Anda di halaman 1dari 32

POTENSI MANUSIA

A. Pengertian Potensi Manusia


Potensi diri merupakan kemampuan, kekuatan, baik yang belum terwujud maupun yang
telah terwujud, yang dimiliki seseorang, tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan
secara maksimal.
Manusia menurut agama islam adalah makhluk Allah yang berpotensi. Dalam al-Qur’an,
ada tiga kata yang menunjuk pada manusia, yang di gunakan adalah basyar insan atau nas dan
bani Adam.
Kata basyar diambil dari akar kata yang berarti ‘penampakan sesuatu dengan baik dan
indah’. Dari kata itu juga, muncul kata basyarah yang artinya ‘kulit’. Jadi, manusia disebut
basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang. Manusia dipilih oleh
Allah sebagai khalifah di muka bumi. Alasan mengapa dipilih sebagai khalifah karena manusia
memiliki berbagai potensi.

B. Macam-Macam Potensi Manusia


Manusia memiliki potensi diri yang dapat dibedakan menjadi 5 macam, yaitu:
1. Potensi Fisik (Psychomotoric)
Potensi diri ini dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk saling membagi kepentingan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohnya hidung untuk mencium bau, tangan untuk
menulis, kaki untuk berjalan, telinga untuk mendengar, dan mata untuk melihat.
2. Potensi Mental Intelektual (Intellectual Quotient)
Potensi diri ini adalah potensi kecerdasan yang terdapat di otak manusia (terutama otak
bagian kiri). Fungsi dari potensi ini yaitu untuk merencanakan sesuatu, menghitung dan
menganalisis.
3. Potensi Sosial Emosional (Emotional Quotient)
Potensi diri ini sama dengan potensi mental intelektual, tetapi potensi ini terdapat di otak
manusia bagian kanan. Fungsinya yaitu untuk bertanggung jawab, mengendalikan amarah,
motivasi, dan kesadaran diri.
4. Potensi Mental Spiritual (Spiritual Quotient)
Potensi ini merupakan potensi kecerdasan yang berasal dari dalam diri manusia yang
berhubungan dengan kesadaran jiwa, bukan hanya untuk mengetahui norma, tapi untuk
menemukan norma.
5. Potensi Daya Juang (Adversity Quetient)
Sama seperti potensi mental spiritual, potensi daya juang juga berasal dari dalam diri
manusia dan berhubungan dengan keuletan, ketangguhan, dan daya juang yang tinggi.1[1]

Sedangkan apabila kita merenungkan, sejarah kehidupan manusia di awali sejarah Nabi
Adam dan anak cucunya yang mendiami muka bumi ini. Mereka yang dibesarkan oleh
perkembangan zaman, lalu disusul dengan terwujudnya kesejahteraan di bumi ini.
Beberapa potensi manusia menurut agama islam yang diberikan oleh Allah SWT.:
1. Potensi Akal
Manusia memiliki potensi akal yang dapat menyusun konsep-konsep, mencipta,
mengembangkan, dan mengemukakan gagasan. Dengan potensi ini, manusia dapat
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin di muka bumi. Namun, factor subyektifitas
manusia dapat mengarahkan manusia pada kesalahan dan kebenaran.
2. Potensi Ruh
Manusia memiliki ruh. Banyak mendapat para ahli tentang ruh. Ada yang mengatakan
bahwa ruh pada manusia adalah nyawa. Sementara sebagian yang lain mengalami ruh pada
manusia sebagai dukungan dan peneguhan kekuatan batin. Soal ruh ini memang bukan urusan
manusia karena manusia memiliki sedikit ilmu pengetahuan. Bukankah urusan ruh menjadi
urusan Tuhan. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: ‘ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit”
(QS. Al-Isra’: 85)
3. Potensi Qalbu
Qalbu disini tidak dimaknai sebagai hati yang ada pada manusia. Qalbu lebih mengarah
pada aktifitas rasa yang bolak-balik. Sesekali senang, sesekali susah, kadang setuju kadang
menolak.

1[1] http://za-enal.blogspot.com/2012/03/potensi-diri-dan-macam-macamnya.html
Qalbu berhubungan dengan keimanan. Qalbu merupakan wadah dari rasa takut, cinta,
kasih sayang, dan keimanan. Karena qalbu ibarat sebuah wadah, ia berpotensi menjadi kotor atau
tetap bersih.
4. Potensi Fitrah
Manusia pada saat lahir memiliki potensi fitrah. Fitrah disini tidak dimaknai melulu
sebagai sesuatu yang suci. Fitrah disini adalah bahwa sejak lahir fitrah manusia adalah membawa
agama yang benar. Namun, kondisi fitrah ini berpotensi tercampur dengan yang lain dalam
proses pembentukannya.
5. Potensi Nafs
Dalam bahasa Indonesia, nafs diserap menjadi nafsu berarti ‘dorongan kuat berbuat
kurang baik’. Sementara nafs yang ada pada manusia tidak hanya dorongan berbuat buruk, tetapi
berpotensi berbuat baik. Dengan kata lain, nafs ini berpotensi positif dan negative.
Melekatnya nafs pada diri manusia cenderung berpotensi positif. Namun, potensi
negative daya tariknya lebih kuat dari pada potensi positif. Oleh karena itu manusia diminta
menjaga kesucian nafsnya agar tidak kotor.
Sebagai manusia, fitrah kita cenderung mengarah kepada hal-hal baik dan terpuji.
Namun, karena manusia diberi akal, nafsu dan syahwat. Bisa jadi kedua tipe akhlak tersebut ada
pada diri kita. Tetapi karena manusia memiliki hawa nafsu, maka dari itulah derajat manusia
lebih tinggi daripada malaikat, syetan, bahkan semua makhluk ciptaan Allah.

