Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENELITIAN

Mata Kuliah Studi Lapangan Kampung Adat


Sistem Pertanian Pada Masyarakat Adat Kampung Naga

Tim Peneliti
Ketua
Aji Firdaus Alamsyah - 1930932017
Anggota Tim Peneliti
Kartika - 1930932011
Sarah Alya Fauziah - 1930932012
Nurilah - 1930932013
Fina Nurdiana - 1930932014
Siska Apriani - 1930932015
Farra Ainun Naida - 1930332016
Ayu Andini Yustika - 1930932018
Kurnia Nur Amalia - 1930932019
Debora Christina Ayomi - 1930932020

Kelas : 1 A
Program Studi Antropologi Budaya
Fakultas Budaya dan Media
Institut Seni Budaya Indonesia Tahun 2019/2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

Dr. Sukmawati,S.Pd,M.Si
Iip Sarip Hidayana, M.Sn
NIP : 197408192005012003
NIP : 197202141999031001

Dr. Cahya Hedi,M.Hum


NIP : 19660221993021001

2
PRAKATA

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya yang sangat besar, sehingga kami pada akhirnya
bisa menyelesaikan proposal yang berjudul "Sistem Pertanian Pada Masyarakat Adat
Kampung Naga" ini tepat pada waktunya.

Rasa terima kasih kami ucapkan kepada seluruh dosen pengampu mata kuliah Studi
Lapangan Kampung Adat yang telah memberikan tugas ini, sehingga dengan adanya tugas ini,
kami mendapat pengetahuan yang baru tentang sistem pertanian yang ada di Kampung Naga.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut serta membantu
menyumbangkan tenaga dan pikiran selama proses pembuatan proposal ini.

Kami sangat berharap proposal ini bisa dengan mudah dipahami dan dapat memberi
banyak manfaat serta pengetahuan bagi para pembaca.

Kami menyadari bahwa proposal ini masih memiliki banyak kekurangan yang
membutuhkan perbaikan, sehingga kami sangat mengharapkan masukan serta kritikan dari para
pembaca.

Bandung, 11 Oktober 2019

Peneliti

3
Daftar Isi

Sampul…………………………………………………………………………………… 1

Lembar Pengesahan............................................................................................................ 2

Prakata................................................................................................................................ 3

Daftar Isi.............................................................................................................................. 4

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................................................. 5

B. Rumusan Masalah............................................................................................................ 6

C. Tujuan Penelitian............................................................................................................. 6

D. Manfaat Penelitian........................................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konep Dasar.................................................................................................................... 8

B. Hasil Penelitian Terdahulu.............................................................................................. 8

BAB III METODE PENELITIAN

A. Dasar dan Tipe Penelitian............................................................................................... 10

B. Ruang Lingkup................................................................................................................ 10

C. Teknik Pengumpulan Data.............................................................................................. 10

D. Sumber Data................................................................................................................... 11

E. Teknik Analisis Data...................................................................................................... 11

Daftar Pustaka.................................................................................................................. 13

4
A.Latar Belakang

Masyarakat Indonesia pasti sudah tidak asing lagi dengan pertanian. Karena sebagian
besar masyarakat di Indonesia, khususnya di pedesaan bekerja di bidang pertanian. Begitu pula
dengan masyarakat yang tinggal di kampung adat. Sebagian besar dari mereka masih
bergantung pada alam, dan menjadikan pertanian sebagai sumber penghidupannya, salah
satunya adalah kampung Naga.

Kampung Naga merupakan salah satu kampung adat di Tasikmalaya, Jawa Barat yang
masih memegang erat tradisi dan adat istiadat leluhurnya. Masyarakatnya tergolong sederhana
dan sebagian besar menggantungkan hidupnya pada alam. Dapat dilihat dari sistem mata
pencahariannya, yaitu bertani, membuat kerajinan tangan, berternak serta berdagang atau usaha
kecil-kecilan. Namun pekerjaan pokok yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi
keluarga di masyarakat Kampung Naga ini adalah bertani, baik sebagai pemilik, penggarap,
maupun buruh.Hal tersebut pastilah bergantung pada kondisi alam dan lingkungannya. Dilihat
dari letak geografisnya, Kampung Naga memiliki tanah yang subur sehingga tidak heran jika
masyarakatnya menggantungkan hidup pada sektor pertanian. (Suryani,2010:35)

Dapat disimpulkan bahwa sektor petanian merupakan hal yang penting dalam kehidupan
masyarakat Kampung Naga. Oleh sebab itu, dalam penelitian kali ini kami akan menyajikan
bagaimana sistem pertanian di Kampung Naga dengan pengetahuan, teknologi serta kearifan
lokalnya yang masih tradisional. Dimana sistem pertanian ini sangat berbeda dengan sistem
pertanian di daerah lainnya yang sudah memakai teknologi canggih.

Dalam penelitian ini kami akan mengkaji tidak hanya mengenai perbedaan dengan
sistem pertanian masa kini. Tetapi lebih mendalam mengenai tradisi bertani yang diwariskan
oleh leluhur dari masyarakat adat Kampung Naga itu sendiri, yang tentu saja tidak luput dari
aspek budaya. Dimana budaya bertani ini diajarkan terus menerus dari generasi ke generasi
hingga sampai sekarang budaya itupun terus dilestarikan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana sistem pertanian pada masyarakat adat Kampung Naga ?

5
2. Bagaimana perkembangan teknologi pertanian masyarakat adat Kampung Naga ?
3. Bagaimana kearifan lokal masyarakat adat Kampung Naga dalam menjalankan sistem
pertanian?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sistem pertanian pada masyarakat adat Kampung Naga.


2. Untuk mengetahui perkembangan teknologi pertanian masyarakat adat Kampung Naga
3. Untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat adat Kampung Naga dalam menjalankan
sistem pertanian.

D. Manfaat Hasil Penelitian

1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat bermafaat sebagai berikut:
a. memberikan informasi untuk memperkuat dan menambah pengetahuan dari hasil
penelitian sebelumnya.
b. sebagai pijakan dan referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan
dengan sistem pertanian pada masyarakat adat kampung Naga serta menjadi bahan kajian
lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut:
a. Bagi Peneliti
Dapat menambah wawasan dan pengalaman langsung tentang sistem
pertanian yang ada di masyarakat adat Kampung Naga.

b. Bagi pendidik dan calon pendidik


Dapat menambah pengetahuan dan sumbangan pemikiran tentang sistem
pertanian yang ada di masyarakat di Kampung Naga
c. Bagi masyarakat setempat

6
Dapat memperkenalkan sistem pertanian di masyarakat adat Kampung
Naga kepada masyarakat luas. Yang kemudian ilmu pertanian ini dapat
dipergunakan sebagai pelengkap dari ilmu pertanian yang sudah ada.

7
BAB I
METODE PENELITIAN

A. Dasar dan Tipe Penelitian


Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe deskriptif dengan tujuan
untuk mendeskripsikan bagaimana sistem pertanian huma maupun sawah di Masyarakat Adat
Kampung Naga dengan dasar penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif,
yaitu data yang dikumpulkan berbentuk kata-kata, gambar, bukan angka-angka.
Menutur Bogdan dan Taylor, sebagaimana yang dikutip oleh Lexy J. Moleong, penelitian
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Sementara itu, penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk
mendeskriptifkan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah
maupun rekayasa manusia.

