Anda di halaman 1dari 6

Nama : Komang Kartika Yanti

NIM : 017.06.0007
Topik Kuliah : Pemeriksaan Masalah Kesehatan Berwisata dan Skrining
Kesehatan Setelah Berwisata
Oleh : Dr. dr. I Ketut Agus Somia, Sp.PD-KPTI, FINASIM

Telah diketahui bahwa tren orang bepergian saat ini mengalami


peningkatan yang signifikan. Mayoritas para pelancong melakukan perjalanan ke
daerah tropis dan Negara berkembang. Perjalanan ini memungkinkan wisatawan
terpapar patogen maupun penyakit di tujuan wisata. Dilaporkan bahwa sekitar 8%
wisatawan yang berkunjung ke Negara berkembang membutuhkan perawatan
medis selama atau setelah perjalanan. Proporsi yang tidak diketahui dari
wisatawan yang telah terpapar agen infeksi mungkin tidak menunjukkan gejala
tetapi mungkin masih memiliki kemungkinan gejala sisa yang terlambat beberapa
tahun kemudian (Lachish et al., 2015). Risiko infeksi (simtomatik dan
asimptomatik) sangat bergantung pada perilaku risiko pribadi, penerapan tindakan
pencegahan, endemisitas penyakit menular terkait perjalanan di area perjalanan,
dan lama perjalanan. Dengan demikian, sebagai seorang dokter perlu memahami
risiko penyakit spesifik di tujuan wisata, vaksin rutin, profilaksis, skrining, dan
pengobatan untuk penyakit menular dan tidak menular (Leung et al., 2018).
Berdasarkan hal tersebut, maka sebagai mahasiswa kedokteran yang nantinya
akan menjadi dokter di travel clinic, perlu untuk mengetahui dan memahami
kegiatan konsultasi, skrining, dan manajemen penyakit pada wisatawan yang telah
melakukan perjalanan agar penyakit yang didapat dari daerah tujuan wisata dapat
dieradikasi lebih awal sehingga menurunkan risiko penularan yang luas di daerah
asal.
Perjalanan ke negara tertentu tidak harus berarti terpapar penyakit endemik
di negara itu, maka dari itu pengetahuan tentang aktivitas wisatawan di negara itu
sangat penting. Untuk memenuhinya, diperlukan anamnesis yang baik pada klien.
Anamnesis yang dilakukan dapat meliputi fundamental four (riwayat penyakit
sekarang, riwayat penaykit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit
social) dan sacred seven (onset, lokasi, kuantitas, kualitas, kronologis, keluhan
penyerta). Adapun pertanyaan yang perlu diajukan seorang dokter kepada klien
adalah sebagai berikut (Rose & Keystone, 2019).
 Negara apa yang Anda kunjungi dan untuk berapa lama di masing-masing
negara? Area geografis spesifik apa yang Anda kunjungi di setiap negara?
Apakah Anda mengunjungi daerah endemis penyakit? (Misalnya, di
Thailand, malaria hanya terjadi di daerah perbatasan berhutan tertentu,
bukan di kota.)
 Kapan tanggal kedatangan dan keberangkatan Anda? Kapan Anda kembali
ke rumah?  Pertanyaan ini penting karena mengingat penyakit menular
memiliki masa inkubasi berbeda-beda, sehingga dapat dipikirkan waktu
kemungkinan risiko pertama kali terpapar patogen.
 Kapan Anda sakit? Tanggal Anda pertama kali mencatat gejala Anda?
 Gejala apa yang membawa Anda ke dokter?
 Apakah Anda menerima vaksinasi sebelum keberangkatan? Pernahkah
Anda diimunisasi sebelumnya terhadap penyakit seperti hepatitis A atau
tipus? Apakah imunisasi rutin Anda mutakhir?  Pertanyaan ini penting
karena vaksinasi merupakan salah satu pencegahan dari penyakit. Apabila
jadwal imunisasi telah ditaati oleh wisatawan dan sebelum bepergian telah
divaksinasi, maka kemungkinan terkena penyakit akan menurun. Namun,
perlu diingat bahwa vaksinasi tidak melindungi 100%.
