Nama Mahasiswa : Ikrimah Wardah Tanggal Pemeriksaan :
NPM : 12517844 Nama Asisten : Kelas : 5PA08 Paraf Asisten :
1. Percobaan :Indera Penciuman
Nama Percobaan :Kepekaan reseptor lidah Nama Subjek Percobaan :Ikrimah Wardah Tempat Percobaan :Rumah a. Tujuan Percobaan :Mengetahui kepekaan rasa pada bagian-bagian tertentu pada lidah b. Dasar Teori :Kita dapat membeda-bedakan ribuan sensasi rasa, namun semua rasa adalah variasi kombinasi dari lima rasa primer: asin, asam, manis, pahit, dan umami. Umami, rasa daging atau rasa lezat, baru-baru ini ditambahkan ke daftar rasa primer. Reseptor manis merespon zat seperti gula, sakarin, beberapa asam amino, dan beberapa garam timbal (seperti yang ditemukan dalam cat timbal). Reseptor asam merespon ion hidrogen (H+), atau keasaman larutan; reseptor pahit untuk alkaloid; dan reseptor asin untuk ion logam dalam larutan. Umami ditimbulkan oleh asam amino glutamat, yang tampaknya bertanggung jawab atas "rasa daging sapi" dari steak dan rasa monosodium glutamat, bahan tambahan makanan (Sherwood, 2001). Secara historis, ujung lidah diyakini paling sensitif terhadap zat manis dan asin, sisinya terhadap asam, bagian belakang lidah terhadap pahit, dan faring terhadap umami (Marieb, 2015). Namun terdapat temuan yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan regional dimana rasa tertentu dapat dideteksi. Misalnya, kepercayaan lama bahwa rasa pahit terlokalisasi di bagian belakang lidah dengan konsentrasi papila sirkumvalata yang tinggi atau rasa manis paling baik dideteksi di ujung lidah itu dapat dinyatakan tidak benar. Tidak ada "peta" lidah atau rasa yang secara akurat menunjukkan area regional yang memiliki kepekaan tertentu terhadap selera yang berbeda. Semua rasa dapat dideteksi di semua area lidah yang mengandung kuncup pengecap (Patton & Thibodeau, 2014). c. Alat yang Digunakan :5 buah gelas, ½ sdt 5 bahan perasa (pahit menggunakan kopi, asam menggunakan cuka, asin menggunakan garam, manis menggunakan gula, pedas menggunakan bubuk cabe), air secukupnya, 3 buah cotton buds, 5 buah label, bolpen, 5 lembar tisu, 1 sapu tangan. d. Jalannya Percobaan :Setiap gelas diberikan masing-masing ½ sdt bahan perasa dan air secukupnya untuk melarutkan bahan. Setelah semua bahan telah larut, semua gelas ditempelkan label dan dituliskan rasa masing- masing larutan. Setelah itu, mata subjek ditutup menggunakan sapu tangan, dan asisten percobaan mulai mencelupkan cotton buds ke salah satu gelas larutan secara acak dan memberikannya ke atas lidah subjek percobaan, kemudian subjek diminta menebak rasa apa yang muncul pada larutan yang diberikan. Hal tersebut kemudian dilakukan hingga semua larutan dalam gelas sudah diberikan kepada subjek. Catatan: cotton buds yang dicelupkan adalah yang baru pada setiap larutan, tidak dilakukan pencelupan ulang larutan pada sisi cotton bud yang sama. Lidah subjek juga perlu dilap menggunakan tisu setiap kali selesai menebak larutan yang dicoba. Oleh asisten percobaan, cotton buds yang telah dicelupkan ke dalam setiap larutan diberikan di daerah tengah lidah subjek. Rata-rata waktu yang dibutuhkan subjek untuk dapat menebak setiap larutan yang diberikan adalah 1 detik dan subjek dapat menebak dengan benar semua rasa yang muncul dari setiap larutan. e. Hasil Percobaan :Subjek menyatakan bahwa tidak terdapat lokasi atau tempat tertentu di lidah yang lebih peka terhadap rasa tertentu. Saat larutan diberikan di bagian tengah lidah, subjek hanya merasakan