C. Ayat-Ayat tentang Potensi Manusia

Surat Al an’am ayat 79

“(Sesungguhnya aku menghadapkan diriku) aku menghadapkan diri dengan beribadah (kepada
Tuhan yang telah menciptakan) yang telah mewujudkan (langit dan bumi) yaitu Allah swt.
(dengan cenderung) meninggalkan semua agama untuk memeluk agama yang benar (dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan) Allah.”

Ø TAFSIR
Setelah Allah swt. mengisahkan kelepasan diri Nabi Ibrahim a.s. dari kemusyrikan
kaumnya, Allah swt. mengisahkan pula kelanjutan dari pada kelepasan diri itu dengan
menggambarkan sikap Ibrahim a.s dan akidah tauhidnya yang murni, yaitu Ibrahim a.s.
menghadapkan dirinya dalam ibadah ibadahnya kepada Allah yang menciptakan langit dan
bumi.
Dia pula yang menciptakan benda-benda langit yang terang benderang di angkasa raya dan yang
menciptakan manusia seluruhnya, termasuk pemahat patung-patung yang beraneka ragam
bentuknya.
Ibrahim a.s. cenderung kepada agama tauhid dan menyatakan bahwa agama agama
lainnya adalah batal dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang yang musyrik. Dia
seorang yang berserah diri kepada Allah swt. semata.
Ø Asbabun nuzul
Firman Allah:
: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dan pada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama Ibrahim
yang lurus. “ (Q.S An Nisa': 125)

Dan firman-Nya::
“Barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat
kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (Q.S.
Luqman: 22)
Ø ASPEK TARBAWI
- Hendaknya senantiasa mengingat Allah SWT. yang menciptakan seluruh alam.
- Selalu berserah diri dan beribadah kepada Allah SWT.

Surat Al a’raaf ayat 160

“Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah
besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya:` Pukullah
batu itu dengan tongkatmu! `. Maka memancarlah daripadanya dua belas mata air.
Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan
awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami berfirman):`
Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezkikan kepadamu `. Mereka tidak
menganiaya Kami, tetapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri.”

Ø MUFRODAT

‫َوَقطّ ْعن‬ : dan mereka kami bagi


‫َاهُم‬

‫وأ حي ْن َا‬
َ : dan kami wahyukan
‫َو‬
‫ب‬
ْ‫ر‬
ِ ‫ض‬ ‫ا‬ : pukullah
‫أ َن‬

‫ج‬ ‫َفان ْب‬ : maka memancarlah


‫َس‬
‫ْت‬

‫َوظَ لّ لْ ن‬ : dan kami naungkan


‫َا‬

‫الْ َغما َم‬ : awan

Ø TAFSIR
Allah membagi kaum Musa, baik yang beriman kepada Allah maupun yang ingkar
kepada-Nya menjadi dua belas suku yang dinamakan "Sibt". Pada suatu perjalanan di tengah-
tengah padang pasir, kaumnya menderita kehausan, maka Allah mewahyukan kepada Musa agar
ia memukulkan tongkatnya ke sebuah batu. Setelah Musa memukulkannya, maka terpancarlah
dari batu itu dua belas mata air, sesuai dengan banyaknya suku-suku Bani Israil. Untuk masing-
masing suku disediakan satu mata air dan mereka telah mengetahui tempat minum mereka; untuk
menjaga ketertiban dan menghindarkan berdesak-desakan.
Kejadian ini merupakan mukjizat bagi Nabi Musa a.s. untuk membuktikan kerasulannya
dan untuk memperlihatkan kekuasaan Allah swt. Kalau dahulu ia memukulkan tongkatnya ke
laut sehingga terbentanglah jalan akan dilalui Bani Israil dari pengejaran Fir’aun dan tentaranya,
maka pada kejadian ini Musa memukulkan tongkatnya ke batu, sehingga keluarlah air dari batu
itu untuk melepaskan haus kaumnya. Kejadian ini di samping merupakan mukjizat bagi Nabi
Musa juga menunjukkan besarnya karunia Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada Bani Israil.

Di samping karunia itu Allah swt. menyebutkan lagi karunia yang telah diberikan-Nya kepada
Bani Israil, yaitu:
1. Allah swt. melindungi mereka dengan awan di waktu mereka berjalan di tengah padang pasir
dan di waktu panas terik matahari yang membakar itu. Jika tidak ada awan yang melindungi,
tentulah mereka terbakar oleh kepanasan matahari. Hal ini terjadi ketika mereka meninggalkan
negeri Mesir dan setelah menyeberangi Laut Merah. Mereka sampai di gurun pasir di
Semenanjung Sinai dan ditimpa panas yang terik. Karena itu mereka minta agar Musa berdoa
kepada Tuhan agar memberikan pertolongan-Nya. Allah menolong mereka dengan
mendatangkan awan yang dapat melindungi mereka dari panas terik matahari.
2. Di samping itu Allah mengaruniakan pula kepala mereka makanan yang disebut "al-manna"
semacam makanan yang manis seperti madu yang turun terus-menerus dari langit sejak fajar
menyingsing sampai matahari terbit. Di samping itu dianugerahkan Allah pula kepada mereka
bahan makanan semacam burung puyuh yang disebut "salwa."
3. Allah memerintahkan kepada mereka agar memakan makanan yang halal yang baik, berfaedah
bagi jasmani dan rohani, akal dan pikiran. Allah swt telah melimpahkan karunia-Nya yang amat
besar bagi Bani Israil tetapi mereka tidak mau bersyukur, bahkan mereka mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah, ingkar kepada-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya yang
berakibat mereka mendapat azab dan siksaan-Nya. Mereka disiksa itu semata-mata karena
perbuatan mereka sendiri, bukanlah karena Allah hendak menganiaya mereka. Tersebut dalam
sebuah hadis Qudsi:
: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan (mengerjakan)
kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan perbuatan zalim itu (sebagai suatu perbuatan) yang
diharamkan di antaramu, maka janganlah kamu saling berbuat zalim (di antara sesamamu).
Wahai hamba-hamba-Ku, kamu sekali-kali tidak akan dapat menimbulkan kemudaratan kepada-
Ku, sehingga Aku memperoleh kemudaratan karenanya, dan kamu sekalian tidak dapat memberi
manfaat kepada-Ku sehingga Aku memperoleh manfaat karenanya.”