 Harap sebutkan semua vaksin yang Anda terima selama 10 tahun terakhir.
 Apakah Anda bepergian di daerah pedesaan negara tropis/subtropis atau
apakah Anda tinggal secara eksklusif di daerah perkotaan dan menginap di
hotel ber-AC yang mewah. Apakah Anda menginap secara eksklusif di
resort?
 Apakah Anda di kapal pesiar?
 Apakah Anda mengunjungi teman atau keluarga?
 Apakah Anda mengambil tindakan pencegahan gigitan serangga (misalnya
menggunakan DEET, tidur di bawah kelambu)?
 Apakah Anda mematuhi jadwal profilaksis malaria Anda (jika
ditentukan)?
 Apakah Anda mematuhi pedoman makanan dan minuman yang aman?
Apakah Anda makan siput, kepiting, udang, ikan mentah, atau makanan
tropis mentah yang tidak cukup dibuat dari daging sapi, babi, beruang,
atau ikan? Apakah Anda menggunakan filter atau pemurni air? Hanya
minum air botolan atau minuman?
 Apakah Anda sakit selama perjalanan? Jika Anda berada dalam kelompok,
apakah orang lain sakit? Apakah Anda mengobati sendiri untuk diare atau
penyakit lain? Apakah Anda menderita demam selama di luar negeri?
 Apakah Anda dirawat di klinik, kantor dokter, atau di hotel Anda? Apakah
Anda dirawat di rumah sakit? Dimana?
 Apa diagnosis Anda, jika ada? Apakah ada tes yang dilakukan? Apakah
Anda dirawat dengan obat-obatan? Apakah Anda mendapat suntikan?
Apakah tenaga medis menggunakan peralatan steril?
 Apakah Anda menerima cairan intravena, obat IV, atau transfusi darah?
Penilaian terhadap faktor risiko yang mungkin terjadi pada wisatawan
selama berwisata juga penting untuk diketahui. Penilaian ini biasanya dilakukan
pada saat konsultasi pre-travel. Fakto risiko yang mungkin terjadi dapat berkaitan
dengan mode transportasi, kesehatan lingkungan, cedera dan kekerasan, penyakit
infeksi, dan vaksinasi (WHO, 2012).
Mode transportasi yang digunakan wisatawan dapat melalui pesawat udara
maupun kapal laut. Faktor risiko terkait pesawat udara dapat berupa tekanan udara
kabin; kelembaban kabin dan dehidrasi; radiasi kosmik; motion sickness;
imobilitas, masalah sirkulasi, dan deep vein thrombosis (DVT); jet lag; aspek
psikologi; wisatawan dengan kondisi khusus (bayi, wanita hamil, memiliki
penyakit, bedah oral/dental, perokok, wisatawan dengan disabilitas); penularan
penyakit menular di pesawat terbang; bantuan medis di pesawat terbang; serta
adanya kontraindikasi untuk terbang. Sedangkan faktor risiko terkait transportasi
kapal laut dapat berupa penyakit menular, penyakit tidak menular, dan tindakan
pencegahan. Risiko kesehatan lingkungan dapat berupa ketinggian; panas dan
kelembaban; radiasi ultraviolet dari sinar matahari; risiko kesehatan melalui
makanan dan air; diare pada traveler; wisata air; hwan dan serangga; risiko
terhadap wisatawan akibat parasit instestinal. Risiko cedera dan kekerasan berupa
kecelakaan lalu lintas; kecelakaan di wisata air; kekerasan interpersonal. Risiko
infeksi menular pada traveler meliputi influenza, hepatitis A, hepatitis B, HPV,
pneumonia, meningitis meningokokal, typhoid fever, yellow fever, Japanese
encephalitis (JE), rabies, malaria, diare, leptospirosis, avian influenza dan masih
banyak lagi. Risiko vaksinasi dapat berupa ketidakpatuhan melakukan vaksinasi
yang dapat meningkatkan risiko terkena penyakit menular (WHO, 2012).
Tes laboratorium dan pencitraan yang dapat dilakukan meliputi
mikroskop, biakan, uji biokimia, termasuk serologi, dan polymerase chain