rasa tersebut berkonsentrasi di daerah lidah dimana larutan itu diberikan, dan ketika dikecap beberapa kali, rasa larutan menyebar ke seluruh bagian lidah. Hal yang sama dirasakan pada seluruh larutan yang diberikan. Perbedaan rasa yang dirasakan hanya saat subjek merasakan larutan cabai, karena rasa pedasnya bertahan hingga beberapa saat setelah larutan diberikan meskipun lidah sudah diseka menggunakan tisu bersih f. Kesimpulan :Berdasarkan percobaan yang dilakukan, tidak terdapat perbedaan modalitas rasa pada bagian-bagian tertentu di lidah. Hal ini mengonfirmasi pendapat yang mengatakan bahwa tidak terdapat daerah tertentu pada lidah yang merasakan modalitas rasa tertentu, atau dapat dikatakan bahwa pendapat yang menyatakan setiap rasa secara tertentu terlokalisasi pada bagian-bagian tertentu pada lidah adalah tidak benar. g. Daftar Pustaka :Marieb, E. N. (2015). Essentials of Human Anatomy & Physiology, 11th Edn. Harlow: Pearson Education. Patton, K. T., & Thibodeau, G. A. (2014). Anthony's Textbook of Anatomy & Physiology-E-Book. USA: Elsevier Health Sciences. Sherwood, L. (2007). Human physiology: from cells to systems, 6th ed. Pendit, Brahm U. (2011) Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta : EGC. 2. Percobaan :Indra Penciuman Nama Percobaan :Pembauan Nama Subjek Percobaan :Ikrimah Wardah Tempat Percobaan :Rumah a. Tujuan Percobaan :Untuk membuktikan bahwa zat yang dibaui adalah zat yang berupa gas, serta membedakan beberapa wewangian mulai dari bau yang tidak enak sampai yang enak. b. Dasar Teori :Agar dapat dibaui, suatu bahan harus (1) cukup mudah menguap sehingga sebagian molekulnya dapat masuk ke hidung melalui udara inspirasi dan (2) cukup larut air sehingga dapat masuk ke lapisan mukus yang menurupi mukosa olfaktorius. Seperti reseptor kecap, agar dapat rerdeteksi oleh reseptor olfaktorius, molekul harus larut (Sherwood, 2007). Hidung manusia mengandung 5 juta reseptor olfaktorius, dengan 1000 tipe berbeda. Selama deteksi bau, suatu bau “diuraikan” menjadi berbagai komponen. Setiap reseptor berespons hanya terhadap satu komponen diskret suatu bau dan bukan terhadap molekul odoran keseluruhan. Karena itu, masing-masing bagian dari suatu bau dideteksi oleh satu dari ribuan reseptor berbeda dan sebuah reseptor dapat berespons terhadap komponen bau tertentu yang terdapat di berbagai aroma (Sherwood, 2007). Sistem olfaktorius memiliki sensitifitas yang tinggi karena setiap bau mengaktifkan banyak reseptor dan glomerulus sebagai respons terhadap komponen-komponen baunya. Meskipun begitu, sistem olfaktorius juga memiliki kemampuan untuk cepat beradaptasi (Marieb, 2015; Sherwood, 2007). Adaptasi ini bersifat spesifik untuk bau tertentu dan responsivitas terhadap bau lain tidak berubah. Hal ini disebabkan adanya beberapa enzim “pemakan bau” yang berfungsi membersihkan molekul- molekul odoriferus sehingga mereka tidak terus-menerus merangsang reseptor olfaktorius. Para peneliti berspekulasi bahwa enzim-enzim hidung mungkin memiliki fungsi rangkap sebagai pembersih mukosa olfaktorius dari odoran lama dan pengubah bahan-bahan kimia yang berpotensi toksik menjadi molekul yang tidak membahayakan. Detoksifikasi semacam ini akan memiliki fungsi sangat penting, karena terbukanya saluran anrara mukosa olfaktorius dan otak (Sherwood, 2007). Indera penciuman dapat menciptakan ingatan yang kuat dan tahan lama. Kenangan yang digabungkan dengan input sensorik yang unik, terutama bau yang khas, sering bertahan