B. Ruang Lingkup
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kampung Adat Naga,Desa Neglasari, Kecamatan Salawu,
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
2. Subjek penelitian
Subjek dari penelitian ini difokuskan pada masyarakat asli Kampung Naga yang
berprofesi sebagai petani maupun buruh tani.
3. Informan

C. Teknik Pengumpulan Data


1. Studi Literatur
Studi literatur yaitu berupa pengumpulan dan penggalian informasi yang diambil
dari buku-buku yang relevan dan artikel-artikel yang menyangkut dengan sistem
pertanian masyarakat adat Kampung Naga. Studi Literatur dari penelitian ini antara lain :

8
“Menguak Tabir Kampung Naga” karya Erlis Suryani Ns dan Anton Charliyan;
“Kampung Naga Mempertahankan Tradisi” karya Her Suganda; “Masyarakat Sunda
Budaya dan Problema” karya Drs. A. Surjadi, M.A.
2. Observasi
Observasi yaitu pengamatan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala
yang diteliti (Husaini Usman , 2006:40). Teknik obsevasi merupakan teknik
pengumpulan data dengan mengamati langsung di lapangan. Proses ini berlangsung
dengan pengamatan yang meliputi melihat, merekam, mengitung, mengukur, dan
mencatat kejadian. Dengan teknik ini dapat diperoleh tentang keadaan lokasi atau
wilayah penelitian dan keadaan subjek penelitian yang ada di Kampung Naga.
3. Wawancara
Wawancara yaitu mengumpulkan data dengan mengajukan petanyaan secara
langsung oleh pewawancara kepada responden dicatat atau direkam. Teknik
pengumpulan data dengan wawancara ini merupakan salah satu yang paling umum
digunakan untuk mendapatkan data berupa keterangan lisan dari seorang informan di
Kampung Naga mengenai sistem pertanian.

D. Sumber Data

1. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh peneliti melalui hasil observasi dan
wawancara dengan responden atau informan.
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh peneliti dari beberapa literatur yang
terkait dengan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek penelitian. Data sekunder
inimerupakan sumber data penelitian yang diperoleh dari pihak lain, dalam hal ini berasal
dari perpustakaan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah
dibaca dan diinterpretasikan sesuai dengan tipe penelitian yang digunakan(Singarimbun,
1987:283).

9
1. Penyuntingan data
Kegiatan yang dilakukan berupa memeriksa seluruh daftar pertanyaan yang diajukan
kepada informan. Hal yang diperhatika di penyuntingan data dalam penelitian ini adalah :
a. Kesesuaian jawaban informan dengan pertanyaan yang diajukan.
b. Kelengkapan daftar pertanyaan.
c. Kekonsistenan informan tentang jawaban yang diberikan.
2. Kategorisasi data
Kategorisasi yang digunakan dapat merupakan kategorisasi yang dikembangkan
sendiri oleh peneliti, kategori dari informan (responden), kategori dari peneliti terdahulu,
dan atau menggabungkan semua kategori tadi. (Alwasilah,2001:235).
3. Penafsiran makna data
Kegiatan yang dilakukan berupa menjelaskan makna seluruh data yang tersedia
dari berbagai sumber, yaitu wawancara serta observasi yang ditulis dalam catatan
lapangan, dokumen, gambar atau foto dan sebagainya.
4. Perumusan kesimpulan dan saran
Setelah seluruh data selesai ditafsirkan, selanjutnya dibuatkan pernyataan singkat
berupa kesimpulan dari hasil penelitian tadi serta menyajikan sebuah usul pendapat yang
berkaitan dengan masalah yang menjadi objek penelitian serta penelitian selanjutnya
mengenai “sistem pertanian masyarakat adat Kampung Naga”.

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar

Penelitian ini tidak jauh dari pencarian teori dan pengujian teori di bidang pertanian.
Dimana pertanian itu sendiri adalah kegiatan manusia untuk memperoleh hasil yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan dan atau hewan yang pada mulanya dicapai dalam jalan sengaja
menyempurnakan segala kemungkinan yang telah diberikan oleh alam guna
mengembangbiakan tumbuhan atau hewan tersebut. Yang tentunya tidak luput dari peranan
petani itu sendiri . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pertani adalah orang yang
pekerjaannya bercocok tanam.(Van Aarsten,1953).

Dalam bidang pertaniannya, masyarakat adat Kampung Naga, memiliki lahan sekitar 6
hektar, baik lahan pertanian basah (sawah), maupun lahan pertanian kering. Dengan jumlah
penduduk 102 kepala keluarga, maka rata-rata pemilikan lahan pertanian sekitar 297 m 2 per
kepala keluarga. (Suganda, 2006:73)

B. Hasil Penelitian Terdahulu

Sering dikatakan bahwa 80% dari penduduk indonesia tinggal di desa dan hidup dari
pertanian. Pertanian merupakan mata pencaharian pokok bagi penduduk desa dan juga banyak
penduduk kota yang berasal dari desa masih memiliki sawah ataupun tanah pertanian lainnya di
desa asalnya. Dari luas sawah 3.848 ribu Ha diseluruh pulau Jawa seluas 1.162.811 Ha terdapat
di Jawa Barat, termasuk di Kampung Naga. (Surjadi, 1985:25)

Sistem pertanian yang digunakan oleh masyarakat adat kampung Naga masih sangat
sederhana dan tradisional. Ketergantungannya kepada komoditas andalan yang menjadi sumber
bahan makanan pokoknya menjadi sangat kuat. Maka dari itu, peran tanaman padi menjadi
sangat dominan dibandingkan dengan jenis tanaman pertanian lainnya. (Suryani, 2010:36)

Dalam pengolahan tanah misalnya, mereka tidak perlu menggunakan traktor, tetapi
cukup hanya menggunakan cangkul. Sedangkan tenaga kerja yang dilibatkan dalam kegiatan

11
tersebut berasal dari keluarga sendiri atau berdasarkan pada upaya saling bantu dengan anggota
masyarakat lainnya tanpa memperhitungkan upah sebagai imbalannya. (Suganda,2006:73)

12
BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Penduduk Kampung Naga berjumlah 296 jiwa yang terdiri dari 101 kepala keluarga
dengan jumlah bangunan 113 yang terdiri dari 110 rumah, 1 balai patemon, 1 masjid dan 1
Bumi Ageung. Latar belakang masyarakat Kampung Naga tidak dapat dijelaskan secara jelas
dari mana asalnya, sebab buku yang menceritakan tentang sejarah Kampung Naga yang ditulis
dalam bahasa Sansekerta pada tahun 1956 buku tersebut ikut terbakar sewaktu adanya
penyerangan oleh gerombolan DI/TII pimpinan Karta Suwiryo. Tetapi menurut anggapan
masyarakat Kampung Naga, karuhun atau leluhur mereka dikenal dengan sebutan "Sembah
Dalem Singaparna” yang menjadi panutan seluruh tatanan kehidupan adat tradisi serta hukum
adat. Sebagai penghormatan terhadap beliau maka ia dimakamkan disebelah barat Kampung
Naga.

Secara umum masyarakat Kampung Naga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :

a. Kelompok masyarakat Kampung Naga yang berada di pemukiman Kampung Naga sendiri
b. Kelompok masyarakat Kampung Naga yang berada di luar pemukiman yang disebut juga
Sanaga.

A. Gambaran Umum Kampung Naga

1. Keadaan Geografis
Kampung Naga adalah daerah yang termasuk ke dalam Desa Neglasari, Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Daerah ini menjadi unik karena berada tidak jauh dari
kehidupan modern, tetapi masih memelihara dan mempertahankan adat-istiadat dan
kebudayaan leluhurnya serta letaknya yang berada pada jalur regional antara Garut-
Tasikmalaya, tepatnya pada 33 Km ke arah barat Tasikmalaya dengan ketinggian 488 m dari
permukaan laut dengan luas area pemukiman Kampung Naga seluas 1,5 ha. Batas-batas daerah
kampung Naga yaitu sebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan dan sebelah barat
dan selatan dibatasi oleh perbukitan. Untuk menuju kampung Naga dapat ditempuh melalui
jalan kecil dengan menuruni 444 anak tangga, setelah itu melewati jalan pematang sawah
dipinggir kali Ciwulan. Serta keadaan kampungnya cukup bersih dan terpelihara dengan baik.