Ø ASPEK TARBAWI
- Hendaknya selalu bersyukur atas rejeki yang diberikan oleh Allah SWT.
- Memakan makanan yang baik dan halal.

Surat Al.mudatsir ayat 27

‫أأ اۡ د‬ ‫َقا‬ (٧٢


َ‫ٰ َٮ ورااااااا ا‬ ‫َُرماا‬
(‫آ َكمااا‬ ‫س‬

“Dan apa jalannya engkau dapat mengetahui kedahsyatan neraka Saqar itu?”
Ø MUFRODAT
Neraka saqar : ُ ‫ر َق س‬

Ø TAFSIR
Dalam ayat ini digambarkan pula betapa sifat neraka Saqar itu. Perkataan "wa ma adra
ka" (dan tahukah engkau) dalam bahasa Arab menunjukkan besar dan sangat dahsyatnya masalah
yang dipertanyakan. Apakah yang engkau ketahui tentang Saqar? Dan pasti tidak seorang pun
mengetahuinya dan mencapai hakikat sebenarnya kecuali dengan keterangan yang diberikan oleh
wahyu.
Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak mengembalikan. Artinya setiap tubuh manusia
yang dibakarnya tidak satupun yang tersisa dari daging maupun tulang. Dan dikembalikan lagi
tubuh yang telah hangus itu menjadi baru dan segar tetapi kemudian dibakarnya lagi sampai
hangus untuk kedua kali dan seterusnya.
Keterangan seperti ini kita peroleh dari ayat lain yang artinya:
“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya
mereka merasakan azab……” (Q.S. An Nisa': 56).2[2]

Ø ASPEK TARBAWI
- Segala perbuatan baik ataupun buruk yang kita lakukan akan ada balasannya.
- Kita harus selalu mengingat bahwa siksa Allah sangatlah pedih.

Surat Al-anbiya’ ayat 34-35

‫ك ّمن‬
‫د َقبل‬
َۡ ‫ل ٱخل‬ ‫د و م ّمأ‬ ُ ِ ٰ‫خـ ل‬
ۡ ‫(ل‬٤٣ ) ‫س‬ ِٕ ‫َذ اٮ‬ ‫مو‬
ۡ ‫لٱ‬
‫َن َفه ّفَتإ ِي ْن‬ ‫ٱ‬ ‫ةك‬ ‫ِت‬
‫ُل‬ ‫نَقف ۡ۬ جعل‬ ‫ل ِ۬ ب‬
‫َش‬
‫ش ۡن َا َوما‬
‫شر‬
‫ش‬
‫ر ب ِـٱل ّش ّر َون َۡب‬
ِۡ ‫خي‬ ‫ِفتن‬ ‫(ت ُر َجُۡعو َن َوإ ِلَ ي‬٥٣
( ‫ُل‬ ‫ةـو‬ ۡ ً ‫َش‬ ‫ۡن َا‬
‫شلشـ ۡٱ‬
2[2] http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp?
pageno=2&SuratKe=74#Top. Diakses , 7 april 2013
34. “Dan Kami tidak menjadikan seseorang manusia sebelummu dapat hidup kekal (di
dunia ini). Maka kalau engkau meninggal dunia (wahai Muhammad), adakah mereka akan
hidup selama-lamanya?”
35. “Tiap-tiap diri akan merasai mati, dan Kami menguji kamu dengan kesusahan dan
kesenangan sebagai cubaan; dan kepada Kamilah kamu semua akan dikembalikan.”
Ø MUFRODAT

Hidup kekal : ‫ل‬


‫ُۡخلششد‬
‫ٱ‬

Engkau meninggal dunia :ّ ‫ت‬ ‫م‬

Setiap jiwa : ‫نفشش ٍۡ س ك‬


‫ُل‬

menguji Kami Dan ۡ ُ ‫َون َب‬


:‫ل‬

Cobaan : ‫ِۡفت َن ً۬ة‬

dikembalikan Akan G:‫ت ُر َۡ جُعو َن‬

Ø TAFSIR
Penjelasan ayat ini adalah bahwa tidak ada yang kekal dikehidupan ini. Orang-orang
musyrik bergembira jika musibah kematian menimpa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka mengatakan : “Kita menunggu ajal menimpanya”.3[3]
Ayat ini menjelaskan bahwa semua yang makhluk bernafas di muka bumi ini akan mati,
baik Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para Nabi dan Rasul sebelumnya.
Kegembiraan orang-orang musyrik atas kematian beliau tidak berguna sama sekali, karena
mereka pun juga akan mati.
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang maknanya): “wahai Muhammad, Kami tidak menjadikan anak cucu