reaction (PCR). Tes laboratorium digunakan untuk mengevaluasi penyakit pasca
perjalanan, meliputi hitung darah lengkap untuk menyaring anemia, eosinophilia,
leukositosis, leukopenia, atau trombositopenia. Infeksi terkait perjalanan yang
menyebabbkan eosinofilia yaitu parasite intestinal, nematoda (cacing gelang),
cetoda (cacing pita), dan trematoda (Fasciola hepatica). Yang paling umum
adalah nematoda yang menyebabkan cutaneous larva migrans. Eosinofilia juga
sering dijumpai pada filariasis dan schistosomiasis. Hapusan darah tepi dapat
digunakan untuk skrining malaria (3 kali lebih dari 24 jam). Tes dipstick malaria
yang dapat dilakukan meliputi urinalisis, kultur urin, dan kultur darah. Selain itu,
tes laboratorium lain yang dapat dilakukan meliputi kultur tinja, kultur
cairan/jaringan tubuh lainnya, pemeriksaan mikroskopik tinja untuk parasit, tes
fungsi hati, dan tes HIV. Pemeriksaan serologi dapat digunakan pada wisatawan
curiga demam berdarah, brucellosis, amebiasis, dan lain-lain. Pencitraan X-ray,
ultrasonografi, CT dan MRI juga dapat digunakan sebagai modalitas skrining dan
diagnosis (Rose & Keystone, 2019).
Manajemen penyakit berupa tatalaksana pada wisatawan setelah berwisata
disesuaikan dengan diagnosis yang telah ditegakkan. Akan lebih baik apabila
diagnosis itu ditegakkan lebih awal sehingga dapat menurunkan terjadinya
komplikasi maupun akibat fatal karena penyakit tersebut. Apabila klien
mengalami malaria, maka dapat diberikan tatalaksana sesuai penyakit malaria,
misalnya diberikan obat ACT (artemisinin based combination therapy). Apabila
mengalami avian influenza, dapat diberikan obat oseltamifir, dan sebagainya.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan
wisatawan post-travel di travel clinic dapat meliputi konsultasi, skrining, dan
manajemen penyakit. Pada tahap awal perlu dilakukan anamnesis lengkap terkait
kondisi medis klien beserta riwayat perjalanannya dan kegiatan yang dilakukan
selama berwisata. Faktor risiko yang mungkin terjadi pada wisatawan selama
bepergian juga penting untuk diidentifikasi. Dari anamnesis dan identifikasi faktor
risiko, maka dapat dilakukan skrining yang tepat melalui modalitas diagnosis,
berupa tes laboratorium dan pencitraan tubuh. Apabila diagnosis telah ditegakkan,
maka dapat ditentukan tatalaksana yang tepat bagi wisatawan tersebut. Early
diagnosis pada wisatawan setelah bepergian memberikan manfaat besar bagi
wisatwan itu sendiri dan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Lachish, T., Gompel, A. V., & Schwartz, E., 2015. CHAPTER 30 The Returning
Traveler in Text Book of Essential Travel Medicine. Wiley Online Library.
Diakses dari
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1002/9781118597361.ch30
Leung, D., Rocque, R. C. L., & Ryan, E. T., 2018. Travel Medicine. Annals of
Internal Medicine. American College of Physician. Diakses dari
https://www.acpjournals.org/doi/10.7326/AITC201801020
Rose, S. & Keystone, J. S., 2019. Health Guide CHAPTER 22 Guide to The
Evaluation of Post-Travel Illness. International Travel Health Guide 2019
Online Edition. Diakses dari https://www.travmed.com/pages/health-
guide-chapter-22-guide-to-the-evaluation-of-post-travel-illness
WHO, 2012. International Travel and Health. Geneva: World Health
Organization. diakses dari
https://www.who.int/ith/ITH_EN_2012_WEB_1.2.pdf

Anda mungkin juga menyukai