13
14
2. Keadaan Fisik
Kampung ini terletak di cekungan tanah yang dikelilingi oleh perbukitan hijau, seolah
kampung ini bersembunyi di balik rindangnya pepohonan. Kampung Naga seolah tak tersentuh
oleh peradaban modern. Kampung Naga yang dilewati Sungai Ciwulan dan dua bukit
subur, berada pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Sehingga bila kita memasuki
area Kampung Naga, setelah perjalanan yang sangat melelahkan dengan menuruni sejumlah
anak tangga, maka begitu memasuki kampung ini akan terasa nyaman, karena suhu udara di
kampung ini berkisar antara 21,50 sampai dengan 23,0 Celcius. Kelembaban udaranya berkisar
sekitar 75% sampai 85% dan curah hujan pertahun rata-rata 289 mm. Oleh karena itu,
suhu di Kampung Naga dapat dikatakan sangat sejuk, baik pada siang maupun malam hari,
dan dingin pada waktu menjelang pagi. Posisi dan letak Kampung Naga yang berada di
sebuah lembah merupakan sebuah perkampungan yang menyerupai sebelah mangkuk yang
terpecah, hal itu dapat dilihat bila menuruni jalan setapak atau anak tangga yang terbuat
dari adukan semen.

Secara topografi, letak Kampung Naga berada di kaki sebuah lembah di mana
permukaan tanah di sebelah barat lebih tinggi daripada permukaan tanah di sebelah
timur. Kondisi seperti ini bagi masyarakat Kampung Naga merupakan tanah yang baik

15
sesuai dengan apa yang dipercayai, dalam sistem kepercayaannya tanah seperti ini disebut
sebagai “taneuh bahe ngetan” artinya baik untuk permukiman dan pertanian. Kondisi ini
secara rasional pun dapat dipercaya bahwa dengan kemiringan ke arah timur “bahe ngetan”
menunjukkan bahwa sinar matahari ultraviolet akan lebih banyak diterima dan penghuni
kampung ini akan lebih sehat karena pengaruh sinar ultra violet tadi di waktu pagi hari.

Kampung Naga, di samping sebagai kampung adat karena memiliki ciri-ciri fisik
tertentu, seperti bentuk rumah yang sama, memiliki adat istiadat yang dipelihara dengan
baik dan diturunkan dari generasi ke generasi, serta memiliki sistem pertabuan yang
kuat dalam memelihara kelangsungan hidupnya dan sebagainya. Dari segi arsitektural,
rumah-rumah di Kampung Naga menunjukkan proses adaptasi manusia yang disesuaikan
dengan alam lingkungannya, sehingga tata letak dan bentuk rumah sangat artistik disesuaikan
dengan kontur tanah yang ada.

3. Potensi Bencana Kampung Naga

Berdasarkan hasil literatur, di Kabupaten Tasikmalaya bagian utara terdapat sesar yang
memanjang dari barat - timur. Sesar tersebut melalui kawasan Kampung Naga. Berkaitan
dengan sesar tersebut, data dari Bapeda Kabupaten Tasikmalaya menyebutkan bahwa kawasan
Kampung Naga masuk dalam zona gerakan tanah tinggi. Dampak dari gerakan tanah yang
bersinergi dengan perubahan iklim berpotensi menghasilkan bencana longsor. Selain itu
bencana longsor juga dapat disebabkan oleh kombinasi antara faktor antropogenik dan alam.
Dalam hal ini faktor antropogenik adalah faktor yang disebabkan aktivitas manusia dalam
penggunaan lahan dan faktor alam adalah iklim. Akibatnya bagian timur kampung rawan
terkena banjir dari sungai Ciwulan. Dengan demikian berdasarkan kondisi geomorfologi,
bahaya akibat perubahan iklim yang berpotensi menjadi bencana di Kampung Naga adalah
gempa, longsor dan banjir. Potensi longsor dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain
gerakan tanah, lereng yang curam, curah hujan, jenis tanah, pengelolaan lahan, dan beban
dinamis dari lalu lintas atau kegiatan pembangunan. Kampung Naga mempunyai potensi
gerakan tanah tinggi dan dilalui sesar. Walaupun di Kampung Naga curah hujan antara 13,6-
20,7mm/hari hujan termasuk kategori rendah, tetapi Kampung Naga mempunyai jenis tanah
Ultisol (podsolik merah kuning). Tanah Ultisol umumnya peka terhadap erosi serta mempunyai

16
pori aerasi dan indeks stabilitas rendah (Prasetyo dan Suriadikarta,2006). Berdasarkan potensi
gerakan tanah, kemiringan lereng dan jenis tanah, maka potensi longsor di Kampung Naga
cukup besar terutama di kawasan berbukit yang ada di bagian barat. Berdasarkan hasil
wawancara terhadap penduduk diperoleh informasi bahwa belum pernah terjadi longsor
dalam skala besar, namun pernah terjadi di sawah dengan luas yang kecil. Kampung Naga yang
berada di lembah sungai dan dikelilingi tebing, berlokasi tidak jauh (+ 1 km) dari Jalan raya
Tasikmalaya – Garut. Getaran akibat lalu lintas juga dapat memicu longsor pada tebing yang di
atasnya terdapat jalan raya. Dengan demikian berdasarkan jenis tanah, kemiringan lereng,
tutupan lahan sekitar kampung dan getaran dari jalan raya, maka longsor merupakan bahaya
yang berpotensi mengancam Kampung Naga.

Potensi banjir, walaupun hutan di Kampung Naga tetap terjaga secara formal
(hukum) dan non formal (adat), tetapi kebijakan tersebut dikhawatirkan akan berdampak. Hal
tersebut karena hutan atau kebun campuran, kemampuan daya serap airnya lebih baik
dibandingkan sawah, sehingga hutan atau kebun campuran dapat mengurangi bahaya banjir
maupun longsor.

Jarak perumahan di Kampung Naga dari bibir sungai Ciwulan < 100 m. Apabila
menggunakan standar sempadan sungai (Kepres No 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung), sebagian dari perumahan di Kampung Naga berada pada kawasan sempadan sungai.
Ketinggian Kampung Naga dari muka air sungai antara 10-50 m. Aliran sungai Ciwulan
menikung tajam di bagian selatan Kampung. Arus deras sungai Ciwulan telah mengikis
sebagian bibir sungai di bagian selatan kampung, maka potensi terkena banjir cukup besar
apabila air sungai Ciwulan meluap.

4. Akses Transportasi
Kondisi jalan menuju Kampung adat Naga tidak menjadi kendala bagi masyarakat umum
yang akan menuju Kampung Adat Naga. Letak kampung yang berada di tengah-tengah kota
membuat akses menuju kampung ini sangatlah lancar. Serta di kampung ini juga tersedia tempat
parkir yang tersedia untuk para pengunjung.

17
BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Sistem Pertanian

Kampung Naga berada di lembah yang subur, bentuk permukaan tanah di Kampung
Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah yang bisa dikatakan subur. Luas tanah
Kampung Naga yang ada seluas 1,5 ha sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan,
kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.