3[3] Abû bakar Jâbir al-Jazâiri, Aisarut Tafasir, Maktabah Ulûm wal Hikam. (Madinah:
2003), hlm. 412
Adam hidup abadi di dunia ini sebelum kamu; sehingga Aku mengabadikan kamu; dan kamu
akan mati sebagaimana mereka”.4[4]

Di dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

‫ر َجُعو َن‬
‫ُكل َن ْف ٍس َذأ ِئ َق ُة أل ِ م إ ِلَ ي‬
‫ْن َا ت‬ ‫َم ْو ت‬
‫ث‬
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu
dikembalikan.” (al-‘Ankabût: 57)
Setiap orang akan menemui ajalnya. Ini tidak bisa dipungkiri, baik bagi yang pergi
berperang maupun yang tidak, dan tidak ada sesuatupun yang bisa menyelamatkan manusia dari
kematian, karena sesungguhnya ajal sudah ditentukan”.5[5] Jadi, setiap yang bernyawa di muka
bumi ini baik manusia, jin maupun hewan, akan mati dan tidak ada yang dijadikan hidup abadi
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Alloh “Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan”, yaitu Kami akan menguji kamu kadang-kadang
dengan musibah-musibah dan kadang-kadang dengan kenikmatan-kenikmatan, sehingga Alloh
akan melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur, siapa yang bersabar dan siapa yang
berputus asa. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas: “Kami akan menguji kamu dengan
kesusahan dan kemakmuran, kesehatan dan sakit, kekayaan dan kemiskinan, halal dan harom,
ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anbiya’ : 35)
Banyak manusia berputus asa dengan kesusahan yang mereka alami, seolah-olah
kesusahan itu tidak akan hilang dari mereka. Namun sebaliknya, jika manusia itu mendapatkan
berbagai macam kesenangan dan kenikmatan, maka kebanyakan mereka melupakan kepada
Penciptanya. Mereka menganggap bahwa mereka berhak mendapatkan kenikmatan itu, mereka
menganggap itu semua karena usahanya dan kepandaiannya. Kemudian kebanyakan mereka
berbuat melewati batas.
Imam Ibnu Katsir berkata: “Alloh Ta’ala memberitakan tentang manusia dan sifat-sifat
tercela yang ada padanya, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Alloh, yaitu hamba-

4[4] Muhammad bin Jarîr Abû Ja’far at-Thabary, Tafsir at-Thabari. (Lebanon: Muassasah
Risâlah, 2000 ), hlm. 439
5[5] Salim Bahreisy & Said Bahreisy. Terjemahan singkat Tafsir Ibnu Katsir. (Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 1990), hlm. 360
hambaNya yang beriman. Bahwa manusia itu jika ditimpa oleh kesusahan setelah kenikmatan,
dia berputus asa dari kebaikan terhadap masa depan, dan dia mengingkari (kebaikan) yang telah
lewat, seolah-olah dia tidak pernah melihat kebaikan, dan setelah itu dia tidak berharap
kelonggaran. Demikian juga jika manusia itu mengalami kenikmatan setelah kesusahan, “dia
akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku”, yaitu: setelah ini kesusahan dan
keburukan tidak akan menimpaku lagi.
FirmanNya: “Sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga“, yaitu dia bergembira dan
bersombong dengan apa yang ada di tangannya, berbangga terhadap orang lain”. FirmanNya:
“Kecuali orang-orang yang sabar“, yaitu menghadapi kesusahan-kesusahan dan perkara-perkara
yang tidak disukai; firmanNya “dan mengerjakan amal-amal saleh“, yaitu pada waktu longgar
dan sehat; firmanNya: “mereka itu beroleh ampunan“, yaitu dengan sebab kesusahan yang
mereka alami; firmanNya: “dan pahala yang besar“, dengan sebab amalan mereka pada waktu
longgar”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Huud: 9-11)6[6]
Ø ASBABUN NUZUL
Ada dua sebab turunnya ayat ini, keduanya dengan shîghah sharîhah (bentuk kalimat
yang jelas), akan tetapi sanad keduanya munqati’ (terputus). Pertama diriwayatkan dari Muqathil
rahimahullah yang mengatakan:“Sebab turunnya ayat ini adalah ketika sebagian orang berkata
bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mati.”7[7]
Kedua Ibnul Mundzir rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Juraij rahimahullah yang
mengatakan:“Diberitakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau akan
wafat, kemudian beliau berkata:“ Wahai Rabbku, siapakah yang akan mendidik umatku?”
Kemudian turunlah ayat ini.8[8]
Ø ASPEK TARBAWI
- Harus selalu bersyukur terhadap nikmat dan bersabar terhadap musibah.
- Beramal sholih pada setiap saat sesuai dengan kemampuan kita.
- Selalu mengingat bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan kematian.
Surat An-Nisa’ ayat 6

6[6] http://ustadzmuslim.com/kesusahan-dan-kenikmatan-sebagai-ujian/. Diakses, 7 april