dari masa kanak-kanak hingga kematian. Bau ruang dokter gigi, bau bayi, bau dapur, dan bau mobil baru adalah contoh “pemicu” penciuman yang sering memunculkan kembali ingatan akan peristiwa yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Selain korteks olfaktorius dan area talamus otak, komponen sistem limbik, termasuk girus cingulata dan hipokampus, memainkan peran kunci dalam menggabungkan input indera penciuman ke memori jangka pendek dan jangka panjang. Bau tertentu tidak hanya dapat memicu ingatan jangka panjang, tetapi juga sering memungkinkan individu untuk mengingat emosi yang terkait dengan pengalaman yang diingat juga. Mekanisme hubungan yang kompleks antara pendeteksian bau tertentu dan ingatan akan emosi aktual dan suasana di sekitar ingatan jangka panjang masih belum diketahui (Patton & Thibodeau, 2014). c. Alat yang Digunakan :Jahe, lengkuas, ketumbar, minyak telon, balsam, dan sapu tangan. d. Jalannya Percobaan :Mata subjek ditutup menggunakan sapu tangan, kemudian asisten percobaan menyodorkan kelima bahan yang telah disediakan mendekati hidung subjek dan memintanya untuk menebak aroma dari benda apa yang dibaui. Subjek dapat dengan benar menjawab semua benda yang dibaui aromanya. Waktu rata-rata yang dibutuhkan subjek untuk mengetahui benda yang dimaksud adalah 1 detik, sedangkan waktu yang diperlukan subjek untuk transisi bahan yang 1 ke bahan yang lainnya adalah 2 detik. e. Hasil Percobaan :Berdasarkan percobaan yang dilakukan, subjek yang menjawab dengan benar dan cepat aroma ke-5 bahan yang digunakan menunjukkan bahwa sistem olfaktorius yang terdapat pada indra penciumannya berfungsi dengan sangat baik. Selain itu, waktu transisi yang dibutuhkan oleh subjek untuk membaui bahan- bahan yang disediakan adalah 2 detik tanpa perlu perlakuan khusus untuk membersihkan aromanya mengonfirmasi temuan yang menyatakan bahwa sistem olfaktorius memiliki tingkat adaptasi yang tinggi dari suatu bau tanpa menghilangkan responsivitas terhadap bau yang lain (Sheerwood, 2007; Marieb, 2015). Kemudian, saat subjek mencium aroma jahe, ketumbar, dan lengkuas, ingatan subjek langsung menuju ke dapur rumahnya serta makanan yang pernah dimasaknya. Begitupun saat subjek mencium aroma minyak telon, hal ini membuat subjek mengingat bau bayi, dan aroma balsam mengingatkannya dengan aroma ibunya saat sakit. Beberapa ingatan yang muncul saat mencium bahan tertentu sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa aroma dapat menciptakan ingatan yang kuat dan tahan lama (Patton & Thibodeau, 2014). f. Kesimpulan :Hasil percobaan di atas mengonfirmasi seluruh teori yang digunakan dalam percobaan ini, dimana hidung memiliki sistem reseptor bau yang disebut sistem olfaktorius. Sistem ini dapat dengan sensitif dan responsive menangkap bau yang ada di sekitar kita. Selain itu, sistem reseptor penciuman juga memiliki adaptasi yang cukup baik sehingga tidak diperlukan cara khusus untuk beralih mendeteksi bau dari bahan yang lainnya. Ditemukan juga bahwa aroma dapat membangkitkan ingatan masa lalu yang berkaitan aroma tersebut. g. Daftar Pustaka :Marieb, E. N. (2015). Essentials of Human Anatomy & Physiology, 11th Edn. Harlow: Pearson Education. Patton, K. T., & Thibodeau, G. A. (2014). Anthony's Textbook of Anatomy & Physiology-E-Book. USA: Elsevier Health Sciences. Sherwood, L. (2007). Human physiology: from cells to systems, 6th ed. Pendit, Brahm U. (2011) Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta : EGC.