Selain itu, letak Kampung ini di antara lereng-lereng curam menyebabkan kampung ini
rawan terkena longsor, apalagi kalau musim hujan telah datang. Namun, hal itu tidak akan
terjadi sebab masyarakat kampung Naga telah mengenal sesengkedan. Pemanfaatan sengkedan
oleh masyarakat dalam merekayasa lahan miring untuk memenuhi kebutuhan akan lahan
permukiman dan pertanian. Pemanfaatan sengkedan untuk rekayasa lahan miring oleh
masyarakat Sunda sudah dilakukan sejak zaman dahulu dan terus berlanjut hingga saat ini.
Teknologi tersebut hingga saat ini masih tetap aktual dalam upaya mengelola lahan miring agar
dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Penggunaan sengkedan sebagai upaya merekayasa
lahan miring merupakan bentuk rekayasa lingkungan oleh masyarakat Adat kampung Naga

18
dengan tetap mempertahankan keseimbangan alam. Pemanfaatan bagian lereng untuk
pemukiman dan pertanian diimbangi dengan mempertahankan bagian puncak sebagai kawasan
hutan. Melalui upaya tersebut, daur hidrologi tetap terjaga keseimbangannya, karena ketika
turun hujan air masih bisa menyerap ke dalam tanah dan keluar dari dinding teras melalui celah
di antara batu. Proses pengelolaan lahan tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi
ke generasi melalui berbagai ajaran adat dalam bentuk pamali, buyut, tabu atau pantang larang
terasering dalam penanaman padi.

Masyarakat adat Kampung Naga telah mengenal sistem pertanian dari jaman dulu,
meski tidak diketahui pasti kapan dan bagaimana sistem pertanian ini masuk ke dalam
Kampung Naga Sistem pertanian pada masyarakat Kampung Naga yaitu setiap 6 bulan sekali
memberikan hasil panen ke lumbung padi umum dan menyimpannya di lumbung pribadi,
lumbung padi umum itu berisikan dari hasil-hasil panen dari setiap warga masyarakat Kampung
Naga untuk acara-acara ritual, acara ritualnya itu seperti acara memperingati tahun baru Islam
(Bulan Muharram), menyambut lahirnya nabi Muhammad SAW (Rabiul Awal) dan Rabiul
Akhir.

Dalam 1 tahun bisa di lakukan 2x panen, untuk awal penanaman di katakan JANLI (singkatan
dari Januari dan juli). Apabila Bulan musim tandur atau penanaman padi jatuh pada bulan
Januari maka pasti musim panen akan jatuh pada bulan Mei. Jika musim tandur atau panen jatuh
pada bulan Juli bulan panen pastilah bulan November. Hal tersebut telah diajarkan secara turun-
temurun. Semua itu mereka pelajari dari kebiasaan masyarakat tersahulu tidak tau pasti apakah
mereka mempelajarinya dari ilmu perbintangan atau memepelajari musim. Namun, hal itu
membuktikan bahwasanya masyarakat Kampung Naga ini begitu pekerja keras.

Hasilnya di utamakan untuk persediaan selama 6 bulan, bila ada lebihnya maka akan di
jual untuk membeli pupuk atau mengolah tanah lagi karena masyarakat kampung naga
menggunakan dua jenis pupuk yaitu pupuk organik dan kimia. Jenis padi yang ditanam yaitu
padi jamblang (padi lokal) dan pare ageung.
Masyarakat Kampung Naga hidup dengan bersawah dan berhuma. Melalui kepercayaan
kepada Dewi Sri, mereka menempatkan padi sebagai dasar kemakmuran dan mempertahankan
jenis padi warisan karuhun yaitu pare gede dan pare segon. Jenis-jenis padi tersebut masih
ditanam dan diolah secara tradisional.

19
Pada waktu-waktu senggang mereka menambah penghasilan dengan membuat barang-
barang kerajian dari bambu. Kegiatan masyarakat Naga sehari-hari tidak jauh dari mata
pencahariannya. Karena kaum lelaki biasanya berada di sawah atau kebun dari pagi sampai
siang, maka kampung pada waktu tersebut lebih banyak diisi oleh kegiatan kaum wanita dan
anak-anak.
Pencaharian warga Kampung Naga mayoritas bertani di sawah dan ladang, mereka
menanam padi, palawija, beternak ikan di kolam atau menangkap ikan di sungai. Mereka juga
memanfaatkan sumber daya alam untuk kerajinan dari bahan bambu, kayu dan rotan.
Kebutuhan pokok masing-masing keluarga dipenuhi oleh para laki-laki sebagai kepala keluarga.
Masyarakat Kampung Naga masih punya sawah, kebun maupun kolam sendiri. Keyakinan
mereka terhadap alam dan penciptanya tampak jelas dalam sistem pertanian yang memakai
metode tanam "JANLI" atau Januari -Juli dalam menanam dan memanen.. Penanaman dan
panen dilakukan serempak. Tujuannya memutus siklus hama tikus sekaligus mencegah
kecemburuan sosial.

Dari hasil panen padi bulan Juli, sebagian disimpan dalam leuit (lumbung) kampung
yang berada di bagian belakang permukiman warga Kampung Naga. Setiap panen, masing-
masing kepala keluarga mampu menghasilkan rata-rata lima kuintal dari satu petak sawah.
Setiap petak rata-rata 10 bata atau sekitar 140 meter persegi.
“Di sini tidak pernah kekurangan padi atau beras setiap musim tanam. Kami juga tidak pernah
mengalami gagal panen karena hama atau kekurangan air, di sini air melimpah, tidak pernah
kekering meskipun kemarau panjang," papar Ade, salah satu warga Kampung Naga.
Dalam setiap siklus masa tanam padi, tambah Ade, menyimpan padi di leuit kampung dan leuit
di rumah masing-masing bukan sekadar untuk menyimpan bahan makanan pokok. "Ini kami
jadikan sebagai wujud rasa hormat pada alam dan menyimpan serta memelihara amanat dari
leluhur kami," pungkasnya.
Setengah dari luas Kampung Naga adalah lahan pertanian. Sistem pertanian di Kampung
Naga hanya berupa pesawahan. Hal ini disebabkan karena melimpahnya sumber mata air di
Kampung Naga, sehingga membuat masyarakatnya tidak lagi menanam padi di huma. Sistem
pengairan sawah yang tidak pernah kering membuat sistem pertanian tidak pernah mengalami
gagal panen. Karena air untuk sawah selalu terpenuhi, air tersebut berasal dari Hulu yakni
gunung Cikurai. Lalu aliran sungainya yang sebelah timur mengalir menjadi sungai Ciwulan

20
yang berdekatan sebagai pemisah wilayah pemukinan dengan hutan larangan hingga mengalir
lagi sepanjang hutan. Selain itu adanya penyimpanan padi dari tahun-tahun yang lalu membuat
tidak khawatir akan ada kegagalan panen. Meski demikian masyarakat selalu menjaga tanaman
mereka agar tidak gagal panen.

Semua yang dilakukan oleh masyarakat di kampung ini mempunyai rasa gotong royong
yang amat kuat. Dari segi pertanian terlihat dari keikutsertaan warga yang saling membantu saat
panen. Sebagai upahnya mereka diberi makan dan sedikit bagian hasil dari panen. Masyarakat
bisa memperjual-belikan beras yang mereka punya. Namun, biasanya mereka lebih
mementingkan keperluannya terlebih dahulu, penyetokan padi dilakukan di rumah masing-
masing ruangan yang digunakan berupa goah yang ada dirumah.Penyimpanan tersebut bisa
sampai waktu berpuluh-puluh tahun.