2013.
7[7] Abdur-Rahmân bin Alî bin Muhammad Al-Jauzî, Zadul Masir, (Beirut: al-Maktab Al-
Islami, 1404 H), hlm. 350
8[8] Abdur-Rahmân bin Abi Bakr bin Muhammad As-Suyuthi, Lubâbun-Nuqûl
fî Asbâbin-Nuzûl, (Beirut: Dâr Ihyâ’ul-ulûm), hlm. 146
‫ِ َذأ‬
ۡ
‫ۡم ن ُہ ۡم َءأَن ۡس ُتم َف إِا ن ٱل َح تّ ٓى‬ ‫وا ۡ رش‬
ٓ ‫ٱَۡفُع‬ ‫و‬ ۡ ‫أ َش‬
َ ‫مش ٲ ل َ ـ ُ ـ‬ ‫َول‬
‫نّ َكا َح َب َل ُغوأ‬ ‫دا‬
ً۬
‫ۡإ ِلَ ـهميـ‬
‫ۡمـہف َِـ دـ‬

ْ ‫ب ٱ ۡت لَ ُ وا‬
‫ل ٱۡي َت َـ م‬
‫َو‬
‫ى‬

‫غ ن ِي ّك۬ َا َن‬
َ ‫َۡفلشي ف ا‬ ‫رافَك َا‬
۬ ً ‫فَلي َۡأشكشُششۡلشقِي‬
‫َششسشت‬ ‫َن َومن‬
‫َۡعش‬
‫فِ شش‬

ٓ‫ۡ س َرأ ُلو َها‬


‫َومن ۚ َي ۡك َب ُرو ْأ أأن َوب‬
‫َدأ ًرأ فً۬ ا َت ۡاأ‬
ِ

‫َل يِہ م أأ ۡم َوٲ َل ُه ۡم أإِ َ ۡل يِہ ۡم َد َف ۡع‬ ِ ّ ‫( ح ِسي ۬ب ًا ب ِـٱلل‬٦


َ ‫ه َوك‬
ۡ ۡ
‫ُت ۡم َف إِا ۚ َذأ( دوْأ‬ ‫َفاأ ۡشہِ ع‬ ‫ٰى‬

‫مع ُ ۡرو ِف‬


ۡ ‫ب ِـل ٱ‬

“Dan ujilah anak-anak yatim itu (sebelum baligh) sehingga mereka cukup umur
(dewasa). Kemudian jika kamu nampak dari keadaan mereka (tanda-tanda yang menunjukkan
bahawa mereka) telah cerdik dan berkebolehan menjaga hartanya, maka serahkanlah kepada
mereka hartanya; dan janganlah kamu makan harta anak-anak yatim itu secara yang
melampaui batas dan secara terburu-buru (merebut peluang) sebelum mereka dewasa. Dan
sesiapa (di antara penjaga harta anak-anak yatim itu) yang kaya maka hendaklah ia menahan
diri (dari memakannya); dan sesiapa yang miskin maka bolehlah ia memakannya dengan cara
yang sepatutnya. Kemudian apabila kamu menyerahkan kepada mereka hartanya, maka
hendaklah kamu adakan saksi-saksi (yang menyaksikan penerimaan) mereka. Dan cukuplah
Allah sebagai Pengawas (akan segala yang kamu lakukan).”
Ø MUFRODAT

Dan ujilah :
‫ـَوبـ ٱ ۡت لَ ُ وا‬

umur Cukup :ْ ‫ب َلَُغوا‬

Maka serahkanlah :
ٓ ‫فَـدـ ٱَۡفُع‬
‫وا‬

َ
‫هلششمش‬ ُ ‫و ـش ـشــ‬
َ ‫أ مشش‬
mereka Harta :
Dan janganlah kamu makan : ‫ت أۡك ُلُ وها ٓ و ل‬
َ َ

Ø
TAFSIR
‫ان َست‬ ‫ۡم‬ ‫ر‬ : kalian melihat ke dalam diri mereka sudah mulai bisa
‫ُم‬ ‫دـانـ‬ ‫ش‬
‫ش‬
‫ۡمـہ‬ ‫ش‬
ۡ

mentasarrufkan harta.
Al-israf : melebihi batas dalam membelanjakan harta
Al-bidar : bersegera dan cepat-cepat kepada sesuatu. Dikatakan Badartu ila syai’in badartu
ilaihi, artinya aku bersegera kepadanya.
Fal yasta’fif : hendaknya ia menjaga kehormatannya.
Al-‘iqqah : adalah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu yang tidak layak dilakukan.
Al-hasib : yang mengawasi
Dijelaskan bahwa harta benda mereka (anak-anak yatim) tidak boleh diserahkan kepada
mereka kecuali jika para walinya telah melihat tanda-tanda kedewasaan dalam diri mereka.
Sesungguhnya tidak layak bagi seorang wali memakan harta anak yatim (apabila ia miskin)
dengan cara berlebih-lebihan, dan barang siapa di antara wali itu kaya, maka hendaklah ia
menjaga diri jangan sampai memakan harta mereka. Barang siapa menjadi wali tetapi miskin,
hendaknya ia memakannya dengan ketentuan hokum syara’ dan dipandang pantas oleh orag-
orang bijaksana.9[9]
Seluruh umat islam telah berpendapat bahwa harta anak yatim bukan harta milik
pengasuhnya. Wali sedikitpun tidak berhak memakannya. Tetapi ia dibolehkan mengambil
darinya sebagai hutang ketika dalam keadaan terdesak, sebagaimana anak yatim itu berhutang
kepadanya. Kemudian ia pun dipebolehkan mengupah dirinya dari harta anak yatim dengan upah
yang telah ditentukan, apabila anak yatim itu memerlukan pekerjaan tersebut, seperti halnya anak
yatim itu mengupah orang lain untuk melakukannya. Upah tersebut boleh ditentukan oleh sang
wali, jika memang harta anak yatim itu berjumlah banyak, tetapi tidak boleh ditentukan apabila
tidak banyak (miskin). Demikian pula, ketentuan-ketentuan itu berlaku bagi harta orang-orang
gila dan setengah gila.
9[9]Ahmad Mustofa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar dkk.
(Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), hlm. 331-334
Telah diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Umar ra. Bahwa ada laki” bertanya kepada
Nabi saw. “aku tidak mempunyai harta, tetapi aku adalah seorang wali dari anak yatim.”
Kemudian Nabi saw. bersabda: “makanlah oleh kamu sebagian harta anak yatimmu tanpa
berlebih-lebihan dan (juga) tanpa menghambur-hamburkannya dan (juga) tanpa mengindahkan
hartamu dengan hartanya.”10[10]
Ø ASPEK TARBAWI
- Hendaknya menguji anak-anak yatim, hingga mereka mencapai dewasa dan mampu memelihara
harta.
- Bahwasannya kita dilarang memakan harta orang lain (dalam ayat ini yang dimaksud adalah
harta anak yatim).
- Menahan diri dari sifat israf berlebih-lebihan.

