjang.

Alternatif pengukuran antropometri dan pemeriksaan penunjang disabilitas fisik:

a) Pengukuran tinggi badan


Penyandang disabilitas fisik yang tidak mempunyai tungkai atau
tungkainya mengalami atrofi, pengukuran TB dapat dilakukan dengan mengukur
panjang tungkai, panjang depa (arm span), tinggi lutut atau tinggi duduk, rentang
satu lengan dan rentang dua lengan. Untuk yang tidak dapat berdiri, pengukuran
TB diganti dengan pengukuran panjang badan.
b) Pengukuran berat badan
Penyandang disabilitas fisik yang tidak mempunyai lengan dan/atau
tungkai, pengukuran BB dapat dilakukan dengan koreksi pada alat gerak yang
hilang atau dengan menghitung selisih BB pendamping/care giver dengan
penyandang disabilitas.
c) Penentuan status gizi
Penentuan status gizi penyandang disabilitas fisik dilakukan dengan
penentuan IMT yang bersumber dari data berat badan dan tinggi badan.
Sementara untuk penyandang disabilitas fisik yang sedang hamil namun tidak
memiliki lengan atau lengan mengalami atrofi, penentuan status gizi tidak dapat
dilakukan melalui penentuan IMT ataupun pengukuran LILA. Penentuan status
gizi dapat dilakukan dengan pengukuran lingkar pinggang, lingkar pinggul,
lingkar paha, lingkar betis atau pengukuran tebal lemak menggunakan skin fold
caliper.
d) Pengukuran tekanan darah
Disabilitas fisik yang tidak mempunyai lengan, pengukuran tekanan darah
dapat dilakukan pada paha. Sedangkan bagi disabilitas fisik yang tidak memiliki
kedua lengan dan tungkai sekaligus, pemeriksaan tekanan darah dapat dilakukan
dengan menggali dan mengkaji keluhan dan faktor resiko klien.
e) Denyut nadi
Jika tidak memungkinkan mengukur nadi di pergelangan tangan maka
pengukuran dapat dilakukan di leher.
f) Suhu
Jika pengukuran suhu pada bagian lipatan ketiak tidak memungkinkan,
maka pengukuran suhu dapat dilakukan dengan thermometer elektrik yang
ditempatkan pada telinga, bawah lidah atau dahi.
g) Pemeriksaan laboratorium
Pada penyandang disabilitas fisik yang tidak mempunyai lengan dan
tungkai, pengambilan specimen darah kapiler dapat dilakukan pada cuping
telinga. Sedangkan pengambilan specimen darah vena dapat dilakukan pada vena
femoralis.

3. Penyandang disabilitas intelektual atau mental


Penyandang disabilitas intelektual atau mental sangat bergantung pada keluarga
atau pendamping, sehingga penyedia layanan harus memastikan bahwa keluarga atau
pendamping memahami tentang hak kesehatan reproduksi dan seksual bagi
penyandang disabilitas mental/intelektual.
Perlu dipastikan penyediaan layanan kesehatan reproduksi yang ramah terhadap
penyandang disabilitas intelektual/mental melalui:
a. Pemberian KIE tentang kesehatan reproduksi dan seksual kepada klien dan
keluarga atau pendamping. Tenaga kesehatan harus memastikan bahwa
keluarga/pendamping memahami penjelasan yang diberikan.
b. Pada tingkat disabilitas yang tidak terlalu berat, edukasi harus melibatkan
kemampuan penyandang disabilitas untuk membuat suatu keputusan, karena
banyak penyandang disabilitas mempunyai sedikit kesempatan untuk melatih
membuat keputusan untuk dirinya sendiri.
c. Tenaga kesehatan harus memperhatikan bahwa persetujuan tindakan (Informed
Consent) diberikan oleh keluarga atau pendamping.
d. Tenaga kesehatan diharapkan dapat membantu penyandang disabilitas intelektual
atau mental untuk memilih metode kontrasepsi yang diinginkan dan mendorong
keterlibatan keluarga untuk keberhasilannya.
e. Tenaga kesehatan memberikan dukungan untuk memastikan penyandang
disabilitas mempunyai keinginan untuk menjadi orang tua yang berhasil dalam
perawatan anak.