Saat panen, masyarakat adat selalu menyambutnya dengan suka cita. Dimana meraka
selalu mengadakan acara syukuran atas pemberian Maha kuasa atas keberkahan yang diberikan-
Nya. Hasil panen ini bisa menacapai hasil yang maksimal. Dari benih yang hanya beberapa kilo
saja mampu menghasilkan padi yang melimpah yakni berkwintal-kwintal hasilnya. Selain itu
satu kuintal mampu menghasilkan 70-75 kilo artinya 70% beras. Adapun jenis padi yang
dipakai oleh masyarakat adat Kampung Naga antara lain padi bulu, padi jamlang, padi peuteuy,
padi jidah nangka, padi ranah karya, padi badigal, dan lain-lain. Jenis padi ini adalah jenis padi
kampung.

Adapun Lumbung padi umum tempat menyisihkan padi untuk keperluan umum.
Lumbung ini dipakai untuk membagi orang yang telah membantu/gacong dengan beras
seikhlasnya. Serta beras yang ada di lumbung padi umum ini kerap digunakan untuk komsumsi
pada setiap upacara adat. Untuk kepemilikan sawahnya sendiri, di Kampung Naga semua tanah
pesawahan adalah milik pribadi. Dan masing masing pemiliknya pun memiliki sertifikat
tanahnya masing-masing.

Dalam pengerjaan penggarapan sawahnya pun terdapat sistem yaitu “Nengah”, yaitu
sistem yang digunakan antara pemilik sawah dan penggarap. Dimana sistem ini mengupah
penggarapnya dengan beras yang dikasilkan penggarap tersebut. Pembagiannya yaitu dengan
sistem 50-50. Nengah ini pembagiannya secara islami. Serta ada juga yang memakai sistem
upah uang, namun sistem Nengah ini lebih sering digunakan oleh masyarakat Kampung Naga..

21
Masyarakat Suku Naga menyimpan cadangan pangan dalam bentuk padi, bukan beras.
Kebiasaan itu sekaligus mengawetkan padi. Sebab, kulit padi mengandung silika sehingga
hama-hama gudang sulit mencerna.Serta penyimpanan cadangan pangan dalam bentuk beras
sangat rentan serangan hama yang menjadikanya tidak awet untuk dijadikan sebagai cadangan
pangan.

Karena tidak terdapat sistem pertanian huma di masa sekarang di Kampung Naga,
maka yang dapat dijelaskan pun tidak tidak banyak. Namun, dalam jenisnya dulu sering sekali
ada perbedaannya misalnya jenis padi yang ditanam di sawah berbeda dengan jenis padi yang di
huma hal tersebut dilakukan sebagai sumber persediaan apabila menginginkan padi jenis
berbeda. Cara menamanya pun .memang sangat berbeda

B.Sistem Perkembangan Teknologi Pertanian

Dalam artian umum, teknologi diartikan sebagai suatu produk buatan manusia yang
dipakai untuk keperluan manusia itu sendiri. Sumitro Djojohadikusumo (1983, hlm.2)
mengemukakan bahwa, “..teknologi dalam hakekatnya meliputi pengetahuan yang sistematik
disertai dengan penerapan hasil pengetahuan sebagai kegiatan dalam perkembangan
masyarakat.”

Dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa pengetahuan teknologi di Kampung Naga
berasal dari ajaran-ajaran para leleuhurnya dan masih dilestarikan secara turun-temurun hingga
sekarang dan merupakan kelompok teknologi tradisional, begitupun pada teknologi
pertaniannya.

22
Teknologi pertanian yang di pakai oleh masyarakat adat Kampung Naga antara lain
tidak jauh berbeda dengan teknologi persawahan tradisional pada umumnya. Berikut merupakan
teknologi pertaniannya :

1. Cangkul
Merupakan alat yang sering dijumpai. Cangkul ini digunakan pada masa sebelum
penanaman maupun sesudah penanaman untuk menggali tanah persawahan, meratakan
tanahnya, ataupun membersihkannya. Bahkan di Kampung Naga, Cangkul digunakan
sebagai alat untuk membajak sawah. Cangkul ini terbuat dari kayu sebagai pegangannya
dan bagian bawahnya terdapat sebuah besi, yang apabila digunakan posisi besi
menghadap ke arah penggunanya.
2. Parang (Bedog)
Parang merupakan senjata yang digunakan untuk memotong ataupun menebas
rereumputan persawahan di daerah curam/gawir ataupun untuk padi nantinya pada saat
masa panen. Parang ini di wilayah Sunda disebut sebagai Bedog. Parang ini terbuat dari
kayu sebagai gagangnya dan besi memanjang sekitar 25-30 cm dan lebarnya sekitar 4 cm.
3. Congkrang
Congkrang ini digunakan untuk membersihkan rumput-rumput kecil pada area
persawahan, tepatnya digunakan untuk membersihkan lahan sawah sebelum dicangkul.
Congkrang ini terbuat dari besi dengan gagang kayu, bentuknya hampir sama dengan
sabit tetapi bentuknya tidak terlalu membengkok, terdapat bagian yang lurus barulah
setelah itu membengkok. Bengkokannya inilah merupakan bagian yang tajam.
4. Kored
Kored ini kegunaannya sama seperti Congkrang, namun hanya digunakan untuk
membersihkan rerumpuran kecil pada area yanh datar. Kored ini bentuknya seperti
sebuah Cangkul kecil.
5. Sabit (Arit)
Seperti yang sudah dijelaskan tadi, sabit hampir mirip bentuknya dengan congkrak hanya
saja bentuknya lebih bengkok dan bagian dalam bengkoknyanya adalah bagian tajamnya.
Sabit ini digunakan untuk menebas rerumputan serta menebas padi saat masa panen.
Sabit ini oleh masyarakat Sunda termask masyarakat Kampung Naga disebut sebagai Arit
.

23
6. Susurung
Susurung ini merupakan alat yang digunakan untuk meratakan tanah sawah sebelum
masa penanaman. Cara penggunaanya sederhana cukup menarik ke depan belakang untuk
meratakan tanahnya.Terbuat dari bambu sebagai genggaman yang panjang, serta kayu
memanjang le arah kanan dan kiri pada bagian bawahnya.
7. Caplakan
Caplakan ini digunakan setelah susurung, yaitu untuk menggarisi persawahan agar
penanaman nantinya teratur dan seragam, menyebar dengan jarak yang tentu,
penggunaannya hanya tinggal menarik maju dengan lurus secara vertikal dan horizontal.
Caplakan yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga adalah caplakan konvensional
dengan jarak umum yaitu 30x30 cm.
8. Etem/Ani-Ani, yaitu berupa sebuah pisau kecil yang digunakan untuk memotong tangkai
atau batang padi secara satu-satu. Sehingga proses ini memakan waktu dan pekerjaan
yang cukup banyak, berbeda dengan penggunaan Sabit/Arit. Namun kelebihan dari Etem
ini sendiri, karena bentuknya kecil tidak semua batang ikut terpotong. Sehingga bulir padi
yang belum matang tidak ikut terpotong.

Masyarakat adat Kampung Naga diajarkan oleh orang tuanya cara membajak sawah
seperti mereka diajarkan cara makan, cara bergaul, dan cara berperilaku sehari-hari. Jadi dengan
sadar ataupun tidak, masyarakat di sana secara otomatis telah melakukan cara atau kebiasaan
membajak yang sama secara turun-temurun. Cara membajak sawah yang dilakukan oleh
Masyarakat adat Kampung Naga adalah seperti yang dikatakan oleh Bapak Patajudin,“Di
cangkul dulu, ditanem benihnya terus ditebarkeun teras di tandurkeun, di gemuk, di rambet,
teras jadi pare.”