Ø KESIMPULAN
Pada prinsipnya Allah SWT. Sebagaimana yang telah anda ketahui meliputi harta anak
yatim, dengan berbagai cara pengamanan dan pemeliharaan. Untuk itu Dia memerintahkan sang
wali agar terlebih dahulu menguji kemampuan penggunaan harta anak yatim, sebelum hartanya
diserahkan kepadanya. Kemudian Allah melarang sang wali memakan sesuatu dari harta anak
yatim dengan cara berlebih-lebihan dan mumpung anak yatim masih kecil. Allah juga
memerintahkan sang wali agar mengadakan saksi ketika serah terima, dan memerintahkan di
akhir ayat sang wali agar mengingat akan pengawasan Allah terhadap segala gerak-gerik yang
bersifat pribadi.11[11]

Surat QS An-nur ayat 27

‫خلُ وا‬
‫ر وت ًاب‬ ‫ى ب ُي م‬ ‫ها ى س مو ست سوا‬ َ ‫ه ِل‬ َ
ْ ‫خي ْر ٰذ َ ِل ك ُ ۚ ْم أ‬
‫َل‬ ‫ُي ُت َد‬ َ ‫ُوت ِك‬
‫غي‬ ‫َحت‬
ْ
‫ع ل َوت ل ا ت َأ ن‬َ

َ
‫ها ي َا‬ ِ ّ‫ا َمن ُوا ال‬
َ ّ ‫ذ ي َن أ ي‬

‫ر و َ ن م ل َك ُ م‬ َ َ‫ت‬
‫ذك‬
‫لَ َعلّ ك‬

10[10] Ibid, hlm. 340


11[11] Ibid, hlm. 341
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuk ke dalam rumah-rumah
yang bukan rumahmu, sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Itulah
yang lebih baik bagi kamu, supaya kamu ingat”.
Ø MUFRODAT
‫ب ُي ُوت‬
‫ِك ُ م‬ : rumah kamu