H. Peran Keluarga, Masyarakat, Pemerintah dan Swasta


1. Peran Keluarga
a. Menerima kondisi penyandang disabilitas dan memberikan empati
b. Memberikan kasih sayang dan membantu mengembangkan kemandirian
c. Mendampingi dalam berlatih dan mempelajari hal baru
d. Mengutamakan kekuatan yang dimiliki
e. Menjamin lingkungan rumah yang aman dan nyaman bagi penyandang disabilitas
f. Bekerja sama dengan petugas kesehatan dan unsur-unsur masyarakat lainnya
2. Peran Masyarakat
a. Menerima dengan baik keberadaan penyandang disabilitas
b. Memberikan informasi yang relevan terkait dengan nilai dan sikap seksual yang
positif
c. Memberikan dukungan, menghormati terhadap keputusan yang diambil dalam
pemecahan masalah, dan berkomunikasi efektif sehingga penyandang disabilitas
menjadi individu yang bertanggung jawab
d. Menjaga dan melindungi penyandang disabilitas dari tindak kekerasan fisik,
seksual dan psikis
e. Melaporkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan jika menemukan kasus
kekerasan pada penyandang disabilitas
3. Peran LSM
a. Mendukung pemerintah dalam berbagai program yang berhubungan dengan
penyandang disabilitas
b. Pendampingan LSM dalam penanganan kasus kekerasan pada penyandang
disabilitas
4. Peran pemerintah
a. Melakukan advokasi, sosialisasi, koordinasi pelaksanaan pelayanan kesehatan
reproduksi bagi penyandang disabilitas
b. Menyusun materi KIE terkait komponen kesehatan
c. Monitoring dan evaluasi
d. Menyusun dan menetapkan NSPK pelayanan kesehatan bagi penyandang
disabilitas
e. Pencatatan dan pelaporan
5. Peran Puskesmas/RS
a. Melakukan pelayanan kesehatan dan asuhan bagi penyandang disabilitas utama
perempuan
b. Membangun kemitraan dengan organisasi profesi, institusi pendidikan, LSM atau
pihak terkait lainnya untuk mendukung pelaksanaan pelayanan dan asuhan kepada
perempuan penyandang disabilitas
c. Menyediakan media KIE terkait komponen kesehatan
d. Pencatatan dan pelaporan
e. Monitoring dan evaluasi
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu yang lama dalam berinteraksi
dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara
penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Wanita penyandang disabilitas memiliki risiko lebih tinggi terhadap perawatan prenatal
yang tidak memadai, rawat inap di rumah sakit selama kehamilan, persalinan sesar,
persalinan prematur pada bayi dengan berat lahir rendah. Mengenai interaksi pada tenaga
kesehatan, mereka mengalami ketidakpekaan, kurangnya pengetahuan mengenai disabilitas,
informasi dan dukungan yang terbatas atau tidak memadai dan praktik diskriminatif.
Sementara pada survei mengungkapkan bahwa departemen kebidanan sebagian besar sesuai
dengan persyaratan peraturan bangunan yang berbeda, langkah-langkah tambahan atau
adaptasi dari inventaris untuk perempuan penyandang cacat fisik tidak dilaksanakan secara
nasional.

B. Saran
Sebaiknya meningkatan pemahaman bagi penyandang disabilitas, keluarga atau
pendamping tentang kehamilan (tanda bahaya kehamilan), persalinan, keluarga berencana
pasca persalinan dan memberikan konseling persalinan kepada pemdamping maupun
penyandang disabilitas bahwa harus dilakukan oleh tenaga kesehatan dan di fasilitas
pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Windi, C. (2019). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.


http://fik.um.ac.id/wp-content/uploads/2020/10/2.-PROMOSI-KESEHATAN-DAN-ILMU-
PERILAKU.pdf

Triana, I. (2020). Promosi Kesehatan. http://repository.unas.ac.id/610/1/Triana%20Buku


%20FULL.pdf

Nurul, M. (2020). Modul Asuhan Pada Perempuan dan Anak Dengan Kondisi Rentan.
http://repository.stikessaptabakti.ac.id/181/1/asuhan%20perempuan%20dan%20anak
%20kondisii%20rentan.pdf

Umi. (2020). Askeb Pada Perempuan dan Anak Dalam Keadaan Rentan, Kebutuhan Khusus
Dari Segi Aspek Geografis. https://www.scribd.com/document/503699548/mb-umi

Lilis, N. (2016). Gambaran Pelayanan Kesehatan Bagi Penyandang Disabilitas Intelektual Di


Wilayah Kerja Puskesmas Jambon Kab. Ponorogo.
http://lib.unnes.ac.id/25814/1/6411411088.pdf

Ezi, dkk. (2020). Pandangan Profesional Kesehatan Tentang Perawatan Bersalin Untuk Wanita
Penyandang Cacat Fisik. https://www.scribd.com/document/533936149/TUGAS-KELOMPOK-
3

Tri, dkk. (2013). Akses dan Informasi Bagi Perempuan Penyandang Disabilitas Dalam
Pelayanan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas.
https://www.researchgate.net/publication/344069594_Akses_dan_informasi_bagi_perempuan_p
enyandang_disabilitas_dalam_pelayanan_kesehatan_reproduksi_dan_seksualitas

Kemenkes RI. (2017). Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Bagi


Penyandang Disabilitas Usia Dewasa. http://stikesyahoedsmg.ac.id

Anda mungkin juga menyukai