Dalam pertanian di Kampung ini sebenarnya sudah diberikan teknologi modern dari
pemerintah, yaitu sebuah traktor. Namun, hingga saat ini, masyarakat masih menggunakan cara
manual yaitu dengan menggunakan alat tradisional berupa cangkul dan menggunakan kaki
petani itu sendiri serta tidak memiliki kerbau. Hal tersebut dikarenakan lahan persawahan yang
curam serta sarana jalan yang tidak memungkinkan untuk membawa traktor atau kerbau, sapi,
dan lainnya.Jadi tidak memungkinkan untuk membajak sawah dengan menggunakan traktor
ataupun kerbau. Masyarakat juga menganggap hasil panen yang sawahnya dibajak oleh traktor
dan manual memiliki hasil yang berbeda. Hasil panen dengan cara yang manual akan

24
menghasilkan padi yang lebih baik, dan jika menggunakan traktor tekstur tanah akan menjadi
padat dan kualitas padi pun berkurang. Oleh karena itu hingga saat ini masyarakat di Kampung
Naga masih mempertahankan pertanian secara tradisional.

Untuk sistem pertanian sawah dan huma memiliki perbedaan dalam alat pertaniannya,
yaitu pada sistem pertanian huma tidak memakai Susurung dan Taplakan. Langsung di “aseuk”
yaitu dengan langsung membuat lubang-lubang kecil ditanah dengan kayu lalu ditanam
benihnya ditanah, seperti kita menanam jagung di kebun.

Selain itu juga terdapat teknologi yang dipakai untuk mengolah padi menjadi beras,
diantaranya adalah :

1. Lisung/Lesung, yaitu wadah untuk menumbuk padi yang terbuat dari kayu gelondongan
yang dibuat menjadi persegi panjang, dengan lubang ditengahnya. Fungsi alat ini adalah
untuk memisahkan kulit padi menjadi beras dengan cara ditumbuk.Penumpuknya ini
ialah berupa kayu besar memanjang dengan ujung yang bulat. Proses yang dibutuhkan
supaya padi benar-benar pisah dari kulitnya, setidaknya harus melalui 3x proses
penumbukan.Biasanya penumbukan padi dilakukan oleh kaum wanita, umumnya
dilakukan oleh wanita dewasa. Ibu rumah tangga menumbuk padi dalam 3 hari sekali.
Beras hasil tumbukan itu jauh lebih sehat karena kaya tiamin alias vitamin B1 yang
berkhasiat mencegah penyakit beri-beri. Lapisan aleuron yang kaya vitamin B1 dalam
beras hasil penggilingan hilang.

2. Nyiru Tampah, yaitu berupa alat perkakas berbentuk bulat dengan permukaan datar yang
terbuat dari ayaman bambu. Digunakan untuk “menampi” beras, yaitu proses
pembersihan beras yatiu berupa membuah sisa kulit padi yang sudah terlupas dari proses
tumbuk, dengan cara ditaruh di nyiru dan digerak-gerakkan turun-naik. Gerakan ini akan
membuat kulit padi terbang dan terbuang. . Kulit padi yang terbuang itu menjadi huut
atau yang biasa digunakan untuk pakan ikan.
3. Boboko Bakul, yaitu berupa alat berkakas berbentuk wadah yang terbuat dari anyaman
bambu yang dianyam rapat. Alat ini digunakan untuk mencuci beras hasil tampian, proses
pencuciannya pun mudah karena air yang digunakan untuk mencuci langsung terbuang
ke sela-sela ayaman boboko.

25
Di masyarakat adat Kampung Naga para petani sudah terbiasa menggunakan dan
memanfaatkan pupuk organik,tanpa menggunakan pupuk kimia. Mereka hanya mengandalkan
pupuk organik dan mengikuti pola alam. Bahkan untuk membasmi hama juga tak pernah memakai
obat-obatan kimia.Padi hasil panen juga tak pernah mereka olah ke penggilingan. warga Kampung
Naga mengolahnya dengan cara tradisional. Ibu-ibu di sini mengolah padi menjadi beras dengan
cara ditumbuk di Saung Lisung. Bangunan terbuka ini dibuat terpisah dari permukiman, seperti di
pinggir atau di atas balong (kolam) yang ditanami ikan.

Pupuk yang biasa digunakan oleh masyarakat Kampung Naga adalah sebagai berikut :

1. Pupuk yang berasal dari kotoran-kotoran hewan ternak mereka, seperti domba, kelinci dan
ayam.

2. Pupuk yang berasal dari padi atau sisa pertanian yang sudah lama dan dibiarkan membusuk.

3. Pupuk lebu atau pupuk yang berasal dari abu sisa kayu bakar pada hawu.

Selain pupuk diatas, ada pula pupuk cibeas yaitu pupuk dibuat oleh masyarakat sendiri,
yaitu seperti air bekas cucian beras, gula merah, sisik ikan, daun-daunan, dan bahan lain yang
mudah busuk dan bau setelah dicampur lalu disemprot ke padi.Penyemprotan biasanya
dilakukan satu minggu setelah penanaman

Masyarakat menggunakan pupuk-pupuk tersebut karena akan menghasilkan kualitas


padi yang lebih baik, berbeda dengan menggunakan pupuk non organik. Dengan menggunakan
pupuk organik, padi akan bertahan 10 sampai 15 belas tahun, bahkan ada yang sampai 30 tahun.
Serta karakteristik padinya pun berbeda. Padi di Kampung Naga sendiri bentuknya lebih tinggi
serta lebih gemuk. Namun pada saat ini, sebagian masyarakat sudah mencampurkan pupuk
organik dengan pupuk non-organik. Misalnya, menggabungkan pupuk lebu dengan pupuk urea.

Untuk mengatasi hama yang ada di persawahan, masyarakat jarang menggunakan


pengobatan non-organik. Disana lebih sering menggunakan pengobatan dengan bahan organik
yang mereka sebut dengan empa. Empa adalah pengobatan untuk hama yang dibuat dengan
menggunakan cai beas atau air sisa cucian beras. Air beras tersebut nantinya dicampurkan
dengan gula, duri-duri, ikan yang sudah mati dan tumbuhan atau hewan lain yang sudah
membusuk. Semua bahan tersebut dicampurkan dan dimasukan kedalam kompan dan
didiamkan selama beberapa hari. Jika sudah memiliki bau yang menyengat, empa tersebut
sudah bisa disemprotkan ke padi. Tidak ada teknologi khusus yang digunakan untuk pembasmi

26
hama di Kampung Naga, mereka masih menggunakan cara alami karena untuk kualitas padi itu
sendiri. Lalu ada juga dari daun picung, daun suren atau apapun daun yang bau, “dibebek,ditutuan”
dan disaring airnya dan disemprotkan pada padi.

Warga Suku Naga menyimpan padi di Goah, sebuah ruang 3m x 2m persis di sisi
dapur. Asap hasil pembakaran kayu saat memasak, menerbos dinding Goah yang terbuat dari
anyaman bambu. Tanpa sadar, cara itu justru mengawetkan padi hingga bertahan 48 tahun.
Sebab, asap pembakaran mengandung fenol, asam, dan karbonil yang bersifat anti mikroba dan
desinfektan.

Selain Goah di setiap rumah, masyarakat Suku Naga mempunyai lumbung bersama
yang disebut Leuit. Itu merupakan lumbung cadangan yang dimanfaatkan bila sewaktu-waktu
bila gagal panen, misalnya. Leuit berdinding kayu sehingga mampu mencegah kelembapan
tinggi. Kelembapan terlampau tinggi mengundang cendawan. Padi yang dismpan di lumbung itu
mampu bertahan hingga 8 tahun.