‫ا‬ : beriman
‫َمنوا‬

‫ت خلو۟ا‬ : kamu masuk


‫َْد‬

ٰ‫ع ى‬
َ‫ل‬ : Atas/ kepada

‫َ خي ْ ٌر‬ : baik Lebih

‫ب يُ وت‬ : Rumah-rumah
‫ًا‬

‫ذ ك ّ ُر و‬
َ َ‫ت‬ : Kamu Ingat
TAFSIR ‫َن‬

Ø
Dalam ayat 27 diterangkan bahwa orang-orang Mu'min dilarang memasuki pekarangan
rumah orang kalau yang empunya tidak izin. Rumah adalah tempat menyimpan rahasia kerumah
tanggaan. Sebab setiap mempunyai dua wajah hidup, hidup kemasyarakatan dan hidup urusan
peribadi. Orang keluar dari dalam rumahnya dengan pakaian yang pantas, orang pergi ke Jum'at
dengan perhiasan yang patut, meskipun keadaannya dalam rumah tangganya adalah serba
kurang.
Dalam rumah tangganya orang dapat memakai kaos singlet yang robek dan sarung yang
telah bertambal-tambal. Orang luar tidak boleh tahu itu. Keluar kelihatan orang gagah, dan kalau
menjamu orang lain makan ke dalam rumahnya akan disediakannya makanan yang agak
istimewa daripada makanannya sehari-hari. Tetapi dalam waktu yang tidak dicampuri orang lain,
mungkin mereka hanya makan sekali sehari dengan laukpauk yang serba kurang.
Orang luar tidak boleh mengetahui itu. Kadang-kadang terjadi perselisihan suami dan
isteri dalam perkara yang kecil-kecil, entah karena kekurangan belanja, entah karena kenakalan
anak. Orang luar tidak perlu tahu akan hal itu. Urusan rumah tangga adalah urusan tersendiri
dalam rumahtangga itu tersendiri, yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Oleh sebab itu
menurut peraturan agama Islam yang dijelaskan dalam ayat ini, sekali-kali tidak boleh seorang
yang merasa dirinya beriman kepada Tuhan dan taat kepada Rasul, masuk saja ke dalam rumah
orang, siapa pun orangnya, kalau tidak dengan izinnya.
Tidak perduli apakah rumah itu istana presiden yang lengkap penjaga dan pengawalnya,
ataupun gubuk buruk beratapkan rumbia di lorong yang sempit penuh lumpur. Namun
kedaulatan penghuni rumah itu atas rumahnya tetaplah sama.
Bagaimana seseorang yang pulang dari kerja keras mengurus penghidupan,
menanggalkan pakaian yang lekat di tubuh, tinggal baju kaos dan celana katok (celana dalam)
tiba-tiba dalam keadaannya demikian itu datang' saja orang lain tanpa salam dan tanpa
memberitahu? Dan masuk saja tanpa izin? Bagaimana perasaan seorang perempuan terhormat,
sedang dia hanya berkutang sehelai dan berkain sesampul gantung, merasa aman karena hanya
dengan suaminya dan anak-anaknya, tiba-tiba muncul saja orang lain dari pintu, padahal
hubungan dengan orang lain itu selama ini adalah dalam batas kesopanan?
Di dalam hal ini diterangkan benar, jangan masuk ke dalam sebuah rumah sebelum
tasta'nisun, artinya diketahui benar terlebih dahulu bahwa yang empunya rumah sedang senang,
sedang gembira menerima tamu. Wa tusallimu, artinya dengan disertai ucapan salam kepada
sahibul bait yang empunya rumah. Maka kedua syarat ini tidak boleh terpisah, kesukaan yang
empunya rumah dan ucapan salam. Sekali-sekali jangan menerobos saja masuk sambil
mengucapkan salam, padahal yang empunya rumah belum menyatakan suka menerima kita,
jangan pula masuk saja sebelum mengucapkan salam.12[12]
Ø ASPEK TARBAWI
Hendaknya mengundang orang-orang yang bertaqwa, bukan orang yang fasiq. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu bersahabat kecuali dengan seorang
mu`min, dan jangan memakan makananmu kecuali orang yang bertaqwa”. (HR. Ahmad dan
dinilai hasan oleh Al-Albani).
 Jangan hanya mengundang orang-orang kaya untuk jamuan dengan mengabaikan orang-orang
fakir. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersbda: “Seburuk-buruk makanan adalah
makanan pengantinan (walimah), karena yang diundang hanya orang-orang kaya tanpa orang-
orang faqir.” (Muttafaq’ alaih).

12[12] HAMKA, Tafsir al-Azhar, (Jakarta:PT. Panji Mas, 1983), hlm.


 Undangan jamuan hendaknya tidak diniatkan berbangga-bangga dan berfoya-foya, akan tetapi
niat untuk mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan membahagiakan
teman-teman sahabat.
 Tidak memaksa-maksakan diri untuk mengundang tamu. Di dalam hadits Anas Radhiallaahu
anhu ia menuturkan: “Pada suatu ketika kami ada di sisi Umar, maka ia berkata: “Kami
dilarang memaksa diri” (membuat diri sendiri repot).” (HR. Al-Bukhari)
 Jangan anda membebani tamu untuk membantumu, karena hal ini bertentangan dengan
kewibawaan.
 Jangan kamu menampakkan kejemuan terhadap tamumu, tetapi tampakkanlah kegembiraan
dengan kahadirannya, bermuka manis dan berbicara ramah.
 Hendaklah segera menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu berarti
menghormatinya.
 Jangan tergesa-gesa untuk mengangkat makanan (hida-ngan) sebelum tamu selesai menikmati
jamuan.
 Disunnatkan mengantar tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu
yang baik dan penuh perhatian.

QS Ar-ruum ayat 30

‫حن ِي ًفا‬
‫ر الّ ت ِي اللّ هِ ر‬ َ ْ ‫ع َي‬
‫هاالن ّا‬ َ‫ل ۚ ل‬ ‫د ي ُن ل ك ٰذ َ الل ِلخلْ ق ت َب‬
ّ ‫ال‬
‫ِفط َت‬ ‫َس َفط‬ ‫د ي َل‬ِ ْ ‫ِه‬

َ
‫د ي ن و ج ك فَأ ِقم‬
ِ ّ ‫لل‬
‫ه‬

‫ي ّم‬ ‫ر‬
‫ال‬ ‫ي َْعل مو َن َل الن ّا‬
َ
‫ن‬ ‫س أ َك ْث َولٰ ك‬
ِ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Ø MUFRODAT
‫َس‬ ‫الن ّا‬ : Manusia
‫جه‬
َ ‫و‬َ Wajah ‫د ي َل‬
ِ ْ ‫ت َب‬ : Perubahan
‫ك‬ : mu

‫دي‬
ّ ِ‫ل ل‬
‫ِن‬ Wajah ‫أ َك ْث َ َ ر‬ : Kebanyakan
: mu

: lurus Dengan ‫مو َن‬


‫ي َْعل‬ : Mengetahui.
‫َحن ِي ًفا‬

‫ِفطْ َر‬ : Fitrah


‫َت‬

TAFSIR Ø Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa fitrah yang dimaksud adalah “al-dinu al-
Qayyim” agama yang lurus. Akan tetapi, potensi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari
luar baik berupa pendidikan ataupun lingkungan yang dalam hadits diatas digambarkan dengan
faktor orang tua.
Sebagai potensi dasar, maka fitrah itu cenderung kepada potensi-potensi psikologis yang
perlu untuk dikembangkan ke arah yang benar. Diantara potensi psokologis tersebut adalah:
1. Beriman kepada Allah SWT.
2. Kecenderungan untuk menerima kebenaran, kebaikan, termasuk untuk menerima pendidikan dan
pengajaran.
3. Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya fikir.
4. Dorongan biologis yang berupa syahwat dan tabiat
5. Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat
disempurnakan.13[13]
Ibn taimiyah dalam menginterprestasikan fitrah yang dibawa oleh manusia adakalanya:
1. Fitrah al Ghazirah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberikan daya akal
(Quwwah al-aql), yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
2. Fitrah al-Munazzal, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berupa petunjuk
al-Qur’an dan as-sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-
Gazirah.
Dapat disimpulkan bahwa fitrah yang berupa pembawaan pada diri manusi merupakan
potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima
rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.
13[13] Departemen RI, Al-Qur’an Bayan (Penerbit: Al-Qur’an Terkemuka, 2009), hlm.
Namun, fitrah manusia bukanlah satu-satunya potensi yang dapat mencetak manusia
sesuai dengan fungsinya. Ada juga potensi lain yang menjadi kebalikann dari fitrah ini, yaitu
nafs yang mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan. Untuk itu fitrah harus tetap
dikembangkan secara wajar dengan fitrah al-Munazzal yang dijiwai oleh wahyu (al-Qur’an dan
as-Sunnah), sehingga dapat mengarahkan perkembangan seorang anak kepada jalur yang benar
secara kaamilah. Oleh karena betapa pentingnya pendidikan untuk mengarahkan perkembangan
manusia ke arah yang benar (ad-din al-Qayyim), hendaklah suatu pendidikan mulai ditanamkan
sejak dini.
Melatih dan membiasakan suatu perbuatan baik, merupakan metode yang amat tepat
dilakukan pada masa usia anak-anak. Karena dari metode pembiasaan inilah akan terbentuknya
jiwa dan kepribadian yang baik.
Dalam hadis lain disebutkan:
‫ر‬
‫ ق ل أ‬, ‫سل‬ ِ‫ع َ ي ْه‬
َ‫ل‬ ‫َصل َى‬ ‫س ن ك عن َر الله‬ ‫عَ ن ا َ ن‬
‫وأ‬
ْ ‫ك ُم‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫الل ُه‬ ‫ُ سو‬ ‫ب َمل‬

‫ب‬ ‫أد‬
ْ ‫ْح‬ ‫َوأ‬ ‫ك ُم‬ ‫ل َد‬
‫هم‬
ُ َ
‫َسن ُو‬
“Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda: Muliakanlah anak-anakmu dan
perbaikilah adab mereka.” (HR. Ibn Majah)

Potensi-potensi yang dibawa oleh manusia sejak lahir sangatlah rentan akan pengaruh-
pengaruh dari luar, oleh sebab sejak usia dini fitrah tersebut harus diarahkan dan dibimbing ke
arah yang benar dengan pendidikan kepribadian (akhlak) dan pendidikan agama. Dalam hal ini
orang tua adalah faktor yang sangat berpengaruh, karena orang tua adalah orang pertama kali
yang bersentuhan dengan seorang anak.
Sejak usia dini, seorang anak mulai mengenal dunia di luar dirinya secara objektif disertai
pengahayatan secara subjektif. Mulai adanya pengenalan pada Aku sendiri dengan bantuan
bahasa dan kata-kata. Nabi SAW mengingatkan agar orang tua mengajarkan dan mendidik anak
dengan beberapa hal diantaranya adalah adab, shalat, kecintaan dengan Nabi dan al-Qur’an, serta
mengembangkan minat dan bakat.
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang
berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dalam
hidup dan penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah SWT dengan suatu bentuk akal
pada diri manusia yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk
mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi digunakan asas/pendekatan
manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat
(aspek fisik–non fisik : emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan pendekatan
humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial,
(mempunyai kemampuan kelebihan-kekurangannya dll), diperlukan dengan penuh kasih sayang
– hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan
tanpa ada tekanan/paksaan apapun juga.14[14]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jazâiri, Abû bakar Jâbir. 2003. Aisarut Tafasir, Maktabah Ulûm wal Hikam. Madinah.
At-Thabary, Muhammad bin Jarîr Abû Ja’far. 2000. Tafsir at-Thabari. Lebanon:
Muassasah Risâlah.
Salim Bahreisy & Said Bahreisy.1990. Terjemahan singkat Tafsir Ibnu Katsir. Surabaya:
PT. Bina Ilmu.
Http://ustadzmuslim.com/kesusahan-dan-kenikmatan-sebagai-ujian/. Diakses, 7 april
2013.
Al-Jauzî, Abdur-Rahmân bin Alî bin Muhammad. 1404 H. Zadul Masir. Beirut: al-
Maktab Al-Islami
As-Suyuthi, Abdur-Rahmân bin Abi Bakr bin Muhammad. Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbin-
Nuzûl. Beirut: Dâr Ihyâ’ul-ulûm.
Al-Maragi, Ahmad Mustofa. 1993. Tafsir Al-Maragi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar dkk.
Semarang: PT. Karya Toha Putra.

14[14] http://iyhaelmawat.blogdetik.com, berilmu dalam tafsir ibnu katsir. Diakses, 6


april 2013.
Http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp?
pageno=2&SuratKe=74#Top. Diakses , 7 april 2013.
Departemen RI, Al-Qur’an Bayan. 2009. Penerbit: Al-Qur’an Terkemuka.
HAMKA, Tafsir Al-Azhar. 1983. Jakarta: PT. Panji Mas.
Http://iyhaelmawat.blogdetik.com, berilmu dalam tafsir ibnu katsir. Diakses, 6 april
2013.

Anda mungkin juga menyukai