C. Kearifan Lokal Pertanian Masyarakat Adat Kampung Naga

Kearifan lokal bagi masyarakat adat Kampung Naga merupakan bagian dari
kebudayaan. Budaya bagi mereka adalah jalan hidup yang berarti bahwa mereka menempatkan
budaya pada sistem yang menjadikannya sebagai cara menempuh atau mempertahankan
kehidupan. Selain menganggap budaya sebagai jalan hidup, masyarakat setempat juga
menganggap budaya adalah tuntunan bukan tontonan yang menjadikan budaya sebagai salah
satu aspek yang mereka gunakan dalam mengatur segala tat acara dan pola perilaku dalam
kehidupan sehari-hari bukan dijadikan sebagai bahan tontonan belaka. Jika hanya sekedar

27
tontonan saja tentunya para tamu yang datang ke Kampung Naga adalah para wisatawan, bukan
para peneliti yang ingin mendapatkan suatu pembelajaran.

Salah satu kearifan lokal yang masih terjaga keberadaannya adalah kearifan lokal
dalam bidang pertanian. Hampir keseluruhan penduduk sekitar di kampung Naga berprofesi
sebagai seorang petani dan setiap kepala keluarga memiliki lahan pesawahannya sendiri.
Dengan keadaan alam sekitar yang berlereng curam dengan pengairan yang tidak pernah kering
walaupun musim panas sudah mencapai tahap kekeringan, membuat masyarakat setempat
menjadikan lereng curam tersebut menjadi sengkedan atau terasering yang kemudian menjadi
pesawahan masyarakat kampung Naga. Masa panen mereka hanya dua kali dalam satu tahun
dengan masa tanam yang dikenal dengan sistem janli atau Januari dan Juli, yaitu masa-masa
menanam padi.

Masyarakat setempat ketika akan menanam padi akan ada ritual khusus yang
dilakukan sesuai dengan kepercayaan atau sistem religi yang dianut disana sebagai salah satu
bentuk permohonan agar tanaman mereka tumbuh dengan subur dan baik. Selain itu, ritual
tersebut dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Pencipta Alam.

Cara mereka menanam padi disebut dengan tandur, di mana pekerjaan itu biasa
dilakukan oleh para wanita atau ibu-ibu dengan cara menempatkan bibit padi yang masih
pendek ke dalam lumpur yang sudah ditandai dengan taplakan. Taplakan adalah sejenis garu
yang terbuat dari kayu untuk memberikan garis-garis di sawah yang nanti membentuk kotak-
kotak persegi di mana titik pertemuan antara dua garis menjadi letak sejumput padi ditanam.
Sehingga letak setiap padi akan terlihat lurus saat dilihat dari segala arah. Tentunya juga akan
berpengaruh pada pertumbuhan padi, karena jarak satu jumput padi dengan yang lainnya sama
sehingga pertumbuhannya tidak akan terganggu dan akan tumbuh sama rata.

Kearifan lokal lainnya yang ada dalam sistem pertanian yang ada di Kampung Naga
adalah pengolahan tanah di sawah. Setelah masa panen selesai mereka akan membiarkan
rumput dan jerami membususk yang secara tidak langsung akan menjadi pupuk alami dan
menjadikan tanah di sawah semakin subur. Serta alat yang digunakan dalam menggemburkam
kembali sawah hanya menggunakan cangkul tidak menggunakan traktor.. Namun, tidak
dipungkiri daam perkembangan zaman saat ini sebagian masyarakat ada telah menggunakan
pupuk kimia atau bahan pengusir hama kimia. Walau begitu mereka membatasi penggunaan

28
bahan kimia sebagai penyubur tanah atau pengusir hama sebatas keperluan saja tidak berlebih-
lebihan. Karena mereka sendiri tidak menutup diri dari perkembangan zaman saat ini yang
sudah modern dan didominasi dengan teknologi.

Menurut bapak Kuncen Ade Suherlin, “Kearifan lokal yang ada di sini akan tetap
berjalan menurut perkembangan zaman. Namun, tidak akan menghilangkan kearifan lokal
yang sudah ada sejak dulu. Apa yang sudah masuk saat ini atau perkembangan pada saat ini
hanya dijadikan sebagai penyempurna atau pelengkap kearifan lokal yang sudah ada. Kita
boleh berjalan seiring jaman dan mengambil budaya kiriman untuk menjadi kaya tetapi harus
tetap mempertahankan budaya lokal.”

Karena bukan hanya dalam pertanian masyarakat juga mulai mengadopsi bahan dan
alat lain untuk menunjang kehidupan sehari-hari seperti penggunaan bahan kaca untuk jendela
dan juga pemakaian lemari dan ranjang yang sebelumnya tidak digunakan oleh masyarakat
kampung Naga. Selama apa yang masuk itu tidak menggangu kehidupan yang ada di kampung
Naga maka hal tersebut masih bisa diterima.

Selain itu, dalam kearifan lokalnya masyarakat kampung Naga semaksimal mungkin
memproduktifkan tanahnya. Diantaranya adalah masyarakat setempat menanami galengan
sawah atau bagian pinggir sawah yang biasa digunakan untuk berjalan kaki menanaminya
dengan tanaman lain yang bisa dikonsumsi seperti umbi manis dan jenis talas-talasan.

Saat masa panen tiba biasanya masyarakat yang panen akan menggunakan etem
sebagai alat untuk memotong padi dari tangkainya satu per satu. Sehingga padi akan terkumpul
dalam bentuk gedengan . Biasanya mereka yang panen akan menggunakan sistem gacong.
Sistem gacong adalah di mana mereka yang membantu memanen padi akan deberi imbalan
gedengan padi dengan aturan setiap pekerja yang mendapatkan sepuluh kilo padi maka imbalan
yang didapat adalah satu kilo padi. Selain dapat mengefisiensikan waktu dalam memanen padi
hal ini juga akan membuat sikap gotong royong sekaligus saling membantu tetap kentara di
antara masyarakat setempat.

Saung Lisung juga menjadi bukti kearifan lokal masyarakat dalam mengolah hasil
pertanian khususnya padi. Letaknya berada di bagian daerah kotor atau sering disebut daerah
basah yang berada diuar perumahan warga yang dibatasi dengan pagar bambu. Saung Lisung
tepatnya berada di atas balong atau kolam ikan. Di sana para ibu akan mengolah padi menjadi

29
beras dengan cara ditumbuk menggunakan alat yang diberi nama halu dan lisung. Jika
kebetulan ada tiga orang ibu-ibu yang sedang menumbuk padi, saat diperhatikan cara
menumbuknya akan berpola satu sama lain sehingga membentuk paduan ketukan halu yang
indah. Setelah dirasa cukup kemudian padi hasil tumbukan akan ditapi menggunakan nyiru atau
tampah untuk memisahkan huut atau dedak padi dengan beras yang sudah jadi. Di sini dapat
dilihat bagaimana hubungan masyarakat kampung Naga dengan lingkungan sekitar yang saling
menguntungkan satu sama lain. Ketika tahap tapi padi, huut atau dedak padi akan langsung
jatuh ke balong atau kolam ikan yang secara tidak langsung akan menjadi pakan bagi ikan
sendiri.

Ada ungkapan menarik yang berbunyi,”Bersembunyi di Tempat yang Terang”


ungkapan yang menggambarkan bagaimana nenek moyang penduduk kampung memilih tempat
bermukim. Pada tahun 1956 kampung ini sempat menjadi tempat persembunyian kaum
separatis Islam DI/TII. Untuk menghapus jejak keberadaannya, kelompok separatis ini
kemudian membakar kampung Naga. Tetapi secara berangsur-angsur penduduk membangun
kembali pemukiman sesuai tata letak aslinya, dan tetap hidup di sana hingga sekarang. Itu
mengapa jika ditanya tentang kapan dan bagaimana sejarah kearifan lokal yang ada di kampung
Naga tidak dapat dijelaskan karena hilang jejak. Semua bukti sejarah hangus terbakar saat
kejadian pembakaran pemukiman kampung Naga oleh DI/TII tahun 1956.

Walaupun begitu sejarah kelam tidak membuat masyarakat kampung Naga hilang jati
dirinya, mereka tetap mempertahankan apa yang telah para karuhun atau para nenek moyang
mereka wariskan dalam bentuk kearifan lokal dan mempertahankan keberadaannya hingga saat
ini.

Di Kampung Naga sistem pertaniannya masih menggunakan sistem organik. Untuk


pengolahannya pun masih tradisional. Sesuai dengan aturan adat, warga Kampung Naga tidak
diperbolehkan menggunakan peralatan modern ataupun menggunakan mesin. Hal ini bukan
berarti mereka tidak mampu membeli, namun didasarkan atas pertimbangan adat dan pelestarian
alam serta lingkungan sekitarnya.

Dalam cara dan teknik bercocok tanam masyarakat Kampung Naga tunduk kepada
kalender tanam secara serentak. Pembatasan penggunaan teknologi bukanlah tidak beralasan,
karena komunitas masyarakat Kampung Naga lebih mempertimbangkan pemeliharaan

30
kesuburan tanah dan bentuk perlakuan manusia secara baik dan arif terhadap makhluk hidup
lainnya yang ada dalam tanah atau permukaan tanah untuk tanaman lainnya.

Untuk pupuknya sendiri masyarakat Kamping Naga menggunakan pupuk kadang,


seperti dari kotoran kambing dan bekas-bekas makanan yang bisa dikumpulkan seperi Kulit
pisang, pepaya dan makan yang tidak termakan, kemudian disatukan dalam salah satu tempat,
yaitu ember. Kemudian dibiarkan busuk saja. Setelah busuk airnya dapat disemprotkan ke daun,
karena dapat menyuburkan daun.

Selain itu, Sampah dari serutan bambu untuk kerajinan, bisa juga menjadi pupuk, yaitu
dengan cara dibakar, setelah dibakar akan menjadi abu. Abu inilah yang bisa dijadikan pupuk.
Selain pupuk kandang masyarakat Kampung Naga sudah menggunakan pupuk Kimia seperti
TSP, urea, yang merah merah, dan poska. Namun tetap lebih diutamakan menggunakan pupuk
organik.

Mereka tidak pernah melakukan intensifikasi, karena selain tradisi sistem pertanian
tradisional dinilai lebih ekonomis. Pengolahan tanah cukup dengan menggunakan peralatan
sederhhana dan melibatkan tenaga kerja keluarga masing-masing, terkadang saling bantu
dengan anggota masyarakat lainnya tanpa memperhitungkan upah sebagai imbalannya. Proses
ini berlangsung sampai tahap berikutnya ketika padi dipanen, sampai dimasukkan kelumbing
atau leuit, setelah sebelumnya dikeringkan dengan cara dijemur. Sesuai dengan tradisi mereka,
setiap tahap bertani selalu diikuti dengan penyelenggaraan upacara ritual melalui penyediaan
sesajen.

Sebelum dipanen, padi mengalami dua kali penyiangan rumput dan gulma lainnya yang
tumbuh disela-sela tanaman padi, sehingga ketika memasuki masa berbunga, petani semaksimal
mungkin agar hasil panennya memuaskan. Salah satu usaha yang mereka tempuh adalah dengan
menyediakan sesajen yang disebut Ngarujakan.

Ngarujakan berasal dari kata rujak yang diberi awalan "nga" dan akhiran "an", artinya
sama dengan menyediakan sesajen rujak, karena dalam anggapan mereka, padi yang sedang
berbunga diibaratkan Dewi Sri atau Nyi Pohaci yang sedang hamil muda.

Proses penyediaan sesajen tersebut masih dilakukan, baik ketika padi dipanen maupun
setelah dijemur dan kemudian diikat dalam ukuran berat tertentu, sebelum dimasukkan ke dalam

31
lumbung atau leui. Tiap ikatan, rata-rata beratnya 4.5 kilogram dan disebut saeudan atau satu
eundan. Tiao dua eundan diikat lagi, disatukan hingga menjadi sageugeus atau satu geugeus.

BAB V

PENUTUP

Masyarakat Kampung Naga menggunakan sistem pertanian sawah seperti biasa dan
tidak terdapat sistem pertanian huma dikarenakan kesediaan air yang tidak terbatas. Dalam
seluruh rangkaian kegiatan pertanian, mulai dari penanaman hingga panen masih menggunakan

32
sistem tradisional, bahkan penggunaan pupuk pun mereka menggunakan pupuk organik
sehingga padi yang dihasilkan memiliki kualitas yang berbeda dari padi yang lainnya.

Untuk sistem teknologi pertanian di masyarakat adat Kampung Naga ini masih bersifat
tradisional. Masyarakatnya masih menggunakan cara manual yang merupakan sebuah adat atau
kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun. Sebenarnya di Kampung Naga sudah diberikan
dan ditawarkan alat dan teknologi yang lebih modern oleh pemerintah. Namun, masyarakat
lebih memilih menggunakan teknologi pertanian tradisional, karena masyarakat menganggap
padi yang dihasilkan mempunyai kualitas yang lebih baik.

Sistem pertanian dan sistem teknologi yang berkembang di masyarakat Kampung Naga
tidak terlepas dari kearifan lokal yang ada di sana. Kearifan lokal terbentuk dari kebudayaan
yang ada. Budaya bagi penduduk setempat adalah jalan hidup yang berarti bahwa mereka
menempatkan budaya pada sistem yang menjadikannya sebagai cara menempuh atau
mempertahankan kehidupan. Selain itu masyarakat kampung Naga menganggap budaya sebagai
tuntunan bukan tontonan yang menjadikannya sebagai salah satu aspek yang mengatur pola dan
tatacara hidup mereka sehari-hari. Menjadi suatu keharusan bagi masyarakat kampung naga
untuk mematuhi dan mewariskan adat istiadat. Adat istiadat telah membentuk kepribadian
warga sehingga masyarakat memiliki sifat-sifat tradisional sebagai manifestasi dari nilai-nilai
kearifan lokal. Sifat-sifat lokalitas dilestarikan dalam pola pikir, pola tata kelakuan, dan pola
kebudayaan.

LAMPIRAN

33
Tangga Kampung Naga
Tugu Selamat Datang Tugu Kujang

Terasering Irigasi

Leuit

34
DAFTAR PUSTAKA

35
1. Buku

Suganda, Her. 2006. Kampung Naga Mempertahankan Tradisi. Bandung: PT. Kiblat
Buku Utama.

Suryani NS, Elis & Anto Charliyan. 2010. Menguak Tabir Kampung Naga.
Tasikmalaya: CV. Danan Jaya.

Moleong, 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi revisi, Bandung, Remaja


Rosdakarya.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta : PT Balai Pustaka

2. Dokumen
https://www.researchgate.net/publication/312795909_Nilai-
Nilai_Kearifan_Lokal_Masyarakat_Adat_Kampung_Naga_sebagai_Alternatif_Sumber_
Belajar. 10 Oktober 2019
https://www.researchgate.net/publication/
330533255_ANALISIS_KEARIFAN_LOKAL_MASYARAKAT_KAMPUNG_NAGA
_DESA_NEGLASARI_KECAMATAN_SALAWU_TASIKMALAYA_JAWA_BARAT
_TERHADAP_MITIGASI_BENCANA. 10 Oktober 2019
https://docobook.com/lexy-jmoleong-metodologi-penelitian-kualitatif-bandung.html. 10
Oktober 2019

36

Anda mungkin juga menyukai